BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang berbatasan dengan sejumlah
negara, baik berupa daratan maupun lautan. Salah satunya berbatasan dengan
Malaysia dengan garis batas negara di Pulau Kalimantan yang terbentang
sepanjang 2004 km.1 Kalimantan merupakan daerah yang memiliki letak
geografis yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak dan Sabah di
Malaysia. Wilayah ini merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki
akses jalan darat untuk keluar masuknya barang dan pelintas batas dari dan
menuju daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, baik melalui akses jalur atau jalan
yang resmi maupun tidak resmi (illegal). Dengan akses seperti ini tidak dipungkiri
adanya interaksi langsung dan intensif antara warga negara Indonesia dengan
Malaysia, berupa interaksi sosial kultural secara tradisional maupun dalam bentuk
kegiatan-kegiatan ekonomi.2 Hal inilah yang kemudian banyak dimanfaatkan bagi
sejumlah pelintas batas.
Posisi perbatasan darat di Kalimantan yang strategis dan didorong dengan
adanya globalisasi, membuat kawasan ini dihadapkan pada berbagai permasalahan
yang kompleks, mulai dari penegasan garis batas yang belum tuntas, masalah
kesejahteraan, kejahatan transnasional (perdagangan ilegal baik itu kebutuhan
1
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2010, “RPJNM 20102014”, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Jakarta,. hlm. 63
2
Ibid,. hlm. 1
1
pokok, narkoba, senjata, illegal logging, perdagangan dan penyelundupan
manusia) dan lain sebagainya.3 Sejumlah permasalahan tersebut tentu merupakan
ancaman bagi keamanan Indonesia karena dinilai merugikan kepentingan
nasionalnya, sehingga menjadi suatu prioritas bagi Indonesia.4
Guna mengelola dan mengatasi permasalahan yang ada tentunya tidak dapat
dilakukan secara independen. Karena itu memang dibutuhkan suatu kerjasama.
Sebagai negara tetangga dan berbatasan langsung dengan Indonesia, Malaysia
memang mempunyai makna yang sangat strategis bagi Indonesia dari segi politik
keamanan, ekonomi-perdagangan serta sosial-budaya. Hubungan kerjasama
bilateral dengan Malaysia merupakan salah satu kerjasama internasional yang
perlu dioptimalkan oleh Indonesia untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Walaupun hubungan kedua negara sering mengalami pasang surut, kerjasama
bilateral yang dilandasi asas saling menguntungkan itu masih terus terjalin sampai
sekarang.
Kerjasama perbatasan kedua negara dimulai dengan bidang keamanan sejak
tahun 1967. Kerjasama tersebut pertama kali dilakukan dalam melaksanakan
operasi terkoordinasi mengatasi sejumlah PGRS/Paraku dan sisa-sia G-30-S/PKI
yang bergerak di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat-Serawak yang tentunya
mengganggu keamanan kedua negara. Persetujuan mengenai Pengaturan Dalam
3
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2008, “Buku Putih Pertahanan Indonesia”,
Jakarta,. hlm. 13
4
Ibid,. hlm. 14
2
Bidang Keamanan Daerah-Daerah Perbatasan, ini direvisi untuk pertama kali pada
1972, dan revisi kedua 19845.
Hasil revisi kerjasama tahun 1972 adalah kedua negara sepakat untuk
mengikat kerjasama dalam suatu perjanjian keamanan di perbatasan kedua negara,
yaitu Security Arrangement 1972 dan disahkan di Kuala Lumpur pada tanggal 6
April 1972 oleh Menhankam/Pegab Jenderal TNI M. Pangabean atas nama
Pemerintah Republik Indonesia dan Menteri Hal Ihwal Dalam Negeri Malaysia
Tun DR Ismail Al-Haj Bin Dato Haji Abdul Rahman atas nama Kerajaan
Malaysia.6
Isu utama yang dibahas dalam revisi Security Arrangement 1972 adalah
adanya keinginan kedua belah pihak (Indonesia Malaysia) untuk meningkatkan
dan memperkuat hubungan kerja sama antara kedua negara dalam menangani
masalah-masalah keamanan seperti ancaman komunis sepanjang perbatasan
Sarawak dan Kalimantan Barat.
Implementasi dari Security Arrangement 1972, dibentuklah Panitia Umum
Perbatasan yang disebut General Border Committee Malaysia-Indonesia (GBC
Malindo) pada Juli 1972 di Perapat, Sumatra Utara.7 Jadi, GBC Malindo ini
merupakan badan kerjasama bilateral antara Malaysia dan Indonesia dalam bidang
militer dan pertahanan. GBC Malindo merupakan forum koordinasi dan kebijakan
5
Fuad Asaddin. 2010. “Pemekaran Wilayah Di Indonesia, tersedia di
http://www.setdaprovkaltim.info, diakses pada 2 Juli 2014
6
UK Essays“Historical Perspective Of Malaysian Security Cooperation With Indonesia
Politics Essay”, diperoleh dari http://www.ukessays.com/essays/politics/historical-perspective-ofmalaysian-security-cooperation-with-indonesia-politics-essay.php, di akses pada 26 Juni 2013
7
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, “RI - Malaysia Menggelar Sidang Ke-39
GBC Malindo di Jakarta”, diperoleh dari http://www.kemhan.go.id/kemhan/?pg=31&id=805, di
akses pada 31 Juli 2013
3
lintas sektoral yang melaksanakan fungsi teknis dengan melibatkan berbagai
unsur antara lain angkatan bersenjata, kepolisian, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Luar Negeri, dan instansi lain dari kedua negara.8
Berbeda dengan revisi Security Arrangement 1972 yang masih berhubungan
dengan pertahanan dan keamanan kedua negara, revisi Security Arrangement
1984 bukan hannya menyangkut bidang pertahanan tetapi diperluas lingkupnya.
Lingkup kerjasama perbatasan RI-Malaysia setelah mengalami revisi kedua ini
diperluas hingga mencakup/merangkum berbagai jenis bidang yaitu ideologi,
politik, sosial, budaya dan ekonomi.9 Dengan adanya revisi kedua ini maka
Kegiatan GBC meliputi dua bidang yaitu bidang operasi dan bidang non operasi.
Apapun bentuknya, perjanjian memainkan peran yang sangat signifikan
dalam hukum internasional. Selain sebagai sumber hukum formal, perjanjian juga
mencantumkan hak dan kewajiban masing-masing subyek hukum yang terlibat.
Oleh karena itu, untuk meneguhkan komitmen dalam sebuah relasi, negara-negara
lebih banyak memformulasikanya dalam bentuk perjanjian, termasuk ketika
memutuskan untuk bekerjasama dalam sebuah organisasi, asosiasi, ataupun rezim
tertentu.10
Namun konsekuensi dari dibuatnya suatu perjanjian adalah tentang perilaku
partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua
kesepakatan yang telah dibuat. Perjanjian dan kesepakatan dalam kerjasama GBC
8
Ade Marboen, “Persoalan perbatasan Indonesia-Malaysia selesai pada 2014”, diperoleh
dari http://www.antaranews.com/berita/349449/persoalan-perbatasan-indonesia-malaysia-selesaipada-2014), di akses pada 31 Juli 2013
9
Fuad Asaddin. Loc.cit
10
Fuat Albayumi, “Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN
Charter)” Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, Juli 2012. Hlm 1
4
kedua negara tidak akan berarti jika kedua negara tidak mematuhinya, bahkan
permasalahan yang ada akan semakin luas dan tidak akan terselesaikan. Hal ini
dilakukan karena kepatuhan merupakan keterikatan suatu negara untuk memenuhi
kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah perjanjian. Dengan demikian
perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan atau komitmen yang telah
disusun dan disepakatinya. Untuk itulah dalam penelitian ini penulis akan
melakukan tinjauan terhadap derajat kepatuhan (compliance) dari Indonesia
maupun Malaysia terhadap hasil kesepakatan rezim kerjasama GBC Malindo di
perbatasan darat Kalimantan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, fokus utama permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana derajat compliance Indonesia-Malaysia terhadap
rezim kerjasama GBC Malindo di perbatasan darat Kalimantan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk
menjelaskan
dinamika
pelaksanaan
kesepakatan dan pada saat yang bersamaan juga berupaya untuk mengukur derajat
kepatuhan (compliance) kerjasama GBC Malindo di perbatasan darat Kalimantan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan
yang berguna bagi pengembangan keilmuan studi hubungan internasional,
khususnya kajian mengenai perbatasan negara. Selain itu juga diharapkan bisa
menjadi masukan atau informasi tambahan bagi pemerintah Indonesia baik pusat
5
maupun daerah dalam mengelola dan mengembangkan wilayah perbatasan
khususnya di Provinsi Kalimantan.
D. Kerangka Teoritis
1.
Teori Rezim Internasional
Interaksi sangat diperlukan oleh setiap masyarakat Internasional, dimana
dalam kehidupan sosial masyarakat tidak terlepas dari kebutuhan dan
kepentingan. Begitu juga dalam meningkatkan kualitas kehidupan suatu negara
dan menjaga kedaulatannya dari berbagai ancaman hingga dapat tetap stabil,
pasti akan melakukan interaksi dengan negara lain, salah satunya berupa
kerjasama. Kerjasama antar negara membuktikan adanya suatu interaksi
internasional, seperti Indonesia-Malaysia sebagai negara yang bertetangga
interaksi antara kedua negara sangat diperlukan terutama bagi masyarakat yang
tinggal di daerah perbatasan kedua negara di Kalimantan, terlebih lagi daerah
ini terdapat perbatasan darat yang membuat interaksi kedua negara semakin
intens dilakukan. Interaksi yang semakin intens antara masyarakat kedua
negara secara langsung maupun tidak langsung memicu terjadinya berbagai
persoalan yang dihadapi, sehingga pengelolaan dan pengentasan permasalahan
yang ada harus segera dilakukan. Persoalan perbatasan yang semakin
kompleks, mendorong kedua negara untuk membentuk sebuah forum
koordinasi dan kebijakan lintas sektoral yang melaksanakan fungsi teknis
dengan melibatkan berbagai unsur yang disebut dengan GBC. GBC ini
merupakan salah satu rezim internasional yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan kedua negara.
6
Berdasarkan teori rezim internasional, Stephen Krasner menjelaskan
bahwa Rezim Internasional merupakan suatu tatanan yang berisi kumpulan
prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan kebijakan baik yang berupa
eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspektasi dan kepentingan
aktor dalam hubungan internasional.
“International regimes are defined as a set of implicit
or explicit principles, norms, rules, and decision making
procedures around which actors’ expectations converge in
a given area of international relations. Principles are
beliefs of fact, causation, and rectitude. Norms are
standards of behavior defined in terms of rights and
obligations. Rules are specific prescriptions or
proscriptions for action. Decision-making procedures are
prevailing practices for making and implementing collective
choice.”11
Kerjasama antara Indonesia dan Malaysia berupaya untuk menciptakan
aturan main bersama guna tercapainya tujuan kerjasama yang diinginkan.
Untuk itu, Indonesia dan Malaysia membutuhkan sebuah institusi sosial yang
dapat menampung kepentingan-kepentingan kedua negara tersebut. Seperti
yang dikatakan Oran R. Young, bahwa rezim internasional merupakan institusi
sosial yang sangat kompleks, karena berkaitan dengan aktivitas dari
kepentingan para anggotanya dalam sistem internasional. 12 Oran R. Young
juga menyatakan bahwa suatu rezim dapat dikatakan sebagai suatu institusi
11
Stephen D. Krasner, 1983, “Structural Causes and Regime Consequences: Regime as
Intervening Variables”, dalam Stephen Krasner (ed) International Regimes, London; Cornel
University Press,. hlm.1-21
12
Oran R. Young, 1982,”Regime Dynamics: The Rise And Fall Of International Regimes”,
dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes, published by The MIT
Press,. hlm. 277-297
7
sosial
yang
mengatur
tindakan/perilaku
pihak-pihak
yang
memiiliki
kepentingan bersama dalam suatu bidang wilayah tertentu.13
Dalam berbagai permasalahan yang dihadapai antara Indonesia dan
Malaysia, rezim yang dibentuk tidak harus identik dengan organisasi yang
formal melainkan juga mengacu pada keberadaan pola-pola kebiasaan yang
telah diakui bersama.14 Menurut Young ada beberapa komponen dasar yang
terdapat dalam sebuah rezim, yaitu konsep subtantif, prosedural dan
implementasi. Pertama, komponen subtantif menetapkan hak-hak dan aturanaturan rezim. Kedua, komponen prosedural merupakan pengaturan yang telah
diakui bersama, menyangkut cara-cara mengambil pilihan kolektif dalam
keadaan yang membutuhkan penyelesaian bersama. Sedangkan ketiga, yaitu
implementasi, mengacu pada mekanisme-mekanisme dalam rezim yang dapat
membuat para anggotanya patuh pada kepentingan yang telah dicapai
bersama.15
Rezim ini dibuat/dibentuk oleh kedua negara untuk mengatur kerjasama
agar menjadi lebih efektif mengingat tingkat interdependensi antar kedua
negara yang semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, dibentuknya rezim
internasional merupakan sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama
internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat
dilakukan bersama. Berdasarkan Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins
13
Ibid.
Ibid.
15
Ibid.
14
8
yang
juga
mendukung
pernyataan
Oran,
menyatakan
bahwa
rezim
internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu:16
a. Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia
hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para
partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang
bermoral;
b. Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme/prosedur bagi
pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim
internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih
dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip
tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya,
kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas, dan
aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan
kebijakan;
c. Sebuah
rezim
selalu
mempunyai
prinsip-prinsip
yang
dapat
menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan
kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang;
d. Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya.
Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah
pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan
juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan
16
Donald J. Puchala & Raymond F. Hopkins, 1982,”International regimes: lessons from
inductive analysis”, dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes,
published by The MIT Press,. hlm. 245-275
9
sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan, dan mematuhi aturan
yang telah dibuat;
e. Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuantujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir
kepentingan dan kebutuhan semua partisipan.
Konsep rezim internasional dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
menjelaskan dan mengukur keberadaan dinamika perjanjian GBC Malindo
sebagai rezim internasional yang telah disepakati oleh kedua anggotanya.
Apakah sesungguhnya dalam rezim GBC Malindo memang terdapat
serangkaian prinsip, norma atau aturan yang mempengaruhi perilaku dua
anggotanya dalam menjalankan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Lebih
jauh konsep ini juga berfungsi untuk menunjukkan apakah tujuan dari
pelaksanaan kerjasama GBC Malindo yaitu untuk mengelola dan mengatasi
permasalahan yang ada diperbatasan, baik itu dibidang keamanan dan
kesejahteraan masyarakat yang berada baik di perbatasan Malaysia maupun
perbatasan Indonesia telah terwujud.
2. Teori Compliance
Dinamika politik internasional, kita selalu dihadapkan dengan dua gejala
yang bertentangan yaitu antara konflik dan kerjasama. Dalam kasus antara
Indonesia-Malaysia terkait penenganan permasalahan yang terjaidi di daerah
perbatasan darat kedua negara di Kalimantan, kedua negara lebih memilih
bekerjasama daripada konflik, walaupun sebelumnya hubungan kedua negara
mengalami pasang surut. Kerjasama maupun konflik keduanya sama-sama
10
memiliki keuntungan maupun kerugian, namun kerjasama kiranya lebih
menguntungkan dibanding harus berkonflik. Untuk itu guna menyelesaikan
permasalahan antara Indonesia dan Malaysia, keduanya sepakat untuk menjalin
kerjasama GBC yang notabene sebagai wadah untuk diplomasi kedua negara.
Kerjasama GBC yang dilakukan kedua negara tentunya lahir atau dilandasi dari
perjanjian internasional dalam hal ini perjanjian mengenai perbatasan (security
arrangement 1972 dan 1984).
Dalam hubungan internasional, bentuk-bentuk kerjasama internasional
bermacam-macam, ada yang dibuat dalam spektrum yang paling rendah (tidak
mengikat) sampai yang paling kuat (mengikat). Untuk mengetahui apakah
perjanjian itu mengikat atau tidak, salah satu caranya bisa dilakukan dengan
menganalisis teks perjanjanjian yang dihasilkan didalam kesepakatan yang ada
dengan tujuan untuk mengetahui derajat kerjasama suatu perjanjian
internasional yang disebut sebagai tingkat legalisasi.17
Menurut Judith Goldstein dkk menyatakan bahwa bentuk legalisasi
sebuah perjanjian merupakan salah satu bagian yang sangat vital untuk
mengukur efektifitas produk hukum yang dihasilkan oleh suatu organisasi
internasional.18 Jika semakin tinggi tingkat legalisasi (hard law) suatu
perjanjian kerjasama, maka perjanjian dalam kerjasama tersebut semakin
mengikat, namun sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah soft law maka
dapat dikatakan perjanjian itu kurang mengikat yang secara teoritis
17
Judith, Goldstein. Dkk. 2000. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam
International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000.,
hlm 387.
18
Ibid.
11
implementasinya akan cenderung kurang efektif.19 Dalam konsep legalisasi
menurut Abbot dkk ada tiga ukuran untuk menilai apakah perjanjian itu
berbentuk hard law atau soft law, yaitu : Kewajiban (obligation), ketepatan
(precision) dan delegasi (delegation).20
Kewajiban (obligation) dapat diartikan sebagai keterikatan suatu negara
untuk memenuhi kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah
perjanjian. Dengan demikian perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan
atau komitmen yang telah disusun dan disepakatinya.21 Derajat kepatuhan
(obligasi) sebuah perjanjian internasional dapat diukur dari adanya 6 indikator
yang menunjukkan derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam
urutan sebagai berikut:22
Tabel 1 Indikator Obligasi
High
Low
Kewajiban tanpa syarat, terhadap indikator yang mengikat
Kewajiban bersyarat dalam perjanjian yang melibatkan isu yang
secara politik bersifat sensitive
Kewajiban bersyarat dengan klausul penarikan diri
Desakan
Rekomendasi atau garis panduan
Penolakan untuk terikat kewajiban secara eksplisit.
Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam
International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3.
Summer 2000., hlm 387
Presisi didefinisikan sebagai kondisi dimana aturan-aturan yang tertera
dalam perjanjian tersebut harus jelas mengatur perilaku para peserta
19
Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 1-2
Abbot, dkk, 2000. “The Concept of Legalization” dalam International Organization
Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., hlm 401
21
Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 4
22
Abbot dkk, loc.cit
20
12
perjanjian23. Presisi dapat diukur dengan adanya 5 indikator yang menunjukkan
derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam urutan sebagai
berikut:24
Tabel 2 Indikator Presisi
High Aturan ditentukan secara jelas dengan anggota sedikit kemungkinan
penafsiran
Terdapat hal-hal subtantif yang bisa ditafsirkan, meskipun terbatas
Terdapat masalah tertentu yang mendapat kelonggaran
Hanya menggunakan standar
Tidak bisa dioperasionalkan secara tepat
Low
Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam
International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3.
Summer 2000., hlm 387
Delegasi ditafsirkan sebagai adanya pendelegasian otoritas kepada pihak
ketiga untuk menafsirkan aturan, menyelesaikan sengketa, atau bahkan
membuat ketentuan lebih lanjut atas instrumen tersebut.25 Delegasi dapat
diukur dari adanya indikator penyelesaian masalah (dispute resolution) dan
pembuatan serta penerapan aturan. Dari aspek penyelesaian masalah, ada 7
indikator. Sedangkan dari aspek pembuatan serta penerapan aturan (rule
making and implementation) terdapat 8 indikator yang menunjukkan derajat
dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam urutan sebagai berikut :26
23
Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 5
Abbot dkk, Loc.cit.
25
Fuat Albayumi. Loc.cit
26
Ibid
24
13
Tabel 3 Indikator Delegasi
High
Melalui pengadilan internasional: keputusan pihak
ketiga bersifat mengikat, yurisdiksi yang berlaku untuk
semua masalah, memiliki otoritas untuk menafsirkan
dan menambah aturan
Melalui pengadilan, tetapi yuridiksi yang terbatas
a. Resolusi
Arbitrase yang mengikat
Konflik
Arbitrase yang tidak mengikat
Konsiliasi, mediasi
Proses tawar menawar yang terlembagakan
Low
Proses tawar-menawar politik.
High
Aturan yang mengikat, penegakan yang terpusat
ditangan lembaga internasional
Aturan mengikat yang membutuhkan persetujuan
Negara anggota
Kebijakan yang mengikat, tetapi penegakan hokum
b. Pembuatan
yang terdesentralisasikan ke Negara anggota
dan
Standar koordinasi
implementasi Monitoring melalui publikasi
aturan main
Rekomendasi atau monitoring yang bersifat rahasia,
Pernyataan yang bersifat normatif
Forum negosiasi.
Low
Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam
International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3.
Summer 2000., hlm 387
Dengan adanya ketiga ukuran dengan sejumlah indikator tersebut di atas,
maka sebuah perjanjian secara tepat dapat dinilai apakah sebagai hard law atau
soft law tidak hanya sekedar dari penamaannya saja tetapi juga dari standar
yang diukur berdasar beberapa indikator tersebut.
Legalisasi dari suatu perjanjian kerjasama sangat penting, karena
semakin tinggi tingkat legalisasi suatu perjanjian maka akan mendorong negara
untuk patuh terhadap perjanjian tersebut, dan sebaliknya jika tingkat
legalisasinya rendah maka negara berhak untuk tidak mematuhi perjanjian
yang disepakati. Hal ini merupakan konseksuensi yang muncul dari dibuatnya
14
sebuah perjanjian internasional yaitu tentang perilaku para partisipan yang
menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua kesepakatan yang
dibuat dalam perjanjian internasional tersebut. Perjanjian kerjasama yang
disepakati kedua negara harus memiliki bentuk yang dapat dipahami kedua
negara. Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upaya-upaya kooperatif
dari masing-masing negara anggota yang membuat perjanjian internasional.
Bentuk dari upaya kooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance)
terhadap kesepakatan.
Compliance dalam bahasa Indonesia berarti kepatuhan yang berasal dari
kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti
suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin.
Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan
aturan. Berdasarkan teori compliance yang dikemukakan oleh Chayes,
kepatuhan atau compliance dapat dilihat ketika negara mampu mengontrol
tindakannya untuk berusaha mematuhi kesepakatan yang telah disepakati
dalam rezim tersebut.27 Sedangkan menurut Simmons ketidakpatuhan atau
non-compliance diindikasikan ketika negara anggota tidak mencerminkan
tingkah laku yang sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian
internasional.28
Dengan terlibatnya suatu negara dalam sebuah perjanjian internasional,
negara tersebut cenderung akan mengubah sikapnya menyesuaikan atuan-
27
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1993. On Compliance. International
Organization, 47 (2), hlm. 190, diakses secara online di .web.unair.ac.id
28
B. A. Simmons, 1998. 'Compliance with Intemational Agreements', Annual Review of
Political Science, vol. 1 Hhlm 74
15
aturan yang berlaku, juga hubungan dan pengharapannya terhadap satu sama
lain dari waktu ke waktu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Menurut
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes telah menegaskan ada 3 (tiga)
alasan utama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk
mematuhi perjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma.29
Pertama faktor efisiensi. Efisiensi merupakan biaya yang harus
dikeluarkan oleh negara dalam upayanya untuk mematuhi sebuah perjanjian.
Negara menghitung biaya dan keuntungan sebuah perjanjian melalui proses
penghitungan dan analisis. Sehingga didapatlah sebuah hasil yang akan
menjadi pertimbangan. Karena pada dasarnya pembuatan suatu perjanjian akan
mengeluarkan transactional cost yang tidak sedikit30.
Kedua faktor yang memengaruhi kepatuhan negara adalah kepentingan.
Negara akan diri ikut serta dalam sebuah perjanjian yang dinilai sesuai dengan
kepentingan
nasionalnya.
Apabila
tidak
sesuai
dengan
kepentingan
nasionalnya, negara tidak perlu mengikatkan diri pada sebuah perjanjian.
Karena pada dasarnya, sebuah perjanjian dinilai sebagai alat pemenuh national
interest dari negara. Didukung dengan pendapat kaum realis yang menganggap
jika kepentingan nasional adalah hal penting yang menyebabkan negara
mengikatkan diri dan mematuhi sebuah perjanjian. Asumsi tersebut berasal dari
fakta bahwa setiap negara mempunyai kepentingan nasionalnya masingmasing31.
29
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, “The New Sovereignty: Compliance
with International Regulatory Agreements”, Cambridge; Harvard University Press,. hlm. 4
30
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, Op.cit., hlm. 175-205
31
Ibid
16
Sedangkan faktor yang ketiga adalah norma. Dalam hukum, terdapat
istilah pacta sunt servanda yang memiliki arti perjanjian ada untuk dipatuhi.
Maksud dari istilah tersebut adalah sebuah perjanjian memiliki kekuatan legal
untuk dipatuhi oleh negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut.
Secara normatif perjanjian internasional sering kali diakui sebagai sesuatu yang
mengikat (legally binding) bagi negara yang telah meratifikasinya. Sehingga
dengan begitu perjanjian internasional adalah norma hukum yang harus
dipatuhi. Sebagaimana halnya prinsip dasar dari hukum internasional yakni
pacta sunt servanda - hukum harus dipatuhi. Faktor-faktor inilah yang menjadi
asumsi dasar kecenderungan untuk mematuhi sebuah kesepakatan.
Sementara situasi yang memicu untuk tidak mematuhi kesepakatan,
antara lain: pertama, ambiguitas dan tidak tepatnya bahasa yang digunakan
dalam perjanjian. Kondisi ambigu menurut Young muncul ketika sebuah
perjanjian internasional tidak mampu menjelaskan isu area tertentu secara
spesifik dan jelas. Penggunaan bahasa yang terlalu luas akan meningkatnya
misinterpretasi dari perjanjian aturan tersebut. Sebagai contoh ialah kegagalan
The North Atlantic Treaty dalam menjelaskan tujuan dalam perjanjian itu
sendiri akibat terlalu ‘umum’nya bahasa yang digunakan32. Selain penggunaan
bahasa, kompleksitas aturan dan perubahan kondisi menyebabkan berbagai
interpretasi mengenai peraturan tertentu muncul. Persoalan bahasa dalam
memformulasi kesepakatan dalam perjanjian sering kali menjadi kendala yang
tak dapat dihindarkan. Ketidakjelasan makna bahasa yang digunakan dalam
32
Reza
Akbar.
2014.
International
Regimes:
Changes.web.unair.ac.id/artikel_ dikases pada 2 Juli 2014
17
Decision
Making
and
kesepakatan dapat menciptakan interpretasi yang berbeda-beda sehingga dapat
menciptakan zone of ambiguity, akibatnya negara partisipan cenderung
mengambil tidakan untuk tidak memenuhi kesepakatan.33
Kedua, batasan kapasitas negara untuk bertindak. Kapasitas negara untuk
bertindak sesuai dengan peraturan juga mempengaruhi ketidakpatuhan sebuah
negara. Ketika sebuah negara tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan
peraturan yang telah disepakati, maka negara tersebut secara otomatis tidak
akan mematuhi peraturan tersebut. Sebagai contoh ialah ketidakpatuhan negara
akan kebijakan pengurangan emisi CO2 karena ketidakmampuan negara untuk
melakukannya.34 Itu artinya pelaksanaan kesepakatan sangat tergantung pada
kemampuan negara partisipan. Keterbatasan kapasitas partisipan tentu saja
sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan terhadap perjanjian.35
Ketiga, perjanjian internasional biasanya bersifat temporal. Perjanjian
internasional disusun untuk mengelola permasalahan global dari waktu ke
waktu, sedangkan perubahan di level domestik belum tentu dapat dicapai
dalam waktu singkat. Dimensi temporal akan mengakibatkan perubahan yang
signifikan dalam sistem ekonomi dan sosial. Ketika rezim tidak mampu
berkembang seiring dengan berubahnya keadaan, maka negara yang terlibat di
dalamnya cenderung akan menolak peraturan yang ada di dalam rezim tersebut
karena dianggap tidak mampu dipraktikkan lagi. Beberapa perjanjian
menyiasatinya dengan menyediakan jangka waktu hingga para anggotanya
mampu mematuhi isi perjanjian, salah satunya melalui strategi convention33
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes. op.cit., hlm. 10-15
Reza Akbar. Loc.cit
35
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes. Loc.cit
34
18
protocol. Strategi ini dimulai dengan merumuskan konvensi yang berisi
ketentuan-ketentuan low obligational, kemudian selang beberapa tahun, tingkat
regulasi ditingkatkan dengan menyusun protokol lanjutan.36
Terdapat dua aliran dalam studi tentang compliance yang saling
bertetangan satu sama lain, yaitu: enforcement school dan management school.
Menurut aliran enforcement bahwa tindakan non-compliance terhadap
perjanjian internasional dapat terjadi dalam berbagai motif. Compliance baru
bisa terjadi jika aturan ditegakkan dan disertai dengan adanya sanksi
(punishment). Strategi ini cukup efektif agar perjanjian dapat terlaksana, karena
setiap pihak mengetahui jika melanggar atau tidak mematuhi perjanjian maka
dia akan mendapatkan sanksi. Berbeda dengan aliran enforcement, aliran
management justru menegaskan bahwa kepatuhan (compliance) dapat terjadi
tanpa harus menyertakan strategi sanksi (punishment) dalam formulasi
perjanjian, karena dianggap tidak efektif.37 Permasalahan compliance
sebenarnya memang lebih tepat dianggap sebagai permasalahan pengelolaan
(management) daripada permasalahan pelaksanaan (enforcement). Munculnya
tindakan non-compliance terhadap rezim bukan tidak sengaja, akan tetapi lebih
disebabkan oleh kurangnya kapabilitas, kejelasan dan prioritas kesepakatan
dalam perjanjian. Untuk itu dibutuhkan strategi pengelolaan yang sophisticated
contohnya dengan menggunakan metode persuasi.
36
Anonim. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Indonesia Terhadap
Instrumen HAM internasional” dalam etd.ugm.ac.id di akses pada tanggal 2 Juli 2014
37
Christer Jonsson & Jonas Tallberg, 1998,”Compliance and Post Agreement Bargaining”
dalam European Journal of International Relations, London; SAGE Publications., hlm. 374
19
E. Kajian Pustaka
Guna melihat fenomena perbatasan yang berkaitan dengan penanganan dan
pengelolaan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, penulis meninjau
ulang beberapa tulisan terdahulu yang secara substansial memiliki relevansi
dengan penelitian ini dan dapat dijadikan bahan pertimbangan yang signifikan
dalam proses penulisan.
Isu penting dalam persoalan perbatasan Indonesia, mulai dari isu geografisteritorial (menyangkut masalah penentuan tapal batas (demarkasi dan delimitasi)
wilayah Indonesia dengan negara tetangga, isu keamanan (keamanan yang bersifat
tradisional maupun non-tradisional), dan isu mengenai pembangunan sosial
ekonomi (dimana kemiskinan dan keterbelakangan merupakan ciri umum
masyarakat di wilayah perbatasan) membutuhkan suatu institusi yang bisa
membantu untuk mengatasi permasalahan yang ada. Namun institusi yang seperti
apa yang harus dikembangkan?
Atas pertanyaan tersebut, kemudian Arya Nugraha melakukan riset yang
berjudul Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan di Indonesia.38 Ia
mengatakan bahwa setidaknya terdapat 23 peraturan perundangan tentang
penentuan dan pengembangan kawasan perbatasan, namun upaya dalam
penegakkan aturan perundangan yang ada belum menunjukkan hasil. Masalah
yang ditemukan penulis adalah terkait dengan adanya persoalan kelembagaan
yang menjadi faktor utama dalam mengimplementasikan peraturan perundangan
38
Arya Nugraha. 2010. “Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan di Indonesia”,
di dalam Ludiro Madu dkk, “Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu,
Permasalahan dan Pilihan Kebijakan”, Yogyakarta: Graha Ilmu,. hlm. 37
20
yang ada karena masih belum jelas otoritas siapa yang melaksanakan tugas
manajemen perbatasan tersebut, dan lembaga yang ada masih bersifat ad hoc,
koordinatif yang dilakukan masih secara sektoral dan belum terintegrasi secara
khusus dalam satu lembaga. Pembentukan lembaga pengelolaan kawasan
perbatasan harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya: harus memperhatikan
perubahan karakteristik dari persoalan perbatasan (menonjolnya masalah
keamanan tradisional, pengaruh diplomasi, dan integrasi ekonomi), lembaga harus
memperhatikan bentuk pelaksanaan kebijakan keamanan yang komprehensif,
lembaga harus memperhatihan 4 dimensi (diplomasi, democracy, development
dan defense), dan lembaga harus memperhatikan domain kewenangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
Namun, kelemahan dalam tulisan Arya adalah dalam penelitiannya hanya
menguraikan
berbagai
problematika
pengembangan
lembaga
mengenai
permasalahan perbatasan saja. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak
menjelaskan lebih detail mengenai lembaga khusus dalam upaya penanganan
perbatasan. Selain itu juga, dalam penulisan ini tidak menjelaskan mengenai
forum kerjasama antara Indonesia dengan negara tetangga, dan sejauh mana
forum tersebut mengatasi permasalahan yang terjadi di perbatasan.
Penanganan dan mengelola wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia dapat
dilakukan melalui diplomasi untuk mencapai kepentingan kedua negara.
Diplomasi dilakukan mengingat kedua negara merupakan wilayah yang
bertetangga dan serumpun. Namun dalam prakteknya, diplomasi yang dilakukan
kedua negara dari awal kemerdekaan selalu mengalami kendala dan hingga saat
21
ini masih saja terdapat permasalahan di wilayah perbatasan, mulai dari masalah
kesejahteraan hingga masalah keamanan. Sejalan dengan hal tersebut Iva
Rachmawati dan Fauzan melakukan penelitian dengan mengangkat judul Problem
Diplomasi dalam Tata Kelola Perbatasan Indonesia-Malaysia.39 Diplomasi
perbatasan penting dilakukan karena berfungsi sebagai alat untuk mencapai
kepentingan nasional, yang dibangun dengan 3 pondasi (hukum, pembangunan
sosial ekonomi dan pembangunan institusi).40 Penulisannya hanya fokus pada
pembangunan institusi yaitu KK Sosek Malindo yag merupakan institusi
pengelolaan perbatasan yang bekerjasama dengan Malaysia. Institusi ini sering
melakukan pertemuan sejak tahun 1985, dan sejak itu kedua negara telah banyak
menghasilkan persetujuan kerja sama di berbagai bidang khususnya pada
pengelolaan perbatasan dan pengembangan wilayah perbatasan. Namun
persoalannya adalah pada saat mengimplementasikannya. Hal ini terjadi karena
adanya tumpang tindih dan tidak terkoordinasi secara baik. KK Sosek Malindo
dinilai sebagai forum border diplomacy yang tidak efektif. Penulis tidak
menjelaskan
faktor-faktor
lain
yang
menyebabkan
kesulitan
untuk
mengemplementasikan kesepakatan antara kedua negara selain karena adanya
tumpang tindih tugas dan peran institusi.
Sejalan dengan penelitian diatas, Ardita Velarasi 41 juga melakukan
penelitian terkait dengan institusi General Border Committee (GBC) dalam
39
Iva Rachmawati dan Fauzan, 2012, “Problem Diplomasi Dalam Tata Kelola Perbatasan
Indonesia-Malaysia”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Universitas Gadjah Mada
Vol 16 No. 2 November, “Mengelola Perbatasan Negara”, Yogyakarta; FISIP UGM., hlm. 95
40
Ibid
41
Ardita Velarasi, 2013, “Kerjasama Indonesia dan Malaysia Mengenai GBC dalam
Perspektif Hukum Perjanjian Internasional” di dalam Opini hukum electronic journal, diperoleh
22
Kerjasama Indonesia-Malaysia, namun bukan dilihat dari pembangunan sosial
ekonomi dan pembangunan institusinya, tapi dilihat dari Perspektif Hukum
Perjanjian Internasionalnya. Penjelasannya dimulai dengan memaparkan dasar
hukum dan sistem penetapan dari perjanjian bilateral antara Indonesia-Malaysia
mengenai batas wialayah antar-negara. Hukum internasional dan hukum
perjanjian internasional memberikan kontribusi yang cukup penting bagi
perbatasan, terutama di dalam pelaksanaan perundingan antar negara dan
penandatanganan persetujuan atau perjanjian antar-negara. Kemudian ia
menjelaskan peran GBC dalam mengelola daerah perbatasan antara Indonesia dan
Malaysia dan menjelaskan kendala-kendala yang dihadapi GBC sebagai wadah
komunikasi yang efektif digunakan untuk mengahadapi persoalan-persoalan
dalam keamanan dan pertahanan di perbatasan kedua negara. Namun, dalam
penelitian ini tidak dijelaskan mengenai sejauh mana GBC mampu memberikan
kontribusi bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi di kawasan perbatasan.
Berbeda dengan Prof. Dr. Ir Bambang B. Soejito dalam bukunya Strategi
dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan.42 Ia menyimpulkan
bahwa untuk dapat mengembangkan wilayah perbatasan perlu dilakukan dengan
menerapkan prinsip-prinsip kebijakan seperti, mewujudkan wilayah perbatasan
sebagai halaman depan suatu negara; melindungi sumber daya alam yang ada di
perbatasan melalui pengelolaan wilayah konservasi dan taman nasional;
dari http://issuu.com/e-jurnal-fh-unsri/docs/ej_hi__1_-_ardita_velarasi#, diakses pada 5 Oktober
2013
42
Bambang B. Soejito, 2003, “Strategi dan model pengembangan wilayah perbatasan
Kalimantan”, di publish oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Deputi
Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) Jakarta.
23
melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
pembangunan agar mendapat manfaat sebesar-besarnya dari upaya pengembangan
wilayah
perbatasan;
menyeimbangkan
tujuan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat dengan tujuan pertahanan wilayah negara, membagi peran dan
kewenangan yang saling mendukung antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten serta antara pemerintah dan swasta, meningkatkan kerjasama dengan
pihak luar negeri untuk mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, budaya, politik
dan pengelolaan sumberdaya alam di perbatasan.
Dari hasil penelitian di atas belum ada satupun penelitian yang melakukan
penilaian terhadap tingkat kepatuhan dalam perjanjian GBC. Padahal kepatuhan
dalam sebuah perjanjian sangat diperlukan guna melancarkan kesepakatan
kerjasama antar jedua negara. Atas dasar inilah maka mendorong penulis untuk
meneliti lebih lanjut mengenai derajad compliance dalam kerjasama GBC
Malindo di perbatasan darat Kalimantan. Dengan demian penelitian ini dapat
melengkapi hasil penelitian terdahulu di atas.
F. Argumen Utama
Rezim GBC dijadikan landasan kerjasama oleh pemerintah Republik
Indonesia maupun Kerajaan Malaysia baik dalam bidang operasi dan non operasi.
Akan tetapi, perjanjian kerjasama yang dilandasi atas motif saling menguntungkan
tersebut tidak selamanya berjalan dengan baik karena adanya compliance problem
yaitu terdapat prilaku non compliance yang dilakukan oleh salah satu pihak
partisipan. Sehingga membuat derajat kepatuhan kerjasama dalam rezim GBC
Malindo tergolong rendah. Rendahnya derajat kepatuhan rezim GBC Malindo,
24
disebabkan oleh rendahnya tingkat legalisasi dalam pengaturan perjanjian Security
Arrangement 1972 dan 1984, baik itu dari sisi obligasi, presisi maupun delegasi.
Rendahnya tingkat obligasi akan berpengaruh pada kepentingan dan efisiensi
dalam kerjasama kedua negara. Sedangkat rendahnya tingkat presisi dalam
perjanjian menyebabkan aturan-aturan yang tertulis kurang jelas/tepat dan
ambigu. Dengan adanya compliance problem ini menjadikan derajat kepatuhan
Indonesia-Malaysia terhadap rezim kerjasama GBC dalam mengelola dan
mengatasi sejumlah permasalahan diperbatasan kedua negara di Kalimantan
masih tergolong rendah.
G. Metodologi Penelitian
1. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini mencakup bahasan tentang perilaku dari partisipan
perjanjian internasional yaitu pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam
memenuhi kesepakatan yang telah dibuat bersama, sehingga dapat diperoleh
penjelasan
mengenai
tingkat
derajat
kepatuhan
(compliance)
dalam
implementasi rezim perjanjian kerjasama GBC Malindo.
2. Tipe Penelitian
Secara khusus ekspektasi yang ingin dicapai oleh penulis dalam
penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih detail dan
mendalam mengenai hasil dari pelaksanaan kesepakatan dan perkembangan
terkini dari kondisi konkrit derajat kepatuhan kerjasama General Border
Committee Malindo. Guna mengetahui derajat kepatuhan kerjasama General
25
Border Committee Malindo ini penulis mengkajinnya berdasarkan buku-buku,
literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang dipecahkan. Oleh karena itu, aktivitas keilmuan yang
dilakukan oleh penulis dalam proses penelitian ini termasuk dalam kerangka
penelitian kepustakaan (library research).43 Lebih lanjut berdasarkan
permasalahan yang ingin dianalisis, maka penelitian ini termasuk dalam
kategori explanatory research, yang dirancang untuk menjelaskan hubungan
kausalitas beberapa variabel dalam masalah penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Untuk data
primer akan diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara mendalam
(indepth interview) dengan sejumlah narasumber yang berkompeten dan
dokumen perjanjian kerjasama. Sedangkan data sekunder akan diperoleh
melalui metode telaah pustaka (library research) dari berbagai sumber, seperti:
buku, jurnal cetak, jurnal online, majalah, dan surat kabar.
4. Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah illustrative method
yakni dengan mengaplikasikan teori ke dalam situasi konkret, tatanan sosial
dan pengalaman nyata.44 Secara esensial melalui metode ini, teori berfungsi
sebagai panduan (guidelines) dalam penelitian. Peneliti berupaya untuk
43
44
M. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.ke-5. Hlm. 27.
Ibid,. hlm. 489
26
memberikan penilaian apakah observasi kualitatif yang dilakukan tersebut
mendukung atau justru menyangkal teori yang diadopsi dalam penelitian.
Proses analisis data seperti inilah yang akan dilakukan dalam penelitian rezim
GBC Malindo dengan mengukur derajat compliance.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian dalam tesis ini terdiri dari lima bab, diantaranya yaitu: Bab I
PENDAHULUAN. Pada bab ini mencakup latar belakang permasalahan yang
akan diteliti, rumusan masalah, kerangka pemikiran, literatur review, argumen
utama, metodologi penelitian.
Bab II DINAMIKA KERJASAMA GENERAL BORDER COMMITTEE
MALAYSIA-INDONESIA. Bab ini berisikan data penelitian yang menguraikan
bagaimana mekanisme kerjasama General Border Committee Malindo dan
berbagai kesepakatan yang telah dicapai dalam kerjasama General Border
Committee Malindo
Bab III DERAJAT COMPLIANCE DALAM KERJASAMA GENERAL
BORDER
COMMITTEE
MALINDO
PERBATASAN
DARAT
DI
KALIMANTAN. Bab ini merupakan bagian analisis yang menjelaskan tentang
tinggi atau rendahnya perilaku compliance Indonesia dan Malaysia terhadap
pelaksanaan hasil kesepakatan rezim kerjasama GBC Malindo berdasarkan teori
compliance.
Bab IV PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang
telah disampaikan pada keempat bab sebelumnya sehingga dapat menjawab
rumusan masalah yang telah disebutkan di bagian awal penulisan.
27
Download