4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Escherichia coli

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Escherichia coli
Escherichia coli pertama kali diidentifikasikan oleh dokter hewan Jerman,
Theodor Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi hewan.
Pada 1885, beliau menggambarkan organisme ini sebagai komunitas bakteri coli
(Escherich 1885) dengan seluruh patogenitasnya di infeksi saluran pencernaan.
Nama “Bacterium Coli” sering digunakan sampai pada tahun 1991 (Jawetz, 1996).
Kingdom
:
Bacteria
Phylum
:
Proteobacteria
Class
:
Gamma Proteobacteria
Orde
:
Enterobacteriales
Family
:
Enterobacteriaceae
Genus
:
Escherichia
Species
:
Escherichia coli
Gambar 2.1. Bentuk mikroskopik Escherichia coli (Zein, 2004).
4
5
E. coli dari anggota family Enterobacteriaceae. Ukuran sel dengan panjang
2,0-6,0 μm dan lebar 1,1-1,5 μm. Tidak ditemukan spora dan merupakan bakteri
gram negatif. Selnya bisa terdapat tunggal, berpasangan, dan dalam rantai pendek,
biasanya tidak berkapsul. Habitat alamiah E. coli terbatas pada usus, seringkali
menyebabkan infeksi.
2.1.1. Morfologi
E. coli dapat bertahan hingga suhu 60oC selama 15 menit atau pada 55oC
selama 60 menit. E. coli akan tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37oC pada
media yang mengandung 1% peptone sebagai sumber karbon dan nitrogen. E. coli
memfermentasikan laktosa dan memproduksi indol yang digunakan untuk
mengidentifikasikan bakteri pada makanan dan air.
E. coli yang menyebabkan diare sangat sering ditemukan di seluruh dunia.
E.coli dapat diklasifikasikan berdasarkan ciri khas sifat-sifat virulensinya, antara
lain:
a. Enteropatogenik E. coli (EPEC)
EPEC adalah penyebab penting diare pada bayi, khususnya di Negara
berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil. Akibat dari infeksi EPEC
adalah diare cair yang biasanya sembuh sendiri tetapi dapat juga kronik. Diare terjadi
pada manusia, kelinci, anjing, kucing dan kuda. EPEC menyebabkan diare tetapi
mekanisme molekular dari kolonisasi dan etiologi adalah berbeda. EPEC sedikit
fimbria, ST dan LT toksin, tetapi EPEC menggunakan adhesin yang dikenal sebagai
intimin untuk mengikat inang sel usus. Sel EPEC invasif (jika memasuki sel inang)
dan menyebabkan radang.
6
b. Enterotoxigenik E. Coli (ETEC)
ETEC merupakan penyebab yang sering menyebabkan diare pada bayi di
Negara berkembang. Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik untuk menimbulkan
pelekatan ETEC pada sel epitel usus kecil. Lumen usus terengang oleh cairan dan
mengakibatkan hipermortilitas serta diare, dan berlangsung selama beberapa hari.
ETEC menggunakan fimbrial adhesi (penonjolan dari dinding sel bakteri) untuk
mengikat sel-sel enterocit di usus halus.
c. Enterohemoragic E. coli (EHEC)
EHEC menghasilkan verotoksin, dinamai sesuai efek sitotoksinya pada sel
Vero, suatu sel hijau dari monyet hijau Afrika. EHEC dapat menyebabkan diare yang
cukup dengan sindroma uremia hemolitik, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan
trombositopenia. Banyak kasus EHEC dapat dicegah dengan memasak daging
sampai matang. Diare ini ditemukan pada manusia, sapi, dan kambing.
d. Enteroinvansif E. coli (EIEC)
EIEC menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan shigellosis. EIEC
melakukan fermentasi laktosa dengan lambat dan tidak bergerak. EIEC menimbulkan
penyakit melalui invasinya ke sel epitel mukosa usus. Diare ini ditemukan hanya
pada manusia.
e. Enteroagregatif E. coli (EAEC)
EAEC menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara
berkembang. Bakteri ini dikenali dengan pola khas pelekatannya pada sel manusia.
EAEC memproduksi hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan ETEC.
7
2.2. Pertumbuhan Bakteri
Dwidjoseputro (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan sel adalah bertambah
besarnya sel-sel baru hingga masing-masing sel-sel baru tersebut menjadi sel-sel
induk. Pertumbuhan sel dimulai setelah terjadi pembelahan sel, misalnya sel
berbentuk coccus akan membelah diri menjadi dua setengah bola, kemudian
keduanya tumbuh menjadi sebesar induk coccus. Pertumbuhan sel dipengaruhi oleh
beberapa faktor luar, antara lain media, kelembaban, pH dan suhu. Apabila faktorfaktor luar tersebut tidak menguntungkan maka pertumbuhan sel akan terhambat
karena akan mempengaruhi penyerapan zat-zat makanan yang tersedia di dalam
media dan begitu pula sebaliknya.
Pertumbuhan bakteri menurut Prescott et al (1994) dibagi menjadi empat
fase, antara lain :
1. Fase Adaptasi/Lag
Pada fase ini sel belum mengalami pertumbuhan dan masih beradaptasi
dengan lingkungan dan media yang ada.
2. Fase Eksponensial/Log
Pada fase ini pertumbuhan bakteri berlangsung cepat, hal ini dimungkinkan
karena pengaruh faktor-faktor luar yang menguntungkan sehingga mempermudah
sel dalam penyerapan zat-zat makanan yang tersedia pada media.
3. Fase Stasioner
Pada fase ini jumlah bakteri yang berkembang biak sama dengan bakteri yang
mati dan kecepatan berkembang biak menjadi berkurang. Hal ini disebabkan oleh
buruknya media dan perubahan pH sehingga terjadi penyusutan jumlah sel.
8
4. Fase Kematian
Pada fase kematian, jumlah sel yang mati semakin banyak dan melebihi
jumlah sel yang membelah diri.
Gambar 2.2. Grafik pertumbuhan bakteri (Jovisaputra, 2011)
2.3. Metode Perhitungan Bakteri
Pertumbuhan bakteri dapat diketahui dengan mengukur perubahan sel dalam
suatu populasi. Metode yang digunakan adalah (Dwijoseputro, 1998):
a. Cawan hitung
b. MPN (Most Probable Number)
c. Hitungan langsung
d. Turbidimitrik (melihat kekeruhan dalam suatu media)
Jumlah sel mikroorganisme yang terdapat pada suatu bahan dapat ditentukan
secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat
menggunakan ruang hitung atau hemasistometer. Metode ini lebih cepat pada proses
pengerjaannya dan tidak memerlukan banyak alat, namun kekurangannya adalah
9
tidak dapat membedakan sel hidup dan sel mati serta sulit untuk menghitung sel yang
berukuran sangat kecil. Jumlah sel yang terhitung dengan alat hemasistometer adalah
total sel yang ada dalam suatu populasi.
Kuantisasi sel mikroorganisme secara tidak langsung dapat digunakan untuk
menghitung jumlah sel hidup dengan menggunakan hitungan cawan. Metode ini
tergantung pada pengenceran secara serial dan pencawanan hasil pengenceran
tersebut. Ada dua macam cara hitung cawan, yaitu penyebaran dan penuangan, pada
cara penyebaran, contoh suspensi bakteri yang telah diencerkan diletakkan di atas
media cawan agar kemudian disebarkan dengan batang kaca penyebar/hoki stick.
Contoh suspensi pada cara penuangan diletakkan di dalam cawan petri kosong steril,
kemudian di dalamnya dituangkan media nutrient agar (NA) cair pada suhu 50oC.
setelah cawan diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu, sel-sel yang masih hidup
akan tumbuh dan membentuk koloni.
Setiap koloni dianggap berasal dari satu sel yang kemudian mengalami
pembelahan. Cawan yang dipilih untuk perhitungan koloni adalah yang mengandung
antara 30-300 koloni.
2.4. Sinar Ultraviolet
Sinar ultraviolet secara umum tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Panjang
gelombangnya yang pendek meliputi kisaran dari yang dapat dilihat sebagian sebagai
gelap total, yaitu pada panjang gelombang dari 10 – 400 nm, dengan kemampuan
membunuh pada 200 – 290 nm dan maksimum pada 260 nm.
10
Gambar 2.3. Sinar Ultraviolet (Gibson, 2009).
Sumber sinar ultraviolet dibagi menjadi dua, yaitu sinar matahari dan sinar
buatan manusia.
1. Sinar Matahari
Sinar matahari memancarkan sinar ultraviolet, namun dalam pancarannya
ke bumi, banyak diserap oleh atsmosfer bumi (atom oksigen dan ozon)
2. Sinar Buatan Manusia
Manusia membuat sinar ultraviolet demi kebutuhan. Sinar ultraviolet
buatan manusia dibangkitkan dari lampu uap merkuri (mercury vapour
lamp) baik yang bertekanan rendah maupun yang bertekanan tinggi seperti
lampu fluoresensi (fluorecency lamp), dan lampu fotokemis (photochemis
lamp).
Sinar UV dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis menurut panjang
gelombangnya seperti pada Tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1. Spektrum panjang gelombang sinar ultraviolet (Gibson, 2009).
Nama
Sinar Ultraviolet
Klasifikasi
Panjang Gelombang
UV-A
320 – 400 nm
UV-B
290 – 320 nm
UV-C
100 – 290 nm
UV-Vacum
10 – 200 nm
11
Karena besarnya panjang gelombang UV-C dengan UV-Vacum hampir sama, maka
dari UV-Vacum sampai dengan UV-C disebut sebagai UV-C dengan panjang
gelombang (10 – 290 nm) (Gibson, 2009).
2.5. Intensitas Cahaya
Sumber cahaya selalu memancarkan energi dalam segala arah, daya yang
diberikan oleh suatu sumber cahaya dinyatakan sebagai intensitas cahaya (Gabriel,
2001). Intensitas tergantung pada sejumlah lumen dan pancaran dalam satu daerah
yang melalui sudut pancaran. Intensitas cahaya dinyatakan dengan rumus :
I
Dengan :
F
F

(2.1)
= Fluks luminous (lumen)
Ω = Sudut pancaran (steradian)
I
= Intensitas cahaya (Lumen/sd atau candela)
Sudut pancaran cahaya dinyatakan dalam rumus :

Dengan :
A
R2
(2.2)
A = Bagian dari luas permukaan benda yang kena cahaya (m2)
Ω = Sudut pancaran (steradian)
R
= Jari – jari bola (m)
Hukum – hukum penerangan (illumination)
1. Besarnya E sebanding dengan intensitas penerangan I, atau E ≈ I.
2. Inverse Square Law. Illuminasi pada sebuah permukaan besarnya
proporsional berbanding terbalik dengan kuadrat jarak permukaan dengan
sumber (Hadi, 2010).
12
EI
1
R2
(2.3)
Untuk jarak yang konstan maka E~I, sehingga kuat penerangan dapat dipakai
sebagai ukuran intensitas cahaya sumber cahaya.
2.6. Luxmeter
Cahaya bisa dikatakan sebagai suatu bagian yang mutlak dari kehidupan
manusia. Lux meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur besarnya intensitas
cahaya di suatu tempat. Besarnya intensitas cahaya ini perlu untuk diketahui karena
pada dasarnya manusia juga memerlukan penerangan yang cukup. Untuk mengetahui
besarnya intensitas cahaya ini maka diperlukan sebuah sensor yang peka dan linier
terhadap cahaya sehingga cahaya yang diterima oleh sensor dapat diukur dan
ditanpilkan pada sebuah tampilan digital ataupun non digital.
Gambar 2.5. Lux Meter (Syahrul, 2008).
Pengkalibrasian alat ukur ini dilakukan dengan jarak antara sumber cahaya ke
sensor sebesar 100 cm atau 1 m dan dalam posisi tegak lurus. Untuk mendapatkan
sumber cahaya digunakan sebuah lampu dan pengkalibrasian ini dilakukan dalam
sebuah ruangan dengan kondisi ruangan gelap.dapat dilihat pada gambar:
13
Gambar 2.6. Cara pengkalibrasian alat (Syahrul, 2008).
2.7. Pengaruh Sinar Ultraviolet terhadap Bakteri
Radiasi didefinisikan sebagai transmisi energi-energi melalui ruangan. Semua
bentuk radiasi dapat merusak mikroorganisme, yang menyebabkan kematian atau
mutasi.
Sumiawiria, U. (1986) menyatakan bahwa cahaya mempunyai daya hambat
atau dapat merusak sel mikroorganisme yang tidak mempunyai figmen fotosintesa.
Sedangkan cahaya dengan gelombang pendek dapat berpengaruh terhadap jasad
hidup. Sinar dengan gelombang panjang juga dapat mempunyai daya fotodinamik
dan daya biofisik, misalnya matahari. Cahaya yang tampak oleh mata manusia, yaitu
390 μm hingga 760 μm tidak begitu berbahaya. Namun cahaya dengan panjang
gelombang yang lebih pendek, yaitu 240 μm hingga 300 μm, lebih membahayakan.
Dua kelompok utama radiasi yang telah digunakan untuk mengendalikan
mikroorganisme adalah radiasi pengion (sinar-X, sinar gamma dan sinar katoda) dan
sinar ultraviolet. Jika energi diabsorpsi oleh sel mikroorganisme, akan menyebabkan
terjadinya ionisasi komponen sel. Ionisasi molekul tertentu dari protoplasma dapat
14
menyebabkan
kematian,
perubahan
genetika
ataupun
dapat
menghambat
pertumbuhannya.
Sinar ultraviolet yang paling efektif untuk membunuh mikroorganisme adalah
yang memiliki panjang gelombang mendekati 260 nm. Sinar ultraviolet dengan
panjang gelombang di bawah 200 nm tidak efektif untuk membunuh bakteri karena
mudah diserap oleh oksigen di atmosfer. Dengan melihat sifat penetrasi iradiasi
ultraviolet yang lemah di dalam larutan dan bahkan tidak dapat melakukan penetrasi
pada bahan makanan padat, maka mikroba yang dapat dibunuh hanyalah berada pada
permukaan bahan. Pada umumnya bakteri gram negatif, bakteri dengan bentuk
batang bukan merupakan pembentuk spora, mudah mengalami kematian oleh radiasi
ultraviolet (Hidayat N, dan Suhartini S, 2006).
Penggunaan lain dari sinar ultraviolet untuk industri bahan makanan adalah
ruang pendingin yang dipergunakan untuk menyimpan daging. Tujuannya untuk
menunda pertumbuhan mikroba pada permukaan. Iradiasi ultraviolet dengan
intensitas 2 mW/cm2 terhadap Pseudomonas pada daging dapat mengurangi
kecepatan pertumbuhannya menjadi 85% bila dibandingkan dengan kontrol, dan
akan menjadi 75% bila intensitas pada permukaannya 24 mW/cm2.
Download