1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alergi obat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alergi obat merupakan bagian dari kelompok kejadian reaksi simpang
obat. Kejadian alergi obat timbul akibat adanya suatu reaksi imunologis yang tidak
dapat diprediksikan setelah pemberian obat tertentu pada subjek yang rentan (Khan
et al., 2010). Alergi obat terjadi sebanyak 15-20% dari seluruh kejadian reaksi
simpang obat yang dapat meningkatkan mobiditas, perpanjangan rawat inap hingga
resiko kematian (Thong et al., 2011). Manifestasi yang timbul akibat kejadian alergi
sagat bervariasi. Manifestasi pada kulit (utrikaria, eksantem, pustula, bulla, SSJ,
TEN), darah (anemia, trombositopenia, granulositopenia), hepatitis, paru, ginjal
hingga reaksi multi organ dapat terjadi (Khan et al., 2010).
Salah satu subjek yang rentan mengalami reaksi alergi obat adalah
pasien dengan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Pasien dengan
infeksi HIV harus menjalani terapi kombinasi ARV (antiretroviral) seumur hidup.
Pasien akan menjalani pengobatan menggunakan obat ARV untuk mencegah
perburukan sistem imun dan mencegah kemungkinan infeksi oportunistik. USAID
mempublikasikan bahwa hingga Juni 2015 sebanyak 15,8 juta orang didunia
menjalani pengobatan menggunakan ARV (The Joint United Nations Programme
on HIV/AIDS UNAIDS, 2015). Sedangkan, di Indonesia jumlah pasien HIV/AIDS
1
2
yang menjalani pengobatan ARV hingga Sebtember 2014 sebanyak 45.631 orang
(Kemenkes, 2014).
Penggunaan ARV pada individu dewasa di Indonesia telah diatur dalam
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral yang diadaptasi dari rekomendasi
WHO yang diterbitkan tahun 2013. Panduan tersebut merekomendasikan
penggunaan kombinasi tiga jenis ARV yang terdiri dari dua jenis NRTI (Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor) dan satu NNRTI (Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor) sebagai lini pertama pengobatan.
Salah satu obat golongan NNRTI yang sering digunakan adalah
nevirapine (NPV). Nevirapine memiliki efikasi yang baik, ketersediaan yang
banyak dan harga yang terjangkau, sehingga secara luas digunakan terutama untuk
daerah dengan fasilitas kesehatan terbatas (Sabbatani S et al. dalam
Tansuphaswadikul et al., 2007). Nevirapine bekerja melawan aktivitas HIV melalui
ikatannya dengan reverse transcriptase sehingga menghentikan aksi DNA
polymerase termasuk menghentikan replikasi HIV (Boehringer Ingelheim, 2005).
Namun penggunaan nevirapine ini seringkali menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dengan manifestasi yang beragam berupa ruam kulit, jaundice,
hepatotoksik dan SSJ (Sindrom Stevens Johnson). Salah satu masifestasi yang
sering muncul dan mudah dikenali adalah reaksi pada kulit. Manifestasi kulit dapat
berupa utrikaria, eksantem, pustula, bulla, SSJ dan TEN dalam berbagai derajat
keparahan hingga dapat mengancam keselamatan jiwa (Milpied-Homsi et al.,
2015).
3
Dalam sebuah penelitian didapatkan bahwa dari 180 pasien HIV yang
menjalani pengobatan nevirapine sebanyak 25 orang atau sebanyak 13,8% yang
mengalami reaksi hipersensitivitas (Dickinson et al., 2014). Risiko terjadinya reaksi
simpang akibat nevirapine juga 2,2 kali lebih besar dibandingkan pada
penggunaaan NNRTI lain yaitu efavirenz (EFV) (Shubber et al. 2013). Namun
hingga saat ini belum ada faktor yang diidentifikasi secara pasti untuk memprediksi
timbulnya reaksi hipersensitivitas ini.
Apabila pasien mengalami reaksi hipersensitivitas akibat penggunaan
nevirapine maka proses pengobatan akan terganggu atau bahkan harus dihentikan.
Persentase penderita yang harus berhenti menggunakan nevirapine karena reaksi
hipersensitivitas sebanyak 6,2% (Wit et al., 2008). Hal ini juga akan meningkatkan
kemungkinan lost of follow up pasien dalam pengobatannya. Padahal, pengobatan
ARV ini membutuhkan konsistensi dan kepatuhan karena proses pengobatannya
akan dilalani seumur hidup. Jumlah pasien HIV di Indonesia hingga September
2014 yang mengalami lost of follow up dari pengobatan ARV adalah sebanyak
15.046 (17,91%) orang dari jumlah total pasien yang pernah menjalani pengobatan
ARV yaitu 84.030 orang (Kemenkes, 2014).
Selain menjalani terapi ARV, setiap pasien yang didiagnosis terinfeksi HIV
juga akan ditentukan stadium klinis sesuai manifestasi yang muncul. Stadium klinis
WHO adalah parameter klinis yang digunakan untuk memandu keputusan klinis
dalam tata laksana pasien HIV/AIDS. Parameter ini di rancang agar dapat
digunakan pada tempat dengan keterbatasan sumberdaya sehingga akses pelayanan
laboratorium sulit didapat (WHO, 2005).
4
Stadium klinis ini ditetapkan berdasarkan tanda klinis tertentu yang mudah
dinilai dan telah disepakati sebelumnya. Semakin parah manifestasi yang muncul
merujuk pada stadium klinis yang lebih tinggi (Kemenkes, 2011). Tingkat
keparahan dari tanda-tanda yang muncul ini juga menggambarkan seberapa luas
organ-organ dalam tubuh pasien mengalami kerusakan atau penurunan fungsi
akibat proses imunodefisiensi. Oleh karena itu stadium klinis pasien juga
merupakan salah satu faktor yang penting dipertimbangkan dalam pemberian obat
pada pasien HIV.
Tingkat imunitas pasien secara tidak langsung dapat digambarkan melalui
stadium klinis infeksi HIV. Stadium klinis tiga dan empat (stadium berat) memiliki
spesifisitas 73% untuk menentukan ambang batas jumlah CD4 <200 sel/mm3
(imunosupresi
berat)(Munthali
et
al.,
2014).
Telah
diketahui
bahwa
hipersensitivitas terhadap obat pada pasien dengan infeksi HIV lebih sering
melibatkan peran sel T klon CD4 dan CD8 sebagai mediator imunitas (MilpiedHomsi et al., 2015). Padahal terdapat penurunan jumlah dan/atau disfungsi sel T
CD4 pada pasien HIV menimbulkan defek kualitatif dan kuantitatif sistem imun
(Longo et al., 2012).
Hingga saat ini terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk
mengetaahui faktor risiko terjadinya alergi nevirapine. Salah satunya adalah
penelitian oleh de Maat dalam Milpied-Homsi et al., (2015) yang menyebutkan
bahwa wanita, individu dengan set T CD4 tinggi serta viremia HIV yang tidak
terkontrol pada awal percobaan memiliki risiko yang lebih tinggi terjadi ruam
akibat nevirapine. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang
5
menghubungkan antara variabel stadium klinis infeksi HIV dengan kejadian alergi
nevirapine. Dengan diketahuinya hubungan stadium klinis infeksi HIV dan alergi
nevirapine,
diharapkan
akan
mempermudah
dokter
untuk
memprediksi
kemunginan alergi nevirapine pada pasien yang menjalani terapi ARV sehingga
dapat diantisipasi sejak dini. Selain itu diharapkan kepatuhan pasien dalam
pengobatan HIV/AIDS akan meningkat dan diikuti oleh peningkatan harapan serta
kualitas hidup pasien.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang ingin dijawab pada penelitian ini adalah:
1. Apakah stadium klinis infeksi HIV yang lebih ringan berpengaruh
terhadap peningkatan kejadian alergi obat nevirapine?
2. Apakah stadium klinis infeksi HIV yang lebih ringan berpengaruh
terhadap peningkatan derajat keparahan ruam kulit akibat alergi
nevirapine?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh antara stadium klinis infeksi HIV yang lebih
ringan terhadap peningkatan kejadian alergi obat nevirapine.
6
2. Mengetahui pengaruh antara stadium klinis infeksi HIV yang lebih
ringan terhadap peningkatan derajat keparahan ruam kulit akibat alergi
nevirapine.
D. Manfaat Penelitian
1. Membantu dokter dan praktisi kesehatan lain dalam menentukan pilihan
terapi serta prognosis pemberian nevirapine pada penderita HIV pada
stadium klinis tertentu.
2. Mendorong peningkatan tingkat keberhasilan terapi ARV dengan
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan ARV karena alergi
obat dapat diprediksikan dan dicegah.
3. Data yang dihasilkan pada penelitian diharapkan dapat digunakan
sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya yang berkorelasi dengan
penelitian ini.
E. Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan hubungan tingkat imunitas
berupa jumlah CD4 dan predisposisi genetik dengan alergi/reaksi hipersensitivitas
nevirapine yang tercantum dalam tabel 1. Adapun penelitian mengenai hubungan
antara stadium klinis infeksi HIV dengan alergi obat nevirapine belum pernah
dilakukan. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan stadium
klinis infeksi HIV yang ringan dan berat dengan risiko alergi dalam pemberian
nevirapine di Yogyakarta.
7
Tabel 1. Keaslian Penelitian
Penulis (tahun terbit)
Tansuphaswadikul et al.
(2007)
Wit et al. (2008)
Tujuan Penelitian
Menentukan faktor predisposisi dan insidensi
toksisitas pasien AIDS yang menjalani
pengobatan nevirapine pada praktik klinis.
Mengetahui apakah rekomendasi untuk
menghindari pemberian nevirapine pada
penderita “naive” juga berlaku untuk penderita
yang mengalami penggantian terapi menjadi
kombinasi berbasis nevirapine.
Metode
Tempat dan
jumlah sampel
Cohort
Thailand, 206
Cohort
Belanda, 3.752
Kiertiburanakul et al.
(2009)
Mengembangkan model dan skor risiko prediksi
kejadian ruam terkait nevirapine pada penderita
HIV dengan kadar CD4 yang rendah.
Crosssectional
Thailand, 222
Carr et al. (2013)
Mengidentifikasi penanda prediktif human
leukocyte antigen (HLA) yang dihubungkan
dengan hipersensitivitas terhadap nevirapine.
Kasus-kontrol
Malawa, 117
Cohort
Taiwan, 338
Tseng et al. (2014)
Mengetahui insidensi dan faktor yang
diasosiasikan dengan ruam kulit dan toksisitas
hari pada pasien HIV yang menjalani terapi
ARV kombinasi mengandung nevirapine
ditambah dua NRTI.
Hasil
Insidensi toksisitas nevirapine pada pasien
AIDS dengan jumlah CD4 yang rendah adalah
1,09/100 orang tiap bulan.
Pada penderita naive, nilai median CD4 awal
kelompok
yang
mengalami
reaksi
hipersensitivitas akibat nevirapine lebih tinggi
(263 sel/mm3) dibandingkan kelompok yang
tidak mengalami reaksi hipersensitivitas (230
sel/mm3).
Jumlah CD4 >100 vs <100 sel/mm3 ketika
inisiasi nevirapine mimiliki odd ratio 2,69
terhadap kejadian ruam yang diasosiasikan
dengan pemberian nevirapine.
OR mutlak terhadap risiko SSJ dihubungkan
dengan HLA-C*04:01 adalah 5,17. Sedangkan
alel didalam lokus HLA-DQB1 melindungi
terhadap
munculnya
hipersensitivitas
nevirapine.
Baseline fungsi hati yang abnormal
diasosiasikan dengan kejadian ruam kulit. Pada
analisis regresi logistik CD4 yang lebih tinggi
dengan tiap peningkatan 50 sel/ml memiliki
OR 1,51, 95% CI 1,12–2,03.
Download