ADHD - ETD UGM

advertisement
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Attention-deficit/hyperactive disorders (ADHD) sesungguhnya bukanlah
diagnosis baru dalam bidang ilmu kedokteran jiwa. Gangguan ini sudah
diperkenalkan oleh seorang dokter berkebangsaan Inggris, Prof. George F. Still,
pada 1902. Dalam penelitiannya, analisis studi kasus pada dua puluh anak, Still
menemukan adanya gangguan dalam memusatkan perhatian. Anak-anak yang
mengalami gangguan tersebut juga menunjukkan perilaku gelisah dan resah.
Menurut Still, gangguan tersebut berasal dari bawaan biologis atau dari dalam diri
anak, bukan karena faktor lingkungan.
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Mannuzza dan kawan-kawan
di New York, Amerika Serikat, pada 104 anak laki-laki dengan ADHD
mengungkapkan, 11 persen berlanjut menjadi ADHD pada masa dewasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Spencer, Cumyn, Barkley, dan Bierderman dalam
penelitian yang berbeda juga melaporkan, sebanyak 60 persen anak-anak dengan
ADHD akan menunjukkan gejala-gejala subklinis ADHD pada masa dewasa.
ADHD paling baik dipahami sebagai sebuah gangguan perkembangan saraf awal
pada masa kanak-kanak yang dapat berlanjut hingga dewasa (McIntosh D. et al.,
2009).
Perjalanan gangguan ADHD sangat bervariasi dengan gejala yang kurang
dapat menetap sampai remaja atau dewasa. Kurang lebih 15–20 persen anak
ADHD tetap akan memiliki gejala ADHD atau beberapa gejala sisa sampai
dewasa (Sadrock B.J, 2003).
2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Limoa et al. (2005),
didapatkan hasil, pasien yang mengalami ADHD paling banyak pada golongan
umur 0–5 tahun sebanyak 37 orang (56,06 persen), berumur 6–10 tahun sebanyak
26 orang (39,39 persen), berumur 11–15 tahun sebanyak 2 pasien (3,03 persen),
dan berumur 16–20 tahun sebanyak 1 pasien (1,52 persen).
Sementara itu, prevalensi ADHD pada orang dewasa di seluruh dunia
adalah 2–7 persen dan cenderung menurun sesuai usia. Beberapa studi pada orang
dewasa dengan perilaku penyalahgunaan zat menunjukkan, 15–25 persen di
antaranya mempunyai ciri ADHD. Sebuah penelitian menyatakan, terdapat
predisposisi genetik yang tinggi. Selain itu, terdapat penelitian yang
mengungkapkan adanya abnormalitas struktur dan fungsi otak yang kongruen
dengan data neuropsikologi (Simon et al., 2009).
Saat ini, para ahli kesehatan belum mengetahui secara pasti penyebab
ADHD pada orang dewasa. Penelitian-penelitian menunjukkan banyak faktor
yang memengaruhi, di antaranya genetik, struktur anatomi, dan neurokimiawi
otak (Simon et al., 2009 ).
ADHD sebenarnya bukan semata-mata gangguan yang ditandai dengan
inatensi, hiperaktivitas, atau kombinasi keduanya. Dari berbagai penelitian
ditemukan, ADHD terkait dengan gangguan fungsi eksekutif. Pada ADHD
dewasa, gangguan ini sangat berperan (Martel et al., 2007).
Sebuah penelitian meta-analisis melaporkan bahwa penderita ADHD
memiliki gangguan pada domain fungsi eksekutif. ADHD dewasa menunjukkan
penurunan yang signifikan pada neuropsikologi, respons inhibisi, kewaspadaan,
3
working memory, dan perencanaan. Fungsi eksekutif secara signifikan
berhubungan dengan ADHD, tetapi tidak sebagai gejala tunggal dan cukup untuk
mendiagnosis ADHD (Willcut et al., 2005; Murphy & Adler, 2005).
Masih banyak klinisi yang tidak mengenali gangguan fungsi eksekutif
pada ADHD dewasa. Gangguan fungsi eksekutif sebenarnya mudah dikenali dan
diperiksa dengan menggunakan inventori yang tepat (Murphy & Adler, 2005).
Dalam perkembangan selanjutnya, ADHD sering komorbid dengan
gangguan depresif berat (major depressive disorder-MDD). Sejumlah penelitian
berhasil membuktikan mengenai komorbiditas depresi dan ADHD, tetapi hanya
sedikit alat yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati gangguangangguan yang muncul. Depresi komorbid sering terjadi pada ADHD dewasa.
Menurut penelitian Replikasi Survei Komorbiditas Nasional (the National
Comorbidity Survey Replication-NCSR), prevalensi MDD pada orang dewasa
dengan ADHD adalah 18,6 persen dibandingkan 7,8 persen pada responden tanpa
ADHD. Hubungan yang lebih impresif, meskipun lebih jarang, ditemukan untuk
dysthymia (12,8 persen dibandingkan 1,9 persen). Kebalikannya juga benar,
ADHD sering ditemukan pada orang dewasa dengan gangguan depresi. Angka
yang dilaporkan berkisar dari 9–16 persen (McIntosh D. et al, 2009).
Orang ADHD komorbid dengan gangguan depresi, berisiko lebih besar
untuk mempunyai prognosis lebih buruk dan risiko bunuh diri yang lebih tinggi
pada anak-anak dan remaja. Kondisi tersebut menyebabkan timbulnya biaya yang
lebih besar pada masyarakat dan individu ADHD komorbid dengan depresi.
Sebagai contoh, pasien dengan ADHD komorbiditas dengan gangguan kejiwaan
4
lain terbukti lebih sering menganggur daripada pasien dengan ADHD saja (34,5
persen berbanding 6,7 persen). Namun, penemuan ini bukan merupakan sebuah
temuan yang signifikan karena ukuran sampel yang kecil (McIntosh D. et al,
2009).
Biederman et al. (2005) menerbitkan sebuah artikel yang mengambil 123
perempuan muda dengan ADHD dan 122 perempuan sebagai kelompok kontrol
selama lima tahun menjadi remaja/dewasa awal. Sebanyak 40,7 persen perempuan
dengan ADHD pada awal memiliki MDD dengan derajat sedang hingga berat.
Sementara itu, hanya 11 persen dari kelompok kontrol yang mengalami MDD.
Pada tindak lanjut titik waktu lima tahun, sebanyak 65 persen (80/123) dari
perempuan dengan ADHD mengalami MDD dibandingkan 20,5 persen dari
kelompok kontrol. Bahkan, setelah penyesuaian untuk kondisi komorbiditas,
hubungan antara ADHD dan MDD masih signifikan (95 persen interval
kepercayaan 1,5–4,2; p < 0,01).
Depresi yang muncul pada pasien penyalahguna zat yang komorbid
ADHD berakibat meningkatnya angka kejadian bunuh diri. Komorbiditas dengan
gangguan penggunaan zat (substance use disorder-SUDs) layak mendapat
perhatian khusus karena tingginya tingkat ADHD dalam populasi SUD. Pada
penelitian ini sering ditemukan keterkaitan ADHD dengan penyalahgunaan zat,
termasuk adanya ketergantungan zat. Yang dimaksud dengan penyalahgunaan zat
adalah penggunaan zat yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung
selama satu bulan sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi
sosial. Disebut sebagai ketergantungan jika penggunaan telah menyebabkan
5
terjadinya toleransi dan bila berhenti atau mengurangi jumlah zat psikoaktif yang
digunakan, akan menimbulkan gejala putus zat. Sebuah hubungan dua arah antara
ADHD dan SUD dilaporkan dengan gejala ADHD lebih terwakili dalam populasi
SUD dan SUD pada populasi ADHD (Kooji et al., 2010).
Penelitian case control yang dilakukan oleh Wilens et al. tahun 2005,
menunjukkan hasil bahwa pasien penyalahguna zat komorbid dengan ADHD
sebanyak 32 persen% mengalami depresi (Wilens et al., 2005). Penelitian
protokol yang dilakukan di The Louis Mourier University Hospital in Colombo,
Prancis, pada 2012, menyatakan bahwa angka kejadian depresi pada pasien
dengan gangguan adiksi (penyalahguna zat, bulimia nervosa, anoreksia,
kompulsif, dan judi patologis) komorbid ADHD sebanyak 25 persen. Sementara
angka kejadian bunuh diri pada pasien rawai inap maupun rawat jalan dengan
gangguan adiksi komorbid ADHD sebesar 2,5 persen (Romo L, et al., 2012).
Sebuah studi prospektif longitudinal yang dilakukan oleh Kooji (2003 )
dan Kooji (2009) menunjukkan, diagnosis ADHD pada masa kanak-kakak atau
remaja meningkatkan risiko terjadinya SUDs di masa yang akan datang. Sebanyak
25 penelitian yang telah dilakukan kepada penyalahguna zat dalam sampel
prevalensi ADHD diperkirakan sekitar 45 persen sampai 55 persen. Pada dewasa
muda dengan ADHD persisten, tingkat komorbiditas dengan SUDs mencapai 47–
50 persen. Pada situasi yang lain, sebanyak 34 persen remaja yang mendapat
penanganan karena kasus SUDs ternyata juga mengalami ADHD. Hal tersebut
dikaitkan dengan beberapa faktor. Pertama, ADHD mempunyai beberapa faktor
6
risiko biologis yang sama dengan SUDs, diperkirakan keduanya mempunyai
kesamaan genetik atau faktor risiko familial lainnya.
Kedua, faktor komorbiditas berupa gangguan perilaku komorbid, seperti
oppositional defiant disorder dan conduct disorder, dan gangguan bipolar
komorbid juga berperan meningkatkan risiko SUDs. Self-medication terhadap
gejala kecemasan, depresi, dan agresi merupakan salah satu penyebab terjadinya
SUDs. Ketiga gangguan tersebut sering terjadi pada pasien ADHD. Namun, gejala
ADHD itu sendiri ternyata dapat secara langsung meningkatkan risiko SUDs.
Dengan adanya impulsivitas dan judgement yang kurang baik, anak dengan
ADHD sering mencoba obat-obatan terlarang tanpa berpikir panjang. Kasus
lainnya, pada ADHD kronis dengan kegagalan di sekolah dan lingkungan sosial
dapat terjadi demoralisasi, yang kemudian mengarah ke penyalahgunaan zat.
Ketiga, secara garis besar penatalaksaan pasien ADHD melibatkan peran
farmakoterapi dan psikoterapi. Dalam hal ini terapi medikasi atau farmakologi
masih dianggap sebagai terapi lini pertama untuk ADHD. Terapi medikasi
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu dan nonstimulan. Dibandingkan obat-obat
nonstimulan, obat-obat stimulan telah terbukti menjadi pilihan utama.
Meskipun ada banyak tantangan dalam mengidentifikasi ADHD tidak
terdiagnosis pada pasien SUD, skrining sistematis perlu dilakukan oleh psikiater.
Hal ini sangat penting karena pasien SUD dengan ADHD komorbid sering hadir
dengan bentuk SUD yang sudah parah ditandai dengan onset dini, durasi SUD
lebih lama, penurunan yang lebih besar, dan transisi pendek dari penggunaan zat
ketergantungan. Penelitian mengatakan bahwa ADHD telah meningkatkan risiko
7
bunuh diri pada remaja SUD. Hasil pengobatan SUD pasien pada program terapi
rumatan metadon (PTRM) di Amerika Serikat signifikan memiliki gejala ADHD
(Kooji et al., 2010).
Dari sejumlah uraian di atas, komorbiditas antara ADHD, depresi, dan
penyalahgunaan zat mempunyai efek negatif yang merugikan pasien, keluarga,
lingkungan, serta negara. Kondisi tersebut tentu membutuhkan intervensi dari
para klinisi dan keluarga pasien secara komprehensif untuk menentukan dan
melakukan penatalaksanaan yang tepat.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan
depresi pada pasien penyalahguna zat komorbid ADHD dewasa dengan tanpa
ADHD dewasa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian tentang latar belakang dan perumusan masalah tersebut di
atas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi depresi pada pasien
penyalahguna zat komorbiditas ADHD dewasa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memperkaya kajian atau pembelajaran
dalam pengembangan ilmu kedokteran jiwa. Selain itu, memberikan tambahan
pengetahuan tentang depresi pada pasien penyalahguna zat komorbid ADHD
dewasa di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Manfaat ini dapat diarahkan untuk
membantu mempermudah aspek promosi dan edukasi kesehatan mental.
8
2. Manfaat Praktis
2.1 Bagi Masyarakat
Jika kelak hasil penelitian ini disadur ke dalam bentuk bacaan populer,
diharapkan dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya
keluarga yang merawat pasien ADHD dewasa dengan gangguan depresi dan
penyalahgunaan zat atau obat-obatan. Dengan demikian, penatalaksanaan pasien
tersebut dapat berjalan efektif dan efisien.
2.2 Bagi Penyedia Layanan Kesehatan Mental
Memahami tingkat depresi yang dialami pasien penyalahgunaan zat dan
mendeteksi adanya gejala ADHD dewasa akan meringankan kegiatan penyedia
layanan kesehatan mental. Kegiatan tersebut bisa berupa upaya promotif dan
preventif dalam penatalaksanaan gangguan mental. Dengan demikian, penyedia
layanan kesehatan mental dapat memperkaya literaturnya untuk membangun
sistem pendukung bagi pasien dengan lebih baik.
2.3 Bagi penyusunan kebijakan kesehatan kejiwaan
Penelitian ini diharapkan membawa hasil penting sebagai pertimbangan
perancangan kebijakan kesehatan jiwa yang disusun oleh otoritas negara.
Kebijakan tersebut nantinya akan menjadi panduan para penyelenggara layanan
kesehatan jiwa baik formal ataupun informal, komunitas, maupun organisasi
swadaya kesehatan mental yang akan mendukung dan memberi bantuan memadai
bagi keluarga yang memiliki individu dengan masalah kejiwaan pada umumnya.
Terutama keluarga yang merawat pasien yang mengalami depresi dan
penyalahgunaan zat, serta mempunyai gejala ADHD dewasa. Hasil penelitian ini
9
juga diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan untuk mengetahui adanya
depresi yang pernah maupun sedang menyalahgunakan zat dan mendeteksi
adanya gejala ADHD dewasa.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai Komorbiditas Perilaku ADHD dewasa pada pasien
penyalahguna zat yang mengalami depresi ini bukan yang pertama kali dilakukan.
Sebelumnya telah ada beberapa penelitian yang berhubungan dengan pengetahuan
guru tentang ADHD.
1. Kim J. H. et al. (2013) dengan judul penelitian The WHO Adult ADHD
Self-Report Scale: Reliability and Validity of the Korean Version di Seoul, Korea
Selatan. Rancangan penelitian menggunakan cross sectional study. Penelitian ini
menggunakan analisis Pearson untuk memeriksa faktor struktur, konsistensi
internal, dan validitas konvergen dari ASRS dalam sampel Korea. Hasil akhir dari
penelitian tersebut, ASRS menunjukkan konsistensi internal yang baik dan
keandalan tes-tes ulang. Korelasi antara ASRS dan tindakan ADHD dewasa
lainnya yang tinggi memberikan bukti validitas konvergen. Tidak ada perbedaan
jenis kelamin dalam ASRS, BDI, dan STAI-S. Perbedaan berdasarkan jenis
kelamin ditemukan hanya pada STAI-T dan Hiperaktif subskala dari CAARS.
Perbedaan penelitian dengan penulis adalah penentuan validitas dan reliabilitas
instrumen untuk mengukur ada atau tidaknya gejala ADHD.
2. Diagre C. et al. (2009) dengan judul penelitian Adult ADHD Self-Report
Scale (ASRS-v1.1) symptom checklist in Patients with Substance Use Disorders di
Barcelona, Spanyol. Rancangan penelitian menggunakan deskriptif, prospektif,
10
dan psikometri. Hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis faktorial
dilakukan dengan rotasi varimax. Untuk menentukan penyesuaian struktur
antarkorelasi, didapatkan bahwa ASRS-v1.1 adalah alat skrining sederhana yang
berguna dan memiliki validitas untuk mengidentifikasi ADHD di antara pasien
kecanduan. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah lokasi penelitian dan
tujuan penelitian.
3. Wilens T. E. et al.(2005) dengan judul penelitian Characteristics of Adults
with Attention DeficitHyperactivity Disorder Plus Substance Use Disorder: The
Role of Psychiatric Comorbidity di Boston, Amerika Serikat. Rancangan
penelitian menggunakan case control study. Analisis data menggunakan regresi
logistik menemukan tingginya komorbiditas psikiatri, terutama gangguan mood
dan kecemasan pada populasi penyalahguna zat komorbid ADHD relatif terhadap
subjek dengan atau kelompok kontrol (penyalahguna zat yang tidak komorbid
ADHD). Perbedaan dengan penelitian penulis adalah lokasi penelitian, instrumen
dan tujuan penelitian.
4. Romo L. et al. (2012) dengan judul Attention Deficit/ Hyperactive
Disorder (ADHD) in a Group of Patients with Addictive Problems: Exploratory
Study in France. Penelitian protokol atau awal ini dilakukan pada pasien rawat
inap maupun pasien rawat jalan dengan masalah adiksi yang komorbid ADHD.
ADHD dewasa dinilai dengan Webder Utah Rating Scale (WURS) dan Brown
ADD Scale. Penilaian impulsivitas dengan menggunakan Barrat’s Impulsiveness
scale (BIS-10), sedangkan penilaian depresi dan cemas menggunakan the Hospital
Anxiety dan Depression Scale (HAD) dan the Montgomery and Asberg
11
Depression Rating Scale (MADRS). Perbedaan dengan penelitian penulis adalah
subjek penelitian, lokasi penelitian, instrumen yang digunakan, dan tujuan
penelitian.
5. Hines J. L. et al.(2012) dengan judul The Adult ADHD Self-Report Scale
for Screening for Adult Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD).
Penelitian ini memvalidasi instrumen untuk menilai ADHD dewasa, dilakukan di
delapan pelayanan kesehatan primer Pensylvania, Amerika Serikat. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ASRS-v1.1 dan Corner’s Adult ADHD
Rating Scale (CAARS-S). Hasil dari penelitian adalah sensitivitas 1,0 dan
spesifisitas 0,71. Data penelitian diolah dengan SAS 9.1 dan analisis data
menggunakan fisher exact test. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah
tempat penelitian, subjek penelitian, instrumen penelitian, pengolahan, dan
analisis statistik.
6. Kessler R. C. et al. (2006) dengan judul The Prevalence and Correlates of
Adult ADHD in the United States: Result From the National Comorbidity Survey
Replication di Amerika Serikat. Penelitian dilakukan di seluruh negara bagian
Amerika Serikat. Pelaksananya adalah staf dari Michigan University dan Harvard
University. Jenis penelitian retrospektif dan prospektif kohort, dengan melakukan
kunjungan rumah untuk melihat gejala ADHD pada riwayat sebelumnya dan
diikuti selama satu tahun ke depan. Data dianalisis menggunakan regresi logistik
dan diolah dengan SUDAAN. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah tempat
penelitian, subjek, instrumen penelitian, jenis penelitian, tujuan, pengolahan, dan
analisis statistik.
12
7. Huh Y. et al.(2011) dengan judul A Comparison of Comorbidity and
psychological
Outcomes
in
Children
and
Adolescent
with
Attention-
Deficit/Hyperactivity Disorder di Seoul, Korea Selatan. Subjek penelitian adalah
anak dan remaja pasien rawat inap maupun rawat jalan di Samsung Medical
Center pada Maret 2004–Januari 2009. Subjek penelitian didiagnosis ADHD
sesuai kriteria DSM IV oleh psikiater anak. Instrumen yang digunakan, yaitu
Kiddie-Schedule for Affective Disorders and Schizophrenia Present and Lifetime
(K-SADS-PL) versi Korea. Analisis data menggunakan statistical analysis system
version 9.0. Variabel jenis kelamin dan subtipe ADHD dianalisis dengan chisquare tes atau Fisher’s exact test, sedangkan analisis variabel usia dan IQ dengan
two-sample t-test atau Mann Whotney test. Hasilnya, anak dengan ADHD
komorbid depresi sebanyak 12 persen, sedangkan remaja dengan ADHD
komorbid depresi sebanyak 22 persen. Perbedaan dengan penelitian penulis
adalah tempat penelitian, subjek, metode penelitian, instrumen, dan tujuan
penelitian.
Download