PROPOSAL PENELITIAN KEANEKARGAMAN TUMBUHAN ASING INVASIF PADA TIAP TIPE EKOSISTEM DI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) PROVINSI RIAU DAN JAMBI SAHRI MAIDA SINAGA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan kawasan perbukitan di tengah-tengah dataran rendah bagian Timur Sumatera yang mempunyai potensi keanekaragaman jenis tumbuhan endemik yang bernilai cukup tinggi. Kawasan ini ditunjuk oleh Menteri Kehutanan berdasarkan SK No. 539/Kpts-II/1995 dengan luas 127.698 hektar dan ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan SK No. 6407/Kpts-II/2002 berupa wilayah yang memiliki luas 144.223 hektar. TNBT merupakan Taman Nasional yang berada pada dua kabupaten yaitu Kab. Indragiri Hulu dan Kab. Indragiri Hilir serta dibawah pengeloalaan dua provinsi yaitu Provinsi Riau serta Kab. Bungo Tebo dan Kab. Tanjung Jabung, Provinsi Jambi. Tidak semua jenis tumbuhan yang terdapat di TNBT merupakan jenis tanaman asli melainkan terdapat juga tanaman asing yang merupakan hasil introduksi. Hal ini tidak terlepas dari adanya perkebunan sawit dan perkebunan akasia yang merupakan kegiatan penanaman di HTI seperti PT.Arara Abadi dan dua PT lainnya. Hal ini terjadi karena wilayah TNBT bersebelahan dengan PT tersebut. Spesies tumbuhan tersebut membawa dampak negatif karena bersifat invasif bagi tumbuhan lainnya. Namun belum ada penelitian mengenai jenis apa saja yang bersifat invasif di lokasi TNBT. Invasive Aliens Species (IAS) telah menjadi perhatian dunia, hal ini disebabkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan IAS yang tidak terkendali di lokasi tertentu sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi (Sunarya & Tihurua 2010). Beberapa studi telah melaporkan bahwa kerugian secara ekonomi yang ditanggung suatu negara akibat invasi spesies asing dapat mencapai 375 juta dolar per tahun, bahkan di Eropa dalam kurun waktu antara tahun 1988 sampai tahun 2000 kerugiannya mencapai 5 milyar dolar (Purwono et al. 2002). Menurut Mooney dan Cleland (2001) yang diacu dalam Prinando (2011) beberapa spesies asing invasif dapat mengubah jalur evolusi dari spesies lokal melalui kompetisi, pemindahan relung, dan akhirnya kepunahan. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa introduksi suatu spesies tumbuhan yang melewati batas geografis, baik disengaja maupun tidak, dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi komunitas tumbuhan di ekosistem yang baru. Hal ini menyebabkan keberadaan spesies tumbuhan asing invasif pada suatu habitat baru cenderung merugikan karena dapat mengancam ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Keberadaan spesies tumbuhan asing invasif pada habitat yang baru dapat menyebabkan homogenitas biotik dan pergantian spesies lokal dengan spesies tersebut (Olden et al. 2004 diacu dalam Prinando 2011). Keberadaan spesies tumbuhan asing invasif di TNBT perlu mendapat perhatian, sementara penelitian mengenai spesies ini belum banyak diungkap. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai spesies tumbuhan asing invasif tersebut, sebagai salah satu upaya preventif dalam melindungi keanekaragaman hayati di TNBT. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi komposisi dan keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasive di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) 2. Mengidentifikasi pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) 1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tumbuhan asing invasif yang terdapat di TNBT, sehingga dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah daerah sebagai upaya preventif dalam membuat kebijakan pengelolaan, pengembangan, pelestarian serta perlindungan spesies tumbuhan di TNBT. 1.4 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh tiap ekosistem terhadap spesies asing invasif yang muncul? 2. Berapa tinggi tingkat keragaman spesies asing invasive di kawasan TNBT? 3. Bagaimana pola sebaran spesies asing invasive tersebut dalam ekosistem di TNBT? 1.5 Hipotesis Dari rumusan masalah yang dikemukakan, maka didapatkan hipotesis sebagai berikut: 1. Tingginya keragaman spesies asing invasive tersebut akan berdampak negatif pada perkembangan tumbuhan lain. 2. Perbedaan tipe tiap ekosistem menyebabkan perbedaan spesies asing invasif yang terdapat di TNBT. 3. Terdapat keterkaitan antara pola sebaran spesies asing invasif terhadap pertumbuhan spesies asli pada habitat tersebut. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spesies Asing Invasive (IAS) Alien spesies merupakan spesies invasive yang akan mengancam keberlanjutan pembangunan. Spesies asing invasive dapat berupa hewan, tumbuhan, serta mikroba (UN 1992). Spesies asing invasif didefinisikan sebagai spesies yang bukan spesies lokal dalam suatu ekosistem, dan yang menyebabkan gangguan terhadap ekonomi dan lingkungan, serta berdampak buruk bagi kesehatan manusia (Campbell 2005). Dikemukakan pula oleh Kusmana C (20101) dalam Purnomo et al (2002) spesies asing invasif merupakan spesies flora ataupun fauna, termasuk mikroorganisme yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dengan pesat karena tidak memiliki musuh alami, sehingga menjadi, gulma, hama, dan penyakit pada spesies-spesies asli. Menurut Kusmana (2008), spesies invasif mempunyai beberapa macam definisi, yaitu (1) non-indigenous species atau spesies asing yang menyebabkan habitat diinvasi dan dapat merugikan baik secara ekonomis, lingkungan maupun ekologis; (2) native dan non-native species, spesies yang mengkoloni secara berat habitat tertentu; dan (3) widespread non-indigenous species, spesies yang mengekspansi suatu habitat. Jadi spesies invasif mencakup spesies asing (eksotik) dan spesies asli yang tumbuh di habitat alaminya. Sejauh mana spesies ini dapat berkembang biak sangat dipengaruhi oleh ekosistem penerima serta tidak adanya musuh di habitat baru mereka (CBD 2007). Sukisman (2010) menyatakan bahwa yang paling menonjol dari karakteristik spesies tumbuhan asing invasif adalah: Cepat membangun naungan yang lebat, Tumbuhan asing invasif dapat bersifat different phenology dan tumbuh lebih dulu (pioner) dibanding tumbuhan lain, serta tidak mempunyai musuh alami, bahkan sifat ini sangat menonjol pada tumbuhan asing invasif seperti Chromolaena odorata, Mimosa pigra, Mikania micrantha, dan lain sebagainya. 2.2 Perkembangan dan Penyebaran Tumbuhan Asing Invasive Salah satu penyebab munculnya spesies asing invasif ini adalah melalui kegiatan introduksi spesies. Menurut definisi International Union for Conservation of Natural Resources(IUCN) seperti dikutip KLH (2002), introduksi adalah suatu pergerakan oleh kegiatan manusia, berupa spesies, subspesies atau organisme pada tingkatan takson yang lebih rendah, keluar dari tempat asalnya. Pergerakan atau perpindahan ini dapat terjadi di dalam negara atau antar negara. Dijelaskan pula alasan introduksi spesies antara lain dari aspek ekonomi, melalui tanaman hias yang merupakan bisnis yang besar. Kecenderungan manusia yang menyukai hal-hal yang unik mengakibatkan manusia mengintrodukdi tumbuhan tersebut yang sebelumnya belum pernah diperkenalkan. Selain itu dalam pemenuhan kebutuhan pangan seperti pakan ternak. Dari sekian spesies hewan tanaman, dipilih spesies-spesies yang memiliki pertumbuhan cepat dan mampu beradaptasi dengan cepat dalam lingkungan barunya, mudah diangkut dan dipindahkan dan mengandung unsur gizi yang besar. Selanjutnya Primack (1998) mengungkapkan bahwa Introduksi spesies disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: kolonisasi bangsa-bangsa Eropa, hortikultura, pertanian, perikanan, pengangkutan yang tidak sengaja dan kontrol biologi. Selain itu, banyak spesies tumbuhan yang secara sengaja maupun tidak terbawa oleh manusia ke belahan bumi yang lain. Namun Jose et al (2009) mengatakan bahwa tidak seluruh kegiatan introduksi akan mnghasilkan spesies invasif, yang menjadi invasif hanyalah beberapa di habitat barunya. Selain menyebar melalui aktivitas manusia, alien spesies juga dapat menyebar melalui athropoda teresterial yang dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Bisa juga terbawa oleh angin, air, dan parasit (Frank 2002). 2.3 Dampak Ekologi dan Ekonomi dari Spesies Tumbuhan Asing Invasive Pemasukan, penyebaran dan penggunaan berbagai spesies asing baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja yang kemudian menjadi invasif telah menyebabkan kerugian ekologi dan ekonomi yang cukup besar. Kerugian berupa kerusakan lingkungan akibat invasi spesies asing umumnya sangat sulit untuk dipulihkan lagi, karena berkaitan dengan makhluk hidup yang mampu melakukan adaptasi, tumbuh dan berkembang. Kepunahan suatu spesies organisme lokal merupakan suatu spesies kerusakan yang tidak dapat diperbaharui. Perkembangan spesies asing sangat cepat sehingga menimbulkan persaingan sumberdaya dengan spesies asli yang ada di habitat tersebut. Hal ini terus terjadi hingga mengakibatkan kepunahan spesies asli yang akan merubah kondisi habitat hingga spesies asli tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Preston and Williams (2003) mengungkapkan bahwa di Afrika Utara dan Afrika Selatan spesies seperti Pinus, Eucalyptus, Acacia merupakan tanaman pokok kehutanan untuk produksi pulp yang meningkatkan devisa Negara mereka, sebelum ada pendeklarasian sumberdaya tanah dan air. Contohnya konsumsi air bagi tumbuhan tersebut hingga 7 persen. Wilcove et al. (1998) diacu dalam Prinando (2011) melaporkan bahwa spesies eksotik yang invasif merupakan ancaman terhadap spesies terancam punah di Amerika Serikat, dan berdampak buruk, terutama bagi burung dan tumbuhan. KLH (2002) menjelaskan bahwa di Indonesia beberapa spesies asing yang menjadi invasif antara lain enceng gondok (Eichhornia crassipes). Spesies ini menjadi gulma bagi tumbuhan padi karena dapat menghambat arus air sehingga mengganggu irigasi. Tumbuhan lain seperti kirinyuh (Chromolaena odorata) telah menginvasi kawasan TN Wasur di daerah tepi jalan Trans Irian km 35 dan sekitar kebun-kebun masyarakat, yang bersaing dengan rumputrumput asli. Kehadiran spesies tumbuhan ini sangat berpotensi sebagai material terjadinya kebakaran hutan pada musim kemarau. Beberapa taman nasional di Indonesia kini telah mengalami gangguan akibat spesies asing invasif, salah satunya adalah Acacia nilotica yang awalnya hanya digunakan sebagai tanaman pagar oleh masyarakat (Tjitrosoedirdjo 2005). 2.4 Pengendalian Spesies Tumbuhan Asing Invasif Indonesia telah memiliki rencana pengelolaan keanekaragaman hayati nasional 2003-2020 yang biasa disebut Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) (BLK 2010). Dokumen dari lembaga tersebut berisikan tindakan yang seharusnya diambil sehingga dapat dijadikan alat untuk memperkuat kebijakan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, meliputi program pengendalian dan pencegahan berkembangnya spesies asing invasif seperti spesies yang dibudidayakan (BLK 2010) diacu dalam Prinando M (2011). Khusus untuk karantina tumbuhan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Karantina Tumbuhan. Kegiatan karantina tumbuhan dilakukan dalam rangka untuk mencegah masuk dan tersebarnya tumbuha yang berasal dari luar negari ke wilayah Negara Indonesia. Karantina tumbuhan ini meliputi kegiatan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan pelepasan. Upaya lainnya adalah pemberantasan, penahanan, pengawasan, serta mitigasi (Tjitrosoedirdjo 2004). 2.5 Keanekaragaman Tumbuhan Keanekaragaman merupakan ungkapan terdapatnya beranekaragam bentuk, penampilan, densitas dan sifat yang nampak pada berbagai tingkatan organisasi kehidupan seperti ekosistem, jenis, dan genetik. Nilai keanekaragaman ditentukan dengan menggunakan angka indeks (meynyeng 2010). Suatu komunitas dikategorikan keanekaragamannya tinggi apabila komunitas tersebut disusun oleh beragam spesies dengan kemerataan yang hamper sama dan sebaliknya komunitas yang keanekaragamannya rendahmaka akan sedikit ragam jenisnya dan rendah pula kemerataannya (Prinando 2011). Keanekaragaman spesies sangat terkait dengan komposisi spesies yang ada di dalam suatu komunitas. Komposisi komunitas merupakan daftar floristik dan variasi spesies flora yang menyusun komunitas tersebut. Soerianegara dan Indrawan (1998) menyebutkan komposisi spesies berbeda antara populasi dan komunitas yang ada di dalam hutan. 2.6 Habitus Bentuk pertumbuhan merupakan penggolongan tumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Bentuk pertumbuhan yang umum menurut Indriyanto (2006) diantaranya pohon, semak, perdu, herba, dan liana. Adapun menurut Depdikbud (1989) diacu dalam Prinando (2011), definisi dari masing-masing bentuk pertumbuhan dan umumnya lebih dikenal sebagai habitus adalah: 1. Pohon, merupakan tumbuhan yang berbatang keras dan besar 2. Semak, merupakan tumbuhan seperti perdu, tetapi lebih kecil dan rendah, hanya cabang utamanya yang berkayu 3. Perdu, merupakan tumbuhan berkayu yang bercabang-cabang, tumbuh rendah dekat dengan permukaan tanah, dan tidak mempunyai batang yang tegak, 4. Herba, merupakan tumbuhan yang mempunyai batang basah karena banyak mengandung air dan tidak mempunyai kayu, dan 5. Liana, merupakan tumbuhan yang merambat, hanya ada di hutan tropis, mempunyai batang berkayu panjang, dan terkadang berbentuk unik 2.7 Pola Penyebaran Tumbuhan Penyebaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni acak (random), merata (uniform), dan berkelompok (clumped) (Indriyanto 2006). Menurut Ewusie (1980) pada umumnya pengelompokkan dalam berbagai tingkat merupakan pola yang paling sering ditemukan apabila mengkaji sebaran individu di alam. Namun, apabila suatu populasi membentuk berbagai kelompok seperti yang dijumpai pada klon vegetatif pada tumbuhan, sebaran klon tersebut sebagai satuan cenderung acak. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama dua bulan terhitung dari bulan Januari sampai Februari 2013. Pengambilan data dilakukan dengan mengambil plot contoh di tiap ekosistem berbeda yang terdapat di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yaitu di tipe ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem hutan pamah dan hutan dataran tinggi. Pemilihan lokasi pengambilan contoh ini dengan alasan bahwa setiap tipe ekosistem memilki keanekaragaman jenis yang berbeda. Sehingga ada perwakilan dari masing-masing tipe ekosistem mengenai spesies asing invasif di TNBT. 3.2 Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunitas tumbuhan di TNBT, serta alkohol 70%. Sedangkan alat-alat yang digunakan meliputi tally sheet, kertas Koran, kertas label nama, tali plastik, sampel tumbuhan, plastik, meteran, patok kayu, gunting, pisau, golok, sprayer, sasak, kantong plastik, spidol permanen, papan jalan, kalkulator, dan alat tulis. 3.2 Jenis data yang dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data spesies tumbuhan, meliputi nama ilmiah, jumlah individu, dan habitus. Data penunjang berupa kondisi umum TNBT, meliputi letak dan luas, kondisi fisik dan biotik, dan iklim. 3.3 Metode pengumpulan data Data dikumpulkan melalui analisis vegetasi, pembuatan spesimen herbarium, identifikasi spesies tumbuhan, dan studi literatur. Berikut adalah penjelasan dari tahapan-tahapan tersebut: 1. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode petak ganda ukuran 2 m x 2 m dengan jarak antar petak 5 m. Peletakan petak contoh dilakukan secara systematic sampling with random start. Petak ganda yang dibuat untuk tiap-tiap lokasi adalah 25 petak. Analisis vegetasi ini dilakukan pada kelompok tumbuhan yang berhabitus herba, liana, semak, perdu, semai atau permudaan pohon, dan palem.. Paramater yang diamati adalah nama spesies baik lokal maupun ilmiah, jumlah individu, dan habitus.. 2. Pembuatan herbarium Pembuatan herbarium dilakukan terhadap semua spesies tumbuhan yang ditemukan dan belum teridentifikasi di lokasi penelitian Pengumpulan spesimen dilakukan dengan mengambil bagian-bagian tumbuhan yang dapat dijadikan kunci identifikasi, seperti daun, ranting, bunga, dan buah. Sementara untuk herba dan liana bagian akar juga diambil sebagai spesimen. Tahapantahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium ini adalah: a. Mengambil contoh spesimen herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya, jika ada bunga dan buahnya juga diambil. Pengambilan contoh herbarium dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan analisis vegetasi. b. Contoh spesimen herbarium tersebut dipotong dengan panjang kurang lebih 40 cm atau disesuaikan dengan ukuran tumbuhan, dengan menggunakan gunting. c. Spesimen herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan memberikan etiket yang berukuran 3 cm x 5 cm. Etiket berisi keterangan tentang nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama pengumpul/kolektor. d. Selanjutnya spesimen herbarium disusun di atas koran bekas dan disemprot dengan alkohol 70%. e. Spesimen herbarium yang telah tersusun rapi kemudian diapit dengan menggunakan karton dan sasak yang terbuat dari kayu dan diikat erat dengan tali rafia kemudian dioven selama tujuh hari dengan suhu ± 700C. f. Spesimen herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan- keterangan yang diperlukan diidentifikasi untuk mendapatkan nama ilmiahnya. 3. Identifikasi spesies tumbuhan dan tumbuhan asing invasif Identifikasi spesies tumbuhan (spesimen herbarium) dilakukan untuk mengetahui nama ilmiah dari spesies tersebut. Identifikasi spesimen herbarium dilakukan di Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Herbarium Bogorinense LIPI. Sementara itu, identifikasi spesies tumbuhan asing invasif dilakukan dengan menggunakan buku panduan lapang tentang tumbuhan asing invasif dengan cara melakukan cek silang pada buku panduan lapang. 4. Studi literatur Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai kondisi umum TNBT yang meliputi letak dan luas, kondisi fisik dan biotik, dan iklim, yang diperoleh dari literatur yang ada di perpustakaan atau kantor pengelola TNBT. 3.5 Metode analisis data 3.5.1 Komposisi tumbuhan Komposisi tumbuhan di Kampus IPB Darmaga dapat diketahui dengan menggunakan parameter Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) formula matematika yang dapat digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi, termasuk tumbuhan bawah adalah sebagai berikut: Kerapatan (K) (ind/ha) = Jumlah Individu setiap spesies Kerapatan Relatif (KR) = Frekuensi (F) = luas seluruh petak Kerapatan suatu spesies Kerapatan seluruh spesies x 100% Jumlah petak dijumpai spesies Jumlah seluruh petak Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu spesies Frekuensi seluruh spesies x 100% INP untuk tumbuhan bawah = KR + FR. 3.5.2 Tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (Hβ). menurut Magurran (2004) penghitungan indeks ini dengan rumus: Hβ = -Σ Pi ln Pi Pi = ni N Dimana : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon ni = Jumlah INP suatu spesies N = Jumlah INP seluruh spesies 3.5.3 Tingkat kemerataan spesies tumbuhan Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (Evenness). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies. menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus: E= H′ ln S Dimana : Hβ = Indeks keanekaragaman Shannon S = Jumlah spesies E = Indeks kemerataan spesies (Evenness) 3.5.4 Indeks kesamaan Indeks kesamaan atau index of similarity diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antar komunitas yang diteliti. Indeks kesamaan ini menurut Soerinagera dan Indrawan (1998) dapat ditentukan dengan rumus: IS = 2W a+b x 100% Dimana: IS = Indeks kesamaan W = Jumlah dari nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua spesies berpasangan, yang ditemukan pada dua komunitas. a = Total nilai penting dari komunitas A b = Total nilai penting dari komunitas B 3.4.5 Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif Penyebaran spesies dalam suatu komunitas tumbuhan dapat diketahui dengan rumus penyebaran Morishita. Rumus ini digunakan untuk mengetahui pola penyebaran spesies tumbuhan yang meliputi penyebaran merata (uniform), mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Morishita menurut Morishita (1965) diacu dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut: Iδ = n ∑ π₯π 2 −∑π₯π (∑π₯π)2 −∑π₯π Dimana: Iδ = Derajat penyebaran Morishita N = Jumlah petak ukur ΣXi2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas ΣXi = Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas Selanjutnya dilakukan uji Chi-square, dengan rumus: a. Derajat Keseragaman Mu = xi2 0,975−n+ ∑xi ∑xi−1 Dimana: X20,975 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97,5% ΣXi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i n = Jumlah petak ukur b. Derajat Pengelompokan Mc = xi2 0,025−n+ Xi Xi−1 Dimana: X20,025 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2,5% ΣXi N = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i = Jumlah petak ukur Standar derajat Morishita Standar derajat Morishita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut: 1. Bila Iδ≥Mc> 1.0, maka dihitung: Ip = 0,5 + 0,5 ( Iδ−Mc π−ππ ) 2. Bila Mc>Iδ ≥ 1.0, maka dihitung: Ip = 0,5 ( Iδ−1 Mc−1 ) 3. Bila 1,0> Iδ>Mu, maka dihitung: Ip = -0,5 ( Iδ−1 Mu−1 ) 4. Bila 1,0> Mu>Iδ, maka dihitung: Ip = -0,5 + 0,5 ( Iδ−1 Mu−1 ) Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran spesies tersebut adalah sebagai berikut: Ip = 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random) Ip >0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped) Ip<0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform). BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan fisik kawasan Secara geografis kawasan TNBT terletak pada 0º 40ΚΊ- 1º 25ΚΊ LS dan 102º 10ΚΊ-102º 50ΚΊ BT denga luas total 144.223 Ha. Sementara secara administrasi kawasan ini terletak diantara empat Kabupaten di dua Provinsi berbeda, yaitu wilayah Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Pada wilayah jambi terletak di Kabupaten Tebo dengan luas 23.000 ha, dan Kabupaten Tanjung Jabuang Barat dengan luas 10.000 ha. Sedangkan di wilayah Provinsi Riau terletak di Kabupaten Indargiri Hulu (seluas 81.223 ha) dan Kabupaten Indragiri Hilir (seluas 30.000 ha). Kawasan TNBT berupa daerah perbukitan yang cukup curam dengan ketinggian antara 60-843 m dpl. Ekosistem di TNBT sangat berbeda dengan ekosistem taman nasional lainnya karena ekosistem TNBT merupakan hutan hujan tropika daratan rendah dan merupakan peralihan antara hutan rawa dan hutan pegunungan yang terpisah yang terpisah dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan. Kawasan TNBT merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Gansal di Provinsi Riau dan Sungai Batang Hari di Provinsi Jambi, serta beberapa sub DAS seperti Sunagia Cinaku, Keritang, Pengabuhan, dan Sumai. Jenis tanah yang terdapat pada kawasan ini adalah podsolik merah kuning denga kedalaman bervariasi antara 40 - 50 cm. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TNBT termasuk iklim tipe B dengan curah hujan ratarata tahunan sebesar 2557 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada bulan Oktober yaitu 347 mm dan terendah pada bulan Juli yaitu 83 mm. 4.2 Sejarah Penetapan Kawasan Sejarah penetapan Bukit Tigapuluh dimulai dengan dikeluarkannya Rencana Konservasi Nasional Indonesia pada tahun 1982. Rencana tersebut mengakui penting serta tingginya nilai ekosistem Bukit Tigapuluh, yang terdiri dari Cagar Alam Siberida seluas 120.000 ha, Suaka Margasatwa Bukit Besar seluas 200.000 ha. Pada tahun 19 88 dikeluarkan instrument Perencanaan Report yang berisikan kategori ekosistem Bukit Tigapuluh sebagai daerah perbukitan dan pegunungan yang hanya sesuai dengan kawasan hutan lindung dengan luas 350.000 ha. Pada periode antara tahun 1991 sampai 1992 dilakukan penelitian bersama antara Indonesia dengan Norwegia dengan tujuan menunjukkan pentingnya keberadaan ekosistem Bukit Tigapuluh. Hasil penelitian ini merekomendasikan kawasan tersebut agar ditetapkan sebagai taman nasional dengan luas 250.000 ha. Pada tahun 1993 Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) bersama WWF Indonesia mengusung program pengelolaan kawasan Bukit Tigapuluh kepada Menteri Republik Indonesia. Pada tahun 1994 dikeluarkanlah Peraturan Daerah No. 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang didalamnya mencakup kawasan Konservasi Bukit Tigapuluh. Di tahun yang sama Dirjen PHPA mengsulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menunjuk kawasan Bukit Tigapuluh dan Bukit Besar sebagi Taman Nasional. Selanjutnya Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor 17/Kpta/12J-V/2001, maka ditunjuklah Zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Dan akhirnya pada tanggal 21 Juni 2002, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 6407/Kpts-II/2001 Tentang Penetapan Kelompok Hutan Tman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 144.223 ha yang terletak di 4 Kabupaten pada 2 Provinsi yaitu Riau dan Jambi. 4.3 Flora dan fauna Tipe ekosistem di kawasan TNBT adalah Hutan Hujan Tropika Datara Rendah (low land tropical rain forest), karena iklimnya basah, tanah kering dan ketinggian di bawah 1000 m dpl. Kawasan ini memiliki jenis tumbuhan yang tidak kurang dari 1500 jenis yang berupa tumbuhan obat, jenis-jenis komersil penghasil kayu dan kulit, buah pangan, serta beberapa tumbuhan langka. Jenis-jenis tumbuhan langka yang terdapat di kawasan TNBT antara lain Salo (Johannestteijasmania altrifrons), bunga bangkai (Amorphophallus sp), jernang (Daemonorops draco), kayu gaharu (Aqularia malaccensis) serta Cendawan muka harimau (Rafflesia hasseltii). Penelitian yang telah dilaksanakan oleh Danielson dan Heegraard pada tahun 1994 menyabutkan bahwa Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki 59 jenis mamalia, 6 jenis primata, 198 jenis burung, 18 jenis kelelawar, berbagai jenis kupu-kupu. Jenis mamalia yang terdapat pada kawasan ini antara lain yaitu harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), sempidan biru (Lophura ignita), dan lain-lain. Sedangkan jenis burung yang dapat dijumpai diantaranya yaitu kuau (Argusianus argus argus), Punai kecil (Treron alax), Murai batu (Cospychus malabaricus), Beo (Graucula religiosa), Rangkong (Rhinoplax sp), lain-lain. Untuk jenis reptil yang terdapat di kawasan TNBT antara lain Buaya muara ( Crocodylus porosus), Senyulong (Tomistomia sceigelii), Ular tedung (Ophiaophagus hannah) serta Moru (Bungaurus candidus). 4.3 Budaya dan agama Pada umumnya penduduk asli Bukit Tigapuluh telah menganut Agama Islam, identitas itu pula yang menjadikan mereka disebut Melayu. Walaupun mereka sudah Islam namun masih sinkritis. Sebagian lagi penduduk terdisional masih menganut agama asli dan cenderung menolak islam karena dengan alas an makanan haram dan lainnya. DAFTAR PUSTAKA [CBD] Convention on Biological Diversity. 2007. What are invasive alien species?. Canada : CBD Campbhell S. 2005. A global perspective on forest invasive species: the problem, causes, and consequences. Dalam: Mckenzie P, Brown C, Su J, Wu J. editor. The unwelcome guests: proceedings of the Asia-Pasific forest invasive species conference; Kunming, 17-23 Agustus 2003. Bangkok: FAO. 9-10. Ewusie JY. 1980. Ekologi Tropika: Membicarakan alam tropika Afrika, Asia, dan Dunia Baru. Tanuwidjaja U, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Elements of Tropical Ecology. Frank, H. 2002. Pathways of Arrival . Enfield : Science Publisher (119-137) Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Jose S, Kohli RK, Singh HP, Batish DR, Pieterson EC. 2009. Invasive plants: a threat to the integrity and sustainibility of forest ecosystem. Dalam: Kohli RK, Jose S, Singh HP, British DR. 2009. Invasive Plants and Forest Ecosystem. New York: CRC Press. Kusmana C. 2010. Spesies Invasif [terhubung berkala]. http://blogarchive-spesiesinvasif-html (diakses tanggal 2 November 2011) Meynyeng. 2010. Keanekaragaman Tumbuhan [terhubung berkala] http://www.keanekaragaman-tumbuhan-Menyeng-html (di akses tanggal 2 November 2011) Preston,G. and Williams, L. 2003. Service Delivery Review2. Case Study : The Working for Water programme : Threats and Successes Primack RB. 1998. Biologi Konservasi. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P, penerjamah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: A Primer of Conservation Biology. Prinando M. 2011. Keanekaraman Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Kampus IPB Darmaga, Bogor[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertania Bogor. Purwono B, Wardhana BS, Wijanarko K, Setyowati E, Kurniawati DS. 2002. Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif. Jakarta: Kantor Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan The Nature Consevancy. Tjitrosoedirjo S. 2004. Management of invasive alien plants species.[makalah]. Disampaikan dalam: Regional Training Course on Integrated Management of Invasive Alien Plant Species. Bogor, 18-28 Mei 2004. Bogor: BIOTROP. Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sukisman T. 2010. Tumbuhan invasif di hutan [slide presentasi].Bogor: BIOTROP. Sunaryo dan Tihurua EF. 2010. Catatan Jenis-jenis Tumbuhan Asing & Invasif di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Berita Biologi 10 (2) : 1-3 UN] United Nations. 1992. Convention on Biological Diversity. New York : United Nation Wittenberg R, Cock MJW. 2003. Invasive Alien Species: A Toolkit Best Preventation and Management Practices. Cambridge: CABI Publishing.