BAB II PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA A

advertisement
BAB II
PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA
A. Pengertian Negara Hukum dan Negara Demokrasi
1. Negara Hukum
Dalam Ensiklopedia Indonesia, istilah “negara hukum” (rechtsaat)
dilawankan dengan istilah “negara kekuasaan” (machstaat). Istilah “negara
hukum” dirumuskan sebagai berikut :
a. Negara hukum (rechtsaat): negara bertujuan untuk menyelenggarakan
ketertiban hukum, yakni tata tertib pada umumnya berdasarkan hukum
yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum
supaya jangan terganggu, dan agar semuanya berjalan menurut hukum.
b. Negara kekuasaan (machstaat) : negara yang bertujuan untuk memelihara
dan mempertahankan kekuasaan semata-mata. Gumplowics, antara lain
mengajarakan, bahwa negara itu tidak lain adalah “eine Organisation der
Herrschaft einer Minoritar uber eine Majotaritat (Organisai dari
kekuasaan golongan kecil atas golongan besar). Menurut pendapatnya
ketaatan golongan lemah kepada golongan kuat.
Defenisi yang mungkin paling sederhana dari negara hukum adalah
pandangan yang menyatakan bahwa negara hukum berinteraksi langsung dengan
penekanan akan pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perorangan dan
pembatasan terhadap kekuasaan politik, serta pandangan yang menganggap
pengadilan tidak dapat dikaitkan dengan lembaga lain maupun dalam hal ini,
26
27
lembaga peradilan menjadi sebuah tataran yang independen dalam arti
terbatas dair pengaruh kekuasaan lain terutama oleh eksekutif. 36
Pemikiran tentang negara hukum telah muncul jauh sebelum terjadina
Revolusi 1688 di Inggris, tetapi baru muncul kembali pada Abad XVII dan mulai
popular pada Abad XIX. Latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum itu
merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau. Oleh karena
itu unsur-unsur negara hukum mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah dan
perkembangan masyarakat dari suatu bangsa.Sejarah timbulnya pemikiran atau
cita negara hukum itu sendiri sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari
usia ilmu negara ataupun Ilmu Kenegaraan. Cita negara hukum itu untuk pertama
kalinya dikemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut dipertegas oleh
Aristoteles. 37
Cita negara hukum merupakan gambaran ideal suatu bentuk negara yang
menjadi pedoman penyelenggaraan negara suatau bangsa. Cita negara hukum
dapat juga disebut dengan istilah lain, yaitu ide negara hukum, sepanjangcita
negara negara hukum tersebut dimaknai sebagai gagasan yang mengandung
gambara mengenai suatu bentuk negara yang ideal.Ide negara hukum adalah
gagasan mengenai suatu bentuk negara ideal yang selalu diidam-idamkan oleh
manusia agar diwujudkan dalam kenyataan, meskipun manusia selalu gagal
36
Ellydar Chaidir, Negara hukum demokrasi dan Konstalasi ketatanegaraan
Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, h.5.
37
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi Dan Judicial Review, UII Press,
Yogyakarta, 2015, h.1.
28
mewujudkan gagasan ini dalam kehidupan nyata. Ide (gagasan) negara hukum
lahir sebagai hasil peradaban manusia karena ide negara hukum merupakan
produk budaya. Ide negara hukum lahir dari proses dialektika budaya sebab ide
negara hukum lahir sebagai antithesis suatu proses pergumulan manusia terhadap
kesewenang-wenangan penguasa (raja) sehingga ide negara hukum mengandung
semangat revolusioner yang menentang kesewenang-wenangan penguasa. 38
Dalam bukunya Nomoi, Plato mulai memberikan perhatian dan artinya
yang lebih tinggi pada hukum. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintahan yang
baik ialah yang diatur oleh hukum. Cita Plato tersebut kemudian dilanjutkan oleh
murudnya bernama Aristoteles, suatu negara ang baik ialah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.Bagi Aristoteles, yang
memerintah dalam negara buanlah manusia melinkan pikiran yang adil, da
kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu
dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan
menjelmakan manusia yang bersikap adil.
Apabila keadaan semacam itu terlah terwujud, maka terciptalah suatu
“negara hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang
berdasarkan atas keadilan. Jadi, keadilanlah yang memerintah dalam kehidupan
bernegara, maka manusia harus dididik menjadi warga yang baik dan
bersusila.Meskipun cita negara hukum telah lahir sekian abad yang lalu, tetapi
38
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan, Kebijakan, Dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010, h.8.
29
untuk mewujudkan dalam kehidupan bernegara hingga saat ini bukanlah persoalan
yang mudah.
Dalam perkembangannya, terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum
yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui
sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi
dari sistem ini. Dengan kata lain negara harus ditopang dengan sistem demokrasi.
Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Demokrasi merupakan cara
paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.
Dalam kajian historis, perkembangan tipe negara hukum membawa
konsekuensi terhadap peranan hukum administrasi negara. Semakin sedikit
campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat akan semakin kecil pula
peranan hukum administrasi negara didalamnya. Sebaliknya dengan semakin
intensifnya campur tangan negara akan semakin besar pula peranan hukum
administrasi negara. 39 Terdapat beberapa tipe negara hukum antara lain, yakni :
a.
Negara Polisi/ Polizei Staat
Negara polisi ialah negara yang menyelenggarakan keamanan dan
kemakmuran atau perekonomian. Pada tipe ini negara bertugas menjaga tata tertib
saja atau dengan kata lain Negara Jaga Malam. Pemerintahan bersifat monarchie
absolute.
Ciri dari tipe negara ini :
1)
39
Penyelenggaraan negara postif (besturr)
Ni’matul Huda, Op.cit, h.2
30
2) Penyelenggaraan negara negatif (menolak bahaya yang mengancam
negara/keamanan ).
Negara polisi terkenal dengan slogannya “Sallus publica supreme lex”
(kepentingan umum sebagai yang harus diutamakan). Dan yang menentukan mana
yang merupakan umum dan yang bukan adalah raja. Rajalah yang menentukan
apa itu kepentingan umum, “L’etat c’est moi” (negara adalah aku (raja)). Jadi
bukan ditentukan oleh yang berkepentingan sendiri,yaitu orang banyak atau
rakyat. Kebebasan mengeluarkan pendapat, apalagi mengkritik raja menjadi tabu
bagi rakyat Perancis.
Praktik kenegaraan dan pemikiran kenegaraan baik di Eropa maupun di
Inggris, dapatlah dikatakan bahwa kekuasaan absolut raja-raja semuanya
bersandar pada tipe negara polis. Seluruh penyelenggaraan kehidupan bernegara
berada di tangan raja, atau setidak-tidaknya diselenggarakan dengan bantuan
lembaga bawahan atas perintah raja. Dan apabila penyelenggaraan kemakmuran
dilaksanakan oleh negara, maka tentulah akan menimbulkan keresahan, karena
rakyat merasa dirugikan. Keresahan timbul karena diikutsertakan dalam
pelaksanaan kehidupan bernegara sesuai dengan keinginan rakyat.
Oleh karena rakyat tidak mempunyai hak terhadap raja, dan segala sesuatu
ditentukan oleh raja, sehingga pada waktu itu belum dikenal Hukum Administrasi
Negara. Hanya ada suatu cabang imu pengetahuan tentang bagaimana caranya raja
harus memerintah agar rakyat menjadi makmur yang disebut “bestuurskunde”
atau “bestuusrsleer”. Seperti diketahui bahwa Hukum Administrasi Negara atau
bestuurreht itu lahir kemudian setelah kedudukan raja dan rakyat itu sama.
31
b.
Negara Hukum Liberal
Pemikiran negara hukum timbul sebagai reaksi atas konsep negara polisi
(polizei staat). Dengan mengikuti Hans Nawiasky, polizei terdiri atas dua hal,
yaitu Sicherheit Polizei yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan,
dan verwaltung polizei atau wohfarrt polizei yang berfungsi sebagai
penyelanggara perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warga
negara.
Karena
itu
polizeistaat
(negara
polisi)
artinya
negara
yang
menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta menyelenggarakan semua
kebutuhan hidup warga negaranya.Andai kata kedua fungsi itu diselenggarakan
dengan baik, artinya benar-benar memperhatikan kebutuhan warga negaranya,
maka hal itu tidak akan menimbulkan permasalahan. Tetapi yang terbanyak
adalah yang tidak baik, yang bertindak sewenang-wenang, dan bukan saja
mengabaikan
kepentingan
masyarakat,
tetapi
juga
menyalahgunakan
wewenangnya untuk kepentingan sendiri ataupun kelompoknya saja.
Konsep negara hukum oleh Immanuel Kant ditulis dalam karya ilmiahnya
yang berjudul Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre. Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa pihak yang bereaksi terhadap negara polizei adalah
orang-orang kaya dan pandai, yang disebut sebagai kamum borjuis liberal. Oleh
karena itu konsep negara hukum yang hasil pemikarannya pun dinamakan Negara
Hukum Liberal.Tipe negara hukum liberal ini menghendaki agar supaya negara
berstatus pasif artinya bahwa negara harus tunduk pada peraturan-peraturan
negara.penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Disini kaum liberal
32
menghendaki agar antara penguasa dan yang dikuasai ada suatu persetujuan dalam
bentuk hukum, serta persetujuan yang menguasai penguasa.
Penyelenggaraan perekonomian dalam negara hukum liberal berasaskan
persaingan bebas, laise faire, laise passer, siapa yang kuat dia yang menang.
Kepentingan masyarakat tidak perlu diperhatikan yang penting mereka (kaum
liberal)
mendapat
keuntungan
sebesar-besarnya.
Dengan
demikian
penyelenggaraan perekonomian yang diserahkan penuh kepada swasta, tanpa
pemerintah atau negara turut campur, tidak mendatangkan kemakmuran bagi
rakyat banyak, yang makmur hanyalah konglomerat kaum liberal saja. Lapangan
pekerjaan administrasi negara dalam negara hukum semacam ini, hanyalah
membuat dan mempertahankan hukum saja. Jadi negara hukum yang sempit ini
Hukum Administrasi Negara mulai muncul, meskipun masih terbatas. Oleh sebab
itulahunsur-unsur yang terdapat dalam negara hukum yang sempit ini memuat
adanya peradilan administrasi sebagai unsur keempat.
c.
Negara Hukum Formal
Negara hukum formal yaitu negara hukum yang mendapatpengesahan dari
rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus
berdasarkan undang-undang. Negara hukum formal ini disebut pula dengan
demokratis yang berlandaskan negara hukum.
Dengan pengaruh paham liberal dari Rosseau, F.J Stahl menyusun negara
hukum formal degan unsur-unsur utamanya sebagai berikut :
1) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi;
33
2) Penyelenggaraan
negara
berdasarkan
trias
politika
(pemisahan
kekuasaan)
3) Pemerintahan didasarkan pada undang-undang
4) Adanya peradilan administrasi.
Dari keempat unsur uatama negara hukum formal tersebut dapat diatrik
kesimpulan bahwa menurut Stahl negara hukum bertujuan untuk melindungi hakhak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak langkah
dan kekuasaan negara dengan undang-undang. Jadi hanya mengedepankan aspek
formal saja, sehingga hak asasi dan kebebasan individu terlindungi secara formal.
Dan hasilnya hanya membawa persamaan dalam aspek hukumdan politik saja.
Konsep Stahl ini merupakan penyempurnaan terhadap konsep negara hukum
liberal. Karya ilmiahnya berjudul Philosophie des Rechts.
d.
Negara Hukum Materil
Negara hukum materilmerupakan perkembangan lebih lanjut daripada
negara hukum formal. Jadi apabila pada negara hukum formal tindakan dari
penguasa harus berdasarkan undang-undang atau harus berlaku asas legalitas,
maka dalam negara hukum materiil tindakan penguasa dalam hal mendesak demi
kepentingan warga negaraya dibenarkan bertindak menyimpang dari undangundang atau asas opportunitas. Tipe negara hukum ini sering disebut pula negara
hukum modern.
Perkembangan masyarakat serta kebutuhan masyarakat tidak cukup kalau
hanya diatur secara formal dengan asas legalitas; akibatnya negara negara hukum
formal mendapat kritikan di negeri Belanda, sehingga Scheltema beranggapan
34
bahwa terdapat tindakan kebijaksanaan dari pemerintah dalam berbagai ketentuan.
Hal ini dimungkinkan dengan adanya delegasi dari kekuasaan pembentuk undangundang kepada pemerintah dalam membuat peraturan pelaksanaan, dan adanya
freies ermessen 40memungkinkan pemerintah menjamin ketertiban yang lebih adil
dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan pelimpahan wewenang
oleh pembentuk undang-undang ini, adalah karena tugas penyelenggaraan negara
tidak lagi hanya menjaga ketertiban yang ada, tetapi juga menerbitkan ketertiban
yang adil. Untuk itu diperlukan ruang lingkup kebebasan bertindak oleh
pemerintah yang lebih luas, yakni melalui peningkatan pemberian freies ermessen
kepada pemerintah untuk menyelanggarakan negara kesejahteraan.
Istilah the rule of law sebagai isi dan kosepsi daripada rechstaat atau etat
de droit, yang diartikan negara atau pemerintah berdasarkan atas hukum. Istilah
rechstaat hanya dianut pada negara-negara dengan hukum tertulis, sedangkan the
rule of law terutama dipelopori oleh Inggris dengan sistem sistem common law 41.
Istilah negara hukum (rechtstaat) mulai dikenal di Eropa pada Abad ke-19, sesuai
dengan ungkapan Donner, “Het word ‘rechtsaat’ kompt pas in de negentiende
eeuw in zwang, maar het denkbeeld is veel ouder”. Konsep lain berkenaan dengan
rechtstaat juga disebut dengan concept of legality atau etat de droit dalam sistem
hukum Eropa kontinental. 42
40
Freies berasal dari kata frei dan freie yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat,
lepas dan orang bebas. Ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian,
pertimbangan dan keputusan. Sedang secara etimologis, FreiesErmessen artinya orang yang bebas
mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.
41
Hukum yg dibuat berdasarkan adat/tradisi yg berlaku dalam masyarakat dan
keputusan hakim. Pada mulanya, sistem hukum ini tidak tertulis.
42
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintah Daerah , GhaliaIndonesia, Bogor, 2007, h.21
35
Konsep rechtsaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut
civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang
disebut common law adalah judicial. Adapun ciri-ciri rechtstaat adalah :
1) Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
2) Adanya pembagian kekuasaan negara ;
3) Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. 43
Sementara itu, penggunaan istiah the rule of law menjadi terkenal setelah
karya Dicey diterbitkan pada tahun 1885, yang sangat terkenal dengan judul
Introduction to Study of Law of
The Constituion. Dalam perkembangan
selanjutnya, konsep negara hukum (the rule of law) yang diungkapkan Dicey
mengalami perluasan pengertian dengan analisis yang lebih mendalam. Wade
mengidentifikasikan lima aspek the rule of law berikut ini :
1)
Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum ;
2)
Pemerintah harus berperilaku di dalam suatu bingkai yang diakui
peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi
kekuasaan diskresi;
3)
Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan
oeh pengadilan yang murni independen dari eksekutif;
4)
Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara;
5)
Tidak seorang pun dapt dihukum, kecuali atas kejahatan yang
ditegaskan menurut undang-undang. 44
43
Ni’matul Huda, h.9
36
Secara historis, istilah rechstaat dan rule of law dilahirkan oleh latar
belakang sistem hukum yang berbeda. Paham atau istilah rechtsaat lahir sebagai
reaksi dalam menentang absolutisme kekuasaan dan oleh karena itu, sifatnya
revolusioner dan bertumpu pada sistem hukum kontinental, yang disebut civil
law. 45Berbeda halnya dengan istilah atau paham the rule of law, yang
perkembangannya terjadi secara evolusioner dan bertumpu pada paham atau
sistem hukum common law. Namun demikian, dalam perkembangannya
perbedaan paham ini menuju pada sasaran yang sama, yaitu bertujuan untuk
mewujudkan perlindungan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan pemerintah
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. 46
2. Negara Demokrasi
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan
demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi
rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional. Semua konsep ini memakai istilah
demkorasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “ government or
rule bye the people”. Kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti
kekuasaan/berkuasa.
44
Agussalim, Op.cit, h.25
45
Hukum yg dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yg dilakukan lembaga legislatif
46
Agussalim, Op.cit, h. 22
37
Diantara sekian banyak aliran pikiran yang dinamakan demokrasi ada
kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusionil dan satu
kelompok aliran yang dinamakan dirinya demokrasi, tetapi yang pada hakekatnya
mendasarkan dirinya atas komunisme. Perbedaan fundamental diantara kedua
aliran itu ialah bahwa demokrasi konstitusionil mencita-citakan pemerintah yang
terbatas kekuasaannya, suatu negara hukum (rechtstaat), yang tunduk pada rule of
law. Sebaliknya demokrasi yang mendasarkan dirinya atas komunisme mencitacitakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya (machtstaat) dan yang
bersifat totaliter.
Ciri khas dari demokrasi konstitusionil ialah gagasan bahwa pemerintah
yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Kekuasaan
negara dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan diperkecil,
yaitu dengan cara menyerahkannya kepada beberapa orang atau badan dan tidak
memusatkan kekuasaan pemerintahan dalam satu tangan atau satu badan.
Perumusan yurudis dari prinsip-prinsip ini terkenal dengan Rechtstaat (Negara
Hukum) dan Rule of Law.
Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa
lembaga sebagai berikut :
a. Pemerintah yang bertanggung jawab;
b. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan
yang dipilih dengan
38
pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurangkurangnya dua calon untuk setiap kursi;
c. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik;
d. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat;
e. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan
mempertahankan keadilan.
Asas-asas
demokrastis
yang
melandasi
rechtstaat,
menurut
S.W.
Couwenberg meliputi 5 asas, yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
Asas hak-hak politik (het beginsel van de politieke grondrechten);
Asas mayoritas;
Asas perwakilan;
Asas pertanggungajawaban;
Asas publik (openbaarheidsbeginsel) 47
Pemerintah yang berakar pad arus bawah atau demokrasi menjadi semakin
relevan untuk diperbincangkan karena sistem ini menjanjikan teragregasinya dan
terakomodasinya aspirasi serta kepentingan masyarkat seluas-luasnya. Dalam
pemerintah model ini, kekuasaan berjalan dengan kontrol yang ketat dan tidak
semata-mata mengandalkan political will. Sistem ini tidak menutup peluang bagi
lahirnya figure pemimpin kharismatik yang memiliki moralitas yang tinggi
sehingga pada dirinya ada semacam kontrol diri yang kuat dari tendensi patos.
Kontrol dari arus bawah hanya memberikan jaminan bahwa kekuasaan dijalankan
dengan orientasi utama kepada rakyat dan bila ia menyimpang dengan segera
dikoreksi. 48
h.77
47
Ni’matul Huda, h. 15
48
Dadang Juliantra, Meretas Jalan Demokrasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998,
39
Harapan bangsa Indonesia senantiasa ingin melihat lahirnya hukum-hukum
yang berkarakter otonom tanpa mengorbankan persatuan dan kesatuan serta
kebutuhan ekonomi kita. Karena hukum otonom hanya dapat lahir dalam
konfigurasi politik yang demokratis, untuk melahirkan hukum-hukum yang
otonom itu diperlukan demokratisasi di dalam kehidupan politik. Alasan-alasan
untuk melakukan demokratisasi ini sudah cukup yakni kesadaran politik
masyarakat sudah membaik, pancasila sudah diterima sebagai satu-satunya asas
oleh organisasi politik dan organisasi masyarakat, kehidupan ekonomi masyarakat
dan trend pertumbuhannya telah memadai. Dengan modal-modal seperti ini proses
demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas apalagi persatuan dan kesatuan
bangsa 49.
B. Konsep Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan Negara
Dalam rangka pembatasan kekuasaan, dikembangkan teori pemisahan
kekuasaan yang pertama sekali dikenalkan oleh Jhon Locke. Menurut Jhon Locke,
kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter dapat
dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus
dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu orang atau
satu lembaga. Hal ini dilakukan dengan (legislative power), kekuasaan eksekutif
(executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). 50Pemikiran Jhon
Locke ini didasari oleh konsepnya tentang liberalisme yang memandang
49
Moh. Mahfud, Pergulatan politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media,
Yogyakarta, 1999, h.63.
50
h. 61.
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
40
kebebasan invidu sebagai hal paling utama harus dibatasi hukum yang dibuat oleh
negara. Akan tetapi, negara tidak boleh dipimpin atau dikuasai oleh seorang atau
satu lembaga yang bersifat absolut sehingga menjadi sewenang-wenang. 51
Dalam bukunya berjudul Two treatises on civil government (1660) Jhon
Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara dalam :
1. Kekuasaan legisatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang
2. Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undangundang
3. Kekuasaan federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi
serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar
negeri. 52
Menurut Jhon Locke ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu sama
lainnya. Setengah abad kemudian, Montesqueiu (1689-1755) seorang pengarang
ahli politik dan filsafat Perancis menulis sebuah buku yang berjudul l’Esprit des
lois (jiwa undang-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada tahun 1748 (2
jilid).Dalam hasil karya ini montesqueiu menulis tentang Konstitusi Inggris yang
antara lain mengatakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis
kekuasaan yang dirincinya dalam kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif. Ketiga kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan
selengkap-lengkapnya kekuasaan yang ditentukan pada masing-masing.
51
Ibid. hlm. 63.
52
h.
C.S.T. Kansil, Ilmu Negara Umum dan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004
41
Teori pemisahan kekuasaan ini dikemukakan oleh Montesquieu dalam
bukunya “L’espirit de loi” (jiwa perundang-undangan), oleh Immanuel kant teori
ini disebut sebagai doktrin Trias Politica. 53 Teori ini terinspirasi dari pemikiran
Jhon Locke yang dituangkan dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government”
yang memisahkan kekuasaan negara tersebut dalam bentuk eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Secara garis besar ajaran Montesquieu ini membagi kekuasaan
kedalam tiga bidang pokok yang masing-masing berdiri sendiri, bahwa satu
kekuasaan mempunyai satu fungsi lepas dari kekuasaan lain yakni:
1. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang-Undang.
2. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk UndangUndang.
3. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi pengadilan.
Beliau beranggapan bahwa ketiga kekuasaan tersebut harus terpisah satu
sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya untuk
menjamin
kemerdekaan
individu
dari
tindakan
kesewenang-wenangan
penguasa.Isi ajaran Montesqueiu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan
negara (the separation of power) yang lebih terkenal dengan istilah trias politika
dimana
istilah
ini
diberikan
oleh
Immanuel
Kant.Seperti
dikatakan
Montesquie:“Experience shows us that every man invested with power is apt to
abuse it, and to carry his authority as far as it will go.”Keharusan pemisahan
53
Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode
Berlakunya UUD 1945, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, hlm.41.
42
kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah bertujuan agar tindakan sewenangwenang dari raja dapat dihindarkan.
Istilah trias politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya “politik tiga
serangkai”. Menurut ajaran trias politica dalam tiap pemerintahan negara harus
ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja,
melainkan harus masing-masing kekuasaan itu terpisah.Ajaran trias politica ini
bertentangan dengan kekuasaan yang bersimaharajalela pada zaman feodalisme
dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang memegang ketiga kekuasaan dalam
negara ialah seorang raja, yang membuat sendiri undang-undang, menjalankanya
dan menghukum segala pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan
dijalankan oleh raja tersebut.
Monopoli atas ketiga kekuasaan tersebut dapat dibuktikan dalam
semboyan raja Louis XIV L’Estat cest moi kekuasaan mana berlangsung hingga
permulaan abad ke-17. Setelah pecah revolusi Perancis pada tahun 1789, barulah
paham tentang kekuasaan yang tertumpuk ditangan raja menjadi lenyap. Dan
ketika itu pula timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang
dipelopori oleh Montesqueiu. 54 Pada pokoknya ajaran trias politica isinya adalah
sebagai berikut :
1.
Kekuasaan legislatif (legislative powers)
Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu
badan yang berhak khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak
diletakkan pada suatu badan tertentu, maka mungkinkah tiap golongan atau tiap
54
C.S.T Kansil, Op.cit. h.70
43
orang mengadakan undang-undang untuk kepentingan sendiri.Di dalam negara
demokrasi yang peraturan-perundangannya harus berdasarkan kedaulatan rakyat,
maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang dan yang
disebut “legislative”.
Badan ini adalah yang terpenting dalam susunan kenegaraan, karena
undang-undang adalah ibarat tiang yang menegakkan hidup perumahan negara
dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan
negara.Sebagai badan pembentuk undang-undang maka legislatif itu hanyalah
untuk mengadakan undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk
menjalankan undang-undang itu harus diserahkan kepada suatu badan lain.
kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang adalah “eksekutif”.
2. Kekuasaan eksekutif (Executive powers)
Kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala negara.
Kepala negara tentu tidak dapat sendirian menjalankan segala undang-undang
ini.oleh karena itu, kekuasaan dari kepala negara dilimpahkan (didelegasikannya)
kepada peabat-pejabat pemerintah/negara yang bersama-sama merupakan suatu
badan pelaksana undang-undang (badan eksekutif). Badan ini berkewajiban
menjalankan kekuasaan eksekutif.
3. Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman (Judicative Powers)
Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman) ialah kekuasaan
yang
berkewajiban
mempertahankan
undang-undang
dan
berhak
untuk
memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa
44
memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undangundang yang telah diadakan dan dijalankan. 55Walaupunhakim itu biasanya
diangkat oleh kepala negara (eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan
yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena ia tidak diperintah oleh
kepala negara yang mengangkatnya, bahkan ia adalah badan yang berhak
menghukum kepala negara, jika melanggar hukum.
Berbeda dengan Jhon Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif dalam
kekuasaan eksekutif, Montesquiue memandang pengadilan itu sebagai kekuasaan
yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan ia dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai
seorang hakim telah mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif adalah berlainan
daripada kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan
hubungan luar negeri yang oleh Jhon Locke disebut “federatif” dimasukkan ke
dalam
kekuasaan
eksekutif.Pemisahan
kekuasaan
menurut
Montesquieu
merupakan pemisahan kekuasaan secara keras seperti halnya dengan monarki
terbatas. Oleh karena itu cara yang paling ideal untuk membatasi dan
mengendalikan kekuasaan tersebut yaitu melalui pemisahan kekuasaan seperti
yang dikemukakan oleh Ivor Jenning yaitu pemisahan kekuasaan dalam artian
formil 56yaitu pembagian kekuasaan yang tidak secara tegas mempertahankan
pemisahan tersebut.
Dalam praktik ketatanegaraan di banyak negara melalui konstitusinya dapat
diketahui pula bahwa dari segi bentuknya pembagian kekuasaan dikenal dua jenis
55
56
Ibid.
Moh. Kusnardi dan Harmaila Ibrahim, Op.Cit, (Note 27), hlm.224.
45
yaitu: pembagian kekuasaan secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara
vertikal.Menurut Jimly Asshidiqie bahwa pemisahan kekuasaan bersifat
horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang
tercermin dalam lembaga-lembaga negara sederajat dan saling mengimbangi
(check and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam
arti perwujudan kekuasaa itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembagalembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Di Indonesia selama ini UUD 1945 menganut paham kekuasaan secara
vertikalbukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Pendapat tersebut
tampaknya disandarkan pada pemikiran, bahwa tugas kewenangan lembagalembaga tinggi negara di bawah MPR, yaitu Presiden, DPR-MA, dan yang lainnya
merupakan derivasi dari kekuasaan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Namun prinsip derivasi kekuasaan MPR tersebut tidak lagi berlaku karena UUD
1945 setelah Amandemen tepatnya Pasal 1 ayat (2) menentukan kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Terdapat dua istilah yang berhubungan dengan teori pemisahan kekuasaan
yang diutarakan oleh Jhon H Garvey dan T. Alexander Aleinikooff. 57Kedua
istilah tersebut terjabarkan dalam teori pemisahan kekuasaaan yang mengenal dua
bentuk pembagian kekuasaan yaitu pembagian kekuasaan secara vertikal dan
horizontal. Desentralisasi berhubungan dengan pembagian kekuasaan secara
57
Jhon H Garvey dan T. Alexander Aleinikooff mengatakan :
The former is sometimes said to address the “ vertical” division of authority between national and
state gooverments, the letter a “horizontal”division among the executive, legislature, and
judiciary,
46
vertikal antara pemerintah pusat dan daerah atau negara bagian, sedangkan fungsi
negara berhubungan dengan pembagian kekuasaan secara horizontal antara fungsi
negara legislatif, eksekutif dan yudikatif. 58
Teori yang mencakup kedua pembagian kekuasaan baik dalam tatanan
pembagian kekuasaan fungsi negara maupun tatanan pembagian kekuasaan antara
pemerintah pusat dan negara bagian atau pemerintah daerah juga dikemukakan
oleh Arthur Maass. Menurut Arthur Maass pembagian kekuasaan dapat bersifat
horizontal disebut sebagai capitaldivision of powers, sedangkan pembagian
kekuasaan secara vertikal disebut sebagai areal division of power. Dalam rangka
capital division of powers , fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif masingmasing diberikan kepada suatu badan. Dalam rangka areal division of powers,
fungsi-fungsi tertentu misalnya moneter dan hubungan luarnegeri diberikan
kepada pemerintah pusat, sedangkan fungsi-fungsi lainnya diberikan kepada
negara bagian atau pemerintah daerah. 59
Seperti di Indonesia, pembagian kekuasaan secara vertikal tercermin dalam
hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sebagaimana ditentukan
dalam UUD 1945 hasil amandemen bahwa Pemerintah Daerah menjalankan
58
Jhon H Garvey dan T. Alexander Aleinikooff mengatakan :
The former is sometimes said to address the “ vertical” division of authority between national and
state gooverments, the letter a “horizontal”division among the executive, legislature, and
judiciary,
59
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, Dan Federalisme, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2009, h. 83
47
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukam sebagai urusan pemerintah. 60
C. Prinsip Pembagian Kekuasaan Negara Kesatuan dan Negara Federasi
1. Negara Kesatuan
Pendapat C.F. Strong yang dikutip Miriam Budiardjo menyatakan bahwa
ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan ialah: pertama, adanya supremasi
dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan kedua, tidak adanya badan-badan lain
yang berdaulat. Kekuasaan pemerintah dalam suatu negara yang berbentuk
kesatuan seperti itu dapat diselenggarakan dengan cara terhimpun/ditumpuk
(gathered) secara sentralisasi (centralized), sehingga segala urusan dalam negara
terletak ditangan pemerintah pusat (centra government), dan semua kewenangan
pemerintah dilakukan oleh satu pusat pemerintahan (single centralized
government),
atau
oleh
pusat
bersama-sama
dengan
organnya
yang
berada/dipencarkan didaerah-daerah.
Pemencaran organ-organ yang menjalankan kewenangan pemerintah
pemerintah pusat di daerah-daerah seperti itu, menurut Bagir Manan dikenal
sebagai dekonsentrasi (centralisatie met de deconcentratie) dimana semua
kewenangan menyelenggarakan pemerintahan daerah, termasuk kewenangan
organ-organ dalam membentuk peraturan perundang-undangan didasarkan atau
60
Ibid
48
sangat tergantung pada pemerintah (pusat). 61Lepas dari dua sistem yang berbeda
dalam negara kesatuan diatas, negara kesatuan pada hakikatnya tidak terbagi, atau
dalam arti lain kekuasaan pemerintahan pusat tidak dibatasi, karena konstitusi
negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain, selain badan legislatif
pusat. 62 Jadi kalaupun ada wewenang bagi daerah, seperti membuat peraturan
daerah (perda), tidak berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, karena
pengawasan dan kekuasaan tertinggi masih tetap terletak di pemerintah pusat.
Disebut negara kesatuan apabila kekuasaan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan pemerintah pusat
merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan tidak ada saingan dari
badan legislatif pusat dalam membentuk undang-undang. Kekuasaan pemerintah
yang di daerah bersifat derivatif (tidak langsung ) dan sering dalam bentuk
otonom yang luas dengan demikian tidak dikenal adanya badan legislatif pusat
dan daerah yang sederajat melainkan sebaliknya. 63
Negara kesatuan dapat dibedakan dalam dua bentuk , yakni :
a. Negara kesatuan dengan sistem sentralistik
Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi segala sesuatu dalam
negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat dan daerah hanya tinggal
melaksanakan segala apa yang telah diinstruksikan oleh pemerintah pusat.
61
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara,
PT. Refika Aditama, Bandung, 2012, h.100
62
Deddy Ismatullah, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif Masyarakat, Hukum, Dan
Agama, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2007, h.113
63
2008, h.207
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta,
49
b. Negara kesatuan dengan sistem desentralistik
Sedangkan dalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, kepada
daerah-daerah diberikkan kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah
otonom. 64
Menurut Sri Soemantri adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada daerah-daerah otonom bukanlah hal itu ditetapkan dalam konstitusinya,
akan tetapi karena masalah itu adalah merupakan hakikat daripada negara
kesatuan 65
2. Negara Federasi
Negara serikat atau negara federal adaah suatu negara yang terdiri atas
beberapa negara bagian, tetapi setiap negara bagian tersebut tidak berdaulat. Yang
berdaulat adalah gabungan negara-negara bagian itu. Negara-negara bagian
mempunyai kekuasaan untuk membuat dan memiliki UUD tersendiri, kepala
negara tersendiri, parlemen tersendiri, dan kabinet tersendiri. Sementara untuk
angkatan perang, hubungan luar negeri, keuangan dan moneter lazimnya berada
sebagai kekuasaan pemerintah federal.
Dalam bentuk negara serikat, setiap negara bagaina bebas, untuk melakukan
tindakan ke dalam selama tidak bertentangan dengan UUD federal. Tindakan ke
luar khususnya dengan negara lain (hubungan internasional), hanya dapat
64
65
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2012, h.28
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali,
Jakarta, 1982, h.52
50
dilakukan melalui atau oleh pemerintah federal. Jadi untuk hubungan luar negeri
negara-negara bagian tidak mempunyai kewenangan.
Menurut R. Kranenburg, sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo,
terdapat perbedaan antara bentuk negara kesatuan dengan bentuk negara federal,
yakni :
a. Negara bagain dalam suatu federasi memiliki “pouvoir constituent”
yakni wewenang membentuk UUD sendiri serta wewenang mengatur
bentuk organisasi sendiri dalam rangka batas-batas konstitusi negara
federal, sedangkan dalam negara kesatuan organisasi pemerintah daerah
secara garis besar telah ditetapkan oleh pembentukan undang-undang
pusat;
b. Dalam negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat
untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu-persatu dalam
konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan, wewenang
pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan
umum dan wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan di
tingkat lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat
itu.
Menurut K.C. Wheare, prinsip negara federal adalah bahwa kekuasaan
dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian dalam bidang-bidang tertentu bebas satu sama lain dalam kewenangannya
masing-masing. Misalnya dalamhubungan luar negeri dan soal mencetak uang,
pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan pemerintah negara
51
bagian (negara bagian harus tunduk pada kebijakan pemrintah federal).
Sedangkan masalah-masalah kebudayaan, kesehatan, dan sebagainya, pemerintah
negara bagian misalnya bebas dari campur tangan pemerintah federal. 66
66
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.cit, h.100
52
Dibawah ini merupakan tabel yang akan membantu pembaca memahami
konsep pembagian dan pemisahan kekuasaan. 67
TEORI NEGARA HUKUM
PRINSIP DEMOKRASI
TEORI PEMISAHAN/PEMBAGIAN KEKUASAAN
PEMBAGIAN KEKUASAAN VERTIKAL
PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL
TEORI DESENTRALISASI/SENTRALISASI
TEORI FUNGSI NEGARA
Pem. Neg. Federal
Pem. Neg. Bagian
Pem. Pusat
Pem. Daerah
Eksekutif
Legislatif
Yudikatif
Teori Bentuk Susunan Negara
Sistem Federal
Sistem Kesatuan
KESATUAN
FEDERAL
PENDULUM KONTNUM KESATUAN-FEDERAL
67
Ibid
53
3. Sejarah Bentuk Negara Indonesia
Republik Indonesia yang didirikan berdasarkan proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus
1945
adalah
Negara
Kesatuan.
Sebelum
proklamasi,
sudah
dipertimbangkan baik-baik oleh pengamat politik bagaimana susunan organisasi
kemerdekaan apabila telah sampai ketahap yang semestinya. Untuk menghemat
tenaga manusia dan keuangan negara, maka bentuk kesatuanlah yang sesuai
dengan kenyataan ditanah Indonesia. Lagi pula dasar kesatuan, seperti telah di
capai oleh Angkatan muda Indonesia pada 28 Oktober 1928 memberi kesadaran
bahwa kesatuan ialah sumber tenaga untuk membentuk bangsa-turunan dan
bangsa-negara.
Sesuai dengan pendirian pergerakan kemerdekaan pada hari Proklamasi
maka ditetapkanlah dalam Konstitusi 1945 pada pasal pertama ayat (1): “Negara
Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Jadi negara Proklamasi
ialah Republik Kesatuan. 68Karena persengketaan dengan Belanda telah berakhir
dengan menghasilkan suatu kompromi yang membawakan konsepsi Negara
Republik Indonesia Serikat yang berbentuk federasi. Pada tanggal 27 Desember
1949 sebagai hasil persetujuan Meja Bundar telah terjadi penyerahan kedaulatan
atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat.
RIS ini adalah negara federal yang terdiri dari Rebuplik Indonesia dan 18
daerah bagian atau kota, yaitu: Pasundan, Indonesia Timur, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Madura, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
68
Mr. Muhammad Yamin, Konstituante Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi,
Djambatan Djakarta, Jakarta, 1956, h.170
54
Banjarmasin, Bangka, Belitung, Riau, Dayak Besar, Kalimantan Tenggara,
Kalimantan Timur, Padang, Sabang, dan Kotawaringin. 69RIS ini adalah ganjil
sekali. Ganjil karena negara yang berdaulat penuh seperti Republik Indonesia
didudukkan sejajar dengan negara-negara buatan Belanda yang sama sekali tidak
berakar pada kehendak rakyat.
Republik Indonesia merupakan negara besar dengan daerah yang begitu luas
dan rakyatnya yang berjumlah banyak, disamakan kedudukannya dengan daerah
dan kota-kota kecil seperti, misalnya Palembang, Medan yang notabene pun, tidak
mempunyai dasar yang kuat untuk diterima oleh akal yang sehat. Karena hal
tersebut maka federasi itu tidak panjang umurnya. Pada tanggal 15 Agustus 1950,
jadi belum berumur delapan bulan, negara federasi iniatas desakan rakyat banyak
dengan aksi demonstrasi dimana-mana, republik federasi ini akhirnya dilebur
kembali menjadi satu negara kesatuan Republik Indonesia dengan mendapat
Undang-Undang Dasar baru yang bersifat sementara. 70
Konstitusi RIS membuka kesempatan untuk membentuk negara unitaris
menurut keinginan rakyat. Atas desakan pergerakan rakyat, maka Dewan
Perwakilan Rakyat RIS segara menggunakan kesempatan untuk mengubah
susunan ketatanegaraan dalam negeri itu. Segala negara dan daerah bagian yang
menjadi bahan bagi bentukan federal satu persatu habis gugur oleh tangan DPR
dan Gerakan Rakyat. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 tercapailah persetujuan
69
70
Samidjo, Ilmu Negara, CV Armico, Bandung, 2002, h.169
Mr. Muhammad Yamin, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1958, h.13.
55
antara RI dan RIS untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. 71
Setelah rancangan Konstitusi RI 1950 itu disahkan oleh Badan Pekerja KNIP di
Yogyakarta dan oleh Senat serta Dewan Perwakilan Rakyat di Kota Jakarta, maka
dinyatakan bahwa pada tanggal 15 Agustus 1950 berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan memakai Konstitusi RI
1950 sebagai Undang-Undang Dasarnya.
Pengertian negara kesatuan sampai dua kali diulang dalam Konstitusi
1950; dalam suatu kalimat Mukadimah disebutkan degan tegas: “maka demi ini
kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam Negara yang
berbentuk republik-kesatuan” berdasarkan ajaran Pancasila. Kalimat itu diulang
pada pasal satu bahwa “ Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah
suatu negara-hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.Setelah Dewan
konstituante yang dibentuk dengan pemilihan umum ternyata tidak mampu
menyelesaikan tugasnya sehingga tidak diperoleh konstituante yang tetap, maka
dengan dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 Dewan Konstituante ini dibubarkan
dan dinyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar tahun 1945. 72
71
Ibid.
72
Samidjo, Op.Cit.
Download