Konsep dan Terminologi PENGENDALIAN PENCEMARAN Daur Sumberdaya Alam dan Persoalan Lingkungan Hidup z z Pada dasarnya, baik proses alami maupun proses ciptaan manusia akan menghasilkan daur-ulang yang secara prinsip akan memunculkan kembali sumberdaya yang berbentuk sama dengan sumberdaya semula yang digunakan maupun berbentuk baru; Faktor penting yang mempengaruhi laju reklasifikasi spent resources menjadi sumberdaya yang tersedia adalah ‘inovasi teknologi’; Daur Sumberdaya Alam dan Persoalan Lingkungan Hidup z Walaupun pada prinsipnya alam mampu memunculkan kembali sumberdaya yang ada, terdapat persoalan bahwa: – terdaurulangnya sumber daya melalui proses alami butuh waktu lama, – alur teknologi yang memunculkan sumberdaya dari spent resources tidak dapat segera tersedia/diciptakan dan kalau ada harganya sangat tinggi, Daur Sumberdaya Alam dan Persoalan Lingkungan Hidup – di dalam dan selama proses daur ulang tsb. terjadi perubahan pesat yang makin menyimpang dari keseimbangan keadaan semula sehingga perubahan ini makin mengganggu kehidupan. Persoalan tersebut berakibat terhadap terjadinya peningkatan penimbunan spent resources dan menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan. Siklus Material dan Penggunaannya di Lingkungan Hidup Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam Kegiatan eksploitasi sumberdaya yang dieksploitasi Sumberdaya tersedia yang dapat dieksploitasi Kegiatan eksplorasi proses eksplorasi Sumberdaya tersedia yang dapat digunakan Kegiatan 'daur ulang' material yang di'daur ulang' Sumberdaya yang secara potensi tersedia sumberdaya yang dimanfaatkan Spent Resources dari kegiatan produksi Spent Resources material yang diregenerasi secara alami material hasil reklasifikasi Produk yang berguna spent resources dari kegiatan penggunaan produk generation of spent resources dampak terhadap lingkungan Inovasi Teknologi Kegiatan reklasifikasi Lingkungan merupakan sumberdaya material : ¾ yang dapat diperbaharui seperti biomassa, dan ¾ yang tidak dapat diperbaharui, seperti gas/minyak bumi, batubara, mineral logam (besi, aluminum), bahan bukan logam (pasir, batu kapur), dan lain-lain. Lingkungan ini juga merupakan tempat penampungan berbagai hasil kegiatan yang harus ditanggulangi oleh kemampuan diri [self replenishment] atau dengan bantuan teknologi manusia agar dapat melaksanakan fungsi dalam daur sumberdaya alam dan siklus pemanfaatan material Persyaratan Norma/hukum Bagi Teknologi Berwawasan Lingkungan z Upaya menjaga kualitas lingkungan ini bertumpu pada pengelolaan sumberdaya dengan pemenuhi persyaratan: U Laju penggunaan Proses-proses menggunakan sumberdaya siap digunakan Laju pembentukan S spent resources Spent resources yang terakumulasi setiap saat r1 Laju recycling r2 Laju regenerasi r3 Laju reklasifikasi Laju penimbunan spent resources: dS/dt = S – r1 – r 2 – r3; Agar dS/dt = 0 maka harus dipenuhi persyaratan S = r1+ r2+ r3 Gangguan terhadap fungsi dan kualitas lingkungan berupa munculnya persoalanpersoalan-persoalan akan terjadi bila alam ataupun proses buatan manusia tidak dapat mendaurulang ‘spent resources’ resources’ yang memungkinkan terjadinya akumulasi ‘spent resources’ resources’ dan penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung alam, yang diakibatkan oleh: lambatnya proses terdaurulangnya ‘spent resources’ melalui proses alami tidak segeranya tersedia alur teknologi yang memunculkan sumberdaya berguna dari bahan-bahan yang merupakan ‘spent resources’ lebih tingginya laju pemanfaatan sumberdaya dibandingkan dengan laju terdaurulangnya sumberdaya tersebut. Persoalan akumulasi ‘spent resources’ dan penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung alam ini, telah mendorong perhatian dan tuntutan masyarakat dunia akan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. ¾ Diawali dengan adanya the United Nations (UN) Conference on Human Environment di Stockholm (1972) yang menjadikan ‘keterkaitan kegiatan ekonomi dan lingkungan’ merupakan pokok bahasan agenda politik dan ekonomi dunia. ¾ Langkah-langkah global untuk mengatasi persoalan-persoalan lingkungan telah diambil dan terwujud dalam suatu program dunia the UN Environmental Program (UNEP). ¾ Hasil konferensi didokumentasikan dalam “Our Common Future” (1987) yang memperkenalkan terminologi ‘sustainable development’ yang salah satunya menuntut industri proses untuk menyusun sistem pengelolaan lingkungan yang lebih efektif. ¾ Hasil konferensi didukung lebih dari 50 pimpinan dunia dan melahirkan konferensi “the UN Conference on Environment and Development (UNCED)” yang dikenal sebagai ‘Earth Summit’ di Rio de Janeiro (1992). ¾ Konferensi Pemukiman Manusia – Human Settlement Conference di Stockholm, Swedia (1972) mengungkapkan kemajuan teknologi yang diterapkan di industri yang merusak dan membatasi permukiman manusia. ¾ Pada tahun 1978, 6 tahun setelah konferensi itu berakhir, masalah lingkungan di Indonesia secara eksplisit ditangani oleh Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. ¾ Undang-undang tentang pengelolaan lingkungan diterbitkan pada tahun 1982, yaitu UU No. 4 Tahun 1982 yang kemudian diperbaiki dengan UU No. 23 tahun 1997. ¾ Pada saat pembentukan Kementerian Negara PPLH, masalah lingkungan adalah masalah yang belum banyak dipahami oleh masyarakat Indonesia, sedangkan masyarakat ilmiah dan industri di negara-negara maju saat itu hanya mengembangkan ‘end-of-pipe treatment technology’ dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan, karena pengelolaan lingkungan saat itu masih dibebankan pada industri dan perkotaan. (perilaku) industri dalam berkontribusi untuk bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan oleh industri terhadap kualitas lingkungan, Joseph Fiskel mengelompokkan industri menjadi lima kategori, yaitu kategori: 1) problem solving kelompok industri, dengan jumlah berkisar 10 15% dari total industri dunia, yang memandang penyelesaian persoalan pencemaran lingkungan sebagai bagian dari pemenuhan peraturan hanyalah merupakan beban biaya bagi suatu kegiatan business; 2) managing for compliance yaitu industri-industri (jumlahnya sekitar 70-80%) yang bereaksi terhadap penyelesaian persoalan-persoalan pencemaran lingkungan lebih baik dibandingkan kelompok sebelumnya meskipun hanya merupakan pelengkap dalam rangka memenuhi peraturan yang ada; 3) managing for assurance yaitu industri-industri yang melihat lebih jauh pengelolaan risiko lingkungan sebagai potensi yang seimbang antara pengelolaan lingkungan dan biaya pengelolaan lingkungan (10 sampai 15%); 4) managing for eco-efficiency yaitu industri yang telah mengetahui bahwa pencegahan pencemaran lebih ‘cost effective‘ dari pada pengendalian pencemaran di mana industri dalam kelompok ini sangat jarang; dan 5) fully integrated in adopting environmental quality yaitu industri yang menempatkan pengelolaan lingkungan sebagai bagian dari sistem proses produksi industri yang bersangkutan tanpa mengurangi, bahkan meningkatkan, ‘economic benefit’ tanpa memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Pengendalian Pencemaran ¾ Kegiatan yang mengancam lingkungan fisik dinyatakan sebagai pencemaran lingkungan [environmenal pollution] yang dapat berubah ke pengotoran lingkungan [environmental contamination] ¾ Pencemaran dapat didefinisikan sebagai masuknya zat, energi, dan makhluk asing ke dalam lingkungan sehingga kualitas lingkungan itu menurun dan tidak sesuai lagi dengan peruntukkannya. Pengendalian Pencemaran ¾ Pengendalian kegiatan yang mengancam lingkungan ini terdiri atas kegiatan pengendalian pemanfaatan sumber dan pencemaran berupa pengendalian pencemaran lingkungan, penyusutan pencemaran [pollution mitigation] atau penanggulangan pencemaran [pollution abatement]. ¾ Pengendalian pencemaran adalah melindungi lingkungan penerima beban dari kegiatan manusia dengan cara penurunan volum limbah dan penurunan konsentrasi zat pencemar baik limbah fasa gas atau limbah fasa cair. ¾ Konsep pengendalian pencemaran umumnya ditujukan pada satu media saja, misal udara [air pollution control], air [water pollution control], atau tanah [terrestrial pollution control]. ¾ Konsep yang hadir adalah pengendalian kualitas limbah yang dikenal sebagai control and command yang membutuhkan pedoman/acuan untuk digunakan dalam penilaian [evaluation] dan penaatan [compliance]. ¾ Nilai numerik yang berupa konsentrasi pencemar yang diizinkan hadir dibutuhkan untuk penilaian keadaan lingkungan dan watak limbah yang diizinkan untuk dibuang ke lingkungan. ¾ Hal ini berarti bahwa kondisi lingkungan yang menerima beban limbah dan watak limbah itu sendiri harus dinilai. Pedoman/acuan yang dibutuhkan untuk penilaian [evaluation] dan penaatan [compliance] meliputi : ¾ pedoman kualitas udara berupa Ambient Air Quality Standards [Baku Mutu Udara Sekeliling ] dan Emissions Quality Standard [Baku Emisi Udara] yang ditujukan untuk sumber baru [sumber tak-bergerak misal ketel pembangkit steam] dan sumber bergerak [misal kendaraan bermotor], Pedoman/acuan yang dibutuhkan untuk penilaian [evaluation] dan penaatan [compliance] meliputi : ¾ pedoman kualitas air berupa Stream Quality Standards [ Baku Mutu Badan Air] dan Effluent Quality Standard [Baku Mutu Limbah Cair] baik oleh kegiatan baik industri maupun kegiatan di perkotaan. Peraturan pendukung UndangUndang-undang yang diterbitkan di antaranya adalah : ¾ Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air ¾ Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Peraturan pendukung UndangUndang-undang yang diterbitkan di antaranya adalah : ¾ Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun [B3] ¾ dan berbagai S.K. Menteri Negara Lingkungan Hidup misal : Baku Mutu Emisi Sumber Takbergerak Baku Mutu Limbah Cair. Pengendalian pencemaran dengan penerapan teknologi yang dikenal saat ini adalah ‘teknologi perlakuan akhir’ atau ‘end-of-pipe treatment technology’. ¾ Konsep ini merupakan konsep perintah dan pengendalian [command and control] yang hanya meninjau pembebanan pada salah satu media udara, air, atau tanah dan menyelesaikan satu masalah yang tertuju pada suatu kegiatan. ¾ Pemikiran yang parsial ini sering menimbulkan masalah, karena penanganan hanya berdasarkan pada pengelolaan yang paling mudah. “Yesterday”s Need“ tidak hanya menghadirkan “Yesterday Solution” tetapi “Today’s Problems”. [Graedel dan Allenby, 1995] ¾ Penemuan internal combustion engine membutuhkan bahan bakar bensin yang tidak menimbulkan knocking, dengan penambahan Tetra Ethyl Lead (TEL) pada bensin untuk meningkatkan angka oktan agar knocking tidak terjadi. Emisi gas buang hasil pembakaran bahan bakar yang mengandung TEL menimbulkan uap timbal yang beracun ¾ Pemakaian Dichloro Diphenyl Trichloro-ethane (DDT) yang bertujuan untuk memusnahkan jentik nyamuk [malaria] akan memusnahkan pula jasad lain yang berguna bagi manusia dan hewan, karena DDT tidak spesifik [non-targeted insecticide] dan persistent dalam tubuh hewan yang memakan serangga yang mati karena terkena DDT hingga akumulatif ¾ Hal positif dari pengembangan konsep ‘end-of’pipe treatment technology’ adalah memacu pertumbuhan konsultan teknik dan pembuat peralatan yang berkaitan dengan unit pengolahan baik limbah fasa gas atau limbah fasa cair. ¾ Hal yang menggembirakan ini jarang didukung oleh kemampuan analisis yang memadai dari konsultan untuk menyelesaikan masalah pada kegagalan operasi, karena seringkali konsultan teknik ini hanya sebagai penjual teknologi atau peralatan saja. Sebagai akibatnya, sasaran pengelolaan lingkungan dengan pengendalian pencemaran ini tidak dapat dicapai secara menyeluruh. ¾ Penyebab lainnya adalah kegagalan sistem cost accounting yang belum dapat menilai biaya kerugian lingkungan sehingga pengusaha, pemilik, dan pengelola industri berpendapat bahwa biaya pembangunan dan pelaksanaan suatu pengolah limbah adalah biaya tambahan [external cost]. Konsep yang berkembang setelah ‘endend-of’ of’pipe treatment technology’ technology’ adalah “Environmental Impact Assessment” Assessment” [EIA]. ¾ Konsep ini dikenal sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Indonesia menerapkan konsep ini dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1999. ¾ Penerapan EIA menghasilkan EIS – Environmental Impact Statement yang harus dipatuhi oleh pemrakarsa dan pengelola lingkungan untuk menerapkan hasil-hasil yang disepakati. ¾ Konsep EIA kemudian disusul dengan Waste Minimization yang berakar pada konsep pengelolaan limbah B-3 (bahan berbahaya dan beracun). ¾ Waste minimization memiliki tahap-tahap pelaksanaan [hierarchy] yang dapat dilaksanakan tanpa berurutan di mana peluang yang lebih menguntungkan akan dipilih lebih dulu. ¾ Konsep ini banyak berkembang di Amerika Serikat. UNEP– United Nations Environment Program mengajukan konsep ‘Cleaner Production’ atau produksi bersih dan diterapkan oleh United Nations Industrial Development Organizations (UNIDO). ¾ Konsep Pollution Prevention dikembangkan oleh US – EPA [Amerika Serikat] dalam dasawarsa yang sama akibat dari kegagalan pemantauan pelepasan bahan berbahaya dan beracun serta kehadiran Pollution Prevention Act – Undangundang Pencegahan Pencemaran dan kemudian penerbitan Right to Know Act. ¾ Konsep Pencegahan Pencemaran memiliki hierarchy pula dan menyatakan bahwa recycle harus dilakukan langsung atau inpipe recycle. Pollution Prevention Hierarchy Prevention & Reduction (Source – reduction) Recycling & Re-Use (in-process recycle, on-site-recycle, off-site recycle) Treatment Disposal secure disposal or direct release to the environment ¾ Kemudian dunia usaha untuk perdagangan global memiliki gagasan untuk memperbaiki kualitas lingkungan global dan mengajukan konsep eco-efficiency untuk mencapai Pembangunan Berkelanjutan. ¾ Konsep ini diajukan atas permintaan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992. ¾ Apa yang diinginkan oleh ahli lingkungan, pejabat pemerintah, dan masyarakat dalam masalah pengelolaan lingkungan ? Î Keinginan untuk memperoleh piranti pengujian yang menyeluruh [‘holistic’] dan menyusutkan dampak lingkungan ‘from cradle to grave’ suatu produk, kemasan, proses, dan kegiatan. ¾ Konsep life-cycle assessment merupakan piranti analitik yang dapat digunakan untuk memahami dampak tersebut mulai dari cara untuk memperoleh bahan baku hingga pembuangan akhir bahan ke lingkungan [SETAC, 1993] atau LCA adalah teknik yang sistematik untuk melakukan analisis suatu produk dari ayunan hingga kubur. Konsep ini memiliki sasaran global yang meliputi (1) perbaikan kesehatan manusia, (2) perbaikan kualitas ekologi, dan (3) perlindungan sumber daya alam [Owens,1997]. International Organization for Standarisation [ISO] menyusun pembakuan Sistem Pengelolaan Lingkungan [Standards for Environmental Management System] yang dikenal dengan ISO 14000. ¾ Penerapan sistem ini adalah sukarela yang berarti konsep control and command tidak dianut lagi oleh berbagai negara dalam pengelolaan lingkungan. ¾ Seri ISO 14000 ini mencakup penerapan Life-cycle Assessment – Penilaian Daur Hidup - suatu produk, proses, atau kegiatan adalah complex dan membutuhkan waktu. ¾ Berbagai teknik telah diajukan dan diterapkan oleh pelaku penilaian daur hidup . Indonesia dalam dasawarsa ’80 dan ’90 telah menerima berbagai konsep yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, yaitu di antaranya : ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ cleaner production from cradle to grave waste minimization pollution prevention environmental management system [EMS] – ISO Jika14000 konsep-konsep lain langsung berkaitan dengan perangkat keras, tetapi penerapan ISO 14000 dilakukan tahap demi tahap dan tidak langsung dengan pengubahan dan penerapan perangkat keras. Analisa Dampak Lingkungan ¾ Kegiatan Analisis mengenai Dampak Lingkungan yang diterapkan di Indonesia dengan menggunakan PP yang lama yang tidak dapat mencapai sasaran, karena peraturan itu memberi peluang waktu antara rencana pengendalian pencemaran dan pengelolaan lingkungan dengan pembangunan serta operasi sistem pengendalian pencemaran sehingga pabrik dapat beroperasi tanpa pengolahan limbah. ¾ Peluang ini sering digunakan untuk menghindari pembangunan sistem perlakuan limbah dengan alasan biaya pembangunan dan biaya operasi yang besar. ¾ Hal ini telah diperbaiki dalam penerbitan PP No. 23 Tahun 1997 sehingga rancangan dan pembangunan sistem pengendalian dan pengelolaan lingkungan harus diselesaikan sebelum pabrik beroperasi. Waste Minimization ¾ Waste minimization memiliki sasaran penyusutan limbah pada sumber. Konsep ini adalah penerapan dari keinginan menanggulangi pencemaran atas dasar pengurangan volum limbah dan kekuatan limbah. ¾ Hierarki tahapan pelaksanaannya dapat dilakukan tanpa saling berurutan. Peluang yang paling tinggi akan dipilih lebih dulu. Tahap-tahap itu meliputi : source reduction yang dapat dipilih dari : 9 raw material substitution [ perubahan jenis bahan baku], 9 process changes [perubahan proses] 9 equipment modification [pengubahan peralatan ] on-site or off site, recycle, reuse, recovery, waste treatment, dan waste disposal. Cleaner Production ¾ Cleaner Production didefinisikan sebagai penerapan berkesinambungan strategi lingkungan yang terpadu bagi proses, produk, dan layanan. ¾ Istilah Cleaner Production dialihbahasakan ke produksi bersih adalah strategi secara berkelanjutan yang memperbaiki produk, proses, dan layanan untuk mengurangi dampak lingkungan dan bekerja menuju pembangunan berkelanjutan secara ekologi dan ekonomik. ¾ Konsep ini meliputi pemanfaatan sumber alam secara efisien yang bermakna pula bagi penyusutan limbah yang dihasilkan serta pencemaran dan penyusutan risiko bagi kesehatan manusia dan keselamatan. ¾ Penyelesaian masalah ditekankan pada sumber daripada akhir proses atau pendekatan end-of-pipe. ¾ Keistimewaan produksi bersih meliputi : kekekalan bahan baku dan energi, penghapusan penggunaan bahan baku yang beracun, dan penyusutan bobot atau volum serta tingkat peracunan berbagai pembebasan limbah dari suatu proses penyusutan pengaruh negatif produk selama daur kehidupan mulai dari pengambilan bahan baku hingga pembuangan produk yang usang atau rusak atau habis usia-guna, dan strategi yang ditujukan pada penyertaan pertimbangan lingkungan dari awal perancangan hingga pelayanan. ¾ Produksi bersih membutuhkan perubahan sikap, pengelolaan lingkungan yang bertanggung-jawab dan penilaian pilihan teknologi. ¾ Salah satu upaya produksi bersih yang paling sederhana untuk diterapkan pada proses produksi adalah good housekeeping . ¾ Produksi bersih tidak selalu membutuhkan kegiatan yang mahal atau teknologi yang canggih. Seringkali penghematan potensial dapat menghasilkan peningkatan daya saing di pasar. Pollution Prevention ¾ Konsep ini menyatakan bahwa recycle harus dilakukan langsung atau in-pipe recycle. ¾ Konsep ini dikembangkan karena konsep pengelolaan limbah yang berdasarkan end of pipe treatment technology dan waste minimization yang telah diterapkan tidak dapat memenuhi sasaran untuk menahan laju pemanfaatan sumber alam yang terbatas serta perlindungan kualitas lingkungan untuk mempertahankan kehidupan berbagai mahluk. ¾ Konsep ini merupakan penerapan dari Undang-undang Pencegahan Pencemaran [Pollution Prevention Act]. ¾ Konsep Pollution Prevention ini meliputi tahap-tahap : source reduction, yang terdiri dari: 9 material substitution, 9 process changes, dan 9 equipment modification, on-site recycle, waste treatment, dan waste disposal. ¾ Perbedaan antara konsep waste minimization dan pollution prevention terletak pada penetapan peluang utama. ¾ Pencegahan pencemaran menetapkan penyusutan pencemaran pada sumber sebagai awal kegiatan dan limbah harus tidak dibebaskan ke lingkungan. Sustainable Development ¾ Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Komisi Brundlandt [1987] mengajukan batasan Sustainable Development sebagai: “..... sustainable development is meeting the needs of the present without compromising the ability of the future generation to meet their own needs ….” Our common future,1987 The report to U.N. World Commission on Environment and Development ¾ Beberapa negara dengan optimis menyatakan bahwa Cleaner Production merupakan piranti [tool] untuk mencapai Pembangunan Berkelanjutan Pembakuan Sistem Pengelolaan Lingkungan ¾ International Organizations for Standardization mengajukan Environmental Management System yang dicakup dalam ISO 14000. ¾ Perusahaan besar memang menghendaki sertifikat ini untuk mendapat pengakuan secara internasional dan keunggulan persaingan dalam perdagangan internasional, tetapi perusahaan kecil atau menengah seringkali tidak memperdulikan hal ini, karena biaya yang besar berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk memperoleh sertifikat ini. ¾ Standar ini merupakan model untuk penyamaan pengelolaan lingkungan dan pedoman untuk perancangan sistem pengelolaan lingkungan. ¾ Konsep ini didasarkan pada keinginan manusia yang mengarah pada ‘zero discharge’ bagi kegiatan industri dan konsep untuk bahan berbahaya beracun – ‘from cradle to grave’ [ dari ayunan hingga liang kubur]. ¾ Konsep ini juga mengembangkan berbagai penelitian pada komponen-komponen dalam konsep di negara-negara yang telah maju ini misal penggantian pelarut [solvent substitution], penggantian bahan baku, pengubahan proses, pengubahan alat utama atau alat pendukung. ¾ Salah satu komponen ISO 14000 adalah Life-cycle Assessment (LCA) proses, produk, dan layanan. ¾ Life-cycle Assessment memiliki tahap - tahap 9 Definisi Tujuan dan Lingkup Kajian, 9 Analisis Inventarisasi, 9 Penilaian Dampak, dan 9 Analisis Perbaikan atau Interpretasi. ¾ Sistem Pengelolaan Lingkungan dengan cara Life-cycle Assessment belum diterapkan di Indonesia. ¾ Penerapan sistem ini membutuhkan sumber daya manusia yang memadai dan perangkat keras yang canggih untuk mendukung sistem informasi global. ¾ Informasi yang akan dipaparkan berkaitan dengan teknologi perlakuan pipa-pipa yang masih menjadi tuntutan dalam pengendalian pencemaran. ¾ Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka penilaian masalah lingkungan berada di tangan Pemerintah Daerah baik yang berkaitan dengan penegakan hukum atau analisis kualitas perairan dan limbah hasil kegiatan. Pollution Prevention for Chemical Process Original Process Umpan Produk + Limbah REAKTOR Upaya yang dilakukan : Source Reduction Umpan In-Process Recycle REAKTOR Produk + Umpan yang tidak bereaksi Produk + Sedikit Limbah Produk SEPARAT OR Umpan REAKTOR Umpan yang Tidak bereaksi On-site recycle Produk Lain REAKTOR Reaktor Lainnya Produk SEPARA TOR Umpan Produk + Umpan yang tidak bereaksi Off-site recycle REAKTOR Produk SEPARAT OR Umpan Produk + Umpan yang tidak bereaksi Site Boundary Produk Lain Reaktor Lainnya Limbah Waste Treatment Limbah Lain Secure Disposal REAKTOR Waste Treatment Produk SEPARAT OR Umpan Produk + Umpan yang tidak bereaksi REAKTOR Limbah Land Fill Limbah Produk SEPAR ATOR Umpan Produk + Umpan yang tidak bereaksi