Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura EFEK NAUNGAN TERHADAP PENAMPILAN JAGUNG P27 DI KAWASAN HUTAN JATI EFFECTS OF SHADING ON THE APPEARANCE OF MAIZE P27 IN FOREST AREA Aryana Citra Kusumasari, Bambang Prayudi dan Agus Supriyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Kotak Pos 101 Ungaran 50501 [email protected]; 085-2268-66-260 ABSTRACT Intercropping maize cultivation practices with teak which has more than 4 years old is still widely practiced by farmers in the teak forest. This assessment aims to determine the effects of shade on the performance of maize P27 in teak forests more than 4 years old, and implemented in KPH Telawa Boyolali in November 2012-January 2013, with the two treatments in the shade of the maize plant teak trees aged more than 4 years and without shade (under teak stands younger). The teak forest land that can be planted (occupation) is 67%. Samples of each treatment were 50 plants. Data were collected and analyzed using the t test. The analysis showed that all variables are observations both treatments showed highly significant differences except for the variable number of rows per ear. All variables maize without shade showed higher yields than maize shade except plant height. The results of the data conversion dry weight per cob maize acres to maize productivity without shade is reached 6,4 t / ha, while the shade is only reached 4,6 t / ha. Application of maize cultivation between the teak forests aged over 4 years less than optimal, so it is not recommended to use between maize plants, but other plants, one of which is the medicinal plants that have been known to shade tolerant. Keywords: maize, P27, teak forest area, shading PENDAHULUAN Agoforestry merupakan suatu dinamika sistem pengelolaan sumber daya alam yang berbasis ekologi dengan mengintegasikan komoditas pertanian dengan kehutanan dalam satu kesatuan lansekap. Agoforestry dapat menganekaragamkan dan melestarikan produksi lahan sehingga dapat meningkatkan manfaat sosial, ekonomi dan ekologi lahan pada semua tingkatan (FAO, 2006). Menurut Perhutani Unit I Jawa Tengah (2006), kawasan dengan fungsi produksi, rehabilitasi hutan dapat dilakukan dengan memberi peluang kepada masyarakat untuk melaksanakan aktivitas agoforestry melalui tumpangsari dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan, demikian pula pemanfaatan kawasan dan jasa lingkungan. Perhutani Unit I Jawa Tengah (2006), menambahkan bahwa melalui implementasi sistem PHBM, rehabilitasi kawasan hutan akan dapat dilakukan tanpa 588 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013 harus mengorbankan kepentingan masyarakat. Bahkan dengan sistem ini justru masyarakat dapat dilibatkan secara aktif, tidak hanya untuk keberhasilan rehabilitasi hutan semata, tetapi sekaligus untuk mendorong kemandirian ekonominya. Dengan kemandirian ekonomi dan tumbuhnya kesadaran masyarakat bahwa sumberdaya hutan dalam wilayah pangkuannya merupakan aset berharga yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan secara bijak, maka gangguan terhadap hutan yang berasal dari faktor eksternal akan relatif mudah untuk dieliminir. Hasil observasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2012), diketahui bahwa luas kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani memiliki potensi untuk ditanami tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau) sekitar 169.000 ha dengan pola tumpang sari, yang sebarannya sebagai berikut: 1) 49.000 ha di Unit I Jawa Tengah, 2) 78.000 ha di Unit II Jawa Timur, dan 3) 42.000 ha di Unit III Jawa Barat. Hutan sebagai penyangga pangan nasional memiliki nilai strategis, termasuk untuk tanaman jagung. Apalagi tingkat konversi lahan pertanian untuk keperluan nonpertanian terus meningkat. Karenanya perluasan areal tanam akan menjadi pilihan yang tepat untuk meningkatkan produksi jagung nasional. Diantaranya adalah dengan memanfaatkan ruang tumbuh di bawah tegakan tanaman jati. Salah satu pemanfaatan ruang diantara pohon jati di kawasan hutan KPH Telawa Kabupaten Boyolali yaitu menggunakan tanaman jagung sebagai tanaman sela. Tanaman sela yang ditanam oleh penduduk sekitar kawasan hutan sebagai petani agoforestri didominasi oleh jagung, disusul kacang tanah kemudian kedelai dengan produktivitas rendah (Sitompul dan Purnomo, 2004). Penanaman jagung sebagai tanaman sela pada tegakan jati yang berumur lebih dari 4 tahun akan mempengaruhi penerimaan intensitas cahaya oleh tanaman jagung. Produktifitas rendah berhubungan dengan intensitas cahaya dibawah tegakan pohon yang lebih rendah dibandingkan dengan di tempat terbuka selain terjadi kompetisi akan unsur hara dan air antara pohon dengan tanaman sela. Namun, praktek budidaya tumpangsari pada jati yang telah berumur lebih dari 4 tahun tersebut tetap banyak dilakukan oleh petani hutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian apakah ada perbedaan pada tanaman sela jagung pada tegakan jati umur lebih dari 4 tahun, dibandingkan dengan jagung yang ditanam pada tegakan jati muda (tanpa naungan), dan bagaimana efeknya sehingga diperoleh saran rekomendasi yang sesuai untuk kondisi tersebut. BAHAN DAN METODE Pengkajian ini dilaksanakan di KPH Telawa Kabupaten Boyolali pada bulan Nopember 2012-Januari 2013, dengan dua perlakuan yaitu tanaman jagung di bawah naungan pohon jati umur lebih dari 4 tahun dan tanaman jagung tanpa naungan (di bawah tegakan jati muda). Varietas jagung yang digunakan adalah P27. Jarak tanam 589 Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura jagung 70x80 cm per lubang 2 biji, sedangkan jarak tanam jati 2x6 m. Lahan di kawasan hutan jati tersebut yang dapat ditanami oleh tanaman jagung (okupasi) adalah 67%. Pengukuran radiasi matahari menggunakan Light meter model LX-1108. Sampel yang diambil dari masing-masing perlakuan adalah 50 tanaman. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, berat jagung per tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol sebelum dan sesudah dipipil, jumlah biji per baris, jumlah baris per tongkol, dan berat jagung pipilan per tongkol. Data dikumpulkan dan dianalisis menggunakan uji t. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan berbagai variabel pengamatan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Keragaan berbagai variabel pengamatan pada perlakuan jagung tanpa naungan dan dengan naungan pada saat panen. Variabel Pengamatan Jagung Tanpa Naungan Tinggi tanaman Diameter batang Berat jagung per tongkol Panjang tongkol 216,00 22,5 281,60 17,77 Jagung Dengan Naungan 264,00 18,6 195,24 15,72 5,6 Satuan Ket cm mm g cm ** ** ** ** 4,9 cm ** Diameter tongkol sebelum dipipil Diameter tongkol sesudah dipipil Jumlah biji per baris 3,3 3,0 cm ** 38,86 35,00 biji ** Jumlah baris per tongkol 16,48 15,96 baris TN 175,54 127,26 g ** 6,4 4,6 T/ha ** Berat jagung pipilan per tongkol Produktivitas (67%) Hasil analisis menunjukkan bahwa pada semua variabel pengamatan pada kedua perlakuan tersebut menunjukkan perbedaan yang sangat nyata kecuali variabel jumlah baris per tongkol. Pada semua variabel jagung tanpa naungan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan jagung naungan kecuali tinggi tanaman. Pada variabel pengamatan diameter batang, berat jagung per tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol sebelum dan sesudah dipipil, jumlah biji per baris, jumlah baris per tongkol, berat jagung pipilan per tongkol pada perlakuan tanpa naungan memberikan hasil yang lebih tinggi daripada perlakuan naungan. 590 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013 1. Tinggi Tanaman Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman. Hasil pada semua variable pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan tanpa naungan memiliki hasil yang lebih tinggi daripada perlakuan naungan. Namun, khusus untuk variabel pengamatan tinggi tanaman pada perlakuan tanpa naungan (216 cm) justru lebih rendah daripada perlakuan naungan (264 cm), selisih mencapai 48 cm atau mencapai 18,18%. 2. Diameter batang Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap diameter batang. Diameter batang pada perlakuan tanpa naungan (22,5 mm) lebih besar daripada perlakuan naungan (18,6 mm) dengan selisih mencapai 1,56 mm. 3. Berat jagung per tongkol Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap berat jagung per tongkol. Berat jagung per tongkol pada perlakuan tanpa naungan (281,60 g) lebih tinggi daripada perlakuan naungan (195,24 g) dengan selisih mencapai 86,36 g atau mencapai 30%. Selisih angka tersebut dikategorikan cukup besar. 4. Panjang tongkol Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tongkol. Panjang tongkol pada perlakuan tanpa naungan (17,77 cm) lebih panjang daripada perlakuan naungan (15,72 cm) dengan selisih mencapai 2,05 cm. 5. Diameter tongkol sebelum dan sesudah dipipil Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap diameter tongkol sebelum dan sesudah dipipil. Diameter tongkol sebelum dan sesudah dipipil pada perlakuan tanpa naungan (5,6 dan 3,3 cm) lebih besar daripada perlakuan naungan (4,9 dan 3,0 cm) dengan selisih mencapai 0,7 cm (sebelum dipipil) dan 0,3 cm (sesudah dipipil). 6. Jumlah biji per baris Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah biji per baris. Jumlah biji per baris pada perlakuan tanpa naungan (38,86 biji) lebih banyak daripada perlakuan naungan (35 biji) dengan selisih mencapai 3,86 biji. 7. Jumlah baris per tongkol Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan naungan tidak berpengaruh terhadap jumlah baris per tongkol. Hal ini diduga karena variable 591 Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura pengamatan jumlah baris per tongkol secara genetis adalah sama, sehingga tidak ada perbedaan di kedua perlakuan tersebut. Meskipun tidak berpengaruh, namun jumlah baris per tongkol pada perlakuan tanpa naungan (38,86 biji) lebih banyak daripada perlakuan naungan (35 biji) dengan selisih mencapai 3,86 biji. 8. Berat jagung pipilan per tongkol Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap berat jagung pipilan per tongkol. Berat jagung pipilan per tongkol pada perlakuan tanpa naungan (175,54 g) lebih banyak daripada perlakuan naungan (127,26 g) dengan selisih mencapai 48,28 g atau mencapai 27,50%. 9. Produktivitas Hasil konversi data berat jagung pipilan kering per tongkol ke hektar (okupasi 67%) adalah produktivitas tanaman jagung pada perlakuan tanpa naungan mencapai 6,4 t/ha, sedangkan pada perlakuan naungan hanya mencapai 4,6 t/ha. Produktivitas jagung di bawah tegakan jati umur lebih dari 4 tahun lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas jagung tanpa naungan (di bawah tegakan jati muda). Cahaya adalah faktor lingkungan yang diperlukan untuk mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Cahaya dapat membantu proses fotosintesis yang dapat mengendalikan wujud tumbuhan artinya perkembangan struktur atau morfogenesisnya (awal dari pembentukan wujudnya). Pengendalian morfogenesis oleh cahaya disebut fotomorfogenesis (Salisbury dan Ross, 1995). Purnomo (2005) menambahkan bahwa, cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang tidak dapat diubah. Jagung sebagai tanaman C4 memiliki tanggapan terhadap cahaya yang berbeda dibandingkan dengan tanaman C3 karena perbedaan karakter fotosintesis. Tanaman C3 dibawah cahaya rendah kemungkinan lebih berhasil daripada tanaman C4 semacam jagung (Purnomo, 2005). Radiasi cahaya pada saat pengkajian pada lokasi tanpa naungan berkisar 901 x 10 ft-cd, sedangkan pada lokasi naungan hanya berkisar 1368 ft-cd, sehingga cahaya yang dapat diterima oleh tanaman jagung adalah 15,18% saja. Tanaman yang memperoleh pencahayaan dibawah optimum hasil biji menjadi lebih rendah terutama pada tanaman C4 seperti jagung (Sitompul 2003). Hasil biji rendah berhubungan dengan biomassa yang juga rendah meskipun faktor pertumbuhan lain optimum Partisi hasil fotosintesis tanaman, pertama untuk membentuk senyawa atau molekul lebih lanjut, kedua membentuk biomassa dan ketiga disimpan dalam hasil panen (Lakitan, 1996). Irradiasi cahaya rendah mengakibatkan laju fotosintesis rendah sehingga biomassa juga rendah dan akhirnya hasil tanaman rendah (Purnomo, 2005: Bunyamin dan Aqil, 2010). Tanaman pada perlakuan naungan (pada lingkungan intensitas radiasi rendah) akan teretiolasi dan pertumbuhan memanjang lebih dominan. Selain itu daun tanaman 592 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013 jagung pada perlakuan naungan tampak pucat karena kadar khlorofil rendah. Khlorofil terdapat di dalam khloroplast yang terbentuk dari proplastida. Bila keadaan gelap proplastida tidak berubah menjadi khloroplast melainkan menjadi etioplast (Fosket, 1994). Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari etiolasi yang menyebabkan tanaman dominan memanjang sehingga menyebabkan diameter batang pada perlakuan naungan menjadi lebih kecil dibandingkan pada perlakuan tanpa naungan. Lakitan (1996), mengemukakan bahwa sebagian besar tanaman menunjukkan gejala etiolasi pada keadaan gelap, selanjutnya menurut Goldsworthy dan Fisher (1992) bahwa kelakuan pertumbuhan yang teretiolasi dalam keadaan ternaungi kelihatannya lebih disebabkan oleh perubahan kualitas cahaya ke arah merah jauh (FR) dari pengurangan intensitas cahaya itu sendiri. Kemudian Salisbury dan Ross (1995), menjelaskan lebih lanjut bahwa merah jauh (FR) dapat menyebabkan pemanjangan batang. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa pengaruh naungan (etiolasi) dianggap disebabkan oleh peningkatan auksin, yang bekerja secara sinergis dengan giberelin, perusakan auksin karena cahaya lebih sedikit pada tegakan yang ternaungi. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), tanaman yang kekurangan cahaya akan mempunyai jumlah sel yang lebih sedikit dengan kondisi habitus tanaman yang lebih tinggi daripada tanaman yang memperoleh banyak cahaya. Jagung yang digunakan dalam pengkajian ini adalah jagung varietas Pioneer 27 Gajah. Menurut Dupont Pioneer (2012), jagung hibrida Pioneer P27 Gajah tersebut memiliki keunggulan sifat tongkol dan batangnya besar, perakaran kokoh, tanaman lebih kuat dan tetap berproduksi meski dalam cuaca ekstrem, dan produktivitasnya tinggi sebab dalam waktu 110 hari sudah bisa dipanen dengan hasil panen yang besar dengan susunan jagung di tongkolnya mencapai 18 baris. Varietas unggul ini mampu bertahan hidup pada kondisi apa pun, termasuk musim hujan dan genangan air. Mengingat tanaman jagung umumnya tidak tahan dengan air, terlebih lagi yang banyak mengandung air. Pada kondisi ekstrim masih dapat berproduksi 8,4-8,5 t/h dengan hasil yang baik, sedangkan pada kondisi normal mampu menghasilkan sampai 9 t/h. Dengan demikian, kondisi ekstrim yang dapat diterima oleh jagung P27 Gajah selain musim hujan, dan genangan juga termasuk kondisi naungan sampai 85%. Hal ini dapat dibuktikan dengan keragaan produktivitas yang masih cukup tinggi yaitu 4,6 t/ha (dengan okupasi 67%). Dengan kata lain, Pioneer 27 Gajah dikategorikan varietas jagung toleran radiasi matahari rendah. Pada kasus kawasan hutan jati umur lebih dari 4 tahun secara umum tidak disarankan untuk ditanami tanaman sela seperti jagung, karena naungan sudah mencapai 85% sehingga iklim mikro pada kondisi tersebut tidak mampu memberikan pertumbuhan dan hasil yang optimal. Selain itu, dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman utama yaitu pohon jati. Namun, pada kondisi tertentu harus 593 Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura menanam di bawah tegakan jati lebih dari 4 tahun, maka disarankan menggunakan varietas toleran naungan, seperti jagung Pioneer 27 Gajah. Tanaman yang dapat disarankan untuk dibudidayakan sebagai tanaman sela pada kawasan hutan jati umur lebih dari 4 tahun adalah salah satunya tanaman emponempon. Tanaman empon-empon memiliki prospek yang sangat menguntungkan karena memiliki ekonomi tinggi baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun sebagai bahan baku industri obat dan kosmetika. Industri obat dan kosmetika dalam negeri, memerlukan pasokan bahan baku tanaman obat dalam kapasitas yang sangat besar. Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara tropis yang sangat cocok untuk pengembangan budidaya dan pengolahan tanaman obat. Beberapa jenis tanaman tropis yang berkhasiat obat dan banyak digunakan untuk perawatan natural hanya bisa tumbuh di iklim tropis seperti Indonesia. Dengan melihat potensi sumberdaya alam, maka sangat terbuka luas kesempatan untuk mengembangkan agribisnis di bidang tanaman obat, dalam hal ini tanaman empon-empon (Dephut, 2008). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa jagung P27 Gajah toleran naungan sampai 85%, produktivitas masih cukup tinggi mencapai 4,6 t/ha (okupasi 67%), sedangkan tanpa naungan mencapai 6,4 t/ha (okupasi 67%). Meskipun demikian, penerapan budidaya tanaman sela jagung pada kawasan hutan jati umur lebih dari 4 tahun kurang optimal, dan tanaman sela yang disarankan salah satunya adalah tanaman empon-empon. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Inovasi Terkini Kedelai dan Jagung Menambah Penghasilan Petani. Agro Inovasi Sinar Tani: Edisi 15-21 Agustus 2012. No 3470 Th XLII. Bunyamin, Z. dan M. Aqil. 2010. Analisis Iklim Mikro Tanaman Jagung (Zea mays L) pada Sistem Tanam Sisip. Prosiding Pekan Serealia Nasional 2010. Departemen Kehutanan. 2008. Peluang Bisnis Tanaman Obat. www.dephut.go.id. Diakses tanggal 1 Mei 2012. Dupont Pioneer. 2012. Jagung Pioneer P27 Tahan Cuaca Ekstrim. www. Pioneer.com. diakses 1 Mei 2013. Food and Agricultural Organization (FAO). 2006. Agroforestry Systems. http://www.fao.org/forestry/tof/50667/en/. Diakses tanggal 1 Mei 2013. Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta. 594 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013 Fosket, D.E. 1994. Plant Gowth and Development. A Molecular Approach. Academic Press. New York. Gardner, F., RB Pearce., dan R. L Mitchell., 1991. Physiology Of Crop Plants (Fisiologi Tanaman Budidaya : Terjemahan Her-awati Susilo). Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Goldsworthy, P.R., dan N.M Fisher. 1992. The Physiology Of Tropical Field Crops (Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik, Terjemahan Tohari). Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Perhutani Unit I Jawa Tengah. PHBM, Solusi Pengelolaan Kawasan Hutan. Perhutani Unit I Jawa Tengah. Htm diakses tanggal 1 Mei 2013. Purnomo. 2005. Tanggapan Varietas Tanaman Jagung terhadap Irradiasi rendah. Agrosains 7 (1): 86-93. Salisbury B. F., dan C. W. Ross. 1995. Plant physiology. (Fisiologi Tumbuhan: Terjemahan Diah R Lukman dan Sumaryono). Jilid II. Penerbit ITB, Bandung. Sitompul dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sitompul. 2003. Fungsi Agonomi dan Ekologi Sistem Agoforestri Pinus Dengan Kedelai dan Jagung Sebagai Area Resapan Air (ARA): Transformasi Energi Radiasi dan Presipitasi. Laporan Hibah Penelitian. Progam Due Like. PS Agonomi.Fak Pertanian. Unibraw. Sitompul dan Purnomo. 2004. NKL Pertanaman Tumpangsari Kacang Tanah dan Jagung. www.academia.edu. Diakses tanggal 1 Mei 2013. 595