BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Ngapote wak lajereh e tangale,
Reng majeng tantona lah pade mole
Mon e tengghu deri abid pajhelenna,
Mase benya’a ongghu le ollena
Duuh mon ajhelling odiknah oreng majengan,
Abhantal ombak asapok angin salanjenggah
Ole…olang, paraonah alajereh,
Ole…olang, alajereh ka Madure
Reng majeng bennya’ ongggu bebejenena,
Pabila alako bendhe nyabenah.”
Lagu Tondu’ Majeng beralun dari sound system salah satu perahu,
menambah hiruk pikuk pelabuhan ikan di Desa Pasongsongan pada suatu pagi.
Pagi itu, seperti biasanya, pelabuhan ramai dengan berbagai rupa aktivitas. Ada
kuli angkut yang berebut bagian mendaratkan ikan dari perahu, istri-istri juragan
dan juru catatnya yang menghitung hasil tangkapan, para pedagang yang tawar
menawar harga, para nelayan yang membetulkan perahu dan alat tangkapnya,
petugas pelabuhan yang manarik retribusi, serta mereka yang hanya sekedar
duduk-duduk di gubuk menikmati udara pantai di pagi hari.
2
Bersama beberapa warga setempat saya duduk di gubuk bambu tepi pantai,
sekedar berbincang-bincang sembari menyaksikan ragam aktivitas di sekitar kami.
Dari kejauhan perahu-perahu ‘ole-olang’, berdatangan membawa teka-tekinya
masing-masing. Sebagian tampak sumringah dengan senyum riang merias wajah
mereka karena hasil tangkapannya melimpah, sebagian yang lain tampak lesu
karena sudah bekerja semalam suntuk tapi tidak mendapatkan apa-apa sama
sekali.
Tondu’ Majeng yang berarti “Datang Mayang” adalah lagu berbahasa
Madura yang tak lain menjadi salah satu lagu daerah Jawa Timur. Pada saat
mendengarkan lagu tersebut saya berpikir sepintas lalu: betapa dekatnya
masyarakat Madura dengan dunia nelayan atau dunia penangkapan ikan. Memang
tidak semua orang Madura bekerja sebagai nelayan, tetapi usaha tersebut
setidaknya menjadi sektor yang paling penting bila dibandingkan dengan sektor
yang lain, sektor pertanian misalnya.
Senada dengan pikiran di atas, Masyhuri (1995: 66) menyatakan dalam
bukunya yang berjudul Menyisir Pantai Utara bahwa pada mulanya dunia
penangkapan ikan di Madura memiliki perkembangan yang lebih baik bila
dibandingkan dengan di Jawa. Hal itu dikarenakan oleh pertanian yang kurang
berkembang di Madura akibat tanahnya yang kurang subur. Sehingga kebanyakan
penduduk Madura berkonsentrasi penuh pada usaha penangkapan ikan.
Nelayan di dalam lagu Tondu’ Majeng digambarkan dengan keadaannya
yang “ole olang” alias tidak stabil layaknya perahu yang dihempas ombak dan
senantiasa “abhental omba’ asapo’ angin salanjengah” (berbantal ombak dan
3
berselimut angin selamanya). Ini menjadi suatu gambaran tentang kehidupan
nelayan
yang
serba
tak
menentu
dan
berada
dalam
bayang-bayang
ketidakberdayaan yang dimetaforakan dalam kalimat “berbantal ombak berselimut
angin”.
Kondisi tersebut membuat nelayan selalu digambarkan sebagai sebuah
masyarakat yang hidupnya tidak stabil dan sangat dekat dengan kemiskinan. Pujo
Semedi (1998) misalnya, dalam tulisannya mengenai nelayan kecil di Desa
Kirdowono mengatakan bahwa hidup para nelayan adalah kehidupan yang miskin
dan semakin miskin, bukan hidup yang bergerak dalam keseimbangan. Secara
sederhana ia menggambarkan kehidupan nelayan di Desa Kirdowono dengan
sebuah pemeo sende dayung adol sarung (sandar dayung, jual sarung).
Pandangan mengenai dekatnya masyarakat nelayan dengan kemiskinan
barangkali juga bersemayam di dalam kepala kita. Menurut Kusnadi (2008: 20),
awal mula mencuatnya masalah-masalah kemiskinan nelayan ke permukaan
secara intensif adalah setelah satu dekade dilaksanakannya kebijakan nasional
yang dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution) tentang motorisasi
perahu dan modernisasi peralatan tangkap pada awal 70-an. Akibatnya, sumber
daya perikanan terus dikuras untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik maupun
internasional. Seiring berjalannya waktu, kelangkaan sumber daya tidak dapat
dielakkan. Kehidupan nelayan berada di ambang ketidak-stabilan. Miskin,
akhirnya menjadi kata yang seolah-olah sangat lugas untuk menggambarkan
kehidupan nelayan.
4
Sebelum tiba di lokasi penelitian, gambaran itu juga terkonnstruksi di dalam
benak saya. Ketika membayangkan masyarakat nelayan, sesuatu yang tergambar
di dalam pikiran adalah rumah-rumah berdinding gedek (bambu) di area tepi
pantai, berlantai semen atau bahkan tanah, pemukiman kumuh, orang-orang
berkulit hitam legam, serta tubuhnya kerempeng karena jam kerja yang tidak
sesuai dengan asupan gizinya. Saya juga membayangkan akan bertemu dengan
orang-orang yang suka mengeluhkan pekerjaannya karena tak dapat mencukupi
kebutuhan sehari-harinya seperti sering saya jumpai bila berkunjung ke suatu
desa. Bukankah nelayan itu identik dengan pedapatan yang tidak pasti?
Namun, saya tidak menjumpai rumah-rumah gedek seperti dalam bayangan
itu. Sebaliknya, rumah-rumah tembok, berkeramik, dan sebagian justru bertingkat
berdiri di perkampungan itu. Parabola-parabola televisi juga tampak bertebaran di
depan tiap-tiap rumah. Pemandangan tersebut kemudian mengharuskan untuk
memikirkan kembali rencana penelitian karena tiadanya kesesuaian dengan
bayangan semula. Pada akhirnya saya pun harus lebih berhati-hati dalam
memposisikan nelayan, apalagi menggeneralisir secara mentah-mentah bahwa
nelayan selalu miskin. Sebab, perkara demikian tidak bisa dilepaskan dengan
konteks.
Setelah beberapa hari di lokasi penelitian dan mulai berbaur dengan para
nelayan saya sering mendengar pernyataan seperti ini: “Lebur Mas, alako ka
tasek… (jadi nelayan itu enak, Mas)”, “kalau nelayan itu gemuk-gemuk Mas,
soalnya banyak tidurnya”, atau “kalau nelayan di sini makmur…”. Kalimat
tersebut tentu sangat menarik perhatian saya, pasalnya kalimat-kalimat tersebut
5
terdengar sangat kontradiktif dengan dunia nelayan yang mana di dalam lagu
Tondu’ Majeng1 dunia nelayan digambarkan dengan suatu istilah “ole-olang”
dan sebuah metafora “asapok angin abhental ombak”. Bagaimana bisa seorang
nelayan berkata bahwa menjadi nelayan itu enak? Jangan-jangan pernyataan
tersebut hanyalah ungkapan basa-basi saja? Tidak juga, sebab hampir sebagian
besar masyarakat baik dari pelaku dan bukan pelaku seringkali mengungkapkan
hal yang mengindikasikan bahwa menjadi nelayan itu “enak”. Entah apa
penyebabnya, pernyataan tersebut demikian membekas di dalam ingatan sehingga
membuat saya memfokuskan tulisan ini pada pandangan-pandangan nelayan
mengenai pekerjaan mereka –aktivitas menagkap ikan– yang seringkali
dibayangkan sebagai pekerjaan berisiko tinggi.
B. Tinjauan Pustaka
Antropologi maritim menjadi sebuah sebuah sub-disiplin dalam ilmu
antropologi mulai dikenal pada kisaran tahun 1960 hingga tahun 1970 sebagai
suatu reaksi atas adanya Revolusi Biru yang ditandai dengan adanya motorisasi
perahu dan modernisasi peralatan tangkap sebagai upaya memaksimalkan
eksploitasi sumberdaya laut yang tidak terbatas. Sementara itu, penemuanpenemuan selanjutnya menyatakan bahwa sumberdaya laut tidaklah tidak
terbatas, oleh karenanya sumberdaya laut perlu dijaga keberlanjutannya (van
Ginkel, 2007)
Meskipun demikian, jauh sebelumnya karya-karya etnografi mengenai
masyarakat pesisir / nelayan sudah ditulis. Di antara karya yang cukup terkenal
1
Begitu juga di dalam berita-berita surat kabar, dan buku-buku tentang nelayan.
6
adalah tulisan Malinowski (1918) tentang masyarakat nelayan Trobiand dan
tulisan Raymond Firth (1946) yang berjudul Malay Fishermen.
Sebagai sebuah sub-disiplin yang relatif baru antropologi maritim memiliki
sedikit –jika ada- metode, konsep dan teori yang khusus. Sebagian besar dari apa
yang disebut sebagai antropologi maritim lebih banyak berasosiasi dengan subdisiplin lain seperti antropologi ekonomi (economic anthropology), antropologi
ekologi (ecological anthropology), antropologi pemberdayaan (development
anthropology), dan antropologi pariwisata (tourism anthropology) (J.C. Johnson,
1996; van Ginkel, 2007: 3).
Kajian mengenai masyarakat pesisir / nelayan di Indonesia masih relatif
sedikit bila dibandingkan dengan kajian mengenai masyarakat petani misalnya.
Diantara beberapa kajian yang sedikit itu, tulisan Masyhuri (1996) yang berjudul
“Menyisir Pantai Utara” adalah referensi yang sangat laris dan menjadi bacaan
wajib
bagi peneliti yang hendak mengkaji masyarakat nelayan di Indonesia
utamanya masyarakat nelayan pantai utara pulau Jawa dan Madura. Tulisan
tersebut memberikan gambaran yang bersifat menyejarah mengenai pasangsurutnya usaha dan perekonomian masyarakat nelayan dalam kurun waktu
hampir seratus tahun.
Karya antropologi yang juga menyejarah bisa dilihat dalam tulisan Pujo
Semedi (2003) yang berjudul “Close to the Stone, Far from the Throne”. Buku
yang merupakan hasil penelitian disertasi di sebuah kampung nelayan Wonokerto
Kulon, Jawa Tengah itu secara sinkronik ia memberikan gambaran mengenai
7
bagaimana negara memberikan pengaruh pada kehidupan sosial-ekonomi nelayan
dalam kurun waktu abad 19 hingga abad 20. Semedi menuliskan bahwa
perkembangan teknologi penangkapan ikan telah membawa kehidupan nelayan
ke arah yang lebih baik meskipun tidak ada jaminan mereka bisa bertahan lama
dengan hal itu.
Adapun karya lain yang membahas mengenai masyarakat pesisir di Madura
dan beberapa daerah tapal kuda bisa dijumpai pada tulisan-tulisan Kusnadi (2002,
2003, 2009). Meskipun kebanyakan dari tulisannya berupa potongan-potongan
kasus dari berbagai tempat yang dikumpulkan menjadi sebuah buku, ia cukup
intens menulis tema-tema kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat nelayan.
Dalam banyak tulisannya ia kerap menyebutkan bahwa kemiskinan strukrural
menjadi penyebab terpuruknya nelayan. Para nelayan yang mana berada di
lapisan sosial paling bawah sengaja “dimiskinkan” oleh struktur yang
menjeratnya, sehingga tak memungkinkan ia untuk lepas dari jeratan tersebut.
Sepasang suami istri berkebangsaan Belanda yang bernama Anke Niehof
(1985) dan Roy Jordan (1985) pernah melakukan sebuah riset di wilayah
Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan dan menghasilkan buku yang cukup
tebal. Riset yang mereka lakukan memang tidak secara khusus membahas
mengenai masyarakat nelayan, tetapi karena mereka melakukan riset di wilayah
pesisir mau tidak mau ia harus memberikan banyak ulasan mengenai kondisi
masyarakat pesisir yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Di dalam tulisan
tersebut, kita bisa mendapatkan gambaran mengenai kondisi masyarakat nelayan
di area pantai utara pulau Madura pada kisaran waktu tahun 80an.
8
Pada tahun 2004 Nihof dan Jordan kembali mempublikasikan sebuah tulisan
– tulisan tersebut adalah hasil dari riset lanjutannya – yang lebih memfokuskan
pada usaha penangkapan ikan di kampung nelayan di Pasean. Di dalam tulisan itu
ia juga sedikit membandingkan antara usaha penangkapan ikan di Pasean dan di
Pasongsongan. Menurutnya, bedanya model pembagian hasil antara kedua
masyarakat tersebut telah membentuk kecenderungan yang berbeda pula. Bila di
Pasean kebanyakan nelayan memilih berdikari dengan membeli perahu klotok
sendiri daripada bergabung dengan perahu purse seine, di Pasongsongan malah
terjadi sebaliknya: kebanyakan nelayan lebih memilih bergabung pada perahu
purse seine.
C. Perumusan Masalah
Pekerjaan melaut adalah pekerjaan yang berisiko tinggi dan selalu diliputi
oleh berbagai
ketidakpastian. Menjadi aneh ketika
nelayan-nelayan di
Pasongsongan mengatakan justru sebaliknya: menjadi nelayan itu enak. Berawal
dari rasa keanehan tersebut kemudian timbul keingintahuan saya untuk menelusuri
lebih lanjut pandangan-pandangan mereka (para nelayan) terhadap pekerjaannya.
Maka dari itu beberapa pertanyaan dalam studi ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana posisi sektor perikanan dalam kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat pesisir Pasongsongan?
2. Mengapa para nelayan Pasongsongan menganggap melaut sebagai
pekerjaan yang enak (lebur)?
3. Rasio-rasio seperti apa yang mereka ungkapkan guna menjelaskan
bahwa melaut adalah pekerjaan yang enak (lebur)?
9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ikan-ikan yang tersaji di meja makan ataupun yang masih berjejer di lapaklapak pedagang sebuah pasar tradisional atau supermarket bukanlah sesuatu yang
serta merta ada. Ia telah melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan
banyak pihak. Berawal dari nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan
perahu dan alat tangkap milik juragannya. Juragan menjualnya kepada tengkulak
lokal. Tengkulak memproses ikan, menggarami, menaburkan es, mengepak, lalu
mengirimkannya kepada tengkulak besar baik di dalam kota maupun di luar kota.
Baru setelahnya ikan-ikan itu bisa sampai ke pasar-pasar tradisional atau
supermarket dan pada akhirnya tersaji di meja makan. Barangkali karena
panjangnya alur tersebut, nelayan yang telah mengangkat ikan-ikan itu dari laut ke
darat sampai akhirnya tersaji di meja makan justru seringkali terlupakan atau
malah kita berlagak tidak tahu menahu.
Tulisan ini adalah bentuk apresiasi saya terhadap semua nelayan di negara
yang dikenal dengan sebutan negara maritim ini, sekaligus merupakan sebuah
langkah awal untuk memahami dinamika dan persoalan-persoalan yang terjadi
pada masyarakat nelayan. Dikatakan sebuah langkah awal karena penelitian ini
adalah penelitian tentang masyarakat nelayan yang pertama kali saya lakukan dan
jangka waktunya relatif sebentar. Sebab, untuk benar-benar bisa memahami
dinamika dan persoalan-persoalan masyarakat nelayan dibutuhkan waktu
penelitian yang lebih lama dan lokasi yang berbeda-beda. Dari situ kita bisa
mengetahui bagaimana siklus masyarakat nelayan dari setiap perbedaan musim
secara jelas. Lagipula, kita tidak bisa menyamaratakan keadaan masyarakat
10
nelayan di satu tempat dengan tempat yang lain karena ia tak bisa lepas dengan
berbagai konteks.
Selain sebagai syarat untuk menempuh sarjana strata satu jurusan Antropologi
Budaya, barangkali penelitian ini tidak memiliki tujuan praktis. Saya hanya
berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangsih wacana dan syukur-syukur
dapat menarik minat untuk penelitian selanjutnya baik oleh segenap pembaca
maupun bagi saya sendiri.
E. Kerangka Pikir
Nelayan menurut Townsley (1998)2 adalah orang atau komunitas orang
yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan
menangkap ikan. Kajian antropologi mengenai dunia perikanan setidaknya
bermula dari sebuah konsepsi bahwa dunia perikanan merupakan sebuah
fenomena manusia (human phenomenon), sebuah tempat di mana aktivitas
manusia berhubungan dengan ekosistem laut dan sumberdaya yang dapat
diperbaharui (renewable resources). Memang aktivitas menangkap ikan (fishing
activity) merupakan suatu atribut yang mendefinisikan perikanan (fishery), karena
tanpanya ia hanya akan menjadi domain perairan (aquatic realm) di mana spesies
laut hidup (Mc. Goodwin, 2001). Oleh karena itu, kajian antropologi mengenai
dunia perikanan bukanlah sekedar kajian tentang wilayah geografis, metode
penangkapan ikan, jenis alat tangkap, atau spesies ikan tertentu, akan tetapi lebih
menekankan pada bidang yang lebih manusiawi, yakni subyek atau pelaku dunia
perikanan.
2
Dikutip dari Johanes Widodo & Suadi. 2006. “Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut”. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
11
Dunia nelayan adalah suatu aktivitas yang diliputi oleh ketidakpastian dan
risiko-risiko. Secara ekologis, kondisi cuaca yang esktrim, fluktuasi alam, lokasi
ikan yang tak tampak, tangkapan yang melebihi kapasitas, dan eksploitasi
berlebihan merupakan faktor-faktor yang berada di bawah kontrol nelayan. Selain
itu, ada pula tekanan-tekanan ekonomi yang selalu berubah, termasuk
ketidaktentuan berkaitan dengan akses, pasar dan harga, relasi dengan pedagang,
dan kompetisi antar nelayan (Acheson, 1981; van Ginkel, 2005).
Akibatnya, nelayan, utamanya nelayan buruh, seringkali diposisikan sebagai
masyarakat termiskin. Pada buku Konflik Sosial Nelayan, Kusnadi (2002: 1)
memberikan judul bab yang bagitu provokatif: Nelayan Buruh, Lapisan Sosial
Paling Miskin di Pedesaan Pesisir. Pada bagian tersebut ia membahas salah
satunya
tentang
akar
kemiskinan.
Menurutnya
beberapa
faktor
yang
menyebabkan masyarakat nelayan (nelayan buruh) miskin adalah faktor alamiah
(diantaranya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur
alamiah sumber daya ekonomi desa) dan faktor non alamiah yang meliputi
keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem
bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya
penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi yang ada, serta
dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung selama
bertahun-tahun.
Sangat jelas, tulisan Kusnadi sangat politis. tujuan akhir pada tulisan-tulisan
Kusnadi adalah masuknya upaya pemberdayaan pada masyarakat nelayan seperti
aktivasi Koperasi atau (dalam buku yang berbeda) Program Pemberdayaan
12
Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang digulirkan pada tahun 2001 hingga
2008 yang kemudian dianggap sebagai solusi bagi pengentasan kemiskinan
nelayan. Saya merasa curiga dengan hasil penelitian yang demikian, sebab ada
sesuatu yang membonceng di belakang si peneliti (dalam hal ini program
pemberdayaan). Pada akhirnya, peneliti menjadi tidak lagi merdeka dalam
melihat sebuah fenomena dan terkesan hanya meninggalkan rasa kasihan bagi
pembacanya (lihat Popkin 1986: vi).
Bila Kusnadi beranggapan bahwa terbatasnya teknologi menjadi salah satu
faktor pemiskinan nelayan, Semedi (1998: 10) malah berpendapat sebaliknya.
Menurut Semedi, justru teknologi kerja yang semakin canggih akan mengantar
para nelayan pada tingkat eksploitasi yang lebih tinggi dan lebih cepat
menghabiskan sumberdaya. Pada akhirnya, hal tersebut hanya akan membawa
nelayan pada kebangkrutan usaha. Di luar perbedaan pandangan keduanya
sejatinya terdapat kesamaan dalam fokus perhatian kedua peneliti tersebut, yakni
memposisikan nelayan sebagai masyarakat miskin yang mana titik acuannya
adalah rendahnya atau semakin merendahnya pendapatan nelayan. Lalu, mengapa
nelayan di Pasongsongan mengklaim dirinya sejahtera? Apakah itu berarti
pendapatan nelayan sudah mencukupi kebutuhan hidup layak? Sepertinya tidak
juga. Karena bagaimanapun, para nelayan berada dalam ketidakstabilan. Lalu,
apa?
Saya teringat kalimat pakar fenomenologi Berger dan Luckmann (1991)
dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, bahwa suatu
realitas itu dibangun (dikonstruksi) secara sosial. Dunia kehidupan sehari-hari
13
yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga bermakna. Kebermaknaannya adalah
subjektif, artinya dianggap benar atau begitulah adanya sebagaimana yang
dipersepsi manusia (Berger, 1990 dalam Manuba, 2010). Kemampuan manusia
dalam memaknai tentu berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya, yang
mana berasal dari pengalaman dan interaksi antar subyek. Interaksi antar subyek
bersifat dialektikal yang mana di situ juga terjadi proses interpretasi dan refleksi
sehingga terbentuk kesadaran bersama, yaitu realitas yang objektif.
Bila Semedi mengatakan bahwa kemiskinan nelayan bersifat absolut, dalam
arti mereka miskin karena mereka memang miskin, bukan sekedar miskin dalam
perbandingan dengan kelompok lain, maka pada konteks nelayan di
Pasongsongan saya justru berpikir sebaliknya, bahwa merasa miskin atau tidak
miskin bukan melulu persoalan pendapatan (materi) belaka, akan tetapi ada hal
lain, yakni perbandingan. Perbandingan menjadi penting diperhatikan karena di
situ ada proses interpretasi dan refleksi. Jangan lupa, konon manusia adalah
makhluk yang berpikir dan berefleksi.
F. Metode Penelitian
Tulisan ini merupakan hasil dari sebuah penelitian lapangan (fieldwork) yang
berlangsung selama dua bulan dengan menggunakan metode etnografi. Data-data
diperoleh dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam dengan
masyarakat pesisir desa Pasongsongan. Dari metode tersebut banyak didapatkan
informasi mengenai pengalaman-pengalaman dan kehidupan sosial-budaya
masyarakat nelayan. Observasi terlibat (participatory observation) dilakukan
dengan cara ikut bekerja melaut bersama salah satu perahu nelayan. Dengan cara
14
itu saya dapat mengalami (experiencing) bagaimana para nelayan bekerja, mulai
dari menyiapkan bekal hingga pulang membawa hasil (uang). Studi kepustakaan
baik berupa buku, jurnal, artikel koran maupun laman internet juga dilakukan
guna menjelaskan dinamika masyarakat nelayan dan mengonfirmasi data yang
telah saya kumpulkan di lokasi penelitian.
Kemampuan berbahasa lokal (Madura) dan penampilan yang tak jauh berbeda
dengan warga lokal, seringkali saya dikira sebagai warga lokal atau setidaknya
orang dari desa tetangga yang sedang bekerja di sekitar di desa tersebut. Sebagian
mengira saya adalah seorang nelayan, ada yang menyangka sebagai pedagang
ikan, ada juga yang mengira sebagai pekerja proyek pembangunan di pelabuhan.
Anggapan tersebut menjadikan kemudahan dan sekaligus kesulitan dalam proses
penelitian. Kemudahan yang dimaksud, saya dapat dengan mudah meleburkan
jarak dengan masyarakat karena mereka mengganggap saya adalah bagian dari
mereka. Akan tetapi hilangnya jarak tersebut justru menciptakan kesulitan
tersendiri, utamanya untuk menggali informasi secara lebih dalam, sebab ketika
saya mengajukan sebuah pertanyaan tertentu mereka justru tampak heran. Selain
itu, kedekatan kultur kadang justru menjadi bumerang karena seringkali muncul
anggapan di dalam pikiran saya: “ini sama dengan di tempat saya”, “oh… ini
pasti maksudnya begini, dan lain-lain.
Namun demikian, sedari awal saya menyadari hal itu akan terjadi. Untuk
mengantisipasinya saya selalu berupaya untuk membuat jarak melalui bahasa.
Setiap kali berkenalan dengan seseorang, saya justru menggunakan bahasa
Indonesia, meskipun saya bisa berbahasa lokal. Cara itu membuat mereka mencari
15
tahu tentang saya, siapa dan dari mana. Saya memperkenalkan diri,
menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan ke lokasi penelitian, lalu mereka
dapat bercerita lebih banyak. Dengan cara tersebut banyak informasi didapatkan
tanpa membuat mereka merasa heran..
Download