Home & Living Tampak depan. Menebak Hati di eBay Sebuah blog yang bersifat personal dibundel dalam sebuah buku. Jendela Buku, hal 19 HALAMAN 17 SABTU, 6 NOVEMBER 2010 MI/AGUNG WIBOWO Lobi dengan focal point meja marmer bundar. Ruang luar antarselasar. FOTO-FOTO: DOK. WWW.ROEMAHKOE.COM Warisan Kemewahan Gaya Kolonial Clara Rondonuwu Sebuah latar kolonial dihidupkan lagi di tengah-tengah perkampungan batik di Surakarta melalui revitalisasi sebuah rumah mewah milik saudagar Laweyan masa lalu. R OMANTISME klasik melekat di teras bekas kediaman seorang saudagar batik Laweyan. Sebuah bangunan kolonial beratap limasan dengan beranda rindang yang atapnya ditopang pilar bulat. Lantai berandanya ditutup tegel kuno berhias kaca-kaca patri pada jalusi dan jendela. Terasnya diisi sederet kursi kuno model becak. Sementara selasarnya menjadi satu dengan kerimbunan sebuah taman kecil. Air berembus sepoi-sepoi di sana. Kolam dengan ikan-ikan air tawar mengisi landasan jalan setapak taman. Atmosfer ruang berpadu gemericik air yang menggelitik telinga membangun suasana menenteramkan, mengaburkan kenyataan bahwa posisi bangun an yang merangkap industri rumahan batik tersebut persis di tengah kebisingan Jalan Dr Radjiman, Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Bangunan ini dibangun di atas lahan seluas 2.000 m2 pada 1938. Pemilik pertama, Hajjah Pusposumarto, seorang saudagar batik paling kaya di Kecamatan Laweyan. Rumah dan tanahnya merentang dari gang sebelah timur sampai gang sebelah barat kampung batik Laweyan. Pada 2000, seluruh aset dibeli Nina Akbar Tanjung. Rumah antik tersebut diubah konsep menjadi rumah makan, berikut bed & breakfast--sebuah model penginapan gaya kekeluargaan yang populer di Inggris mulai Perang Dunia II. Renovasi dilakukan dengan menjaga keaslian rumah dan dekorasi tempo dulu. Roemahkoe Heritage Hotel, demikian namanya sekarang. Bangunan ini menaungi 14 kamar tidur, 3 di antaranya peninggalan asli dilengkapi ranjang besi milik sang saudagar. Sentong dan krobongan Tampak depan bangunan, yang mewah pada masanya, dilengkapi sepasang pintu kayu untuk masuk ke pekarangan. Pintu-pintu itu menempel pada gerbang tunggal bergaya retro. Tebalnya kira-kira 40 sentimeter dibangun dari batu kali, sebagai pembatas tegas antara Dipelihara Pengunjung di Restoran Laras yang berinterior kolonial. Pintu masuk ruang baca di salah satu sisi bangunan utama. pekarangan dan jalur pejalan kaki di tepian jalan raya. Saat masuk, wajah art-deco kentara. Dua pilar bulat berdiri di tiap-tiap sisi dengan dua lengkungan di atasnya. Itulah portal menuju lobi lapang, setengah terbuka, yang berpusar pada sebuah meja marmer bulat dengan vas bunga besar. Dinding-dinding ruangnya tampak kokoh, dihiasi ornamen kaca berwarna dan paduan elemen kayu jati hingga nuansa jadi kental dengan cita rasa Jawa. Linier dengan ruangan ini, melewati sebuah pintu jati, sampailah kita pada ruangan dengan pilar-pilar jati berhias ukir klasik. Ruang satu ini, yakni krobongan, identik dalam organisasi ruang pada rumah tradisional Jawa dan menjadi yang ada di Indonesia. Awalnya, pemerintah Belanda membangun rumah berderet yang berhadapan dengan kanal--seperti deretan rumah khas Belanda yang menghadap sungai di Eropa sana--serta dinding-dinding yang masif sebagai pembatas. Mereka menilai konstruksi ini dapat melindungi penduduk dari penyakit-penyakit yang dianggap disebabkan udara tropis. Nyatanya, kanal yang dibangun berhadapan dengan konstruksi rumah berderet Selasar sebagai ruang makan. FOTO-FOTO: MI / CLARA RONDONUWU Sentong tengah yang tetap dijaga. Area ini betul-betul dijaga seperti saat ditinggalkan.” Sugi Utomo Pengelola bangunan sentral keseharian. Selain sakral, krobongan juga dianggap sebagai area pusat dari seluruh ruang. Seumpama mimbar pengantin, lantai tengah krobongan lebih tinggi dari sekelilingnya. Ciri sebuah struktur feodal yang berkembang di Jawa. Tamu dengan derajat tinggi akan duduk di lantai yang levelnya lebih tinggi. Sebagai latar, terlihat lemari Beradaptasi dengan Iklim PADA abad ke-16 dan 17 mulai banyak bangunan di Indonesia yang berkonstruksi dinding batu, seperti dibangun pemerintahan kolonial Belanda waktu itu. Sebelumnya, mayoritas rumah di Tanah Air dibangun dengan material kayu, kecuali bangunan-bangunan besar yang berkaitan dengan religi dan istana. Selama hampir dua abad, pemerintahan kolonial tidak berusaha banyak melakukan adaptasi arsitektur asli Eropa-nya dengan iklim tropis Sri kerap datang berkunjung. Itu sebabnya penghuni biasa meletakkan sesajen sebagai penghormatan agar senantiasa diberi hasil padi melimpah dan rumah tangga yang sejahtera. “Area ini betul-betul dijaga seperti saat ditinggalkan. Kristal tua yang dipajang, juga guci antiknya, memang koleksi pemilik lama. Sebagian besar belum berubah posisi,” kata Sugi Utomo, pengelola bangunan tersebut. Meski ruang ini hening dan terkesan mistis, sepasang jendela empat daun lengkap dengan engsel tua melancarkan sirkulasi udara. MI / CLARA RONDONUWU jati tempat menyimpan guling dan bantal-bantal putih dengan hiasan perak. Apa yang tampak seperti lemari tersebut dulunya sekat untuk sentong tengah, area yang diperlakukan sebagai tempat paling suci dalam rumah. Sentong tengah dalam kosmologi Jawa dianggap menduduki tempat terbaik. Di tempat ini dipercaya, Dewi rapat dengan dinding masif justru menjadi masalah. Sampah menumpuk dan menjadi sumber penyakit, termasuk malaria dan disentri kala itu, seperti dikutip dari Wikipedia.org. Rupanya pemerintah kolonial mau belajar bagaimana membuat rumah bisa terasa nyaman dalam iklim tropis, tak sekadar menerapkan kebiasaan rancang bangunnya di Eropa yang iklimnya berbeda. Bertahun-tahun kemudian, Belanda mulai mengadaptasi gaya arsitektur aslinya dengan elemen-elemen bangunan lokal. Termasuk mengubah lisplang atap menjadi lebih panjang sebagai antisipasi hujan, atau merancang beranda dan serambi bertiang, lengkap dengan jendela-jendela lebar serta bukaan-bukaan yang maksimal Sebagai area tengah, krobongan dan sentong dikelilingi koridor berbentuk U yang merupakan bagian belakang dari rumah utama. Di dua sisi luarnya berdiri bangunan memanjang yang dulunya digunakan untuk menampung pekerja dan keluarga besar sang saudagar. Los ini lalu direvitalisasi oleh pengelola untuk memuat 11 kamar deluxe. Hasilnya tetap memukau. Langit-langitnya tinggi, kamar tidur juga dipersejuk jendela antik berkusen lebar. Nuansa antik diperkuat foto-foto lama yang dibingkai sempurna berpadu lukisan kontemporer di dinding luar kamar. Di bagian paling belakang bangunan terdapat rumah makan, Restoran Laras. Posisinya diapit dua kamar tidur utama, dengan dominasi furnitur jati antik. Seperangkat gamelan Jawa yang ditempatkan di bagian yang menempel dinding pembatas bangunan paling belakang menghidupkan kesan ruang tradisional sekaligus ramah. Sepasang pintu gerbang belakangnya juga masih dipelihara, dulunya merupakan akses langsung menuju tempat industri batik kepunyaan saudagar. Sekarang, itulah gerbang menuju gang kecil kampung batik Laweyan. Dalam nuansa kolonial berpadu tradisi, Roemahkoe menjadi oase yang patut dirayakan. Ia menunjukkan, revitalisasi bangunan bisa dilakukan tanpa harus menghapus jejak masa lalunya. (M-3) miweekend@ mediaindonesia.com untuk dijadikan ventilasi. Rumah-rumah besar berbentuk vila lalu bermunculan mulai abad ke-19. Vila-vila itu merupakan contoh-contoh awal bangunan kolonial yang menerapkan elemen-elemen arsitektur Indonesia sekaligus adaptasi terhadap iklim, termasuk plafon yang tinggi menjulang dan bukaan-bukaan lebar. Bentuk dasarnya, secara umum, adalah tata ruang memanjang serta penggunaan struktur atap berbentuk joglo dan limasan. Dua bentuk atap ini aslinya dikenal dalam bangunan model Jawa. Bangunan kolonial memadukannya dengan elemen dekoratif seperti kolom-kolom neoklasik di sekeliling beranda. (Wey/M-1)