karakteristik pasien abortus infeksiosus di rumah

advertisement
KARAKTERISTIK PASIEN ABORTUS INFEKSIOSUS
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR BALI
1 JANUARI 2010 - 31 DESEMBER 2011
dr. I Made Darmayasa SpOG (K)
BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD/ RSUP SANGLAH DENPASAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Terdapat 5 penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia yaitu
perdarahan, sepsis, hipertensi, persalinan lama dan unsafe abortion. Angka
Kematian Ibu (AKI) yang disebabkan oleh kondisi medis langsung terbanyak
(25%) disebabkan oleh perdarahan, diikuti oleh infeksi (15%), unsafe abortion
(13%), eklampsia (12%), persalinan lama dengan atau tanpa pecah ketuban (8%)
dan penyebab lainnya (8%). Meskipun sudah mulai jarang tetapi bila infeksi
terjadi pada saat hamil, persalinan dan nifas yang tidak ditangani dengan baik bisa
berkelanjutan menjadi sepsis, syok septik dan berkembang menjadi Multi Organ
Dysfunction Syndrome (MODS), yang menimbulkan mortalitas yang sangat tinggi
(Kornia,2012).
Abortus infeksiosus merupakan permasalahan kesehatan yang terjadi
hampir di setiap negara terutama negara yang tidak mempunyai peraturan yang
jelas tentang aborsi. Menurut World Health Organization (WHO) kejadian abortus
yang tidak aman adalah tinggi. Dinegara berkembang di seluruh dunia
diperkirakan setiap tahunnya terdapat kurang lebih lima juta wanita masuk rumah
sakit untuk mendapatkan penanganan berkaitan dengan abortus yang tidak aman.
Bagaimanapun juga evidence base angka kejadian abortus yang tidak aman ini
sangat lemah, masih merupakan perkiraan saja karena tidak adanya data yang
jelas dari masing masing negara.Tidaklah mengherankan jika kejadian abortus
infeksiosus lebih banyak didapatkan di negara miskin dimana aborsi menjadi
sesuatu yang tidak legal atau akses untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang
aman masih sulit (Kornia,2012).
Munculnya komplikasi abortus infeksiosus seperti perdarahan, sepsis
sampai dengan kematian membuat pencegahan dan penanganan abortus yang
tidak aman ini menjadi sesuatu yang harus mendapatkan perhatian serius dari
berbagai pihak terutama sektor kesehatan dengan memberikan pelayanan
1
kesehatan yang memadai, memberikan informasi, edukasi serta penanganan medis
yang cepat dan tepat (Manuaba, 2002).
Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian deskriptif tentang
karakteristik pasien abortus infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Bali untuk mendapatkan gambaran secara umum penderita abortus
infeksiosus.
1.2.Permasalahan

Berapa kasus abortus infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
sejak 1 Januari 2010 s/d 31 Desember 2011?

Bagaimana karakteristik penderita abortus infeksiosus?

Bagaimana gambaran klinis penderita abortus infeksiosus?

Bagaimana gambaran laboratorium penderita abortus infeksiosus?

Bagaimana metode pengguguran penderita abortus infeksiosus?

Bagaimana komplikasi yang ditimbulkan abortus infeksiosus?

Bagaimana angka kematian maternal dari penderita infeksiosus?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana profil penderita abortus infeksiosus di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dalam periode 1 Januari 2010 s/d 31
Desember 2011.
1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui jumlah kasus abortus infeksiosus?

Mengetahui karakteristik penderita abortus infeksiosus

Mengetahui gambaran klinis penderita abortus infeksiosus?

Mengetahui gambaran laboratorium penderita abortus infeksiosus?

Mengetahui metode pengguguran penderita abortus infeksiosus?

Mengetahui komplikasi yang ditimbulkan abortus infeksiosus

Mengetahui angka kematian maternal penderita abortus infeksiosus?
2
1.4.Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai data dasar bila dilakukan penelitian mengenai abortus infeksiosus lebih
lanjut. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data dasar untuk
melakukan evaluasi mengenai profil penderita abortus infeksiosus, sehingga dapat
digunakan sebagai pertimbangan untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan
terhadap penderita abortus infeksiosus.
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.PENGERTIAN ABORTUS INFEKSIOSUS
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum usia
kehamilan 20 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir atau berat janin
kurang
dari
500
gram.
Menurut
cara
terjadinya,
abortus
dapat
digolongkan menjadi 2yaitu abortus spontan dan abortus buatan. Pada tahun 1993
WHO membagi abortus buatan menjadi dua yaitu :
1. Safe abortionyaitu abortus yang aman dimana tindakan pengakhiran
kehamilan dilakukan oleh tenaga profesional dengan fasilitas medis yang
memenuhi syarat .
2. Unsafe abortionyaitu abortus yang tidak aman dimana tindakan
pengakhiran kehamilan yang tidak diinginkan dilakukan oleh tenaga tidak
terdidik
dan
dilakukan
ditempat
yang
tidak
memenuhi
syarat
standar medis serta sering menyebabkan komplikasi.
Abortus infeksiosus adalah berakhirnya kehamilan sebelum waktunya dengan usia
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram yang
disertai infeksi pada uterus, adneksa, parametrium, peritoneum dan akibat lebih
jauh menyebabkan sepsis (Cunningham FG, 2012).
2.2. FAKTOR PENYEBAB
Penyebab utama abortus infeksiosus adalah adanya manipulasi alat- alat
genital seperti memasukkan benda asing dalam rongga rahim dalam keadaan
tidak steril. Umumnya infeksi terbatas pada desidua dan dapat juga menyebar ke
miometrium, tuba, parametrium bahkan ke peritoneum yang menyebabkan
peritonitis generalisata.Beberapa faktor yang berkaitan pada abortus infeksiosus
seperti adanya abortus infeksiosus sebelumnya, paritas, status perkawinan, usia
penderita, kuman penyebab, usia kehamilan (Smiti,2002).
Kebanyakan infeksi bersifat poli-mikrobial yang bisa terdiri dari bakteri
atau kokus gram negatif maupun gram positif, spesies anaerob maupun aerob serta
kemungkinan terlibatnya infeksi oleh jamur.
4
Kokus gram positif : Pneumococcus, Streptococcus grup A, B dan D;
Staphilococcus aureus. Bakteri gram negatif: Escheria Coli, Haemophylus
influenza, spesies Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas dan Serratia.
Bakteri gram positif : Listeria monocytogenes.Bakteri Anaerob: Spesies
Bacteroides,
Clostridium
perfringens,
Fusobacterium,
Peptococcus,
Peptostreptococcus.
Komplikasi dapat berupa perdarahan, gagal ginjal, syok akibat perdarahan dan
sepsis. Syok akibat infeksi disebut dengan endotoksin syok yang sering berakibat
fatal ( Smiti,2002;Fetters,2008 ).
2.3. PATOGENESIS
Dalam garis besarnya mekanisme transmisi mikroba pathogen ke pejamu
yang rentan (susceptible host) melalui dua cara yaitu : 1. Transmisi langsung
(direct transmission) yaitu penularan langsung oleh mikroba pathogen ke pintu
masuk yang sesuai dari pejamu. Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan,
ciuman, atau adanya droplet nucleisaat bersin, batuk, berbicara atau saat transfusi
darah dengan darah yang terinfeksi mikroba pathogen. 2. Transmisi tidak
langsung (indirect transmission) yaitu penularan mikroba pathogen yang
memerlukan media perantara baik berupa benda(vehicle borne), air, udara maupun
vector(Darmadi,2008).
Abortus Provokatus Kriminalis (APC) termasuk indirect transmission
karena terjadinya abortus buatan dengan menggunakan media, alat atau bahan
(vehicle borne) yang tidak bersih dan steril sehingga akan menimbulkan infeksi,
hal ini dalam obstetri sosial lebih dikenal dengan unsafe abortion. Proses
terjadinya infeksi dapat dibedakan menjadi tiga tahap yaitu tahap pertama
mikroba pathogen bergerak menuju tempat yang menguntungkan melalui
mekanisme penyebaran (mode of transmission) seperti telah dijelaskan
sebelumnya yaitu directatauindirect.Tahap kedua yaitu mikroba pathogen
melakukan invasi kejaringan/organ pejamu dengan mencari akses masuk untuk
masing-masing penyakit (port d’entre) seperti adanya kerusakan mukosa, kulit
dan lain-lain. Tahap ketiga setelah mendapat akses masuk mikroba pathogen
segera melakukan invasi dan mencari jaringan yang cocok selanjutnya melakukan
5
multiplikasi disertai tindakan destruktif terhadap jaringan sekitarnya walaupun
ada upaya perlawanan dari pejamu. Sehingga terjadilah reaksi infeksi yang
mengakibatkan perubahan morfologis dan gangguan fisiologis jaringan (Darmadi,
2008).
Terjadinya infeksi akan menimbulkan respon imun dengan meningkatnya
Th1 (IL-8, IL-1a dan IL-1b).Tumor Necrosis factor α (TNFα) dan IL-1 yang
merupakan sitokin terpenting dalam infeksi dan keduanya bekerja sinergis,
menyebabkan efek biologis transkripsi berbagai gen molekul adhesi, seperti
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan plasminogen activator inhibitor1
(PAI-1),
Phospolipase
A2,
Nitrit
oksidase
(NO)
synthetase
serta
cyclooxygenase. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endothel menyebabkan
permeabilitas endotel meningkat, ekspresi tissue factor (TF), penurunan regulasi
trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, pembentukan NO,
endotelin-1, prostaglandin E2, dan prostaglandin I2, sedangkan NO berperan
dalam mengatur tonus vaskuler. Pada sepsis produksi NO oleh sel endotel
meningkat, sehingga menyebabkan gangguan hemodinamik berupa hipotensi,
disamping itu juga NO berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat
meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan
menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO tersebut berkaitan
dengan syok septik yang resisten terhadap vasopressor.
Interleukin-1 dan TNF-α juga dapat merangsang proses koagulasi melalui
berbagai jalur. Sitokin tersebut dapat merangsang endotel dan monosit untuk
mengekspresikan tissue factor, yang merupakan tahap pertama jalur ekstrinsik
kaskade koagulasi. Tissue factor ini kemudian akan menghasilkan thrombin dan
selanjutnya
thrombin
dapat
menyebabkan
fibrin
clot
didalam
mikrovaskuler.Selanjutnya sitokin tersebut dapat pula menyebabkan gangguan
pada sistem fibrinolisis, melalui terbentuknya plasminogen activator inhibitor-1
yang merupakan substansi inhibitor yang kuatdan menyebabkan disrupsi activated
protein C dan antitrombin III.Activated protein C yang merupakan co-factor dari
protein S, mencegah pembentukan thrombin melalui pemecahan factor Va dan
6
VIIIa dan selain itu activated protein C juga mempertahankan integritas system
fibrinolisis melalui penghambatan terhadap plasminogen activator inhibitor-1.
Sepsis dipandang sebagai respon inflamasi yang tidak terkontrol.
Mekanisme sepsis berhubungan dengan respon sistemik yang kompleks dan
proses imunologik yang dicetuskan oleh masuknya mikroorganisme atau
produknya kedalam sirkulasi. Mikroorganisme tersebut melepaskan berbagai
mediator imunoreaktif kedalam sirkulasi darah.
Pada bakteri gram negatif terdapat lipopolisakarida (LPS) yang bila
masuk kedalam sirkulasi sebagian akan terikat dengan Lypoprotein binding
Protein (LBP) sehingga mempercepat ikatan dengan CD-14 terlarut dan
membentuk kompleks CD14-LPS. Kompleks ini menyebabkan transduksi sinyal
intraseluler melalui nuclear factor kappa B(NFkB), tyrosine kinase, pro RNA,
Cytokine oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi
intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2)
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang merupakan
inductor sitokin I dari lipotheicoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) . Pada
sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebihan. Mediator
inflamasi ini mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktifasi
netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya. Terjadi
aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, sistem koagulasi, dan
fibrinolisis, pelepasan proteinase, dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen
radikal. Selain mediator yang bersifat proinflamasi, dilepaskan juga mediator yang
bersifat antiinflamasi.
Infeksi pada APC pada tahap awal akan menimbulkan komplikasi yang
umum adalah metritis apabila tidak ditangani dengan baik proses infeksi berlanjut
menyebabkan terjadinya parametritis, peritonitis, endokarditis bahkan sepsis
Akhir dari proses inflamasi dan koagulasi tersebut menyebabkan insufisiensi
kardiovaskuler, multiple organ disfunction syndrome (MODS) sampai multiple
organ failure (MOF) dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. (Mose, 2009).
7
2.4.GEJALA KLINIK
Gejala umum yang dijumpai pada abortus infeksiosus adalah perdarahan
pervaginam, dimana fluksus yang keluar biasanya berbau busuk atau bersifat
purulen. Perdarahan yang lama menyebabkan anemia. Kriteria WHO menyatakan
cut of point anemia sebagai berikut (Bakta,2006) :
Laki-laki dewasahemoglobin < 13 g/dl
Perempuan dewasa tidak hamil
hemoglobin < 12 g/dl
Perempuan hamil
hemoglobin < 11 g/dl
Anak umur 6-14 tahun
hemoglobin < 12 g/dl
Anak umur 6 bulan-6 tahun
hemoglobin < 11 g/dl
Kriteria anemia di klinik (di rumah sakit atau praktik klinik) untuk di Indonesia
pada umumnya adalah hemoglobin < 10 g/dl, hematokrit < 30%, eritrosit < 2,8
juta/mm3. Klasifikasi derajat anemia yang sering dipakai sebagai berikut :
1. Ringan sekali
2. Ringan
Hb 10g/dl-cut of point
Hb 8 g/dl- Hb 9,9 g/dl
3. Sedang
Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl
4. Berat
Hb < 6 g/dl
Demikian juga akan dijumpai gejala infeksi pada umumnya seperti demam,
temperature >38 C, nadi meningkat ( > 90x/menit), leukositosis (leukosit
>10.000sel/mm). Secara klinis organ genitalia pada abortus infeksiosus dapat
dikenali dengan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut : nyeri tekan
suprasimfisis, nyeri pada portio bila digerakkan dan nyeri pada adneksa.
Gejala klinik abortus infeksiosus adalah :
1. Riwayat abortus provokatus
2. Nyeri perut
3. Perdarahan pervaginam yang lama ( > 8 hari)
4. Gejala-gejala seperti influenza ( meriang/tidak enak badan)
Gambaran klinis infeksi pada abortus infeksiosus adalah akibat langsung
dari efek sitopatik mikroorganisme serta reaksi imunitas berupa produksi
mediator-mediator humoral atau seluler yang diproduksi host sebagai reaksi
inflamasi. Reaksi inflamasi yang timbul akan mengakibatkan suatu sindroma yang
8
terdiri dari gangguan hemodinamik disertai dengan disfungsi sistem organ. Infeksi
yang tidak ditanggulangi akan berkembang menjadi systemic inflammatory
response
syndrome
(SIRS),
sepsis,
sepsis
berat
dan
syok
septik
(Kornia,2012;Osazuwa, 2007).
Definisi gradasi sepsis yang dipakai sampai saat ini adalah sesuai dengan
konsensus dari American of Chest Physicians and the Society of Critical Care
Medicine (ACCPSCCM) tahun 1994 sebagai berikut (Kornia,2012) :
1. Infeksi: reaksi inflamasi yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme
atau invasi organ steril oleh mikroorganisme
2. Bakterimia: adanya bakteri dalam darah
3. Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS)
4. Reaksi inflamasi sebagai reaksi terhadap adanya berbagai penyakit
5. Sepsis (SIRS + Infeksi) adalah SIRS yang disebabkan oleh faktor
infeksi
6. Sepsis berat : sepsis dengan tanda tanda disfungsi organ atau
penurunan perfusi organ (asidosis laktat, oliguria < 30 ml/jam) atau 0,5
ml/kg BB per jam, hipotensi < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg)
dan perubahan mental.
7. Syok septik : sepsis berat dan hipotensi yang persisten meskipun telah
diberikan cairan yang adekuat dan setelah menyingkirkan penyebab
hipotensi yang lainnya. Sindrom disfungsi organ multiple (MODS),
adanya gangguan fungsi multi organ pada pasien dengan sakit berat
akut dimana hemostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Diagnosis SIRS ini akan ditegakkan oleh sekurang-kurangnya dua kriteria yaitu :
1. Temperature>38 ̊C atau < 36 ̊C
2. Detak jantung > 90kali/menit
3. Frekuensi pernafasan > 20 kali/menit atau PCO2 arteri < 32mmHg
4. Jumlah lekosit > 12.000/πl atau < 4000/πl dengan >10% bentuk imatur
Bila sepsis ini berkembang serta menimbulkan disfungsi organ disebut sepsis
berat dan bila ada komplikasi hipotensi yang tidak membaik setelah resusitasi
9
volume cairan intra-vaskuler maka akan jatuh kedalam syok septik yang berakibat
fatal.
2.5. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis abortus infeksiosus ditentukan adanya
abortus dan infeksi alat genitalia. Kriteria klinis suatu abortus yang mengalami
infeksi :
a. Demam, sekurang-kurangnya 38 ̊C dalam 24 jam atau lebih
b. Pengeluaran cairan dari vagina/serviks
c. Tanda infeksi pelvik seperti nyeri perut bagian bawah
d. Nadi cepat
e. Pada pemeriksaan dalam, setiap gerakan serviks disertai nyeri.
Kriteria diagnosis lain berdasarkan adanya tanda-tanda dan gejala infeksi lokal
atau sistemik antara lain :
1. Demam (temperature >38 C), menggigil atau berkeringat
2. Sekret pervaginam yang berbau atau keluar cairan mukopurulen
melalui ostium serviks
3. Tegang/kaku dinding perut bawah (dengan atau tanpa nyeri lepas atau
rebound tenderness).
4. Nyeri goyang serviks pada pemeriksaan bimanual
Diagnosis abortus infeksiosus ditegakkan berdasarkan gabungan temuan faktor
predisposisi dengan manifestasi klinis berupa SIRS. Berdasarkan hal itu bisa
dikategorikan adanya infeksi, bakterimia, sepsis, syok septik sampai MODS atau
MOF. Kuman penyebab dapat diidentifikasi dari pemeriksaan laboratorium
lengkap yang meliputi pemeriksaan darah, urin, dan kultur dari berbagai cairan
tubuh dan amniosintesis bila dicurigai adanya infeksi intrauterin. Hasil kultur
darah yang positif menguatkan adanya infeksi yang serius. Karena keterbatasan
tehnik kultur hanya 30% kuman penyebab dapat dikenali disamping secara klinis
infeksi
bisa
masih
terbatas
lokal
dan
belum
menstimulasi
reaksi
sistemik.Pemeriksaan kultur darah dilakukan sesegera mungkin begitu muncul
gejala panas.
10
2.6. PENANGANAN
Prinsip penanganan abortus infeksiosus adalah evakuasi kavum uteri,
terapi antibiotik awal, pemberian cairan intravena, oksitosin dan manajemen
nyeri.Begitu diagnosis ditegakkan maka rangkaian terapi harus dimulai secara
agresif dan adekuat dalam waktu kurang dari 6 jam. Patokan yang disebut dengan
“ Early goal directed therapy” telah terbukti dapat menurunkan angka kematian
ibu secara bermakna (May, 2008).
Pendekatan tersebut terdiri dari : pemberian cairan intravena, peningkatan
pemberian oksigen, pemberian obat-obat vasopresor, pemberian obat-obat
inotropik, pemberian transfusi darah, pemberian ventilasi mekanik dan
pemakaian kateter arteri. Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan penyesuaian
kembali, cardiac preload, afterload dan kontraktilitas jantung untuk tujuan akhir
yaitu
tercapainya
keseimbangan
antara
oxygen
delivery
dan
oxygen
demand.(May,2008; Suwiyoga,2006).
1. Pengobatan mencegah gagal nafas
Pada pasien sepsis yang mengalami ancaman gagal nafas ( frekuensi nafas >
35 kali permenit), penurunan kesadaran dan hipoksemia berat maka dilakukan
intubasi endotrakeal dan pemasangan ventilasi mekanik. Adapun kriteria yang
dapat dipakai untuk menentukan apakah seseorang sudah ada dalam kondisi
kegagalan nafas yang mengancam adalah hal-hal sebagai berikut :
a.Mekanikal : kapasitas vital < 15 ml/kg
Frekuensi nafas > 35 kali/menit
b.Oksigenasi : Pa O2 < 70 mmHg dengan FiO2 0,4
P(A-a) O2 > 350 mmHg dengan FiO2 1,0
c.Ventilasi : Pa Co2 > 55 mmHg (pada keadaan akut)
Dead space/tidal volume (vd/Vt > 0,6)
d. End respiratory lung inflation inadekuate for adequate gas exchange.
2. Resusitasi cairan
Salah satu komplikasi utama pasien sepsis adalah adanya vasodilatasi umum
yang diakibatkan oleh pelepasan NO dalam jumlah besar. Disamping itu pada
sepsis, syok hipovolemik juga bisa disebabkan oleh adanya peningkatan kapasitas
11
vascular(penurunan venous return), dehidrasi (karena asupan yang kurang,
kehilangan cairan melalui keringat dan pernafasan) atau karena adanya perdarahan
dan kebocoran plasma. Stabilisasi hemodinamik bertujuan untuk mempertahankan
perfusi jaringan dan menormalkan metabolism selular. Pemberian cairan
kristaloid/ koloid diberikan secara bolus 250-1000 ml selama 5-15 menit setelah
itu dipertahankan sesuai dengan tekanan darah.
3. Pengobatan dengan antibiotika
Pemberian
antibiotika
hendaknya
mempertimbangkan
spektrum
yang
mencakup kuman penyebabnya, farmakokinetik, dosis, cara pemberian, keamanan
serta biaya. Pemberian antibiotika harus diberikan tanpa menunggu hasil kultur
dan dapat dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas. Apabila hasil
kultur dan tes sensitifitas sudah ada maka jenis antibiotika harus disesuaikan
dengan hasil tes sensitifitas yang ada untuk menghindari timbulnya resistensi
antibiotika tersebut. Pada infeksi yang berat dipilih cara pemberian intravena
untuk mempercepat kerja obat. Beberapa pilihan antibiotika pada sepsis adalah :
a. Pada umumnya untuk infeksi yang terkait dengan kehamilan dan
persalinan yang dicurigai dengan infeksi aerob dan anaerob masih
dapat diberikan kombinasi penisilin, aminoglikosid dan klindamisin
atau metronidazole.
b. Sebagai alternatif pada pasien pasien yang tidak mengalami
neutropenia dapat diberikan sefalosporin generasi kedua atau ketiga.
Dapat dipertimbangkan sefalosporin generasi ketiga atau keempat
seperti : cefotaxime, ceftizoxime, ceftriaxon serta meropenem untuk
infeksi yang berat atau infeksi oleh berbagai macam strain bakteri
gram negatif.
c. Pada sepsis berat yang mengancam nyawa direkomendasikan
kombinasi sefalosporin generasi ketiga atau keempat dengan
aminoglikosida.
d. Pada beberapa rumah sakit terdapat bakteri gram negatif yang resisten
terhadap aminoglikosida dan sefalosporin generasi kedua, ketiga dan
empat. Pada kondisi ini dapat diberikan meropenem atau ciprofloxacin.
12
Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap gentamisin, dapat
diberikan Amikasin, Ceftazidime, Meropenem atau Tobramisin. Strain
Enterokokal yang saat ini resisten dengan banyak antibiotika dapat
diberikan klorampenikol, doksisiklin atau flourokuinolon.
e. Obat antijamur tidak dianjurkan diberikan secara rutin, kecuali pada
pasien yang mengalami penurunan imunitas dan kondisi tertentu yang
memudahkan terjadinya infeksi jamur dan dapat diberikan ampotericin
B atau flukonazol.
4. Kontrol sumber infeksi
Sumber infeksi harus segera dihilangkan begitu kondisi pasien
mengijinkan. Pada kasus dengan infeksi luka atau fasciitis dapat dilakukan
debridement, evakuasi produk konsepsi yang tersisa dengan kuretase, drainase
pada abses pelvic, laparatomi dan bahkan bila perlu dilakukan histerektomi.
5. Pemberian kortikosteroid
Meskipun masih kontroversi, penggunaan kortikosteroid dosis kecil
jangka panjang menunjukkan perbaikan hemodinamik dan menurunkan kebutuhan
obat vasopresor, serta menurunkan secara bermakna angka kematian pasien di
ruang intensif serta mengurangi hari rawat inap. Penggunaan kortikosteroid ini
juga tidak terbukti menimbulkan perdarahan saluran cerna, terjadinya superinfeksi
dan hiperglikemia. Dengan demikian maka terapi kortikosteroid dapat diberikan
pada pasien sepsis dan syok septik. Rekomendasi dosis yang diberikan adalah
hidrokortison 50-100 mg intravena setiap 6-8 jam atau 0,8 mg/kg BB/jam per
infuse ditambahkan dengan fluorokortison 50 πg/hari, untuk kemudian dilakukan
tapering-off secara bertahap sesuai dengan kondisi klinis. Pemberian dosis
fisiologis kortikosteroid tersebut dapat diberikan pada kadar kortisol yang normal
atau tinggi dengan asumsi terjadi efek penurunan regulasi reseptor adrenergic
yang disertai dengan respon desentisasi.
6. Pemberian antikoagulan
Sesuai dengan tersedianya fasilitas pada pasien dengan sepsis berat syok
septic dan pasien dengan resiko kematian tinggi (APACHE II > 25) dapat
diberikan recombinant activated protein (rhAPC). Efek terapi yang diharapkan
13
dari rhAPC ini adalah efek antikoagulan dan antifibrinolitik sehingga dapat
memperbaiki kondisi konsumtif koagulopati dan menghambat kaskade inflamasi.
Perdarahan merupakan resiko mayor pemberian activated protein C. seperti
perdarahan intracranial. Kriteria pemberian dan kontraindikasinya dapat dilihat
pada lampiran 1. Score APACHE II dapat dilihat pada lampiran II
7. Pengendalian gula darah
Untuk mencegah kematian akibat MODS, dilakukan pemberian terapi insulin
untuk mengendalikan kadar gula darah pada kadar 80-100mg/dl dan harus
dilakukan monitoring ketat terhadap tanda-tanda hipoglikemi. Pada pasien sepsis
yang mengalami hiperglikemia akan terjadi penurunan fungsi fagositosis netrofil
dan pemberian insulin mampu meningkatkan fungsi tersebut. Potensi insulin yang
lainnya adalah kemampuan untuk menurunkan kejadian apoptosis sel dengan cara
mengaktivasi
pospatidil
inositol3-kinase.
Tanpa
memandang
apapun
mekanismenya, pengendalian gula darah pada pasien kritis penting dilakukan
dengan catatan tetap melakukan monitoring adanya hipoglikemia yang dapat
membahayakan jaringan otak. Kadar gula darah yang direkomendasikan adalah
80-110mg/dl.
8. Penatalaksanaan Koagulasi Intravaskular Diseminata
Koagulasi intravaskular diseminata (KID) adalah proses trombhohemoragik
sistemik yang terkait dengan kondisi klinis tertentu dengan adanya bukti-bukti
laboratorium seperti : 1. Aktivasi prokoagulan, 2.aktivasi fibrinolitik, 3.konsumsi
inhibitor, 4. Kegagalan organ diagnosis KID pada sepsis seringkali sulit
ditegakkan hanya berdasarkan pemeriksaan laboratorium saja, oleh karena hampir
semua laboratorium memberikan nilai abnormal.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif retrospektif
3.2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
mulai 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011
3.3. Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah semua kasus abortus infeksiosus yang datang ke
IRD Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dalam periode 1 Januari 2010
sampai dengan 31 Desember 2011
3.4. Bahan dan cara kerja
Data untuk penelitian ini didapatkan dari :
1. Buku register pasien kamar bersalin Instalasi Rawat Darurat Kebidanan
dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
dari 1 Januari 2010 sampai 31 Desember 2011
2. Catatan medis pasien dengan abortus infeksiosus dari 1 Januari 2010
sampai dengan 31 Desember 2011
3.5. Definisi operasional variabel
1. Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram
2. Abortus infeksiosusadalah abortus inkomplit, dengan riwayat abortus
provokatus kriminalis atau abortus spontan yang disertai minimal 2 dari 4
tanda-tanda yaitu : demam (temperature rectal ≥ 38 C), secret pervaginam
yang berbau atau keluar cairan mukopurulen melalui osteum serviks,
tegang dan kaku dinding perut bawah (dengan atau tanpa nyeri lepas atau
rebound tenderness),nyeri goyang serviks (pada pemeriksaan bimanual)
dan nyeri adneksa. Dalam penelitian ini definisi abortus infeksiosus yang
dipakai adalah yang sudah terdapat pada buku register IRD Kebidanan
RSUP Sanglah.
15
3. Abortus septik adalah abortus infeksiosus berat disertai dengan penyebaran
kuman atau toksin dalam peredaran darah atau peritoneum
4. Syok septik adalah keadaan sepsis ditambah dengan hipotensi walaupun
telah diberikan resusitasi cairan dan adanya perfusi jaringan yang tidak
adekuat.
5.Paritas adalah jumlah melahirkan bayi viabel sebelumnya
6. Umur penderita adalah umur yang sesuai tercantum pada status penderita
dalam hitungan tahun.
7. Pendidikan adalah pendidikan terakhir penderita sesuai dengan yang
tercantum pada status penderita.
8. Pekerjaan adalah pekerjaan utama penderita sesuai yang tercantum pada
status.
9. Status perkawinan adalah status perkawinan penderita yang sah yang sesuai
dengan yang tercantum pada status penderita.
10. Umur kehamilan adalah umur kehamilan saat penderita MRS, ditentukan
dengan rumus Naegle apabila HPHT diketahui dengan jelas dan menstruasi
teratur atau apabila HPHT tidak jelas maka umur kehamilan ditentukan
berdasarkan besar uterus dari pemeriksaan bimanual, umur kehamilan
dinyatakan dalam minggu.
11. Sifat kehamilan adalah kehamilan yang dialami penderita saat datang ke
RS merupakan kehamilan yang sudah direncanakan diinginkan atau
merupakan kehamilan yang tidak diinginkan yang didapat dari status penderita
saat dilakukan anamnesa.
12. Riwayat abortus provokatus kriminalis adalah apabila kejadian abortus
didahului dengan upaya abortus yang tidak aman yang diketahui status
penderita saat dilakukan anamnesa.
13. Alasan abortus provokatus kriminalis adalah alasan yang mendasari
kehamilan yang tidak diinginkan sehingga digugurkan melalui APC
14. Cara APC adalah tindakan yang dilakukan dalam usaha mengakhiri
kehamilan yang tidak diinginkan dengan cara tidak aman seperti: pijatan,
memasukkan alat/bahan lain kedalam kavum uteri dan kuret.
16
15. Tempat APC adalah tempat penderita melakukan tindakan APC yang
diperoleh dari status penderita.
16. Pelaku APC adalah profesi orang yang menurut pengakuan penderita yang
tercantum pada status membantu melakukan aborsi terhadap kehamilannya
(dukun,tenaga kesehatan, sendiri)
17.Lama rawat adalah lama perawatan yang dialami penderita yang
dicantumkan pada status penderita.
18..Komplikasi adalah kelainan yang timbul akibat suatu penyakit yang
mendasari dalam hal ini adalah APC
19. Pemberian Triple antibitika adalah pemberian antibitika seperti ampicillin
injeksi, Gentamisin injeksi dan metronidazole supp.
20. Ruang intensif adalah ruang khusus yang diperlukan oleh penderita untuk
mengobati penyakitnya dalam hal ini ruang ICU/RTI
3.6. Alur penelitian
Pertama dilakukan pencatatan nama dan nomor catatan medis pasien yang
didapatkan dari buku register ruang terima IRD Kebidanan dan Kandungan
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar mulai tanggal 1 Januari 2010
sampai dengan 31 Desember 2011. Setelah didapatkan nomor catatan medis,
dilakukan penelusuran catatan medis di pusat penyimpanan medis, selanjutnya
dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan lembar pengumpul data.
Setelah terkumpul, data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan
dijelaskan secara naratif.
17
Buku register pasien IRD
Kebidanan dan kandungan
Catatan medis pasien di pusat
catatan medis
Koleksi data : lembar
pengumpulan data
Tabulasi Data
Laporan hasil penelitian
Gambar 3.1. Alur penelitian
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ditemukan sebanyak38 kasus abortus infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah dalam kurun waktu Januari 2010 s/d Desember 2011, seperti yang akan
disajikan di bawah ini.
Tabel 4.1Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut umur diRSUPSanglah
Denpasar Januari 2010 sampai dengan Desember 2011
Umur penderita (Tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Remaja akhir (16-19)
9
23,7
Dewasa muda (20-35)
24
63,2
Dewasa tua (>35 tahun)
5
13,1
38
100
Jumlah total
Terdapat 9 kasus (23,7%) abortus infeksiosus pada kelompok umur 16-19 tahun
(< 20 tahun). Data ini menunjukkan bahwa telah terjadi premarital seks pada usia
remaja yang kemudian diikuti dengan upaya menggugurkan karena belum siap
untuk menikah dan mempunyai anak, hal ini sesuai dengan tabel 4.2 dibawah
dimana terdapat 25 kasus (65,8%) abortus infeksiosus pada penelitian ini tidak
menikah atau dalam status belum menikah.Tingginya abortus infeksiosus pada
kelompok usia 20-35 tahun(63,2%) yang kesemuanya adalah kehamilan yang
tidak diinginkan menunjukkan bahwa banyak pasangan usia subur tidak atau
belum menghendaki kehamilan tetapi tidak menggunakan salah satu metode
kontrasepsi. Ini juga menunjukkan tingginya angka unmeet need. Laporan Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Bali tahun 2011 manyampaikan bahwa
angka unmeet need di Bali sebesar 3,90%. (Profil hasil pendataan keluarga 2011)
Masih ada 5(13,1%) kasus kehamilan pada usia diatas 35 tahun yang tidak
diinginkan dan melakukan upaya menggugurkan kandungan sehingga terjadi
abortus infeksiosus. Mereka juga tidak mempergunakan metode kontrasepsi
tertentu untuk mencegah kehamilan.
19
Tabel 4.2Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut status penderitadi RSUP
Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Status penderita
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Sudah menikah
13
34,2
Belum menikah
22
57,9
Cerai
3
7,9
38
100
Jumlah total
Dari tabel 4.2 diatas tampak bahwasebagian besar kasus abortus infeksiosus
adalah tidak menikah atau sudah cerai. Sebanyak 25 kasus(65,8%) dengan status
belum menikah atau cerai yang semuanya tidak menginginkan kehamilan. Hal
serupa juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rai (2009) di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dimana didapatkan sebanyak 31 kasus
(58,9%) penderita abortus infeksiosus berstatus belum menikah. Data ini sangat
relevan dengan apa yang disampaikan oleh WHO tentang” dramatic change in
sexual behavior”. Hal ini ditandai dengan tingginya hubungan seks usia muda,
premaritalmaupun extra marital sex dan berganti-ganti pasangan. Disamping
berkaitan dengan Sexual Transmitted Diseases (STD), hal tersebut juga
menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) sehingga
berakhir menjadi unsafe abortion.
Tingginya kejadian abortus infeksiosus yang dilatarbelakangi oleh
kehamilan yang tidak diinginkan dan dalam status diluar pernikahan menunjukkan
adanya barriers atau hambatan untuk mendapatkan akses safe abortion.Beberapa
hambatan untuk merealisasikan pelayanan abortus aman (safe abortion services)
diantaranya hambatan sosial, hambatan ekonomi,hambatan budaya dan hambatan
legalitas karena berkaitan dengan hukum pada suatu negara dimana tidak semua
negara melegalkan aborsi.
20
Tabel 4.3Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut paritas di RSUP Sanglah
Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Paritas
Jumlah (orang)
Persentase (%)
0
22
57,9
1
3
7,9
2
9
23,7
3
4
10,5
Jumlah total
38
100
Dari tabel 4.3 tampak bahwa sebagian besar kasus abortus infeksiosus (65,8%)
terjadi pada paritas rendah dan bahkan 57,9% belum mempunyai anak. Apakah
suatu kebetulan kalau jumlah atau prosentase kasus abortus infeksiosus yang
statusnya tidak menikah atau cerai,sama dengan yang status paritasnya
rendahyaitu mempunyai satu anak atau belum mempunyai anak?, kemungkin ini
benar adanya sehingga dapat dipahami bahwa kehamilan yang terjadi diluar
pernikahan akan diikuti oleh keinginan untuk menggugurkannya atau unsafe
abortion.
Tabel 4.4Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut pendidikan terakhir, di
RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Pendidikan terakhir
Jumlah
Persentase (%)
SD
5
13,2
SMP
10
26,3
SMA
22
57,9
Sarjana
1
2,6
Tidak sekolah
-
-
38
100
Jumlah total
Dari tabel 4.4 tampak bahwa karakteristik pasien dengan abortus infeksiosus
periode Januari 2010 s/d Desember 2011 sebagian besar(84,2%) mempunyai
pendidikan di tingkat menengah(SMP dan SMA). Tingkat pendidikan ini
sebenarnya cukup untuk memahami masalah-masalah seputar kesehatan
reproduksi namunsayang sekali tidak semua sekolah tingkat SMP maupun SMA
mempunyai kurikulum yang berisikan masalah kesehatan reproduksi. Disamping
21
itu, sering tidak berkaitan secara langsung antara pendidikan formal dengan
prilaku seksual seseorang.
Hal serupa juga didapatkan pada penelitian Rai (2009) dimana 35 kasus
(62,5%) kasus abortus infeksiosus dengan latar belakang pendidikan SMA. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Nurhata (2004) di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah pun dijumpai tingkat pendidikan SMA yang paling banyak yaitu sebesar
80%. Hal ini menunjukkan dari segi pendidikan penderita yang melakukan
abortus infeksiosus memiliki tingkat pendidikan yang cukup tetapi tidak
mencerminkan baiknya pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi,
bahayanya melakukan seks pranikah seperti terjadinya unwanted pregnancy dan
resiko terkena penyakit menular seksual apabila melakukan hubungan seks tanpa
perlindungan kontrasepsi.
Tabel 4.5Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut pekerjaan di RSUP
Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Pekerjaan penderita
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Tidak bekerja
1
2,6
Ibu rumah tangga
6
15,8
Pegawai Swasta
25
65,8
Pelajar
5
13,2
Lain-lain
1
2,6
38
100
Jumlah total
Dari tabel 4.5 tampak bahwa karakteristik pasien abortus infeksiosus
periodeJanuari 2010 s/d Desember 2011 menurut pekerjaan terbanyak adalah
pegawai swasta sebesar 65,8%. Hal serupa juga didapatkan pada penelitian
Rai(2009)dimana didapatkan 58,9% pekerjaan penderita adalah pegawai swasta.
Hal ini menunjukkan penderita abortus infeksiosus mempunyai penghasilan
ataupun bekerja namun tidak mencerminkan kesiapan mereka untuk menikah dan
membangun rumah tangga.
Dilihat
dari
etnisitasnya,
sebagian
besar(63,2%)
kasus
abortus
infeksiosus adalah suku Bali, dan sisanya(36,8%) bukan Bali. Hal ini dapat
menjadi cerminan terjadinya pergaulan danseks bebas yang pada akhirnya
22
menjadi kehamilan yang tidak diinginkan, mungkin merupakan dampak dari
mudahnya memperoleh informasi berkaitan dengan pornografi tanpa disertai
dengan sex educationuntuk memahami pentingnya kesehatan reproduksi, bahaya
seks bebas, pentingnya informasi dan pelayanan kontrasepsi.
Tabel 4.6Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut sistem pembiayaan di
RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Sistem pembiayaan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Umum
30
79,0
JKBM
4
10,5
Jamkesmas
-
-
Jampersal
4
10,5
38
100
Jumlah total
Dari 38 kasus abortus infeksiosus di RSUP Sanglah Denpasar sebagian besar
kasus(79,0%) tidak mempunyai sistem pembayaran atau membayar sendiri(out of
pocket). Tentu saja ini menjadi beban ekonomi bagi perempuan itu sendiri dan
keluarganya. Sisanya sebanyak 21% menggunakan JKBM dan Jampersal, hal ini
menjadi beban bagi negara untuk membayar tindakan yang tidak perlu, yang
seharusnya dapat dicegah.Sistem pembiayaan umum, tidak mencerminkan kalau
pelaku abortus infeksiosus berasal dari keluarga yang mampu karena seringkali
mereka membayar lebih dahulu atau mendaftar sebagai pasien umum, namun
setelah selesai tindakan keesokan harinya mereka melakukan klaim pembayaran
dengan menggunakan jaminan asuransi kesehatan. Kesimpulannya, hal ini berarti
status sosial tidak berpengaruh terhadap angka kejadian abortus infeksiosus.
Sebagian besar(68,4%) kasus abortus infeksiosus diantar oleh bukan
suaminya(pacar, orang tua, keluarga). Bahkan ada tiga kasus(7,9%) yang diantar
oleh orang lain. Mungkin disebabkan oleh karena kehamilan yang dialaminya
bukan dari pasangan usia subur yang sah atau ilegal. Hanya 12 kasus(31,6%),
yang menunjukkan bahwa penderita sudah menikah dan tindakan menggugurkan
kandungan tersebut juga atas sepengetahuan atau persetujuan suami. Hal ini
mungkin dikarenakan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan tersebut akibat
gagal kontrasepsi ataupun penderita dan suami tidak memakai satu metode
23
kontrasepsipun untuk menghindari kehamilan yang tidak mereka inginkan, hal ini
menunjukkan terdapat ambivalensi antara pikiran dan perilaku penderita, disatu
sisi tidak menginginkan kehamilansedangkan disisi yang laintidak menggunakan
metode kontrasepsi.
Kasus abortus infeksiosus yang dirawat di RSUP Sanglah pada periode
diatas hanya 23,7% yang mengeluh nyeri perutdan badan panas. Sebagian besar
kasus(76,3%) datang dengan keluhan perdarahan pervaginam. Hal serupajuga
didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rai(2009) dimana 58% penderita
terbanyak datang dengan keluhan perdarahan pervaginam. Hal ini mungkin
mencerminkan adanya ketakutan penderita dan keluarganya setelah ada
perdarahan pervaginam sehingga baru memutuskan untuk mencari pertolongan ke
sarana kesehatan.
Tabel 4.7Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut kontrasepsi yang
digunakan terakhir di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Kontrasepsi terakhir
Jumlah (orang)
Persentase (%)
KB Suntik
5
13,1
Pil
2
5,3
Kondom
1
2,6
KB alamiah
2
5,3
Tidak memakai KB
28
73,7
38
100
Jumlah total
Sebagian besar kasus abortus infeksiosus(73,7%) tidak menggunakan
kontrasepsi, kalaupun menggunakan metode kontrasepsi hanya 13,1% yang
menggunakan kontrasepsi suntik sebagai Metode Kotrasepsi Jangka Panjang
(MKJP). Hal ini menunjukkan masih tingginya kehamilan yang tidak diinginkan
oleh karena tidak memakai kontrasepsi seperti yang telah dijelaskan diatas
berkaitan dengan ambivalensi pikiran dan perilaku. Demikian juga dengan
penggunaan kontrasepsi barrier kondom yang hanya sebesar 2,6%. Seperti kita
ketahui kondom bersifat dual protection, disamping untuk mencegah kehamilan
juga mencegah penyakit menular seksual. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya
pemahaman mereka akan hal itu atau dapat juga berkaitan dengan biaya karena
24
harus membeli kondom, ataupun ada perasaan tidak nyaman disertai kurang
nikmat jika berhubungan seks menggunakan kondom.
Data menunjukkan bahwa seluruh kasus adalah kehamilan yang tidak
direncanakan dan juga tidak diinginkan, sehingga seluruhnya juga melakukan
upaya untuk mengakhiri kehamilan. Berbagai alasan yang menjadi pertimbangan
untuk melakukan upaya pengakhiran kehamilan diantaranya, belum siap menikah
pada 22 kasus(57,9%), belum siap untuk mempunyai anak lagi 10 kasus(26,3%),
dan sisanya karena alasan biaya/ekonomi pada 6 kasus(15,8%). Hal serupa juga
didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rai (2009) dimana alasan
menggugurkan terbanyak yaitu 44,6% penderita oleh karena belum siap menikah.
Hal ini berbeda dengan survey kesehatan reproduksi remaja Indonesia
tahun 2007 dimana diketahui sangat sedikit remaja yang mengalami kehamilan
yang tidak diinginkan yaitu kurang dari satu persen. Enam puluh persen
responden yang pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan telah
mengakhirinya, baik aborsi disengaja maupun spontan, sementara itu 40% sisanya
tetap melanjutkan kehamilannya termasuk yang pernah mencoba melakukan
aborsi namun gagal (SKRR, 2007).
Berbagai metode digunakan untuk mengakhiri kehamilan diantaranya;
dengan memasukkan benda asing ke vagina pada sebagian sebesar kasus(47,3%),
minum jamu/obat 7kasus(18,4%), menggunakan gabungan berbagai metode pada
11 kasus(29,1%), dan sisanya 2 kasus(5,2%) dilakukan pijatan. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Rai (2009) terbanyak upaya menggugurkan dilakukan dengan
memasukkan alat kedalam vagina yaitu sebesar 32,1%, memakai obat
(misoprostol) sebesar 25%, memakai batang sirih sebesar 17,9%, kuret sebesar
8,9%. Hal ini sesuai dengan teori infeksi tidak langsung melalui vehicle bornyaitu
terjadinya infeksi melalui perantaraan alat yang tidak steril dan mengandung
kuman baik aerob maupun anaerob.
25
Tabel 4.8Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut tempat menggugurkan di
RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Tempat menggugurkan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Dirumah sendiri
12
31,6
Didukun
19
50,0
Tenaga kesehatan
7
18,4
38
100
Jumlah total
Dari tabel 4.8tampak yang menarik disini adalah Bali sebagai daerah pariwisata
tujuan internasional dengan masyarakatnya yang pluralistik, masih mempercayai
dukun untuk menangani masalah kesehatan apalagi yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi. Hal ini dapat terjadi oleh karena penderita dengan
kehamilan yang tidak diinginkan tidak mempunyai tempat kesehatan yang dituju
untuk membantu mereka menyelesaikan permasalahannya sehingga tidak terdapat
pilihan lain selain meminta bantuan dukun. Umumnya dukun yang melakukan
gugur kandung di Bali baik laki-laki maupun perempuan memiliki keahliannya
turun temurun, diwariskan dari orang tua, kakek ataupun neneknya dengan
menggunakan metode yang juga dilakukan turun temurun. Hal ini berkaitan
dengan tidak adanya self abortion services yang legal, tidak adanya tempat
pelayanan kesehatan yang dapat mereka percaya, yang memberikan rasa nyaman
dan aman, ditambah lagi tindakan ini merupakan sesuatu yang bersifat ilegal
berkaitan dengan sangsi hukum sehingga secara sembunyi-sembunyi meminta
dukun untuk membantu mereka.Satu hal lagi yang menarik dari tabel 4.8 ini
adalah terdapatnya tenaga medis yang melakukan upaya gugur kandung,
seharusnya mereka diharapkan membantu namun menimbulkan masalah bagi
penderita dengan timbulnya infeksi dari tindakan kuret yang mereka lakukan. Hal
ini tentu saja berkaitan dengan sterilitas alat dan kemampuan untuk melakukan
tindakan.
26
Tabel 4.9Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut umur kehamilan penderita
saat datang di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Umur kehamilan/minggu
Jumlah (orang)
Persentase (%)
6-8
2
5,3
9-10
6
15,8
11-12
5
13,1
>12
25
65,8
Jumlah Total
38
100
Dari tabel 4.9 tampak usia kehamilan pada kasus abortus infeksiosus pada
penelitian ini didapatkan dari data hari pertama menstruasi terakhir dan
dicocokkan dengan besarnya uterus pada pemeriksaan ginekologis. Abortus
spontan 80% terjadi pada usia kehamilan 8-10 minggu sedangkan pada penelitian
ini hanya 21,1 % terjadi pada kehamilan 6-10 minggu. Sebagian besar abortus
infeksiosus terjadi pada usia kehamilan > 10 minggu (78,9%), bahkan sebanyak
25 kasus (65,8%) adalah usia kehamilan > 12 minggu. Pada penelitian ini seluruh
kasus (100%) merupakan kehamilan yang tidak direncanakan bahkan tidak
diinginkan. Ada
kemungkinan panderita baru menyadari adanya kehamilan
setelah mengalami keterlambatan haid selama satu bulan, sehingga secara
ultrasonografi usia kehamilan > 10 minggu.
Tabel 4.10Distribusi kasus abortus infeksiosus di RSUP Sanglah Denpasar Januari
2010 sd Desember 2011menurut komplikasi.
Komplikasi penderita
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Perforasi uterus
-
-
DIC
2
5,3
Sepsis
1
2,6
Tidak ada komplikasi
35
92,1
Jumlah total
38
100
Dari tabel 4.10 tampak bahwa karakteristik pasien abortus infeksiosus menurut
komplikasi yaitu sebesar 92,1% penderita tidak mengalami komplikasi, sebesar
5,3% mengalami DIC dan 2,6 % penderita mengalami sepsis. Penderita yang
mengalami sepsis adalah seorang wanita, 35 tahun (P2-15 tahun),rujukan dokter
ahli kandungan dengan diagnosis abortus septik suspek DIC, bertempat tinggal di
27
Jimbaran Kuta, Badung, pekerjaan swasta, status cerai sudah 3 tahun, mempunyai
pacar yang sudah memiliki istri dengan tiga orang anak, mengalami kehamilan
yang tidak diinginkan, tidak memakai kontrasepsi,terdapat riwayat telat haid,
melakukan abortus provocatus criminalis (APC) di sebuah klinik di daerah
Tabanan dan diberi obat minum berupa pil warna putih. Datang ke RSUP Sanglah
dengan keluhan perdarahan pervaginam, kesadaran compos mentis, febris dengan
temperatur rektal : 39 ̊C, pemeriksaan inspekulo didapatkan fluksus berbau.
Pemeriksaan penunjang PPT test (+), WBC : 19,59, Hb: 8,6gr/dl, trombosit : 260,
BT/CT : 2’00”/7’30”, PT/APTT : 12,1/49,6 ; FDP/D-dimer : > 40. Penanganan
dengan triple antibiotika kemudian dilakukan kuretase setelah 6 jam bebas
panas.Penderita dirawat diruang intensif selama 7 hari.
Setelah menjalani
perawatan 20 hari penderita membaik dan diijinkan pulang untuk selanjutnya
menjalani rawat jalan dipoliklinik kebidanan RSUP Sanglah.
Tabel 4.11Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut lama perawatan penderita
saat datang di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Lama perawatan
Jumlah (orang)
Persentase
<3 hari
7
18,4
3-4 hari
15
39,5
5-9 hari
15
39,5
>10 hari
1
2,6
Jumlah total
38
100
Dari tabel 4.11 tampak bahwa sebesar 57,9% kasus abortus infeksiosus
memerlukan perawatan dirumah sakit selama 4 hari atau kurang.Hal ini
mencerminkan cukup baiknya pelayanan dan penanganan yang sudah diberikan,
disamping memang penderita abortus infeksiosus yang datang ke RSUP Sanglah
masih dalam keadaan umum yang baik. Sedikitnya masa rawat inap di rumah sakit
tentu saja akan mengurangi biaya / cost yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.
28
Tabel 4.12Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut perawatan diruang
intensif penderita saat datang di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd
Desember 2011
Perawatan di Ruang Intensif
Jumlah (total)
Persentase
Ya
1
2,6
Tidak
37
97,4
Jumlah total
38
100
Dari tabel 4.12 tampak bahwa karakteristik pasien abortus infeksiosus menurut
perawatan diruang intensif yaitu sebesar 97,4% tidak memerlukan perawatan
intensif dan sebesar 2,6% memerlukan perawatan diruang intensif.
Tabel 4.13Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut keadaan penderita saat
pulang di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011
Keadaan saat pulang
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Membaik/sembuh
32
84,2
Pulang paksa
6
15,8
38
100
Jumlah total
Dari tabel 4.13 tampak bahwa karakteristik pasien abortus infeksiosus menurut
kondisi pasien saat pulang yaitu sebesar 84,2% pasien membaik atau sembuh,
sebesar 15,8% penderita meminta pulang paksa dengan alasan biaya, tidak
ditemukan pasien yang meninggal dunia.
Pada penelitian deskriptif yang kami lakukan didapatkan secara klinis
penderita abortus infeksiosus yang datang ke RSUP Sanglah Denpasar masih
baik. Hal ini terlihat dari data bahwa seluruhnya (100%) datang dalam keadaan
sadar (compos mentis) , tekanan darahnya normal (100%), denyut nadi (73,7%)
masih normal, demikian juga dengan respirasi masih dalam batas normal (94,2%).
Gambaran klinis yang mendukung abortus infeksiosus adalah suhu tubuh rektal >
38 ̊C sebesar 81,5 % , takikardia 26,3 % serta hasil pemeriksaan ginekologi yang
dilakukan. Pada penelitian ini sebagian besar kasus masih mempunyai data
laboratorium yang baik sebesar 97,4% kadar Hb nya masih normal atau anemia
ringan dan sedang. Hanya sebesar 2,6% saja yang disertai anemia berat . Hal yang
sama juga didapatkan pada kadar Leukosit, Trombosit , BT/CT dan LED nya.
Penanganan yang diberikan pada penderita abortus infeksiosus pada penelitian ini
29
adalah sesuai dengan protap yang berlaku dibagian Kebidanan dan Penyakit
Kandungan RSUP Sanglah Denpasar yaitu sebesar 100% dilakukan kuretase 6
jam bebas panas atau 12 jam setelah pemberian antibiotika. Hal ini bermakna
dengan tingkat kesembuhan penderita dimana seluruh penderita pulang dalam
keadaan baik dan hal tersebut juga membuat hari rawat penderita menjadi lebih
pendek sehingga ditinjau dari segi ekonomi costnya lebih sedikit. Hal serupa
didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Supriatmaja(2006) di RSUP
Sanglah, pada penelitian tersebut didapatkan perbedaan yang bermakna dalam
lamanya perawatan penderita abortus infeksiosus dimana kuretase segera dapat
mempersingkat lama perawatan dibandingkan kuretase tunda. Tidak ditemukan
adanya komplikasi pada kedua kelompok penelitian.
Didapatkan sebanyak 84,2% pasien abortus infeksiosus yang ditangani
atau mendapat pengobatan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dalam
keadaan membaik/ sembuh, tidak didapatkan pasien yang meninggal. Hal ini
menjadi cerminan jika pelayanan terhadap pasien abortus infeksiosus di RSUP
Sanglah sudah cukup baik sesuai dengan prosedur pelayanan seperti pemberian
triple antibiotika, kuretase 6 jam bebas panas atau 12 jam setelah pemberian
antibiotika. Disamping hal tersebut juga dipengaruhi kondisi penderita saat datang
masih dalam kondisi baik dan stabil ditunjukkan dengan vital sign yang masih
baik
serta peran keluarga, suami, saudara ataupun pacar dalam mengambil
keputusan untuk segera berobat ke RSUP Sanglah juga menjadi peranan sangat
penting untuk keselamatan penderita.
30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Terdapat 38 kasus abortus infeksiosus dalam kurun waktu Januari 2010 sampai
dengan Desember 2011 di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali
dengan karakteristik sebagai berikut :
Kelompok umur terbanyak adalah usia 20-35 tahun sebesar 63,2%, sebanyak
65,8% kasus tidak menikah atau dalam status belum menikah, menurut paritas
terbanyak adalah paritas 0 sebesar 57,9%, menurut pendidikan terbanyak yaitu
menengah (SMP dan SMA) sebesar 84,2%, dengan pekerjaan terbanyak adalah
sebagai pegawai swasta sebesar 65,8%, suku terbanyak adalah suku Bali sebesar
63,2%, sistem pembayaran terbanyak adalah umum sebesar 79,0%, keluhan saat
datang adalah perdarahan pervaginam sebesar 76,3%, sebesar 73,7% kasus tidak
menggunakan kontrasepsi, seluruh kasus 100% merupakan kehamilan yang tidak
diinginkan dengan adanya upaya untuk menggugurkan kandungan, dengan alasan
belum siap menikah sebesar 57,9%, metode menggugurkan kandungan terbanyak
dengan memasukkan benda asing kedalam vagina sebesar 47,3%, tempat
menggugurkan terbanyak adalah didukun sebesar 50%, terbanyak usia kehamilan
> 12 minggu sebesar 65,8%, komplikasi yang ditimbulkan DIC sebanyak 2 kasus
(5,3%) dan sepsis 1 kasus (2,6%) yang memerlukan perawatan diruang intensif,
rata-rata lama perawatan kurang dari atau sampai dengan 9 hari sebesar 79,0%,
sebesar 84,2% kasus pulang dengan keadaan membaik atau sembuh dan 6 kasus
(15,8%) pulang paksa, tidak terdapat kasus kematian maternal oleh karena abortus
infeksiosus. Hal ini mencerminkan sudah baiknya penanganan abortus infeksiosus
disamping kondisi saat penderita datang masih stabil dan adanya dukungan
saudara, keluarga bahkan pacar untuk segera berobat.
V.2 Saran
 Diperlukan upaya yang baik untuk menurunkan kejadian abortus
infeksiosus dengan melakukan promosi kesehatan sepertimenghindari
hubungan seks pra nikah, pentingnnya pemakaian kontrasepsi untuk
31
menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dengan menerapkan prinsip
ABC seperti abstinensi tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum
menikah dan tidak punya pasangan, Be Faith yaitu setia kepada satu
pasangan saja, Condombersifat dual protection yaitu berguna untuk
mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual.
 Diperlukan sistem yang baikdan peraturan yang jelas serta kerjasama
berbagai pihak/lintas sektor untuk melakukan manajemen/penanganan
kehamilan yang tidak diinginkan sehingga tidak berlanjut menjadi abortus
infeksiosus bahkan sepsis
 Adanya
lembaga
khusus
dibawah
bimbingan
pemerintah
untuk
memberikan pelayanan terhadap kasus kehamilan yang tidak diinginkan
untuk mencegah tindakan unsafe abortion.
 Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut karena penelitian deskriptif ini
hanya menggunakan data sekunder yaitu dari register dan rekam medik
32
DAFTAR PUSTAKA
Aslam AF, Aslam AK, Thakur AC, Vasavada BC, Khan IA (2005)
Staphylococcus aureus infective endocarditis and septic pulmonary embolism
after septic abortion, International journal of Cardiology 105,233-235.
Adler AJ, Fillipi S, Thomas SL, Ronsmans C (2012) Incidence of severe acute
maternal morbidity associated with abortion : a systematic review. Tropical
medicine and international health; vol 17(2) ,177-190.
Ashma R, Neelam P, Geeta G, Meeta S (2004) Induced septic abortion : A major
factor in maternal mortality and morbidity, Journal Obstet Gynaecol 30 (1),3-8
Ann B, Howard U (2012) Septic Abortion, Department of Gynecology and
Obstetrics, Harvard Medical School, vol 189(12),919-923
Bakta M (2006) Sistem Eritroid dalam Hematologi Klinik Ringkas.9-25
Buchmann E, Kunene B, Pattinson R (2007) Legalized pregnancy termination and
septic abortion mortality in south Africa.191-192
Cunningham,F.G.Leveno,K.J.Bloom,S.L.Hauth,J.C.Rause,D.J. Spong,C.Y. 2010.
Abortion.In : Williams Obstetrics 23rd Edition. New York : Mc Graw Hill.P.215237.
Clarisa R, Mary D, Jesse C, Amy CH, Alka S, Kurt TB (2005) Risk Factors for
spontaneous abortion in early symptomatic first-trimester pregnancies. American
college of obstetrician and Gynecologists, vol 106 (5),993-999
Darmadi (2008) Cara Penyebaran dan Sifat Penyakit Infeksi dalam Infeksi
Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya.hal 5-12.
Darmadi (2008) Faktor Mikroba Patogen dalam Infeksi Nosokomial Problematika
dan Pengendaliannya. Hal 23-30.
Fetters T, Vonthanak S, Picardo C, Rathavy T (2008) Abortion related
complication in Cambodia, BJOG.
33
Finkielman JD, De Feo FD, Heller PG, Afesa B (2004) The Clinical course of
patients with septic abortion admitted to an intensive care unit. Intensive care
med,30;1097-1102
Gilda S, Stanley K, Henshaw, Susheela S, Akinrinola B, Joanna D (2007) Legal
Abortion Wordwide : Incidence and Recent Trends, International Family planning
Perspectives 33(3),106-116
Kornia K, Kristanto H (2012) Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri,
Penatalaksanaan Sepsis Maternal Bab XII, 184-203
Kaponis A, Papatheodorou S, Makrydimas G (2010) Septic shock due to
klebsiella pneumonia after medical abortion with misoprostol only regimen,
American society for reproductive medicine 94,1-3.
May W, Gulmezoglu AM, Ba-Thike K (2008) Antibiotic for incomplete abortion
(Review) The Cochrane collaboration
Mudumbi SV (2009) Disseminated cryptococcosis in an HIV-negative pregnancy
: a case of cryptococcal septic abortion complicating an immunocompetent
pregnancy, International journal of Infectious Diseases 14,351-353
Manuaba IB (2002) Konsep Obstetri & Ginekologi Sosial Indonesia, Masalah
Obstetri Sosial yang dihadapi Indonesia, 72-111
Mose JC, Firman FW, Handono B (2009) Aspek klinis abortus dalam Abortus
berulang, 1-13
Osazuwa H, Aziken M (2007) Septic abortion : a review of social and
demographic characteristic. Arch Gynecol Obstet 275,117-119.
Phillip GS, David AG (1994) Septic Abortion. Review article.The New England
Journal of Medicine.310-314
Profil Remaja dalam Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2008
Profil hasil pendataan keluarga 2011
34
Rai W (2009) Prevalensi Bakteri Aerob dan Tes Kepekaan Terhadap Antibiotika
Pada Abortus Infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Tesis
Smiti N, Krishna S, Umber A (2002) The Ugly face of Septic Abortion (case
report), European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology
105,71-72
Steinkraus GE, Wright BD (1994) Septic Abortion with intact fetal membranes
caused by Campylobacter fetus subs. Fetus, journal of clinical microbiology 32(6)
1608-1609.
Suwiyoga KT, Supriatmaja MD (2006) Lama perawatan dan komplikasi kuretasi
segera dan tertunda pada abortus infeksiosus, Cermin dunia kedokteran 151, 1114
Vibeke R (2011) Unsafe abortion and postabortion care-an overview,
Departement
of
Obstetrics
and
Gynecology,
Odense
University
Hospital,Denmark,629-700
Wiebe E, Hempstock W (2007) Comparison of four regimens of misoprostol after
methotrexate for early abortion, university of british Colombia
35
Download