BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang berbatasan dengan sejumlah negara, baik berupa daratan maupun lautan. Salah satunya berbatasan dengan Malaysia dengan garis batas negara di Pulau Kalimantan yang terbentang sepanjang 2004 km.1 Kalimantan merupakan daerah yang memiliki letak geografis yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak dan Sabah di Malaysia. Wilayah ini merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki akses jalan darat untuk keluar masuknya barang dan pelintas batas dari dan menuju daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, baik melalui akses jalur atau jalan yang resmi maupun tidak resmi (illegal). Dengan akses seperti ini tidak dipungkiri adanya interaksi langsung dan intensif antara warga negara Indonesia dengan Malaysia, berupa interaksi sosial kultural secara tradisional maupun dalam bentuk kegiatan-kegiatan ekonomi.2 Hal inilah yang kemudian banyak dimanfaatkan bagi sejumlah pelintas batas. Posisi perbatasan darat di Kalimantan yang strategis dan didorong dengan adanya globalisasi, membuat kawasan ini dihadapkan pada berbagai permasalahan yang kompleks, mulai dari penegasan garis batas yang belum tuntas, masalah kesejahteraan, kejahatan transnasional (perdagangan ilegal baik itu kebutuhan 1 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2010, “RPJNM 20102014”, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Jakarta,. hlm. 63 2 Ibid,. hlm. 1 1 pokok, narkoba, senjata, illegal logging, perdagangan dan penyelundupan manusia) dan lain sebagainya.3 Sejumlah permasalahan tersebut tentu merupakan ancaman bagi keamanan Indonesia karena dinilai merugikan kepentingan nasionalnya, sehingga menjadi suatu prioritas bagi Indonesia.4 Guna mengelola dan mengatasi permasalahan yang ada tentunya tidak dapat dilakukan secara independen. Karena itu memang dibutuhkan suatu kerjasama. Sebagai negara tetangga dan berbatasan langsung dengan Indonesia, Malaysia memang mempunyai makna yang sangat strategis bagi Indonesia dari segi politik keamanan, ekonomi-perdagangan serta sosial-budaya. Hubungan kerjasama bilateral dengan Malaysia merupakan salah satu kerjasama internasional yang perlu dioptimalkan oleh Indonesia untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Walaupun hubungan kedua negara sering mengalami pasang surut, kerjasama bilateral yang dilandasi asas saling menguntungkan itu masih terus terjalin sampai sekarang. Kerjasama perbatasan kedua negara dimulai dengan bidang keamanan sejak tahun 1967. Kerjasama tersebut pertama kali dilakukan dalam melaksanakan operasi terkoordinasi mengatasi sejumlah PGRS/Paraku dan sisa-sia G-30-S/PKI yang bergerak di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat-Serawak yang tentunya mengganggu keamanan kedua negara. Persetujuan mengenai Pengaturan Dalam 3 Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2008, “Buku Putih Pertahanan Indonesia”, Jakarta,. hlm. 13 4 Ibid,. hlm. 14 2 Bidang Keamanan Daerah-Daerah Perbatasan, ini direvisi untuk pertama kali pada 1972, dan revisi kedua 19845. Hasil revisi kerjasama tahun 1972 adalah kedua negara sepakat untuk mengikat kerjasama dalam suatu perjanjian keamanan di perbatasan kedua negara, yaitu Security Arrangement 1972 dan disahkan di Kuala Lumpur pada tanggal 6 April 1972 oleh Menhankam/Pegab Jenderal TNI M. Pangabean atas nama Pemerintah Republik Indonesia dan Menteri Hal Ihwal Dalam Negeri Malaysia Tun DR Ismail Al-Haj Bin Dato Haji Abdul Rahman atas nama Kerajaan Malaysia.6 Isu utama yang dibahas dalam revisi Security Arrangement 1972 adalah adanya keinginan kedua belah pihak (Indonesia Malaysia) untuk meningkatkan dan memperkuat hubungan kerja sama antara kedua negara dalam menangani masalah-masalah keamanan seperti ancaman komunis sepanjang perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat. Implementasi dari Security Arrangement 1972, dibentuklah Panitia Umum Perbatasan yang disebut General Border Committee Malaysia-Indonesia (GBC Malindo) pada Juli 1972 di Perapat, Sumatra Utara.7 Jadi, GBC Malindo ini merupakan badan kerjasama bilateral antara Malaysia dan Indonesia dalam bidang militer dan pertahanan. GBC Malindo merupakan forum koordinasi dan kebijakan 5 Fuad Asaddin. 2010. “Pemekaran Wilayah Di Indonesia, tersedia di http://www.setdaprovkaltim.info, diakses pada 2 Juli 2014 6 UK Essays“Historical Perspective Of Malaysian Security Cooperation With Indonesia Politics Essay”, diperoleh dari http://www.ukessays.com/essays/politics/historical-perspective-ofmalaysian-security-cooperation-with-indonesia-politics-essay.php, di akses pada 26 Juni 2013 7 Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, “RI - Malaysia Menggelar Sidang Ke-39 GBC Malindo di Jakarta”, diperoleh dari http://www.kemhan.go.id/kemhan/?pg=31&id=805, di akses pada 31 Juli 2013 3 lintas sektoral yang melaksanakan fungsi teknis dengan melibatkan berbagai unsur antara lain angkatan bersenjata, kepolisian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan instansi lain dari kedua negara.8 Berbeda dengan revisi Security Arrangement 1972 yang masih berhubungan dengan pertahanan dan keamanan kedua negara, revisi Security Arrangement 1984 bukan hannya menyangkut bidang pertahanan tetapi diperluas lingkupnya. Lingkup kerjasama perbatasan RI-Malaysia setelah mengalami revisi kedua ini diperluas hingga mencakup/merangkum berbagai jenis bidang yaitu ideologi, politik, sosial, budaya dan ekonomi.9 Dengan adanya revisi kedua ini maka Kegiatan GBC meliputi dua bidang yaitu bidang operasi dan bidang non operasi. Apapun bentuknya, perjanjian memainkan peran yang sangat signifikan dalam hukum internasional. Selain sebagai sumber hukum formal, perjanjian juga mencantumkan hak dan kewajiban masing-masing subyek hukum yang terlibat. Oleh karena itu, untuk meneguhkan komitmen dalam sebuah relasi, negara-negara lebih banyak memformulasikanya dalam bentuk perjanjian, termasuk ketika memutuskan untuk bekerjasama dalam sebuah organisasi, asosiasi, ataupun rezim tertentu.10 Namun konsekuensi dari dibuatnya suatu perjanjian adalah tentang perilaku partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua kesepakatan yang telah dibuat. Perjanjian dan kesepakatan dalam kerjasama GBC 8 Ade Marboen, “Persoalan perbatasan Indonesia-Malaysia selesai pada 2014”, diperoleh dari http://www.antaranews.com/berita/349449/persoalan-perbatasan-indonesia-malaysia-selesaipada-2014), di akses pada 31 Juli 2013 9 Fuad Asaddin. Loc.cit 10 Fuat Albayumi, “Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN Charter)” Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, Juli 2012. Hlm 1 4 kedua negara tidak akan berarti jika kedua negara tidak mematuhinya, bahkan permasalahan yang ada akan semakin luas dan tidak akan terselesaikan. Hal ini dilakukan karena kepatuhan merupakan keterikatan suatu negara untuk memenuhi kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah perjanjian. Dengan demikian perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan atau komitmen yang telah disusun dan disepakatinya. Untuk itulah dalam penelitian ini penulis akan melakukan tinjauan terhadap derajat kepatuhan (compliance) dari Indonesia maupun Malaysia terhadap hasil kesepakatan rezim kerjasama GBC Malindo di perbatasan darat Kalimantan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, fokus utama permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana derajat compliance Indonesia-Malaysia terhadap rezim kerjasama GBC Malindo di perbatasan darat Kalimantan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika pelaksanaan kesepakatan dan pada saat yang bersamaan juga berupaya untuk mengukur derajat kepatuhan (compliance) kerjasama GBC Malindo di perbatasan darat Kalimantan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan yang berguna bagi pengembangan keilmuan studi hubungan internasional, khususnya kajian mengenai perbatasan negara. Selain itu juga diharapkan bisa menjadi masukan atau informasi tambahan bagi pemerintah Indonesia baik pusat 5 maupun daerah dalam mengelola dan mengembangkan wilayah perbatasan khususnya di Provinsi Kalimantan. D. Kerangka Teoritis 1. Teori Rezim Internasional Interaksi sangat diperlukan oleh setiap masyarakat Internasional, dimana dalam kehidupan sosial masyarakat tidak terlepas dari kebutuhan dan kepentingan. Begitu juga dalam meningkatkan kualitas kehidupan suatu negara dan menjaga kedaulatannya dari berbagai ancaman hingga dapat tetap stabil, pasti akan melakukan interaksi dengan negara lain, salah satunya berupa kerjasama. Kerjasama antar negara membuktikan adanya suatu interaksi internasional, seperti Indonesia-Malaysia sebagai negara yang bertetangga interaksi antara kedua negara sangat diperlukan terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan kedua negara di Kalimantan, terlebih lagi daerah ini terdapat perbatasan darat yang membuat interaksi kedua negara semakin intens dilakukan. Interaksi yang semakin intens antara masyarakat kedua negara secara langsung maupun tidak langsung memicu terjadinya berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga pengelolaan dan pengentasan permasalahan yang ada harus segera dilakukan. Persoalan perbatasan yang semakin kompleks, mendorong kedua negara untuk membentuk sebuah forum koordinasi dan kebijakan lintas sektoral yang melaksanakan fungsi teknis dengan melibatkan berbagai unsur yang disebut dengan GBC. GBC ini merupakan salah satu rezim internasional yang dibentuk berdasarkan kesepakatan kedua negara. 6 Berdasarkan teori rezim internasional, Stephen Krasner menjelaskan bahwa Rezim Internasional merupakan suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan kebijakan baik yang berupa eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspektasi dan kepentingan aktor dalam hubungan internasional. “International regimes are defined as a set of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principles are beliefs of fact, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for action. Decision-making procedures are prevailing practices for making and implementing collective choice.”11 Kerjasama antara Indonesia dan Malaysia berupaya untuk menciptakan aturan main bersama guna tercapainya tujuan kerjasama yang diinginkan. Untuk itu, Indonesia dan Malaysia membutuhkan sebuah institusi sosial yang dapat menampung kepentingan-kepentingan kedua negara tersebut. Seperti yang dikatakan Oran R. Young, bahwa rezim internasional merupakan institusi sosial yang sangat kompleks, karena berkaitan dengan aktivitas dari kepentingan para anggotanya dalam sistem internasional. 12 Oran R. Young juga menyatakan bahwa suatu rezim dapat dikatakan sebagai suatu institusi 11 Stephen D. Krasner, 1983, “Structural Causes and Regime Consequences: Regime as Intervening Variables”, dalam Stephen Krasner (ed) International Regimes, London; Cornel University Press,. hlm.1-21 12 Oran R. Young, 1982,”Regime Dynamics: The Rise And Fall Of International Regimes”, dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes, published by The MIT Press,. hlm. 277-297 7 sosial yang mengatur tindakan/perilaku pihak-pihak yang memiiliki kepentingan bersama dalam suatu bidang wilayah tertentu.13 Dalam berbagai permasalahan yang dihadapai antara Indonesia dan Malaysia, rezim yang dibentuk tidak harus identik dengan organisasi yang formal melainkan juga mengacu pada keberadaan pola-pola kebiasaan yang telah diakui bersama.14 Menurut Young ada beberapa komponen dasar yang terdapat dalam sebuah rezim, yaitu konsep subtantif, prosedural dan implementasi. Pertama, komponen subtantif menetapkan hak-hak dan aturanaturan rezim. Kedua, komponen prosedural merupakan pengaturan yang telah diakui bersama, menyangkut cara-cara mengambil pilihan kolektif dalam keadaan yang membutuhkan penyelesaian bersama. Sedangkan ketiga, yaitu implementasi, mengacu pada mekanisme-mekanisme dalam rezim yang dapat membuat para anggotanya patuh pada kepentingan yang telah dicapai bersama.15 Rezim ini dibuat/dibentuk oleh kedua negara untuk mengatur kerjasama agar menjadi lebih efektif mengingat tingkat interdependensi antar kedua negara yang semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, dibentuknya rezim internasional merupakan sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat dilakukan bersama. Berdasarkan Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins 13 Ibid. Ibid. 15 Ibid. 14 8 yang juga mendukung pernyataan Oran, menyatakan bahwa rezim internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu:16 a. Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang bermoral; b. Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme/prosedur bagi pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya, kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas, dan aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan; c. Sebuah rezim selalu mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang; d. Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan 16 Donald J. Puchala & Raymond F. Hopkins, 1982,”International regimes: lessons from inductive analysis”, dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes, published by The MIT Press,. hlm. 245-275 9 sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan, dan mematuhi aturan yang telah dibuat; e. Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuantujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua partisipan. Konsep rezim internasional dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan dan mengukur keberadaan dinamika perjanjian GBC Malindo sebagai rezim internasional yang telah disepakati oleh kedua anggotanya. Apakah sesungguhnya dalam rezim GBC Malindo memang terdapat serangkaian prinsip, norma atau aturan yang mempengaruhi perilaku dua anggotanya dalam menjalankan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Lebih jauh konsep ini juga berfungsi untuk menunjukkan apakah tujuan dari pelaksanaan kerjasama GBC Malindo yaitu untuk mengelola dan mengatasi permasalahan yang ada diperbatasan, baik itu dibidang keamanan dan kesejahteraan masyarakat yang berada baik di perbatasan Malaysia maupun perbatasan Indonesia telah terwujud. 2. Teori Compliance Dinamika politik internasional, kita selalu dihadapkan dengan dua gejala yang bertentangan yaitu antara konflik dan kerjasama. Dalam kasus antara Indonesia-Malaysia terkait penenganan permasalahan yang terjaidi di daerah perbatasan darat kedua negara di Kalimantan, kedua negara lebih memilih bekerjasama daripada konflik, walaupun sebelumnya hubungan kedua negara mengalami pasang surut. Kerjasama maupun konflik keduanya sama-sama 10 memiliki keuntungan maupun kerugian, namun kerjasama kiranya lebih menguntungkan dibanding harus berkonflik. Untuk itu guna menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dan Malaysia, keduanya sepakat untuk menjalin kerjasama GBC yang notabene sebagai wadah untuk diplomasi kedua negara. Kerjasama GBC yang dilakukan kedua negara tentunya lahir atau dilandasi dari perjanjian internasional dalam hal ini perjanjian mengenai perbatasan (security arrangement 1972 dan 1984). Dalam hubungan internasional, bentuk-bentuk kerjasama internasional bermacam-macam, ada yang dibuat dalam spektrum yang paling rendah (tidak mengikat) sampai yang paling kuat (mengikat). Untuk mengetahui apakah perjanjian itu mengikat atau tidak, salah satu caranya bisa dilakukan dengan menganalisis teks perjanjanjian yang dihasilkan didalam kesepakatan yang ada dengan tujuan untuk mengetahui derajat kerjasama suatu perjanjian internasional yang disebut sebagai tingkat legalisasi.17 Menurut Judith Goldstein dkk menyatakan bahwa bentuk legalisasi sebuah perjanjian merupakan salah satu bagian yang sangat vital untuk mengukur efektifitas produk hukum yang dihasilkan oleh suatu organisasi internasional.18 Jika semakin tinggi tingkat legalisasi (hard law) suatu perjanjian kerjasama, maka perjanjian dalam kerjasama tersebut semakin mengikat, namun sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah soft law maka dapat dikatakan perjanjian itu kurang mengikat yang secara teoritis 17 Judith, Goldstein. Dkk. 2000. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., hlm 387. 18 Ibid. 11 implementasinya akan cenderung kurang efektif.19 Dalam konsep legalisasi menurut Abbot dkk ada tiga ukuran untuk menilai apakah perjanjian itu berbentuk hard law atau soft law, yaitu : Kewajiban (obligation), ketepatan (precision) dan delegasi (delegation).20 Kewajiban (obligation) dapat diartikan sebagai keterikatan suatu negara untuk memenuhi kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah perjanjian. Dengan demikian perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan atau komitmen yang telah disusun dan disepakatinya.21 Derajat kepatuhan (obligasi) sebuah perjanjian internasional dapat diukur dari adanya 6 indikator yang menunjukkan derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam urutan sebagai berikut:22 Tabel 1 Indikator Obligasi High Low Kewajiban tanpa syarat, terhadap indikator yang mengikat Kewajiban bersyarat dalam perjanjian yang melibatkan isu yang secara politik bersifat sensitive Kewajiban bersyarat dengan klausul penarikan diri Desakan Rekomendasi atau garis panduan Penolakan untuk terikat kewajiban secara eksplisit. Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., hlm 387 Presisi didefinisikan sebagai kondisi dimana aturan-aturan yang tertera dalam perjanjian tersebut harus jelas mengatur perilaku para peserta 19 Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 1-2 Abbot, dkk, 2000. “The Concept of Legalization” dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., hlm 401 21 Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 4 22 Abbot dkk, loc.cit 20 12 perjanjian23. Presisi dapat diukur dengan adanya 5 indikator yang menunjukkan derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam urutan sebagai berikut:24 Tabel 2 Indikator Presisi High Aturan ditentukan secara jelas dengan anggota sedikit kemungkinan penafsiran Terdapat hal-hal subtantif yang bisa ditafsirkan, meskipun terbatas Terdapat masalah tertentu yang mendapat kelonggaran Hanya menggunakan standar Tidak bisa dioperasionalkan secara tepat Low Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., hlm 387 Delegasi ditafsirkan sebagai adanya pendelegasian otoritas kepada pihak ketiga untuk menafsirkan aturan, menyelesaikan sengketa, atau bahkan membuat ketentuan lebih lanjut atas instrumen tersebut.25 Delegasi dapat diukur dari adanya indikator penyelesaian masalah (dispute resolution) dan pembuatan serta penerapan aturan. Dari aspek penyelesaian masalah, ada 7 indikator. Sedangkan dari aspek pembuatan serta penerapan aturan (rule making and implementation) terdapat 8 indikator yang menunjukkan derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam urutan sebagai berikut :26 23 Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 5 Abbot dkk, Loc.cit. 25 Fuat Albayumi. Loc.cit 26 Ibid 24 13 Tabel 3 Indikator Delegasi High Melalui pengadilan internasional: keputusan pihak ketiga bersifat mengikat, yurisdiksi yang berlaku untuk semua masalah, memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menambah aturan Melalui pengadilan, tetapi yuridiksi yang terbatas a. Resolusi Arbitrase yang mengikat Konflik Arbitrase yang tidak mengikat Konsiliasi, mediasi Proses tawar menawar yang terlembagakan Low Proses tawar-menawar politik. High Aturan yang mengikat, penegakan yang terpusat ditangan lembaga internasional Aturan mengikat yang membutuhkan persetujuan Negara anggota Kebijakan yang mengikat, tetapi penegakan hokum b. Pembuatan yang terdesentralisasikan ke Negara anggota dan Standar koordinasi implementasi Monitoring melalui publikasi aturan main Rekomendasi atau monitoring yang bersifat rahasia, Pernyataan yang bersifat normatif Forum negosiasi. Low Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., hlm 387 Dengan adanya ketiga ukuran dengan sejumlah indikator tersebut di atas, maka sebuah perjanjian secara tepat dapat dinilai apakah sebagai hard law atau soft law tidak hanya sekedar dari penamaannya saja tetapi juga dari standar yang diukur berdasar beberapa indikator tersebut. Legalisasi dari suatu perjanjian kerjasama sangat penting, karena semakin tinggi tingkat legalisasi suatu perjanjian maka akan mendorong negara untuk patuh terhadap perjanjian tersebut, dan sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah maka negara berhak untuk tidak mematuhi perjanjian yang disepakati. Hal ini merupakan konseksuensi yang muncul dari dibuatnya 14 sebuah perjanjian internasional yaitu tentang perilaku para partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian internasional tersebut. Perjanjian kerjasama yang disepakati kedua negara harus memiliki bentuk yang dapat dipahami kedua negara. Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upaya-upaya kooperatif dari masing-masing negara anggota yang membuat perjanjian internasional. Bentuk dari upaya kooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance) terhadap kesepakatan. Compliance dalam bahasa Indonesia berarti kepatuhan yang berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan aturan. Berdasarkan teori compliance yang dikemukakan oleh Chayes, kepatuhan atau compliance dapat dilihat ketika negara mampu mengontrol tindakannya untuk berusaha mematuhi kesepakatan yang telah disepakati dalam rezim tersebut.27 Sedangkan menurut Simmons ketidakpatuhan atau non-compliance diindikasikan ketika negara anggota tidak mencerminkan tingkah laku yang sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian internasional.28 Dengan terlibatnya suatu negara dalam sebuah perjanjian internasional, negara tersebut cenderung akan mengubah sikapnya menyesuaikan atuan- 27 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1993. On Compliance. International Organization, 47 (2), hlm. 190, diakses secara online di .web.unair.ac.id 28 B. A. Simmons, 1998. 'Compliance with Intemational Agreements', Annual Review of Political Science, vol. 1 Hhlm 74 15 aturan yang berlaku, juga hubungan dan pengharapannya terhadap satu sama lain dari waktu ke waktu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Menurut Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes telah menegaskan ada 3 (tiga) alasan utama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk mematuhi perjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma.29 Pertama faktor efisiensi. Efisiensi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara dalam upayanya untuk mematuhi sebuah perjanjian. Negara menghitung biaya dan keuntungan sebuah perjanjian melalui proses penghitungan dan analisis. Sehingga didapatlah sebuah hasil yang akan menjadi pertimbangan. Karena pada dasarnya pembuatan suatu perjanjian akan mengeluarkan transactional cost yang tidak sedikit30. Kedua faktor yang memengaruhi kepatuhan negara adalah kepentingan. Negara akan diri ikut serta dalam sebuah perjanjian yang dinilai sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Apabila tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya, negara tidak perlu mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Karena pada dasarnya, sebuah perjanjian dinilai sebagai alat pemenuh national interest dari negara. Didukung dengan pendapat kaum realis yang menganggap jika kepentingan nasional adalah hal penting yang menyebabkan negara mengikatkan diri dan mematuhi sebuah perjanjian. Asumsi tersebut berasal dari fakta bahwa setiap negara mempunyai kepentingan nasionalnya masingmasing31. 29 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, “The New Sovereignty: Compliance with International Regulatory Agreements”, Cambridge; Harvard University Press,. hlm. 4 30 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, Op.cit., hlm. 175-205 31 Ibid 16 Sedangkan faktor yang ketiga adalah norma. Dalam hukum, terdapat istilah pacta sunt servanda yang memiliki arti perjanjian ada untuk dipatuhi. Maksud dari istilah tersebut adalah sebuah perjanjian memiliki kekuatan legal untuk dipatuhi oleh negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. Secara normatif perjanjian internasional sering kali diakui sebagai sesuatu yang mengikat (legally binding) bagi negara yang telah meratifikasinya. Sehingga dengan begitu perjanjian internasional adalah norma hukum yang harus dipatuhi. Sebagaimana halnya prinsip dasar dari hukum internasional yakni pacta sunt servanda - hukum harus dipatuhi. Faktor-faktor inilah yang menjadi asumsi dasar kecenderungan untuk mematuhi sebuah kesepakatan. Sementara situasi yang memicu untuk tidak mematuhi kesepakatan, antara lain: pertama, ambiguitas dan tidak tepatnya bahasa yang digunakan dalam perjanjian. Kondisi ambigu menurut Young muncul ketika sebuah perjanjian internasional tidak mampu menjelaskan isu area tertentu secara spesifik dan jelas. Penggunaan bahasa yang terlalu luas akan meningkatnya misinterpretasi dari perjanjian aturan tersebut. Sebagai contoh ialah kegagalan The North Atlantic Treaty dalam menjelaskan tujuan dalam perjanjian itu sendiri akibat terlalu ‘umum’nya bahasa yang digunakan32. Selain penggunaan bahasa, kompleksitas aturan dan perubahan kondisi menyebabkan berbagai interpretasi mengenai peraturan tertentu muncul. Persoalan bahasa dalam memformulasi kesepakatan dalam perjanjian sering kali menjadi kendala yang tak dapat dihindarkan. Ketidakjelasan makna bahasa yang digunakan dalam 32 Reza Akbar. 2014. International Regimes: Changes.web.unair.ac.id/artikel_ dikases pada 2 Juli 2014 17 Decision Making and kesepakatan dapat menciptakan interpretasi yang berbeda-beda sehingga dapat menciptakan zone of ambiguity, akibatnya negara partisipan cenderung mengambil tidakan untuk tidak memenuhi kesepakatan.33 Kedua, batasan kapasitas negara untuk bertindak. Kapasitas negara untuk bertindak sesuai dengan peraturan juga mempengaruhi ketidakpatuhan sebuah negara. Ketika sebuah negara tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan peraturan yang telah disepakati, maka negara tersebut secara otomatis tidak akan mematuhi peraturan tersebut. Sebagai contoh ialah ketidakpatuhan negara akan kebijakan pengurangan emisi CO2 karena ketidakmampuan negara untuk melakukannya.34 Itu artinya pelaksanaan kesepakatan sangat tergantung pada kemampuan negara partisipan. Keterbatasan kapasitas partisipan tentu saja sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan terhadap perjanjian.35 Ketiga, perjanjian internasional biasanya bersifat temporal. Perjanjian internasional disusun untuk mengelola permasalahan global dari waktu ke waktu, sedangkan perubahan di level domestik belum tentu dapat dicapai dalam waktu singkat. Dimensi temporal akan mengakibatkan perubahan yang signifikan dalam sistem ekonomi dan sosial. Ketika rezim tidak mampu berkembang seiring dengan berubahnya keadaan, maka negara yang terlibat di dalamnya cenderung akan menolak peraturan yang ada di dalam rezim tersebut karena dianggap tidak mampu dipraktikkan lagi. Beberapa perjanjian menyiasatinya dengan menyediakan jangka waktu hingga para anggotanya mampu mematuhi isi perjanjian, salah satunya melalui strategi convention33 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes. op.cit., hlm. 10-15 Reza Akbar. Loc.cit 35 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes. Loc.cit 34 18 protocol. Strategi ini dimulai dengan merumuskan konvensi yang berisi ketentuan-ketentuan low obligational, kemudian selang beberapa tahun, tingkat regulasi ditingkatkan dengan menyusun protokol lanjutan.36 Terdapat dua aliran dalam studi tentang compliance yang saling bertetangan satu sama lain, yaitu: enforcement school dan management school. Menurut aliran enforcement bahwa tindakan non-compliance terhadap perjanjian internasional dapat terjadi dalam berbagai motif. Compliance baru bisa terjadi jika aturan ditegakkan dan disertai dengan adanya sanksi (punishment). Strategi ini cukup efektif agar perjanjian dapat terlaksana, karena setiap pihak mengetahui jika melanggar atau tidak mematuhi perjanjian maka dia akan mendapatkan sanksi. Berbeda dengan aliran enforcement, aliran management justru menegaskan bahwa kepatuhan (compliance) dapat terjadi tanpa harus menyertakan strategi sanksi (punishment) dalam formulasi perjanjian, karena dianggap tidak efektif.37 Permasalahan compliance sebenarnya memang lebih tepat dianggap sebagai permasalahan pengelolaan (management) daripada permasalahan pelaksanaan (enforcement). Munculnya tindakan non-compliance terhadap rezim bukan tidak sengaja, akan tetapi lebih disebabkan oleh kurangnya kapabilitas, kejelasan dan prioritas kesepakatan dalam perjanjian. Untuk itu dibutuhkan strategi pengelolaan yang sophisticated contohnya dengan menggunakan metode persuasi. 36 Anonim. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Indonesia Terhadap Instrumen HAM internasional” dalam etd.ugm.ac.id di akses pada tanggal 2 Juli 2014 37 Christer Jonsson & Jonas Tallberg, 1998,”Compliance and Post Agreement Bargaining” dalam European Journal of International Relations, London; SAGE Publications., hlm. 374 19 E. Kajian Pustaka Guna melihat fenomena perbatasan yang berkaitan dengan penanganan dan pengelolaan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, penulis meninjau ulang beberapa tulisan terdahulu yang secara substansial memiliki relevansi dengan penelitian ini dan dapat dijadikan bahan pertimbangan yang signifikan dalam proses penulisan. Isu penting dalam persoalan perbatasan Indonesia, mulai dari isu geografisteritorial (menyangkut masalah penentuan tapal batas (demarkasi dan delimitasi) wilayah Indonesia dengan negara tetangga, isu keamanan (keamanan yang bersifat tradisional maupun non-tradisional), dan isu mengenai pembangunan sosial ekonomi (dimana kemiskinan dan keterbelakangan merupakan ciri umum masyarakat di wilayah perbatasan) membutuhkan suatu institusi yang bisa membantu untuk mengatasi permasalahan yang ada. Namun institusi yang seperti apa yang harus dikembangkan? Atas pertanyaan tersebut, kemudian Arya Nugraha melakukan riset yang berjudul Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan di Indonesia.38 Ia mengatakan bahwa setidaknya terdapat 23 peraturan perundangan tentang penentuan dan pengembangan kawasan perbatasan, namun upaya dalam penegakkan aturan perundangan yang ada belum menunjukkan hasil. Masalah yang ditemukan penulis adalah terkait dengan adanya persoalan kelembagaan yang menjadi faktor utama dalam mengimplementasikan peraturan perundangan 38 Arya Nugraha. 2010. “Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan di Indonesia”, di dalam Ludiro Madu dkk, “Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu, Permasalahan dan Pilihan Kebijakan”, Yogyakarta: Graha Ilmu,. hlm. 37 20 yang ada karena masih belum jelas otoritas siapa yang melaksanakan tugas manajemen perbatasan tersebut, dan lembaga yang ada masih bersifat ad hoc, koordinatif yang dilakukan masih secara sektoral dan belum terintegrasi secara khusus dalam satu lembaga. Pembentukan lembaga pengelolaan kawasan perbatasan harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya: harus memperhatikan perubahan karakteristik dari persoalan perbatasan (menonjolnya masalah keamanan tradisional, pengaruh diplomasi, dan integrasi ekonomi), lembaga harus memperhatikan bentuk pelaksanaan kebijakan keamanan yang komprehensif, lembaga harus memperhatihan 4 dimensi (diplomasi, democracy, development dan defense), dan lembaga harus memperhatikan domain kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Namun, kelemahan dalam tulisan Arya adalah dalam penelitiannya hanya menguraikan berbagai problematika pengembangan lembaga mengenai permasalahan perbatasan saja. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak menjelaskan lebih detail mengenai lembaga khusus dalam upaya penanganan perbatasan. Selain itu juga, dalam penulisan ini tidak menjelaskan mengenai forum kerjasama antara Indonesia dengan negara tetangga, dan sejauh mana forum tersebut mengatasi permasalahan yang terjadi di perbatasan. Penanganan dan mengelola wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia dapat dilakukan melalui diplomasi untuk mencapai kepentingan kedua negara. Diplomasi dilakukan mengingat kedua negara merupakan wilayah yang bertetangga dan serumpun. Namun dalam prakteknya, diplomasi yang dilakukan kedua negara dari awal kemerdekaan selalu mengalami kendala dan hingga saat 21 ini masih saja terdapat permasalahan di wilayah perbatasan, mulai dari masalah kesejahteraan hingga masalah keamanan. Sejalan dengan hal tersebut Iva Rachmawati dan Fauzan melakukan penelitian dengan mengangkat judul Problem Diplomasi dalam Tata Kelola Perbatasan Indonesia-Malaysia.39 Diplomasi perbatasan penting dilakukan karena berfungsi sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional, yang dibangun dengan 3 pondasi (hukum, pembangunan sosial ekonomi dan pembangunan institusi).40 Penulisannya hanya fokus pada pembangunan institusi yaitu KK Sosek Malindo yag merupakan institusi pengelolaan perbatasan yang bekerjasama dengan Malaysia. Institusi ini sering melakukan pertemuan sejak tahun 1985, dan sejak itu kedua negara telah banyak menghasilkan persetujuan kerja sama di berbagai bidang khususnya pada pengelolaan perbatasan dan pengembangan wilayah perbatasan. Namun persoalannya adalah pada saat mengimplementasikannya. Hal ini terjadi karena adanya tumpang tindih dan tidak terkoordinasi secara baik. KK Sosek Malindo dinilai sebagai forum border diplomacy yang tidak efektif. Penulis tidak menjelaskan faktor-faktor lain yang menyebabkan kesulitan untuk mengemplementasikan kesepakatan antara kedua negara selain karena adanya tumpang tindih tugas dan peran institusi. Sejalan dengan penelitian diatas, Ardita Velarasi 41 juga melakukan penelitian terkait dengan institusi General Border Committee (GBC) dalam 39 Iva Rachmawati dan Fauzan, 2012, “Problem Diplomasi Dalam Tata Kelola Perbatasan Indonesia-Malaysia”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Universitas Gadjah Mada Vol 16 No. 2 November, “Mengelola Perbatasan Negara”, Yogyakarta; FISIP UGM., hlm. 95 40 Ibid 41 Ardita Velarasi, 2013, “Kerjasama Indonesia dan Malaysia Mengenai GBC dalam Perspektif Hukum Perjanjian Internasional” di dalam Opini hukum electronic journal, diperoleh 22 Kerjasama Indonesia-Malaysia, namun bukan dilihat dari pembangunan sosial ekonomi dan pembangunan institusinya, tapi dilihat dari Perspektif Hukum Perjanjian Internasionalnya. Penjelasannya dimulai dengan memaparkan dasar hukum dan sistem penetapan dari perjanjian bilateral antara Indonesia-Malaysia mengenai batas wialayah antar-negara. Hukum internasional dan hukum perjanjian internasional memberikan kontribusi yang cukup penting bagi perbatasan, terutama di dalam pelaksanaan perundingan antar negara dan penandatanganan persetujuan atau perjanjian antar-negara. Kemudian ia menjelaskan peran GBC dalam mengelola daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia dan menjelaskan kendala-kendala yang dihadapi GBC sebagai wadah komunikasi yang efektif digunakan untuk mengahadapi persoalan-persoalan dalam keamanan dan pertahanan di perbatasan kedua negara. Namun, dalam penelitian ini tidak dijelaskan mengenai sejauh mana GBC mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi di kawasan perbatasan. Berbeda dengan Prof. Dr. Ir Bambang B. Soejito dalam bukunya Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan.42 Ia menyimpulkan bahwa untuk dapat mengembangkan wilayah perbatasan perlu dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip kebijakan seperti, mewujudkan wilayah perbatasan sebagai halaman depan suatu negara; melindungi sumber daya alam yang ada di perbatasan melalui pengelolaan wilayah konservasi dan taman nasional; dari http://issuu.com/e-jurnal-fh-unsri/docs/ej_hi__1_-_ardita_velarasi#, diakses pada 5 Oktober 2013 42 Bambang B. Soejito, 2003, “Strategi dan model pengembangan wilayah perbatasan Kalimantan”, di publish oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Deputi Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Jakarta. 23 melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan agar mendapat manfaat sebesar-besarnya dari upaya pengembangan wilayah perbatasan; menyeimbangkan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tujuan pertahanan wilayah negara, membagi peran dan kewenangan yang saling mendukung antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta antara pemerintah dan swasta, meningkatkan kerjasama dengan pihak luar negeri untuk mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, budaya, politik dan pengelolaan sumberdaya alam di perbatasan. Dari hasil penelitian di atas belum ada satupun penelitian yang melakukan penilaian terhadap tingkat kepatuhan dalam perjanjian GBC. Padahal kepatuhan dalam sebuah perjanjian sangat diperlukan guna melancarkan kesepakatan kerjasama antar jedua negara. Atas dasar inilah maka mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai derajad compliance dalam kerjasama GBC Malindo di perbatasan darat Kalimantan. Dengan demian penelitian ini dapat melengkapi hasil penelitian terdahulu di atas. F. Argumen Utama Rezim GBC dijadikan landasan kerjasama oleh pemerintah Republik Indonesia maupun Kerajaan Malaysia baik dalam bidang operasi dan non operasi. Akan tetapi, perjanjian kerjasama yang dilandasi atas motif saling menguntungkan tersebut tidak selamanya berjalan dengan baik karena adanya compliance problem yaitu terdapat prilaku non compliance yang dilakukan oleh salah satu pihak partisipan. Sehingga membuat derajat kepatuhan kerjasama dalam rezim GBC Malindo tergolong rendah. Rendahnya derajat kepatuhan rezim GBC Malindo, 24 disebabkan oleh rendahnya tingkat legalisasi dalam pengaturan perjanjian Security Arrangement 1972 dan 1984, baik itu dari sisi obligasi, presisi maupun delegasi. Rendahnya tingkat obligasi akan berpengaruh pada kepentingan dan efisiensi dalam kerjasama kedua negara. Sedangkat rendahnya tingkat presisi dalam perjanjian menyebabkan aturan-aturan yang tertulis kurang jelas/tepat dan ambigu. Dengan adanya compliance problem ini menjadikan derajat kepatuhan Indonesia-Malaysia terhadap rezim kerjasama GBC dalam mengelola dan mengatasi sejumlah permasalahan diperbatasan kedua negara di Kalimantan masih tergolong rendah. G. Metodologi Penelitian 1. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini mencakup bahasan tentang perilaku dari partisipan perjanjian internasional yaitu pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam memenuhi kesepakatan yang telah dibuat bersama, sehingga dapat diperoleh penjelasan mengenai tingkat derajat kepatuhan (compliance) dalam implementasi rezim perjanjian kerjasama GBC Malindo. 2. Tipe Penelitian Secara khusus ekspektasi yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih detail dan mendalam mengenai hasil dari pelaksanaan kesepakatan dan perkembangan terkini dari kondisi konkrit derajat kepatuhan kerjasama General Border Committee Malindo. Guna mengetahui derajat kepatuhan kerjasama General 25 Border Committee Malindo ini penulis mengkajinnya berdasarkan buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Oleh karena itu, aktivitas keilmuan yang dilakukan oleh penulis dalam proses penelitian ini termasuk dalam kerangka penelitian kepustakaan (library research).43 Lebih lanjut berdasarkan permasalahan yang ingin dianalisis, maka penelitian ini termasuk dalam kategori explanatory research, yang dirancang untuk menjelaskan hubungan kausalitas beberapa variabel dalam masalah penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Untuk data primer akan diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dengan sejumlah narasumber yang berkompeten dan dokumen perjanjian kerjasama. Sedangkan data sekunder akan diperoleh melalui metode telaah pustaka (library research) dari berbagai sumber, seperti: buku, jurnal cetak, jurnal online, majalah, dan surat kabar. 4. Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah illustrative method yakni dengan mengaplikasikan teori ke dalam situasi konkret, tatanan sosial dan pengalaman nyata.44 Secara esensial melalui metode ini, teori berfungsi sebagai panduan (guidelines) dalam penelitian. Peneliti berupaya untuk 43 44 M. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.ke-5. Hlm. 27. Ibid,. hlm. 489 26 memberikan penilaian apakah observasi kualitatif yang dilakukan tersebut mendukung atau justru menyangkal teori yang diadopsi dalam penelitian. Proses analisis data seperti inilah yang akan dilakukan dalam penelitian rezim GBC Malindo dengan mengukur derajat compliance. H. Sistematika Penulisan Penelitian dalam tesis ini terdiri dari lima bab, diantaranya yaitu: Bab I PENDAHULUAN. Pada bab ini mencakup latar belakang permasalahan yang akan diteliti, rumusan masalah, kerangka pemikiran, literatur review, argumen utama, metodologi penelitian. Bab II DINAMIKA KERJASAMA GENERAL BORDER COMMITTEE MALAYSIA-INDONESIA. Bab ini berisikan data penelitian yang menguraikan bagaimana mekanisme kerjasama General Border Committee Malindo dan berbagai kesepakatan yang telah dicapai dalam kerjasama General Border Committee Malindo Bab III DERAJAT COMPLIANCE DALAM KERJASAMA GENERAL BORDER COMMITTEE MALINDO PERBATASAN DARAT DI KALIMANTAN. Bab ini merupakan bagian analisis yang menjelaskan tentang tinggi atau rendahnya perilaku compliance Indonesia dan Malaysia terhadap pelaksanaan hasil kesepakatan rezim kerjasama GBC Malindo berdasarkan teori compliance. Bab IV PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah disampaikan pada keempat bab sebelumnya sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan di bagian awal penulisan. 27