1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saluran pencernaan manusia bila dibentangkan dapat mencapai luas 200 m2 yang berguna untuk meningkatkan daya serap makanan. Permukaan yang sangat luas menjadikan saluran pencernaan mengalami lebih banyak kontak dengan lingkungan luar. Hal ini terjadi karena saluran pencernaan selalu terekspos makanan selama proses mencerna makanan (Tamime 2005). Frekuensi kontak dengan lingkungan luar yang sering mengakibatkan saluran pencernaan rentan terhadap gangguan. Gangguan terhadap saluran pencernaan (gastroenteridis) bervariasi dari yang ringan hingga yang berat serta dapat pula menyebabkan kematian. Salah satu contoh gangguan terhadap saluran pencernaan yang paling sering terjadi adalah diare. Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak-anak di negara yang sedang berkembang dengan perkiraan 1.3 milyar kejadian dan 3.2 juta kematian setiap tahun pada anak-anak (Prasetyo & Fadlyana 2004). Escherichia coli (E. coli) merupakan bakteri patogen yang paling banyak menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan berupa diare. Terdapat enam kategori E. coli penyebab diare, yaitu enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC) atau shiga toxin-producing E. coli (STEC), enteroaggregative E. coli (EAEC), dan diffusely adherent E. coli (DAEC). Strain EPEC diidentifikasi sebagai bakteri yang paling sering menyebabkan diare pada anak (Araujo et al. 2007). Budiarti (1997) menyatakan bahwa enteropathogenic E. coli (EPEC) merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia dengan prevalensi mencapai 55% dari keseluruhan kejadian diare. EPEC melekat pada mukosa usus dengan cara khusus. Perlekatan pada sel inang menyebabkan terjadinya kerusakan mikrovilli, peningkatan permeabilitas paraseluler, dan merangsang proses inflamasi (Savkovic et al. 2005). Inflamasi merupakan respon tubuh dalam mengerahkan elemen-elemen sistem imun untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme yang masuk 2 tubuh serta membersihkan jaringan yang rusak. Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Selama proses fagositosis, reseptor fagosit yang mengikat mikroba mengirimkan sinyal yang mengaktifkan beberapa enzim dalam fagolisosom. Enzim tersebut mengubah molekul oksigen menjadi radikal bebas anion superoksida dan hidrogen peroksidase (Baratawidjaja 2006). Radikal bebas adalah molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Radikal bebas mempunyai banyak bentuk seperti radikal hidroksil, peroksil, anion superoksida, dan lain-lain. Peningkatan radikal bebas yang berlebihan ini akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu kondisi terjadinya ketidakseimbangan antara radikal bebas yang terdapat di dalam tubuh dimana keberadaan radikal-radikal bebas melampaui kapasitas antioksidan yang terdapat di dalam tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan kerusakan mulai dari tingkat molekul DNA, protein, lipid, sampai dengan kerusakan pada tingkat selular, jaringan, dan organ yang menyebabkan disfungsi, luka sel (cell injury), degenerasi, penurunan fungsi, dan akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif dan memperpendek umur biologis atau penuaan serta kematian sel (Halliwell & Gutteridge 1999). Ginjal sebagai salah satu organ penting dan mempunyai fungsi vital sangat memungkinkan terkena dampak langsung stres oksidatif. Kondisi stres oksidatif dapat mempengaruhi proses-proses fisiologis maupun biokimia tubuh yang mengakibatkan gangguan metabolisme dan fungsi. Telah dilaporkan bahwa keadaan stres tersebut menimbulkan penurunan kandungan antioksidan copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) di ginjal tikus (Wresdiyati et al. 2002). Upaya yang dilakukan untuk mengurangi penyakit saluran pencernaan salah satunya dengan mengkonsumsi pangan fungsional. Pangan fungsional yang dapat menghambat bakteri patogen pada saluran pencernaan adalah probiotik. FAO (2002) mendefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat memberikan manfaat kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Probiotik yang umum dipakai pada pangan komersial adalah golongan bakteri asam laktat (BAL). Lactobacillus dan 3 Bifidobacterium merupakan BAL yang telah terbukti sebagai probiotik yang memiliki pengaruh paling baik bagi kesehatan khususnya gastrointestinal pada manusia. BAL ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri enteric pathogen seperti E. coli dengan cara memproduksi substansi penghambat seperti asam organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. Senyawa ini tidak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri tetapi dapat mempengaruhi metabolisme bakteri atau produksi toksin (Rolfe 2000). Penelitian mengenai potensi BAL dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan saluran pencernaan telah banyak dilakukan. Namun demikian, belum dilakukan penelitian tentang pengaruh BAL terhadap kandungan Cu,Zn-SOD organ tubuh khususnya di ginjal. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevalusi pengaruh BAL khususnya Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum terhadap kandungan antioksidan copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) pada ginjal tikus percobaan secara imunohistokimia. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian bakteri asam laktat (BAL) yang memiliki potensi sebagai probiotik (Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum) terhadap profil imunohistokimia antioksidan copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) di jaringan ginjal pada tikus yang dipapar bakteri enteropathogenic E.coli (EPEC).