Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik

advertisement
VARIASI GENETIK DAN HUBUNGAN FILOGENETIK
POPULASI SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN
PENCIRI MOLEKULER DNA MIKROSATELIT KROMOSOM Y
DAN GEN CYTOCHROME B
ARIS WINAYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Variasi Genetik dan
Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler
DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b, adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 20 Januari 2010
Aris Winaya
NRP. D061050021
ii
ABSTRACT
ARIS WINAYA. The Genetic Variations and Phylogenetic Relationship Between
Indonesian Native Cattle Population Based on Molecular Marker of YChromosome Mcrosatellite DNA and Cytochrome b Gene. Under direction of
MULADNO, R. EDDIE GURNADI, and ASEP SAEFUDDIN.
Seven Y-chromosome specific microsatellites and cytochrome b (cyt b) of
mitochondrial DNA (mtDNA) markers were assayed to get the genetic variation of 7
breeds of Indonesian native cattle, primary on male cattle. The analysis of Ychromosome microsatellites variation was determinate from PCR products by using 7
primer pairs that flanking those microsatellites (INRA008, INRA057, INRA062,
INRA124, INRA126, DYS 199, INRA 189). PCR products were separated on 10 % of
polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE), and then silver staining method was used
to detect allele polymorphism at each locus by manually. The analysis of cyt b gene
variation was carried out by analysis of nucleotide cyt b gene sequences based on
sequencing results of PCR product from amplification of cyt b gene region of mtDNA
genome.
From Y-chromosome microsatellite allelic polymorphism analysis showed only
found limited allele (two alleles) by average 1.8. While, from heterozgousity level
INRA 062 locus has higher value (h= 0.53) than others that found in Pesisir cattle
population, also this locus has higher value of PIC (0.37). Because markers in Y
chromosome, so it is a haplotype system. According to FAO, the specific allele must
have minimum four distinct alleles per locus for proficient judgment of genetic
differences between breeds. So, all locus in this research was not sufficient to
categorized polymorphic allele. Nevertheless, locus INRA 062 could be considered in
future study to get more information about polymorphism of this marker. Ychromosome microsatellite in general has tend to specific in breed comparing with
autosomal chromosome, because allele come from only male or Y sex chromosome and
it contrary to autosomal chromosome where allele is contributed from male and female.
The nucleotides variation of cyt b gene showed that in general all population of
cattle only has 39.56 % nucleotide conserve side comparing with Banteng (Bos
javanicus) mtDNA. These phenomena could be assumed that the Indonesian native
cattle has more genetic introgession of Bos indicus and Bos taurus breeds. But, from
phylogenetic relationship, Bali cattle (both from Bali and Lombok) and Madura cattle
have closer relationship to Banteng. Its means that two breeds are still have more
genetic composition of Banteng. For Aceh and Pesisir cattle were have opportunity to
increase the genetic potential as a local breeds, where based on this study has been
founded any specific nucleotide sequences of cyt b gene to those breeds comparing with
Bos taurus or Bos Indicus.
For the next study we need more Y-chromosome microsatellite marker and also
more mtDNA gene sequences to discriminate the Indonesian breeds related to tracking
the genetic potential. Because the male cattle has roles in genetic spreading where could
have an enormous impact on highly selected domestic animal populations and also in
genetic conservations.
Key words : Y-chromosome microsatellite, cytochrome b, Bos javanicus, mitochondria
DNA, phylogenetic
iii
RINGKASAN
ARIS WINAYA. Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal
Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen
Cytochrome b Dibimbing oleh MULADNO, R. EDDIE GURNADI, dan ASEP
SAEFUDDIN.
Karakterisasi genetik sapi lokal Indonesia sebenarnya telah lama dilakukan,
dimulai sejak tahun 1974 hingga 1977 dan beberapa hasilnya telah dipublikasikan,
diantaranya berdasarkan perbedaan golongan darah, protein, protein darah, enzim dan
komposisi asam amino rantai β haemoglobin X. Hasilnya bahwa sapi Bali memiliki
spesifikasi adanya alel HbX pada golongan darahnya yang tidak dimiliki sapi lokal lain.
Tetapi, studi karakterisasi genetik di tingkat molekuler masih sangat kurang. Adanya
pertimbangan perkembangan cepat sejumlah penciri genetik molekuler yang lebih
diskriminatif dan akurat dibandingkan fenotipik, maka penggunaan marka ini akan
sangat membantu dalam penanganan manajemen sistim seleksi pada ternak sapi potong.
Informasi tentang alel-alel spesifik (breed spesific allele) dari data molekuler sapi
lokal Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan
adanya alel spesifik bangsa untuk sapi Bali pada lokus mikrosatelit INRA 023, HEL9
dan INRA 035 dibandingkan sapi Bos taurus (Simmental, Limousin, dan Brangus).
Demikian pula hasil studi berdasarkan panel 16 lokus penciri mikrosatelit memberikan
gambaran awal tentang hubungan genetik antara sapi Bali, Madura, PO dan Brangus.
Namun hasil-hasil tersebut belum menunjukkan adanya hubungan antara penciri DNA
mikrosatelit dengan sifat-sifat ekonomis sapi lokal, terutama terhadap kualitas daging.
Untuk pengukuran variasi genetik pada populasi (misal, breed-breed ternak
domestikasi) masih diperlukan penciri mikrosatelit kromosom Y lebih banyak. Hal ini
berbeda dengan tikus dan manusia yang telah tersedia banyak data sekuens DNA pada
kromosom Y dibandingkan mamalia lain yang masih kurang. Tetapi, beberapa studi
terakhir dilaporkan tentang filogenetik daerah kromosom Y pada spesies ternak
domestikasi berdasarkan variasi keterpautan bagian spesifik jantan kromosom Y (male
specific Y chromosome / MSY) dan mampu membedakan pula antara sapi keturunan
Bos indicus dan Bos taurus.
Sampel sapi pada penelitian ini dikhususkan pada individu sapi jantan dengan
pertimbangan bahwa penyebaran populasi sapi di Indonesia masih bertumpu pada
teknologi Inseminasi Buatan (IB) untuk manajemen budidayanya. Sehingga peran
pejantan sebagai sumber sperma menjadi sangat penting. Oleh karena itu, analisis
variasi genetik menggunakan penciri molekuler DNA mikrosatelit spesifik kromosom Y
dan DNA mitokondria (mtDNA) dari gen cytochrome b (cyt b) pada ternak jantan
beberapa bangsa (breed) sapi lokal Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagaimana
diketahui bahwa penciri mtDNA berbeda dalam konteks segregasi secara genetis, yakni
mtDNA diturunkan dari garis maternal (induk), sedangkan mikrosatelit pada kromosom
Y melalui garis paternal (pejantan). Sehingga kedua penciri tersebut dapat dijadikan
sebagai model pendekatan berbeda dalam segregasi genetiknya. Demikian pula
penggunaan sapi jantan dalam studi ini dimaksudkan untuk lebih membuktikan
sejauhmana kemungkinan terjadinya variasi di dalam mendapatkan hasil interpretasi
dengan penggunaan penciri genetik yang berbeda.
Tujuan khusus penelitian adalah : 1) mendeteksi derajat polimorfisme DNA
mikrosatelit di kromosom Y dan gen cyt b pada populasi sapi Aceh, sapi Pesisir, sapi
iv
Madura, sapi Bali di Bali (Bali-Bali), sapi Bali di Lombok (Bali-Lombok), sapi PO dan
sapi PFH; 2) mendapatkan alel-alel DNA mikrosatelit di kromosom Y dan gen cyt b
yang spesifik untuk setiap populasi sapi tersebut; 3) mengetahui filogenetik populasi
sapi lokal yang ada di Indonesia berdasarkan penciri DNA mikrosatelit kromosom Y
dan gen cyt b; dan 4) mengetahui konsistensi filogenetik berbasis DNA mikrosatelit dan
gen cyt b.
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai salah satu landasan dalam menentukan
program pemuliaan sapi lokal di Indonesia dan penciri DNA mikrosatelit dan gen cyt b
diaplikasikan sebagai Marker Assisted Selection (MAS) atau Marker Pembantu Seleksi
pada sifat-sifat produksi atau reproduksi sapi.
Ruang lingkup penelitian meliputi penggunaan sampel DNA yang diekstraksi dari
beberapa jenis bangsa sapi yang sudah adapatip maupun endemik hidup di Indonesia,
seperti sapi Aceh, Pesisir, Madura, Bali-Bali, Bali-Lombok, PO dan PFH; kemudian
analisis DNA inti dan gen cyt b sapi-sapi tersebut; analisis data secara statistik yang
meliputi analisis polimorfisme alel-alel mikrosatelit pada kromosom Y dan analisis
variasi mutasi nukleotida pada gen cyt b. Perangkat lunak pendukung dalam analisis
data diantaranya NTSYS dan MEGA ver. 4.
Dalam penelitian ini sampel digunakan sapi-sapi lokal atau adaptip Indonesia
yang secara purposif seluruhnya ditentukan individu jantan, yaitu : 1) Sapi Aceh,
berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Aceh, berlokasi di
Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
(NAD); 2) Sapi Pesisir berasal dari sapi-sapi yang dipelihara pada Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT)
Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatra Barat yang berada di
kota Painan; 3) Sapi Madura, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan
Jrengik, Kabupaten Sampang – Madura, Propinsi Jawa Timur; 4) Sapi Bali di Bali
(Bali-Bali), berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Baturiti, Kabupaten
Tabanan, Propinsi Bali; 5) Sapi Bali di Lombok (Bali-Lombok), berasal dari peternakan
rakyat berlokasi di Kecamatan Lingsar dan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat,
Propinsi Nusa Tenggara Barat; 6) Sapi Peranakan Ongole (PO), berasal dari peternakan
rakyat berlokasi di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa
Timur; dan 7) Sapi Peranakan Fries Holland (PFH), berasal dari peternakan rakyat
anggota KUD Sapi Perah KOPSAE di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Propinsi
Jawa Timur.
Untuk pengambilan sampel darah, sel darah total sejumlah 10 mL diambil dari
vena jugularis sapi, kemudian diawetkan dalam 10 % larutan EDTA yang dikoleksi
pada beberapa lokasi dimana terdapat sapi-sapi lokal tersebut, yang selanjutnya
diekstraksi dengan metode standart fenol-kloroform untuk digunakan sebagai sumber
DNA genom.
Penciri DNA mikrosatelit memanfaatkan sejumlah penciri DNA mikrosatelit dari
sapi (bovine microsatellite) yang telah ada sebelumnya, terutama pada kromosom Y
dengan harapan dapat teridentifikasi alel-alel lain yang muncul pada sapi-sapi lokal
Indonesia. Adapun DNA mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 7
lokus, yaitu INRA008, INRA057, INRA062, INRA 124, INRA 126, DYS 199, dan
INRA 189. Sedangkan daerah target mtDNA adalah gen cyt b dengan primer gen cyt b
sebanyak dua primer dengan urutan oligonukleotida F = 5'- TCG CTC CCA GCC CCA
TCC AAC ATC TCA GCA TGA TGA AACT -3' R = 5'- TTG TGA ATT ACT GTA
GCA CCT CAA AAT GAT ATT TGT CCTCA - 3' yang mengapit gen cyt b dari
mtDNA sapi domestik.
v
Analisis polimorfisme alel-alel DNA mikrosatelit didasarkan pada jumlah dan
frekuensi serta distribusi alel produk PCR menggunakan primer sekuen pengapit DNA
mikrosatelit, sedangkan variasi nukleotida gen cyt b pada mtDNA diperoleh dari hasil
sekuensing daerah gen cyt b. Untuk menentukan jarak genetik (filogenetik) antara sapisapi lokal berdasarkan alel-alel DNA mikrosatelit dan variasi sekuens nukleotida gen
cyt b ditetapkan dengan Metode Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic Mean
(UPGMA) (Sneath & Sokal 1973). Sedangkan konstruksi pohon genetik digunakan
perangkat lunak NTSYS dan MEGA ( Molecular Evolutionary Genetics Analysis)
version 4.0.
Dari variabel vital statistik, maka sapi PFH memiliki volume scrotum terbesar
(+1.032 cc) dibandingkan bangsa sapi lainnya. Hal ini berarti bahwa sapi PFH memiliki
kapasitas produksi sperma lebih banyak. Sebagaimana diketahui sapi PFH merupakan
bangsa sapi keturunan spesies B. taurus, yang apabila dibandingkan dengan bangsa sapi
Asia (B. indicus) secara umum karakteristik fenotipiknya lebih unggul, baik pada sapi
perah maupun sapi potong. Jumlah alel secara keseluruhan rendah, tertinggi hanya 2
alel, sedangkan jumlah rata-rata alel pada seluruh populasi (tujuh bangsa sapi) adalah
1.8. Nilai heterosigositas (h) ke tujuh populasi adalah antara 0 % hingga 53 % dan nilai
tertinggi h ditemukan pada lokus mikrosatelit INRA 062 (53 %) di populasi sapi Pesisir.
Adanya fenomena sapi Pesisir lebih tinggi heterosigostasnya dibandingkan dengan sapisapi lainnya menunjukkan bahwa variasi genetik sapi Pesisir masih lebih tinggi
dibandingkan sapi-sapi lainnya. Demikian pula lokus INRA 062 yang memiliki nilai
PIC (37%) lebih tinggi dibanding lokus lain, maka perlu dilakukan studi lanjut sejenis
agar nantinya dapat ditemukan alel-alel lebih banyak sehingga dapat pula ditemukan
marker yang spesifik dan karena mikrosatelit Y merupakan sistem haploid, maka alel
yang spesifik dapat pula merupakan haplogrup spesifik bagi penciri ini.
Menurut petunjuk FAO untuk justfikasi penilaian perbedaan atau variasi genetik
antar breed minimum harus terdapat empat alel yang berbeda per lokus, sehingga dalam
studi ini tidak ada satu lokuspun yang memenuhi kriteria tersebut. Jadi, lokus-lokus
yang digunakan dalam studi ini belum dapat dikategorikan sebagai lokus polimorfik
untuk uji evaluasi variasi genetik antar bangsa sapi lokal Indonesia. Untuk itu dapat
dilakukan studi lanjut sejenis namun dengan menggunakan jumlah sampel yang
memadai dan letak geografis yang lebih luas. Gambaran rata-rata alel yang rendah (1.8)
dapat diasumsikan karena pola penyebaran sapi jantan kurang mencukupi untuk
pejantan sapi betina yang ada, atau jumlah sampel yang masih belum optimal mewakili
populasi yang ada serta diversitas letak geografis yang sangat jauh, sehingga
memungkinkan terjadinya keragaman genetik akibat proses seleksi. Untuk lokus lain,
yang pada studi ini memiliki nilai h diatas 50% selain lokus INRA 062, misal lokus
INRA 124 (h=50 % dan 52%) pada sapi Bali dan PO, dapat dipertimbangkan pula untuk
diuji kembali pada populasi sapi lokal Indonesia dengan populasi yang berbeda dan
jumlah individu lebih banyak.
Hubungan kekerabatan genetik pada tujuh populasi sapi secara umum tidak
berbeda antara penciri mikrosatelit kromosom Y dengan gen cyt b. Berdasarkan penciri
mikrosatelit kromosom Y, sapi Bali, Madura dan Lombok jarak genetiknya terdekat
(satu klaster). Artinya, pola distribusi alel mikrosatelit pada ketiga populasi sapi
tersebut memiliki tingkat kemiripan. Hal yang menarik adalah sapi Aceh lebih
berdekatan dengan PO dan PFH dibandingkan sapi Pesisir. Hal ini diduga bahwa pola
distribusi alel mikrosatelit kedua sapi yang berasal dari B. taurus (sapi PFH) dan B.
indicus (sapi PO) lebih mirip sapi Aceh dibanding sapi lainnya. Adapun sapi Pesisir
lebih berdekatan secara klaster dengan sapi Bali, Madura dan Lombok dari percabangan
vi
klasternya, maka sapi Pesisir diasumsikan memiliki pola distribusi alel mikrosatelit
kromosom Y lebih mirip sapi Bali, Madura dan Lombok.
Sisi variabel dan konservatif dari parsial gen cyt b ditetapkan dengan cara
alignment (pensejajaran) terhadap sekuen konsensus (consensus sequence) dari
sekeuens gen cyt b Banteng (Bos javanicus) yang diperoleh dari Genebank dengan
nomor aksesi (accession number) NC_012706.1. Dalam penelitian ini panjang sekuens
parsial gen cyt b adalah 230 bp, mulai posisi basa 14691 hingga 14920 dari sekuen
komplit gen cyt b. Setiap perbedaan sekuen pada urutan basa tertentu berdasarkan
sekuen konsensus (consensus sequence), maka merupakan sisi variabel dalam sekuen
parsial. Dari hasil pensejajran (aligment) ditemukan bahwa sisi variabel lebih banyak
yakni 139 buah (60.44 %) dibandingkan sisi konservatifnya yakni 91 buah (39.56 %).
Hal ini menunjukkan bahwa dari gen cyt b sapi-sapi lokal di Indonesia hampir 60.44 %
bukan berasal dari garis maternal induk Banteng (berdasarkan konsensus sekuen cyt b
dari B. javanicus Genebank nomor akses NC_012706.1). Tetapi secara umum hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa garis maternal Banteng masih ditemukan meskipun
mengalami penurunan jumlah sisi konservatifnya.
Hubungan genetik berdasarkan variasi sekuens cyt b menunjukkan sebagian besar
sapi Aceh, Pesisir dan Madura berdekatan jaraknya dengan B. taurus dan B. indicus,
sedangkan sebagian besar sapi Bali-Bali dan Bali-Lombok lebih berdekatan jaraknya
dengan Banteng (B. javanicus). Hasil ini sesuai beberapa hasil studi sebelumnya bahwa
sapi Madura dan Bali masih memiliki kedekatan genetik dengan Banteng. Sehingga
hasil penelitian ini menunjukkan hal yang sama dengan hasil-hasil penelitian
sebelumnya dengan menggunakan mtDNA, baik di daerah kontrol (CR) maupun cyt b.
Hasil penelitian ini juga membuktikan adanya aliran genetik sapi Bos taurus
maupun Bos indicus pada sapi-sapi lokal Indonesia, termasuk sapi Bali dan Madura
sebagai sapi keturunan Banteng (Bos javanicus), yang merupakan salah satu tetua
bangsa-bangsa sapi di dunia saat ini. Sapi Bali dan Madura masih memiliki proporsi
genetik terbesar dari Banteng, maka kedua sapi ini masih dapat diakui eksistensinya
sebagai sapi khas Indonesia. Bagi sapi Aceh dan Pesisir masih memiliki harapan untuk
lebih ditingkatkan eksistensi sebagai sapi khas daerah tersebut berdasarkan titik mutasi
tertentu pada gen cyt b, meskipun kedekatan genetik lebih ke arah Bos taurus dan Bos
indicus.
Kelemahan penggunaan gen cyt b karena dugaan adanya pseudogen (gen mirip
mtDNA dalam gen inti) namun dapat dihindari dengan sampel DNA yang memadai
sebagai templat apabila digunakan primer universal. Sumber mtDNA sebaiknya
jaringan aktif, misal otot skeletal atau organ-organ aktif lain seperti ginjal dan jantung.
Sebab jumlah mtDNA jaringan darah tidak sebanyak DNA di jaringan aktif. Hal ini
penting untuk meningkatkan akurasi hasil PCR.
Untuk meningkatkan eksistensi spesifikasi sapi-sapi lokal Indonesia, maka
kegiatan penelitian yang berbasis molekuler harus diperbanyak. Sebab, hingga saat ini
teknologi ini yang masih diakui dunia sebagai teknologi yang tepat untuk identifikasi
genetik. Sehingga, di masa depan sapi-sapi lokal dapat diakui konservasi genetiknya
secara internasional dengan data yang memadai. Termasuk dalam rangka pelestarian
plasma nuftah tetua sapi asli Indonesia (Banteng) yang jumlahnya semakin berkurang
akibat tekanan alam maupun manusia.
Kata kunci : mikrosatelit kromosom Y, gen cytochrome b, Marker Assisted Selection,
Banteng, filogenetik
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut
tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii
VARIASI GENETIK DAN HUBUNGAN FILOGENETIK
POPULASI SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN
PENCIRI MOLEKULER DNA MIKROSATELIT KROMOSOM Y
DAN GEN CYTOCHROME B
ARIS WINAYA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
ix
Judul Disertasi : Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal
Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit
Kromosom Y dan Gen Cytochrome b
Nama
: Aris Winaya
NIM
: D061050021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Muladno, MSA.
Ketua
Prof. Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc.
Anggota
Dr. Asep Saefuddin, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.
Tanggal Ujian : 30 Oktober 2009
Tanggal Lulus :
x
Download