peningkatan jumlah neutrofil pada sekret vagina

advertisement
PENINGKATAN JUMLAH NEUTROFIL PADA SEKRET
VAGINA BERHUBUNGAN DENGAN TINGGINYA
PERSALINAN PRETERM
dr. Made Suyasa Jaya, Sp.OG(K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH DENPASAR
2013
RINGKASAN
Persalinan preterm yang terjadi spontan mempunyai hubungan yang cukup bermakna
dengan kejadian infeksi pada vagina dan servik. Hal ini sering dikaitkan dengan terjadinya
infeksi pada jaringan korioamnion. Telah banyak tes diagnostik yang digunakan untuk memprediksi
kelahiran preterm, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik.Pemeriksaan
neutrofil vagina dapat menjadi penanda infeksi dan dinilai tidak invasif. Pengecatan gram digunakan untuk
mendiagnosis neutrofil, dan dievaluasi menggunakan sistem skoring Nugent 10-point
Kerangka konsep penelitian ini adalah bahwa penyebab sepertiga dari persalinan
preterm dihubungkan dengan proses infeksi yang terjadi pada korion dan desidua. Hal ini
mengakibatkan peningkatan sitokin dan chemokines yang menyebabkan peningkatan
infiltrasi neutrofil. Peningkatan jumlah neutrofil perlapang pandang pada sekret vagina
menunjukkan pematangan serviks, yang dapat digunakan sebagai penanda persalinan
preterm. Hipotesis penelitian ini adalah tingginya jumlah neutrofil perlapang pandangpada
sekret vagina berhubungan dengan tingginya kejadian persalinan preterm
Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol, yang dilakukan di ruang Bersalin dan
Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah dari bulan Desember 2011 sampai bulan Desember
2012, diperoleh 52 sampel dimana 26 pasien dengan kehamilan preterm dan 26 pasien
dengan persalinan preterm pada umur kehamilan 28-37 minggu yang diambil secara
consecutive sampling, yang dipasangkan (matching) dalam hal umur ibu, umur kehamilan
dan paritas. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa neutrofil vagina tinggi dapat
meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm sebesar 18 kali dibandingkan dengan
netrofil vagina yang rendah(R0 = 18,3, IK 95% = 2,15-56,58, p = 0,001).
ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi saluran genitalia bawah merupakan salah satu penyebab
terjadinya persalinan kurang bulan.Pematangan serviks dalam persalinan merupakan suatu
proses inflamasi. Proses ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah kolagen. Neutrofil
merupakan sumber kolagenase, yang menyebabkan pematang serviks yang diperantarai
oleh sitokin (IL-8). Pemeriksaan neutrofil vagina merupakan salah satu pemeriksaan
penanda infeksi dan tidak invasif.
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui jumlah neutrofil pada swab vagina dan menilai
hubungannya dengan persalinan preterm.
Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol. Jumlah sampel
sebesar 52 sampel, dimana 26 sampel kasus persalinan preterm dan 26 sampel kontrol
kehamilan preterm, yang dipasangkan (matching) dalam hal umur ibu, umur kehamilan
dan paritas. Pengambilan spesimen dari vagina dengan swab, kemudian dioleskan ke objek
glass dan dilakukan pewarnaan Gram dan pembacaan netrofil vagina perlapangan pandang
di laboratorium. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji Chi-Square dengan
tingkat kemaknaan p <0,01. Rasio Odds digunakan menilai besarnya risiko.
Hasil : Uji Chi-Square antara neutrofil vagina dan persalinan preterm didapatkan nilai
p=0,001. Hal ini berarti kejadian persalinan preterm pada kedua kelompok berbeda secara
bermakna. Nilai Rasio Odds sebesar 18,3 (IK 95% = 2,15-56,58, p=0,001) yang berarti
neutrofil vagina yang tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm
sebesar 18 kali.
Simpulan : Neutrofil vagina tinggi dapat meningkatkan secara bermakna risiko terjadinya
persalinan preterm sebesar 18kali dibanding kontrol.
Kata kunci : persalinan preterm, kehamilan preterm, neutrofil vagina.
ABSTRACT
Backgroud :Lower genital tract infection is one of the important cause of preterm labor.
Cervical ripening in labor was a imflammatory process. This process cause decrease of
collagen. Neutrophil was a collagen resources and became cervical ripening mediated by
cytocine (IL-8). Vaginal neutrophil examination is no invasive tools to evaluate infection.
Objective :Determine neutrophils count on vaginal swab and the correlation with preterm
labor.
Material and Method :A case control study, with 52 samples, which is 26 samples each
group of preterm labor and control, matched for maternal age, gestational age, and parity.
Sample collected from vaginal with swab and object glass, followed by staining Gram and
neutrophils count in laboratory. Collected data analyze with Chi square on confident level
p < 0.001. Risk estimated in Odds Ratio.
Results :Preterm labor risk with Chi-Squareanalysis on neutrophils vaginal count was
p=0,001. Significantly, preterm labor prevalent on both group was different. High level
neutrophils count increasing the risk of preterm labor 18 times, with Odds Ratio 18,3 (CI
95% 2,15-56,58, p=0,001).
Conclusion :High level neutrophils count significantly increasing the risk of preterm labor
18 times greater than normal control.
Key words :Preterm delivery, preterm labor, neutrophils vaginal count.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Persalinan preterm masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri
khususnya dibidang perinatologi, karena terjadi 10-15% dari seluruh persalinan, juga
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas neonatus terbanyak, baik dinegara
berkembang maupun negara maju.Kira-kira 70% dari kematian neonatus disebabkan oleh
bayi yang lahir preterm (Goldenberg, 2000).
Bayi preterm terutama yang lahir dengan usia kehamilan < 32 minggu, mempunyai risiko
kematian 70 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir cukup bulan karena
imaturitas sistem organ tubuhnya. Komplikasi yang sering terjadi adalah Respiratory
Distress Syndrome (RDS), Intraventricular Hemorrhage (IVH), displasia bronkopulmoner,
sepsis dan enterokolitis nekrotikans.
Masalah lain yang dapat timbul adalah masalah perkembangan neurologis seperti serebral
palsi, gangguan intelektual, retardasi mental, gangguan sensoris, kelainan perilaku, dan
gangguan konsentrasi. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya
manusia di masa yang akan datang. Selain itu,perawatan bayi preterm juga membutuhkan
teknologi kedokteran canggih dan mahal (Greer,2005).
Pada tahun 2005, sebanyak 12,5 juta kelahiran atau 9,6% dari semua kelahiran di seluruh
dunia adalah kelahiran preterm. Kejadian tertinggi kelahiran preterm berada di Afrika yaitu
11,9% dari semua kelahiran, dan terendah berada di Eropa (6,2%) (WHO,2010). Di
Indonesia diperkirakan persalinan preterm terjadi 10% dari sekitar 4 juta kelahiran, dan
angka kematian neonatal sebanyak 20% dari seluruh persalinan preterm (HKFM, 2005).
Pada tahun 2001 di Amerika Serikat 28.000 neonatus meninggal pada tahun pertama
kehidupannya, 51% merupakan neonatus yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 32
minggu. Tiga belas persen merupakan neonatus yang lahir pada umur kehamilan 32 – 36
minggu (Cunningham et al, 2005). Dalam periode waktu 3 tahun (1999-2001) di Rumah
Sakit Sanglah sebanyak 253 bayi (57,2%) meninggal dari 442 bayi lahir dengan berat
badan 1000-1500 gram (Artana, 2002).
Angka kejadian persalinan preterm bergantung populasi, berkisar antara 5 -15 %, sebanyak
30-50 % terjadi spontan sedangkan sisanya oleh karena persalinan elektif akibat indikasi
medis dan obstetrik (hipertensi dalam kehamilan, plasenta previa, solusio plasenta) dan
duapertiga persalinan preterm terjadi secara spontan (Spontaneus Preterm Labour) yang
belum jelas diketahui penyebabnya.Selama dua dekade terakhir, infeksi traktus genitalia
dan infeksi ascenden pada koriodesidua menjadi perhatian khusus karena dianggap sebagai
penyebab terbanyak persalinan preterm (Slattery, 2002).
Pemicu awal persalinan preterm spontan masih belum bisa dijelaskan secara pasti.
Beberapa konsep yang ada telah berusaha menjelaskan patofisiologi persalinan preterm
yang dikaitkan dengan kejadian infeksi, iskhemia dan respon pada jaringan khorioamnion
dan desidua. Dikemukakan pula bahwa 70-80% persalinan preterm yang terjadi spontan
mempunyai hubungan yang cukup bermakna dengan kejadian infeksi pada vagina dan
servik, yang sering dikaitkan dengan terjadinya infeksi pada jaringan korioamnion (Abadi,
1999 ; Wibowo, 2005 ; Cunningham et al, 2005).
Infeksi pada selaput ketuban dan cairan ketuban oleh berbagai mikroorganisme merupakan
hal yang bisa menjelaskan terjadinya persalinan preterm dan ketuban pecah dini
(Cunningham et al, 2005). Berbagi mikroorganisme seperti Gardnerella vaginalis,
Chlamydia trachomatis, E. colli dan Group Beta Steptococcus sering dihubungkan dengan
terjadinya persalinan preterm.Hampir 50% kasus yang dirawat dengan persalinan preterm
mempunyai koloni kuman yang tidak normal divagina dibandingkan dengan 15% pada
kelompok kontrol. Angka kejadian yang tinggi didominasi oleh golongan Bacteroides,
Garderella vaginalis, Ureaplasma urealithicum, Mycoplasma hominis, Group B
Streptococcus (Abadi,1999; Pararas et al, 2006).
Penelitian sebelumnya menggambarkan adanya hubungan antara penanda infeksi dan atau
inflamasi pada saluran genitalia atas dan saluran genitalia bawah dengan kejadian
persalinan preterm (Simhan et al, 2003).
Infeksi dapat merupakan salah satu penyebab persalinan kurang bulan, terutama infeksi
yang menjalar dari saluran genitalia bawah ke selaput korioamnion (korioamnionitis).
Penelitian terhadap penanda biokimia adanya korioamnionitis seperti fibronektin fetal,
interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, faktor nekrosis tumor, protein C reaktif dan
neutrofil elastase pada selaput korioamnion telah banyak dilakukan, namun merupakan
pemeriksaan invasif dan memerlukan biaya yang mahal (Anna, 2010).
Pematangan serviks dalam persalinan merupakan suatu proses inflamasi.
Proses ini
menyebabkan terjadinya penurunan jumlah kolagen. Neutrofil ini sendiri merupakan
sumber kolagenase, yang menyebabkan pematangan serviks yang diperantarai oleh sitokin
(IL-8) (Goldberg,2011).
Pada kehamilan, ditemukan diantara wanita dengan persalinan preterm spontan dengan
membran intak, lebih dari 5 netrofil perlapang pandang (pembesaran x 400 ) sangat sensitif
menunjukkan infeksi atau inflamasi dari cairan amnion. (Hitti et al, 2001)
Para ahli terus mengembangkan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, penanganan
persalinan dan kelahiran preterm dengan tujuan meningkatkan outcome bayi preterm.
Idealnya, ibu hamil memerlukan skrining yang menjadi bagian dari pelayanan antenatal
untuk mengidentifikasi risiko dan mencegah terjadinya kelahiran preterm. Telah banyak
tes diagnostik yang digunakan untuk memprediksi kelahiran preterm sebelumnya, namun
belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk digunakan klinisi
dalam praktek sehari-hari (Masset, 2003).
Pemeriksaan yang tidak invasif dan telah dilakukan di RS Dr. Hasan Sadikin adalah
pemeriksaan gabungan pH dan neutrofil vagina yang memberikan nilai spesifisitas dan
akurasi yaitu 83,3% dan 75% untuk memprediksi terjadinya persalinan kurang bulan (Ieffa,
2005). Penanda biologik ini meningkat pada swab vagina, yang ditemukan pada persalinan
preterm melalui pemeriksaan pengecatan gram (Simhan et al, 2003).
Pengecatan gram digunakan untuk mendiagnosis neutrofil, dan dievaluasi menggunakan
sisitem skoring Nugent 10-point. Neutrofil vagina akan dihitung dalam lima lapangan
pandang yang nonkonsekutif tanpa mukus serviks dan bahan lainnya. Hanya daerah yang
mengandung
satu
lapis
sel
epithelial
yang
akan
dievaluasi.
(Hiller,1995;Krohn,1995;Cotch,1997;Nugent,1991)
Berdasarkan data tersebut diatas, maka dianggap perlu dilakukan penelitian di RSUP
Sanglah mengenai tes diagnostik neutrofil vagina melalui swab vagina pasien, dimana
tingginya jumlah neutrofil vagina perlapangan pandang meningkatkan kejadian persalinan
preterm.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka terdapat permasalahan
sebagai berikut: Apakah jumlah neutrofil yang tinggi perlapangan pandang pada swab
vagina meningkatkan resiko terjadinya persalinan preterm.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui jumlah neutrofil perlapangan pandang pada swab vagina dan
apakah beresiko tinggi pada persalinan preterm.
1.3.2 Tujuan khusus
1.Untuk mengetahui jumlah neutrofil vagina perlapangan pandang pada kehamilan
normal.
2. Untuk mengetahui jumlah neutrofil vagina perlapangan pandang pada wanitahamil
denganpersalinan preterm.
3. Untuk mengetahui hubungan jumlahneutrofil vagina perlapangan pandang antara
kehamilan normaldengan persalinan preterm.
4. Untuk mengetahui bahwa neutrofil vagina yang tinggi pada swab vagina merupakan
faktor risiko persalinan preterm.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi ilmu pengetahuan
Apabila didapatkan neutrofil vagina yang tinggi pada persalinan preterm, maka
dapat dibuktikan bahwa infeksi/inflamasi merupakan faktor risiko terjadinya persalinan
preterm.
1.4.2 Manfaat bagi pelayanan
Apabila neutrofil vagina yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya persalinan
preterm, dapat diusulkan sebagai pemeriksaan awal atau penanda untuk terjadinya
persalinan preterm.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20 minggu
sampai kurang dari 37 minggu atau 259 hari gestasi, dihitung dari haid pertama hari
terakhir (WHO, 2009).
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, 1995, persalinan preterm
adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (Cunningham et al,
2005).
Creasy dan Herron (2009) mendefinisikan persalinan preterm sebagai persalinan pada usia
gestasi 20 – 36 minggu, dengan kontraksi uterus empat kali setiap 20 menit atau delapan
kali setiap 60 menit selama enam hari, dan diikuti oleh satu dari beberapa hal berikut:
ketuban pecah dini (premature rupture of membrane/ PROM), dilatasi servik ≥ 2 cm,
penipisan servik> 50%, atau perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan serviks pada
pemeriksaan secara serial. Definisi persalinan preterm lainnya yaitu munculnya kontraksi
uterus dengan intensitas dan frekuensi yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan
dilatasi servik sebelum memasuki usia gestasi yang matang, antara 20 sampai 37 minggu
(Ross, 2009).
Indikator yang sering dipakai untuk menyatakan terjadinya persalinan adalah kontraksi
uterus dengan frekuensi paling sedikit 4 kali setiap 20 menit dan lamanya kontraksi 30
7
detik atau lebih, disertai perubahan serviks yang progresif, dilatasi servik> 1 cm dan
penipisan > 80% (Cunningham et al, 2005).
2.2. Insiden persalinan preterm
Insiden persalinan preterm berbeda-beda di beberapa negara tergantung populasi.Di
Amerika Serikat sejak tahun 1981-1989, didapatkan insiden persalinan preterm meningkat
dari 9% menjadi 11%.Sekitar 80% karena ketuban pecah dini preterm dan partus preterm
spontan (Yost, 2000).
Insiden persalinan preterm di Afrika 11,9%, Asia 9,1%, Australia 6,4% dan Eropa 6,2%.
Pengetahuan tentang faktor risiko dan mekanisme persalinan preterm terus dipelajari,
namun angka kejadian persalinan preterm cenderung meningkat, di Amerika Serikat dari
9,5% pada tahun 1981 menjadi 12,7% pada tahun 2005 (Hamilton, 2005).Insiden
persalinan preterm di beberapa rumah sakit pemerintah di Indonesia beberapa tahun
terakhir bervariasi antara 3-9%. Di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1998-2000,
berkisar 8,2%. Di RS Sanglah Denpasar tahun 1998-2000, partus preterm spontan
memberikan kontribusi sebesar 33,3% sebagai penyebab persalinan preterm dan 31,7%
oleh karena ketuban pecah dini (Teguh, 2001). Dan pada tahun 2001-2003 di RS Sanglah
Denpasar, persalinan preterm sebesar 8,3% dari seluruh persalinan (Udiarta,2004).
2.3. Etiologi
Persalinan preterm terjadi oleh karena berbagai mekanisme, termasuk infeksi,
inflamasi, iskemi atau perdarahan uteroplasenta, peregangan uterus yang berlebihan, stres,
dan berbagai macamproses imunologi (Romero, 2008). Berbagai penelitian telah dilakukan
untuk mencari faktor-faktor risiko persalinan preterm, namun adanya faktor risiko tersebut
tidak selalu menyebabkan terjadinya persalinan preterm, bahkan sebagian persalinan
preterm yang terjadi spontan tidak mempunyai faktor risiko yang jelas (Goldenberg, 2005).
Ada tiga kelompok yang mungkin sebagai penyebab persalinan preterm (Blanco, 2000;
Saifuddin dkk, 2000), yaitu:
1. Partus preterm atas indikasi ibu/janin (obstetri ).
Persalinan dibuat atas indikasi medis atau bedah dimana kondisi intrauterin dapat
membahayakan janin atau membahayakan ibunya. Pada keadaan ini janin dilahirkan
untuk mencegah morbiditas atau mortalitas ibu dan atau janin tanpa memperhatikan
umur kehamilan. Kondisi ini termasuk preeklampsia, hipertensi kronik, diabetes
mellitus, plasenta previa atau solusio plasenta. Persalinan ini terjadi sekitar 20-30%
dari seluruh persalinan preterm.
2. Ketuban pecah dini preterm
Sekitar 70-80% persalinan preterm disebabkan oleh ketuban pecah dini preterm atau
partus preterm spontan.Ketuban pecah dini sendiri memberi kontribusi sekitar
30%.Walaupun kedua kondisi ini biasanya dianggap terpisah, tetapi pada
kenyataannya saling mempengaruhi.
3. Partus preterm spontan
Seperti dikemukakan di atas, bahwa partus preterm spontan sering menyebabkan
ketuban pecah dini dan sebaliknya banyak ibu hamil dengan ketuban pecah dini
mempercepat terjadinya partus preterm.Persalinan preterm terjadi secara spontan pada
50% kasus. Pada tahun-tahun terakhir ditunjukkan bahwa proses infeksi inflamasi
sebagai penyebab ketuban pecah dini dan partus preterm spontan.
Beberapa konsep yang ada telah menjelaskan patofisiologi persalinan preterm ini yang
dikaitkan dengan kejadian infeksi, iskemia, inflamasi dan tanggap kebal (immune respons)
pada jaringan korioamnion dan desidua yang umumnya berasal dari infeksi di vagina dan
servik. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan kejadian persalinan
preterm: (Smith,2007;Thompson,2006; Hendler,2005)
1. Faktor psiko-sosio demografik
a. Sosial, ekonomi dan pendidikan rendah
b. Status perkawinan
c. Usia ibu (< 16 tahun atau > 35 tahun)
d. Ras dan etnis
e. Status gizi
f. Perilaku ibu
g. Stres
2. Faktor ibu
a. Riwayat kehamilan sebelumnya (persalinan prematur, abortus, interval
kehamilan)
b. Inkompetensi serviks
c. Kelainan uterus
d. Kelainan medis pada ibu (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan
hipertiroid)
e. Peregangan uterus yang berlebihan (kehamilan kembar, polihidramnion)
f. Perdarahan pervaginam ( plasenta previa atau solusio plasenta)
3. Faktor infeksi
a. Infeksi intra uterin :
1) Ascenden dari vagina dan servik
2) Hematogen melewati plasenta
3) Iatrogenic akibat prosedur invasif
4) Penyebaran melalui saluran telur
b. Infeksi Ekstra uterin
1) Pielonefritis
2) Bakteriuria asimptomatis
3) Pneumonia
4) Periodontitis
5) Infeksi virus (varicella,malaria)
c. Infeksi Genital
1) Bakterial vaginosis
2) Chlamydia trachomatis
4. Faktor genetik dan biologi
2.4. Patogenesis Persalinan Preterm
2.4.1 Infeksi dan inflamasi
Infeksi merupakan penyebab tersering dari persalinan preterm, dimana bakteri
dapat menyebar ke uterus dan cairan amnion sehingga memicu terjadinya inflamasi dan
mengakibatkan persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Terdapat beberapa macam
bakteri yang dihubungkan dengan persalinan preterm yaitu : Gardrenella vaginalis,
Mycoplasma homnis, Chlamydia, Ureaplasma urealyticum, Fusobacterium, Trichomonas
vaginalis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli dan Hemophilus vaginalis (Romero,
2002). Persalinan spontan yang terjadi pada trimester kedua dihubungkan oleh infeksi virus
pada jaringan plasenta. Menurut beberapa penelitian, infeksi Human Papilloma Virus
(HPV) dan Cytomegalovirus (CMV) dapat merangsang kematian sel trofoblas ekstravilli
dan mengurangi invasi plasenta pada dinding uterus sehingga menyebabkan disfungsi
plasenta dan berakibat pada keluaran bayi, termasuk persalinan preterm (Gomez, 2008).
Korioamnionitis adalah infeksi pada membran janin dan cairan amnion, juga dihubungkan
dengan persalinan preterm. Infiltrasi sel-sel radang pada membran janin dan desidua
merangsang
pengeluaran
prostaglandin
sehingga
memicu
terjadinya
persalinan.
Mekanisme ini terjadi oleh karena infeksi bakteri ascendens dari saluran genitalia bagian
bawah ke lapisan koriodesidua dan selanjutnya menuju rongga amnion dan janin, yang
dijelaskan sebagai berikut(Cunningham, 2005) :
a. Mikroorganisme menghasilkan enzim protease dan musinase yang menghidrolisis
barier mukus serviks dan melemahkan jaringan kolagen pada selaput membran
korioamnion sehingga mikroorganisme dapat menembus servik.
b. Bakteri juga menghasilkan fosfolipase yang berperan dalam pembentukan
asam
arakidonat (senyawa yang membentuk prostaglandin). Prostaglandin merupakan
mediator penting terjadinya kontraksi otot polos uterus dan pembukaan servik.
c. Mikroorganisme menghasilkan sitokin dan kemokin inflamasi seperti interleukin-1
(IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF) yang merangsang
pembentukan prostaglandin dan matrix metalloproteinase (MMP) yang menyebabkan
kerusakan membran, preterm premature rupture of the membrane (PPROM),
pembukaan servik dan kontraksi uterus.
d. Pada janin yang terinfeksi, terjadi peningkatan produksi corticotropin releasing
hormone (CRH) oleh hipotalamus janin dan plasenta yang menyebabkan peningkatan
sekresi kortikotropin janin, yang selanjutnya meningkatkan produksi kortisol oleh
adrenal janin. Sekresi kortisol akan meningkatkan produksi prostaglandin dan
menyebabkan timbulnya kontraksi uterus.
Gambar 2.1 Lokasi Potensial Infeksi bakteri (Goldenberg , 2000)
Patogenesis terjadinya persalinan preterm dikemukakan oleh Goldenberg (2000) adalah
sebagai berikut :
Jalur pertama yang menginisiasi persalinan preterm adalah invasi bakteri pada
koriodesidua yang merangsang pelepasan endotoksin, eksotoksin, dan juga mengaktifkan
desidua dan membran janin untuk menghasilkan berbagai sitokin, yaitu TNF- α, IL-α, IL1β, IL-6, IL-8 dan granulocyte colony-stimulating factor (GCSF). Sitokin, endotoksin, dan
eksotoksin merangsang pembentukan dan pelepasan prostaglandin serta mengawali
kemotaksis neutrofil, infiltrasi dan aktivasi, dimana pada puncaknya akan terjadi
pembentukan dan pelepasan metalloprotease dan substansi bioaktif lainnya. Prostaglandin
akan merangsang kontraksi uterus dimana invasi metalloprotease pada membran
korioamnion menyebabkan pecahnya ketuban. Metalloprotease juga menyebabkan
perlunakan dan remodelling kolagen servik.
Cairan amnion pada wanita dengan persalinan preterm yang disertai dengan infeksi intra
amnion memperlihatkan peningkatan kadar sitokin seperti IL-1, TNF-α, IL-6 dan RANTES
( regulated on activation, normal T-cell-expressed and secreted).
Kadar sitokin-sitokin dalam cairan amnion berhubungan dengan adanya infeksi
korioamnion. Produksi prostanoid pada desidua, korion, amnion dan sel miometrium dan
produksi endotelin oleh sel amnion dan sel desidua dirangsang oleh tingginya konsentrasi
endotoksin dan juga oleh IL-1 dan TNF-α. Keberadaan IL-6 pada serum, cairan amnion
serta sekret servikovagina berhubungan dengan kejadian korioamnionitis dan persalinan
preterm.
Aktivasi dari jejaring sitokin menyebabkan peningkatan apoptosis plasenta dan selaput
korioamnion dengan glikoprotein pada Fas Ligand (Fasl). Ekspresi Fasl diatur oleh TNFα pada plasenta. Apoptosis dari sel otot polos servik berperan dalam pembukaan sevik dan
mengambil tempat pada sel epitel amnion dalam sel selaput janin dan menyebabkan
pecahnya selaput.
Jalur kedua yang berperan adalah prostaglandin dehidrogenase di jaringan korion yang
dapat menghambat masuknya prostaglandin ke miometrium sehingga mencegah terjadinya
kontraksi uterus. Infeksi korionik dapat menurunkan aktivitas dehidrogenase ini, sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah prostglandin yang mencapai miometrium.
Jalur ketiga melibatkan janin itu sendiri. Pada janin yang terinfeksi, terjadi peningkatan
produksi CRH (Corticotropin Releasing Hormone) oleh hipotalamus janin dan plasenta
yang
menyebabkan
peningkatan
sekresi
kortikotropin
janin,
yang
selanjutnya
meningkatkan produksi kortisol oleh adrenal janin. Pada akhirnya sekresi kortisol akan
meningkatkan produksi prostaglandin dan menyebabkan timbulnya kontraksi uterus. Pada
janin yang terinfeksi terjadi peningkatan produksi sitokin dan waktu persalinan semakin
cepat. Pada 88 % kasus janin terinfeksi dan terjadinya peningkatan produksi sitokin, terjadi
persalinan dalam waktu 48-72 jam kemudian. Perbedaan waktu antara terjadinya infeksi
dengan kejadian persalinan preterm belum diketahui pasti penyebabnya.
Gambar 2.2 Mekanisme Potensial Persalinan Preterm akibat Kolonisasi Bakteri
Koriodesidual (Goldenberg , 2000)
2.4.2 Aktivasi maternal-fetal hipotalamus-hipofisis-axis adrenal
Stres meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm dengan meningkatkan
pelepasan CRH (Corticotropin Releasing Hormone).
CRH berasal dari hipotalamus dan berperan sebagai mediator pelepasan ACTH(
Adrenocorticotropin Hormone), kemudian ACTH akan meningkatkan sekresi kortisol.
Peningkatan kortisol secara cepat dapat meningkatkan jumlah CRH dalam sirkulasi darah
sehingga produksi prostaglandin juga meningkat. Prostaglandin berperan sebagai
uterotonin dan meningkatkan kemampuan miometrium melalui peningkatan jumlah
reseptor oksitosin dan juga melalui pembentukan gap-junction.
CRH juga merangsang produksi estrogen plasenta dengan menstimulasi prekusornya dari
kelenjar adrenal janin. Estrogen berinteraksi dengan miometrium sehingga terjadi kontraksi
dan pembukaan servik(Cunningham, 2005) .
2.4.3 Perdarahan desidua
Perdarahan desidua adalah perdarahan yang terjadi didalam desidua yaitu jaringan
endometrium yang membatasi uterus, yang berhubungan dengan membran janin dan
plasenta. Perdarahan desidua akan menyebabkan penurunan fungsi dari pembuluh darah
uteroplasenta dan kekurangan oksigen pada janin yang akan melepaskan CRH,
meningkatkan serbukan makrofag dengan pelepasan sitokinnya atau secara langsung
merangsang produksi protease dan prostanoid desidua melalui pembentukan trombin.
Aktivitas trombin merangsang koagulasi dan pembentukan gumpalan darah (clot),
sehingga merangsang produksi protease. Protease memiliki kemampuan untuk merusak
membran janin dan menyebabkan pembukaan serviks sehingga terjadi preterm premature
rupture of the membranes (PPROM). Trombin juga secara tidak langsung memiliki efek
uterotonika pada miometrium dan merangsang kontraksi (Cunningham, 2005).
Berkurangnya aliran darah ke uterus yang terjadi sekunder akibat dari kelainan pembuluh
darah berakibat terjadinya kerusakan jaringan setempat oleh perioksidase lemak (lipid
perioksidase/LPO) dan radikal bebas, ini akan meningkatkan produksi prostanoid, protease
dan endotelin yang akan meningkatkan pelepasan CRH (Lockwood, 2009).
2.4.4 Peregangan uterus yang berlebihan
Peregangan uterus yang berlebihan seperti polihidramnion, kehamilan multipel dan
kelainan anatomi uterus dapat meningkatkan risiko persalinan pretem spontan. Mekanisme
yang ditimbulkan adalah : peregangan dapat meningkatkan aktivitas miometrium,
pengeluaran prostaglandin dan sitokin, serta meningkatkan reseptor oksitosin pada
miometrium sehingga tejadi persalinan preterm
(Romero, 2005).
Gambar 2.3 Jalur dan mediator potensial dalam persalinan preterm (Perkin, 2009)
2.5. Infeksi Multibakterial di Vagina Ibu Hamil
Pada wanita hamil jarang diperhatikan mengenai pola mikroorganisme yang
terdapat pada liang vagina. Pada wanita hamil, flora normal vagina terdiri dari
Staphylococcus epidermis, Lactobacillus dan ragi. Mikroorgansme patogen yang mungkin
ditemukan pada cervical swab yaitu Streptococcusbeta haemolyticus, Neisseria
gonorrhoeae sedangkan pada vaginal swab ditemukan Trichomonas vaginalis, Candida sp,
Klebsiella sp, Lactobacillus, Gardenella vaginalis, E.coli kadang-kadang Neisseria
gonorrhoeae. Dan mikroorganisme inilah yang sering dihubungkan dengan terjadinya
persalinan preterm (Klein, 2004; Newton, 2001; Orlando Regional Health Care, 2004).
Herawati (2005) dalam penelitiannya mengenai pola mikroorganisme pada liang vagina
wanita hamil di RSU Soetomo mendapatkan sebanyak 37% hasil pembenihan positif pada
osteum cervix dan 47% pada forniks posterior vagina. Dari osteum cervix terdiri dari
Streptococcus a. hemolitikus (23%), Lactobacillus (31%), Staphylococcus aureus (15%)
,Staphylococcus albus (8%) dan Escherichia coli (23%). Sedangkan pada forniks posterior
vagina yang terbanyak adalah Streptococcus a. hemolitikus dan Escherichia coli (36%).
Pada kehamilan normal, cairan vagina bersifat asam (pH 3,8-4,5), akibat peningkatan
kolonisasi Lactobacillus (flora normal vagina) yang memproduksi asam laktat. Keadaan
asam yang berlebih ini mencegah pertumbuhan berlebihan bakteri patogen, sehingga
menurunkan risiko persalinan preterm. Keadaan ini tidak selalu dapat dipertahankan,
karena apabila jumlah bakteri Lactobacillus menurun, maka keasaman cairan vagina
berkurang dan akan mengakibatkan pertambahan bakteri lain, yaitu antara lain Gardnerella
vaginalis, Mycoplasma hominis, dan Bacteroides sp.; keadaan ini juga dapat terjadi pada
wanita dengan Lactobacillus yang tidak menghasilkan H2O2. Terdapat hubungan timbal
balik antara dihasilkannya H2O2 dengan terjadinya vaginosis bakterial, meskipun jumlah
Lactobacillus tidak menurun (Chang JC et al, 2007 ; Eckert LO, 2006 ; Mulyawan SY,
2001).
Infeksi multibakterial di vagina ibu hamil cenderung menimbulkan berbagai perubahan,
yang sering terjadi adalah perubahan pH vagina oleh karena perubahan flora
normal.Vaginosis bakterial adalah suatu keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang
disebabkan oleh bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob menggantikan
Lactobacillus yang mempunyai konsenterasi tinggi sebagai flora normal vagina. Infeksi
multibakterial seperti halnya vaginosis bakterial didefinisikan sebagai suatu keadaan
abnormal pada ekosistem vagina yang dikarakterisasi oleh pergantian konsentrasi
Lactobacillus yang tinggi sebagai flora normal vagina oleh konsentrasi bakteri anaerob
yang tinggi, terutama Bacteroidessp., Mobilincus sp., Gardnerella vaginalis, dan
Mycoplasma hominis. Jadi vaginosis bakterial bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh
satu organisme, tetapi timbul akibat perubahan kimiawi dan pertumbuhan berlebih dari
bakteri yang berkolonisasi di vagina (Hillier, 2005 ; Mulyawan SY, 2001).
Mekanisme dan patofisiologi infeksi vagina dan pengaruhnya pada kejadian persalinan
preterm sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Pada beberapa penelitian telah
dikemukakan bahwa beberapa jenis kuman menghasilkan enzim yang mempengaruhi
selaput amnion dan desidua. Bacteroides species meningkatkan risiko terjadinya penjalaran
infeksi ke atas (ascendens) serta mampu melunakkan tegangan selaput khorioamniotik
dengan enzim protease yang dihasilkan bersama – sama kuman Group B Streptococcus.
Kelompok
mikroorganisme
gram
negatif
yang
menghasilkan
endotoksin
(lipopolisacharida) dan gram positif yang menghasilkan peptidoglikan akan mengaktifkan
makrofag untuk menghasilkan mediator radang (sitokin) yang berperan dalam
pembentukan prostaglandin. Tampaknya infeksi pada vagina dan servik merupakan pemicu
terjadinya persalinan preterm melalui jalur pembentukan prostaglandin (Abadi, 1999)
Untuk mengidentifikasi infeksi multibakterial di vagina ibu hamil digunakan cara swab
vagina yang kemudian dilakukan kultur menggunakan media tertentu. Beberapa
mikroorganisme yang bisa teridentifikasi dengan “blood agar” yaitu Escherichia coli,
Salmonella, Shigella, Enterobacteriaceae, Pseudomonas, Moraxella, Helicobacter,
Stenotrophomonas, Bdellovibrio, acetic acid bacteria, Legionella, Neisseria gonorrhoeae,
Hemophilus influenzae, Klebsiella pneumoniae, Legionella pneumophila, Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Enterobacter cloacae, Serratia
marcescens, Helicobacter pylori, Salmonella enteritidis, Salmonella typhi. Dan dengan
menggunakan media agar Mac Conkey dapat teridentifikasi Staphylococcus, Enterococcus,
Bacillus, Corynebacterium, Nocardia, Clostridium, Actinobacteria, Listeria, Mycoplasma,
Actinobacteria (Hiller, 2005).
2.6Neutrofil
Neutrofil, disebut juga leukosit polimorfonuklear merupakanjumlah yang paling
banyak dari populasi sel darah putih dan sebagai perantara fase awal dari reaksi inflamasi
(Andrew,2010).
Neutrofil merupakan sel yang berbentuk bola dengan diameter kira-kira 12-15 µm dengan
membran yang banyak.Neutrofil memiliki segmen yang terbentuk dari 3 sampai 5 lobulus
yang saling berhubungan, oleh karena itu neutrofil disebut juga polymorphonuclear
leukocyte.Sitoplasma neutrofil terdiri dari 2 tipe granula. Yang paling banyak adalah
granula spesifik yang terdiri dari enzim seperti: lysozyme, kolagenase dan elastase.
Granulosa ini tidak memberikan pewarnaan yang kuat pada pengecatan dasar atau
pengecatan yang bersifat asam ( seperti hematoxylin, eosin dan sejenisnya), hal ini yang
membedakan granulosa neutrofil dengan basofil dan eosinofil. Granulosa yang lain dari
neutrofil disebut granulose azurophilic adalah lisosom yang mengandung enzim dan
substansi mikrobisidal lainnya, termasuk defensins dan cathelicidins (Andrew,2010).
Gambar 2.4Morfologi Neutrofil. Mikrograf cahaya dari neutrofil darah menunjukkan
nukleus yang multilobus dan granulosa sitoplamik yang jenuh, oleh karenanya disebut juga
polymorphonuclear leukocyte (Andrew, 2010)
Neutrofil diproduksi di sumsum tulang belakang dan keluar dari asal yang sama dengan
fagosit mononuklear. Produksi dari neutrofil distimulasi oleh granulocyte colonystimulating factor (G-CSF).Manusia dewasa memproduksi lebih dari 1x1011 neutrofil
perhari, dan bersirkulasi dalam darah hanya kurang lebih 6 jam.Neutrofil bisa berpindah
ketempat yang mengalami infeksi, hanya dalam beberapa jam setelah masuknya mikroba.
Jika neutrofil tidak menuju ke tempat terjadinya reaksi inflamasi pada periode tersebut, hal
tersebut menunjukkan terjadi proses apoptosis dan biasanya terjadi fagositosis oleh
makrofag di hati atau limpa. Setelah memasuki jaringan, fungsi dari neutrofil hanya
beberapa jam dan kemudian mati.
Gambar 2.5 Hematopoiesis. Perkembangan dari berbagai macam sel darah merah
digambarkan dalam “Pohon Hematopoietic” (Andrew, 2010)
2.7 Fagositosis dan Respon Inflamasi
Fagosit, termasuk neutrofils dan makrofag adalah sel-sel yang fungsi utamanya
adalah untuk mengidentifikasi, memakan atau mencerna dan menghancurkan mikroba.
Respon fungsional dari fagosit dalam pertahanan host terdiri dari langkah-langkah
berurutan : perekrutan aktif sel ke tempat infeksi. Pengenalan mikroba, proses ingesti
mikroba dengan proses fagositosis, dan penghancuran mikroba. Selain itu, fagosit
menghasilkan sitokin yang melayani banyak peran penting dalam respon imun adaptif dan
perbaikan jaringan. (Andrew,2010)
2.7.1 Perekrutan leukosit ke situs infeksi
Neutrofil dan Monosit direkrut dari darah ke situs infeksi dengan mengikat molekul
adhesi pada sel endotel dan kemoatraktan dihasilkan sebagai respons terhadap infeksi.Pada
suasana non infeksi, leukosit berada di sirkulasi dan tidak berada di jaringan.Perekrutan
leukosit adalah proses bertahap dimulai dari pengikatan leukosit pada lapisan endotelial
pada lumen vena post kapiler kemudian migrasi melewati dinding pembuluh darah (
Gambar 2.7) Setiap langkah diatur oleh beberpa molekul tertentu. (Andrew,2010)
1. Selektin-memediasi pemindahan lekosit pada endotel
Sebagai respon yang timbul akibat adanya mikroba dan sitokin yang diproduksi
oleh sel –sel yang menyerang mikroba, sel endotelial pada daerah kapiler dimana
terdapat inflamasi terjadi peningkatan ekspresi protein permukaan yang disebut
selektin.Salah satu sitokin yang terpenting dalam aktivasi endotel adalah Tumor
Necrosis Factor (TNF) dan Interleukin 1 (IL-1).Kedua tipe dari selektin yang
diekspresikan dari sel endotel adalah selectin-P, yang tersimpan pada granul
sitoplasma dan secara cepat didistribusikan pada permukaan sebagai respon dari
produk mikroba dan sitokin.Selektin-E yang disintesis sebagai respon dari
interleukin 1(IL-1) dan TNF, bersamaan dengan produk mikroba, diekspresikan ke
permukaan sel dalam waktu 1 sampai 2 jam. Selektin ketiga, disebut Lselektin(CD62L), diekspresikan pada limfosit, dan leukosit lainnya. Dimana ia
menyediakan reseptor untuk limfosit T dan sel dendrit pada limfonodi, memediasi
ikatan antara limfosit T dengan endotel vena. Pada neutrofil, memberikan ikatan
pada sel endotel yang diaktivasi oleh sitokin (TNF,IL-1, dan IFN∂) yang terdapat
pada inflamasi. Leukosit mengekspresikan L-selektin dan ligan kaborhidrat untuk
selektin P dan E pada mikrovili masing-masing, memfasilitasi interaksi dengan
molekul pada permukaan sel endotel. Interaksi ligan selektin-selektin adalah
dengan afinitas yang rendah (Kd-100mm), mudah dilepaskan oleh gaya pada aliran
darah. Sehingga, leukosit kembali berikatan dengan permukaan endotel. Hal ini
menunjukkan bahwa leukosit pada endotel memulai
langkah selanjutnya pada
proses aktivasi leukosit.
2.
Mediasi kemokin meningkatkan afinitas integrin
Kemokin adalah polipetida sitokin berukuran kecil,yang diproduksi oleh makrofag
jaringan, sel endotel, dan beberapa tipe sel sebagai respon dari produk mikroba, IL1, TNF, sitokin yang diasosiasikan dengan infeksi. Fungsi utama dari kemokin
adalah untuk menstimulasi kemotaksis dari sel (“kemokin” adalah kontraksi dari
“sitokin
kemoatraktan”).
Kemokin
diproduksi
pada
tempat
infeksi
dan
ditransportasikan ke lumen permukaan dari sel endotel pada vena kapiler, dimana
mereka berikatan dengan heparan sulfat glikosaminoglikan, dan terjadi pada
konsentrasi yang tinggi. Pada lokasi ini, kemokin berikatan dengan reseptor
kemokin yang spesifik
pada permukaan leukosit.Leukosit mengekspresikan
molekul adhesi disebut integrin.Dimana dengan kondisi afinitas rendah tetap
memerankan interaksi adhesi.Dua konsekuensi sinyal dari reseptor kemokin; 1)
meningkatnya afinitas dari leukosit-integrin pada ligan-nya, dan clustering
membran pada integrin, keduanya menyebabkan meningkatnya aviditas dari
integrin-mediated untuk adhesi leukosit pada permukaan sel endotel.
3. Stable integrin- memediasi adhesi leukosit pada dinding endotel
Paralel dengan aktivasi integrin dan konversinya menjadi keadaan afinitas tinggi,
sitokin (TNF dan IL-1) juga meningkatkan ekspresi ligan-integrin pada sel endotel,
terutama Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1, ligan untuk VLA-4
integrin) dan Intracelluar Adhesion Molecule (ICAM-1, ligan untuk I.FA-1 dan
Mac-1 integrins). Hasil dari perubahan ini adalah leukosit berikatan dengan
endothelium, sitoskeleton terorganisir, dan mereka tersebar pada permukaan
endotel.
4. Transmigrasi dari leukosit melewati endotel
Kemokin memiliki peran dalam adhesi leukosit dan stimulasi sel dalam migrasi
melewati ruang interendotelial mengikuti gradient konsentrasi kimia (pada lokasi
infeksi). Protein lain yang diekspresikan pada leukosit dan sel endotel, khususnya
CD31, memiliki peran dalam proses migrasi melewati endotel. Akumulasi leukosit
pada jaringan merupakan komponen utama dari proses inflamasi. Pada umumnya
ditimbulkan oleh mikroba, namun dapat juga diamati pada respon terhadap proses
non infeksi. Terdapat spesifitas pada proses migrasi leukosit tergantung pada
kombinasi molekul adhesi dan reseptor kemokin pada neutrofil maupun monosit.
Sebagai contoh, migrasi neutrofil melepaskan utamanya adalah LFA-1-ICAM-1
yang berinteraksi dan berkombinasi dengan reseptor kemokin CXCR-1 dan CXCR2, serta berikatan dengan CXCL8, dimana monosit utamanya melepaskan VLA-4VCAM-1 yang berinteraksi bersama dengan kemokin CCL2 berikatan dengan
reseptor kemokin CCR-2. Perbedaaan dari ekspresi molekul adhesi dan kemokin
pada lokasi infeksi menyebabkan neutrofil dilepaskan terlebih dahulu (dalam waktu
jam sampai sehari) diikuti selanjutnya oleh monosit (dalam hari sampai
minggu.Kombinasi molekul adhesi dan kemokin mengontrol migrasi dari limfosit
kedalam jaringan limfoid dan non limfoid.
Gambar 2.6 Perekrutan Leukosit (Andrew,2010)
2.7.2 Fagositosis dari mikroba
Neutrofil dan makrofag mencerna mikroba yang terikat pada vesikel disebut sebagai proses
fagositosis. (Andrew,2010)
Fagositosis adalah proses aktif, memerlukan energi dalam proses mencerna partikel yang
besar (>0,5 micrometer pada diameter). Proses mencerna mikroba ini bertempat pada
vesikel yang dibentuk saat fagositosis, dan proses ini berpotensi menyebabkan perlukaan
pada sel, namun prosesnya terlokalisir dari seluruh sel.(Andrew,2010)
Proses pertama dari fagositosis adalah pengenalan mikroba oleh sel fagosit.Neutrofil dan
makrofag yang terekspos dengan sel normal tidak akan memberikan reaksi apa-apa, namun
secara spesifik mereka akan bereaksi dan mencerna berbagai mikroba dan partikelnya.
Spesifitas menunjukkan bahwa neutrofil dan makrofag mengekspresikan reseptor yang
secara spesifik mengenali mikroba , dan secara fungsional reseptor ini berperan dalam
proses fagositosis. Beberapa reseptor ini merupakan reseptor pengenal, termasuk lektin
tipe-C dan reseptor scavenger. Reseptor pengenal berperan dalam proses fagositosis pada
organisme yang melepaskan pola tertentu, seperti mannose. Beberapa grup lain dari
reseptor fagositosis mengenali protein host yang menempel pada mikroba yang disebut
opsonins, dan termasuk antibodi, protein komplemen, dan lektin. Proses dari pelapisan
mikroba yang menjadi target fagositosis disebut opsonisasi. (Andrew,2010)
Fagositosis memiliki reseptor dengan afinitas tinggi yang berikatan secara spesifik pada
molekul antibodi, protein komplemen, dan lektin; reseptor ini sangat penting dalam proses
fagositosis pada beberapa mikroba. Salah satu dari sistim yang paling efisien dalam
opsonisasi mikroba adalah menyelimutinya dengan antibodi. Molekul antibodi memiliki
ikatan antigen pada satu sisi dan sisi lainnya dinamakan dengan region Fc, antibodi
berinteraksi dengan sel efektor dan molekul dari sistem imun bawaan.(Andrew,2010)
Fagosit mengekspresikan afinitas reseptor Fc yang tinggi disebut Fc∂RI spesifik untuk
antibodi Ig G. Ketika individu merespon adanya antigen mikroba dengan memproduksi Ig
G,dimana Ig G berikatan dengan antigen mikroba,ujung Fc berinteraksi dengan reseptor
Fc∂RI padasel fagosit, dan semakin meningkatkan efisiensi dalam proses fagositosis
mikroba tersebut.Berbagai macam jenis antibodi yang dihasilkan dalam proses ikatan ini,
bergantung dari jenis produk mikroba,opsonisasi mediated antibodi semakin memperluas
kemampuan fagositosis dan melengkapi kerja dari reseptor pengenal. Meskipun antibodi Ig
G penting dalam proses fagositosis dalam berbagai organisme, dimana Ig G adalah produk
dari respon imun adaptif yang dihasilkan oleh limfosit B yang menggerakan efektor respon
imun didapat (fagosit) untuk melakukan tugasnya. Berbagai variasi reseptor pengenal dan
molekul efektor dari sistim imun innate/didapat, termasuk komplemen dan lektin, adalah
merupakan opsonin yang penting. Opsonin ini terdapat didarah, mereka berikatan dengan
mikroba, dan sel fagosit mengekspresikan resesptornya untuk opsonin ini (Andrew,2010).
Saat mikroba atau partikelnya berikatan dengan reseptor sel fagosit, membran plasma pada
bagian reseptor mulai berubah bentuk mengelilingi mikroba. Saat membran menonjol
mengelilingi partikel, kemudian benar-benar mengelilingi/”zips up”, dan mengunci
membentuk mangkuk atau sebuah intraselular vesikel. Vesikel ini disebut fagosome, terdiri
dari partikel asing yang dicerna, dan terpisah oleh membrane plasma. Reseptor pada
membrane juga memberikan sinyal untuk aktivasi dari proses fagositosis. Bersamaan
dengan itu, mikroba yang difagositosis akan mengaktivasi peptide dari protein mikroba
dandipresentasikan ke limfosit T sehingga mengaktivasi respon imun adaptif.
(Andrew,2010)
2.7.3 Proses fagositosis mikroba (Andrew,2010)
Neutrofil dan makrofag yang teraktivasi akan membunuh mikroba dengan aktivitas
molekul mikrobisida pada fagolisosom.
Beberapa reseptor yang mengenali mikroba , seperti TLRs dan reseptor protein G-coupled,
antibodi Fc dan reseptor komplemen C3, dan reseptor sitokin, IFN∂, saling bekerjasama
dalam aktivasi sel fagosit dalam membunuh mikroba. Fusi dari vakuol sel fagosit
(fagosom) dengan lisosom membentuk formasi fagolisosom, dimana mekanisme
mikrobisidal berada. Mekanisme mikrobisidal akan dijelaskan sebagai berikut :

Neutrofil dan makrofag yang teraktivasi memproduksi beberapa enzim proteolitik
pada fagolisosom yang fungsinya adalah untuk membunuh mikroba. Salah satu
enzim yang penting adalah elastase, enzim serin protease spektrum luas dikenal
berperan dalam membunuh berbagai jenis bakteri. Enzim lainnya adalah katepsin
G, pada penelitian yang dilakukan pada gen tikus, menunjukkan bahwa gen-gen ini
berperan dalam proses proses fagositosis suatu bakteri.

Neutrofil dan makrofag yang teraktivasi merubah molekul oksigen menjadi
Reactive Oxygen Species (ROS), yang memiliki agen oxide yang reaktif dalam
membunuh mikroba (dan sel lainnya). Sistem utama dari pembentukan radikal
bebas adalah sistem fagosit oksidase. Fagosit oksidase diinduksi dan diaktivasi
oleh berbagai stimulus, salah satunya IFN∂ dan TLRs. Funsi dari enzim ini adalah
untuk mengurangi bentuk Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phospate (NADPH)
sebagai kofaktor. Superokside adalah enzim yang mengalami dismutase menjadi
hydrogen perokside, yang digunakan oleh enzim myeloperoksidase untuk merubah
ion halide normal menjadi asam hipohalous reaktif yang toksik terhadap bakteri.
Proses dimana ROS diproduksi disebut respiratory burst. Meskipun produksi ROS
utamanya fungsi fagosit oksidase, fungsi lain dari enzim ini adalah membuat
vakuol fagosit memproduksi growth factor seperti fibroblast dan sel endotel yang
berpartisipasi dalam proses remodeling jaringan setelah proses infeksi dan cedera.
Gambar 2.7 Fagositosis dan destruksi intraselular oleh mikroba (Andrew,2010)
Proses inflamasi itu sendiri merupakan salah satu tanda awal dari persalinan dan mungkin
mempengaruhi hal- hal lain dalam perubahan yang berhubungan dengan proses persalinan.
Thompson dkk, (1999) menggunakan imunohistokimia untuk menggambarkan bahwa
neutrofil dan makrofag merupakan sel yang terutama menginfiltrasi miometrium saat usia
kehamilan cukup bulan. Leukosit juga ditemukan dalam jumlah yang banyak pada jaringan
desidua dan amnion.Analisa sampel dari wanita inpartu cukup bulan didapatkan neutrofil
yang spesifik dan faktor pencetus (Haddad, 2006). Tidak hanya neutrofil yang ditemukan
dalam jumlah yang banyak di miometrium, desidua dan jaringan servik, tetapi sel ini
sebagai juga sebagai sumber utama dari tumor necrosis factor α (TNFα) dan sitokin
inflamasi lainnya, seperti: interleukin (IL) -1β, IL-6, dan IL-8 pada sampel jaringan,
selama proses persalinan spontan dibandingkan dengan yang tidak dalam proses persalinan
(Young, 2002).
Sel imun dari wanita yang dalam proses persalinan juga memproduksi faktor inflamasi
lainnya, seperti: reactive oxgen species (ROS) dimana dapat mengoksidasi lemak,
mengubah fungsi protein dan merubah DNA dengan memodifikasi basisnya, menggeser
tulang punggung deoxyribose, reaksi silang molekul lainnya dan memodifikasi secara
umum fungsi sel (Orrenius, 2007). Inflamasi mempengaruhi produksi dari prostaglandin
dan analognya, progesterone withdrawal juga dapat diaktifkan melalui mekanisme regulasi
nuclear factor (NF) κ B untuk meningkatkan bentuk hambatan dari progesterone reseptor
(Masden, 2004; Bisits, 2005). Sitokin dari proses reaksi inflamasi diketahui untuk
menginduksi protein dan gene MMP, konsentrasi serum prostaglandin dan menurunkan
sintesis kolagen (Farina, 2005).
Peningkatan sitokin inflamasi dan respon inflamasi dengan infiltrasi dan aktivasi neutrofil
pada jaringan desidua, menyebabkan bertambahnya dilatasi dan penipisan servik dan
melemahnya membran amnion (Challis, 2009; Oner, 2008).
Penelitian pada wanita dengan persalinan preterm menunjukkan peningkatan sensitivitas
dari tanda inflamasi dan peningkatan regulasi dari banyak gen pro-labor seperti: MMPs,
Prostaglandin dan sejumlah interleukin (Challis, 2009).
Gambar 2.8 Produk neutrofil dan efek progesteron reseptor pada proses persalinan (Anna,
2010)
2.8 Peran Neutrofil Vagina Dalam Persalinan
Proses persalinan melibatkan tiga proses fisiologis yang terpisah yaitu proses
perubahan (remodelling) dari servik yang disertai dengan proses pematangan dan dilatasi
servik sehingga bayi dapat lahir melalui jalan lahir, melemahnya dan pecahnya selaput
ketuban, dan inisiasi dari kontraksi yang ritmis disertai peningkatan amplitudo dan
frekuensinya (Holst, 2009).Proses perubahan dari servik dibagi dalam empat fase yang
saling tumpang tindih yaitu: pelembutan, pematangan, dilatasi dan pemulihan servik
pospartum (Timmons et. al., 2010).
Komponen penting dari persalinan adalah terjadinya proses pematangan servik. Perubahan
yang terjadi selama proses pematangan servik pada fase kedua persalinan ini disertai pula
dengan invasi stroma oleh sel inflamasi. Hal ini mencetuskan hipotesa bahwa proses
pematangan servik ini merupakan suatu proses inflamasi dimana terdapat kemoatraktan
yang memasukkan sel inflamasi ke dalam servik.
Proses pematangan servik ditandai dengan perubahan konsistensi, pendataran dan dilatasi
servik. Proses ini dievaluasi dengan skor Bishop. Proses ini dibagi ke dalam dua fase.
Adapun fase pertama adalah fase lambat (slow ripening) atau tahap persiapan. Pada fase ini
terjadi perubahan gradual dari kadar kolagen. Fase ini berlangsung kurang lebih mulai 32
minggu, atau paling awal pada usia 16-24 minggu. Fase kedua adalah fase cepat (rapid
ripening) yang terjadi sesaat sebelum onset persalinan (Holst, 2009).Proses pematangan
servik melibatkan perubahan besar pada jaringan ikat di servik. Selama fase lambat terjadi
penurunan jumlah kolagen sampai 30% dan proteoglikan sampai 50% dibandingkan
dengan ibu yang tidak hamil. Proses akhir dari pematangan servik ini adalah melembutnya
dan dilatasi dari servik. Mekanisme yang terlibat dalam proses pematangan servik ini
belum sepenuhnya diketahui (Senntrom et. al., 1997).
Pematangan servik berhubungan dengan berkurangnya kadar kolagen serta penurunan
jumlah serat kolagen. Selain itu juga terjadi proses penurunan daya regang dari matriks
ekstraseluler dari servik. Terdapat perubahan pada proses ini yaitu terjadi penurunan kadar
decorin (dermatan sulfat proteoglikan 2) yang menyebabkan separasi dari serat kolagen.
Kedua hal inilah yang mengakibatkan proses perlunakan servik (Goldberg et. al., 2011).
Matriks ekstraseluler pada servik berjumlah sekitar 85% dan serat otot hanya 610%.Matriks
ekstraseluler
servik
mengandung
komponen
fibriler,
proteoglikan,
hyaluronan, dan glikoprotein.Komponen fibriler terdiri dari kolagen dan elastin. Pada
servik, kolagen menempati jumlah terbnyak yaitu 80% dimana didominasi oleh kolagen
tipe I dan tipe III (Dubicke, 2009).Ikatan kolagen akan membentuk kekakuan dari servik
dan dengan cepat mengalami perubahan oleh pengaruh enzim kolagenase.
Kolagen yang terdapat dalam servik terutama kolagen tipe I, III dan IV.Kolagen tipe I dan
III merupakan komponen jaringan ikat utama, sedangkan yang tipe IV ditemukan
berhubungan dengan otot polos dan vaskuler. Dengan bertambahnya umur kehamilan
maka serat kolagen, otot polos dan fibroblas tersusun dengan rapat yang bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan atau daya regang jaringan sehubungan dengan bertambahnya berat
janin (Goldberg, 2011).
Proses perlunakan servik merupakan akibat dari proses pencernaan kolagen dalam servik
serta peningkatan kandungan air. Dengan adanya pematangan servik maka bagian atas dari
servik yaitu ostium uteri internum bergerak ke lateral sehingga menjadi sulit dibedakan
dengan segmen bawah rahim. Hal ini menandakan bahwa ostium uteri internum
merupakan tempat dimana proses pematangan servik menjadi maksimal (Kelly, 2002).
Dengan proses pematangan servik, terjadi penurunan jumlah kolagen. Selain itu terjadi
pula perubahan pada konsentrasi proteoglikan. Yang utama adalah penurunan konsentrasi
decorin dan peningkatan kadar kondroitin sulfat proteoglikan vercican, sedikit sulfat
proteoglikan biglikan dan sulfat proteoglikan heparan. Versican dapat menarik air dan
berikan dengan hyaluronan serta menghasilkan disintergrasi dari ikatan kolagen dan
perubahan pada struktur fisiknya sehingga menghasilkan jaringan yang lunak dan elastis
yang nantinya akan diikuti dengan proses dilatasi servik (Dubicke, 2009).
Gambar 2.9. Matriks Ekstraseluler Pada Servik (Dubicke, 2009)
Terdapat interaksi hormonal pada proses ini yaitu terjadi peningkatan kadar enzim
siklooksigenase-2 yang mengakibatkan peningkatan kadar prostaglandin E2 (PGE2) lokal
di servik. Hal ini akan mengakibatkan:
- Dilatasi dari pembuluh darah kecil di servik
- Peningkatan degradasi kolagen
- Peningkatan asam hyaluronidase
- Peningkatan kemotaksis leukosit yang mengakibatkan degradasi kolagen
- Peningkatan pelepasan interleukin-8 (Goldberg et. al., 2011dan Holst, 2009).
Pada persalinan preterm terjadi pula penurunan progesteron tetapi mekanismenya belum
jelas diketahui dan hal ini bukanlah merupakan satu-satunya pencetus inisiasi.Progesteron
yang menurun menyebabkan terjadi aktivasi Macrophage-likedecidua cell dan sumsum
tulang mengeluarkan makrofag. Makrofag ini akan memproduksi interleukin-1 (IL-1),
asam arakidonat, prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin F2 serta platelet activating
factor (PAF). Sedangkan sel desidua yang telah diaktifkan juga akan memproduksi
makrofag dan macrophage-like decidua cells yang kemudian melepaskan PAF, IL-1,
macrofag colony stimulating factor (mCSF) dan tumor necrosis factor (TNF). IL-1 dan
TNF mempengaruhi desidua untuk memproduksi prostaglandin, terutama PGE2 dan
PGF2.PGF2 terutama bekerja pada miometrium dalam pembentukan cell-to-cell gap
junction dan reseptor oksitosin.Pembentukan ini makin meningkat dengan adanya hormon
estrogen, tetapi dihambat oleh progesteron dan prostasiklin. Sekali cell-to-cell gap junction
ini terbentuk maka depolarisasi akan menjalar pada sel miometrium, yang mengakibatkan
meningkatnya ion kalsium intra selular. Kalsium ini akan berikatan dengan kalmodulin
untuk mengaktifkan myosin like chain kinase yang bekerja pada aktin dan miosin sehingga
akan menimbulkan pemendekan serabut miometrium dan terjadilah kontraksi. Sedangkan
PGE2 bersama-sama dengan mCSF mempengaruhi sel darah putih dan fibroblas di servik
menyebabkan terjadinya sintesis dan pelepasan kolagenase. Kolagenase ini akan memecah
jaringan kolagen servik sehingga jumlah kolagen menurun, maka terjadilahproses
pelunakan atau pematangan servik. Servik yang melunak ini akan menyebabkan mudahnya
terjadi penipisan dan pembukaan.(Gomez,1997).
Agen yang dapat digunakan untuk proses pematangan servik adalah kemokin yaitu
interleukin-8. Interleukin-8 mempunyai efek yang selektif dalam menstimulasi pelepasan
kolagenase
dari
granula
spesifik
tanpa
pelepasan
protease
desktruktif
yang
lainnya.Kecepatan produksi neutrofil sekitar 1011 perhari sehingga neutrofil merupakan
sumber yang tak terbatas dari kolagenase (Kelly, 2002).
Perubahan struktur servik saat persalinan yang ditandai dengan penurunan konsentrasi
kolagen, berkurangnya matriks dan peningkatan kandungan air menandakan bahwa
jaringan servik memberikan tahanan yang rendah. Selama kontraksi uterus jaringan servik
mengalami proses penipisan dan dilatasi. Pada saat pematangan servik terjadi proses
disosiasi dan degradasi kolagen yang mengakibatkan perubahan struktur kolagen selama
peride ini. Perubahan katalitik dari kolagen ini dimediasi oleh enzim kolagenase (matriks
metaloproteinase) yang telah dibuktikan pada beberapa penelitian bahwa kadarnya
meningkat pada serviks saat partus (Norman et. al, 2005)
Kolagenase yang terpenting adalah matriks metaloproteinase-8 yang dilepaskan lebih besar
dari granula neutrofil yang spesifik dibandingkan dengan yang disintesa oleh stroma
fibroblas servik. Terjadi infiltrasi neutrofil ke dalam stroma servik saat inpartu dan
mengakibatkan proses degranulasi. Interleukin-8 merupakan suatu kemokin yang
berefungsi untuk mengikat dan mengaktifkan neutrofil. Proses ekstravasasi neutrofil terjadi
dengan cara proses adhesi dan diapedesis melalui endotel pembuluh darah. Hal ini akan
diikuti dengan proses aktivasi neutrofil oleh interleukin-8.
Interleukin-8 merupakan kemokin yang dihasilkan oleh makrofag dan tipe sel lainnya
seperti sel epitel dan sel endotel. Fungsi utama dari interleukin-8 adalah untuk induksi
proses kemotaksis pada target sel yaitu neutrofil (Wikipedia, 2011).
Neutrofil merupakan sumber dari enzim kolagenase yang terdapat dalam granula spesifik
yang dapat diproduksi melalui proses degranulasi yang diperantarai oleh sitokin yaitu
interleukin-8. Dua fungsi utama dari interleukin-8 inilah yaitu proses masuknya neutrofil
(recruitment) dan menstimulasi neutrofil untuk memproduksi kolagenase menjadikan
interleukin-8 ini merupakan agen yang kuat untuk proses inisiasi pengaturan matriks
ekstraseluler pada proses pematangan servik. Kadar neutrofil dalam darah cukup tinggi
yaitu 6x106 mL dengan produksi harian rata-rata 1011 perhari (Kelly, 2002)
Gambar 2.10.Proses Pematangan Servik (Kelly, 2002).
Yudha dkk (2008), didapatkan hasil yang sangat bermakna (p<0,001) dengan jumlah neutrofil > 5 per lapang
pandang pada persalinan kurang bulan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Vincendo dkk (2007),
didapatkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudha dkk (2008), dimana didapatkan
jumlah neutrofil vagina > 5 per lapang pandang pada persalinan kurang bulan secara bermakna lebih tinggi
jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dalam usia pasangannya disertai dengan variasi yang lebar
(5,0(0-3.290) vs 0(0-11);p<0,001).
Jumlah neutrofil vagina yang terdeteksi pada penelitian oleh Riedewald dkk (2006), lebih tinggi yakni > 10
per lapang pandang (p<0,001) jika dibandingkan kontrol dengan usia berpasangan.
Berdasarkan kurva receiver operating characteristics (ROC) pada penelitian Yudha dkk (2008), didapatkan
nilai penentu (cut-off point) jumlah neutrofil vagina adalah > 9 per lapang pandang yang memberikan nilai
sensitivitas 73%, spesifisitas 100%, akurasi 87%, nilai prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 79%.
Pada penelitian Yamada dan Fayes (2006) nilai penentu (cut-off point) untuk jumlah neutrofil vagina adalah
> 10 per lapang pandang dengan sensitivitas 80%, spesifisitas 55%, akurasi 67,5%, nilai prediksi positif 64%
dan nilai prediksi negatif 73,3%.
2.9 Hapusan Pada Swab
Hapusan swab diambil dan hapuskan pada objek gelas dengan cara mengulirkannya
kebelakang dan kedepan bagian objek gelas untuk mendapatkan lapisan yang tipis dari
bahan sampel. Hal ini menjaga morfologi dan hubungan mikroorganisme dan elemen
selluler (Leona, 2010).
Swab tidak boleh diputar balik dan menyilang objek gelas, karena bahan yang penting
yang terdapat pada bagian yang berlawanan dari swab kemungkinan tidak terbaca dan
elemen dari smearakan menjadi rusak (Leona, 2010).
Gambar 2.11 Hapusan swab (Leona,2010)
2.10
Pewarnaan Gram
Pewarnaan adalah pewarnaan secara artifisial pada bahan hapusan sehingga
dapat dilihat dengan menggunakan alat pembesar yang disediakan yaitu mikroskop.
Pewarnaan dapat dibedakan menjadi (Leona, 2010):
1. Pewarnaan sederhana adalah pewarnaan yang dilakukan untuk mengetahui bentuk
dan susunan material yang didapatkan.
2. Pewarnaan differensial adalah pewarnaan yang dilakukan untuk mengetahui
komponen spesifik dari elemen yang terdapat.
3. Pewarnaan DNA probe-mediated adalah pewarnaan yang secara spesifik untuk
mengidentifikasi suatu organisme.
Pewarnaan yang paling umum dipergunakan di laboratorium mikrobiologi adalah
pewarnaan gram, tahan asam (acid-fast), calcofuor white, dan pewarnaan Wright-Giemsa
yang dimodifikasi. Pewarnaan yang lain diperuntukkan spesifik grup organisme. Penilaian
dari spesimen harus dimulai dari pemeriksaan visual secara langsung dan kemudiaan
diproses, pada tingkat
pembesaran
yang dapat dibaca dan diperlukan untuk
mengidentifikasi dan membedakan apakah bahan tersebut patogen atau tidak (Leona,
2010).
Pewarnaan Gram sendiri adalah metode pewarnaan yang dikembangkan oleh bakteriologis
dari Denmark, Chistian Gram pada tahun 1884.Bahan yang harus disiapkan adalah crystal
violet (hexamethyl ρ-rosaline chloride) untuk mewarnai seluruh sel dan warna untuk
mewarnai latar belakang material/spesimen adalah deep blue (biru gelap).Iodine gram
mempersiapkan elemen iodine yang lebih luas untuk menggantikan klorida yang lebih
kecil pada pewarnaan molekul (Leona, 2010).
Pewarnaan gram digunakan secara rutin dan sesuai permintaan di laboratorium mikrobiologi, untuk bahan
hapusan dan kultur, dimana pemeriksaannya menggunakan mikroskop. Pemeriksaan ini sesuai untuk bahan,
dimana kecurigaan terhadap infeksi bakteria sangat kuat, tetapi pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk
menilai karakteristik dari spesimen itu sendiri (Leona, 2010).
Prosedur pewarnaan gram (Leona, 2010):
1.
Keringkan bahan pada objek gelas sehingga tidak tercuci pada prosedur pewarnaan. Fiksasi bahan
dapat ditingkatkan dengan melakukan fiksasi dengan menggunakan alkohol 70% sampai 90% atau
dengan memanaskan objek gelas untuk mengeringkan air pada bahan.
2.
Tempatkan smear pada rak pewarnaan dan letakkan permukaan objek gelas yang mengandung
spesimen pada bagian atas sehingga dapat diwarnai.
3.
Tempatkan hapusan pada bagian atas dari rak pewarnaan, sehingga sisa air dapat menguap dan
bahan hapusan mengering. Jangan mengotori bahan hapusan. Jangan memberikan minyak emersi
pada bahan hapusan sampai benar-benar kering.
4.
Nilai pewarnaan hapusan menggunakan pembesaran yang paling rendah, dan kemudian pilih tempat
yang akan dinilai lebih dekat dengan menggunakan pembesaran 40-60 kali. Area yang
mencurigakan dapat dievaluasi dengan menggunakan pembesaran 100x pada mikroskop.
Pada pertemuan awal dan pertemuan berikutnya, sesuai dengan prosedur, dilakukan pemeriksaan pelvis yang
steril dan bersih dengan spekulum tanpa lubrikasi.Spesimen dari genitalia diambil dan diproses.Swab vagina
diambil untuk mendiagnosa adanya neutrofil. Neutrofil vagina dihitung pada lima nonkonsekutif lapang
pandang tanpa mukus servik dan bahan lainnya. Hanya area dengan satu lapis epithelial sel yang akan dinilai.
Hapusan vagina akan dinilai oleh lima analisa yang berbeda secara blind. Dengan kesepakatan, didapatkan ≤
5 atau > 5 neutrofil perlapang pandang adalah 95%, dimana diperkirakan hasil analisa adanya neutrofil oleh
analisis adalah sempurna (Simhan, 2003).
Gambar 2.12 Pewarnaan Gram (Leona,2010)
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Berpikir
Sepertigapenyebab dari persalinan preterm dikaitkan dengan proses infeksi yang terjadi
pada korion dan desidua. Hal ini mengakibatkan peningkatan sitokin dan chemokines yang
menyebabkan peningkatan infiltrasi neutrofil. Peningkatan infiltrasi neutrofil ini sendiri
merupakan suatu proses inflamasi yang mempengaruhi proses pematangan servik, yang
berhubungan dengan terjadinya persalinan preterm.
Selain proses tersebut ada juga beberapa faktor perancu yang juga dianggap dapat
menyebabkan kerusakan desidua yaitu : plasenta previa, solusio plasenta,kelainan medis
ibu (anemia,hipertensi kronik, preeklampsia, eklampsia), polihidramnion, hamil kembar,
kelainan kongenital mayor, ketuban pecah dini, riwayat persalinan preterm sebelumnya.
3.2. Konsep Penelitian
Hamil Preterm
Infeksi
Neutrofil Vagina ↑
Faktor Perancu :
- Plasenta previa
- Solusio plasenta
- Kelainan medis ibu
(anemia,hipertensi
kronis, preeclampsia,
eklampsia)
- Polihidramnion
- Hamil kembar
- Kelainan kongenital
mayor
- Ketuban pecah dini
- Riw. Persalinan
preterm
Persalinan Preterm
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian
3.3. Hipotesis Penelitian
Jumlah neutrofil yang tinggi perlapang pandang pada sekret vagina merupakan
faktor risiko terjadinya persalinan preterm.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol, dengan persalinan preterm spontan
sebagai kasus. Sedangkan sebagai kontrol digunakan kehamilan preterm yang tidak
mengalami tanda - tanda persalinan. Kasus dan kontrol dipasangkan berdasarkan umur ibu,
umur kehamilan dan paritas.
Neutrofil vagina (+)
Kehamilan Preterm
Tidak Inpartu
Neutrofil vagina (-)
Neutrofil vagina (+)
Kehamilan Preterm
Inpartu
Neutrofil vagina (-)
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dikerjakan di Ruang Bersalin dan Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah
dari bulan Desember 2011 sampai bulan Desember 2012 atau sampai dengan jumlah
sampel terpenuhi.
4.3 Populasi Penelitian
Semua ibu hamil yang datang ke poliklinik dan kamar bersalin RSUP Sanglah Denpasar
dengan diagnosis kehamilan pretermdan persalinan preterm.
4.4 Sampel Penelitian
Semua ibu hamil yang datang ke poliklinik dan kamar bersalin RSUP
SanglahDenpasar dengan diagnosis kehamilan
pretermdan persalinan preterm yang
memenuhi kriteria inklusi.
4.4.1 Kriteria inklusi
1. Kehamilan tunggal dengan umur kehamilan dari 22 minggu sampai
37 minggu
2. Janin hidup
3. Selaput ketuban masih intak
4. Bersedia mengikuti penelitian
4.4.2 Kriteria eksklusi :
1.Plasenta previa
2.Solusio plasenta
3. Dari anamnesa dicurigai adanya penyakit sistemik yang menyertai ibu hamil
(kelainan jantung,diabetes mellitus, hipertensi, preeklampsia/eklampsia, anemia,
asma, HIV)
4.Riwayat persalinan preterm pada kehamilan sebelumnya atau pernah
dirawatdengan partus prematurus iminens pada kehamilan ini
5. Polihidramnion
6. Kehamilan kembar
7. Diketahui mempunyai kelainan kongenital yang fatal pada janin
8. Riwayat mendapat pengobatan dengan antibiotika dalam satu minggu
Terakhir
4.4.3 Perhitungan besar sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
( Z α √2 PQ + Z β √P1Q1 + P2Q2 )2
n=
( P1-P2)2
P1 =Kelompok Kasus = 42,86
P2 = Kelompok Kontrol = 2,86
Q1 = 1- P1
Q2 = 1- P2
n = Besar sampel
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas diperoleh besar sampel
minimal penelitian ini adalah 20,94 pasang sampel. Untuk menghindari adanya data yang
tidak terbaca, maka ditambahkan 20 % sehingga menjadi 25,13 yang dibulatkan menjadi
26 pasang sampel.
4.4.4 Cara pengambilan sampel
Kasus ditentukan dengan cara consecutive sampling dari ibu hamil pretermyang
inpartu diruang bersalin RSUP Sanglah Denpasar dan telah memenuhi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi.
Kontrol ditentukan secara consecutive sampling dari ibu hamil preterm yang tidak inpartu
sesuai kriteria kontrol di poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar yang dipasangkan
(matching) dalam hal umur ibu, umur kehamilan dan paritas. Perbandingan kasus dan
kontrol = 1:1
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1
Identifikasi variabel
4.5.1.1 Variabel bebas :neutrofil vagina perlapang pandang
4.5.1.2Variabel tergantung : persalinan preterm
4.5.1.3 Variabel terkontrol :umur ibu, umur kehamilan dan paritas
4.5.2 Definisi operasional variabel
1. Kehamilan preterm adalah ibu hamil dengan umur kehamilan dari 22 minggu
sampai 37 minggu.
2. Persalinan preterm spontan adalah adanya kontraksi uterus minimal 2 kali dalam 10
menit dengan pembukaan serviks ≥ 2 cm disertai penipisan serviks ≥ 50%, keluar
lendir campur darah pada umur kehamilan dari 22 minggu sampai 37 minggu.
3. Neutrofil adalah sel yang berbentuk bola dengan diameter kira-kira 12-15 µm
dengan membran yang banyak. Neutrofil memiliki segmen yang terbentuk dari 3
sampai 5 lobulus yang saling berhubungan, oleh karena itu neutrofil disebut juga
polymorphonuclear leukocyte.
4.
Neutrofil positif (+) adalah didapatkannya neutrofil vagina perlapang pandang pada pemeriksaan
swab vagina > 5.
5. Neutrofil negatif (-) adalah didapatkannya neutrofil vagina perlapang pandang pada pemeriksaan
swab vagina < 5.
6. Umur ibu adalah jumlah tahun lengkap.
7. Umur kehamilan dihitung berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT) atau
dikonfirmasi berdasarkan hasil pemeriksaan USG (Ultra Sonography) yang
dilakukan oleh dokter spesialis obstetri ginekologi (SpOG) yang dilakukan pada
umur kehamilan sebelum 20 minggu.
8. Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan viable.
9. Plasenta previa adalah suatu keadaan dimana insersi plasenta disegmen bawah
rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum pada
kehamilan 28 minggu atau lebih berdasarkan hasil pemeriksaan USG.
10. Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya dari tempat
implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan, pada usia
kehamilan diatas 20 minggu atau berat janin 500 gram dan dikonfirmasi
berdasarkan hasil pemeriksaan USG.
11. Kelainan kongenital fatal pada janin ialah kelainan kongenital mayor yang
ditemukan dari pemeriksaan ultrasonografi oleh dokter SpOG.
12. Polihidramnion adalah didapatkannya indeks cairan amnion dengan diameter
vertikal kantong amnion terbesar pada 4 kuadran uterus > 25 cm pada pemeriksaan
USG.
13. Preeklampsia adalah komplikasi kehamilan yang ditandai timbulnya hipertensi
yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140/90 mmHg disertai proteinuria pada umur
kehamilan ≥ 20 minggu.
14. Eklampsia adalah kejang dan atau koma pada kehamilan, persalinan dan atau nifas,
dengan gejala preeklampsia sebelumnya.
15. Kehamilan dengan Diabetes Mellitus adalah adanya intoleransi karbohidrat, baik
ringan (Toleransi Glukosa Terganggu = TGT), maupun berat (Diabetes Mellitus)
yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan berlangsung dan
memenuhi kriteria WHO.
16. Kehamilan dengan Hipertensi adalah kehamilan dengan tekanan darah> 140/90
mmHg diukur dua kali selang 4 jam setelah penderita beristirahat.
17. Kehamilan dengan Penyakit Jantung adalah kehamilan yang disertai dengan
gangguan fungsi jantungberdasarkan kriteria New York Heart Assocciation
(NYHA).
18. Kehamilan dengan anemia adalah kehamilan yang ditandai dengan kadar Hb < 11gr
% menurut WHO.
19. Kehamilan dengan asma adalah kehamilan yang disertai suatu penyakit dengan ciri
meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat
berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan.
20. Kehamilan dengan HIV adalah kehamilan yang disertai pemeriksaan anti-HIV
serum ibu didapatkan hasil positif.
21. Leukositosis maternal adalah jumlah sel leukosit > 15.000/mm3 yang diambil dari
darah tepi ibu dan dinilai dengan alat Cell-Dyn 3700 di Lab. RSUP Sanglah.
22. Riwayat persalinan preterm sebelumnya adalah ibu hamil yang pada kehamilan
sebelumnya pernah melahirkan pada umur kehamilan 28 sampai kurang dari 37
minggu atau berat badan lahir < 2500 gram.
23. Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan lebih dari satu janin yang ditemukan
dari pemeriksaan ultrasonografi oleh dokter SpOG.
24. Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat
belum inpartu, bila diikuti satu jam kemudian tidak timbul tanda – tanda awal
persalinan.
4.6 Alur Penelitian
Pemilihan kasus dan kontrol yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan
dengan cara pemeriksaan pada ibu hamil preterm yang bersalin dan kontrol antenatal di
RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan meliputi anamnesa, pemeriksaan umum, obstetri
dan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis.
Yang memenuhi kriteria inklusi untuk kasus dan kontrol diberikan penjelasantentang
penelitian ini, begitu juga dengan keluarganya. Setelah mengerti dan bersedia ikut dalam
penelitian, maka penderita diminta untuk menandatangani persetujuan penelitian.
Penapisan pada ibu hamil preterm dan bersalin dengan
anamnesa, periksa fisik umum, obstetri & lab.
Di RSUP Sanglah Denpasar
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Informed Consent
Consecutive sampling
KASUS
(Kehamilan preterm inpartu)
Pengambilan swab
vagina
Positif
KONTROL
(Kehamilan preterm tidak
inpartu)
Pengambilan swab
vagina
Negatif
Analisa Data
Gambar 4.2 Alur Penelitian
Positif
Negatif
4.7
Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan
4.7.1Instrumen penelitian
Instrumen penelitian terdiri dari meja ginekologi, sarung tangan, spekulum, objek
gelas, pewarnaan gram dan perlengkapan alat tulis.
4.7.2 Metode pemeriksaan
a. Penderita berbaring dimeja ginekologi dalam posisi litotomi
b. Kenakan sarung tangan steril
c. Lakukan asepsis di labia, jangan melakukannya sampai bagian dalam vagina
d. Selaput ketuban harus utuh
e. Pemeriksaan spekulum yang steril (sebelum pemeriksaan dalam) dengan cocor
bebek (Grave)
f. Digunakan swab untuk mengambil spesimen dari vagina
g. Swab ditahan selama 10-15 detik di dalam vagina
h. Spekulum dikeluarkan
i. Hapuskan bahan swab ke objek gelas
j. Dibawa ke laboratorium mikrobiologi klinik
k. Dilakukan pewarnaan gram
l. Pembacaan neutrofil vagina perlapang pandang
Hasil positif dapat diartikan saat neutrofil vagina perlapang pandang > 5. Jika jumlah neutrofil vagina
perlapang pandang < 5, maka hasilnya adalah negatif.
4.8 Pengumpulan dan Analisis Data
4.8.1Pengumpulan data
Data yang didapatkan di poliklinik dan ruang bersalin bagian Obstetri dan
Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam
formulir penelitian (terlampir).
4.8.2Analisis data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis sebagai berikut :
1. Analisis deskriptif yang meliputi variabel umur ibu, umur kehamilan dan
paritas
2. Uji normalitas dengan Shapiro-Wilk
3. Uji homogenitas dengan Levene’s
4. Uji Chi-square berdasarkan tabel silang 2x2
Tabel 4.1 Tabel silang 2x2 antara neutrofil vagina dengan persalinan preterm
Neutrofil vagina
Persalinan preterm
Kehamilan preterm
(+)
A
B
a+b
(-)
C
D
c+d
a+c
b+d
a+b+c+d
X2 = Ʃ (Oi – Ei)2
E
BAB V
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian kasus-kontrol dengan 52 orang wanita sebagai sampel,
dengan kelompok kasus adalah 26 orang wanita dengan kehamilan preterm inpartu dan
kelompok kontrol adalah 26 orang wanita dengan kehamilan preterm tidak inpartu di
RSUP Sanglah Denpasar.
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik subjek meliputi umur, umur kehamilan, dan paritas disajikan pada
Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Kasus dan Kelompok
Kontrol
Kelompok
Variabel
P
Kasus
Kontrol
(n = 26)
(n = 26)
Umur (th)
27,42±8,25
27,65±4,97
0,903
Umur kehamilan
32,19±2,38
31,62±3,66
0,503
Paritas
0,85±1,00
1,08±0,90
0,386
Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa
dengan
62
uji
t-independent
pada ketiga
variabel didapatkan nilai p > 0,05. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan rerata umur,
umur kehamilan, dan paritas antara kelompok kasus dengan kelompok control, sehingga
bisa dianalisa.
5.2Hubungan antara Neutrofil Vagina dengan Persalinan Preterm
Untuk mengetahui hubungan antara neutrofil vagina dengan persalinan preterm
dipakai uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Hubungan antara Neutrofil Vagina dengan Persalinan Preterm
Kelompok
Neutrofil vagina
Kasus
Kontrol
(+)
11
1
(-)
15
25
RO
IK 95%
p
18,3
2,15-56,58 0,001
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara neutrofil vagina dengan
persalinan preterm. Dimana diketahui bahwa neutrofil vagina pada persalinan preterm
lebih tinggi bermakna secara objektif dibandingkan dengan kehamilan preterm. Didapatkan
rasio odds 18,3 yang berarti neutrofil vagina yang tinggi dapat meningkatkan resiko
terjadinya persalinan preterm sebesar 18 kali
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Karakteristik Subyek
Penelitian ini melibatkan 52 orang sampelyang telah memenuhi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi, yang terdiri dari 26 orang sebagai kasus dan 26 orang lainnya sebagai
kontrol.
Pada penelitian yang dilakukan, karakteristik subjek penelitian yang dibandingkan adalah
umur, umur kehamilan, paritas. Telah dilakukan matching antara tiap kelompok penelitian
dengan
maksud
memperoleh
sampel
yang
homogen,
sehingga
layak
untuk
diperbandingkan. Berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan uji t-independent
dapat disimpulkan bahwa pada kedua kelompok penelitian tidak ditemukan perbedaan
yang bermakna (p>0,05) sehingga untuk selanjutnya dapat dibandingkan.
64
Dari hasil penelitian didapatkan rerata umur ibu kelompok kasus adalah 27,42±8,25 dan
rerata kelompok kontrol adalah 27,65±4,97, dengan nilai p = 0,903. Hal ini berarti bahwa
tidak ada perbedaan umur antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Hasil dari
penelitian ini ternyata hampir sama dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya.
Pada beberapa penelitian yang dilakukan, Yudha, 2008 usia rerata pada pasien persalinan
kurang bulan 25,4 tahun. Romero dkk, 2008 menyatakan bahwa rerata usia pasien
persalinan kurang bulan adalah 30,8 tahun. Hasil diatas menunjukkan bahwa persalinan
kurang bulan terjadi pada usia reproduksi.
Rerata umur kehamilan ibu kelompok kasus adalah 32,19±2,38 dan rerata kelompok
kontrol adalah 31,62±3,66, dengan nilai p = 0,503. Hal ini berarti
bahwa tidak ada perbedaan umur kehamilan antara kelompok kasus dengan kelompok
kontrol.
Yudha, 2008 menyatakan rentang usia kehamilan pada persalinan kurang bulan adalah 2836 minggu , sedangkan beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa persalinan kurang
bulan terjadi pada 16,7-18% wanita dengan usia kehamilan 28-36 minggu. Hasil diatas
menunjukkan bahwa persalinan kurang bulan banyak terjadi pada usia kehamilan trimester
ketiga.
Rerata paritas kelompok kasus adalah 0,85±1,00 dan rerata kelompok kontrol adalah
1,08±0,90, dengan nilai p = 0,386. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan paritas antara
kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Pada beberapa penelitian didapatkan paritas
pasien pada persalinan kurang bulan adalah paritas dua (16,7%), hasil ini sesuai dengan
Creasy dkk,2009 yang menyatakan bahwa pasien multiparitas memiliki risiko tinggi
terjadinya persalinan kurang bulan.
6.2
Neutrofil Vagina Tinggi Sebagai Faktor Risiko Persalinan Preterm
Dengan uji Chi-Square didapatkan bahwa neutrofil vagina tinggi merupakan faktor
risiko terjadinya persalinan preterm sebesar 18 kali dibandingkan dengan neutrofil vagina
normal(R0 = 18,3, IK 95% = 2,15-56,58, p = 0,001). Hal ini dapat dijelaskan bahwa proses
inflamasi itu sendiri merupakan salah satu tanda awal dari persalinan dan mungkin
mempengaruhi hal- hal lain dalam perubahan yang berhubungan dengan proses persalinan.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitiannya Hitti et al, 2001 yang menyatakan
bahwa wanita dengan persalinan preterm spontan ditemukan membran intak, lebih dari 5
netrofil perlapang pandang sangat sensitif menunjukkan infeksi atau inflamasi dari cairan
amnion.
Ieffa, 2005 menyatakan bahwa pemeriksaan yang tidak invasif dan telah dilakukan di RS
Dr. Hasan Sadikin adalah pemeriksaan gabungan pH dan neutrofil vagina yang
memberikan nilai spesifisitas dan akurasi yaitu 83,3% dan 75% untuk memprediksi
terjadinya persalinan kurang bulan.Penanda biologik ini meningkat pada swab vagina, yang
ditemukan pada persalinan preterm melalui pemeriksaan pengecatan gram (Simhan et al, 2003).Thompson
dkk, (1999) menggunakan imunohistokimia untuk menggambarkan bahwa neutrofil dan
makrofag merupakan sel yang terutama menginfiltrasi miometrium saat usia kehamilan
cukup bulan. Leukosit juga ditemukan dalam jumlah yang banyak pada jaringan desidua
dan amnion.Analisa sampel dari wanita inpartu cukup bulan didapatkan neutrofil yang
spesifik dan faktor pencetus (Haddad, 2006). Tidak hanya neutrofil yang ditemukan dalam
jumlah yang banyak di miometrium, desidua dan jaringan servik, tetapi sel ini sebagai juga
sebagai sumber utama dari tumor necrosis factor α (TNFα) dan sitokin inflamasi lainnya,
seperti: interleukin (IL) -1β, IL-6, dan IL-8 pada sampel jaringan, selama proses persalinan
spontan dibandingkan dengan yang tidak dalam proses persalinan (Young, 2002). Sel
imun dari wanita yang dalam proses persalinan juga memproduksi faktor inflamasi lainnya,
seperti: reactive oxgen species (ROS) dimana dapat mengoksidasi lemak, mengubah fungsi
protein dan merubah DNA dengan memodifikasi basisnya, menggeser tulang punggung
deoxyribose, reaksi silang molekul lainnya dan memodifikasi secara umum fungsi sel
(Orrenius, 2007). Inflamasi mempengaruhi produksi dari prostaglandin dan analognya,
progesterone withdrawal juga dapat diaktifkan melalui mekanisme regulasi nuclear factor
(NF) κ B untuk meningkatkan bentuk hambatan dari progesterone reseptor (Masden, 2004;
Bisits, 2005). Sitokin dari proses reaksi inflamasi diketahui untuk menginduksi protein dan
gene MMP, konsentrasi serum prostaglandin dan menurunkan sintesis kolagen (Farina,
2005).
Peningkatan sitokin inflamasi dan respon inflamasi dengan infiltrasi dan aktivasi neutrofil
pada jaringan desidua, menyebabkan bertambahnya dilatasi dan penipisan servik dan
melemahnya membran amnion (Challis, 2009; Oner, 2008).
Penelitian pada wanita dengan persalinan preterm menunjukkan peningkatan sensitivitas
dari tanda inflamasi dan peningkatan regulasi dari banyak gen pro-labor seperti: MMPs,
Prostaglandin dan sejumlah interleukin (Challis, 2009).
Yudha dkk (2008), didapatkan
hasil yang sangat bermakna (p<0,001) dengan jumlah neutrofil > 5 per lapang pandang
pada persalinan kurang bulan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Vincendo dkk (2007),
didapatkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudha dkk (2008),
dimana didapatkan jumlah neutrofil vagina > 5 per lapang pandang pada persalinan kurang
bulan secara bermakna lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dalam usia
pasangannya disertai dengan variasi yang lebar (5,0(0-3.290) vs 0(0-11);p<0,001). Jumlah
neutrofil vagina yang terdeteksi pada penelitian oleh Riedewald dkk (2006), lebih tinggi
yakni > 10 per lapang pandang (p<0,001) jika dibandingkan kontrol dengan usia
berpasangan. Berdasarkan kurva receiver operating characteristics (ROC) pada penelitian
Yudha dkk (2008), didapatkan nilai penentu (cut-off point) jumlah neutrofil vagina adalah
> 9 per lapang pandang yang memberikan nilai sensitivitas 73%, spesifisitas 100%, akurasi
87%, nilai prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 79%. Pada penelitian Yamada
dan Fayes (2006) nilai penentu (cut-off point) untuk jumlah neutrofil vagina adalah > 10
per lapang pandang dengan sensitivitas 80%, spesifisitas 55%, akurasi 67,5%, nilai
prediksi positif 64% dan nilai prediksi negatif 73,3%.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan simpulan sebagai berikut:
1. Neutrofil vagina pada persalinan preterm secara statistik lebih tinggi
dibandingkan dengan kehamilan preterm.
2. Neutrofil vagina merupakan faktor risiko terjadinya persalinan preterm
sebesar 18 kali.
7.2 Saran
Berdasarkan simpulan tersebut di atas dapat disarankan sebagai berikut:
1. Ibu-ibu yang ANC dapat dianjurkan melakukan pemeriksaan netrofil vagina
sehingga dapat dideteksi dan diantisipasi terjadinya persalinan preterm.
2. Melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui factor-faktor lainnya yang
menyebabkan terjadinya infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Artana WD. Hamid A. 2002. Karakteristik bayi berat lahir sangat rendah yang lahir di RS
Sanglah. Penelitian deskriptif pada Lab./SMF Ilmu Penyakit Anak FK UNUD/RS Sanglah
Denpasar.
Abadi A. 1999. Radang Selaput Ketuban dan Plasenta serta Interleukin-6 Dalam Air
Ketuban Sebagai Faktor Penentu Terjadinya Persalinan Pada Persalinan Kurang Bulan
Membakat (Studi kohort dengan pendekatan imunoendokrinologi). Disertasi.
Anna S. 2010. Neutrophil Products Control The Expression of Progesterone Receptors and
Matrix Metalloproteinase-1 in The Decidual and Myometrium and are Possible Regulators
of Premature Labor. A Thesis, Virginia Commonwealth University.
Andrew H, et al. 2010.Innate Immunity. In: Cellular and Molecular Immunology,
6 th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier,p29-38.
Blanco JD. 2000. Clinical problem of preterm labor. In: Pitkim RM. And Scott JR. eds.
Clinical Obstetrics and Gynecology.Philadelphia : Lippincott-Williams & Wilkins
Inc;
43:713-c16.
Bisits AM, Smith R, Mesiano S, Yeo G, Kwek K, MacIntyre d, et al. 2005. Inflammatory
aetiology of hmuman myometrial activation tested using directed graph. PLoS Comput
Biol vol 1:132-6.
Chang JC., Hsu TY., Hsieh CH., Hsu YR., Tai MC., Chen LF.2007. Vaginal and Cervical
pH Measurements in Normal Pregnancy and Preterm Labor.Journal of MaternalFetalInvestigation.7:193–196
Cunningham, F.G.et al. 2005. Preterm delivery in Williams Obstetric, 22nd Ed, The
McGraw Hill Comp, New York,p 763-808.
Cotch, M.F. et al. 1997. Trichomonas vaginalis associated with low birth weight and
preterm delivery: the Vaginal Infection and Prematurity Study Group. Sex Transm Dis vol
24:353-60.
Creasy, R. K. et. al.2009. Maternal-Fetal Medicine, 6th Ed, Elsevier, Philadelphia.
Challis J.R, Lockwood C.J. et al. 2009. Inflamation and pregnancy 3rd. Reprod Sci vol
16:206-15.
Dubicke, A. (2009), Preterm and Term Cervical Ripening, Karolinska Institutet,
Stockholm.
Ekcert LO. 2006. Acute Vulvovagnitis. The New England Journal of Medicine.355:12.
Farina L. et al. 2005.A review of the role of proinflammatory cytokines in labor
and noninfectious preterm labor. Biol Res Nurs vol 6: 23 0-8.
Goldenberg, Culhane. 2005. Prepregnancy health status and the risk of preterm
delivery. Arch Pediatr Adolesc Med, vol 159:89-90.
Goldenberg.et al. 2000. Intrauterine Infection and Preterm Delivery. New England Journal
of Medicine, vol 342:1500-1507.
Goldberg, A. E. et. al. (2011), WebMD Professional, http://webmd.cervicalripening.html.
Accesed: April 20th 2011.
Gomez. et al. 1997 . The role of infection in preterm labor and delivery,Churchill
Livingstone.p. 85-125.
Greer, I. Norman, J. 2005.Preterm Labor, Managing Risk in Clinical Practice, Cambridge
University Press.p.1-26.
Hendler.et al. 2005. The preterm prediction study : association between body
mass index and spontaneous preterm birth.vol 192: 882 -886.
Hamilton.et al .2005.Births : preliminary data for 2005 . Health E -stats.p.10-14
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 2005. Manajemen Persalinan
Preterm.
Hiller S.L. et al. 1995. Association Between Bacterial Vaginosis and Preterm
Delivery of a Low-birth-weight infant. The Vaginal Infection and Prematurity
Study Group. N Engl J Med vol 333: 1737-42.
Hitti J. et al. 2001. Vaginal Indicators of Amniotic Fluid Infection in Preterm
Labor vol 97: 211-9.
Herawati S. 2005. Pola Mikroorganisme pada Liang Vagina Wanita Hamil di RSU dr.
Soetomo Surabaya, Penelitian Pendahuluan. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo Surabaya.
Holst, R. M. (2009). Cervical and Intra-amniotic Markers of Preterm Birth and Infection,
University of Gothenburg, Sweden.
Ieffa D. A. 2005.Pemeriksaan pH dan neutrofil vagina untuk prediksi persalinan
kurang bulan.Tesis. Bandung: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fk Unpad.
Krohn M.A. 1995. The genital flora of women with intraamniotic infection.Vaginal
Infection and Prematurity Study Group. J Infect Dis vol 171: p 1475-80.
Klein, L.L., Gibbs, R.S. 2004. Use of Microbial cultures and antibiotics in the prevention
of infection-associated preterm birth.American Journal of Obstetric and Gynaecology, vol.
190, pp.1493-1502.
Kelly, R. W. (2002), “Inflammatory Mediators and Cervical Ripening”. Journal of
Reproductive Immunology, vol. 57, pp. 217-224.
Loena W. 2011.Microscopic Examination of Infected Materials. In:
DiagnosticMicrobiology, 4 th edition. Missouri: Saunders Elsevier: pp130-33.
Massett, H. A. et al. 2003. Public perceptions about prematurity: a national survey. Am J
Prev Med, vol 24 :120-127.
Muliawan SY, 2001. Deteksi Dini Vaginosis Bakterial padaKehamilan dapat Menurunkan
RisikoPersalinan Preterm.Cermin Dunia Kedokteran No. 133.
Masden G. et al. 2004. Prostaglandins differentially modulate progesterone receptor-A and
–B expression in human myometrial cells: evidence for prostaglandin-induced functional
progesterone withdrawal. J Clin Endocrinol Metab vol 89:p1010-3.
Newton, E.R., Piper, J.M., Shain, R.N., Perdue, S.T., Peairs, W. 2001. Predictors of the
Vaginal Microflora.Am J Obstet Gynecol, Vol.184, pp. 845-855.
Norman, J. et. al (2005), Preterm Labour Managing Risk in Clinical Practice, Cambridge
University Press, Cambridge.
Orlando Regional Healthcare, Education & Development. 2004. Neonatal Sepsis.
Oner C., Schatz F,.et al. 2008. Progestin-inflammatory cytokine interactions affect matrix
metalloproteinase-1 and -3 expression in term decidual cells: implications for treatment of
chorioamnionitis-induced preterm delivery. J Clin Endocrinol Metab, vol 93:p252-9.
Orrenius S, Gogvadze V, Zhivotosky B. 2007. Mitochondrial oxidative stress: implication
for cell death. Annu rev Pharmacol Toixicol, vol 47:p 143-83.
Pararas MV., Skevaki CL., Kafetzis DA. 2006. Preterm Birth Due to Maternal
Infection : Causative Pathogens and Modes of Prevention. Eur J Clin Microbiol
Infect Dis. 25 (9) : 562-9
Romero.et al. 2008.Epidemiology and causes of preterm birth.Lancet.vol 371:
75-84.
Riedewald S. et.al. 2006. Vaginal and Cervical pH in Normal Pregnancy Complicated by
Preterm labor. J Perinat Med, vol 23: p 1816.
Ross, M.G. Eden, R.E. 2009. Preterm Labor. Available from: www.emedicine.com. Accesed
on: July 6th, 2011
Smith.et al. 2007. Sosioeconomic inequalities in very preterm birth rates. Arch
Dis Child Fetal Neonatal, vol 92:11-14.
Slattery, M.M. Morrison, J.J. 2002. Preterm Delivery. Lancet, vol 360: 1489-1497.
Simhan H.N. et al. 2003. Elevated Vaginal pH and Neutrophils are Associated Strongly
with Early Spontaneous Preterm Birth. Am J Obstet Gynecol, vol 189: p 1150-4.
Saifuddin AB., Adriaansz G., Wiknjosastro GH., Waspodo J. 2001. Masalah Yang
Berhubungan Dengan Lamanya Kehamilan Dalam : Saifuddin AB., Adriaansz G.,
Wiknjosastro GH., Waspodo J. es. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. Jakarta: JNPKKR-POGI_YBP Sarwono Prawiroharjo. 300:304
Sennstrom, M. K. B. et. al. (1997). “Interleukin-8 is a Mediator of Final Cervical Ripening
in Humans”, Europan Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 74, pp. 89-92.
Thompson.et al.2006.Secular trends in sosioeconomic status and the implications for
preterm birth. Paediatr Perinat Epidemiology, vol 20:182-187.
Teguh M. 2001. Tinjauan Kass Persalinan Preterm Di RSUP Sanglah Denpasar Periode 1
Januari 1998-31 Desember 2000. Penelitian Deskriptif Pada Lab/SMF Obstetri &
Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Timmons, B. et. al. (2010). “Cervical Remoeling During Pregnancy and Parturition”,
Trends ini Endocrinology and Metabolism, pp.353-361.
Udiarta.,Suwardewa, T.G.A. 2004. Profil Persalinan Preterm di RS Sanglah periode
Januari 2001 sampai Desember 2003.Lab/SMF Obstetri Ginekologi RS Sanglah Denpasar.
Vicendo K. et al. 2007. Premature Rupture of The Fetal Membranes. Mechanism of
Disease, vol 338: p 663-70.
Wibowo B, Wiknjosastro GH. 2005. Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan. Dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi Keempat Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: 312317.
WHO Bulletin. 2009. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of
maternal mortality and morbidity, vol 88: 31-38.
Wikipedia (2011), Interleukin 8, Wikipedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Interleukin_8.
Accesed: April 20th 2011.
Yost MP., Cox SM. 2000. Infection And Preterm Labor. In: Pitkim RM. And Scott JR. eds.
Clinical Obstrtric and gynecology. Philadelphia: Lippicott- Williams & Wilkins Ic; 43:
759-67.
Yudha, R.K. et al. 2008. Uji Diagnostik Antara Pemeriksaan Epitel dan neutrofil Vagina
Dibandingkan Dengan pemeriksaan pH dan Neutrofil Vagina Pada Persalinan Kurang
Bulan. MKB, vol 11: 168-75.
Yamada H, Fayes ZA. 2006. Preterm Premature Rupture of Membranes. In: Diagnosing
and Management of Obstetric Emergencies. 1st edition. California: Addison- Wesley
Publishing Co. p 849-57.
Young A. Thomson A.J. et al. 2002.Immunolocalization of proinflammatory cytokines in
myometrium, cerviks and fetal membranes during human parturition at term. Biol
Reprod,vol66: p 445-9.
Download