Gejala Depresi Pada Anak Jalanan Yang Mengalami Kekerasan

advertisement
1
Judul
Nama/NPM
Pembimbing
: Gejala Depresi Pada Anak Jalanan Yang Mengalami Kekerasan
: Adhi Widya Permana/10503004
: Mahargyantari Purwani Dewi, S.Psi., M.Si.
ABSTRAK
Kasus kekerasan anak jalanan di Indonesia setiap tahun meningkat sebesar
50%, hal itu membuat Indonesia menempati peringkat tertinggi di Asia Pasifik dalam hal
kekerasan terhadap anak-anak. Kekerasan pada anak terhadap berbagai aspek
kehidupan anak sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak, berdampak langsung
pada kecacatan fisik dan yang terberat yaitu depresi akibat tekanan. Depresi merupakan
gejala kehilangan gairah, semangat dan menurunnya daya fikir, hal ini selain dialami oleh
orangtua juga sering terjadi pada anak, dari gejalanya ini akan menimbulkan stress,
gelisah dan cemas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana depresi pada
anak jalanan yang mengalami kekerasan serta apa saja penyebab depresi pada anak
jalanan yang mengalami kekerasan. Pada penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan kualitatif yang sifatnya studi kasus. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah menggunakan teknik wawancara berstruktur tetapi fleksibel. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan observasi dengan menggunakan catatan lapangan.
Observasi catatan lapangan dilakukan pada saat berlangsungnya wawancara. Isi dari
catatan lapangan tersebut yaitu kutipan-kutipan langsung apa yang dikatakan subjek
pada saat proses wawancara berlangsung, catatan lapangan juga berisi perasaanperasaan peneliti, reaksi terhadap pengalaman yang dilalui, dan refleksi mengenai
makna personal dan arti kejadian tersebut dari sisi peneliti. Jumlah subjek dalam
penelitian ini adalah 1 remaja jalanan yang mengalami tindak kekerasan. Berdasarkan
hasil penelitian subjek mengalami gejala depresi seperti gangguan pola tidur,
menurunnya efisiensi kerja, menurunnya tingkat aktivitas, menurunnya produktivitas
kerja, merasa mudah letih dan sakit, kehilangan rasa percaya diri, sensitif, merasa diri
tidak berguna, perasan bersalah, perasaan terbebani, komunikasi yang jarang. Dan
penyebab depresi pada anak jalanan seperti kekerasan secara fisik, kekerasan seksual,
pengabaian secara fisik, kekerasan secara psikologis. Saran untuk anak jalanan
diharapkan berhati-hati dan menghindari tempat-tempat yang rawan terjadinya kejahatan.
Kata kunci : gejala depresi, anak jalanan, kekerasan
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Departemen Sosial RI
(2004b) situasi kehidupan di jalanan
memang memberikan peluang bagi
anak-anak untuk melakukan berbagai
kegiatan yang dapat menghasilkan
nafkah atau sekedar untuk bergaul dan
bermain bersama dengan teman
sebaya. Namun situasi kehidupan
jalanan juga sangat membahayakan
bagi kehidupan anak-anak, baik
ancaman
kecelakaan,
maupun
ancaman terhadap kesehatan.
Menurut Departemen Sosial RI (2004b)
krisis ekonomi yang diperberat oleh bencana
alam yang melanda negara Indonesia pada
saat ini telah menyebabkan banyak orang tua
dan keluarga mengalami keterpurukan
ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja,
kehilangan pekerjaan, menurunnya daya beli
serta harga barang-barang yang melambung,
sehingga tidak lagi memenuhi hak dan
kebutuhan anak di atas. Akibat lebih jauh
yaitu banyaknya anak yang terpaksa harus
meninggalkan orang tua dan rumah serta
meninggalkan sekolah guna mencari nafkah
di jalanan.
Data dari Departemen Sosial RI
(2005a) anak jalanan masih menjadi
masalah kesejahteraan sosial yang
serius di Indonesia. Data dari Pusat
Data dan Informasi Kesejahteraan
1
2
Sosial Depertemen Sosial jumlah anak
jalanan tahun 2004 sebesar 98.113 anak,
jumlah tersebut tersebar di 30 Provinsi.
Selanjutnya Departemen Sosial RI
(2005a) sebagai perbandingan pada tahun
1999, berdasarkan hasil survey dan
pemetaan sosial anak jalanan yang
dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan
Departemen Sosial dengan dukungan Asia
Development Bank, jumlah anak jalanan
adalah 39.861 anak yang tersebar di 12 kota
besar
(Medan,
Padang,
Palembang,
Lampung, DKI Jakarta, Bandung, Semarang,
DI
Yogyakarta,
Surabaya,
Malang,
Makassar, dan Mataram). Besarnya angka
ini
mencerminkan
bahwa
masalah
kemiskinan yang diperparah oleh krisis
ekonomi pada tahun 1997 telah menambah
permasalahan
anak
jalanan
semakin
kompleks. Data dari Departemen Sosial RI
(2005a) anak jalanan masih menjadi
masalah kesejahteraan sosial yang serius di
Indonesia. Data dari Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial Depertemen
Sosial jumlah anak jalanan tahun 2004
sebesar 98.113 anak, jumlah tersebut
tersebar di 30 Provinsi.
Selanjutnya Departemen Sosial RI
(2005a) sebagai perbandingan pada tahun
1999, berdasarkan hasil survey dan
pemetaan sosial anak jalanan yang
dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan
Departemen Sosial dengan dukungan Asia
Development Bank, jumlah anak jalanan
adalah 39.861 anak yang tersebar di 12 kota
besar
(Medan,
Padang,
Palembang,
Lampung, DKI Jakarta, Bandung, Semarang,
DI
Yogyakarta,
Surabaya,
Malang,
Makassar, dan Mataram). Besarnya angka
ini
mencerminkan
bahwa
masalah
kemiskinan yang diperparah oleh krisis
ekonomi pada tahun 1997 telah menambah
permasalahan
anak
jalanan
semakin
kompleks.
Menurut
Windhu
(1992)
kasus
kekerasan anak jalanan di Indonesia setiap
tahun meningkat sebesar 50%, hal itu
membuat Indonesia menempati peringkat
tertinggi di Asia Pasifik dalam hal kekerasan
terhadap anak-anak. Tingginya kekerasan
terhadap
anak
jalanan
dipengaruhi
rendahnya perhatian pemerintah. Bahkan,
UU Perlindungan Anak belum mampu
menghentikan dan memberi efek jera
pelaku. Angka kasus kekerasan terhadap
anak juga masih memprihatinkan, kekerasan
dari tahun meningkat 2008 dari 1 Januari
hingga Juni Komnas maupun di 33
lembaga perlindungan anak menerima
laporan 21 ribu kasus kekerasan
anak. 62,7 % kekerasan seksual, atau
12 ribu anak mengalami kekerasan
seksual.
Menurut Prasadja dan Agustian
(2000) anak jalanan memang tidak
jauh dari kekerasan baik dari
lingkungan fisik maupun dari orangorang di sekitarnya. Jalanan yang
banyak diisi lalu lalang kendaraan
pribadi maupun kendaraan umum
memungkinkan anak terserempet,
tertabrak atau jatuh dari kendaraan.
Resiko
anak
jalanan
laki-laki
terserempet kendaraan relatif lebih
besar
dibanding
anak
jalanan
perempuan. Di kalangan anak jalanan
laki-laki resiko tersebut sekitar 25 %,
sedang di kalangan anak perempuan
sekitar 20 %. Dengan kata lain, satu
dari 4 anak jalanan laki-laki dan satu
dari 5 anak perempuan pernah
terserempet kendaraan. Resiko ini
menjadi lebih besar saat mereka
ditanya tentang pengalaman temanteman sesama anak jalanan, di atas
30 % anak jalanan menyatakan
bahwa mereka pernah melihat teman
sesama anak jalanan terserempet
kendaraan (Prasadja & Agustian,
2000).
Menurut
Galtung
(dalam
Windhu, 1992) ada dua bentuk
kekerasan yang sering dialami anak
jalanan
yakni
kekerasan
yang
dilakukan oleh aparatur pemerintah
(torture) maupun kekerasan yang
dilakukan senior atau premanpreman, pemerintah pusat atau pun
daerah
sudah
seharusnya
menghentikan kekerasan struktural
terhadap anak-anak jalanan baik
secara langsung maupun tidak
langsung.
Penerapan
kekerasan
terhadap
anak-anak
jalanan
merupakan pelanggaran terhadap
konstitusi.
Hal
ini
berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal
28b ayat 2 disebutkan, setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang, serta
berhak
atas
perlindungan
dari
kekerasan dan diskriminasi.
Menurut
Komisi
Nasional
Perempuan (2002) dampak kekerasan
3
pada anak terhadap berbagai aspek
kehidupan anak sesuai dengan tahapan
tumbuh kembang anak, baik
yang
berdampak langsung pada kecacatan fisik
dan yang terberat yaitu depresi akibat
tekanan. Menurut Kasuda (1996) gejala
depresi merupakan gejala kehilangan
gairah, semangat dan menurunnya daya
fikir, hal ini selain dialami oleh orangtua juga
sering terjadi pada anak, dari gejalanya ini
akan menimbulkan stress, gelisah dan
cemas. Menurut Pujiastuti (2001) Ciri-ciri
anak mengalami gejala depresi, seperti
malas untuk belajar atau tidak mau bertemu
dengan temannya dan cenderung menarik
diri dari lingkungan. Sehingga tidak sedikit
penyakit ini bisa mengarah ke bunuh
diri.salah satu ciri anak yang mudah terkena
depresi yakni punya kepribadian yang
tertutup, sukar bergaul, tidak mudah
bersosialisasi.
Menurut Kasuda (1996) gejala depresi
pada anak biasanya bisa dilihat dan diamati
dari tingkah laku sehari-hari. Gejala yang
paling mudah dilihat itu antara lain, anak
selalu merasa sedih atau cepat marah,
fisiknya menjadi lemah karena tidak
bergairah untuk bermain dan mengerjakan
sesuatu. Bahkan, anak yang mengidap
gejala depresi biasanya juga selalu merasa
rendah diri, serta menganggap segala
sesuatu berat untuk dilakukan. Anak-anak
depresi mengalami episode depresi yang
biasanya bertahan dari tujuh sampai
sembilan bulan, meskipun beberapa ahli
perkembangan anak yang mengatakan
bahwa perilaku depresi yang bertahan lebih
dari dua minggu memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut.
Menurut Pujiastuti (2001) kepribadian
anak yang tertutup dan terbuka tergantung
pada lingkungan. Jika lingkungan tidak
mendukung maka rentan terkena depresi.
Meskipun
dia
tertutup
karena
dia
dikondisikan untuk bergaul dia akan
berkembang meskipun dia tidak kehilangan
cirinya, orang tua hendaknya memperhatikan
kemampuan
anak,
jangan
sampai
memaksakan kehendak pada anak-anak
yang tidak sesuai dengan kemampuannya,
karena anak yang dipaksa, maka anak
tersebut akan memerlukan daya saing yang
kuat.
Menurut Siswanto (2007) kedekatan
orangtua dengan anak ketika anak depresi
sangat dibutuhkan, umumnya anak-anak
yang memperlihatkan gejala depresi selalu
membutuhkan perhatian yang lebih
dari orangtuanya dan mereka ingin
selalu disayang Langkah awal yang
harus dilakukan orangtua, ketika
anak-anaknya
terdiagnosis
mengalami depresi adalah orangtua
haruslah telah menguasai semua
permasalahan tentang depresi dan
lebih baik jika orangtua belajar
bagaimana
menanganinya,
luangkanlah waktu lebih banyak untuk
anak. Mungkin akan sulit bagi
orangtua yang sangat sibuk dengan
rutinitas kerja padat. Tapi, hal ini bisa
membantu pemulihan mental anak.
Menurut Berne dan Savary
(1994) anak-anak yang mengalami
stress, mengalami kehilangan (orang
atau barang atau apapun), anak yang
sedang belajar, atau anak yang
mengalami kekerasan berada pada
risiko yang lebih tinggi untuk
menderita gejala depresi. Gejala
depresi juga cenderung untuk terjadi
dalam keluarga. Perilaku anak-anak
dan remaja yang mengalami depresi
mungkin berbeda dari perilaku orang
dewasa yang depresi.
Untuk
itulah peneliti
ingin
mengetahui bagaimana gejala depresi
pada anak jalanan yang mengalami
kekerasan, dan bagaimana dampak
dari depresi yang diterima anak
jalanan dari tindak kekerasan. Dalam
penelitian ini akan menggunakan
istilah gejala depresi, karena tidak
dilakukan penegakan diagnosis.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan di muka, maka penulis
tertarik untuk meneliti :
1. Bagaimana
gambaran
gejala
depresi pada anak jalanan yang
mengalami kekerasan?
2. Apa saja penyebab munculnya
gejala depresi pada anak jalanan
yang mengalami kekerasan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan
dari
diadakannya
penelitian ini adalah untuk memberikan
gambaran mengenai bagaimana gejala
depresi pada anak jalanan yang
mengalami kekerasan. Serta untuk
mengetahui
penyebab
munculnya
4
gejala depresi pada anak jalanan yang
mengalami kekerasan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat yang diambil dari penelitian
ini adalah untuk memberikan sumbangan
bagi ilmu pengetahuan, khususnya
psikologi
sosial
dan
psikologi
perkembangan tentang gejala depresi
pada anak jalanan yang mengalami
kekerasan
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan
memberikan informasi yang dapat
digunakan
sebagai
dasar
upaya
perlindungan bagi anak-anak jalanan
yang telah bekerja dan berada di jalanan.
Serta diharapkan dapat menjadi acuan
umum kepada berbagai pihak yang
menangani permasalahan sosial anak
jalanan baik pemerintah dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
BAB II
A. Gejala Depresi
1. Pengertian Depresi
Menurut Lumongga (2009) depresi
adalah gangguan perasaan (afek) yang
ditandai dengan afek disforik (kehilangan
kegembiraan atau gairah) disertai dengan
gejala-gejala lain, seperti gangguan tidur
dan menurunnya selera makan.
2. Gejala-gejala Depresi
Menurut Lumongga (2009) gejala
depresi adalah sekumpulan peristiwa,
perilaku, atau perasan yang sering
(namun tidak selalu) muncul pada waktu
yang bersamaan, gejala ini depresi dapat
lihat dari tiga segi yaitu :
a. Gejala fisik, memiliki beberapa yang
dapat dideteksi yaitu:
1) Gangguan pola tidur, misalnya,
sulit tidur, terlalu banyak atau
terlalu sedikit tidur
2) Menurunnya efesiensi kerja, orang
yang terkena depresi akan sulit
memfokuskan energi pada hal-hal
prioritas.
Kebanyakan
yang
dilakukan justru hal-hal yang tidak
efisien dan tidak berguna,
seperti memakan makanan
kecil, melamun, merokok
terus-menerus,
sering
menelepon yang tak perlu.
Yang jelas orang terkena
depresi akan terlihat dari
metode
kerjanya
yang
menjadi kurang terstruktur,
sistematiknya kerjanya jadi
kacau atau kerjaannya jadi
lamban.
3) Menurunnya
tingkat
aktivitas, pada umumnya,
orang yang mengalami
depresi
menunjukan
perilaku
yang
pasif,
menyukai kegiatan yang
tidak melibatkan orang lain
seperti menonton televisi,
makan, dan tidur.
4) Menurunnya
produktivitas
kerja, orang yang terkena
depresi akan kehilangan
sebagian
atau
seluruh
motivasi kerjanya. Sebabnya
tidak lagi bisa menikmati dan
merasakan kepuasan atas
apa
yang
dilakukannya,
kehilangan
minat
dan
motivasi untuk melakukan
kegiatannya seperti semula.
Oleh karena itu, keharusan
untuk
tetap
beraktivitas
membuatnya
kehilangan
energi yang ada sudah
banyak
terpakai
untuk
mempertahankan diri agar
tetap dapat berfungsi seperti
biasanya.
Mudah
sekali
lelah, capek padahal belum
melakukan aktivitas yang
berarti.
5) Mudah merasa letih dan
sakit,
jika
seseorang
menyimpan
perasaan
negatif, maka jelas akan
membuat
letih
karena
membebani
pikiran
dan
perasaan,
dan
harus
memikulnya di mana saja
dan kapan saja, suka tidak
suka.
b. Gejala Psikologis, ada beberapa
tanda gejala psikologis yaitu :
5
1) Kehilangan rasa percaya
diri.
Penyebabnya,
orang
yang
mengalami depresi cenderung
memandang segala sesuatu dari
segi negatif, termasuk menilai diri
sendiri.
Senang
sekali
membandingkan antara dirinya
dengan orang lain. Orang lain lebih
dinilai sukses, pandai, beruntung,
kaya, lebih berpendidikan, lebih
berpengalaman, lebih diperhatikan
oleh atasan, dan pikiran negatifnya.
2) Sensitif. Orang yang mengalami
depresi senang sekali mengaitkan
segala sesuatu dengan dirinya.
Perasaannya
sensitif
sekali
sehingga sering peristiwa yang
netral jadi dipandang dari sudut
pandang yang berbeda oleh merek,
bahkan disalah artikan. Akibatnya
mereka mudah tersinggung mudah
marah,
perasa,
curiga akan
maksud orang (yang sebenarnya
tidak ada apa-apa), mudah sedih,
murung dan lebih suka menyendiri.
3) Merasa
diri
tidak
berguna.
Perasaan tidak berguna ini muncul
karena mereka merasa menjadi
orang yang gagal terutama di
bidang atau lingkungan yang
seharusnya
mereka
kuasai.
Misalnya
seorang
manager
mengalami depresi karena ia
dimutasikan ke bagian lain. Dalam
persepinya,
pemutasian
itu
disebabkan
ketidakmampuannya
dalam bekerja dan pimpinan
menilai
dirinya
tidak
cukup
memberikan
kontribusi
sesuai
dengan yang diharapkan.
4) Perasaan
bersalah.
Perasaan
bersalah terkadang timbul dalam
pemikiran orang yang mengalami
depresi. Mereka memandang suatu
kejadian yang menimpa dirinya
sebagai suatu hukuman atau akibat
dari
kegagalan
mereka
melaksanakan tanggung jawab
yang
seharusnya
dikerjakan.
Banyak pula yang merasa dirinya
menjadi beban orang lain dan
menyalahan diri mereka atas
situasi tersebut.
5) Perasaan
terbebani.
Banyak
orang yang menyalahkan orang
lain
atas
kesusahan
yang
dialaminya. Mereka merasa
terbeban
berat
karena
merasa terlalu dibebani
tanggung jawab yang berat.
c.
Gejala Sosial. Problem sosial
yang terjadi biasanya berkisar
pada masalah interaksi dengan
rekan kerja, atasan, atau
bawahan. Masalah ini tidak
hanya berbentuk konflik, namun
lainnya juga seperti perasaan
minder, malu, cemas jika
berada di antara kelompok dan
merasa tidak nyaman untuk
berkomunikasi secara normal
Dalam penelitian gejala
depresi yang digunakan adalah
gejala fisik, gejala psikologis,
dan gejala sosial
3. Jenis-jenis Depresi
Penggolongan
atau
klasifikasi depresi hingga saat ini
diakui masih sukar diterima
kalangan psikiater. Depresi dikenal
sebagai sindroma yang secara
klinik heterogen, dalam arti tidak
terdapat satu cara kasifikasi untuk
penggolongan
depersi
yang
diterima secara universal. Menurut
Lumongga (2009) ada beberapa
jenis-jenis depresi :
a. Depresi Berdasarkan Tingkat
Penyakit
Menurut
klasifikasi
organisasi kesehatan dunia
World
Health
Organization
(WHO)
(dalam
Lumongga,
2009),
berdasarkan
tingkat
penyakitnya, depresi menjadi:
1) Mild depression / minor
depression dan dysthymic
disorder
Pada depresi ringan,
mood yang rendah datang
dan pergi dan penyakit
datang setelah kejadian
sterssfull yang spesifik.
Individu
akan
merasa
cemas dan juga tidak
bersemangat.
Perubahan
gaya
hidup
biasanya
dibutuhkan
untuk
mengurangi depersi jenis ini
6
Minor depression ditandai
dengan adanya dua gejala pada
Depressive episode namun tidak
lebih dari lima gejala depresi
muncul selama dua minggu
berturut-turut, dan gejala itu bukan
karena pengaruh obatan-obatan
atau penyakit.
Bentuk depresi yang kurang
parah disebut distimia (Dystymic
disorder). Depresi ini menimbulkan
gangguan
Minor
Depression
ringan dalam jangka waktu yang
lama sehingga seseorang tidak
dapat bekerja optimal. Gejala
depresi ringan ada gangguan
distimia dirasakan minimal dalam
jangka waktu dua tahun.
2) Moderate Depression
Pada depresi sedang mood yang
rendah berlangsung terus dan
individu mengalami simtom fisik juga
walaupun berbeda-beda tiap individu.
Perubahan gaya hidup saja tidak
cukup dan bantuan diperlukan untuk
mengatasinya.
3) Severe depression/major deperssion
Depresi berat adalah penyakit
yang tingkat depresinya parah.
Individu akan mengalami gangguan
dalam kemampuan untuk bekerja,
tidur, makan, dan menikmati hal yang
menyenangkan dan penting untuk
mendapatkan bantuan medis secepat
mungkin. Deperesi ini dapat muncul
sekali atau dua kali dan beberapa kali
selama hdup.
Major
depression
ditandai
dengan adanya lima atau lebih
simtom yang ditunjukan dalam major
depressive episode dan berlangsung
selama 2 minggu berturut-turut.
b. Depresi
Nosologi
Berdasarkan
Klasifikasi
Kasifiasi nosologi dari keadaan
depresi telah terbukti bernilai dalam
praktik klinik dan telah dibakukan oleh
World Health Organization (WHO).
Menentukan suatu kasus depresi pada
kategori
nosologi
yang
tepat
merupakan hal yang penting. Untuk
mencapai hal itu diperlukan penilaian
yang menyeluruh dari semua
fakta yang diperoleh dari
eksplorasi
keadaan
psikologisnya. Dan tidak kurang
pentingnya adalah yang disebut
miieu situation seperti hubungan
penderita dengan lingkungan di
mana dia tinggal dan bekerja.
(Lumongga, 2009).
Jenis-jenis
depresi
menurut
World
Health
Organization (WHO) (dalam
Lumongga, 2009), berdasarkan
tingkat
penyakitnya,
dibagi
menjadi:
1) Depresi
Psikogenik
–
Depresi ini karena pengaruh
psikologis
individu.
Biasanya
terjadi
akibat
adanya kejadian yang dapat
membuat seseorang sedih
atau
stress
berat.
Berdasarkan pada gejala
dan tanda-tanda, terbagi
menjadi :
a). Depresi reaktif
Merupakan istilah yang
digunakan
untuk
gangguan mood depresi
yang ditandai oleh apati
dan retardasi atau oleh
kecemasan dan agtasi.
Dan yang ditimbukan
sebagai reaksi dari suatu
pengalaman hidup yang
menyedihkan.
Dibandingan
dengan
kesedihan biasa, depresi
ini
lebih
mendalam
berlangsung lama tetapi
jarang
melampaui
beberapa minggu.
b). Exhaustion depression
Merupakan depresi yang
ditimbulkan
setelah
bertahun-bertahun masa
laten, akibat tekanan
perasaan yang berlarutlarut, goncangan jiwa
yang
berturut
atau
engaaman
berulang
yang menyakitkan.
c). Depresi neurotik
Asal mulanya adalah
konflik-konflik psikologis
7
masa
anak-anak
(seperti
keadaan perpisahan dengan
ibu pada masa bayi, hubungan
orang tua anak yang tidak
menyenangkan) yang selama
ini disimpan dan membekas
dalam jiwa penderita. Proses
represi baik yang sebagian
maupun yang seluruhnya dari
konfik-konflik tadi merupakan
sumber
kesulitan
yang
menetap dan potensial bagi
timbulnya depresi di kemudian
hari. Jauh sebelum timbulnya
depresi sudah tampak adanya
gejala-gejala kecemasan, tidak
percaya diri, gagap, sering
mimpi buruk, dan enuresis.
Juga gejala jasmaniah seperti
banyak berkeringat, gemetar,
berdebar-debar,
gangguan
pencernaan seperti diare dan
spasm
2). Depresi endogenik
Depresi ini diturunkan, biasanya
timbul
tanpa
didahului
oleh
masalah psikologis atau fisik
tertentu, tetap bisa juga dicetuskan
oleh trauma fisik maupun psikis,
kebanyakan
depresi
endogen
berupa suatu depresi unipolar.
3). Depresi somatogenik
Pada depresi ini dianggap bahwa
faktor-faktor
jasmani
berperan
dalam timbulnya depresi, terbagi
dalam beberapa tipe :
a) Depresi organik
Disebabkan oleh perubahanperubahan morfologi dari otak
seperti arteriosklerosis serebri,
demensia senelis, tumor otak,
defisiensi mental, dan lain-lain.
Gejala-gejalanya dapat berupa
kekosongan emosional disertai
ide-ide hipokondrik. Biasanya
disertai
dengan
suatu
psychosyndrome akibat kelainan
lokal atau difusi di otak dengan
gejala kerusakan short term
memory, disorientasi waktu,
tempat, dan situasi disertai
tingkah laku eksplosif dan
mudah terharu.
b) Depresi simptomatik
Merupakan depresi akibat
atau bersamaan dengan
penyakit
jasmaniah
seperti:
(1) Penyakit infeksi :
hepatitis,
influenza,
pneumonia
(2) Penyakit endokrin :
diabetes
mellitus,
hipotiroid
(3) Akibat
tindakan
pembedahan.
(4) Pengobatan
jangka
anjang dengan obatobatan antihipertensi
(5) Pada
fase
penghentian
kecanduan narkotika,
alkohol
dan
obat
penenang
d. Depresi
menurut
penyebab, gejala, dan arah
penyakit
4. Penyebab Depresi
Gangguan
depresi
pada
umumnya
dicetuskan
oleh
peristiwa
hidup
tertentu.
Kenyataannya peristiwa hidup
tersebut tidak selalu diikuti depresi,
hal ini mungkin disebabkan karena
ada faktor-faktor lain yang ikut
berperan
mengubah
atau
mempengaruhi hubungan tersebut
(Lumongga, 2009), faktor-faktor
tersebut adalah :
a. Faktor Fisik – terbagi beberapa
faktor yaitu:
1) Faktor Genetik
Seseorang yang dalam
kelurganya
diketahui
menderita depresi
berat
memiliki risiko lebih besar
menderita gangguan depresi
daripada masyarakat pada
umumnya.
Gen
(kode
biologis yang diwariskan dari
orang
tua)
berpengaruh
dalam terjadinya depresi,
tetapi ada banyak gen di
dalam tubuh kita dan tidak
ada seorangpun peneliti
yang mengetahui secara
pasti bagaimana gen bekerja
dan tidak ada bukti langsung
8
bahwa penyakit depresi yang
disebabkan oleh faktor keturunan
(McKenzie, 1999).
Pengaruh gen lebih penting
pada depresi berat daripada
depersi ringan dan lebih penting
pada indvidu muda yang menderita
depresi daripada individu yang
lebih tua. Gen lebih berpengaruh
pada orang-orang yang punya
periode di mana mood mereka
tinggi dan mood rendah atau
gangguan bipolar. Tidak semua
orang biasa terkena depresi,
bahkan
ada
depresi
dalam
keluarga,
biasanya
diperlukan
suatu kejadian hidup yang memicu
terjadinya depresi (Kendler, 1992).
2) Susunan Kimia Otak dan Tubuh
Beberapa bahan kimia di dalam
otak
dan
tubuh
memegang
peranan
yang
besar
dalam
mengendalikan emosi kita. Pada
orang depresi ditemukan adanya
perubahan dalam jumlah bahan
kimia
tersebut.
Hormon
noradrenalin yang
memegang
peranan
utama
dalam
mengendalikan otak dan aktivitas
tubuh, tampaknya berkurang pada
mereka yang mengalami depresi.
Pada wanita, perubahan hormon
dihubungkan dengan kelahiran
anak dan menopause juga data
meningkatkan risiko terjadinya
depresi (McKenzie, 1999).
3) Faktor usia
Berbagai
penelitan
mengungkapkan bahwa golongan
usia muda yaitu remaja dan orang
dewasa lebih banyak terkena
depresi. Hal ini dapat terjadi karena
pada usia tersebut terdapat tahaptahap serta tugas perkembangan
yang penting, yaitu peralihan dari
masa anak-anak ke masa remaja,
remaja ke dewasa, masa sekolah
ke masa kuliah atau bekerja, serta
masa
pubertas
ke
masa
pernikahan. Namun sekarang ini
usia rata-rata penderita depresi
semakin
menurun
yang
menunjukan bahwa remaja dan
anak-anak semakin banyak yang
terkena
depresi.
Survey
masyarakat terakhir melaporkan
prevalensi yang tinggi dari
gejala-gejala depersi pada
golongan
usia
dengan
dewasa muda 18-44 tahun
(Wikinson, 1995).
4) Gender
Adanya
perubahan
hormonal
dalam
siklus
menstruasi
yang
berhubungan
dengan
kehamilan dan kelahiran
dan juga menopause yang
membuat
wanita
lebih
rentan menjadi depresi.
Penelitan Angold (1998)
menunjukan bahwa periode
meningkatkan risiko deresi
pada wanita terjadi ketika
masa
pertengahan
pubertas.
Data yang dihimpun
oleh
World
Bank
menyebutkan
prevalensi
terjadinya depresi sekitar
30% terjadi pada wanita dan
12,6% dialami oleh pria
(Desjarlis, 1995). Radloff
dan
Rae
(1979)
berpendapat bahwa adanya
perbedaan tingkat depresi
pada pria dan wanita lebih
ditentukan
oleh
faktor
biologis dan lingkungan,
yaitu adanya perubahan
peran
sosial
sehingga
menimbulkan
berbagai
konflik serta membutuhkan
penyesuaian diri yang lebih
intens, adanya kondisi yang
penuh stressor bagi kaum
wanita,
misalnya
penghasilan dan tingkat
pendidikan yang rendah
dibandingkan pria, serta
adanya perbedaan fisiolog
dan hormonal dibanding
pria,
seperti
masalah
reproduksi serta berbagai
perubahan hormone yang
dialami
wanita
sesuai
kodratnya.
Lebih jauh lagi jumlah
wanita tercatat mengalami
depersi
biasa
juga
disebabkan
oleh
pola
komunikasinya.
Menurut
Pease dan Pease (2001),
9
pola komunikasi wanita berbeda
dengan pria. Jika seorang wanita
mendapatkan masalah, maka
wanita
tersebut
ingin
mengkomunikasikannya dengan
orang lain dan memerlukan
dukungan atau bantuan orang lain,
sedangkan pria cenderung untuk
memikirkan masalahnya, pria juga
jarang menunjukan emosinya
sehingga kasus depresi ringan dan
sedang pada pria jarang diketahui
5) Gaya Hidup
Banyak kebiasaan dan gaya
hidup tidak sehat berdampak pada
penyakit misalnya penyakit jantung
juga dapat memicu kecemasan
dan depresi. Tingginya tingkat
stress dan kecemasan digabung
dengan makanan yang tidak sehat
dan kebiasaan tidur serta olahraga
untuk jangka waktu yang lama
dapat menjadi faktor beberapa
orang
mengalami
depresi
(lumongga,
2009).
Penelitian
menunjukan bahwa kecemasan
dan depresi berhubungan dengan
gaya hidup yang tidak sehat pada
pasien berisiko jantung. Gaya
hidup yang tidak sehat misalnya
tidur tidak teratur, makan tidak
teratur,
mengkonsumsi
jenis
makanan fast food atau makanan
yang
mengandung
perasa,
pengawet dan perwarna buatan,
kurang berolahraga, merokok dan
minum-minuman
keras
(Hendranata, 2004).
6) Penyakit fisik
Penyakit
fisik
dapat
menyebabkan penyakit. Perasaan
terkejut karena mengetahui kita
memiliki penyakit serius dapat
mengarahkan pada hilangnya
kepercayaan
diri
dan
penghargaan diri juga depresi,
alasan terjadinya cukup kompleks
(Ebrahim, 1987).
7) Obat-obatan
Beberapa obat-obatan untuk
pengobatan dapat menyebabkan
depersi. Namun bukan berarti obat
tersebut menyebabkan depresi,
dan menghentikan pengobatan
dapat lebih berbahaya daripada
depresi. Menurut McKenzie (1999)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
ada beberapa obat yang
menyebabkan depresi yaitu:
Tablet antieplipsy
Obat anti tekanan darah
tinggi
Obat antimalaria-melfloquine
(lariam)
Obat antiparkinson
Obat kemotrapi
Pil kontrasepsi
Digitalis
Diuretic
(jantung
dan
tekanan darah tinggi)
Interferon-alfa (hepatitis c)
Obat penenang
Terapi steroid
8) Obat-obatan terlarang
Obat-obatan
terlarang
telah
terbukti
dapat
menyebabkan
depresi
karena mempengaruhi kimia
dalam
otak
dan
menimbukan
ketergantungan.
Menurut
Brees (2008) di antara obatobatan
terlarang
yang
menyebabkan
depresi
seperti mariyuana, heroin,
kokain, ekstasi, sabu-sabu.
9) Kurang Cahaya Matahari
Kebanyakan
orang
merasa lebih baik di bawah
sinar matahari daripada hari
mendung, tetapi hal ini
sangat berpengaruh pada
beberapa individu. Mereka
baik-baik saja ketika musim
panas
tetapi
menjadi
depresi ketika musim dingin.
Mereka disebut menderita
seasonal affective disorder
(SAD). SAD berhubungan
dengan tingkat hormon yang
disebut melatonin yang
dilepaskan dari kelenjar
pineal
ke
otak.
Pelepasannya
sensitifnya
terhadap
cahaya
yaitu
memberikan
cahaya
sebesar 10.000 luc kadangkadang
efektif
menghilangkan simtom dari
seasonal affective disorder,
empat jam terkena cahaya
terang dalam sehari dapat
mengurangi seresi dalam
waktu seminggu (Ebrahim,
1987).
10
b.
Faktor psikologis
Ada beberapa faktor
penyebab depresi yaitu :
psikologis
1) Kepribadian
Aspek-aspek kepribadian ikut
mempengaruhi
tinggi
rendahnya
depresi yang dialami serta kerentanan
terhadap depresi. Ada indvidu-individu
yang lebih rentan terhadap depersi
yaitu mempunyai konsep diri serta pola
pikir yang negatif, pesimis, juga tipe
kepribadian
introvert
(Retnowati,
1990).
Tampaknya ada hubungan antara
karakteristik
kepribadian
tertentu
dengan depresi. Menurut Gordon
(dalam Lumongga, 2009), seseorang
yang menunjukan hal-hal berikut
memiliki risiko terkena depresi :
a) Mengalami kecemasan tingkat
tinggi, seorang pencemas atau
mudah terpengaruh
b) Seorang pemalu atau minder
c) Seseorang yang suka mengkritik
diri sendiri atau memiliki harga diri
yang rendah
d) Seseorang yang hipersensitif
e) Seseorang yang perfeksionis
f) Seseorang
dengan
gaya
memusatkan perhatian pada diri
sendiri (self-focused).
2) Pola Pikir
Beck
(1980)
mengatakan
gambaran pola pemikiran yang umum
pada depresi dan dipercaya membuat
seseorang rentan terkena depresi.
Seseorang yang merasa negative
mengenai diri sendiri rentan terkena
depresi.
3) Harga Diri (self-esteem)
Harga diri merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan
perilaku
individu.
Setiap
orang
menginginkan penghargaan diri positif
terhadap dirinya, sehingga seseorang
akan merasa dirinya berguna atau
berarti bagi orang lain meskipun dirinya
memiliki kelemahan mental dan fisik.
Terpenuhinya keperluan penghargaan
diri aan menghasikan sikap dan rasa
percaya diri, rasa kuat menghadapi
sakit, rasa damai, namun sebaiknya
apabila keperluan penghargaan diri ini
tidak terpenuhi, maka akan membuat
seseorang individu mempunyai mental-
mental lemah dan berpikir
negatif sehingga cenderung
terkena depresi (Maslow dalam
Petri, 2004).
4) Stres
Kematian orang dicintai,
kehilangan pekerjaan, pindah
rumah, atau stress berat yang
lain
dianggap
dapat
menyebabkan
depresi
(lumongga, 2009). Orang yang
depresi dapat merasa sangat
negative
dan
cenderung
mengingat dan melaporkan halhal negativ begitu pula dampak
suatu
peristiwa
terhadap
seseorang sulit diramalkan,
beberapa orang lebih mampu
menanggulangi stress daripada
yang lain dan apa yang
membuat
stress
seseorang
belum tentu menganggu yang
lain (Mckenzie, 1999).
5) Lingkungan keluarga
Ada beberapa penyebabnya
yaitu :
a) Kehilangan orang tua ketika
masih anak-anak
Ada bukti bahwa indivdu
yang kehilangan ibu mereka
ketika muda memiliki risiko
lebih
besar
terserang
depresi. Kehilangan yang
besar ini akan membekas
secara
psikologis
dan
membuat seseorang lebih
mudah terserang depresi
tetapi, di satu sisi, mungkn
saja membuat orang lebih
tabah. Akibat psikologis,
sosial, dan keuangan yang
ditimbulkan oleh kehilangan
orang tua yang lebih penting
daripada kehilangan itu
sendiri (Lumongga, 2009).
b) Jenis Pengasuhan
Psikolog menemukan bahwa
orang tua yang sangat
menuntut dan kritis, yang
menghargai kesuksesan dan
menolak semua kegagalan
membuat anak-anak lebih
mudah terserang depresi di
masa depan (Lumongga,
2009).
11
c) Penyiksaan fisik dan seksual
ketika kecil
Penyiksaan fisik atau seksual
dapat membuat seseorang berisiko
terserang depresi berat sewaktu
dewasa (Lumongga, 2009).
6) Penyakit Jangka panjang
Ketidaknyamanan, ketidakmampuan,
ketergantungan, dan ketidakamanan
dapat membuat seseorang cenderung
menjadi depresi. Kebanyakan orang
suka bertemu orang. Orang yang sakit
keras menjadi rentan terhadap depresi
saat mereka dipaksa dalam posisi di
mana mereka tidak berdaya atau
karena energi yang mereka perlukan
untuk melawan depresi sudah habis
untuk penyakit
jangka panjang
(Lumongga, 2009).
5. Dampak Depresi
a. Bunuh Diri
Walaupun banyak orang yang
depresi yang tidak bunuh diri, depresi
yang
tidak
ditangani
dapat
meningkatkan resiko percobaan bunuh
diri. Sangat sering bagi individu yang
mengalami depresi memiliki pikiran
untuk bunuh diri (Lumongga, 2009).
b.Gangguan Tidur : Insomnia dan
Hypersomnia
Insomnia atau kesulitan tidur
bukanlah suatu penyakit, insomnia
adalah cara tubuh bereaksi terhadap
stress, jumlah waktu tidur yang
dibutuhkan oleh tiap orang berbedabeda, kebanyakan orang dewasa
memerlukan tidur delapan jam setiap
malam, jika kita tidak mendapatkan
cukup tidur, kita akan merasa
mengantuk di siang harinya. Pola tidur
berubah sesuai dengan usia, misalnya,
orang yang lebih tua tidur siang dan
lebih
sedikit
di
malam
hari
(Kusumawardhani, 2006)
c. Gangguan dalam Hubungan
Sebagai akibat dari depresi,
seseorang
cenderung
mudah
tersinggung, senantiasa sedih sehingga
lebih banyak menjauhkan diri dari orang
lain atau dalam situasi lain menyalahkan
orang lain, hal ini menyebabkan
hubungan dengan orang lain menjadi
tidak baik (Lumongga, 2009).
d. Gangguan dalam Pekerjaan
Pengaruh depresi sangat
terasa
dalam
kehidupan
pekerjaan seseorang. Depresi
meningkatkan
kemungkinan
dipecat dan pendapatan yang
lebih
rendah.
Depresi
mengakibatkan kerugian dalam
produksi karena absenteisme
ataupun performa yang sangat
buruk. Pekerja dengan depresi
juga kehilangan lebih banyak
waktu karena kesehatan yang
buruk daripada pekerja yang
tidak
mengalami
depresi
(Lumongga, 2009).
e. Gangguan Pola Makan
Depresi
dapat
menyebabkan gangguan pola
makan dan gangguan pola
makan dapat menyebabkan
depresi, pada orang yang
menderita depresi terdapat dua
kecenderungan umum mengenai
pola makan yang secara nyata
mempengaruhi
berat
tubuh
badan yaitu, tidak selera makan
dan keinginan makan-makanan
yang
manis
bertambah.
Beberapa gangguan pola makan
yang diakibatkan oleh depresi
adalah
bulimia
nervosa,
anoreksia nervosa dan obesitas
(Kusumawardhani, 2006).
f. Perilaku-perilaku Merusak
Beberapa perilaku yang
merusak yang disebabkan oleh
depresi
menurut Lumongga
(2009) adalah :
1) Agresivitas dan kekerasan
Pada individu yang terkena
depresi
perilaku
yang
ditimbulkan bukan hanya
berbentuk kesedihan, namun
bisa juga dalam bentuk
mudah
tersinggung
dan
agresif.
Perilaku
agresif
lebih
cenderung ditunjukan oleh
individu pria yang mengalami
depresi. Hal ini karena
pengaruh hormon estrogen
dan
progesteron
yang
mempengaruhi
perilaku,
testosterone mempengaruhi
perilaku pria. Perilaku menjadi
berbahaya
dan
dapat
berakibat melukai orang yang
12
dicintai, dan juga diri sendiri. Pada
kasus yang ekstrem, agresi yang
meningkat dapat menyebabkan
tindak
pembunuhan.
Namun
walaupun lebih banyak agresivitas
oleh pria, wanita yang serius,
misalnya merusak barang-barang
bahkan melukai dan membunuh
anaknya sendiri.
2) Penggunaan Alkohol dan Obatobatan Terlarang
Telah
diketahui
bahwa
penggunaan alkohol dan obatobatan terlarang pada remaja selain
karena pengaruh teman kelompok,
motivasi dari diri individu untuk
menggunakan alkohol dan obatobatan terlarang dapat disebakan
oleh keadaan depresi sebagai cara
untuk mencari pelepasan semetara
keadaan yang tidak menyenangkan.
3) Perilaku Merokok
Penelitian menunjukan bahwa
ada hubungan antara emosi negatif
yang ditimbulkan oleh depresi
dengan
frekuensi
merokok.
Seseorang yang mengalami depresi
merokok lebih banyak dari biasanya.
Telah diketahui bahwa beberapa
zat kimia dari
rokok
dapat
meredakan stress untuk sementara
sehingga merokok bagi beberapa
orang
dianggap
dapat
menanggulangi stress
B. Kekerasan
1. Definisi Kekerasan
Menurut Harkrisnowo (dalam Martha,
2003) kekerasan adalah bentuk perilaku
yang menimbulkan penderitaan fisik
maupun psikologis pada korban.
2. Jenis-jenis Kekerasan
Menurut Santoso (2002) ada empat
jenis
kekerasan
yang
dapat
diindentifikasi:
a. Kekerasan terbuka yaitu, kekerasan
yang
dapat
dilihat,
seperti
perkelahian.
b. Kekerasan tertutup yaitu, kekerasan
tersembunyi atau tidak dilakukan
langsung,
seperti
perilaku
mengancam.
c. Kekerasan agresif yaitu, kekerasan
yang
dilakukan
tidak
untuk
perlindungan,
tetapi
untuk
mendapatkan sesuatu.
d. Kekerasan defensif yaitu, kekerasan
yang dilakukan sebagai tindakan
perlindungan diri. Baik kekerasan
agresif maupun defensif bisa
bersifat terbuka atau tertutup.
3. Dimensi Kekerasan
Menurut Galtung (dalam
Windhu, 1992) menguraikan ada
enam dimensi penting dari
kekerasan, yaitu:
a. Kekerasan fisik dan psikologis
Dalam kekerasan fisik, tubuh
manusia
disakiti
secara
jasmani bahkan sampai pada
pembunuhan.
Sedangkan
kekerasan psikologis adalah
tekanan yang dimaksudkan
meredusir
kemampuan
mental atau otak.
b. Pengaruh positif dan negatif
Sistem orientasi imbalan.
Seseorang dapat dipengaruhi
tidak
hanya
dengan
menghukum bila ia bersalah,
tetapi juga dengan memberi
imbalan.
c.
Ada objek atau tidak
Dalam tindakan tertentu tetap
ada ancaman kekerasan fisik
dan psikologis, meskipun
tidak memakan korban tetapi
membatasi tindakan manusia.
d. Ada subjek atau tidak
Kekerasan disebut langsung
atau personal
jika ada
pelakunya, dan bila tidak ada
pelakunya disebut struktural
atau
tidak
langsung.
Kekerasan tidak langsung
sudah menjadi bagian struktur
itu dan menampakkan diri
sebagai kekuasaan yang tidak
seimbang yang menyebabkan
peluang hidup tidak sama.
e. Disengaja atau tidak
Bertitik berat pada akibat dan
bukan tujuan, pemahaman
yang hanya menekankan
unsur sengaja tentu tidak
cukup
untuk
melihat,
mengatasi
kekerasan
struktural yang bekerja secara
halus dan tidak disengaja.
Dari sudut korban, sengaja
atau tidak, kekerasan tetap
kekerasan.
13
f.
Yang tampak dan tersembunyi
Kekerasan yang tampak, nyata, baik
yang personal maupun struktural,
dapat dilihat meski secara tidak
langsung. Sedangkan kekerasan
tersembunyi adalah sesuatu yang
memang tidak kelihatan (latent),
tetapi bisa dengan mudah meledak.
Kekerasan tersembunyi akan terjadi
jika situasi menjadi begitu tidak stabil
sehingga tingkat realisasi aktual
dapat menurun dengan mudah.
C. Dampak Kekerasan Pada Anak
Jalanan
Menurut
Komnas
Perempuan
(2002) beberapa dampak emosi yang
muncul pada anak yang mengalami
tindak kekerasan, yaitu:
a. Ketakutan
1) Kepada si penganiaya dan waktu
serta tempat tertentu.
2) Akan kehilangan kasih sayang
orang dewasa yang berarti
penting bagi mereka.
3) Akan adanya kemungkinan ia
terpaksa keluar dan harus
meninggalkan rumah.
4) Akan diketahui
orang
lain
rahasianya
yang
dirasakan
”janggal”.
b.
c.
Kemarahan
1) Kepada si penganiaya dan orang
dewasa lain yang dipercayai dan
seharusnya mampu memberikan
perlindungan, bahkan ia pun
marah pada dirinya sendiri
karena tak mampu menghindar
dan menolak.
2) Akan terjadinya tindak kekerasan
yang terjadi pada dirinya.
3) Akan tercerai-berainya keutuhan
keluarga ketika tindak kekerasan
terungkap.
Sedih
1) Kepada dirinya karena tidak
mampu
menggungkapkan
ketidak
nyamanan yang
dialaminya kepada orang lain.
2) Akan
hilangnya kepercayaan
kepada
seseorang
yang
sepatutnya dapat melindungi
tetapi justru menekannya.
3) Akan hilangnya ”sesuatu” dari
dirinya dan merasa terisolasi dari
lingkungan sosialnya.
d.
Bersalah
1) Kepada dirinya sendiri
karena
tidak
berhasil
untuk
menghentikan
penganiayaan.
2) Terus-menerus
telah
merahasiakan
penganiayaan karena tak
mampu menggungkapkan
atau
lebih
merasa
tertekan
bila
telah
mengutarakan.
3) Telah
terpaksa
menceritakan
kapada
orang lain sesuatu yang
menjadi
”aib”
dirinya
padahal
pelaku
penganiayaan
adalah
mungkin juga orang yang
dekat
dalam
kehidupannya.
e.
Malu
1) Kepada
dirinya
dan
terhadap lingkungan sosial
anak.
2) Akan
terjadinya
penganiayaan
terhadap
dirinya.
3) Akan kenyataan bahwa
dirinya ”terlibat” dalam
masalah ini.
4) Akan
perasaan yang
mendua
dan
mudah
berubah
terhadap
penganiaya.
f.
Bingung
1) Kepada
dirinya sendiri,
apakah
perlu
menceritakan
penganiayaan
ini
terhadap orang lain.
2) Akan kemungkinan orang
lain
tidak
percaya
ceritanya.
3) Akan perasaannya yang
sering
berubah-ubah
terhadap
pelaku
penganiayaan
karena
anak memiliki keterlibatan
emosional
(tali
kasih)
terhadap pelaku, disatu
pihak
si
penganiaya
adalah orang dewasa yang
disayanginya dilain pihak
benci pada penganiaya
karena telah merusak
kepercayaannya.
14
C. Anak Jalanan
1. Pengertian Anak Jalanan
Menurut Peserta Lokakarya Nasional
Anak Jalanan (dalam Departemen Sosial RI,
2006a) anak jalanan adalah anak yang
sebagian besar menghabiskan waktunya
untuk mancari nafkah atau berkeliaran di
jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
Menurut Irwanto dan Anwar (1999) mereka
yang biasanya disebut sebagai anak jalanan
”sejati” adalah anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya di jalanan untuk
bekerja dan bersosialisasi dengan orang lain.
2. Ciri-ciri Anak Jalanan
Menurut Departemen Sosial RI (2006b)
ciri anak jalanan terbagi dalam dua katagori
yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak
jalanan adalah anak jalanan mempunyai
warna kulit kusam, rambut kemerahmerahan, kebanyakan berbadan kurus, dan
pakaian kotor. Sedangkan ciri psikis adalah
mereka mempunyai mobilitas yang tinggi
terutama
untuk
memenuhi
kebutuhan
pangan, masa bodoh, mempunyai rasa
penuh curiga, sangat sensitif, sulit diatur,
berwatak keras, kreatif, semangat hidup yang
tinggi, tidak berfikir panjang (berani
menanggung resiko), dan mandiri.
3. Kategori Anak Jalanan
Menurut Anwar (dalam Prasadja &
Agustian, 2000) ada dua kategori anak
jalanan yakni:
a. Anak yang hidup di jalanan yang
menghabiskan sebagian besar waktunya
di jalanan atau di tempat-tempat umum
lainnya, namun hanya sedikit waktu yang
mereka pergunakan untuk bekerja.
b. Anak yang bekerja di jalanan yang
menghabiskan sebagian besar waktunya
di jalanan atau di tempat-tempat umum
lainnya untuk bekerja dan penghasilannya
dipergunakan untuk membantu keluarga.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi anak
jalanan
Menurut Irwanto dan Anwar (1999) ada
empat faktor yang mempengaruhi anak
jalanan, yakni:
a. Faktor
sosio-ekonomi
makro.
Fenomena anak jalanan merupakan
kenyataan yang bersifat kompleks.
Kegagalan kebijakan ekonomi makro
dalam menempatkan kebutuhan keluarga
dan anak-anak sebagai prioritas. Dan
secara umum tidak memperhitungkan
mengenai keluarga dan anak-anak
sebagai
subjek
pembangunan
nasional. Keluarga miskin seringkali
tidak tahu kemana mereka harus
mencari bantuan ketika mereka
menghadapi kesulitan keuangan.
Mereka yang telah kehilangan
pekerjaan atau tanahnya, seringkali
terdesak oleh keadaan mereka
untuk melakukan apa saja di sektor
informal agar dapat bertahan hidup.
b. Kejadian
traumatik.
Analisis
sejarah
anak
jalanan
juga
mengungkapkan bahwa sejumlah
anak berasal dari keluarga yang
mengalami trauma akibat bencana
alam (kemarau panjang, banjir, dan
gempa bumi) atau akibat kerusakan
yang disebabkan manusia. Kotakota besar di Jawa, Bali, dan
Sumatera
telah
mengalami
perubahan besar yang memaksa
keluarga-keluarga miskin (termasuk
anak-anak) yang berada di daerah
kumuh, harus dipindahkan.
c. Sektor ekonomi informal di
daerah perkotaan. Sektor informal
di kota seakan merupakan magnet
kuat yang menarik anak-anak,
khususnya mereka yang miskin dan
terabaikan,
untuk
membantu
keluarga
mencari
nafkah.
Keterlibatan
dalam
aktivitas
ekonomi guna membantu keluarga,
telah menempatkan anak-anak
tersebut dalam resiko bahwa
mereka
dipaksa
untuk
mempertahankan
jumlah
pendapatannya
dan
akhirnya
meninggalkan sekolah.
d. Keberadaan subkultur jalanan.
Bagi anak-anak yang ditinggalkan
oleh orang tua atau melarikan diri
dari keluarga, komunitas jalanan
menyediakan subkultur alternatif
bagi mereka. Dalam subkultur ini,
seorang anak dapat menjadi ”tuan”
atas
dirinya
sendiri.
Mereka
mempunyai
kelompok
kecil
tersendiri yang tidak terlalu terikat,
dengan budaya yang memadukan
kebebasan dan kesetiaan (terhadap
pihak lain yang lebih tinggi
kedudukannya).
5. Masalah Anak Jalanan
Menurut Moeliono dan Dananto
(2004) masalah yang dihadapi oleh
15
anak jalanan berdasarkan dengan siapa
anak jalanan berhubungan. Ada lima sumber
yakni:
a. Anak jalanan dengan anak jalanan.
Kesan yang dimunculkan oleh anak
jalanan high risk sebagai sosok yang
bebas, tidak dikontrol orang tua, tidak
wajib setor uang, bebas jajan, merokok,
bergaya hidup santai sering menjadi daya
tarik sendiri bagi anak jalanan Vulnerable
untuk mengikuti jejak anak jalanan high
risk. Kekerasan antar anak jalanan juga
sering terjadi dalam berbagai bentuk:
perkelahian, penggunaan senjata tajam,
pengeroyokan,
pengompasan
atau
pemerasan, intimidasi psikis dan bahkan
seksual. Akibat kekerasan terwujud
dalam trauma psikis dan lingkaran setan
kekerasan.
b. Anak jalanan dengan orang tua.
Kemiskinan sering
dituding sebagai
biang keterlibatan anak dalam ekonomi
keluarga. Dengan dalih kemiskinan anak
diperlakukan secara salah dengan
dipaksa bekerja untuk
membantu
ekonomi orang tua.
c. Anak jalanan dengan masyarakat.
Masyarakat cenderung memberi stigma
buruk pada anak jalanan. Anak jalanan
dianggap
sebagai
pengganggu
kenyamanan
lingkungan,
pelaku
kriminalitas dan kekerasan.
d. Anak
jalanan
dengan
LSM
pendamping anak jalanan. Terkadang
terjadi persaingan antar LSM, sehingga
untuk menarik perhatian anak, LSM
memberikan iming-iming, janji-janji atau
bingkisan dan uang saku. Anak jalanan
tiba-tiba merasa jadi idola yang
diperebutkan, bahkan menuduh LSM
”menjual kemiskinan anak jalanan”.
e. Anak jalanan dengan negara. Negara
berkewajiban menjamin hak asasi anak.
Tiga persoalan besar yang dialami anak
jalanan adalah masalah indentitas dan
akte kelahiran, terbatasnya akses anak
pada berbagai fasilitas pelayanan umum,
serta diskriminasi dan kekerasan aparat
pemerintah (negara) terhadap anak
jalanan.
D. Gejala Depresi Pada Anak Jalanan Yang
Mengalami Kekerasan
Departemen
Sosial
RI
(2005b)
kecenderungan semakin
meningkatnya
jumlah anak jalanan merupakan
fenomena
yang
perlu
segera
ditingkatkan penanganannya secara
lebih baik, sebab jika permasalahan
tidak
segera
ditangani
maka
dikhawatirkan
menimbulkan
permasalahan
sosial
baru.
Sebagaimana diketahui situasi dan
kondisi jalanan sangat keras dan
membahayakan bagi kehidupan anakanak, seperti, ancaman kecelakaan,
eksploitasi,
penyakit,
kekerasan,
perdagangan anak, dan pelecehan
seksual.
Pandangan yang lebih dominan
menempatkan anak jalanan pada sisi
pelaku tindak kekerasan, dan pelaku
pelanggaran ketertiban dan keamanan
seringkali
mengesampingkan
kepentingan terbaik bagi si anak itu
sendiri. Padahal, proses anak ke
jalanan merupakan proses panjang
beserta berbagai peristiwa pahit yang
harus mereka alami. Tak jarang anak
berada di jalanan karena berbagai
keterpaksaan yang tak dapat mereka
hindarkan.
Jika
hal
ini
yang
mengemuka, jelas anak jalanan
merupakan korban dari berbagai
peristiwa yang dialami si anak,
keluarga, masyarakat maupun Negara
(Prasadja & Agustian, 2000).
Anak jalanan memang tidak jauh
dari kekerasan baik dari lingkungan
fisik maupun dari orang-orang di
sekitarnya. Jalanan yang banyak diisi
lalu lalang kendaraan pribadi maupun
kendaraan umum memungkinkan
anak terserempet, tertabrak atau jatuh
dari kendaraan. Resiko anak jalanan
laki-laki terserempet kendaraan relatif
lebih besar dibanding anak jalanan
perempuan. Di kalangan anak jalanan
laki-laki resiko tersebut sekitar 25 %.
Dengan kata lain, satu dari 4 anak
jalanan laki-laki dan satu dari 5 anak
perempuan
pernah
terserempet
kendaraan (Prasadja & Agustian,
2000).
Menurut Departemen Sosial RI
(2004a) persoalan dasar yang dialami
oleh anak-anak ini adalah terjadinya
kekerasan fisik. Anak seringkali
mendapat tindak kekerasan fisik
berupa pukulan dari orang tuanya,
atau psikologis berupa amarah,
makian dari orang tuanya dengan
16
alasan untuk mendidik anak Menipu,
menyekap, menganiaya, dan kemudian
memperdagangkan anak-anak perempuan
untuk kepentingan eksploitasi seksual
komersial sesungguhnya adalah bentuk
tindak kejahatan kemanusiaan yang paling
keji dan sangat melukai perasaan (Suyanto,
2004).
Menurut Komisi Nasional Perempuan
(2002) dampak kekerasan pada anak
terhadap berbagai aspek kehidupan anak
sesuai dengan tahapan tumbuh kembang
anak, baik yang berdampak langsung pada
kecacatan fisik dan yang terberat yaitu
depresi akibat tekanan. Depresi adalah
perasaan sangat sedih, bisa disertai baru
kehilangan atau peristiwa sedih lainnya
namun kadarnya melebihi peristiwa tersebut
dan berlangsung melebihi jangka waktu
yang
semestinya,
kesedihan
dan
ketidakgembiraan adalah emosi manusia
yang umum, terutama sekali reaksi terhadap
keadaan bermasalah. Untuk anak, beberapa
situasi bisa termasuk kematian orangtua,
perceraian, seorang teman pindah rumah,
kesulitan menyesuaikan diri di sekolah, dan
kesulitan berteman (McKenzie, 1999).
Menurut Komisi Nasional Perempuan
(2002) ketakutan kepada si penganiaya dan
waktu serta tempat tertentu, akan kehilangan
kasih sayang orang dewasa yang berarti
penting bagi
mereka,
akan
adanya
kemungkinan ia terpaksa keluar dan harus
meninggalkan rumah, akan diketahui orang
lain rahasianya yang dirasakan ”janggal”,
kemarahan kepada si penganiaya dan orang
dewasa lain yang dipercayai dan seharusnya
mampu memberikan perlindungan, bahkan ia
pun marah pada dirinya sendiri karena tak
mampu menghindar dan menolak, akan
terjadinya tindak kekerasan yang terjadi pada
dirinya, akan tercerai-berainya keutuhan
keluarga ketika tindak kekerasan terungkap,
sedih kepada dirinya karena tidak mampu
menggungkapkan ketidak nyamanan yang
dialaminya kepada orang lain, akan hilangnya
kepercayaan kepada seseorang
yang
sepatutnya dapat melindungi tetapi justru
menekannya, akan hilangnya ”sesuatu” dari
dirinya dan merasa terisolasi dari lingkungan
sosialnya, bersalah kepada dirinya sendiri
karena tidak berhasil untuk menghentikan
penganiayaan,
terus-menerus
telah
merahasiakan penganiayaan karena tak
mampu menggungkapkan atau lebih merasa
tertekan bila telah mengutarakan, telah
terpaksa menceritakan kapada orang lain
sesuatu yang menjadi ”aib” dirinya padahal
pelaku penganiayaan adalah mungkin
juga orang yang dekat dalam
kehidupannya, malu kepada dirinya
dan terhadap lingkungan sosial anak,
akan
terjadinya
penganiayaan
terhadap dirinya, akan kenyataan
bahwa dirinya ”terlibat” dalam masalah
ini, akan perasaan yang mendua dan
mudah berubah terhadap penganiaya,
bingung kepada dirinya sendiri, apakah
perlu menceritakan penganiayaan ini
terhadap
orang
lain,
akan
kemungkinan orang lain tidak percaya
ceritanya, akan perasaannya yang
sering berubah-ubah terhadap pelaku
penganiayaan karena anak memiliki
keterlibatan emosional (tali kasih)
terhadap pelaku, disatu pihak si
penganiaya adalah orang dewasa yang
disayanginya dilain pihak benci pada
penganiaya karena telah merusak
kepercayaannya.
Gejala-gejala depresi pada anak
berhubungan dengan perasaan sedih
berlebihan, perasaan sangat tidak
berharga, dan perasaan bersalah.
Anak tersebut kehilangan minat pada
aktifitas
yang
secara
normal
memberikan kesenangan, seperti
bermain
sambil
berolah
raga,
menonton televisi, memainkan video
games, atau bermain dengan temanteman, anak yang depresi seringkali
tidak energik atau aktif secara fisik.
Meskipun begitu, terutama sekali pada
anak yang lebih kecil, depresi
kadangkala
disembunyikan
oleh
gejala
bertentangan
nampaknya,
seperti overaktif dan agresif, perilaku
anti sosial. (McKenzie, 1999).
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan kualitatif dengan bentuk studi
kasus yang bermaksud mendeskripsikan
hasil penelitian dan berusaha menemukan
gambaran menyeluruh mengenai suatu
keadaan.
Subjek penelitian adalah anak
jalanan laki-laki yang pernah mengalami
kekerasan dan menunjukkan gejala
depresi.
Jenis wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini adalah wawancara
terstruktur tetapi fleksibel.
17
BAB IV
HASIL OBSERVASI
subjek sering pulang malam dan jarang
bertemu dengan subjek.
Subjek
Subjek mengamen tidak dipaksa oleh
kedua orang tuanya melainkan pamannya
yang
menyuruh
subjek
mengamen
dikarenakan waktu itu subjek sulit mencari
kerja dan subjek ingin mandiri. Hubungan
keluarga dengan tetangga cukup baik,
keluarga sering bermain dan bergaul
dengan tetangga, sebaliknya tetangga
sering
memberikan
makanan
pada
keluarga subjek. Keluarga subjek punya
saudara yang tinggal di Jakarta tapi tidak
pernah mengunjungi keluarga subjek
dikarenakan kurang bersahabat dengan
keluarga subjek.
Pertemuan antara peneliti dengan Subjek
pertama kali terjadi pada bulan Juni 2010,
Pertemuan peneliti dengan subjek dikarenakan
teman peneliti yang mempertemukan peneliti
dengan subjek di Mall Kalibata. Pada saat itu juga
peneliti meminta subjek
untuk meminta
kesediaannya
diwawancarai
pada
saat
dibutuhkan,
dan
subjek
pun
bersedia
diwawancarai. Pada waktu wawancara petama
peneliti dan subjek berjanji bertemu di terminal
pulo gadung pada pukul sembilan pagi. Setelah
bertemu subjek mengajak peneliti ke warung kopi
dan wawancara pertama dilakukan diwarung kopi.
Sebelum wawancara dimulai peneliti mengajak
subjek berbincang-bincang untuk lebih saling
kenal dan akrab dan akhirnya peneliti
memutuskan untuk memulai wawancara pada
pukul sepuluh pagi.
Pengamatan pada fisik subjek saat di
wawancara, rambut pendek keriting dan kering.
Wajah subjek terdapat bekas luka disamping
mata kirinya dan kaki kiri subjek terdapat bekas
luka yang didapat dari kekerasan fisik yang
dialami subjek di daerah UKI saat subjek sedang
ingin pulang. Subjek mengenakan kaos abu-abu
polos yang sedikit kusam kecil di kaos bagian
atas pundak. Sedangkan untuk bawahan, subjek
menggunakan celana levis panjang berwarna
biru, kantong celana belakang subjek sudah
robek dan bagian bawah celana subjek sudah
rusak. Subjek membawa gitar kecil sebagai alat
pengiring lagu saat mengamen dan di dalamnya
terdapat uang receh hasil subjek mengamen
dipagi hari.
Subjek tinggal dengan ayah, ibu, dan kedua
orang adiknya. Ayah subjek bekerja sebagai supir
bajaj, dan ibu subjek bekerja sebagai ibu rumah
tangga dan menjaga warung. Pendidikan terakhir
subjek sampai Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Hubungan subjek dengan keluarganya
setelah mengalami kekerasan tidak cukup baik
dikarenakan subjek merasa kesal dengan
keluarganya yang tidak mau menuruti permintaan
subjek.
Tetapi pada sekarang ini sudah membaik
dan hubungan subjek dengan saudara-saudara
yang lain sekarang cukup baik terutama dengan
ibunya yang sering subjek ajak berkomunikas dan
sering membantu pekerjaan ibunya seperti
menjaga warung komunikasi dengan ayahnya
kurang baik dikarenakan intensitas subjek
bertemu dengan ayahnya kurang terjadi, ayah
Hubungan subjek dengan temanteman dirumah cukup baik walaupun saat
setelah subjek mengalami kekeraan fisik
hubungannya dengan temen-teman kurang
harmonis
dikarenakan
subjek
malu
bertemu dengan teman-temannya. Subjek
sejak lahir sudah tinggal di Jakarta.
C. Pembahasan
1. Gejala Depresi Pada Anak Jalanan
yang Mengalami kekerasan
Subjek mengalami sulit tidur,
Subjek
waktu
mengamennya
berkurang dan selalu pulang cepat.
Subjek sering dirumah dan hanya
main gitar nonton televisi, makan,
tidur, dan nongkrong dipinggir jalan,
dan subjek melakukannya sendiri,
tidak mau bergaul, sering bengong,
sering menyendiri didalam kamar.
Subjek sudah tidak mengamen lagi
di UKI dikarenakan trauma, dan takut
tapi karena ada temannya yang
mengajak subjek untuk mengamen
subjek pun mencoba mengamen lagi
di terminal pulogadung.. Subjek stres
jika memikirkan kekerasan yang
dialaminya dan itu membuat subjek
tambah
sakit.
Subjek
tidak
mengamen lagi dikarenakan masih
membayangkan akan terjadi lagi
kekerasan yang dialami subjek.
Subjek sering marah-marah jika
disuruh-suruh oleh SO, subjek juga
sering terlihat sedih dan murung, bila
subjek mengamen subjek sering
curiga dengan preman-preman yang
ada disekitarnya dan subjek sering
memutuskan pulang. Hal Kekerasan
yang dialami subjek membuat subjek
tidak berguna bagi dirinya sendiri
18
dan membuat orang tua subjek sedih,
subjek meminta maaf kepada keluarga.
Subjek merasa gagal karena tidak bisa
membela dirinya sendiri dan menjadi beban
bagi
keluarganya,
subjek
juga
menyalahkan orang tuanya karena orang
tua subjek orang tua yang kurang mampu
dalam ekonomi sehingga subjek harus
menjadi pengamen di jalanan. Subjek
mengamen lagi karena ajakan om nya yang
juga preman di terminal pulogadung.
Setelah pulang dari rumah sakit komunikasi
subjek dengan keluarga sangat jarang,
dengan teman-teman subjek juga jarang
dikarenakan subjek malu dengan kejadian
kekerasan yang dialaminya diketahui oleh
teman-temannya.
2. Apa Saja Penyebab Gejala Depresi Pada
Anak
Jalanan
Yang
Mengalami
Kekerasan
Penyebab depresi pada anak jalanan
yang
mengalami
kekerasan
sangat
beragam mulai dari kekerasan fisik,
kekerasan verbal, kekerasan verbalemosional.
a. Kekerasan fisik
Menurut subjek kekerasan fisik yang
sering subjek alami adalah dipukul,
ditendangi hingga mukanya luka-luka
oleh tiga orang preman hingga jatuh
pingsan. Hal ini sesuai dengan penelitian
Komisi Nasional Perempuan (2002)
kekerasan fisik merupakan tindakan yang
mengakibatkan luka fisik pada anak.
Biasanya dijadikan sebagai suatu alasan
pelepasan tindakan dalam mendisiplinkan
anak. Bentuk luka fisik yang tampak
seperti: sembab, lebam, terbakar, patah
tulang, teriris, luka gigitan, bahkan bisa
saja terjadi luka dalam. Menurut Baron
dan Byrne (2000) kekerasan secara fisik
berupa serangan yang dialami seorang
anak sehingga membuatnya terluka
secara fisik.
b. Kekerasan seksual
Menurut subjek kekerasan seksual
subjek alami saat masih mengamen di
UKI dan pelakunya preman-preman di
UKI, bagi subjek kekerasan seksual yang
dialami subjek merupakan hal yang
menjijikan, tapi menurut subjek itu
merupakan resiko kerja. Hal ini sesuai
dengan penelitian Komisi Nasional
Perempuan (2000) Ekploitasi seksual
terhadap anak-anak oleh seseorang yang
lebih kuat darinya baik secara fisik
maupun otoritas psikologik, biasanya
terjadi pada anak yang lebih tua atau
orang dewasa yang memaksakan
kehendaknya untuk melakukan
kontak
seksual.
Tindakan
kekerasan seksual ini seperti
mencabuli
anak
dengan
penyentuhan pada alat kelamin
anak, tindakan masturbasi, seks
oral, bahkan penetrasi baik dengan
tangan ataupun penis serta objek
lain ke vagina atau anus anak.
Menurut Baron dan Byrne (2000)
kekerasan seksual berupa fondling
intercourse dan berbagai macam
bentuk kedekatan dalam menjalin
hubungan yang didasari oleh
adanya suatu dorongan seksual.
c. Pengabaian secara fisik
Menurut subjek pertama kali
subjek mengamen dijalan disuruh
om
nya
dikarenakan
susah
mencari pekerjaan. Hal ini sesuai
dengan penelitan Baron dan Byrne
(2000) berupa kondisi kehidupan
seorang anak yang tidak cukup
memperoleh makanan, pakaian,
perhatian, secara medis dan
berbagai
perawatan
yang
dibutuhkan.
d. Kekerasan secara psikologis
Menurut
subjek
sering
mengalami
kekerasan
secara
psikologis
berupa
ancaman,
ditampar, ditempeleng, diludahin
dikarenakan subjek tidak sengaja
mengambil lahan pengamen lain,
dan subjek hanya diam karena itu
juga salah subjek, walaupun
terkadang subjek merasa kesal
dengan perlakuan kasar yang
diterimanya. Hal ini sesuai dengan
penelitian Baron dan Byrne (2000)
Berupa suatu tindakan yang dapat
merusak emosi seorang anak
sebagai contoh: merasa ditolak
dan mendapat kekerasan secara
verbal.
BAB V
A. Kesimpulan
1. Gejala depresi pada anak jalanan
yang mengalami kekerasan dapat
dilihat dari gejala-gejala yang dapat
menyebabkan
subjek
menjadi
depresi diantaranya gejala fisik,
gejala psikis, gejala sosial.
19
a. Gejala fisik
Gejala fisik terdiri gangguan pola
tidur, menurunnya efisiensi kerja,
menurunnya
tingkat
aktivitas,
menurunnya
produktivitas
kerja,
merasa mudah letih dan sakit.
1) Gangguan pola tidur, setelah
pulang dari rumah sakit subjek sulit
tidur karena teringat terus kejadian
kekerasan yang dilakukan premanpreman di daerah UKI, biasanya
subjek tertidur setelah shubuh dan
bangun pada siang hari hal ini
terjadi selama dua minggu dan
kegiatan yang dilakukan subjek
menjelang tidur main gitar dan
menonton televisi.
sering curiga dengan premanpreman yang ada disekitarnya
dan subjek sering memutuskan
pulang dikarenakan takut uang
hasil mengamennya dirampas
preman. Subjek merasa sedih
setelah mengalami kekerasan
di daerah UKI dan subjek tidak
bisa menahan kesedihannya
bila
ada
orang
yang
membicarakan kekerasan yang
dialami subjek pada saat
subjek ada.
3) Merasa diri tidak berguna,
kekerasan yang dialami subjek
membuat subjek tidak berguna
bagi
dirinya sendiri dan
membuat orang tua subjek
sedih.
2) Menurunnya efesiensi kerja, waktu
mengamennya
berkurang
dan
selalu pulang cepat dikarenakan
subjek takut bertemu dengan
preman-preman yang memukuli
subjek. Dan subjek mengamen
paling lama hanya lima jam.
4) Perasaan bersalah, subjek
merasa gagal karena tidak bias
membela dirinya sendiri dan
menjadi
beban
bagi
keluarganya.
Subjek
juga
menyalahkan orang tuanya
karena orang tua subjek orang
tua yang kurang mampu dalam
ekonomi
sehingga
subjek
harus menjadi pengamen di
jalanan
untuk
membantu
kedua orang tuanya.
3) Menurunnya tingkat aktivitas, subjek
sering dirumah dan hanya main gitar
nonton televisi, makan, tidur, dan
nongkrong dipinggir jalan. Dan
subjek melakukannya sendiri.
4) Menurunnya produktivitas kerja,
sejak terjadinya kekerasan pada
subjek di daerah UKI, subjek sudah
tidak mengamen lagi dikarenakan
trauma, dan takut tapi karena ada
temannya yang mengajak subjek
untuk mengamen subjek pun
mencoba mengamen lagi.
5) Merasa mudah letih dan sakit, subjek
stres jika memikirkan kekerasan
yang dialaminya dan itu membuat
subjek tambah sakit.
b. Gejala psikis
Gejala psikis diantaranya adalah,
kehilangan rasa percaya diri, sensitif,
merasa diri tidak berguna, perasaan
bersalah, perasaan terbebani.
1) Kehilangan rasa percaya diri, subjek
tidak mengamen lagi dikarenakan
masih membayangkan akan terjadi
lagi kekerasan yang dialami subjek.
2) Sensitif, subjek suka marah-marah
tidak jelas, mudah tersinggung,
mudah ngomong kata-kata kasar.
Dan bila subjek mengamen subjek
5) Perasaan terbebani, perasaan
subjek
terhadap
kejadian
kekerasan di daerah UKI
bermacam-macam
takut,
sedih, marah, putus asa, dan
subjek
ingin
membunuh
preman-preman
yang
memukulinya.
c.
Gejala Sosial, setelah pulang dari
rumah sakit komunikasi subjek
dengan keluarga sangat jarang dan
lebih banyak menyendiri, dengan
teman-teman subjek juga jarang
dikarenakan subjek malu dengan
kejadian
kekerasan
yang
dialaminya diketahui oleh temantemannya.
2. Penyebab depresi pada anak jalanan
yang mengalami kekerasan Dapat
dilihat dari jenis-jenis tindak kekerasan
yang dialami anak jalanan ditemukan
hasil sebagai berikut: kekerasan
secara fisik, kekerasan seksual,
pengabaian secara fisik, kekerasan
20
secara psikologis. Kekerasan secara fisik,
dialami subjek di daerah UKI, subjek dipukuli
dan ditendangi oleh tiga orang preman
hingga jatuh pingsan kekerasan tersebut
terjadi pada malam hari pukul 12an sewaktu
subjek ingin pulang, subjek berusaha
bertahan untuk melindungi uangnya yang
akan diambil oleh preman. Subjek sangat
kesal sekali dan ingin balas dendam tapi
subjek takut karena tidak ada yang
membantu subjek. Kekerasan seksual yang
subjek alami saat masih mengamen di
daerah UKI dan yang melakukan kekerasan
seksual kepada subjek yaitu preman-preman
di daerah UKI, subjek juga melakukan
perlawanan dengan mengacungkan jari
tengahnya pada pelaku pelecehan seksual.
Bagi subjek kekerasan seksual yang dialami
subjek seperti dipegang alat vitalnya.
Pengabaian secara fisik pertama kali subjek
mengamen
dijalan
disuruh
om
nya
dikarmerasa jijik terhadap perbuatan itu, tapi
menurut subjek itu merupakan resiko kerja
dijalaenakan susah mencari pekerjaan dan
subjek diberikan gitar kecil untuk mengamen
oleh om subjek. Kekerasan secara psikologis,
subjek sering mengalami kekerasan secara
psikologis berupa ancaman, ditampar,
ditempeleng, diludahin dikarenakan subjek
tidak sengaja mengambil lahan pengamen
lain, dan subjek hanya diam karena itu juga
salah subjek, walaupun terkadang subjek
merasa kesal dengan perlakuan kasar yang
diterimanya.
B. Saran
1. Untuk anak jalanan
Kepada anak jalanan yang melakukan
aktivitas bekerja (mengamen) dijalanan,
diharapkan berhati-hati dan menghindari
tempat terjadinya kejadian kekerasan yang
dialami subjek untuk menghilangkan trauma
pada subjek dan tempat-tempat yang rawan
akan terjadinya kejahatan dan menjauhi
pelaku-pelaku kejahatan seperti preman.
Serta berhati-hati dalam mengamen di mobil
angkot, bus-bus sedang dan besar,
diharapkan
juga
lebih
sering
untuk
berkunjung kerumah singgah dimana subjek
diharapkan akan mendapatkan banyak
pengetahuan, pengalaman, dan teman.
2. Untuk orang tua dari anak jalanan
Kepada
orang
tua
untuk
lebih
memperhatikan anak yang bekerja dijalanan
dan apa saja yang mereka lakukan di jalanan,
dan menjadi orang tua yang aktif dalam
memperhatikan tingkah laku anak jalanan
setelah mereka pulang ke rumah dari
bekerja di jalanan. Serta membawa
anak pada orang yang ahli untuk
menghilangkan trauma pada anak
yang mengalami
depresi
akibat
kekerasan seperti psikolog.
3. Untuk Pemerintah dan LSM
Pelayanan kepada anak jalanan
sudah banyak dilakukan baik oleh
pemerintah maupun LSM, dan juga
pemerintah
sebaiknya
melindungi
anak-anak yang bekerja dijalanan
untuk menghindari kekerasan yang
akan mereka alami.
4. Untuk peneliti selanjutnya
Penulis
menyadari
bahwa
penelitian ini masih jauh dari hasil yang
memuaskan, untuk itu bagi peneliti
yang akan mengadakan penelitian
dengan topik yang sama, disarankan
hendaknya meneliti dari sisi keluarga
anak jalanan dan pelaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. (2009). Anak jalanan sekolah.
http://anjal.blogdrive.com (diakses
pada bulan April tahun 2010).
Angold, A. (1998). Puberty and depression
: The roles of age, pubertal status
and pubertal timing. New York : W.
H. Freeman.
Atkinson, R. L. (1991). Pengantar psikologi
(alih bahasa : Nurjanah). Jakarta :
Penerbit Erlangga.
Baihaqi, M. (1998). Anak Indonesia
teraniaya.
Jakarta
:
Ghalia
Indonesia.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy : The
exercise of control. New York : W.
H. Freeman.
Barne, P. H., & Savary, L. M. (1994).
Membangun harga diri anak.
Yogyakarta : Kanisius.
Baron, R. A. & Byrne, D. (2000). Social
psychology. United State America :
Allyn and Bacon Company.
Basuki, A. M. (2006). Penelitian kualitatif
untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan
budaya. Jakarta : Universitas
Gunadarma.
21
Beck, A. T. (1987). Depression : Causes and
treatment. Philadelphia : University of
Pensylvania Press.
Brees, K. K. (2008) The everything health guide
to depression. Avon : Adams Media.
Cox, H. R. (2002). Sport psychology : Concepts
th
and applications (5 ed.). New York :
McGraw Hill.
Departement Sosial RI. (1999). Pedoman
penyelenggaraan
pembinaan
anak
jalanan melalui rumah singgah. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesejagteraan
Sosial.
Departemen Sosial RI. (2004a). Pedoman
penanganan anak jalanan. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial.
Departeman Sosial RI. (2004b). Kebijakan
penanganan anak jalanan terpadu.
Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan
dan Rehabilitasi Sosial.
Departemen Sosial RI. (2005a). Petunjuk
pelaksanaan anak jalanan. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial.
Departemen Sosial RI (2005b). Petunjuk teknis
pelayanan sosial anak jalanan. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial.
100
Departeman Sosial RI. (2006a). Modul pelayanan
sosial anak jalanan. Jakarta : Direktorat
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial.
Departemen Sosial RI. (2006b). Pedoman
penanganan anak
jalanan korban
eksploitasi ekonomi. Jakarta : Direktorat
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial.
Desjarlais, R. (1995). World mental health :
Problem and priorities in low-income
countries. New York : Oxford University
Press.
Ebrahim, S., (1987). Affective illness after stroke.
The British Journal of Psychiatry 151: 5256.
Hendranata, L. (2004). Melepaskan diri dari
kanker dengan menyehatkan aura.
Jakarta : Nirmala.
Innasswasti.
(2004).
Catatan
kecil
berkawan dengan anak jalanan
perempuan.
http://www.humana.20m.com
(diakses pada bulan Januari tahun
2006).
Irwanto & Anwar, J. (1999). Anak yang
membutuhkan
perlindungan
khusus di Indonesia. Jakarta :
Pusat
Kajian
Pembangunan
Masyarakat Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya.
Kasuda, M. K. (1996). Hidup tenteram dan
bahagia tanpa stres. Medan : CV
Garda.
Kendler, S. K. (1992). The prediction of
major depression in women :
Toward an integrated etiologic
model. New York : Harcourt Brace
Jovanovich, Inc.
Komisi Nasional Perempuan. (2002). Peta
kekerasan pengalaman perempuan
Indonesia. Jakarta : Ameepro.
Kusumawardhani, A. A. (2006). Depresi
perimenopause. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Lumongga, L. N. (2009). Depresi tinjauan
psikologis. Jakarta : Kencana
Prenada Media Grup.
Martha,
A. E. (2003). Perempuan :
Kekerasan dan hukum. Yogyakarta
: Universitas Indonesia Press.
Masrukhi, M. (2003). Anak jalanan.
http://www.penulislepas.com
(diakses pada bulan Januari tahun
2006).
McKenzie, K. (1999). Understanding
depression. London : Family
Doctor Publications Ltd.
Messwati, D. E. (2008). Anak jalanan tetap
“ogah” kesekolah. http://www.gpansor.org (diakses pada bulan
Agustus tahun 2009).
Miles, M. B. & Huberman, A. M. (1992).
Analisis data kualitatif (Alih Bahasa
oleh Tjetjep Rohendi Rohidi).
Jakarta : Universitas Indonesia
Press.
22
Moeliono,
L.
&
Dananto,
A.
(2004).
Pendampingan anak jalanan menurut
para pendamping anak jalanan. Jakarta :
Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Moleong, L. J. (2005). Metodologi penelitian
kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, D. (2004). Metode penelitian kualitatif.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Pease, A., & Pease, B. (2001). Why men don’t
listen and women can’t read map. Great
Britain : Orion Publishing Group.
Petri, H. L. (2004). Motivation : Theory, research
th
and applications (5 ed.). Belmont, CA :
Wads-worth/Thompson.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif
dalam penelitian psikologi. Jakarta :
Lembaga
Pengembangan
Sarana
Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
(LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Poerwandari, E. K. (2001). Pendekaran kualitatif
untuk penelitian perilaku manusia.
Jakarta : Lembaga Pengembangan
Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Prasadja, H. & Agustian, M. (2000). Anak jalanan
dan kekerasan. Jakarta : Pusat Kajian
Pembangunan Masyarakat Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya.
Priest, R. (1994). Bagaimana cara mencegah dan
mengatasi stress dan depresi. Semarang
: Dahara Prize.
Pujiastuti, E. (2001). Hubungan antara kepuasan
pernikahan
dengan
depresi
pada
kelompok wanita nikah yang bekerja dan
yang tidak bekerja di perumahan taman
bumyagara; Bantar gebang, Bekasi.
Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada.
Retnowati, S. (1990). Efektivitas terapi
kognitif dan terapi perilaku pada
penanganan gangguan depresi.
Tesis.
Tidak
diterbitkan.
Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada.
Sanie, S. Y. R. & Agustian, M. (2000).
Potret anak jalanan perempuan.
Jakarta
:
Pusat
Kajian
Pembangunan
Masyarakat
Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya.
Santoso, T. (2002). Teori-teori kekerasan.
Jakarta : PT. Ghalia Indonesia.
Shalahudin, O. (2004). Kekerasan terhadap
anak
jalanan.
http://www.hearthsouls.com
(diakses pada bulan Januari tahun
2006).
Siswanto .(2007). Kesehatan mental :
Konsep,
cakupan
dan
perkembangannya. Yogyakarta :
Andi Off-set.
Susiladiharti. (2009). Kisah sekolah anak
jalanan.
http://bocahbanjar.wordpress.com
(diakses pada bulan agustus tahun
2009).
Suyanto, B. (2004). Perempuan dan anak
Indonesia : Perdagangan dan
eksploitasi seksual komersial anak
perempuan. Jakarta : Yayasan
Jurnal Perempuan.
Wibawa. (1999). Anak jalanan dan waktu
luangnya (Studi Kasus Pada Anak
Jalanan di Jakarta). Tesis (Tidak
diterbitkan). Depok : Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Wilkinson,
G.
(1995).
Depresi
(terjemahan oleh meitasari
Tjandrasa),
Buku
pintar
kesehatan. Jakarta : Arcan.
Radloff, L. S., & Rae, D. S. (1979). Susceptibility
and precipitating factors in depression :
Sex differences and similarities. Journal
of Abnormal Psychology, 88, 174-181.
Windhu, I. M. (1992). Kekuasaan dan
kekerasan
menurut
Johan
Galtung. Yogyakarta : Kanisius.
Rathus, S. A. & Nevid, J. S. (1991). Abnormal
Psychology. New Jersey : Prentice-Hall,
Inc.
Yuwono, S. (2008). Bunuh diri dan
latar belakangnya. Jakarta :
Arcan.
Download