II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penilaian Kinerja Menurut Rivai (2005) mendefinisikan kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan sesorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Mangkuprawira dan Vitayala (2007), mendefinisikan kinerja adalah hasil dari proses pekerjaan tertentu secara terencana pada waktu dan tempat dari karyawan serta organisasi bersangkutan. Jadi pada hakikatnya kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standard kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu. Simamora (2004) mendefinisikan penilaian kinerja adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan. Sedangkan menurut Mangkuprawira (2002), penilaian kinerja adalah proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang. Apabila hal itu dikerjakan dengan benar, maka para karyawan, penyelia mereka, departemen SDM, dan akhirnya perusahaan akan menguntungkan dengan jaminan bahwa upaya para individu karyawan mampu mengkontribusi pada fokus strategik dari perusahaan. Pendapat yang tidak jauh berbeda mengatakan bahwa penilaian prestasi kerja adalah proses melalui bagaimana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka (Handoko, 2001) 2.2. Tujuan Penilaian Kinerja Menurut Simamora (2004), terdapat beberapa tujuan penting dari program penilaian kinerja, yaitu: 1. Tujuan Evaluasi Hasil-hasil penilaian kinerja sering berfungsi sebagai dasar bagi evaluasi rutin terhadap kinerja anggota organisasi. a. Penilaian kinerja dan telaah gaji Keputusan-keputusan yang paling sering bertumpu pada tujuan evaluatif adalah keputusan kompensasi yang mencakup kenaikan tunjangan jasa, bonus karyawan dan kenaikan gaji lainnya. b. Penilaian kinerja dan kesempatan promosi Keputusan penyusunan karyawan adalah tujuan evaluatif kedua dari penilaian kinerja karena para manajer dan penyelia harus membuat keputusan yang berkaitan dengan promosi, demosi, transfer, dan pemberhentian. 2. Tujuan Pengembangan Informasi yang hasilkan oleh sistem penilaian dapat pula dimanfaatkan untuk memudahkan pengembangan pribadi anggota organisasi. a. Mengukuhkan dan menunjang kinerja Menggunakan penilaian kinerja sebagai instrument pengembangan karyawan dapat menempatkan penyelia dalam peran pengukuhan dan penunjang kinerja. b. Meningkatkan kinerja Penilaian kinerja yang bertujuan pengembangan juga mencakup pemberian pedoman kepada karyawan untuk kinerjanya dimasa depan. c. Menentukan tujuan progresi karir Sesi penilaian kinerja memberikan suatu kesempatan kepada penyelia dan karyawan untuk membahas tujuan dan rencana karir jangka panjang. d. Menentukan kebutuhan pelatihan Beberapa organisasi menggunakan penilaian kinerja sebagai sumber analisis kebutuhan pelatihan. e. Proses yang terkoordinasi Penilaian kinerja tidak boleh menjadi proses yang berdiri sendiri. Supaya efektif, penilaian kinerja harus terkait dengan aktivitas manajemen sumber daya manusia lainnya yang tergantung pada penilaian kinerja. 2.3. Manfaat Penilaian Kinerja Menurut Mangkuprawira dan Vitayala (2007), penilaian kinerja karyawan memiliki kemanfaatan yang dapat ditinjau dari beragam persepektif pengembangan perusahaan, khususnya manajemen mutu sumber daya manusia, yaitu sebagai berikut: 1. Perbaikan Kinerja Umpan balik perbaikan kinerja bermanfaat bagi karyawan, manajer, dan spesialis dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki mutu SDM dan kinerja karyawan. 2. Penyesuaian Kompensasi Penilaian kinerja membantu pihak manajemen menentukan siapa yang seharusnya menerima penyesuaian kompensasi (peningkatan pembayaran) dalam bentuk upah dan bonus yang didasari pada sistem merit. 3. Keputusan Penempatan Keputusan penempatan dalam bentuk promosi, perpindahan, dan penurunan jabatan biasanya didasari pada kinerja masa lalu dan antisipatif, misalnya dalam bentuk penghargaan karena mutu SDM dan kinerjanya bagus. 4. Kebutuhan Pelatihan dan Pengembangan Kinerja buruk mengindikasikan sebuah kebutuhan untuk melakukan pelatihan kembali. Tiap karyawan hendaknya selalu mampu mengembangkan diri. 5. Perencanaan dan Pengembangan Karir Umpan balik kinerja membantu proses pengembalian keputusan tentang karir spesifik karyawan. Kinerja akan merupakan indikator penting dalam perencanaan dan pengembangan karir seseorang. 6. Memperkecil Defisiensi Proses Penempatan Staf Baik buruknya kinerja berimplikasi dalam hal kekuatan dan kelemahan dalam prosedur penempatan staf di departemen SDM. Karena itu, unsur mutu SDM memegang peranan sangat penting di dalam memperkecil defisiensi proses penempatan staf. 7. Keakuratan Data dan Informasi Kinerja buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam informasi analisis pekerjaan, rencana SDM, atau hal lain dari sistem manajemen personal. Hal demikian akan mengarah pada ketidaktepatan dalam keputusan menyewa karyawan, pelatihan, dan keputusan konseling. 8. Memperbaiki Kesalahan Rancangan Pekerjaan Kinerja buruk mungkin sebagai sebuah gejala dari rancangan pekerjaan yang keliru. Lewat penilaian dapat didiagnosis kesalahan-kesalahan tersebut dalam upaya memperbaiki kesalahan rancangan pekerjaan. 9. Kesempatan Kerja yang Sama Penilaian kinerja yang akurat yang secara aktual menghitung kaitannya dengan kinerja dapat menjamin bahwa keputusan penempatan kesempatan kerja (internal) yang sama bukanlah sesuatu yang bersifat diskriminatif. 10. Tantangan-tantangan Eksternal Kadang-kadang kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor ekternal (lingkungan pekerjaan), seperti keluarga, finansial, kesehatan, atau masalah-masalah lainnya. Jika masalah-masalah tersebut tidak diatasi melalui proses penilaian maka departemen SDM seharusnya mampu menyediakan bantuan. 11. Umpan Balik pada SDM Informasi tentang kinerja yang baik dan buruk dikeseluruhan jajaran organisasi sebagai suatu proses umpan balik mengindikasikan bagaimana sebaiknya fungsi departemen SDM diterapkan. Hal ini terutama diperlukan didalam pembentukan, pemeliharaan mutu SDM. pengembangan, dan 2.4. Jenis-jenis Penilaian Kinerja Menurut Rivai (2006), terdapat jenis-jenis penilaian kinerja, yaitu: 1. Penilaian hanya oleh atasan. a. Cepat dan langsung. b. Dapat mengarah ke distorsi karena pertimbangan-pertimbangan pribadi. 2. Penilaian oleh kelompok lini: atasan dan atasannya lagi bersama-sama membahas kinerja dari bawahannya yang dinilai. a. Objektivitasnya lebih akurat dibandingkan kalau hanya oleh atasan sendiri. b. Individu yang dinilai tinggi dapat mendominasi penilaian. 3. Penilaian oleh kelompok staf: atasan meminta satu atau lebih individu untuk bermusyawarah dengannya; atasan langsung yang membuat keputusan akhir. a. Penilaian gabungan yang masuk akal dan wajar. 4. Penilaian melalui keputusan komite: sama seperti pada pola sebelumnya kecuali bahwa manajer yang bertanggung jawab tidak lagi mengambil keputusan akhir; hasilnya didasarkan pada pilihan mayoritas. a. Memperluas pertimbangan yang ekstrim. b. Memperlemah integritas manajer yang bertanggung jawab. 5. Penilaian berdasarkan peninjauan lapangan: sama seperti pada kelompok staf, namun melibatkan wakil dari pimpinan pengembangan atau departemen SDM yang bertindak sebagai peninjau yang independen. a. Membawa satu pikiran yang tetap ke dalam satu penilaian lintas sektor yang besar. 6. Penilaian oleh bawahan dan sejawat. a. mungkin terlalu subjektif. b. mungkin digunakan sebagai tambahan pada metode penilaian yang lain. 2.5. Aspek-aspek yang Dinilai dari Penilaian Kinerja Menurut Rivai (2006), terdapat aspek-aspek yang dinilai dari penilaian kinerja, yaitu: 1. Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya. 2. Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke dalam bidang operasional perusahaan secara menyeluruh, yang pada intinya individual tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan. 3. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, dan melakukan negosiasi. 2.6. Tantangan Penilaian Kinerja Menurut Mangkuprawira dan Vitayala (2007), Rancangan sistem penilaian hubungan hubungan mutu SDM dengan kinerja sering menghadapi tantangan-tantangan penilaian kinerja, yaitu sebagai berikut: 1. Kendala Legal Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk penilaian kinerja yang digunakan departemen SDM harus terpercaya dan absah. Jika tidak, keputusan penempatan karyawan misalnya, mungkin ditentang karena hal itu melanggar peraturan tentang pekerjaan yang sama dan mungkin hukum lainnya. 2. Bias Penilai Masalah dengan ukuran subjektif adalah peluang munculnya bias. Bentuk bias penilai meliputi hal-hal berikut: a. Hallo Effect Bias ini terjadi ketika opini personal penilai terhadap karyawan memengaruhi ukuran kinerja. b. Kesalahan Kecenderungan Penilaian Berlebihan Beberapa penilaian tidak menyukai untuk menilai karyawan, apakah dalam kondisi efektif atau dalam kondisi rata-rata. Dalam bentuk penilaian, distorsi ini menyebabkan para penilai menghindari penilaian yang ekstrem, seperti nilai amat buruk dan sempurna. Sebagai gantinya mereka menempatkan angka-angka penilaiannya dekat dengan rata-rata. Inilah yang disebut bias atau kesalahan menilai atau kekeliruan penilaian. c. Bias Kemurahan dan Ketegasan Hati Bias kemurahan hati terjadi ketika para penilai cenderung begitu mudah dalam menilai kinerja karyawan. Beberapa penilai melihat semua karyawan adalah baik dan memberikan penilaian yang menyenangkan. Bias ketegasan hati merupakan hal yang sebaliknya. Hal itu merupakan hasil dari para penilai yang begitu keras dalam evaluasinya. Dua bentuk bias ini lebih umum terjadi ketika standar kinerja tidak jelas. d. Bias Lintas Budaya Tiap penilai memiliki harapan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada budayanya. Ketika orang-orang diharapkan untuk mengevaluasi seseorang yang berasal dari kultur yang berbeda, mereka mungkin menggunakan harapan budayanya pada orang tersebut yang tentunya memiliki kepercayaan atau perilaku yang berbeda dari apa yang mereka harapkan. Dengan keragaman budaya yang lebih besar dan tingginya mobilitas karyawan melintas batas internasional, sumber bias potensial menjadi lebih mungkin muncul. e. Prasangka Personal Ketidaksukaan penilai terhadap sekelompok mendistrosi penilaian yang akan mereka terima. orang dapat 2.7. Metode Penilaian Kinerja Menurut Mangkuprawira dan Vitayala (2007), metode atau teknik penilaian kinerja karyawan dapat digunakan dengan pendekatan yang berorientasi masa lalu dan masa depan. 1. Metode Berorentasi Masa Lalu Pendekatan-pendekatan berorentasi masa lalu memiliki kekuatan dalam kinerja yang telah terjadi dan untuk beberapa hal mudah untuk diukur. Kelemahan yang jelas dari teknik ini adalah kinerja tidak dapat diubah. Akan tetapi, manakala kinerja masa lalu dievaluasi, para karyawan memperoleh umpan balik yang dapat mengarahkan pada upaya-upaya yang diperbaharui ke kinerja yang lebih baik. Berikut ini diuraikan teknik-teknik penilaian jenis ini. a. Skala Penilaian Penilaian kinerja ini sarat dengan evaluasi subyektif atas kinerja individual dengan skala dari terendah sampai tertinggi. Penilaian banyak didasarkan pada opini penilai dan di banyak kasus kriteria penilaian tidak langsung terkait pada kinerja pekerjaan. b. Daftar Periksa Metode daftar periksa mensyaratkan penilai untuk menyeleksi kata-kata atau pernyataan yang menggambarkan kinerja dan karakteristik karyawan. Metode ini dibuat sedemikian rupa dengan memberikan bobot tertentu pada setiap hal (item) yang terkait dengan derajat kepentingan dari item tersebut. c. Metode Pilihan yang Dibuat Metode pilihan yang dibuat mensyaratkan penilai untuk memilih pernyataan paling umum dalam tiap pasangan pernyataan tentang karyawan yang dinilai. Sering dua pasangan pernyataan itu mengandung unsur-unsur positif dan negatif. d. Metode Kejadian Kritis Metode ini mensyaratkan penilai untuk mencatat pernyataanpernyataan yang menggambarkan perilaku bagus dan buruk yang terkait dengan kinerja pekerjaan. Biasanya pernyataan tentang kejadian kritis tersebut dicacat oleh para penyelia selama periode evaluasi untuk tiap bawahan. Kejadian yang dicacat termasuk penjelasan singkat tentang apa yang telah dan kapan itu terjadi. e. Metode Catatan Prestasi Sangat dekat dengan metode kejadian kritis adalah metode catatan prestasi yang umumnya digunakan oleh kalangan profesional. Bentuk catatan berbagai prestasi meliputi aspek-aspek publikasi, pidato, peran pemimpin, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait dengan pekerjaan profesional. 2. Penilaian Berorentasi Masa Depan Penilaian berorentasi masa depan terfokus pada kinerja masa depan dengan mengevaluasi potensi karyawan dan merumuskan tujuan kinerja masa depan. a. Penilaian Diri Apa yang dilakukan karyawan untuk mengevaluasi diri dapat menjadi teknik evaluasi yang bermanfaat jika tujuan dari penilaian adalah untuk pengembangan diri lebih lanjut. b. Manajemen Berdasarkan Tujuan Inti pokok dari pendekatan manajemen berdasarkan tujuan meliputi tujuan-tujuan yang secara obyektif dapat diukur dan bersama-sama diakui oleh karyawan dan manajer. c. Penilaian Psikologis Beberapa perusahaan mempekerjakan ahli psikologi industri, baik sebagai pekerja penuh atau parah waktu (menurut kebutuhan). Para psikolog diminta untuk mengevaluasi potensi masa depan individu dan bukan kinerja masa lalunya. Penilaian biasanya dilakukan melalui wawancara mendalam, tes psikologi, diskusi dengan penyelia, dan telaah ulang hasil evaluasi yang lain. d. Pusat-pusat Penilaian Pusat-pusat penilaian merupakan metode lain untuk menilai potensi masa depan seseorang yang tidak hanya mengandalkan penilaian dari seorang psikolog. Pusat-pusat penilaian adalah bentuk kegiatan penilaian terhadap karyawan dengan standar tipe evaluasi beragam dan dilakukan oleh lebih dari seorang penilai. Tipe ini biasanya digunakan untuk mengevaluasi para manajer potensial agar dapat melakukan pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. 2.8. Pengertian Motivasi Kerja Menurut Arep dan Tanjung (2003), motivasi diartikan sebagai suatu yang pokok yang menjadi dorongan seseorang untuk bekerja. Motivasi berasal dari kata Latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motif adalah suatu rangsangan keinginan dan daya penggerak kemauan bekerja seseorang. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi bawahan agar mau bekerjasama secara produktif, berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Pentingnya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja keras, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan (Hasibuan, 2005). Menurut Mangkunegara (2002), motivasi adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan berdasarkan dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi sehingga pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berkaitan dengan kondisi lingkungan kerja. Berdasarkan beberapa pengertian motivasi di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan dorongan untuk bekerja atau melakukan sesuatu. Dorongan tersebut dapat berasal dari dalam atau luar diri seseorang. Aspek-aspek yang dapat memotivasi seseorang untuk melaksanakan pekerjaannya antara lain upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu pengawasan serta kondisi lingkungan kerja. 2.9. Teori-teori motivasi 2.9.1 Teori Hierarki Kebutuhan Maslow Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan tiap manusia tumbuh secara progresif, yaitu ketika kebutuhan tingkat rendah terpuaskan maka individu bersangkutan mencari kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi sampai tertinggi. Pokoknya, tiap orang dipandang tidak pernah puas hanya dengan satu atau beberapa kebutuhan. Hierarki kebutuhan individu mulai dari yang terendah, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, sosial, dan harga diri, sampai yang tertinggi, yaitu aktualisasi diri (Mangkuprawira dan Vitayala ,2007). Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow adalah sebagai berikut (Hasibuan, 2005): 1. Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang paling utama yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup, seperti makan, minum, tempat tinggal dan bebas dari penyakit. Selama kebutuhan ini belum terpenuhi maka manusia tidak akan merasa tenang dan ia akan berusaha untuk memenuhinya. Kebutuhan dan kepuasan biologis ini akan terpenuhi untuk memenuhinya. Kebutuhan dan kepuasan biologis ini akan terpenuhi jika gaji (upah) yang diberikan cukup besar. Jika gaji atau upah karyawan ditingkatkan maka semangat kerja mereka akan meningkat. 2. Kebutuhan keselamatan dan keamanan, yaitu kebutuhan akan kebebasan dari acaman jiwa dan harta dilingkungan kerja. Merupakan tangga kedua dalam susunan kebutuhan. Karyawan membutuhkan rasa aman terhadap ancaman dan bahaya kehilangan pekerjaaan dan penghasilannya. 3. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan dia hidup dan bekerja, kebutuhan akan perasaan dihormati, kebutuhan akan perasaan maju, tidak gagal, dan kebutuhan akan ikut serta. Pada tingkat ini apabila karyawan tidak diterima menjadi anggota kelompok informal dalam perusahaan, maka ia akan merasa terkuci dan tidak senang. Hal ini mengakibatkan karyawan tidak bekerja dengan baik dan pretasinya menurun. 4. Kebutuhan akan penghargaan prestise, yaitu kebutuhan akan penghargaan dari orang lain. Berarti bahwa setiap karyawan yang bekerja dengan baik ingin mendapatkan pujian atau penghargaan atasan atau rekan sekerjanya. 5. Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu realisasi lengkap potensi seseorang secara penuh. Untuk pemenuhan kebutuhan ini biasanya seseorang bertindak bukan atas dorongan orang lain tetapi atas kesadaran dan keinginan diri sendiri. Dalam hal ini karyawan merasa telah berhasil menyelesaikan pekerjaanya dengan mengerahkan segala kemampuan, keterampilan dan potensi yang ada secara maksimun. 2.9.2 Teori Herzberg Herzberg mengungkapkan teori dua faktor motivasi, yaitu para karyawan didalam melaksanakan pekerjaanya dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor pemeliharaan atau higienis dan faktor motivasi. Faktor higienis dianggap sebagai faktor kondisi ekstrinsik yang kalau tidak ada akan menyebabkan karyawan tidak puas. Utamanya, faktor tersebut untuk mempertahankan kebutuhan karyawan tingkat paling rendah, seperti balas jasa gaji dan upah, kondisi kerja, kebijakan dan administrasi perusahaan, kepastian pekerjaan, serta hubungan sosial. Faktor motivasi menyangkut kebutuhan psikologis yang berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi karyawan terkait dengan pekerjaan. Contohnya, pengakuan terhadap prestasi, pemberian tanggung jawab, kemajuan, potensi diri, dan penempatan posisi pekerjaan karyawan yang sesuai (Mangkuprawira dan Vitayala ,2007). 2.10. Manfaat Motivasi Menurut Arep dan Tanjung (2003) mengungkapkan bahwa manfaat motivasi yang utama adalah terciptanya gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah : 1. Pekerjaan akan selesai dengan tepat. Artinya, pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan. 2. Orang akan senang melakukan pekerjaannya. 3. Orang akan merasa berharga. Hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi 4. Orang akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi untuk berhasil sesuai dengan target terhadap apa yang mereka kerjakan. 5. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang akan bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan. 6. Semangat juangnya akan tinggi. Hal ini akan memberikan suasana bekerja yang bagus di semua bagian. Dalam suatu perusahaan memotivasi pegawai sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena motivasi sangat bermanfaat dalam menciptakan gairah kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas kerja pegawai. (Hasibuan, 2005) mengungkapkan bahwa perusahaan bukan saja mengharapkan pegawai yang mampu, cakap dan terampil saja, tetapi yang paling penting adalah mereka bersedia bekerja keras dan berkeinginan untuk mencapai hasil yang maksimal. 2.11. Hasil Penelitian Terdahulu Naulina (2009), hasil penelitian tentang Sistem Penilaian Kinerja dengan Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja Karyawan pada Divisi Human Resources dan General Affairs PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk Citeureup. Terdapat hubungan yang positif, agak lemah, dan nyata antara sistem penilaian kinerja dengan motivasi kerja karyawan. Sistem penilaian kinerja memiliki hubungan yang positif, agak lemah, dan nyata dengan kepuasan kerja karyawan. Ayudhia (2008), hasil penelitian tentang Analisis Hubungan Sistem Penilaian Kinerja dengan Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja Karyawan (Studi Kasus: Karyawan PT X Tbk. Bogor), mengemukakan sistem penilaian kinerja yang dilakukan PT X menggunakan pola topdown untuk menilai kompetensi karyawan dan terdapat hubungan nyata antara sistem penilaian kinerja dengan motivasi kerja karyawan. Sistem penilaian kinerja memiliki hubungan nyata dengan kepuasan kerja karyawan.