Menjauhi Sikap Ghuluw Oleh: Muhsin Hariyanto Karena ‘kepicikan’ di dalam memahami agama, tidak sedikit orang Islam yang gagal memahami esensi ajaran Islam melalui sumber-sumbernya otentiknya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Disebabkan oleh sikap mereka yang yang terlalu cepat berpuas diri dengan sikap ‘taqlîd‘-nya, mereka pun terjebak untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan cara mengamini dan (bahkan) mengimani pendapat seseorang, para ustadz, atau kitab-kitab tertentu tanpa sikap kritis. Atau bahkan ‘ada’ di antara mereka yang memahami agama (baca: Islam) dengan mengikuti kemauan hawa nafsu dan akal pikiran (bebas tanpa batas) tanpa sikap jujur dan terbuka untuk merujuk pada metodologi yang tepat. Yang pada akhirnya, mereka pun bisa terjebak pada sikap “ghuluw” (berlebih-lebihan, over-dosis, atau dalam bahasa gaul anak muda: ‘lebay’). Berkait dengan fenomena ini, dalam sebuah acara kajian hadis, penulis pernah menemukan peringatan keras Rasulullah s.a.w. terhadap sikap “ghuluw” ini. Beliau bersabda: . (Berhati-hatilah kalian dari perbuatan ghuluw dalam menjalankan agama ini, sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian disebabkan ghuluw dalam menjalankan agama). (HR. an-Nasa’i 2/49, Ibnu Majah 2/242, Ibnu Khuzaimah 1/282/2, Ibnu Hibban no. 1011, Al-Hakim 1/466, Al-Baihaqi 5/127, dan Ahmad 1/215, 347, dari Abdullah bin Abbas r.a.. Dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1283) Ghuluw adalah sikap atau perbuatan yang berlebih-lebihan di dalam perkara agama sehingga melampaui apa yang telah ditetapkan melalui batasan syari’at baik berupa keyakinan ataun pun perbuatan. (Lisân al- ‘Arab, 15/131) Dalam terminologi syari’at, ghuluw bermakna berlebih-lebihan dalam suatu perkara dan bersikap ekstrem padanya dengan melampaui batas yang telah disyariatkan. (Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, 13/291 Ghuluw secara umum terbagi menjadi dua macam: al-ghuluw al-i’tiqâdi (berlebihan dalam hal aqidah/keyakinan) dan al-ghuluw al-‘amali (berlebihan dalam perbuatan). (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ ash-Shirâth al-Mustaqîm, 1/253), yang dalam wujud nyatanya bisa berbentuk empat macam: Pertama, tanaththu’ (melampaui batas). Sebagaimana pernyataan ‘Abdullah ibn ‘Abbas r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: halaka al-mutanaththi’ûn (celakalah orang-orang yang melampaui batas), dan mengulanginya sebanyak tiga kali” (Hadis Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, dalam Kitâb al-‘Ilm, 13/154, no. 4823. Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, Kitab as-Sunnah, 12/212, no. 3992) Kedua, tasyaddud (memberatkan diri). Seperti pernyataan Abu Hurairah s.a.w., bahwa s.a.w. telah bersabda: “Sesungguhnya agama ini adalah mudah, dan tiada seorang pun yang mencoba untuk menyusah-nyusahkan diri di dalam perkara agama ini melainkan dia pasti akan gagal.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Kitab al-Îmân, 1/69, no. 38) Ketiga, i’tidâ’ (melampaui ketetapan syari’at). Sebagaimana peringatan Allah: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Maksudnya: Itulah batasan yang telah ditetapkan oleh Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia supaya mereka bertaqwa.” (QS al-Baqarah/2: 187) Keempat, takalluf (memaksakan diri dengan mengada-adakan sesuatu). Seperti peringatan Allah: “Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah aku Termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Maksudnya: “katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mengadaadakan.” (QS Shâd/38: 86). Beragam bentuk implementasi ghuluw itu bisa mewujud menjadi dua macam: Pertama, ghuluw dalam bentuk keyakinan (i’tiqâd). Misalnya: menganggap Nabi Muhammad s.a.w. hidup di dalam kuburnya sehingga mampu memperkenankan doa bagi orang yang datang berdoa di atas kuburnya. Atau menganggap orang-orang shalih tertentu sebagai seseorang yang ma’shum (tidak berdosa). Bahkan ada orang Islam yang menganggap sebagian orang shalih tertentu mampu meraih maqam (derajat) ketuhanan, seperti yang berlaku di dalam kelompok Syi’ah tertentu terhadap Ali bin Abi Thalib. Kedua, ghuluw dalam tindakan (termasuk di dalamnya ghuluw dalam ucapan). Misalnya, dalam bentuk tindakan, karena ingin menuruti sikap was-was ketika hendak beribadah, ketika berwudhu‘; karena belum yakin terhadap keabsahan wudhu’nya, seseorang bisa saja mengulangi pengusapan kepalanya berkali-kali hingga ia meyakini keabsahannya. Atau, dalam bentuk ucapan, seseorang dengan tergesa-gesa menyatakan “takfîr” (mengafirkan orang lain) tanpa pijakan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.. Namun demikian, ketika berupaya untuk menjauhi sikap ghuluw, jangan sampai kita terjebak ke dalam sikap meremehkan agama (taqshîr). Jadikan diri kita menjadi seseorang yang bersikap mutawassith (moderat). Berdiri si antara sikap taqshîr (meremehkan agama) dan sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Meskipun pilihan ini adalah sebuah pilihan yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Mulailah berislam dengan sikap ridha. Kuatkan keikhlasan, kejujuran dan kecerdasan kita untuk memahami dan mengamalkannya, insyaallah – pada akhirnya — kita akan menggapai ridha-Nya. Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Agama Islam UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta