PENYAKIT AKAR PUTIH (Rigidoporus microporus) DAN MANAJEMEN PENGENDALIANNYA DI PERKEBUNAN KARET RINGKASAN Penyakit akar putih yang disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus merupakan penyakit penting di perkebunan karet di Indonesia. Penyakit ini mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar 3.3 triliun rupiah pertahunnnya. Daerah yang tinggi kejadian penyakit akar putih adalah sentra perkebunan karet di Riau, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Tingginya kejadian penyakit tersebut disebabkan oleh kondisi agroekosistem yang sesuai bagi perkembangan patogen, kurang baiknya penyiapan lahan tanam, kurang nya upaya pengobatan tanaman sakit, kurangnya pengetahuan dan kesadaran petani tentang penyakit, terbatasnya pendapatan dan kurang tersedianya sarana pengendalian penyakit. Pengendalian penyakit akar putih yang dianjurkan adalah cara pencegahan lebih diutamakan dari pengobatan tanaman Pencegahan penyakit meliputi pemusnahan/pengurangan sumber infeksi (pembongkaran tunggul/sisa akar dengan mekanis, percacunan tunggul, penggunaan jamur pelapuk tunggul, penanaman tumbuhan antagonis dan kacangan, dan penaburan belerang disekitar tunggul) dan perlindungan tanaman (fungisida belerang, kimiawi atau tumbuhan antagonis di pangkal akar tanaman). Pengobatan tanaman dilakukan dengan fungisida kimia dipadukan dengan tumbuhan antagonis untuk menghemat penggunaan fungisida. Pemantauan penyakit secara dini sangat dianjurkan untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan dan mengurangi resiko kematian tanaman. Kata kunci : karet, Rigidoporus microporus dan pengendalian PENDAHULUAN Di perkebunan karet terdapat beberapa jenis penyakit yang sering menimbulkan kerusakan yaitu penyakit akar, batang/cabang dan daun tanaman. Penyakit akar merupakan penyakit yang penting karena berakibat kepada kematian tanaman karet. Ada 5 jenis penyakit akar, tetapi penyakit akar putih yang disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus merupakan penyakit yang paling penting yang sering mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup berarti (Basuki. 1981; Situmorang dan Budiman. 2003). Penyakit akar putih dapat menimbulkan kerusakan di kebun entres, tanaman belum dan telah menghasilkan. Kerusakan berat oleh penyakit tersebut sering terjadi pada tanaman belum menghasilkan. Kematian tanaman oleh penyakit tersebut mengakibatkan rendahnya kerapatan pohon karet per hektar yang berpengaruh langsung terhadap menurunnya produktifitas kebun. Pada beberapa kebun yang terdapat di daerah rawan penyakit akar putih, kerapatan pohon per hektarnya mencapai 50-60 % sehingga terpaksa dilakukan peremajaan. Penyakit akar putih dapat menimbulkan kerusakan di semua wilayah perkebunan karet Indonesia. Tetapi keparahan penyakit yang ditimbulkannya berbeda antar wilayah tergantung kepada kondisi agroklimatnya terutama kondisi kebersihan kebun dari tunggul dan sisa akar, kondisi biokimia-fisik tanah, curah hujan dan topografi (Fox, 1977 dan Wijewantha, 1964). Selain itu keparahan penyakit berbeda di perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar. Perkebunan karet rakyat sering mengalami kerusakan yang lebih berat dibandingkan dengan perkebunan besar karena kurangnya upaya pengendaliannya. Pengendalian penyakit akar putih sulit dilakukan karena memerlukan pengetahuan, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Terbatasnya pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya penyakit akar putih, mahalnya biaya pengendalian serta terbatasnya pendapatan pekebun mengakibatkan upaya pengendalian tidak dilakukan. Akibatnya kerusakan atau kematian tanaman 1 makin meningkat setiap tahun. Oleh karena itu perlu disampaikan informasi tentang status, perkembangan penyakit akar putih dan upaya pengendaliannya seperti diuraikan dalam makalah ini. KERUGIAN EKONOMI Di perkebunan Indonesia, penyakit akar putih mengakibatkan kerugian finansil yang cukup besar baik oleh akibat kematian tanaman karet maupun akibat biaya pengendaliannya. Kerugian finansil akibat kematian tanaman diperkirakan sekitar Rp. 3.3 trilliun per tahun di dengan perincian Rp. 0.5 trilliun di perkebunan besar (negara swasta) dengan keparahan penyakit sebesar 3 % lebih dan Rp. 2.8 trilliun di perkebunan rakyat dengan keparahan penyakit sebesar 5 % lebih. Kehilangan finansil akibat kematian tanaman oleh penyakit akar putih cukup besar. Jika satu pohon karet mati, hal ini berarti akan kehilangan finansil per tahun Rp. 90.000 atau selama 20 tahun sebesar Rp. 1.800.000. Di perkebunan rakyat, keparahan penyakit akar putih adalah sebesar 5 % lebih sehingga nilai kehilangan finansil per hektar per tahun adalah sebesar Rp. 7.200.000 atau Rp 14.400.000 selama 20 tahun (Tabel 1). Tabel 1. Nilai finansil lateks yang dihasilkan oleh satu pohon karet per tahun Uraian Perhitungan 3 kg Produksi latek/tahun 20 tahun x 3 kg = 60 kg Produksi lateks 20 tahun Nilai finansil lateks per tahun 3 kg x Rp. 30.000 = Rp. 90.000 Nilai finansil lateks 20 tahun 60 kg x Rp. 30.000 = Rp. 1.800.000 Nilai finansil latek 1 ha 20 tahun 400 pohon x Rp. 1.800.000 = Rp. 720.000.000 Keparahan penyakit 5 %, nilai kerugian finansil 5 % x 400 pohon x Rp. 7.200.000 = Rp. 14.400.000 SEBARAN PENYAKIT Penyakit akar putih menyebar di wilayah perkebunan karet Indonesia. Penyakit ini dijumpai di dataran rendah dan tinggi dan di daerah beriklim basah dan kering dengan keparahan penyakit yang berbeda. Daerah yang sering mengalami serangan skala berat jamur akar putih adalah Riau, Jambi, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat; serangan skala sedang adalah di Nanggro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, sebagian Sumatera Selatan, sebagian Bengkulu dan sebagian Lampung, dan serangan skala ringan adalah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur (Tabel 2) (Pawirosoemardjo, et al, 1992; Situmorang, 2008). Tabel 2. Kondisi kerusakan oleh penyakit penting di sentra perkebunan karet Indonesia No 1 2 3 4 Propinsi Nangro Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau JAP ++ ++ +++ +++ 2 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur +++ ++ + + + + + +++ + ++ + Keterangan. +=ringan, ++=sedang, +++=berat FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGGINYA KEJADIAN PENYAKIT Kondisi Agroekosistem yang Sesuai Ada beberapa faktor agroekosistem yang mempengaruhi tinggi rendahnya kejadian penyakit di perkebunan karet (Tabel 3). Apabila terdapat beberapa faktor agroekosistem dalam kondisi optimal bagi perkembangan penyakit akan mengakibatkan tingginya kejadian penyakit. Di Indonesia kondisi optimal tersebut banyak dijumpai di beberapa sentra perkebunan karet seperti tersebut diatas. Tabel 3. Faktor agroekosistem yang mempengaruhi perkembangan penyakit akar putih Kerawanan terhadap penyakit akar Kurang Sedang Rawan Faktor yang mempengaruhi Asal lahan Semak alangalang Hutan sekunder Kebun karet/ Hutan primer Tekstur/ struktur tanah Keasaman tanah Kejenuhan air tanah (%) Curah hujan (mm/tahun) Topografi Liat/padat 3-4 < 50 < 2500 Berbukit Lempung/ sedang Pasir/ gembur 4-5 50-80 2500-4000 5-7 80-90 > 4000 Bergelombang Datar/ landai Sumber: Wijewantha, 1964; Fox, 1977; Basuki, 1981; Peries dan Liyanage, 1983 Kondisi Asal dan Penyapan Lahan Asal lahan pertanaman karet mempengaruhi perkembangan penyakit akar putih (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh asal lahan terhadap perkembangan penyakit akar putih. No 1. Asal lahan pertanaman sebagai sumber infeksi Bekas kebun karet tanpa pembongkaran tunggul 3 Umur tanaman (tahun) Kematian tanaman (%) 2 10 8 18 2. 3. Bekas kebun karet dengan pembongkaran tunggul Bekas kebun karet dengan tunggul ditumpuk di gawangan 4. Bekas hutan primer tanpa pembongkaran tunggul 5. 6. Bekas hutan sekunder tanpa pembongkaran tunggul Bekas semak-alang-alang 12 <1 3 8 13 17 12 14 5 9 25-30 35-40 <1 0 Sumber : Situmorang, 2004 Kebun bertunggul yang berasal dari bekas kebun karet tua dan hutan primer akan mendapat serangan berat jamur akar putih (Fox, 1977; Basuki, 1981). Tunggul sebagai sumber infeksi dan energi jamur di bekas kebun karet dan hutan primer akan membantu perkembangan penyakit akar putih lebih cepat. Rongga-rongga bekas akar tunggul dalam tanah akan membantu pergerakan jamur dalam tanah sehingga mempercepat terjadinya infeksi dan penyebaran patogen. Penyapan lahan mempengaruhi perkembangan penyakit akar putih. Penyiapan lahan yang kurang baik akan mengakibatkan tingginya kejadian penyakit. akar putih (Tabel 5). Tabel 5. Kondisi penyiapan lahan dan perkiraan keparahan penyakit akar putih di perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar Indonesia Uraian No 1 2 Persentase Keparahan dari total areal penyakit Perkebunan rakyat Tunggul tidak dibongkar, areal dibakar, tanpa dan dengan tanaman sela 90 Berat Tunggul dibongkar secara mekanis, tanah diolah dan tanpa tanaman sela 10 Ringan Perkebunan besar Tunggul dibongkar secara mekanis dan disingkirkan. Lahan diolah dan ditanam tanaman kacangan penutup tanah 70 Ringan Tunggul dibongkar secara mekanis dan disusun berbaris pada areal. Lahan diolah dan ditanam tanaman kacangan penutup tanah 20 Sedang Tunggul tidak dibongkar secara mekanis dan dibakar. Lahan tidak diolah dan ditanam dengan atau tanpa tanaman kacangan penutup tanah 10 Berat Penyapan lahan di sebagian besar perkebunan karet rakyat dilakukan kurang baik. Penyapan lahan pada umumnya dilakukan dengan cara tebas dan tebang kemudian dibakar. Tunggul tanaman sebagai sumber infeksi penyakit akar putih dibiarkan sehingga kejadian penyakit menjadi tinggi. Sebaliknya di perkebunan besar penyiapan lahan dilakukan dengan baik. Tunggul dan sisa akar disingkirkan dengan cara mekanis atau dibakar. Tetapi akhir-akhir ini dilarang pembakaran dalam penyiapan lahan kebun 4 sehingga para pekebun menempatkan tunggul dalam lajur pada areal. Tunggul ini menjadi sumber infeksi penyakit pada areal pertanaman. Kondisi Sosial Ekonomi Petani dan Sarana Pertanian Tingginya kejadian penyakit akar putih di perkebunan rakyat berhubungan dengan faktor sosial ekonomi petani dan sarana pertanian. Faktor ini pada umumnya meliputi; (1) masih rendahnya pengetahuan petani tentang penyakit akar putih dan pengendaliannya (2) rendahnya kesadaran petani tentang nilai kehilangan finansil akibat kerusakan oleh penyakit tersebut dengan anggapan bahwa nilai kerugian beberapa pohon rusak akibat penyakit tersebut tidak seberapa, (3) terbatasnya pendapatan sebagian petani untuk membiayai pencegahan dan pengobatan tanaman, (4) kurang tersedianya fungisida seperti belerang dan Bayleton, Danvil atau Anvil di toko/kios pertanian pada sentra perkebunan karet rakyat. Kesemuanya ini mengakibatkan petani tidak melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan apapun terhadap tanaman karetnya yang terkena penyakit tersebut. Akibatnya serangan jamur akar putih pada kebun karetnya lambat laun makin meningkat setiap tahunnya. Di perkebunan besar, tanaman terserang jamur akar putih pada masa tanaman belum menghasilkan masih jarang ditemukan karena penyiapan lahan dilakukan dengan baik, tunggul dan sisa akar sebagai sumber infeksi disingkirkan. Akan tetapi pada masa tanaman menghasilkan, tanaman terserang tersebut makin banyak dijumpai karena pengobatannya jarang dilakukan dengan alasan biayanya mahal. Akibatnya banyak dijumpai hiaten atau areal kosong ditengah kebun. MANAJEMEN PENGENDALIAN PENYAKIT Pengendalian penyakit tanaman pada umumnya di Indonesia berpedoman pada prinsip: ”pencegahan lebih baik daripada pengobatan”. Pencegahan pada awalnya tampak sulit dan mahal tetapi pada akhirnya akan menjadi lebih murah dan memberikan keuntungan. Sebaliknya pengobatan tampak lebih murah pada awalnya tetapi pada akhirnya menjadi lebih mahal dan sering mengakibatkan kerugian berupa kematian tanaman jika cara pengobatannya tidak tepat. Pencegahan penyakit Pencegahan penyakit dilakukan dengan cara pemusnahan sumber infeksi yaitu tunggul dan sisa akar, dan perlindungan akar utama dari infeksi patogen. Pemusnahan/pengurangan sumber infeksi : tunggul dan sisa akar Cara pengendalian penyakit akar putih yang paling efektif adalah mengurang atau memusnahkan sumber infeksi jamur berupa tunggul dan/atau sisa-sisa akar tanaman pada waktu pembukaan lahan dengan cara berikut. Pembongkaran tunggul dan sisa akar Pembongkaran tunggul dan akar dilakukan dengan cara mekanis (dozer dan traktor) yang diikuti pengumpulan dan pembakaran akar-akar kecil pada saat pengolahan lahan. Di perkebunan besar, karena adanya larangan pembakaran, tunggul dan sisa akar ditumpuk pada jalur dalam areal kebun dengan resiko akan menjadi sumber infeksi patogen sehingga perlu dianjurkan pengamatan intensif penyakit dekat tumpukan tunggul. Di perkebunan rakyat, pembongkaran tunggul dan sisa akar jarang dilakukan karena biayanya cukup mahal, biasanya terbatas hanya dilakukan pada proyek pembangunan perkebunan rakyat binaan pemerintah. Peracunan tunggul. Penggunaan racun tunggul dimaksudkan untuk mempercepat pelapukan tunggul sehingga kurang dari 2 tahun tunggul tempat hidup jamur akar putih telah menjadi hancur. Racun tunggul yang digunakan adalah Garlon 480 EC atau Tordon 101 (Komisi Pestisida. 1996; Situmorang dan Budiman, 2003). Racun tunggul dioleskan di sekeliling tunggul setelah kulit dikelupas selebar 20 cm dan segera setelah tebang pohon. Di perkebunan besar, peracunan tunggul biasanya dilakukan pada areal berbukit atau lereng yang tidak dapat dijangkau oleh traktor. Di perkebunan 5 rakyat pada umumnya belum mengenal peracunan tunggul ini. Peracunan tunggul hanya terbatas digunakan pada proyek pembangunan perkebunan rakyat binaan pemerintah. Pemberdayaan jamur pelapuk tunggul. Jamur pelapuk kayu Coriolus versicolor merupakan jamur yang paling dominan berkembang pada tunggul karet. Jamur pelapuk pelapuk kayu ini dapat diberdayakan untuk mempercepat pelapukan tunggul karet sehingga mengurangi ketersediaan media tempat hidup jamur akar putih. Cara pemberdayaannya adalah dengan menebang/memotong pendek pohon karet yiaitu sekitar 5-10 cm diatas permukaan tanah kemudian diikuti dengan pembakaran tunggul secara ringan dengan cabang/ranting kayu sehingga hanya mematikan bagian kulit. Cara ini akan mengundang masuknya jamur pelapuk tersebut pada tunggul. Untuk memacu percepatan pelapukan tunggul, jamur pelapuk dapat diinokulasikan dengan menempatkannya diatas tunggul kemudian ditutup dengan tanah atau serasah. Inokulasi dilakukan pada musim hujan dan jamur pelapuk dapat diambil dari tunggul lama. Pemberdayaan tumbuhan antagonis. Beberapa tumbuhan antagonis seperti laos, kunyit, garut dan lidah mertua dapat diberdayakan untuk mengurangi sumber infeksi pada tunggul dan sisa akar. Tumbuhan ini dapat mengeluarkan bahan kimia antibiotik untuk jamur akar putih di sekitar perakaran sehingga akan menekan perkembangan jamur yang hidup pada tunggul. Tumbuhan antagonis tersebut ditanam 10-12 pokok di sekeliling pangkal tunggul pada saat musim hujan setelah lahan dibersihkan. Penanaman tanaman kacangan. Tanaman kacangan ini selain berfungsi sebagai penutup tanah mencegah erosi dan menyuburkan tanamn tetapi juga berguna untuk meningkatkan aktifitas mikrobia saprofitik sehingga akan mempercepat pelapukan tunggul dan sebagian menjadi antagonis terhadap jamur akar putih (Newsam, 1963). Tanaman kacangan penutup tanah yang digunakan adalah Pueraria javanica, Centrosema pubescens, Calopogonium mucunoides dan Mucuna sp. Di perkebunan besar penanaman tanaman kacangan ini umum dilakukan tetapi jarang di perkebunan karet rakyat. Penaburan belerang. Belerang dapat dianjurkan untuk menekan perkembangan jamur akar putih terutama pada tunggul disekitar hiaten-hiaten (pulau kosong) atau dekat tanaman sakit atau terserang sebelumnya. Belerang ditaburkan sekitar 150-200 g disekeliling tunggul tiap tahun dengan 23 kali ulangan aplikasi. Teknik pemusnahan/pengurangan sumber infeksi terpadu. Cara pemusnahan/pengurangan sumber infeksi jamur akar putih seperti disebutkan diatas dapat dipadukan untuk lebih memperkecil sumber infeksi jamur tersebut. Peracunan tunggul dapat dikombinasikan dengan inokulasi buatan jamur pelapuk dan penanaman \tumbuhan antagonis disekeliling pangkal tunggul karet. Atau penaburan belerang dipadukan dengan penanaman tumbuhan antagonis di sekeliling tunggul karet. Perlindungan tanaman. Upaya perlindungan tanaman terhadap infeksi jamur akar putih masih jarang dilakukan. Di perkebunan rakyat hanya terbatas dilakukan pada proyek pembangunan karet binaan pemerintah dan petani maju. Sedangkan, di perkebunan besar perlindungan tanaman hanya dilakukan pada areal pertanaman bertunggul atau areal berlereng karena pada umumnya penyiapan lahan dilakukan dengan baik. Penggunaan belerang/fungisida lain. Dalam upaya perlidungan tanaman digunakan fungisida/biofungisida. Fungisida yang dianjurkan adalah belerang, Bayfidan 3 G dan Triko P+. Belerang (100-200 g/pohon) ditaburkan di sekeliling tanaman sampai 20-100 cm dari leher akar setiap tahun selama 5 tahun pertama setelah tanam (Basuki 1986; Soepena dan Nasution 1986). Bayfidan 3 G dan Triko P+ diaplikasikan pada pangkal batang mulai umur 3 bulan dengan selang aplikasi 6 bulan sekali pada tanaman belum menghasilkan (Situmorang dan Budiman, 1990; Sujatno dan Pawirosoemardjo, 2001). 6 Penggunaan tumbuhan antagonis. Tumbuhan antagonis tersebut mengeluarkan zat antibiotik dari perakarannya yang dapat menekan perkembangan penyakit akar putih. Tumbuhan ini akan memberikan perlindungan terhadap tanaman dari serangan akar putih dalam jangka panjang. Tumbuhan antagonis yang dapat digunakan adalah kunyit, lidah mertua dan laos. Kunyit, laos dan atau lidah mertua (3-4 pokok/tanaman karet) ditanam disekeliling pangkal batang tanaman karet pada umur 3 bulan. Kunyit sebaiknya dikombinasikan dengan lidah mertua sedangkan laos tidak perlu. (Situmorang dan Suryaningthyas, 2003). Tumbuhan antagonis dapat digunakan untuk perlindungan tanaman sehat tetangga dekat tanaman sakit baik pada tanaman belum menghasilkan maupun telah menghasilkan. Tumbuhan antagonis yang terbaik untuk tujuan ini adalah lidah mertua pedangan (besar). Tumbuhan ini mampu tumbuh dalam kondisi bersaing dengan akar tanaman karet dan kondisi terlindung. Banyaknya tumbuhan yang ditanam per tanamanan karet adalah 4-6 pokok pada tanaman belum menghasilkan dan 8-10 pokok pada tanaman menghasilkan. Monitoring Monitoring atau pemantauan atau pengamatan perkembangan penyakit merupakan komponen yang penting dalam pengendalian penyakit. Tujuan utama monitoring penyakit adalah menemukan tanaman yang terserang dini untuk segera dilakukan tindakan pengobatan. Tanaman yang terserang dini lebih mudah dan cepat disembuhkan dengan resiko kematian yang kecil. Penyembuhan yang lebih cepat dari tanaman sakit akan memperkecil kemungkinan penularan penyakit ke tanaman lainnya. Serangan dini jamur akar putih ditunjukkan dengan adanya miselia atau rizomorf pada perakaran tanaman tetapi gejala pada tajuk tanaman belum tampak. Dalam stadia ini jamur akar putih hanya menempel di permukaan akar tetapi belum mengakibatkan kerusakan/pembusukan pada bagian kulit atau kayu. Jika pembusukan/kerusakan telah terjadi pada kulit atau kayu, terlihat daun tajuk akan memucat atau menguning, hal ini menunjukkan tingkat serangan telah berlanjut. Dalam kondisi serangan lanjut seperti ini tindakan pengobatan telah terlambat dan resiko kematian tanaman lebih besar. Oleh karena itu pada areal bertunggul pengamatan serangan dini dengan pemeriksaan perakaran terutama pada tanaman muda sangat dianjurkan (Lim, 1978; Basuki,1981; Situmorang dan Budiman, 1990). Tetapi pada areal yang bersih tunggul dan sisa akar pengamatan serangan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan gejala secara menyeluruh pada tanaman untuk menentukan titik awal infeksi. Apabila terdapat < 1 % tanaman terinfeksi maka pengamatan secara intensif dengan pemeriksaaan perakaran tanaman dilakukan secara keseluruhan tanaman terutama tanaman tetangga yang telah terinfeksi. Pengamatan serangan dini dilakukan mulai pada umur 6 bulan setelah tanam dengan selang waktu 3 bulan sekali selama musim hujan atau minimal 6 bulan sekali pada awal dan akhir musim hujan. Pemeriksaan dilakukan pada keseluruhan tanaman dengan mengerok tanah sedalam 2-10 cm di sekitar pangkal akar. Miselia atau rizomorf akan terlihat pada permukaan perakaran tanaman yang terserang (RRIM, 1974; Lim, 1978; Basuki,1981; Situmorang dan Budiman, 2003). Pengamatan serangan secara intensif juga dilakukan pada tanaman tetangga yang telah ataupun belum diobati dan pada seluruh tanaman di sekitar hiaten. Pada tanaman muda pengamatan intensif dilakukan pada tanaman pertama dekat tanaman terinfeksi sedangkan pada tanaman dewasa dilakukan sampai tanaman ke dua dari tanaman yang telah menunjukkan gejala pada tajuk atau telah terserang lanjut. 7 Pengobatan tanaman sakit Pengobatan tanaman sakit oleh jamur akar putih masih relatif kurang dilakukan khususnya di perkebunan karet rakyat karena alasan biayanya terlalu mahal. Waktu pengobatan tanaman sakit sering dilakukan terlambat yaitu pada waktu serangan lanjut sehingga mengakibatkan rendahnya keberhasilan penyembuhan. Pengobatan tanaman sakit dapat dilakukan dengan penggunaan fungisida/biofungisida atau dengan tumbuhan antagonis. Beberapa fungisida/biofungisida dan tumbuhan antagonis yang dianjurkan dalam pengendalian penyakit akar putih tercantum dalam Tabel 6. Aplikasinya dilakukan dengan cara pengolesan, penyiraman dan penaburan pada perakaran 6 bulan sekali. Tabel 6. Jenis bahan yang digunakan dalam pengobatan dan selang waktu aplikasinya. No 1. Uraian Fungisida kimia a. Pengolesan b. Penyiraman c. Penaburan 2. 3. Mikrobia Tumbuhan antagonis Jenis bahan Calixin CP, Ingro Pasta 20 PA dan Shell CP Anvil 50 SC, Danvil Bayfidan 250 EC dan Bayleton 250 EC Bayfidan 3 G Belerang Triko SP+ Kunyit, lidah mertua dan laos Selang waktu aplikasi (bulan) 6 6 10 6 12 6 Satu kali aplikasi Sumber : Basuki, 1986; Bayer, 1988; Komisi Pestisida. 1996; Situmorang dan Husen, 2002; Situmorang dan Suryaningthyas, 2003. Penggunaan fungisida dapat dipadukan dengan penanaman tumbuhan antagonis dalam pengobatan tanaman sakit. Hal ini akan menghemat penggunaan fungisida dari 3-4 kali menjadi 1-2 kali aplikasi. Tumbuhan antagonis tanpa dipadukan dengan fungisida kurang efektif karena karena tumbuhan tersebut memerlukan waktu untuk tumbuh dan memperbanyak diri agar menjadi efektif. Aplikasi fungisida dan tumbuhan antagonis sebaiknya dilakukan pada waktu yang sama. Tumbuhan antagonis yang baik digunakan adalah lidah mertua pedangan. Pengobatan (dengan fungisida dan atau tumbuhan antagonis) harus dilanjutkan pada tanaman tetangga 1-2 pohon dari pohon sakit karena diduga telah terjadi infeksi melalui kontak akar samping tetapi belum sampai menginfeksi akar tunggangnya. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penyakit akar putih yang disebabkan R. microporus mengakibatkan kerugian ekonomis 3 trillin pertahun yang cukup berarti. Sedikitnya 3-5 % perkebunan karet Indonesia mengalami kerusakan berat oleh penyakit akar putih dengan nilai kerugian finansil sekitar 8 triliun rupiah setiap tahun. Keparahan penyakit akar putih lebih tinggi di perkebunan besar dibandingkan dengan di perkebunan besar. 2. Daerah yang tinggi kejadian penyakit akar putih adalah sentra perkebunan karet di daerah Riau, Jambi, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Faktor yang menyebabkan tingginya kejadian penyakit tersebut adalah kondisi agroekosistem yang sesuai terhadap perkembangan patogen, 8 kurang baiknya penyiapan lahan tanam, terbatasnya pengobatan dilakukan, dan kondisi sosial ekonomi petani dan terbatasnya sarana pengendalian penyakit. 3. Pengendalian penyakit akar putih yang dianjurkan adalah cara pencegahan lebih diutamakan dari pengobatan tanaman Pencegahan penyakit meliputi pemusnahan/pengurangan sumber infeksi (pembongkaran tunggul/sisa akar dengan mekanis, percacunan tunggul, penggunaan jamur pelapuk tunggul, penanaman tumbuhan antagonis dan kacangan, dan penaburan belerang disekitar tunggul) dan perlindungan tanaman (fungisida belerang, kimiawi atau tumbuhan antagonis di pangkal akar tanaman). Pengobatan tanaman dilakukan dengan fungisida kimia dipadukan dengan tumbuhan antagonis untuk menghemat penggunaan fungisida. 4. Monitoring atau pemantauan penyakit secara dini sangat dianjurkan untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan dan mengurangi resiko kematian tanaman. 9 DAFTAR PUSTAKA Basuki. 1981. Penyakit Akar Putih. Berk. Penel. PPPP. Tanjung Morawa, 8,18-33. Basuki. 1986. Pengaruh belerang dalam pengendalian biologis penyakit jamur akar putih pada karet. Konferensi Nasional Karet Medan 1986. Vol.II. BPP Sei Putih, hal. 413-445. Bayer, 1988. White root disease of rubber, a simplified treatment technique. Agricultural Bulletin, Bayer Inform, 2p. Fox RA. 1977. The impact of ecological cultural and biological factors on the strategy and cost of controlling root diseases in tropical plantation crops as exemplified by Hevea brasiliensis. J. Rubb. Res. Inst. Sri Lanka 54 (2):329-362.Fox, R.A. 1966. White root diseases of Hevea brasiliensis, collaprotectant dressings. Jl. Rubb. Res. Inst. Malaya, 19(4):231-241. Komisi Pestisida. 1996. Pestisida untuk bidang perkebunan. Deptan.Koperasi Daya Guna. 279 hal. Lim, T.M. 1978. Control of root diseases. RRIM Short Course Crop Protection in Rubber Plantations, November 20-25 ,1978, Kuala Lumpur. p.15-23. Newsam A. 1986. Root disease of Hevea. Q. J. Rubb. Res. Inst. Ceylon, 42 (3-4) 48-52. Pawirosoemardjo S, Soepena H dan Situmorang A. 1992. Sebaran penyakit utama tanaman karet di Indonesia. Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet, Medan 7-0 Desember 1992. PPP Sungai Putih dan PPP Tanjung Morawa. hal 4. Peries OS. and Liyanage LIS. 1983. The use of sulpfur for the control of white root disease caused by Rigidoporus lignosus. J. Rubb. Res. Inst. Sri Lanka 61:35-40. Rubber Research Institute of Malaya (RRIM). 1974. Part 1 : Detection and Recognition. Part 2. Control. Pltr’s Bull. Rubb. Res. Inst. Malaya. 133:111-120; 134:157-164. Situmorang A dan Budiman A. 1990. Beberapa metode aplikasi fungisida dalam pengendalian penyakit akar putih (Rigiporus microporus) pada tanaman karet. Prosiding Konferensi Nasional Karet 1990, Palembang Indoensia, Puslitbun Sembawa Buku II, hal. 383-394. Situmorang A dan Budiman A. 2003. Penyakit tanaman karet dan pengendaliannya. Balit Sembawa Pusat Penelitian Karet. Situmorang A dan Husen D. 2002. Pengujian lamanya efektivitas “long lasting effect “ fungisida Bayleton 250 EC, Bayfidan 250 EC dan Anvil 50 SC terhadap penyakit akar putih (Rigidoporus microporus) pada tanaman karet menghasilkan. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet. 8 hal. Situmorang A. dan Suryaningtyas H. 2003. Pemanfaatan tumbuhan antagonisme dalam pengendalian penyakit akar putih pada karet. Balai Penelitian Sembawa (belum dipublikasikan). Laporan akhir tahun 2003. hal. 27-40. Situmorang A. 2004. Status dan manajemen pengendalian penyakit akar putih di perkebunan karet. Pertemuan Teknis ”Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk Mempertahankan Potensi Produksi Mendukung Industri Perkaretan Indonesia Tahun 2020” di Palembang, 6-7 Oktober 2004. Balit Sembawa. 20 hal. Soepena H dan Nasution MZ. 1986. Pengaruh belerang pada intensitas serangan jamur akar putih. Prosiding Konferensi Nasional Karet, Medan 1986. Vol. II, 15 hal. Sujatno dan Pawirosoemardjo S. 2001. Pengenalan dan teknik pengendalian penyakit akar putih pada tanaman karet secara terpadu. Warta Puslit Karet 20 (1-3):64-75. 10 Wijewantha RT. 1964. Influence of environment on incidence of Fomes lignosus in rubber replantations in Ceylon. Tropical Agriculture 44(1):56-63. 11