bab v hasil dan pembahasan

advertisement
35
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Morfometri Sungai
Berdasarkan hasil pengukuran morfometri DAS menggunakan software
Arc-GIS 9.3 diperoleh panjang total sungai di Sub-sub DAS Keyang, Slahung,
dan Sekayu (KST) dengan outlet di SPAS Sekayu adalah 914,97 km dengan
sungai terpanjang adalah 53,99 km yang berasal dari hulu Sub-sub DAS Keyang.
Titik tertinggi (elevasi) jaringan sungai adalah 1.862,5 m dan titik terendahnya
adalah 87,22 m yang berada di SPAS Sekayu. Dari data tersebut dengan
menggunakan persamaan (3) diperoleh waktu konsentrasi (Tc) di Sub-sub DAS
KST sebesar 5,33 jam (319,79 menit).
5.2 Kelompok Hidrologi Tanah dan Penggunaan Lahan
Kelompok hidrologi tanah menggambarkan kelas kemampuan tanah dalam
meloloskan air atau infiltrasi, sedangkan penggunaan lahan mempengaruhi
koefisien aliran permukaan (C) dan interaksinya dengan kelas hidrologi tanah
akan menentukan tingkat reduksi terhadap curah hujan (CN) yang akhirnya akan
mempengaruhi retensi potential maksimum tanah (S).
Kelas tekstur dan infiltrasi dari jenis tanah yang terdapat di Sub-sub DAS
KST disajikan dalam Tabel 8, sedangkan kelompok hidrologi tanah dan nilai CN
untuk berbagai kombinasi kelompok hidrologi tanah dan jenis penggunaan lahan
Tahun 2009 di Sub-sub DAS KST disajikan dalam Tabel 9.
Berdasarkan Tabel 8, terdapat empat jenis tanah yang termasuk dalam
tekstur sedang dengan tingkat infiltrasi cepat, yaitu Mediteran coklat kemerahan
volkan intermediet, Asosiasi aluvial kelabu & aluvial coklat kekelabuan, Aluvial
coklat kekelabuan dan Kompleks andosol coklat, andosol coklat kekuningan &
litosol. Selain itu, jenis tanah yang termasuk dalam tekstur kasar dengan tingkat
infiltrasi ekstrim, yaitu Asosiasi litosol & mediteran coklat, Litosol dan Regosol,
serta sisanya termasuk dalam tekstur halus dengan tingkat infiltrasi sedang.
36
Tabel 8 Kelas tekstur dan infiltrasi jenis tanah di Sub-sub DAS Keyang, Slahung,
dan Tempuran (BPDAS 2009)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jenis Tanah
Mediteran coklat kemerahan volkan intermediet
Asosiasi aluvial kelabu & aluvial coklat kekelabuan
Aluvial coklat kekelabuan
Kompleks andosol coklat, andosol coklat kekuningan & litosol
Asosiasi litosol & mediteran coklat
Litosol
Regosol
Aluvial kelabu
Kompleks latosol coklat kemerahan & litosol volkan
Latosol coklat
Latosol merah
Grumosol
Latosol coklat kemerahan volkan intermediet
Latosol
Latosol merah kekuningan
Tekstur
Infiltasi
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Kasar
Kasar
Kasar
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Cepat
Cepat
Cepat
Cepat
Ekstrim
Ekstrim
Ekstrim
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tekstur tanah mempengaruhi proses infiltrasi tanah. Semakin kasar tekstur
tanah semakin cepat proses infiltrasinya. Tanah bertekstur kasar memiliki poripori tanah yang lebih besar, sehingga air yang berada dipermukaan tanah dapat
terinfiltrasi melalui pori-pori tanah tersebut.
Mc Cuen (1982) dalam Arsyad (2010) mengelompokkan kelompok
hidrologi tanah berdasarkan tekstur tanah menjadi empat bagian. Berdasarkan
Tabel 8, kelompok hidrologi yang memiliki tekstur kasar termasuk kelompok
hidrologi A. Kelompok hidrologi yang memiliki tekstur sedang termasuk
kelompok hidrologi B dan kelompok hidrologi yang memiliki tekstur halus
termasuk kelompok hidrologi C.
Proses infiltrasi tidak hanya dipengaruhi oleh tekstur tanah saja. Menurut
Asdak (2002) proses infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah,
persediaan air awal, kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan kedalam
serasah, dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah.
Berdasarkan Tabel 9, pertanian lahan kering dan hutan tanaman yang
mendominasi penggunaan lahan di Sub-sub DAS KST terbagi menjadi dua
kelompok hidrologi untuk pertanian lahan kering dan tiga kelompok hidrologi
untuk hutan tanaman. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan nilai C dan CN.
37
Penggunaan lahan yang sama nilai C dan CN belum tentu sama jika kelompok
hidrologi berbeda.
Tabel 9 Tipe penggunaan lahan dan nilai C dan CN di Sub-sub DAS KST
Tipe Tutupan Lahan
KH**
Luas (%)
Sungai
Semak Belukar
Sawah
Sawah
Sawah
Pertanian Lahan Kering
Campur Semak
Pertanian Lahan Kering
Campur Semak
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering
Pemukiman/Lahan
Terbangun
Pemukiman/Lahan
Terbangun
Pemukiman/Lahan
Terbangun
Lahan Terbuka
Lahan Terbuka
Hutan Tanaman
Hutan Tanaman
Hutan Tanaman
Hutan Sekunder
Hutan Sekunder
C
A
B
C
0,51
0,01
0,83
2,62
6,33
A
C
CN I*
CN II*
CN III*
1,000
0,450
0,200
0,400
0,500
100,00
55,80
41,00
53,40
61,80
100,00
74,00
61,00
72,00
79,00
100,00
90,20
79,80
89,40
93,40
7,07
0,200
31,80
51,00
71,00
C
9,38
0,500
58,20
76,00
91,60
A
B
C
5,35
5,50
18,58
0,200
0,400
0,500
47,00
52,20
60,60
62,00
71,00
78,00
80,60
87,80
92,80
A
0,21
0,500
31,80
51,00
71,00
B
4,57
0,500
48,60
68,00
85,40
C
2,10
0,500
61,80
79,00
93,40
B
C
A
B
C
B
C
3,74
0,02
10,30
7,04
12,25
0,25
3,34
0,630
0,687
0,100
0,300
0,400
0,020
0,025
49,80
61,80
19,80
40,00
54,60
35,00
51,00
69,00
79,00
36,00
60,00
73,00
55,00
70,00
86,20
93,40
61,00
79,00
89,40
75,00
87,00
C Tertimbang
100
0,375
49,31
67,18
84,58
Keterangan :
(*) CN = Curve Number untuk AMC I, II dan III
AMC = Antecedent Moisture Content (Kadar air tanah sebelum terjadinya hujan biasa)
C = koefisien aliran permukaan
(**) KH = Kelompok Hidrologi
Tutupan lahan mempengaruhi koefisien limpasan permukaan (C) melalui
proses intersepsi dan meningkatkan infiltrasi tanah. Curah hujan sebelum jatuh ke
tanah diintersepsi oleh bagian-bagian vegetasi, yang akan mengurangi jumlah
curah hujan yang sampai di permukaan tanah dan mengurangi kekuatan benturan
akibat energi kinetik yang ditimbulkan oleh air hujan, sehingga energi ke tanah
menjadi lebih kecil. Benturan air hujan dengan tanah dapat mempengaruhi kondisi
pori-pori tanah. Seperti yang dinyatakan Rahim (2006) bahwa terjadinya
38
penghancuran agregat tanah oleh air hujan akan menyumbat pori-pori tanah yang
mengakibatkan kapasitas infiltrasi menurun, sehingga air mengalir dipermukaan
tanah. Lee (1980) berpendapat bahwa infiltrasi lahan bervegetasi umumnya baik
karena serasah permukaan mengurangi pengaruh-pengaruh pukulan tetesan hujan,
dan bahan organik, mikroorganisme serta akar-akar tanaman cenderung
meningkatkan porositas tanah dan memantapkan struktur tanah.
Menurut Lee (1980) kapasitas infiltrasi umumnya meningkat dengan
urutan tipe penutup tanah dari tanah yang gundul, tanaman dalam baris, butir
padi-padian, padang gembala, padang, rumput sampai hutan, dengan kondisi
hidrologis mulai dari yang buruk (penutup tanaman <50%), cukup (50%–75%)
dan baik (>75%). Hal tersebut berbanding terbalik dengan nilai koefisien
limpasan permukaan (C) dan Curve Number (CN). Semakin baik tutupan lahan,
maka akan semakin kecil nilai C dan CN, karena besarnya kapasitas infiltrasi
berbanding terbalik dengan besarnya limpasan permukaan. Tabel 9 menunjukkan
nilai C dan CN di Sub-sub DAS KST berdasarkan hasil penampalan (overlay)
data tutupan lahan dan jenis tanah. Di Sub-sub DAS KST terdapat tiga kelompok
hidrologi tanah yang masing-masing memiliki nilai C dan CN yang berbeda-beda
dengan nilai C tertimbang adalah 0,375 (37,5%) dan nilai CN tertimbang sebesar
49,31 (kondisi AMC I), 67,18 (kondisi AMC II) dan 84,58 (kondisi AMC III).
5.3 Hujan dan Debit
Kejadian hujan harian dan debit harian selama tahun 2009 disajikan dalam
Gambar 12. Hujan harian yang digunakan adalah hujan wilayah yang ditentukan
berdasarkan pendekatan IDW (Inverse Distance Weighted) dan data hujan dari
tiga stasiun hujan. Debit harian yang digunakan adalah data debit di Pos Duga Air
atau Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) Sekayu dari Balai Besar Wilayah
Sungai-Bengawan Solo (BBWS-BS).
Berdasarkan Gambar 12, curah hujan harian tertinggi (maksimum) tahun
2009 pada tanggal 26 Desember sebesar 45,97 mm dan 12 Februari sebesar 41,68
mm. Debit harian tertinggi terjadi (maksimum) pada tanggal 3 Februari sebesar
369,72 m³/s, sedangkan debit terendah adalah 0,03 m³/s yang terjadi pada tanggal
18–23 Oktober.
39
Data hujan dan debit yang digunakan untuk pendugaan debit puncak
menggunakan model rasional dan SCS-CN adalah terjadinya debit maksimum dan
curah hujan maksimum. Hal tersebut didasarkan kedua kejadian memiliki respon
debit yang berbeda terhadap curah hujan. Waktu terjadi debit maksimum tanggal
3 Februari bukan merupakan curah hujan maksimum, sedangkan waktu terjadinya
curah hujan maksimum bukan merupakan debit maksimum. Waktu terjadinya
debit maksimum curah hujan sebesar 39,08 mm, sedangkan waktu terjadinya
curah hujan maksimum debit di SPAS Sekayu hanya 12,35 m³/s.
Gambar 12 Kejadian hujan harian dan debit tahun 2009 di Sub-sub DAS KST.
5.3.1 Hidrograf Aliran Langsung
Analisis hidrograf digunakan untuk mengetahui respon DAS dalam
mengalihragamkan (transformation) hujan menjadi debit aliran. Hidrograf
merupakan gambaran debit total, sedangkan hidrograf aliran langsung
menggambarkan debit yang disebabkan oleh aliran permukaan, yaitu debit total
dikurangi dengan debit aliran dasar (base flow).
Gambar 13 menunjukkan kejadian hujan harian dan debit harian selama
peridoe 2008-2010.
40
Gambar 13 Hubungan curah hujan dan debit selama tahun 2008-2010.
Gambar 13 menunujkkan bahwa hujan lebih besar tidak selalu
mengakibatkan debit lebih besar, demikian juga sebaliknya. Respon DAS dalam
mengalihragamkan hujan menjadi debit lebih digambarkan oleh debit aliran
langsung. Untuk itu dilakukan analisis hidrograf untuk mengetahui debit aliran
langsung. Data yang digunakan untuk analisis hidrograf adalah data debit ketika
debit maksimum dan debit ketika curah hujan maksimum pada tahun 2009.
Kejadian hujan ketika debit maksimum disajikan dalam Gambar 14 dan debit
ketika hujan maksimum disajikan dalam Gambar 15.
Gambar 14 Hidrograf debit langsung harian maksimum di Sub-sub DAS KST
Tahun 2009.
Berdasarkan data hujan dan debit langsung dalam Gambar 14 dan 15, debit
aliran langsung harian maksimum terjadi bukan ketika curah hujan harian
41
maksimum, namun terjadi ketika hujan terjadi secara berturut-turut selama
beberapa hari, yang menunjukkan bahwa debit langsung tidak hanya dipengaruhi
oleh curah hujan pada waktu yang sama, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan
sebelumnya. Hal tersebut berkaitan dengan kapasitas infiltrasi tanah, yaitu ketika
terjadi hujan sebelumnya kadar air tanah meningkat yang menyebabkan kapasitas
infiltrasi menurun.
Curah hujan maksimum tahun 2009 (Gambar 15) terjadi tanggal 26
Desember 2009 sebesar 45,97 mm dengan debit aliran sebesar 12,35 m3/s. Curah
hujan maksimum tersebut tidak menunjukkan respon debit maksimum karena hari
sebelumnya kejadian hujan sangat jarang. Sedangkan tanggal 3 Februari 2009
(Gambar 14) dengan curah hujan 39,08 mm memberikan respon debit maksimum
sebesar 369,72 m3/s. Hal tersebut terjadi karena kejadian hujan sebelumnya terjadi
secara terus menerus, sehingga mengakibatkan tanah menjadi jenuh. Akibatnya
hujan yang jatuh kepermukaan tanah sebagian besar menjadi aliran permukaan
karena kapasitas infiltrasi menurun.
Gambar 15 Hidrograf debit langsung harian ketika curah hujan harian maksimum
di Sub-sub DAS KST Tahun 2009.
Kedua kondisi hujan dan debit selanjutnya digunakan untuk pendugaan
debit puncak menggunakan model rasional dan SCS-CN.
42
5.3.2 Koefisien Aliran Permukaan dan Jumlah Aliran Permukaan
Nilai
Koefisien
aliran
permukaan
berdasarkan
hasil
pendugaan
menggunakan model rasional adalah 0,375 (Tabel 9), sedangkan berdasarkan
perhitungan langsung data observasi sebesar 0,34 (34%). Nilai koefisien aliran
permukaan berdasarkan hasil pendugaan diperoleh dengan menggunakan
pendekatan tabel koefisien aliran permukaan yang dikembangkan Schwab, et al.
(1981) dalam Arsyad (2010). Variabel yang digunakan dalam tabel tersebut
adalah penggunaan lahan dan kelompok hidrologi tanah. Hal tersebut berbeda
dengan perhitungan langsung data observasi, dimana nilai koefisien aliran
permukaan diperoleh dengan memisahkan aliran dasar dan aliran permukaan
untuk mendapatkan aliran permukaan langsung dalam hidrograf.
Nilai koefisien aliran permukaan menunjukkan persentase hujan menjadi
aliran permukaan. Sehingga dengan nilai koefisien aliran permukaan sebesar
0,375 (metode rasional), dan 0,34 (perhitungan langsung data observasi), pada
kejadian hujan sebesar 39,08 mm (hujan ketika debit maksimum) dan 45,97 mm
(ketika hujan maksimum) menghasilkan aliran permukaan masing-masing sebesar
14,66 mm dan 17,24 mm; serta 13,29 mm dan 15,63 mm.
Tabel 10 Perbandingan jumlah aliran permukaan menggunakan metode rasional,
SCS-CN, dan perhitungan langsung data observasi
Metode
Rational
SCS-CN
Observasi
Aliran permukaan (mm)
X
Y
14,66
17,24
11,68
0,15
13,29
15,63
Keterangan : X = waktu debit ketika debit maksimum
Y = waktu debit ketika curah hujan maksimum
Nilai Koefisien aliran permukaan menggunakan model SCS-CN berbeda
pada dua kejadian ketika debit maksimum dan curah hujan maksimum. Seperti
penjelasan sebelumnya, bahwa model SCS-CN mempertimbangkan AMC
(Antecedent Moisture Content), yaitu kondisi kadar air tanah sebelum terjadinya
hujan biasa. Pada kejadian debit maksimum nilai CN adalah 84,58 dan kemudian
dengan menggunakan persamaan (7f dan 7g) diperoleh aliran permukaan sebesar
11,68 mm, yang berarti nilai koefisien aliran permukaan sebesar 0,299. Ketika
43
curah hujan maksimum nilai CN adalah 49,51 sehingga diperoleh aliran
permukaan sebesar 0,15 mm, yang berarti nilai koefisien aliran permukaan
sebesar 0,003.
Tabel 10 menunjukkan jumlah aliran permukaan menggunakan model
rasional, SCS-CN dan perhitungan langsung data observasi. Berdasarkan gambar
tersebut terdapat perbedaan hasil besarnya aliran permukaan menggunakan ketiga
metode. Nilai aliran permukaan yang sangat berbeda pada waktu terjadinya hujan
maksimum menggunakan metode SCS-CN. Hal tersebut dipengaruhi oleh nilai
CN yang memperhitungkan kadar air dalam tanah. Karena nilai kadar air dalam
tanah minim, maka nilai CN yang diperoleh kecil, sehingga mempengaruhi
besarnya aliran permukaan.
Nilai aliran permukaan menggunakan model rasional dan perhitungan
langsung data observasi tidak jauh berbeda (waktu hujan ketika debit maksimum
dan hujan maksimum). Hal tersebut dipengaruhi nilai koefisien aliran permukaan
menggunakan kedua metode tidak jauh berbeda, yaitu 0,375 dan 0,34. Metode
SCS-CN untuk memperoleh nilai aliran permukaan sangat berbeda dengan model
rasional dan perhitungan langsung data observasi karena mempertimbangkan
kadar air dalam tanah dan variabel rumus yang mempertimbangkan hujan.
Sehingga jumlah aliran permukaan menggunakan model SCS-CN berbeda dengan
menggunakan model rasional dan perhitungan langsung data observasi.
Tabel 11 Perbandingan jumlah aliran permukaan berdasarkan perhitungan
langsung data observasi
Metode
Rational
SCS-CN
Aliran permukaan (mm) waktu :
X
Y
13,29
15,63
20,36
0,97
Keterangan : X = waktu debit ketika debit maksimum
Y = waktu debit ketika curah hujan maksimum
Tabel 11 merupakan jumlah aliran permukaan yang diperoleh berdasarkan
perhitungan langsung data observasi. Jumlah aliran permukaan ini digunakan
untuk pendugaan debit puncak (Qp) menggunakan model rasional dan SCS-CN
berdasarkan hasil observasi. Jumlah aliran permukaan untuk model rasional dan
SCS-CN diperoleh dari koefisien aliran permukaan berdasarkan pemisahan aliran
44
langsung dengan aliran dasar data curah hujan dan debit di SPAS Sekayu.
Bedanya untuk model rasional menggunakan data selama tahun 2009, sedangkan
untuk model SCS-CN menggunakan hidrograf satuan saat terjadinya curah hujan
maksimum dan debit maksimum tahun 2009.
5.4 Debit Puncak Dugaan
5.4.1 Model rasional dan SCS-CN
Pendugaan debit puncak (Qp) menggunakan model rasional dan SCS-CN
pada tahun 2009 diujikan terhadap dua kejadian yang berbeda, yaitu terjadinya
hujan ketika debit maksimum dan hujan maksimum. Hasil pendugaan
sebagaimana disajikan dalam pada Tabel 12.
Tabel 12 menunjukkan bahwa pendugaan Qp menggunakan metode
rasional maupun SCS-CN berbeda nyata dengan hasil pengukuran. Model rasional
memberikan pendugaan lebih baik pada saat menggunakan hujan pada saat debit
maksimum yang ditunjukkan dengan selisih Qp dugaan dan observasi yang lebih
kecil. Namun sebaliknya ketika menggunakan curah hujan maksimum model
SCS-CN yang memberikan pendugaan lebih baik.
Tabel 12 Hasil debit dugaan di Sub-sub DAS KST
Waktu
Qp (m3/s)
Observasi
Qp (m3/s)
Rasional
SCS-CN
Selisih (%)
Rasional
SCS-CN
Debit Maks (Q-Max,
CH=39,1 mm)
369,72
483,68
790,71
30,82
113,87
CH Maks (CH-Max
=45,97 mm)
12,35
568,57
10,12
4.503,81
-18,06
Berdasarkan Tabel 12, debit dugaan mengunakan model rasional yang
diujikan terhadap dua kejadian berbanding lurus terhadap besarnya hujan. Hujan
sebesar 39,1 mm diperoleh Qp sebesar 483,68 m3/s dan hujan sebesar 45,97 mm
diperoleh Qp sebesar 568,57 m3/s. Hasil debit dugaan berbeda ketika
menggunakan model SCS-CN. Ketika hujan 39,1 mm diperoleh Qp sebesar
790,71 m3/s sedangkan ketika hujan 45,97 mm diperoleh Qp lebih kecil, yaitu
10,12 m3/s. Hal tersebut karena hasil pendugaan Qp pada model rasional bersifat
linier, sedangkan pada model SCS-CN hasil pendugaan Qp tidak linier, melainkan
dipengaruhi kondisi hujan sebelumnya. Perbedaan Qp yang besar terhadap dua
45
kejadian berbeda pada model SCS-CN dipengaruhi oleh model yang
memperhatikan kondisi air dalam tanah yang biasa disebut AMC. Nilai AMC ini
mempengaruhi besar kecilnya nilai CN yang merupakan salah satu komponen
dalam model SCS-CN.
Tabel 13 Perbandingan model rasional dan SCS-CN menggunakan koefisien
aliran permukaan hasil perhitungan langsung data observasi di Sub-sub
DAS KST
Waktu
Qp (m3/s)
Observasi
Qp (m3/s)
Rasional
SCS-CN
Selisih (%)
Rasional
SCS-CN
Debit Maks (Q-Max,
CH=39,1 mm)
369,72
438,98
1.378,32
18,73
272,80
CH Maks (CH-Max
=45,97 mm)
12,35
515,58
65,12
4.074,74
427,32
Pendugaan Qp menggunakan metode Rasional dan SCS-CN dengan
menggunakan koefisien aliran permukaan hasil pengukuran disajikan pada Tabel
13. Pendugaan Qp menggunakan koefisien aliran permukaan bertujuan untuk
memperbaiki (optimasi) hasil pendugaan Qp sebelumnya (Tabel 12). Model
rasional memberikan pendugaan yang lebih baik dibandingkan dengan model
SCS-CN. Model SCS-CN memberikan pendugaan yang lebih buruk dibandingkan
dengan pendugaan sebelumnya (Tabel 12).
Tabel 14 Perbandingan model rasional dan SCS-CN setelah dilakukan optimasi
Waktu
Qp (m³/s)
Observasi
Qp (m³/s)
Rasional SCS-CN
Selisih (%)
Rasional SCS-CN
Debit Maks (Q-Max,
CH=39,1 mm)
369,72
438,98
790,71
18,73
113,87
CH Maks (CH-Max
=45,97 mm)
12,35
515,58
10,12
4.074,74
-18,06
Tabel 14 adalah perbandingan model rasional dan SCS-CN setelah
dilakukan optimasi. Berdasarkan hasil pendugaan Qp (Tabel 12) dan hasil
pendugaan Qp menggunakan koefisien aliran permukaan (Tabel 13) maka dipilih
hasil pendugaan terbaik dari kedua model. Pendugaan Qp menggunakan koefisien
aliran permukaan hasil pengukuran (Tabel 13) hanya digunakan pada model
rasional. Hal tersebut berdasarkan hasil pendugaan Qp pada model rasional lebih
46
baik dari pendugaan sebelumnya, sedangkan pada metode SCS-CN menggunakan
koefisien aliran permukaan hasil pengukuran lebih buruk dibandingkan dengan
hasil pendugaan sebelumnya (Tabel 12).
Pendugaan Qp menggunakan koefisien aliran permukaan hasil pengukuran
kurang baik pada model SCS-CN karena nilai koefisien aliran permukaan ini
berdasarkan data debit langsung selama periode tertentu (dalam satu tahun, yaitu
2009). Sehingga pendugaan Qp pada model SCS-CN menggunakan koefisien
aliran permukaan hasil pengukuran tidak memperhatikan kondisi air tanah.
5.4.2 Keakuratan Model
Model rasional dan SCS-CN memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan
variabel dalam menduga Qp. Persamaan dalam menduga Qp diantaranya
memperhitungkan luas dan bentuk DAS, topografi, jenis tanah dan tutupan lahan.
Luas dan bentuk DAS, serta topografi kaitannya dengan laju aliran permukaan
dan sebaran curah hujan. Jenis tanah dan tutupan lahan berkaitan dengan
penentuan nilai koefisien aliran permukaan (C) dalam Model Rasional dan CN
(curve number) dalam Model SCS-CN.
Penentuan nilai CN dalam model SCS-CN berbeda dengan penentuan nilai
C dalam Model rasional, yaitu penentuan nilai CN memperhatikan besarnya AMC
(Antecedent Moisture Content), yaitu kondisi kadar air tanah sebelum terjadinya
hujan biasa. Nilai AMC ini sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai CN
sedangkan nilai C tidak mempertimbangkan AMC, sehingga model rasional
bersifat linear terhadap kejadian hujan harian, sedangan model SCS-CN tidak
bersifat linear, namun dipengaruhi oleh kejadian hujan berturut-turut yang
mempengaruhi AMC.
Waktu puncak (Tp) dalam model SCS-CN memperhatikan nilai Tc yang
digunakan dalam model rasional, tetapi Tp juga dipengarhi oleh waktu lamanya
hujan lebih (D). Nilai Tc dipengaruhi oleh panjang jaringan sungai utama dan
kemiringan sungai. Nilai D diduga dengan menggunakan data jumlah hujan
harian, karena tidak tersedia data lama kejadian hujan.
Kedua model tersebut menggunakan asumsi bahwa kejadian hujan merata
di seluruh DAS. Untuk mendapatkan kejadian hujan yang merata di seluruh DAS
47
maka luasan DAS menjadi faktor penting dalam pendugaan Qp yang lebih baik.
Arsyad (2010) menyatakan bahwa model rasional umumnya digunakan untuk
DAS dengan luas kurang dari 800 ha, sedangkan menurut Cawley dan Cunnane
(2003) dalam Pramono et al. (2009) kurang dari 2.500 ha. Penelitian Pramono et
al. (2009) di Sub DAS Wuryanto yang memiliki luas sebesar 1.792 ha dan
Murtiono (2008) di DAS Keduang dengan luas DAS 35.993 ha menggunakan
model rasional dalam menduga debit puncak, keduanya menghasilkan pendugaan
over estimate di Sub DAS Wuryanto sebesar 615% dan DAS Keduang sebesar
49,96%. Menurut Asdak (2002) model SCS-CN berlaku untuk luas DAS kurang
dari 1.300 ha dengan kemiringan lahan kurang dari 30%.
Model rasional dan model SCS-CN dalam penelitian ini mencakup area
yang sangat luas, yaitu 103.157,88 ha, sehingga nilai pendugaan menjadi jauh
berbeda dengan nilai hasil pengukuran.
Model rasional menggunakan peluang hujan dalam periode tertentu yang
disebut sebagi periode ulang, jadi bukan untuk menduga debit akibat hujan
tertentu. Hal tersebut sesuai pernyataan Seyhan (1990) bahwa data hujan yang
diperlukan dalam menduga Qp menggunakan model rasional adalah data hujan
dalam periode tertentu. Menurut Arsyad (2010) model pendugaan Qp digunakan
untuk memprediksi besarnya Qp yang digunakan untuk merancang bangunan
pengendali banjir umumnya menggunakan interval hujan 10 tahun. Model
pendugaan Qp pada dasarnya tidak digunakan untuk menduga Qp pada kejadian
hujan pada satu waktu. Namun, model digunakan untuk memprediksi Qp dengan
menggunakan data hujan selama periode hujan tertentu. Data hujan tersebut
digunakan untuk mengetahui peluang hujan tertentu yang digunakan untuk
menjalankan model.
Menurut Asdak (2002) model rasional tidak dapat menerangkan hubungan
curah hujan terhadap debit dalam bentuk hidrograf. Hal tersebut didasarkan bahwa
pendugaan Qp menggunakan model rasional memiliki hubungan lurus terhadap
curah hujan. Jika curah hujannya tinggi maka nilai Qp akan besar, dan jika curah
hujan rendah maka nilai Qp kecil. Hal tersebut, tidak sesuai dengan kondisi di
lapangan bahwa curah hujan tinggi belum tentu respon debit juga tinggi karena
dipengaruhi oleh faktor fisik dan biologi DAS. Sedangkan untuk model SCS-CN
48
karena mempertimbangkan AMC, hasil pendugaan Qp lebih mirip seperti kondisi
di lapangan. Dengan kata lain, model SCS-CN masih dapat menerangkan
hubungan curah hujan terhadap debit dalam bentuk hidrograf.
Model rasional dan SCS-CN juga mengasumsikan bahwa curah hujan
diseluruh area adalah sama, sedangkan di area tersebut hanya terdapat tiga stasiun
hujan. Hal tersebut kurang sesuai karena area ini berbentuk memanjang dari Barat
ke Timur mulai dari Gunung Lawu sampai Gunung Wilis yang memiliki
ketinggian lebih dari 2.000 mdpl dan adanya kedua Gunung tersebut dapat
mempengaruhi tipe hujan yang terjadi di wilayah ini. Selain itu, menurut aturan
WMO (1981) dalam Seyhan (1990) dan Asdak (2002) yang menyatakan bahwa
untuk daerah bergunung-gunung satu alat pengukur curah hujan untuk wilayah
seluas 10.000–25.000 ha. Jika areal tersebut dianalogikan dalam bentuk lingkaran,
maka setiap stasiun mencakup wilayah dengan radius 5,64–8,92 km. Aturan yang
dibuat MWO tersebut kurang sesuai untuk kawasan yang beriklim tropis. Hal
tersebut karena di kawasan tropis curah hujan sangat beragam dan banyak
dipengaruhi oleh kondisi topografi dan tutupan lahan yang mengakibatkan
perbedaan suhu, kelembaban, dan penyinaran matahari.
Asdak (2002) menyimpulkan berdasarkan penelitian Bernard (1945)
dalam Penman (1963) bahwa wilayah yang didominasi vegetasi berkayu/hutan
memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang di
dominasi semak belukar dan padang rumput. Dengan hanya terdapat tiga alat
pengukur curah hujan di Sub-sub DAS KST, kemungkinan besar dapat mewakili
kondisi curah hujan di DAS tersebut sangat kecil karena distribusi curah hujan
sangat beragam khususnya di daerah tropis, bertopografi gelombang, dan tutupan
lahan yang beragam. Menurut Pramano et al. (2010) topografi yang berbukit atau
bergelombang dapat menyebabkan hujan yang tidak merata
sehingga hasil
penaksiran Qp akan menyimpang cukup jauh bila dibandingkan denga n hasil
pengukuran. Ketidak merataan curah hujan pada suatu DAS dapat mempengaruhi
hasil dari model ini. Sehingga untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kondisi
topografi terhadap perbedaan curah hujan diperlukan lebih banyak alat pengukur
curah hujan.
49
Menurut Asdak (2002) posisi Indonesia yang letaknya antara daratan
Asia dan Australia menyebabkan tipe hujan yang umum adalah tipe hujan
konvektif dan orografik. Hujan konvektif disebabkan oleh adanya beda panas
yang diterima permukaan tanah dengan lapisan udara di atasnya. Hujan
orografik adalah hujan yang sering terjadi di daerah pegunungan. Hujan ini
terjadi ketika massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti
bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi.
Download