II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penilaian Kinerja

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penilaian Kinerja
Menurut Rivai (2005) mendefinisikan kinerja adalah hasil atau
tingkat keberhasilan sesorang secara keseluruhan selama periode tertentu di
dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan,
seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang yang telah
ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Mangkuprawira
dan Vitayala (2007), mendefinisikan kinerja adalah hasil dari proses
pekerjaan tertentu secara terencana pada waktu dan tempat dari karyawan
serta organisasi bersangkutan. Jadi pada hakikatnya kinerja merupakan
prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan standard kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu.
Simamora (2004) mendefinisikan penilaian kinerja adalah proses
yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu
karyawan. Sedangkan menurut Mangkuprawira (2002), penilaian kinerja
adalah proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja
pekerjaan seseorang. Apabila hal itu dikerjakan dengan benar, maka para
karyawan, penyelia mereka, departemen SDM, dan akhirnya perusahaan
akan menguntungkan dengan jaminan bahwa upaya para individu karyawan
mampu mengkontribusi pada fokus strategik dari perusahaan.
Pendapat yang tidak jauh berbeda mengatakan bahwa penilaian
prestasi kerja adalah proses melalui bagaimana organisasi-organisasi
mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan ini dapat
memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik
kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka (Handoko, 2001)
2.2. Tujuan Penilaian Kinerja
Menurut Simamora (2004), terdapat beberapa tujuan penting dari
program penilaian kinerja, yaitu:
1. Tujuan Evaluasi
Hasil-hasil penilaian kinerja sering berfungsi sebagai dasar bagi evaluasi
rutin terhadap kinerja anggota organisasi.
a. Penilaian kinerja dan telaah gaji
Keputusan-keputusan yang paling sering bertumpu pada tujuan
evaluatif adalah keputusan kompensasi yang mencakup kenaikan
tunjangan jasa, bonus karyawan dan kenaikan gaji lainnya.
b. Penilaian kinerja dan kesempatan promosi
Keputusan penyusunan karyawan adalah tujuan evaluatif kedua dari
penilaian kinerja karena para manajer dan penyelia harus membuat
keputusan yang berkaitan dengan promosi, demosi, transfer, dan
pemberhentian.
2. Tujuan Pengembangan
Informasi yang hasilkan oleh sistem penilaian dapat pula dimanfaatkan
untuk memudahkan pengembangan pribadi anggota organisasi.
a. Mengukuhkan dan menunjang kinerja
Menggunakan penilaian kinerja sebagai instrument pengembangan
karyawan dapat menempatkan penyelia dalam peran pengukuhan dan
penunjang kinerja.
b. Meningkatkan kinerja
Penilaian kinerja yang bertujuan pengembangan juga mencakup
pemberian pedoman kepada karyawan untuk kinerjanya dimasa
depan.
c. Menentukan tujuan progresi karir
Sesi penilaian kinerja memberikan suatu kesempatan kepada
penyelia dan karyawan untuk membahas tujuan dan rencana karir
jangka panjang.
d. Menentukan kebutuhan pelatihan
Beberapa organisasi menggunakan penilaian kinerja sebagai sumber
analisis kebutuhan pelatihan.
e. Proses yang terkoordinasi
Penilaian kinerja tidak boleh menjadi proses yang berdiri sendiri.
Supaya efektif, penilaian kinerja harus terkait dengan aktivitas
manajemen sumber daya manusia lainnya yang tergantung pada
penilaian kinerja.
2.3. Manfaat Penilaian Kinerja
Menurut Mangkuprawira dan Vitayala (2007), penilaian kinerja
karyawan memiliki kemanfaatan yang dapat ditinjau dari beragam
persepektif pengembangan perusahaan, khususnya manajemen mutu sumber
daya manusia, yaitu sebagai berikut:
1. Perbaikan Kinerja
Umpan balik perbaikan kinerja bermanfaat bagi karyawan, manajer, dan
spesialis dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki mutu
SDM dan kinerja karyawan.
2. Penyesuaian Kompensasi
Penilaian kinerja membantu pihak manajemen menentukan siapa yang
seharusnya
menerima
penyesuaian
kompensasi
(peningkatan
pembayaran) dalam bentuk upah dan bonus yang didasari pada sistem
merit.
3. Keputusan Penempatan
Keputusan penempatan dalam bentuk promosi, perpindahan, dan
penurunan jabatan biasanya didasari pada kinerja masa lalu dan
antisipatif, misalnya dalam bentuk penghargaan karena mutu SDM dan
kinerjanya bagus.
4. Kebutuhan Pelatihan dan Pengembangan
Kinerja buruk mengindikasikan sebuah kebutuhan untuk melakukan
pelatihan
kembali.
Tiap
karyawan
hendaknya
selalu
mampu
mengembangkan diri.
5. Perencanaan dan Pengembangan Karir
Umpan balik kinerja membantu proses pengembalian keputusan tentang
karir spesifik karyawan. Kinerja akan merupakan indikator penting
dalam perencanaan dan pengembangan karir seseorang.
6. Memperkecil Defisiensi Proses Penempatan Staf
Baik buruknya kinerja berimplikasi dalam hal kekuatan dan kelemahan
dalam prosedur penempatan staf di departemen SDM. Karena itu, unsur
mutu SDM memegang peranan sangat penting di dalam memperkecil
defisiensi proses penempatan staf.
7. Keakuratan Data dan Informasi
Kinerja buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam informasi analisis
pekerjaan, rencana SDM, atau hal lain dari sistem manajemen personal.
Hal demikian akan mengarah pada ketidaktepatan dalam keputusan
menyewa karyawan, pelatihan, dan keputusan konseling.
8. Memperbaiki Kesalahan Rancangan Pekerjaan
Kinerja buruk mungkin sebagai sebuah gejala dari rancangan pekerjaan
yang keliru. Lewat penilaian dapat didiagnosis kesalahan-kesalahan
tersebut dalam upaya memperbaiki kesalahan rancangan pekerjaan.
9. Kesempatan Kerja yang Sama
Penilaian kinerja yang akurat yang secara aktual menghitung kaitannya
dengan kinerja dapat
menjamin
bahwa keputusan penempatan
kesempatan kerja (internal) yang sama bukanlah sesuatu yang bersifat
diskriminatif.
10. Tantangan-tantangan Eksternal
Kadang-kadang
kinerja
dipengaruhi
oleh
faktor-faktor
ekternal
(lingkungan pekerjaan), seperti keluarga, finansial, kesehatan, atau
masalah-masalah lainnya. Jika masalah-masalah tersebut tidak diatasi
melalui proses penilaian maka departemen SDM seharusnya mampu
menyediakan bantuan.
11. Umpan Balik pada SDM
Informasi tentang kinerja yang baik dan buruk dikeseluruhan jajaran
organisasi
sebagai
suatu proses umpan balik
mengindikasikan
bagaimana sebaiknya fungsi departemen SDM diterapkan. Hal ini
terutama diperlukan didalam pembentukan,
pemeliharaan mutu SDM.
pengembangan, dan
2.4. Jenis-jenis Penilaian Kinerja
Menurut Rivai (2006), terdapat jenis-jenis penilaian kinerja, yaitu:
1. Penilaian hanya oleh atasan.
a. Cepat dan langsung.
b. Dapat mengarah ke distorsi karena pertimbangan-pertimbangan
pribadi.
2. Penilaian oleh kelompok lini: atasan dan atasannya lagi bersama-sama
membahas kinerja dari bawahannya yang dinilai.
a. Objektivitasnya lebih akurat dibandingkan kalau hanya oleh atasan
sendiri.
b. Individu yang dinilai tinggi dapat mendominasi penilaian.
3. Penilaian oleh kelompok staf: atasan meminta satu atau lebih individu
untuk bermusyawarah dengannya; atasan langsung yang membuat
keputusan akhir.
a. Penilaian gabungan yang masuk akal dan wajar.
4. Penilaian melalui keputusan komite: sama seperti pada pola sebelumnya
kecuali bahwa manajer yang bertanggung jawab tidak lagi mengambil
keputusan akhir; hasilnya didasarkan pada pilihan mayoritas.
a. Memperluas pertimbangan yang ekstrim.
b. Memperlemah integritas manajer yang bertanggung jawab.
5. Penilaian berdasarkan peninjauan lapangan: sama seperti pada kelompok
staf, namun melibatkan wakil dari pimpinan pengembangan atau
departemen SDM yang bertindak sebagai peninjau yang independen.
a. Membawa satu pikiran yang tetap ke dalam satu penilaian lintas
sektor yang besar.
6. Penilaian oleh bawahan dan sejawat.
a. mungkin terlalu subjektif.
b.
mungkin digunakan sebagai tambahan pada metode penilaian yang
lain.
2.5. Aspek-aspek yang Dinilai dari Penilaian Kinerja
Menurut Rivai (2006), terdapat aspek-aspek yang dinilai dari
penilaian kinerja, yaitu:
1. Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan,
metode, teknik, dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan
tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.
2. Kemampuan
konseptual,
yaitu
kemampuan
untuk
memahami
kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit
masing-masing ke dalam bidang operasional perusahaan secara
menyeluruh, yang pada intinya individual tersebut memahami tugas,
fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan.
3. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan
untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, dan
melakukan negosiasi.
2.6. Tantangan Penilaian Kinerja
Menurut Mangkuprawira dan Vitayala (2007), Rancangan sistem
penilaian hubungan hubungan mutu SDM dengan kinerja sering menghadapi
tantangan-tantangan penilaian kinerja, yaitu sebagai berikut:
1.
Kendala Legal
Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk
penilaian kinerja yang digunakan departemen SDM harus terpercaya
dan absah. Jika tidak, keputusan penempatan karyawan misalnya,
mungkin ditentang karena hal itu melanggar peraturan tentang
pekerjaan yang sama dan mungkin hukum lainnya.
2.
Bias Penilai
Masalah dengan ukuran subjektif adalah peluang munculnya bias.
Bentuk bias penilai meliputi hal-hal berikut:
a. Hallo Effect
Bias ini terjadi ketika opini personal penilai terhadap karyawan
memengaruhi ukuran kinerja.
b. Kesalahan Kecenderungan Penilaian Berlebihan
Beberapa penilaian tidak menyukai untuk menilai karyawan,
apakah dalam kondisi efektif atau dalam kondisi rata-rata. Dalam
bentuk
penilaian,
distorsi
ini
menyebabkan
para
penilai
menghindari penilaian yang ekstrem, seperti nilai amat buruk dan
sempurna. Sebagai gantinya mereka menempatkan angka-angka
penilaiannya dekat dengan rata-rata. Inilah yang disebut bias atau
kesalahan menilai atau kekeliruan penilaian.
c. Bias Kemurahan dan Ketegasan Hati
Bias kemurahan hati terjadi ketika para penilai cenderung begitu
mudah dalam menilai kinerja karyawan. Beberapa penilai melihat
semua karyawan adalah baik dan memberikan penilaian yang
menyenangkan.
Bias ketegasan hati merupakan hal
yang
sebaliknya. Hal itu merupakan hasil dari para penilai yang begitu
keras dalam evaluasinya. Dua bentuk bias ini lebih umum terjadi
ketika standar kinerja tidak jelas.
d. Bias Lintas Budaya
Tiap penilai memiliki harapan tentang perilaku manusia yang
didasarkan pada budayanya. Ketika orang-orang diharapkan untuk
mengevaluasi seseorang yang berasal dari kultur yang berbeda,
mereka mungkin menggunakan harapan budayanya pada orang
tersebut yang tentunya memiliki kepercayaan atau perilaku yang
berbeda dari apa yang mereka harapkan. Dengan keragaman
budaya yang lebih besar dan tingginya mobilitas karyawan
melintas batas internasional, sumber bias potensial menjadi lebih
mungkin muncul.
e. Prasangka Personal
Ketidaksukaan
penilai
terhadap
sekelompok
mendistrosi penilaian yang akan mereka terima.
orang
dapat
2.7. Metode Penilaian Kinerja
Menurut Mangkuprawira dan Vitayala (2007), metode atau teknik
penilaian kinerja karyawan dapat digunakan dengan pendekatan yang
berorientasi masa lalu dan masa depan.
1. Metode Berorentasi Masa Lalu
Pendekatan-pendekatan berorentasi masa lalu memiliki kekuatan dalam
kinerja yang telah terjadi dan untuk beberapa hal mudah untuk diukur.
Kelemahan yang jelas dari teknik ini adalah kinerja tidak dapat diubah.
Akan tetapi, manakala kinerja masa lalu dievaluasi, para karyawan
memperoleh umpan balik yang dapat mengarahkan pada upaya-upaya
yang diperbaharui ke kinerja yang lebih baik. Berikut ini diuraikan
teknik-teknik penilaian jenis ini.
a. Skala Penilaian
Penilaian kinerja ini sarat dengan evaluasi subyektif atas kinerja
individual dengan skala dari terendah sampai tertinggi. Penilaian
banyak didasarkan pada opini penilai dan di banyak kasus kriteria
penilaian tidak langsung terkait pada kinerja pekerjaan.
b. Daftar Periksa
Metode daftar periksa mensyaratkan penilai untuk menyeleksi
kata-kata atau pernyataan yang menggambarkan kinerja dan
karakteristik karyawan. Metode ini dibuat sedemikian rupa dengan
memberikan bobot tertentu pada setiap hal (item) yang terkait
dengan derajat kepentingan dari item tersebut.
c. Metode Pilihan yang Dibuat
Metode pilihan yang dibuat mensyaratkan penilai untuk memilih
pernyataan paling umum dalam tiap pasangan pernyataan tentang
karyawan yang dinilai. Sering dua pasangan pernyataan itu
mengandung unsur-unsur positif dan negatif.
d. Metode Kejadian Kritis
Metode ini mensyaratkan penilai untuk mencatat pernyataanpernyataan yang menggambarkan perilaku bagus dan buruk yang
terkait dengan kinerja pekerjaan. Biasanya pernyataan tentang
kejadian kritis tersebut dicacat oleh para penyelia selama periode
evaluasi untuk tiap bawahan. Kejadian yang dicacat termasuk
penjelasan singkat tentang apa yang telah dan kapan itu terjadi.
e. Metode Catatan Prestasi
Sangat dekat dengan metode kejadian kritis adalah metode catatan
prestasi yang umumnya digunakan oleh kalangan profesional.
Bentuk catatan berbagai prestasi meliputi aspek-aspek publikasi,
pidato, peran pemimpin, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait
dengan pekerjaan profesional.
2. Penilaian Berorentasi Masa Depan
Penilaian berorentasi masa depan terfokus pada kinerja masa depan
dengan mengevaluasi potensi karyawan dan merumuskan tujuan
kinerja masa depan.
a. Penilaian Diri
Apa yang dilakukan karyawan untuk mengevaluasi diri dapat
menjadi teknik evaluasi yang bermanfaat jika tujuan dari penilaian
adalah untuk pengembangan diri lebih lanjut.
b. Manajemen Berdasarkan Tujuan
Inti pokok dari pendekatan manajemen berdasarkan tujuan meliputi
tujuan-tujuan yang secara obyektif dapat diukur dan bersama-sama
diakui oleh karyawan dan manajer.
c. Penilaian Psikologis
Beberapa perusahaan mempekerjakan ahli psikologi industri, baik
sebagai pekerja penuh atau parah waktu (menurut kebutuhan). Para
psikolog diminta untuk mengevaluasi potensi masa depan individu
dan bukan kinerja masa lalunya. Penilaian biasanya dilakukan
melalui wawancara mendalam, tes psikologi, diskusi dengan
penyelia, dan telaah ulang hasil evaluasi yang lain.
d. Pusat-pusat Penilaian
Pusat-pusat penilaian merupakan metode lain untuk menilai potensi
masa depan seseorang yang tidak hanya mengandalkan penilaian
dari seorang psikolog. Pusat-pusat penilaian adalah bentuk
kegiatan penilaian terhadap karyawan dengan standar tipe evaluasi beragam
dan dilakukan oleh lebih dari seorang penilai. Tipe ini biasanya digunakan
untuk mengevaluasi para manajer potensial agar dapat melakukan pekerjaan
yang lebih bertanggung jawab.
2.8. Pengertian Motivasi Kerja
Menurut Arep dan Tanjung (2003), motivasi diartikan sebagai suatu
yang pokok yang menjadi dorongan seseorang untuk bekerja. Motivasi
berasal dari kata Latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan.
Motif adalah suatu rangsangan keinginan dan daya penggerak kemauan
bekerja seseorang. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan
daya dan potensi bawahan agar mau bekerjasama secara produktif, berhasil
mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Pentingnya
motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan
mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias
mencapai hasil yang optimal. Motivasi adalah pemberian daya penggerak
yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja
keras, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk
mencapai kepuasan (Hasibuan, 2005).
Menurut Mangkunegara (2002), motivasi adalah kondisi yang
menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan berdasarkan dorongan
kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi sehingga pegawai
tersebut
dapat
menyesuaikan diri
terhadap
lingkungannya.
Dalam
hubungannya dengan lingkungan kerja, motivasi kerja didefinisikan sebagai
kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara
perilaku yang berkaitan dengan kondisi lingkungan kerja.
Berdasarkan beberapa
pengertian
motivasi
di atas,
dapat
disimpulkan bahwa motivasi merupakan dorongan untuk bekerja atau
melakukan sesuatu. Dorongan tersebut dapat berasal dari dalam atau luar
diri seseorang. Aspek-aspek yang dapat memotivasi seseorang untuk
melaksanakan pekerjaannya antara lain upah atau gaji yang diterima,
kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya,
penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu
pengawasan serta kondisi lingkungan kerja.
2.9. Teori-teori motivasi
2.9.1 Teori Hierarki Kebutuhan Maslow
Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan tiap manusia tumbuh
secara progresif, yaitu ketika kebutuhan tingkat rendah terpuaskan maka
individu bersangkutan mencari kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi
sampai tertinggi. Pokoknya, tiap orang dipandang tidak pernah puas hanya
dengan satu atau beberapa kebutuhan. Hierarki kebutuhan individu mulai
dari yang terendah, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, sosial, dan
harga diri, sampai yang tertinggi, yaitu aktualisasi diri (Mangkuprawira
dan Vitayala ,2007).
Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow adalah sebagai
berikut (Hasibuan, 2005):
1. Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang paling utama yaitu kebutuhan
untuk mempertahankan hidup, seperti makan, minum, tempat tinggal
dan bebas dari penyakit. Selama kebutuhan ini belum terpenuhi maka
manusia tidak akan merasa tenang dan ia akan berusaha untuk
memenuhinya. Kebutuhan dan kepuasan biologis ini akan terpenuhi
untuk memenuhinya. Kebutuhan dan kepuasan biologis ini akan
terpenuhi jika gaji (upah) yang diberikan cukup besar. Jika gaji atau
upah karyawan ditingkatkan maka semangat kerja mereka akan
meningkat.
2. Kebutuhan keselamatan dan keamanan, yaitu kebutuhan akan
kebebasan dari acaman jiwa dan harta dilingkungan kerja. Merupakan
tangga kedua dalam susunan kebutuhan. Karyawan membutuhkan rasa
aman terhadap ancaman dan bahaya kehilangan pekerjaaan dan
penghasilannya.
3. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang
lain di lingkungan dia hidup dan bekerja, kebutuhan akan perasaan
dihormati, kebutuhan akan perasaan maju, tidak gagal, dan kebutuhan
akan ikut serta. Pada tingkat ini apabila karyawan tidak diterima
menjadi anggota kelompok informal dalam perusahaan, maka ia akan
merasa terkuci dan tidak senang. Hal ini mengakibatkan karyawan
tidak bekerja dengan baik dan pretasinya menurun.
4. Kebutuhan akan penghargaan prestise, yaitu kebutuhan akan
penghargaan dari orang lain. Berarti bahwa setiap karyawan yang
bekerja dengan baik ingin mendapatkan pujian atau penghargaan
atasan atau rekan sekerjanya.
5. Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu realisasi lengkap potensi seseorang
secara penuh. Untuk pemenuhan kebutuhan ini biasanya seseorang
bertindak bukan atas dorongan orang lain tetapi atas kesadaran dan
keinginan diri sendiri. Dalam hal ini karyawan merasa telah berhasil
menyelesaikan pekerjaanya dengan mengerahkan segala kemampuan,
keterampilan dan potensi yang ada secara maksimun.
2.9.2 Teori Herzberg
Herzberg mengungkapkan teori dua faktor motivasi, yaitu
para karyawan didalam melaksanakan pekerjaanya dipengaruhi oleh
dua faktor utama, yaitu faktor pemeliharaan atau higienis dan faktor
motivasi. Faktor higienis dianggap sebagai faktor kondisi ekstrinsik
yang kalau tidak ada akan menyebabkan karyawan tidak puas.
Utamanya,
faktor
tersebut
untuk
mempertahankan
kebutuhan
karyawan tingkat paling rendah, seperti balas jasa gaji dan upah,
kondisi kerja, kebijakan dan administrasi perusahaan, kepastian
pekerjaan, serta hubungan sosial. Faktor motivasi menyangkut
kebutuhan psikologis yang berhubungan dengan penghargaan terhadap
pribadi karyawan terkait dengan pekerjaan. Contohnya, pengakuan
terhadap prestasi, pemberian tanggung jawab, kemajuan, potensi diri,
dan
penempatan
posisi
pekerjaan
karyawan
yang
sesuai
(Mangkuprawira dan Vitayala ,2007).
2.10. Manfaat Motivasi
Menurut Arep dan Tanjung (2003) mengungkapkan bahwa manfaat
motivasi
yang
utama
adalah
terciptanya
gairah
kerja,
sehingga
produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh
karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah :
1. Pekerjaan akan selesai dengan tepat. Artinya, pekerjaan diselesaikan
sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah
ditentukan.
2. Orang akan senang melakukan pekerjaannya.
3. Orang akan merasa berharga. Hal ini terjadi karena pekerjaannya itu
betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi
4. Orang akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang
begitu tinggi untuk berhasil sesuai dengan target terhadap apa yang
mereka kerjakan.
5. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang akan bersangkutan dan
tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan.
6. Semangat juangnya akan tinggi. Hal ini akan memberikan suasana
bekerja yang bagus di semua bagian.
Dalam suatu perusahaan memotivasi pegawai sangat diperlukan.
Hal ini disebabkan karena motivasi sangat bermanfaat dalam menciptakan
gairah kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas kerja
pegawai. (Hasibuan, 2005) mengungkapkan bahwa perusahaan bukan saja
mengharapkan pegawai yang mampu, cakap dan terampil saja, tetapi yang
paling penting adalah mereka bersedia bekerja keras dan berkeinginan
untuk mencapai hasil yang maksimal.
2.11. Hasil Penelitian Terdahulu
Naulina (2009), hasil penelitian tentang Sistem Penilaian Kinerja
dengan Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja Karyawan pada Divisi Human
Resources dan General Affairs PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk
Citeureup. Terdapat hubungan yang positif, agak lemah, dan nyata antara
sistem penilaian kinerja dengan motivasi kerja karyawan. Sistem penilaian
kinerja memiliki hubungan yang positif, agak lemah, dan nyata dengan
kepuasan kerja karyawan.
Ayudhia (2008), hasil penelitian tentang Analisis Hubungan Sistem
Penilaian Kinerja dengan Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja Karyawan
(Studi Kasus: Karyawan PT X Tbk. Bogor), mengemukakan sistem
penilaian kinerja yang dilakukan PT X menggunakan pola topdown untuk
menilai kompetensi karyawan dan terdapat hubungan nyata antara sistem
penilaian kinerja dengan motivasi kerja karyawan. Sistem penilaian kinerja
memiliki hubungan nyata dengan kepuasan kerja karyawan.
Download