proposal penelitian keanekargaman tumbuhan

advertisement
PROPOSAL PENELITIAN
KEANEKARGAMAN TUMBUHAN ASING INVASIF PADA TIAP
TIPE EKOSISTEM DI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH
(TNBT) PROVINSI RIAU DAN JAMBI
SAHRI MAIDA SINAGA
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan kawasan perbukitan di
tengah-tengah dataran rendah bagian Timur Sumatera yang mempunyai potensi
keanekaragaman jenis tumbuhan endemik yang bernilai cukup tinggi. Kawasan
ini ditunjuk oleh Menteri Kehutanan berdasarkan SK No. 539/Kpts-II/1995
dengan luas 127.698 hektar dan ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan SK
No. 6407/Kpts-II/2002 berupa wilayah yang memiliki luas 144.223 hektar.
TNBT merupakan Taman Nasional yang berada pada dua kabupaten yaitu Kab.
Indragiri Hulu dan Kab. Indragiri Hilir
serta dibawah pengeloalaan dua
provinsi yaitu Provinsi Riau serta Kab. Bungo Tebo dan Kab. Tanjung Jabung,
Provinsi Jambi.
Tidak semua jenis tumbuhan yang terdapat di TNBT merupakan jenis
tanaman asli melainkan terdapat juga tanaman asing yang merupakan hasil
introduksi. Hal ini tidak terlepas dari adanya perkebunan sawit dan perkebunan
akasia yang merupakan kegiatan penanaman di HTI seperti PT.Arara Abadi dan
dua PT lainnya. Hal ini terjadi karena wilayah TNBT bersebelahan dengan PT
tersebut. Spesies tumbuhan tersebut membawa dampak negatif karena bersifat
invasif bagi tumbuhan lainnya. Namun belum ada penelitian mengenai jenis apa
saja yang bersifat invasif di lokasi TNBT.
Invasive Aliens Species (IAS) telah menjadi perhatian dunia, hal ini
disebabkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan IAS yang
tidak terkendali di lokasi tertentu sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan
dan kerugian ekonomi (Sunarya & Tihurua 2010). Beberapa studi telah
melaporkan bahwa kerugian secara ekonomi yang ditanggung suatu negara
akibat invasi spesies asing dapat mencapai 375 juta dolar per tahun, bahkan di
Eropa dalam kurun waktu antara tahun 1988 sampai tahun 2000 kerugiannya
mencapai 5 milyar dolar (Purwono et al. 2002).
Menurut Mooney dan Cleland (2001) yang diacu dalam Prinando (2011)
beberapa spesies asing invasif dapat mengubah jalur evolusi dari spesies lokal
melalui kompetisi, pemindahan relung, dan akhirnya kepunahan. Beberapa hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa introduksi suatu spesies tumbuhan yang
melewati batas geografis, baik disengaja maupun tidak, dapat menyebabkan
perubahan struktur dan komposisi komunitas tumbuhan di ekosistem yang baru.
Hal ini menyebabkan keberadaan spesies tumbuhan asing invasif pada suatu
habitat baru cenderung merugikan karena dapat mengancam ekosistem dan
keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Keberadaan spesies
tumbuhan asing invasif pada habitat yang baru dapat menyebabkan
homogenitas biotik dan pergantian spesies lokal dengan spesies tersebut (Olden
et al. 2004 diacu dalam Prinando 2011).
Keberadaan spesies tumbuhan asing invasif di TNBT perlu mendapat
perhatian, sementara penelitian mengenai spesies ini belum banyak diungkap.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai spesies tumbuhan asing
invasif tersebut, sebagai salah satu upaya preventif dalam melindungi
keanekaragaman hayati di TNBT.
1.2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi komposisi dan keanekaragaman spesies tumbuhan asing
invasive di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT)
2. Mengidentifikasi pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di Taman
Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT)
1.3
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tumbuhan asing invasif yang terdapat di TNBT, sehingga dapat dijadikan
pertimbangan bagi pemerintah daerah sebagai upaya preventif dalam membuat
kebijakan pengelolaan, pengembangan, pelestarian serta perlindungan spesies
tumbuhan di TNBT.
1.4
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh tiap ekosistem terhadap spesies asing invasif
yang muncul?
2. Berapa tinggi tingkat keragaman spesies asing invasive di kawasan
TNBT?
3. Bagaimana pola sebaran spesies asing invasive tersebut dalam
ekosistem di TNBT?
1.5
Hipotesis
Dari rumusan masalah yang dikemukakan, maka didapatkan hipotesis
sebagai berikut:
1. Tingginya keragaman spesies asing invasive tersebut akan berdampak
negatif pada perkembangan tumbuhan lain.
2. Perbedaan tipe tiap ekosistem menyebabkan perbedaan spesies asing
invasif yang terdapat di TNBT.
3. Terdapat keterkaitan antara pola sebaran spesies asing invasif
terhadap pertumbuhan spesies asli pada habitat tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Spesies Asing Invasive (IAS)
Alien
spesies
merupakan
spesies
invasive
yang
akan
mengancam keberlanjutan pembangunan. Spesies asing invasive
dapat berupa hewan, tumbuhan, serta mikroba (UN 1992). Spesies
asing invasif didefinisikan sebagai spesies yang bukan spesies lokal dalam
suatu ekosistem, dan yang menyebabkan gangguan terhadap ekonomi dan
lingkungan, serta berdampak buruk bagi kesehatan manusia (Campbell 2005).
Dikemukakan pula oleh Kusmana C (20101) dalam Purnomo et al (2002)
spesies asing invasif merupakan spesies flora ataupun fauna, termasuk
mikroorganisme yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dengan pesat
karena tidak memiliki musuh alami, sehingga menjadi, gulma, hama, dan
penyakit pada spesies-spesies asli.
Menurut Kusmana (2008), spesies invasif mempunyai beberapa macam
definisi, yaitu (1) non-indigenous species atau spesies asing yang menyebabkan
habitat diinvasi dan dapat merugikan baik secara ekonomis, lingkungan
maupun ekologis; (2) native dan non-native species, spesies yang mengkoloni
secara berat habitat tertentu; dan (3) widespread non-indigenous species,
spesies yang mengekspansi suatu habitat. Jadi spesies invasif mencakup spesies
asing (eksotik) dan spesies asli yang tumbuh di habitat alaminya. Sejauh mana
spesies ini dapat berkembang biak sangat dipengaruhi oleh ekosistem penerima
serta tidak adanya musuh di habitat baru mereka (CBD 2007).
Sukisman (2010) menyatakan bahwa yang paling menonjol dari
karakteristik spesies tumbuhan asing invasif adalah: Cepat membangun
naungan yang lebat, Tumbuhan asing invasif dapat bersifat different phenology
dan tumbuh lebih dulu (pioner) dibanding tumbuhan lain, serta
tidak
mempunyai musuh alami, bahkan sifat ini sangat menonjol pada tumbuhan
asing invasif seperti Chromolaena odorata, Mimosa pigra, Mikania micrantha,
dan lain sebagainya.
2.2
Perkembangan dan Penyebaran Tumbuhan Asing Invasive
Salah satu penyebab munculnya spesies asing invasif ini adalah melalui
kegiatan introduksi spesies. Menurut definisi International Union for
Conservation of Natural Resources(IUCN) seperti dikutip KLH (2002),
introduksi adalah suatu pergerakan oleh kegiatan manusia, berupa spesies,
subspesies atau organisme pada tingkatan takson yang lebih rendah, keluar dari
tempat asalnya. Pergerakan atau perpindahan ini dapat terjadi di dalam negara
atau antar negara. Dijelaskan pula alasan introduksi spesies antara lain dari
aspek ekonomi, melalui tanaman hias yang merupakan bisnis yang besar.
Kecenderungan manusia yang menyukai hal-hal yang unik mengakibatkan
manusia mengintrodukdi tumbuhan tersebut yang sebelumnya belum pernah
diperkenalkan. Selain itu dalam pemenuhan kebutuhan pangan seperti pakan
ternak. Dari sekian spesies hewan tanaman, dipilih spesies-spesies yang
memiliki pertumbuhan cepat dan mampu beradaptasi dengan cepat dalam
lingkungan barunya, mudah diangkut dan dipindahkan dan mengandung unsur
gizi yang besar.
Selanjutnya Primack (1998) mengungkapkan bahwa Introduksi spesies
disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: kolonisasi bangsa-bangsa Eropa,
hortikultura, pertanian, perikanan, pengangkutan yang tidak sengaja dan kontrol
biologi. Selain itu, banyak spesies tumbuhan yang secara sengaja maupun tidak
terbawa oleh manusia ke belahan bumi yang lain. Namun Jose et al (2009)
mengatakan bahwa tidak seluruh kegiatan introduksi akan mnghasilkan spesies
invasif, yang menjadi invasif hanyalah beberapa di habitat barunya.
Selain menyebar melalui aktivitas manusia, alien spesies juga dapat
menyebar melalui athropoda teresterial yang dapat berpindah dari suatu tempat
ke tempat lain. Bisa juga terbawa oleh angin, air, dan parasit (Frank 2002).
2.3
Dampak Ekologi dan Ekonomi
dari Spesies Tumbuhan Asing
Invasive
Pemasukan, penyebaran dan penggunaan berbagai spesies asing baik
yang dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja yang kemudian menjadi
invasif telah menyebabkan kerugian ekologi dan ekonomi yang cukup besar.
Kerugian berupa kerusakan lingkungan akibat invasi spesies asing umumnya
sangat sulit untuk dipulihkan lagi, karena berkaitan dengan makhluk hidup yang
mampu melakukan adaptasi, tumbuh dan berkembang. Kepunahan suatu
spesies organisme lokal merupakan suatu spesies kerusakan yang tidak dapat
diperbaharui.
Perkembangan spesies asing sangat cepat sehingga menimbulkan
persaingan sumberdaya dengan spesies asli yang ada di habitat tersebut. Hal ini
terus terjadi hingga mengakibatkan kepunahan spesies asli yang akan merubah
kondisi habitat hingga spesies asli tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Preston
and Williams (2003) mengungkapkan bahwa di Afrika Utara dan Afrika
Selatan spesies seperti Pinus, Eucalyptus, Acacia merupakan tanaman pokok
kehutanan untuk produksi pulp yang meningkatkan devisa Negara mereka,
sebelum ada pendeklarasian sumberdaya tanah dan air. Contohnya konsumsi air
bagi tumbuhan tersebut hingga 7 persen.
Wilcove et al. (1998) diacu dalam Prinando (2011) melaporkan bahwa
spesies eksotik yang invasif merupakan ancaman terhadap spesies terancam
punah di Amerika Serikat, dan berdampak buruk, terutama bagi burung dan
tumbuhan. KLH (2002) menjelaskan bahwa di Indonesia beberapa spesies asing
yang menjadi invasif antara lain enceng gondok (Eichhornia crassipes). Spesies
ini menjadi gulma bagi tumbuhan padi karena dapat menghambat arus air
sehingga mengganggu irigasi. Tumbuhan lain seperti kirinyuh (Chromolaena
odorata) telah menginvasi kawasan TN Wasur di daerah tepi jalan Trans Irian
km 35 dan sekitar kebun-kebun masyarakat, yang bersaing dengan rumputrumput asli. Kehadiran spesies tumbuhan ini sangat berpotensi sebagai material
terjadinya kebakaran hutan pada musim kemarau. Beberapa taman nasional di
Indonesia kini telah mengalami gangguan akibat spesies asing invasif, salah
satunya adalah Acacia nilotica yang awalnya hanya digunakan sebagai tanaman
pagar oleh masyarakat (Tjitrosoedirdjo 2005).
2.4
Pengendalian Spesies Tumbuhan Asing Invasif
Indonesia telah memiliki rencana pengelolaan keanekaragaman hayati
nasional 2003-2020 yang biasa disebut Rencana Aksi dan Strategi
Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) (BLK 2010). Dokumen dari
lembaga tersebut berisikan tindakan yang seharusnya diambil sehingga dapat
dijadikan alat untuk memperkuat kebijakan dalam pengelolaan keanekaragaman
hayati, meliputi program pengendalian dan pencegahan berkembangnya spesies
asing invasif seperti spesies yang dibudidayakan (BLK 2010) diacu dalam
Prinando M (2011).
Khusus untuk karantina tumbuhan telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Karantina Tumbuhan. Kegiatan
karantina tumbuhan dilakukan dalam rangka untuk mencegah masuk dan
tersebarnya tumbuha yang berasal dari luar negari ke wilayah Negara
Indonesia.
Karantina
tumbuhan
ini
meliputi
kegiatan
pemeriksaan,
pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan
pelepasan. Upaya lainnya adalah pemberantasan, penahanan, pengawasan, serta
mitigasi (Tjitrosoedirdjo 2004).
2.5
Keanekaragaman Tumbuhan
Keanekaragaman merupakan ungkapan terdapatnya beranekaragam
bentuk, penampilan, densitas dan sifat yang nampak pada berbagai tingkatan
organisasi
kehidupan
seperti
ekosistem,
jenis,
dan
genetik.
Nilai
keanekaragaman ditentukan dengan menggunakan angka indeks (meynyeng
2010). Suatu komunitas dikategorikan keanekaragamannya tinggi apabila
komunitas tersebut disusun oleh beragam spesies dengan kemerataan yang
hamper sama dan sebaliknya komunitas yang keanekaragamannya rendahmaka
akan sedikit ragam jenisnya dan rendah pula kemerataannya (Prinando 2011).
Keanekaragaman spesies sangat terkait dengan komposisi spesies yang
ada di dalam suatu komunitas. Komposisi komunitas merupakan daftar floristik
dan variasi spesies flora yang menyusun komunitas tersebut. Soerianegara dan
Indrawan (1998) menyebutkan komposisi spesies berbeda antara populasi dan
komunitas yang ada di dalam hutan.
2.6
Habitus
Bentuk pertumbuhan merupakan penggolongan tumbuhan menurut
bentuk pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Bentuk
pertumbuhan yang umum menurut Indriyanto (2006) diantaranya pohon,
semak, perdu, herba, dan liana. Adapun menurut Depdikbud (1989) diacu
dalam Prinando (2011), definisi dari masing-masing bentuk pertumbuhan dan
umumnya lebih dikenal sebagai habitus adalah:
1. Pohon, merupakan tumbuhan yang berbatang keras dan besar
2. Semak, merupakan tumbuhan seperti perdu, tetapi lebih kecil dan rendah,
hanya cabang utamanya yang berkayu
3. Perdu, merupakan tumbuhan berkayu yang bercabang-cabang, tumbuh
rendah dekat dengan permukaan tanah, dan tidak mempunyai batang yang
tegak,
4. Herba, merupakan tumbuhan yang mempunyai batang basah karena banyak
mengandung air dan tidak mempunyai kayu, dan
5. Liana, merupakan tumbuhan yang merambat, hanya ada di hutan tropis,
mempunyai batang berkayu panjang, dan terkadang berbentuk unik
2.7
Pola Penyebaran Tumbuhan
Penyebaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni acak
(random), merata (uniform), dan berkelompok (clumped) (Indriyanto 2006).
Menurut Ewusie (1980) pada umumnya pengelompokkan dalam berbagai
tingkat merupakan pola yang paling sering ditemukan apabila mengkaji sebaran
individu di alam. Namun, apabila suatu populasi membentuk berbagai
kelompok seperti yang dijumpai pada klon vegetatif pada tumbuhan, sebaran
klon tersebut sebagai satuan cenderung acak.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama dua bulan terhitung dari bulan
Januari sampai Februari 2013. Pengambilan data dilakukan dengan mengambil
plot contoh di tiap ekosistem berbeda yang terdapat di Taman Nasional Bukit
Tigapuluh (TNBT) yaitu di tipe ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem
hutan pamah dan hutan dataran tinggi. Pemilihan lokasi pengambilan contoh ini
dengan alasan bahwa setiap tipe ekosistem memilki keanekaragaman jenis yang
berbeda. Sehingga ada perwakilan dari masing-masing tipe ekosistem mengenai
spesies asing invasif di TNBT.
3.2
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunitas tumbuhan
di TNBT, serta alkohol 70%. Sedangkan alat-alat yang digunakan meliputi tally
sheet, kertas Koran, kertas label nama, tali plastik, sampel tumbuhan, plastik,
meteran, patok kayu, gunting, pisau, golok, sprayer, sasak, kantong plastik,
spidol permanen, papan jalan, kalkulator, dan alat tulis.
3.2
Jenis data yang dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data spesies
tumbuhan, meliputi nama ilmiah, jumlah individu, dan habitus. Data penunjang
berupa kondisi umum TNBT, meliputi letak dan luas, kondisi fisik dan biotik,
dan iklim.
3.3
Metode pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui analisis vegetasi, pembuatan spesimen
herbarium, identifikasi spesies tumbuhan, dan studi literatur. Berikut adalah
penjelasan dari tahapan-tahapan tersebut:
1. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode petak ganda
ukuran 2 m x 2 m dengan jarak antar petak 5 m. Peletakan petak contoh
dilakukan secara systematic sampling with random start. Petak ganda yang
dibuat untuk tiap-tiap lokasi adalah 25 petak. Analisis vegetasi ini dilakukan
pada kelompok tumbuhan yang berhabitus herba, liana, semak, perdu, semai
atau permudaan pohon, dan palem.. Paramater yang diamati adalah nama
spesies baik lokal maupun ilmiah, jumlah individu, dan habitus..
2. Pembuatan herbarium
Pembuatan herbarium dilakukan terhadap semua spesies tumbuhan
yang ditemukan dan belum teridentifikasi di lokasi penelitian Pengumpulan
spesimen dilakukan dengan mengambil bagian-bagian tumbuhan yang dapat
dijadikan kunci identifikasi, seperti daun, ranting, bunga, dan buah. Sementara
untuk herba dan liana bagian akar juga diambil sebagai spesimen. Tahapantahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium ini adalah:
a. Mengambil contoh spesimen herbarium yang terdiri dari ranting lengkap
dengan daunnya, jika ada bunga dan buahnya juga diambil. Pengambilan
contoh herbarium dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan analisis
vegetasi.
b. Contoh spesimen herbarium tersebut dipotong dengan panjang kurang lebih
40 cm atau disesuaikan dengan ukuran tumbuhan, dengan menggunakan
gunting.
c. Spesimen herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan memberikan
etiket yang berukuran 3 cm x 5 cm. Etiket berisi keterangan tentang nomor
spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama pengumpul/kolektor.
d. Selanjutnya spesimen herbarium disusun di atas koran bekas dan disemprot
dengan alkohol 70%.
e. Spesimen herbarium yang telah tersusun rapi kemudian diapit dengan
menggunakan karton dan sasak yang terbuat dari kayu dan diikat erat dengan
tali rafia kemudian dioven selama tujuh hari dengan suhu ± 700C.
f. Spesimen herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan-
keterangan yang diperlukan diidentifikasi untuk mendapatkan nama
ilmiahnya.
3. Identifikasi spesies tumbuhan dan tumbuhan asing invasif
Identifikasi spesies tumbuhan (spesimen herbarium) dilakukan untuk
mengetahui nama ilmiah dari spesies tersebut. Identifikasi spesimen
herbarium dilakukan di Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Herbarium Bogorinense
LIPI. Sementara itu, identifikasi spesies tumbuhan asing invasif dilakukan
dengan menggunakan buku panduan lapang tentang tumbuhan asing invasif
dengan cara melakukan cek silang pada buku panduan lapang.
4. Studi literatur
Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai kondisi
umum TNBT yang meliputi letak dan luas, kondisi fisik dan biotik, dan iklim,
yang diperoleh dari literatur yang ada di perpustakaan atau kantor pengelola
TNBT.
3.5
Metode analisis data
3.5.1 Komposisi tumbuhan
Komposisi tumbuhan di Kampus IPB Darmaga dapat diketahui dengan
menggunakan parameter Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Soerianegara
dan Indrawan (1998) formula matematika yang dapat digunakan dalam
perhitungan analisis vegetasi, termasuk tumbuhan bawah adalah sebagai
berikut:
Kerapatan (K) (ind/ha) =
Jumlah Individu setiap spesies
Kerapatan Relatif (KR) =
Frekuensi (F)
=
luas seluruh petak
Kerapatan suatu spesies
Kerapatan seluruh spesies
x 100%
Jumlah petak dijumpai spesies
Jumlah seluruh petak
Frekuensi Relatif (FR) =
Frekuensi suatu spesies
Frekuensi seluruh spesies
x 100%
INP untuk tumbuhan bawah = KR + FR.
3.5.2 Tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan
Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan
Indeks
Keanekaragaman
Shannon
(Hβ€Ÿ).
menurut
Magurran
(2004)
penghitungan indeks ini dengan rumus:
Hβ€Ÿ
= -Σ Pi ln Pi
Pi =
ni
N
Dimana : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon
ni = Jumlah INP suatu spesies
N = Jumlah INP seluruh spesies
3.5.3 Tingkat kemerataan spesies tumbuhan
Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies
(Evenness). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam
spesies. menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan
rumus:
E=
H′
ln S
Dimana : Hβ€Ÿ = Indeks keanekaragaman Shannon
S = Jumlah spesies
E = Indeks kemerataan spesies (Evenness)
3.5.4 Indeks kesamaan
Indeks kesamaan atau index of similarity diperlukan untuk mengetahui
tingkat kesamaan antar komunitas yang diteliti. Indeks kesamaan ini menurut
Soerinagera dan Indrawan (1998) dapat ditentukan dengan rumus:
IS =
2W
a+b
x 100%
Dimana: IS = Indeks kesamaan
W = Jumlah dari nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua spesies
berpasangan, yang ditemukan pada dua komunitas.
a = Total nilai penting dari komunitas A
b = Total nilai penting dari komunitas B
3.4.5 Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif
Penyebaran spesies dalam suatu komunitas tumbuhan dapat diketahui
dengan rumus penyebaran Morishita. Rumus ini digunakan untuk mengetahui
pola penyebaran spesies tumbuhan yang meliputi penyebaran merata (uniform),
mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Morishita
menurut Morishita (1965) diacu dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut:
Iδ = n
∑ π‘₯𝑖 2 −∑π‘₯𝑖
(∑π‘₯𝑖)2 −∑π‘₯𝑖
Dimana:
Iδ
= Derajat penyebaran Morishita
N
= Jumlah petak ukur
ΣXi2
= Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu
komunitas
ΣXi
= Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas
Selanjutnya dilakukan uji Chi-square, dengan rumus:
a. Derajat Keseragaman
Mu =
xi2 0,975−n+ ∑xi
∑xi−1
Dimana:
X20,975 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan
97,5%
ΣXi
= Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i
n
= Jumlah petak ukur
b. Derajat Pengelompokan
Mc =
xi2 0,025−n+ Xi
Xi−1
Dimana:
X20,025 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan
2,5%
ΣXi
N
= Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i
= Jumlah petak ukur Standar derajat Morishita
Standar derajat Morishita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut:
1. Bila Iδ≥Mc> 1.0, maka dihitung:
Ip = 0,5 + 0,5 (
Iδ−Mc
𝑛−𝑀𝑐
)
2. Bila Mc>Iδ ≥ 1.0, maka dihitung:
Ip = 0,5 (
Iδ−1
Mc−1
)
3. Bila 1,0> Iδ>Mu, maka dihitung:
Ip = -0,5 (
Iδ−1
Mu−1
)
4. Bila 1,0> Mu>Iδ, maka dihitung:
Ip = -0,5 + 0,5 (
Iδ−1
Mu−1
)
Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies
tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran
spesies tersebut adalah sebagai berikut:
Ip = 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random)
Ip >0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped)
Ip<0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform).
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Keadaan fisik kawasan
Secara geografis kawasan TNBT terletak pada 0º 40ΚΊ- 1º 25ΚΊ LS dan 102º
10ΚΊ-102º 50ΚΊ BT denga luas total 144.223 Ha. Sementara secara administrasi
kawasan ini terletak diantara empat Kabupaten di dua Provinsi berbeda, yaitu
wilayah Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Pada wilayah jambi terletak di
Kabupaten Tebo dengan luas 23.000 ha, dan Kabupaten Tanjung Jabuang Barat
dengan luas 10.000 ha. Sedangkan di wilayah Provinsi Riau terletak di
Kabupaten Indargiri Hulu (seluas 81.223 ha) dan Kabupaten Indragiri Hilir
(seluas 30.000 ha).
Kawasan TNBT berupa daerah perbukitan yang cukup curam dengan
ketinggian antara 60-843 m dpl. Ekosistem di TNBT sangat berbeda dengan
ekosistem taman nasional lainnya karena ekosistem TNBT merupakan hutan
hujan tropika daratan rendah dan merupakan peralihan antara hutan rawa dan
hutan pegunungan yang terpisah yang terpisah dari rangkaian pegunungan
Bukit Barisan. Kawasan TNBT merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai
(DAS) Sungai Gansal di Provinsi Riau dan Sungai Batang Hari di Provinsi
Jambi, serta beberapa sub DAS seperti Sunagia Cinaku, Keritang, Pengabuhan,
dan Sumai.
Jenis tanah yang terdapat pada kawasan ini adalah podsolik merah kuning
denga kedalaman bervariasi antara 40 - 50 cm. Berdasarkan klasifikasi Schmidt
dan Ferguson, kawasan TNBT termasuk iklim tipe B dengan curah hujan ratarata tahunan sebesar 2557 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada bulan Oktober
yaitu 347 mm dan terendah pada bulan Juli yaitu 83 mm.
4.2
Sejarah Penetapan Kawasan
Sejarah penetapan Bukit Tigapuluh dimulai dengan dikeluarkannya
Rencana Konservasi Nasional Indonesia pada tahun 1982. Rencana tersebut
mengakui penting serta tingginya nilai ekosistem Bukit Tigapuluh, yang terdiri
dari Cagar Alam Siberida seluas 120.000 ha, Suaka Margasatwa Bukit Besar
seluas 200.000 ha. Pada tahun 19 88 dikeluarkan instrument Perencanaan
Report yang berisikan kategori ekosistem Bukit Tigapuluh sebagai daerah
perbukitan dan pegunungan yang hanya sesuai dengan kawasan hutan lindung
dengan luas 350.000 ha.
Pada periode antara tahun 1991 sampai 1992 dilakukan penelitian
bersama antara Indonesia dengan Norwegia dengan tujuan menunjukkan
pentingnya keberadaan ekosistem Bukit Tigapuluh. Hasil penelitian ini
merekomendasikan kawasan tersebut agar ditetapkan sebagai taman nasional
dengan luas 250.000 ha. Pada tahun 1993 Dirjen Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (PHPA) bersama WWF Indonesia mengusung program
pengelolaan kawasan Bukit Tigapuluh kepada Menteri Republik Indonesia.
Pada tahun 1994 dikeluarkanlah Peraturan Daerah No. 10 tahun 1994 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang didalamnya mencakup kawasan
Konservasi Bukit Tigapuluh. Di tahun yang sama Dirjen PHPA mengsulkan
kepada Menteri Kehutanan untuk menunjuk kawasan Bukit Tigapuluh dan
Bukit Besar sebagi Taman Nasional.
Selanjutnya Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam Nomor 17/Kpta/12J-V/2001, maka ditunjuklah Zonasi
Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Dan akhirnya pada tanggal 21 Juni 2002,
Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 6407/Kpts-II/2001
Tentang Penetapan Kelompok Hutan Tman Nasional Bukit Tigapuluh seluas
144.223 ha yang terletak di 4 Kabupaten pada 2 Provinsi yaitu Riau dan
Jambi.
4.3
Flora dan fauna
Tipe ekosistem di kawasan TNBT adalah Hutan Hujan Tropika Datara
Rendah (low land tropical rain forest), karena iklimnya basah, tanah kering
dan ketinggian di bawah 1000 m dpl. Kawasan ini memiliki jenis tumbuhan
yang tidak kurang dari 1500 jenis yang berupa tumbuhan obat, jenis-jenis
komersil penghasil kayu dan kulit, buah pangan, serta beberapa tumbuhan
langka. Jenis-jenis tumbuhan langka yang terdapat di kawasan TNBT antara
lain Salo (Johannestteijasmania altrifrons), bunga bangkai (Amorphophallus
sp), jernang (Daemonorops draco), kayu gaharu (Aqularia malaccensis) serta
Cendawan muka harimau (Rafflesia hasseltii).
Penelitian yang telah dilaksanakan oleh Danielson dan Heegraard pada
tahun 1994 menyabutkan bahwa Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki
59 jenis mamalia, 6 jenis primata, 198 jenis burung, 18 jenis kelelawar,
berbagai jenis kupu-kupu. Jenis mamalia yang terdapat pada kawasan ini
antara lain yaitu harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus
indicus), ungko (Hylobates agilis), beruang madu (Helarctos malayanus
malayanus), sempidan biru (Lophura ignita), dan lain-lain. Sedangkan jenis
burung yang dapat dijumpai diantaranya yaitu kuau (Argusianus argus argus),
Punai kecil (Treron alax), Murai batu (Cospychus malabaricus), Beo
(Graucula religiosa), Rangkong (Rhinoplax sp), lain-lain. Untuk jenis reptil
yang terdapat di kawasan TNBT antara lain Buaya muara ( Crocodylus
porosus), Senyulong (Tomistomia sceigelii), Ular tedung (Ophiaophagus
hannah) serta Moru (Bungaurus candidus).
4.3
Budaya dan agama
Pada umumnya penduduk asli Bukit Tigapuluh telah menganut Agama
Islam, identitas itu pula yang menjadikan mereka disebut Melayu. Walaupun
mereka sudah Islam namun masih sinkritis. Sebagian lagi penduduk
terdisional masih menganut agama asli dan cenderung menolak islam karena
dengan alas an makanan haram dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
[CBD] Convention on Biological Diversity. 2007. What are invasive alien species?.
Canada : CBD
Campbhell S. 2005. A global perspective on forest invasive species: the problem,
causes, and consequences. Dalam: Mckenzie P, Brown C, Su J, Wu J. editor.
The unwelcome guests: proceedings of the Asia-Pasific forest invasive species
conference; Kunming, 17-23 Agustus 2003. Bangkok: FAO. 9-10.
Ewusie JY. 1980. Ekologi Tropika: Membicarakan alam tropika Afrika, Asia, dan
Dunia Baru. Tanuwidjaja U, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan
dari: Elements of Tropical Ecology.
Frank, H. 2002. Pathways of Arrival . Enfield : Science Publisher (119-137)
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jose S, Kohli RK, Singh HP, Batish DR, Pieterson EC. 2009. Invasive plants: a threat
to the integrity and sustainibility of forest ecosystem. Dalam: Kohli RK, Jose S,
Singh HP, British DR. 2009. Invasive Plants and Forest Ecosystem. New York:
CRC Press.
Kusmana C. 2010. Spesies Invasif [terhubung berkala]. http://blogarchive-spesiesinvasif-html (diakses tanggal 2 November 2011)
Meynyeng.
2010.
Keanekaragaman
Tumbuhan
[terhubung
berkala]
http://www.keanekaragaman-tumbuhan-Menyeng-html (di akses tanggal 2
November 2011)
Preston,G. and Williams, L. 2003. Service Delivery Review2. Case Study : The
Working for Water programme : Threats and Successes
Primack RB. 1998. Biologi Konservasi. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M,
Kramadibrata P, penerjamah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan
dari: A Primer of Conservation Biology.
Prinando M. 2011. Keanekaraman Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Kampus IPB
Darmaga, Bogor[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertania Bogor.
Purwono B, Wardhana BS, Wijanarko K, Setyowati E, Kurniawati DS. 2002.
Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif. Jakarta: Kantor
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan The Nature Consevancy.
Tjitrosoedirjo S. 2004. Management of invasive alien plants species.[makalah].
Disampaikan dalam: Regional Training Course on Integrated Management of
Invasive Alien Plant Species. Bogor, 18-28 Mei 2004. Bogor: BIOTROP.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sukisman T. 2010. Tumbuhan invasif di hutan [slide presentasi].Bogor: BIOTROP.
Sunaryo dan Tihurua EF. 2010. Catatan Jenis-jenis Tumbuhan Asing & Invasif di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Berita Biologi 10 (2) :
1-3
UN] United Nations. 1992. Convention on Biological Diversity. New York : United
Nation
Wittenberg R, Cock MJW. 2003. Invasive Alien Species: A Toolkit Best Preventation
and Management Practices. Cambridge: CABI Publishing.
Download