1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan modern dengan sistem kelas mulai memasuki Bali pada pertengahan abad ke-19, setelah penaklukan Buleleng dengan terjadinya puputan Jagaraga Tahun 1859. Daerah lainnya sekolah baru berdiri awal abad ke-20, terutama setelah Puputan Klungkung 1908, dimana seluruh Bali menjadi bagian dari kekuasaan Belanda dengan pusat pemerintahannya di Singaraja (Darma Putra, 2011:31), zaman pemerintahan kolonial Belanda ini dikenal dengan zaman Enteg Bali. Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan menciptakan asimilasi masyarakat Bali dengan kolonial Belanda (Atmadja, 2001:42). Singaraja ditetapkan sebagai ibu kota Keresidenan Bali dan Lombok pada tahun 1882, Buleleng dan Jembrana berada di bawah kekuasaan langsung Guberneman Belanda. Dengan dicanangkan Politik etis sekolah mulai tersebar di Indonesia, pelajar Bali banyak menuntut ilmu ke luar terutama ke sekolah pendidik (Kweek School) di Makassar dan Probolinggo. Pendidikan Barat ini membawa dampak munculnya elite modern di Bali Utara, kelompok yang memiliki kesadaran nasional untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Diawali dengan berdirinya organisasi modern Budi Utomo tahun 1908 di Jawa (Niel, 1984:40), sedangkan di Bali berdiri Perkumpulan Suryakanta yang memiliki tujuan setara dengan Budi Utomo yaitu kemandirian dan lepas dari penjajahan Belanda. 1 2 Munculnya gagasan “pembaharuan” adat dan Agama di Bali, dikenal dengan “Ide zaman Kemajuan” di Bali Utara. Muncul perbedaan strategi untuk merealisasikannya memunculkan perbedaan pandangan antara golongan Jaba (kaum terdidik) dengan golongan Triwangsa. Pertentangan itu berkepanjangan, terjadi pertentangan gagasan dalam Majalah Surya Kanta dan Bali Adnyana dalam sejarah dikenal dengan konflik kasta (Putra Agung, 2001). Pertentangan itu dikhawatirkan oleh Belanda karena “ide zaman kemajuan” yang memiliki pandangan jauh ke depan sangat berbahaya bagi kelangsungan pemerintah kolonial Belanda. Alasan kolonial terlibat dalam permasalahan konflik sosial itu karena disebut-sebut “rasa kebersamaan” perjuangan golongan jaba dengan kemasan “sama-rata sama-rasa”, kebetulan semboyan itu memiliki kesetaraan dengan perjuangan komunis di Negara maju. Dalam konflik itu Belanda mengambil posisi berpihak pada golongan triwangsa yang mempertahankan tradisionalisme, etnosentrisme, feodalisme, dan primordialisme yang sama-sama menguntungkan kelompok penguasa tradisional dan kolonial. Dengan menyembunyikan ideologi utama --pariwisata budaya eksotik-- dari maksud keberpihakannya, Belanda mengeluarkan wacana Baliseering yaitu mengembalikan orang Bali pada kebaliannya dengan “seolah-olah” melaksanakan politik etis dan menyelamatkan Bali dari modernisme, sehingga muncul wacana Baliseering, yaitu kebijakan menjadikan Bali tetap tradisional, dengan mempertahankan tradisi, adat-istiadat, Agama Hindu dan melakukan proteksi pengaruh luar Bali memasuki Bali 3 (Margana, 2011:23). Kebijakan Baliseering menyembunyikan berbagai kepentingan, hasrat, dan motif kolonial yang seolah-olah melaksanakan politik etis dan memajukan rakyat Bali, menjadi sangat menarik dikaji ideologi yang tersebunyi di baliknya. Strategi untuk meyakinkan masyarakat Bali, Belanda mengeluarkan kebijakan yang sangat berbeda dari sebelumnya, bahkan keluar dari “narasi besar imprialisme kuno” dengan melarang kristenisasi terhadap Bali, sehingga memunculkan polemik baik di dalam maupun di luar negeri sampai akhir kekuasaan Belanda di Bali. Terjadi perubahan orientasi penguasaan Bali dari bertujuan asimilasi, menjadi Balinisasi. Hal ini mencurigakan kalangan elit terpelajar di Bali, dengan menafsirkan kepentingan dan tujuan yang tersembunyi di balik kebijakan itu. Meminjam gagasan Derrida mengenai deconstruction dalam teori poststruktural dibutuhkan penundaan pemaknaan wacana yang berkembang di masyarakat bahwa Baliseering dapat dikatakan Baliseering merupakan kebijakan yang berlawanan dengan “narasi besar” kolonial Belanda, yang sebelumnya Belanda berusaha menjadikan jajahannya sebagai substitusi kolonial yaitu asimilasi, atau asosiasi untuk memudahkan megosiasi kepentingannya. Latar belakang munculnya kebijakan Baliseering menjadi sangat penting dikaji secara akademik dilihat dari cultural studies yaitu melihat relasi kuasa di dalamnya. Demikian pula bagaimana proses prosedur Baliseering dengan melibatkan sekolah sebagai agen Baliseering baik pendidikan formal maupun nonformal. Sebuah ideologi yang ditanamkan di dunia pendidikan, tentu memiliki 4 implikasi yang sangat luas dan berjalan dalam jangka waktu panjang. Hal ini menjadi sangat menarik dianalisis implikasi Baliseering itu di Bali Utara era globalisasi. Membongkar ideologi Baliseering di Bali Utara dalam perspektif keruangan, tidak tertutup kemungkinannya menyangkut ke daerah Bali dan Lombok karena Singaraja pada saat dilaksanakannya kebijakan Baliseering sebagai ibu kota keresidenan Bali dan Lombok. Perubahan kebijakan kolonial dalam pendidikan dari zaman enteg Bali ke pendidikan Baliseering sangat menarik dikaji. Karena ideologi dapat mempengaruhi segala bentuk tindakan dan artefak yang dihasilkannya. Struktur dan kuktur dalam pendidikan yang dikuatkan Belanda dalam pengideologian itu menjadi sangat menarik diwacanakan dengan makna baru melalui jejak-jejak Baliseering untuk dapat memahami ideologi yang terkandung di baliknya. Pemaknaan baru dilakukan dengan interpretasi ulang terhadap jejak Baliseering di Bali Utara, karena sampai saat ini makna yang diwacanakan sering menjerumuskan, menyesatkan pemahaman, karena tidak dibongkar ideologi kapitalis dan kolonialis yang terkandung di baliknya. Pembongkaran sebuah ideologi dalam wacana yang sudah dianggap benar membutuhkan perangkat analisis perspektif kritis. Seperti disebutkan oleh Edward Said mengutip Foucault bahwa wacana sarjana orientalis itu kemungkinan besar berifat strukturalis, dengan memosisikan bangsa Asia sebagai oposisi biner, dengan Barat sebagai superiornya. Dengan demikian dibutuhkan teori poststruktural, teori hegemoni, teori genalogi pengetahuan (lihat Said, 2012). Sedangkan dalam pendidikan dibutuhkan teori pendidikan kritis, seperti Bourdieu, 5 Paulo Preire, Ivan Ilich, dan teori lainnya secara eklektik, sebuah kajian counter ideology tentu juga membutuhkan pemahaman konsep ideologi, dan filsafat kritis (Althussers, 2010; Eatwell, Roger. 2004). Realitas psikologis secara historis ketika Baliseering dilaksanakan, ketika tahun 1920-an bahwa puputan-puputan di Bali yang mengorbankan rakyat sipil, menyisakan janda dan anak-anak, ritual pengabenan, dan bentuk masalah sosial lainnya masih menjadi momok masyarakat Bali secara luas. Saat kondisi “kejiwaan” masyarakat tergoyang muncul kebijakan politik Baliseering “seolaholah bermurah hati” tentu memunculkan multitafsir di masyarakat. Mengapa muncul kebijakan Baliseering bahkan sampai diikuti oleh kebijakan pelarangan kristenisasi (westernisasi dan modernisasi), javanisasi, dan islamisasi, seperti Belanda ingin melepaskan pengaruhnya di Bali. Pembangunan sarana dan prasarana persembahyangan, terutama beberapa pura penting dengan relief “kolonisasi gagasan kolonial” di sekitar peristiwa Puputan Jagaraga. Mulanya dipandang sebagai kebijakan politik konvensasi (“obat masyarakat”) setelah melakukan kekerasan bersenjata di Bali. Namun hal itu pun tidak masuk akal dilihat dari wacana modernisme, karena ke luar dari narasi besar kolonialis Belanda di daerah jajahannya (cf. Lyotard). Demikian bersemangatnya pemerintah kolonial Belanda melaksanakan kebijakan Baliseering di samping melarang kristenisasi dan modernisasi, bahkan sampai memasuki sistem pendidikan formal dan nonformal di Bali. Museum Lontar Gedong Kirtya didirikan di Singaraja oleh sarjana orientalis Barat dengan alasan untuk 6 menyelamatkan kekayaan intelektual Bali dan Lombok (1928).1 Sekolah-sekolah didirikan, sistem pendidikan diubah secara total, baik struktur dan kulturnya disesuaikan dengan ideologi Baliseering yang sangat kental dengan pengideologian adat, tradisi, budaya dan Agama Hindu di Bali. Mainstream kolonial di daerah jajahan umumnya diambil dalam rangka pengejawantahaan kepentingan kolonial, seperti keuntungan ekonomi, mempertahankan kekuasaan, memperluas kekuasaan, menguatkan kekuasaan melalui berbagai strategi untuk kepentingannya, dengan menyembunyikan kepentingan-kepentingannya di balik kebijakan yang diterapkan seolah-olah melaksanakan politik etis untuk kepentingan Bali. Adanya penyimpangan dari logika kolonial dalam Baliseering itu, kalau dikaitkan dengan meanstream kolonial di daerah jajahan, seperti yang dilakukan penjajah Prancis di Asia Tenggara, berikut. Protektorat Prancis “La France d’outre-mer” di Vietnam, Laos dan Kamboja terikat erat dengan kebudayaan dan ekonomi negara metropolitan dalam konteks kebijakan kolonialisme Prancis yang mengasimilasi dan kemudian mengasosiasikannya dalam kebudayaan atau kepentingan penjajah (King dan Wilder, 2012:6). Kondisi daerah kolonial Prancis diasimilasi dan kemudian di asosiasikan ke dalam peradaban Prancis, dengan demikian penjajah lebih mudah meredam gejolak dan tuntutan nasional negara jajahan, dengan mengasosiasikan, menegosiasikan, dan mengakomudasikannya dalam konteks kepentingan penjajah atau negeri induk di 1 Pembahasan Gedong Kirtya sudah banyak ditulis orang tidak dijadikan fokus utama dalam penelitia ini, tetapi dijadikan latar belakang terkait dengan kebijakan Baliseering. Terimakasih atas tambahan wawasan yang diberikan oleh Prof. Dr. I Nyoman Wida Kusuma, M.S. yang memberikan catatan pentingnya Gedong Kirtya terkait dengan kebijakan Baliseering, agar dijadikan kajian tersendiri oleh peneliti sastra selanjutnya. 7 daerah jajahan. Demikian juga penjajahan Spanyol dan Amerika di Filipina, pada saat Filipina dikuasai Spanyol lebih dari 300 tahun lamanya, sampai akhir abad ke-16, pulau-pulau yang dikuasai terhubung erat dengan Kerajaan Spanyol, bahkan dihubungkan dengan jajahan Spanyol di Mexiko yang jauh melintasi samudera Fasifik. Kemudian ketika penjajahan dilanjutkan oleh Amerika Serikat-setelah Perang Amerika-Spanyol 1898-- penduduk Filipina mayoritas menjadi pemeluk Agama Kristen Katolik dengan menggunakan Bahasa Inggris-Amerika sebagai lingua-francanya. Tarmasuk kasus Timor-Timur di wilayah Indonesia, sampai tahun 1975 Spanyol menjalankan politik asimilasinya di Timor-Timur, yang dijadikan modal budaya dalam membantu penduduk Timor-Timur melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (King dan Wilder, 2012:7). Sejalan dengan hal ini, politik asosiasi Jepang di Jawa dapat dipahami dalam program “Nippon’s Islamic grass-roots policy”, dimana para petinggi Islam dipersatukan dalam “Shumubu” (Kantor Urusan Agama pada zaman Belanda). Jepang dengan memainkan kekuasaan, mulanya Kantor Urusan Agama ini dipimpin oleh Kolonel Horei, kemudian diganti oleh Prof. Hoesein Djajaningrat seorang sejarawan dan militan Islam kenamaan, bangsawan dihormati di Jawa. Pejuang yang tergabung dalam pasukan Hisbullah di bawah Sabillilah, menjadi berasosiasi dalam melawan Belanda dan Sekutu. Politik ini berhasil baik, karena telah ikut membela kelangsungan kekuasaan penjajah Jepang di Jawa (Maarif, 1988:20-21). Dari latar belakang di atas maka disertasi ini fromulasikan dalam sebuah judul “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”. 8 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasahan, sebagai berikut. 1.2.1 Mengapa kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan Baliseering menggunakan pendidikan baik formal maupun nonformal sebagai agen pengideologian di Bali Utara? 1.2.2 Bagaimana proses Baliseering khususnya dalam struktur dan kultur melalui pendidikan formal maupun nonformal di Bali Utara? 1.2.3 Bagaimana implikasi kebijakan Baliseering dalam struktur dan kultur pendidikan di Bali Utara era globalisasi? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk membongkar genealogi atau latar belakang ideologi Baliseering; proses pengidiologian Baliseering baik formal maupun nonformal dengan pendidikan di sekolah sebagai agennya, serta implikasi ideologi Baliseering di Bali Utara era globalisasi. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Membongkar latar belakang (genealogi) ideologi yang tersembunyi di balik kebijakan Baliseering dalam bidang pendidikan formal maupun nonformal zaman kolonial Belanda di Bali Utara. 2. Membongkar proses Baliseering dalam struktur dan kultur melalui pendidikan formal maupun nonformal zaman kolonial Belanda di Bali Utara. 9 3. Membongkar implikasi Baliseering dalam pendidikan formal dan nonformal di Bali Utara era globalisasi. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti pada pengembangan teori kritis, di Lembaga Program Kajian Budaya, khususnya dalam pengembangan konsep kolonisasi, ideologi, genealogi pengetahuan, pendidikan kritis, dan hegemoni di masyarakat Bali. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, sebagai berikut. 1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan penyempurnaan sistem pendidikan formal maupun nonformal, adat-istiadat, seni, budaya, dan hinduisme di Bali. 2. Hasil penelitan ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat, sekolah, dan mahasiswa yang berkepentingan terhadap hasil penelitian ini. 3. Keterbatasan hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan inspirasi, dan dorongan bagi peneliti lainnya untuk menutupi dan menyempurnakan keterbatasan penelitian ini.