Peran SGRC UI (Support Group and Resource Center) for Sexuality Studies Universitas Indonesia dalam menyediakan akses terhadap Pendidikan Seksual untuk Masa diantara Remaja Akhir - Dewasa Muda. Nadya Karima Melati dan Ferena Debineva Universitas Indonesia Abstract: This study describes how SGRC UI (Support Group and Resource Center) for Sexuality Studies as a student organization formed by a group of students at the University of Indonesia who have a concern for the lack of sexual education and gender issues to emerging adulthood in Indonesia. Education provided by this organization are done in two ways; The first, faceto-face with peers + discussion on online media, and secondly by giving education which is done through a variety of SGRCUI’s programs using the theory of peer group and adjust the characteristics of emerging adulthood who subscribes to the theory different characteristics of generation Y and Z. This study uses observation as part of the research with the use of qualitative methods to prove that the work and actions used by SGRC UI to provide an effective education on gender and sexuality issues. The effectiveness of work and this action caused by the main factor which consists of: (1) the use of analysis of characteristics of the object and the subject of considerable work and (2) further understanding related to the method of dissemination of information that will be used by emerging adults as the subject and organizational action. Abstrak: Penelitian ini menjelaskan bagaimana SGRC UI (Support Group and Resource Center) for Sexuality Studies sebagai organisasi mahasiswa yang dibentuk oleh sekumpulan mahasiswa di Universitas Indonesia yang mempunyai kepedulian terhadap minimnya pendidikan seksual dan isu gender terhadap masyarakat muda di Indonesia. Pendidikan yang disediakan oleh organisasi ini dilakukan melalui dua cara; pertama, tatap muka melalui teman sebaya dan diskusi dalam media online, dan kedua dengan cara memberi edukasi yang dilakukan melalui beragam program SGRC UI menggunakan teori peer group dan menyesuaikan karakteristik masa diantara yang berpijak pada teori perbedaan karakteristik generasi Y dan Z. Penelitian ini menggunakan metode observasi sebagai bagian dari penelitian dengan penggunaan metode kualitatif yang membuktikan bahwa hasil kerja dan tindakan yang digunakan SGRC UI untuk memberikan pendidikan gender dan seksualitas yang efektif. Efektifitas kerja dan tindakan ini disebabkan oleh faktor utamanya yang terdiri dari: (1) penggunaan analisis karakteristik objek dan subjek kerja dan (2) pemahaman lanjutan yang cukup terkait dengan metode penyebaran informasi yang akan digunakan individu pada masa diantara sebagai subjek kerja dan tindakan organisasi. I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dengan siapakah de1wasa muda lebih banyak menghabiskan waktunya? Teman sebaya atau peer seharusnya merupakan jawaban yang tepat. Peer-group atau kelompok teman sebaya merupakan bagian penting dalam kehidupan dewasa muda. Hal itu terlihat jelas dari banyaknya dewasa muda, yang memiliki atau membentuk peer-group. Dalam peer-group, setiap individu yang terlibat didalamnya melakukan pertukaran informasi yang bergerak dengan cepat. Dewasa muda cenderung akan lebih senang dan merasa lebih nyaman untuk bertanya kepada rekan sebayanya dibadingkan dengan rekan atau bagian dari relasi sosialnya yang jauh berbeda usia dengannya. Dewasa muda cenderung merasa rekan-nya dapat lebih mengerti dan memahami kondisi yang terjadi pada dirinya sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh usia yang hampir sama, serta minat dan keingintahuan yang sama terhadap sesuatu hal. Sayangnya, beberapa informasi yang dimiliki atau diberikan oleh teman sebaya belum tentu tepat, terutama informasi mengenai pendidikan seksual. Sejak dini, seorang anak di Indonesia cenderung ditanamkan untuk tidak mengetahui apapun mengenai diri, tubuh dan organ seksualnya, kecuali di mata pelajaran Biologi mengenai reproduksi yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar. Pertanyaan seperti “darimana aku lahir?” dan “bagaimana adik bisa ada di perut ibu?” membutuhkan bertumpuk-tumpuk buku untuk memberikan panduan jawaban kepada anak. Jawaban “seperti disengat lebah”, atau “dikirimkan oleh burung bangau” adalah jawaban ala cerita dongeng, yang dalam beberapa kasus, dipercayai sebagai suatu hal yang tepat. Informasi tambahan yang akan memberikan informasi komprehensif mengenai seksualitas, dianggap sebagai upaya cabul individu yang kemudian akan dilanjutkan dengan ancaman perilaku yang tidak terpuji atau diancam dengan kata “dosa” dan harus ditampilkan seperti dalam beberapa program di channel National Geography. Informasi yang salah ini ataupun akses yang ditutup menyebabkan dewasa muda mencari informasi melalui rekan-rekannya berdasarkan apa yang 1 Agar memudahkan penulisan, penulis menggunakan terminologi dewasa muda untuk menggantikan kata individu pada masa diantara sebagai translasi dari kata emerging adulthood rekan-rekannya dengar/ketahui, dimana informasi rekan-rekannya tersebut, pun, minim kebenaran. Kita masih bisa menemukan pertanyaan “apakah jika berenang bersama bisa hamil atau tertular HIV” atau “adakah aktivitas seksual lain yang bisa dilakukan untuk mencegah kehamilan” atau “bagaimana membeli dan memakai kondom yang benar.” Seks masih dianggap tabu, keterbukaan tentang seks dianggap tidak pantas bagi budaya timur, adalah hal yang natural dipelajari ketika individu sudah berajak dewasa. Pun anak malu bertanya tentang seks, dan orang tua yang tidak dibekali pendidikan yang cukup juga tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya seputar seks dan kesehatan alat reproduksi. Kasus penyakit menular seksual (PMS), kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), dan aktivitas seksual yang terekam/direkam video bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Begitupula KTD, yang mengakibatkan banyaknya anak perempuan putus sekolah, dan video aktivitas seksual yang dilakukan anak di bawah umur baru-baru ini di Jawa Timur. Bahkan pernikahan dini adalah salah satu isu sosial yang mengancam setiap generasi di Indonesia tanpa kecuali. Derasnya arus informasi, menyebabkan titik tolak kebenaran tentang informasi semakin sulit diakses, dan hal tersebut menambah kerentanan generasi untuk melakukan filter dalam akses melalui media internet dan untuk melihat sebuah gejala sebagai suatu hal yang berkaitan dan berkesinambungan. Maka, pendidikan seksual yang komprehensif menjadi penting untuk dilakukan. Dan pendidikan seksual tersebut dapat dilakukan melalui kelompok sebaya sebagai sebuah alternatif untuk memberikan informasi-informasi tersebut. Generasi memiliki karakteristik dalam menanggapi fenomena yang terjadi pada tahun kelahirannya. Perbedaan tahun kelahiran merupakan salah satu penyebab antar generasi memiliki perilaku informasi yang berbeda, sebab setiap generasi hidup pada era perkembangan jaman yang berbeda, termasuk perkembangan teknologi informasi. Douglass McGragor, adalah tokoh yang merumuskan perbedaan dan karakteristik perilaku ekonomi masyarakat berdasarkan tahun kelahirannya. Dalam bukunya, The Human Side of Enterprise yang dikeluarkan di tahun 1960 yang menjadi pijakan ilmu studi Economic Behavior membagi ciri khas setiap kelompok masyarakat melalui generasi lahirnya. Setiap generasi memiliki karakteristik dan ciri khas dari zamannya masing-masing, meskipun Douglass McGragor hanya menjelaskan perilaku bekerja generasi X dan Y dalam tempat kerja. Makalah ini mengambil teori perbedaan karakteristik generasi untuk melihat beda cara edukasi seksual. Pada tahun 2015 ini, generasi muda (anakanak dan dewasa muda) di dominasi oleh anak-anak kelahiran tahun 2005-1996 usia 10 s/d 18 tahun disebut juga generasi Z atau post-milennia yang sangat akrab dengan teknologi dan internet. Makalah ini akan menjelaskan bagaimana generasi kelahiran akhir tahun 1990an yang melakukan pendidikan seksual terhadap generasi satu dekade selanjutnya yang memiliki karakteristik terbuka terhadap akses informasi ini digunakan untuk melakukan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi yang dicontohkan oleh SGRC UI. SGRC adalah singkatan dari Support Group and Resource Center for Sexuality Studies yang merupakan Studi Klub yang dibentuk oleh sekumpulan mahasiswa Universitas Indoenesia yang pada awalnya bertujuan utnuk melakukan pendidikan seksual dengan mempelajari dan berbagi dengan teman sebaya. SGRC menggunakan internet untuk menyerap informasi tentang seksualitas dan gender secara ilmiah dan kemudian informasi tersebut disebar luaskan untuk internal dan khalayak umum. Untuk internal SGRC melakukan pembahasan melalui diskusi dwiminguan dengan nama Arisan sedangkan untuk pendidikan seksual dan gender, SGRC menggunakan sarana ask.fm sebagai media sosial yang digunakan sosialisasi pendidikan seksual, gender, dan reproduksi seksual. Ask.fm dipilih karena setiap generasi menggunakan media sosial yang berbeda-beda. Misal, generasi 1990an akan menggunakan mIrc, Friendster, Facebook, Twitter. Setiap media sosial berkembang per-dekade dan SGRC memilih media sosial yang paling banyak digunakan dewasa muda yang berkembang pada zaman tersebut. I.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan diatas, makalah ini berusaha menjawab bagaimana cara SGRC memberikan pendidikan seksual terhadap dewasa muda. Untuk menjawabnya, penulis merumuskan tiga pertanyaan penelitian untuk membantu menjawabnya: 1. Apa yang dimaksud dengan teori peer-group dan karakteristik generasi? 2. Bagaimana kesesuaian kegiatan SGRC dengan menggunakan teori peer-group dan penyesuaian karakteristik pada dewasa muda pada generasi saat ini? 3. Sejauhmana aktivitas dan program SGRC efektif dalam menambah pengetahuan individu dewasa muda dalam isu seksualitas dan gender. I.3 Metodologi Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipatorif, artinya peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari objek penelitian yang ditujukan. Adapun yang dimaksud penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan data kualitatif yang bersifat deskriptif, yang dikumpulkan melalui berbagai macam cara seperti observasi, wawancara, rekaman, intisari dokumen, dan diproses melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih-tulis (Poerwandari, 1998). Penelitian kualitatif secara khusus berorientasi pada eksplorasi, penemuan, dan logika induktif. Dengan logika induktif maksudnya, peneliti tidak membatasi penelitian pada upaya atau menerima dugaan-dugaan, melainkan mencoba untuk memahami situasi yang ada (Poerwandari, 2001). Selain itu, penelitian kualitatif memungkinkan pemahaman yang utuh atau holistik akan suatu fenomena, serta mampu menampilkan suatu obyek studi secara mendalam dan detail sehingga dapat diperolehnya gambaran yang lengkap dan komprehensif tentang suatu obyek studi (Poerwandari, 2001). Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan observasi terhadap kegiatan-kegiatan SGRC baik secara tatap muka yaitu Arisan dan mengamati ask.fm, dan blog SGRC yang menjadi tempat SGRC memberikan pendidikan seksual . I.4 Asumsi Pendidikan seksual yang dilakukan SGRC cukup efektif karena pengurus dan anggota SGRC berusia 25-18 tahun dan menggunakan media yang tepat digunakan oleh dewasa muda sekarang. I.5 Tujuan Tujuan ditulisnya Makalah berjudul “Peran SGRC Support Group and Resource Center dalam Melakukan Pendidikan Seksual terhadap dewasa muda” adalah untuk mengetahui bagaimana cara melakukan pendidikan seksual yang tepat terhadap dewasa muda generasi Y dan Z. I.6 Sistematika Penulisan Makalah ini akan disajikan dalam empat bab yakni, BAB I PENDAHULUAN yang menjelaskan mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah, Metodelogi Penelitian, Tujuan Penelitian, Asumsi dan Sistematika Penulisan BAB 2 LANDASAN TEORI akan memaparkan teori yang digunakan dalam penelitian ini yakni Peer Group Theory dan penjelasan konsep Karakteristik Generasi BAB 3 OBSERVASI akan menjelaskan kegiatan yang dilakukan SGRC secara online dan tatap muka BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN II. LANDASAN TEORI II.1 Peer Group Steinberg (1999) mendefinisi teman sebaya atau peer sebagai kelompok- kelompok orang dengan usia yang sama yang menghabiskan kebanyakan waktu mereka bersama-sama. Sementara itu, Beverly Fehr (1996, dalam Miller, Perlman, & Brehm, 2007) mendefinisikan pertemanan atau friendship sebagai sesuatu yang terjadi secara sukarela, hubungan yang personal, secara khusus menyediakan kedekatan, dan bantuan oleh teman, di mana kedua pihak saling menyukai dan senang bertemu. Steinberg (1999) mendefinisikan peer group sebagai sekelompok anakanak atau dewasa muda yang biasanya berasal dari tingkat taraf perkembangan yang sama, melakukan aktifitas yang sama dan saling berhubungan satu sama lain (groups of people of the same age who spend most of their time together— have come to play an increasingly important role in a socialization and development of teenagers). Peraturan di peer group menjadikan berkembangnya kebudayaan dalam suatu kelompok. Steinberg (1999) juga mengemukakan bahwa peer group terbagi menjadi dua jenis, yaitu clique dan crowd. Clique berjumlah dua hingga dua belas orang, sementara crowd umumnya berjumlah lebih dari dua belas orang. II.1.1 Fungsi Peer Group Menurut Csikszentmihalyi, Larson, dan Prescott (dalam Steinberg, 1999), dewasa muda Amerika menghabiskan lebih banyak waktu untuk berbincang dengan peer mereka setiap hari dibandingkan dengan waktu untuk melakukan hal lain. Sejalan dengan pendapat tersebut, Brown (dalam Steinberg, 1999) mengungkapkan bahwa dewasa muda menghabiskan waktu dua kali lebih banyak bersama peer daripada bersama orang tua atau orang dewasa lainnya setiap minggu. Sementara itu, Dacey (2002) mengemukakan bahwa peer group berfungsi sebagai media pembentukan identitas atau jati diri dari dewasa muda. Selain itu, peer group memberikan kemampuan penilaian tentang diri sendiri yang berujung pada self esteem, dan memberi dukungan emosional serta sosial agar individu menjadi semakin bertanggung jawab sesuai peran yang dilakukannya dalam kelompok. Peer group juga mengontrol agresivitas individu, belajar untuk asertif, atau menjadi agresif melakukan kekerasan (bullying). Peer group juga dapat diartikan sebagai kelompok persahabatan. Oleh sebab itu, fungsi persahabatan juga dapat dikaitkan dengan fungsi peer group. Menurut Santrock (2003), ada 6 fungsi dari persahabatan, antara lain: kebersamaan, stimulasi, dukungan fisik, dukungan ego, perbandingan sosial, dan keakraban atau perhatian. Fungsi kebersamaan meliputi banyaknya waktu yang dihabiskan seseorang bersama dengan teman, sedangkan stimulasi merupakan fungsi persahabatan sebagai media untuk memperoleh informasi dan bersenangsenang. Di sisi lain, dukungan fisik berupa pemberian bantuan material, sedangkan dukungan ego berkaitan dengan status dan diakuinya keberadaan seseorang di antara kelompok persahabatan. Sementara itu, perbandingan sosial merupakan fungsi persahabatan untuk memberikan informasi tentang masyarakat, sedangkan keakraban berhubungan dengan keakraban atau fungsi untuk berbagi informasi yang bersifat pribadi. II.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pembentukan Peer Group Berdasarkan karakteristik anggotanya, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pembentukan peer group. Menurut Steinberg (1999), anggota peer group, biasanya memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan yang pertama adalah usia atau age segregation. Hal ini umumnya disebabkan oleh struktur sekolah atau lembaga pendidikan yang menempatkan anak atau dewasa muda sebaya dalam satu kelas. Kesamaan yang kedua adalah jenis kelamin. Pada awal atau menengah masa dewasa muda, anggota suatu peer group umumnya memiliki jenis kelamin yang sama. Sementara itu, dua jenis kesamaan lainnya yang dapat ditemukan di antara anggota peer group adalah kesamaan kelas sosial (socialclass) dan ras (race segregation). Hollingshead (dalam Steinberg, 1999) menemukan bahwa dewasa muda umumnya memang berhubungan dengan teman sebaya atau peer dari kelas sosial yang sama. Sementara itu, Shrum, Cheek, dan Hunter (dalam Steinberg, 1999) mengemukakan bahwa di masa kanak-kanak, ras bukan faktor yang sangat menentukan dalam komposisi peer group. Namun, faktor ini semakin kuat ketika seseorang semakin dewasa, setidaknya di Amerika Serikat. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat empat faktor yang memengaruhi pembentukan kelompok sebaya. Faktor-faktor tersebut adalah kesamaan usia, jenis kelamin, kelas sosial, serta ras. II.2 Emerging Adulthood I’m not a teen, not yet an adult 2 menggambarkan dengan tepat bagaimana tahapan emerging adulthood terjadi. Yang dimaksud pada emerging adulthood menurut Arnett (2000) adalah konsep perkembangan baru yang berada pada rentang usia 18-25. Usia atau tahap perkembangan ini dianggap sebagai masa diantara antara remaja akhir dan dewasa muda. Emerging adulthood memiliki karakteristik yang berbeda dengan remaja akhir dan dewasa awal dalam segi pencarian identitas. Emerging adulthood hanya ada dalam budaya yang memungkinkan remaja memperpanjang masa independen dan melanjutkan masa eksplorasi selama remaja akhir di usia dua puluhan (Arnett, 2000). Perubahan masa diantara ini pun terjadi dan semakin panjang di setiap generasi termasuk generasi X, Y, Z, dan seterusnya. Masa ini mempunyai 5 fitur utama (Arnett, 2000): 1. Usia eksplorasi identitas, mencoba berbagai kemungkinan, terutama dalam cinta dan pekerjaan, 2. Usia yang penuh ketidakstabilan, 3. Usia dimana individu paling berfokus pada dirinya sendiri (self-focused), 4. Usia diantara (in-between), peralihan / transisi, bukan merupakan remaja dan bukan pula individu yang telah dewasa, 5. Usia peluang dan harapan, ketika individu memiliki kesempatan besar untuk mengubah hidup mereka. II.3 Generasi X, Y dan Z Perbedaan karakteristik antar generasi dalam prilaku ekonomi pertama kali diperkenalkan oleh Douglass McGregor dalam bukunya, The Human Side of Enterprise yang dikeluarkan di tahun 1960. Perbedaan generasi memberikan perbedaan pula pada perilaku akses informasi ilmiah pada setiap generasi. Masing-masing generasi memiliki persamaan maupun perbedaan perilaku pencarian informasi, seperti : pola pencarian informasi, prosedur pencarian informasi, pemanfaatan media-media akses informasi, baik media online, media elektronik maupun media cetak serta penggunaan sumber informasi seperti sumber formal, sumber informal dan sumber-sumber informasi lainya. Multigenerasi pada awalnya hanya menjelaskan pola prilaku generasi X atau 2 Diambil dari lagu Britney Spears - I’m not a girl, not yet a woman dikenal dengan generasi baby boomers dengan generasi Y. Generasi X disebut juga generasi tua yang lahir setelah perang dunia yang lahir pada akhir tahun 1960 hingga awal 1980 memiliki karakteristik pekerja keras, beradaptasi dengan teknologi. Generasi X melakukan pencarian informasi melalui cara yang dianggap konvensional, melalui buku secara offline. Generasi X kini menjadi orangtua dari generasi Y atau generasi Milennia. Generasi Y atau generasi Milennia, juga disebut sebagai generasi pertengahan yang berinteraksi dengan teknologi. Generasi Y adalah individu yang lahir pada tahun 1980 akhir sampai 1990 awal. Mereka bertumbuhkembang bersama teknologi. Metode pencarian informasi yang dilakukan oleh generasi ini berupa campuran online dan offline. Dalam interaksinya dengan internet (seeking dan searching), pencarian ingofmasi lebih didominasi searching informasi di dunia maya online dan melakukan seeking informasi di dunia nyata dan buku-buku sebagai referensi. Penulis dan anggota SGRC kebanyakan berasal dari generasi Y yang lebih adaptif dengan teknologi. Sedangkan generasi Z adalah generasi post-millenia. Mereka yang disebut sebagai generasi Z (Gen Z) ini adalah generasi yang lahir antara tahun 1994 sampai tahun 2009. Gen Z adalah individu yang sejak lahir sudah akrab dengan teknologi. Teknologi sudah ada setelah mereka lahir dan mereka sangat mudah menyesuaikan diri dengan teknologi apapun. Tidak heran, di usia yang sangat muda mereka sudah mahir dalam menggunakan gadget dan berbagai aplikasi lainnya. Generasi ini berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, seperti generasi generasi X (lahir 1965 – 1980) dan Y (lahir 1981 – 1995). Perbedaan paling tampak adalah ketertarikan Gen Z kepada perangkat gadget di usia yang masih sangat muda. Generasi Z ini yang disasar oleh SGRC untuk melakukan pendidikan seksual dan melalui media sosial yang paling banyak digunakan oleh mereka. Tidak hanya perangkat teknologi yang berubah sesuai generasi tiap jaman, media sosial yang dipakai juga berubah. Media sosial adalah wadah yang menghubungkan tiap-tiap individu dalam suatu networking dalam dunia maya. Trend media sosial juga selalu berubah dari waktu ke waktu. Banyak dari kita yang masih mengetahui media chatting MiRC yang berlanjut ke Friendster. Setelah tahun 2008 muncul Facebook dan Twitter. Kini, media sosial dan fitur chatting berintegrasi jadi satu dan melahirkan Path, Line, dan yang terbaru, Ask.fm. Setiap jenis Media Sosial menawarkan fitur yang berbeda dan setiap generasi beradaptasi dengan trend Media Sosial. mIRC misalnya, hanya berupa aplikasi chatting, Friendster hanya aplikasi yang menunjukan eksistensi dan setiap individu dipersilahkan menulis testimoni tentang pemilik akun, Facebook muncul dan menghubungkan semuanya ditambah fitur Wall dan Beranda yang menjadi sarana informasi individu untuk mengetahui secara langsung saat itu juga. Ask.fm merupakan media yang berisi tanya-jawab. Individu membuat akun yang merepresentasikan individu di media sosial tersebut dan memiliki dinding yang berisi hasil interaksi tanya-jawab individu dengan individu lainnya. Identitas individu bisa dirahasiakan melalui fitur ask anonymously. Seseorang dapat mengajukan pertanyaan untuk orang lain sebanyak 300 karakter tanpa harus mencantumkan nama atau ID miliknya atau memiliki akun ask.fm dan menjawab sebanyak 3000 karakter, memiliki pilihan untuk menyertakan sebuah gambar yang diunggah dalam setiap kolom jawaban, serta memberikan tautan jawaban yang dibagikan pada koneksi dengan akun media sosial lainnya seperti Twitter dan Facebook. Generasi Z terutama di daerah perkotaan lebih sering menggunakan ask.fm sebagai sarana interaksi. Layaknya selebtwit (selebriti twitter), muncul pula selebriti ask.fm yang disebut selebask yang didasarkan pada jumlah likes dan jumlah jawaban. Sebut saja selebriti ask.fm Marco Panari, Audrey, Paul Agusta, Pramasatya, dan Zara. SGRC juga memiliki website yang berisi hasil presentasi, hasil penelitian, kegiatan, dan artikel-artikel yang ditulis oleh anggota SGRC. Tentu saja blog ini khusus membahas tentang pendidikan seksual dan reproduksi, seksualitas dan gender. II.4 SGRC UI Support Group and Resource Center on Sexuality Studies, University of Indonesia (SGRC UI) didirikan untuk mengembangkan diri, mendukung penelitian dan pemahaman mengenai seksualitas secara umum, serta mempunyai kelompok dukungan terhadap individu terkait isu seksualitas, reproduksi, dan orientasi seksual. Seiring dengan berkembangnya isu mengenai seksualitas, pembahasan tentang seksualitas yang selama ini dianggap tabu sekarang menjadi topik yang penting dalam menjelaskan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. SGRC UI memiliki misi untuk bersama-sama: (1) menyediakan lingkungan yang aman bagi seluruh civitas akademika UI dan semua anggota masyarakat untuk mempromosikan, mendidik, dan mengembangkan program-program yang berkaitan dengan isu seksualitas, reproduksi, dan orientasi seksual. (2) menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang layak, informasi yang memadai, layanan advokasi, dan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang terbuka untuk mendukung seluruh civitas akademika UI yang berhubungan dengan isu seksualitas, reproduksi, dan orientasi seksual. (3) menyelenggarakan dan menyediakan pendidikan, pelayanan sosial, dukungan, dan sumber daya untuk meningkatkan kesadaran akan masalah yang terjadi di masyarakat terkait kesalahpahaman tentang seksualitas, reproduksi dan isu-isu orientasi seksual (4) mendukung misi Universitas Indonesia sebagai Universitas Internasional dengan mendukung dan menyegarkan penelitian khusus dalam studi seksualitas, reproduksi, dan orientasi seksual dan mengembangkan pusat informasiseksualitas terkait untuk mendukung arsip perpustakaan Universitas Indonesia. (5) membangun hubungan dengan organisasi dan komunitas lainnya dalam pengembangan individu dan masyarakat serta bekerja sama dalam mendidik bangsa. II.4.1 Kegiatan SGRC Observasi dilakukan selama bulan Januari 2015 sampai dengan bulan awal bulan Mei 2015. Pemilihan waktu disandarkan pada jadwal semester genap Universitas Indonesia. Peneliti memperhatikan kegiatan SGRC secara tatap muka yaitu Arisan. Arisan dilaksanakan setiap dua-minggu sekali sedangkan untuk online peneliti mengamati akun ask.fm, Twitter SGRC, dan blog SGRC UI. Berikut skema kegiatan SGRC UI II.4.1.1 Arisan Arisan sebagai ruang diskusi yang disediakan oleh SGRC dalam mengkaji beragam isu mengenai seksualitas dan gender diikuti oleh seluruh anggota. Kajian yang dipresentasikan oleh presenter yang merupakan anggota kelompok dipersiapkan secara matang dan diseminarkan dalam suatu simposium yang dinamakan arisan. Dengan meakanisme symposium yang terdiri dari: 1. Presentasi, 2. Pembahasan dari pembahas, dan 3. Feedback dan tanya jawab, menyebab munculnya informasi baru yang matang yang disiapkan sebagai informasi atau pengetahuan baru yang siap disebar luaskan pada para penerima manfaat. Penerima manfaat terdiri dari anggota dan masyarakat luas yang mereka akses melalui blog dalam bentuk tulisan. Simposium tersebut dikemas dalam bentuk kegiatan Arisan pada umumnya. Arisan dilaksanakan sebagai sarana berkumpul para anggota SGRC seluruh Universitas Indonesia. Anggota SGRC merupakan mahasiswa antar jurusan, fakultas, dan angkatan di Universitas Indonesia yang berlokasi di kampus Depok. Arisan dilaksanakan setiap dua minggu sekali dengan lokasi tempat yang berbeda-beda namun tetap dalam lingkungan kampus UI. Dalam arisan, pada pertemuan pertama disediakan dua undian yang satu berisi nama anggota dan kedua adalah pilihan topik yang ingin dibahas. Setiap pertemuan arisan kedua undian ini akan dipilih, individu tidak bisa memprediksi siapa akan mendapatkan topik apa. Nama dan topik yang keluar harus dipresentasikan pada arisan berikutnya. Total sudah sembilan pertemuan Arisan yang dilakukan SGRC sejak bulan Januari 2015. Topik arisan secara berurutan adalah : (1) why we need to talk about sex, (2) aseksualitas, (3) online dating, (4) priawan, (5) make up dan gender, (6) sex dan religion, (7) queerness in fanfiction, (8) biseksualitas, (9) sex toys, dan (10/upcoming) adalah poliamori. Topik bahasan untuk Arisan harus dibahas secara menggunakan metode ilmiah. Materi untuk presentasi bisa diambil dari shared digital library SGRC yang menggunakan aplikasi Dropbox. Dalam Dropbox tersebut seluruh anggota SGRC dapat sharing jurnal, artikel ilmiah, skripsi, tesis, maupun buku berbentuk e-book. Lalu, bagaimana tema-tema tersebut dapat mempengaruhi pengetahuan individu terhadap isu seksualitas dan gender? Meminjam metode case explanation, pertanyaan ini akan dijawab melalui deskripsi terhadap obeservasi subjektif peneliti dalam melihat proses dan hasil pembahasan tema dalam rangkaian kegiatan Arisan. Mekanisme kewajiban membahas isu yang diplot secara random menyebabkan setiap calon presenter memiliki peluang untuk wajib membahas isu tersebut dalam rangakaian kegaiatan arisan walaupun isu tersebut tidak diminati oleh si calon presenter. Presenter yang membahas isu tersebut wajib melakukan penelitian secara sederhana terhadap isu yang dibahas. Presenter wajib mencari informasi sebanyak mungkin mengenai sex toys baik di Internet maupun literature yang tersedia. Ketika presentasi telah selesai dilakukan, maka pembahas mencoba untuk mengisi kekurangan argumen maupun penejelasan mengenai isu tersebut. Pembahas juga memperluas pembahasan sehingga mampu memunculkan pembahasan baru bagi isu yang dibahas maupun pemahaman yang berbeda dengan presenter. Sesi tanya jawab kemudian dilangsungkan sebagai feedback dari isu yang dibahas. Sesi tanya jawab tidak hanya dilihat sebagai indikator ketidakpahaman anggota program terhadap isu, tetapi juga sebagai indikator tingkat kesadaran anggota terhadap isu yang tengah dibahas. Tingkat kesadaran ini yang kemudian ditransformasi sebagai bentuk sosialisasi sekaligus edukasi untuk membentuk pengetahuan bagi anggota bahwa tema sex toys tidak hanya menarik untuk dibahas dalam beragam ruang sosial tetapi juga sebagai salah satu pengatahuan yang dapat direfleksikan dan bahkan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak hanya berhenti sebagai pengetahuan dan informasi yang bergerak dimasing-masing anggota. Gerak informasi kemudian disebarluas melalui media blog untuk meraih outreach pada masyarakat luas terhadap pengetahuan tentang isu yang dibahas. II.4.1.2 Ask.fm SGRC Ask.fm adalah sarana edukasi online paling populer yang dimiliki SGRC. Ask.fm memang sengaja dipilih karena ask.fm adalah media social yang paling populer untuk para generasi Y dan Z. dalam ask.fm mempunyai fitur anonymous yang sangat pas untuk edukasi seksual. Kebanyakan anak muda malu bertanya tentang seksualitas karena dianggap tabu. Namun dengan menggunakan ask.fm, individu dimungkinkan untuk merahasiakan identitas dan tetap mendapat jawaban yang ilmiah dan tidak lagi mitos. Ada tiga orang admin akun SGRC semuanya adalah anggota dan pengurus SGRC dari berbagai fakultas dan jurusan di Universitas Indonesia yang saling bergantian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Jumlah pertanyaan yang telah dijawab saat ini adalah 933, pertanyaan yang belum dijawab 2.387 dengan jumlah pengikut sebanyak 5.288 dan likes 35.359 dan terkoneksikan via Twitter. II.4.1.3 Blog SGRC Blog dipilih SGRC karena pembuatannya murah dibanding web dan maintenance-nya lebih mudah dan user friendly. Blog memiliki fungsi yang sama dengan web untuk SGRC beralamat https://sgrcui.wordpress.com/ yang terdiri dari dua yaitu: (1).Bahasan tentang SGRC UI yang membahas struktur organisasi dan kepengurusan, afiliasi SGRC UI, dan bagaimana cara untuk menghubungi SGRC, (2). Tulisan Anggota dengan Kategori atau tag : Arisan, Artikel, Essay, Event, Undangan, Lomba, Media, Movie, News, Opini, Report, Research, Review, Seminar, Summary, Tulisan Anggota, dan Workshop. Blog SGRC UI diakses sebanyak 11.989 kali oleh 3.602 pengunjung dengan total post sebanyak 73 (selama Jan 2014 hingga Juni 2015) dengan rata-rata 2000 viewers setiap bulan. IV. Kesimpulan Anggota SGRC berusia 25-18 tahun kelahiran tahun 1990 sampai dengan 1997 jika merujuk pada teori karakteristik generasi. Pengurus maupun anggota SGRC masuk dalam kategori generasi Y dan Z yang akrab terhadap teknologi dan dimanja dengan derasnya arus informasi. Dari seluruh kegiatan pendidikan seksual yang dilakukan SGRC secara offline melalui Arisan menunjukan bahwa edukasi seksual melalui peer-group lebih efektif karena dewasa muda sangat akrab dan ketergantungan dengan peer-groupnya dan lebih terbuka dan tidak ada jarak dengan teman dibandingan dengan orangtua ataupun teman yang tidak sekelompok atauupun berbeda umur. SGRC melalui Support Group membentuk peer-group berdasarkan teman-teman sebaya dan sezaman sehingga pertukaran dan penyerapan informasi lebih mudah diterima. SGRC sebagai resource center juga berfungsi sebagai fasilitator yang memberikan refrensi ilmiah sehingga seksualitas menjadi ilmu pengetahuan dan bukan lagi mitos Sarana pendidikan online yang dimiliki SGRC pun diasuh oleh orang pada generasi yang sama sehingga SGRC memahami betul bagaimana para dewasa muda ini terselubung mitos dan hambatan rasa malu yang selalu muncul ketika bertanya tentang seksualitas. Karena penggurus dan anggota SGRC muda dan sejaman, SGRC mampu menemukan sarana teknologi dan cara yang baik dalam melakukan pendidikan seksual. DAFTAR PUSTAKA Arnett, J. J. (2000). Emerging Adulthood : A theory of Development from the Late Teens through the Twenties. American Psychologist, 55 : 469-480. doi : 10.1037//0003-066x.55.5.469 Dacey, J. S., & John, F. T. (2002). Human Development: Across The Life Span (5th ed.). USA: McGraw Hill, Inc. McCrindle, M. & Wolfinger, E. (2005). The ABC of XYZ: Understanding the Global Generation. New South Wales: University of New South Wales Press Miller, R. S., Perlman, D., Brehm, S. S. 2007. Intimate Relationship. New York: McGraw Hill Poerwandari, K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3 Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan dewasa muda (6th Ed.,). Jakarta: Penerbit Erlangga. Steinberg, L. (1999). Adolescence (Fifth Ed.). Boston: McGraw-Hill Companies, Inc. http://www.talentedheads.com/2013/04/09/generation-confused/ diakses pada hari senin, 22 Juni 2015 pukul 13.42