BAB II LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Pengaruh Lingkungan terhadap Kelestarian Hutan Hutan yang tumbuh dan berkembang tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, terutama lingkungan. Menurut Polunin (1990) tumbuhan hanya dapat hidup di tempat yang kondisinya sesuai. Tumbuhan dengan jenis yang berbeda sering kali memiliki kebutuhan yang sama sekali berbeda, hal ini berarti bahwa kondisi lingkungan setempat merupakan faktor utama dalam membatasi jenis tumbuhan tertentu untuk hidup. Lingkungan adalah semua kondisi luar dan faktorfaktor yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu tempat, faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas hutan meliputi faktor biotik, faktor abiotik dan juga aktivitas manusia. Faktor biotik dapat berupa pengaruh tumbuhan lain, organisme mikrobia, binatang dan dan juga budaya yang biasanya menjadi faktor penting dalam terjaganya atau rusaknya kawasan hutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus kerusahakan hutan yang terjadi sampai sekarang ini sebagian besar bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dan tidak perduli terhadap lingkungan sekitar (Keraf, 2006) Faktor abiotik berpengaruh terhadap ketidak hadiran atau kehadiran, kesuburan atau kelemahan dan keberhasilan atau kegagalan, sehingga lingkungan di sekitar naungan pohon dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang ada di bawahnya (Polunin, 1990). Faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi tumbuhan diantaranya adalah cahaya, derajat keasaman (pH) tanah, suhu atau temperatur kelembaban tanah dan curah hujan. Cahaya merupakan faktor esensial untuk fotosintetis dan beberapa proses reproduksi, banyaknya cahaya pada suatu tempat bergantung pada lamanya penyinaran, agihan waktu, intensitas cahaya dan kualitas cahaya yang diterima (Polunin, 1990). Tumbuhan tanggap akan berbagai panjang gelombang sinar, dimana laju fotosintetis bervareasi dengan panjang gelombang yang berbeda (Odum, 1998). Cahaya merupakan faktor pembatas, jumlah cahaya yang menembus melalui sudut hutan akan menentukan lapisan atau tingkatan hutan yang terbentuk oleh pepohonannya, keadaan ini mencerminkan kebutuhan 1 2 tumbuhan terhadap cahaya yang berbeda-beda. Cahaya mempunyai pengaruh baik lansung maupun tidak langsung, pengaruh pada metabolisme secara langsung melalui fotosintetis serta secara tidak langsung melalui pertumbuhan dan perkembangan. Cahaya juga memiliki peranan penting dalam penyebaran dan pembungaan tumbuhan, kebutuhan cahaya untuk masing-masing jenis tumbuhan berbeda-beda tergantung pada jenisnya (Fitter, 1992) Pertumbuhan tumbuhan juga dipengaruhi pH tanah, tanah yang berada di daerah beriklim basah memliki pH yang rendah, dengan berjalannya waktu tingkat keasaman tanah tersebut semakin meningkat. Sebaliknya, tanah yang berada di daerah yang beriklim kering memiliki pH yang tinggi, dikarenakan penyerapan unsur-unsur basa oleh tanah tersebut. pH tanah hanya merupakan ukuran intensitas keasaman, bukan kapasitas dan jumlah unsur hara (Darmawijaya, 1990 dalam Wijayanto 2012). Menurut Krebs (1978), pH tanah merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi tumbuhan, untuk menciptakan pertumbuhan dan reproduksi optimal dari tumbuhan diperlukan pH tertentu. pH yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan bereproduksi secara optimal adalah 6,5, dikarenakan pada pH ini dapat memberikan ketersediaan unsur hara yang besar untuk pertumbuhan dan reproduksi tumbuhan. Nilai pH tanah mempengaruhi ketersediaan N, P, K, Ca dan unsur-unsur lainnya. Tanah disebut asam apabila pHnya kurang dari 7, netral bila sama dengan 7 dan basa bila lebih dari 7 (Buckman, dan Brady, 1982 dalam Wijayanto, 2012) Suhu atau temperatur sangat penting, karena suhu menentukan kecepatan reaksi-reaksi dan kegiatan-kegiatan kimiawi yang mencakup kehidupan. Tumbuhan yang beranekaragam teradaptasi secara berbeda-beda terhadap keadaan suhu berdasarkan faktor pembatas masing-masing spesies terhadap suhu, demikian pula untuk komponen-komponen fungsi fisiologinya, walaupun suhu dapat berubah dengan variasi pada kondisi yang berbeda menurut keadaan tumbuhan (Polunin, 1990). Suhu merupakan faktor pembatas yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan dan tumbuhan di suatu tempat. Hujan merupakan salah satu fenomena alam yang terdapat dalam siklus hidrologi dan sangat dipengaruhi iklim. Keberadaan hujan sangat penting dalam kehidupan, karena dapat mencakupi kebutuhan air yang sangat dibutuhkan oleh 3 semua makhluk hidup. Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi millimeter (mm) di atas permukaan horizontal. Curah hujan memiliki peranan yang sangat besar bagi tumbuhan, yaitu sebagai faktor penentu ketersediaan air bagi tumbuhan yang berada di kawasan hutan. Ketersediaan air merupakan faktor utama yang membatasi pertumbuhan dan produksi dari spesies-spesies penyusun vegetasi yang berada di hutan (Ningsih dan Rosita, 2014). Selain itu aktivitas manusia berupa interaksi dengan lingkungannya menjadi faktor penting akan keberlangsungan kelestarian hutan. Permasalahan lingkungan terjadi karena pandangan manusia yang keliru terhadap alam. Aktivitas manusia seringkali beranggapan bahwa dirinya terpisah dari lingkungan yang ada di sektiarnya, dan lingkungan tersebut merupakan alat dalam memenuhi kebutuhannya. Sehingga banyak kerusakan hutan yang terjadi karena hal tersebut. Penyelamatan lingkungan harus segera dilakukan dengan merubah pandangan manusia terhadap lingkungan agar kelestarian hutan tetap terjaga bagia generasi berikutnya. Hutan dan Komunitas Tumbuhan Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia termasuk dalam hutan tropik basah, dan merupakan ekosistem spesifik dengan keterkaitan antar komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh (Irwanto, 2007). Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi suberdaya alam hayati yang didomunasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya, dengan pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem hutan. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fugsinya, pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan (Irwanto, 2006). Sistem ekologi dalam ekosistem hutan merupakan sistem yang dinamis, yaitu suatu sistem yang saling terkait dan saling membutuhkan antara vegetasi dan hewan. Persaingan dan kerjasama terjadi dalam ekosistem hutan, seperti naungan pohon, perkecambahan, tumbuhan yang merambat, epifit, lumut menutupi potongan kayu 4 dan kotoran, aktivitas hewan yang membantu proses perkembangan tumbuhan, sumber makan dan perlindungan bagi satwa untuk melangsungkan kehidupannya (Agustina, 2008) Suatu organisme tidak dapat hidup menyendiri tetapi harus hidup bersamaan dengan organisme sejenis atau dengan organisme yang lainnya. Kumpulan populasi dari spesies yang berlainan, yang terdiri dari semua organisme yang menempati daerah tertentu disebut dengan komunitas (Cammpbell, dkk., 2004). Interaksi orgaisme dalam suatu komunitas yang hidup di suatu daerah atau habitat tertentu disebut dengan komunitas biotik (Odum, 1998). Menurut Krebs (1978), komunitas mempunyai beberapa komponen yang saling berkaitan, beberapa komponen tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: a. Keanekaragaman spesies, berkaitan dengan banyaknya jumlah spesies flora maupun fauna dalam suatu komunitas. b. Bentuk dan struktur pertumbuhan, berkaitan dengan tipe komunitas dan bentuk penyususnan suatu komunitas. c. Dominasi, berkaitan dengan banyaknya kehadiran suatu spesies dalam suatu komunitas. d. Rantai makanan, berkaitan dengan rantai makanan suatu spesies dalam suatu komunitas yang dapat menentukan aliran energi dan siklus materi dari tanaman keherbivora dan karnivora e. Kemelimpahan relatif, berkaitan dengan perbandingan relatif dari spesies yang berbeda dalam suatu komunitas. Hutan memiliki beberapa sifat diantaranya adalah sebagai berikut (Suparmoko, 1997): a. Hutan merupakan tipe tumbuhan yang terluas distribusinya dan mempunyai produktifitas biologis tertinggi. b. Hutan terdapat faktor biotik diantaranya adalah tumbuhan dan hewan, serta faktor abiotik diantaranya adalah sinar, air, panas, tanah dan sebagainya yang bersama-sama membentuk struktur biologis dan fungsi kehidupan. c. Regenerasi hutan sangat cepat dan kuat dibanding dengan sumber daya alam lainnya, baik dibantu oleh manusia ataupun secara lami 5 d. Hutan dapat memperbaiki kondisi lingkungan dan ekologi serta meyediakan bahan mentah bagi industri dan bangunan. Fungsi hutan diantaranya adalah sebagai berikut (Suparmoko, 1997): a. Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah. b. Menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi. c. Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik. d. Memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam suaka margasatwa, taman perburuan dan taman wisata, serta sebagai laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata. e. Merupakan salah satu unsur strategis pembangunan nasional. Struktur dan Komposisi Vegetasi Struktur komunitas tumbuhan didefinisikan sebagai distribusi spasial daun, batang dan akar dari semua populasi yang hidup bersama dalam suatu stand. Kenampakan struktur vegetasi pada dasarnya berhubungan dengan karakteristik distribusi spasial biomasa (Indriyanto, 2008), secara garis besar struktur vegetasi dibatasi oleh 3 komponen, yaitu: a. Struktur vertikal, berupa susunan vertikal spesies-spesies tumbuhan dalam lapisan-lapisan atau strata b. Struktur horizontal, berupa distribusi spasial individu suatu spesies menurut pola tertentu dibandingkan dengan spesies lain atau vegetasi secara keseluruhan. c. Kemelimpahan tiap spesies tumbuhan yang ada, kemelimpahan dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan nilai kerapatan (Fachrul, 2008). Hutan hujan tropis terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinyu. Pelapisan vertikal komunitas hutan mempunyai sebaran populasi hewan yang hidup dalam hutan tersebut, baik untuk mencari makanan atau bertahan hidup (Whitmore, 1975). Komposisi ekologi tumbuhan adalah variasi jenis-jenis tumbuhan yang menyusun suatu komunitas, setiap jenis yang ditemukan bisa memiliki jumlah 6 individu yang tidak sama. Komposisi suatu komunitas ditentukan olek seleksi tumbuhan dan hewan yang kebetulan mencapai dan mampu hidup di tempat tersebut, kegiatan anggota komunitas tersebut bergantung pada penyesuaian diri setiap individu terhadap faktor-faktor fisik dan biologi yang ada di tempat tersebut. Komposisi merupakan salah satu parameter vegetasi untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan dalam suatu komunitas, komposisi tumbuhan bisa berupa daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas (Fachrul, 2008). Keanekaragaman spesies berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, sepanjang gradient lingkungan kekayaan jenis dan keanekaraman spesies sangat bervariasi. Apabila dalam suatu kawasan terdapat pengurangan kekayaan jenis, maka keanekaragaman suatu spesies dalam kawasan tersebut cenderung berubah (Barbour, et al., 1987) Analisis Vegetasi Vegetasi merupakan kumpulan berbagai tumbuhan yang hidup bersama di suatu tempat. Mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu maupun dengan oeganisme lainnya yang menyusun vegetasi tersebut, sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Irwanto, 2007). Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat pada tiap-tiap tempat dan mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lainnya, karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya. Vegetasi menurut Indriyanto (2008) merupakan asosiasi nyata dari semua spesies tumbuhan yang ada di suatu habitat. Selain itu vegetasi terkait dengan jumlah individu setiap spesies yang akan menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies sehingga mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu antar spesies dalam kamunitas, bahkan dapat mempengaruhi keseimbangan sistem dan akhirnya berpengaruh pada kestabilan komunitas hutan. Analisis vegetasi merupakan suatu cara untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat tertentu (Indriyanto, 2008). Unsur struktur 7 vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk, untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Perbedaan keanekaragman spesies dalam komunitas tumbuhan menimbulkan perbedaan struktur antara komunitas satu dengan lainnya, nilai keanekaragaman ditentukan dengan menggunakan angka indeks diversitas dari Shanon-Wiener (Barbour, et al., 1987), dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Kearifan Lokal Kearifan lokal terbagi dalam dua kata, yaitu kearifan (wisdom) yang berarti kebijaksanaan dan lokal (lokal) yang berarti setempat. Sehingga makna dari kearifan lokal adalah sikap, pandangan dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan baik rohani maupun jasmani yang memberikan daya tahan dan daya tumbuh bagi komunitas tersebut. Kearifan lokal dipandang sebagai teknologi baru dalam melestarikan hutan, hal ini memiliki makna yang luas, karena mencakup seluruh peralatan atau benda, metode, cara serta pengoprasian yang diciptakan oleh elemen manusia berdasarkan ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Kearifan lokal dalam prakteknya lebih kearah pengetahuan dibandingkan dengan sains atau ilmu, karena adanya aspek pengalaman dan ketrampilan (Siswadi, et al., 2011). Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tetanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2014). Pendapat lain mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Pandangan ini didasarkan atas kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan alam supaya selalu mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tersebut. Keberadaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam mempunyai prinsip konservasi, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Rasa hormat yang mendorong rasa keselarasan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, masyarakat tradisional lebih cenderung memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri 8 b. Rasa memiliki yang eksklusif atas suatu kawasan atau sumberdaya alam sebagai hak kepemilikan bersama, sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya alam ini dari pihak luar. c. Sistem pengetahuan masyarakat setempat yang memberi kemampuan pada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapai dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas. d. Daya adaptasi dalam pengunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat sesuai dengan kondisi alam setempat. e. Sistem alokasi dan penegakan aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya alam milik bersama dari penggunaan berlebihan. f. Mekanisme pemerataan hasil panen yang proposional atas sumberdaya milik bersama agar dapat mencegah munculnya kesenjangan yang berlebihan di dalam masyarakat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 merupakan landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sejalan dengan hal tersebut, maka penguasaan hutan oleh Negara bukan berarti pemilikan, tetapi Negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan termasuk menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa berdasarkan ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1990). Konservasi tradisional merupakan aturan-aturan yang berjalan dan berlaku di dalam masyarakat secara tradisional mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya untuk tetap menjaga keberlanjutan nilai kualitas lingkungan dan sumber daya alam. Masyarakat lokal memiliki cara pandang yang lain dalam mengelola lingkungan sehingga tidak terjadi eksploitasi lingkunga terkait dengan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari antara lain: 9 a. Kepercayaan dan/atau pantangan, misalnya manusia berkaitan erat dengan unsur (tumbuhan, binatang dan faktor non-hayati lainnya) dalam proses alam, sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan. Pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon penghasil madu yang masih produktif, binatang yang sedang bunting atau memotong rotan terlalu rendah. b. Etika dan aturan, misalnya menebang pohon hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanaman kembali. Tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni dan atau menggunakan bom, serta mengutamakan berburu binatangbinatang yang menjadi hama ladang. c. Teknik dan teknologi, misalnya membuat sekat bakar dan memperhatikan arah angin saat berladang agar api tidak menjalar dan menghanguskan kebun atau tanaman pertanian lainnya. Menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), warna tanah, diameter pohon dan warna tumbuhannya. Membuat berbagai perlengkapan atau alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian-bagian kayu, bamboo dan rotan. Pola Adaptasi Adaptasi masyarakat merupakan suatu bentuk penyesuaian diri yang dilakukan masyarakat atau manusia dalam merespon terhadap perubahan lingkungan maupun sosial (Marfai, 2012). Menurut Gerungan (2006) adaptasi juga merupakan suatu proses untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan, secara luas keseimbangan itu bisa dicapai dengan dua cara, yang pertama adalah adaptasi autoplastis (auto yang artinya sendiri, dan plastis yang artinya bentuk), yaitu masyarakat melakukan perubahan sesuai dengan lingkungan yang ada di sekitarnya, masyarakat lebih bersifat pasif terhadap lingkungan sekitar. Dan yang kedua adalah allopstatis (allo artinya yang lain, dan plastis artinya bentuk), yaitu masyarakat lebih aktif untuk merubah lingkungan sesuai dengan keinginan dari masyarakat. Adaptasi yang dilakukan masyarakat merupakan suatu proses dalam memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan, diantarnya adalah sebagai berikut: a. Syarat dasar alamiah biologi, (masyarakat harus makan dan minum) 10 b. Syarat dasar kejiwaan (masyarakat membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut dan gelisah) c. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturuna, tidak merasa dikucilkan dan lain sebagainya) Proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat, kurun waktu tersebut bisa cepat, lambat atau justru berakhir dengan kegagalan. Proses adaptasi tersebut juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, pola tersebut merupakan rangkaian unsurunsur yang sudah menetap ataupun mengalami perubahan mengenai suatu gejela dan dapat dipakai sebagai contoh dalam menggambarkan atau mendiskripsikan proses adaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adat-istiadat kebudayaan yang ada (Suyono, 1985). Pola adaptasi merupakan perilaku seseorang dalam merespon terhadap stress yang meliputi dimensi fisik, perkembangan, emosional, intelektual, sosial dan spiritual (Potter dan Perry, 2005). Manusia merupakan suatu sistem yang dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang mengalami perubahan. Etika Lingkungan Hidup Etika lingkungan berasal dari dua kata, yaitu etika dan lingkungan. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika diartiakan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas moral dan nilai dalam masyarakat dalam menentukan perilaku manusia. Lingkungan adalah keadaan sekitar yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku makhluk hidup. Menurut UU RI No. 04 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dikatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sehingga etika lingkungan merupakan kebijakan moral manusia dalam berhubungan dengan lingkungan, agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga. 11 Terdapat prinsip-prinsip dalam etika lingkungan hidup yang dipergunakan sebagai pedoman, pegangan dan tuntunan bagi perilaku terhadap alam secara langsung maupun perilaku terhadap sesama manusia yang berakibat tertentu terhadap alam. Prinsip etika lingkungan terutama bertumpu pada dua unsur pokok dari teori biosentrime dan ekosentrisme. Pertama, komunitas moral tidak hanya dibatasi pada komunitas sosial, melainkan mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Kedua, hakikat manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, melainkan juga makhluk ekologis. Kedua unsur tersebut mendasari dari prinsip etika lingkungan yang ada, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Sikap hormat terhadap alam Hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusa sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya. Prinsip ini meyangkut sikap hormat terhadap integrasi alam, dengan kata lain alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung kepada alam, tetapi karena kenyataan bahwa manusia adalah bagian dari alam, manusia adalah anggota komunitas ekologis. b. Tanggung jawab Prinsip ini menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta beserta isinya, dengan kata lain kelestarian dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Prinsip ini lebih bersifat kolektif, bukan bersifat individu. c. Solidaritas kosmis Prinsip yang merasa bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan di dalamnya juga terdapat makhluk hidup. Prinsip ini mendorong manusia untuk menjaga atau menyelamatkan lingkungan dari kerusakan, hal ini dikarenakan alam dan semua kehidupan di dalamnya mempunyai nilai yang sama dengan kehidupan manusia. Prinsip ini juga berfungsi sebagai pengendali moral yang mengharmoniskan lingkungannya. perilaku manusia dengan ekosistem yang ada di 12 d. Kasih sayang dan kepedulian terhadap alam Prinsip ini tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan pribadi, tetapi semata-mata demi kepentingan alam. Semakin manusia peduli pada alam, maka manusia akan semakin berkembang menjadi manusia yang memiliki identitas yang kuat, karena alam memang sumber dari segala kehidupan, tidak hanya dalam pengertian fisik, melainkan juga dalam pengertian mental dan spiritual. e. Tidak merugikan Manusia merupakan bagian dari alam yang di dalamnya juga terdapat makhluk hidup yang lain. Interaksi manusia di alam merupakan suatu kejadian yang menghubungkan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Prinsip ini menegaskan bahwa dalam interaksi antara manusia dan juga makhluk hidup lainnya tidak ada tindakan yang merugikan eksistensi yang ada di dalam alam. f. Hidup sederhana dan selaras dengan alam Prinsip sederhana dan selaras dengan alam merupakan prinsip dasar (fundamental), yaitu hidup dengan memanfaatkan alam sejauh yang dibutuhkan dan juga hidup selaras dengan tuntutan alam itu sendiri. Manusia merupakan bagian dari alam, sehingga pemanfaatan dari alam harus dilakukan secara optimal atau sesuai dengan kebutuhan, tidak secara rakus, tidak perlu banyak menimbun sehingga tidak ada eksploitasi alam tanpa batas. g. Keadilan Prinsip keadilan lebih menekankan pada akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam, dan juga bagaimana cara menikmati pemanfaatan sumber daya alam atau alam semesta seluruhnya. h. Demokrasi Prinsip demokrasi sangat relevan dalam bidang lingkungan, terutama dalam kaitan dengan pengambilan kebijakan dibidang lingkungan yang menentukan baik buruknya, rusak tidaknya, tercemar tidaknya lingkungan hidup. Prinsip keadilan merupakan prinsip moral politik yang menjadi garansi bagi kebijakan yang pro lingkungan. Demokrasi menjamin bahwa pemerintah wajib mempertanggung jawabkan kebijakannya di bidang lingkungan, 13 khususnya kebijakan yang merugikan lingkungan, bahkan demokrasipun menjamin hak rakyat yang berbeda pendapat dengan pemerintah dan menggugat setiap kebijakan publik yang berdampak merugikan lingkungan. i. Integrasi moral Prinsip ini menuntut pada pejabat publik agar memiliki sikap dan perilaku moral yang terhormat serta memegang teguh prinsip-prinsip moral yang mengamankan kepentingan publik. Prinsip ini juga berkaitan dengan lingkungan, dikarenakan tanpa integrasi moral pejabat publik dapat menyalah gunakan kekuasaannya untuk kepentingannya dan kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan masyarakat dan lingkungan. Hal ini berlaku baik dalam kaitan dengan kebijakan publik yang berdampak pada rusaknya lingkungan maupun dalam kaitan dengan pemberian izin yang mempunyai dampak merugikan bagi lingkungan. Asas Lingkungan Ilmu lingkungan merupakan salah satu ilmu yang mengintegrasikan berbagai ilmu atau aspek diantaranya adalah sosial, ekonomi, kesehatan, pertanian, yang mempelajari hubungan antara jasad hidup (termasuk manusia) dengan lingkungan, sehingga ilmu lingkungan adalah poros dari berbagai asas dan konsep berbagai ilmu yang saling terkait satu sama lainnya untuk mengatasi permasalahan antara hubungan jasad hidup dengan lingkungannya. Asas di dalam suatu ilmu pada dasarnya merupakan landasan untuk menguraikan gejala atau fenomena dan situasi yang lebih spesifik. Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan dan pengujian metodologi secara terus menerus dan panjang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuan secara meluas, serta digunakan sebagai landasan yang kokoh dan kuat untuk mendapatkan hasil, teori dan model seperti pada ilmu lingkungan. Asas-asas tersebut sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sehingga penelitian mengenai Pola Adaptasi Masyarakat Dusun Duren dan Sidorejo Desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul D. I. Yogyakarta dalam Pelestarian Fungsi Hutan Wonosadi sesuai dengan asas lingkungan, diantaranya yaitu: a. Asas 6 (Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan dari pada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya). 14 Asas ini menjelaskan mengenai seleksi alam, artinya banyak faktor yang mempengaruhi kelestarian hutan Wonosadi, diantaranya adalah faktor abiotik, biotik dan juga aktivitas masyarakat yang ada di sekitarnya. Sehingga spesies yang mampu beradaptasi dengan faktor-faktor tersebut akan mampu bertahan, tetapi spesies yang tidak mampu beradaptasi dengan faktor-faktor tersebut akan mati atau tersingkirkan. b. Asas 7 (Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam lingkungan yang “mudah diramal”). Kerusakan hutan sebagian besar terjadi dikarenakan adanya campur tangan manusia, manusia dengan kepentingannya merubah fungsi hutan sebagai alat untuk memperoleh kebutuhannya. Hutan Wonosadi merupakan warisa turuntemurun dari nenek moyang beserta kearifan lokal yang ada. Kearifan tersebut masih dilaksanakan oleh masyarakat sekitar dalam berinteraksi dengan hutan tanpa merusak atau mengabaikan lingkungan sekitarnya. Interaksi tersebut menjadikan hubungan antara masyarakat sekitar dan juga hutan menjadi harmonis dan selaras sehingga keanekaragaman hayatinya terjaga. Lingkungan yang stabil merupakan lingkungan yang mempunyai jumlah spesies (keanekaragaman) yang banyak dan mampu beradaptasi terhadap lingkungan tersebut, sedangkan lingkungan yang tidak stabil adalah lingkungan yang hanya memiliki jumlah spesies (keanekaragaman) yang relatif sedikit. c. Asas 11 (Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengeksplotasi sistem yang belum mantap (belum dewasa)). Hutan Wonosadi terbagi dalam tiga kawasan, yaitu kawasan kehati, kawasan hutan inti dan kawasan hutan penyangga. Kawasan hutan inti merupakan kawasan inti dari hutan Wonosadi, sedangkan kawasan kehati dan hutan penyangga merupakan kawasan yang dibuat oleh masyarakat sebagai upaya untuk menjaga atau melindungi hutan inti. Kawasan hutan inti yang telah dewasa dengan keanekaragaman hayati yang tinggi akan membagi atau menyebarkan keanekaragman tersebut kepada kedua kawasan lainnya. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai pola adaptasi masyarakat dalam rangka pelestarian hutan telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, diantaranya yaitu: 15 1. Penelitian Sariffuddin dan Arwan (2014) yang berjudul Pola Adaptasi Masyarakat Pesisir Genuk Kota Semarang. Tujuan dari penelitian tersebut adalan untuk memahami pola adaptasi dan gaya hidup masyarakat dan pengaruh didalam mengatur lingkungan pemukiman dengan area peisisir Genuk Kota Semarang sebagai obyek penelitiaanya. Sasaran dari penelitian ini adalah untuk memahami motivasi masyarakat berurbanisasi, untuk menjelaskan kondisi lingkungan pemukiman dan untuk menjelaskan pengaruh kesejahteraan terhadap pola adaptasi masyarakat. Metode penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan hasil wawancara, studi pustaka, penelitian terdahulu dan observasi lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya tiga kelas ekonomi masyarakat yang mempegaruhi pola adaptasi, yaitu kelas bawah yang bekerja di sektor informal, kelas menengah yang bekerja sebagai buruh industri dan kelas atas yang bekerja sebagai pengusaha dan pegawai. Diketahui bahwa masyarakat kelas menengah berperan besar terhadap permasalahan lingkungan dan lebih pada cara bertahan hidup dengan kondisi lingkungan pemukimannya. Sedangkang masyarakat kelas menengah-atas memberikan perhatian besar terhadap kualitas lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat, meskipun ada perbedaan pola adaptasi berdasarkan kelas ekonomi masyarakat. Masyarakat kelas mengenah menggangap bahwa permasalahan lingkungan merupakan kesalahan proses perencanaan dan pembangunan. 2. Penelitian Patriana dan Arif (2013) tentang Pola Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dampak perubahan iklim pada aktivitas nelayan perikanan tangkap dan menganalisis pola adaptasi dan strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan untuk mengatasi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Metode penelitian yang dipergunakan adalah kualitatif eksploratif malalui wawancara mendalam, observasi atau pengamatan dan diskusi kelompok terarah yang dilengkapi dengan studi literatur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan wilayah dan musim penangkapan ikan, meningkatya resiko melaut akibat 16 gelombang ekstrim dan angin kencang dan menghambat akses nelayan dalam melaut akibat pendangkalan muara sungai dan gelombang besar; adaptasi yang dilakukan oleh nelayan antara lain adalah adaptasi iklim melalui “mengejar musim ikan”, adaptasi sumber daya pesisir, adaptasi alokasi sumber daya dalam rumah tangga yang meliputi optimalisasi tenaga kerja dalam rumah tangga dan pola nafkah ganda, dan keluar dari kegiatan perikanan. Kerangka Pemikiran Kearifan lokal di suatu daerah memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri dibandingkan dengan daerah lainnya, begitu juga dengan masyarakat sekitar hutan Wonosadi. Kearifan lokal tersebut berasal dari cerita asal usul hutan Wonosadi, mitos, dan tradisi. Masyarakat dalam interaksinya dengan hutan selalu berpegang teguh pada kearifan tersebut, sehingga pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat tidak menggangu atau merusak kawasan hutan sehingga hutan Wonosadi dapat lestari. Hutan Wonosadi juga pernah mengalami kondisi yang memprihatinkan, tahun 1960-1965 masyarakat di sekitar hutan Wonosadi menebang dan menjarah hutan untuk diambil kayunya, yang tersisa dari kejadian itu hanyalah lima pohon munggur (Samanea saman) yang berada di pusat hutan Wonosadi. Dampak dari kejadian tersebut adalah matinya sumber mata air, erosi, banjir krikil dan matinya sumber kehidupan masyarakat. Kejadian tersebut menyadarkan masyarakat akan pentingnya hutan serta kearifan lokal yang diwariskan oleh para leluhurnya, sehingga masyarakat secara gotong royong mengadakan program penghijauan di kawasan hutan Wonosadi untuk dapat mengembalikan fungsi hutan Wonosadi. Adapatasi masyarakat dalam interaksinya dengan hutan berdasarkan kearifan lokal dan kondisi kawasan hutan Wonosadi, baik biotik (flora dan satwa) maupun abiotik (suhu tanah, kelembaban udara, intensitas cahaya, dan pH tanah) memunculkan pola-pola yang dapat menggambarkan adaptasi masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan, pola tersebut merupakan rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap ataupun mengalami perubahan mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam menggambarkan atau mendiskripsikan proses adaptasi tersebut. Oleh sebab itu penelitian mengenai Pola Adaptasi Masyarakat Desa Beji dalam Pelestarian Fungsi Hutan Wonosadi perlu dikaji dan di teliti. 17 Gambar 1. Kerangka berfiki