KARAKTERISTIK PASIEN ABORTUS INFEKSIOSUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI 1 JANUARI 2010 - 31 DESEMBER 2011 dr. I Made Darmayasa SpOG (K) BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/ RSUP SANGLAH DENPASAR 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Terdapat 5 penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia yaitu perdarahan, sepsis, hipertensi, persalinan lama dan unsafe abortion. Angka Kematian Ibu (AKI) yang disebabkan oleh kondisi medis langsung terbanyak (25%) disebabkan oleh perdarahan, diikuti oleh infeksi (15%), unsafe abortion (13%), eklampsia (12%), persalinan lama dengan atau tanpa pecah ketuban (8%) dan penyebab lainnya (8%). Meskipun sudah mulai jarang tetapi bila infeksi terjadi pada saat hamil, persalinan dan nifas yang tidak ditangani dengan baik bisa berkelanjutan menjadi sepsis, syok septik dan berkembang menjadi Multi Organ Dysfunction Syndrome (MODS), yang menimbulkan mortalitas yang sangat tinggi (Kornia,2012). Abortus infeksiosus merupakan permasalahan kesehatan yang terjadi hampir di setiap negara terutama negara yang tidak mempunyai peraturan yang jelas tentang aborsi. Menurut World Health Organization (WHO) kejadian abortus yang tidak aman adalah tinggi. Dinegara berkembang di seluruh dunia diperkirakan setiap tahunnya terdapat kurang lebih lima juta wanita masuk rumah sakit untuk mendapatkan penanganan berkaitan dengan abortus yang tidak aman. Bagaimanapun juga evidence base angka kejadian abortus yang tidak aman ini sangat lemah, masih merupakan perkiraan saja karena tidak adanya data yang jelas dari masing masing negara.Tidaklah mengherankan jika kejadian abortus infeksiosus lebih banyak didapatkan di negara miskin dimana aborsi menjadi sesuatu yang tidak legal atau akses untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman masih sulit (Kornia,2012). Munculnya komplikasi abortus infeksiosus seperti perdarahan, sepsis sampai dengan kematian membuat pencegahan dan penanganan abortus yang tidak aman ini menjadi sesuatu yang harus mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak terutama sektor kesehatan dengan memberikan pelayanan 1 kesehatan yang memadai, memberikan informasi, edukasi serta penanganan medis yang cepat dan tepat (Manuaba, 2002). Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian deskriptif tentang karakteristik pasien abortus infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali untuk mendapatkan gambaran secara umum penderita abortus infeksiosus. 1.2.Permasalahan Berapa kasus abortus infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah sejak 1 Januari 2010 s/d 31 Desember 2011? Bagaimana karakteristik penderita abortus infeksiosus? Bagaimana gambaran klinis penderita abortus infeksiosus? Bagaimana gambaran laboratorium penderita abortus infeksiosus? Bagaimana metode pengguguran penderita abortus infeksiosus? Bagaimana komplikasi yang ditimbulkan abortus infeksiosus? Bagaimana angka kematian maternal dari penderita infeksiosus? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana profil penderita abortus infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dalam periode 1 Januari 2010 s/d 31 Desember 2011. 1.3.2. Tujuan Khusus Mengetahui jumlah kasus abortus infeksiosus? Mengetahui karakteristik penderita abortus infeksiosus Mengetahui gambaran klinis penderita abortus infeksiosus? Mengetahui gambaran laboratorium penderita abortus infeksiosus? Mengetahui metode pengguguran penderita abortus infeksiosus? Mengetahui komplikasi yang ditimbulkan abortus infeksiosus Mengetahui angka kematian maternal penderita abortus infeksiosus? 2 1.4.Manfaat Penelitian Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar bila dilakukan penelitian mengenai abortus infeksiosus lebih lanjut. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data dasar untuk melakukan evaluasi mengenai profil penderita abortus infeksiosus, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan terhadap penderita abortus infeksiosus. 3 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.PENGERTIAN ABORTUS INFEKSIOSUS Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum usia kehamilan 20 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir atau berat janin kurang dari 500 gram. Menurut cara terjadinya, abortus dapat digolongkan menjadi 2yaitu abortus spontan dan abortus buatan. Pada tahun 1993 WHO membagi abortus buatan menjadi dua yaitu : 1. Safe abortionyaitu abortus yang aman dimana tindakan pengakhiran kehamilan dilakukan oleh tenaga profesional dengan fasilitas medis yang memenuhi syarat . 2. Unsafe abortionyaitu abortus yang tidak aman dimana tindakan pengakhiran kehamilan yang tidak diinginkan dilakukan oleh tenaga tidak terdidik dan dilakukan ditempat yang tidak memenuhi syarat standar medis serta sering menyebabkan komplikasi. Abortus infeksiosus adalah berakhirnya kehamilan sebelum waktunya dengan usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram yang disertai infeksi pada uterus, adneksa, parametrium, peritoneum dan akibat lebih jauh menyebabkan sepsis (Cunningham FG, 2012). 2.2. FAKTOR PENYEBAB Penyebab utama abortus infeksiosus adalah adanya manipulasi alat- alat genital seperti memasukkan benda asing dalam rongga rahim dalam keadaan tidak steril. Umumnya infeksi terbatas pada desidua dan dapat juga menyebar ke miometrium, tuba, parametrium bahkan ke peritoneum yang menyebabkan peritonitis generalisata.Beberapa faktor yang berkaitan pada abortus infeksiosus seperti adanya abortus infeksiosus sebelumnya, paritas, status perkawinan, usia penderita, kuman penyebab, usia kehamilan (Smiti,2002). Kebanyakan infeksi bersifat poli-mikrobial yang bisa terdiri dari bakteri atau kokus gram negatif maupun gram positif, spesies anaerob maupun aerob serta kemungkinan terlibatnya infeksi oleh jamur. 4 Kokus gram positif : Pneumococcus, Streptococcus grup A, B dan D; Staphilococcus aureus. Bakteri gram negatif: Escheria Coli, Haemophylus influenza, spesies Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas dan Serratia. Bakteri gram positif : Listeria monocytogenes.Bakteri Anaerob: Spesies Bacteroides, Clostridium perfringens, Fusobacterium, Peptococcus, Peptostreptococcus. Komplikasi dapat berupa perdarahan, gagal ginjal, syok akibat perdarahan dan sepsis. Syok akibat infeksi disebut dengan endotoksin syok yang sering berakibat fatal ( Smiti,2002;Fetters,2008 ). 2.3. PATOGENESIS Dalam garis besarnya mekanisme transmisi mikroba pathogen ke pejamu yang rentan (susceptible host) melalui dua cara yaitu : 1. Transmisi langsung (direct transmission) yaitu penularan langsung oleh mikroba pathogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejamu. Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan, ciuman, atau adanya droplet nucleisaat bersin, batuk, berbicara atau saat transfusi darah dengan darah yang terinfeksi mikroba pathogen. 2. Transmisi tidak langsung (indirect transmission) yaitu penularan mikroba pathogen yang memerlukan media perantara baik berupa benda(vehicle borne), air, udara maupun vector(Darmadi,2008). Abortus Provokatus Kriminalis (APC) termasuk indirect transmission karena terjadinya abortus buatan dengan menggunakan media, alat atau bahan (vehicle borne) yang tidak bersih dan steril sehingga akan menimbulkan infeksi, hal ini dalam obstetri sosial lebih dikenal dengan unsafe abortion. Proses terjadinya infeksi dapat dibedakan menjadi tiga tahap yaitu tahap pertama mikroba pathogen bergerak menuju tempat yang menguntungkan melalui mekanisme penyebaran (mode of transmission) seperti telah dijelaskan sebelumnya yaitu directatauindirect.Tahap kedua yaitu mikroba pathogen melakukan invasi kejaringan/organ pejamu dengan mencari akses masuk untuk masing-masing penyakit (port d’entre) seperti adanya kerusakan mukosa, kulit dan lain-lain. Tahap ketiga setelah mendapat akses masuk mikroba pathogen segera melakukan invasi dan mencari jaringan yang cocok selanjutnya melakukan 5 multiplikasi disertai tindakan destruktif terhadap jaringan sekitarnya walaupun ada upaya perlawanan dari pejamu. Sehingga terjadilah reaksi infeksi yang mengakibatkan perubahan morfologis dan gangguan fisiologis jaringan (Darmadi, 2008). Terjadinya infeksi akan menimbulkan respon imun dengan meningkatnya Th1 (IL-8, IL-1a dan IL-1b).Tumor Necrosis factor α (TNFα) dan IL-1 yang merupakan sitokin terpenting dalam infeksi dan keduanya bekerja sinergis, menyebabkan efek biologis transkripsi berbagai gen molekul adhesi, seperti intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan plasminogen activator inhibitor1 (PAI-1), Phospolipase A2, Nitrit oksidase (NO) synthetase serta cyclooxygenase. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endothel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi tissue factor (TF), penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, pembentukan NO, endotelin-1, prostaglandin E2, dan prostaglandin I2, sedangkan NO berperan dalam mengatur tonus vaskuler. Pada sepsis produksi NO oleh sel endotel meningkat, sehingga menyebabkan gangguan hemodinamik berupa hipotensi, disamping itu juga NO berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO tersebut berkaitan dengan syok septik yang resisten terhadap vasopressor. Interleukin-1 dan TNF-α juga dapat merangsang proses koagulasi melalui berbagai jalur. Sitokin tersebut dapat merangsang endotel dan monosit untuk mengekspresikan tissue factor, yang merupakan tahap pertama jalur ekstrinsik kaskade koagulasi. Tissue factor ini kemudian akan menghasilkan thrombin dan selanjutnya thrombin dapat menyebabkan fibrin clot didalam mikrovaskuler.Selanjutnya sitokin tersebut dapat pula menyebabkan gangguan pada sistem fibrinolisis, melalui terbentuknya plasminogen activator inhibitor-1 yang merupakan substansi inhibitor yang kuatdan menyebabkan disrupsi activated protein C dan antitrombin III.Activated protein C yang merupakan co-factor dari protein S, mencegah pembentukan thrombin melalui pemecahan factor Va dan 6 VIIIa dan selain itu activated protein C juga mempertahankan integritas system fibrinolisis melalui penghambatan terhadap plasminogen activator inhibitor-1. Sepsis dipandang sebagai respon inflamasi yang tidak terkontrol. Mekanisme sepsis berhubungan dengan respon sistemik yang kompleks dan proses imunologik yang dicetuskan oleh masuknya mikroorganisme atau produknya kedalam sirkulasi. Mikroorganisme tersebut melepaskan berbagai mediator imunoreaktif kedalam sirkulasi darah. Pada bakteri gram negatif terdapat lipopolisakarida (LPS) yang bila masuk kedalam sirkulasi sebagian akan terikat dengan Lypoprotein binding Protein (LBP) sehingga mempercepat ikatan dengan CD-14 terlarut dan membentuk kompleks CD14-LPS. Kompleks ini menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuclear factor kappa B(NFkB), tyrosine kinase, pro RNA, Cytokine oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2) Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang merupakan inductor sitokin I dari lipotheicoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) . Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebihan. Mediator inflamasi ini mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktifasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya. Terjadi aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, sistem koagulasi, dan fibrinolisis, pelepasan proteinase, dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator yang bersifat proinflamasi, dilepaskan juga mediator yang bersifat antiinflamasi. Infeksi pada APC pada tahap awal akan menimbulkan komplikasi yang umum adalah metritis apabila tidak ditangani dengan baik proses infeksi berlanjut menyebabkan terjadinya parametritis, peritonitis, endokarditis bahkan sepsis Akhir dari proses inflamasi dan koagulasi tersebut menyebabkan insufisiensi kardiovaskuler, multiple organ disfunction syndrome (MODS) sampai multiple organ failure (MOF) dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. (Mose, 2009). 7 2.4.GEJALA KLINIK Gejala umum yang dijumpai pada abortus infeksiosus adalah perdarahan pervaginam, dimana fluksus yang keluar biasanya berbau busuk atau bersifat purulen. Perdarahan yang lama menyebabkan anemia. Kriteria WHO menyatakan cut of point anemia sebagai berikut (Bakta,2006) : Laki-laki dewasahemoglobin < 13 g/dl Perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl Perempuan hamil hemoglobin < 11 g/dl Anak umur 6-14 tahun hemoglobin < 12 g/dl Anak umur 6 bulan-6 tahun hemoglobin < 11 g/dl Kriteria anemia di klinik (di rumah sakit atau praktik klinik) untuk di Indonesia pada umumnya adalah hemoglobin < 10 g/dl, hematokrit < 30%, eritrosit < 2,8 juta/mm3. Klasifikasi derajat anemia yang sering dipakai sebagai berikut : 1. Ringan sekali 2. Ringan Hb 10g/dl-cut of point Hb 8 g/dl- Hb 9,9 g/dl 3. Sedang Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl 4. Berat Hb < 6 g/dl Demikian juga akan dijumpai gejala infeksi pada umumnya seperti demam, temperature >38 C, nadi meningkat ( > 90x/menit), leukositosis (leukosit >10.000sel/mm). Secara klinis organ genitalia pada abortus infeksiosus dapat dikenali dengan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut : nyeri tekan suprasimfisis, nyeri pada portio bila digerakkan dan nyeri pada adneksa. Gejala klinik abortus infeksiosus adalah : 1. Riwayat abortus provokatus 2. Nyeri perut 3. Perdarahan pervaginam yang lama ( > 8 hari) 4. Gejala-gejala seperti influenza ( meriang/tidak enak badan) Gambaran klinis infeksi pada abortus infeksiosus adalah akibat langsung dari efek sitopatik mikroorganisme serta reaksi imunitas berupa produksi mediator-mediator humoral atau seluler yang diproduksi host sebagai reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi yang timbul akan mengakibatkan suatu sindroma yang 8 terdiri dari gangguan hemodinamik disertai dengan disfungsi sistem organ. Infeksi yang tidak ditanggulangi akan berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat dan syok septik (Kornia,2012;Osazuwa, 2007). Definisi gradasi sepsis yang dipakai sampai saat ini adalah sesuai dengan konsensus dari American of Chest Physicians and the Society of Critical Care Medicine (ACCPSCCM) tahun 1994 sebagai berikut (Kornia,2012) : 1. Infeksi: reaksi inflamasi yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme atau invasi organ steril oleh mikroorganisme 2. Bakterimia: adanya bakteri dalam darah 3. Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) 4. Reaksi inflamasi sebagai reaksi terhadap adanya berbagai penyakit 5. Sepsis (SIRS + Infeksi) adalah SIRS yang disebabkan oleh faktor infeksi 6. Sepsis berat : sepsis dengan tanda tanda disfungsi organ atau penurunan perfusi organ (asidosis laktat, oliguria < 30 ml/jam) atau 0,5 ml/kg BB per jam, hipotensi < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg) dan perubahan mental. 7. Syok septik : sepsis berat dan hipotensi yang persisten meskipun telah diberikan cairan yang adekuat dan setelah menyingkirkan penyebab hipotensi yang lainnya. Sindrom disfungsi organ multiple (MODS), adanya gangguan fungsi multi organ pada pasien dengan sakit berat akut dimana hemostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Diagnosis SIRS ini akan ditegakkan oleh sekurang-kurangnya dua kriteria yaitu : 1. Temperature>38 ̊C atau < 36 ̊C 2. Detak jantung > 90kali/menit 3. Frekuensi pernafasan > 20 kali/menit atau PCO2 arteri < 32mmHg 4. Jumlah lekosit > 12.000/πl atau < 4000/πl dengan >10% bentuk imatur Bila sepsis ini berkembang serta menimbulkan disfungsi organ disebut sepsis berat dan bila ada komplikasi hipotensi yang tidak membaik setelah resusitasi 9 volume cairan intra-vaskuler maka akan jatuh kedalam syok septik yang berakibat fatal. 2.5. DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis abortus infeksiosus ditentukan adanya abortus dan infeksi alat genitalia. Kriteria klinis suatu abortus yang mengalami infeksi : a. Demam, sekurang-kurangnya 38 ̊C dalam 24 jam atau lebih b. Pengeluaran cairan dari vagina/serviks c. Tanda infeksi pelvik seperti nyeri perut bagian bawah d. Nadi cepat e. Pada pemeriksaan dalam, setiap gerakan serviks disertai nyeri. Kriteria diagnosis lain berdasarkan adanya tanda-tanda dan gejala infeksi lokal atau sistemik antara lain : 1. Demam (temperature >38 C), menggigil atau berkeringat 2. Sekret pervaginam yang berbau atau keluar cairan mukopurulen melalui ostium serviks 3. Tegang/kaku dinding perut bawah (dengan atau tanpa nyeri lepas atau rebound tenderness). 4. Nyeri goyang serviks pada pemeriksaan bimanual Diagnosis abortus infeksiosus ditegakkan berdasarkan gabungan temuan faktor predisposisi dengan manifestasi klinis berupa SIRS. Berdasarkan hal itu bisa dikategorikan adanya infeksi, bakterimia, sepsis, syok septik sampai MODS atau MOF. Kuman penyebab dapat diidentifikasi dari pemeriksaan laboratorium lengkap yang meliputi pemeriksaan darah, urin, dan kultur dari berbagai cairan tubuh dan amniosintesis bila dicurigai adanya infeksi intrauterin. Hasil kultur darah yang positif menguatkan adanya infeksi yang serius. Karena keterbatasan tehnik kultur hanya 30% kuman penyebab dapat dikenali disamping secara klinis infeksi bisa masih terbatas lokal dan belum menstimulasi reaksi sistemik.Pemeriksaan kultur darah dilakukan sesegera mungkin begitu muncul gejala panas. 10 2.6. PENANGANAN Prinsip penanganan abortus infeksiosus adalah evakuasi kavum uteri, terapi antibiotik awal, pemberian cairan intravena, oksitosin dan manajemen nyeri.Begitu diagnosis ditegakkan maka rangkaian terapi harus dimulai secara agresif dan adekuat dalam waktu kurang dari 6 jam. Patokan yang disebut dengan “ Early goal directed therapy” telah terbukti dapat menurunkan angka kematian ibu secara bermakna (May, 2008). Pendekatan tersebut terdiri dari : pemberian cairan intravena, peningkatan pemberian oksigen, pemberian obat-obat vasopresor, pemberian obat-obat inotropik, pemberian transfusi darah, pemberian ventilasi mekanik dan pemakaian kateter arteri. Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan penyesuaian kembali, cardiac preload, afterload dan kontraktilitas jantung untuk tujuan akhir yaitu tercapainya keseimbangan antara oxygen delivery dan oxygen demand.(May,2008; Suwiyoga,2006). 1. Pengobatan mencegah gagal nafas Pada pasien sepsis yang mengalami ancaman gagal nafas ( frekuensi nafas > 35 kali permenit), penurunan kesadaran dan hipoksemia berat maka dilakukan intubasi endotrakeal dan pemasangan ventilasi mekanik. Adapun kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan apakah seseorang sudah ada dalam kondisi kegagalan nafas yang mengancam adalah hal-hal sebagai berikut : a.Mekanikal : kapasitas vital < 15 ml/kg Frekuensi nafas > 35 kali/menit b.Oksigenasi : Pa O2 < 70 mmHg dengan FiO2 0,4 P(A-a) O2 > 350 mmHg dengan FiO2 1,0 c.Ventilasi : Pa Co2 > 55 mmHg (pada keadaan akut) Dead space/tidal volume (vd/Vt > 0,6) d. End respiratory lung inflation inadekuate for adequate gas exchange. 2. Resusitasi cairan Salah satu komplikasi utama pasien sepsis adalah adanya vasodilatasi umum yang diakibatkan oleh pelepasan NO dalam jumlah besar. Disamping itu pada sepsis, syok hipovolemik juga bisa disebabkan oleh adanya peningkatan kapasitas 11 vascular(penurunan venous return), dehidrasi (karena asupan yang kurang, kehilangan cairan melalui keringat dan pernafasan) atau karena adanya perdarahan dan kebocoran plasma. Stabilisasi hemodinamik bertujuan untuk mempertahankan perfusi jaringan dan menormalkan metabolism selular. Pemberian cairan kristaloid/ koloid diberikan secara bolus 250-1000 ml selama 5-15 menit setelah itu dipertahankan sesuai dengan tekanan darah. 3. Pengobatan dengan antibiotika Pemberian antibiotika hendaknya mempertimbangkan spektrum yang mencakup kuman penyebabnya, farmakokinetik, dosis, cara pemberian, keamanan serta biaya. Pemberian antibiotika harus diberikan tanpa menunggu hasil kultur dan dapat dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas. Apabila hasil kultur dan tes sensitifitas sudah ada maka jenis antibiotika harus disesuaikan dengan hasil tes sensitifitas yang ada untuk menghindari timbulnya resistensi antibiotika tersebut. Pada infeksi yang berat dipilih cara pemberian intravena untuk mempercepat kerja obat. Beberapa pilihan antibiotika pada sepsis adalah : a. Pada umumnya untuk infeksi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan yang dicurigai dengan infeksi aerob dan anaerob masih dapat diberikan kombinasi penisilin, aminoglikosid dan klindamisin atau metronidazole. b. Sebagai alternatif pada pasien pasien yang tidak mengalami neutropenia dapat diberikan sefalosporin generasi kedua atau ketiga. Dapat dipertimbangkan sefalosporin generasi ketiga atau keempat seperti : cefotaxime, ceftizoxime, ceftriaxon serta meropenem untuk infeksi yang berat atau infeksi oleh berbagai macam strain bakteri gram negatif. c. Pada sepsis berat yang mengancam nyawa direkomendasikan kombinasi sefalosporin generasi ketiga atau keempat dengan aminoglikosida. d. Pada beberapa rumah sakit terdapat bakteri gram negatif yang resisten terhadap aminoglikosida dan sefalosporin generasi kedua, ketiga dan empat. Pada kondisi ini dapat diberikan meropenem atau ciprofloxacin. 12 Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap gentamisin, dapat diberikan Amikasin, Ceftazidime, Meropenem atau Tobramisin. Strain Enterokokal yang saat ini resisten dengan banyak antibiotika dapat diberikan klorampenikol, doksisiklin atau flourokuinolon. e. Obat antijamur tidak dianjurkan diberikan secara rutin, kecuali pada pasien yang mengalami penurunan imunitas dan kondisi tertentu yang memudahkan terjadinya infeksi jamur dan dapat diberikan ampotericin B atau flukonazol. 4. Kontrol sumber infeksi Sumber infeksi harus segera dihilangkan begitu kondisi pasien mengijinkan. Pada kasus dengan infeksi luka atau fasciitis dapat dilakukan debridement, evakuasi produk konsepsi yang tersisa dengan kuretase, drainase pada abses pelvic, laparatomi dan bahkan bila perlu dilakukan histerektomi. 5. Pemberian kortikosteroid Meskipun masih kontroversi, penggunaan kortikosteroid dosis kecil jangka panjang menunjukkan perbaikan hemodinamik dan menurunkan kebutuhan obat vasopresor, serta menurunkan secara bermakna angka kematian pasien di ruang intensif serta mengurangi hari rawat inap. Penggunaan kortikosteroid ini juga tidak terbukti menimbulkan perdarahan saluran cerna, terjadinya superinfeksi dan hiperglikemia. Dengan demikian maka terapi kortikosteroid dapat diberikan pada pasien sepsis dan syok septik. Rekomendasi dosis yang diberikan adalah hidrokortison 50-100 mg intravena setiap 6-8 jam atau 0,8 mg/kg BB/jam per infuse ditambahkan dengan fluorokortison 50 πg/hari, untuk kemudian dilakukan tapering-off secara bertahap sesuai dengan kondisi klinis. Pemberian dosis fisiologis kortikosteroid tersebut dapat diberikan pada kadar kortisol yang normal atau tinggi dengan asumsi terjadi efek penurunan regulasi reseptor adrenergic yang disertai dengan respon desentisasi. 6. Pemberian antikoagulan Sesuai dengan tersedianya fasilitas pada pasien dengan sepsis berat syok septic dan pasien dengan resiko kematian tinggi (APACHE II > 25) dapat diberikan recombinant activated protein (rhAPC). Efek terapi yang diharapkan 13 dari rhAPC ini adalah efek antikoagulan dan antifibrinolitik sehingga dapat memperbaiki kondisi konsumtif koagulopati dan menghambat kaskade inflamasi. Perdarahan merupakan resiko mayor pemberian activated protein C. seperti perdarahan intracranial. Kriteria pemberian dan kontraindikasinya dapat dilihat pada lampiran 1. Score APACHE II dapat dilihat pada lampiran II 7. Pengendalian gula darah Untuk mencegah kematian akibat MODS, dilakukan pemberian terapi insulin untuk mengendalikan kadar gula darah pada kadar 80-100mg/dl dan harus dilakukan monitoring ketat terhadap tanda-tanda hipoglikemi. Pada pasien sepsis yang mengalami hiperglikemia akan terjadi penurunan fungsi fagositosis netrofil dan pemberian insulin mampu meningkatkan fungsi tersebut. Potensi insulin yang lainnya adalah kemampuan untuk menurunkan kejadian apoptosis sel dengan cara mengaktivasi pospatidil inositol3-kinase. Tanpa memandang apapun mekanismenya, pengendalian gula darah pada pasien kritis penting dilakukan dengan catatan tetap melakukan monitoring adanya hipoglikemia yang dapat membahayakan jaringan otak. Kadar gula darah yang direkomendasikan adalah 80-110mg/dl. 8. Penatalaksanaan Koagulasi Intravaskular Diseminata Koagulasi intravaskular diseminata (KID) adalah proses trombhohemoragik sistemik yang terkait dengan kondisi klinis tertentu dengan adanya bukti-bukti laboratorium seperti : 1. Aktivasi prokoagulan, 2.aktivasi fibrinolitik, 3.konsumsi inhibitor, 4. Kegagalan organ diagnosis KID pada sepsis seringkali sulit ditegakkan hanya berdasarkan pemeriksaan laboratorium saja, oleh karena hampir semua laboratorium memberikan nilai abnormal. 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif retrospektif 3.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar mulai 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011 3.3. Sampel penelitian Sampel penelitian adalah semua kasus abortus infeksiosus yang datang ke IRD Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dalam periode 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011 3.4. Bahan dan cara kerja Data untuk penelitian ini didapatkan dari : 1. Buku register pasien kamar bersalin Instalasi Rawat Darurat Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dari 1 Januari 2010 sampai 31 Desember 2011 2. Catatan medis pasien dengan abortus infeksiosus dari 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011 3.5. Definisi operasional variabel 1. Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram 2. Abortus infeksiosusadalah abortus inkomplit, dengan riwayat abortus provokatus kriminalis atau abortus spontan yang disertai minimal 2 dari 4 tanda-tanda yaitu : demam (temperature rectal ≥ 38 C), secret pervaginam yang berbau atau keluar cairan mukopurulen melalui osteum serviks, tegang dan kaku dinding perut bawah (dengan atau tanpa nyeri lepas atau rebound tenderness),nyeri goyang serviks (pada pemeriksaan bimanual) dan nyeri adneksa. Dalam penelitian ini definisi abortus infeksiosus yang dipakai adalah yang sudah terdapat pada buku register IRD Kebidanan RSUP Sanglah. 15 3. Abortus septik adalah abortus infeksiosus berat disertai dengan penyebaran kuman atau toksin dalam peredaran darah atau peritoneum 4. Syok septik adalah keadaan sepsis ditambah dengan hipotensi walaupun telah diberikan resusitasi cairan dan adanya perfusi jaringan yang tidak adekuat. 5.Paritas adalah jumlah melahirkan bayi viabel sebelumnya 6. Umur penderita adalah umur yang sesuai tercantum pada status penderita dalam hitungan tahun. 7. Pendidikan adalah pendidikan terakhir penderita sesuai dengan yang tercantum pada status penderita. 8. Pekerjaan adalah pekerjaan utama penderita sesuai yang tercantum pada status. 9. Status perkawinan adalah status perkawinan penderita yang sah yang sesuai dengan yang tercantum pada status penderita. 10. Umur kehamilan adalah umur kehamilan saat penderita MRS, ditentukan dengan rumus Naegle apabila HPHT diketahui dengan jelas dan menstruasi teratur atau apabila HPHT tidak jelas maka umur kehamilan ditentukan berdasarkan besar uterus dari pemeriksaan bimanual, umur kehamilan dinyatakan dalam minggu. 11. Sifat kehamilan adalah kehamilan yang dialami penderita saat datang ke RS merupakan kehamilan yang sudah direncanakan diinginkan atau merupakan kehamilan yang tidak diinginkan yang didapat dari status penderita saat dilakukan anamnesa. 12. Riwayat abortus provokatus kriminalis adalah apabila kejadian abortus didahului dengan upaya abortus yang tidak aman yang diketahui status penderita saat dilakukan anamnesa. 13. Alasan abortus provokatus kriminalis adalah alasan yang mendasari kehamilan yang tidak diinginkan sehingga digugurkan melalui APC 14. Cara APC adalah tindakan yang dilakukan dalam usaha mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan dengan cara tidak aman seperti: pijatan, memasukkan alat/bahan lain kedalam kavum uteri dan kuret. 16 15. Tempat APC adalah tempat penderita melakukan tindakan APC yang diperoleh dari status penderita. 16. Pelaku APC adalah profesi orang yang menurut pengakuan penderita yang tercantum pada status membantu melakukan aborsi terhadap kehamilannya (dukun,tenaga kesehatan, sendiri) 17.Lama rawat adalah lama perawatan yang dialami penderita yang dicantumkan pada status penderita. 18..Komplikasi adalah kelainan yang timbul akibat suatu penyakit yang mendasari dalam hal ini adalah APC 19. Pemberian Triple antibitika adalah pemberian antibitika seperti ampicillin injeksi, Gentamisin injeksi dan metronidazole supp. 20. Ruang intensif adalah ruang khusus yang diperlukan oleh penderita untuk mengobati penyakitnya dalam hal ini ruang ICU/RTI 3.6. Alur penelitian Pertama dilakukan pencatatan nama dan nomor catatan medis pasien yang didapatkan dari buku register ruang terima IRD Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar mulai tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011. Setelah didapatkan nomor catatan medis, dilakukan penelusuran catatan medis di pusat penyimpanan medis, selanjutnya dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan lembar pengumpul data. Setelah terkumpul, data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara naratif. 17 Buku register pasien IRD Kebidanan dan kandungan Catatan medis pasien di pusat catatan medis Koleksi data : lembar pengumpulan data Tabulasi Data Laporan hasil penelitian Gambar 3.1. Alur penelitian 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ditemukan sebanyak38 kasus abortus infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dalam kurun waktu Januari 2010 s/d Desember 2011, seperti yang akan disajikan di bawah ini. Tabel 4.1Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut umur diRSUPSanglah Denpasar Januari 2010 sampai dengan Desember 2011 Umur penderita (Tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) Remaja akhir (16-19) 9 23,7 Dewasa muda (20-35) 24 63,2 Dewasa tua (>35 tahun) 5 13,1 38 100 Jumlah total Terdapat 9 kasus (23,7%) abortus infeksiosus pada kelompok umur 16-19 tahun (< 20 tahun). Data ini menunjukkan bahwa telah terjadi premarital seks pada usia remaja yang kemudian diikuti dengan upaya menggugurkan karena belum siap untuk menikah dan mempunyai anak, hal ini sesuai dengan tabel 4.2 dibawah dimana terdapat 25 kasus (65,8%) abortus infeksiosus pada penelitian ini tidak menikah atau dalam status belum menikah.Tingginya abortus infeksiosus pada kelompok usia 20-35 tahun(63,2%) yang kesemuanya adalah kehamilan yang tidak diinginkan menunjukkan bahwa banyak pasangan usia subur tidak atau belum menghendaki kehamilan tetapi tidak menggunakan salah satu metode kontrasepsi. Ini juga menunjukkan tingginya angka unmeet need. Laporan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Bali tahun 2011 manyampaikan bahwa angka unmeet need di Bali sebesar 3,90%. (Profil hasil pendataan keluarga 2011) Masih ada 5(13,1%) kasus kehamilan pada usia diatas 35 tahun yang tidak diinginkan dan melakukan upaya menggugurkan kandungan sehingga terjadi abortus infeksiosus. Mereka juga tidak mempergunakan metode kontrasepsi tertentu untuk mencegah kehamilan. 19 Tabel 4.2Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut status penderitadi RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Status penderita Jumlah (orang) Persentase (%) Sudah menikah 13 34,2 Belum menikah 22 57,9 Cerai 3 7,9 38 100 Jumlah total Dari tabel 4.2 diatas tampak bahwasebagian besar kasus abortus infeksiosus adalah tidak menikah atau sudah cerai. Sebanyak 25 kasus(65,8%) dengan status belum menikah atau cerai yang semuanya tidak menginginkan kehamilan. Hal serupa juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rai (2009) di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dimana didapatkan sebanyak 31 kasus (58,9%) penderita abortus infeksiosus berstatus belum menikah. Data ini sangat relevan dengan apa yang disampaikan oleh WHO tentang” dramatic change in sexual behavior”. Hal ini ditandai dengan tingginya hubungan seks usia muda, premaritalmaupun extra marital sex dan berganti-ganti pasangan. Disamping berkaitan dengan Sexual Transmitted Diseases (STD), hal tersebut juga menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) sehingga berakhir menjadi unsafe abortion. Tingginya kejadian abortus infeksiosus yang dilatarbelakangi oleh kehamilan yang tidak diinginkan dan dalam status diluar pernikahan menunjukkan adanya barriers atau hambatan untuk mendapatkan akses safe abortion.Beberapa hambatan untuk merealisasikan pelayanan abortus aman (safe abortion services) diantaranya hambatan sosial, hambatan ekonomi,hambatan budaya dan hambatan legalitas karena berkaitan dengan hukum pada suatu negara dimana tidak semua negara melegalkan aborsi. 20 Tabel 4.3Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut paritas di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Paritas Jumlah (orang) Persentase (%) 0 22 57,9 1 3 7,9 2 9 23,7 3 4 10,5 Jumlah total 38 100 Dari tabel 4.3 tampak bahwa sebagian besar kasus abortus infeksiosus (65,8%) terjadi pada paritas rendah dan bahkan 57,9% belum mempunyai anak. Apakah suatu kebetulan kalau jumlah atau prosentase kasus abortus infeksiosus yang statusnya tidak menikah atau cerai,sama dengan yang status paritasnya rendahyaitu mempunyai satu anak atau belum mempunyai anak?, kemungkin ini benar adanya sehingga dapat dipahami bahwa kehamilan yang terjadi diluar pernikahan akan diikuti oleh keinginan untuk menggugurkannya atau unsafe abortion. Tabel 4.4Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut pendidikan terakhir, di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Pendidikan terakhir Jumlah Persentase (%) SD 5 13,2 SMP 10 26,3 SMA 22 57,9 Sarjana 1 2,6 Tidak sekolah - - 38 100 Jumlah total Dari tabel 4.4 tampak bahwa karakteristik pasien dengan abortus infeksiosus periode Januari 2010 s/d Desember 2011 sebagian besar(84,2%) mempunyai pendidikan di tingkat menengah(SMP dan SMA). Tingkat pendidikan ini sebenarnya cukup untuk memahami masalah-masalah seputar kesehatan reproduksi namunsayang sekali tidak semua sekolah tingkat SMP maupun SMA mempunyai kurikulum yang berisikan masalah kesehatan reproduksi. Disamping 21 itu, sering tidak berkaitan secara langsung antara pendidikan formal dengan prilaku seksual seseorang. Hal serupa juga didapatkan pada penelitian Rai (2009) dimana 35 kasus (62,5%) kasus abortus infeksiosus dengan latar belakang pendidikan SMA. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Nurhata (2004) di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah pun dijumpai tingkat pendidikan SMA yang paling banyak yaitu sebesar 80%. Hal ini menunjukkan dari segi pendidikan penderita yang melakukan abortus infeksiosus memiliki tingkat pendidikan yang cukup tetapi tidak mencerminkan baiknya pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi, bahayanya melakukan seks pranikah seperti terjadinya unwanted pregnancy dan resiko terkena penyakit menular seksual apabila melakukan hubungan seks tanpa perlindungan kontrasepsi. Tabel 4.5Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut pekerjaan di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Pekerjaan penderita Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak bekerja 1 2,6 Ibu rumah tangga 6 15,8 Pegawai Swasta 25 65,8 Pelajar 5 13,2 Lain-lain 1 2,6 38 100 Jumlah total Dari tabel 4.5 tampak bahwa karakteristik pasien abortus infeksiosus periodeJanuari 2010 s/d Desember 2011 menurut pekerjaan terbanyak adalah pegawai swasta sebesar 65,8%. Hal serupa juga didapatkan pada penelitian Rai(2009)dimana didapatkan 58,9% pekerjaan penderita adalah pegawai swasta. Hal ini menunjukkan penderita abortus infeksiosus mempunyai penghasilan ataupun bekerja namun tidak mencerminkan kesiapan mereka untuk menikah dan membangun rumah tangga. Dilihat dari etnisitasnya, sebagian besar(63,2%) kasus abortus infeksiosus adalah suku Bali, dan sisanya(36,8%) bukan Bali. Hal ini dapat menjadi cerminan terjadinya pergaulan danseks bebas yang pada akhirnya 22 menjadi kehamilan yang tidak diinginkan, mungkin merupakan dampak dari mudahnya memperoleh informasi berkaitan dengan pornografi tanpa disertai dengan sex educationuntuk memahami pentingnya kesehatan reproduksi, bahaya seks bebas, pentingnya informasi dan pelayanan kontrasepsi. Tabel 4.6Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut sistem pembiayaan di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Sistem pembiayaan Jumlah (orang) Persentase (%) Umum 30 79,0 JKBM 4 10,5 Jamkesmas - - Jampersal 4 10,5 38 100 Jumlah total Dari 38 kasus abortus infeksiosus di RSUP Sanglah Denpasar sebagian besar kasus(79,0%) tidak mempunyai sistem pembayaran atau membayar sendiri(out of pocket). Tentu saja ini menjadi beban ekonomi bagi perempuan itu sendiri dan keluarganya. Sisanya sebanyak 21% menggunakan JKBM dan Jampersal, hal ini menjadi beban bagi negara untuk membayar tindakan yang tidak perlu, yang seharusnya dapat dicegah.Sistem pembiayaan umum, tidak mencerminkan kalau pelaku abortus infeksiosus berasal dari keluarga yang mampu karena seringkali mereka membayar lebih dahulu atau mendaftar sebagai pasien umum, namun setelah selesai tindakan keesokan harinya mereka melakukan klaim pembayaran dengan menggunakan jaminan asuransi kesehatan. Kesimpulannya, hal ini berarti status sosial tidak berpengaruh terhadap angka kejadian abortus infeksiosus. Sebagian besar(68,4%) kasus abortus infeksiosus diantar oleh bukan suaminya(pacar, orang tua, keluarga). Bahkan ada tiga kasus(7,9%) yang diantar oleh orang lain. Mungkin disebabkan oleh karena kehamilan yang dialaminya bukan dari pasangan usia subur yang sah atau ilegal. Hanya 12 kasus(31,6%), yang menunjukkan bahwa penderita sudah menikah dan tindakan menggugurkan kandungan tersebut juga atas sepengetahuan atau persetujuan suami. Hal ini mungkin dikarenakan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan tersebut akibat gagal kontrasepsi ataupun penderita dan suami tidak memakai satu metode 23 kontrasepsipun untuk menghindari kehamilan yang tidak mereka inginkan, hal ini menunjukkan terdapat ambivalensi antara pikiran dan perilaku penderita, disatu sisi tidak menginginkan kehamilansedangkan disisi yang laintidak menggunakan metode kontrasepsi. Kasus abortus infeksiosus yang dirawat di RSUP Sanglah pada periode diatas hanya 23,7% yang mengeluh nyeri perutdan badan panas. Sebagian besar kasus(76,3%) datang dengan keluhan perdarahan pervaginam. Hal serupajuga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rai(2009) dimana 58% penderita terbanyak datang dengan keluhan perdarahan pervaginam. Hal ini mungkin mencerminkan adanya ketakutan penderita dan keluarganya setelah ada perdarahan pervaginam sehingga baru memutuskan untuk mencari pertolongan ke sarana kesehatan. Tabel 4.7Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut kontrasepsi yang digunakan terakhir di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Kontrasepsi terakhir Jumlah (orang) Persentase (%) KB Suntik 5 13,1 Pil 2 5,3 Kondom 1 2,6 KB alamiah 2 5,3 Tidak memakai KB 28 73,7 38 100 Jumlah total Sebagian besar kasus abortus infeksiosus(73,7%) tidak menggunakan kontrasepsi, kalaupun menggunakan metode kontrasepsi hanya 13,1% yang menggunakan kontrasepsi suntik sebagai Metode Kotrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Hal ini menunjukkan masih tingginya kehamilan yang tidak diinginkan oleh karena tidak memakai kontrasepsi seperti yang telah dijelaskan diatas berkaitan dengan ambivalensi pikiran dan perilaku. Demikian juga dengan penggunaan kontrasepsi barrier kondom yang hanya sebesar 2,6%. Seperti kita ketahui kondom bersifat dual protection, disamping untuk mencegah kehamilan juga mencegah penyakit menular seksual. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya pemahaman mereka akan hal itu atau dapat juga berkaitan dengan biaya karena 24 harus membeli kondom, ataupun ada perasaan tidak nyaman disertai kurang nikmat jika berhubungan seks menggunakan kondom. Data menunjukkan bahwa seluruh kasus adalah kehamilan yang tidak direncanakan dan juga tidak diinginkan, sehingga seluruhnya juga melakukan upaya untuk mengakhiri kehamilan. Berbagai alasan yang menjadi pertimbangan untuk melakukan upaya pengakhiran kehamilan diantaranya, belum siap menikah pada 22 kasus(57,9%), belum siap untuk mempunyai anak lagi 10 kasus(26,3%), dan sisanya karena alasan biaya/ekonomi pada 6 kasus(15,8%). Hal serupa juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rai (2009) dimana alasan menggugurkan terbanyak yaitu 44,6% penderita oleh karena belum siap menikah. Hal ini berbeda dengan survey kesehatan reproduksi remaja Indonesia tahun 2007 dimana diketahui sangat sedikit remaja yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan yaitu kurang dari satu persen. Enam puluh persen responden yang pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan telah mengakhirinya, baik aborsi disengaja maupun spontan, sementara itu 40% sisanya tetap melanjutkan kehamilannya termasuk yang pernah mencoba melakukan aborsi namun gagal (SKRR, 2007). Berbagai metode digunakan untuk mengakhiri kehamilan diantaranya; dengan memasukkan benda asing ke vagina pada sebagian sebesar kasus(47,3%), minum jamu/obat 7kasus(18,4%), menggunakan gabungan berbagai metode pada 11 kasus(29,1%), dan sisanya 2 kasus(5,2%) dilakukan pijatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rai (2009) terbanyak upaya menggugurkan dilakukan dengan memasukkan alat kedalam vagina yaitu sebesar 32,1%, memakai obat (misoprostol) sebesar 25%, memakai batang sirih sebesar 17,9%, kuret sebesar 8,9%. Hal ini sesuai dengan teori infeksi tidak langsung melalui vehicle bornyaitu terjadinya infeksi melalui perantaraan alat yang tidak steril dan mengandung kuman baik aerob maupun anaerob. 25 Tabel 4.8Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut tempat menggugurkan di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Tempat menggugurkan Jumlah (orang) Persentase (%) Dirumah sendiri 12 31,6 Didukun 19 50,0 Tenaga kesehatan 7 18,4 38 100 Jumlah total Dari tabel 4.8tampak yang menarik disini adalah Bali sebagai daerah pariwisata tujuan internasional dengan masyarakatnya yang pluralistik, masih mempercayai dukun untuk menangani masalah kesehatan apalagi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Hal ini dapat terjadi oleh karena penderita dengan kehamilan yang tidak diinginkan tidak mempunyai tempat kesehatan yang dituju untuk membantu mereka menyelesaikan permasalahannya sehingga tidak terdapat pilihan lain selain meminta bantuan dukun. Umumnya dukun yang melakukan gugur kandung di Bali baik laki-laki maupun perempuan memiliki keahliannya turun temurun, diwariskan dari orang tua, kakek ataupun neneknya dengan menggunakan metode yang juga dilakukan turun temurun. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya self abortion services yang legal, tidak adanya tempat pelayanan kesehatan yang dapat mereka percaya, yang memberikan rasa nyaman dan aman, ditambah lagi tindakan ini merupakan sesuatu yang bersifat ilegal berkaitan dengan sangsi hukum sehingga secara sembunyi-sembunyi meminta dukun untuk membantu mereka.Satu hal lagi yang menarik dari tabel 4.8 ini adalah terdapatnya tenaga medis yang melakukan upaya gugur kandung, seharusnya mereka diharapkan membantu namun menimbulkan masalah bagi penderita dengan timbulnya infeksi dari tindakan kuret yang mereka lakukan. Hal ini tentu saja berkaitan dengan sterilitas alat dan kemampuan untuk melakukan tindakan. 26 Tabel 4.9Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut umur kehamilan penderita saat datang di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Umur kehamilan/minggu Jumlah (orang) Persentase (%) 6-8 2 5,3 9-10 6 15,8 11-12 5 13,1 >12 25 65,8 Jumlah Total 38 100 Dari tabel 4.9 tampak usia kehamilan pada kasus abortus infeksiosus pada penelitian ini didapatkan dari data hari pertama menstruasi terakhir dan dicocokkan dengan besarnya uterus pada pemeriksaan ginekologis. Abortus spontan 80% terjadi pada usia kehamilan 8-10 minggu sedangkan pada penelitian ini hanya 21,1 % terjadi pada kehamilan 6-10 minggu. Sebagian besar abortus infeksiosus terjadi pada usia kehamilan > 10 minggu (78,9%), bahkan sebanyak 25 kasus (65,8%) adalah usia kehamilan > 12 minggu. Pada penelitian ini seluruh kasus (100%) merupakan kehamilan yang tidak direncanakan bahkan tidak diinginkan. Ada kemungkinan panderita baru menyadari adanya kehamilan setelah mengalami keterlambatan haid selama satu bulan, sehingga secara ultrasonografi usia kehamilan > 10 minggu. Tabel 4.10Distribusi kasus abortus infeksiosus di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011menurut komplikasi. Komplikasi penderita Jumlah (orang) Persentase (%) Perforasi uterus - - DIC 2 5,3 Sepsis 1 2,6 Tidak ada komplikasi 35 92,1 Jumlah total 38 100 Dari tabel 4.10 tampak bahwa karakteristik pasien abortus infeksiosus menurut komplikasi yaitu sebesar 92,1% penderita tidak mengalami komplikasi, sebesar 5,3% mengalami DIC dan 2,6 % penderita mengalami sepsis. Penderita yang mengalami sepsis adalah seorang wanita, 35 tahun (P2-15 tahun),rujukan dokter ahli kandungan dengan diagnosis abortus septik suspek DIC, bertempat tinggal di 27 Jimbaran Kuta, Badung, pekerjaan swasta, status cerai sudah 3 tahun, mempunyai pacar yang sudah memiliki istri dengan tiga orang anak, mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, tidak memakai kontrasepsi,terdapat riwayat telat haid, melakukan abortus provocatus criminalis (APC) di sebuah klinik di daerah Tabanan dan diberi obat minum berupa pil warna putih. Datang ke RSUP Sanglah dengan keluhan perdarahan pervaginam, kesadaran compos mentis, febris dengan temperatur rektal : 39 ̊C, pemeriksaan inspekulo didapatkan fluksus berbau. Pemeriksaan penunjang PPT test (+), WBC : 19,59, Hb: 8,6gr/dl, trombosit : 260, BT/CT : 2’00”/7’30”, PT/APTT : 12,1/49,6 ; FDP/D-dimer : > 40. Penanganan dengan triple antibiotika kemudian dilakukan kuretase setelah 6 jam bebas panas.Penderita dirawat diruang intensif selama 7 hari. Setelah menjalani perawatan 20 hari penderita membaik dan diijinkan pulang untuk selanjutnya menjalani rawat jalan dipoliklinik kebidanan RSUP Sanglah. Tabel 4.11Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut lama perawatan penderita saat datang di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Lama perawatan Jumlah (orang) Persentase <3 hari 7 18,4 3-4 hari 15 39,5 5-9 hari 15 39,5 >10 hari 1 2,6 Jumlah total 38 100 Dari tabel 4.11 tampak bahwa sebesar 57,9% kasus abortus infeksiosus memerlukan perawatan dirumah sakit selama 4 hari atau kurang.Hal ini mencerminkan cukup baiknya pelayanan dan penanganan yang sudah diberikan, disamping memang penderita abortus infeksiosus yang datang ke RSUP Sanglah masih dalam keadaan umum yang baik. Sedikitnya masa rawat inap di rumah sakit tentu saja akan mengurangi biaya / cost yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. 28 Tabel 4.12Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut perawatan diruang intensif penderita saat datang di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Perawatan di Ruang Intensif Jumlah (total) Persentase Ya 1 2,6 Tidak 37 97,4 Jumlah total 38 100 Dari tabel 4.12 tampak bahwa karakteristik pasien abortus infeksiosus menurut perawatan diruang intensif yaitu sebesar 97,4% tidak memerlukan perawatan intensif dan sebesar 2,6% memerlukan perawatan diruang intensif. Tabel 4.13Distribusi kasus abortus infeksiosus menurut keadaan penderita saat pulang di RSUP Sanglah Denpasar Januari 2010 sd Desember 2011 Keadaan saat pulang Jumlah (orang) Persentase (%) Membaik/sembuh 32 84,2 Pulang paksa 6 15,8 38 100 Jumlah total Dari tabel 4.13 tampak bahwa karakteristik pasien abortus infeksiosus menurut kondisi pasien saat pulang yaitu sebesar 84,2% pasien membaik atau sembuh, sebesar 15,8% penderita meminta pulang paksa dengan alasan biaya, tidak ditemukan pasien yang meninggal dunia. Pada penelitian deskriptif yang kami lakukan didapatkan secara klinis penderita abortus infeksiosus yang datang ke RSUP Sanglah Denpasar masih baik. Hal ini terlihat dari data bahwa seluruhnya (100%) datang dalam keadaan sadar (compos mentis) , tekanan darahnya normal (100%), denyut nadi (73,7%) masih normal, demikian juga dengan respirasi masih dalam batas normal (94,2%). Gambaran klinis yang mendukung abortus infeksiosus adalah suhu tubuh rektal > 38 ̊C sebesar 81,5 % , takikardia 26,3 % serta hasil pemeriksaan ginekologi yang dilakukan. Pada penelitian ini sebagian besar kasus masih mempunyai data laboratorium yang baik sebesar 97,4% kadar Hb nya masih normal atau anemia ringan dan sedang. Hanya sebesar 2,6% saja yang disertai anemia berat . Hal yang sama juga didapatkan pada kadar Leukosit, Trombosit , BT/CT dan LED nya. Penanganan yang diberikan pada penderita abortus infeksiosus pada penelitian ini 29 adalah sesuai dengan protap yang berlaku dibagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar yaitu sebesar 100% dilakukan kuretase 6 jam bebas panas atau 12 jam setelah pemberian antibiotika. Hal ini bermakna dengan tingkat kesembuhan penderita dimana seluruh penderita pulang dalam keadaan baik dan hal tersebut juga membuat hari rawat penderita menjadi lebih pendek sehingga ditinjau dari segi ekonomi costnya lebih sedikit. Hal serupa didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Supriatmaja(2006) di RSUP Sanglah, pada penelitian tersebut didapatkan perbedaan yang bermakna dalam lamanya perawatan penderita abortus infeksiosus dimana kuretase segera dapat mempersingkat lama perawatan dibandingkan kuretase tunda. Tidak ditemukan adanya komplikasi pada kedua kelompok penelitian. Didapatkan sebanyak 84,2% pasien abortus infeksiosus yang ditangani atau mendapat pengobatan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dalam keadaan membaik/ sembuh, tidak didapatkan pasien yang meninggal. Hal ini menjadi cerminan jika pelayanan terhadap pasien abortus infeksiosus di RSUP Sanglah sudah cukup baik sesuai dengan prosedur pelayanan seperti pemberian triple antibiotika, kuretase 6 jam bebas panas atau 12 jam setelah pemberian antibiotika. Disamping hal tersebut juga dipengaruhi kondisi penderita saat datang masih dalam kondisi baik dan stabil ditunjukkan dengan vital sign yang masih baik serta peran keluarga, suami, saudara ataupun pacar dalam mengambil keputusan untuk segera berobat ke RSUP Sanglah juga menjadi peranan sangat penting untuk keselamatan penderita. 30 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Terdapat 38 kasus abortus infeksiosus dalam kurun waktu Januari 2010 sampai dengan Desember 2011 di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali dengan karakteristik sebagai berikut : Kelompok umur terbanyak adalah usia 20-35 tahun sebesar 63,2%, sebanyak 65,8% kasus tidak menikah atau dalam status belum menikah, menurut paritas terbanyak adalah paritas 0 sebesar 57,9%, menurut pendidikan terbanyak yaitu menengah (SMP dan SMA) sebesar 84,2%, dengan pekerjaan terbanyak adalah sebagai pegawai swasta sebesar 65,8%, suku terbanyak adalah suku Bali sebesar 63,2%, sistem pembayaran terbanyak adalah umum sebesar 79,0%, keluhan saat datang adalah perdarahan pervaginam sebesar 76,3%, sebesar 73,7% kasus tidak menggunakan kontrasepsi, seluruh kasus 100% merupakan kehamilan yang tidak diinginkan dengan adanya upaya untuk menggugurkan kandungan, dengan alasan belum siap menikah sebesar 57,9%, metode menggugurkan kandungan terbanyak dengan memasukkan benda asing kedalam vagina sebesar 47,3%, tempat menggugurkan terbanyak adalah didukun sebesar 50%, terbanyak usia kehamilan > 12 minggu sebesar 65,8%, komplikasi yang ditimbulkan DIC sebanyak 2 kasus (5,3%) dan sepsis 1 kasus (2,6%) yang memerlukan perawatan diruang intensif, rata-rata lama perawatan kurang dari atau sampai dengan 9 hari sebesar 79,0%, sebesar 84,2% kasus pulang dengan keadaan membaik atau sembuh dan 6 kasus (15,8%) pulang paksa, tidak terdapat kasus kematian maternal oleh karena abortus infeksiosus. Hal ini mencerminkan sudah baiknya penanganan abortus infeksiosus disamping kondisi saat penderita datang masih stabil dan adanya dukungan saudara, keluarga bahkan pacar untuk segera berobat. V.2 Saran Diperlukan upaya yang baik untuk menurunkan kejadian abortus infeksiosus dengan melakukan promosi kesehatan sepertimenghindari hubungan seks pra nikah, pentingnnya pemakaian kontrasepsi untuk 31 menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dengan menerapkan prinsip ABC seperti abstinensi tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah dan tidak punya pasangan, Be Faith yaitu setia kepada satu pasangan saja, Condombersifat dual protection yaitu berguna untuk mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual. Diperlukan sistem yang baikdan peraturan yang jelas serta kerjasama berbagai pihak/lintas sektor untuk melakukan manajemen/penanganan kehamilan yang tidak diinginkan sehingga tidak berlanjut menjadi abortus infeksiosus bahkan sepsis Adanya lembaga khusus dibawah bimbingan pemerintah untuk memberikan pelayanan terhadap kasus kehamilan yang tidak diinginkan untuk mencegah tindakan unsafe abortion. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut karena penelitian deskriptif ini hanya menggunakan data sekunder yaitu dari register dan rekam medik 32 DAFTAR PUSTAKA Aslam AF, Aslam AK, Thakur AC, Vasavada BC, Khan IA (2005) Staphylococcus aureus infective endocarditis and septic pulmonary embolism after septic abortion, International journal of Cardiology 105,233-235. Adler AJ, Fillipi S, Thomas SL, Ronsmans C (2012) Incidence of severe acute maternal morbidity associated with abortion : a systematic review. Tropical medicine and international health; vol 17(2) ,177-190. Ashma R, Neelam P, Geeta G, Meeta S (2004) Induced septic abortion : A major factor in maternal mortality and morbidity, Journal Obstet Gynaecol 30 (1),3-8 Ann B, Howard U (2012) Septic Abortion, Department of Gynecology and Obstetrics, Harvard Medical School, vol 189(12),919-923 Bakta M (2006) Sistem Eritroid dalam Hematologi Klinik Ringkas.9-25 Buchmann E, Kunene B, Pattinson R (2007) Legalized pregnancy termination and septic abortion mortality in south Africa.191-192 Cunningham,F.G.Leveno,K.J.Bloom,S.L.Hauth,J.C.Rause,D.J. Spong,C.Y. 2010. Abortion.In : Williams Obstetrics 23rd Edition. New York : Mc Graw Hill.P.215237. Clarisa R, Mary D, Jesse C, Amy CH, Alka S, Kurt TB (2005) Risk Factors for spontaneous abortion in early symptomatic first-trimester pregnancies. American college of obstetrician and Gynecologists, vol 106 (5),993-999 Darmadi (2008) Cara Penyebaran dan Sifat Penyakit Infeksi dalam Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya.hal 5-12. Darmadi (2008) Faktor Mikroba Patogen dalam Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Hal 23-30. Fetters T, Vonthanak S, Picardo C, Rathavy T (2008) Abortion related complication in Cambodia, BJOG. 33 Finkielman JD, De Feo FD, Heller PG, Afesa B (2004) The Clinical course of patients with septic abortion admitted to an intensive care unit. Intensive care med,30;1097-1102 Gilda S, Stanley K, Henshaw, Susheela S, Akinrinola B, Joanna D (2007) Legal Abortion Wordwide : Incidence and Recent Trends, International Family planning Perspectives 33(3),106-116 Kornia K, Kristanto H (2012) Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri, Penatalaksanaan Sepsis Maternal Bab XII, 184-203 Kaponis A, Papatheodorou S, Makrydimas G (2010) Septic shock due to klebsiella pneumonia after medical abortion with misoprostol only regimen, American society for reproductive medicine 94,1-3. May W, Gulmezoglu AM, Ba-Thike K (2008) Antibiotic for incomplete abortion (Review) The Cochrane collaboration Mudumbi SV (2009) Disseminated cryptococcosis in an HIV-negative pregnancy : a case of cryptococcal septic abortion complicating an immunocompetent pregnancy, International journal of Infectious Diseases 14,351-353 Manuaba IB (2002) Konsep Obstetri & Ginekologi Sosial Indonesia, Masalah Obstetri Sosial yang dihadapi Indonesia, 72-111 Mose JC, Firman FW, Handono B (2009) Aspek klinis abortus dalam Abortus berulang, 1-13 Osazuwa H, Aziken M (2007) Septic abortion : a review of social and demographic characteristic. Arch Gynecol Obstet 275,117-119. Phillip GS, David AG (1994) Septic Abortion. Review article.The New England Journal of Medicine.310-314 Profil Remaja dalam Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2008 Profil hasil pendataan keluarga 2011 34 Rai W (2009) Prevalensi Bakteri Aerob dan Tes Kepekaan Terhadap Antibiotika Pada Abortus Infeksiosus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Tesis Smiti N, Krishna S, Umber A (2002) The Ugly face of Septic Abortion (case report), European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 105,71-72 Steinkraus GE, Wright BD (1994) Septic Abortion with intact fetal membranes caused by Campylobacter fetus subs. Fetus, journal of clinical microbiology 32(6) 1608-1609. Suwiyoga KT, Supriatmaja MD (2006) Lama perawatan dan komplikasi kuretasi segera dan tertunda pada abortus infeksiosus, Cermin dunia kedokteran 151, 1114 Vibeke R (2011) Unsafe abortion and postabortion care-an overview, Departement of Obstetrics and Gynecology, Odense University Hospital,Denmark,629-700 Wiebe E, Hempstock W (2007) Comparison of four regimens of misoprostol after methotrexate for early abortion, university of british Colombia 35