BAB I - Library Binus

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini, korupsi merupakan topik hangat yang seringkali diangkat dalam
media massa di Negara Indonesia. Terjadinya penyelewengan ini tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah dan petinggi-petinggi negara, namun saat ini perilaku
korupsi sudah menjadi kebudayaan dan kebiasaan dalam keseharian masyarakat, baik
dalam lingkungan kerja, yayasan pendidikan maupun dalam skala kecil. Sampford,
Shacklock, Connors, dan Galtung (2006) mendefinisikan korupsi sebagai tindakan
yang terjadi ketika karyawan menampilkan suatu perilaku demi kepentingan pribadi,
melakukan pelanggaran norma, serta menyebabkan kerugian bagi masyarakat demi
kepentingan dari pihak ketiga yang memberikan imbalan kepada pelaku.
Tingkat korupsi di Negara Indonesia cukup memprihatinkan, dimana pada
tahun 2012 Indonesia mendapat peringkat 56 untuk negara terkorup dalam skala
global (Sammy, 2013). Berdasarkan data yang dipaparkan dalam transparency index,
tidak ada penurunan tingkat korupsi sejak tahun 2010 hingga 2012, dimana pada
tahun 2010 CPI Indonesia mencapai nilai 28, meningkat menjadi 30 pada tahun
2011, dan pada tahun 2012 CPI Indonesia mencapai nilai 32. CPI merupakan
kepanjangan dari Corruption Perception Index, yaitu penilaian terhadap tingkat
korupsi pada tiap negara dalam skala global. Rentang indeks CPI yang digunakan
berkisar pada 0-100, dimana 0 dipersepsikan sebagai negara paling korup dan 100
sebagai negara yang paling bersih dari korupsi. Penurunan sebanyak 2 poin per tahun
menandakan bahwa pergerakan korupsi masih berjalan di tempat dan tidak
mengalami perbaikan (Masduki, 2011).
Ironisnya lagi, tindak korupsi juga terjadi pada industri perbankan, wadah
dimana seharusnya masyarakat merasa aman serta dapat mempercayakan aset yang
dimilikinya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan pun semakin
tergerus. Bank Indonesia mendefinisikan industri perbankan sebagai lembaga
kepercayaan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, membantu kelancaran
sistem pembayaran, serta menjadi sarana dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah
2
(Bank Indonesia, 2008). Menurut Undang-Undang No 10 Tahun 1998, yang
dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit
atau bentuk lainnya dengan tujuan meningkatkan tarif hidup masyarakat luas. Secara
garis besar, kegiatan yang dilakukan dalam industri perbankan mencakup
pengumpulan dana dari pihak ketiga (funding based) dan pembiayaan/peminjaman
(lending based) yaitu pemberian kredit.
Tereksposnya kasus korupsi perbankan di masyarakat dapat menurunkan rasa
percaya masyarakat pada bank tersebut, sehingga hal itu dapat berisiko terhadap
reputasi bank. Hal lainnya adalah, tindak korupsi di perbankan acapkali tidak
teridentifikasi bahkan oleh pihak internal dan tertutupi dengan rapat. Perbankan yang
erat kaitannya dengan perputaran uang membuka peluang yang cukup besar bagi
para koruptor. Kasus korupsi yang dapat terjadi dalam lingkup perbankan mencakup
pemalsuan tanda tangan (pemalsuan tanda tangan nasabah untuk penarikan dana
yang dilakukan oleh manager bank, terjadi di Bank Danamon Manado, tahun 19992004), pemalsuan data untuk pemberian kredit (kredit fiktif atas kolusi pegawai bank
dengan debitor yang melibatkan 1 account officer, 1 supervisor, dan direktur PT.
JLP, terjadi di Bank Mega Bandung, tahun 2000-2004), pembuatan surat palsu
(penarikan dana tunjangan fiktif yang dilakukan oleh pejabat personalia, terjadi di
Bank Lippo, tahun 1992-2005), penggunaan data nasabah untuk kepentingan pribadi,
dan lainnya Berikut lampiran kasus korupsi di perbankan yang terjadi pada tahun
2003-2006 (Pemerintahan Republika Indonesia, 2011) a) Pelanggaran prosedur
pendanaan yang dilakukan oleh dua kepala cabang BRI, terjadi di Bank BRI cabang
Senen, Bogor, dan Tanah Abang, tahun 2003 b) Pembobolan dana nasabah yang
melibatkan kepala cabang, pihak perantara, dan pemegang otoritas penempatan dana,
terjadi di Bank BII cabang Juanda, tahun 2003-2004 c) Kredit fiktif yang dilakukan
oleh 2 pejabat BNI, terjadi di Bank BNI Pondok Indah, tahun 2003-2004 d)
Pemalsuan tanda tangan nasabah untuk penarikan dana yang melibatkan dua kepala
cabang, terjadi di Bank Danamon Panglima Polim, tahun 2005
Kasus korupsi lainnya yang terjadi mencakup kasus korupsi di OCBC NISP
yang dilakukan oleh Fara Novia Manoppo pada tahun 2011 (Saputra, 2011) dan
kasus korupsi di Bank BCA cabang Menar Bidakara yang melibatkan KA Ops
cabang BCA Menara Bidakara, dan 4 orang teller pada tahun 2012 (Artika, 2012).
3
Beberapa kasus ini hanya merupakan beberapa contoh dari kasus korupsi yang
terungkap oleh publik dan diberitakan di media masa, namun, hal ini tidak berarti
bahwa industri perbankan lainnya luput dari kasus korupsi. Salah seorang
narasumber mengungkapkan bahwa ada beberapa kasus korupsi yang terjadi dalam
bank ini, seperti penipuan harga dalam pembelian barang untuk operasional dan
proyek yang sedang berjalan di perusahaan ini. Namun, kasus seperti ini diselesaikan
secara internal dengan proses PHK dan tidak mempublikasikannya pada media masa.
Maraknya kasus korupsi di perbankan mendorong peneliti untuk meneliti faktor yang
berkontribusi terhadap munculnya penyelewengan ini.
Kecenderungan individu untuk melakukan korupsi erat kaitannya dengan
emosi moral yang dimiliki oleh individu. Individu dengan penanaman moral yang
lebih baik akan lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan yang melanggar
moral. Emosi moral merupakan kunci penting yang membentuk perilaku moral
individu, serta merupakan jembatan yang turut mempengaruhi bagaimana individu
memenuhi standar moral dan perilaku (Tangney, Stuewig, Mashek, 2007). Tangney
(dalam Cohen, Insko, Panter, dan Wolf, 2011) memaparkan bahwa emosi moral
memberikan dorongan yang kuat untuk individu melakukan hal yang baik dan
menghindari perilaku yang buruk.
Pengukuran terhadap emosi moral juga
merupakan pengukuran yang efektif untuk mendeteksi kecenderungan karyawan
melakukan korupsi.
Seringkali rasa malu dipersepsikan sebagai emosi yang sama dengan rasa
bersalah. Namun, sebenarnya kedua emosi moral ini memiliki perbedaan yang cukup
signifikan. Rasa bersalah merupakan penyesalan yang muncul ketika melakukan
kesalahan, walaupun kesalahan yang dilakukan tidak disadari oleh orang lain.
Penyesalan yang muncul dari rasa bersalah merupakan pemikiran pribadi mengenai
perilaku buruk yang telah dilakukan secara spesifik. Yang dimaksud dengan spesifik
adalah, penilaian buruk hanya merujuk pada perilaku buruk yang dilakukan, namun,
tidak menggambarkan penilaian terhadap diri individu secara keseluruhan. Smith et
al., (dalam Cohen et al., 2011) menggambarkan rasa bersalah sebagai emosi yang
muncul ketika berperilaku yang bertentangan dengan hati nuraninya. Berbeda dengan
itu, rasa malu muncul ketika kesalahan yang dilakukan terungkap oleh pihak luar,
atau individu khawatir bahwa kesalahannya akan terekspos pada publik (Cohen et al.,
4
2011). Lebih lanjut lagi, kecenderungan rasa bersalah berkontribusi lebih positif dan
rasa malu membawa dampak lebih destruktif pada perbaikan diri individu.
Kontrak
merupakan
pertukaran
perjanjian
antara
karyawan
dengan
perusahaan. Perjanjian ini dapat dilakukan dalam bentuk tertulis, verbal, maupun
ekspresi lain seperti komitmen dan perencanaan untuk masa depan (Rousseau, 1995).
Kontrak psikologis merupakan salah satu bentuk dari perjanjian antara karyawan
dengan perusahaan dalam bentuk tersirat. Bentuk dari kontrak ini tidak dikemukakan
secara tertulis maupun verbal namun kontrak ini merupakan setiap janji yang
diyakini karyawan telah dijanjikan oleh perusahaan untuk mereka. Perjanjian yang
tergolong dalam kontrak ini terbatas pada harapan dan ekspektasi subjektif serta
perjanjian-perjanjian yang diyakini oleh pihak karyawan dan perusahan, namun tidak
dapat dipastikan bahwa pihak lain memiliki pandangan yang sama. Walaupun
kontrak ini merupakan kontrak dua arah antara karyawan dengan perusahaan, namun
sebagian besar riset yang dilakukan menitikberatkan pada perjanjian dari pihak
perusahan terhadap karyawan (Johnson & Kelly, 2003).
Kontrak psikologis sebagai sebuah konstruk dipelopori oleh Edgar Schein
pada tahun 1965. Pada tahun 1980, Schein memaparkan bahwa walaupun bentuk dari
perjanjian ini tidak tertulis, namun konstruk ini memiliki dampak yang besar pada
perilaku karyawan di perusahaan. Di tahun 1988, Schein menambahkan bahwa
kontrak ini berkontribusi terhadap loyalitas, komitmen, dan antusiasme terhadap
target dan tujuan perusahaan (Johnson & Kelly, 2003).
Pelanggaran
terhadap
kontrak
psikologis
terjadi
ketika
karyawan
berpandangan bahwa perusahaan tidak memenuhi kewajibannya. Pelanggaran ini
dapat terjadi karena dua hal, yaitu pengingkaran kewajiban dari perusahaan dan
ketidaksesuaian terhadap harapan dari karyawan dan perusahaan (Cullinane &
Dundon, 2006). Pelanggaran terhadap kontrak psikologis dapat berdampak pada
penurunan komitmen dan loyalitas, penurunan kinerja, dan munculnya perilaku
menyimpang dalam lingkungan kerja (Rousseau, 2000).
Adanya pelanggaran kontrak psikologis akan menimbulkan rasa frustasi pada
karyawan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap kontrak
psikologis dapat berdampak pada sikap dan perilaku karyawan di tempat kerja
(Robinson & Morrinson, 2000) sehingga dapat menimbulkan perilaku yang
5
membawa kerugian pada perusahaan. Dalam teori pertukaran sosial yang dipaparkan
oleh Coyle-Shapiro dan Conway (dalam Bordia, Tang, dan Restubog, 2008),
hubungan tenaga kerja antara karyawan dan perusahaan dibangun berdasarkan rumus
pertukaran sosial. Ketika karyawan mempersepsikan adanya pelanggaran perjanjian
oleh pihak perusahaan, karyawan akan memberikan respon dengan menimbulkan
perilaku yang dapat memberikan kerugian pada perusahaan. Hal ini merupakan
upaya untuk menyeimbangkan keadaan dan ketidakadilan yang diciptakan oleh
perusahaan. Rasa frustasi ini juga mendorong terjadinya pergeseran emosi moral
yang mencakup kecenderungan rasa malu dan bersalah pada karyawan dalam
bertindak. Adanya rasa frustasi ini akan menghambat karyawan untuk merasa empati
terhadap kerugian yang ditimbulkan bagi perusahaan serta berinisiatif untuk
memperbaiki kesalahan yang dilakukan karena kesalahan dipersepsikan bersumber
dari pihak perusahaan. Adanya emosi negatif ini juga akan memicu karyawan untuk
merasa lebih mudah lepas tanggungjawab atas konsekuensi yang ditimbulkan oleh
perilakunya. Dapat disimpulkan bahwa terjadinya pelanggaran kontrak psikologis
memiliki dampak yang merujuk pada rendahnya NBE, NSE, dan REP serta tingginya
perilaku WITH. Berdasarkan uraian ini, peneliti berargumen bahwa pelanggaran
kontrak psikologis merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap emosi
moral.
Variabel lainnya yang diduga memiliki kontribusi terhadap emosi moral
adalah sikap tentang risiko. Risiko dapat didefinisikan sebagai ketidakpastian yang
dapat menimbulkan konsekuensi positif maupun negatif terhadap satu atau lebih
objek, sedangkan sikap merupakan respon yang dipilih oleh individu dalam
menghadapi suatu situasi. Dapat disimpulkan bahwa sikap tentang risiko merupakan
cara pandang individu dalam pengambilan keputusan apakah akan menghadapi atau
menghindari risiko ketika diperhadapkan pada situasi dengan konsekuensi yang sulit
diprediksi (Webster & Hillson, 2007).
Sikap tentang risiko merupakan parameter yang mampu membedakan
perbedaan utilitas antar individu (Blais & Weber, 2006). Persepsi subjektif individu
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang berisiko. Perbedaan individu
memungkinkan adanya perbedaan persepsi terhadap risiko pada satu situasi yang
sama. Bagi seseorang suatu situasi dapat dipersepsikan sebagai keadaan yang
berisiko, namun situasi ini dapat dipersepsikan sebagai kondisi yang netral bagi
6
individu lainnya. Persepsi individu terhadap risiko bersamaan dengan kecenderungan
individu untuk menerima atau menolak risiko menentukan sikap tentang risiko
(Hoffman, 2002). Pengukuran terhadap sikap tentang risiko akan melihat tingkat
toleransi individu terhadap risiko, dimana individu dengan tingkat toleransi yang
tinggi terhadap risiko dapat dikatakan sebagai pencari risiko (risk taker) dan individu
dengan toleransi rendah terhadap risiko dikatakan sebagai penghindar risiko (risk
aversion).
Individu yang memiliki toleransi besar terhadap risiko lebih mudah menerima
risiko yang ada dan berani menghadapi situasi dengan tingkat ketidakpastian yang
tinggi. Sebaliknya, individu dengan toleransi yang kecil terhadap risiko akan
mencegah dan meminimalisir segala ketidakpastian dan membutuhkan rasa aman
yang tinggi. Jika diperhadapkan pada situasi yang tidak pasti, individu ini akan lebih
memilih untuk mengambil keputusan dengan konsekuensi yang lebih dapat
diprediksi walaupun dengan keuntungan yang lebih minim dibandingkan pilihan
dengan konsekuensi yang lebih sulit diprediksi walaupun memiliki kemungkinan
keuntungan yang lebih besar (Hillson, 2009). Lebih lanjut lagi, individu dengan
penerimaan yang lebih baik terhadap risiko cenderung untuk menilai konsekuensi
dari perbuatannya lebih rendah daripada aktual kerugian yang ditimbulkan.
Melakukan penyelewengan seperti tindak korupsi merupakan pengambilan
keputusan yang berisiko tinggi, mengingat hukuman yang cukup berat bagi pelaku
korupsi, baik dari segi hukum pidana, nama baik, dan karir. Hukum pidana terkait
dengan korupsi diatur dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2001 (Presiden Republik
Indonesia, 2001) dengan hukuman pidana penjara dan pidana denda. Konsekuensi
yang mungkin terjadi dari tindak korupsi mencakup konsekuensi positif yaitu
penambahan kekayaan apabila penyelewengan tidak terjadi, atau konsekuensi negatif
yaitu tindak pidana serta ancaman terhadap karir dan nama baik apabila tindak
korupsi terungkap.
Penilaian yang lebih rendah akan kerugian yang ditimbulkan dibandingkan
aktual yang terjadi menghambat munculnya rasa empati serta inisiatif untuk
memperbaiki kesalahan terhadap pihak yang dirugikan. Hal lainnya, tanpa kesadaran
akan besarnya kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain, individu dengan
penerimaan yang lebih baik terhadap risiko akan lebih mudah untuk menghindari
tanggungjawab serta konsekuensi yang mengikuti dari perilakunya.
7
Berdasarkan pemaparan ini, peneliti menduga bahwa pelanggaran terhadap
kontrak psikologis dan sikap terhadap risiko merupakan variabel yang dapat
memprediksi emosi moral. Atas dasar pemikiran ini, peneliti mengadakan penelitian
dengan judul “Peran Pelanggaran Kontrak Psikologi dan Sikap Tentang Risiko
Dalam Memprediksi Emosi Moral Pada Karyawan Perbankan di Jakarta”
dengan harapan hasil penelitian ini dapat membantu perbankan untuk meminimalisir
tingkat korupsi yang dapat ditinjau berdasarkan emosi moral, baik dengan lebih
memperhatikan kontrak psikologis karyawannya, juga menempatkan karyawan pada
posisi yang tepat sesuai dengan sikap karyawan tentang risiko.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan, pertanyaan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Rumusan Masalah Utama:
a. Apakah sikap tentang risiko bersamaan dengan pelanggaran kontrak
psikologis dapat memprediksi NBE pada karyawan perbankan?
b. Apakah sikap tentang risiko bersamaan dengan pelanggaran kontrak
psikologis dapat memprediksi REP pada karyawan perbankan?
c. Apakah sikap tentang risiko bersamaan dengan pelanggaran kontrak
psikologis dapat memprediksi NSE pada karyawan perbankan?
d. Apakah sikap tentang risiko bersamaan dengan pelanggaran kontrak
psikologis dapat memprediksi WITH pada karyawan perbankan?
Rumusan Masalah Tambahan:
e. Apakah pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi NBE pada
karyawan perbankan?
f. Apakah pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi REP pada
karyawan perbankan?
g. Apakah pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi NSE pada
karyawan perbankan?
8
h. Apakah pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi perilaku WITH
pada karyawan perbankan?
i. Apakah sikap tentang risiko dapat memprediksi NBE pada karyawan
perbankan?
j. Apakah sikap tentang risiko dapat memprediksi REP pada karyawan
perbankan?
k. Apakah sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE pada karyawan
perbankan?
l. Apakah sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH pada karyawan
perbankan?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah meninjau apakah sikap
tentang risiko dan pelanggaran kontrak psikologis pada karyawan, baik secara
sendiri maupun bersama-sama, dapat memprediksi kecenderungan korupsi
pada industri perbankan.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
a) Memberikan gambaran bagaimana pelanggaran kontrak psikologis
dan sikap tentang risiko dapat memprediksi emosi moral
b) Mempelopori studi awal perihal faktor yang dapat berkontribusi
terhadap tendensi korupsi
1.4.2
Manfaat Praktis
a)
Memberikan
masukan
pada
industri
perbankan
untuk
menambahkan kuesioner sikap tentang risiko pada calon karyawan
sehingga dapat disesuaikan dengan posisi penempatannya
b) Memberikan wawasan pada perusahaan bahwa kontrak psikologis
merupakan
salah
satu
faktor
yang
berkontribusi
terhadap
kecenderungan karyawan melakukan korupsi, sehingga penting bagi
9
perusahaan lebih memperhatikan pemenuhan kontrak psikologis
karyawan
1.5
Batasan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi awal dari kecenderungan korupsi berdasarkan
peninjauan akan emosi moral. Aspek yang diukur dari penelitian ini adalah
pergerakan kecenderungan korupsi yang dapat dilihat dari pergerakan skor evaluasi
perilaku negatif (NBE), perilaku memperbaiki kesalahan (REP), evaluasi diri negatif
(NSE), dan perilaku menarik diri (WIT), dimana semakin rendahnya skor NBE,
NSE, dan REP mengindikasikan kemungkinan yang lebih besar bagi karyawan untuk
berpotensi melakukan korupsi, sedangkan semakin tinggi skor WIT mengindikasikan
potensi yang lebih besar bagi karyawan dalam melakukan korupsi. Fakor lain di luar
emosi moral yang mungkin turut berperan dalam memprediksi potensi korupsi pada
karyawan tidak diulas dalam skripsi ini. Belum ada standarisasi skor yang dibentuk
untuk menilai apakah individu memiliki kecenderungan untuk melakukan korupsi
yang tinggi. Namun, hal ini dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
Download