25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makna Manusia tidak pasif

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Makna
Manusia tidak pasif dalam menerima rangsangan stimuli. Sebaliknya
manusia aktif berinteraksi dan merespons suatu pesandalam memaknai suatu
objek atau fenomena. Dalam prosesnya, ketika orang menerima suatu pesan, ia
akan menyeleksi kemudian menyusun dan menafsirkannya, yang pada akhirnya ia
member makna pada suatu objek atau peristiwa. Makna adalah penyampaian
pengalaman seseorang kepada masyarakat. Makna sesungguhnya terdiri dari
konsep umum dan konsep individual.
Makna umum dapat dengan mudah dilihat oleh siapapun, sementara
makna individual hanya dapat dimengerti oleh individu sendiri. Dasar teoritis dari
teori makna yang diajukan Langer terdiri dari tiga unsur, yaitu signifikasi,
denotasi, konotasi. Signifikasi adalah makna dari sebuah tanda, denotasi adalah
hubungan antara simbol dan objeknya, dan konotasi adalah hubungan antara
simbol dan konsepsi itu sendiri.
Dengan mengajukan tiga term ini, Langer ingin menunjukkan bahwa
untuk memahami sesuatu, sesuatu tersebut tidak selalu hadir, melainkan bisa
melalui simbol atau konsepsi. Kompleksitas makna dalam suatu tanda dengan
25
berbagai peranan yang dimiliknya perlu adanya penjelasan tentangnya sebagai
pembangkit makna dengan berbagai tipe yang berbeda sesuai dengan fungsinya.
Dalam bukunya Communication Theory In Action, Julia. T. Woods
mengungkapkan bahwa makna (meaning) sebagai the heart of communication
research. Menurutnya, makna adalah arti yang dibentuk dan dikonstruksi oleh
fenomena. Dunia ini adalah salah satu makna. Kita tidak dengan mudah
mengartikan atau memaknai makan, minum, tidur, dan pergi dari tindakan atau
gerakan semata. Kita manusia sebagai gantinya memberikan setiap aspek dari
hidup kita dengan arti atau makna (Wood, 2003:25).
Menurut Husserl, makna adalah isi penting dari pengalaman sadar
manusia. Pengalaman seseorang bisa sama, namun makna dari pengalaman itu
berbeda-beda bagi setiap orang. Maknalah yang membedakan pengalaman yang
satu dengan pengalaman lainnya. Suatu pengalaman bisa menjadi bagian dari
kesadaran, juga karena orang lain memaknainya.
Senada dengan Husserl, Stanley Deetz mengatakan bahwa makna sesuatu
bagi seseorang sebenarnya terdiri atau terbangun oleh potensi pengalaman orang
tersebut berkenaan dengan objek yang bersangkutan. Artinya, bagaimana
seseorang memiliki hubungan dengan objek yang bersangkutan. Artinya,
bagaimana seseorang memiliki hubungan dengan objek akan menentukan makna
objek bersangkutan bagi seseorang tersebut (Pawito, 2008:56).
Misalnya saja, makna dari kata kanker. Untuk orang awam, jika mereka
mendengar kata kanker, mereka hanya memaknai kanker sebagai salah satu nama
26
penyakit saja. Namun, kata kanker akan berbeda untuk orang yang mengidap
kanker ataupun bagi orang yang pernah kehilangan orang yang disayanginya
karena penyakit kanker. Mungkin bagi mereka, kanker bisa dimaknai sebagai
penyakit mematikan ataupun penyakit yang telah merenggut nyawa orang-orang
yang ,mereka sayangi. Pemaknaan seseorang terhadap suatu hal atau objek akan
berbeda-beda. Tergantung pada pengalaman mereka tentang hal tersebut. Seperti
yang telah disebutkan oleh beberapa ahli di atas.
Kita adalah pengguna simbol, kita secara aktif menginterpretasikan
kejadian-kejadian, situasi-situasi, pengalaman-pengalaman, dan hubungan kita
dengan orang lain. Simbol adalah fondasi dari makna karena mereka
memungkinkan kita untuk menamai, mengevaluasi, mencerminkan, dan membagi
pengalaman dari ide-ide dan perasaan kita. Dengan menggunakan simbol, kita
bisa mengkonstruksi makna untuk merasakan dan member makna dari
pengalaman-pengalaman yang kita alami. Hal itu dapat terjadi dalam proses
komunikasi kita dengan orang lain (Wood, 2003:25).
2.2
Simbol
Secara Etimologis, simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “symballein”
yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan
suatu ide. (Hartoko & Rahmanto, 1998:133 dalam Sobur 2006:155). Ada pula
yang menyebutkan “symbolos” yang berarti tanda atau cirri yang memberitahukan
sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10 dalam Sobur 2006:155).
27
Biasanya simbol terjadi berdasarkan metomini (metonymy), yakni makna untuk
benda lain yang berasosiasi yang menjadi atributnya, dan metafora (methapor),
yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain
berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana, 2001:136-138) dalam Sobur,
2006:155).
Gambar merupakan ungkapan simbolis manusia atau apa yang disebut
oleh Ernest Cassier, manusia sebagai animal symbolic, yaitu hewan yang
bersimbol (Sobur, 2006:164). Ungkapan tersebut menjelaskan tentang pikiran,
gagasan serta sikap-sikap pada dasarnya diungkapkan secara simbolis. Manusia
tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung kecuali
lewat berbagai simbol. Kenyataan hanyalah sekedar fakta-fakta, tetapi kenyataan
mempunyai makna karena diungkapkan secara simbolis yang terbuka terhadap
berbagai interpretasi.
Semua simbol melibatkan tiga unsure : simbol itu sendiri, satu rujukan
atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan
dasar bagi semua makna simbolik. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu
yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri (Sobur, 2006:156).
Berger
Konvensional,
(2000:85)
(2)
mengklasifikasikan
aksidental (accidental),
simbol-simbol
(3)
universal.
menjadi:
(1)
Simbol-simbol
konvensional adalah kata-kata yang kita pelajari yang berdiri/ada untuk
(menyebut/menggantikan) sesuatu. Sebagai kontrasnya simbol aksidental sifatnya
lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang.
28
Akhirnya, simbol universal adalah sesuatu yang berakar dari pengalaman semua
orang. Upaya untuk memahami simbol seringkali tidak sama dengan logika yang
digunakan orang di dalam proses-proses pemikiran kesehariannya (Sobur,
2006:157).
Hidup agaknya memang digerakkan oleh simbol-simbol. Ketika terjadi
kerusuhan besar-besaran pada tahun 1998, orang-orang di negeri kita terlihat
menghancurkan, memporakporandakan, dan membakari gedung pemerintahan,
kendaraan, mall, atau tempat-tempat ibadat, sasaran sesungguhnya sebenarnya
bukanlah tempat itu sendiri. Sasaran utama mereka adalah simbol. Gedunggedung pencakar langit, kendaraan, pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat
ibadat, dan sebagainya dilihat sebagai simbol “kecongkakan”, “kekuasaan”,
“kesewenangan”, “keserakahan”, “kepura-puraan”, atau apapun.
Susanne K.Langer menyatakan keyakinannya bahwa kebutuhan dasarnya
ini, yang memang hanya ada pada manusia, adalah kebutuhan akan simbolisasi.
Fungsi pembentukan simbol ini adalah satu diantara kegiatan manusia, seperti:
makan, melihat, dan bergerak. Simbol adalah “objek atau peristiwa apapun yang
menunjuk pada sesuatu” kata James P.Spradley (1997:121 dalam Sobur,
2004:154).
Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia
sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol
yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol-simbol yang
29
dimodifikasi dalam bentuk signal-signal melalui gelombang udara dan cahaya,
seperti radio, televise, telegram, telex, dan satelit (Sobur, 2001:43).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta
disebutkan, simbol atau lambing adalah semacam tanda, lukisan, perkataan,
lencana, dan sebagainya yang menytakan sesuatu hal, atau mengandung maksud
tertentu. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar
perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Dalam kaitan ini Pierce mengemukakan
bahwa “A symbol is a sign which refers to the object that is denotes by virtue of
law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol
to be interpreted as reffering to that object” (Derrida, 1992 dalam Sobur,
2006:156).
Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai
lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk
sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambing meliputi
kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati
bersama (Sobur, 2006:157). Suatu simbol dapat berdiri untuk suatu institusi, cara
berpikir, ide, harapan dan banyak hal lainnya. Simbol merupakan salah satu
kategori dari tanda. Secara umum studi tentang tanda adalah semiotika. Semiotika
didefinisikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda,
dimana pada dasarnya semiotika hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2003:15).
30
Lambang atau simbol memiliki beberapa sifat, yaitu:
1. Bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Maksudnya apa
saja bisa dijadikan lambing bergantung pada kesepakatan bersama.
2. Lambing atau simbol pada dasarnya tidak memiliki makna, kitalah yang
member makna pada lambing atau simbol. Maksudnya makna sebenarnya
ada dalam kepala (pikiran) kita, bukan terletak pada simbol itu sendiri.
3. Lambing atau simbol bervariasi. Maksudnya bervariasi dari satu budaya ke
budaya lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu konteks ke
konteks lainnya. (Mulyana, 2001:83-95).
Teori mengenai simbol dikemukakan oleh Susane K. Lange (Littlejohn,
1996:69-70) yang membagi tanda menjadi dua, yaitu sign and symbol. Sign
berhubungan dengan objek yang ditandai, sedangkan symbol tidak mengarah pada
objeknya melainkan pada konsep mengenai objek tersebut. Simbol mengizinkan
seseorang untuk berpikir tentang sesuatu yang berbeda dari keberadaan sesuatu itu
sendiri.
Langer menyebutkan simbol sebagai ‘instrumen pikiran’. Menurutnya,
manusia tidak saja bisa menciptakan simbol, tapi juga menciptakan simbol untuk
memenuhi salah satu kebutuhan dasar hidupnya, yaitu simbolisasi. Proses
pembentukan simbol menjadi suatu proses kontinyu seperti halnya makan dan
tidur. Dengan memahami penggunaannya maka kita memahami tindakan
31
manusia. Setiap simbol menghasilkan suatu konsep, ide, pikiran, pola, atau
bentuk. Konsep adalah makna yang dipahami bersama oleh pemakainya.
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain diluar perwujudan
simbol itu sendiri, dan tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan
asosiatifnya dengan simbol lainnya. Namun demikian, simbol memiliki kesatuan
bentuk dan makna. Simbol merupakan sesuatu yang bisa dianalogikan dengan
kata yang terkait dengan:
1. Penafsiran pemakai
2. Kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya
3. Kreasi pemberian makna sesuai dengan intense pemakaiannya (Sobur,
2004:156)
2.3
Komunitas
Komunitas merupakan istilah yang sering digunakan dalam percakapan
sehari-hari dalam berbagai kalangan. Seperti halnya kebanyakan istilah popular,
maka maknanya pun bisa beragam bergantung pada konteks kalimatnya. Dalam
ilmu PR (Public Relations) kata komunitas sering terdengar dengan istilah
“membina hubungan baik dengan komunitas”. Komunitas itu sendiri bukan lagi
sekedar kumpulan orang yang tinggal pada lokasi yang sama tapi juga
menunjukkan terjadinya interaksi di antara kumpulan orang tersebut (Iriantara,
32
2004:22). Dalam Mulyana, (2005:42), komunitas merujuk pada sekelompok orang
yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka
berbagi makna dan sikap.
Di Indonesia sendiri terdapat berbagai komunitas yang menamai diri
mereka dengan berbagai macam sebutan, komunitas merupakan sekumpulan
orang yang memiliki visi misi yang sama dan memiliki minat yang sama akan
sesuatu. Mulai dari komunitas ilmuwan yang mendukung revolusi, komunitas
muslim di Kashmir
sampai komunitas punk,
komunitas
motor
besar
(Brotherhood) atau anak-anak band yang banyak membentuk komunitas sendiri
yang bisa menunjukkan eksistensi mereka lewat komunitas tersebut dan juga
dijadikan wadah menyalurkan hobi, pikiran, maupun pendapat, tentunya
komunitas tersebut memiliki karakter-karakter tersendiri yang membuat mereka
berada dalam komunitas tersebut. Dalam wadah komunitas itu merek tentunya
memiliki ciri khas dalam menunjukkan identitas diri mereka agar mereka dapat
diidentifikasi sebagai suatu komunitas tertentu. Komunitas Gay misalnya, mereka
menunjukkan keberadaan mereka dengan cirri-ciri yang khas dengan mereka,
seperti menggunakan sapu tangan di celana belakang, dan menggunakan aksesoris
lainnya di tempat-tempat tertentu agar mereka dapat diidentifikasi sebagai anggota
komunitas Gay terlepas dari tujuan lain yang melatarbelakangi hal tersebut.
Mereka semua memiliki identitas yang ingin mereka bagi kepada masyarakat luas
sebagai wujud eksistensi mereka di dunia ini.
33
2.4
Teori yang Mendukung Penelitian
Teori Interaksi Simbolik George Herbert Mead & Herbert Blumer
Perspektif interaksi simbolik mengandung dasar pemikiran yang serupa
dengan teori tindakan sosial mengenai “makna subjektif” (subjective meaning)
dari perilaku manusia, proses sosial dan pragmatismenya. George Herbert Mead
(dalam McGraw Hill, 2007) memiliki tiga tema pemikiran yang mendasari teori
interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
2. Pentingnya konsep mengenai diri
3. Hubungan antara individu dan masyarakat
Tema pertama pada teori interaksi simbolik mengenai pentingnya
membentuk makna bagi perilaku manusia. Teori interaksi simbolik berpegang
bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna
tidak bersifat instrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan interpretatif orang-orang
untuk menciptakan makna. Menurut LaRossa dan Reitszes, tema ini medukung
tiga asumsi teori interaksi sombolik dari karya Herbert Blumer (1969). Ia adalah
salah satu murid Mead yang mengukuhkan teori interaksi simbolik sebagai suatu
kajian ilmiah tentang berbagai aspek subjektif manusia dalam kehidupan sosial.
Asumsi-asumsinya sebagai berikut:
•
Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan
makna yang diberikan orang lain pada mereka. Maksudnya
34
adalah makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk
dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk
menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula.
•
Makna diciptakan dalam interaksi manusia. Mead menekankan
dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, hanya ketika
orang-orang memiliki interprestasi yang sama mengenai simbol
yang mereka pertukarkan dalam interaksi.
•
Makna dimodifikasi melalui proses interpretatif. Blumer
menyatakan bahwa proses interpretatif memiliki dua langkah.
Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai
makna. Langkah kedua, melibatkan si pelaku untuk memilih,
mengecek, dan melakukan transformasi makna didalam konteks
dimana mereka berada.
Tema kedua pada teori interaksi simbolik berfokus pada pentingnya
konsep diri (self-concept), atau seperangkat persepsi yang relatif stabil yang
dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Teori interaksi simbolik sangat tertarik
dengan cara orang mengembangkan konsep diri. Menggambarkan individu
dengan diri yang aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lain. Tema
ini memiliki dua asumsi tambahan menurut LaRossan dan Reitzes (1993) sebagai
berikut:
•
Individu-individu
mengembangkan
konsep
diri
melalui
interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menjelaskan bahwa kita
35
membangun perasaan akan diri (sense of self) melalui kontak dengan
orang lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri, mereka belajar
tentang diri mereka melalui interaksi.
•
Konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.
Mead berpendapat karena manusia memiliki diri, mereka memiliki
mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme
digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Mead melihat diri sebagai
proses, bukan struktur. Oleh karena itu, perilaku atau sikap seseorang
dapat diarahkan agar sebuah harapan dapat terwujud. Proses ini dinamakan
prediksi pemenuhan kebutuhan (self-fulfilling prophecy).
Tema yang terakhir berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu
dan batasan sosial. Mead dan Blumer mencoba menjelaskan mengenai keteraturan
dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema
ini adalah sebagai berikut:
•
Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan
budaya. Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi
perilaku individu. Selain itu, budaya secara kuat memengaruhi perilaku
dan sikap yang kita ciptakan.
36
2.5
Tinjauan dari Teori yang Relevan
Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger & Luckmann
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) dalam
Sosiologi Kontemporer didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan
interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subyektif (Margaret, 1994). Teori ini berakar
pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi
sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya.
Masyarakat adalah produk manusia dan antara masyarakat dan manusia
terjadi proses dialektika. Manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk
pencari makna, memperoleh makna kehidupan dari proses dialektika, yang
melibatkan tiga proses yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pertama,
eksternalisasi yang merupakan proses atau ekspresi diri manusia di dalam
membangun tatanan kehidupan, atau bisa juga diartikan sebagai proses
penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya.
2.6
Interaksionisme Simbolik
2.6.1 Akar Interaksionisme Simbolik
Dalam pengembangan pengetahuan, suatu teori atau model sering diilhami
teori atau model sebelumnya, meskipun teori yang muncul kemudian itu hingga
tertentu juga menampakkan orisinalitasnya. Begitu pun dalam ilmu social, seperti
37
teori Interaksi Simbolik. Banyak pakar setuju bahwa pemikiran George Herbert
Mead, sebagai tokoh sentral dalam teori ini, berlandaskan beberapa cabang filsafat
antara lain pragmatisme dan behaviorisme. Kedua cabang filsafat ini akan
dijelaskan secara rinci di bawah ini.
1. Pragmatisme
Dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif Mulyana
(2001:64), menjelaskan mengenai pragmatisme dirumuskan oleh John Dewey,
William James, Charles Pierce, dan Josiah Royce, aliran filsafat ini memiliki
beberpa pandangan, yaitu:
“Pertama, realitas yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata,
melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak di dan
terhadap dunia. Apa yang nyata bagi manusia bergantung pada
definisi atau interpretasi kita. Dunia tidak memberitahukan dirinya
kepada kita; kitalah yang aktif memahaminya dan memutuskan apa
yang kita lakukan terhadapnya. Kedua, kaum pragmatis juga
percaya bahwa manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan
mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.
Mereka akan melakukan sesuatu yang mereka pikir bermanfaat dan
meninggalkannya bila itu tidak bermanfaat bagi mereka. Ketiga,
manusia mendefinisikan objek fisik dan objek social yang mereka
temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka. Suatu benda
mempunyai berbagai macam kegunaan, namun arti penting benda
38
tersebut selalu bersifat kontekstual, yakni bagaimana kita
menggunakan benda itu untuk mencapai tujuan kita. Keempat, bila
kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (aktor), kita
harus mendasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya
mereka lakukan di dunia.”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang penting untuk diamati adalah
apa yang manusia lakukan dalam situasi mereka yang sebenarnya, dalam
kehidupan sehari-hari, bukan dalam laboratorium yang dibuat-buat.
2. Behaviorisme
Meskipun pandangan interaksi simbolik berbeda dengan behavirosme,
pandangan Mead dipengaruhi oleh paham tersebut. Mead setuju dengan
behaviorisme dalam arti manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka
lakukan. Namun, manusia punya kualitas lain yang membedakannya dengan
hewan lain. Kaum behavioris berkilah bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah
untuk memahami semua hewan, termasuk manusia, adalah dengan mengamati
perilaku mereka secara langsung dan seksama. Mead menolak gagasan itu. Dalam
pandangannya, pengamatan atas perilaku luar manusia sematamenafikan kualitas
penting manusia yang berbeda dengan kualitas alam. Untuk membedakannya
dengan behaviorisme radikal John B. Watson, tokoh utama behaviorisme, Mead
menyebut pandangannya sebagai behaviorisme social (social behaviorism).
Menurut Mead, yang dikutip Mulyana (2001:66) menyatakan bahwa:
39
“Behaviorisme social merujuk kepada deskripsi perilaku pada tingkat yang
khas manusia. Jadi, dalam pandangan behaviorisme social, konsep
mendasarnya
adalah
mempertimbangkan
tindakan
aspek
social
tersembunyi
(social
perilaku
act),
yang
manusia.
juga
Seperti
behaviorisme radikan Watson, behaviorisme sosial Mead memulai
telaahnya dengan tindakan individu yang dapat diamati. Akan tetpi, tidak
seperti behaviorisme radikal, behaviorisme social mengkonseptualisasikan
perilaku lebih luas, termasuk aktifitas tersembunyi (convert activity).
Mead menganggap aktifitas tersembunyi ini justru yang membedakan
perilakau manusia kepada mekanisme yang sama dengan yang ditemukan
pada tingkat hewan lebih rendah (inframanusia).
Behaviorisme radikal Watson cenderung mengasumsikan perilaku
manusia sama saja dengan perilaku hewan lainnya, yakni sebagai makhluk yang
pasif dan tidak berpikir –tidak berbeda dengan boneka- yang perilakunya
ditentukan oleh rangsangannya di luar dirinya, jadi merenggut perilaku manusia
dari konteksnya yang lebih luas yang justru menandainya sebagai perilaku yang
khas manusia, sementara behaviorisme social menganggap:
“Perilaku manusia sebagai perilaku sosial. Behaviorisme radikal menolak
gagasan bahwa manusia memiliki kesadaran, bahwa terjadi suatu proses
mental tersembunyi yang berlangsung pada diri individu diantara
datangnya stimulus dan bangkitnya perilaku. Meskipun tidak menolak
mentah-mentah pandangan
itu,
Mead
mengakui
bahwa
individu
40
melakukan tindakan tersembunyi yang diabaikan kaum behavioris.
Namun, bagi Mead substansi dan eksistensi perilaku manusia hanya dapat
dijelaskan dengan mempertimbangkan basis sosialnya.” (Mulyana,
2001:66).
Perilaku manusia tidak hanya berupa respons langsung terhadap aktivitas
orang lain, merupakan berupa respons terhadap maksud orang lain. Dapat
disimpulkan,
bahwa
Mead
memperluas
teori behavioristik
ini
dengan
memasukkan apa yang terjadi antara stimulus dan respons itu, karena bagi Mead,
manusia jauh lebih dinamis dan kreatif.
2.6.2 Tokoh-tokoh Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme merupakan pandangan terhadap realitas sosial yang
muncul pada akhir dekade 1960-an dan awal dekade 1970. Stephen W. Littlejohn
dalam bukunya “Theories of Human Communication” mengatakan bahwa:
“Yang memberikan dasar mengenai teori ini adalah George Herbert Mead,
Herbert Blumer, Manford Kuhn, Kenneth Burke, dan Hugh Ducan. K.J.
Vegeer juga dalam bukunya “Realitas Sosial” mengatakan bahwa akarnya
dapat dilacak dari pragmatisme atau instrumentalisme J. Dewey (18591952) dan psikologi sosial George Herbert Mead (1863-1931) yang keduaduanya adalah mahaguru pada Universitas Chicago, serta Herbert Blumer,
41
Mahaguru Universitas California di Berkley (1978:56).” (Effendy,
2000:391)
Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan interaksionisme simbolik
dari Herbert Blumer, namun sebelumnya peneliti akan menguraikan tokoh-tokoh
penting dari interaksionisme simbolik.
1. John Dewey (1859-1952)
Beliau seorang pemikir terkenal dengan filsafat instrumentalisnya yang
memiliki pandangan bahwa:
“Antara berpikir dan bertindak, teori dan praktik; adalah dua hal yang
menyatu dan tidak dapat saling dipisahkan. Prinsip ini berlandaskan satu
teori pengenalan, melihat sebagai hasil dari kegiatan manusia itu sendiri.
Sebelum manusia menentukan sikap dan perbuatannya terhadap mereka
dia akan melakukan berbagai pertimbangan dan menilainya, untuk
kemudian memilih kemungkinan dalam bertindak.” (Soekanto, 2001:410)
Teori pengenalan ini menghasilkan suatu citra manusia yang dinamis antieterministik dan penuh dengan optimism. Lingkungan sosial dan situasi tertentu
dimana seseorang hidup tidak sampai pada tingkat determinasi dirinya, tetapi
merupakan kondisi-kondisi bagaimana dia menentukan sikapnya.
42
2. Max Weber (1864-1920)
Max Webber adalah seorang filsof sekaligus sosiolog terkemuka
berkebangsaan Jerman. Karya-karya Max pun telah menjadi model pemersatu
dalam paradigm sosial. Karya Weber membantu mengajarkan perhatian pada
definisi-definisi sosial dalam cara para pelaku sosial mendefinisikan situasi-situasi
sosial mereka, tindakan soisal dan efek dari definisi-definisi sosial dalam
interaksi. Paradigma definisi sosial ini menekankan pada hakikat atau substansi
dari kenyataan sosial, yang lebih subjektif dan individual.
Pada perkembangannya, Mead dan Blumer menggunakan dasar ini dalam
mengembangkan teori Interaksionisme simbolik. Mead dan Blumer
sependapat bahwa dalam membangun teori interaksionisme simbolik
untuk menggunakan dasar-dasar paradigm definisi sosial. Teori ini
memiliki pandangan bahwa kenyataan sosial semestinya berdasarkan pada
definisi subjektif individu dengan persepsi dan interpretasinya. (Mulyana,
2001:61)
Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik khususnya
dari George Herbert Mead, sebenarnya berada di bawah paying teori tindakan
sosial yang dikemukakan oleh Weber, meskipun sebenarnya Weber sendiri
bukanlah seorng interpretivis murni. Dengan kata lain, George Herbert Mead
tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead
diilhami oleh teori Weber.
Weber dalam Mulyana (2001:62) memberikan definisi tentang tindakan
sosial:
43
“Tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh
individu memberikan suatru makna subjektif terhadap perilaku tersebut.
Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh, berdasarkan makna
subjektifnya yang diberikan oleh individu atau individu-individu, tindakan
itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientsikan
dalam penampilannya. Bagi Weber, jelas bahwa tindakan manusia pada
dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir dan kesengajaan.”
Tindakan sosial adalah tindakan yang disengaja, disengaja bagi orang lain
maupun oleh sang aktor sendiri, yang pikiran-pikirannya aktif saling menafsirkan
perilaku orang lainnya, berkomunikasi satu sama lain dan mengendalikan perilaku
dirinya masing-masing dengan maksud komunikasinya, jadi, mereka saling
mengarahkan perilaku mitra interaksi dihadapannya. Oleh karena itu, masyarakat
menurut Weber adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang berpikir
dan melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna. Perilaku mereka yang
Nampak hanyalah sebagian saja dari keseluruhan perilaku mereka.
3. George Herbert Mead (1863-1931)
Beliau merupakan orang yang berpengaruh penting bagi Blumer. Mead
memperkenalkan dialektikan hubungan manusia dan manusia, manusia dan alam.
Bagi Mead, individu merupakan makhluk yang sensitive dan aktif. Keberadaan
sosialnya sangat mempengaruhi bentuk lingkungan secara efektif, sebagaimana
lingkungannya mempengaruhi kondisi sensitivitas dan aktivitasnya.
44
Menurut Mead:
“Orang adalah aktor (pelaku) dalam masyarakat, bukan reaktor. Sementara
“sosial act” (tindakan sosial) merupakan payungnya. Mead juga
menyatakan bahwa tindakan merupakan suatu unit lengkap yang tidak bisa
dianalisis menurut bagian-bagiannya secara terpisah. Dalam hal ini,
tindakan sosial mencakup tiga bagian yang saling berkaitan: (1) Initial
gesture (gerak isyarat awal) dari seorang individu; (2) Response
(tanggapan) atas gerak isyarat tersebut dari individu-individu lainnya baik
secara nyata ataupun tersembunyi; (3) Hasil dari tindakan yang
dipersepsikan oleh kedua belah pihak. Masyarakat (society) menurut
Mead, merupakan himpunan dari perbuatan-perbuatan kooperatif yang
berlangsung di antara para warga atau anggotanya. Namun demikian,
perbuatan kooperatif ini bukan hanya menyangkut proses fisik-biologis
saja, tetapi juga menyangkut aspek psikologis, karena melibatkan proses
berpikir (minding). Pemikiran bahwa masyarakat merupakan rangkaian
interaksi penggunaan simbol-simbol yang kooperatif, pada dasarnya
menekankan pentingnya aspek berbagi atas simbol-simbol yang digunakan
di antara para anggota masyarakat. Dengan demikian interaksi sosial
merupakan hasil perpaduan antara pemahaman diri sendiri dan
pemahaman atas orang lain.” (Sendjaja, 1994:34)
Inti dari teori interaksi simbolik adalah teori tentang “diri” (self).
Pandangan Mead tentang diri terletak pada konsep “pengambilan peran orang
lain” (taking the role of other). Konsep Mead tentang diri merupakan penjabaran
“diri sosial” (social self) yang dikemukakan oleh William James dan
pengembangan dari teori Cooley tentang diri. Bagi Mead dan pengikutnya,
individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara sosial, namun juga
menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat diramalkan.
45
Mead, menandai perilaku tersebut sebagai sosial dan berbeda dengan
perilaku hewan pada umumnya yang ditandai dengan mekanisme stimulusrespons. Ia memandang tindakan manusia sebagai meliputi bukan saja tindakan
terbuka, namun juga tindakan tertutup, jadi mengkonseptualisasikan perilaku
dalam pengertian yang lebih luas. Gagasan tentang “kesadaran” (consciousness)
subjek yang sedang diteliti merupakan istilah kunci karena hal itu merupakan
esensi diri.
Manusia menginterpretasikan melalui gerakan atau kata-kata. Manusia
memandangnya sebagai simbol, yaitu simbol maksud-maksud yang
hendak dinyatakan dengan kata atau gerakan sesuai dengan maknanaya.
Manusia bertidnak atas interpretasi semacam ini. Pada akhirnya konsep
“diri” akan mengalami proses internalisasi atau interpretasi subjektif atas
realitas struktur yang lebih luas. “Diri” muncul dalam proses interaksi
karena manusia baru menyadari dirinya sendiri dalam interaksi sosial.
(Mulyana, 2001:74)
Pikiran manusia menerobois dunia luar seolah-olah mengenalnya dibalik
penampilannya. Ia juga menerobos dirinya sendiri dan membuat hidupnya sendiri
menjadi objek pengenalannya yang disebut Mead, self yang dpaat diterjemahkan
menjadi aku atau diri. Self dikenalnya mempunyai cirri-ciri atau status tertentu.
Manusia ditanya ‘siapa’ dia, akan menjawab bahwa ia bernama ‘ini’, beragama
‘ini’, dan sebagainya.
Cara manusia mengartikan dunia pada dasarnya sendiri berkaitan erat
dengan masuknya. Mead dalam Mulyana (2001:75)
46
“Melihat pikiran (mind) dan dirinya sendiri (self) menjadi bagian dari
perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan orang lain interaksi itu
membuat ia mengenal dunia dan dirinya sendiri. Mead mengatakan bahwa
pikiran (mind) dan aku atau diri (self) berasal dari masyarakat society atau
proses-proses interaksi.”
4. Herbert Blumer (1863-1931)
Herbert Blumer adalah pencetus istilah “Symbolic Interactionism”. Di
tahun1937, dalam artikel yang berjudul “Social Psychology” menyebut “interaksi
simbolik” untuk menunjukkan suatu pendekatan yang telah dipaparkan oleh
beberapa pemikir, misalnya Charles H., Cooley, W.I. Thomas, Robert.E. Park,
E.W. Burgess, Florian Znaniecki, William James, John Dewey dan George
Herbert Mead. Dalam tulisan yang lain, “Society and Symbolic Interaction”,
Blumer mengatakan bahwa Mead memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang
lain-lainnya, dalam meletakkan premis-premis pendekatan. Meskipun I tidak
mengembangkan “implikasi metodologisnya untuk kajian sosiologi”.
Interaksi simbolik, menurut Blumer, merujuk pada:
“…karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Aktor tidak
semata-mata bereaksi terhadapa tindakan yang laintetapi dia menafsirkan
dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara
langsung maupun tidak selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut.
Oleh karenanya interaksi dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol
penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain.” (Zelitin,
1995:332)
47
Di dalam bukunya yang terkenal “Symbolic interactionism; Perspective
and Methode”, Herbert Blumer menegaskan, bahwa ada tiga asumsi yang
mendasari tindakan manusia. Tiga asumsi itu adalah sebagai berikut:
1. Human beings act toward things on the basic of the meanings
that the things have for them. Manusia bertindak terhadap
sesuatu berdasarkan makna-makna yang ‘ada’ pada sesuatu itu
bagi mereka.
2. The meaning of such things is derived from, or arises out of,
the social interaction that one has with one’s fellows. Makna
itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan
orang lain.
3. The meanings are handled in, and modified through, an
interpretive process used by the person in dealing with the
things he encounters. Makna-makna tersebut disempurnakan
disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung. (Wallace,
1986:204-206) (Sutaryo, 2005:265)
“Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang
intrinsic. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk
interaksi simbolis. Bagi Herbert Blumer, “sesuatiu” itu- biasa diistilahkan
“realitas sosial”- bisa berupa fenomena alam, fenomena artificial, tindakan
seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”.
48
Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi
volunteristik. Sebab, menurut Blumer (1969:5):
“Sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor
melakukan
serangkaian
kegiatan
oleh
mental:
memilih,
memeriksa,
mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna
dalam kaitannya dalam situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian,
pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normative, yang telah
dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus menerus
disempurnakan dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan
pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut.”
Blumer, seperti halnya Mead, memandang orang sebagai aktor, bukan
reaktor. Tindakan atau aksi sosial, menurut Blumer, merupakan perluasan dari
tindakan-tindakan individu. Di mana masing-masing individu menyesuaikan
tindakannya sehingga hasilnya merupakan gabungan (Sendjaja, 1994:34).
Teori interaksionisme simbolik merujuk pada karakter interaksi khusus
yang berlangsung antar manusia, sehingga aktor tidak semata-mata bereaksi
terhadap tindakan yang lain, tetapi menafsirkan dan mendefinisikan setiap
tindakan orang lain. Oleh karena itu interaksi manusia dijembatani oleh
penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan
orang lain.
Blumer mengungkapkan bahwa, dalam teori interaksionisme simbolik,
mempelajari suatu masyarakat tidak lain adalah mempelajari apa yang disebut
“tindakan bersama” masyarakat itu sendiri merupakan produk dari adanya
interaksionisme simbolik, dalam konteks ini interaksi simbolik manusia dalam
49
masyarakat ditandai oleh penggunaan simbol-simbol, penafsiran dan kepastian
makna dari tindakan.
Dalam pandangan interaksionoisme simbolik, yang dikutip Soelaeman
(2001:52):
“Setiap interaksi dan kelompok-kelompok organisasi bersifat sementara.
Masyarakat didefinisikan sebagai manusia yang berinteraksi, yang
bersesuaian melalui tindakan bersama, sebagai suatu tindakan bekerja
sama. Interaksi ini terdiri dari berbagai kegiatan manusia, interaksionisme
mencakup penfasiran tindakan. Objek-objek tidak mempunyai makna yang
intrinsic. Makna lebih merupakan produk interakisonisme simbolik.”
Blumer dalam Sendjaja (1994:34), menyebutkan bahwa objek ditafsirkan
ke dalam tiga kategori, yaitu; objek fisik, objek sosial, dan objek abstrak.
2.6.3 Interaksionisme Simbolik Sebagai Perspektif
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang
komunikasi ndan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meletzer dalam
Littlejohn (1997:271:272), memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis
dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:
1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari
pengalaman. Persepsi selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.
50
2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi diantara orang-orang. Arti
muncul karena adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok
3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya
interaksi diantara orang-orang.
4. Tingkah laku seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian
masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.
5. Pikiran terdiri dari sebuah percakapan internal yang merefleksikan
interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta didalam kelompok sosial
selama proses interaksi.
7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan
mengamati tingkah lakunya belaka. Pemahaman dan pengertian
seseorang akan berbagai hal harus diketahui secara pasti.
Pandangan
bahwa komunikasi suatu
proses,
yang
bahkan
juga
dikemukakan oleh ilmuwan komunikasi yang postivis, sebenarnya berimplikasi
pada bagaimana fenomena komunikasi harus diteliti, ironisnya, kaum positivis itu
tetap saja meneliti fenomen komunikasi dengan metode yang bertentangan, yang
justru bertolak belakang dengan pandangan bahwa komunikasi adalah suatu
proses. Proses bukanlah fenomena yang ditandai kasualitas, sehingga interpretif
perlu juga dikembangkan lebih jauh, termasuk variannya, yakni interaksi
simbolik.
51
Tanpa
menolak
pandangan
objektif
terhadap
perilaku
manusia,
pemahaman atas perspektif interaksionisme simbolik mutlak diperlukan untuk
memperkaya khasanah pengetahuan kita
mengenai kehidupan
manusia.
Interaksionisme simbolik hanyalah suatu perspektif, suatu cara untuk melihat
realitas
sosial
manusia.
Dalam
ilmu
komunikasi,
sosiologi,
psikologi,
interaksionisme simbolik bukanlah lawan teori behavioristik atau teori gestalt,
tetapi untuk melengkapi teori-teori tersebut. Teori ini menyentuh mengenai
kualitas-kualitas kehidupan sosial manusia.
2.6.4 Karakteristik Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme Simbolik merupakan sebuah label untuk pendekatan yang
relative khusus, pada ilmu yang membahas tingkah laku manusia, sampai saat ini
belum ada formulasi yang cukup akurat dan jelas mengenai teori ini. Pada
pembahasan ini, penulis akan menguraikan mengenai dasar-dasar dari teori
interaksionisme simbolik, dengan berpedoman pada uraian dasar dari gagasan
interaksionisme simbolik itu sendiri.
1.
Sifat-sifat
Menurut Soeprapto (2001:142) dalam Anggraeni (2006:40)
“Arti”, dalam ilmu psikologi sosial dianggap sebagai sebuah
hubungan netral antara factor-faktor yang bertanggung jawab pada
tingkah laku manusia, sedangkan “tingkah laku” adalah hasil dari
52
beberapa factor. Posisi interaksionisme simbolik adalah sebaliknya,
bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia berpusat dalam
kebenaran manusia itu sendiri”.
Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa “arti” muncul dari
poses interaksi sosial yang dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang
tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut,
sehingga teori ini pun memanedang “arti” sebagai produk sosial; sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktivitas yang terdefinisi dari individu
saat mereka berinteraksi.
Penggunaan “arti” oleh pelaku terjadi melalui sebuah proses
interpretasi yang berasal dari dua tahapan utama:
8 Pelaku mengindikasikan dirinya sendiri akan benda-benda terhadap
mana dia bereaksi, dia harus menunjukkan sendiri benda-benda
yang memiliki makna itu.
8 Melalui perbaikan proses berkomunikasi dengan diri sendiri ini,
maka interpretasi akan menjadi sebuah maslah, yakni bagaimana
kita memperlakukan “arti” itu sendiri. “Arti” memainkan peran
penting dalam aksi, melalui ebuah proses interaksi dengan diri
sendiri.
Teori
interaksionisme
simbolik
dikonstruksikan
atas
sejumlah ide-ide dasar. Ide dasar ini mengacu pada sejumlah
53
kelompok masalah-masalah kelompok manusia atau masyarakat,
interaksi sosial, objek, manusia sebagai pelaku, tindakan manusia
dan interkoneksi dari saluran-saluran tindakan.
2.
Orientasi Metodologis
Menurut Blumer (1986), teori interaksionisme simbolik telah
dipahami dengan dua pendekatan utama, yakni eksplorasi dan inspeksi.
Eksplorasi dan inspeksi yang mempresentasikan secara sendiri-sendiri
mengenai deskripsi dan analisis, merupakan prosedur yang diperlukan dalam
riset atau dunia empiris.
Eksplorasi dam inspeksi merupakan bagian dari penelitian alamiah,
yakni penelitian yang ditujukan pada dunia empiris dengan karakternya yang
sangat alamiah dan tanpa henti, dan bukanlah sebuah tiruan saja. Pendekatan
naturalistic (alamiah) mencakup prosedur rangkap (eksplorasi dan inspeksi),
jelas sangat perlu dalam penelitian ilmiah pada kehidupan kelompok manusia
(Soeprapto dalam Anggraeni, 2006:41).
Tahap eksplorasi (exploration), pada tahap ini seorang peneliti secara
fleksibel dapat melakukan suatu teknik atau cara pengumpulan informasi
yang etis. Dengan demikian, peneliti mempunyai kekuasaan untuk
menggunakan metode apa saja yang sesuai dengan objek yang diamatinya,
misalnya; pengamatan langsung, wawancara, membaca surat-surat atau
catatan-catatan dokumen, dan lain-lain. Tahap inspeksi (inspection),
merupakan kegiatan pengamatan atau pengujian yang lebih intensif dan
54
terfokus mengenai hal atau objek yang diamati. Tahap ini merupakan
kelanjutan dari tahap eksplorasi.
2.6.5 Makna Sebuah Simbol
Manusia menggunakan simbol-simbol dalam berkomunikasi. Simbol
tersebut kemudian diinterpretasikan oleh penerimanya, yang kemudian membuat
arti yang dihubungkan dengan kehidupan sosial. Pandangan interaksionis
mengenai makna dari sebuah simbol adalah penekanannya pada interpretasi yang
dilakukan secara sadar. Sebuah objek memiliki arti bagi seseorang pada saat orang
tersebut berpikir tentang atau menginterpretasikan objek tertentu.
Blumer (1969:78), yang dikutip dalam Littlejohn (1997:275) menyatakan
bahwa:
“Interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
penafsiran dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan
hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons.
Blumer menunjukkan fakta bahwa manusia dapat berinisiatif melakukan
tindakan tanpa harus menunggu rangsangan dari luar yang mendorong
merek untuk bertindak.”
55
2.6.6 Objects as Social Objects
Objek-objek biasanya keberadannya dalam bentuk fisik, namun bagi
kehidupan
manusia,
obejk
itu
pointed
out,
diisolasi,
dokategorikan,
diinterpretasikan, dan diberi makna melalui interaksi sosial. Dalam perspektif
interaksionis simbolis dalam Blumer (1969:68), yang dikutip Anggraeni
(2006:57), kita ketahui bahwa objek-objek untuk kehidupan manusia adalah
objek-objek sosial. “objects consist of whatever people indicate or refer to” di
mana objek-objek terdiri atas hal apapun yang dipikirkan orang. Setiap objek
berubah dalam kehidupan manusia, ini bukan karena objek berubah, namun
karena orang merubah definisinya.
2.6.7 Symbol - a Class of Social Objects
Apa itu simbol? Simbol merupakan salah satu dari objek-objek sosial yang
digunakan dan didefinisikan berdasarkan kegunaannya. Beberapa objek sosial
adalah simbol, namun ada sebagian juga yang bukan simbol. Semua simbol
tentunya digunakan untuk mempresentasikan keberadaannya berdasarkan apapun
yang disepakati manusia, untuk ‘apa’ simbol itu ‘ada’. Simbol juga digunakan
untuk mempesentasi sesuatu. Walaupun demikian tidak semua objek sosial dapat
dikatakan sebagai sebuah simbol dan dapat pula mempresentasikan sesuatu.
Sebagai contoh, bunga digunakan untuk penciuman, akan tetapi bila kita gunakan
untuk mempresentasikan perasaan cinta kepada seseorang yang kita sayangi, maka
itu dapat dikatakan menjadi sebuah simbol.
56
Representasi sebuah simbol, yang dikutip dalam Anggraeni (2006:58):
“Juga digunakan untuk berkomunikasi antara para aktor atau manusia.
Melalui sebuah simbol kita dapat berkomunikasi dengan orang lain dan
mengintrpretsikan makna kepada orang
lain. Simbol-simbol pun
ditemukan dalam interaksi sosial karena itu mereka dianggap sebagai salah
satu objek-objek sosial.”
Simbol itu konvensional, mereka merepresentasikan sesuatu hanya karena
orang-orang telah sepakat dan setuju terhadapnya. Simbol dalam interaksi telah
diberi makna oleh manusia, diciptakan oleh manusia, dan dirubah oleh manusia
pula.
2.6.8 Pentingnya Sebuah Simbol
Menurut Rose (1974:139), simbol adalah suatu rangsangan yang
mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan repons manusia
terhadap simbol adlah pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian
stimulasi fisik dari alat indranya. Sedangkan makna menurut Shibutani (1961:98):
“Makna pertama-tama merupakan property perilaku dan kedua
merupakan property objek. Jadi, semua objek simbolik menyarankan
suatu rencana tindakan (plan of action)dan bahwa alasan untuk
berperilaku dengan suatu cara tertentu tehadap suatu objek antara lain
diisyaratkan oelh objek tertentu.”
57
Suatu simbol disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu
membangkitkan pada individu yang menyampaikannya yang sama seperti yang
juga akan muncul pada individu yang dituju. Mead (1934), membedakan simbol
signifikan (significant symbols) yang merupakan bagian dari dunia makna
manusia dengan tand alamiah (natural signs) yang merupakan bagian dari dunia
fisik. Yang pertama digunakan dengan sengaja sebagai sarana komunikasi, yang
kedua digunakan secara spontan dan tidak disengaja dalam proses stimuli.
Makna tanda alamiah yang dikutip dalam Mulyana (2001:82) merupakan
bagian dari hukum (hubungan sebab akibat) alam. Akan tetapi makna simbol
secara sembarang dipilih berdasarkan kesepakatan yang tidak memiliki hubungan
kausal dengan apa yang direpresentasikannya. Ketika berinteraksi, manusia
mempunyai cara yang berbeda. Konkretnya, manusia merespons tidak hanya
tindakan orang lain, melainkan juga makan, motif, dan maksud tindakan tersebut.
Dengan begitu manusia harus mendefinisikan apa makna tindakan yang
dihadapinya.
Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan kita sebagai manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari komunikasi. Komunikasi bukan
hanya bagi mereka yang memiliki kesempurnaan fisik (indrawi), tapi bagi mereka
yang tidak sempurna pun bisa berkomunikasi. Terlebih lagi didukung oleh
prkembangan jaman yang semakin canggih maka segala sesuatunya bisa lebih
mudah. Namun selain perkembangan yang positif, ada juga negatifnya yaitu
58
terjadinya kesalahpahaman dalam mengartikan bentuk komunikasi yang
disebabkan oleh keberagaman bentuk komunikasi.
Komunikasi secara singkat adalah berbicara satu sama lain menggunakan
kata-kata, gambar maupun gerak tubuh. Seiring dengan perkembangan jaman,
bentukkomunikasi pun turut berkembang dan masyarakat pun semakin kritis
dalam memaknai suatu bentuk komunikasi. Kebebasan dalam memaknai itu
menimbulkan arti yang berbeda terhadap pesan yang dimaksud.
Kesalahan dalam memaknai bisa terjadi jika tidak adanya kesamaan
persepsi terhadap pesan yang disampaikan. Ini sering kali terjadi pada bentuk
komunikasi yang hanya berupa gambar, salah satunya adalah komunikasi seni
dimana cara berkomunikasi cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni
serta cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi (Fiske dalam
Ibrahim, 2004:9)
Kemunculan situs jejaring sosial ini diawali dari adanya inisiatif untuk
menghubungkan orang-orang dari seluruh belahan dunia. Situs jejaring sosial
pertama, yaitu Sixdegrees.com mulai muncul pada tahun 1997. Situs ini memiliki
aplikasi untuk membuat profil, menambah teman, dan mengirim pesan. Tahun
1999 dan 2000, muncul situs sosial Lunarstorm, Live Journal, Cyword yang
berfungsi memperluas informasi secara searah. Tahun 2001, muncul Ryze.com
yang berperan untuk memperbesar jejaring bisnis. Tahun 2002, muncul Friendster
sebagai situs anak muda pertama yang semula disediakan untuk tempat pencarian
jodoh. Dalam keanjutannya, Friendster ini lebih diminati anak muda untuk saling
59
berkenalan dengan pengguna lain. Tahun 2003, muncul situs sosial interaktif lain
menyusul kemunculan Friendster, Flick R, You Tube, Myspace. Hingga akhir
tahun 2005, Friendster dan Myspace merupakan situs jejaring sosial yang paling
diminati.
Twitter, saat pertukaran informasi semakin meluas, siapa yang tidak
mengenal jejaring sosial bernama Twitter. Twitter adalah sebuah situs web yang
dimiliki dan dioperasikan oleh Twitter Inc., yang menawarkan jaringan sosial
berupa mikroblog sehingga memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan
membaca pesan yang disebut tweets. Tweets adalah teks tulisan hingga 140
karakter yang ditampilkan pada halaman profil pengguna. Tweets bisa dilihat
secara luar, namun pengirim dapat membatasi pengiriman pesan ke daftar temanteman mereka saja. Pengguna dapat melihat tweets penulis lain yang dikenal
dengan sebutan pengikut.
Dalam Twitter, banyak simbol dan istilah yang dapat digunakan untuk
memperkuat postingan mereka. Pengguna dapat menulis pesan berdasarkan topik
dengan menggunakan hashtags (#). Sedangkan untuk menyebutkan atau
membalas pesan dari pengguna lain bisa menggunakan tanda @ atau biasa disebut
mentions.
Mulai dari fitur sederhana sampai yang kompleks, Twitter memungkinkan
kita berkomunikasi dengan teman, keluarga, dan orang-orang yang kita inginkan.
Salah satu fitur yang rumit dari Twitter adalah hashtag (#) yang merupakan topik
yang diawali dengan simbol hash (#). Definisi: Simbol #, atau disebut hashtag,
60
digunakan untuk menandai kata kunci atau topik dalam Tweet. Diciptakan secara
organik oleh pengguna Twitter sebagai cara untuk mengkategorikan pesan.
Interaksi simbolik didasarkan premis-premis berikut. Pertama, individu
merespons suatu situasi simbolik, seperti merespons lingkungan, termasuk objek
fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia berdasarkan makna yang
dikandung komponen lingkungan tersebut. Ketika individu menghadapi situasi,
respons mereka tidak bersifat mekanis, tidak pula ditentukan oleh factor eksternal,
melainkan respons individu tergantung pada bagaimana mendefinisikan situasi
yang dihadapi dalam interaksi sosial. Pada intinya individu yang dipandang aktif
untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Kedua, makna adalah produk
interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek melainkan
dinegosisasikan
melalui
penggunaan
bahasa.
Ketiga,
makna
yang
diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan
perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial (Mulyana, 2006:71).
Menurut Mead, makna suatu simbol bukan cirri-ciri fisiknya, namun apa yang
dapat orang lakukan terhadap simbol itu. Makna pertama-tama merupakan property
perilaku dan kedua merupakan property objek. Semua objek simbolik menyarankan
suatu rencana tindakan dana alasan untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu
terhadap suatu objek lain diisyaratkan oleh objek tersebut (Mulyana, 2006:77).
61
2.7
Simbol Hashtag (#)
Simbol (#), disebut hashtag, digunakan untuk menandai kata kunci atau
topik dalam sebuah Tweet. Itu diciptakan secara organik oleh pengguna Twitter
sebagai cara untuk mengkategorikan pesan. Hashtag juga membantu tweople
menemukan Tweets menarik :
• Orang menggunakan simbol hashtag # sebelum kata kunci yang relevan di
Tweet mereka untuk mengkategorikan mereka Tweets untuk menunjukkan
lebih mudah dalam Pencarian Twitter.
• Mengklik pada sebuah kata dalam pesan apapun hashtag menampilkan
semua Tweets lain dalam kategori tersebut.
• Hashtags dapat terjadi di mana saja di Tweet.
• Kata-kata Hashtagged yang menjadi sangat populer sering Trending Topics.
https://support.twitter.com/articles/49309-what-are-hashtags-
(sumber:
symbols diambil 30 Oktober 2011)
2.7.1 Definisi Simbol Hashtag (#)
Jika sudah terbiasa dengan jejaring sosial Twitter, pasti sudah mengenal fitur
Hashtag-nya. Dari halaman support Twitter, peneliti mendapatkan pengertian hashtag
seperti berikut ini:
“The # symbol, called a hashtag, is used to mark keywords or topics
in a Tweet. It was created originically by Twitter users as a way to
categorize messages.?”
62
Simbol #, disebut hashtag, digunakan untuk menandai suatu kata kunci
tertentu dalam sebuah tweet. Simbol ini dibuat sendiri oleh pengguna Twitter
sebagai cara untuk mengkategorikan pesan.
2.7.2 Tujuan Penggunaan Simbol Hashtag (#)
Twitter tidak menyediakan cara bagi pengguna untuk mengkategorikan
tweets mereka atau posting. Karena ini, pengguna telah mengembangkan metode
tweets pengelompokan menurut subyek dengan hashtag (#).
Tujuan penggunaan hastag menurut sumber yang peneliti ambil dibagi
menjadi dua, yaitu:
1.
Untuk
membantu
menyortir
dan
mengatur
konten
berdasarkan topik pembicaraan.
2.
Untuk memberikan keterangan informasi terkait berbagai
hal, seperti emosi, kepribadian maupun nuansa dalam tweet yang
kita share kepada follower.
2.7.3 Fungsi Simbol Hashtag
Dengan menggunakan fitur ini, kita bisa menandai tweet kita dengan
menggunakan keyword tertentu. Penggunaannya sangatlah sederhana, yang perlu
dilakukan adalah memilih kata yang akan anda gunakan dan tempatkan tanda # didepan
kata tersebut. Contohnya:
63
“@antiliberalmove: Hadir yuk #Kajian bareng DR. @husainiadian
@INSISTS : Diskusi Buku Pluralisme Agama: Telaah Kritis
Cendekiawan Muslim pic.twitter.com/9ecpGOzdxs”
Dengan menggunakan tanda pagar (#) seperti itu, tweet anda akan muncul
saat orang lain melakukan pencarian dengan kata yang sama. Tak perlu takut saat
melakukan kesalahan penulisan seperti #Kode. Hashtag ini tidak case sensitive,
dengan kata lain, saat menuliskannya salah pun, tetap akan muncul dalam hasil
pencarian. Ada beberapa tanda baca yang tidak bisa digunakan dalam hashtag,
seperti titik (.), koma (,), apostrophe (?) dan beberapa tanda baca lainnya. Sejauh
ini peneliti hanya berhasil menggunakan underscore (_) dalam sebuah hashtag.
Selain itu, hasil pencarian pada Search Tags hanya pada tweet saja, hashtag yang
ada didalam comment tidak akan muncul dalam hasil pencarian.
Penggunaan hashtag (#) ini tidak berlaku surut, dengan kata lain, anda
tidak bisa melakukan pencarian hashtag (#) pada postingan lama anda sebelum
fitur ini diluncurkan. Hanya hashtag (#) pada tweet baru yang bisa anda cari pada
search tags dalam kurun waktu 45 hari. Selain itu, ada komunitas yaitu Koprol
juga meluncurkan fitur Hot Tags, dimana fungsinya sama dengan Trending Topic
di Twitter yang menampilkan hashtag (#) yang paling banyak digunakan oleh para
pengguna Twitter pada saat itu.
Menurut komunitas tersebut Hot Tags ini sangat berguna untuk
mengetahui apa yang sedang banyak dibicarakan. Untuk komunitas tertentu, akan
sangat berguna saat mereka mengadakan event. Komunitas-komunitas tersebut
dapat membuat judul dengan menggunakan hahtag (#) sebagai judul kegiatannya
64
dan digunakan oleh banyak anggotanya, bisa meningkatkan reputasi/nama dari
komunitas tersebut.
Kedua, objektivasi adalah proses dengan mana produk-produk aktivitas
manusia yang dieksternalisasi itu memperoleh sifat objektif. Dalam hal ini proses
dimana dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi. Proses pembiasaan merupakan langkah awal dari perkembangan
atau proses pembudayaan. Tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan
menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi dengan upaya sekecil
mungkin dan yang, karena itu, dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang
dimaksudkan itu. Pembiasaan selanjutnya berarti bahwa tindakan yang
bersangkutan bisa dilakukan kembali di masa mendatang dengan cara yang sama
dan dengan upaya yang sama ekonomisnya. Ini berlaku bagi aktivitas sosial
maupun yang non-sosial (Berger dan Luckmann 1990: 76).
Ketiga, internalisasi merupakan pemahaman atau penafsiran yang
langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna;
artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang
dengan demikian menjadi bermakna secara subjektif bagi diri sendiri. Untuk
mencapai taraf ini individu secara terus menerus berinteraksi dan bersosialisasi
dengan lingkungan sosial dan budayanya. Sosialisasi menurut Berger dan
Luckmann adalah pengimbasan individu secara komprehensif dan konsisten ke
dalam dunia objektif suatu masyarakat atau salah satu sektornya. Sosialisasi
terbagi menjadi dua yakni sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang
65
dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu dia menjadi anggota
masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengimbas
individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru dunia
objektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1991: 186-187).
66
Download