4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Tanaman padi menurut para sejarahwan diduga berasal dari India. Tanaman ini kemudian menyebar ke negara-negara Asia bagian timur, seperti Philipina, Jepang, dan kepulauan-kepulauan di lautan Pasifik. Malaysia merupakan negara pertama penaman padi di sebelah selatan India. Tanaman padi masuk ke Indonesia sekitar tahun 1500 sebelum masehi (SM) (Siregar 1981). Tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua benua yaitu benua Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zhejiang, China sudah dimulai pada 3000 tahun SM (Purwono dan Purnamawati 2007). Padi merupakan tanaman pangan dan makanan pokok utama bagi lebih dari sepertiga penduduk dunia. Padi yang diproduksi dan dikonsumsi lebih dari 90% terpusat di Asia. Padi yang diperkirakan sebanyak 20 spesies tersebar di daerah tropik Afrika Selatan, Asia Tenggara, China Selatan, Amerika Tengah, Amerika Selatan (De Datta 1981). Tanaman padi dengan faktor lingkungan sangat berkaitan erat, dan antar faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh misalnya faktor fisik seperti tanah, iklim, faktor sarana produksi (pupuk dan pestisida) yang diberikan oleh manusia dan faktor biotik seperti serangga, cendawan, bakteri, virus, dan lain-lain. Pada keadaan tertentu bila salah satu faktor lebih dominan pengaruhnya dari faktorfaktor yang lainnya sehingga dapat mengakibatkan timbulnya penyakit (Siregar 1981). Botani dan Morfologi Padi Padi (Oryza sativa L.) termasuk famili Gramineae (rumput-rumputan) dari genus Oryza (Purwono dan Purnamawati 2007). Padi merupakan tumbuhan dengan batang yang beruas-ruas. Ruas-ruas itu merupakan bubung kosong yang pada kedua ujungnya ditutupi oleh buku. Pada buku bagian bawah dari ruas tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai buku bagian atas. Sedangkan buku bagian atas, ujung daun pelepah memperlihatkan percabangan dimana 5 cabang terpendek menjadi lidah daun atau ligula dan bagian yang terpanjang dan terbesar disebut daun kelopak. Daun kelopak terdapat dua embelan sebelah kiri dan kanan yang disebut auricle. Daun kelopak yang membalut ruas paling atas dari batang disebut daun bendera (flag-leaf). Tepat pada lidah daun dan daun bendera teratas muncul ruas yang menjadi bulir padi. Bulir ini terdiri dari ruasruas yang pendek. Pada tiap ruas kiri dan kanan timbul cabang-cabang bulir, dan pada tiap-tiap ujung cabang bulir tedapat bunga padi (Siregar 1981). Tumbuhan ini bersifat merumpun yaitu satu bibit yang ditanam membentuk satu rumpun dengan 20-30 anakan atau lebih. Bagian-bagian tanaman dibagi menjadi dua yaitu bagian vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun. Bagian generatif terdiri dari malai, bunga, dan gabah (Siregar 1981). Taksonomi Padi Padi (Oryza sativa L.) merupakan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dengan urutan secara taksonomi (Siregar 1980): Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Class : Liliopsida (Monocotyledons) Subclass : Commelinidae Order : Cyperales Family : Poaceae Genus : Oryza Spesies : Oryza sativa L. Varietas Padi Varietas padi merupakan segolongan tanaman yang satu sama lain mempunyai sifat-sifat yang sama. Sifat-sifat tersebut diwariskan olah tanaman tersebut kepada keturunannya. Suatu varietas padi dikatakan unggul apabila varietas tersebut mempunyai sifat-sifat yang lebih daripada sifat yang dimiliki 6 oleh varietas padi lainnya. Sifat-sifat unggul tersebut antara lain seperti daya hasil yang lebih tinggi, umur yang lebih pendek, tahan terhadap hama dan penyakit, lebih tahan terhadap tumbangnya pertanaman, mutu beras, dan rasa nasi yang lebih enak (Siregar 1981). Oryza memiliki 25 sepesies. Jenis yang lebih dikenal adalah Oryza sativa dengan dua spesies yaitu Japonica (padi bulu) yang ditanam di daerah subtropis dan indica (padi cere) yang ditanam di Indonesia. Varietas unggul padi yang banyak ditanam saat ini berasal dari hasil silangan International Rice Research Institute (IRRI) atau silangan dalam negeri. Varietas hasil silangan IRRI biasanya diawali dengan IR, seperti IR48, IR64, IR65, IR70, IR72, dan IR74. Varietas hasil silangan dalam negeri biasanya didasarkan pada nama Sungai, Orang, antara lain Cisadane, Cisanggarung, Cisantana, Cisokan, Citanduy, Citarum, Fatmawati, Sintanur, Winongo, dan Yuwono. Varietas padi hibrida saat ini mulai dikembangkan antara lain Batang Kampar, Batang Samo, serta Hibrindo 1 dan 2 (Purwono dan Purnamawati 2007). IR64 Varietas padi IR64 merupakan padi tipe indica dengan umur tanaman 115 hari. IR64 dikeluarkan oleh IRRI (1985-1989) dengan masa berbunga 87 hari. Varietas padi ini rentan terhadap virus tungro tetapi resisten terhadap wereng hijau (Hibino 1987). IR64 merupakan hasil persilangan antara IR 5657-33-2-1/IR 2061-465-1-5-5. Rataan hasil varietas tersebut mencapai kurang lebih 5 ton/ha. Varietas ini memiliki ciri yaitu bentuk tanaman tegak dengan tinggi lebih kurang 85 cm, warna batang hijau, permukaan daun kasar, tegak, bentuk gabah ramping dan panjang berwarna kuning bersih, tidak mudah rontok, dan kerebahannya tahan. Jumlah anakan maksimum yang dapat dihasilkan oleh padi IR64 adalah 25 anakan per tanaman, sedangkan jumlah anakan produktif terbanyak yang dapat dihasilkan adalah 22-23 anakan per tanaman (BBPT Padi 2008a). 7 Tukad Petanu Varietas padi Tukad Petanu merupakan padi sawah golongan padi cere dengan umur tanaman 115-125 hari. Varietas ini memiliki ciri yaitu bentuk tanaman tegak dengan tinggi berkisar antara 115-120 cm, warna batang hijau, permukaan daun kasar, tegak, bentuk gabah ramping berwarna kuning jerami, mudah rontok, dan kerebahannya agak tahan. Anakan produktif sekitar 17-20 batang, potensial hasil dapat mencapai 7 ton/ha dengan rata-rata hasil 4 ton/ha. Varietas ini hasil persilangan IR52256-84-2-3/IR72//2*IR1561-2283/Utri Merah. Varietas ini tahan terhadap penyakit tungro, agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain VIII, dan agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 3. Tukad petanu memiliki tekstur nasi yang pulen. Varietas ini baik ditanam di daerah endemik penyakit tungro, khususnya daerah Bali dan Nusa Tenggara Barat (BPPP 2009). HIPA 4 Varietas padi HIPA 4 merupakan padi sawah golongan padi cere, kadangkadang berbulu yang memiliki umur 114-116 hari. Varietas ini hasil persilangan antara IR62829A/MTU9992, dilepas secara komersil sejak tahun 2004. Varietas ini memiliki ciri yaitu bentuk tanaman tegak, tinggi 86-95 cm, warna batang hijau, permukaan daun kasar, posisi daun tegak, leher malai keluar, bentuk gabah ramping berwarna kuning jerami, mudah rontok, kerebahan tahan, dan tekstur nasi pera. Anakan produktif sekitar 16-24 batang, potensial hasil dapat mencapai 10 ton/ha dengan rata-rata hasil 8 ton/ha. Varietas ini agak tahan terhadap penyakit tungro dan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VIII, dan agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 (BBPT Padi 2009). Padi Tipe Baru Padi tipe baru (PTB) merupakan salah satu hasil pemuliaan yang dicirikan dengan karakter agronomi malai yang lebat dan panjang (Halimah 2010). Galurgalur harapan merupakan hasil pemuliaan PTB menjadi varietas tanaman melalui perakitan varietas baru. Program perakitan PTB sejak tahun 1989 diinisiasi oleh 8 IRRI merupakan hasil persilangan antara padi indica dan japonica (Las et al. 2003). Tahun 1995 pembentukan PTB dimulai di Indonesia oleh Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa). Selama perkembangannya telah dihasilkan varietas dan sejumlah galur PTB dalam beberapa generasi (Las et al. 2003). Pembentukan PTB di Indonesia diarahkan pada PTB yang memiliki ciri-ciri jumlah anakan yang sedang tetapi semuanya produktif (12-18 batang), jumlah gabah per malai 150-250 butir, persentase gabah bernas 85-95%, bobot 1000 butir gabah 25-26 g, batang kokoh dan pendek (80-90 cm), daun tegak, sempit berbentuk huruf V, berwarna hijau sampai hijau tua, 2-3 daun terakhir tidak cepat luruh, akar banyak dan menyebar dalam, gabah langsing, mutu beras baik, serta tahan terhadap hama dan penyakit utama (Abdullah et al. 2008). Halimah (2010) melaporkan bahwa galur IPB97-F-13-1-1, IPB97-F-15-1-1, IPB97-F-20-2-1, IPB97-F-31-1-1, IPB97-F-44-2-1, IPB120-F-91-2-1, dan IPB120-F-92-1-1 dihasilkan dari tetua persilangan antara Fatmawati x IPB6-d10s-1-1-1. Galur-galur ini dihasilkan oleh Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Umur galur-galur tersebut berkisar antara 106-118 hari. Ciri galur-galur tersebut antara lain tinggi tanaman berkisar antara 108-136 cm, panjang malai 30-36 cm, jumlah gabah total 241-3030 butir/malai, jumlah gabah isi 175-268 butir/malai, semua anakan produktif (9-13 batang), bobot 1000 butir gabah sebesar 24-29 g, bentuk daun tegak, lebat, dan berwarna hijau. Nilai produksi gabah kering giling (GKG) galur-galur tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding Ciherang dan IR64 dari dua lokasi pengujian yaitu Bogor dan Kulon Progo sehingga dapat diusulkan untuk pelepasan varietas. Lokasi pengujian berpengaruh terhadap keragaman beberapa karakter agronomi galur-galur yang diuji, misalnya adanya interaksi antar genetik dengan lingkungan pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan total, panjang malai, bobot 1000 butir gabah dan produksi GKG (ton/ha). 9 Tungro Penyakit Tungro Tungro yang berarti ‘pertumbuhan terhambat’ untuk pertama kali ditemukan di Philiphina pada tahun 1963 dan merupakan penyakit yang sangat merugikan. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang ditularkan wereng daun terutama Nephotettix virescens (Semangun 1991). Penyakit tungro dikenal dengan beberapa nama seperti penyakit merah di Malaysia, accep na pula di Philipina, dan yellow orange leaf di Thailand (Ling 1972). Penyakit tungo merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara (Cabautan et al. 1995). Di Indonesia, penyakit tungro mula-mula hanya terbatas penyebarannya di daerah tertentu seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (Said et al. 2007). Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Pada awal tahun 1970-an ledakan penyakit tungro dilaporkan terjadi di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia (Ou 1985). Kini, penyakit tungro hampir ditemukan di seluruh daerah penghasil padi (Said et al. 2007). Penyakit tungro pada padi secara ekonomi merupakan penyakit yang sangat penting karena menimbulkan kerugian yang sangat besar. Pada tahun 2005/2006, virus tungro menyerang tanaman padi di NTB dan Manokwari dengan tingkat serangan sedang sampai berat. Selanjutnya pada musim tanam tahun 2010 produksi padi menurun hingga lebih dari 10% di Bengkulu (Bengkulu Express 2010). Kehilangan hasil akibat serangan virus tungro di Indonesia diperkirakan rata-rata 12.000 ha/tahun atau kerugiannya senilai Rp 48 miliar/tahun (asumsi harga gabah Rp 1.000/kg) (Puslitbangtan 2007). Gejala Penyakit Tungro Gejala utama pada tanaman padi yang terinfeksi virus tungro adalah perubahan warna daun menjadi kuning-oranye, kerdil, dan penurunan jumlah anakan (Hibino et al. 1978). 10 Gambar 1 Gejala serangan virus tungro pada daun tanaman padi. Warna daun menguning (oranye) dimulai dari ujung daun dan berkembang sejajar dengan tulang daun (http://www.agrilands.net) Virus tungro yang menginfeksi tanaman juga menyebabkan helaian dan pelepah daun memendek, dan jumlah anakan sedikit. Pada bagian bawah helai duan muda terjapit oleh pelepah daun sehingga daunnya terpuntir dan menggulung. Daun tanaman padi yang terinfeksi virus tungro kadang terlihat ramping menggulung keluar dan seperti spiral. Selanjutnya infeksi virus tungro menyebabkan malai pendek, gabah tidak terisi sempurna atau kebanyakan hampa dan terdapat bercak-bercak coklat yang menutupi malai (Ling 1972). Penurunan jumlah anakan sangat tinggi bila infeksi terjadi pada stadium pertumbuhan sangat awal. Jumlah anakan tanaman padi dipengaruhi umur tanaman dan jumlah anakan mungkin akan meningkat apabila infeksi virus tungro terjadi setelah tanaman berumur lebih dari satu bulan. Namun jumlah anakan akan tetap sedikit jika selama infeksi terjadi penghambatan pertumbuhan pada tanaman padi (Ling 1972). Ukuran atau tinggi tanaman akan menurun tajam dengan bertambahnya umur tanaman pada saat terjadi infeksi. Semakin tua tanaman yang terinfeksi maka reduksi ukuran tanaman yang terjadi akan semakin rendah. Semakin muda daun tanaman yang terinfeksi maka reduksi tanaman akan semakin tinggi (Ling 1972). 11 Virus Tungro Tungro disebabkan oleh infeksi ganda dari dua virus yang berbeda, yaitu Rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) dan Rice tungro spherical waikavirus (RTSV) (Hibino et al. 1978). Kedua virus tersebut tidak mempunyai hubungan kekerabatan karena secara morfologi dan genom keduanya tidak mempunyai kesamaan (Dahal et al. 1997). Kedua virus tersebut hidup bebas di dalam tanaman padi, RTSV terbatas hanya di dalam jaringan floem dan RTBV terdapat pada jaringan xylem dan floem (Azzam dan Choncellor 2002). Menurut Hibino (1987) partikel virus tungro ditemukan di daun, akar, jaringan parenkim, floem, dan sitoplasma. RTBV termasuk famili Caulimoviridae, genus Badnavirus. Bentuk partikel RTBV adalah bacilliform dengan diameter 30-35 nm dan panjang kira-kira 100300 nm yang bervariasi antara isolat (Hibino et al. 1978). Asam nukleat RTBV adalah DNA utas ganda dan bulat lebih kurang 8 kb (kilo base). Asam nukleat tersebut mengandung dua daerah yang tidak bersambung yang merupakan hasil dari proses replikasi oleh reverse transcriptase dan mempunyai empat open reading frames (ORFs) (Hull 1996) RTSV termasuk kedalam famili Sequiviridae, genus Waikavirus. RTSV mempunyai genom poliadenil ssRNA, unipartit, terbungkus partikel isometrik dengan diameter 30 nm (Hibino et al. 1978). Genom RNA RTSV kira-kira 11 kb dan protein selubungnya terdiri dari dua jenis molekul protein (Agrios 1997). Penularan Virus Tungro Virus tungro dapat ditularkan oleh wereng daun yang terdiri dari dua genus yaitu Nephotettix dan Recilia. Spesies dari genus Recilia yang dapat menularkan virus tungro yaitu Recilia dorsalis. Genus Nephotettix yang dapat menularkan virus tungro terdiri dari 4 spesies, yaitu N. virescens, N. nigropictus, N. parvus, dan N. malayanus. Virus tungro ditularkan terutama oleh wereng hijau N. virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) (Hibino 1987). Tingkat serangan N. virescens dalam mentransmisikan virus mencapai 85-100%, diikuti oleh N. nigropictus kurang dari 35%, R. dorsalis kurang dari 5%, N. parvus dan N. malaynus 1-2% (Ling 1979). 12 Sifat hubungan virus tungro dengan vektornya adalah semipersisten (lamanya virus ditahan dalam vektor hanya beberapa hari). Vektor makan pada jaringan floem tanaman yang sakit untuk memperoleh virus dan membutuhkan waktu yang agak panjang. Virus yang telah diperoleh hanya dapat bertahan untuk beberapa hari dan daya tularnya akan hilang pada saat pergantian kulit (Bos 1990). Lama waktu yang dibutuhkan vektor untuk memperoleh virus berkisar antara 5-30 menit. Vektor yang telah mendapatkan virus dapat segera menularkan virus secara terus-menerus sampai vektor tersebut kehilangan kemampuan untuk menularkannya. Periode retensi atau masa terlama vektor untuk menularkan virus adalah 6 hari (Wathanakul dan Weerapat 1969 dalam Widiarta 2005). Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menularkan virus berkisar antara 7-30 menit (Ling 1968 dalam Widiarta 2005). Cabautan dan Hibino (1984) menyatakan bahwa wereng hijau dapat menularkan RTSV dari tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi tidak mampu menularkan RTBV dari tanaman yang hanya terinfeksi RTBV. RTBV dapat ditularkan oleh wereng hijau yang telah terinfeksi RTSV. Dalam penularan virus tungro, RTBV merupakan virus dependent sedangkan RTSV berfungsi sebagai virus pembantu. Wereng hijau yang dapat menularkan virus tungro adalah pada fase nimfa, imago jantan dan betina, namun tidak bisa melalui telur. Faktor lain seperti tanah, air, polen dan biji padi tidak dapat menularkan virus tungro. Virus tungro juga tidak dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis atau kontak antar tanaman (Hibino 1987). Ketahanan Tanaman Ketahanan merupakan kemampuan inang dalam mempertahankan diri terhadap virus dengan berbagai cara, antara lain membatasi penyebaran virus dan memelihara kenormalan proses pertumbuhan. Dalam tanaman yang tahan, virus tidak menyebabkan timbulnya gejala dan virus tidak bereplikasi. Mekanisme ketahanan inang dapat berupa ketahanan statis yaitu pertahanan struktural, anatomikal, dan morfologikal, dan pertahanan dinamis yang menghasilkan 13 senyawa yang dapat menekan dan menginaktifkan virus (Grec 1992 dalam Sariningsih 2005). Agrios (1997) menyatakan bahwa mekanisme katahanan inang terhadap patogen berupa pertahanan struktural dan pertahanan biokimia. Pertahanan struktural inang merupakan pertahanan melalui hambatan fisik yang dapat menekan patogen mulai dari masuk sampai menyebar ke dalam tubuh tanaman. Sedangkan pertahanan biokimia adalah pertahanan reaksi biokimia sel dan jaringan tanaman dengan memproduksi substansi. Substansi dalam reaksi tersebut bersifat toksik terhadap patogen yaitu dengan menciptakan kondisi yang dapat menghambat pertumbuhan patogen di dalam tanaman. Matthews (1992) menyebutkan bahwa faktor genetis menjadikan inang seringkali memberikan respon yang berbeda terhadap infeksi virus, yaitu (1) imun, dimana tanaman tidak terinfeksi dalam berbagai keadaan, (2) resisten terhadap penyakit, (3) hipersensitif atau tanpa adanya penyebaran virus lebih lanjut, (4) toleran, dimana virus dapat memperbanyak diri dan menyebar luas di dalam tubuh tanaman tetapi gejala yang terlihat sangat lemah atau tidak berarti. Ketahanan tanaman terhadap virus tungro dan wereng hijau dikendalikan oleh beberapa gen yang independen. Berdasarkan gen tahan yang dimiliki suatu varietas dapat digolongkan menjadi empat varietas, yaitu T0-T4. Varietas yang termasuk golongan T0 (tidak memiliki gen tahan) adalah varietas IR5, Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, dan Lusi. Varietas yang tergolong T1 (Glh1) adalah IR32, IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung, Krueng Aceh, dan Begawan Solo. Varietas yang tergolong T3 (Glh5) adalah IR50, IR48, IR54, IR52, dan IR64. Varietas yang tergolong T4 (Glh4) adalah IR66, IR70, IR72, IR68, Barumun, dan Klara (Widiarta et al. 2004).