BAB IV HASIL PENELITIAN A. Sejarah Perkembangan Agama Kristen 1. Awal Kristenisasi di Nusantara Kekristenan sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 tetapi tidak bertahan lama. Kedatangan bangsa barat khususnya Portugis dan Spanyol pada abad ke-16 membawa babakan baru penyebaran agama Kristen di Indonesia. Awal kekristenan yang masuk ke Indonesia adalah kekristenan Katolik, dengan sistim dukungan dari pemerintah (padroado) Kerajaan Spanyol dan Portugis, kekristenan disebarkan mengikuti jalur perdagangan di Asia dari India, Malaka, Maluku, Macao, sampai ke Jepang. Pada tahun 1551, Malaka yang merupakan bandar dagang utama pada jalur pelayaran ke Maluku ditaklukkan oleh Portugis yang otomatis Maluku dengan mudah ditaklukkan juga. Ketika perdagangan dikuasai Portugis maka dengan leluasa Portugis juga bisa menyebarkan agama Kristen Katolik di Maluku. Pada abad tersebut peta agama di Indonesia mengalami perubahan. Kerajaan-kerajaan Hindu runtuh digantikan oleh kesultanan-kesultanan Islam di berbagai tempat. Mulai masuknya Portugis dan Spanyol ke Indonesia merubah kembali peta agama. Dalam penyebaran agama tersebut, peranan para iman dari ordo Fransiskan dan ordo Yesuit sangat penting. Mereka mengkristenkan lebih serius daripada pendahulunya pada abad ke-7 yang mengutamakan 22 kepentingan politik dan perdagangan. Dari ordo Yesuit muncul tokoh Franciscus Xaverius yang berhasil banyak mengkristenkan orang Maluku dengan metode pengkristenan masal, pembinaan, pelayanan Diakonia dan pergaulan yang akrab dengan penduduk. Xaverius berhasil membaptis beriburibu orang. Xaverius menerjemahkan doa, Pengakuan Rasuli dan Sepuluh Hukum dalam bahasa daerah, lalu ia mulai mengelilingi desa dan membunyikan lonceng untuk mengumpulkan semua penduduk. Xaverius mengajarkan membuat tanda Salib, Berdoa dan menghafalkan Iman Rasuli sebaris demi sebaris, bila sudah menghafalnya mereka mengaku dosa dan dibaptiskan. Pada awal abad ke-16 jumlah penduduk yang dikristenkan sebanyak kurang lebih 16.000 yang menyebar di daerah Maluku, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara. Orang-orang yang masuk Katolik dan bermukim di sekitar benteng masuk dalam lingkungan kehidupan barat sedangkan yang tetap dalam lingkungan masyarakatnya memasuki proses pengembangan kekristenan Katolik dengan campuran kepercayaan pra-Kristen Katolik. Percampuran tersebut malah membuat kebal terhadap pengaruh agama Islam (Zakaria J. Ngelow, 1994: 12) Pada tahun 1570 Sultan Hairun dari Ternate dibunuh dalam benteng Portugis sehingga menimbulkan gejolak di pihak orang Islam. Banyak kampung Kristen yang dibakar, serangan terhadap orang Kristen semakin hebat sehigga menyebabkan banyak orang Kristen yang ketakutan dan murtad. Kehidupan rohani semakin mundur, banyak para misionaris yang dibenci dan 23 jumlah orang Kristen semakin berkurang. Inilah tanda-tanda kemerosotan pengaruh Katolik Roma di tambah dengan kedatangan bangsa Belanda pada abad XVII masuk ke Indonesia yang ingin menguasai perdagangan rempahrempah. Permulaan tahun 1605 kapal-kapal Belanda di bawah pemerintah Steven van der Hagen berlabuh di teluk Ambon dan berhasil menghalau Portugis dari Indonesia. Kemenangan tersebut diikuti dengan pengalihan jemaat-jemaat Katolik menjadi jemaat Kristen Protestan (Thomas van den, 1980: 66) kecuali pada beberapa tempat yang tidak mempunyai nilai ekonomis seperti di Nusa Tenggara. Ketika berhasil diambil alih Belanda dari Portugis, orang Kristen berjumlah kira-kira 16.000 tetapi menjadi 33.000 orang pada tahun 1700. Kekristenan Belanda mementingkan urusan dibawah VOC perdagangan sangatlah daripada buruk mengurus karena jemaat hanya dan menyebarkan agama Kristen. Ketika pusat kekuasaan Belanda berada di Jawa terjadi juga Kristenisasi, tetapi hal tersebut tidak begitu berhasil karena sangat sedikit penginjilan yang terjadi pada masyarakat Jawa. Perhatian itu berhubungan dengan pembatasan-pembatasan pemerintah kolonial yang demi keamanan dan ketertiban melarang melakukan penginjilan di pulau Jawa khususnya wilayahwilayah yang sudah memeluk agama Islam. Melalui pelayanan-pelayanan orang Kristen secara pribadi ke kalangan orang Jawa selanjutnya baru kemudian 24 perwakilan Zending dari situlah agama Kristen mulai disebarkan di Pulau Jawa (Zakaria J. Ngelow, 1994: 14) 2. Pekabaran Injil di Jawa Oleh Zending Latar belakang berdirinya Zending adalah termotivasinya ketika pada abad XVIII Inggris mengutus perorangan pendeta untuk mengabarkan Injil kepada orang yang belum mengenal agama Kristen dan Islam ke luar negeri, maka di Belanda terjadi hal yang serupa dengan alasan bahwa orang Belanda bertanggungjawab di hadapan Tuhan atas bangsa-bangsa yang tinggal di Indonesia dan merasa bahwa Injil tidak bisa ditunda-tunda lagi penyebarannya. Visi yang sederhana tersebut akhirnya berkembang dan pekabaran Injil harus diberitakan kepada siapa saja bukan hanya kepada orang-orang Belanda saja yang berada di Indonesia. Maka pada tanggal 21 Oktober 1847 didirikan di Amsterdam suatu Badan Doopgezind yang bertujuan untuk meningkatkan perkembangan pekabaran Injil di wilayah jajahan yang didukung oleh Hulp Genootschap (Komisi Bantuan) dari komisi Zending Baptis dari Inggris yang telah berdiri selama 25 tahun lebih awal. Karena komisi ini bekerja di luar Hindia Belanda maka lambat laun orang-orang Doopgezind Belanda kurang menaruh perhatian, maka dari itu orang-orang yang menjadi anggota komisi aliran ini yaitu, Prof. S. Miller, W. Cnoop Koopmans, J. slagregen dan A. de Haan Pz berkumpul membentuk badan yang berdiri sendiri. Maka dari sini 25 terbentuklah badan Zending Hindia Belanda yang melayani pekabaran Injil di daerah jajahan yaitu di Indonesia (Lawrence M. Yoder 1977: 7) a. Nederlandse Zendeling Genootschap (NZG) Badan Zending NZG didirikan 19 Desember 1797 di Rotterdam Belanda oleh orang-orang yang tergerak hatinya untuk melakukan penginjilan yang tidak terikat oleh aliran gereja manapun. Badan Zending ini berdiri dan mempunyai anggota dari berbagai denominasi gereja. Tujuan dari NZG sendiri adalah untuk menyampaikan Injil kepada orang yang belum mengenal Injil yang berada di tanah jajahan. Zendeling angkatan pertama ini bersifat pietisme yaitu melakukan penginjilan terhadap orang perorangan, merawatnya betul-betul dan tanpa mempunyai pikiran untuk merorganisir orang-orang tersebut menjadi satu gereja, tetapi Zending angkatan berikutnya membawa konsep pemikiran pasca pencerahan dan meninggalkan pietisme, oleh karena itu mereka lebih memilih pengajaran dalam bentuk kelompok. Mula-mula NZG mengirim tiga Zendeling, yaitu: J. Kam, J.C. Supper dan G. Bruckner ke Nusantara dengan pemerintahan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Oleh perintah Raffles, J. Kam dikirim ke Ambon, J.C. Supper ke Batavia sedangkan G. Bruckner ke Semarang. Hasil dari perjalanan pekabaran Injil bahwa G. Bruckner berhasil menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Jawa yang salah satu karyanya adalah Injil Markus. Sejak 26 NZG diijinkan penginjilan di Jawa, Zendeling Jelle Eeltjes Jellesma di tempatkan di Surabaya, sejak juli 1851 pindah ke Mojowarno bersatu dengan jemaat Kristen asuhan Kyai Tosari. Sejak itu NZG berkembang pesat dan menempatkan beberapa Zendeling, seperti: S.E. Harthoorn dan J. Kreemer (Malang), J. Kruyt (Mojowarno), C. Poensen (Kediri) yang membawa jemaat menuju kedewasaan iman. Zendeling W. Hoezoo ditempatkan di Semarang serta mengawasi kelompok di Kayuapu Kudus dan Ngalapan Pati yang akhirnya tumbuh sebagai sebuah penginjilan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Berbeda dengan di Surabaya yang dianggap berhasil, NZG Semarang berhenti ditengah jalan dan pada akhirnya jemaat Semarang dan Nyemoh diserahkan kepada Salatiga Zending, sedangkan Kayuapu dan Ngalapan diserahkan kepada Doopsgezinde Zendingsvereniging (DZV). b. Java Commite Java Commite didirikan di Amsterdam 24 maret 1855 yang merupakan bagian dari Vereeniging ter verbreiding der Waardheid dengan tokohnya J. Esser bekas seorang residen Timor dan pembentuk Het Genootschapvor In-en Uitwendige Zending (GIUS) di Batavia. Sama seperti NZG, badan inipun tidak bekerjasama dengan satu gereja tetapi dengan berbagai denominasi gereja serta pengaruh Pietenisme yang kuat juga masuk dalam bagian dari Java Commite. Awal sasaran penginjilan 27 Java Commite berada di daerah Batavia tetapi karena kurang berhasil maka dialihkan ke Madura. Penginjil pertama yang dikirim adalah Dr. J.P. esser yang memilih tinggal ditengah-tengah masyarakat Madura di desa Sumber-Bondowoso sejak 1880. Sejalan dengan di Batavia ternyata di Madura juga mengalami nasib yang sama, hanya satu orang yang menerima penginjilan serta mau di baptis, yaitu Ebing yang kemudian menjadi pembantunya Dr. J.P. Esser dalam pengajaran Injil. Zendeling berikutnya, seperti: H. Van Del Spiegel, H. Dekker, O. Deteckter, dan H.W. van den Berg bekerja di Bondowoso, Lumajang dan Jember. Dari hasil kerjasama dengan guru Injil Siroen dan Tartib Efraim jemaat pekabaran Injil adalah Java Commite disatukan dan akhirnya menjadi bagian dari Gereja Kristen Djawi Wetan. c. Doopsgezinde Zendingsvereniging (DZV) Doopsgezinde Zendingsvereniging merupakan kumpulan zending warga Gereja Doopsgezinde (Mennonite). DZV berpegang pada ajaran gereja tertentu yaitu ajaran Gereja Mennonite yang mempunyai ciri khas: tekstual, pembaptisan hanya kepada orang dewasa, menolak segala bentuk kekerasan, dan pemisahan yang tegas antara gereja dan Negara. Utusan Zendeling DZV adalah Pieter Jansz yang ditempatkan di Jepara. Pietisme juga mempengaruhi Zendeling DZV sehingga penginjilannya bersifat 28 individualistis, tidak hanya itu Pieter Jansz dan penerus-penerusnya juga antroposentrik yaitu menekankan pertobatan manusia untuk membuahkan kesusilaan yang nyata. Beberapa Zendeling lainnya ikut membantu, seperti: H.C. Klinkert (Jepara), N.D. Schuurman (Jepara), Pieter Antonie Jansz (Margorejo), Johan Hubert (Kedung Penjalin), Johan Gerald Fast (Kayuapu), Johann Klassen (Margorejo) dan H. Thieesen (Margorejo) mereka juga dibantu guru Injil, seperti: Pasrah Karsa, Semuel Sampir, Petrus, Ngangkah, Andreas Ngariman, Tresna Wiradiwangsa, dan penginjil-penginjil lainnya. Hasil pekerjaan mereka tumbuh desa Kristen di Kedungpenjalin, Margorejo, Margokerto, dan Pakis Suwawal. Pekerjaan Zending DZV melahirkan juga dua gereja di kawasan Muria yaitu Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) dan Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI). Bersamaan dengan pekerjaan Pieter Jansz, di kawasan sekitar Muria juga ada penginjil pribumi yang bernama Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang melakukan penginjilan di daerah Kayuapu Kudus, Ngalapan (Pati), Bangsal (Juwana), Bondo (Jepara), dan sekitarnya yang berkembang secara pesat dengan pengajaran yang berbeda dengan yang dilakukan oleh Zending. 29 d. Salatiga Zending Lembaga Zending ini sebenarnya bernama Die Waisen und Missionsantaalt zu Niukirchen yang didirikan pada tahun 1878 oleh Ds. L. Doll di Niurkirchen, Jerman. Ini muncul akibat adanya jemaat Nyemoh (Salatiga) hasil pekerjaan Ny. E. J. Le Jolle yang mendapat bantuan perawatan dari Zendeling W. Hoezoo yang merupakan seorang Zendeling dari Semarang dan J.Kruyt Zendeling dari Mojowarno. Sebenarnya yang bersedia membantu merawat kelompok Nyemoh adalah Zendeling R. de Boer dari jemaat Ermelo pada tahun 1869 tetapi karena penginjilannya berkembang sampai Tempuran Wonorejo, Kaliceret Kedungjati, dan Keceme Gundih, Purwodadi bahkan sampai Blora maka De Boer minta bantuan untuk menangani jemaat Nyemoh. Salatiga Zending juga bukan lembaga Gerejawi, penginjil utusannya juga dari berbagai Gereja, oleh karena itu Salatiga Zending disebut sebagai alliance mission. Seperti Zending lainnya Salatiga Zending juga dipengaruhi Pietisme, Antroposentrisme, dan Individualistik sehingga dalam pelayanannya mencakup di bidang pendidikan, medis, sosial dan ekonomi. Salatiga Zending menggarap kawasan Salatiga kearah timur sampai Blora, selain itu juga di penghujung abad ke-20 dengan bubarnya NGZV, Salatiga Zending mendapat limpahan jemaat dari Muaratua dan sekitarnya di Tegal bahkan di tahun 1933 menerima 30 gabungan jemaat Kyai Sadrach yang berada di kawasan Jawa Tengah Utara. Dari pekerjaan Zending inilah lahir Gereja Kristen Jawa Tengah Utara-Parepatan Agung (GKJTU-PA) e. Het Genootschap voor In-en Uitwendige Zending (GIUZ) GIUZ didirikan di Batavia pada tahun 1852 yang di prakarsai oleh Mr. F. L. Anthing, Ds. E.W. King, dan J. Esser yang prihatin kehidupan orang-orang yang berada di luar Gereja dan yang murtad dari Gereja. GIUZ berprinsip penginjilan kepada orang pribumi dengan menggunakan penginjil dari orang pribumi pula. Lewat penginjil-penginjil pribumi yang dididik seperti, Ibrahim Imam Sudjana, GIUZ berhasil membangun jemaat Kristen di Batavia. Jemaat ini dikenal dengan sebutan “Jemaat-jemaat Anthing”. Ruang lingkup penginjilannya mencakup Kampung Sawah, Pondok Melati, Gunung Putri, Cigelam, Cikuya, Tanah Tinggi, Cakung, dan Ciater. Selain itu mereka mengutus kelompok penginjil, seperti Johannes Vrede, Laban, Hebron Lilie, Jonathan Saridja, dan Leonard, ke Karisedenan Tegal dan Banyumas untuk tugas yang sama. f. Nederlandsche Gereformeerde Zendeingsvereeniging (NGZV) Nederlandsche Gereformeerde Zendeingsvereeniging terbentuk di Amsterdam pada 6 mei 1856. Seperti Zending lainnya sifat NGZV tidak terikat dengan satu denominasi Gereja saja, walaupun demikian NGZV 31 dengan mantap berpegang dengan ajaran Kristen Calvin. Atas petunjuk dari GIUZ dari Batavia, NGZV bekerja di daerah Tegal bekerjasama dengan GIUZ. A Vermeer sebagai Zendeling bekerjasama dengan penginjil pribumi yaitu dengan Johanes Vrede dan Laban. Hasil dari kerjasama ini berhasil membangun jemaat Muaratuwa yang dikenal sebagai De Inlandsche Christengemeente te Tegal pada 25 Januari 1883. Dengan alasan kesehatan Vermeer pindah ke Purbalingga, disini ternyata berbenturan dengaan ajaran Kyai Sadrach yang dianggap ajarannyya menyimpang. Akibat perselisihan itu umat Kristen di Banyumas, Bagelan, dan Tegal jumlahnya 6.374 diberikan pilihan untuk bergabung kepada siapa dan ternyata sebagian besar menyatakan ikut Kyai Sadrach dan hanya sekitar 150 orang yang menyatakan tetap bergabung dengan NGZV. Berdasarkan keputusan Sinode 1893 dari Gereja Gereformeerd Belanda menyatakan bahwa pekabaran Injil bukan lagi tugas Zending melainkan tugas Gereja, maka pada akhirnya NGZV diserahkan kepada Gereja Gereformeerd (Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland (ZGKN)) g. Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV) NZV didirikan di Amsterdam pada 2 Desember 1858 dan ditetapkan bekerja di daerah Pasundan. Badan ini didirikan atas dasar protes terhadap kuatnya pengaruh aliran modern dari NZG, maka dari itu 32 semangat NZV memelihara semangat pietisme dengan menekankan kesalehan dan spontanitas yang dianggap lebih penting daripada pengetahuan. Dengan demikian NZV lebih bersifat anthroposentrisme, yaitu membawa umat kepada pertobatan dan hidup kesusilaan yang baik. Beberapa Zendeling, seperti: D.J. van der Linden, C. Albers, A. Dijkstra, S. Coolsma di tempatkan di tanah Pasundan. Perlawanan yang kuat dari pihak Islam NZV dianggap gagal dalam penginjilannya. Setelah sepuluh tahun bekerja di Pasundan, berdirilah Gereja Kristen Pasundan (GKP) dengan warga jemaat 6.215 orang (S.H Soekotjo, 2009:106) B. Penginjilan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung 1. Riwayat Hidup Kyai Ibrahim Tunggul Wulung Tunggul Wulung merupakan salah seorang tokoh pemimpin dalam kekristenan Jawa pada tahun 1854-1885. Tokoh yang berkharisma ini berasal dari keluarga Pura Mangkunegaran Surakarta dengan nama kecilnya Raden Tanda, lengkapnya Raden Tandakusuma yang dilahirkan dari selir Raden Ngabehi Admodjodirdjo seorang Bupati Pura Mangkunegaran. Ketika dewasa, Raden Tandakusuma menjadi seorang Demang di kawasan Kediri dengan nama Raden Demang Padmadirja (wawancara dengan Pdt. Drie S. Brotosudarmo). Kyai Ibrahim Tunggul Wulung digambarkan dengan tubuh yang tinggi besar, ramping, wajah memukau, matanya “nggegirisi” hidung sangat 33 mancung, mempunyai janggut panjang yang diikat, serta mampu melihat batin orang (Harthoorn dalam Soekotjo, 2009:127). Sikapnya yang tegar ketika bertemu dengan penguasa dan tidak mau berjongkok menjelaskan bahwa dia berasal dari golongan priyayi. Keterlibatannya dengan Perang Jawa tahun 1925-1930 dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang pada akhirnya mengalami kekalahan menyebabkan dia melarikan diri dan menyembunyikan diri dari kejaran pemerintah Kolonial Belanda tinggal di suatu desa yang jauh dari Kediri yaitu di kawasan sekitar Ngalapan sampai Juwana dengan nama samaran Ngabdullah. Hingga pada akhirnya Ngabdullah mencari ilmu sejati menjadi pertapa di Gunung Kelud dan dianggap orang-orang sekitar sebagai penjelmaan Tunggul Wulung yaitu seorang Jendral pada zaman Raja Joyoboyo. Waktu Tunggul Wulung mengenal kekristenan dan bersedia dibaptis namanya berubah lagi menjadi Ibrahim Tunggul Wulung serta pengikut-pengikutnya memanggil dengan sebutan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan meninggal di Desa Bondo pada 29 April 1885 (Soekotjo 2009:126) 2. Perkenalan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dengan Kekristenan Perkenalan pertama dengan kekristenan ketika Ngabdullah di Ngalapan, Ngabdullah mempunyai kehidupan yang berkecukupan bahkan dianggap kaya serta berpengaruh di masyarakat, walaupun demikian 34 kehidupan rohaninya mengalami kekeringan. Sebagai orang Jawa sejati, Ngabdullah mencari ilmu kebatinan dan mempelajari berbagai ilmu Jawa, seperti kesaktian, ilmu gaib dan primbon-primbon, tetapi Ngabdullah tidak menemukan apa yang dia cari batinnya masih diliputi kegelisahan dan masih penasaran akan kepuasan batin. Ngabdullah memutuskan berangkat ke Juwana dengan meninggalkan segala kekayaan dan kehormatan untuk mencari kehidupan yang sejati. Sesampainya di Juwana, dia melihat seorang tukang kuda yang dikenalnya sebagai pembantu sahabatnya, karena tukang kuda ini mengenal Ngabdullah sebagai teman tuannya maka diperbolehkannya Ngabdullah meminjam kudanya untuk menuju ke Semarang. Ngabdullah meninggalkan Juwana menuju Kota Semarang. Ketika sampai di Desa Lo Ireng daerah Semarang Timur, Ngabdullah bertemu dengan sahabatnya dan diajak berkenalan dengan pendeta Bruckner. Dari perkenalan tersebut Ngabdullah mulai mengenal kekristenan dan tertarik dengan ajaran yang telah disampaikan, sayangnya pemerintah Kolonial Belanda telah menangkapnya dengan tuduhan mencuri kuda sebelum dia benar-benar belajar banyak tentang agama Kristen kepada pendeta Bruckner. Ngabdullah harus menerima kenyataan bahwa dia harus dihukum dibuang ke Sulawesi. Ketika dalam perjalanan dari Semarang menuju Surabaya ternyata Ngabdullah bisa melepaskan diri dari para pasukan Belanda serta memutuskan 35 melarikan diri ke Kediri di mana itu adalah tempat dia dulu tinggal dan berkuasa. Perkenalan kedua Ngabdullah dengan kekristenan ketika dia tinggal di Kediri dan memutuskan menjadi seorang pertapa di lereng gunung Kelud. Dari situlah Ngabdullah mengubah namanya kembali menjadi Tunggul Wulung yang sebagian orang Kediri mengenal nama tersebut sebagai legenda nama penunggu kawah Gunung Kelud seperti halnya Mbah Petruk yang dikenal sebagai penunggu Gunung Merapi. Nama tersebut dipilihnya sematamata untuk menghilangkan jejak dari pengejaran pasukan Kolonial. Ketika memulai pertapaan Tunggul Wulung bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Nyi Endang Sampurnawati seorang putri Bupati Kediri yang memutuskan jalan hidupnya sebagai pertapa juga. Tujuan keduanya ternyata sama yaitu sama-sama mencari arti hidup, serta jawaban sejatinya hidup. Mereka saling berinteraksi memberikan pertanyaan satu sama lain berharap bisa mendapatkan pengetahuan baru tentang hidup. Nyi Endang Sampurnawati mengawali dengan memberikan teka-teki berupa: “ana kemiri tiba saiki kena dijupuk ndek wingi” yang berarti ada buah kemiri yang jatuh hari ini tetapi bisa diambil waktu kemarin, kemudian Tunggul Wulung menimpali dengan teka-teki: “Ratu adil mertamu, tamu mbageake kang didayohi, sebiting tanpa sangu” yang berarti Ratu adil datang sebagai tamu, tetapi justru melayani tuan rumahnya, datang tanpa membawa bekal apapun. 36 Kedua teka-teki tersebut menjurus terhadap jawaban yang sama yaitu “Yesus Kristus”. Menurut Tunggul Wulung, teka-teki Nyi Endang Sampurnawati mempunyai makna bahwa Sang Juruselamat yaitu Yesus Kristus datang ke dunia membawa keselamatan untuk semua orang termasuk kepada orangorang yang hidup sebelum Yesus, sedangkan menurut Nyi Endang Sampurnawati bahwa teka-teki Tunggul Wulung mempunyai makna bahwa Ratu Adil adalah Yesus Kristus yang datang ke dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dengan menawarkan keselamatan. Datang bukan dengan kebesaran seorang raja tetapi dalam kesederhanaan. Keduanya mempunyai pemahaman yang sama dan dianggap mempunyai ilmu yang seimbang karena dalam pemahaman orang Jawa semuanya diukur dengan ilmu kebatinan serta kadigdayan, oleh karena itu mereka merasa cocok dan memutuskan untuk menikah. Dari perjumpaan itulah Tunggul Wulung lebih mengenal Ilmu Kristen yang diangap lebih tinggi tingkatannya dari ilmu lainnya yang pernah dia pelajari, walaupun demikian bukan berarti Tunggul Wulung telah mengenal kekristenan sejati. Panggilan Kristus untuk mempertegas tentang kekristenan ditunjukkan ketika suatu hari Tunggul Wulung menemukan di bawah tikar alas tidurnya secarik kertas bertuliskan Hukum Sepuluh Perintah Allah disertai wahyu yang membisikkan petunjuk untuk mencari penjelasan tentang kalimat-kalimat yang mengutus berjalan ke arah Timur Laut yang berarti 37 kearah Jepara dan akhirnya bertemu dengan misionaris Pieter Jansz. Dari sinilah Tunggul Wulung mengenal kekristenan yang sejati. Kesungguhan hati Tunggul Wulung untuk mencari Injil keselamatan dan pertobatan dimulai ketika ia perjalanan menuju Jepara dan bertemu dengan seorang pertapa yang telah mengenal kekristenan dari Gunung Celering berada di sebelah Utara Gunung Muria memberikan kesaksian tentang kekristenan dan berupaya menyebarkan kekristenan kepada pertapapertapa termasuk yang ada di Gunung Kelud. Dengan jalan ini Tunggul Wulung merasa lebih terbuka hatinya untuk mencari Injil keselamatan hingga pada akhirnya ia berjalan kembali ke arah Ngoro dan bertemu dengan seorang keturunan Jawa-Rusia bernama C.L Coolen sebagai orang Kristen yang mendirikan desa-desa Kristen. Dari sini Tunggul Wulung nantinya mengikuti jejak C.L Coolen untuk mendirikan desa-desa Kristen. Karena keinginan yang sangat besar dari Tunggul Wulung untuk mengetahui tentang kekristenan secara menyeluruh C.L Coolen memberi nasehat agar Tunggul Wulung pergi ke Mojowarno berguru dengan J. E Jellesma salah satu seorang Zending dari NZG sehingga Tunggul Wulung kembali berjalan kearah Jepara. Tunggul Wulung mempunyai ilmu kejawen yang tinggi dia bisa mengeluarkan ngelmu panglimunan atau ilmu menghilang agar kedatangannya tidak diketahui oleh orang lain ketika J. E Jellesma memberikan pengajaran kepada jemaatnya. Alangkah terkejutnya ketika Tunggul Wulung ditegur oleh J. E Jellesma untuk 38 tidak duduk di atas jendela ketika J. E Jellesma selesai memberikan pengajaran. Tunggul Wulung sangat terkagum-kagum dan berfikir ilmu apa yang digunakan sehingga dia dapat dikalahkan. Dia mulai yakin dan mau belajar tentang ilmu Kristen kepada J. E Jellesma. Kehadiran Tunggul Wulung disambut sebagai tamu oleh J. E Jellesma dan diberikan hidangan makanan dan minuman, tetapi Tunggul Wulung menolak dengan tanggapan bahwa makanan dan minuman yang diberikan sudah biasa dia makan tetapi Tunggul Wulung mencari makanan dan minuman yang sekali dimakan dan diminum tidak akan lapar dan haus lagi. Pernyataan Tunggul Wulung ditangkap J. E Jellesma bahwa tamunya ini datang mencari ngelmu. Setelah itu Tunggul Wulung diberi tawaran untuk tetap tinggal beberapa waktu di Mojowarno untuk belajar tentang kekristenan. Bersama dengan istrinya Nyi Endang Sampurnawati, Tunggul Wulung belajar membaca serta menulis dan belajar tentang Sepuluh perintah Allah, Pengakuan Iman Rasuli serta Doa Bapa kami selama dua bulan (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 28-35) 3. Keberhasilan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dalam Mengabarkan Injil Dibandingkan Zending Hal yang dilakukan Tunggul Wulung setelah menerima pembelajaran dari J. E Jellesma yaitu bahwasannya dia ingin mengabarkan Injil secara mandiri. Pertama yang dilakukan Tunggul Wulung adalah mengabarkan Injil ke daerah Ngoro yang masuk dalam distrik Kertosono Karesidenan Kediri 39 dilanjutkan ke Desa Pelar di Malang. Di sini Tunggul Wulung mendapat simpati dan penerimaan masyarakat desa, kemudian melanjutkan ke Dimoro bagian dari daerah Kepanjen, Jengkrik bagian dari daerah Malang, dan Jungo bagian dari daerah Pandaan selanjutnya sampai di daerah Kediri, Banyumas, Kudus, Rembang, dan sekitarnya. Pada tahun 1854 Tunggul Wulung kembali ke Jepara dan bertemu dengan seorang misionaris DZV yaitu Pieter Jansz yang sudah bekerja dalam pekabaran Injil di Jepara selama dua tahun untuk bekerjasama dalam pengabaran injil. Pieter Jansz menawari Tunggul Wulung untuk belajar dengannya selama setahun serta menjadi pembantunya karena menurut Pieter Jansz, Tunggul Wulung belum begitu mendalami tentang kekristenan. Hal ini ditolak oleh Tunggul Wulung karena dalam pandangannya bahwa Pieter Jansz masih terlalu muda untuk bisa mengajarinya serta mengingat bahwa Tunggul Wulung adalah salah satu tokoh perjuangan melawan Belanda sehingga rasa ego dan harga diri yang besar yang membuat dia tidak tertarik dengan tawaran tersebut. Dari awal perjumpaannya dengan Pieter Jansz, Tunggul Wulung merasa tidak cocok dengan metode penginjilan Pieter Jansz dimana Pieter Jansz memfokuskan penginjilan di daerah kota sedangkan menurut Tunggul Wulung penginjilan itu harus dilakukan dan menyentuh orang-orang desa karena menurut pandangannya bahwa orang desa lebih mudah diberi 40 pengertian serta polos dan jujur dibandingkan dengan orang kota. Selanjutnya visi Tunggul Wulung bahwa setiap orang yang sudah bertobat harus memisahkan diri dari masyarakat, membabat hutan dan mendirikan desa. Tetapi Pieter Jansz tidak setuju dengan ide seperti itu karena menganggap bahwa orang Kristen yang dipisahkan dengan masyarakat berarti tidak bisa menjadi garam dunia atau dalam artian tidak bisa menjadi contoh buat yang baik bagi masyarakat. Walaupun demikian Pieter Jansz tidak secara mutlak menolak ide tersebut dengan syarat bahwa jemaat Kristen secara sukarela mau berpindah dan dengan ide tersebut maka akan membantu juga pembasmian harimau yang sering mengganggu masyarakat dan karena kepercayaan tentang takhayul bahwa membunuh harimau akan membawa bencana maka tak seorangpun berani membasmi harimau serta dengan adanya desa yang berpenduduk Kristen ini, maka desa ini dapat dijadikan pos untuk memperluas penginjilan di daerah sekitarnya. Ketika Tunggul Wulung menolak bekerjasama dengan Pieter Jansz, awal tahun 1854, Tunggul Wulung mengajak Sem-Sampir seorang murid J.E Jellesma untuk membantunya mengabarkan Injil di daerah Tayu dan sekitarnya. Tujuan pertamanya Tunggul Wulung adalah memberikan pengajaran Injil kepada anak-anak pertapa yang pernah dia temui di Gunung Celering, tetapi karena anak-anak pertapa sudah meninggal maka Tunggul Wulung kembali ke Tayu sedangkan Sem-Sampir kembali ke Jepara. Tunggul 41 Wulung mempunyai daerah penginjilan yaitu di daerah Kabupaten Juwana (Juwana waktu Kolonial Belanda adalah kabupaten dan Pati adalah Karisedenan) yaitu daerah Tayu sampai Juwana, seperti Desa Bangsal dan Ngalapan yang berada di Juwana, Margotuhu Klitheh dan Ngluwang daerah Tayu. Wedana Margotuhu mengkhawatirkan akibat dari kegiatan Tunggul Wulung dalam penyebaran Agama Kristen. Wedana Margotuhu melaporkan kepada Bupati Juwana pada tanggal 18 Februari 1854. Hal ini menyebabkan pergolakan pada pemerintahan Kolonial Belanda mulai dari Controlir Juwana, Residen Pati, hingga ke Gubernur Jendral. Bupati Juwana dan Residen Pati sibuk membuat laporan kepada Pemerintahan Kolonial bahwa ada orang pribumi yang menyebarkan agama Kristen dengan menyebut dirinya seorang Pangeran. Akhirnya Tunggul Wulung dan Pieter Jansz datang ke Juwana untuk memberikan penjelasan-penjelasan terutama dalam hal sebutan Pangeran terhadap Tunggul Wulung. Hal ini diselidiki oleh Pieter Jansz bahwa gelar Pangeran ini diberikan kepada Tunggul Wulung oleh orang lain yang mengetahui siapa Tunggul Wulung sebenarnya, sehingga untuk menghormati Tunggul Wulung orang-orang memanggilnya Pangeran sedangkan Tunggul Wulung melarang untuk memanggilnya Pangeran. Walaupun diancam oleh pejabat-pejabat pemerintahan dan menjadi 42 pembicaraan kalangan atas tetapi Tunggul Wulung tidak takut dan dengan keteguhan hatinya dia tetap mengabarkan Injil di daerah Kabupaten Juwana. Menanggapi keteguhan Tunggul Wulung akhirnya atas nasehat Raad van Indie atau Dewan Hindia, Gubernur Jendral memutuskan supaya Tunggul Wulung dan pembantu-pembantu misionaris bangsa Jawa tidak bekerja di luar batas yang sudah ditentukan terhadap Misi yang pada akhirnya Pieter Jansz menasehati Tunggul Wulung seperlunya saja karena Tunggul Wulung bukan bagian dari pembantu misionaris ataupun Misi Mennonit. Sebenarnya Pieter Jansz ingin Tunggul Wulung belajar dengannya sebelum dibaptis dan diangkat menjadi Guru Injil karena menurutnya penguasaan Injil Tunggul Wulung masih mentah dan harus banyak belajar. Karena Tunggul Wulung tidak tertarik dengannya, maka Tunggul Wulung dipersilahkan untuk kembali ke Mojowarno untuk belajar lagi kepada J. E Jellesma sebelum menerima baptisan ataupun menjadi Guru Injil. Dengan pilihan yang diberikan akhirnya Tunggul Wulung memilih kembali ke Mojowarno utuk belajar kekristenan kepada J. E Jellesma sampai pada akhirnya Tunggul Wulung dibaptis dengan nama baptis Ibrahim. Sejak saat itu namanya berubah menjadi Ibrahim Tunggul Wulung dan para pengikutnya memanggilnya Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan istrinya dibaptis dengan nama Sarah sehingga namanya menjadi Nyi Sarah Endang Sampurnawati (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 35) 43 Sesudah Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mendapatkan tanda baptisan, maka ia kembali ke daerah sekitar Muria untuk mengabarkan Injil dan teringat kepada orang-orang yang pernah dibawa dalam perjumpaan dengan Kristus yang ada di Juwana, Margotuhu, dan Tayu. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mempunyai cita-cita yang dari awal ingin membuka desa Kristen seperti yang pernah dilakukan oleh Coolen yang ada di Jawa Timur dan juga yang pernah diutarakan kepada Pieter Jansz waktu di Jepara (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 41). 4. Peran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung Dalam Mendirikan Desa Banyutowo Peran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung di Desa Banyutowo dimulai ketika Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memiliki sekelompok jemaat di Kawedanan Margotuhu yang terbentuk sekitar tahun 1861. Berawal dari tiga keluarga yaitu keluarga Thomas, Ananias, dan Nakhum yang awalnya dari Desa Blingi tetapi pindah dan menumpang di Desa Margotuhu Kliteh yang terletak di sebelah Tenggara Kota Tayu sekitar 6 kilometer ketika mereka menjadi pengikut Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Mereka bekerja sebagai para nelayan karena tidak punya lahan untuk bertani (wawancara dengan Sukodono, 9 Januari 2014). Tekanan-tekanan dari tokoh setempat yang bernama Mbah Jagaresa yang beragama Islam membuat keluarga Thomas, Ananias, dan Nakhum memutuskan untuk pindah ke daerah Desa Dukuhseti melalui jalur laut 44 kemudian masuk muara sungai Alasdowo dan naik ke Dukuhseti pada tahun 1861. Kepindahan mereka diikuti saudara-saudara mereka yang lain yang berasal dari Blingi dan bersama-sama menempati Dukuhseti bagian Selatan (Wawancara dengan Tarsipin, 18 Mei 2014). Kepindahan mereka ke Dukuhseti tidak diikuti Kyai Ibrahim Tunggul Wulung untuk menjadi pemimpin dan pengajarnya disebabkan karena Kyai Ibrahim Tunggul Wulung membuka desa perdikan Ujung Jati di Jepara. Untuk mengisi peran tersebut maka Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menempatkan muridnya yang bernama Yehuda untuk mengajar mereka. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung bersama istrinya Nyai Endang Sampurnawati hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka juga beribadah setiap hari minggu dan tempat ibadahnya disebut Masjid. Hingga pada tahun 1864 kelompok ini sudah menjadi 60 sampai 70 orang (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 55). Penempatan orang-orang Kristen di daerah Dukuhseti bagian Selatan bukan berarti tanpa maksud, karena keluarga ini mengaku bahwa mereka orang Kristen kepada masyarakat Desa Dukuhseti dan dianggap “wong Kresten seng mangan celeng” atau orang Kristen yang makan babi hutan, oleh karena itu orang-orang Dukuhseti yang tidak suka dengan kelompok Kristen ini ditempatkan di daerah Dukuhseti Selatan dan tinggal di Jati Kurung dimana itu adalah kuburan pendiri Dukuhseti yaitu Mbah Brojoseti yang 45 dikeramatkan dengan tujuan mendapatkan kutukan dan amarah terhadap orang Kristen. Ternyata orang-orang Kristen tidak diganggu bahkan memakai cobek, kendi dan kain penutup punden untuk keperluan hidup. Melihat hal tersebut semua orang Dukuhseti menjadi marah dan mengusir mereka ke daerah Sekentheng yang dikenal lebih angker serta orang-orang Dukuhseti meneror dengan cara membakar gubug dan merusak tanaman sehingga kelompok Kristen ini berfikir untuk mencari daerah baru (wawancara dengan Sukodono, 9 Januari 2014). Ketika terjadi penganiayaan warga Dukuhseti terhadap kelompok Kristen ini, maka Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mengusahakan agar kelompok ini bisa mendirikan Dukuh sendiri dengan minta bantuan dari Mr. Anthing seorang sahabat sekaligus Vice-President Hoog Gerechtshof atau Wakil Ketua Pengadilan Tinggi untuk meminta ijin mendirikan perdukuhan baru di Daerah Dukuhseti bagian Timur yang berada di dekat laut. Hal ini dilakukan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung karena dia tidak mau gegabah lagi seperti halnya ketika pertama kali penginjilan sehingga menyebabkan dia dicekal oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Dengan bekal tersebut maka bersama kelompok Kristen Ibrahim Tunggul Wulung membuka hutan dan pada tahun 1870 daerah ini bisa ditempati (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 56). Bukan hal yang mudah ketika proses pembukaan Dukuh baru ini, hutan yang sangat angker yang dikenal sebagai alas gung 46 liwang-liwung jalma mara jalma mati” yang berarti hutan belantara siapa yang berani datang berarti berani mati merupakan hutan lebat yang dipenuhi tumbuhan sagu, rembulung, menjalin, randu alas dan lain sebagainya yang dihuni banyak hewan buas seperti harimau, buaya, babi hutan, ular dan lainlain serta mahluk halus yang menghuni tentunya. Tetapi Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan kelompok Kristen tidak gentar untuk membuka Dukuh baru. Beberapa hari sebelum membabat hutan mereka melakukan Puasa dan Tirakat. Saat fajar menyingsing mereka melakukan pembabadan, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dengan posisi sendhakep Asuku Tunggal atau bersila dengan tangan dilipat di dada dengan suasana yang hening dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memimpin doa yang berbunyi: ”Bapa Putra, Putra Allah, Roh suci Allah Telu-telune tunggal sawiji Lemah sangar, kayu angker Upas racun padha tawa Idi Gusti manggih slamet salami-laminupun” Artinya: “Bapa Allah, Putra Allah Roh Suci, ketiga-tiganya satu Tanah yang berbahaya, pohon yang angker Bisa dan racun jadi tawar Berkah Tuhan mendapat keseamatan selama-lamanya” Dengan doa tersebut dimulailah pembabadan hutan yang dilakukan sekitar 60 orang (wawancara dengan Sukodono, 9 Januari 2014). Setelah beberapa bulan melakukan pembabadan hutan di bagian Selatan, ternyata 47 Kyai Ibrahim Tunggul Wulung melihat daerah ngeblak (terbuka) luas yang hanya sudah pantas untuk ditempati, maka Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menyebutnya Bulak. Selama pembabatan hutan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung beserta Nyai Endang Sampurnawati selalu tinggal di tempat ini bersama murid-muridnya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hal yang dilakukan oleh orang-orang ini yaitu nelayan dan bercocok tanam tetapi sering kali tanamannya dirusak sehingga ketika alam tidak mendukung untuk melaut dengan terpaksa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memakan buah mengkudu yang masih muda serta pengikutnya makan seadanya. Sebenarnya banyak kesempatan Ibrahim Tunggul Wulung untuk meminta bantuan kepada Mr. Anthing maupun Pieter Jansz tetapi itu bukan jiwa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang harus meminta-minta. Setelah pembabadan hutan bagian Selatan siap ditempati maka semua pengikut Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang masih di Sekentheng diajak semua pindah ke Bulak. Setelah mereka menempati daerah baru disisi selatan maka Ibrahim Tunggul Wulung beserta pengikutnya melanjutkan pembabadan ke arah Utara. Ketika Ibrahim Tunggul Wulung beserta pengikutnya kehausan, setiap air yang ditemukan berasa asin semua, maka berdoalah Kyai Ibrahim Tunggul meminta pertolongan kepada Tuhan, lalu ditancapkanlah sebuah tongkat milik Kyai Ibrahim Tunggul Wulung ke tanah dan seketika keluar air dan menjadi “belik” atau sumber mata air. Air itu rasanya tawar 48 walaupun letaknya dengan laut sekaligus air tersebut juga bisa menyembuhkan maka dari situlah muncul nama Desa Banyutowo yang artinya “banyu” berarti air dan “Towo” berarti Tawar. Terbukti ketika seekor babi yang terluka masuk ke dalam belik Banyutowo tersebut ketika keluar sudah dalam keadaan sembuh begitu juga seorang perampok yang terluka masuk kedalam belik Banyutowo dalam sekejap luka-lukanya hilang. Orangorang dari luar mengetahui akan khasiat dari belik Banyutowo dan banyak yang mengambil air tersebut dan mulai dikeramatkan. Beberapa orang bermaksud membangun menjadi sumur, namun itu dilarang perangkat desa karena kekristenan tidak mengenal hal seperti itu maka sumber mata air tersebut telah ditutup. Hingga saat ini akhirnya Desa tersebut bisa dipanggil Desa Banyutowo ataupun Desa Mbulak sesuai sejarah yang telah terbentuk (Wawancara dengan Tarsipin, 18 Mei 2014). 5. Strategi Pengajaran Kristen Kyai Ibrahim Tunggul Wulung Kyai Ibrahim Tunggul Wulung merupakan orang Jawa yang mempunyai prinsip kuat mengenai kebudayaan. Kekristenan yang dia serap dari para Zending bukan berarti dia harus menjalankan semuanya dan diterapkan terhadap Jemaatnya. Hal yang baru dalam penginjilan telah diciptakan dengan melihat kebutuhan para Jemaat pribumi, sehingga alasan inilah yang membuat Kyai Ibrahim Tunggul Wulung meraih kesuksesan lebih cemerlang daripada apa yang telah dilakukan para Zending di daerah Muria. 49 Menurut Kyai Ibrahim Tunggul Wulung orang Jawa itu tidak perlu diceramahi seperti halnya yang dilakukan oleh para Zending, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung tahu bahwa setiap jemaat mengerti apa arti keselamatan dan juru selamat mereka. Ini menunjukkan bahwa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung percaya akan kedewasaan iman mereka dan tidak perlu diajarkan lagi nilainilai dan norma-norma karena Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yakin bahwa kebudayaan Jawa kaya akan hal tersebut. Dalam pandangan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung orang Jawa tidak harus mengikuti setiap ajaran Kristen landa yang belum tentu dimengerti oleh orang Jawa sendiri. Kekristenan dapat dikenalkan melalui media budaya Jawa yang pastinya setiap orang Jawa tahu oleh karena sejak dilahirkan mereka mendapatkan pengajaran kebudayaan Jawa. Bagi orang Jawa hal yang paling menakutkan bukan penghukuman dari Tuhan tetapi kuasa-kuasa jahat yang ada disekitarnya serta jenis-jenis kerja paksa dan perbudakan yang melanda kehidupan masyarakat Jawa. Inilah yang dimengerti dan ditangkap oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan diajarkan kepada pengikutnya karena cukup berpegang kepada Tuhan Yesus maka jaminan keselamatan sudah didapat. Pengajaran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung sangat sederhana hanya dengan mengetahui dan memaknai mengenai Pujan (doa Bapa Kami), Pangandelan (Sahadad duabelas), dan Racikan Sedasa Prekawis (Dasa Titah) sama halnya seperti agama Islam yang 50 mengenal Sahadat, Rukun Iman dan Rukun Islam serta Alfatihah (S.H. Sukoco, Yoder, Lawrence M. 2010: 64). Ajaran kekristenan yang disampaikan kepada masyarakat Desa Banyutowo sangat sederhana dengan tujuan bahwa rakyat kecil tidak ingin mengetahui urusan theologis dan orang desa hanya perlu ajaran yang mudah ditangkap serta diserap sebagaimana sudah dimengerti bahwa pendidikan belum ada waktu itu. Masyarakat kecil akan mudah dipuaskan dengan ajaran yang sederhana. Pola pengabaran Injil yang tepat menurut Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, bahwasanya mengabarkan injil tidak perlu ada petugas khusus semacam misionaris. Semua cukup dari kesadaran pribadi. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung tidak perlu menjadi petugas penginjil resmi seperti menjadi Zending ataupun Pendeta, walaupun demikian Kyai Ibrahim Tunggul Wulung perlu menyekolahkan pembantu-pembantunya baca dan menulis sebagai bekal utama yang harus dimiliki untuk mengabarkan Injil. Semua dilandasi dengan sukarela sehingga tidak ada gaji. Kebutuhan sehari-hari harus diusahakan dari bekerja dan perbuatan baik sehingga orang lain memahami kebutuhan hidup penginjil. Ajaran kekristenan yang disampaikan oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memang berbeda dari ajaran para Zending. Menurut para Zending Yesus Kristus adalah juru selamat untuk menebus dosa-dosa manusia dan itu disampaikan melalui ceramah-ceramah. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung sadar betul bahwa lapangan pekerjaannya tidak seperti itu. Orang Jawa sudah 51 mengenal tentang keselamatan dan juru selamat mereka. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memilih untuk tidak bekerja seperti para Zending. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung memilih cara-cara yang biasa berlaku dimasyarakat Jawa dalam mengabarkan Injil. Kegiatan-kegiatan yang biasa mengumpulkan masyarakat jawa seperti jagong yang dipakai Kyai Ibrahim Tunggul Wulung untuk melakukan penginjilan. Strategi penginjilan yang dilakukan oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menggunakan: 1. Metode Jagongan Kehidupan orang Jawa yang mempunyai sosial yang tinggi serta masyarakat yang mempunyai mata pencahariaan sebagai petani mempunyai kecenderungan segala sesuatu dilakukan bersama-sama dan bergotong royong. Demikian halnya ketika masyarakat petani yang seharian bekerja di sawah untuk melepas kelelahan biasanya mereka melakukan kegiatan seperti jagongan ini adalah bentuk dari kehidupan sosial yang tinggi yang ditunjukkan oleh kebanyakan masyarakat Jawa. Inilah yang dipakai oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung untuk melakukan pendekatan serta memberikan pengajaran kekristenan terhadap masyarakat Jawa dan jemaatnya. Dalam jagongan tersebut hal yang biasa dibahas adalah perdebatan mengenai ngelmu. Semua ngelmu yang kebanyakan orang Jawa pelajari dan kuasai diadu dengan ngelmu Injil, dibandingkan dan memberikan 52 kesimpulan bahwa ngelmu Injil lebih hebat dari ngelmu apapun yang dikuasai oleh orang Jawa. Sifat orang Jawa yang cenderung akan mengikuti penguasa terbesar demikian juga mereka akan mempelajari ilmu yang paling hebat dan meninggalkan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai adalah cara penginjilan yang dikira sangat efektif oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung karena dia telah menunjukkan kekuatan terbesar yang harus diikuti oleh orang-orang Jawa yaitu Injil Kristus. Disamping membahas tentang Ilmu Kristen jagongan juga akan mempererat hubungan bermasyarakat dalam jemaatnya. Semua hal bisa dibahas ketika Jagongan dan oleh karena Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dianggap sebagai pemimpin dan penatua maka oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung bisa memberikan petuah serta nasehat kepada para jemaatnya tersebut sehingga dimulai dari situ tercipta sebuah komunitas orang Jawa yang dulunya menganggap ngelmu leluhur adalah ngelmu tertinggi berubah menjadi komunitas Kristen Jawa yang mempunyai pandangan bahwa ngelmu terbesar dan paling berkuasa adalah ngelmu Kristen. Pengajaran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung selalu dilandasi dengan Sepuluh Hukum Perkara dan dua Hukum Kasih yang telah diajarkan Tuhan Yesus (wawancara dengan Abednego Utomo Prasetyo, 18 Desember 2013). 53 2. Metode Padepokan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menggunakan konsep pengajaran yang digunakan oleh orang orang Jawa sejak kejayaan Hindu-Budha yaitu konsep pengajaran di Padepokan. Hal ini hanya bisa ditemukan di Jawa dan tidak bisa ditemukan dibangsa lainnya. Orang Islam Jawa juga menggunakan konsep ini yaitu Pondok Pesantren dimana di daerah Timur Tengah tidak ditemukan konsep yang merupakan Agama Islam berasal dan ini membuktikan bahwa metode Padepokan hanya ada di Jawa. Dalam konsep Padepokan ini hubungan antara Resi dan Cantrik sangat kuat lebih dari antara guru dengan murid dan inilah cara Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menanggapi Amanat yaitu menggunakan konsep Padepokan untuk melakukan pemuridan. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mengajarkan keimanan, pengajarannya dilakukan pada malam hari ketika para pengikutnya selesai bekerja. Pengajaran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung seputar tentang bagaimana cara hidup bermasyarakat, kemudian mengajarkan memenuhi hajat sebagaimana manusia bekerja, cinta damai yang di imani dalam sepuluh hukum perkara dan dua hukum kasih. Di padepokan ini Kyai Ibrahim Tunggul Wulung begitu kreatif membuat doadoa yang mudah dihafalkan yang ini sesuai kebutuhan jemaat Jawa saat itu. Dari konsep inilah banyak murid Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang diutus keluar dan menyebar ke berbagai daerah di Jawa. Sampai saat ini 54 didaerah Pasundan terdapat keluarga yang marganya bernama Banyutawa, salah satu hasil pemuridan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Sepeninggal Kyai Ibrahim Tunggul Wulung kemudian muncul tokoh Kristen yang besar di Jawa yang merupakan murid dari Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang menyempurnakan pengajaran Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yaitu Kyai Sadrach (wawancara dengan Abednego Utomo Prasetyo, 18 Mei 2014). 3. Metode Rapal Kehidupan orang Jawa tidak bisa lepas dengan kebiasaan nenek moyang dan meninggalkan kepercayaan yang sudah mereka anut sekian lama. Mereka masih percaya bahwa rapal-rapal bermanfaat dan menolong mereka menyelamatkan dari gangguan roh-roh jahat. Demikian juga dengan jemaat Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang baru mengenal kekristenan masih mempercayai dan memakai rapal-rapal dalam kehidupan mereka. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menyadari kesulitan ini dan mengerti bahwa kebudayaan tersebut tidak begitu saja ditinggalkan oleh jemaatnya yang ada di desa Banyutowo. Karena kebijaksanaan dari Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, maka Dia merubah rapal Jawa menjadi rapal Kristen. Rapal ini digunakan ketika membuka desa Banyutowo. Satusatunya rapal yang diajarkan oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung kepada Jemaat Banyutowo berbunyi seperti berikut: Bapa Allah, Putra Allah, Roh Suci Allah Telu-telune tunggal dadi sawiji 55 Lemah sangar kayu angker Upas racun pada tawa Idi Gusti manggih slamet selaminya Yang berarti: Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Suci Ketiganya adalah Satu Tempat yang berbahaya pohon-pohonan yang jahat Segala racun akan menjadi tawar Berkat rahmat Tuhan menemukan keselamatan selamanya Rapal ini diucapkan oleh jemaat banyutowo sebelum melakukan segala aktifitas seperti, bertani, nelayan, berdagang dan apapun itu pekerjaannya. Bagi Kyai Ibrahim Tunggul Wulung rapal ini mempunyai makna sama halnya menghafal dan mengucapkan Doa Bapa Kami, Sahadat Dua Belas Rasuli, dan Dasa Titah maka, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung tidak menganggap rapal bertentangan dengan Iman Kristen tetapi keduanya dapat disatukan menjadi sebuah ajaran yang baru yang bisa diserap oleh orang Jawa sesuai kebutuhan kebudayaan Jawa ditempati (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 56). 4. Rumah Jawa sebagai Tempat Ibadah Dalam melakukan ibadah, sebagai tempat beribadah yang disediakan bukan berarti bernama Gereja itupun bisa disebut dengan nama Mesjid. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung tidak terpaku dengan hal-hal teknis melainkan sesuatu yang bisa ditangkap dan dijadikan kekayaan batin. Setiap orang punya gereja dihatinya masing-masing jadi makna bangunan tidaklah begitu penting yang terpenting adalah hati mereka untuk mengikut 56 Yesus. Kata masjid dipakai dengan dasar bahwa tempat ibadah yang mereka tahu yaitu masjid dan para Jemaat belum mengerti Gereja berbentuk seperti apa. Tempat kebaktian diatur sebagai perpaduan antara gereja dan pertemuan kejawen, itu berarti bangunan Joglo yang menandakan rumah khas orang Jawa. Bagian rumah Jawa yang disebut krobongan digunakan sebagai mimbar pinitua-pinitua. Kebaktian dibuka oleh pinitua dan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung membawakan khotbah diikuti para jemaat pria yang duduk disepanjang kursi yang ditaruh di barisan dinding kiri dan kanan serta depan pengkhotbah, anak-anak dan jemaat wanita duduk lesehan di atas tikar yang telah tersedia ditempati (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 66). 5. Tembang Jawa Tembang pada dasarnya adalah salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh orang Jawa dan melekat erat dengan kehidupan sehari-hari. Banyak kegiatan dilakukan dengan tembang, mssal menidurkan anak Dalam melakukan pujian dipimpin oleh pangelik atau orang yang menyayikan tembang Jawa secara sendirian setelah itu disusul oleh jemaat wanita sementara itu jemaat pria bertugas ngegongi saja. Lagu-lagu pujian dikarang sendiri oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung ataupun memakai lagu-lagu pujian karangan Poensen, seorang pengarang lagu dari Belanda 57 dengan irama gendhing Jawa ditempati (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 67). 6. Ngaji Kristen Pola pikir Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dalam penyebarkan Injil kepada jemaatnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan budaya Jawa serta Islam yang pernah dianut dan dianut sebagian besar Jemaatnya sebelum mengenal kekristenan yang telah dibawakan oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dapat dilihat dari cara Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mengajarkan Doa Bapa Kami, Dasa Titah, dan Pengakuan Iman Rasuli dengan sistem belajar Ngaji. Istilah Ngaji secara umum dipakai oleh orangorang Islam tetapi Kyai Ibrahim Tunggul Wulung tidak merasa janggal memakai kata tersebut hal ini dimaksudkan sebagai tandingan bagi Islam. Kyai Ibrahim Tunggul Wulung bahkan mengubah lafal tahlilan Islam menjadi tahlilan cara Kristen yaitu dengan mengucapkan “la illah ha illalah muhammadarrasullallah” berulang-ulang menjadi “la illah la illalah, Yesus Kristus Putra Allah” (S.H. Sukoco dengan Yoder, Lawrence M. 2010: 64) 58