BAB IV KESIMPULAN Pembangunan di daerah perbatasan telah menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia. Pembangunan daerah perbatasan berkaitan dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan dan keamanan nasional serta peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan. Guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat diperbatasan maka strategi yang dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan menjalin kerjasama dengan Negara yang berbatasan secara langsung yaitu Malaysia. Kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh pemerintah Provinsi Kalbar dan kaltim) dan Kerajaan Malaysia (Sabah dan Sarawak) yang terkait dengan persoalan perbatasan telah dimulai sejak tahun 1967 yaitu kerjasama di bidang keamanan di daerah-daerah perbatasan kedua negara. Kerjasama ini terus berkembang hingga mencakupi bidang-bidang lain seperti: politik, sosial, budaya dan ekonomi. Salah satu bentuk kerjasama yang telah dilakukan oleh kedua negara adalah General Border Committee (GBC). Setelah 12 tahun GBC dibentuk, untuk menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan maka beberapa hal dalam Security Arrangement 1972 di ubah menjadi Security Arrangement 1984 yang secara resmi telah disahkan pada sidang ke 13 GBC Malindo di Yogyakarta tanggal 3 desember 1984. Judith Goldstein dkk menyatakan bahwa bentuk legalisasi sebuah perjanjian merupakan salah satu bagian yang sangat vital untuk mengukur efektifitas produk hukum yang 84 dihasilkan oleh suatu organisasi internasional. Jika legalisasinya berbentuk soft law maka secara teoretis implementasinya akan cenderung kurang efektif. Sebaliknya bila legalisasinya berbentuk hard law, maka implementasinya akan cenderung lebih efektif. Atas dasar itulah maka penulis melakukan analisis mengenai legalisasi Security Arrangement 1972 dan Security Arrangement 1984. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat obligasi moderat, presisi moderat dan delegasi moderat, maka jelas bahwa berdasar tipologi bentuk legalisasi menurut Abbot dkk sebagaimana dijelaskan dalam bahasan mengenai kerangka berfikir di atas, Security Arrangement 1972 dan 1984 tergolong pada moderat. Dampak dari bentuk legalisasi yang moderat ini menjadikan perjanjian kerjasama ini memiliki kelonggaran bagi negara Malaysia dan Indonesia untuk mematuhi atau tidak perjanjanjian tersebut. Akibat legalisasi Security Arrangement 1972 dan 1984 ini moderat, terdapat dua kesepakatan yang tidak terlaksana dengan sempurna, yaitu: kesepakatan tentang PLBD di SerudongSabah dan Relokasi Mundur PPLB Kalimantan Barat Entikong-Tebedu. Tidak terlaksananya 2 (dua) kesepakatan tersebut merupakan bentuk tindakan noncompliance yang dilakukan oleh pihak Malaysia. Jika dikaitkan dengan faktor kepentingan, tidak terlaksanakannya dua kesepakatan tersebut adalah bagi Malaysia membangun infrastruktur perbatasan berupa fasilitas PLBD di Serudong bukan merupakan bagian dari kepentingan prioritas. Kepentingan prioritas Malaysia di kawasan perbatasannya bukan terletak pada pembangunan infrastruktur, melainkan lebih pada kepentingan untuk 85 memaksimalkan keuntungan-keuntungan ekonomi dari hasil transaksi perdagangan lintas batas dengan Indonesia. Sedangakan relokasi Mundur PPLB Kalimantan Barat Entikong-Tebedu akan menyebabkan pihak Malaysia mengeluarkan dana banyak lagi, karena sebelumnya Malaysia telah membangun PPLB Tebedu dengan sarana dan prasaran yang memadai dan telah mengeluarkan banyak biaya. Walapun bentuk legalisasi yang moderat pihak Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin untuk mematuhi hasil kesepakatan, dengan mewujudkan pembangunan Pos Lintas Batas Darat (PLBD) di lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Pembangunan infrastruktur pendukung seperti: jalan, drainase dan jembatan menuju PLBD di Simanggaris yang hingga saat ini masih terus dilakukan adalah bukti keseriusan pihak Indonesia dalam melaksanakan hasil kesepakatan. Namun bukan berarti Indonesia bertindak sempurna dalam mentaati perjanjian. Perilaku compliance Indonesia tersebut dapat dinilai sebagai sebuah kepatuhan yang harus dilakukan, karena semua tawaran kerjasama sosial ekonomi (Kalimantan timur-Negeria Sabah) yang terangkum dalam 7 (tujuh) kertas kerja tersebut merupakan usulan dari Indonesia. Sehingga bagi Indonesia alasan mentaati hasil kesepakatan selain sebagai upaya untuk mencapai kepentingan nasional, juga untuk alasan tanggung jawab moral selaku pihak yang mengusulkan, serta bentuk kesadaran Indonesia yang memahami bahwa rezim adalah norma yang harus dipatuhi 86 Derajat compliance Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Tingginya derajat kepatuhan Indonesia ini selain karena kesadaran untuk mematuhi hasil kesepakatan sebagai sebuah norma yang harus dipatuhi, juga dikarenakan program-program kerjasama yang telah disepakati dengan pihak Malaysia tersebut mengandung kepentingan nasional Indonesia, terutama kepentingan yang berkaitan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan kalimantan Indonesia. Perilaku masing-masing pihak yang terlibat dalam GBC Malindo sangat menentukan bagi terealisasinya hasil kesepakatan. Dalam kenyataannya tidak semua hasil kesepakatan dapat terpenuhi, hal ini disebabkan adanya compliance problem. Indonesia cenderung tampil sebagai pihak yang cenderung mematuhi/memenuhi semua hasil kesepakatan dalam GBC Malindo di Kalimantan. Malaysia dalam penelitian merupakan pihak yang menunjukkan perilaku non-compliance. Perilaku non-compliance tersebut tentunya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: beberapa hasil kesepakatan bukan kepentingan prioritas, keterbatasan wewenang, dan efisiensi biaya. Akibat dari ketidakmampuan rezim kerjasama GBC Malindo tingkat daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan barat dalam menciptakan mekanisme compliance mengakibatkan pelaksanaan programprogram kerjasama yang telah disepakati oleh kedua belah pihak terhambat. Selain berakibat pada proses pelaksanaan kerjasama hasil kesepakatan, tidak adanya mekanisme compliance dalam rezim kerjasama GBC Malindo di Kalimantan juga mempengaruhi perilaku 87 compliance dari pihak yang bekerjasama. Ada pihak yang memenuhi semua hasil kesepakatan sebagai bentuk tanggung jawab moral karena telah meratifikasi perjanjian, tetapi ada juga pihak yang tidak melaksanakan hasil kesepakatan yang telah disetujui bersama. 88