ringkasan hasil kajian

advertisement
RINGKASAN HASIL KAJIAN
PLATFORM KOMPETISI PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
(Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika) 1
Abstrak
Dengan ditetapkannya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, praktik
monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap diakhiri. Melanjuti UU
tersebut, pemerintah telah melakukan terminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom dan PT
Indosat, serta menetapkan kebijakan duopoli yang mereposisi keduanya sebagai
penyelenggara penuh (full network and service provider). Struktur duopoli dirancang
sebagai transisi dari monopoli menuju kompetisi.
Secara umum, kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan sektor dalam
melaksanakan duopoli dan mengevaluasi kesiapan sektor dalam menghadapi kompetisi
penuh. Dengan demikian, kajian ini merupakan titik awal bagi persiapan pelaksanaan
kompetisi dalam lingkungan multi operator.
Data diperoleh dari analisa perangkat kebijakan dan regulasi, serta diskusi dengan
Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI),
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, penyelenggara terkait, dan komunitas
telekomunikasi. Selanjutnya, analisa dan penyusunan rekomendasi dilakukan dengan
memperhatikan aspek teknologi, kebijakan kompetisi, dan kelembagaan regulasi.
Dari aspek teknis, perbedaan teknologi yang digunakan oleh penyelenggara bukan
merupakan suatu masalah. Hal ini dimungkinkan karena berbagai teknologi tersebut
mengacu pada suatu standar sehingga integrasi, interkoneksi, dan interoperasi antarsistem
tetap dapat dilakukan. Dari aspek kebijakan, perangkat yang ada saat ini cenderung
memperkuat posisi penyelenggara eksisting (incumbent). Oleh karena itu, pemerintah
harus mencabut regulasi yang membatasi ruang gerak pemain baru, serta melengkapi
peraturan yang mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat. Dari aspek
kelembagaan regulasi, pemerintah perlu memperkuat BRTI baik struktur organisasi
maupun kewenangan.
Untuk mengakomodasi masuknya pemain baru, disusun tiga pilihan tahapan
migrasi, yaitu (1) incumbent menjual sebagian perusahaan divisi regional kepada pemain
baru; (2) incumbent menyewakan fasilitas akses lokal (local loop) ke pemain baru; dan (3)
incumbent menjual jaringan sambungan telepon ke pemain baru. Selanjutnya, ketiga
pilihan tersebut dapat dilanjutkan melalui skenario (1) free fight dengan mempertahankan
integrasi vertikal; (2) model utilitas untuk mengefisienkan biaya internal perusahaan; atau
(3) competitive-cooperative melalui pemilahan (unbundling) bisnis vertikal. Dari ketiga
model tersebut, model ketiga dinilai paling optimal.
1. Latar Belakang
Selama satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma dalam
perekonomian dunia yaitu beralihnya masyarakat industri menjadi masyarakat informasi
yang dipicu oleh kemajuan teknologi dan globalisasi. Dalam era informasi, dimana
informasi mempunyai nilai ekonomi, kemampuan untuk mendapatkan, memanfaatkan dan
mengolah informasi mutlak dimiliki suatu bangsa untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi sekaligus mewujudkan daya saing bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut,
Indonesia masih belum mempunyai kesiapan dan kemampuan yang memadai sehingga
menyebabkan semakin lebarnya kesenjangan digital (digital divide) dengan negara lain.
1
[email protected], [email protected], [email protected]
1
Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan digital adalah terbatasnya ketersediaan
infrastruktur telekomunikasi. Selama lima tahun (1999-2003), pembangunan infrastruktur
telekomunikasi mengalami peningkatan sebesar 16,18% yang terdiri dari penambahan
1,79 juta satuan sambungan (ss) telepon tetap --yaitu dari 8,36 juta menjadi 10,15 juta-dan penambahan 16,43 juta pelanggan telepon bergerak --dari 2,22 juta orang menjadi
18,65 juta. Bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya, ketersediaan infrastruktur
telekomunikasi Indonesia sangat tertinggal. Tingkat penetrasi (teledensity) 2 layanan
telepon tetap, telepon bergerak dan pengguna internet Indonesia hingga tahun 2003
masing-masing baru mencapai 3,65%; 5,52%; dan 3,77%. Pada tahun yang sama, rata-rata
negara Asia telah mencapai 13,64%; 15,03%; dan 6,74%.
Terjadinya bottleneck dalam penyediaan fasilitas telekomunikasi, khususnya
sambungan tetap, pada dasarnya disebabkan oleh penyelenggaraan yang masih berbentuk
monopoli. Pada sistem monopoli, pemenuhan kebutuhan infrastruktur telekomunikasi sulit
dilakukan terutama karena terbatasnya kemampuan penyelenggara. Tidak terpenuhinya
target pembangunan baru sebanyak 4 juta ss hingga tahun 2004 sebagaimana ditetapkan
dalam pokok-pokok kesepakatan antara pemerintah dengan PT Telkom dan PT Indosat
pada tahun 2000, menjadikan pembangunan sambungan tetap semakin tertinggal.
Pada saat yang sama, perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi
telekomunikasi yang sangat cepat dan dinamis telah menciptakan perubahan mendasar
dalam penyelenggaraan telekomunikasi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bila awalnya
telekomunikasi dipandang sebagai bagian dari barang publik (public goods), kini secara
umum telekomunikasi telah menjadi komoditas perdagangan yang mempunyai nilai
komersial tinggi, walaupun peran dan bantuan pemerintah masih dibutuhkan dalam
penyediaan fasilitas telekomunikasi di daerah-daerah perintisan, pedalaman dan daerahdaerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Selain itu, pemerintah yang semula
juga berfungsi sebagai operator yang memiliki, membangun dan menyelenggarakan
telekomunikasi, kini bergeser perannya menjadi pembuat kebijakan dan regulator.
Demikian pula halnya dengan struktur pasar yang semula berbentuk monopoli kini telah
berubah ke bentuk kompetisi.
Untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaran telekomunikasi serta untuk
mengantisipasi tuntutan pasar yang lebih global dan kompetitif, pemerintah melakukan
penataan ulang penyelenggaraan telekomunikasi. Tidak seperti penyelenggaraan
telekomunikasi bergerak yang dirancang untuk dilakukan secara kompetisi, pada awalnya
penyelenggaraan telekomunikasi tetap sambungan lokal dilakukan secara eksklusif oleh
PT Telkom hingga tahun 2010, sedangkan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan
Sambungan Langsung Internasional (SLI) dilakukan secara eksklusif masing-masing oleh
PT Telkom dan PT Indosat hingga tahun 2005 dan 2004. Dengan diberlakukannya UU
No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi pada tahun 2000, praktik monopoli dalam
penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap harus diakhiri.
Menindaklanjuti UU Telekomunikasi tersebut, pemerintah melakukan reposisi dan
restrukturisasi BUMN penyelenggara telekomunikasi sebagai salah satu bagian terpenting
dari proses restrukturisasi sektor. Langkah ini dilakukan melalui peniadaan kepemilikan
bersama (joint ownership) dan kepemilikan silang (cross ownership) oleh PT Telkom dan
PT Indosat dalam suatu perusahaan afiliasi bidang telekomunikasi.
Pemerintah juga telah melakukan terminasi dini atas hak eksklusivitas PT Telkom
dan PT Indosat sebagai penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi tetap sambungan
lokal, SLJJ dan SLI. Selain itu, pemerintah juga menetapkan kebijakan duopoli yang
mereposisi kedua penyelenggara tersebut menjadi penyelenggara penuh (full network and
2
Tingkat penetrasi (teledensity) merupakan persentase jumlah pelanggan suatu jasa telekomunikasi di satu
negara terhadap jumlah penduduk negara tersebut.
2
service provider) dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap. Kebijakan duopoli
bertujuan untuk meningkatkan penetrasi akses dan layanan telekomunikasi sambungan
tetap kepada masyarakat. Sebagai konsekuensi dari terminasi dini dan kebijakan duopoli,
pemerintah harus menyediakan dana kompensasi sebesar Rp 300 miliar (merupakan
selisih antara kompensasi yang dibayar pemerintah kepada PT Telkom sebesar Rp 478
miliar dan kompensasi yang didapat pemerintah dari PT Indosat sebesar Rp 178 miliar).
Sejak diberlakukannya duopoli pada penyelenggaraan sambungan lokal pada 1
Agustus 2002 serta SLJJ dan SLI pada 1 Agustus 2003, pelaksanaan duopoli dapat
dikatakan belum berjalan efektif. Sejauh ini belum terdapat penambahan sambungan baru
yang berarti, penambahan layanan dan pilihan bagi masyarakat, serta persaingan harga.
Bahkan yang terjadi kemudian adalah perselisihan antaroperator akibat tindakan antikompetisi penyelenggara eksisting (incumbent), seperti yang terjadi pada kasus
pemblokiran akses PT Indosat dan penggantian warung telekomunikasi menjadi warung
Telkom.
Struktur duopoli memang dirancang sejak awal sebagai transisi dari
penyelenggaraan yang berbentuk monopoli menuju kompetisi. Oleh karena itu, efektivitas
duopoli pada dasarnya memberikan gambaran akan kemampuan sektor (pemerintah, badan
regulasi, dan penyelenggara) telekomunikasi nasional untuk melakukan kompetisi.
Bercermin dari pelaksanaan duopoli yang kurang optimal, pemerintah perlu segera
menyusun platform kompetisi jangka panjang dan tahapan (migrasi) kompetisi. Format
kompetisi sangat diperlukan sebagai landasan bagi pengembangan penyelenggaraan
telekomunikasi selanjutnya, sedangkan migrasi diperlukan guna memberikan kesempatan
bagi pemerintah, para penyelenggara dan calon penyelenggara untuk mempersiapkan diri
dalam rangka menghadapi kompetisi baik dari aspek regulasi, teknis maupun finansial
(investasi).
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan dan kebutuhan akan infrastruktur,
kemampuan daya beli masyarakat, serta karakteristik demografi dan geografi setiap daerah
berbeda-beda. Kawasan bisnis dan industri tentunya memiliki kebutuhan, potensi, dan
kemampuan pasar yang berbeda dengan kawasan pertanian, begitu pula dengan kebutuhan
di wilayah perkotaan dan perdesaan. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, perlu
disusun suatu bentuk kompetisi yang sesuai dan bermanfaat bagi masyarakat pengguna
dan tentunya bagi sektor. Pada kenyataannya, hingga saat ini belum terdapat konsep
kompetisi jangka panjang dan skenario migrasi dari duopoli hingga terwujudnya
kompetisi. Tidak adanya konsep dimaksud dikhawatirkan akan menyebabkan disorientasi
dalam pembangunan telekomunikasi sehingga investasi yang dilakukan tidak optimal.
2. Tujuan
Untuk menetapkan arah dan menyusun suatu kebijakan, diperlukan evaluasi
terhadap pelaksanaan dan efektivitas kebijakan sebelumnya. Sebagai transisi dari bentuk
monopoli ke kompetisi, pemerintah menetapkan kebijakan duopoli dengan mereposisi PT
Telkom dan PT Indosat menjadi penyelenggara penuh. Untuk mereposisi kedua
penyelenggara tersebut, pemerintah harus membayar sejumlah kompensasi kepada PT
Telkom yang dibayarkan melalui APBN. Bercermin dari kondisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa suatu perubahan kebijakan dapat membawa risiko finansial terhadap
pemerintah. Untuk meminimalisasi risiko tersebut, diperlukan suatu rancangan yang jelas,
konsisten dan terarah sebagai landasan bagi pembangunan sektor selanjutnya.
Praktik duopoli ini pada prinsipnya dapat dijadikan sebagai uji kemampuan/latihan
bagi pelaksanaan kompetisi penuh (multi operator). Terkait dengan hal tersebut, perlu
dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan duopoli tersebut yang bertujuan untuk
mengetahui efektivitas kebijakan serta sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan
3
selanjutnya. Secara umum, studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan dan
kesiapan sektor dalam menghadapi kompetisi. Secara khusus, studi ini bertujuan untuk (1)
mengidentifikasi dan mengevaluasi berbagai skenario migrasi dari duopoli menuju
kompetisi penuh, serta (2) menyusun rekomendasi terkait dengan persiapan penyusunan
platform kompetisi penuh (jangka panjang). Sesuai dengan tujuan awal kebijakan duopoli,
ruang lingkup studi dibatasi pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap.
Kajian dilakukan dengan mengevaluasi efektivitas pelaksanaan kebijakan duopoli
sekaligus mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan untuk menghadapi kompetisi penuh,
baik dari aspek teknologi, kebijakan maupun kelembagaan regulasi. Output utama yang
dihasilkan adalah evaluasi dan rekomendasi untuk penyusunan kebijakan dalam rangka
mempersiapkan platform kompetisi penuh.
Adapun sasaran akhir yang hendak dicapai melalui studi ini adalah agar Bappenas
khususnya Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika mendapatkan gambaran
utuh untuk menetapkan arah dan kebijakan pembangunan sektor telekomunikasi setelah
dihapuskannya bentuk monopoli. Gambaran ini juga sangat terkait dengan perencanaan
pembangunan sektor, terutama perencanaan pembiayaan. Dengan dilakukannya
liberalisasi sektor telekomunikasi, kemampuan pembangunan, serta kinerja dan efisiensi
penyelenggara diharapkan akan meningkat. Dengan demikian, beban pembiayaan
pemerintah (APBN) akan berkurang sejalan dengan meningkatnya peran swasta dalam
pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
3. Metodologi
3.1 Kerangka Analisis
Peranan sektor telekomunikasi yang besar membuat kinerja sektor ini berkaitan
erat dengan kinerja perekonomian suatu negara. Pada tahap awal pembangunan, sektor
telekomunikasi tergolong sebagai monopoli alamiah (natural monopoly) mengingat
besarnya modal yang diperlukan. Skala ekonomi yang besar, tingginya kepekaan terhadap
masalah politik dan militer, serta besarnya masalah eksternalitas menjadikan sektor
telekomunikasi digolongkan sebagai salah satu jenis pelayanan publik yang
pembangunannya dilaksanakan oleh pemerintah.
Seiring dengan semakin tingginya peran swasta dalam pembangunan
telekomunikasi, pemerintah mulai mendorong dan mempercepat proses privatisasi dan
pembukaan pasar agar menjadi lebih kompetitif. Pilihan kebijakan oleh pemerintah suatu
negara dalam melakukan reformasi sektor telekomunikasi, termasuk strategi
implementasinya, sangat spesifik dan bergantung pada kondisi negara masing-masing.
Kompetisi bukanlah suatu tujuan akhir, tetapi merupakan cara untuk menciptakan
penyelenggaraan telekomunikasi yang efisien. Seperti halnya sebuah utopia, pasar
kompetisi sempurna sulit ditemui. Pada umumnya, sektor telekomunikasi, termasuk di
negara maju, tetap didominasi oleh beberapa perusahaan besar saja. Liberalisasi pasar
memang dapat memfasilitasi terjadinya kompetisi, tetapi hal tersebut tidak terjadi secara
serta merta. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan intervensi apabila hasil dari
kebijakan kompetisi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Secara rinci, kerangka dasar
intervensi pemerintah dalam pengaturan kompetisi ditampilkan dalam Gambar 1.
4
Gambar 1. Kerangka Dasar Kebijakan Kompetisi Telekomunikasi
Perilaku Antikompetisi:
ƒ Harga mematikan pesaing
ƒ Tingginya biaya pengalihan
ƒ Penolakan interkoneksi
ƒ Diskriminasi harga akses
ƒ Kualitas koneksi untuk
pesaing rendah
Kekuatan
Monopoli
Karakteristik Teknologi dan
Konsumen:
ƒ Monopoli alami
ƒ Efek jaringan
ƒ Biaya-biaya pengalihan (switching
costs)
Inefisiensi Ekonomi:
ƒ Pemborosan sumberdaya
ƒ Harga terlalu tinggi
ƒ Kualitas dan kuantitas
layanan terlalu rendah
ƒ Efek distribusi ke konsumen
ƒ Menghambat inovasi dan
investasi
Isu-isu Kebijakan
Risiko Kegagalan Regulasi:
ƒ Instrumen second-best
ƒ Asimetris informasi dan
ketidakpastian
ƒ Cakupan pengaturan
ƒ Berlawanan dengan tujuan
kebijakan sosial
ƒ Permainan dalam regulasi
Cakupan Pengaturan:
ƒ Untuk siapa? (perusahaan
incumbent atau seluruhnya)
ƒ Pasar apa? (fixed atau
mobile)
ƒ Kapan? (berapa lama)
Kriteria Untuk Penetapan
Pengaturan:
ƒ Memaksimumkan kesejahteraan
sosial
ƒ Isu-isu distribusional
ƒ Dapatkah regulasi mempertahankan
konvergensi
ƒ Berangkat dari asumsi adanya
pelanggaran atau tidak?
Konsekuensi dari Kegagalan
Regulasi:
ƒ Rendahnya efisiensi investasi
ƒ Harga terlalu rendah atau
terlalu tinggi (tidak efisien)
ƒ Mendorong perilaku
antikompetisi
ƒ Menciptakan insentif bagi
kualitas pelayanan yang
buruk
Instrumen Kebijakan:
ƒ Tidak melakukan apa-apa
ƒ Kepemilikan pemerintah
ƒ Pengaturan harga
ƒ Pemantauan harga
ƒ Pengaturan akses
ƒ Pemisahan vertikal
ƒ Undang-undang
antimonopoli
Pengelolaan, Proses dan
Kelembagaan:
ƒ Peraturan umum atau spesifik?
ƒ Undang-undang pidana, perdata
atau birokrasi?
ƒ Transparansi, review, dan
penutupan
ƒ Komitmen penuh atau fleksibel
ƒ Mempercepat pengambilan
keputusan
ƒ Pengumpulan informasi
ƒ Penargetan dan efisiensi
ƒ Prinsip keadilan
Sumber: Productivity Commission (2001) -- diadaptasi
Untuk menghasilkan transisi yang halus ke arah kompetisi, diperlukan beberapa
indikator untuk mengukur efektivitas kebijakan yang ditetapkan, yaitu (1) keberadaan
badan regulasi; (2) pemberian izin (lisensi); (3) penetapan interkoneksi; dan (4) penetapan
harga dan tarif. Disamping itu, tingkat keberhasilan kompetisi juga dilihat dari indikator
pasar, seperti pangsa pasar, penyebaran konsentrasi dan geografi, hambatan untuk masuk
pasar (barrier to entry), perilaku kompetisi, dan halangan untuk memilih penyedia jasa.
5
Salah satu permasalahan utama dalam reformasi telekomunikasi adalah lambatnya
kemajuan pembangunan regulasi. Reformasi pada tatanan regulasi pada prinsipnya
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas regulasi publik pada perusahaan monopoli
yang telah diprivatisasi, khususnya terkait dengan masalah harga dan tarif, kewajiban
penyedia jasa, dan interkoneksi. Oleh karena itu, diperlukan pemisahan fungsi kebijakan
dan regulasi dari fungsi operasi.
Pemisahan fungsi kebijakan dan regulasi dari fungsi operasi yang menandai
peralihan struktur sektor telekomunikasi dari bentuk monopolistik menjadi struktur pasar
yang lebih kompetitif diantaranya dapat diamati dari bertambahnya otoritas regulasi
telekomunikasi. Sejak tahun 1990, otoritas regulasi telekomunikasi berkembang dari 12
menjadi 90 buah di seluruh dunia. Pembentukan otoritas regulasi telekomunikasi
merupakan suatu hal yang penting untuk menjaga kelancaran transisi peran pemerintah
dari pembuat kebijakan dan regulasi sekaligus pemilik dan pelaku pembangunan menjadi
pembuat kebijakan dan regulasi, yang selanjutnya hanya menjadi pembuat kebijakan.
Lisensi --indikator kedua-- pada prinsipnya merupakan pemberian otoritas kepada
entitas tertentu untuk menyediakan jasa atau fasilitas operasi telekomunikasi. Oleh karena
itu, pemberian lisensi harus dilakukan secara transparan dan tidak diskriminatif kepada
pihak yang memang dinilai berkemampuan. Lisensi tersebut harus memberikan gambaran
yang jelas kepada semua pihak (pengguna jasa, penyedia jasa lain, dan pemerintah)
tentang hak dan kewajiban penerima lisensi. Dengan demikian, kepastian usaha dan
kepentingan pengguna jasa mempunyai kepastian hukum dan menjadi terlindungi.
Disamping badan regulasi dan lisensi, interkoneksi juga merupakan faktor penting
dalam pengembangan strategi kompetisi di sektor telekomunikasi. Interkoneksi
memungkinkan seorang pengguna jasa untuk berkomunikasi dengan pengguna jasa lain
yang menggunakan penyedia jasa berbeda. Kebijakan interkoneksi yang tidak tepat akan
menghambat transisi sektor ke arah kompetisi. Oleh karena itu, kebijakan interkoneksi
harus memperhatikan kerangka dan prosedur, isu komersial, serta isu teknis dan
operasional.
Indikator kompetisi selanjutnya adalah kebijakan harga. Regulasi ini bertujuan
untuk menciptakan efisiensi, baik efisiensi alokatif (harga jasa merefleksikan kelangkaan
relatifnya), efisiensi produktif (input yang efisien untuk tingkat output tertentu dan output
yang diproduksi seefisien mungkin dengan meminimasi penggunaan input), dan efisiensi
dinamis (sumberdaya berubah sejalan dengan pergantian waktu sampai pada tingkat
tertinggi penggunaannya).
Keterkaitan dan dinamika indikator kompetisi tersebut di atas sangat ditentukan
oleh struktur industri yang merupakan muara interaksi antara pemerintah, badan regulasi,
penyelenggara, dan masyarakat pengguna. Dengan demikian, untuk menciptakan
kompetisi yang efektif, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap struktur industri
yang ada dan menyusun platform baru apabila struktur yang ada sekarang dinilai tidak
optimal mendukung pelaksanaan kompetisi. Tinjauan terhadap struktur industri dilakukan
dengan mengacu pada aspek teknologi, aspek kebijakan, dan aspek kelembagaan regulasi.
3.2 Metode Pelaksanaan Kajian
Untuk memberikan gambaran atas pelaksanaan duopoli yang berlangsung saat ini
serta rekomendasi bagi penyusunan kebijakan kompetisi, pada kajian dilakukan
identifikasi dan pemetaan berbagai isu strategis terkait dengan struktur dan kondisi pasar
sektor telekomunikasi di Indonesia, seperti hambatan masuk pasar, penguasaan dan
dominasi pasar, serta penggunaan fasilitas esensial dalam industri telekomunikasi.
Identifikasi tersebut difokuskan pada proses pengakhiran monopoli dan transformasi peran
pemerintah dalam implementasi kebijakan.
6
Metodologi pelaksanaan kajian meliputi: (1) Pengumpulan dan evaluasi literatur,
seperti peraturan perundang-undangan, kebijakan sektor, dan konsep terkait lainnya; (2)
Pengumpulan data, seperti infrastruktur eksisting dan hambatan masuk pasar; (3) Analisis
pasar, kelembagaan dan skenario migrasi; serta (4) Penyusunan rekomendasi.
3.3 Data
Pengambilan data dilakukan baik melalui analisis kebijakan, regulasi dan
kelembagaan yang ada (studi literatur) maupun wawancara, diskusi dan pengisian
kuesioner yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen
Komunikasi dan Informatika, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan operator.
4. Hasil Kajian dan Analisis
Dengan mengacu pada indikator umum kompetisi 3 , dapat dikatakan bahwa
struktur duopoli saat ini tidak mendukung kompetisi secara optimal. Saat ini peran dan
wewenang BRTI masih sangat terbatas sehingga pengawasan terhadap pelaksanaan
kompetisi tidak optimal. Selain itu, pemberian lisensi juga masih kurang transparan dan
efektif. Perhitungan dan teknis pelaksanaan interkoneksi masih belum jelas, sedangkan
perhitungan dan penetapan harga dan tarif yang mencerminkan harga pokok produksi juga
belum dilakukan sehingga masih terdapat praktik subsidi silang antarlayanan, seperti
subsidi silang SLJJ untuk lokal. Disamping itu, struktur duopoli hingga saat ini juga belum
mendorong pembangunan sambungan baru, penambahan layanan, dan persaingan harga.
Bercermin dari kondisi tersebut di atas, perlu dicari platform baru yang mampu
mendukung terciptanya kompetisi yang setara dalam lingkungan multi operator.
Penyusunan platform kompetisi dilakukan melalui evaluasi terhadap aspek teknologi,
aspek kebijakan, dan aspek kelembagaan regulasi. Selanjutnya, dari hasil evaluasi tersebut
diidentifikasi beberapa alternatif sebagai pentahapan menuju kompetisi penuh.
4.1 Aspek Teknologi
Pada prinsipnya, perbedaan teknologi yang digunakan oleh penyelenggara
telekomunikasi sambungan tetap --teknologi Public Switch Telephony Network (PSTN)
yang berbasis jaringan suara (circuit switch) dan teknologi berbasis protokol internet
(Internet Protocol atau IP)-- bukan merupakan suatu masalah. Teknologi yang beragam
tersebut mengacu kepada standar perangkat dan protokol yang sama sehingga
memungkinkan terjadinya interkoneksi dan interoperasi antarsistem dengan tetap menjaga
kualitas layanan sebagaimana dipersyaratkan. Dengan demikian, perubahan dari bentuk
monopoli/duopoli ke bentuk kompetisi tidak mengalami kesulitan teknis.
Hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah membangun sistem otentikasi,
otorisasi dan akunting (authentication, authorization, accounting atau AAA) yang
merupakan sistem penanganan pelanggan termasuk pembayaran (billing). Dalam
lingkungan multi operator, sistem ini harus mampu melayani pelanggan secara terpadu
untuk menerima layanan dari berbagai penyedia jasa. Sistem ini diantaranya bertujuan
untuk memberikan kejelasan dan transparansi dalam perhitungan trafik. Trafik merupakan
isu yang sensitif (berpotensi menimbulkan konflik) dalam penyelenggaraan multi operator.
Dengan demikian, sistem ini perlu dibangun sebelum kompetisi dilaksanakan.
Dalam perspektif teknologi, liberalisasi sektor telekomunikasi Indonesia terjadi
bersamaan dengan terjadinya perubahan fundamental dalam pemilihan teknologi, yaitu
beralihnya teknologi PSTN ke seluler, dan menuju era Next Generation Network (NGN)
3
Sebagaimana dijelaskan dalam Kerangka Analisis
7
yang berbasis IP. Teknologi IP merupakan teknologi masa depan yang mampu
menyelenggarakan multi layanan (suara, data, dan gambar) sekaligus dapat
mengakomodasi sistem telekomunikasi multi operator.
Untuk mendukung peralihan teknologi tersebut, diperlukan pembaharuan
(upgrading) infrastruktur eksisting, yaitu pembaharuan jaringan PSTN dengan jaringan
serat optik berbasis IP, pembaharuan jaringan akses pita lebar (broadband) berbasis IP,
penggantian sentral dengan softswitch, dan penggantian terminal telepon pengguna dengan
terminal berkemampuan multimedia.
4.2 Aspek Kebijakan Kompetisi
Permasalahan utama dalam proses liberalisasi terkait erat dengan karakteristik
pasar yang cenderung memperkuat posisi incumbent. Luasnya jaringan, besarnya aset dan
pengalaman yang dimiliki incumbent; serta tingginya sunk cost 4 dan investasi awal
pembangunan jaringan menyebabkan tingginya hambatan masuk bagi pemain baru.
Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan
yang diarahkan untuk (1) meningkatkan kompetisi, seperti pengaturan untuk penomoran,
interkoneksi, dan kebebasan pengguna jasa mengakses jaringan dan jasa telekomunikasi
yang tersedia; dan (2) mengatasi permasalahan kekuatan pasar (market power), seperti
pengaturan harga.
Di satu sisi, kesalahan regulasi kompetisi dapat menyebabkan distori dalam
investasi, inovasi dan penetapan harga. Di sisi lain, ketidaksempurnaan regulasi berpotensi
menghapuskan manfaat kompetisi itu sendiri. Berdasarkan pengalaman internasional,
pengaturan suatu penyelenggaraan yang bersifat kompetitif sebaiknya dilakukan
seperlunya (necessary). Oleh karena itu, penetapan kebijakan dan regulasi kompetisi harus
dilakukan setelah pemerintah mengetahui perlu atau tidaknya suatu intervensi dilakukan.
Terkait dengan hal tersebut, pada kajian ini dilakukan analisis terhadap regulasi
dan kondisi kompetisi sektor telekomunikasi saat ini dengan mengacu kepada UU No. 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Analisis dilakukan dengan menggunakan
dua konsep dasar anti-monopoli, yaitu definisi pasar (market definition) dan penguasaan
(dominance).
Definisi pasar dapat dikategorikan berdasarkan dua dimensi, yaitu dimensi produk
dan geografis dengan memperhatikan kondisi permintaan dan kemungkinan adanya
substitusi produk. Pada prinsipnya, konsep substitusi dapat diuji secara hipotesis dengan
mengubah harga. Jika perubahan harga menyebabkan pengguna mengalihkan
konsumsinya dari produk X ke produk Y, maka produk Y tersebut termasuk dalam pasar
produk X. Saat ini analisis substitusi sulit dilakukan karena kelompok jasa telekomunikasi
dibedakan berdasarkan teknologi sehingga pemisahan sistem yang bersifat overlap dan
interkoneksi menjadi tidak jelas. Untuk komunikasi suara, jasa telekomunikasi dibedakan
menjadi komunikasi suara sambungan tetap (PSTN), aplikasi tetap nir kabel (Fixed
Wireless Applications), dan sambungan bergerak (mobile communications). Kesulitan
yang sama juga terjadi dalam menentukan cakupan geografis dari pasar produk yang
bersangkutan. Dalam sektor telekomunikasi, dimana jaringan dapat saling berinterkoneksi
dan menyebar melampaui batas geografis, penentuan batas-batas geografis menjadi sulit.
Walaupun definisi pasar sulit dilakukan, kurang efektifnya pelaksanaan kompetisi
terlihat sangat nyata karena adanya integrasi vertikal jaringan dan jasa. Walaupun
pemerintah telah memberikan izin penyelenggaraan sambungan lokal dan SLJJ kepada PT
Indosat, tidak dapat dipungkiri bahwa PT Telkom masih menjadi pemegang posisi
4
Investasi pembangunan infrastruktur bersifat irreversible. Bahkan untuk beberapa jenis investasi, seperti
penanaman kabel bawah tanah, pemulihan biaya tidak dimungkinkan.
8
dominan. Sebagaimana diketahui bahwa infrastruktur yang dimiliki oleh PT Telkom
merupakan tulang punggung infrastruktur telekomunikasi Indonesia. Terbatasnya
kemampuan PT Indosat sebagai pemain baru untuk membangun infrastruktur dan
menciptakan basis pelanggan yang signifikan, serta adanya hambatan bagi pemain baru
untuk mengakses fasilitas yang dimiliki oleh incumbent menjadikan kompetisi kurang
efektif.
Regulasi yang ada saat ini menjamin bahwa setiap penyelenggara jaringan
telekomunikasi dapat memanfaatkan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara lain
melalui interkoneksi. Pada UU Telekomunikasi bahkan telah diamanatkan bahwa setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari
penyelenggara lain dan berkewajiban untuk menyediakan interkoneksi apabila diminta.
Pada UU juga ditegaskan bahwa interkoneksi dilakukan berdasarkan prinsip pemanfaatan
sumberdaya secara efisien dan persaingan usaha sehat yang tidak saling merugikan.
Berdasarkan peraturan tersebut, interkoneksi harus dimanfaatkan secara optimal untuk
memfasilitasi masuknya pemain baru. Dengan demikian, keterbatasan kemampuan untuk
membangun jaringan tidak menutup kesempatan pemain baru untuk menciptakan basis
pelanggan. Kondisi ini pada akhirnya akan memberikan pilihan kepada masyarakat.
Untuk menciptakan interkoneksi yang adil, proses pengalihan trafik dan
perhitungan tarif harus dilakukan secara transparan tanpa diskriminasi 5 . Pada
kenyataannya, interkoneksi belum berjalan karena belum adanya regulasi teknis yang
mengatur pelaksanaan interkoneksi, seperti cost accounting standard, reference
interconnection offer, dan interconnection dispute resolution.
Selain terbatasnya akses pemain baru untuk memanfaatkan infrastruktur
incumbent, permasalahan lain yang menghambat pelaksanaan kompetisi telekomunikasi
Indonesia, yaitu pricing strategy yang dilakukan oleh incumbent dengan melakukan
subsidi silang antarproduk untuk menekan biaya produksi.
Bercermin dari kondisi saat ini, masih terdapat beberapa peraturan yang harus
segera diselesaikan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan kompetisi yang efektif,
seperti interkoneksi, penomoran, Sistem Kliring Trafik Telekomunikasi, dan competitive
safeguard (larangan pengalihan trafik, larangan penguasaan pasar, dan anti-dumping).
4.3 Aspek Kelembagaan Regulasi
Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya persaingan yang sehat,
tidak saja diperlukan tata aturan yang jelas dan disepakati oleh para pihak terkait, tetapi
juga badan regulasi yang kuat dan mempunyai kewenangan penuh dalam mengawasi
jalannya kompetisi tersebut.
Keberadaan badan regulasi dalam penyelenggaraan telekomunikasi menjadi sangat
penting mengingat tingginya sensitivitas sektor terhadap perubahan regulasi (mempunyai
risiko regulasi yang tinggi). Oleh karena itu, badan regulasi haruslah bersifat independen,
yaitu tidak berpihak terhadap penyelenggara tertentu dan terbebas dari tekanan politik.
Dengan demikian, independensi yang dimaksudkan tidak harus diartikan sebagai
pemisahan badan tersebut dari pemerintah.
Melalui Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 Tahun 2003, BRTI dibentuk
untuk menjamin adanya transparansi, independensi dan prinsip keadilan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi. Sesuai dengan UU Telekomunikasi dan Keputusan
Menteri tersebut, BRTI mempunyai tugas pengaturan, pengawasan, dan pengendalian
5
Umumnya pemilik jaringan juga menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Dikhawatirkan pemilik jaringan
akan mendahulukan trafik yang berasal dari dirinya sendiri dan menyulitkan penyampaian trafik yang
berasal dari penyelenggara lain. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa interkoneksi harus dilakukan tanpa
memandang kepemilikan trafik.
9
terhadap penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi. Adapun fungsi penetapan
kebijakan akan tetap dilaksanakan oleh pemerintah.
Berdasarkan peraturan, BRTI mempunyai ruang gerak yang luas. Pada
kenyataannya, dengan masih tercampurnya struktur BRTI dengan pemerintah (Ditjen
Postel), kewenangan badan tersebut menjadi kurang jelas. Hal ini tercermin dari bentuk
keputusan BRTI yang harus dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal. Kondisi ini
pada akhirnya menyebabkan BRTI tidak dapat menjalankan tugasnya secara optimal.
Untuk itu perlu dilakukan penguatan BRTI dengan melengkapi kewenangan eksekusi
disamping kewenangan untuk menyusun dan menetapkan peraturan.
4.4 Skenario Pentahapan Menuju Kompetisi Penuh
Sebagai persiapan menuju kompetisi penuh, dari aspek teknis perlu dilakukan
pembaharuan infrastruktur yang ada saat ini (PSTN) ke NGN melalui tiga tahapan, yaitu
(1) fase duopoli, dimana PT Telkom dan PT Indosat berkompetisi dalam penyelenggaraan
telepon tetap; (2) fase persiapan menuju kompetisi penuh; dan (3) fase kompetisi penuh.
Dalam melakukan pentahapan, terdapat empat aspek teknis yang perlu ditangani, yaitu (1)
infrastruktur transport, pensinyalan (signaling) dan jaringan; (2) layanan, seperti telepon,
fax, internet; (3) manajemen sistem, seperti penetapan tarif, kinerja, efisiensi, dan
pertumbuhan yang berkelanjutan; dan (4) layanan pelanggan (sistem AAA). Pentahapan
dari masing-masing aspek dapat dilihat pada Tabel 1 hingga Tabel 4 berikut ini.
Tabel 1. Pentahapan Aspek Teknis Infrastruktur
Fase
Fase 1 (Duopoli)
Aspek Teknis Infrastruktur Transport Dan Pensinyalan
•
•
Fase 2 (Transisi)
•
•
Fase 3 (Kompetisi Penuh)
•
•
•
•
Integrasi infrastruktur dengan PSTN sebagai induk jaringan, E1/T1
sebagai standar transport, serta SS7/R2/ISDN sebagai protokol
pensinyalan
Pembuatan gerbang (gateway) transport dan gateway pensinyalan
bagi peralatan yang berbeda teknologi dengan PSTN
Pengenalan NGN pada operator sambungan tetap yang meliputi
pengenalan NGN pada transmisi, akses, dan terminal pengguna
NGN dan PSTN menjadi setara, dengan interkoneksi melalui
gateway transport dan pensinyalan
NGN menjadi induk infrastruktur transmisi dan sentral
Integrasi dengan nir kabel 4G
Teknologi lama menjadi anak jaringan NGN dan di-phased-out
Jaringan inti menjadi utilitas, dan jaringan akses menjadi kompetisi
Tabel 2. Pentahapan Aspek Teknis Layanan Telekomunikasi
Fase
Fase 1 (Duopoli)
Fase 2 (Transisi)
Fase 3 (Kompetisi Penuh)
Aspek Teknis Layanan
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Telepon lokal dan fax dengan layanan tambahan koneksi ke SLI,
SLJJ, seluler, dan internet teleponi (Voice over Internet Protocol)
Layanan internet dial-up, dengan modem array di setiap sentral
Layanan instant messaging (SMS)
Pengenalan server layanan
Penyediaan telepon dengan pilihan berbagai tingkat layanan
(quality of service atau QoS)
Penyediaan internet berkecepatan tinggi
Infrastruktur terpadu dengan multi layanan
Penyediaan telepon dengan berbagai pilihan QoS dan rute secara
terintegrasi (dari sisi pengguna jasa)
Internet, multimedia messaging, multimedia dan broadband
10
Tabel 3. Pentahapan Aspek Teknis Manajemen Teknis
Fase
Aspek Manajemen Sistem
•
•
•
Fase 1 (Duopoli)
Fase 2 (Transisi)
•
•
•
Fase 3 (Kompetisi Penuh)
•
•
•
•
Efisiensi dan kinerja jaringan diawasi oleh masing-masing operator
Masing-masing operator memiliki pencatat pulsa dan billing
Tarif diberlakukan sesuai regulasi tarif lokal, SLJJ, dan SLI, dengan
konsep distribusi pendapatan berbasis persentase yang proporsional
dari distance-equivalent-resources dan QoS yang digunakan dalam
layanan tersebut
Diterapkan sistem clearing house
Penyiapan koordinasi manajemen
Penyiapan pemilahan (unbundling) antara bisnis jaringan inti, bisnis
akses, bisnis layanan, dan bisnis customer service
Penyiapan operator baru berbasis NGN
Penggunaan full NGN sebagai sistem managemen jaringan terpadu
Infrastruktur terpadu, kompetisi di jaringan akses, layanan
pelanggan terpadu, dan kompetisi di layanan
Operator-operator baru beroperasi
Tabel 4. Pentahapan Aspek Teknis Layanan Pelanggan
Fase
Aspek Layanan Pelanggan
Fase 1 (Duopoli)
•
Fase 2 (Transisi)
Fase 3 (Kompetisi Penuh)
•
•
•
Operator lokal memiliki pelanggan masing-masing dengan nomor
telepon unik
Fasilitas layanan pelanggan masih terpisah
Penyiapan managemen layanan pelanggan terpadu
Sistem AAA yang mendukung multi operator, multi QoS, dan
memudahkan pengguna
Berbagai pengalaman internasional membuktikan bahwa dalam periode transisi
dari monopoli menuju kompetisi, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan
oleh adanya kecenderungan dari perusahaan incumbent untuk melanjutkan dominasinya
sehingga besar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan (abuse) posisi dominan. Oleh
karena itu, diperlukan intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan kompetisi, baik
berupa peraturan perundang-undangan maupun restrukturisasi dan reposisi incumbent.
Untuk menentukan kebijakan pro-kompetisi, dilakukan beberapa tahapan analisis,
yaitu (1) analisis pasar berdasarkan produk dan geografis penduduk; (2) analisis hambatan
masuk pasar; dan (3) analisis dominasi perusahaan dalam pasar termasuk proses
penggabungan antarperusahaan yang berpotensi menimbulkan dominasi dalam pasar.
Kajian ini juga dilakukan dengan memperhatikan akses pemanfaatan fasilitas esensial.
Dengan menggunakan pendekatan analisis pasar berdasarkan produk, pelaksanaan
duopoli/kompetisi tidak dapat berjalan efektif mengingat incumbent --dalam hal ini PT
Telkom-- telah mempunyai infrastruktur dan fasilitas pendukung penyelenggaraan
telekomunikasi lokal dan SLJJ yang menghubungkan seluruh daerah di Indonesia,
sedangkan PT Indosat sebagai pemain baru hanya memiliki infrastruktur penyelenggaraan
SLI yang berbentuk gerbang (gateway) internasional. Untuk mencapai posisi yang sama
dengan incumbent, pemain baru memerlukan waktu dan investasi yang besar. Berdasarkan
kondisi tersebut, ekstensifikasi model duopoli secara geografis perlu dipertimbangkan.
Secara konseptual, kombinasi pendekatan produk dan geografis dapat memberikan
perimbangan kekuatan yang lebih merata antara incumbent dan pemain baru. Kombinasi
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Alternatif pertama: incumbent (PT Telkom) menjual sebagian perusahaan
divisi regional kepada pemain baru. Keuntungan utama alternatif ini adalah terdapatnya
11
perimbangan kekuatan yang proporsional antara incumbent dan pesaingnya. Jika
sebelumnya incumbent menguasai sentral telepon lokal dan regional, maka dengan
diberlakukannya model ini dominasi incumbent menjadi hilang. Keuntungan lainnya
adalah dapat dihindarinya tindakan dumping oleh incumbent melalui penentuan tarif yang
sangat murah.
Hal yang perlu diperhatikan dalam alternatif pertama ini adalah potensi sengketa
ketenagakerjaan akibat restrukturisasi karyawan. Penilaian terhadap nilai intrinsik dan
ekstrinsik perusahaan merupakan salah satu potensi sengketa yang terjadi dalam
pengambilalihan perusahaan divisi regional. Selain itu, pilihan area strategis, yaitu pilihan
divisi regional yang akan dikelola oleh incumbent dan oleh pesaing, juga berpotensi
menimbulkan sengketa.
Alternatif kedua: incumbent menyewakan fasilitas akses lokal (local loop) ke
pemain baru. Dengan model ini, perusahaan pesaing tidak perlu membangun fasilitas
sentral lokal dan regional, tetapi cukup menyediakan akses langsung ke pelanggan.
Penggunaan alternatif kedua memerlukan biaya relatif lebih rendah dibandingkan dengan
alternatif pertama. Jika pada alternatif pertama perusahaan pesaing harus mengeluarkan
dana untuk mengambil alih perusahaan divisi regional, maka pada alternatif kedua
perusahaan pesaing hanya mengeluarkan biaya dalam bentuk penyewaan fasilitas akses
lokal dan pengadaan kabel telepon tetap. Selain itu, melalui pendekatan ini sengketa
ketenagakerjaan dapat dihindari.
Hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi alternatif ini adalah potensi
hambatan yang berasal dari incumbent seperti harga sewa dan biaya interkoneksi yang
tinggi. Selain itu, model ini juga kurang mendorong peningkatan penetrasi layanan.
Mengingat perusahaan pesaing menyewa fasilitas sentral dari incumbent, maka kompetisi
antarperusahaan hanya terjadi pada daerah yang sudah memiliki fasilitas sentral yang
berkapasitas cukup besar, sehingga tidak membuka daerah baru.
Alternatif ketiga: incumbent menjual jasa jaringan sambungan telepon ke
pemain baru. Penjualan kepada perusahaan pesaing bertujuan untuk menciptakan
alternatif produk kepada pengguna jasa. Melalui model ini, persaingan antara incumbent
dengan perusahaan pesaing terjadi pada inovasi dan teknologi dalam memberikan
pelayanan. Keuntungan alternatif ini adalah kecilnya kemungkinan terjadi sengketa tenaga
kerja dan rendahnya biaya investasi perusahaan pesaing. Adapun dari sisi pengguna jasa,
alternatif ketiga ini memberikan keuntungan dalam bentuk tarif yang kompetitif.
Hal yang harus diperhatikan adalah biaya penjualan jasa jaringan telepon kepada
perusahaan pesaing. Harga penjualan harus dirumuskan secara proporsional dengan tetap
memperhatikan investasi, termasuk sunk cost peralatan dan jaringan, yang telah dilakukan
incumbent dan kemampuan perusahaan pesaing. Oleh karena itu, penetapan harga
penjualan sebaiknya dilakukan berdasarkan biaya (cost-base). Sebagaimana alternatif
kedua, model ini juga tidak mendorong peningkatan penetrasi layanan. Mengingat
perusahaan pesaing membeli jasa jaringan dari incumbent, maka pembangunan fasilitas
sentral lebih dibebankan kepada incumbent.
Mengingat besarnya investasi awal pembangunan infrastruktur, kompetisi tidak
dapat berjalan setara tanpa adanya insentif bagi pemain baru. Penataan ulang perusahaan
incumbent sebagaimana dijelaskan dalam ketiga alternatif tersebut diharapkan dapat
menjadi langkah awal pelaksanaan kompetisi yang setara. Selanjutnya, ketiga pilihan
tersebut dapat dilanjutkan/dipertahankan melalui tiga model sebagai berikut.
Pertama: model free fight dengan mempertahankan integrasi vertikal.
Masing-masing operator bersaing bebas dalam segala aspek --baik infrastruktur inti,
jaringan akses, maupun layanan-- dengan mempertahankan integrasi bisnis secara vertikal.
Model ini di satu sisi akan menyebabkan duplikasi infrastruktur, namun di sisi lain akan
12
mendorong tingkat penetrasi sekaligus memberikan berbagai macam pilihan kepada
pengguna. Model ini menuntut kemampuan finansial yang kuat dari pemain baru untuk
mencapai skala ekonomi tertentu sehingga kualitas layanan yang diberikan dapat tetap
terjaga.
Kedua: model utilitas. Asumsi yang digunakan pada model ini adalah layanan
telekomunikasi merupakan kebutuhan dasar (utility). Oleh karena itu, masing-masing
operator menyelenggarakan telekomunikasi berdasarkan peraturan yang kaku (rigid). Pada
model ini kompetisi antaroperator terjadi hanya sebagai upaya untuk meningkatkan
efisiensi internal perusahaan. Pengguna jasa tidak lagi mendapatkan inovasi baru dari para
operator.
Ketiga: model competitive-cooperative melalui pemilahan (unbundling) bisnis
vertikal. Pada model ini dilakukan fragmentasi dan pemilahan bisnis vertikal. Bisnis yang
dikerjasamakan terdiri dari bisnis infrastruktur inti dan bisnis layanan pelanggan,
sedangkan bisnis jaringan akses, jaringan pelanggan, dan jasa merupakan bisnis yang
dikompetisikan.
Dari ketiga model tersebut, model competitive-cooperative dinilai sebagai model
yang sesuai. Perbandingan ketiga model (skenario) tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisa Komparatif Antarskenario
Skenario
Indikator
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Biaya
Tinggi
Sedang
Rendah
Risiko kegagalan
Tinggi
Tinggi
Rendah
Output/outcome
Rendah
Sedang
Tinggi
Manfaat ekonomi
Rendah
Rendah
Tinggi
Kelayakan
Rendah
Sedang
Tinggi
Keterangan: penilaian rendah, sedang dan tinggi diberikan dengan membandingkan
ketiga skenario tersebut.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dari kajian ini adalah sebagai berikut.
1.
Pilihan kebijakan dalam meliberalisasi penyelenggaraan telekomunikasi sangat
spesifik dan bergantung pada kondisi negara masing-masing. Model utilitas dan
model kompetisi yang diterapkan secara ekstrim tidak selalu efektif. Pola utilitas
pada negara yang masih berkembang seperti Indonesia ternyata menimbulkan
stagnasi baik dari segi tingkat penetrasi maupun kualitas layanan. Sebaliknya, pola
kompetisi bebas ternyata hanya dapat diterapkan pada segmen masyarakat mampu.
Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan dalam menentukan bentuk dan
pentahapan kompetisi yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan nasional.
2.
Pada prinsipnya perbedaan teknologi yang digunakan oleh penyelenggara
telekomunikasi tetap (teknologi PSTN maupun berbasis IP) bukan merupakan suatu
masalah. Teknologi yang beragam tersebut tetap dapat saling berintegrasi serta
melakukan interkoneksi dan interoperasi dengan tetap menjaga kualitas layanan
sebagaimana dipersyaratkan. Dengan demikian, perubahan dari bentuk
monopoli/duopoli ke bentuk kompetisi tidak mengalami kesulitan teknis.
13
3.
Teknologi yang optimal untuk sambungan tetap (fixed line) di era kompetisi adalah
teknologi NGN. Transisi menuju NGN dilakukan secara bertahap, yaitu (i)
melakukan integrasi pada tahap PSTN; (ii) memperkenalkan NGN sehingga sistem
ini akan berdampingan (co-exist) dengan PSTN; dan (iii) menggunakan NGN
sebagai platform integrasi multi operator. Bersamaan dengan migrasi teknologi,
perlu dikembangkan sistem AAA yang dapat mengakomodasi pelanggan dari multi
operator.
4.
Permasalahan utama dalam proses liberalisasi adalah karakteristik pasar yang
cenderung memperkuat posisi incumbent. Luasnya jaringan, besarnya aset dan
pengalaman yang dimiliki incumbent; tingginya sunk cost dan investasi awal
pembangunan jaringan; serta adanya integrasi vertikal jasa jaringan menyebabkan
tingginya hambatan masuk bagi pemain baru. Kebijakan kompetisi yang berlaku
saat ini belum mampu menciptakan kompetisi yang setara. Dengan demikian, dari
aspek kebijakan, untuk mendorong masuknya pemain baru, pemerintah harus
mencabut regulasi yang membatasi ruang gerak pemain baru, serta melengkapi
peraturan yang mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat.
5.
Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya persaingan yang sehat
dibutuhkan tata aturan main yang jelas dan disepakati oleh para pihak terkait. Selain
itu, juga diperlukan suatu badan regulasi yang kuat dan mempunyai kewenangan
penuh dalam mengawasi jalannya kompetisi tersebut. Mengingat saat ini struktur
dan konfigurasi keanggotaan BRTI masih tercampur dengan pemerintah, batas
kewenangan keduanya menjadi kurang jelas. Pada akhirnya, BRTI tidak dapat
menjalankan tugasnya secara optimal. Oleh karena itu, BRTI perlu diperkuat.
6.
Mengingat struktur industri telekomunikasi Indonesia masih terintegrasi secara
vertikal, maka sulit bagi pemain baru untuk bersaing dengan incumbent. Untuk
mengakomodasi masuknya pemain baru, pada kajian ditawarkan tiga pilihan sebagai
tahapan migrasi, yaitu (i) incumbent menjual sebagian perusahaan divisi regional
kepada pemain baru; (ii) incumbent menyewakan fasilitas akses lokal ke pemain
baru; dan (iii) incumbent menjual jasa jaringan ke pemain baru. Selanjutnya, ketiga
pilihan tersebut dapat dilanjutkan melalui skenario (i) free fight dengan
mempertahankan integrasi vertikal; (ii) utilitas untuk mengefisienkan biaya internal
perusahaan; atau (iii) competitive-cooperative melalui fragmentasi dan pemilahan
bisnis vertikal.
5.2 Rekomendasi
Pada saat pembangunan infrastruktur telekomunikasi sambungan tetap terlihat
stagnan karena masih digunakannya sistem monopoli, penambahan jumlah penyelenggara
merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan pembangunan baru. Pemerintah telah
menetapkan kebijakan duopoli yang merupakan transisi dari monopoli menuju kompetisi
penuh, namun pada kenyataannya kebijakan ini juga belum cukup efektif untuk
mendorong tingkat penetrasi ataupun menciptakan kompetisi yang setara sebagaimana
menjadi tujuan awal kebijakan ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembukaan pasar
(liberalisasi) lebih lanjut dengan mengakhiri sistem duopoli. Walau demikian, perlu
dipahami bahwa pembukaan pasar tidak serta merta mewujudkan kompetisi. Banyak hal
yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu, seperti peraturan pelaksanaan kompetisi dan
format kompetisi itu sendiri. Mengingat adanya keterbatasan kemampuan pemain baru,
14
maka untuk menciptakan kompetisi diperlukan pentahapan. Berdasarkan hasil kajian,
terdapat beberapa hal yang kami rekomendasikan sebagai tindak lanjut persiapan
pelaksanaan kompetisi penuh.
1.
Melengkapi peraturan pendukung pelaksanaan kompetisi
Melalui peraturan interkoneksi dan penomoran, pemerintah dapat menciptakan
kondisi open access yang mengharuskan pemilik jaringan eksisting untuk
memberikan interkoneksi kepada pemain baru secara adil dan tanpa diskriminasi
sesuai dengan tarif dan kualitas yang telah ditentukan. Kondisi ini juga
memungkinkan para penyelenggara baru untuk mengakses fasilitas yang selama ini
hanya dinikmati oleh incumbent. Keadaan ini diharapkan tidak saja menghilangkan
hambatan masuk dan memberikan kesempatan bagi pemain baru untuk berkembang,
tetapi juga meningkatkan efisiensi penyelenggara. Efisiensi ini diharapkan akan
memberikan pilihan kepada masyarakat dan menurunkan harga jual layanan.
2.
Menetapkan format kompetisi jangka panjang
ƒ Pada proses pelaksanaan kajian, diidentifikasi permasalahan utama dalam
liberalisasi sektor telekomunikasi yaitu struktur industri yang terintegrasi secara
vertikal. Struktur industri vertikal ini terbukti menciptakan hambatan masuk yang
tinggi sehingga sulit mewujudkan kompetisi yang setara. Oleh karena itu,
diperlukan evaluasi terhadap kemungkinan mengubah struktur industri.
Selanjutnya, pemerintah menetapkan format kompetisi sesuai dengan struktur
industri yang optimal untuk mendukung terlaksananya kompetisi.
ƒ Segera mengakhiri duopoli setelah peraturan pendukung kompetisi dan format
kompetisi ditetapkan.
3.
Memperkuat BRTI
BRTI perlu segera ditransformasi menjadi badan regulasi yang independen dengan (1)
memberikan landasan hukum yang lebih kuat; (2) memisahkan fungsi regulasi dari
fungsi pembuat kebijakan (pemerintah) sehingga terdapat pemisahan kewenangan
yang jelas, termasuk mengatur kewenangan dengan KPPU; (3) melengkapi BRTI
dengan kewenangan eksekusi peraturan yang disusunnya; dan (4) memperkuat staf
BRTI karena apabila BRTI dipisahkan dari pemerintah maka diperlukan peningkatan
kuantitas dan kualitas staf.
4.
Meningkatkan kesiapan penyelenggara telekomunikasi
ƒ Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa perubahan kebijakan dapat membawa
risiko finansial kepada pemerintah seperti pembayaran kompensasi kepada PT
Telkom sebagai konsekuensi terminasi dini hak eksklusivitas dan penetapan
duopoli. Oleh karena itu, terlebih dahulu diperlukan sosialisasi kebijakan yang
akan ditetapkan oleh pemerintah. Sosialisasi ini diharapkan akan memberikan
kesempatan bagi para penyelenggara telekomunikasi untuk mempersiapkan diri
baik secara teknis maupun finansial. Sosialisasi ini juga diharapkan dapat
memberikan kejelasan rencana pembangunan telekomunikasi bagi para investor.
ƒ Pemerintah perlu menyusun rencana induk pengembangan infrastruktur
telekomunikasi nasional terutama tatanan infrastruktur yang mendorong terjadinya
integrasi berbagai jaringan, teknologi dan aplikasi.
5.
Untuk mengantisipasi meningkatnya pemanfaatan aplikasi nir kabel, pemerintah harus
mengalokasikan spektrum frekuensi secara lebih efisien dan transparan. Untuk
15
mempersiapkan pengembangan NGN, pemerintah juga harus mulai merumuskan
konsep unified licensing.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Infrastruktur Indonesia: Sebelum,
Selama dan Pasca Krisis, Jakarta.
Helmske, Gretchen dan Steven Levistky. 2004. Informal Institutions and Comparative
Politics, Perspectives on Politics, Vol.2/No.4.
ITU. 2002. Competition Policy in Telecommunications: Background Paper.
Magiera, Nathan L. 2000. An Independent Regulatory Body for Telecommunications,
Partnership for Economic Growth.
The Kwian Gie, 2004. Kebebasan dan Mukjizat Pembangunan. Gramedia, Jakarta.
World Bank. 2004. Averting an Infrastructure Crisis: A Framewor, for Policy and Action.
USA
16
Download