BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan politik “PKS Itu...” berdasarkan analisa peneliti dengan pendekatan semiotika Saussure atas penanda, petanda, dan hubungan antar keduanya dalam melakukan analisis pemaknaan citra diri politik. Di bagian selanjutnya akan dibahas mengenai persepsi pemilih pemula terhadap potongan scene iklan politik “PKS Itu...”, dan temuan terhadap mulai bergesernya perilaku pemilih pemula dan membelot dari tipe pemilih tradisional berdasarkan budaya partisan. Di bab ini juga akan didiskusikan dimensi refleksi atas dua temuan tersebut, dan sumbangsih aksiologis bagi ilmu politik dan ilmu-ilmu yang terkait dengan penelitian ini. Peneliti juga memberikan rekomendasi bagi partai politik, khususnya PKS, terkait dengan temuan penelitian skripsi untuk model kampanye iklan politik pada pemilu 2014 mendatang. A Temuan A.1 Makna Simbol Iklan Politik “PKS Itu...” Analisis semiotika yang telah dilakukan terhadap iklan politik “PKS Itu...”, telah berhasil menemukan maksud dibalik iklan politik dengan gado-gado citra 141 diri politik ini untuk menggaet segmen pemilih di luar basis massa tradisionalnya. Dengan menggunakan elemen tanda dan makna a la Saussure yang membaginya atas tiga hal analisa, yaitu signifier (penanda), signified (petanda), dan signification (hubungan antara keduanya), maka peneliti dapat melihat simbol dan makna di balik pesan yang hendak disampaikan. Dalam tataran signifier (penanda), terdapat berbagai macam tanda harfiah, baik dalam bentuk gambaran citra diri politik yang merepresentasikan berbagai kondisi citra sosial (citra diri politik) pemlilih di Indonesia. Dalam tataran signified (petanda), kekuatan terbesar adalah proses pembentukan teks dan gambar yang direpresentasikan obyek signifier untuk memperkuat simbol dan makna dibaliknya. Perkataan distori dari makna sesungguhnya seperti pada teks “Partai Keadilan Sejahtera” menjadi “Partai Kita Semua” merupakan salah satu contohnya. Dari keseluruhan scene, scene ke-1 sampai dengan scene ke-13, tidak terdapat penekanan isu, platform, kebijakan publik, atau figur tokoh yang diusung PKS. Hanya saja di scene ke-14, sebagai scene terakhir dan merupakan scene penutup, PKS mencoba untuk memberikan makna akan concern-nya sejak awal untuk mendukung Palestina, tetapi representasi tersebut dilakukan dengan samar-samar. Dari seluruh scene iklan “PKS Itu...”, semua citra diri politik direpresentasikan dengan sangat baik. Mulai dari citra diri politik partisan (scene ke-4, scene ke-8, dan scene ke-14), citra diri politik kelas (scene ke-1, scene ke-2, 142 dan scene ke-10), citra diri politik ideologis (scene ke-5, scene ke-6, dan scene ke9), citra diri politik jabatan yang ideal (scene ke-3 dan scene ke-11), dan citra diri politik pribadi (scene ke-7). Ketika semua scene sudah membentuk simbol dan makna tertentu terkait citra diri politik tertentu, maka signification masing-masing scene menjawab semua tuntutan strategi kampanye politik PKS di dalam iklan tersebut yang ingin menyasar semua segmen pemilih di Indonesia. Iklan politik “PKS Itu...” di televisi merupakan produk dari mulai bergesernya PKS secara ideologi dan strategi kampanye politik dalam usaha untuk mengambil pemilih di luar basis massa tradisionalnya, atau pemilih setianya, yaitu kelompok Islam Tarbiyah. Iklan politik “PKS Itu...” merupakan strategi kampanye yang inklusif dengan gada-gado citra diri politik, tetapi tidak berhasil dilakukan PKS karena hasil perolehan suara pada pemilu 2009 stagnan dengan hasil pemilu 2004. A.2 Persepsi Pemilih Pemula Terhadap Iklan Politik “PKS Itu...” Iklan politik “PKS Itu...” merupakan terobosan baru PKS sebagai partai yang ingin mengambil target segmen pemilih di luar basis massa tradisionalnya, akan tetapi kecenderung tersebut tidak berhasil dilakukan PKS karena hasil perolehan suara pada pemilu 2009 stagnan dengan hasil pemilu 2004. Iklan politik “PKS Itu...” ditangkap oleh pemilih pemula hanya bekerja pada tahap informasi. 11 kali FGD yang telah dilakukan atas potongan scene iklan yang didiskusikan membuktikan bahwa pemilih pemula hanya masuk dalam 143 tahap informasi, tidak masuk dalam tahap menentukan pilihan politik. Ada beberapa faktor yang menunjukkan hal tersebut, yaitu tidak adanya tokoh yang diusung, visi dan misi yang absen pada setiap scene, dan kinerja yang tidak ditunjukkan dalam setiap scene. Iklan politik “PKS Itu...” menjadi hal yang “kabur” karena gado-gado citra diri politik yang diusungnya. Citra jangka panjang berupa budaya partisan sudah digantikan dengan tipe pemilih responsif, dan pemilih yang lebih rasional berdasarkan isu, kebijakan publik, dan platform yang dibawa, serta adanya tokoh yang mampu diusung oleh partai di tingkat pusat (office) untuk menjadi pemimpin politik yang disukai oleh mayoritas pemilih di Indonesia. Hal-hal semacam itu yang absen dari iklan politik “PKS itu...” dengan metode mengambil ceruk pemilih tengah yang banyak dengan metode gadogado citra diri politiknya. Ketidakmampuan membuat kekhasan sendiri yang mengakibatkan pemilih menjadi bingung untuk menentukan pilihan karena PKS sama saja dengan banyak partai politik lainya. B Refleksi Di era demokrasi digital dan komunikasi media massa seperti saat ini, warga negara menganggap semakin sukar untuk melepaskan diri sama sekali dengan komunikasi politik. Akibatnya adalah terpaan, penggunaan, dan pemuasan media politik mempunyai beberapa konsekuensi yang hebat bagi mereka. 144 Terdapat empat faktor yang menyebabkan pemberi suara membutuhkan dan “bermain-main” dengan media politik berupa iklan politik televisi untuk informasi politik dan kemudian memasuki tahap menentukan pilihan politik, yaitu: 1. Semakin menurunya kecenderungan warga negara untuk mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik. 2. Meningkatnya proporsi pemberi suara yang membelot dari kesetiaan terhadap partai dalam pemilu. 3. Semakin meningkatnya kelompok independen dan yang lamban atau lemah dalam menentukan pilihan politknya kepada partai politik. 4. Meningkatnya kebergantungan pada media di masyarakat modern yang kompleks. Dalam kampanye kontemporer, pesan yang dikomunikasikan membangkitkan proses kolektif pendefinisian yang digunakan oleh pemberi suara untuk menemukan makna dan referensi atas partai politik, dan isu yang bersaingan, kemudian menentukan pilihan politik sebagai bentuk keluaran setelah memasuki tahap informasi politik. Dalam kampanye iklan politik televisi, pemberi suara bertindak dalam merumuskan kepercayaan, nilai, dan pengharapan mereka tentang obyek kampanye. Penonton iklan politik televisi melihat makna iklan poliitknya, bukan sekedar pesanya. 145 Kajian semiotika Saussure yang telah dilakukan dalam penelitian ini mengingatkan kita terhadap tesis Pierre Bordieu yang mengatakan habitus adalah struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial 1. Dalam konteks penelitian ini, maka struktur mental atau kognitif direpresentasikan setiap scene atas citra diri politik yang ada di Indonesia. Habitus berbeda-beda pada setiap orang dalam kehidupan sosial. Sehingga setiap orang memiliki kebiasaanya masing-masing. Orang yang menduduki posisi yang sama cenderung memiliki kehidupan sosial yang sama pula, dan memiliki persepsi yang sama pula. 2. Pendekatan semiotika Saussure menjadi beririsan dengan logika relasi kuasa Bordieu atas kata-kata (teks) dan simbol tertentu. Kata-kata (teks) dan simbol dapat dilihat sebagai bagian dari cara hidup sebuah kelompok sosial, dan secara esensial memberikan pelayanan bagi tercapainya tujuan-tujuan praktis. Kata-kata (teks) dan simbol memiliki relasi dengan kondisi sosial dan politik, di mana kesepakatan dalam sebuah masyarakat atas sebuah budaya dianggap sah, digunakan oleh masyarakat tertentu, dan menjalankan dominasinya 3. Begitu pula dengan kajian atas filsafat media dalam pertarungan kuasa yang melihat bahwa perilaku berbahasa dan citraan yang direpresentasikan memiliki ciri-ciri permainan. Dalam permainan bahasa dan citraan (simbol dan gambar) dimaknai bahwa jenis pernyataan dan wacana memiliki wilayah dan 1 Pierre Bordieu, Language and Symbolic Power, Harvard University Press, Massachussetts, 1991, hlm. 164. 2 Ibid. 3 Ibid. 146 aturan main yang berbeda 4. Meskipun ada aturan main yang berbeda-beda, masih terdapat ruang untuk berinovasi sebagai bentuk persuasif yang dilihat oleh pemilih. Sama seperti setiap scene iklan “PKS Itu...”, terdapat aturan main yang disepakati dalam representasinya terhadap suatu citra diri politik. Makna citra diri politik dalam iklan politik televisi menjadi penting dalam pemberian suara menyangkut habitus yang dicitrakan. Akan tetapi, temuan atas mulai bergesernya pemilih menjadi lebih responsif dan aktif, merupakan efek yang lebih kuat untuk menentukan pilihan politik di era dewasa ini. Media politik berupa televisi memainkan peran yang lebih besar dalam membantu pemberi suara dalam menyusun pilihanya, dan membelot dari cara memilih pemberian suara secara tradisional. Dengan melihat kesesuaian tersebut, maka politik tidak lagi dilihat hanya sebatas pertarungan kuasa di dalam konteks media, tetapi juga memasuki dimensi epistemologi ilmu sosiologi, ilmu komunikasi, ilmu budaya, dan ilmu ekonomi pemasaran. Perkembangan ilmu politik yang samakin interdisipliner tersebut merupakan konsekusensi atas semakin kuatnya pengaruh media (khususnya iklan politik televisi) dan ilmu politik sebagai model kampanye kontemporer, dan merupakan bagian yang integral terhadap proses seni berpolitik. 4 Wittgenstein dalam Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 45 147 C Rekomendasi untuk PKS di Pemilu 2014 Penelitian analisis semiotika makna simbol pesan iklan politik televisi Partai Keadilan Sejahtera versi “PKS Itu...” dalam mempengaruhi pilihan politik masyarakat menghasilkan beberapa refleksi untuk menjadi renungan partai politik, khususnya PKS, dan para perancang periklanan pada masa 2014 mendatang. Pertama, memang pada hakikatnya pemberi suara di era media televisi kontemporer membutuhkan iklan politik televisi sebagai informasi atas pilihan politik yang akan mereka gunakan. Oleh karena itu, faktor ini penting untuk diperhatikan mengingat semakin memudarnya loyalitas pemberi suara terhadap partai politik. Kedua, pemilih era kontemporer bukanya tidak buta terhadap isu, platform, dan kebijakan publik yang akan dibawakan partai apabila mereka memilihnya. Justru komponen ini penting untuk diperhatikan sebagai sebuah kontraprestasi dari apa yang mereka harapkan terhadap partai politik pilihanya. Ketiga, dalam iklan politik televisi hendaknya dibuat identifikasi kekhasan partai politik dari para pesaingnya. Layaknya iklan komersial produk di televisi, kemampuan penanda, petanda, dan hubungan antar keduanya yang khas partai tersebut memiliki makna yang hebat bagi pemilih. Keempat, bagi partai-partai yang memiliki ideologi Islam, atau setidaknya yang mengandalkan basis massa kelompok Islam, perlu diperhatikan bahwa keislaman seseorang tidak berbanding lurus dengan pilihan politiknya di 148 Indonesia. Fakta ini sudah tersedia sejak pemilu pertama 1955 dimana suara gabungan partai Islam secara jumlah tidak pernah menjadi penguasa mutlak. Setelah Orde Baru runtuh, gerakan revivalisme Islam dan identifikasi keshalehan yang kian naik tidak juga menjamin kenaikan suara partai politik berbasis Islam. Sehingga, partai Islam, khususnya PKS, harus cerdas dan cermat dalam pemilihan isu, platform, kebijakan publik, dan yang terpenting adalah tokoh yang diusungnya dalam pemilu. 149