BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia dengan luas daratan 1,3% dari luas permukaan bumi merupakan salah satu Negara yang memiliki keanekaragaman ekosistem dan juga keanekaragam hayati yang sangat tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah yang terdiri dari berbagai pulau dan terletak di garis katulistiwa. Indonesia memiliki 12% binatang menyusui yang ada di dunia, 10% jenis tumbuhan berbunga, 17% burung, 16% reptil dan amfibi, 15% serangga dan 25% ikan (Irwanto, 2007). Keanekaragam hayati berupa flora dan satwa merupakan komponen ekosistem yang memiliki peran sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan kelangsungan proses-proses ekologisnya, rusak atau hilangnya salah satu komponen dalam ekosistem akan menyebabkan gangguan terhadap ekosistem serta berkurangnya kualitas lingkungan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisakan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungan, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Hutan sebagai sumber daya alam mempunyai banyak fungsi bagi kehidupan, diantaranya adalah hutan secara global merupakan paru-paru dunia karena menyerap karbondioksida di udara dan melepaskan oksigen yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup makhluk hidup di dunia. Banyaknya pohon di hutan akan mengurangi kerusakan tanah, hal ini dikarenakan tajuk atau naungan pohon yang banyak dan berlapis-lapis akan sangat membantu untuk menahan energi potensial air hujan yang jatuh, sehingga aliran air tidak terlalu besar, kondisi ini juga akan membantu kesuburan tanah dan penyerapan air tanah (Julius dan Nagel, 2011). Hutan selain berfungsi pokok sebagai kawasan pengawetan sumber keanekaramana hayati baik satwa maupun flora, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Keberadaan hutan dalam menjaga kelestarian lingkungan sangat diperlukan, fungsi hutan dapat memberikan pengaruh positif bagi lingkungan di sekitarnya dan hal ini berkaitan erat dengan fungsi hutan 1 2 sebagai fungsi lindung terhadap sumber daya alam yang ada. Pengelolaan hutan dapat dilakukan secara optimal dengan berlandaskan asas kelestarian yang bertujuan untuk kesejahteraan bagi generasi yang akan datang. Kelestarian hutan juga harus diiringi dengan prinsip-prinsip etika lingkungan yang merupakan pegangan dan tuntunan bagi perilaku dalam berinteraksi dengan alam, baik perilaku terhadap alam secara langsung maupun perilaku terhadap sesama manusia yang berakibat tertentu terhadap alam. Prinsip-prinsip tersebut juga dimaksudkan sebagai pedoman untuk melakukan perubahan kebijakan sosial, politik dan ekonomi untuk lebih pro lingkungan dan dalam rangka untuk mengatasi krisis ekologi yang semakin besar sekarang ini (Keraf, 2006). Manusia hidup dalam lingkungannya, dan melakukan interaksi dengan komponen-komponen yang ada di dalamnya baik biotik, abiotik ataupun sosial budaya. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya pada awalnya berjalan secara serasi, selaras dan seimbang. Namun seiring berjalannya waktu hubungan tersebut menjadi tidak seimbang, hal ini dikarenakan peningkatan jumlah penduduk yang signifikan yang berdampak pada semakin meningkatnya kebutuhan hidup serta kualitas hidup yang lebih yaman dan mewah. Manusia dalam memenuhi kebutuhan tersebut seringkali mengesampingkan bahwa mereka adalah bagian dari alam yang tidak bisa terpisahkan, sehingga manusia cenderung bersifat eksploitatif tanpa peduli terhadap alam beserta segala isinya. Kesalahan ini bersumber pada sifat antroposentrisme pada manusia yang memandang manusia adalah pusat dari alam semesta, sedangkan alam hanyalah alat dalam memenuhi kepentingan atau kebutuhan manusia. Dalam bidang kehutanan tercatat bahwa dalam periode 2009-2013 laju tingkat deforestasi atau kehilangan tutupan lahan hutan diperkirakan mencapai angka kurang lebih 4,50 juta hektar dan laju kehilangan hutan alam Indonesia adalah sekitar 1,13 juta hektar pertahun (FWI, 2014). Keadaan tersebut merupakan upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat dengan bentuk merubah kawasan hutan menjadi hutan tanaman industri, `perkebunan kelapa sawit dan pemberian lokasi-lokasi baru untuk pertambangan dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan berdampak pada berkurangnya fungsi hutan sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dengan peningkatan kerusakan hutan dan juga berkurangnya keanekaragaman flora maupun satwa yang ada di dalamnya. 3 Apabila melihat cara pandang dan perilaku masyarakat tradisional atau adat dalam interaksinya terhadap alam merupakan suatu hal yang berlawanan dengan sikap antroposentrisme yang dijelaskan di atas. Masyarakat tradisional memandang dirinya merupakan bagian dari alam, dan dalam interaksinya tersebut terdapat tanggung jawab, sikap hormat serta peduli terhadap alam. Oleh sebab itu cara berpikir, berperilaku dan seluruh kegiatan budaya masyarakat tradisional atau adat sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh hubungannya dengan alam sebagai bagian dari kehidupan. Bentuk interaksi tersebut memiliki keunikan atau kekhasan tersendiri pada tiap daerah, hal ini berkaitan dengan topografi, letak lokasi, budaya dan juga adat istiadat yang dimiliki oleh setiap daerah ataupun setiap Negara, sehingga dari interaksi tersebut akan menggambarkan bagaimana pola adaptasi masyarakat terkait dengan alam yang ada di sekitarnya. Perbedaan-perbedaan adaptasi tersebut juga memiliki kesamaan pemahaman yang sangat penting, yaitu bahwa masyarakat tradisional memandang dirinya, alam, dan interaksi diantara keduanya dalam perspektif sakral atau religious yang dipahami dan dihayati sebagai sebuah cara hidup dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam hubungan atau interaksi yang harmonis baik sesama manusia dan juga alam yang ada di sekitarnya. Sikap menghargai dan menjunjung tinggi alam juga masih terdapat di masyarakat Dusun Duren dan Sidorejo, Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul D.I. Yogyakarta, dalam menjaga dan melestarikan hutan Wonosadi. Hutan Wonosadi merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang terdahulu, masyarakat meyakini bahwa dengan melestarikan hutan ini masyarakat akan tercukupi segala kebutuhannya. Hutan Wonosadi memiliki luas kawasan 25 ha, berada di tanah Desa (oro-oro/bengkok) yang dikelola oleh Pemerintah Desa Beji. Kawasan ini berdasarkan topografinya memiliki ketinggian 200-700 mdpl dan kelerengan 15-60%, perbukitan terjal di bagian utara yang disusun oleh batuan vulkanik, baik intrusi, breksi, sedimen vulkanik klastik dan karbonat, kemiringan lapisan pada umumnya kearah selatan (Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Yogyakarta, 2005). Dilihat dari kondisi tanahnya kawasan karts memiliki tanah yang tipis, unsur hara yang terbatas, air yang sangat terbatas dan juga kondisi panas terutama pada musim kemarau, sehingga secara tidak langsung vegetasi yang dapat tumbuh merupakan vegetasi yang mampu beradaptasi terhadap lingkungan tersebut (Maryanto, et al., 2006). 4 Hutan Wonosadi berdasarkan sejarahnya juga pernah mengalami kerusakan, yaitu pada tahun 1960-1965 yang diakibatkan oleh krisis ekonomi akibat dari kondisi politik pada masa itu, sehingga banyak masyarakat yang melakukan penjarahan atau perusakan kawasan hutan untuk diambil kayunya. Dampak dari kejadian tersebut adalah 90% hutan Wonosadi tidak bervegetasi, dan hanya menyisakan lima pohon munggur (Samanea saman) yang berada di kawasan inti hutan Wonosadi atau lebih dikenal dengan Ngenuman. Kejadian tersebut menyadarkan masyarakat akan pentingnya hutan bagi kehidupan, sehingga pada tahun 1966-1969 masyarakat mengadakan program penghijauan kawasan hutan untuk mengembalikan kelestarian hutan Wonosadi, serta masyarakat merelakan sebagian tanahnya untuk dipergunakan sebagai hutan penyangga yang mengelilingi hutan Wonosadi (Bangun., dkk, 2014). Secara ekologis masyarakat sekitar hutan Wonosadi memiliki cara dalam hidup berdampingan dengan lingkungan terutama untuk melestarikan hutan Wonosadi secara turun-temurun, cara tersebut memunculkan pola-pola adaptasi yang dapat menggambarkan atau mendiskripsikan adaptasi masyarakat dalam interaksinya dengan alam. Pola adaptasi masyarakat dalam melestariakan hutan merupakan suatu potensi yang harus dipertahankan dan dikembangkan dalam menjaga hutan, tapi kenyataannya banyak masyarakat yang mengesampingkan hal tersebut, dikarenakan hutan atau alam hanya dijadikan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Permasalahan lingkungan atau kerusakan hutan merupakan permasalahan moral manusia atau persoalan perilaku manusia, dalam mengatasi masalah lingkungan tersebut langkah awalnya adalah dengan cara merubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara mendasar. Oleh sebab itu informasi mengenai kondisi kelestarian hutan Wonosadi beserta pola adaptasi masyarakat Dusun Duren dan Sidorejo, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul D.I. Yogyakarta dalam melestarian fungsi hutan Wonosadi perlu digali untuk mendapatkan point penting keberhasilan pelestarian tersebut. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi faktor abiotik yang ada di kawasan hutan Wonosadi? 5 2. Bagaimanakah kondisi hutan Wonosadi yang ditinjau dari vegetasi dan juga jenis burung? 3. Bagaimanakah bentuk pola adaptasi masyarakat di sekitar hutan Wonosadi? Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mempelajari dan mengkaji: 1. Kondisi faktor abiotik yang ada di kawasan hutan Wonosadi 2. Kondisi hutan Wonoasdi yang ditinjau dari vegetasi dan juga jenis burung 3. Bentuk pola adaptasi masyarakat di sekitar hutan Wonosadi Manfaat Penelitian Informasi yang didapat dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara: 1. Teoritis a. Informasi yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang lingkungan terkait kearifan lokal dan pola adaptasi masyarakat. b. Hasil penelitian ini sebagai referensi bagi penelitian berikutnya tentang kearifan lokal berserta pola adaptasi masyarakat, khususnya dalam interaksinya terhadap hutan dan menjaga kelestarian hutan. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pengetahuan dan pengalaman baru bagi peneliti mengenai pentingnya menjaga kelestarian hutan, salah satunya dengan cara melestarikan kearifan lokal yang ada di sekitarnya. b. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya bagi masyarakat di luar wilayah Desa Beji mengenai potensi dari kearifan lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tanpa merusak atau merugikan lingkungan tersebut. c. Menumbuhkan rasa kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. d. Sebagai masukan bagi pemerintah atau intansi mengenai pengelolaan kawasan hutan yang berbasis masyarakat atau kearifan lokal.