kehamilan dengan leukemia mieloid kronik

advertisement
KEHAMILAN DENGAN LEUKEMIA MIELOID KRONIK
dr. I Ketut Surya Negara, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia Mieloid Kronik (LMK) adalah penyakit mieloproliferatif dengan
karakteristik adanya fusi gen BCR-ABL. Produk gen ini, yaitu protein Bcr-Abl,
memiliki aktifitas tirosin kinase yang berperan penting dalam patogenesis penyakit.(1)
Insiden leukemia dalam kehamilan sangat jarang, berkisar 1 dari 75.000100.000 kehamilan.Namun sebagian besar leukemia dalam kehamilan digolongkan
akut (90%), kemudian tipe myeloid (61% LMA, 7% LMK), dimana tipe limfoid (28%
LLA, 3% LLK).Kejadian leukemia dalam kehamilan di Indonesia sampai saat ini
belum didapatkan data pasti. Di Bali sendiri khususnya di RSUP Sanglah Denpasar
sebelumnya pernah dilaporkan satu kasus kehamilan dengan LMA pada tahun 2010.
Pada review literatur, hanya 157 kasus LMK dalam kehamilan yg dilaporkan antara
tahun 1990 sampai 2009.(2,3,4,5)
Kehamilan pada pasien kanker yang memerlukan kemoterapi memerlukan
banyak pertimbangan, yang seringkali menimbulkan dilema baik pada pasien dan
keluarga, maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya.Masalah bertambah pelik
ketika seorang wanita menjadi hamil selama atau beberapa waktu setelah menjalani
kemoterapi, mengingat efek samping dari agen sitotoksik.Kebanyakan informasi
mengenai hal ini didapat dari penelitian pada hewan, dan relatif sedikit data pada
manusia.Imatinib masuk dalam uji klinik pada tahun 1998 dan sejak saat itu
didapatkan telah meningkatkan respon hematologi dan sitogenetik yang dramatis pada
pasien LMK.Apakah imatinib dapat dihentikan secara aman pada pasien yang
mengalami remisi lengkap, ini tetap menjadi salah satu pertanyaan penting yang
belum
terjawab
sampai
sekarang.
Dari
data
teratogenesitas
pada
tikus,
direkomendasikan pada wanita yang dalam terapi imatinib untuk waspada pada efek
ini, dan kontrasepsi yang efektif sebaiknya digunakan untuk mencegah kehamilan.(2)
Pada kesempatan ini, kami akan mencoba membahas kasus Kehamilan dengan
Leukemia Mieloid Kronik, kasus ini menarik untuk diulas karena beberapa alasan,
seperti :
1. Insiden leukemia terutama tipe leukemia mieloid kronik banyak dilaporkan,
namun insiden leukemia mieloid kronik dalam kehamilan sangat jarang dan
masih sedikit dilaporkan, khususnya di Indonesia.
2. Pada pasien dalam laporan ini, kehamilan terjadi saat diagnosa sudah
ditegakkan dan telah diterapi, dan sudah terjadi paparan kemoterapi pada fetus
di trimester satu.
3. Beberapa temuan dalam pengamatan kasus ini tidak sesuai dengan data-data
penelitian sebelumnya, antara lain : resiko terapi imatinib terhadap fertilitas,
paparan kemoterapi saat konsepsi dan selama trimester satu, remisi
hematologi pada ibu selama kehamilan walaupun terapi ditunda, luaran bayi
normal, dan perkembangan bayi selama pengamatan satu tahun tidak
ditemukan gangguan perkembangan.
4. Penanganan leukemia mieloid dalam kehamilan masih menjadi perdebatan, di
satu sisi pertanyaan besar apakah terapi dihentikan atau diteruskan, pertanyaan
lain pilihan terapi apa yang sesuai selama kehamilan.
5. Modalitas diagnostik pasti hanya dimiliki oleh beberapa pusat kesehatan dan
memerlukan biaya mahal. Obat-obat kemoterapi untuk penyakit ini relatif sulit
didapat dan memerlukan biaya mahal. Pemantauan efek terapi juga
memerlukan pemeriksaan yang mahal.
6. Adanya keganasan dalam kehamilan, dalam hal ini leukemia mieloid kronik
dalam kehamilan memberikan pengaruh pada aspek psikososial.
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ni Wayan Pujani
Umur
: 32 tahun
Alamat : Jl. Tukad Yeh Biu gg. Pudak no. 14 Sesetan, Denpasar
Suku
: Bali
Agama
: Hindu
Pendidikan
: SLTA
No. Rekam Medik
: 01297805
Tgl. Pemeriksaan
: 20 Januari 2012
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Badan sering lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Os mengeluh terkadang badan terasa lemas sejak sekitar 2 bulan terakhir. Os memiliki
riwayat kanker darah (Leukemia) sejak tahun 2005, os merasa khawatir akan
pengaruh penyakit dan obat yang diminumnya terhadap bayi. Keluhan lain tidak ada.
Gerakan anak dirasakan sejak tgl. 13/12/2011.
Tes kehamilan (+) tgl. 20/12/2011, tes sendiri dirumah
HPHT lupa, os mengatakan terakhir menstruasi tgl, 20/2/2011 dan setelahnya tidak
mendapat haid, sebelumnya os tidak mengetahui kehamilannya sampai os merasa
perut bawah membesar dan terasa seperti ada yang bergerak dalam perutnya, lalu os
tes kehamilan dan hasilnya (+).
Riwayat menstruasi sebelumnya dikatakan teratur setiap 28 hari selama 3-4
hari.Menarche umur 13 tahun.Menikah 1x selama 11 tahun.
Riwayat Obstetri :
1. Aterm, perempuan, spontan, 3000 gram, RSUP, 11 th
2. Aterm, laki-laki, spontan, 3200 gram, RSUP, 8 th
3. Ini
Riwayat kontrasepsi IUD, aff 5 tahun yang lalu, Riwayat alergi disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Awalnya sekitar bulan Agustus 2004 os merasakan perut membesar, pembesaran
dirasakan dimulai dari sebelah kiri dan bertambah besar dalam waktu lebih kurang 2
minggu sampai memenuhi seluruh bagian perut. Kadang perut terasa nyeri dan penuh,
sering mual dan nafsu makan menurun. Badan terasa lemas dan cepat lelah,
Didapatkan memar-memar pada kulit tanpa sebab yang jelas namun hilang dalam
beberapa hari.Badan tambah kurus (berat badan turun dari 45 kg menjadi 39 kg dalam
2 minggu).
Badan sering demam dan berkeringat banyak terutama malam hari.Keluhan
perdarahan spontan disangkal.
Os tidak pernah periksa, hanya berobat alternatif.
Tgl. 16 Juli 2006 os periksa ke Poli Interna RSUP, didapatkan pembesaran limfe
(splenomegali) ~ Scuffner VI-VII.Pada pemeriksaan darah, WBC > 22.000, Hb 6
g/dL, Platelet turun (os lupa nilainya).Disarankan USG abdomen.
Hasil USG : Splenomegali ( hasil USG hilang)
Pemeriksaan darah ulang, WBC > 48.000.
Saat itu diagnosa suspek Leukemia, disarankan MRS dan biopsi sumsum tulang, os
menolak dan tidak kontrol lagi, melanjutkan terapi alternatif.
Tgl. 6 Juni 2011 os periksa ke dr. Tjok DY Sp.PD. KHOM saran periksa darah ulang.
Tgl. 7 Juni 2011 os periksa darah di Laboratorium RSUP, dengan hasil :
WBC 480,5
HGB 6,7
PLT 513
LED 1/8
OT/PT 19/10
Bun/SC 11/0,5
UA 8,5
LDH 1.885
Na/K/Ca 136,3/ 4,41/ 8,9
UL sedimen lekosit banyak
Blood Smear : kesan CML
Diagnosa : CML, terapi dengan Hydrea.
Perkembangan laboratoris :
Tgl. 20/6/2011 : WBC/Hb/PLT : 165/7,5/715
Tgl. 14/7/2011 : WBC/Hb/PLT : 124,5/10,1/468
Tgl. 30/7/2011 : WBC/Hb/PLT : 338,6/7,9/248
Direncanakan mengganti obat namun os disarankan periksa lebih lanjut di Surabaya
lewat YKI (Yayasan Kanker Indonesia).Tgl. 2/8/2011 berangkat ke Surabaya, tgl.
3/8/2011 periksa darah di Laboratorium Genetika Manusia Divisi Pemeriksaan
Molekuler Kanker RSUD dr. Soetomo.
Tgl. 26/8/2011 didapatkan hasil :
DL : WBC/Hb/PLT 260,2/9,4/378
Diagnostik molekuler PCR Leukemia (bcr-abl) : tampak fusi gene bcr abl b3a2
pada amplicon product 385 bp menghasilkan ekspresi protein p210.
Bulan September 2011 mulai mendapat terapi Glevec 1X400 mg tiap hari, malam
sebelum tidur.
Riwayat keganasan pada keluarga disangkal.
Riwayat penyakit metabolik disangkal.
Riwayat pekerjaan : os bekerja sebagai penjual tanaman, kontak dengan radiasi
disangkal. Kontak dengan pestisida (+), tempat kerja didekat gardu bertegangan tinggi
PLN.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 20/01/2012
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi : 84x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,7 celcius
Berat badan : 53,3 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/THT : kesan tenang
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen : distensi (-), Hepar ttb, lien trb ~ Scuffner S2-3
Nyeri tekan (-), BU (+)N
~ status obstetrik
Extremitas : hangat, oedem (-)
BMI : 20,8
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ sepusat
DJJ (+) 150x/menit Doppler
Vagina : taa
Laboratorium (19/01/2012)
WBC 7,15
Hb 11.3
PLT 265
USG (poli 1.08)
Janin T/H, FHB (+), FM (+)
BPD 5,99 ~ 24W4D
AC 20,6 ~ 25W0D
FL 4,33 ~ 23W6D
AVE 24W3D
EDD 7/5/2012
Pasenta korpus anterior
S/D 3,17
PI 0,75
RI 0,63
Air ketuban cukup
Diagnosa : G3P2002 23-24 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol 2 minggu lagi
KIE
Poli Hematologi Interna
Dx : CML
Tx : Gleevec tunda
Rawat bersama Obgyn
Mx : DL @ 2 minggu, kontrol 2 minggu lagi
EFW 733 gr
RIWAYAT ANC
Tanggal 20/12/2011 (Poli 1.08)
Keluhan (-)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 88x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,5 celcius
Berat badan : 43,8 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General Dalam batas normal
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ sepusat
DJJ (+) 156x/menit Doppler
Vagina : insp. Flx (-), fl (-)
P(-), livide (+)
VT flx (-), fl (-)
P (-)
CU AF b/c ~ 20-22 mg
APCD taa
USG (poli 1.08)
Janin T/H, FHB (+), FM (+)
BPD 5,04 ~ 21W2D
AC 13,9 ~ 20W6D
FL 3,17 ~ 19W3D
AVE 21W0D
EDD 20/4/2012
Pasenta korpus anterior
EFW 405 gr
AK cukup
Diagnosa : G3P2002 21 mg T/H + Leukemia (CML)
Pdx : DL, LFT, RFT, USG WA
Tx : konsul Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol bsk rencana USG WA
BMI : 17,1
Tanggal 23/12/2011 (Poli 1.08)
Keluhan (-)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 110/60 mmHg
Nadi : 84x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,6 celcius
Berat badan : 51 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 19,9
Status General Dalam batas normal
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ sepusat
DJJ (+) 152x/menit Doppler
Vagina : taa
Laboratorium (22/12/2011)
WBC 6,0
Hb 10,0
OT/PT 15/12
PLT 367
Bun/SC 9/0,49
BSP/2jPP 83/61
UA 4,7
USG WA 23/12/2011 (dr HYS SpOG(K))
Janin T/H, FHB (+), FM (+)
BPD 4,84 ~ 19W2D
AC 16,03 ~ 20W6D
FL 2,92 ~ 18W4D
HC 17,12 ~ 19W1D
AVE 19W5D
EDD 13/5/2012
EFW 385 gr
Pasenta korpus anterior gr I
AFI ~ N
Kesimpulan : janin T/H 19-20 minggu, morfologi tidak tampak kelainan
Diagnosa : G3P2002 21-22 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol 2 minggu lagi
Poli Hematologi Interna
Dx : CML
Tx : stop/tunda Glivec
Rawat bersama Obgyn
Mx : DL 2 @ 2 minggu, kontrol 2 minggu lagi
Tanggal 05/01/2012 (Poli 1.08)
Keluhan (-)
EDD : 13/5/2012 (USG WA UK 19-20 mg)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 100/70 mmHg
Nadi : 84x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,0 celcius
Berat badan : 51 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General Dalam batas normal
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ sepusat
DJJ (+) 158 x/menit Doppler
Vagina : taa
Laboratorium (03/01/2012)
WBC 5,88
Hb 10,8
PLT 276
Diagnosa : G3P2002 21-22 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol 2 minggu lagi
Poli Hematologi Interna
Dx : CML
Tx : Tunda Gleevec
BMI : 19,9
Rawat bersama Obgyn
Mx : DL @ 2 minggu, kontrol 2 minggu lagi
Tanggal 20/01/2012
Hasil pemeriksaan telah diuraikan diatas.
Tanggal 06/02/2012 (Poli 1.08)
Keluhan (-)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,7 celcius
Berat badan : 54 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/THT : kesan tenang
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen : distensi (-), Hepar ttb, lien trb ~ Scuffner S2
Nyeri tekan (-), BU (+)N
~ status obstetrik
Extremitas : hangat, oedem (-)
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ 1 jari atas pusat
His (-)
DJJ (+) 145 x/menit Doppler
Vagina : taa
USG WA 06/02/2012 (dr SNR SpOG(K))
Janin T/H, FHB (+), FM (+)
BPD 6,77 ~ 25W2D
AC 22,74 ~ 26W4D
BMI : 21
FL 4,81 ~ 25W4D
HC 23,79 ~ 25W0D
AVE 26W0D EDD 14/5/2012
EFW 1066 gr
Pasenta korpus anterior gr II
AK cukup
Arteri umbilikalis : S/D 3,24
RI 0,69
PI 1,05
Kesimpulan : janin T/H 19-20 minggu, morfologi tidak tampak kelainan mayor.
Diagnosa : G3P2002 26-27 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
TT III
Mx : kontrol 2 minggu lagi
Tanggal 22/02/2012 (Poli 1.08)
Keluhan (-)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,6 celcius
Berat badan : 55 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/THT : kesan tenang
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen : distensi (-), Hepar ttb, lien trb ~ Scuffner S2
Nyeri tekan (-), BU (+)N
~ status obstetrik
Extremitas : hangat, oedem (-)
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ 2 jari atas pusat
BMI : 21,4
His (-)
DJJ (+) 154 x/menit Doppler
Vagina : taa
Laboratorium (22/02/2012)
WBC 9,7
Hb 11,7
PLT 229
USG (poli 1.08)
Janin T/H, letak kepala, FHB (+), FM (+)
BPD 7,41 ~ 30W0D
AC 26,7 ~ 30W6D
HC 28,3 ~ 30W5D
FL 5,61 ~ 29W1D
AVE 30W1D
EDD 01/04/2012
Pasenta korpus anterior grd II
EFW 1533 gr
Air ketuban cukup
Diagnosa : G3P2002 28-29 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol 2 minggu lagi
Tanggal 09/03/2012 (Poli 1.08)
Keluhan (-)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 100/70 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,8 celcius
Berat badan : 56 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/THT : kesan tenang
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen : distensi (-), Hepar ttb, lien trb ~ Scuffner S2
BMI : 21,8
Nyeri tekan (-), BU (+)N
~ status obstetrik
Extremitas : hangat, oedem (-)
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ 1/2 pusat-processus xiphoideus
His (-)
DJJ (+) 150 x/menit Doppler
Vagina : taa
USG WA 09/03/2012 (dr HYS SpOG(K))
Janin Tunggal, FHB (+), FM (+)
BPD 8,03 ~ 30W1D
AC 27,82 ~ 31W2D
FL 5,04 ~ 28W5D
AVE 30W3D
EDD 15/5/2012
EFW 1936 gr
Pasenta korpus anterior gr II
AFI ~ 13,99
Arteri umbilikalis S/D 3,15
Kesimpulan : janin T/H 30W3D, morfologi tidak tampak kelainan
Diagnosa : G3P2002 30-31 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol 2 minggu lagi
Tanggal 30/03/2012 (Poli 1.08)
Keluhan (-)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 110/60 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,7 celcius
Berat badan : 57 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/THT : kesan tenang
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen : distensi (-), Hepar ttb, lien trb ~ Scuffner S2
Nyeri tekan (-), BU (+)N
~ status obstetrik
Extremitas : hangat, oedem (-)
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ 4 jari bawah processus xiphoideus (28 cm)
His (-)
DJJ (+) 144 x/menit Doppler
Vagina : taa
USG (poli 1.08)
Janin T/H, letak kepala, FHB (+), FM (+)
BPD 8,27 ~ 303W5D
AC 30,4 ~ 34W1D
FL 6,59 ~ 33W5D
AVE 33W3D
EDD 20/05/2012
Pasenta korpus anterior grd II
Diagnosa : G3P2002 33-34 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol 2 minggu lagi
Tanggal 16/04/2012 (Poli 1.08)
EFW 2229 gr
BMI : 22,3
Keluhan (-)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 84x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,0 celcius
Berat badan : 57 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/THT : kesan tenang
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen : distensi (-), Hepar dan lien sulit dievaluasi
Nyeri tekan (-), BU (+)N
~ status obstetrik
Extremitas : hangat, oedem (-)
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ 4 jari bawah processus xiphoideus (28 cm)
His (-)
DJJ (+) 138 x/menit Doppler
Vagina : taa
USG WA 16/04/2012 (dr TS SpOG(K))
Janin T/H, FHB (+), FM (+)
BPD 8,96 ~ 34W2D
AC 32,23 ~ 35W5D
FL 6,56 ~ 33W4D
HC 32,11 ~ 34W2D
AVE 36W3D EDD 19/5/2012
EFW 2916 gr
Pasenta korpus anterior gr II
AFI normal
Arteri umbilikalis : S/D 2,6
RI 0,62
PI 0,9
BMI : 22,3
Kesimpulan : janin tunggal, letkep, 36-37 minggu, morfologi tidak tampak kelainan
mayor.
Diagnosa : G3P2002 35-36 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol 2 minggu lagi
Tanggal 07/05/2012 (Poli 1.08)
Keluhan (-)
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 100/60 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur : 36,8 celcius
Berat badan : 59 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/THT : kesan tenang
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen : distensi (-), Hepar dan lien sulit dievaluasi
Nyeri tekan (-), BU (+)N
~ status obstetrik
Extremitas : hangat, oedem (-)
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ 3 jari bawah processus xiphoideus
His (-)
DJJ (+) 138 x/menit Doppler
Vagina : taa
AT ~ Normal
BMI : 23
Diagnosa : G3P2002 39-40 mg T/H + CML
Pdx :
Tx : ~ Ts. Interna
SF 1xI tab
Mx : kontrol 2 minggu lagi
KIE : sakit perut, keluar air, gerak anak menurun segera ke IRD
Tanggal 11/05/2012 (IRD)
Keluhan : pasien mengeluh keluar air pervaginam sejak jam 06.00 wita, sakit perut
tidak ada, gerak anak baik. TP : 13/05/2012
Status present
Kesadaran composmentis
Tekanan darah: 120/70 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Respirasi : 20x.mnt
temperatur axilla : 36,8 celcius
Berat badan : 60 kg
rectal : 37,0 celcius
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 23,4
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/THT : kesan tenang
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen : distensi (-), Hepar tidak teraba, lien Scuffner S3
Nyeri tekan (-), BU (+)N
~ status obstetrik
Extremitas : hangat, oedem (-)
Status Obstetri
Abdomen : TFU ~ 3 jari bawah processus xiphoideus (34 cm)
His (-)
DJJ (+) 138 x/menit Doppler
Vagina insp : tampak cairan keluar dari OUE, lakmus tes (+)
VT (10.45 wita) : P 1 jari, efficement 25%, ketuban (-) jernih, sedang, anterior
Teraba kepala denominator belum jelas,  H I
Tidak teraba bagian kecil / tali pusat
Laboratorium tgl 11/05/2012 (10.36 wita)
WBC 11,0
SGOT/SGPT 9,8/7,7
HGB 13,2
BUN 6,225
Hct 40,0
SC 0,445
PLT 204,6
Albumin 3,954
BT/CT 2’00”/9’30”
AT ~ Normal
Diagnosa : G3P2002 39-40 mg T/H + CML, KPD
PBB : 3410 gram
PS : 4
Pdx :
Tx : - IVFD RL ~ 20 tetes/menit
-
Ampicillin 4x500 mg oral
-
Expektatif pervaginam bila AT normal/suspisius
Mx : keluhan, vital sign, tanda inpartu, temperatur rectal @ 3 jam
Apabila dalam 12 jam keluar air belum ada tanda inpartu, evaluasi pelvic skor
Bila PS <5 : ripening misoprostol
Bila PS >5 : induksi oksitosin ~ protap
KIE : pasien dan keluarga rencana tindakan
Perjalanan persalinan (11/05/2012)
Jam 15.00 wita, evaluasi 2 jam his adekuat
Abdomen : His (+) 3-4x/10 menit ~ 35-40 detik
DJJ 146x/menit reguler
VT (15.00) P 6 cm, efficement 50%, ketuban (-) jernih
Teraba kepala ubun-ubun kecil kiri depan,  H II
Tidak teraba bagian kecil / tali pusat
Diagnosa : G3P2002 39-40 mg T/H + CML, Partus Kala I (keluar air)
Jam 16.40 wita, pasien ingin mengedan
Abdomen : His (+) 4-5x/10 menit ~ 40-45 detik
DJJ 152x/menit reguler
VT (15.00) P lengkap, ketuban (-) jernih
Teraba kepala ubun-ubun kecil depan,  H III(+)
Tidak teraba bagian kecil / tali pusat
Diagnosa : G3P2002 39-40 mg T/H + CML, Partus Kala II
Jam 16.46 wita lahir bayi laki-laki, 3600 gram, AS 8-9
Anus (+), kelainan (-)
Selama pemantauan 2 jam post partum tidak didapatkan masalah, pasien dan bayi
rawat gabung, laboratorium post partum dalam batas normal (WBC 17,27 / HGB 12,0
/ PLT 329). Pasien diperbolehkan pulang keesokan harinya.
Kontrol ke Poli Kebidanan dan poli Anak tanggal 22/05/2013 (post partum hari ke 11)
Pasien tanpa keluhan, ibu dan bayi baik.Selama masa nifas tidak didapatkan keluhan
ataupun masalah.
BAB III
HEMATOPOESIS
3.1 Fisiologi Hematopoesis
Hematopoesis adalah proses pembentukan darah. Tempat hematopoesis pada
manusia berpindah-pindah sesuai dengan umur, yaitu :
1. Yolk sac pada umur 0-3 bulan intrauterine.
2. Hepar dan lien pada umur 3-6 bulan intrauterine.
3. Sumsum tulang pada umur 4 bulan intrauterin sampai dewasa
Perkembangan hematopoesis menurut umur ini dapat dilihat pada gambar grafik
dibawah ini.(6)
Gambar 3.1 Perkembangan hemopoesis menurut umur(6)
Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hematopoesis terjadi pada
sumsum tulang.Dalam keadaan patologik, seperti pada mielofibrosis, hematopoesis
terjadi diluar sumsum tulang, terutama di lien, disebut sebagai hematopoesis
ekstramedular. Untuk kelangsungan hematopoesis diperlukan :
1. Sel induk hemopoetik (hematopoietic stem cell)
Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel
darah, termasuk sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), butir
pembeku (trombosit), dan juga beberapa sel dalam sumsum tulang seperti
fibroblast. Sel induk yang paling primitif disebut sebagai pluripotent
(totipotent) stem cell. Sel ini mempunyai sifat :
a. Self renewal : kemampuan untuk memperbarui diri sendiri sehingga tidak
akan pernah habis meskipun terus membelah.
b. Proliferatif : kemampuan membelah atau memperbanyak diri.
c. Diferensiatif : kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel
dengan fungsi tertentu.(6)
Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk hemopoetik dapat
dibagi menjadi :
a. Pluripotent (totipotent) stem cell : sel induk yang mempunyai kemampuan
untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.
b. Committed stem cell : sel induk yang mempunyai komitmen untuk
berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel (cell line). Sel induk
yang termasuk golongan ini adalah sel induk myeloid dan sel induk
limfoid.
c. Oligopotent stem cell : sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya
beberapa
jenis
sel.
granulocyte/monocyte)
Misalnya,
CFU-GM
(colony
forming
unit-
yang dapat berkembang hanya menjadi sel-sel
granulosit dan sel-sel monosit.
d. Unipotent stem cell : sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi
satu jenis sel saja. Contoh, CFU-E (colony forming unit-erythrocyte) hanya
dapat menjadi eritrosit, CFU-G (colony forming unit-granulocyte) hanya
mampu berkembang menjadi sel-sel granulosit.(6)
Gambar skematik dan hirarki susunan sel induk hematopoetik dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.Semula sel induk dianggap hanya berada dalam
sumsum tulang, setelah berdiferensiasi menjadi sel matang kemudian
dilepaskan ke darah tepi.Sekarang dapat dibuktikan bahwa sel induk juga
beredar dalam sirkulasi, tetapi tidak dapat dideteksi dengan teknik pengecatan
konvensional.Keberadaan sel ini dalam darah tepi dapat dibuktikan dengan
teknik immunophenotyping. Sel induk dalam darah tepi ini dapat dipisahkan
dengan teknik hemapheresis, kemudian dapat dicangkokkan pada orang lain.
Teknik ini disebut sebagai peripheral blood stem cell transplantation.(6)
Gambar 3.2 Diagram skematik hierarki sel induk hemopoetik menurut
Hoffbrand(6)
Gambar 3.3 Hierarki sel induk hemopoetik dan garis turunannya secara
morfologik menurut Wintrobe(6)
2. Lingkungan mikro (microenvironment) sumsum tulang
Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang memungkinkan
sel induk tumbuh secara kondusif. Komponen lingkungan mikro ini meliputi
berikut ini :
a. Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang.
b. Sel-sel stroma, seperti : sel endotel, sel lemak, fibroblast, makrofag, sel
retikulum (blanket cell).
c. Matriks ekstraseluler : fibronektin, haemonektin, laminin, kolagen, dan
proteoglikan.(6)
Lingkungan mikro sangat penting dalam hemopoesis karena berfungsi untuk :
a. Menyediakan nutrisi dan bahan hemopoesis yang dibawa oleh peredaran
darah mikro dalam sumsum tulang.
b. Komunikasi antar sel (cell to cell communication), terutama ditentukan
oleh adanya adhesion molecule.
c. Menghasilkan zat yang mengatur hemopoesis : hematopoetic growth
factor, cytokine, dan lain-lain.(6)
3. Bahan-bahan pembentuk darah
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah :
a. Asam folat dan vitamin B12, merupakan bahan pokok pembentuk inti sel.
b. Besi, sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin.
c. Cobalt, magnesium, Cu, Zn.
d. Asam amino
e. Vitamin lain : vitamin C, B kompleks, dan lain-lain.(6)
Sumsum
tulang
yang
normal
merupakan
bagian
esensial
dari
hemopoesis.Apabila struktur atau fungsi sumsum tulang terganggu maka dapat
menimbulkan kelainan. Gangguan dapat disebabkan oleh :
a. Kegagalan produksi sel : dijumpai pada anemia aplastik.
b. Kegagalan maturasi sel : dijumpai pada sindroma mielodisplastik.
c. Produksi sel-sel yang tidak normal : pada thalasemia, hemoglobinopati,
dan lain-lain.
d. Hilangnya mekanisme regulasi yang normal, seperti pada leukemia akut,
penyakit mieloproliferatif, penyakit limfoproliferatif.(6)
Gangguan sumsum tulang yang akan dibahas pada tulisan ini adalah terutama
leukemia mieloid kronik.
4. Mekanisme regulasi
Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan kuantitas
pertumbuhan sel dan pelepasan darah yang matur dari sumsum tulang ke darah
tepi sehingga sumsum tulang dapat merespon kebutuhan darah dengan
cepat.Produksi komponen darah yang berlebihan ataupun kekurangan
(defisiensi) sama-sama menimbulkan penyakit. Zat-zat yang berpengaruh
dalam mekanisme regulasi ini adalah :
a. Faktor pertumbuhan hemopoesis (hematopoetic growth factor)
Antara lain : granulocyte macrophag colony stimulating factor (GM-CSF),
granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), macrophage colony
stimulating factor (M-CSF), thrombopoetin, burst promoting activity
(BPA), stem cell factor (kit ligand)
b. Sitokin seperti misalnya : IL-3 (Interleukin-3), IL-4, IL-5, IL-7, IL-8, IL-9,
IL-10, IL-11.
Growth factor dan sitokin sebagian besar dibentuk oleh sel-sel darah
sendiri, seperti limfosit, monosit, atau makrofag serta sebagian oleh sel-sel
penunjang seperti fibroblast dan endotel.Sitokin ada yang merangsang
pertumbuhan sel induk (stimulatory cytokine), sebagian lagi menekan
pertumbuhan sel induk (inhibitory cytokine). Keseimbangan kedua jenis
sitokin ini sangat menentukan proses hemopoesis normal.
c. Hormon hemopoetik spesifik
Erythropoetin : hormon yang dibentuk diginjal khusus merangsang
pertumbuhan prekursor eritroid.
d. Hormon non spesifik
Beberapa jenis hormon diperlukan dalam jumlah kecil untuk hemopoesis
seperti : androgen sebagai stimulasi eritropoesis, estrogen menimbulkan
inhibisi eritropoesis, glukokortikoid, growth hormone, hormon tiroid.
Dalam regulasi hemopoesis normal terdapat feed back mechanism yaitu suatu
mekanisme umpan balik yang dapat merangsang hematopoetik jika tubuh kekurangan
komponen darah (positive loop) atau menekan hematopoetik jika tubuh kelebihan
komponen darah tertentu (negative loop).(6)
3.2 Kelainan Hematopoesis pada Leukemia Mieloid Kronik
Untuk memahami terjadinya produksi sel yang cepat pada LMK, maka
terlebih dahulu kita mengingat beberapa parameter dasar dari hematopoesis di
sumsum tulang. Sumsum tulang pada dewasa dengan berat 70 gram, mengandung
kurang lebih
1012 sel hematopoetik yang sekitar setengahnya adalah precursor
granulosit, sepertiga sampai dua perlima adalah eritroblast, dan sisanya ialah sel lain
termasuk megakariosit dan limfosit. Total volume sumsum tulang pada dewasa adalah
3700 mililiter, tapi hanya seperempat dari ruang sumsum tulang ini disebut sumsum
merah mengandung jaringan hematopoetik, sebagian besar berlokasi pada bagian
tengah, sementara seperempat yang lain terdiri dari sumsum kuning dan lemak. Jadi
sebenarnya volume dari total sel hematopoetik sendiri hanya 500-600 mililiter.(7)
Bila terjadi kebutuhan yang besar, seperti pada anemia hemolitik berat dan
tidak terkompensasi, terjadi ekspansi sumsum merah, menggantikan jaringan lemak
dan mengisi hampir seluruh ruang tulang. Pada kasus yang ekstrem produksi sel darah
merah dapat mencapai batas maksimum yaitu 10-12 kali normal.Pada stadium lanjut
dan fase kronik yang tidak terkontrol dari LMK ekspansi besar-besaran dari
granulopoesis dapat terjadi karena hematopoesis ekstrameduler adalah gambaran
khusus dari penyakit ini. Pada pasien yang tidak mendapat terapi, tergantung dari
stadium penyakit saat diagnosis, selularitas dari sumsum tulang biasanya bertambah
tiga atau lima kali dibanding normal, dengan sel hampir seluruhnya menggantikan
komponen lemak dan menghabiskan ruang sumsum tulang. Sebagai tambahan
hematopoesis ekstramedular lazim dijumpai dan pada yang tidak terkontrol dapat
menjadi ekstrem dengan pembesaran masif dari lien, hati dan organ lainnya. Jika
dianggap total ekspansi dari granulopoesis melibatkan sumsum tulang rangka, darah,
tempat ekstrameduler, maka tidaklah mengejutkan bahwa terjadi lima sampai sepuluh
kali lipat ekspansi dari sel myeloid pada LMK yang tidak diterapi, serta ekspansi yang
lebih besar dapat terjadi pada stadium lebih lanjut yang didapatkan splenomegali
masif, pembesaran hati, jaringan limfe, dan organ lain.(7)
Alasan utama terjadinya ekspansi masif sel mieloid adalah karena sel induk
leukemia dan sel progenitor terus menerus berproliferasi walaupun telah mencapai
batas densitas homeostatik sel di sumsum tulang dimana sel normal akan berhenti.
Namun mekanisme spesifik yang bertanggung jawab terhadap terjadinya disregulasi
ini masih belum jelas.(7)
3.3 Perubahan Hematologi Normal dalam Kehamilan dan Puerperium
Pada kehamilan terjadi perubahan hematologi baik volume darah maupun
komponen-komponen darah itu sendiri sebagai akibat pengaruh hormonal.Perubahan
ini perlu kita ketahui untuk memahami apakah perubahan yang terjadi adalah suatu
patologi atau fisiologis. Dibawah ini akan diulas perubahan dari satu komponen darah
yang berkaitan dengan LMK yaitu sel darah putih (lekosit).
Lekosit meningkat dalam kehamilan dengan nilai antara 6 x 109 – 25 x 109 /L.
Dalam beberapa jam setelah persalinan, pada wanita sehat diketahui nilai lekosit
antara 9 x 109-25 x 109 /L. Setelah empat minggu post partum, nilai lekosit kembali
seperti seperti wanita sehat tidak hamil (4 x 109 - 10 x 109 /L). Telah terjadi banyak
perdebatan tentang nilai normal dari berbagai tipe sel darah putih.Neutrofil menjadi
penyumbang terbesar dari kenaikan jumlah lekosit.Terjadi peningkatan dari jumlah
bentuk imatur dan sitoplasma menunjukkan granulasi toksik. Jumlahnya relatif
konstan selama kehamilan (3 x 109 - 10 x 109 /L), dimana ditemukan peningkatan
pada beberapa jam setelah persalinan (sampai 23 x 109 /L) dan kembali pada keadaan
seperti sebelum hamil dalam empat minggu post partum (1,5 x 109 - 6 x 109 /L).
Aktifitas kemotaksis dan fagositosis dari neutrofil tertekan, yang dihambat oleh faktor
pada serum maternal. Juga didapatkan bukti terjadi peningkatan dari metabolisme
oksidatif dari neutrofil selama kehamilan.(8)
Jumlah limfosit menurun dalam kehamilan terutama pada trimester pertama
dan kedua, meningkat pada trimester ketiga namun tetap lebih rendah sampai awal
puerperium dibandingkan wanita tidak hamil. Nilai rata-rata hitung limfosit pada
kehamilan adalah 1,1 x 109 - 2,8 x 109 /L, dibandingkan dengan nilai tidak hamil
antara 0,8 x 109 – 4 x 109 /L. Nilai limfosit kembali ke nilai normal dalam empat
minggu post partum. Studi mendalam dari limfosit T dan B dalam darah tepi dan
respon proliferatif dari sel-sel ini serta aktivitas sebagai sel pembunuh (killer cell)
menurun dalam kehamilan, mendukung teori adanya faktor imunosupresi dalam
serum. Hitung jenis monosit meningkat dalam kehamilan, terutama pada trimester
awal, namun menurun sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan. Nilainya pada
trimester tiga berkisar 0,2 x 109 – 1,0 x 109 /L, dibandingkan dengan nilai tidak hamil
yaitu 0,1 x 109 – 0,8 x 109 /L. Rasio monosit terhadap limfosit meningkat dalam
kehamilan. Hitung jenis eosinofil dan basofil tidak berubah secara bermakna selama
kehamilan. Mielosit dan metamielosit dapat ditemukan dalam darah tepi wanita sehat
yang hamil tapi tidak memiliki arti patologis yang signifikan.(8)
BAB IV
LEUKEMIA MIELOID KRONIK
4.1 Batasan
Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang
disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk
hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone) sel ganas
tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik.(6)
Leukemia Mieloid Kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel
leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid. LMK termasuk kelainan klonal
(clonal disorders) dari pluripotent stem cell dan tergolong sebagai salah satu kelainan
mieloproliferatif (myeloproliferatif disorders).(6)
LMK terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu :
1. leukemia mielod kronik, Ph positif (CML, Ph+)
2. leukemia myeloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-)
3. juvenile chronic myeloid leukemia
4. chronic neutrophilic leukemia
5. eosinophilic leukemia
6. chronic myelomonocytic leukemia (CMML)(6)
Pada tulisan ini hanya akan diulas jenis leukemia mieloid kronik, Ph positif
(CML, Ph+).
4.2 Sejarah Leukemia Mieloid Kronik
Pengetahuan tentang leukemia sebagai suatu kelompok penyakit dengan
klasifikasi yang beragam telah berkembang secara progresif sejak kelainan ini
pertama ditemukan dan sejalan dengan berkembangnya teknologi kedokteran sejak
lebih dari 150 tahun yang lalu.Demikian juga perbedaan antara kronik dan akut, serta
leukemia tipe mieloid dan limfoid tidak langsung diketahui.Adalah karakteristik post
mortem dari darah beberapa penderita yang menarik perhatian para ahli. Menurut
Gunz dan Henderson, deskripsi akurat tentang leukemia kemungkinan dibuat oleh
Velpeau pada tahun 1827, walaupun gejala penyakit ini kemungkinan telah diketahui
sejak tahun 1811. Ini diikuti oleh observasi dari Donne dan Craigie. Dan mulai
dikenalnya kondisi ini sebagai suatu patologi secara hampir bersamaan dilaporkan
oleh Bennet di Skotlandia dan Virchow di Jerman pada tahun 1845. Kasus klasik ini
melibatkan John Meredith, seorang tukang jagal berusia 28 tahun dari Edinburgh dan
Marie Straide, juru masak berumur 50 tahun di Berlin.Kedua pasien sudah merasakan
sakit sejak hampir dua tahun dan kondisi mereka terus memburuk, dengan kelemahan,
gejala perdarahan, dan gejala lainnya.Pada kedua kasus didapatkan saat otopsi adalah
pembesaran limfa dan perubahan konsistensi darah dimana didapatkan sel darah putih
yang banyak. Virchow memakai istilah “Weisses Blut” untuk menggambarkan
dominannya sel darah putih pada darah pasien, kemudian tahun 1847 mulai dipakai
istilah “Leukaemia”. Bennet memberi istilah “leucocythaemia”.Diagnosis pertama
leukemia pada pasien hidup pertama kali dibuat oleh Fuller pada 1846, saat Virchow
juga telah menemukan sembilan kasus. Kasus leukemia di Amerika pertama kali
dilaporkan adalah pada seorang nelayan berusia 17 tahun pada 1852, ini diikuti oleh
serangkaian laporan kasus terutama dari daerah Boston.(9)
Usaha awal untuk mencari perbedaan bentuk leukemia termasuk oleh Virchow
yaitu antara tipe splenik dan limfatik leukemia, yang dihubungkan dengan jenis sel
darah putih. Pembagian ini mirip antara tipe myeloid dan limfoid leukemia, dengan
penemuan penting dari Neumann pada 1870 menyatakan bahwa sel yang bertanggung
jawab pada tipe splenik adalah dihasilkan pada sumsum tulang. Sampai dengan tahun
1889, ketika Ebstein pertama kali memakai istilah leukemia akut pada bidang klinik,
penyakit ini sebelumnya dipercaya sebagai penyakit kronik.Ebstein kemudian
memperkenalkan perbedaan antara de novo leukemia akut dan “acutization” dari
penyakit kronik tersebut. Tidak lama setelahnya diketahui bahwa diagnosis leukemia
akut membawa implikasi dari ketahanan hidup penderita yang singkat, dimana pasien
leukemia kronik dapat bertahan hidup sedikit lebih lama.(9)
Sumbangan selanjutnya terhadap deskripsi dari leukemia oleh Ehrlich di
Jerman, yang mengembangkan metode pengecatan sel darah pada 1891. Ini kemudian
mengungkapkan perbedaan morfologi dari granulosit dan limfosit, yang sebelumnya
hanya diketahui dari pemeriksaan mikroskop tanpa pewarnaan sebagai granular dan
agranular sel dengan perbedaan bentuk nukleus. Walaupun penemuan ini telah
meletakkan dasar bagi klasifikasi morfologi dari leukemia myeloid dan limfoid,
penemuan ini tidak mendapatkan perbedaan antara sel T dan sel B. Informasi tentang
hal ini baru tersedia sampai tahun 1960.(9)
Tahun 1878 Neumann menemukan bahwa leukemia berasal dari sumsum
tulang dan menambahkan leukemia mielogenus pada tipe leukemia splenik dan
limfatik yang digambarkan oleh Virchow.Erlich mengidentifikasi suatu tipe sel
primitif yang menurutnya sebagai cikal bakal dari sel limfoid dan myeloid, dan
kemungkinan menjadi referensi pertama dari konsep sel induk hemopoetik.
Pandangan tentang perbedaan dari garis turunan sel hemopoetik didukung oleh
Naegeli tahun 1900 ketika dia menemukan perbedaan antara mieloblast dan
limfoblast.(9)
Studi sitogenetik yang berkembang selama tahun 1950 sampai 1956 dengan
ditemukannya jumlah kromosom pada tiap sel normal manusia yaitu 46.
Ditemukannya kromosom Philadelphia (Ph) pada 1960 oleh Nowell dan Hungerford
menyediakan penanda patognomonik bagi penyakit ini sekaligus memberi era
baru.Dengan penanda ini dimungkinkan untuk menunjukkan adanya kelainan
kelompok sel yang berasal dari sel induk hemopoetik. Terlebih lagi perkembangan
dari pemeriksaan clonogenic assay untuk sel progenitor hemopoetik pada tahun 1970
oleh Fialkow. De Klein dan kawan-kawan menemukan bahwa translokasi Ph
melibatkan pertukaran dari bagian abl onkogen dari kromosom 9 ke kromosom 22,
dan setahun kemudian translokasi resiprokal dari materi genetik dari kromosom 9 ke
22 diidentifikasi. Translokasi ini menghasilkan formasi fusi gen BCR/ABL pada
kromosom 22. Hal ini menghasilkan RNA mesengger dan hybrid BCR/ABL p210
protein tirosin kinase. Hal ini selanjutnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.(9)
4.3 Epidemiologi Leukemia Mieloid Kronik
4.3.1 Epidemiologi deskriptif
Pada tahun 2008, 4.830 pasien didiagnosa dengan LMK di Amerika.LMK
menempati 10-15% dari seluruh kasus leukemia pada dewasa. Insidennya kurang
lebih konstan diseluruh dunia, berkisar satu sampai dua kasus per 100.000 populasi
dengan sedikit dominasi lebih banyak pada laki-laki dibanding wanita yaitu 1
berbanding 0,6/0,7 per 100.000 per tahun. Di Asia Pasifik dilaporkan insiden
bervariasi pada beberapa negara. Berturut-turut di China 0,4; Hong Kong 0,9; Jepang
1,0; Selandia Baru 0,8; Filipina 0,7-0,9; Singapura 0,7; Korea Selatan 0,8; Taiwan
0,9; Thailand 0,5 per 100.000 populasi. Di Indonesia belum didapatkan data
insidennya, hanya beberapa laporan kasus leukemia tipe lainnya.(11,12)
Sejak ditemukannya terapi dengan Imatinib, angka mortalitas pertahunnya
menurun dari 10% pertahunnya menjadi sekitar 1-2%. Saat ini rasio ketahanan hidup
8-10 tahun dari LMK meningkat dari sebelumnya hanya 10-15% menjadi lebih dari
80%. Usia rata-rata penderita LMK adalah 45 sampai 55 tahun, tapi lebih dari
sepertiga kasus dengan usia lebih 60 tahun. LMK tidak umum didapatkan pada anakanak dan remaja, hanya berkisar 5% dari populasi leukemia.(13)
Insiden leukemia dalam kehamilan sangat jarang, berkisar 1 dari 75.000100.000 kehamilan.Namun sebagian besar leukemia dalam kehamilan digolongkan
akut (90%), kemudian tipe myeloid (61% LMA, 7% LMK), dimana tipe limfoid (28%
LLA, 3% LLK).Kejadian leukemia dalam kehamilan di Indonesia sampai saat ini
belum didapatkan data pasti. Di Bali sendiri khususnya di RSUP Sanglah Denpasar
sebelumnya pernah dilaporkan satu kasus kehamilan dengan LMA pada tahun 2010.
Pada review literatur, di dunia hanya 157 kasus LMK dalam kehamilan yang
dilaporkan antara tahun 1990 sampai 2009.(2,3,4,5)
4.3.2 Epidemiologi Analitik
Masalah utama dalam menentukan epidemiologi dari LMK adalah kasus yang sangat
jarang dan sedikitnya data kejadian yang dipublikasikan. Namun dari beberapa
penelitian dan laporan kasus dapat dianalisa faktor resikonya sebagai berikut :
o Radiasi Ionisasi dan Kemoterapi
Terdapat bukti-bukti yang cukup bermakna bahwa radiasi ionisasi dosis tinggi
meningkatkan resiko terjadinya LMK (dan beberapa tipe leukemia lainnya).
Bukti paling nyata adalah dari orang-orang Jepang yang selamat dari bom
atom Hiroshima dan Nagasaki, LMK dan LLA adalah keganasan yang paling
awal muncul dengan LMK rata-rata terjadi 5 tahun setelah ledakan pada
kelompok usia muda dan beberapa tahun kemudian pada kelompok usia tua
(lebih 15 tahun). Kebanyakan kejadian tidak didapatkan lagi setelah tahun
1980, dan tidak didapatkan pada mereka yang terpapar intrauterine dan anakanaknya. Tidak didapatkan resiko pada paparan dibawah 0,4 Gy dan
didapatkan respon pada dosis paparan diatas 4 Gy. Resiko lebih rendah
didapatkan pada pasien ankylosing spondylitis yang diterapi dengan radiasi
eksternal atau radium-224.Demikian juga pada mereka yang mendapat terapi
radiasi sebagai contoh kanker serviks. LMK pernah juga dilaporkan pada
pasien yang mendapat kemoterapi karena kanker primer namun faktor resiko
ini sangat kecil.(10)
o Radiasi Non Ionisasi
Berbagai penelitian tentang resiko leukemia yang berhubungan dengan medan
elektromagnetik seringkali menyebutkan terjadinya LMK. Walaupun ada
berbagai riset yang mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
medan magnet dan LMK, namun mereka membenarkan adanya paparan
medan magnet pada penderita LMK. Hal ini masih terus diselidiki.(10)
o Merokok
Leukemia mieloid secara umum dihubungkan dengan faktor resiko merokok,
ini ditunjukkan oleh beberapa studi pada para veteran di Amerika.Pada
beberapa studi lainnya LMK secara terpisah disebutkan memiliki resiko yang
berhubungan. Merokok juga didapatkan mempercepat waktu terjadinya krisis
blast.(10)
o Pekerjaan
LMK banyak dilaporkan pada mereka yang secara terus menerus terpapar oleh
senyawa benzene, seperti juga pada leukemia akut. Dari beberapa studi kohort
disebutkan resiko bervariasi mulai dari tiga kali lipat sampai dengan 25 kali
lipat dan menunjukkan secara tidak terperinci hubungan dengan dosis paparan
yang resikonya secara signifikan terlihat pada mereka yang terpapar kurang
dari 10 bagian per juta selama kurang dari lima tahun.(10)
o Kehamilan
Tidak didapatkan data yang menyebutkan kehamilan sebagai faktor resiko
terjadinya leukemia, khususnya LMK.(10)
4.4 Patofisiologi Leukemia Mieloid Kronik
4.4.1
Kromosom Philadelphia (Ph)
Secara umum telah diketahui bahwa LMK terjadi bila sebuah sel
tunggal, pluripotent dari suatu sel induk hemopoetik mendapat kromosom
Ph yang membawa gen fusi dari BCR-ABL, yang memberikan gen
tersebut kemampuan proliferasi melebihi sel hematopoesis normal dan
memungkinkan kelompok gen Ph positif untuk menggantikan fungsi
hematopoesis normal. Bukti dari hipotesis ini ditemukan karena
konsistensi dari abnormalitas molekuler pada semua pasien namun
mekanisme bagaimana perubahan molekuler dan sitogenetik terjadi masih
belum jelas. Senada dengan hal tersebut dasar molekuler dari kemampuan
proliferatif belum dapat digambarkan dengan jelas, tapi dapat memiliki
hubungan dengan ekspresi progenitor leukemik dari faktor stimulasi
pertumbuhan, seperti IL-3 dan granulocyte colony stimulating factor, sel
LMK dapat hidup lebih lama dibanding sel normal lainnya, sebagai akibat
dari menurunnya respon terhadap apoptosis. Apapun mekanisme primer
dari penyakit ini, jelas bahwa massa mieloid bertambah dengan cepat pada
pasien yang baru terdiagnosa, karena terjadi ekspansi dari element matur
dan juga bertambahnya jumlah sel progenitor dan sel induk (stem cell).(14)
Pada tahun 1960, petunjuk penting tentang patogenesis dari LMK
ditemukan oleh Howell dan Hungerford berupa penemuan kromosom Ph
dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit ini. Dengan
memakai fluoresensi Quinacrine dan pewarnaan Giemsa, Rowley dan
kawan-kawan menunjukkan bahwa kromosom Ph dihasilkan dari
translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22; t(9;22)
(q34; q11). Ini adalah inti patogenesis dari LMK dan ditemukan pada
lebih dari 95% pasien LMK. t(9;22) (q34;q11) bergabung pada segmensegmen 3’ dari gen ABL dari kromosom 9q34 ke segmen 5’ dari gen BCR
pada kromosom 22q11, menghasilkan gen hybrid BCR-ABL yang
ditranskripsikan pada messenger RNA dari BCR-ABL. Gen ABL
memiliki 11 exon, dimana exon pertama memiliki dua varian yaitu 1a dan
1b. gen ABL mengkode ekspresi khusus non reseptor tirosin kinase
dengan berat molekul 145 kD (p145ABL). Isoform dari ABL, seperti 1a
dan 1b terbentuk dari proses splicing exon pertama. Titik pemecahan dari
gen ABL terjadi pada daerah lebih panjang dari 300 kilobase (kb), tapi
biasanya sebelum exon 2. Exon 2 sampai 11 (disebut juga a2 sampai a11)
adalah segmen yang bertukar dengan bagian 5’ dari BCR.(14)
Bagian mayor dari titik daerah kluster perpecahan (Major breakpoint
cluster region/ M-bcr) dari gen BCR pada kromosom 22 berlokasi
diantara exon 12 dan 16 dan memanjang lebih dari 5,8 kb. Dua fusi
transkripsi, e13a2 dan e14a2 (b2a2 dan b3a2) dibentuk dan keduanya
ditranslasikan menjadi protein chimeric 210 kD bernama p210BCR-ABL.
Pada 95% dari LMK dengan BCR-ABL positif, sel leukemik mempunyai
baik b2a2 atau b3a2, tapi pada 5% kasus alternatif splicing menyebabkan
ekspresi dari kedua produk fusi.(14)
Bagian minor dari titik daerah kluster perpecahan (Minor breakpoint
cluster region/ m-bcr) menghasilkan fusi transkripsi bernama e1a2 yang
menjadi protein 190 kD, p190BCR-ABL. p190BCR-ABL jarang ditemui pada
LMK namun banyak pada LLA. Fusi transkripsi lain dari dari m-bcr
adalah e19a2 yang ditranslasikan menjadi protein 230 kD, p230BCR-ABL.
Kromosom Ph adalah kromosom 22 yang diperpendek sebagai hasil
dari translokasi segmen 3’ dari ABL pada kromosom 9 ke segmen 5’ dari
BCR pada kromosom 22. Pada sebagian besar kasus titik perpecahan
(breakpoint) dari gen ABL berlokasi di segmen 5’ dari exon a2. Berbagai
lokasi titik perpecahan telah diidentifikasi sepanjang gen BCR pada
kromosom 22. Tergantung pada dimana titik perpecahan terjadi, beberapa
segmen yang berbeda ukuran dari BCR berfusi dengan segmen 3’ dari gen
ABL. Ini menghasilkan molekul RNA messenger (e1a2, b2a2, b3a2, dan
e19a2) yang berbeda-beda panjangnya dan ditranslokasikan menjadi
produk protein chimeric yang berbeda-beda (p190, p210, p230) dengan
berat molekul yang bervariasi.(14)
Gambar 4.1 Translokasi dari t(9;22)(q34;q11) pada LMK.(14)
4.4.2
Protein BCR-ABL
Potensi leukemogenik dari p210BCR-ABLterjadi karena aktivitas regulasi
tirosin kinase diaktivasi pada fusi onkoprotein.Protein ABL adalah non
reseptor tirosin kinase yang memiliki peran penting pada transduksi sinyal
dan regulasi pertumbuhan sel. Ada dua isoform ABL, isoform 1a dan
isoform 1b.isoform 1b diekspresikan pada tingkat lebih tinggi pada sel
progenitor hematopoetik awal, mengalami myriastolasi pada glysin di Nterminal. Hilangnya myriastolasi pada ABL secara dramatis memperkuat
aktifitas tirosin kinasenya.Pada daerah myriastolasi dari N-terminal
segmen dari ABL, terdapat tiga domain homolog (SH3, SH2, SH1). SH2
dan SH3 meregulasi fungsi tirosin kinase dari ABL dan SH1 sebagai
pengatur fungsi tirosin kinase dari ABL.(14)
Defek dari integritas fungsional dari SH2 menurunkan ikatan
phosphotyrosine dan mengurangi kapasitas transformasi dari ABL. C-
terminal dari ABL mengandung domain binding DNA, lokasi sinyal
nuklear dan binding site untuk actin. Gangguan dari protein ABL oleh fusi
genetik ini bertanggung jawab terhadap meningkatnya aktifitas regulasi
tirosin kinase.(14)
Gambar 4.2 Domain fungsional p160BCR, p145ABL, dan p210BCR-ABL (14)
4.4.3
Jalur sinyal dari BCR-ABL
Struktur dari p210BCR-ABL memungkinkan interaksi dengan banyak
protein-protein yang melibatkan berbagai jalur sinyal intraseluler.
Beberapa domain pada BCR-ABL dapat melekat pada protein-protein
adaptor seperti growth factor receptor bound proteins 2 (GRB2), CRKlike protein (CRKL), casitas B-lineage lymphoma pro oncogen protein
(CBL), dan SRC homology 2-containing protein (SHC). Domain SH2 dan
GRB2 berikatan untuk memelihara residu tirosin (Y177) dari BCR pada
p210BCR-ABL, yang mengikat p210BCR-ABL pada RAS, suatu guanosine
triphospahate (GTP) binding protein yang terlibat dalam regulasi dari
proliferasi dan diferensiasi sel dan berlokasi pada pusat dari jalur sinyal
utama pada patogenesa dari LMK. Proses sinyal dari RAS selanjutnya
belum diketahui pasti dan bisa melibatkan mitogen activated protein
kinase (MAPKs), seperti JUN kinase (JUK). Aktivasi dari CRKL atau
protein SHC yang berikatan pada domain SH2 dan SH3 dari BCR-ABL
juga dapat mengaktifkan transduksi sinyal dari jalur RAS.Signal
transducer and activator of transcription 5 (STAT5) dari jalur
JAK/STAT5 dapat langsung difosforilasi oleh BCR-ABL, jalur sinyal dari
RAS berefek pada regulasi dari anti apoptosis protein BCL yang
dimediasi
oleh
CRKL
dan
CRK,
jalur
phosporilasi
dari
phosphatidylinositol-3 kinase (PI-3K) diaktivasi oleh BCR-ABL yang
berefek pada meningkatnya pro mitogenik dan sinyal anti apoptotik.(14)
Gambar 4.3 Jalur sinyal p210BCR-ABL(14)
4.5 Diagnosis Leukemia Mieloid Kronik
4.5.1
Gejala Klinik
Perjalanan penyakit ini dibagi menjadi dua fase, yaitu :
1. Fase kronik : fase ini berjalan selama 2-5 tahun dan responsif terhadap
kemoterapi.
2. Fase akselerasi atau tranformasi akut : pada fase ini gejala klinik mirip
leukemia akut, proporsi sel muda meningkat dan akhirnya bisa masuk
kedalam “blast crisis” atau krisis blastik.(6)
Gejala klinik LMK tergantung pada fase yang kita jumpai pada saat
diagnosis, yaitu :
a. Fase kronik, terdiri atas :
1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat malam.
2. Splenomegali hampir selalu ada, seringkali massif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4. Gejala gout, gangguan penglihatan.
5. Anemia pada fase awal biasanya ringan.
6. Terkadang asimptomatik ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.(6)
b. Fase transformasi akut, terdiri atas :
1. Perubahan terjadi perlahan dengan prodormal selama enam bulan,
disebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru seperti
demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif.
Respon terhadap kemoterapi menurun, leukositosis meningkat,
trombosit menurun dan akhirnya menjadi gambaran leukemia
akut.
2. Pada sekitar sepertiga penderita, perubahan terjadi secara
mendadak, tanpa didahului masa prodormal, keadaan ini disebut
krisis blastik. Tanpa pengobatan adekuat penderita sering
meninggal dalam 1-2 bulan.(6)
4.5.2
Pemeriksaan penunjang
1. Morfologi darah tepi
Temuan umum dari pemeriksaan darah tepi pada LMK adalah
leukositosis dengan gambaran shift to the left pada hitung jenis, basofil
dan eosinofil. Leukositosis dengan 20-200 x 109 /L seringkali
ditemukan. Lebih jarang didapatkan dengan leukositosis kurang dari 20
x 109 /L atau lebih dari 2000 x 109 /L. leukositosis dihasilkan dari
proliferasi dari granulosit, aktivitas leukosit alkalin fosfatase menurun,
walaupun fungsi fagositosis masih normal. Blast dapat ditemukan pada
darah tepi. Nilai myeloblast dapat berkisar antara 0-10, promyelosit 04, myelosit dan metamyelosit dapat berkisar 40% dan neutrofil matur
mencapai 35%. Platelet dapat normal atau naik 40-45%, kenaikan
platelet lebih dari 10000 x 109 biasanya hanya diobservasi. Nilai
platelet yang rendah menunjukkan prognosis yang buruk.(14)
Gambar 4.4 Hapusan darah tepi pada LMK(14)
2. Aspirasi sumsum tulang (bone marrow aspiration/BMA)
Gambaran sumsum tulang pada LMK adalah hiperseluler
dengan sedikit sel lemak.Semua tahap dari maturasi myeloid
ditemukan, dengan dominan myelosit. Pada fase kronik total
myeloblast dan promyelosit biasanya bernilai kurang dari 15% dari
selularitas sumsum tulang. Megakariosit dapat bertambah dan
Gaucher-like cells dapat dilihat pada 10% kasus.Basofil dan eosinofil
sumsum
tulang
seringkali
ditemukan.
Blast
terlihat
dengan
karakteristik morfologi berbeda dengan myeloblast normal. Berbagai
tingkat fibrosis pada sumsum tulang bisa terlihat. Sejalan dengan
bertambahnya progresifitas penyakit, proporsi blast meningkat, terlihat
penurunan atau kerusakan morfologi sel-sel myeloid, dan fibrosis
sumsum tulang bertambah luas.(14)
Gambar 4.5 Aspirasi sumsum tulang pada LMK(14)
3. Analisa sitogenetika
Walaupun telah diketahui bahwa fusi BCR-ABL sebagai
penyebab LMK, tapi diagnosa yang spesifik bergantung pada tes
sitogenetik dan atau molekuler untuk mengidentifikasi abnormalitas
gen yang spesifik. G-banding karyotiping dipakai untuk analisa
sitogenetik dan biasanya 25-30 sel metafase yang diperiksa.Analisa
sitogenetik mendeteksi kromosom Ph pada sekitar 95% pasien LMK
saat diagnosis. Sisanya 5% disebut “masked translocation” yang hanya
bisa dideteksi dengan teknik analisa molekuler, seperti Fluorescence in
situ hybridization (FISH) atau reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RT-PCR).(14)
Karena terbatasnya jumlah sel yang diperiksa, sensitivitas
sitogenetik dalam mendeteksi sel yang tersisa post terapi hanya satu sel
leukemia dalam 25-30 sel normal. Dengan kata lain sensitivitas deteksi
adalah 3-4% sel Ph positif. Tetapi kemampuannya dalam kuantifikasi
menjadikan analisa sitogenetik tes yang bermanfaat untuk monitoring
respon terapi.Jadi metode ini akurasi masih lemah terutama ketika sel
Ph positif kurang dari 10% dari total.Sitogenetik memerlukan sel yang
sedang membelah untuk analisa kromosom metafase, dan spesimen
terbaik adalah sumsum tulang yang mengandung lebih banyak sel
proliferatif dibandingkan darah.Walaupun dengan kekurangan diatas,
analisa sitogenetik tetap menjadi standar untuk monitoring pasien
LMK.juga
sitogenetik
dapat
mengungkapkan
abnormalitas
karyotipik.(14)
4. Fluorescence in situ hybridization (FISH)
Analisa FISH umumnya dilakukan dengan ko-hibridisasi
sebuah BCR dan sebuah ABL untuk mengubah sifat (denaturated)
kromosom metafase atau nukleus interfase.FISH konvensional (dikenal
juga dengan S-FISH atau dual-FISH) adalah teknik dua warna dimana
pemeriksaan fluoresensi 5’ BCR dan juga fluoresensi 3’ ABL dengan
melihat kontras dari warna untuk mendeteksi posisi dari gen
bersangkutan.Superimposisi acak dari pemeriksaan fluoresensi pada
nukleus
interfase
normal
dapat
berujung
pada
hasil
false
positif.Frekuensi false positif dapat mencapai 3-10%, membuat
kuantifikasi dibawah 10% tidak dapat dipercaya. Pemeriksaan triple
probe FISH (three colour FISH) menambah sensitifitas dari teknik two
probe FISH dengan memperkenalkan probe ketiga yang menganalisa
rentang titik perpecahan (breakpoint) dari BCR-ABL. Tiap probe
diberi penanda terpisah, fluorokrom yang berbeda. Pada sel Ph positif
sebagai tambahan dengan sinyal fusi BCR-ABL, sinyal dari probe
ketiga menghilang. Proses verifikasi dua langkah ini meningkatkan
sensitifitas dari deteksi sel Ph positif, dengan rata-rata false positif
0,065-0,27%.(14)
Double FISH (D-FISH) memakai empat probe, selain dua yang
dipakai di S-FISH yang menganalisa 3’ BCR dan 5’ ABL. Tambahan
dua probe lagi mendeteksi rentang titik perpecahan dari kedua
kromosom
9
dan
22.
Pada
translokasi
BCR-ABL,
D-FISH
menghasilkan sinyal fusi ganda karena keempat probe mengikat
masing-masing BCR-ABL dan BCR-ABL loci. Sehingga mengurangi
kejadian false positif maupun false negatif dibandingkan S-FISH.
Metode FISH mendeteksi BCR-ABL pada 95% dari LMK dan dapat
mendeteksi hampir 5% kasus dengan “masked translocation” yang
tidak terdeteksi dengan sitogenetik konvensional. Pemeriksaan FISH
biasanya menganalisa 200-500 nukleus, jadi lebih akurat dan bisa
dikerjakan pada sel interfase dari darah tepi ataupun sumsum tulang.
FISH memakai rangkaian yang unik, fusi ganda di probe DNA untuk
BCR warna merah dan daerah gen ABL warna hijau. Fusi abnormal
BCR-ABL pada kromosom Ph positif berwarna kuning.(14
Gambar 4.6 D-FISH untuk deteksi fusi BCR-ABL pada sel interfase(14)
5. Quantitaive RT-PCR
Metode dengan sensitivitas yang tinggi dibutuhkan untuk
monitoring pasien yang sedang diterapi.Teknik PCR, seperti RT-PCR,
Multiplex PCR, dan Nested PCR, yang menargetkan onkogen BCRABL telah menunjukkan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi
LMK.dalam beberapa tahun ini kuantitatif RT-PCR (QRT-PCR) telah
dapat mengukur tingkat transkripsi BCR-ABL di darah tepi dan
sumsum tulang, yang memungkinkan monitoring tiap waktu. Teknik
QRT-PCR yang paling umum untuk monitoring LMK dengan
memakai rangkaian probe spesifik bernama TaqMan, sebuah probe
single exonuclease hydrolisis. Probe dengan rangkaian komplemen
untuk BCR-ABL cDNA, label ganda. Satu fluorofor sebagai reporter
dan emisi spektranya dihambat oleh fluorofor kedua (quencher).
Mengikat secara spesifik pada BCR-ABL, probe memecah aktivitas
exonuclease dari Taq polymerase selama reaksi PCR, yang
memisahkan reporter dan quencher, dan menghasilkan emisi fluoresen
yang
dapat
dideteksi
secara
real
time.
Tingkat
transkripsi
mencerminkan jumlah sel leukemik di darah dan sumsum tulang, dan
dapat dipakai sebagai ukuran yang dipercaya untuk melihat respon
terapi dan meramalkan prognosis.(14)
Gambar 4.7 Real Time PCR dengan teknik TaqMan
4.5.3
(14)
Tanda transformasi akut
Perubahan LMK dari fase kronik ke fase transformasi akut ditandai
oleh :
1. Timbulnya demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya.
2. Respon penurunan leukosit terhadap kemoterapi yang semula baik
menjadi tidak adekuat.
3. Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil.
4. Blast dalam sumsum tulang lebih dari 10%.(6)
Diagnosis LMK pada fase akselerasi menurut WHO adalah :
1. Blast 10-19% dari leukosit pada darah tepi dan atau dari sel sumsum
tulang berinti.
2. Basofil darah tepi lebih dari sama 20%.
3. Trombositopenia persisten (<100 x 109 /L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi atau trombositosis (>1000 x 109 /L) yang tidak responsif
pada terapi.
4. Peningkatan ukuran lien atau leukosit yang tidak responsif pada terapi.
5. Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal.(6)
Diagnosis LMK pada fase krisis blastik menurut WHO adalah :
1. Blast lebih dari sama 20% dari leukosit pada darah tepi atau sel
sumsum tulang berinti.
2. Proliferasi blast ekstrameduler.
3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang.(6)
4.5.4
Diagnosis leukemia mieloid kronik pada kehamilan
Selama kehamilan tubuh wanita mengalami serangkaian perubahan
fisiologis yang membuat diagnosis leukemia lebih menyulitkan.Diagnosis
dapat tertunda karena tanda dan gejala dari LMK seperti lemah, cepat
lelah, pucat, sesak seringkali merupakan keluhan wanita hamil
normal.Selain itu kehamilan itu sendiri sering didapatkan anemia dan
leukositosis seperti temuan laboratoris pada pasien LMK.Dalam hal ini
untuk kecurigaan LMK memerlukan pemeriksaan morfologi dan
sitogenetik analisa sumsum tulang. Pada wanita hamil biopsi sumsum
tulang dapat dikerjakan dengan anestesi lokal dan aman tanpa efek
merugikan pada ibu ataupun janin.(13)
4.6 Penatalaksanaan
4.6.1
Prinsip umum penatalaksanaan kanker pada kehamilan
1. Kemoterapi pada kehamilan
Seperti diketahui berbagai senyawa sitotoksik memiliki berat
molekul antara 250-400 kD, jadi sebenarnya semuanya dapat melewati
plasenta dan mencapai janin. Tetapi hanya sedikit studi terhadap aliran
trans plasenta yang dilakukan untuk mengetahui konsentrasi obat di
cairan amnion, darah tali pusat, plasenta, dan jaringan janin, dengan
berbagai hasilnya. Ketika merawat wanita hamil dengan kemoterapi,
penting untuk memperhatikan perubahan fisiologi normal selama
kehamilan meliputi peningkatan volume plasma sampai 50% dan
ekskresi obat lewat ginjal, dan peningkatan oksidasi hepatik.
Perubahan ini dapat menurunkan konsentrasi aktif obat dibanding
wanita tidak hamil. Namun, dengan sedikitnya studi farmakokinetik
pada wanita hamil yang menerima kemoterapi, masih belum diketahui
pasti perbedaan dosis yang seharusnya diberikan dalam kehamilan.(13)
Hampir
semua
agen
kemoterapi
dihubungkan
dengan
malformasi kongenital pada penelitian dengan hewan.Tapi, dosis
kemoterapi pada manusia seringkali lebih rendah dari dosis teratogenik
minimal pada hewan, yang menyulitkan mencari hubungan antara
dosis manusia dan hewan.Kemoterapi yang diberikan selama trimester
pertama dapat meningkatkan resiko abortus spontan, kematian janin,
dan kelainan mayor.Usia kehamilan paling rentan adalah saat minggu
2-8 sewaktu organogenesis. Selama periode ini gangguan pada
berbagai organ yang berkembang dapat mengakibatkan kematian janin,
kelainan mayor.Beberapa organ meliputi mata, genitalia, sistem
hematopoetik, dan sistem saraf.Resiko ditemukan lebih rendah pada
kemoterapi tunggal dibandingkan yang kombinasi.Paparan pada
trimester kedua dan ketiga tidak dikaitkan dengan malformasi tapi
meningkatkan resiko kematian janin atau neonatus, pertumbuhan janin
terhambat, dan berat lahir rendah.Namun resiko ini sangat kecil,
sehingga keuntungan terapi lebih dipertimbangkan dan regimen
kombinasi dapat diberikan pada periode ini.Keputusan pemberian
kemoterapi harus memperhatikan keadaan ibu bila terapi ditunda.Jika
memungkinkan kemoterapi harus ditunda sampai setelah trimester
satu.Jika kemoterapi harus dikerjakan maka abortus terapeutik
dianjurkan dilakukan.Persalinan sebaiknya direncanakan 2-3 minggu
setelah terapi untuk memberi kesempatan pemulihan pada sumsum
tulang.Disamping itu neonatus khususnya bayi preterm memiliki
kapasitas terbatas untuk memetabolisme dan eliminasi obat karena
kurang matangnya hati dan ginjal. Penundaan persalinan setelah
kemoterapi akan memungkinkan eliminasi obat lewat plasenta.(13)
2. Terapi suportif
Hampir 70% pasien kanker mengeluh mual dan muntah karena
efek samping terapi anti kanker dan memerlukaan anti emetik seperti
metoklopramide, anti histamin atau obat berbasis ondansentron.Tidak
didapatkan resiko malformasi kongenital pada pemakaian obat-obat ini
baik pada percobaan hewan ataupun manusia.Wanita hamil dengan
terapi ini terutama pada dosis tinggi meningkatkan resiko infeksi
seperti demam neutropenia dan dapat diberikan antibiotik.Penisilin,
sefalosporin, dan eritromisin aman.Aminoglikosida dan metronidazole
relatif aman walaupun dengan kurangnya data tentang ini.Quinolone
menyebabkan arthropati, tetrasiklin yang mempengaruhi tulang dan
gigi harus dihindari. Sulfonamide seperti juga semua antagonis folat
dihubungkan dengan neural tube defect dan malformasi jantung,jadi
harus dihindari.(13)
Selain infeksi bakterial, pasien dengan neutropenia berat dapat
mendapat infeksi jamur.Anti jamur sistemik yang paling sering dipakai
adalah amphoterisin B. Tidak didapatkan laporan efek teratogenik pada
obat ini sehingga merupakan pilihan pertama. Fluconazole pada dosis
tertentu mengakibatkan efek teratogenik, jadi sebaiknya pada dosis
rendah (150 mg/hari). Ketoconazole dan flucytosine dalam kehamilan
diketahui berefek teratogenik dan embriotoksik jadi harus dihindari.(13)
4.6.2
Terapi leukemia mieloid kronik pada kehamilan
1. Imatinib Mesylate
Imatinib mesylate (ST1571, Gleevec, Glivec) adalah tirosin
kinase inhibitor yang memasuki uji klinik pada 1998 dan sejak saat itu
telah menunjukkan respon hematologi dan sitogenetik yang dramatis
pada pasien LMK saat fase kronik dan akselerasi. Beberapa laporan
dari eksperimen pada hewan mendapatkan bahwa imatinib dapat
teratogenik dan direkomendasikan pada wanita yang diterapi dengan
imatinib menggunakan kontrasepsi yang sesuai.23 kasus wanita hamil
dengan
LMK
yang
diterapi
imatinib
telah
dilaporkan
diliteratur.Kecuali satu pasien pada fase akselerasi, semua pasien
diterapi saat fase kronik.Lima kehamilan diakhiri pada awal kehamilan,
empat karena abortus spontan, satu dengan abortus terapeutik.18
kehamilan mencapai persalinan aterm dengan 19 bayi sehat tanpa
kelainan kongenital yang signifikan.Pada wanita imatinib dihentikan
saat diketahui hamil (minggu 4-9 kehamilan). Pada satu pasien
penyakit masuk fase akselerasi, 11 wanita memerlukan terapi lain
meliputi interferon, hydroxyurea, leukapheresis, atau pemberian terapi
imatinib lagi setelah kehamilan. Pada 5 pasien yang mendapat imatinib
menunjukkan respon hematologi yang lengkap.(13)
Konsentrasi imatinib dan metabolit aktifnya, CGP74588,
ditemukan pada darah maternal, plasenta, darah tali pusat, dan air susu
pada dua pasien. Konsentrasinya lebih tinggi di plasenta dibandingkan
darah maternal, namun rendah bahkan tidak terdeteksi pada darah tali
pusat. Temuan ini menunjukkan transfer plasenta yang minimal pada
umur kehamilan lanjut. Terdapat data yang berlawanan dari akibat
penghentian terapi pada prognosis pasien LMK.kebanyakan studi
melaporkan kekambuhan penyakit setelah terapi dihentikan dan hanya
sedikit pasien yang mengalami remisi lengkap setelah terapi
dilanjutkan lagi. Ini menimbulkan pertanyaan kapan penghentian terapi
dapat direkomendasikan untuk pasien dengan remisi lengkap yang
ingin mempertahankan kehamilannya. Masih dipertanyakan apakah
wanita hamil harus menghentikan terapi mengingat resiko progresifitas
penyakit, ataukah melanjutkan dengan terapi lain. Sebaiknya, pada
pasien yang didiagnosa LMK saat kehamilan, imatinib tidak menjadi
obat pilihan berkaitan dengan kurangnya data dan resiko kelainan
kongenital.Imatinib dapat diberikan pada kasus khusus dengan fase
akselerasi yang menolak terminasi kehamilan, dan mereka yang tidak
dapat mentoleransi terapi interferon. Generasi kedua inhibitor tirosin
kinase oral ( seperti Dasatinib, Nilotinib) sekarang masih terus diteliti,
data pemakaiannya dalam kehamilan masih sedikit dilaporkan.(13)
2. Interferon-alpha
Sebelum berkembangnya Imatinib mesylate, interferon alpha
adalah terapi pilihan untuk kebanyakan pasien LMK.Interferon alpha
menghambat proliferasi sel dengan efeknya pada sintesa protein,
degradasi RNA dan kemungkinan modulasi sistem imun.Obat ini tidak
menghambat sintesis DNA. Melihat berat molekulnya (19 kD)
interferon alpha tidak melewati barier plasenta. Tidak ada mutasi atau
teratogenisitas yang didapatkan pada percobaan dengan hewan.Dua
laporan
penting
tentang
terapi
interferon
selama
kehamilan
menggambarkan 40 kasus, delapan diantaranya diterapi saat trimester
satu.Tidak didapatkan malformasi janin ketika interferon diberikan
sebagai terapi tunggal.Persalinan preterm terjadi pada 4 wanita dan
pertumbuhan janin terhambat ditemukan pada 6 bayi. Beberapa laporan
lain menyebutkan pasien hamil diterapi dengan interferon. Semua
kehamilan mendapatkan bayi sehat tanpa kelainan dan luaran maternal
yang normal. Walaupun data masih sedikit namun interferon alpha
dianggap aman pada kehamilan dan merupakan obat pilihan pada
pasien LMK yang hamil.(13)
3. Hydroxyurea
Hydroxyurea adalah obat sitotoksik yang menghambat sintesis
DNA.Umum digunakan pada pasien LMK sebelum ditemukan
imatinib. Walaupun sampai 90% pasien yang mendapat hydroxyurea
mengalami
remisi
klinik
dan
hematologi,
terapi
ini
tidak
memperpanjang usia penderita, dan jarang memberikan respon
sitogenetik.
Beberapa
kasus
administrasi
hydroxyurea
dalam
kehamilan telah dilaporkan. Satu penelitian dari 31 pasien dan review
terhadap 19 wanita dengan kelainan darah lain yang diterapi dengan
obat ini pada berbagai umur kehamilan. Dari total 50 kasus ada dua
kasus kematian janin dalam rahim (didapatkan pada pasien yang
diterapi saat trimester satu), tiga dengan malformasi minor (hip
dysplasia, unilateral renal dilatation, pilonidal sinus), dan 9 kasus
persalinan preterm. Paparan pada trimester dua dan tiga dihubungkan
dengan peningkatan resiko pre-eklampsia.Berdasarkan data yang ada,
maka terapi hydroxyurea sebaiknya dihindari saat trimester satu. Dapat
diberikan pada pasien yang tidak mentoleransi terapi interferon selama
trimester dua dan tiga.(13)
4. Leukapheresis
Leukapheresis dapat dikerjakan pada penanganan leukemia
akut dan kronik untuk reduksi cepat jumlah leukosit yang tinggi pada
pasien
dengan
ancaman
oklusi
vaskular.Pengalaman
terapi
leukapheresis dalam kehamilan sangat sedikit dan hanya didapatkan
dua laporan kasus.Pada kedua kasus leukapheresis adalah terapi
tunggal untuk LMK dan dapat ditoleransi dengan baik oleh ibu dan
janin. Selain itu hal ini dapat merupakan alternatif terapi jangka pendek
untuk pasien hamil mendekati akhir trimester satu.(13)
5. Transplantasi sumsum tulang (stem cell transplantation)
Transplantasi sumsum tulang masih menjadi terapi pilihan yang
penting bagi pasien LMK, utamanya usia muda yang gagal diterapi
dengan imatinib. Masih belum ditemukan laporan tentang transplantasi
sumsum tulang pada kehamilan dan efek samping dari terapi ini pada
kehamilan.Ini masih merupakan kontra indikasi selama kehamilan.(13)
4.7 Prognosis
Menilai faktor prognosis saat diagnosis perlu dilakukan.Yang
terpenting adalah identifikasi dari stadium atau fase penyakit, namun pada fase
kronik awal informasi prognosis yang penting didapat dari gambaran klinik
dan laboratoris (terlihat pada table skor prognosis menurut Sokal atau
Hasford).Sistem skor ini membedakan antara pasien dengan resiko rendah,
intermediet, dan resiko tinggi.Perubahan sitogenetik seperti delesi kromosom
9 juga mempengaruhi prognosis, namun lokasi dari delesi juga menjadi
perhatian. Selain itu tingkat dan waktu dari hematologi, sitogenetik, dan
respon molekuler berguna sebagai informasi prognosis.(16)
Gambar 4.8 Skor prognosis menurut Sokal dan Hasford(16)
BAB V
PERMASALAHAN
Beberapa permasalahan pada kasus leukemia mieloid kronik dalam kehamilan
ini antara lain :
5.1 Masalah Diagnosis Leukemia Mieloid Kronik dalam Kehamilan.
5.2 Masalah Pengaruh Kehamilan terhadap Leukemia Mieloid Kronik.
5.3 Masalah Pengaruh Leukemia Mieloid Kronik terhadap Kehamilan.
5.4 Masalah Penatalaksanaan Leukemia Mieloid Kronik dalam Kehamilan.
5.5 Masalah Pengaruh Tirosin Kinase Inhibitor pada Reproduksi dan
Kehamilan.
5.5.1
Pengaruh pada fertilitas.
5.5.2
Pengaruh pada konsepsi dan kehamilan.
5.5.3
Pengaruh pada persalinan.
5.5.4
Pengaruh pada post partum.
5.5.5
Pengaruh pada perkembangan bayi baru lahir dan anak.
5.6 Masalah Perencanaan Kehamilan pada Pasien Leukemia Mieloid Kronik
dalam Terapi dengan Tirosin Kinase Inhibitor.
5.6.1
Kehamilan yang tidak direncanakan.
5.6.2
Kehamilan yang direncanakan.
5.6.3
Kehamilan pada fase lanjut.
5.7 Masalah Prognosis.
5.8 Masalah Obstetri Sosial dan Aspek Psikososial.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Masalah Diagnosis Leukemia Mieloid Kronik dalam Kehamilan
Gejala yang ditemukan pada LMK seringkali non spesifik dan banyak
diantaranya seperti lelah, lemah, sesak, dan badan lemas merupakan keluhan
umum dalam kehamilan yang sering menutupi gejala penyakit itu sendiri.Namun
gejala
paling
umum
dari
LMK,
muncul
pada
90%
kasus
adalah
splenomegali.Tanda dan gejala granulositopenia atau trombositopenia tidak
selalu muncul dan biasanya menunjukkan transformasi kedalan fase akselerasi
atau fase blast. Meningkatnya jumlah leukosit dan anemia, sering didapatkan saat
diagnosis.(3)
Pada laporan kasus ini, diagnosis sudah ditegakkan sebelum terjadinya
kehamilan dengan analisa PCR, direncanakan biopsi sumsum tulang namun
pasien menolak. Dan pemeriksaan PCR monitoring lanjutan belum dikerjakan,
monitoring dilakukan lewat pemeriksaan serial darah lengkap tiap dua minggu,
didapatkan remisi hematologi, namun profil sitogenetik tidak diketahui. Dan
apakah kehamilan mempengaruhi terjadinya remisi pada pasien, belumlah jelas.
6.2 Masalah Pengaruh Kehamilan terhadap Leukemia Mieloid Kronik
Pasien LMK memiliki resiko trombosis lebih rendah dibandingkan penyakit
mieloproliferatif lainnya seperti polisitemia vera dan trombositopenia esensial.
Walaupun kehamilan normal adalah keadaan hiperkoagulasi dengan berbagai
mekanisme, perubahan pada faktor pembekuan (seperti level fibrinogen, faktor
VII dan VIII) dan inhibitor koagulasi (seperti protein S).Aktivitas fibrinolitik
berkurang selama kehamilan dan persalinan, dan kembali normal segera setelah
plasenta lahir.Pengaruh kehamilan pada sistem koagulasi ini muncul sejak bulan
ketiga gestasi. Resiko trombosis selama kehamilan adalah 0,1%, dan pada segera
setelah post partum resikonya 0,2-0,4%. Namun ditemukan bukti bahwa leukosit
memiliki beragam interaksi dengan platelet dan dinding pembuluh darah, dan
kemungkinan mempunyai peran dalam patogenesis tombosis.Walaupun estrogen
dianggap memiliki peran dalam proliferasi sel leukemia dan reseptor estrogen
telah ditemukan dalam sel leukemia.Kehamilan sendiri dianggap tidak
mempunyai efek merugikan pada perjalanan LMK.Median ketahanan hidup pada
wanita dengan LMK yang hamil selama perjalanan penyakitnya tidak berbeda
signifikan dari harapan hidup pasien LMK tidak hamil.(3,17)
Walaupun pengaruh kehamilan terhadap proses kelainan hematologi ini terus
diperdebatkan, tapi tidak didapatkan data jelas yang mendukung hipotesis.
Perjalanan penyakit tidak terpengaruh oleh kehamilan pada sebagian besar kasus.
6.3. Masalah Pengaruh Leukemia Mieloid Kronik terhadap Kehamilan
LMK terutama yang tidak terkontrol, dapat berakibat pada insufisiensi
plasenta, dan meningkatkan resiko prematuritas dan mortalitas. Efek potensial
dari hiperleukositosis, dan kadang trombositosis terhadap perjalanan kehamilan
dan perkembangan janin menjadikan intervensi terapi diperlukan.(17)
Pengaruh terbanyak pada kehamilan dan janin terbanyak disebabkan karena
pemberian kemoterapi selama kehamilan, hal ini akan dibahas selanjutnya.
6.4 Masalah Penatalaksanaan Leukemia Mieloid Kronik dalam Kehamilan
Kemoterapi selama kehamilan dapat memberi efek buruk pada janin, bayi baru
lahir, dan ibu sendiri.Efek merugikan pada janin dan bayi baru lahir termasuk
malformasi, teratogenesis, mutasi, karsinogenesis, toksisitas organ, dan
perkembangan neurologi abnormal.Efek merugikan pada ibu termasuk keguguran
spontan dan potensi infertilitas.Sebenarnya semua agen kemoterapi dapat
melewati plasenta.Toksisitas pada janin tergantung pada waktu terapi
berhubungan dengan fase dari perkembangan janin. Pada masa pre-embrionik
(konsepsi sampai 17 hari setelah konsepsi), sel-sel dari konsepsi membelah
dengan cepat, jika sebagian besar sel terpengaruh dapat terjadi abortus spontan,
namun ketika keseimbangan regulasi sel masih dapat menggantikan sel yang
rusak, mungkin tidak terjadi efek jangka panjang. Pada fase embrionik (3-8
minggu
setelah
konsepsi),
sel
berdiferensiasi
dan
membentuk
sistem
organ.Kerusakan pada fase ini dapat berakibat pada efek permanen dari organ
terkait.Pada fase fetal (dari 8 minggu setelah konsepsi), pertumbuhan dan
maturasi berlanjut.Korteks serebral, traktus gastrointestinal, glomerolus ginjal
berlanjut untuk berdiferensiasi dan tetap rentan terhadap efek kemoterapi.Pada
percobaan hewan, ditemukan semua obat kemoterapi telah dihubungkan dengan
malformasi kongenital.Dosis pada manusia sebenarnya lebih rendah.Hal ini
menyulitkan mengambil perbandingan dengan percobaan hewan.Kemoterapi
pada trimester satu meningkatkan resiko abortus spontan dan kematian fetus, dan
dihubungkan dengan 10-20% resiko malformasi.Resiko ini menurun ketika
dipakai agen tunggal kemoterapi. Paparan pada trimester dua dan tiga
dihubungkan dengan resiko pertumbuhan janin terhambat, kematian janin,
persalinan preterm, dan berat lahir rendah, namun data tidak menunjukkan
peningkatan resiko malformasi kongenital. Dengan adanya data diatas maka perlu
untuk menunda kemoterapi sampai trimester kedua setelah organogenesis kecuali
penundaan memperburuk keadaan ibu.Seringkali penundaan terapi tidak selalu
menjadi
pilihan, dan
ibu
dapat
diberikan
konseling untuk
terminasi
kehamilan.Kehamilan dapat menurunkan metabolisme obat sampai meningkatkan
volume plasma, albumin menurun, meningkatkan metabolisme hepatik, klirens
ginjal, motilitas lambung, dan amnion dapat menjadi ruang ketiga. Walaupun
studi tentang penyesuaian dosis pada kehamilan masih sedikit, sebaiknya
digunakan dosis standar yang telah diketahui.(8)
6.5 Masalah Pengaruh Tirosin Kinase Inhibitor pada Reproduksi dan
Kehamilan
6.5.1
Pengaruh pada fertilitas
Data dari penelitian dengan hewan, berkaitan dengan efek TKI pada
fungsi ovarium masih sedikit.Pada tikus betina yang diberikan imatinib
selama 14 hari sebelum perkawinan sampai hari keenam gestasi, fertilitas
tidak terpengaruh. Tikus yang diberikan dosis lebih dari sama 45mg/kg
mengalami keguguran, serta kematian dini bayinya antara post partum
hari 0 sampai 4. Jika diberikan selama organogenesis pada dosis lebih dari
sama 100 mg/kg mengakibatkan efek teratogenik seperti exencephaly atau
encephalocele, tidak adanya tulang frontal atau parietal. Dosis lebih tinggi
dari 100 mg/kg didapatkan kematian janin pada hampir semua hewan
percobaan. Kematian janin tidak didapatkan pada dosis kurang dari sama
30 mg/kg (kurang lebih setara dengan dosis harian 300 mg). Pada
penelitian oleh Melo dan Gosden, tikus betina diberikan imatinib 150
mg/kg per oral selama dua bulan.Ovarium diteliti mengenai perbedaan
morfologi dan perubahan pada jumlah folikel di semua tahap
perkembangan (primordial, primer, sekunder, dan tersier). Tidak ada
perbedaan dari pengamatan antara kelompok imatinib dan kontrol dan
sebagai tambahan tidak ada peningkatan dari folikel atresia pada
kelompok imatinib, jadi disimpulkan tidak ada efek pada fertilitas.(18)
Pada manusia berdasarkan publikasi terbaru dilaporkan adanya
kegagalan ovarium prematur pada wanita usia 30 tahun yang meminum
imatinib sejak dua tahun. Walau laporan ini belum ditelaah lebih lanjut,
namun dianjurkan pada wanita usia reproduksi yang memiliki suami
untuk dilakukan kriopreservasi embrio sebelum terapi. Bagi yang tidak
memiliki pasangan perlu didiskusikan untuk pengambilan oosit untuk
simpan beku oosit.(18)
Pada laporan kasus ini, walaupun pasien sebelumnya mengalami
periode amenorea, namun kehamilan dapat terjadi sehingga dapat diambil
kesimpulan pada kasus ini fertilitasnya tidak terpengaruh.
6.5.2
Pengaruh pada konsepsi dan kehamilan
Berbagai literatur menyebutkan banyak laporan kasus luaran
kehamilan pada wanita yang diterapi imatinib saat konsepsi, tapi
kemudian berhenti, ataupun yang tetap meneruskan terapi selama hamil,
dan hampir semua dilaporkan mendapatkan luaran yang baik.Yang
terbaru, data luaran lengkap dilaporkan pada 125 wanita dari total 180
orang yang diterapi imatinib. Mayoritas dari wanita ini (70%) meminum
imatinib hanya pada trimester satu tapi 26% tetap dalam terapi selama
kehamilan, sampai terjadi abortus spontan atau medisinalis, atau sampai
kelahiran. 63 dari 125 kehamilan mendapatkan bayi hidup tanpa kelainan,
dimana 18 wanita tetap mendapat imatinib selama hamil. 35 wanita (28%)
menjalani terminasi elektif, tiga diantaranya setelah diketahui adanya
kelainan janin. 18 kehamilan (14,4%) berakhir dengan abortus spontan,
dari sisa sembilan bayi, delapan lahir hidup dan satu lahir mati dengan
kelainan kongenital. Dari total 12 kehamilan yang didapatkan kelainan
pada bayi, data dosis tapi tanpa data durasi terapi imatinib yang diketahui,
namun tidak cukup data untuk mengetahui hubungan antara dosis
kumulatif dan adanya kelainan janin.Tidak ada laporan paparan terhadap
alkohol, rokok, atau obat selama hamil, dan tidak ada yang mendapat
kemoterapi dosis tinggi menjelang kehamilan. Walaupun kebanyakan data
ini didapatkan dari laporan kasus dan berpotensi bias namun masih dapat
dipercaya sebagai data efek imatinib pada kehamilan. Informasi ini
dianggap cukup untuk menganjurkan pada pasien wanita menghindari
konsepsi dan kehamilan selama terapi imatinib.(18)
Pada laporan kasus ini, walaupun pasien telah mendapat terapi
imatinib sejak sebelum konsepsi sampai dengan umur kehamilan 23
minggu, tapi selama ANC dan monitoring dengan USG tidak didapatkan
ancaman keguguran ataupun kelainan mayor pada bayi.
6.5.3
Pengaruh pada persalinan
Walaupun pemberian kemoterapi pada trimester dua dan tiga telah
diterima dan dianggap menimbulkan lebih sedikit komplikasi pada
janin.Namun, perhatian hendaknya diberikan bila kemoterapi menjelang
persalinan.Idealnya pasien harus pulih dari efek samping kemoterapi yang
bisa menyebabkan pansitopenia sebelum persalinan.Jika leukemia
didiagnosis pada kehamilan lanjut maka terminasi lebih dini perlu
dipertimbangkan dengan pemberian terapi suportif seperti tranfusi produk
darah dan penundaan kemoterapi, mengingat adanya resiko perdarahan
karena anemia ataupun trombositopenia. Persalinan pervaginam bukan
merupakan kontraindikasi.(19)
Pada pasien dalam laporan kasus ini, pasien datang dalam keadaan
belum inpartu, kemudian memasuki
fase aktif dan persalinan terjadi
secara pervaginam tanpa ditemukan komplikasi selama dan sesudah
partus.
6.5.4
Pengaruh pada post partum
Imatinib dan metabolitnya diekskresi banyak pada air susu tikus betina
yang diberikan 100 mg/kg perhari. Konsentrasi di air susu lebih kurang
tiga kali lebih tinggi dari konsentrasi plasma. Diperkirakan sekitar 1,5%
dosis maternal diekskresi ke air susu, yang setara dosis pada bayi dari
30% dosis maternal per kilogram berat badan. Selanjutnya kandungan
imatinib telah diukur dalam air susu wanita yang meminum imatinib post
partum. Dua dari tiga laporan telah mengidentifikasi ekskresi substansial
dari imatinib dalam air susu, dan pada satu laporan didapatkan akumulasi
kandungan dari metabolit aktif N-DesM-IM sekitar tiga kali lipat pada air
susu dibandingkan di plasma. Jadi mengingat adanya potensi efek
samping yang serius pada bayi, maka menyusui tidak dianjurkan.(18)
Pasien kami pada periode post partum dan masa nifas tidak mengalami
penyulit yang berarti. Karena pertimbangan terapi Imatinib telah
dihentikan sejak trimester dua maka pasien diperbolehkan menyusui.
6.5.5
Pengaruh pada perkembangan bayi baru lahir dan anak.
Fakta bahwa sistem saraf pusat terus berkembang selama kehamilan
menjadi alasan kekhawatiran berhubungan dengan luaran perkembangan
neurologi jangka panjang pada anak-anak yang terpapar kemoterapi intra
uterin pada terapi berbagai keganasan, termasuk leukemia. Keganasan
pada anak dan infertilitas masa mendatang adalah kekhawatiran lain pada
anak-anak ini. Data mengenai isu ini masih terbatas karena jarangnya
kasus kehamilan dengan leukemia dan kesulitan dalam pengawasan
jangka panjang. Monitoring jangka panjang ( sampai umur 6-29 tahun,
rata-rata 18,7 tahun) pada 84 anak yang lahir dari ibu dengan keganasan
hematologi, termasuk 29 pasien leukemia akut, telah melaporkan
perkembangan neurologi dan psikologi yang normal. Studi ini dapat
sebagian menjawab isu reproduksi yaitu semua keturunan menunjukkan
perkembangan seksual normal dan 12 diantaranya telah menjadi orang tua
dari
anak
yang
berkembang
normal.Akhirnya
tidak
didapatkan
peningkatan resiko nyata dari subjek dengan populasi umum. Laporan ini
didukung oleh review dari 111 kasus anak yang lahir dari ibu menderita
berbagai keganasan yang mendapat kemoterapi selama hamil. Anak-anak
ini, yang diikuti untuk periode waktu yang berbeda-beda (1 sampai 19
tahun) mempunyai perkembangan neurologi normal
berdasarkan
gambaran perkembangan umum dan tes kognitif. Jadi dapat diambil
kesimpulan, walaupun berdasarkan pada data-data yang masih sedikit,
bahwa
kemoterapi
tidak
mengakibatkan
akibat
merugikan
pada
perkembangan neurologi, fertilitas, atau resiko keganasan pada masa
mendatang.(13)
Pada laporan kasus ini didapatkan luaran bayi aterm, dengan berat lahir
normal, bayi lahir tanpa asfiksia.Pada pemantauan sampai dengan satu
tahun pada bayi tidak didapatkan gangguan pertumbuhan maupun
perkembangan neurologi, pemantauan lebih lanjut masih diperlukan.
6.6 Masalah Perencanaan Kehamilan pada Pasien Leukemia Mieloid Kronik
dalam Terapi dengan Tirosin Kinase Inhibitor
6.6.1
Kehamilan yang tidak direncanakan
Dalam kasus kehamilan yang tidak direncanakan saat dalam terapi
imatinib, mempertimbangkan resiko pada janin bila obat dilanjutkan
dibandingkan resiko pada ibu bila pengobatan dihentikan atau ditunda
masih menjadi pilihan sulit.Dari pandangan janin imatinib seharusnya
dihentikan mengingat resiko potensial adanya kelainan perkembangan
janin, tapi dari pandangan maternal hal ini bertentangan. Pilihan lain
adalah melanjutkan imatinib dan kehamilan dimonitor ketat, mengingat
keputusan terminasi dikerjakan bila didapatkan kelainan janin. Pada
keadaan ini orang tua hendaknya waspada terhadap terhadap resiko akibat
paparan yang terjadi pada trimester pertama. Pertimbangan termasuk
keinginan pasien, status penyakit ibu, respon awal terhadap imatinib,
ketersediaan terapi alternatif yang sesuai, dan kemampuan menimbulkan
lagi respon imatinib setelah dihentikan dalam periode tertentu.(18)
6.6.2
Kehamilan yang direncanakan
Nasehat yang diberikan pada wanita yang ingin hamil setelah diagnosis
dan terapi awal dari penyakitnya mungkin berbeda-beda tergantung
respon terhadap terapi.Adanya hubungan kelainan kongenital dengan
dengan paparan imatinib di trimester pertama, obat hendaknya tidak
dilanjutkan sebelum mulai hubungan seksual tanpa kontrasepsi.Terdapat
kontroversi tentang lama waktu antara penghentian terapi dan hubungan
seksual tanpa kontrasepsi namun sepertinya cukup beralasan untuk
menganjurkan beberapa hari agar kandungan obat telah dikeluarkan
tubuh.Pada pasien dengan respon yang optimal, termasuk remisi
molekuler lengkap, pasien dapat langsung menghentikan terapi untuk
memungkinkan bila terjadi konsepsi.Mengingat pasien tidak minum
imatinib selama kehamilannya, maka dianjurkan agar periode berhenti
minum obat sampai menjadi hamil tidak melebihi enam bulan.Pasien
dengan respon terapi yang baik sepertinya tidak memerlukan terapi
sampai setelah persalinan, walaupun monitoring dengan RT-PCR
hendaknya dikerjakan. Bila respon terhadap TKI kurang baik, maka
penundaan terapi dapat menyebabkan relaps baik sitogenetik dan
hematologik.(18)
Ault dan kawan-kawan melaporkan 10 wanita yang menghentikan
terapi imatinib karena kehamilan. Sembilan orang mengalami respon
hematologi yang lengkap ketika imatinib dihentikan, enam mengalami
peningkatan metafase Ph-positif dan lima tidak lagi menunjukkan respon
hematologi lengkap. Pada median 18 bulan sejak sembilan wanita ini
memulai lagi terapinya, semuanya didapatkan respon hematologi lengkap,
walaupun hanya tiga yang didapatkan respon sitogenetik lengkap.Data
yang lebih melegakan didapatkan dari laporan Rousselot dan kawankawan.Imatinib dihentikan pada 12 pasien yang telah mengalami respon
molekuler lengkap dalam periode sedikitnya dua tahun. Enam
menunjukkan relaps molekuler dalam lima bulan sejak obat dihentikan,
dan enam lainnya tetap dalam remisi lengkap pada monitoring 18 bulan.
Dari mereka yang relaps, mayoritas mendapatkan kembali respon
molekuler lengkap dalam periode relatif singkat setelah terapi dimulai
kembali.(18)
6.6.3
Kehamilan pada fase lanjut
Hal ini biasanya kehamilan tidak terencana dan penanganannya sangat
sulit dan bermasalah.Data yang berhubungan banyak didapatkan pada
pasien yang menderita leukemia akut selama kehamilan.Dalam usaha
untuk memberi pasien kesempatan mendapatkan remisi (atau dalam kasus
LMK, fase kronik yang kedua), perawatan harus dikerjakan dengan tepat
dan pemilihan waktu terminasi yang sesuai.Kebanyakan pasien pada fase
lanjut telah sebelumnya mendapat imatinib.Jika kehamilan di trimester
satu saat diagnosis, menunda terapi sampai setelah persalinan bukan
merupakan pilihan.Kemoterapi pada trimester pertama membawa resiko
tinggi terhadap kelainan kongenital, sekitar 10-23% pada studi pasien
leukemia akut.Resiko yang bisa terjadi harus dijelaskan pada ibu, dan
pasien harus menyadari konsekuensi pada kesehatannya sendiri bila
menunda
terapi,
pada
situasi
ini
kebanyakan
wanita
memilih
menghentikan kehamilannya.Pemberian kemoterapi pada trimester dua
dan tiga telah diterima dan dianggap menimbulkan lebih sedikit
komplikasi pada janin.(18)
6.7 Masalah Prognosis
Ketahanan hidup (survival) wanita hamil dengan leukemia mieloid akut
maupun kronik, telah bertambah dengan adanya kemoterapi modern dan
perawatan intensif. Angka remisi 70-75% dan median ketahanan hidup
meningkat 6-12 bulan telah dilaporkan pada literatur dan tidak memiliki
perbedaan bermakna antara wanita hamil dan tidak hamil.(20)
6.8 Masalah Obstetri Sosial dan Aspek Psikososial
Sebagai seorang calon ibu, adanya kanker dalam kehamilan seperti LMK
adalah sebuah pengalaman yang dramatis ketika dua kenyataan yang
bertentangan bertemu, yaitu proses terbentuknya kehidupan dan
proses
menghancurkan kehidupan. Bersamaan dengan keadaan bahagia dan penuh
harapan, datang pukulan besar bersama dengan kekhawatiran akan kematian.
Dengan berbagai pertimbangan medis, psikologis, religius, sosial, dan standar
moral yang melanda baik pasien maupun dokter akan terjadi pergulatan untuk
mencari solusi terbaik untuk menemukan kombinasi terbaik demi keuntungan
pasien yang maksimal dan kerugian janin yang minimal. Kadangkala, ini sulit
didapatkan.Kehamilan bisa saja diakhiri, terutama pada trimester satu, atau ibu
dapat memilih opsi menunda obat anti kanker sampai saat persalinan dengan
resiko peningkatan biaya dan resiko pada kesehatannya sendiri. Penanganan
multidisiplin meliputi onkologis, obstetrikus, ahli bedah, neonatologis, ahli
genetika, perawat, psikiater, psikologis, dan pekerja sosial hendaknya merangkul
pasien dan keluarganya, mengetahui keadaan intelektual dan psikologis serta
kebutuhan mereka, memberi informasi cukup, dan mendampingi mereka selama
proses pengambilan keputusan dan selama terapi. Beberapa pendekatan bersifat
individual dan menghormati pilihan dan keinginan pasien. Keputusan akhir yang
dicapai hendaknya sebuah gabungan dari pemahaman akan proses penyakit dan
pilihan terapinya, saran medis, pengakuan akan nilai personal dan kepercayaan,
menenangkan konflik yang terjadi pada keluarga, dan kesadaran terhadap
dukungan yang tersedia.(21)
Berdasarkan pada keputusan yang diambil, pasien hamil dapat diliputi oleh
perasaan takut, depresi, kehilangan harapan, kemarahan, rasa bersalah, dan
malu.Terkejut, marah, penolakan, dan penerimaan adalah tahap yang biasanya
terjadi dimana pasien bisa ada di tahap mana saja.Dukungan psikososial dari
berbagai disiplin ilmu harus bermuara pada keterlibatan aktif dari pasien dan
keluarga pada pengobatannya. Berubahnya cara hidup, serta komunikasi yang
lebih baik antara pasien dan lingkungannya. Mengurangi perasaan bersalah dan
memfasilitasi perubahan emosi juga bermanfaat. Berbagai program intervensi
psikososial hendaknya menyebar tidak hanya di rumah sakit, tapi berbagai tempat
seperti lingkungan kerja, rumah tangga, dan masyarakat.(21)
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Seorang wanita usia 32 tahun, suku Bali, agama Hindu, pekerjaan petani
anggrek. Keluhan awal perut membesar, pemeriksaan fisik didapatkan
splenomegali (Scuffner VI-VII), pemeriksaan penunjang didapatkan dengan
leukositosis, blood smear kesan LMK. Diagnostik molekuler PCR Leukemia
(bcr-abl) : tampak fusi gene bcr abl b3a2 pada amplicon product 385 bp
menghasilkan ekspresi protein p210.Didiagnosa dengan leukemia mieloid kronik,
kromosom Ph positif.Terapi Gleevec sejak September 2011 dosis 1x400 mg.
Setelah terapi dalam pemantauan terjadi remisi hematologik.
Datang ke Poliklinik Kebidanan dan Kandungan, didapatkan dengan hamil
G3P2002 23-24 minggu, tunggal/hidup, riwayat LMK dalam terapi tirosin kinase
inhibitor (Gleevec). Selama kehamilan trimester kedua sampai partus terapi
Gleevec ditunda dengan monitoring pemeriksaan darah lengkap tiap dua
minggu.Selama ANC tidak didapatkan keluhan, pemantauan laboratorium,
monitoring janin dengan USG tidak didapatkan kelainan dengan pertumbuhan
janin dalam batas normal.Kehamilan mencapai aterm.Datang ke IRD dengan
diagnosa G3P2002 39-40 mg, tunggal/hidup, CML, KPD. Dalam observasi
pasien inpartu, persalinan spontan pervaginam dengan lahir bayi laki-laki, 3600
gram, AS 8-9, tanpa kelainan. Masa nifas tidak didapatkan masalah, pasien
menyusui bayinya. Sampai umur anak satu tahun pertumbuhan dan
perkembangan anak dalam batas normal. Enam bulan setelah partus didapatkan
kembali leukositosis, dengan WBC terakhir pada bulan Mei 2013 37,82. Pasien
direncanakan melanjutkan kembali terapi tirosin kinase inhibitor.
Yang menarik dari kasus ini adalah selama kehamilan didapatkan remisi
hematologik, walaupun remisi secara sitogenetik tidak dapat diketahui karena
kendala alat dan biaya.Janin yang terpapar kemoterapi selama trimester satu,
mengalami perkembangan normal dan lahir tanpa kelainan.
7.2 Saran
Kehamilan dengan leukemia mieloid kronik merupakan kasus yang sangat
jarang terjadi.Diagnosa pasti dan pengobatan masih membutuhkan biaya yang
mahal.Keberhasilan pengobatan bergantung pada kepatuhan pasien, keteraturan
terapi, dan monitoring berkala sampai terjadi remisi baik hematologik dan
sitogenetik.Sebaiknya
pada wanita dengan LMK yang merencanakan hamil
diberikan konseling yang adekuat tentang resiko-resiko pada bayi dan juga ibu
sendiri. Pada yang terlanjur hamil dianjurkan penghentian kemoterapi dengan
monitoring ketat, terminasi dapat dikerjakan bila didapatkan kelainan pada
janin.Idealnya selama terapi wanita disarankan memakai kontrasepsi yang
adekuat.Untuk meningkatkan pelayanan disarankan melengkapi alat penunjang
diagnostik seperti RT-PCR serta penyediaan obat dengan biaya yang
terjangkau.Kerjasama yang baik sangat diperlukan antara dokter ahli kebidanan,
dokter ahli penyakit dalam khususnya hemato onkologi, dokter anak, dokter
patologi klinik, dan pihak-pihak terkait dalam perawatan pasien hamil dengan
LMK.
DAFTAR PUSTAKA
1. Skoumalova, I., Vondrakova, J., Rohon, P., Rozmanova, S., Jarosova, M.,
Indrak, K., Prochazka, M., Santava, A., Faber, E. Successful Childbirth in a
Patient with Chronic Myelogenous Leukemia Treated with Imatinib Mesylate
during Early Pregnancy. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech
Repub, 2008, 152, (1), pp.121-123.
2. Brenner, B., Avivi, I., Lishner, M. Haematological Cancers in Pregnancy.
Lancet, 2012, 379, pp.580-87.
3. Hurley, T.J., McKinnell, J.V., Irani, M.S. Hematologic Malignancies in
Pregnancy. Obstet Gynecol Clin N Am, 2005, 32, pp. 595-614.
4. Sukrawan, G., Adnyana, W.L., Suega, K. Seorang Penderita Hamil dengan
Leukemia Mieloid Akut. J Peny Dalam, 2011, 12, pp.134-141.
5. Vandenbriele, C., Dierickx, D., Amant, F., Delforge, M. The Treatment of
Hematologic Malignancies in Pregnacy. F, V & V in Obgyn, 2010, 2 (2),
pp.74-87
6. Bakta, I.M., Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2007.
7. Clarkson, B., Strife, A., Wisniewski, D., Lambek, C.L., Liu, C. Chronic
Myelogenous Leukemia as a Paradigm of Early Cancer and Possible Curative
Strategies. Leukemia, 2003, 17, pp.1211-1262.
8. El-Hemaidi, I., Robinson, S.E. Management of Haematological Malignancy in
Pregnancy. Best Practice & Research Clinical Hematology, 2012, 26, pp.149160.
9. Goldman, J.M., Gordon, M.Y. A History of the Chronic Leukemias. In:
Wiernik, P.H., Goldman, J.M., Dutcher, J.P., Kyle, R.A. Neoplastic Disease of
the Blood, Fourth Ed. London: Cambridge University Press, 2009. p.3-8
10. Cartwright, R. Epidemiology of the Chronic Leukemias. In: Wiernik, P.H.,
Goldman, J.M., Dutcher, J.P., Kyle, R.A. Neoplastic Disease of the Blood,
Fourth Ed. London: Cambridge University Press, 2009.
11. Garcia-Manero, G., Faderl, S., O’Brien, S., Cortes, J., Talpaz, M., Kantarjian,
H.M. Chronic Myelogeous Leukemia: A Review and Update of Therapeutic
Strategies. American Cancer Society, 2003, 98 (3), pp.437-457.
12. Kim, D.W., Banavali, S.D., Bunworasate, U., Goh, Y.T., Ganly, P., Huang,
H., Irving, I., Jootar, S., Goh, H.G., Koh, L.P., Li, W., Naoe, T., Ng, S.C.,
Purushotaman, V., Reksodiputro, H., Shih, L.Y., Tang, J.L., Tojo, A., Wang,
J., Wong, R. Chronic Myeloid Leukemia in the Asia-Pacific Region: Current
Practice, Challenges and Opportunities in the Targeted Therapy Era.
Leukemia Research, 2010, 34, pp.1459-1471.
13. Kantarjian, H.M., Deisseroth, A., Kurzrock, R., Estrov, Z., Talpaz, M. Chronic
Myelogenous Leukemia: A Concise Update. Blood, 1993, 82 (3), pp 691-703.
14. John, B. Hematological and Molecular Response Evaluation of Patients with
Chronic Myeloid Leukemia on Treatment with Imatinib. Dissertation.
Bangalore: Department of general medicine St John’s Medical College and
Hospital, 2010.
15. Shapira, T., Pereg, D., Lishner, M. How I Treat Acute and Chronic Leukemia
in Pregnancy. Blood Reviews, 2008, 22, pp.247-259.
16. Hehlmann, R., Hochhaus, A., Baccarani, M. Chronic Myeloid Leukaemia.
Lancet, 2007, 370, pp.342-50
17. Griesshammer, M., Bergmann, L., Pearson, T. Fertility, Pregnancy and the
Management
of
Myeloproliferative
Disorders.
Bailliere’s
Clinical
Haematology, 1998, II (4), pp.859-874.
18. Apperley, J. CML in Pregnancy and Childhood. Best Practice & Research
Clinical Hematology, 2009, 22, pp.455-474.
19. Ali, R., Ozkalemkas, F., Ozcelik, T., Ozkocaman, V., Ozan, U., Kimya, Y.,
Koksal, N., Gulten, T., Yakut, T., Tunali, A. Pregnancy under Treatment of
Imatinib and Successful Labor in a Patient with Chronic Myelogenous
Leukemia (CML), Outcome of Discontinuation of Imatinib Therapy after
Achieving a Molecular Remission. Leukemia Research, 2005, 29, pp.971-973.
20. Klamova, H., Markova, M., Moravcova, J., Siskova, M., Cetkovsky, P.,
Polakova, K.M. Response to Treatment in Women with Chronic Myeloid
Leukemia during Pregnancy and after Delivery. Leukemia Research, 2009, 33,
pp.1567-1569.
21. Pentheroudakis, G., Pavlidis, N. Cancer and Pregnancy: Poena Magna, not
Anymore. European journal of Cancer, 2006, 42, pp. 126-140.
Download