BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tesis ini akan membahas mengenai apa peranan ASEAN melalui diplomasi kemanusiaan terhadap Myanmar dalam kasus Siklon Nargis serta penggunaan diplomasi kemanusiaan ASEAN melalui norma ASEAN Way yang digunakan untuk membantu meyakinkan Myanmar untuk membuka penerimaan bantuan kemanusiaan dari negaranegara donor melalui ASEAN. Siklon Nargis merupakan topan kategori 3 yang menghantam negara Myanmar pada tanggal 3 Mei 2008, dan berdampak pada 50 kota-kota di divisi Ayeyarwaddy termasuk Yangon (Rangoon), kota terbesar di negara tersebut. Bencana ini menimbulkan kehancuran yang cukup masif, hilangnya nyawa serta pengungsi internal. Bencana itu adalah bencana alam terburuk yang terjadi di Myanmar dan topan paling dahsyat di Asia Tenggara sejak tahun 1991.1 Meskipun jumlah korban meninggal secara pasti mungkin tidak akan pernah diketahui, kelompok inti negara-negara Asia Tripartite, yang terdiri dari PBB, Asosiasi Tenggara (ASEAN) dan Pemerintah Junta Militer Myanmar, mengklaim jumlah korban tewas resmi menurut data tanggal 24 Juni 2008 sebanyak 84.537 jiwa dengan 53.836 jiwa hilang dan 19.359 jiwa terluka,2 meskipun sumber lain memperkirakan jumlah korban tewas yang sebenarnya mendekati lebih dari 140.000. Selain itu, sekitar 2,4 juta orang berisiko mengalami penderitaan, penyakit dan kematian atau yang disebut second wave of humanitarian disaster.3 Masyarakat internasional, badan-badan kemanusiaan PBB, pemerintah dari beberapa negara dan sejumlah LSM, secara cepat menawarkan bantuan untuk mendukung junta yang berkuasa di Myanmar dengan memberikan bantuan kepada para korban. Namun pemerintah junta militer Myanmar tidak bersedia menerima bantuan masyarakat internasional seperti yang diharapkan. Mereka menolak untuk menerima kehadiran personil asing di negara itu dan hanya bersedia menerima bantuan persediaan jika diangkut melalui kapal sipil. Harapan kapal angkatan laut asing untuk berlabuh di Myanmar dengan 1 Tripartite Core Group, Post Nargis Joint Assessment, (2008). Jumlah korban yang hilang sampai sekarang dihitung sebagai jumlah korban meninggal dunia. Lihat J. Belanger and R. Horsey, “Negotiating Humanitarian Access to Cyclone-affected Areas of Myanmar: A Review,” Humanitarian Exchange Magazine 4 (2008): accessed Oktober 25, 2014, doi: http://www.odihpn.org/report.asp?id¼2964 3 UN News Centre, „lebih dari 1 juta korban Siklon Nargis sudah menerima bantuan”, 2008. accessed Oktober 25, 2014, doi: http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID¼26896&Cr¼myanmar&Cr1¼ 2 cepat ditolak, karena rezim tersebut sangat mencurigai niatan masyarakat internasional melalui pemberian bantuan.4 Pasca Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon bertemu dengan Jenderal Senior Than Shwe, Kepala Junta militer Myanmar, pada tanggal 23 Mei 2008 dan sebuah kesepakatan dicapai bahwa Myanmar akan membuka perbatasannya untuk operasi kemanusiaan dengan skala internasional.5 Setelah pertemuan itu, pekerja kemanusiaan, terutama dibidang komunikasi dan logistik mempunyai akses ke daerah yang terkena bencana tersebut. Akan tetapi komplikasi lebih lanjut menghambat kemajuan mereka. Menurut seorang perwakilan dari Program Pangan Dunia (WFP), gerakan pekerja memiliki akses yang sangat terbatas ke kota Yangon dan tidak diperbolehkan mengakses ke wilayah delta yang menderita kerusakan paling parah.6 Menyadari kecaman internasional yang menumpuk pada Myanmar untuk membuka secara akses pengiriman bantuan kemanusiaan secara penuh dan harapan bahwa "sesuatu harus dilakukan" untuk membuka akses kemanusiaan, ASEAN berinisiatif bekerja sama dengan Sekretaris Jenderal PBB guna mengamankan persetujuan rezim untuk pengiriman bantuan internasional dan kemudian memainkan peran penting dalam membantu untuk mengkoordinasikan pengiriman bantuan itu. Respon ASEAN sebagai organisasi regional terhadap bencana terebut dinilai tergolong lambat, ragu-ragu, dan bersifat sementara. Namun, beberapa anggota ASEAN berpikir bahwa hal tersebut merupakan cara yang sesuai untuk organisasi regional tersebut untuk terlibat dengan masalah ini dan beberapa anggota parlemen daerah dan kelompok masyarakat sipil diharapkan ASEAN untuk memainkan peran yang konstruktif. Melalui peran ASEAN, tindakan pertolongan terhadap korban bencana alam secara memadai mungkin tidak pernah tercapai, dan membiarkan ASEAN untuk memimpin pada respon kemanusiaan dalam konteks ini terbukti tepat dan memperkuat argumen kepada pimpinan Junta Militer Myanmar bahwa bantuan yang disediakan dengan alasan tanpa syarat dan disajikan adalah untuk memudahkan Pemerintah Junta Militer Myanmar dalam menanggulangi bencana Siklon Nargis. 4 Junta militer Myanmar mencurigai adanya agenda terselubung dari komunitas internasional, terutama Amerika Serikat, melalui pemberian bantuan kemanusiaan dalam kasus Siklon Nargis tersebut. Pembahasan lebih lanjut bisa dilihat di Strefford, Patrick, “America Adopts 'the Asian Way'? Or, the Emergence of a Twolevel Game in US Policy towards Myanmar,” Journal of International Cooperation Studies, Vol. 18, No. 3. (2011). 5 BBC News, “Will Burma keep its Word on Aid”; BBC News, “UN Head Pressures Burma’s Leader,” 2008, accessed Oktober 25, 2014, http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/asia-pacific/7415873.stm 6 BBC News, “New Challenges for Delta Aid Workers,” 2008, accessed Oktober 25, 2014 http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/asia-pacific/7432874.stm Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara, atau ASEAN, didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, dengan penandatanganan Deklarasi ASEAN (Deklarasi Bangkok) oleh negara pendiri ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. ASEAN merupakan sebuah organisasi regional yang mengakomodir kepentingan-kepentingan negara anggotanya. Definisi regionalisme sendiri mencakup aspek yang lebih luas termasuk ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Sebagai norma hukum, esensi dari ASEAN Way disebutkan dalam Deklarasi ASEAN tahun 1967 yang ditandatangani untuk pembentukan ASEAN. Penekanan pada ASEAN Way terutama dibuat dalam frase seperti: “...That they are determined to ensure their stability and security from external interference in any form or manifestation in order to preserve their national identities...” (ASEAN, 1967). Seperti yang dinyatakan oleh Johnston, salah satu faktor paling fundamental yang membuat ASEAN terlihat “kuat”, meskipun belum terbukti benar, adalah ASEAN Way itu sendiri. ASEAN Way adalah konsep lingkungan sosial yang menekankan efek keakraban, membangun konsensus, konsultasi, non-argumentasi koersif, menghindari solusi legalistik untuk distribusi masalah dan lain-lain."7 Setidaknya ada 4 aspek menurut Acharya yang menjadi dasar dari ASEAN Way dan membuat ASEAN Way berbeda dengan konsep lain, yaitu: “Close interpersonal ties among ASEAN's founding leaders; As an expression of cultural similarities; The regulatory norms of ASEAN, or the principles of inter-state relations adopted by the ASEAN members; The process of interaction and socialization that has marked ASEAN's evolution since 1967”.8 Sedangkan menurut sudut pandang mantan menteri luar negeri Malaysia, Ghazalie Shafie, warisan kultur dari negara-negara Asia Tenggara itu sendiri yang menjadi basis dari ASEAN Way, khususnya spirit kebersamaan ala kampung atau the village spirit of togetherness.9 Disisi lain, sebagaimana ringkas dinyatakan oleh Thakur dan Weiss, ASEAN melalui diplomasi berupa cara-cara yang lazim dilakukan oleh negara-negara anggota 7 Alastair I. Johnston, “Socialization in International Institutions: The ASEAN Way and International Relations Theory,” in International relations theory and the Asia-Pacific, ed. Ikenberry, G. John, and Michael Mastanduno. (New York: Columbia University Press, 2003), 107. 8 Amitav Acharya, Constructing a Security Community in South East Asia: ASEAN and the problem of Regional Order (London and Newyork: Routledge, 2001) 56. 9 Acharya, Constructing a Security Community in South East Asia, 57. ASEAN untuk menyelesaikan masalah, mempunyai peranan efektif dalam menyelesaikan masalah di kawasan regionalnya sendiri10. Sementara konsep netralitas dan ketidakberpihakan memainkan peranan besar dalam wacana kemanusiaan, dalam konteks yang sangat dipolitisir seperti di Negara Myanmar. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah: 1. Apa saja peranan ASEAN dalam intervensi kemanusiaan ditinjau dari diplomasi kemanusiaan ASEAN? 2. Mengapa ASEAN menggunakan konsep ASEAN Way dalam mediasi intervensi kemanusiaan di Myanmar? C. Tinjauan Literatur Guna menjawab masalah penelitian, penulis berpegang pada beberapa sumber yang telah ditulis oleh para ahli di bidangnya. Salah satu sumber yang penting dalam penulisan penelitian ini adalah referensi dari jurnal yang ditulis oleh Alpaslan Ozerdem yang berjudul The Responsibility to Protect in Natural disaster: another excuse for interventionism? Nargis Cyclone, Myanmar.11 Dalam jurnal tersebut, penulis menyatakan bahwa ketidakmampuan sebuah Negara yang gagal melindungi kesejahteraan warganya, terutama pasca terkena bencana alam dalam skala yang besar, maka intervensi dari negaranegara lain wajib dilakukan. Rezim junta militer yang bertindak sebagai pemegang kekuasaan pemerintah menghalangi bantuan yang masuk dari negara-negara lain yang ingin membantu dalam kasus Siklon Nargis ini dengan alasan melindungi kepentingan kedaulatan Negara dari negara-negara donor tersebut. Argumen ini dapat mudah dipatahkan dengan isu kemanusiaan yang lebih mendesak. Akan tetapi keteguhan rezim junta militer dalam melihat kedaulatan Negara diatas segalanya membuat bantuan kemanusiaan dari Negara donor yang dikirimkan ke Myanmar menjadi terlihat mustahil untuk dilakukan. Ozerdem menyatakan bahwa kombinasi makro (pemerintah) dan mikro (pekerja yang menyalurkan bantuan kemanusiaan) pada tingkat diplomasi ini terbukti efektif dalam mengambil langkah-langkah progresif untuk respon bantuan kemanusiaan yang lebih 10 Ramesh Thakur and Thomas G Weiss, “R2P: From Idea to Norm - and Action?,” Global Responsibility to Protect 1, No. 1. (2009): 27. 11 Alpaslan zerdem, The „responsibility to protect‟ in natural disasters: another excuse for interventionism? Nargis Cyclone, Myanmar,” Conflict, Security & Development 10 (2010): 693-713. besar. Terutama berguna bagi badan-badan regional yang memainkan peran dalam bidang diplomatik dan dalam menilai kebutuhan bantuan yang memang benar-benar dibutuhkan di lapangan. Tanpa masukan tindakan pertolongan yang memadai dari ASEAN melalui ASEAN Way, mungkin bantuan kemanusiaan ini tidak akan pernah tercapai, dan membolehkan ASEAN untuk memimpin respon kemanusiaan ini memperkuat argumen bahwa bantuan yang disediakan dengan alasan tanpa syarat dan disajikan sebenarnya adalah untuk memudahkan Pemerintah Junta Militer Myanmar.12 Jurnal ini menjadi penting buat penulis karena banyak sekali menyediakan informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus Siklon Nargis di Myanmar yang dilihat secara analitis. Kekuatan diplomasi kemanusiaan ASEAN melalui ASEAN Way berhasil membuka jalur bantuan kemanusiaan yang memang sangat dibutuhkan oleh para korban yang sempat ditutup oelh pemerintah junta militer Myanmar dengan alasan kedaulatan Negara. Hal yang tidak dipaparkan oleh Ozerdem ini kemudian penulis temukan ada dalam pembahasan soft power oleh Nye dalam bukunya The Paradox of American Power: Why the World Only Superpower Can’t Go It Alone.13 Nye menggolongkan kekuatan dalam dua bentuk yang berbeda yaitu hard power dan soft power. Nye mengungkapkan bahwa aspek koersi yang diwujudkan dalam penguatan militer, tidak cukup efektif untuk membangun suatu kekuasaan. Nye kemudian memperkenalkan aspek baru yang menyentuh ranah afeksi demi mewujudkan kekuasaan. Aspek tersebutlah yang dimaksud dengan Soft Power. Ide utamanya adalah bukan dengan menghilangkan lawan, namun dengan manambah kawan. Karena dalam tujuannya adalah menyentuh ranah afeksi, maka dalam pengimplementasiannya, soft power lebih mengeksplorasi aspek-aspek yang dapat digunakan untuk menyebarkan kesan positif dari suatu negara. Aspek-aspek tersebut dibagi menjadi tiga kategori besar yaitu: kebudayaan (pada tempat-tempat yang memiliki kebudayaan yang menarik), nilai politik (jika nilai ini layak sukses di negaranya sendiri dan negara luar), dan kebijakan luar negeri (apabila kebijakan ini masuk akal dan mempunyai nilai moral). Dari tiga kategori besar tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan memiliki turunan yang terbanyak. Akan tetapi kebijakan luar negeri dan nilai politik juga memilki peranan yantg besar. Sejak terbentuknya ASEAN sebagai sebuah kawasan 12 Ozerdem, The „responsibility to protect‟, 701. Joseph S. Nye, The paradox of American Power: Why the World's Only Superpower Can't Go It Alone. (Oxford: Oxford University Press, 2002). 13 regional, ASEAN memegang teguh beberapa norma yang tumbuh sejalan dengan evolusi ASEAN. Setidaknya ada empat norma yang melandasi kehidupan ASEAN. Pertama menentang penggunaan kekerasaan dan mengutamakan solusi damai. Kedua otonomi regional. Ketiga prinsip tidak mencampuri urusan Negara lain. Keempat menolak pembentukan aliansi militer dan menekankan kerjasama pertahanan bilateral.14 Kekuatan soft power dari ASEAN yang terbentuk dari norma dan prinsip diatas yang justru membedakan ASEAN dengan organisasi regional lain. Pemanfaatan soft power melalui ASEAN Way dalam kasus Siklon Nargis di Myanmar justru menguntungkan satu sama lain. Bagi ASEAN, keberhasilannya dalam memimpin bantuan kemanusiaan di Myanmar menguatkan posisi ASEAN, baik bagi negara-negara anggotanya maupun nama ASEAN di mata dunia. Myanmar sebagai negara tuan rumah yang terkena bencana, diuntungkan dengan adanya bantuan yang datang dari Negara donor tanpa mengganggu kedaulatan mereka. Keuntungan juga diperoleh Negara donor yang berhasil mengirimkan bantuan kemanusiaan dan mendapatkan kepercayaan Myanmar melalui perantara ASEAN. D. Kerangka Konseptual Sejarah pembentukan organisasi regional seperti ASEAN lekat dengan pendekatan kontruktivis. Dalam ilmu hubungan internasional sendiri terdapat beberapa tema utama dalam konstruktivisme yang dikemukakan oleh Steans. Pertama adalah negara dengan power. Bagi konstruktivis sosial, politik internasional tidak dapat diteliti dalam analisis sistem internasional. Tidak seperti pandangan neorealisme yang dalam memandang sistem internasional dengan sifat yang begitu mekanistik. Melalui perspektif konstruktivis sosial, tidak ada yang bersifat universal atau otomatis tentang hal tersebut. Sebaliknya, negara berperilaku sedemikian rupa karena tersosialisasikan ke dalam lembaga-lembaga politik internasional. Hal ini sejalan dengan pendapat kaum konstruktivis bahwa politik internasional tidak murni diatur oleh kekuasaan dan dan kepentingan semata. Terdapat norma-norma mendasar dalam politik internasional15. Norma-norma mendasar inilah yang menjadi patokan penting negara-negara untuk melakukan interaksi dalam hubungan internasional di kawasan Asia Tenggara khususnya dalam tataran ASEAN. Tema kedua berbicara mengenai institusi dan tatanan dunia. Dalam tema kedua ini terdapat dua subtema. Subtema pertama membahas mengenai masyarakat internasional. 14 Acharya, Constructing a Security, 45-46. Jill Steans, Lloyd Pettiford, and Thomas Diez. Introduction to International Relations, Perspectives & Themes, 2nd edition, (Pearson & Longman, 2005), Chap. 7: 192. 15 Karena adanya norma-norma dan lembaga-lembaga di tingkat internasional, konstruktivis sosial lebih memilih untuk membahas mengenai masyarakat internasional daripada sistem internasional. Sebuah masyarakat ditandai dengan adanya norma-norma umum dan lembaga-lembaga di dalamnya, sedangkan di dalam sistem masih dapat tetap ada tanpa hal-hal seperti itu dan cara kerjanya berdasarkan pada hukum yang bersifat mekanik. Subtema kedua berbicara mengenai tipe berbeda mengenai anarki. Para konstruktivis sosial mempunyai pandangan berbeda mengenai konsep anarki. Dalam pandangan konstruktivis, negaralah yang membentuk anarki dalam interaksinya. Oleh sebab itu anarki yang dimaksud oleh konstruktivis bersifat konteks-spesifik. Ketiga mengenai rezim internasional. Bagi para konstruktivis, mendapatkan absolute gain seperti yang ditekankan oleh neoliberalisme tidaklah cukup. Hal yang terpenting dalam sebuah rezim adalah proses pembelajaran sosial yang didapatkan melalui prinsip, norma, dan aturan di dalamnya.16 Tema ketiga berbicara mengenai identitas dan komunitas. Identitas merupakan konsep krusial bagi para konstruktivis. Identitas tidak hanya digunakan dalam menjelaskan kepentingan nasional tetapi juga identitas bersifat penting dalam pembuatan decisionmaking. Karena identitas dianggap begitu penting bagi kaum konstruktivis, maka kaum konstruktivis tertarik pula pada struktur dari identitas dan bagaimana identitas dapat berubah. Tema keempat yang menjadi tema terakhir berbicara mengenai perdamaian dan keamanan. Sama halnya dengan argumen mengenai anarki, dalam perspektif ini keamanan adalah apa yang dibuat oleh aktor. Keamanan sebenarnya hanyalah sebuah wacana yang dibuat. Konteks keamanan sendiri tergantung pada apa yang ada dalam masyarakat tertentu tergantung pula konteks sejarah yang ada.17 Identitas dan komunitas ini memang dianggap sebagai sesuatu yang sakral oleh ASEAN. Terlebih jika kita membicarakan identitas ASEAN melalui norma-norma yang dibentuk dan dibangun dalam ASEAN itu sendiri. Isuisu mengenai komunitas juga menjadi salah satu perhatian utama ASEAN dewasa ini dalam rangka untuk selalu memperbaiki organisasi ini maupun hubungan, baik antara ASEAN dengan negara-negara anggota maupun antar negara-negara anggota itu sendiri Dalam studi hubungan internasional, Power atau kekuasaan selalu menjadi isu utama yang selalu menjadi tujuan dari negara. Joseph Nye dalam bukunya The Paradox of American Power mendeskripsikan konsep kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi hasil yang diinginkan, bahkan bila perlu mengubah perilaku orang lain demi terwujudnya hasil yang diinginkan tersebut.Untuk mendapatkan kekuasaan ini, ada 16 17 Steans et al, Introduction to International Relations, 192-196. Steans et al, Introduction to International Relations, 196-200. beberapa alternatif pilihan yang dapat ditempuh oleh sebuah negara. 18 Pilihan untuk mendapatkan kekuasaan tersebut antara lain adalah dengan mengembangkan hard power, soft power maupun smart power. Setelah berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, popularitas penggunaan kekuatan militer sebagai basis utama hard power semakin menurun. Dalam perkembangannya, dunia internasional lebih melihat penggunaan soft power sebagai alat kepentingan yang lebih prospektif. Hal ini didukung oleh fakta kecenderungan dunia internasional untuk lebih menjaga perdamaian dan mengurangi konflik bersenjata. Soft power juga mempunyai efek yang berlangsung lebih lama daripada penggunaan hard power maupun smart power. Tiga Jenis Power Perilaku Arus Primer Kebijakan Pemerintah Kuasa Militer Koersi Ancaman Diplomasi Koersif Deterrence Paksaan Perang Perlindungan Kuasa Ekonomi Aliansi Imbalan Pembayaran Bantuan Koersi Sanksi Suapan Sanksi Soft power Ketertarikan Nilai Diplomasi Publik Seting agenda Budaya Diplomasi Bilateral Kebijakan dan Multilateral Institusi Sumber: J.S. Nye, Soft power: The Means to Success in World Politics. Halaman 31 Soft power terletak pada kemampuan untuk mengatur agenda politik dalam tatanan yang dapat membentuk preferensi aktor lain19. Dalam pengaturan agenda ini hal yang dapat mempengaruhi preferensi orang lain adalah hal-hal yang bersifat intangible seperti kebudayaan yang menarik, ideologi, maupun nilai-nilai yang luhur. Dengan adanya hal-hal tersebut, aktor yang menjadi tujuan dari penggunaan soft power ini akan dengan senang hati dan bahkan tanpa disadari akan dapat bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan dari aktor pemilik soft power. Akan tetapi yang perlu dicermati disini adalah bahwa soft power tidak hanya semata terbatas pada peran pengaruh. Apabila hanya tentang pengaruh, maka hard power pun dapat pula mempengaruhi dengan memberikan ancaman maupun 18 19 Nye, The paradox of American Power, 4. Nye, The paradox of American Power, 9. sanksi militer, begitu pula smart power yang dapat memberikan pengaruh melalui pemberian dana bantuan maupun embargo. Namun, yang lebih ditekankan dalam kuasa soft power adalah kemampuan untuk dapat memancing ketertarikan. Dimana wujud dari ketertarikan dan kekaguman itu tadi akan berbentuk pada imitasi ataupun kepatuhan. Dalam usahanya untuk meraih ketertarikan dari pihak lain, maka suatu negara harus memiliki reputasi yang baik. Reputasi selalu menjadi isu penting dalam dunia politik, namun kredibilitas menjadi sumber kekuatan yang lebih penting dengan adanya „paradox of plenty‟20 sebagai efek dari merebaknya informasi dalam era globalisasi sekarang ini. Untuk membangun reputasi dan kredibilitas yang bagus inilah dibutuhkan adanya diplomasi publik. Tabel yang menjelaskan tentang tiga jenis kekuatan menurut Joseph Nye, turut menjelaskan bahwa dalam soft power, untuk mendapatkan ketertarikan, maka dapat melalui kebijakan pemerintah yaitu dengan menggunakan diplomasi publik. Diplomasi publik dapat diartikan sebagai program pemerintah yang bertujuan untuk menginformasikan ataupun mempengaruhi opini publik di negara lain21. Nye menambahkan bahwa sumber soft power di suatu negara dapat diperoleh dari tiga hal berikut: budaya (yang dapat memicu ketertarikan negara lain), nilai-nilai politik (yang berkembang di dalam dan luar negeri), dan kebijakan politik luar negeri (yang terlegitimasi serta memiliki otoritas moral).22 Kebudayaan sendiri merupakan salah satu spektrum dari diplomasi publik. Nilai-nilai suatu negara terbungkus dalam budaya yang menjadi identitasnya. Oleh karena itu, budaya yang menjadi sarana diplomasi publik mempunyai nilai keefektifan yang tinggi guna membentuk soft power. Budaya dari suatu negara yang kemudian mempengaruhi masyarakat di negara lainnya sehingga membentuk tindakan dan pola pikir yang sama di antara masyarakat dapat menjadi jalan akan terciptanya hubungan jangka panjang antara kedua negara. Sebagai sebuah kawasan yang multikultur dengan berbagai identitas etnis dan suku bangsa di dalamnya, konflik tentu sudah dianggap sebagai suatu hal lumrah sering terjadi diantara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun, isu yang ada di dalam konflik yang terjadi rupanya semakin meninggi kompleksitasnya dari waktu ke waktu. Hal ini membuat konflik tidak bisa lagi diselesaikan hanya dengan kerjasama bilateral saja. 20 Terminologi paradox of plenty banyak digunakan untuk membahas masalah sumber daya alam. Lihat F. D. V. Ploeg dan S. Poelbekke, The Violatile Curse: Revisiting Paradox of Plenty. DNB Working Paper, 206, (2008). 21 Charle Wolf Jr and Brian Rosen, Public Diplomacy: How to Think about and Improve It? (California: Rand Cooperation, 2004), 15. 22 Joseph S. Nye, Soft power: The Means to Success in World Politic, (New York: PublicAffairs, 2004), 11. ASEAN sebagai organisasi yang memayungi kawasan Asia tenggara, adalah instrumen yang diharapkan mampu mengatasi problema ini, yaitu dengan berperan sebagai pihak ketiga yang berusaha menyelesaikan permasalahan negara-negara anggotanya agar konflik tidak berlarut. Dalam menjalankan fungsinya ini ASEAN mempunyai aturannya sendiri, yang terangkum dalam Norma dan Prinsip ASEAN.23 Association of South East Asia Nation (ASEAN) adalah satu-satunya organisasi regional Asia Tenggara, yang sekaligus menjadi wadah bagi negara-negara anggota untuk mengadakan dialog dan kerjasama di antara mereka. ASEAN lahir karena adanya keraguan dikalangan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.24 Itu termaktub dalam prinsip-prinsip dasar pembentukan ASEAN, diantaranya adalah prinsip non-intervensi. Disusunnya piagam ASEAN dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di kwasan tersebut. Maka dari itu, ketika kita berbicara ASEAN, kita juga akan berbicara tentang bagaimana negaranegara ASEAN menyelesaikan masalah yang dihadapi. Layaknya rezim internasional, ASEAN juga memiliki caranya sendiri dalam menyelesaikan setiap masalah. Cara-cara tersebut terangkum dalam jargon ASEAN Way yang didengungkan para pendahulu ASEAN untuk menciptakan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. ASEAN Way juga merupakan salah satu nilai yang menjadi pedoman paling dasar dalam penerapan metode diplomasi ASEAN.25 ASEAN Way dalam tesis ini akan coba dilihat sebagai cara-cara negara di kawasan Asia Tenggara dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Kultur budaya yang melekat dalam negaranegara di Asia Tenggara ini mempunyai pengaruh yang besar dalam sesuatu yang kemudian muncul dan menjadi pedoman bagi mereka. ASEAN Way sebagai sebuah norma yang berkembang dalam negara-negara anggota ASEAN dapat menjadi senjata ampuh diplomasi ASEAN terhadap negara-negara anggotanya, terutama dalam diplomasi kemanusiaan, dalam mengakali celah yang ditimbulkan oleh penggunaan prinsip nonintervensi yang dibawa oleh Myanmar sebagai salah satu bentuk kebijakan politik luar negeri mereka. Semangat yang dibawa dalam ASEAN Way ini terbukti cukup ampuh untuk membuka pengiriman bantuan kemanusiaan yang dibawa oleh negara-negara diluar kawasan ASEAN masuk ke Myanmar karena ditutup aksesnya oleh pemerintah junta militer Myanmar. Norma ini berkembang menjadi budaya dalam negara-negara anggota ASEAN itu sendiri dan menjadi soft power bagi ASEAN. Dalam konteks kemanusiaan, 23 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007) 17. Amitav Acharya, 25 Shaun Narine, “ASEAN in the Twenty-First Century,” in Explaining ASEAN: Regionalism in Southeast Asia. (London: Lynne Rienner Publishers, Inc). 24 bantuan ini dipandang penting tanpa melihat agenda-agenda lain yang mungkin saja disusupkan negara pendonor. Potensi suatu budaya untuk menjadi soft power sendiri hanya akan terhenti sebagai soft power resources atau sumber soft power apabila tidak dimanfaatkan secara benar. Hal ini dapat dikarenakan apabila suatu negara memiliki budaya yang luhur, yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang tinggi dan norma yang dirasakan bersama, namun budaya tersebut tidak dikembangkan ke negara lain sehingga tidak dapat berfungsi sebagai soft power. Proses bagaimana soft power dapat bekerja dan diterima oleh masyarakat negara lain dijelaskan oleh Alexander Vuving melalui konsep sumber soft power.26 Sumber soft power dapat menunjukan sejauh mana suatu soft power dapat diterima dan direspon oleh masyarakat di negara penerimanya. Lebih jauh lagi, Vuving membagi arus soft power tersebut dalam tiga golongan besar yaitu beauty, brilliance dan benignity. Beauty adalah saat dimana masyarakat merasakan adanya kesamaan ide dan nilai dengan negara asal soft power. Proses ini kemudian menimbulkan rasa saling memiliki/ shared value yang memunculkan rasa kepercayaan dan persatuan. Brilliance berarti menonjolkan pencapaian yang telah diperoleh negara penghasil soft power, sehingga masyarakat di negara lain akan merasa kagum terhadap negara tersebut. Brilliance dapat memberikan dua efek kepada masyarakat penerimanya yaitu efek segan dan keinginan untuk meniru negara asal soft power tersebut. Yang terakhir adalah benignity yang dapat didefinisikan perilaku yang dianggap baik terhadap masyarakat negara lain yang akan dibalas dengan perlakuan yang serupa. Hasil dari benignity dapat berupa sikap ramah, toleransi terhadap perbedaan, tidak menentang, memberikan bantuan bahkan dapat berupa pemberian perlindungan. Tiga puluh tahun berlalu sejak ASEAN pertama kali dibentuk, negara-negara ASEAN selalu menerapkan norma diplomatik ASEAN Way yang identik dengan nonintervensinya. Dengan berdasar pada ASEAN Way tersebut, negara anggota selalu menggunakan metode manajemen konflik melalui musyawarah. Dengan adanya musyawarah dan non-intervensi yang dilakukan olehh negara-negara anggota tersebut diharapkan agar tidak akan ada pihak-pihak asing, bahkan dari dalam kawasan regional Asia Tenggara itu sendiri, yang turut mencampuri masalah domestik negara-negara anggota. ASEAN memberikan kewenangan penuh pada rezim pemerintahan yang berkuasa dalam negara tersebut untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Tujuan dari ditetapkannya ASEAN Way adalah untuk mencegah suatu isu masalah menjadi kian 26 A. Vuving. “How Soft power Works”, (paper Presented at the Panel “Soft power And Smart Power,” American Political Science Association Annual Meeting, Toronto, September 3, 2009). membesar dan meluas, yang dilakukan dengan cara meredam dan mengabaikan hal-hal kecil demi tujuan yang lebih besar.27 Penerapaan norma ASEAN Way menjadi krusial untuk diterapkan, mengingat norma tersebutlah yang menjadi norma dan identitas yang melekat pada negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena itu peletakan norma secara tepat menjadi tuntutan agar ASEAN dapat berjalan tepat sasaran.28 Hal tersebut dibuktikan seiring dengan berbagai upaya negara-negara anggota dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dengan tetap memegang teguh prinsip dan norma ASEAN Way, ASEAN berkembang menjadi sebuah organisasi regional yang dianggap sukses menyelesaikan masalahnya dengan cara damai serta membawa perdamaian di kawasan tersebut. Norma-norma yang diatur dalam ASEAN Way juga menjadi salah satu identitas ASEAN itu sendiri. Sebab prinsip non-intervention, non-use of force, dan juga penggunaan musyawarah, utamanya, sarat sekali dengan nilainilai melayu yang menjadi salah satu mayoritas dari penduduk negara-negara anggota ASEAN. ASEAN Way oleh beberapa pihak diklaim sebagai norma yang kurang tegas dalam mengatur perilaku dan segala sesuatu yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Terutamanya pada penerapan prinsip ketiga, yaitu prinsip non-intervensi. Akan tetapi banyak juga yang menganggap prinsip ini merupakan salah satu pondasi paling kuat dalam menopang kelangsungan regionalisme di ASEAN. Negara anggota ASEAN sadar bahwa konflik internal masih rentan terjadi dan bisa menyulut lahirnya konflik eksternal. Selaras dengan hal tersebut, poin ketiga ini menjadi alasan bagi negara anggota untuk menerapkan beberapa hal, antara lain: pertama, tidak melakukan penilaian kritis terhadap masalah yang sedang terjadi di dalam negara anggota lain supaya tidak menjadi penghalang bagi keberlangsungan organisasi ASEAN. Kedua, saling mengingatkan jika terdapat salah satu anggota yang melanggar poin pertama. Ketiga, tidak memberikan perlindungan terhadap kelompok oposisi negara anggota lain, dan keempat, memberikan dukungan terhadap negara anggota lain yang sedang mengalami gerakan anti-kemapanan.29 Tidak jarang juga prinsip non-intervensi dan non use of force sebagai sebuah solusi yang tidak menghasilkan hasil. Hasil dari penerapan prinsip non-intervensi tersebut, banyak yang berpendapat bahwa ASEAN dianggap kurang dan tidak tegas dalam menindak serta memberikan kontrolnya terhadap negara-negara anggota. Namun dibalik 27 Amitav Acharya, “Do Norms and Identity Matter? Community and Power in Southeast Asia‟s Regional Order,” in The Pacific Review. (London: Routledge, 2005). 28 Acharya, Do Norms and Identity Matter, 98. 29 Cipto, Hubungan Internasional, 20. itu semua, setidaknya ASEAN telah berusaha untuk menjauhkan intervensi pihak-pihak dominan dalam setiap masalah yang terjadi di negara-negara anggota ASEAN. Dalam mengatasi masalah, ASEAN lebih memilih untuk membiarkan masalah tersebut mendingin sebelum nantinya akan mengambil tindakan musyawarah sebagai upaya penyelesaian. Dalam konteks ini terlihat bahwa ASEAN benar-benar menjaga atmosfer hubungan antar negara-negara anggota ASEAN agar tetap dingin dan kondusif. Hal tersebut pada akhirnya berujung pada kestabilan hubungan diantara mereka yang mampu memajukan dan mengembangkan kawasan Asia Tenggara. Diplomasi tidak bisa dipisahkan dari aktivitas hubungan internasional. Diplomasi kemanusiaan merupakan salah satu aspek dalam diplomasi yang sedang banyak dilakukan karena isu-isu kemanusiaan sedang menjadi perhatian dikalangan dunia internasional dewasa ini. Pendekatan diplomasi kemanusiaan ini berbeda dengan pendekatan diplomasi tradisional. Jika diplomasi tradisional mengacu kepada Konvensi Wina tahun 1949, diplomasi kemanusiaan ditandai denga keadaan yang mendesak yang tidak melihat batas negara selayaknya yang dilakukan diplomat pada diplomasi tradisional. Diplomasi kemanusiaan lebih dapat diimprovisasi dan ad hoc, lebih oportunis dan ad hominem. Secara umum, diplomasi kemanusiaan idefinisikan sebagai upaya untuk mengurangi penderitaan manusia dalam kondisi krisis kemanusiaan. Tujuan dari diplomasi kemanusia adalah untuk menyelamatkan kehidupan dan mengurangi penderitaan manusia.30 Diplomasi kemanusian memang cenderung berbeda dengan diplomasi pada umumnya. Salah satunya bisa dilihat dari aktornya. Diplomasi dalam ilmu hubungan internasional berkaitan dengan kedaulatan negara dan diplomat merupakan perwakilan dari sebuah negara berdaulat di negara lain. Sementara aktor diplomasi kemanusiaan cukup flexibel, tidak hanya negara saja namun juga non-government organization (NGO) yang kerap bekerjasama dengan pelaku bisnis, jurnalis, dan pemuka agama untuk memengaruhi sebuah kebijakan untuk mengurangi penderitaan manusia.31 Aktor-aktor kemanusian tersebut kerap tidak menyadari bahwa aksi yang mereka lakukan adalah bagian dari diplomasi kemanusiaan, meskipun mereka sudah melakukan tugas-tugas utama diplomat.32 Dapat dikatakan juga bahwa diplomasi kemanusiaan merupakan proses menciptakan dan memelihara ruang bagi kemanusiaan agar aksi-aksi kemanusiaan dapat dilakukan juga 30 Larry Minear and Hazel Smith. Humanitarian diplomacy: practitioners and their craft. (Tokyo: United Nations University Press, 2007). 31 Minear and Smith, Humanitarian diplomacy. 36. 32 Minear and Smith, Humanitarian diplomacy. 8. memelihara atau memberi akses kepada mereka yang membutuhkan seperti dalam kasus bencana alam, konflik, dan situasi-situasi lain yang mengancam keselmatan manusia. Aktor diplomasi kemanusian mempunyai fungsi yang sama dengan diplomat perwakilan negara yakni dengan melakukan negosiasi, persuasi dan dialog untuk mencoba mencapai kesepakatan dengan pihak lain yang tidak mempunyai nilai maupun kepentingan yang tidak sejalan. Namun, aktor kemanusiaan bukanlah diplomat. Diplomat dari negara bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional, sementara aktor kemanusian mencapai kepentingan internasional untuk fokus yang lebih sempit yakni merespon kebutuhan kemanusiaan.33 Proses dari diplomasi kemanusiaan sendiri mencakup aktivitas yang sama dengan diplomasi pada umumnya yakni mengumpulkan informasi (inteligen), komunikasi dan negosiasi.34 Pertama, fungsi inteligen atau mengumpulkan informasi merupakan fungsi yang problematik untuk agen kemanusiaan karena tidak nyaman dan kadang mempunyai konotasi yang berbahaya untuk aktor kemanusiaan karena bisa dicurigai oleh negara penerima atau pun pihak lain di lapangan. Adapun tujuan dari mengumpulkan informasi di wilayah kerja tersebut di antaranya untuk bisa mengimplementasikan program dan aktivitasnya secara efisien dan bisa membuat laporan yang bertanggung jawab tentang bagaimana mereka menggunakan dana bantuan kepada negara donor. Kedua, dalam fungsi komunikasi, aktor kemanusiaan melakukan hal yang sama dengan diplomat negara yakni mengkomunikasikan antara negara penerima dengan kantor pusat. Aktor kemanusian dalam passport maupun surat tugasnya diakui walaupun secara implisit sebagai perwakilan diplomasi.35 Fungsi komunikasi itu juga bisa cenderung berbahaya, terutama saat berada di wilayah konflik, karena komunikasi tersebut bisa saja dicurigai sebagai upaya untuk memperparah konflik. Ketiga, fungsi negosiasi untuk mencapai sebuah kesepakan. Kesepakatan dicapai dengan menggunakan instrumental diplomasi yang klasik yakni persuasi, janji dan ancaman.36 Dalam tesis ini, penulis mencoba melihat ASEAN sebagai aktor kemanusiaan dalam konteks diplomasi kemanusiaan yang mereka lakukan terhadap pemerintah junta militer Myanmar. Dalam melakukan mediasi antara pemerintah junta militer Myanmar dan komunitas internasional, ASEAN mengambil peranan untuk menengahi dan menjembatani kepentingan dua pihak melalui ASEAN sehingga dapat tercapai tujuan yang lebih besar 33 Minear and Smith, Humanitarian diplomacy. 50. Minear and Smith, Humanitarian diplomacy. 54. 35 Minear and Smith, Humanitarian diplomacy. 56. 36 Minear and Smith, Humanitarian diplomacy. 57. 34 atas nama kemanusiaan. Representasi ASEAN sebagai aktor kemanusiaan ini dapat dilihat sebagai langkah diplomasi dalam jalur multitrack diplomacy. Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa cara-cara yang dilakukan ASEAN dalam bentuk pendekatan yang dilakukan secara kultural terhadap Myanmar, dapat membuka celah terhadap pelaksanaan nonintervensi yang dilakukan oleh pemerintah junta militer Myanmar. E. Hipotesis Merujuk pada kerangka konseptual untuk menganalisa kasus ini, penulis berhipotesis ASEAN sebagai organisasi regional mempunyai kekuatan soft diplomacy melalui cara-cara yang melekat secara kultural diantara negara-negara anggota untuk membantu para korban bencana siklon nargis mendapatkan bantuan kemanusiaan dari negara-negara pendonor melalui ASEAN. Diplomasi kemanusiaan yang dikembangkan oleh ASEAN dalam menghadapi bencana siklon nargis di Myanmar setidaknya mampu meyakinkan pemerintah junta militer Myanmar untuk membuka akses terhadap bantuan kemanusiaan dari negara-negara pendonor melalui ASEAN. F. Metode Penelitian Tesis ini ditulis menggunakan penelitian yang sesuai dengan metode riset dalam hubungan internasional. Tesis ini lebih banyak menggunakan studi pustaka yang mempunyai relevansi terhadap permasalahan yang dibahas sebagai sumber utama/primer sebagai metode dalam mengumpulkan data. Tesis ini disajikan menggunakan metode analisis eksplanasi dan dalam teknik penulisannya menggunakan metode kualitatif yang lazim digunakan dalam penulisan karya ilmiah dalam bidang ilmu sosial. Penelitian kualitatif tersebut berupa studi kasus yang bisa memudahkan penulis untuk menghimpun, menganalisis data, serta membuat kesimpulan. G. Sistematika Penulisan Dalam Bab pertama tesis ini akan menguraikan latar belakang dan permasalahan, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, dan metode penelitian. Selanjutnya dalam Bab kedua dideskripsikan tentang gambaran umum mengenai ASEAN sebagai organisasi regional yang memiliki ciri khas tertentu melalui norma dan prinsip yang dianut. Bab ketiga digunakan untuk menyampaikan pembahasan tentang bencana Siklon Nargis dan bantuan kemanusiaan di Myanmar serta peranan ASEAN dalam diplomasi kemanusiaan di Myanmar. Selain itu di Bab ini juga akan dibahas mengenai penolakan junta militer Myanmar terhadap segala bentuk bantuan kemanusiaan asing yang ingin membantu korban bencana Siklon Nargis tersebut. Pada Bab keempat akan dijelaskan mengenai analisis terhadap penggunaan ASEAN Way sebagai pendekatan yang dilakukan ASEAN terhadap Myanmar guna membuka akses terhadap bantuan kemanusiaan yang datang. Tesis ini ditutup dengan dalam Bab kelima yaitu kesimpulan yang berisi jawaban atas permasalahan pokok dalam tesis ini serta saran-saran yang perlu dipertimbangkan untuk pembahasan selanjutnya.