BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Iklim Organisasi Pertama kali istilah iklim organisasi (organizational climate) diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an. Beliau menggunakan istilah iklim psikologi (psychological climate). Kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh Tagiuri dan Litwin (1968) yang mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam hubungan dengan latar atau tempat (setting) dimana perilaku muncul : lingkungan (environment), lingkungan pergaulan (milieu), budaya (culture), suasana (atmosphere), situasi (situation), pola lapangan (field setting), pola perilaku (behavior setting), dan kondisi (conditions) . Ada beberapa teori iklim organisasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Teori Steers Steers (1977) mengemukakan hubungan antara sebagian faktor penentu iklim, hasil individu dengan efektivitas organisasi dimana faktor penentu iklim organisasi adalah kebijakan dan praktek manajemen, sturktur organisasi, teknologi dan lingkungan luar. 2. Teori Miles Sergiovanni (1983) mengemukakan bahwa terdapat sepuluh indikator untuk megetahui sehat atau kurang sehatnya iklim organisasi, yaitu: tujuan (goal focus), komunikasi (communication adequacy), optimalisasi kekuasaan (optimal power equalization), pemanfaatan sumber daya (resource utilization), kohesifitas (cohesiveness), moril (moral), inovatif (innovativeness), otonomi (autonomy), adaptasi (adaptation), pemecahan masalah (problem solving adequacy) 3. Teori Likert Likert (1967) mengembangkan sebuah instrumen yang memuaskan pada kondisi-kondisi perilaku dan gaya-gaya manajemen yang digunakan. Karakteristik yang dicakup oleh skala Likert adalah perilaku pemimpin, motivasi, komunikasi, proses pengaruh interaksi, pengambilan keputusan, penentuan tujuan, dan kontrol 4. Teori Litwin dan Stringer Litwin dan Stringer (1968) menggunakan teori tiga kebutuhan (berprestasi, berafiliasi, dan berkuasa) dari McClelland sebagai tipe utama motivasi, ditemukan bahwa ketiga kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh iklim organisasi. Juga terdapat sembilan dimensi iklim organisasi, yaitu struktur, tanggung jawab, imbalan, resiko, keramahan, kehangatan hati, dukungan, standar, konflik, dan identifikasi. Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas, para ahli memiliki konsep iklim organisasi yang berbeda-beda. Namun teori yang berbeda tersebut memiliki karakteristik yang menggambarkan iklim organisasi dan berbeda dari konsep yang lain. Adapun karakteristik tersebut seperti dibawah ini: 1. Iklim secara umum dapat berubah-ubah setiap waktu. 2. Iklim merupakan persepsi dan bagian anggota organisasi, yang dapat menghasilkan mufakat antara individu-individu. 3. Terdiri dari pengaruh global anggota organisasi melalui interaksi dengan yang lain dan kebijakan organisasi, struktur dan proses. 4. Persepsi iklim menggambarkan peristiwa lingkungan dan kondisi daripada evaluasi mereka. 5. Iklim dapat secara potensial mempengaruhi tingkah laku individu. Iklim organisasi secara objektif eksis, terjadi di setiap organisasi, dan mempengaruhi perilaku anggota organisasi, tetapi hanya dapat diukur secara tidak langsung melalui persepsi anggota organisasi. Ini berarti peneliti yang menginginkan informasi mengenai iklim suatu organisasi perlu menjaringnya menggunakan kuesioner, wawancara dan observasi dari anggota organisasi. Dimensi dan indikator iklim organisasi harus dikembangkan guna mengukur iklim organisasi. Dimensi iklim organisasi adalah unsur, faktor, sifat atau karakteristik variabel iklim organisasi. Dimensi iklim organisasi terdiri atas beragam jenis dan berbeda pada setiap organisasi. Altman (2000) mengemukakan bahwa studi yang dilakukan oleh pakar iklim organisasi menunjukkan paling tidak 460 jenis lingkungan kerja dengan iklim organisasinya sendiri-sendiri. menunjukkan dimensi dan indikator iklim organisasi secara umum. Tabel 1 Tabel 1. Dimensi dan indikator iklim organisasi Dimensi Keadaan lingkungan fisik tempat kerja Keadaan lingkungan sosial Pelaksanaan Sistem Manajemen Produk Konsumen, Klien dan nasabah yang dilayani Kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi Indikator • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Tempat kerja Mebel Alat produksi dan sebagainya Hubungan atasan dan bawahan Hubungan antar teman sekerja Sistem komunikasi Sistem kepemimpinan Kebersamaan Kerjasama dalam melaksanakan tugas Penghargaan terhadap kreativitas dan inovasi karyawan Saling mempercayai Humor Visi, misi, dan strategi organisasi Karakteristik organisasi Struktur organisasi Sistem birokrasi organisasi Distribusi kekuasaan Delegasi kekuasaan Proses pengambilan keputusan Alokasi sumber-sumber daya Standar kerja Prosedur kerja Karakteristik pekerjaan Karakteristik peran Sistem imbalan Pengembangan karir Manajemen konflik Iklim etis Proses produksi Jenis barang dan prosedur layanan konsumen Jenis jasa dan prosedur penyajiannya Jenis konsumen Perilaku konsumen Hubungan anggota organisasi dengan konsumen Sistem layanan Keenergetikan Kesehatan Komitmen Moral Kebersamaan Etos kerja Semangat kerja Tabel 1. (Lanjutan) Dimensi Indikator • • • • • • Budaya organisasi Pelaksanaan nilai-nilai Pelaksanaan norma Kepercayaan dan filsafat Pelaksanaan kode etik Pelaksanaan seremoni Sejarah organisasi Sumber : Wirawan (2007) Dimensi iklim organisasi menurut Litwin dan Stringer (1968) ada 6 (enam) dimensi yang diperlukan yakni ; 1. Struktur. Struktur merefleksikan perasaan bahwa karyawan diorganisasi dengan baik dan mempunyai definisi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab mereka. Meliputi posisi karyawan dalam perusahaan. 2. Standar-standar. Mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki kinerja dan derajat kebanggaan yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya dengan baik. Meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan. 3. Tanggung jawab. Merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi “pimpinan diri sendiri” dan tidak pernah meminta pendapat mengenai keputusannya dari orang lain. Meliputi kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan. 4. Pengakuan. Perasaan karyawan diberi imbalan yang layak setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan. 5. Dukungan. Merefleksikan perasaan karyawan mengenai kepercayaan dan saling mendukung yang berlaku dikelompok kerja. Meliputi hubungan dengan rekan kerja yang lain. 6. Komitmen. Merefleksikan perasaan kebanggaan dan komitmen sebagai anggota organisasi. Meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Dimensi iklim organisasi menurut Koys et al. (1991) adalah sebagai berikut : 1. Otonomi (outonomy). Persepsi mengenai penentuan sendiri prosedur kerja, tujuan, dan prioritas 2. Kebersamaan (cohesion). Perasaaan kebersamaan diantara altar organisasi, termasuk kemauan anggota organisasi untuk menyediakan bahan-bahan bantuan. 3. Kepercayaan (trust). Persepsi kebersamaan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan anggota organisasi level atas mengenai isu sensitif dan personal dengan harapan bahwa integritas komunikasi seperti itu tidak dilanggar. 4. Tekanan (pressure). Persepsi mengenai tuntutan waktu untuk menyelesaikan tugas dan standar kinerja. 5. Dukungan (support). Persepsi toleransi perilaku organisasi oleh atasannya, termasuk membiarkan anggota belajar dari kesalahannya tanpa ketakutan dan hukuman. 6. Pengakuan (recognition). Persepsi bahwa kontribusi anggota organisasi kepada organisasi diakui dan dihargai. 7. Kewajaran (fairness). Persepsi bahwa praktik organisasi adil, wajar, dan tidak sewenang-wenang atau berubah-ubah. 8. Inovasi (Innovation). Persepsi bahwa perubahan dan kreatifitas didukung, termasuk pengambilan resiko mengenai bidang-bidang baru dimana anggota organisasi tidak atau sedikt mempunyai pengalaman sebelumnya. Berbeda dengan iklim organisasi yang dikemukan oleh Ekvall (1986); 1. Tantangan (challenge). Keterlibatan dan komitmen terhadap organisasi. 2. Kemerdekaaan (freedom). Sampai seberapa tinggi karyawan diberi kebebasan 3. Dukungan untuk ide-ide (support for ideas). Sikap manajemen dan karyawan terhadap ide baru. 4. Kepercayaan (trust). Keamanan emosional dan kepercayaan hubungan antar anggota dalam organisasi. 5. Semangat (liveliness). Dinamika dalam organisasi. 6. Keintiman/humor (playfulness/humor). Kemudahan yang ada dalam organisasi. 7. Debat (debate). Sampai seberapa tinggi perbedaan pendapat serta ide-ide dan pengalaman ada dalam organisasi. 8. Konflik (conflics). Adanya tensi personal dan emosional. 9. Pengambilan risiko (risk taking). Kemauan untuk menoleransi insekuriti dalam organisasi. 10. Ide dan waktu (Idea and time). Waktu yang digunakan untuk mengembangkan ide-ide baru. 2.2 Kepuasan Kerja Karyawan adalah kekayaan utama bagi setiap perusahaan. Mereka menjadi perencana, pelaksana, dan pengendali yang selalu berperan aktif dalam mewujudkan tujuan perusahaan. Karyawan menjadi pelaku yang menunjang tercapainya tujuan, mempunyai pikiran, perasaan, dan keinginan yang dapat mempengaruhi sikap-sikapnya terhadap pekerjaannya. Sikap ini akan menentukan prestasi kerja, dedikasi, dan kecintaan terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Sikap-sikap positif harus dibina, sedangkan sikap-sikap negatif hendaknya dihindari. Sikap-sikap karyawan dikenal dengan kepuasan kerja, stres dan frustasi yang ditimbulkan oleh pekerjaan, peralatan, lingkungan, kebutuhan dan sebagainya. Kepuasan kerja karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat. Oleh karena itu kepuasan kerja karyawan sangat penting dan merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan, prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan. Robbin (2001) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima.Pandangan senada dikemukakan oleh Gibson et al. (2000) yang menyatakan kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merupakan variabel tergantung utama karena dua alasan yaitu ; (1) menunjukkan hubungan dengan faktor kinerja; dan (2) merupakan preferensi nilai yang dipegang banyak peneliti perilaku organisasi. Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa lainnya. Menurut Hasibuan (2009) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktorfaktor sebagai berikut; 1. Balas jasa yang adil dan layak. 2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian. 3. Berat ringannya pekerjaan. 4. Suasana dan lingkungan kerja. 5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. 6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya. 7. Sikap pekerjaan monoton atau tidak. Ada 2 teori kepuasan kerja yakni ; 1. Two-Factor Theory Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan disatisfaction (ketidakpuasan) merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu motivators dan hygiene factors. Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi disekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, keamanan, kualitas pengawasan dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya hanya dengan pekerjaan itu sendiri. Faktor ini dinamakan sebagai hygiene factors. Sebaliknya kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk mengembangkan diri dan pengakuan. Faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi, dinamakan motivators. 2. Value Theory Menurut konsep ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil, akan semakin puas. Sebaliknya semakin sedikit mereka menerima hasil, akan kurang puas. Value Theory memfokuskan pada hasil manapun yang menilai orang tanpa memerhatikan siapa mereka. Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan orang. Dalam bukunya Gitosudarmo dan Sudita (2000) menuliskan teori Dua Faktor Herzberg yang berkaitan dengan kepuasan kerja yang sering dipakai pada masa ini adalah “Teori Dua Faktor (Motivator Hygene Theory)”. Herzberg mengemukakan bahwa pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor utama yang merupakan kebutuhan, yaitu: 1. Faktor motivasi yang menyangkut kebutuhan psikologis yang berhubungan dengan penghargaan terhadap individu yang secara langsung berkaitan denganpekerjaannya (elemen pekerjaan itu sendiri) dan merupakan sumber kepuasan kerja. Faktor-faktor tersebut mencakup : a.) Pekerjaan itu sendiri (The work itself) Menyangkut karakteristik dari pekerjaan, yaitu apakah pekerjaan tersebut menantang, menarik ataukah justru membosankan. b.) Prestasi kerja (Achievement) Adanya kesempatan untuk menunjukkan prestasi yang lebih baik dari sebelumnya, yang diperoleh melalui usaha dan kemampuan. c.) Promosi (Promotion) Tersedianya kesempatan untuk berkembang dalam pekerjaan dan jabatan. d.) Pengakuan (Recognition) Adalah adanya penghargaan dan pengakuan atas prestasi kerja melalui umpan balik yang diterima. e.) Tanggung Jawab (Reponsibility) Tanggung jawab disini adalah kewajiban menjalankan fungsi jabatan dan tugas yang sesuai dengan kemampuannya serta pengarahan yang diterima. 2. Faktor-faktor pemeliharaan (maintenance factors) atau dikenal juga dengan hygene factors atau dissatisfier. Merupakan faktor-faktor yang berhubungan ketidakpuasan kerja dan merupakan suatu faktor ekstrinsik, yang berkaitan dengan keadaan pekerjaan. Faktor-faktor ini mencakup: a.) Rekan Kerja (co worker) yang dimaksud adalah apakah dalam bekerja rekan-rekan dapat diajak bekerjasama, memiliki kompetensi, bersahabat, dan saling tolongmenolong. b.) Gaya penyeliaan (quality and technical support) Gaya penyeliaan yang dimaksud disini adalah kualitas dan bentuk pengawasan, pengarahan dan pembimbingan yang diterima dari atasan. c.) Hubungan antar karyawan (Relations with others) Adanya kerja sama antar bawahan dan atasan dalm hal tolong menolong dan saling memberikan dorongan. d.) Kondisi lingkungan fisik kerja (psychological working conditions) Meliputi kondisi lingkungan baik tempat bekerja, seperti penerangan, tempratur, kualitas udara, serta peralatan kerja. e.) Kebijaksanaan perusahaan (Company policies) Termasuk di dalamnya mengenai administrasi, dan prosedur kerja yang diterapkan perusahaan, peraturan-peraturan kebijaksanaan perusahaan, dan tindakan yang diambil perusahaan untuk kepentingan karyawan. f.) Gaji (Salary pay) Yang dimaksud adalah imbalan jasa berupa uang yang dibawa oleh karyawan sesuai dengan jenis dan beban pekerjaan yang dilaksanakan. g.) Keamanan kerja (Job security) Berupa kejelasan dari pekerjaan yang dipegang, kelangsungan pekerjaan, jaminan hari tua, tunjangan-tunjangan, tingkat kepangkatan, serta kedudukan dalam organisasi. Menurut Kreitner (2001) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja yaitu ; 1. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan) Model ini dimaksukan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Discrepancies (perbedaan) Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat atas harapan. 3. Value attainment (pencapaian hasil) Gagasan Value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan harapan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4. Equity (keadilan) Model ini dimaksud bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat keja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukan pekerjaan lainnya. 5. Dispositional/genetic component (komponen genetik) Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model ini menyiratkan perbedaan individu hanya mempuyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan. Kepuasan kerja pada penelitian ini diukur menggunakan teori Weiss et al. (1967) yang dituangkan dalam Minessotta Satisfaction Quetionnaire (MSQ). Pertimbangan untuk menggunakan MSQ karena MSQ didesain untuk mengukur kepuasan karyawan sehubungan dengan pekerjaannya serta mengukur berbagai aspek pekerjaan. Adapun keuntungan MSQ karena mudah digunakan, mudah dimengerti, valid dan reliabel, dapat dipakai setiap organisasi, dapat dipakai manajer, supervisor, dan karyawan. Menurut Luthan (2006) terdapat empat cara yang dapat dipakai untuk mengukur kepuasan kerja, yaitu : 1. Rating Scale Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan Rating Scale antara lain: (1) Minnessota Satisfaction Questionare, (2) Job Descriptive Index, dan (3) Porter Need Satisfaction Questionare. Minnesota Satisfaction Questionare (MSQ) adalah suatu instrumen atau alat pengukur kepuasan kerja yang dirancang demikian rupa yang di dalamnya memuat secara rinci unsur-unsur yang terkategorikan dalam unsur kepuasan dan unsur ketidakpuasan. Skala MSQ mengukur berbagai aspek pekerjaan yang dirasakan sangat memuaskan, memuaskan, tidak dapat memutuskan, tidak memuaskan dan sangat tidak memuaskan. Karyawan diminta memilih satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya. Job descriptive index adalah suatu instrumen pengukur kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Kendall dan Hulin (1964). Dengan instrumen ini dapat diketahui secara luas bagaimana sikap karyawan terhadap komponen-komponen dari pekerjaan itu. Variabel yang diukur adalah pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, supervisi dan mitra kerja. Porter Need Satisfaction Questionare adalah suatu instrumen pengukur kepuasan kerja yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja para manajer. Pertanyaan yang diajukan lebih memfokuskan diri pada permasalahan tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh para manajer. 1. Critical Incidents Critical Incidents dikembangakan oleh Frederick Herzberg (1993). Dia menggunakan teknik ini dalam penelitiannya tentang teori motivasi dua faktor. Dalam penelitiannya tersebut dia mengajukan pertanyaan kepada para karyawan tentang faktor-faktor apa yang saja yang membuat mereka puas dan tidak puas. 2. Interview Untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan wawancara yang dilakukan terhadap para karyawan secara individu. Dengan metode ini dapat diketahui secara mendalam mengenai bagaimana sikap karyawan terhadap berbagai aspek pekrjaan. 3. Action Tendencies Action Tendencies dimaksudkan sebagai suatu kecenderungan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kepuasan kerja karyawan dapat dilihat berdasarkan action tendencies. Ada 3 bentuk MSQ yang disediakan yakni dua bentuk panjang (versi 1977 dan versi 1967) dan sebuah bentuk pendek. MSQ menyediakan informasi yang lebih spesifik pada aspek pekerjaan yang menjadi sebuah penghargaan individu lebih dari ukuran umum kepuasan. Instrumen versi 1967 berbentuk panjang memiliki 100 item pertanyaan. 100 pertanyaan mewakili 20 dimensi dengan 5 pertanyaan setiap dimensi. Adapun dimensi yang diukur seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Dua puluh dimensi MSQ Dimension Description ability utilization achievement activity advancement authority company compensation co-workers creativity independence the chance to use one’s abilities feelings of accomplishment being able to stay busy on the job the opportunity to advance the chance to direct others satisfaction with company policies pay for the work done relationships with co-workers the chance to try own work methods the opportunity to work alone moral values recognition responsibility not having violate conscience at work praise received from work done freedom to use own judgment security social service social status supervision (HR) supervision (technical) steady employment of the job the chance to do things for others the opportunity to be “somebody” way the boss handles employees competence of supervisor variety working conditions the chance to do different things occasionally all facets of the work environment Sumber : Manual MSQ Sedangkan versi 1977 terdiri dari 20 item pertanyaan dengan skala likert 15. Dua puluh item pertanyaan diambil dari 100 item pertanyaan versi bentuk panjang yang mewakili setiap dimensi. Kepuasan kerja berhubungan langsung dengan kinerja, sikap, motivasi dan produktivitas. Nilai dari MSQ secara akurat mengukur kepuasan kerja, dan mengidentifikasi area khusus (20 dimensi diatas) yang berpengaruh kuat terhadap kinerja dan perilaku manusia di tempat kerja. 2.3 Komitmen Organisasi Komitmen organisasi (organizational commitment) sangat penting karena organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasinya maka berdampak pada komitmen terhadap tugas-tugasnya. Perusahaan harus berusaha agar karyawan yang berada di dalam organisasinya tetap komitmen terhadap organisasi. Komitmen karyawan ditentukan oleh dan dapat diukur melalui empat hal yakni kepuasan karyawan, motivasi karyawan, loyalitas karyawan dan rasa bangga karyawan terhadap/bekerja di perusahaan. Komitmen organisasi merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak diteliti, baik sebagai variabel terikat, variabel bebas maupun variabel mediator. Menurut Greenberg dan Baron (1993) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya lebih menguntungkan bagi perusahaan. Mowday et al. (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai “ kekuatan relatif dari identifikasi karyawan pada dan keterlibatan didalam sebuah organisasi khusus.” Definisi ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi bukan hanya loyalitas pasif namun melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasi. Allen dan Meyer (1990) mengemukan tipologi terakhir dari komitmen organisasi. Ada tiga komitmen yang dikemukan yakni komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuans (continuance commitment), dan komitmen normatif (normative commitment). Adapun definisi dan penjelasan dari setiap komponen komitmen organisasi organisasi adalah sebagai berikut. 1. Komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Disini karyawan dituntut memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka ingin melakukan hal tersebut. 2. Komitmen kontinuans berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Karyawan yang bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh melakukan hal tersebut karena tidak ada pilihan lagi. 3. Komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib bertahan dalam organisasi. Allen dan Meyer (1990) juga membagi faktor penyebab (anteseden) komitmen organisasi berdasarkan ketiga komponen komitmen organisasi, yaitu; 1. Anteseden komitmen afektif terdiri dari karakteristik pribadi, karakteristik pribadi, karakteristik jabatan, pengalaman kerja, serta karakteristik struktural. Karakteristik struktural meliputi besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol, dan sentralisasi otoritas. Dari empat faktor penyebab tersebut, anteseden yang paling berpengaruh adalah pengalaman kerja, terutama pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk merasa aman dalam organisasi dan kompeten dalam menjalankan peran kerja. 2. Anteseden komitmen kontinuans terdiri dari besarnya dan/atau jumlah investasi atau taruhan sampingan individu, dan persepsi atas kurangnya alternatif pekerjaan lain. Karyawan yang merasa telah berkorban ataupun mengeluarkan investasi yang besar terhadap organisasi akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi. Begitupun karyawan yang merasa tidak memiliki pekerjaan lain yang lebih menarik akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi karena belum tentu memperoleh sesuatu yang lebih baik dari apa yang diperoleh selama ini. 3. Anteseden komitmen normatif terdiri dari pengalaman individu sebelum masuk dalam organisasi serta pengalaman sosialisasi selama berada didalam organisasi. Komitmen normatif karyawan dapat tinggi jika sebelum masuk kedalam organisasi, orang tua karyawan yang juga bekerja dalam organisasi tersebut menekankan pentingnya kesetiaan pada organisasi. Agar komitmen normatif karyawan tinggi maka organisasi harus menanamkan kepercayaan pada karyawan bahwa organisasi mengharapkan loyalitas. Dari uraian anteseden penelitian Allen dan Meyer (1990) dapat disimpulkan bahwa anteseden komitmen organisasi terdiri dari karakteristik personal, karakteristik pekerjaan, karakteristik organisasi, serta pengalaman karyawan terhadap organisasi. Dalam mengukur komitmen organisasi harus merefleksikan ketiga komponen komitmen tersebut diatas. Salah satu pengukuran yang terkenal dan merefleksikan ketiga komponen tersebut adalah Organizational Commitment Questionnare (OCQ) yang dibuat oleh Allen dan Meyer (1990). Alat ukur ini telah direvisi beberapa kali dan revisi terakhir dilakukan Meyer dan Allen pada tahun 1997. Alat ini terdiri dari 18 item pertanyaan, dimana setiap komponen diwakili oleh 6 item. Skala komitmen organisasi ini memiliki skor 1-5. 2.4 Hubungan Iklim Organisasi, Kepuasan Kerja dan Komitmen Ada sejumlah studi yang meneliti hubungan antara iklim organisasi dan kepuasan kerja, serta komitmen organisasi. Penelitian pada perusahaan bisnis dilakukan oleh Castro dan Martin (2010) yang menguji hubungan iklim organisasi dan kepuasan kerja pada organisasi informasi dan teknologi di Afrika Selatan. Dengan menggunakan metode stepwise regression menunjukkan bahwa 9 dari 12 dimensi iklim organisasi menunjukkan hubungan positif yang kuat terhadap variabel kepuasan kerja. Pearson product moment correlation menunjukkan bahwa ada 11 dimensi yang mempengaruhi individu secara langsung dan tidak langsung. Dimensi yang mempengaruhi individu secara langsung adalah pengembangan individu, interpersonal yang dimiliki, karyawan yang baik dan pekerjaan yang menarik dan menantang. Sedangkan dimensi yang tidak mempengaruhi secara langsung pada individu adalah kepemimpinan manajer yang dekat, perbedaan dan transformasi, image, upah, lingkungan pisik kerja serta pengakuan dan penghargaan. Bhaesajsanguan (2010) juga menguji hubungan antara iklim organisasi, kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan cara meneliti perilaku teknisi Thai pada sektor swasta telekomunikasi Thai. Data dianalisis dengan SEM Lisrel menunjukkan bahwa tingkah laku teknisi tergantung pada iklim organisasinya sehingga berhubungan positif terhadap kepuasan kerja teknisi serta memperlihatkan juga bahwa iklim organisasi mempunyai hubungan positif dengan komitmen organisasi melalui kepuasan kerja. Dengan menggunakan T-test dan ANOVA menunjukkan bahwa profil demografi tidak signifikan terhadap iklim organisasi. Adapun variabel profil demografi yang dipakai adalah gender, umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, departemen, gaji, posisi, masa kerja. Chen (2005) dalam disertasinya yang berjudul “Factors Affecting Job Satisfaction of Public Sector Employees in Taiwan” dimana penelitian membandingkan berbagai macam faktor demografi dari karyawan pemerintahan publik di Taiwan yang dikaitkan dengan tingkat kepuasan kerja dan motivasi. Penelitian ini menggunakan Minnesota Satisfaction Quesionnaires (MSQ) short form untuk mengukur kepuasan kerja. Hasil penelitian yang mendukung hipotesa adalah umur, masa jabatan pada pekerjaan, posisi pekerjaan merupakan hal yang membedakan tingkat kepuasan kerja. Sedangkan untuk dugaan bahwa gender juga akan berpengaruh kuat pada tingkat kepuasan tidak mendukung hipotesa, justru menunjukkan bahwa perbedaan gender tidak memiliki pengaruh yang kuat. Crespell (2007) dalam disertasinya tentang iklim organisasi yang berjudul “Organizational Climate, Innovativeness, and Firm Performance: Insearch of a conceptual Framework” bahwa iklim organisasi memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap inovasi dan kinerja perusahaan. Inovasi adalah elemen inti dari strategi perusahaan dan iklim organisasi membantu perkembangan untuk mempengaruhi inovasi yang positif dari inovasi dan kinerja dari perusahaan. Iklim organisasi untuk inovasi dikarakteristikkan oleh otonomi pada tingkat yang tinggi dan dorongan, tim yang kohesi, terbuka untuk perubahan dan pengambilan resiko, pekerjaan yang menarik, dan tersedia sumber yang cukup. Lindberk (2004) dalam disertasinya “ A Study of The Relationship Between Leadership Styles and Organizational Climate and The Impact of Organizational Climate on Businness Results” dimana ada dua hal yang diuji yakni pertama menguji hubungan antara gaya kepemimpinan dan iklim organisasi. Kedua menguji iklim organisasi dengan hasil bisnis. Penelitian ini dilakukan untuk pimpinan pada level utama pada perusahaan asuransi. Analisis dilakukan dengan menggunakan korelasi dan regresi berganda dimana dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara gaya kepemimpinan dan beberapa dimensi iklim organisasi. Khususnya gaya kepemimpinan yang berfokus pada hubungan yang berhubungan dengan dimensi iklim organisasi. Semua dimensi iklim organisasi berhubungan dengan gaya kepemimpinan kecuali komitmen. Tidak ada perbedaan gaya kepemimpinan dan iklim organisasi berdasarkan gender, tahun menjabat, atau sejumlah laporan. Dari 4 (empat) penelitian dilakukan pada perusahaan bisnis diatas terhadap variabel iklim organisasi, kepuasan dan komitmen dapat disimpulkan bahwa; 1. Dengan metode stepwise regression dan SEM Lisrel hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim organisasi memiliki hubungan yang kuat terhadap kepuasan kerja serta komitmen organisasi. Semua dimensi iklim organisasi berhubungan dengan gaya kepemimpinan kecuali komitmen. 2. Profil demografi tidak signifikan terhadap iklim organisasi. 3. Secara umum bahwa profil demografi menunjukkan pengaruh yang kuat terhadap kepuasan kerja. Penelitian pada perusahaan non bisnis khususnya pada pendidikan tinggi mengenai ketiga variabel ini dilakukan Seniati (2006) yang meneliti pengaruh masa kerja, trait kepribadian, kepuasan kerja dan iklim psikologi terhadap komitmen dosen pada Universitas Indonesia. Dengan menggunakan SIMPLIS atau Simple Lisrel diperoleh hasil (1) model teoritik yang terdiri dari masa kerja, trait kepribadian, kepuasan kerja, dan iklim psikologis sesuai (fit) untuk menjelaskan komitmen dosen pada universitas (2) Masa kerja berpengaruh langsung yang positif dan bermakna terhadap komitmen dosen pada universitas (3) Ada pengaruh yang positif dan bermakna dari kepuasan kerja terhadap komitmen dosen pada universitas. Arabaci (2010) yang menguji persepsi staf akademik dan administrasi tentang iklim organisasi pada Fakultas Pendidikan Universitas Firat menunjukkan hasil bahwa staf akademik lebih memiliki persepsi yang positif terhadap iklim organisasinya dibandingkan dengan staf administrasi. Penemuan lain yang didapat dari penelitian ini bahwa wanita dan staf senior memiliki persepsi positif terhadap iklim organisasi dibandingkan dengan pria dan staf junior. Adenike (2011) juga meneliti iklim organisasi sebagai prediksi kepuasan kerja dari staf akademik Universitas Swasta Nigeria. Hasil dianalisis dengan SEM Amos 18.0 menunjukkan bahwa variabel iklim organisasi dan kepuasan kerja mempunyai hubungan positif yang signifikan. Penelitian Gul (2008) yang mengukur 5 dimensi iklim organisasi yakni rule and discipline, democracy, social and culture factors, organizational image dan organizational goals pada Fakultas Teknologi Pendidikan Universitas Kocaeli, Turki menunjukkan bahwa 5 dimensi terdapat perbedaan signifikan antara akademisi yang berada pada jabatan manajemen dan yang bukan pada jabatan manajemen. Dari empat penelitian pada perguruan tinggi diatas dapat disimpulkan bahwa; 1. Pada penelitian di perguruan tinggi variabel iklim organisasi dan kepuasan kerja juga menunjukkan hubungan positif yang signifikan. 2. Masa kerja berpengaruh langsung positif artinya semakin lama karyawan bekerja maka semakin tinggi komitmen pada perguruan tinggi. 3. Staf akademik lebih memiliki persepsi yang positif terhadap iklim organisasinya dibandingkan dengan staf administrasi. 4. Pada perguruan tinggi wanita dan staf senior memiliki persepsi positif terhadap iklim organisasi dibandingkan dengan pria dan staf junior. 5. Ada perbedaan signifikan antara akademisi yang berada pada jabatan manajemen dan yang bukan pada jabatan manajemen mengenai iklim organisasi. Jurnal dari Natarajan (2011) yang berjudul” Relationship of Organizational Commitment with Job Satisfaction” ditemukan bahwa komitmen afektif merupakan prediktor yang kuat untuk menghitung varians intrinsik, ekstrinsik dan total kepuasan kerja. Lebih lanjut komitmen dihitung untuk beberapa varians pada kasus ekstrinsik dan total kepuasan. Oleh karena disimpulkan bahwa karyawan ditunjukkan tingkat komitmen normatif yang tinggi akan memiliki kepuasan kerja intrinsik dan komitmen continuance yang tinggi ditunjukkan oleh ekstrinsik dan total kepuasan kerja. Reichers (1985) pada jurnalnya yang berjudul “A Review and Reconceptualition of Organizational Commitment” mengemukakan bahwa pengalaman karyawan menimbulkan perbedaan komitmen yang merupakan tujuan dan nilai grup. Disertasi Nayak (2002) yang berjudul Job Satisfaction and Organizational Commitment as Factors of Turnover Intention of IRS Procurement Employees, penelitian ini bertujuan menilai kepuasan kerja karyawan serta menilai 4 item dari komitmen affectiv. Penelitian menguji kepuasan kerja dan komitmen organisasi sebagai faktor tujuan pengantian karyawan IRS Procurement. Pengaruh dari ras, gender dan umur dalam kepuasan dan komitmen diuji dalam penelitian ini. Hasil penelitian ditemukan bahwa tujuan pengantian karyawan IRS Procurement tidak berhubungan signifikan terhadap kepuasan kerja dan komitmen karyawan. Begitu juga karyawan pria dan wanita di organisasi IRS Procurement tidak mengalami perbedaan tingkat signifikan kepuasan kerja dan komitmen. Lebih lanjut, dibuktikan bahwa bangsa kulit putih dan bukan bangsa kulit putih di organisasi IRS Procurement tidak mengalami perbedaan tingkat signifikan kepuasan kerja dan komitmen. Penelitian mengenai kepuasan dan komitmen diatas dapat disimpulkan bahwa; 1. Komitmen afektif merupakan prediktor yang kuat untuk menghitung total kepuasan kerja. Sedangkan pengalaman karyawan menimbulkan perbedaan komitmen setiap karyawan. 2. Kepuasan kerja dan komitmen karyawan tidak berhubungan signifikan terhadap pergantian karyawan. Pada tesis Sunarsih (2010) menemukan bahwa adanya hubungan budaya organisasi dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi staf administrasi UT. Temuan ini menunjukkan bahwa semakin adaptif budaya organisasi dan semakin baik kepuasan kerja, maka semakin tinggi komitmen organisasi. Konsep budaya dan iklim organisasi mempunyai pengertian yang berbeda walaupun keduanya saling berhubungan. Budaya organisasi berakar pada nilai-nilai, norma, kepercayaan, dan asumsi organisasi. Budaya organisasi dapat berkembang dan berubah namun relatif tetap. Mengubah budaya organisasi memerlukan sumber daya yang besar dan waktu yang lama. Budaya organisasi secara langsung dapat mempengaruhi perilaku anggota organisasi. Iklim organisasi melukiskan lingkungan internal organisasi dan berakar pada budaya organisasi. Jika budaya organisasi relatif tetap dalam jangka panjang, iklim organisasi bersifat relatif sementara dan dapat berubah dengan cepat. Umumnya iklim organisasi dengan mudah dapat dikontrol oleh pemimpin atau manajer. Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi mengenai dimensi-dimensi iklim organisasi. Iklim organisasi mempengaruhi perilaku anggota organisasi yang kemudian mempengaruhi kinerja mereka serta kinerja organisasi. Jika penerapan budaya organisasi dapat mempengaruhi perilaku organisasi secara positif, maka pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku organisasi dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Denison (1996) mengemukan telaah pendapat para pakar mengenai kedua konsep diatas. Berdasarkan telaah literatur, dia mengemukakan perbedaan antara budaya organisasi dan iklim organisasi antara kedua konsep tersebut. Adapun perbandingan antara budaya dan iklim organisasi menurut Denison (1996) terdapat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Perbandingan budaya dan iklim organisasi No. Perbedaan Budaya Organisasi 1. Epitemologi Kontekstual dan ideografis 2. Sudut pandang 3. 4. Metodologi Level analisa 5. 6. 7. Orientasi waktu Fondasi teoritis Bidang ilmu dasar Emik (sudut pandang anggota organisasi) Observasi lapangan kualitatif Berdasarkan nilai-nilai dan asumsi Evolusi historis Konstruksi, teori kritis Sosiologi dan antropologi Iklim Organisasi Komparatif dan nomotetik Etik (sudut pandang peneliti) Data survei kuantitatif Manifetasi level permukaan organisasi Jepretan ahistorikal Teori lapangan Lewinian Psikologi Sumber: Denison (1996) Pada awalnya, penelitian budaya organisasi hanya menggunakan metode kualitatif atau naturalistis. Dimana penelitian budaya organisasi merupakan penelitian mengenai proses sejarah tumbuhnya nilai-nilai, asumsi, dan kepercayaan organisasi. Akan tetapi perkembangan selanjutnya penelitian budaya organisasi menggunakan metode kuantitatif, yaitu memfoto keadaan budaya organisasi dalam waktu tertentu. Sebaliknya, penelitian iklim organisasi yang pada awalnya hanya menggunakan metode kuantitatif yaitu memotret persepsi anggota organisasi mengenai lingkungannya namun para peneliti iklim organisasi kemudian juga menggunakan metode kualitatif. Jadi sekarang telah terjadi pergeseran penggunaan metodologi dalam meneliti kedua konsep diatas. Stringer (2002) menyatakan bahwa budaya dan iklim organisasi merupakan dua hal yang berbeda. Budaya menekankan diri pada asumsi-asumsi tidak diucapkan yang mendasari organisasi, sedangkan iklim organisasi berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, terutama yang memunculkan motivasi, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota organisasi. Menurut Stringer (2002) budaya organisasi mempunyai banyak variabel sehingga terlalu besar untuk dikelola secara normal. Konsekuensinya adalah perilaku dari budaya organisasi lebih nyata daripada budaya organisasi sendiri. Mengubah budaya organisasi lebih sulit daripada mengubah perilaku anggota organisasinya. Iklim organisasi lebih mudah diakses dan diukur ketika mengubah perilaku di tempat kerja. Oleh karena itu, untuk mengubah budaya organisasi dapat dimulai dengan mengubah iklim organisasi. Berdasarkan telaah literatur diatas dapat menjawab pertanyaan mengapa dalam penelitian ini, iklim organisasi yang menjadi variabel utama penelitian bukan budaya organisasi. Salah satu hal yang dipertimbangkan adalah budaya organisasi memiliki banyak dimensi dan adanya keterbatasan peneliti menguasai dimensi tersebut sedangkan iklim organisasi memiliki dimensi yang lebih sedikit dan mudah diukur.