Editor: M. Harir Muzakki POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA oleh: Dr. M. Shohibul Itmam, M.H. Judul Buku: Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) xii+352 hlm.; 14.5 x 21 cm ISBN: Penulis: Dr. M. Shohibul Itmam, M.H. Editor: M. Harir Muzakki Desain Sampul: Thafa Tata Letak: Aprilio Diterbitkan oleh: STAIN Po PRESS Jl. Pramuka No. 156 Ponorogo Telp. (0352)481277 E-mail: [email protected] Dicetak oleh: Nadi Offset Jl. Nakulo No. 4A, Dsn. Pugeran, Sleman, Yogyakarta Telp. (0274)6882748 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). FORMULASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA: KOMPROMI ANTARA NEGARA DAN AGAMA? (SEBUAH PENGANTAR) Segala puji hanya milik Allah SWT, hanya atas rahmat dan taufik-Nya penulisan buku yang merupakan disertasi sdr. Muhammad Shohibul Itmam yang diajukan untuk meraih gelar doktor pada Program Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, dapat dihadirkan ke hadapan pembaca. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad Saw, para keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa mencintai dan menjalankan sunnahnya. Berbicara tentang “Positivisasi Hukum Islam di Indonesia (Kajian Terhadap Politik Hukum Era Reformasi)”, meminjam bahasa Noul J. Coulson, melahirkan konflik dan ketegangan, baik dalam proses awal maupun ketika sudah berada di wilayah lembaga legislatif. Hampir tidak ada sebuah undang-undang yang lahir dari rahim lembaga legislatif yang terhormat ini, yang seratus persen mulus, karena sudah pasti ada riak-riak fraksi yang menolak, bahkan hingga sidang paripurna pun, tidak jarang dijumpai ada fraksi yang menempuh cara walk-out. Sebutlah, lahirnya UU No. 33 Tahun 2014 di akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memilih walkout. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia iii Dr. M. Shohibul Itmam Kata Pengantar Sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat para politisi di Senayan tersebut, adalah sesuatu yang amat wajar. Akan tetapi jika menyangkut isu utama tentang jaminan produk halal, rasanya agak aneh. Sementara Jepang saja, hanya karena akan menjadi tuan rumah Olimpiade, “menetapkan” kota Tokyo, sebagai kota halal. Saya yakin, mereka tidak melihat dari sisi politik, tetapi boleh jadi lebih meninjol dari perspektif ekonomi. Ketika saya diminta membuat pengantar, sebagai “promotor” ketika penulis menyiapkan disertasinya, saya merasa tidak bisa menolaknya. Yang jelas, sejauh yang saya ketahui melalui komunikasi akademik, sudah berusaha maksimal mencurahkan kemampuan akademik dan pemikiran untuk dapat menyajikan hasil kerja intelektualnya dalam memotret formulasi hukum Islam di Indonesia menjadi hukum positif. Karena perjalanan kodifikasi dan positifisasi di negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam, ternyata mengalami konflik dan ketegangan, yang kadang-kadang lebih menonjol kepentingan politiknya katimbang sisi untuk memberikan perlindungan dan kemashlahatan bagi masyarakatnya. Padahal sesungguhnya, jika hukum Islam diposisikan sebagai sumber hukum, nilai, value, dan substansi hukum, maka formulasinya akan dirasa lebih smooth, apalagi ketika didasarkan pertimbangan bahwa hukum dihadirkan kepada masyarakat, adalah dalam misi membahagiakan mereka, bukan masyarakat untuk hukum. Inilah sejatinya hukum. Terlebih lagi, jika mengikuti perspektif hukum progresif, atau meminjam bahasa Ushul Fiqh, disebut dengan maqashid al-syariah, yakni kebahagiaan manusia yang bermuara pada memelihara agama, jiwa, akal, keluarga, dan harta. Padahal ketika gagasan regulasi yang terkait dengan hukum Islam, karena di dalamnya ada misi iv Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Kata Pengantar Dr. M. Shohibul Itmam untuk merealisasikan kemashlahatan, kepastian hukum, dan tentu kebahagiaan. Dalam buku ini, penulis berusaha menjelaskan dinamika politik hukum nasional yang tidak terlepas dari adanya saling mempengaruhi (interdependensi) antara hukum Islam dan hukum umum, dalam upaya kodifikasi dan unifikasi hukum nasional dalam program legislasi nasional (PROLEGNAS). Dinamika politik hukum nasional tersebut sesungguhnya terkait dengan kesadaran hukum masyarakat yang merupakan indikator bermanfaat atau tidaknya suatu hukum dalam masyarakat yang diterima sebagai rumusan hukum nasional, di satu sisi, namun juga ada political will dari pemerintah sebagai pemegang otoritas regulatif, dalam ikhtiar mewujudkan kemashlahatan masyarakat sebagai subyek hukum. Apalah artinya hukum dilahirkan, jika tidak menghadirkan kebahagiaan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam upaya menyesuaikan kesadaran hukum nasional tersebut maka sistem hukum Indonesia dibangun atas tiga sumber; hukum adat, hukum barat dan hukum Islam secara eklektik. Harus difahami bahwa, sudah tidak masanya lagi mempertentangkan antara ketiga hukum tersebut, tetapi mana yang secara universal diyakini sebagai instrumen untuk melahirkan keadilan dan kepastian hukum, itulah yang diambil. Era reformasi selaras Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 kemudian Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) sesuai dinamika politik hutkum nasional hingga sekarang merupakan peluang besar bagi upaya positivisasi hukum Islam. Atas dasar realitas tersebut, buku ini kiranya dapat menjadi salah satu bacaan bagi pemerhati ilmu hukum, termasuk di dalamnya hukum Islam dan relevansinya Positivisasi Hukum Islam di Indonesia v Dr. M. Shohibul Itmam Kata Pengantar dengan dinamika politik hukum nasional sebagai referensi yang melengkapi. Dalam buku ini juga dijelaskan hubungan agama dan negara dalam positivisasi di Indonesia, sistem dan pembangunan hukum serta politik hukum Indonesia era reformasi serta beberapa faktor yang menjadi peluang dan tantangan positivisasi hukum Islam di Indonesia. Dalam beberapa pemaparan yang cukup argumentatif, buku ini menjelaskan terjalinnya hubungan agama dan negara dalam positivisasi di Indonesia secara simbiosis mutualistik guna membangun sistem hukum nasional. Sumber hukum manapun mempunyai hak untuk diberdayakan dan diadaptasi sebagai nilai dan khazanah hukum, sejalan dengan nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan fungsi pemerintah sebagai regulator. Sistem dan pembangunan hukum serta politik hukum era reformasi tampak masih belum hilang sama sekali, dampak rekayasa politik hukum Belanda yang berpengaruh hingga sekarang dan mengakibatkan sistem hukum Indonesia belum sesuai kesadaran hukum yang sesungguhnya. Dikhotomi antara ilmu hukum Indonesia dengan ilmu hukum Islam Indonesia merupakan pemicu pudarnya kesadaran hukum nasional. Faktor penyebabnya antara lain kurangnya dukungan secara politik di parlemen dalam program legislasi nasional (PROLEGNAS). Selain itu kontroversi filosofis internal dalam memahami hukum Islam seringkali menyudutkan hukum Islam itu sendiri. Selain itu, nilai hukum Islam yang mengejawantah menjadi tradisi, sebagai nilai yang diakui dalam kesadaran hukum masyarakat diserap secara nasional. Sehingga, positivisasi hukum Islam dalam politik hukum era reformasi adalah upaya integrasi Hukum positif yang dikhotomik dengan Hukum Islam Indonesia. vi Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pada bagian akhir buku ini dijelaskan tentang politik hukum era reformasi yang menunjukkan prospek cerah dalam menjadikan nilai hukum Islam syari’at—fiqh sebagai sumber materi hukum nasional. UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menunjukkan, bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional, rencana strategi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyiapkan regulasi merefer pada nilai, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Karena Indonesia, sebagai negara hukum, yang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler, kompromi antara agama dan negara, adalah bagian dari solusi bagi tumbuhnya sistem hukum Indonesia yang berkeadilan dan bermartabat. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, penulis buku ini berharap dapat memberikan kontribusi positif bagi ikhtiar pembangunan wawasan baru bagi tersusunnya hukum Indonesia dan hukum Islam Indonesia menuju pembangunan hukum nasional yang dapat mewujudkan keadilan dan kebahaiaan masyarakat. Sudah barang tentu, bagi seorang calon ilmuwan, meski buku ini, bermula dari disertasi yang dipertahankan di hadapan majelis penguji yang terdiri dari para guru besar, dapat menjadi starting poin, untuk bisa melahirkan karyakarya berikutnya. Selamat membaca, semoga bermanfaat. Allah a’lam bi alshawab. Semarang, 01 November 2015, Prof. Dr. KH. Ahmad Rofiq, MA (Guru Besar Hukum Islam UIN Semarang). Positivisasi Hukum Islam di Indonesia vii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................iii DAFTAR ISI...............................................................................ix BAB IPENDAHULUAN.......................................................... 1 A. Latar Belakang............................................................. 1 B. Tinjauan Pustaka....................................................... 23 C. Metode Penelitian...................................................... 40 1. Jenis Penelitian................................................... 41 2. Pendekatan dan Sumber Data........................... 42 3. Tehnik Pengumpulan Data................................ 43 4. Pengolahan Data................................................. 44 5. Analisis Data........................................................ 45 6. Validitas/Kesahihan........................................... 45 BAB IILANDASAN TEORI.................................................... 47 A. Hubungan Agama dan Negara dalam Positivisasi Hukum Islam di Indonesia.................... 47 1. Hukum Islam diantara Syarī’ah dan Fiqh.................................................. 47 2. Hukum Nasional dan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional.......................... 50 3. Hubungan Agama dan Negara dalam Positivisasi Hukum............................................. 54 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia ix Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Isi B. Sistem, Pembangunan Hukum Serta Politik Hukum Era Reformasi................................... 63 1. Penataan Sistem Hukum.................................... 69 2. Penataan Kelembagaan Hukum........................ 70 3. Pembentukan dan Pembaruan Hukum............................................. 71 4. Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia.............................................. 73 5. Pemasyarakatan dan Pembudayaan Hukum........................................ 74 6. Peningkatan Kapasitas Profesional Hukum............................................. 75 7. Agenda Infrastruktur Kode Etik........................ 76 C. Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Hukum Islam.......................................... 77 BAB III HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM POSITIVISASI HUKUM DI INDONESIA........................................................... 85 A. Hubungan Agama, Hukum dan Politik di Indonesia.................................................... 85 1. Pergumulan Agama, Hukum dan Politik di Indonesia............................................. 98 2. Teori Teokrasi dan Sekuler dalam Negara Pancasila............................................... 107 B. Hukum Islam dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia.............................................................. 114 1. Hukum Islam dan Hukum Positif.................... 124 2. Politik Hukum Islam di Era Reformasi................................................ 144 3. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia....................................................... 154 x Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Isi Dr. M. Shohibul Itmam BAB IV SISTEM HUKUM, PEMBANGUNAN HUKUM DAN POLITIK HUKUM ERA REFORMASI.................................................... 163 A. Politik dan Tata Hukum di Indonesia Pra Reformasi........................................................... 163 1. Masa Pra Kemerdekaan.................................... 176 2. Masa Orde Lama (ORLA)................................... 189 3. Masa Orde Baru (ORBA).................................... 197 B. Politik dan Tata Hukum di Indonesia Era Reformasi........................................................... 204 1. Politik Hukum Era Reformasi.......................... 218 2. Positivisasi Hukum Islam Era Reformasi.................................................... 228 BAB V FAKTOR, PELUANG DAN TANTANGAN POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA......................................................... 253 A. Positivisasi Hukum Islam: Antara Peluang dan Tantangan.............................. 253 B. Peluang dan Tantangan Perspektif Politis...................................................... 262 C. Peluang dan Tantangan Perspektif Sosiologis................................................ 279 1. Fungsi Integratif Agama.................................. 280 2. Fungsi Disintegratif Agama............................. 284 D. Peluang dan Tantangan Perspektif Filosofis.................................................. 291 BAB VIPENUTUP................................................................. 315 A. Kesimpulan............................................................... 315 B. Saran/Rekomendasi................................................ 317 DAFTAR PUSTAKA................................................................ 319 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia xi Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Isi GLOSSARY.............................................................................. 341 INDEKS.................................................................................... 347 LAMPIRAN............................................................................. 349 CURRICULUM VITAE............................................................ 351 xii Positivisasi Hukum Islam di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemikiran tentang pembaharuan hukum Islam1 di Indonesia secara konsisten dan konsern yang tinggi telah dilakukan oleh Hasbi al-Shiddieqy dan Hazairin. Perbedaannya Hasbi lebih mengacu pada metodologi hukum Islam yang dirintis ulama terdahulu, sedangkan Hazairin cenderung pada Menurut Rofiq (Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia (Jakarta: Gama Media, 2001), 97-98) pembaharuan hukum Islam diartikan sebagai upaya untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktek keislaman yang telah mapan (established) kepada pemahaman dan pengamalan baru. Pembaharuan terus berjalan dari masa ke masa walaupun sebenarnya Hukum Islam sudah berlaku sejak awal masuknya Islam di Indonesia. Bahkan pada perkembangan berikutnya, Hukum Islam menjadi salah satu dari tiga bahan dasar dari hukum nasional, selain Hukum Adat dan Hukum Barat. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Hukum Islam belum terakomodir secara maksimal dalam Garis Besar Haluan Negara. Akan tetapi pada era reformasi, Hukum Islam baru diakomodir dalam hukum nasional. Hal ini tentunya terdapat unsur politis yang di dalamnya terimplementasi adanya multi partai. Eksistensi Hukum Islam pada era reformasi tidak hanya terjadi pada tataran struktural, tetapi pada tataran yang lebih menentukan, yakni tataran kultural. Peran Hukum Islam dalam reformulasi hukum nasional menuju terciptanya hukum khas Indonesia adalah; pertama, Hukum Islam merupakan bahan baku hukum nasional. Kedua, adanya yurisprudensi yang memberi kesempatan hakim untuk berijtihad. Ketiga, Hukum Islam dapat dijadikan sumber penegak hukum dalam bidang etika dan moral. Moh. Hatta, “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, Juni 2008, akses pada 4 Pebruari 2013 dari http://ejournal. sunan- ampel. ac.id/index. php/al-Qanun/article/view File/ 15/ pdf. 1 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 1 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan konstitusionalisasi hukum Islam mengacu pada semangat Piagam Jakarta dengan melakukan interpretasi baru terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.2 Pembaharuan hukum Islam Indonesia terkait dengan pembaharuan Ilmu Hukum Indonesia dengan bukti historis adanya relasi keduanya yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks pembangunan Sistem Hukum Nasional (SHN) sejak awal kemerdekaan. Relasi keduanya dalam pembaharuan ilmu hukum Indonesia meliputi beberapa aspek hukum nasional seperti hukum pidana, perdata dan lainnya yang sudah, sedang dan terus diproses.3 Kajian tentang pembaharuan hukum Islam di Indonesia telah sampai pada persoalan positivisasi hukum Islam yang merupakan bagian dari masalah mendesak tentang perlunya pembaharuan hukum nasional. Pernyataan ini wajar karena induk hukum nasional terutama KUHP (WvS) yang berlaku hingga sekarang adalah hukum warisan zaman Hindia Belanda dan Perancis dari sistem hukum keluarga, hukum kontinental civil law system dengan ajaran yang menonjolkan individualism, liberalism and individual rights yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum Indonesia yang karenanya harus segera dituntaskan.4 Studi positivisasi hukum Islam terkait dengan eksistensi hukum Islam di tengah konstitusi nasional menimbulkan polemik Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, 170-172; M. Sularno Syari’at Islam dan Upaya pembentukan Hukum Positif di Indonesia, 2014, diakses pada 05 Oktober 2012, dari http: / /journal. uii. ac. id/ index. php/ JHI/ article/ viewFile/ 245/240. 3 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi Hukum Islam dan Hukum Umum, (Jakarta: Gama Media, 2003), 150-157; Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), (Semarang: Pustaka Magister, 2011), 5-20. 4 Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 145-157; Arief, Beberapa Aspek, 10-11, 20-27. Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, 11-16, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: //ejournal. Sunan-ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 2 2 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam sejak kemerdekaan terkait Piagam Jakarta yang dipahami sebagai cerminan syariat Islam. Perkembangan selanjutnya, positivisasi hukum Islam sebagai upaya pembaharuan hukum nasional yang hukum induknya masih menggunakan Hukum Hindia Belanda yang bertentangan dengan kultur, budaya dan kesadaran hukum yang berkembang di Indonesia yang mayoritas penduduk muslim, sangat erat kaitannya dengan perkembangan politik hukum nasional. Pembaharuan yang dimaksud dalam positivisasi hukum Islam sesunguhnya merupakan upaya pembangunan sistem hukum nasional.5 Pentingnya upaya positivisasi tersebut terkait dengan fakta hukum nasional yang secara yuridis konstitusional sejak kemerdekaan hingga sekarang (era reformasi) belum berhasil menggantikan induk hukum Menurut salah satu Hakim Konstitusi, M. Akil Mochtar, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 20052025 dan undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundangundangan menjelaskan pembangunan nasional yang ditetapkan menuju Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Dalam bidang hukum, misi yang diemban adalah mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum. Misi tersebut ditujukan untuk memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh, memperkuat peran masyarakat sipil, memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah, menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengkomunikasikan kepentingan masyarakat serta melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil. Sedangkan visi Indonesia di bidang hukum adalah terwujudnya Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan keadilan. Ukuran tercapainya visi tersebut adalah; pertama, terciptanya supremasi hukum dan penegakkan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif. Kedua, terciptanya penegakan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada hak-hak asasi manusia. Mochtar, M. Akil, 2012, “Visi Pembangunan Sistem Hukum Indonesia”, 2012, 2-9, akses pada 4 Pebruari 2013 dari http://www.akilmochtar.com/wpcontent/uploads/2011/06/VISI_PEMBANGUNAN_ SISTEM_HUKUM_INDONESIA_akil1.pdf. 5 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 3 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan nasional warisan Belanda, walaupun usaha penggantian tersebut tersebut terus diupayakan dengan berbagai penyesuaian sejak UU No. 1 Tahun 1946.6 Beberapa undang-undang yang mengandung nilai atau bersumber dari hukum Islam sejak kemerdekaan hingga sekarang masih menjadi polemik, meskipun secara substansi hukum Islam terus bergerak dan berjalan dengan pasti dalam mewarnai pembangunan hukum nasional hingga sekarang. Contoh kongkritnya adalah UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang mencerminkan aspirasi dan nilai hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam yang berdasar Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Perda Syariah7 dan lain-lainnya. Gerakan hukum Islam menuju hukum positif memiliki peluang besar dengan bergulirnya reformasi ditopang politik hukum nasional yang secara konstitusional menguatkan posisi hukum Islam sesuai UU No. 12 tahun 2011.8 Hal ini terkait dengan kondisi politik hukum era Orde Lama dan Orde Baru yang cenderung otoriter dan normatif serta memihak pada kepentingan pemerintah yang otoriter saat itu. Dalam konteks demikian, positivisasi hukum Islam sesungguhnya merupakan upaya pembaharuan hukum nasional selaras dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat Arief, Beberapa Aspek, 10-13. Menurut Alim (Muhammad Alim, 2012, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”, akses pada 1 Pebruari 2013 dari http: // law. uii. ac.id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/1% 20MAlim.pdf 40-41) bahwa implementasi perda bermuatan syariah secara khusus ditujukan bagi pemeluk agama Islam serta sejauh ini terbukti tidak merugikan kelompok agama lain di luar agama Islam. Dengan demikian Perda bermuatan syariah tersebut terbukti turut memberikan kontribusi dalam pembangunan sistem hukum nasional. Muhammad Alim, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”, 2012, 40-41, akses pada 1 Pebruari 2013 dari http: // law. uii.ac.id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/1% 20MAlim.pdf 8 Azizy, Eklektisisme, 140-155. 6 7 4 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam dan merupakan hal wajar untuk terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan sekaligus sebagai upaya merubah sistem otoriter yang terjadi pada masa sebelum reformasi. Argumentasi lainnya menjelaskan bahwa pembaharuan dalam konteks positivisasi tersebut terkait dengan dengan pembangunan sistem/ilmu hukum Nasional dengan menyusun grand design9 sistem/politik hukum nasional sesuai UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan Pancasila sebagai landasan filosofisnya.10 Positivisasi hukum Islam sebagai upaya pembaharuan hukum nasional dengan menyusun grand design menempatkan beragam nilai yang tumbuh berkembang di Indonesia sesuai tuntutan pembangunan hukum nasional dan nilai hukum Islam sebagai hukum yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia yang sangat berpengaruh terhadap pola hidup dan perilaku11 seperti pengaruhnya ajaran atau nilai hukum 9 Grand design sistem dan politik hukum nasional yang sudah berusia 64 tahun ternyata belum tersusun, bahkan RKUHP yang sudah 48 tahun disusun oleh beberapa generasi/angkatan (bahkan banyak yang sudah meninggal) hingga kini ternyata masih mengendap dan belum dibicarakan di DPR. Arief, Beberapa Aspek, 5-6. 10 Ibid. 11 Perilaku dalam arti respon dari hukum sebagai jalinan nilai dikelompokkan ke dalam nilai-nilai dasar yang sangat abstrak serta nilai-nilai yang lebih konkrit sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat manusia. Nilai dasar adalah asas yang diterima sebagai dalil yang bersifat mutlak sekaligus diterima sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Oleh karenanya, Indonesia sebagai negara memiliki keberagaman luar biasa, namun di balik keberagaman itu terdapat nilai-nilai universal yang berlaku pada semua golongan atau kelompok. Saling menghormati, tolong menolong, sopan santun adalah contoh nilai-nilai yang dianggap baik oleh semua kalangan. Sebaliknya membunuh, mencaci, menganiaya, mencuri, memaksakan kehendak adalah nilainilai yang diakui dimanapun sebagai sesuatu yang buruk dan salah. Nilai-nilai dasar umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat berupa nilai-nilai agama (ketuhanan) dan nilai- nilai hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” 2012: 7, diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task . Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 5 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan Islam terhadap umat Islam karena adanya syarī’ah—fiqh dalam hukum Islam tersebut.12 Di dalam Islam, syari’at berupa al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber13 dasar hukum yang sangat berpengaruh berdasarkan iman, baik hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia yang kemudian menjadi fiqh—hukum Islam14 yang dalam sistem 12 Muchsin, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional,” 2012, 1, diakses pada 20 Juni 2012 dari http: //www.ditpertais.net/annualconference/2008/ dokumen/KONTRIBUSI-% 20HUKUM% 20ISLAM - muchsin.pdf 13 Menurut Asmawi umat Islam telah berkonsensus bahwa al-Qur’an merupakan dalil/sumber utama hukum Islam dan telah meletakkan dasar pokok prinsip umum hukum Islam. Asmawi, Teori Maslahah Relevansinya Dengan Undangundang Pidana Khusus di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), 1. Dalam konteks ini, Mubarok menjelaskan bahwa Hukum Islam yang dimaksud seringkali dipahami sebagai terjemahan dari term fikih (al-fiqh), alsyarī’at, al-hukm al-Islāmī, syarī’at law, dan Islamic law. Masing-masing istilah tersebut memiliki kerangka pemikiran tersendiri. Jaih Mubarok,”Formalisasi Hukum Islam: Pelaksanaan Syariat Oleh Negara,”1. Diakses pada 21 Juni 2012 dari http://www.pabalikpapan.net/index.php?option=com_content&view = article&id = 86: formalisasi – hukum – islam – profdr – jaih – mubarok & catid=61:artikel-umum&Itemid=206. Oleh karenanya, ulama dalam berbagai tulisan dan forum telah berusaha ikut serta menjelaskan terminologi-terminologi tersebut sehingga antara satu dengan yang lainnya dapat dibedakan dan ditempatkan secara proporsional. Sementara menurut Amal, perbedaan terjadi karena hukum Islam dipahami sebagai terjemahan dari term Fiqh (al-fiqh) dan syari’ah (al-syarīat). Taufiq Adnan Amal, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 1-3. 14 Menurut Arifin, semua hukum sebenarnya berasal dari agama (Busthanul Arifin, “Masalah Konsep Satu Atap M.A dan Peradilan Agama,” Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Ilmiah Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 13 September 2000, 3). Sementara Bisri mengatakan bahwa fiqh sebagai hukum merupakan dimensi yang paling dikenal oleh masyarakat, baik kalangan umat Islam maupun akademisi komunitas ilmiah, sebagai produk penalaran fuqaha’ yang dideduksi dari sumber (ayat al-Qur’an dan al-Hadis) yang otentik (Cik Hasan Bisri, Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 46. Hal ini menurut Sahal Mahfud menguatkan posisi fiqh sebagai dasar/ jendela dalam memotret perkembangan sosial masyarakat (Sahal Mahfud, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, 3-5, akses pada 1 Pebruari 2012 dari http: // law. uii. ac. id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/ 1%20M.Alim.pdf) 6 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam ketatanegaraan Indonesia atau sistem hukum nasional dijadikan sebagai salah satu sumber terutama dari substansi hukum nasional.15 Pemahaman demikian cukup wajar karena menurut Sahal Mahfud, Islam memang lahir sebagai agama dan negara, penyebaran Islam pada masa nabi juga diwarnai dengan watak politik. Akibatnya, lebih banyak permasalahan sosial keagamaan yang bersifat praktis muncul ke permukaan ketimbang permasalahan sosial keagamaan yang bersifat teologis. Atas dasar alasan inilah mengapa kebutuhan terhadap hukum terlihat begitu dominan.16 Berdasarkan argumentasi sebagian tokoh yang menetapkan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang mempengaruhi hukum nasional, Mahfud17 justru memiliki pendapat yang agak berbeda. Menurutnya, sumber hukum Islam tersebut tidak memberikan ajaran pengaruh tertentu dalam persoalan sistem politik dan ketatanegaraan. Dalam kebebasan18 memilih tersebut, setiap negara yang menyatakan sebagai negara Islam atau mencoba menerapkan Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Candra Pratama, 1996), 42; Arief, Beberapa, 5-6. 16 Moh. Mahmud MD, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, 2012, 1-3. Diakses pada 1 Pebruari 2012 dari http: //law.uii.ac. id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/ 1%20M.Alim.pdf 17 Lebih jelas dalam pengantar bukunya Muhammad Ali (2010: xi), Mahfud menjelaskan bahwa memang tidak ada ketentuan baku mengenai sitem politik dalam Islam sejak Nabi Muhammad hingga para sahabat bahkan masing-masing dari para sahabat tersebut berbeda antara satu dengan lainya (2010: xi). 18 Termasuk kebebasan di sini adalah kebebasan beragama yang merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu kebebasan nurani freedom of conscience, kebebasan mengekspresikan keyakinan agama freedom of religious expression, kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan freedom of religious association dan kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan freedom of religious institution (Hafsin, 2000: 2-7). 15 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 7 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan nilai hukum Islam, biasanya berbeda-beda utamanya dalam implementasi sistem politik dan hukum ketatanegaraanya yang bersifat nasional. Atas dasar itulah studi positivisasi hukum Islam terkait erat dengan sistem hukum nasional terkait dengan sumbernya yang berbentuk nilai-nilai dasar yang mengakar di masyarakat dan merupakan bagian penting dari sistem hukum yang terdiri dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Dari ketiga pilar substansi tersebut memperjelas positivisasi hukum Islam dalam menempati pembangunan sistem dari aspek budaya hukum dengan grand design menyesuaikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.19 Positivisasi hukum Islam jika dilihat dari perjalanan sistem politik hukum Indonesia menurut Arifin karena adanya pengaruh pemahaman Syarī’at—Fiqh yang mempunyai corak khusus20 mempengaruhi wajah hukum nasional, disamping akibat rekayasa ilmiah politik hukum kolonial Belanda. Hal ini terkait pemahaman ulang tentang desain hukum Islam Indonesia pada sisi tertentu dan pemahaman sistem atau politik hukum nasional pada sisi yang lain sesuai kesadaran hukum bangsa Indonesia tanpa hegemoni politik kolonial. Langkah ini membutuhkan strategi tertentu yang Arief, Beberapa, 5-6. Kekhususan ini termasuk Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia dalam percaturan politik di kawasan Asia Tenggara, sehingga memiliki peran yang sangat strategis dalam membumikan nilai Islam. Kondisi demikian oleh Fazlur Rahman disinyalir sebagai kebangkitan Islam yang dimulai dari kawasan Asia seperti Indonesia (Solihin, “Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985–2000)”, diakses pada 21 Juni 2012 dari https: //docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: I8u8k - JWggJ: www. uinsgd. ac. id/ _ multimedia/ document/ 20120611/ 20120611111350). 19 20 8 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam disebutnya pelembagaan hukum Islam21 atau menurut bahasa Azizy22 disebut positivisasi hukum Islam. Berdasarkan argumentasi di atas, maka berbicara positivisasi hukum Islam di Indonesia berarti berbicara bagian penting dari pembaharuan sitem hukum nasional. Pemahaman demikian menurut Azizy23 dapat diterima karena sesuai dengan ketentuan rumusan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 era reformasi yang sekarang berganti PROPENAS dan juga selaras dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 18 a-h. Keselarasan dan kewajaran demikian, dalam realitas implementasi berhukum masih menimbulkan kontroversi di tengah mayoritas penduduk Indonesia bahkan internal umat muslim padahal secara yuridis formal upaya ini sesungguhnya memberi peluang besar terhadap eksistensi hukum Islam dalam pembangunan sistem hukum nasional (UU No. 12 Tahun 2011). 21 Menurut Arifin setiap negara, bagaimanapun bentuknya, selalu membutuhkan hukum yang sesuai dengan kondisi sosio kulturnya. Setiap negara bisa saja berbeda-beda dalam menentukan bangunan hukumnya terkait dengan lembaga peradilannya dengan prinsip peradilan sebagai alat kekuasaan penegakan syari’at atau fiqh (Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 78. Arifin juga menjelaskan bahwa perbedaan terjadi karena hukum Islam dipahami sebagai terjemahan dari term Fiqh (al-fiqh) dan syari’ah (al-syarīat). Rofiq (2001: 3) juga menjelaskan Hukum Islam sebagai terminologi khas Indonesia, jika diterjemahkan langsung ke dalam Bahasa Arab menjadi al-hukm al Islam suatu terminologi yang tidak dikenal dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Padanan yang tepat dari istilah Hukum Islam adalah al-fiqh al-Islāmī atau al-syarī’ah al-Islāmīah, yang dalam wacana ahli hukum barat digunakan istilah Islamic Law. Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia (Jakarta: Gama Media, 2001), 1. 22 Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 117. 23 Ibid., 175-179. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 9 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan Argumentasi lain yang mejelaskan tentang pentingnya positivisasi hukum Islam adalah karena lebih dari setengah abad merdeka, Indonesia belum memiliki sistem hukum nasional yang mandiri. Seminar hukum nasional berlangsung 10 kali sejak tahun 1963 hingga tahun 2008 juga masih membicarakan grand design sistem24 dan politik hukum nasional.25 Dengan berpijak pada beberapa argumentasi dan faktor tersebut di atas maka persoalan positivisasi sesungguhnya merupakan masalah serius terkait hukum nasional yang memicu terjadinya kontroversi di satu sisi sekaligus menunjukkan pentingnya upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia pada sisi yang lain dalam dinamika perkembangan Ilmu Hukum Islam dan Ilmu Hukum Indonesia menuju hukum khas Indonesia yang sangat terlambat kehadirannya.26 Berdasarkan argumentasi demikian, Azizy27 menjelaskan bahwa positivisasi adalah persoalan besar terkait perkembangan historis serta metodologi studi agama—hukum Islam, seperti 24 Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia) (Semarang: Pustaka Magister, 2012), 3-5. 25 Kepentingan sebagai motifasi lain adalah hukum Islam Indonesia mempunyai kehebatan yang mampu menyatukan Nusantara dengan pemisahan pulau dan danau daripada Timur Tengah yang tepecah menjadi 50-an negara yang tersebar di seantero Jazirah Arab tanpa adanya pemisahan geografis yang berarti. Terkait hukum Islam Indonesia, Rofiq menjelaskan produk pemikirannya menjadi empat macam (Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, 2-10). Pertama, Fiqh yang merupakan bangunan pengetahuan yang meliputi ibadah dan mu’amalah secara menyeluruh. Kedua, Fatwa yang merupakan produk pemikiran hukum perorangan atau kelembagaan atas dasar permintaan anggota masyarakat terhadap persoalan tertentu. Ketiga, Yurisprudensi merupakan produk pengadilan yang bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara. Keempat, peraturan perundang-undangan termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI). 26 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju Saintifik-Moderen (Jakarta: Teraju, 2002), 178-84. 27 Ibid., 175-177. 10 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam Ijtihād, Ijmā’, Qiyās dan lainnya yang mempunyai lingkup kajian luas dengan menyesuaikan sosio kultur yang berkembang di Indonesia yang pemaknaannya membutuhkan perubahan sesuai tuntutan perubahan sosial dan studi keislaman kontemporer (eklektisisme).28 Hampir senada secara substansial dengan Azizy, Arief29 dari perspektif yang berbeda menjelaskan sisi sistem/ilmu hukum nasional tentang perlunya reorientasi dan reformasi hukum positif dilihat dari konsep nilai-nilai sentral bangsa Indonesia (aspek sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural) sebagai landasan kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum sesuai ilmu hukum Indonesia yang sesungguhnya. Dalam konteks demikian, kajian ilmu hukum Islam dan ilmu hukum Indonesia nampak jelas dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu hukum nasional Indonesia30 Dalam studi kontemporer, Minhaji menjelaskan secara singkat bahwa studi Islam berkembang dalam empat pendekatan; pertama, normatif religius. Kedua, sejarah dan filologi. Ketiga, ilmu-ilmu sosial dan keempat, pendekatan fenomenologi (Akhmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam, Teori, Metodologi dan Implementasi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2010), 71-72. Sementara Azizy menjelaskan hukum Islam ada dua; pertama, hukum Islam yang secara langsung dan tegas ditetapkan oleh Allah melalui dalil qathi. Kedua, hukum Islam yang ditetapkan pokok-pokoknya saja dan ditetapkan oleh Allah melalui dalil dhanni (A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju Saintifik-Moderen, Jakarta: Teraju, 2002), 47-57). Hukum Islam yang pertama disebut syari’ah al-syarī’at yang diyakini bersifat konstan, sempurna, dan tetap berlaku universal sepanjang zaman, tidak mengenal perubahan dan tidak dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sedangkan hukum Islam yang kedua disebut fikih yang bersifat dinamis (fleksibel), tidak bersifat universal, dan dapat mengalami perubahan sesuai perubahan tempat, waktu dan zaman. 29 Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional, 31-32. 30 Hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang sebab akibat (Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlaq, Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 9. Sementara menurut Rahardjo hukum adalah prilaku kita sendiri karena objek hukum adalah perilaku manusia dengan kebudayaan-kebudayaanya yang diharapkan menjadi teratur dengan adanya hukum (Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007, 3. Bahkan menurut Devos dalam arti luas hukum termasuk hubungan 28 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 11 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan sekaligus merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi sebagai aspek penting dari proyek positivisasi hukum Islam.31 Persepsi atau argumentasi demikian tentunya dapat diterima, karena paradigma yang berkembang secara nasional sebagai dasar falsafah negara adalah paradigma Pancasila32 untuk mewadahi semua karakteristik yang pluralis meliputi semua golongan dan aliran hukum yang berkembang tanpa menghilangkan suatu nilai sentral yang mengakar di Indonesia.33 Menurut Arifin positivisasi hukum Islam secara sosiologis merupakan gejala sosial hukum34 akibat lamanya antara manusia dengan binatang-binatang yang biasanya dilindungi (Devos, 1987, Pengantar Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 59. Di era globalisasi sekarang ada kekuatan yang tidak menghendaki pelurusan persepsi terhadap syari’ah Islam, yaitu kekuatan yang berasal dari negara adikuasa. Karena bila umat Islam Indonesia sampai pada kesatuan persepsi terhadap syari’ah Islam, maka Islam akan kuat dan kekuatannya mungkin akan mengalahkan kekuatan ekonomi Jepang, Cina dan Korea Selatan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Winarno, Jenderal Atase Keamanan Kedutaan RI di Iran pada April Tahun 2005 terhadap lima Pelajar NU yang dikirim oleh PBNU dalam sebuah diskusi (Winarno, 2005: tidak dipublikasikan). 31 Azizy, Eklektisime, 170-200. 32 Sebagaimana Jazuni menyatakan bahwa Pancasila merupakan instrumen untuk menjaring dan mewadahi semua aspirasi rakyat karena penafsiran Pancasila yang dimonopoli pemerintah tidak akan mampu membendung pergolakan yang muncul di tengah perubahan sosial masyarakat (Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 1. 33 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2006), 10. 34 Menurut Arifin, sebagaimana dikutip Amrullah (1996: 10-12) Islam adalah agama besar yang mempunyai perjalanan panjang terkait dengan sebuah fenomena yang mewarnai dalam peradabannya. Untuk menegakkan hukum Islam yang bersifat formal yuridis, pemerintah Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1946, PP. No, 45 Tahun 1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undang-undang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7 Tahun 1989, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 1991. Dengan undang-undang atau peraturan 12 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam benturan tiga sistem hukum; hukum Adat, hukum Barat dan hukum Islam oleh politik Hukum Belanda. Sedangkan secara normatif filofofis merupakan upaya meluruskan persepsi tentang syariat Islam yang mengalami kejumudan sejak abad ke-10 Hijriyah akibat pergolakan politik Islam yang berpengaruh di Indonesia. Arifin juga menjelaskan hukum Islam Indonesia secara normatif diyakini mampu mengantarkan kesejahteraan dunia akhirat dan mempunyai potensi besar untuk kebangkitan Indonesia yang telah lama dipolitisir oleh hukum Belanda dengan rekayasa hukum ilmiah melalui teori Recepcio In Complexu. Dengan demikian dapat diterima bahwa positivisasi hukum Islam sebagai bentuk pengejawantahan hukum yang diberlakukan sesuai kesadaran hukum nasional serta kondisi masyarakat yang membutuhkan reformulasi hukum nasional sesuai kondisi dan karakter Indonesia yang pluralis kebhinnekaan melaui legislasi negara dengan stake holder terkait.35 Pemahaman demikian tentu dapat dimaklumi karena substansi hukum Islam mempunyai relasi fungsional baik dari sisi substansi, struktur maupun budaya hukumnya tersebut diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan hukum Islam, khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan secara formal yuridis sebagai hukum positif di Indonesia. Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 10-12. 35 Menguatkan pentingnya positivisasi hukum Islam di atas, Arifin (1996: 7075) menjelaskan bahwa positivisasi hukum Islam seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 dalam prakteknya dapat terlaksana dengan baik dalam memenuhi kebutuhan kesadaran hukum nasional dalam rentang waktu yang cukup lama (sekarang sudah 22 tahun). Setelah KHI tersebut, beragam UU dan peraturan bernuansa Islam juga lahir seperti UU Perbankan Syari’ah, UU Haji, UU Wakaf, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, rancangan UU produk halal dan lainya yang akan dan terus lahir dengan regulasi dan proses yang mewarnainya. Arifin, Pelembagaan Hukum Islam, 70-75. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 13 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan dengan sistem hukum nasional36 dengan sifat bercirikan elastis, memperhatikan berbagai segi kehidupan, tidak memiliki dogma yang kaku, keras serta memaksa, sehingga optimisme terhadap positivisasi hukum Islam di Indonesia merupakan hal yang tidak berlebihan.37 Rentetan diskusi dan argumentasi di atas secara substansi dalam konteks pembangunan hukum nasional38 menguatkan proyek, gagasan besar pentingnya positivisasi hukum Islam. Optimisme sebagai hal wajar dan tidak berlebihan ini didukung oleh landasan yuridis dalam ranah politik hukum melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) yang sangat dominan melahirkan suatu perundang-undangan diperkuat dengan lahirnya UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan. Sebagai contoh, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sejak tahun 1991 dan lainya sejak kemerdekaan sebagaimana tersebut di atas yang masih menuai kontroversi akan segera selesai dalam perspektif yang lebih jelas. Positivisasi hukum Islam dalam kasus KHI yang banyak melahirkan kritikan dari kelompok tertentu, seperti munculnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang pernah disusun oleh Tim yang menamakan dirinya sebagai Pengarustamaan Gender Departemen Agama RI, diketuai Musdah Bahkan dalam konteks penegakan hukum nasional yang demikian Arief menjelaskan perlunya mempertimbangkan secara fokus pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan kesadaran hukum/sikap perilaku hukum/perilaku sosialnya dan pendidikan ilmu hukum. Arief, Beberapa Aspek, 42-44. 37 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 47. Dan Rofiq, Pembaharuan, 165-190. 38 Substansi hukum nasional menurut Arief adalah perangkat hukum nasional yang terdiri dari 14 sektor antara lain sektor Hukum Tata Negara dan hukum administrasi negara serta hukum pidana dan lainya. Menurutnya substansi merupakan satu dari tiga sistem hukum nasional yaitu; substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Arief, Beberapa Aspek, 13-16. 36 14 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam Mulia pada tahun 2004 dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat dan kalangan ahli hukum, adalah contoh perbedaan pandangan dalam memahami hukum Islam di Indonesia.39 Bahkan, sejak awal keluarnya Inpres tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sampai tahun 2004, kontroversi terus berlanjut hingga sekarang walaupun beragam peraturan dan undang-undang bernuansa Islam terus lahir, seperti UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah, UU No. 13 Tahun 2008 tentang haji, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, rancangan undang-undang produk halal yang draft RUU JPH telah mengkebiri makna halal yang sesungguhnya karena tergantikan dengan proses monitoring yang standar tanpa melihat kaidah norma agama dan lainya. Draft RUU JPH tersebut mencabut peran ulama sebagai kontrol kehalalan produk. Peran ulama dibatasi pada lingkup labelisasi semata sehingga RUU tersebut mandeg di DPR (Harian Terbit, 4 September 2012). Selain itu Perda Syariah dan lainya yang terus berproses merupakan tantangan tersendiri. Konferensi Nasional Lintas Agama (Indonesian Conference on Religion and Peace/ICRP) mendesak pemerintah untuk mencabut perda-perda benuansa syariah karena dinilai inkonstitusional dan bertentangan dengan Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945. Musdah Mulia, Ketua ICRP, meminta agar pemerintah meninjau 39 Dalam menengarahi kontroversi pada tahun 2004, Menteri Agama, Said Agil Hussin al-Munawwar menyampaikan teguran keras dengan membekukan Tim penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya No. MA/271/2004, tanggal 12 Oktober 2004. Hal ini dimaksudkan supaya tim tersebut tidak mengulangi lagi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan melibatkan serta mengatasnamakan Tim Departemen Agama hingga akhirnya semua naskah asli Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam itu diserahkan kepada Menteri Agama RI. Chamzawi, “Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam,” 2012, 1. diakses pada 09 April 2012 dari http://dc93.4shared.com/doc/_IoS24Ya/ preview.html Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 15 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan kembali seluruh Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa syariah (ICRP, 2012: 1). Kontroversi tentang positivisasi hukum Islam terus berlanjut. Bahkan Gus Dur sebagai sosok modernitas, rujukan intelektual kultural dan sederetan aktifis muda terutama di kalangan NU juga sangat menentang keras upaya positivisasi atau formalisasi hukum Islam di Indonesia.40 40 Menurut Chamzawi (2012: 1) sebuah diskusi panel tentang kontroversi itu digelar di Universitas YARSI, Jakarta, pada 29 Oktober 2004. Hadir sebagai pembicara antara lain; DR. Jazuni, SH, MH, DR. H. Rifyal Ka’bah, MA, Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH dan Prof. DR. Huzaimah T Yanggo. Dalam diskusi itu terungkap beberapa hal mendasar yang menjadikan buku Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (untuk mudahnya disebut saja KHI Tandingan) menimbulkan kontroversi. Diantara pemicu kontroversi adalah bahwa pembaruan yang diajukan oleh perumus KHI Tandingan bukanlah dalam konteks Tajdīd pemurnian atau ishlāh perbaikan terhadap yang rusak Fasad, namun masuk dalam pengertian Bid’ah penyimpangan dan Taghyīr perubahan dari hukum Islam yang asli (Chamzawi, Kontroversi Revisi, 1. Menurut Huzaimah T Yanggo, guru besar Syari’ah pada Universitas Islam Negeri Jakarta, merekam secara rinci dan lugas kontroversi yang mengundang kecaman terhadap buku KHI Tandingan. Menurutnya, sudut pandang yang dipergunakan oleh para penyusun KHI Tandingan meliputi: 1. Sudut pandang pribadi, karakter dan kecenderungan para penulisnya, 2. Sudut pandang gaya bahasa dan ungkapan yang dipakainya terkesan sentimental, sinis, menggugat, arogan dan inkosisten, 3. Sudut pandang visi dan misi yang dibawa: pluralisme, demokrasi dan HAM, keseteraan gender, emansipasitoris, humanis, inklusif, dekonstruksi syari’ah Islam, 4. Sudut pandang masalah yang digugat adalah: Al Qur’an dan al-Hadis disesuaikan dengan rasio dan kondisi sosial masyarakat. Karya ulama klasik dituding sangat arabis, tidak sesuai dengan perkembangan zaman, oleh sebab itu harus ditinggalkan. Paradigma dan orientasi keberagaman, problem kemanusiaan dan hubungan antar agama, 5. Kaidah yang digunakan dalam draft adalah yang menjadi perhatian Mujtahid yaitu Maqāshid maksud-maksud yang dikandung nash, bukan pada lafaznya. Boleh menganulir ketentuan-ketentuan nash dengan menggunakan logika kemaslahatan, serta mengamandemen nash dengan akal berkenaan dengan perkara-perkara publik. 16 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam Salah satu pendapat mengatakan bahwa kontroversi41 seputar positivisasi hukum Islam nampaknya terletak pada pendekatan perumusan sebagaimana dilakukan penentangpenentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut. Sebagian penentang mengatakan bahwa pendekatan yang digunakan tim counter KHI khususnya bukan pendekatan hukum Islam, tetapi pendekatan Gender, Pluralisme, Hak Azasi Manusia dan Demokrasi yang dipahami tidak sesuai tujuan syarī’ah terutama dalam menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta serta kearifan sosial dalam konteks masyarakat Indonesia. Di tengah perdebatan wacana kontroversi seputar positivisasi hukum Islam Indonesia pada sisi tertentu dan perlunya pembaharuan sistem/ilmu hukum nasional pada sisi yang lain yang sudah dirintis sejak awal kemerdekaan melalui UU No. 1 tahun 1946 hingga era reformasi sekarang, muncul beragam pendapat antara lain bahwa era reformasi dengan politik hukumnya yang penuh keterbukaan telah membuka kesempatan besar bagi semua kalangan terutama ahli hukum sehingga memungkinkan diwarnainya tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan syariat Islam dengan ragam pendekatan yang berbeda. Muhammad Alim sebagai Hakim Konstitusi dalam Jurnal Hukum No. 1 vol. 17 Januari 2010 menjelaskan bahwa positivisasi hukum Islam seperti perda syariah justru terbukti turut memberikan kontribusi dalam pembangunan sistem hukum nasional.42 Barda Nawawi Arief, Pakar Hukum Pidana menjelaskan Sementara Gunaryo juga menjelaskan bahwa, kontroversi juga pernah terjadi pada awal akan disahkannya Undang-undang perkawinan, melalui argumentasi politik dan kepentingan yang dipelopori seorang Jenderal angkatan Darat, Ali Moertopo. Ahmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Jogyakarta: Pustaka Pelajar kerjasama Pascasarjana IAIN Walisongo2006, 142. 42 Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Moderen dalam Islam, Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: LkiS, 2010), 141-149. 41 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 17 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan perlunya kembali pada nilai-nilai sentral yang berkembang di Indonesia untuk mewujudkan pembangunan hukum Nasional.43 Hal ini berbeda dengan Muzadi yang mengeluarkan pernyataan keras melarang adanya Peraturan Daerah (perda) bernuansa syarī’ah.44 Menurutnya, syari’at Islam seharusnya ada dalam konteks civil society bukan nation state karena khawatir formalisasi/positivisasi hukum Islam dalam peraturan daerah hanya akan memicu perpecahan bangsa dan negara.45 Pernyataan demikian juga senada dengan Sahal Mahfud yang menjelaskan hukum Islam—fiqh mempunyai dua wawasan, dimensi etik dan formal legalistik. Penempatan kedua dimensi dilakukan secara proporsional agar pengembangan fiqh benarbenar sejalan dengan fungsinya, yakni sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial. Pendek kata, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara.46 Arief, Beberapa, 2-17. Muzadi, Hasyim, 2012,“ Kalau dibiarkan, Negara Bisa Bubrah,” diakses pada 24 Juni 2012 dari http: // www. nu. or. id/ a, public - m, dinamic - s, detail ids, 5-id, 7522 - lang, id - c, halaqoh – t. 45 Menurut Mubarok (2012: 2) bahwa salah satu bentuk pemikiran hukum Islam adalah qanun atau peraturan perundangan. Penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan perundangan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua model; pertama, penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan perundangan secara subtantif dan tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai hukum-hukum Islam. Kedua, penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan perundangan yang secara eksplisit dinyatakan sebagai hukum Islam. Model pertama adalah hal yang cocok dan berisiko kecil kemungkinan munculnya disintegrasi bangsa mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbhinneka tunggal ika. Oleh karenanya membumikan asas-asas hukum Islam dan istinbath ahkam menempati posisi yang strategis dibandingkan tuntutan hukum Islam yang formalistik (Imron, 2008) 46 Moh. Mahfudz MD, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, 2012, 3-4. akses pada 1 Pebruari 2012 dari http: // law. uii. ac. id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/ 1%20M.Alim.pdf 43 44 18 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam Berdasarkan problematika di atas, secara historis khususnya sejak reformasi melaui GBHN 1999-2004 hingga keluarnya UU No.12 tahun 2011 tentang pembentukan undang-undang yang menjadi pedoman dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) dapat dipahami bahwa arah pembangunan politik/sistem hukum Indonesia telah menemukan jati diri yang pernah hilang pada masa-masa sebelumnya. Arah ini menuju kebebasan dalam mengekpresikan Indonesia sebagai negara hukum serta terbentuknya suatu sistem hukum yang lebih transparan dalam meningkatkan peran masyarakat baik sebagai pembuat, pelaku maupun pelaksana hukum atau lebih dikenal dengan demokratisasi melalui legislasi hukum dengan kompetensi aktornya seperti Dewan Perwakilan Rakyat, polisi, jaksa, hakim dan lainya sesuai kekuatan politik yang mendukung dan kesadaran hukum yang berkembang di masyarakat.47 Problematika sebagiamana dimaksud, terkait dengan semua gerakan dan potensi pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia, baik dari sisi ilmu hukum Islam maupun ilmu hukum nasional dalam rangka menguatkan realitas serta beragam nilai yang berkembang yang mengarah pada positivisasi hukum Islam bersamaan dengan integrasi ilmu hukum Islam Indonesia dengan ilmu hukum nasional Indonesia.48 Pengamalan syariat Islam ini bahkan sudah menjadi adat istiadat bagi masyarakat Azizy, Reformasi, 176-179. Dan Arief, Beberapa, 20-30. Senada dengan perlunya proyek positivisasi hukum Islam secara substantif Imron (2008) dalam disertasinya menjelaskan beberapa faktor yang mendukung Implementasi hukum Islam di Indonesia antara lain karena hukum Islam telah mentradisi dan Islam sudah diamalkan oleh masyarakat Indonesia dalam kurun waktu yang berabad-abad, bersamaan dengan datangnya agama Islam di Indonesia. Ali Imron, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas`uliyyat dalam Legislasi Hukum),” Disertasi, Semarang: Uneversitas Diponegoro2008. 47 48 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 19 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan tertentu, bahkan oleh mereka sudah menjadi hukum adat di tengah mayoritas warga negara Indonesia memeluk agama Islam.49 Di tengah perdebatan positivisasi hukum Islam terkait sistem hukum/politik nasional, Zoelva50 selaku hakim Mahkamah Konstitusi menjelaskan perdebatan tersebut sesungguhnya terkait dengan wacana penggantian hukum kolonial, hukum yang sesuai dan bisa mewarnai Dalam upaya positivisasi hukum Islam, perlu memperhatikan peraturan hukum terutama di dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 dan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas yang meliputi; 1) Kejelasan tujuan; 2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; 3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; 4) Dapat dilaksanakan; 5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6) Kejelasan rumusan; dan 7) Keterbukaan. Materi muatan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 mengandung asas-asas yang meliputi; 1) Pengayoman, 2) Kemanusiaan, 3) Kebangsaan, 4) Kekeluargaan, 5) Kenusantaraan, 6) Bhinneka tunggal ika, 7) Keadilan, 8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, 9) Ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau 10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Sekarang UU tersebut diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang sangat mengutamakan kebutuhan dan aspirasi masyarakat seperti dalam Pasal 18. Selain asas-asas tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Untuk menindaklanjuti program yang dicanangkan oleh PROPENAS dan ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam bidang hukum, menurut Asshiddiqiy terdapat beberapa agenda penting dalam pembangunan hukum nasional, yaitu agenda penataan sistem hukum, penataan kelembagaan hukum, pembentukan dan pembaruan hukum, penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemasyarakatan dan pembudayaan hukum, peningkatan kapasitas profesional hukum dan agenda infrastruktur kode etika positif bagi pembangunan hukum. Jimly Asshiddiqiy, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), 2. 50 Hamdan Zoelva, “Syari’at Islam dan Politik Hukum Nasional Indonesia”, 1. diakses pada 26 April 2012 dari http: // hamdanzoelva. wordpress. com/ 2008/04/ 01/ syari%E2%80%99at – islam – dan – politik - hukum-nasional-indonesia/ 49 20 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam pembangunan sistem hukum nasional Indonesia modern. Ragam pemikiran serta pendapat bermunculan antara lain adanya kecenderungan hukum Barat perlu dipertahankan diperbarui dengan menyesuaikan perkembangan masyarakat. Sementara kecenderungan kelompok hukum adat supaya diberlakukan menjadi hukum nasional, sedangkan kelompok lain mengusulkan agar syarī’at Islam perlu diintrodusir sebagai hukum nasional Indonesia. Berdasarkan perdebatan problem akademik di atas, maka dapat dimengerti dan diterima ketika Khisni51 juga menjelaskan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad al-Ra’yu merupakan kaidahkaidah normatif dan sosial yang bersifat duniawi dan ukhrawi yang sangat berbeda dengan sifat dan hakekat hukum Barat. Hukum Islam mempunyai peluang lebih dominan dalam konteks pembangunan hukum Indonesia. Peluang ini terkait luasnya cakupan dan batasan hukum Islam dengan adanya lima sifat yang melekat pada hukum Islam yaitu, multiperspektif, adil, individual, komunal, komprehensif serta dinamis.52 Hal lain adalah adanya lima pokok Islam yang terkenal ushul al-khamsah yang sangat luas pemaknaanya sebagai tujuan syariah maqāṣid al-syarī’ah. Selain itu, kajian terhadap integrasi ilmu hukum Islam dengan ilmu sosial sudah cukup banyak namun kajian integrasi ilmu hukum Islam dengan ilmu hukum/teori hukum murni nampaknya masih sangat layak dikembangkan. Kajian tersebut sangat penting terutama untuk menunjukkan dinamika ilmu hukum dalam konteks ilmu hukum Indonesia terutama Akhmad Khisni, “Hukum Islam dan Pemikirannya di Indonesia,” 4. diakses pada 15 Juni 2012 dari http: // khisni. blog. unissula. ac. id/ 2011/ 10/ 10/ hukum – islam – dan – pemikirannya – di – indonesia - jurnal/ 52 Rofiq, Pembaharuan, 165-190. 51 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 21 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan sebagai tuntutan era reformasi menuju hukum Indonesia yang sesungguhnya. Atas dasar problematika di atas, tulisan ini akan membahas: pertama, bagaimana hubungan agama dan negara dalam positivisasi hukum Islam di Indonesia? Kedua, bagaimana sistem hukum, pembangunan hukum dan politik hukum nasional Indonesia era reformasi? Ketiga, faktor-faktor apa yang merupakan peluang dan tantangan positivisasi hukum Islam di Indonesia? Sesuai ketiga rumusan masalah di atas akan dikaji secara mendalam yang terkait dengan hubungan agama, hukum serta politik hukum di Indonesia dengan memunculkan beragam teori seperti teokrasi dan sekuler yang membedakan dengan demokrasi Pancasila, kemudian dilajutkan dengan pembahasan mengenai pembangunan sistem hukum Indonesia era reformasi yang meliputi aspek peluang dan tantangannya secara politis, sosiologis serta filosofis secara tertib dan sistematis. Secara teoritis, buku ini akan melahirkan konsep-konsep atau pandangan yang selama ini mungkin dianggap oleh sebagian kelompok Muslim Indonesia sebagai kebenaran final, sehingga bisa menjadikan tulisan ini sebagai dinamisator serta menggugah adanya pengakuan terhadap pemikiran yang mungkin baru. Sementara hal lain adalah bisa menjadi alternatif-alternatif konsep dalam positivisasi hukum Islam di Indonesia serta menjadi sumbangan pemikiran untuk melakukan pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara pada semua sektor, terutama politik, hukum, ekonomi serta budaya hukum. Selain itu bisa menjadi sumbangan yang memungkinkan adanya perubahan atau penemuan makna hukum Islam Indonesia dalam dinamika kehidupan sosial 22 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam yang terus berkembang di Indonesia. Dengan demikian, integrasi hukum Islam dengan hukum nasional merupakan hal yang wajar dalam sistem hukum nasional karena mendapat legitimasi dari UU No. 12 Tahun 2011. Secara praktis, buku ini telah menunjukkan kejelasan atau adanya suatu tawaran formulasi hukum Islam Indonesia sesuai konteks dan kondisi sosio kultur masyarakat dan bangsa Indonesia. Tawaran tersebut misalnya kejelasan pemikiran hukum Islam Indonesia pada masa kontemporer sejak kemerdekaan, reformasi bahkan hingga sekarang. Manfaat lain juga berpengaruh terhadap pandangan memposisikan peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional dan bangsa Indonesia serta upaya pengembangan studi hukum Islam Indonesia menuju muslim yang lebih baik dan kaffah. Oleh karena itu, adanya saling menuding antara kelompok yang menghendaki Islam sebagai hukum nasional, gagasan Negara Islam, konsep khilafah dan lainnya dapat dihindari dengan menjelaskan sisi-sisi kompromi yang memungkinkan secara akademik demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Harus diakui juga bahwa negara yang sangat heterogen seperti Indonesia ini sangat membutuhkan suatu pencerahan hukum Islam Indonesia sesuai dinamika kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. B. Tinjauan Pustaka Studi buku ini berpijak dari berbagai studi sebelumnya, khususnya yang terkait dengan positivisasi hukum Islam.53 Menurut Junaidi, positivisasi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional memiliki dua bentuk; pertama, dalam perspektif pembangunan hukum nasional maka positivisasi hukum Islam tidak bisa dilakukan karena kondisi pluralitas bangsa Indonesia. Kedua, hukum Islam dapat menjadi hukum positif di 53 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 23 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan Beberapa studi tersebut antara lain buku Pembaharuan Hukum Islam yang ditulis Rofiq (2001) menjelaskan perlunya studi berkelanjutan dari proses dialektis perjalanan sejarah hukum Islam di Indonesia dari pemahaman dan pengamalan lama menuju pemahaman dan pengamalan baru. Dalam kesimpulanya menjelaskan bahwa pembararuan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya telah dirintis dalam waktu yang cukup lama seiring dengan keberhasilan perjuangan fisik yang dilakukan bangsa Indonesia. Selain itu ilustrasi dan proses pembaharuan hukum Islam di Indonesia menuntut keseriusan para pemikir dan pelaksana gagasan itu sendiri. Sehingga pada akhir kesimpulanya, pembaharuan hukum Islam Indonesia lebih mencerminkan sikap antisipatif, responsive, dan kepentingan pragmatis. Agus Purnomo dalam disertasinya (IAIN Sunan Ampel, 2013) berjudul Konstruksi Formalisasi Syariat Islam Elite Politik: Kajian tentang Peraturan Daerah Syariat Kabupaten Pamekasan, menjelaskan dan berusaha menemukan dan memahami makna tindakan pelaku yang menyusun Perda syariat, sebagaimana dilakukan dalam penelitian fenomenologi. Temuannya adalah konstruksi formalisasi syariat Islam elite politik berupa penyusunan Perda syariat merupakan respon elite atas keinginan para kiai dan masyarakat untuk menerapkan syariat Islam di Pamekasan. Dalam Indonesia yang berlaku bagi umat Islam melalui proses legislasi yang sah seperti dalam bidang muamalah atau hukum privat. Positivisasi hukum Islam memiliki prospek yang cerah karena era reformasi yang demokratis memiliki karakter hukum responsif, sistem hukum Barat/Kolonial sudah tidak berkembang, jumlah penduduk mayoritas beragama Islam, politik pemerintah yang mendukung berkembanganya hukum Islam, dan hukum Islam menjadi salah satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional disamping hukum adat dan hukum Barat/Kolonial (Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi,” 2-4. diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer? A = v&q = cache: 0zc 1QFZfE S4J: digilib. uns. ac. id/abstrak. pdf. php? . 24 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam menyusun Perda syariat, elite politik berusaha menyeimbangkan antara tuntutan masyarakat dengan ketentuan yang ditetapkan oleh negara. Kedua, dengan latar belakang dan cara memahami realitas yang berbeda, konstruksi formalisasi syariat Islam elite politik terbagi menjadi dua kelompok. Pertama memahami bahwa Perda syariat tidak boleh bertentangan dengan tata perundangan yang lebih tinggi di antaranya UU Otonomi Daerah. Karenanya, usaha memadukan antara keinginan membuat Perda dan ketentuan yang mengaturnya niscaya dilakukan. Pemahaman kelompok ini penulis sebut dengan istilah ideologis-konstitusional. Kedua, memahami bahwa Perda syariat adalah hak umat Islam. Karena itu, membuat Perda syariat tidak harus selalu di bawah bayang-bayang tata perundangan, sepanjang tidak dalam konteks mendirikan negara Islam. Pemahaman kelompok ini disebut dengan ideologis-non konstitusional. Lukito (2008) dalam bukunya berjudul Hukum Sakral dan Hukum Sekuler menjelaskan dalam satu bahasan positivisasi hukum Islam di Indonesia dengan mencoba menjelaskan adanya sisi pluralitas hukum sebagai aset dalam pembanguan hukum nasional. Dalam kesimpulannya, menjelaskan bahwa positivisasi hukum Islam dipahami sebagai upaya menjadikan nilai-nilai ajaran Islam selaras dengan beragam nilai-nilai yang tumbuh berkembang di Indonesia menyatu secara integral sebagai bagian dari pembangunan sistem/politik hukum nasional melalui transformasi nilai hukum Islam ke dalam hukum nasional.54 54 Agumentasi demikian dimaksudkan supaya di Indonesia Islam hanya numpang, singgah, dan menjadi “orang lain” yang-apabila bisa akan-menguasai Indonesia. Indonesia harus diislamkan, artinya diubah dan diganti dengan Islam Arab atau pseudo-Arab: menjadi negara Islam, secara simbolik menyebut Syari’at Islam, berbahasa Arab atau kearab-araban, pakaian kearab-araban, dan sejenisnya. Islam model ini tidak ramah dengan kebudayaan lokal, malah cenderung memusuhinya. Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Lkis, 2001), 32. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 25 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan Atas dasar itulah, positivisasi mempunyai relasi dengan istilah pelembagaan, pembaharuan, reformasi, reorientasi. Dalam hal ini, menjelaskan positivisasi terkait pelembagaan atau lembaga berarti yang asli, yang jadi, yang akan jadi atau bakal. Dengan demikian positivisasi hukum Islam di Indonesia dapat dipahami sebagai usaha, prospek masa yang akan datang dan seterusnya untuk membumikan ajaran hukum Islam. Gus Dur sebagaimana dikutip Wahid55 mencoba menjelaskan Indonesia yang secara sadar tidak menggunakan label Islam dalam struktur dan sistem kenegaraannya. Dalam kesimpulanya bahwa Indonesia lebih Islami dalam implementasi nilai kemanusiaan. Meskipun dengan dasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi aturan-aturan kenegaraan dan peraturan perundang-undangannya tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan misi Islam untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kemaslahatan. Lebih jauh, Gus Dur memilah dan membedakan tema “Islam Indonesia” dan “Islam di Indonesia”. Sekilas tidak terdapat perbedaan, tetapi secara paradigmatik memiliki implikasi yang jauh. Yang digambarkan adalah “Islam Indonesia” Islam khas Indonesia, Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi Islam versi Arab. Islam Indonesia adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. Islam Indonesia bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. Islam Indonesia adalah semua Islam yang tersaring ke dalam ke-Indonesiaan. Berbeda 55 26 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam dengan itu, Islam di Indonesia memberikan pengertian bahwa Indonesia hanya sebagai lokus persinggahan dari Islam. Filosofi, logika, nalar, budaya, simbol, bahasa, dan tata cara pergaulan semuanya diadopsi, difoto copy, dicangkok, diduplikasi, dan diplagiasi secara sempurna dari Islam Arab. Asumsi paradigma “Islam di Indonesia” adalah bahwa Islam itu Arab dengan seluruh darah daging kebudayaannya, sejak kelahiran hingga perkembangan dewasa ini. Imron56 dalam disertasinya berjudul Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional: Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas’uliyyat dalam Legislasi Hukum, telah menjelaskan hakekat pertanggungjawaban hukum dalam payung Pancasila sebagai cita-cita pembangunan hukum nasional Indonesia perspektif Islam dan keterkaitannya dengan perkembangan dinamika masyarakat dan batasan konsepsi taklif dan mas’uliyyat dalam hukum Islam relevansinya dengan pertanggungjawaban hukum dalam cita-cita pembangunan hukum nasional dan peraturan perundangan di Indonesia serta mencoba menjelaskan problematika implementasi konsepsi taklif dan mas’uliyyat dalam legislasi hukum nasional. Dalam kesimpulanya, menjelaskan bahwa pertanggungjawaban hukum dalam payung Pancasila adalah tatanan pertanggungjawaban hukum yang berorientasi pada nilai-nilai 1) moral religius (ketuhanan); 2) humanistik (kemanusiaan); 3) nasionalistik (kebangsaan); 4) demokrasi (kerakyatan); dan 5) sosial yang berkeadilan. Sedangkan subtansi atau nilai filosofis rumusan norma pertanggungjawaban hukum terdapat kesamaan antara hukum Islam dengan nilai-nilai yang dicitacitakan pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya Ali Imron, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas`uliyyat dalam Legislasi Hukum),” Disertasi (Semarang: Uneversitas Diponegoro, 2008). 56 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 27 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan nilai keadilan, kemanfaatan dan kemaslahatan hukum bagi manusia. Namun, dalam hal rumusan batasan usia atau dewasa bagi seseorang untuk dapat memikul pertanggungjawaban hukum, terdapat beberapa perbedaan prinsip antara rumusan `aqil baligh dalam hukum Islam dengan peraturan perundangan di Indonesia. Batasan usia dalam peraturan perundangan Indonesia perlu disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat dewasa ini. Ketercukupan asupan gizi, perkembangan teknologi rekayasa pangan, dan perkembangan teknologi informatika berpengaruh kuat terhadap kecenderungan lebih cepat dewasa bagi seseorang. Implementasi konsepsi taklif dan mas`uliyyat dalam legislasi hukum nasional dengan cara mengintegrasikan asas-asas hukum dan mengintegrasikan istinbath ahkam ke dalam hukum nasional. Problematika implementasinya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu problematika internal umat Islam dan problematika eksternal. Nampaknya dari tulisannya, Imron menginginkan usaha integrasi ilmu hukum nasional dengan hukum Islam Indonesia. Mengintegrasikan hukum Islam ke dalam hukum nasional mempunyai pengertian konsepsi-konsepsi (pengertian, pendapat, rancangan yang ada dalam fikiran, ide, cita-cita, pengertian yang diabstraksikan) yang terdapat di dalam hukum Islam dialihkan menjadi hukum nasional Indonesia, sehingga pada wilayah praktisnya hukum Islam dapat diterima secara eksis oleh semua kalangan tanpa memandang dari sisi Islamnya.57 Perkembangan metodologi hukum sebagai upaya integrasi hukum Islam dalam legislasi hukum nasional harus tetap berpedoman pada UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 17 Tahun 2007. Oleh karena itu usaha yang ditempuh adalah dengan cara mengintegrasikan asas-asas hukum Islam dan mengintegrasikan istinbath ahkam (metodologi penggalian hukum) ke dalam hukum nasional sesuai perundangan yang berlaku (Imron, 2008). 57 28 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam Sementara Mirri58 dalam sebuah jurnal telah menjelaskan perkembangan hukum Islam dan kontribusinya terhadap hukum nasional. Menurutnya, terkait perlunya postivisasi hukum Islam, UUD 1945 secara jelas dalam pembukaan menyebutkan: “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…”. Paragrap di atas dipahami oleh Mirri bahwa kejelasan Indonesia adalah negara hukum yang berkeinginan membentuk suatu hukum baru sesuai dengan kesadaran hukum, kebutuhan hukum, aspirasi masyarakat sesuai kebangsaan Indonesia. Sedangkan Arifin59 mencoba membangun hukum nasional yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia dengan menjelaskan alasan mendasar perlunya hal tersebut karena hukum Indonesia masih di persimpangan jalan Indonesian law at the cross roads, sehingga perlu diintegrasikan sesuai budaya, norma dan karakter bangsa menuju hukum Indonesia yang sesungguhnya. Dalam konteks ini syarī’at Djamaluddin M. Miri,”Hukum Islam di Indonesia (Tinjauan Terhadap Esensi, Eksistensi, Pelembagaan, Pembaharuan, Pengembangan dan Prospek Penerapannya),” 2012, diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer? a=v&q = cache: n8LDiFM3FPkJ: mahadalytebuireng. files. wordpress. com/ 2009/ 05/ hukum – islam – di -indonesia1.doc+PEMIKIRAN+HUKUM+ISLAM+ BUSTANUL+ARIFIN+%28Studi+Tentang+Esensi,+Eksistensi,+Pelembagaan,+Pemba haruan,+Pengembangan+dan+Prospek+Penerapan+Hukum+Islam+di+Indonesia%2 9&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESjK8ms5L_apfezWP3E1hO_56W_zzWHvBEoA mK6UM1XGeyAWpINFy5wrp9BWGjQSbJYNQR4LVws NtH5LO4j D9I7MQ tt 1qG8h – PYHv ExA67 k1scyp LP5zOGH6GtwiHToESjGrZKI5&sig=AHIEtbTxmNR9m44gAH cgxuMw0xtzXpwA2A 59 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 58 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 29 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan dan ilmu hukum memang tidak sama, tetapi masing-masing mempunyai relasi aplikatif dalam konteks ke-Indonesiaan perlu upaya menuju positivisasi hukum Islam. Menurutnya, hukum berfungsi skunder, artinya dalam oprasionalnya terkait dengan tujuan yang hendak dicapai oleh hukum, hukum harus beres dulu, baru kemudian diharapkan dan dijamin keberhasilan tujuan hukum. Arifin juga menjelaskan bahwa dalam perspektif Islam, hukum senantiasa mampu untuk mendasari dan mengarahkan berbagai perubahan sosial masyarakat, karena dalam hukum Islam terdapat ragam metode untuk menggali dan menemukan hukum dalam syari’at, seperti metode Ijmā’ dan Qiyās yang akomodatif terhadap persoalan, baik yang sudah muncul, sedang maupun yang akan dalam fenomena sosial masyarakat. Pendek kata, persoalan hukum Indonesia adalah bagian dari hukum Islam (perpaduan syarī’at dan fiqh). Syari’at adalah program implementasi dari al-Dīn/ al-Hudā yang bersifat universal sedangkan pemahaman syariat menjadi fiqh. Studi Dimyati60 yang mencoba fokus dalam memotret sejarah hukum Islam di Indonesia sejak kemerdekaan hingga tahun 1990-an menjelaskan bahwa proses positivisasi pada hakekatnya adalah suatu proses obyektivitas norma metayuridis menjadi norma yang positif, sehingga ilmu hukum yang terbangun adalah tetap berdasarkan logika normologi dan tidak berlogika normologis yang induktif untuk menemukan sejumlah norma yang eksis sebagai fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural masyarakat. Selain itu, hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum dalam aliran positivisme Khudzaifah Dimyati, Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990 (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2004). 60 30 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam merupakan hasil normatif judgmen bukan hasil observasiobservasi yang menggunakan metode sains guna menjamin obyektifitas dan reliabilitas suatu hukum. Sementara Azizy dalam bukunya Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum menyatakan bahwa agar hukum nasional Indonesia yang setelah sekian lama diidam-idamkan dapat terwujud, ia melontarkan ide eklektisisme. Maksudnya membentuk hukum nasional Indonesia dengan secara kritis memilahmilih unsur-unsur dari doktrin hukum umum (peninggalan kolonial Belanda), hukum Adat dan hukum Islam karena memang hanya sistem atau doktrin hukum inilah yang telah membumi di Indonesia. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah membangun kesamaan persepsi antara para ulama (pemegang otoritas hukum Islam/syari`ah) dan para ahli hukum umum atau civitas akademika fakultas hukum. Lebih jauh Azizy menawarkan, mengembangkan pemikiran hukum Islam dengan istilah yang disebut eklektisisme hukum Islam (suatu sistem agama atau filsafat) yang dibentuk secara kritis dengan memilih dari berbagai sumber dan doktrin sebagai upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia. Argumentasinya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai prodak positivisasi hukum Islam dari segi bahasa dan substansi masih menimbulkan ragam pemahaman.61 Orientasinya tidak bisa dipisahkan dengan gagasan positivisasi hukum Islam 61 Menurut kamus Black’s Law Dictionary, “kompilasi” berarti suatu produk berbentuk tulisan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. Jadi KHI bukan peraturan perundang-undangan dan juga bukan hukum (Amrullah: 1996:65-98). Sementara Boy (2008: 3-12) mengatakan bahwa KHI merupakan salah satu bentuk solusi yang cukup penting dalam mengakomodasi kelompok penentang maupun pendukung formalisasi syariah Islam. Kelompok lain KHI merupakan penyegaran kembali dari gagasan Hazairin oleh Munawir Sjadzali, Menteri Agama (1983-1993) yang perlu dikembangkan (Junaidi:tt) Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 31 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan sekaligus meniadakan dikotomi antara ilmu hukum nasional dengan ilmu hukum Islam.62 Terkait positivisasi hukum Islam, Azizi juga menjelaskan bahwa di kalangan umat Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat mengenai posisi hukum Islam di Indonesia. Ada pendapat yang meyakini supremasi hukum Islam, artinya hukum Islam lebih tinggi dari yang lainya dan ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam dengan hukum lainnya (adat dan barat) mempunyai posisi sama, masing-masing hukum tersebut berkompetisi dalam mewarnai pembangunan hukum Nasional.63 Namun Gus Dur sebagaimana dikutip Ghazali (Abdul Moqsith Ghazali, 2012, ”Menggemakan Pemikiran Gus Dur,” diiakses pada 21 Juni 2012 dari http:// islamlib.com/id/artikel/menggemakan-pemikiran-gus-dur 2012: 2-17) menafsiri ulang pengertian al-maqāṣid al-syar’iyyah atau al-dlaruriyat al-khams (lima prinsip dasar Islam). Di antaranya, hifdz al-dīn diartikan Gus Dur dengan kebebasan beragama, hifdz al-aql dengan kebebasan berfikir. Dengan mengerti relativisme dan subyektivisme fikih, Gus Dur menolak menjadikan fikih sebagai hukum positif negara. Formalisasi fikih Islam ke dalam produk perundang-undangan bukan solusi bagi masyarakat Indonesia yang plural. Telah lama Gus Dur membunyikan lonceng peringatan sekiranya umat Islam memaksa agar fikih Islam yang partikular dan beragam itu diformalisasikan. Memformalisasikan satu jenis fikih berarti membuang puluhan jenis fikih yang lain. Itu sebabnya, Gus Dur lebih suka merelakan fikih berada di tangan pemangku agama dan bukan di haribaan penguasa negara. Biarkan fikih menjadi medan eksplorasi intelektual para ulama dan bukan bahan hegemoni para zuama. Lebih dari itu, menurut Gus Dur, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara seluruh warga negara tak terkecuali umat Islam harus terus didorong untuk merujuk pada Pancasila dan konstitusi bukan pada teks kitab suci. Kitab suci boleh menjadi inspirasi, tapi tak boleh menjadi aspirasi. Tuntutan formalisasi syariat Islam, demikian Gus Dur, berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan bagi warga negara. Di negara Indonesia, kedudukan utama seseorang adalah warga negara bukan warga agama. Semua kita pada mulanya adalah penghuni negara Indonesia baru kemudian penghuni agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, Sikh, Baha’i, dan lain-lain). 63 Arifin, Pelembagaan, 33-55. Dia menjelaskan persoalan hukum Islam merupakan persoalan tetap yang tidak kunjung selesai, selalu mengombangambingkan manusia muslim antara tuntutan keimanan dengan tuntunan social masyarakat modern seperti yang terjadi dewasa ini. Lebih jauh dengan mengutip 62 32 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam Studi Asmar64 yang fokus pada pergumulan politik hukum Islam di Indonesia menjelaskan bahwa pergumulan politik hukum seputar KHI sebagai produk dari positivisasi hukum Islam setelah 20 tahun lebih diterapkan sebagai hukum materiil Pengadilan Agama, ternyata masih diperdebatkan legitimasinya. Misalnya Habiburrahman menyatakan bahwa KHI illegal, karena khususnya bab hukum waris mestinya menurut SK ditangani Wasit Aulawi dan KH. Azhar Basyir, namun keduanya tidak tahu persis dan secara tiba-tiba muncul buku II tentang hukum kewarisan terutama pasal pasal 185 KHI tentang ahli waris pengganti yang di dalamnya banyak terdapat pemikiran-pemikiran Hazairin yang pola pikirnya lebih dekat kepada pemikiran orientalis dari pada seorang muslim. Sehingga pemahaman ulang tentang positivisasi hukum Islam dengan KHI sebagai produknya merupakan hal yang harus disikapi secara serius. Menurut Masruhan65 dalam tulisannya di sebuah jurnal yang fokus pada positivisasi hukum Islam di Indonesia pendapat Mahmaud Syaltut, Arifin menjelaskan pentingnya pelaksanaan syari’at secara nyata yang bercampur dengan akal pikiran (rasio-paham). Hasil pemahaman Ijtihad selamanya tetap menjadi fiqh, dan syari’at tetaplah syari’at yang sempurna, sesuai dengan segala tempat dan waktu. Lebih jauh Arifīn (Ibid., 24) menjelaskan bahwa syari’at adalah metode atau cara menjalankan al-Dīn. Syarī’at juga dapat disebut sebagai program implementasi al-dīn. Al-dīn hanya satu dan seragam universal, sedangkan syarī’at sebagai program pelaksanaanya berbeda-beda sepanjang sejarah kemanusiaan sesuai masa para nabi dengan syariatnya masing-masing. 64 Lanka Asmar, “Ahli Waris Pengganti dalam KHI,” 2012,diakses pada 18 Mei 2012 dari http://hukum.kompasiana.com/2012/05/16/ahli – waris - penggantidalam-khi/ 65 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http://ejournal.Sunan-ampel.ac. id/index.php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 33 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan menjelaskan bahwa proses positivisasi hukum Islam di Indonesia mengandung dua dimensi yang dibedakan antara: 1. Hukum Islam dalam kaitannya dengan syarī’at yang berakar pada nash qath’ī, berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 2. Hukum Islam yang berakar pada nash dhannī yang merupakan wilayah ijtihādī yang produk-produknya kemudian disebut dengan fiqh.66 Realitas ini membutuhkan pengembangan kontekstual dalam mengembalikan pemahaman fungsi ajaran Islam secara umum sebagai rahmatan li al-‘ālamīn sekaligus sebagai sumber dhannī dalam konteks Indonesia. Arifin67 menjelaskan perlunya mengembalikan ajaran Islam Indonesia terkait hukum Islam Indonesia yang telah dipengaruhi oleh kepentingan politik Belanda. Menurutnya, secara historis motif penjajahan awalnya adalah faktor perdagangan rempah-rempah Indonesia yang laris di pasar Eropa yang kemudian penjajahan mengarah kepada Islam karena dalam pemahaman Belanda, Islam adalah agama yang berpengaruh di Indonesia. Arifin menyatakan bahwa pelembagaan terkait pengembangan makna aplikatif tentang al-syari’at dan al-din (Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 5-15. Dalam pengertian ini kemudian memberikan kemungkinan epistemologi hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi (Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 19-45). Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah sejak lama memperoleh tempat yang layak dalam kehidupan masyarakat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan bahkan pernah sempat menjadi hukum resmi negara (Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia (Jakarta: Gama Media, 2001), 23-39. 67 Arifin, Pelembagaan Hukum Islam, 35. 66 34 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam Studi Gunaryo dengan fokus pada pergumulan politik hukum Islam di Indonesia dalam konteks lembaga peradilan Agama menjelaskan perkembangan penjajahan Belanda yang berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam di Indonesia yang mengakibatkan sedikit demi sedikit hukum Islam terpangkas, sampai akhirnya yang tertinggal—selain ibadah— hanya sebagian dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya.68 Gunaryo juga menjelaskan bahwa sejarah panjang pergumulan politik hukum Islam membuktikan eksisnya hukum Islam di Nusantara yang tidak bisa dilepaskan dari pemahaman yang sesuai dengan budaya.69 Dengan demikian, penyesuaian hukum Islam dengan ragam budaya bisa dijelaskan antara lain dengan aplikasi metode maṣlahah yang akomodatif terhadap dinamika hukum Islam. Terkait positivisasi, studinya menjelaskan bahwa dalam perkembangan hukum Islam70 di Indonesia dibagi menjadi dua: 1. Hukum Islam yang bersifat normatif yang berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. Gunaryo, Pergumulan, 2006. Terkait positivisasi hukum Islam, Naim dalam studinya tentang dekonstruksi syari’ah menjelaskan bahwa wacana Islam tidak hanya wacana politik dan intelektual di negara-negara Islam, tetapi merupakan dimensi penting dari perdebatan publik mengenai konstitusional dan legal negara-negara tersebut (Abdullah Ahmed al-Naī’m, Dekonstruksi Syarī’ah, Kritik Konsep Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajidi, Yogyakarta: LKiS, 1996), 83-96. Tersirat di sini pelembagaan hukum Islam di semua negara menjadi penting untuk dikaji. 70 Menurut Sihab diantara wujud kontribusi hukum Islam, terutama dalam aspek penjiwaan nilai Islami (khususnya bidang perdata karena bidang pidana untuk saat ini masih belum memungkinkan) terhadap hukum nasional adalah. UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman pada pasal 10 Ayat (1) diperundangkan; “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan; Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. 68 69 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 35 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan 2. Hukum Islam yang bersifat yuridis formal yang berkaitan dengan aspek mu’āmalah (khususnya bidang perdata dan diupayakan pula dalam bidang pidana yang sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan) yang membutuhkan campur tangan negara dalam pelaksanaannya. Terkait usaha positivisasi meskipun keduanya (hukum normatif dan yuridis formal) masih mendapatkan perbedaan dalam pemberlakuannya, namun keduanya sebenarnya dapat terlaksana secara serentak di Indonesia sesuai dengan UUD 45 pasal 29 ayat 2.71 Hukum Islam—fiqh Indonesia adalah hukumhukum yang hidup72 dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat normatif maupun yuridis formal yang konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi. Salah satu pokok kajian Gunaryo adalah menguraikan proses rekonsiliasi kelembagaan instrumentatif antar Peradilan Agama dan Hukum Islam di satu sisi dan Peradilan Hukum Sekular di sisi lain. Di samping itu juga mengkaji tentang pergumulan politik pelembagaan Mahkamah Syar`iah dan hukum Islam di Aceh. Menurutnya setelah Aceh mendapat legalisasi (formal juridis) untuk melaksanakan syari`at Islam secara kaffah, Bahkan Arifin mengatakan bahwa KHI sebagai produk Pelembagaan Hukum Islam yang keluar secara yuridis melalui Intruksi Persiden sebenarnya adalah langkah politis karena adanya penghiantan dari Tim KHI yang mestinya KHI dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah. Selain kedua aspek dia atas, dengan disahkannya pula UU No. 7 Tahun 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan lembaga Peradilan Agama dalam sistem pengadilan nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya (Busthanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut) (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1999), 3-23. 72 Yakni, hukum yang diterima dan digunakan secara nyata dalam kehidupan umat, atau yang tersosialisasikan dan diterima masyarakat secara persuasif, karena dianggap telah sesuai dengan kesadaran hukum dan cita mereka tentang keadilan. Amrullah, Dimensi Hukum Islam, 209. 71 36 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam dalam implementasinya di lapangan belum banyak yang dapat dikatakan. Pelaksanaan itu sendiri belum diberi pola atau format yang jelas selain masih berada dalam taraf eksperimentatif. Sebagai lanjutan pentingnya pembahasan ini, Arifin dalam sebuah makalahnya juga memperjelas bahwa positivisasi hukum Islam73 sesungguhnya merupakan strategi politik dalam memasukkan nilai hukum Islam ke dalam hukum nasional diawali dengan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 sebagai wadah besarnya yang selanjutnya tinggal memikirkan isinya. Positivisasi hukum Islam di Indonesia juga merupakan rentetan sejarah panjang perjalanannya sejak kedatangannya yang terus berpengaruh hingga sekarang. Atas dasar itulah pemahaman 73 Positivisasi hukum Islam di Indonesia terkait dengan sejarah kedatangaanya yang multi teori Busthanul Arifin, Transformasi, dan Azyumardi Azra, Islam di Asia Tenggara Pengantar Pemikiran (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), xii) bayak teori menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia. Di antaranya; pertama, teori Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-12 dari Gujarat dan Malabar, bukan Persia atau Arabia. Teori ini dikemukakan oleh Pijnappel pada tahun 1872, dan didukung oleh umumnya sarjana-sarjana Belanda seperti C. Snouck Hurgronje, Moquette dan Morrison. Kedua, teori S.Q. Fathimi mengatakan bahwa Islam datang dari Bengal. Argumentasinya bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya pada abad ke-11 adalah dari pantai timur, bukan dari barat (Malaka), melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Teori ketiga menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya Hadhramaut. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Crawfurd (1820) dan didukung oleh Keyzer (1859), Niemann (1861), de Hollander (1861) dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab. Keyzer, Niemann dan de Hollander menyatakan bahwa umat Islam di Nusantara bermadzhab Syafi’i sebagaimana halnya madzhab umat Islam di Mesir dan Hadhramaut. Dalam beberapa hal, “teori Arab” ini didukung oleh Thomas W. Arnold (1913) yang menegaskan bahwa selain Coromandel, Islam Indonesia juga berasal dari Malabar. Namun, menurut Arnold, daerah-daerah ini bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa. Ia juga mengajukan pandangan bahwa para pedagang dari Arabia sendiri memegang peranan dominan dalam menyebarkan Islam ke Indonesia, bahkan sejak abad ke-7 dan ke-8 Masehi atau awal-awal abad pertama Hijriyah. Menurut Arnold, di pantai Barat Sumatera telah didapati satu kelompok perkampungan orang Arab pada tahun 684 M. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 37 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan strategis tentang hukum Islam—fiqh perlu penyesuaian untuk mengisi wadah yang sudah terbentuk dalam KHI tersebut sesuai konteks Indonesia. Penyesuaian yang memungkinkan adalah pengembangan dalam aplikasi sosial tentang penerapan metode tertentu dalam ilmu agama. Selain al-Qur’an dan al-Sunnah, Ijmā’ juga merupakan sumber hukum yang kuat, menduduki tingkatan ketiga dalam urutan sumber hukum Islam.74 Sehingga positivisasi hukum Islam dari segi sumber kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan dibagi dua; sebagai sumber persuasif dan autoritatif. Sumber persuasive, persuasive source, adalah sumber yang harus diyakinkan supaya diterima semua orang lain (masyarakat). Sedangkan sumber autoritatif, authoritative source, adalah sumber yang mempunyai kekuatan hukum tanpa harus meyakinkan kepada orang lain (masyarakat). Positivisasi hukum Islam di Indonesia sesungguhnya merupakan suatu bentuk Ijtihād Tatbīqi dalam konstelasi pergumulan politik hukum nasional di Indonesia terkait dengan pengembangan kajian hukum Islam mengenai al-Dīn - Syarī’ah – Fiqh - yang memang sangat dibutuhkan seiring dengan berkembangnya persoalan manusia dengan sosial budaya Indonesia. Artinya, positivisasi hukum Islam sesungguhnya merupakan upaya meluruskan persepsi tentang syari’at melalui (1) Pengadilan Agama terutama para hakimhakimnya (2) mengakrabkan umat Islam (ulama-ulama) dengan yurisprudensi, dan (3) membuat kompilasi hukum Islam serta perundangan lain yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia dengan segala persoalan sosial budayanya. Hukum dalam pengertian Ilmu hukum sekarang dikembangkan dalam norma-norma hidup dari suatu masyarakat dan selalu kumpulan norma-norma hidup itu terkait dengan moral agama. Sementara moral agama terkait dengan tauhid yang selalu membuahkan kesadaran kesamaan kedudukan manusia dalam hukum. Arifin, Pelembagaan, 26. 74 38 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam Muhammad Alim75 dalam bukunya Relasi Agama dan Negara menjelaskan bahwa negara republik seperti Indonesia mempunyai potensi pembangunan sesuai Islam masa nabi dan sahabatnya. Upaya ini untuk mewujudkan keadilan yang merdeka, tidak memihak dalam menegakkan keadilan, menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia, memiliki konstitusi (al-Qur’an dan Sunnah) dan seterusnya, sebagai modal menuju pelembagaan dan positivisasi hukum Islam yang sesungguhnya. Hal ini karena adanya ikatan antara agama dan negara di Indonesia. Sementara Malthuf Siroj76 dalam studinya menjelaskan tentang perlunya pembaharuan hukum Islam dengan mencoba menguji kesesuaian KHI dengan kebutuhan hukum di Indonesia.77 Menurutnya hukum Islam perlu disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang antara lain disebabkan oleh perkembangan politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain. Tujuannya antara lain untuk melengkapi pilar peradilan Agama, menyamakan persepsi penerapan hukum, mempercepat proses taqrīb bain al-ummah (penyatuan elemen-elemen masyarakat) dan menghilangkan paham urusan pribadi dan golongan. Dari sekian studi yang berkembang seputar hukum Islam Indonesia, transformasi nilai hukum Islam ke dalam 75 Alim, Asas-asas Negara Hukum Moderen dalam Islam, Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan (Yogyakarta: LkiS, 2010). 76 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012). 77 Dalam studi Jazuni menjelaskan bahwa pelembagaan hukum Islam sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional melalui legislasi, hukum Islam harus berkompetisi dengan hukum lain, dan pendukung hukum Islam harus berkompetisi dengan pendukung hukum lain. Kompetesi ini supaya meciptkan kondusifitas Negara berlangsung melalui wadah demokrasi. Jazuni, Legislasi Hukum Islam Di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 2-8. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 39 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan hukum Nasional, nampaknya penelitian seperti ini masih layak untuk dikembangkan guna memperkaya khazanah keilmuan serta dinamika hukum Islam, apalagi penelitian yang secara tegas menjelaskan politik hukum era reformasi dalam konteks positivisasi hukum Islam nampaknya belum banyak disinggung oleh penelitian atau tulisan sebelumnya. Sehingga penelitian/disertasi ini menunjukkan perbedaan dengan tulisan sebelumnya secara tegas dan jelas terutama dari sisi politik hukum era reformasi yang sangat berpengaruh terhadap suatu produk hukum, sehingga hal ini sekaligus menunjukkan kalau penelitian/disertasi ini masih relevan sebagai upaya memunculkan suatu model tertentu dalam pengembangan ilmu hukum Indonesia atau ilmu hukum Islam Indonesia yang tentunya tidak lepas dari rujukan dan analisis yang mirip menuju “Indonesiasi Islam dan Islamisasi Indonesia”. Sehingga wajah hukum Indonesia mencerminkan karakter bangsa Indonesia dalam konteks pembangunan hukum sebagai negara hukum. Hal inilah yang sekaligus membedakan penelitian disertasi ini dengan penelitian sebelumnya dengan fokus pada usaha integrasi ilmu hukum Islam dengan Ilmu hukum nasional di tengah pluralitas hukum nasional sesuai bingkai demokrasi Pancasila dengan mayoritas umat muslim di Indonesia. C. Metode Penelitian Untuk mempermudah dalam mengolah informasi atau jawaban sesuai dengan rumusan permasalahan, maka buku ini telah disusun dengan suatu desain secara menyeluruh sesuai urutan kerja dari penelitian yang telah direncanakan. Tujuanya adalah untuk memperjelas pemahaman secara dinamis, sesuai data dan pemikiran yang muncul serta berkembang secara dialogis 40 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam dalam pengolahan data.78 Selain itu, hal tersebut dimaksudkan agar penelitian dapat terarah dan tidak menyimpang dari yang penulis telah rencanakan, berdasarkan metode-metode ilmiah.79 Argumentasinya adalah, suatu penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.80 Penulisan buku ini merupakan jenis kualitatif dengan pola deskriptif analitis. Penelitian ini didasari oleh argumentasi bahwa hukum itu terdiri atas ide-ide dan konsep-konsep yang abstrak yang membutuhkan cara tertentu untuk memperoleh gambaran ide-ide yang diwujudkan dalam praktik kehidupan. Tujuannya agar dapat memberikan penjelasan bermakna tentang data-data hukum yang diinterpretasi secara analisis sesuai data yang sudah terkumpulkan. Hal ini karena positivisasi hukum Islam didasarkan pada doktrin hukum positif dan hukum Islam untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, dan kemaslahatan secara dialogis.81 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian pustaka Library Resarch, jenis kualitatif dengan pola deskriptif, yaitu penelitian yang menjelaskan dan menggambarkan apa adanya tentang konsepsi positivisasi hukum Islam dan dinamika pemikiran hukum hukum Islam serta problematika implementasinya di Indonesia.82 78 Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 3. 79 Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 2. 80 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 73. 81 Supranto, Metode, 6-7. 82 Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, 23. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 41 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan Menurut Suryabrata83 secara harfiyah penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk membuat pencandraan mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Oleh karenanya penelitian ini bisa disebut menggunakan analisis kualitatif, pendekatan historis, yuridis sosiologis dengan jenis kepustakaan (library research) untuk mendialogkan berbagai pengetahuan pustaka dan karya yang telah ada.84 Pustaka dimaksud adalah data tertulis khususnya buku-buku ilmiah yang terkait dengan teori positivisasi.85 Selain itu menggunakan literatur yang sesuai untuk memperoleh data yang diperlukan.86 Hal ini karena hukum tidak hanya dilihat sebagai suatu entitas normatif, melainkan sebagai bagian riil dari sistem sosial dalam kaitannya dengan variabel sosial yang ada dalam masyarakat.87 2. Pendekatan dan Sumber Data Penelitian buku ini adalah penelitian pustaka Library Resarch yang memposisikan sumber data sebagai subjek dari mana data tersebut diperoleh,88 sehingga pendekatannya menggunakan pendekatan hukum normatif, pendekatan historis dan pendekatan sosiologis. Adapun sumber datanya ini adalah buku-buku, artikel, tulisan-tulisan dan dokumen peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia yang relevan dengan materi buku ini. Data dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder.89 Data primer atau data Suryabrata, Metodologi Penelitian, 10. Supranto, Metode, 6-7. 85 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), (Jakarta: Rosdakarya, 2004), 13. 86 Ibid., 9. 87 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 38. 88 Soemitro, Metodologi, 39. 89 Ibid., 11-12. 83 84 42 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian sebagai data utama.90 Data sekunder adalah bukti teoritik yang diperoleh melalui studi pustaka sebagai kajian yang digunakan untuk mendudukung data primer yang menjadi landasan kerangka berfikir, atau data yang diproleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh dari subyek penelitiannya.91 Data dimaksud berupa literatur yang terkait dan mendukung dengan materi pembahasan. Adapun sumber data yang dimaksud adalah: a. Buku-buku yang memuat tentang hubungan agama, hukum, dan politik di Indonesia dalam studi hukum Islam dan dinamika legislasi hukum Islam b. Buku-buku yang membahas tentang sistem hukum di Indonesia. c. Dokumen-dokumen resmi pemerintah Republik Indonesia yang terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. 3. Tehnik Pengumpulan Data Memperoleh data adalah persoalan metodologis.92 Sehingga data tentang positivisasi hukum Islam, politik hukum dan konsep pembangunan ilmu hukum nasional Indonesia digali sebagai instrumen, melalui teknik informasi dokumentasi. Untuk mendapatkan data yang mendukung, digunakan metode dokumentasi dengan mengumpulkan data dilanjutkan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahanbahan tertulis berhubugan dengan topik penelitian.93 Adi, Metodologi, 38. Ibid., 48. 92 Moleong, Metodologi, 67. 93 Ibid., 92. 90 91 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 43 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan Dalam melakukan penelitian ini, teori-teori, konsepsikonsepsi, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaidah hukum diperoleh melalui dua referensi utama sebagai berikut: a. Bersifat umum seperti buku-buku, teks, ensiklopedia, dan yang sejenisnya. b. Bersifat khusus seperti jurnal, laporan hasil penelitian, terbitan berkala, dan yang sejenisnya. Penelitian melalui studi pustaka lebih diarahkan pada penelitian terhadap telaah pustaka atau dokumen-dokumen pemerintah atau negara, baik yang bersifat nasional maupun internasional serta dokumen yang relevan dengan penelitian ini. 4. Pengolahan Data Dalam pengolahan data, telah dilakukan analisis untuk memberi gambaran yang jelas mengenai objek penelitian. Memaparkan data apa adanya, penyajian data sesuai fakta tanpa interfensi kepentingan penulis.94 Dengan pola serta model penelitian demikian, data akan diolah dengan cara editing di mana dalam tahap ini dilakukan pemeriksaan atau pengecekan terhadap data-data yang telah diperoleh agar dapat dilakukan koreksi terhadap data yang salah untuk melengkapi data yang masih kurang, sehingga data akhir yang diharapkan adalah data yang valid serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan model pengolahan data demikian, penulis bisa mempertangungjawabkan keilmiahan suatu data. 94 44 Ibid., 62. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Pendahuluan Dr. M. Shohibul Itmam 5. Analisis Data Analisis merupakan proses yang tidak pernah selesai,95 berhenti selama penelitian serta untuk menjaga keseimbangan antara objek diteliti dengan pandangan subyektif penulis.96 Karakter penelitian kualitatif adalah analisis berkesinambungan, mengolah data secara induktif. Analisis merupakan cara untuk mempelajari serta memilah data sehingga diambil suatu kesimpulan konkrit tentang persoalan yang diteliti atau dibahas.97 Oleh karenanya seluruh data yang diperoleh setelah dilakukan berbagi proses identifikasi dan klasifikasi secara sistematis, kemudian dilakukan analisis secara induksi-interpretasikonseptualisasi. Dengan demikian data yang telah didapatkan secara detail (induksi) dapat berupa data yang lebih mudah dipahami, dicarikan makna sehingga ditemukan pikiran apa yang tersembunyi di balik data tersebut (interpretasi) dan akhirnya dapat diciptakan suatu konsep (konseptualisasi). 6.Validasi/Kesahihan Dalam buku ini supaya ada pertanggungjawaban moral terutama dari sisi akademik terhadap publik serta dengan mengingat data-data yang diperoleh berupa tulisan-tulisan referensi juga merupakan data yang bersifat narasi/ informatif, maka validasi yang digunakan adalah melengkapi aktifitas penelitian dengan triangulasi, sebagai tehnik Analisis merupakan proses yang tidak pernah selesai, terutama setelah menemukan data atau meninggalkan lapangan. Sebenarnya analisis dapat dilakukan sejak peneliti menemukan data atau berada di lapangan, namun sebagian besar konsentrasi untuk menganalisis dan menginterpretasi itu biasanya tercurah pada sesudah meninggalkan lapangan atau menemukan data pustakanya. 96 Moleong, Metodologi, 62. 97 Ibid., 10, 248. 95 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 45 Dr. M. Shohibul Itmam Pendahuluan pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.98 Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lain dengan cara dibanding-bandingkan.99 Dengan membandingkan beberapa data yang lebih relevan maka penulis bisa mendekati dalam memperoleh data lebih optimal. 98 99 46 Ibid., 178. Adi, Metodologi, 79. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia BAB II LANDASAN TEORI A. Hubungan Agama dan Negara dalam Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 1. Hukum Islam diantara Syarī’ah dan Fiqh Islam mengajarkan hukum yang lengkap dalam menata kehidupan yang kompleks sehingga hukum Islam tersebut berkembang pemahamannya di antara syari’at dan fiqh. Dalam konteks Negara misalnya, hukum Islam memberi penjelasan yang jelas dalam menata hubungan timbal balik yang positif antara Islam sebagai Agama dan sebagai kekuasaan atau Negara. Menurut Ahsan Khan Nyazee sebagaimana dikutip Jazuni1 bahwa di dalam doktrin Islam, sumber dari segala sumber adalah Allah. Sebagai kerangka konseptual dalam positivisasi hukum Islam, perlu dijelaskan pengertian teoritis/konseptual fiqh dan syari’ah terkait kenegaraan. Kerangka teoritis/konseptual ini diharapkan menjadi rancangan yang dapat menegaskan dimensi-dimensi kajian utama penelitian serta mengungkap perkiraan hubungan-hubungan dalam pandangan tertentu.2 Dalam kelengkapan ajaran Islam tersebut, Muhsin3 dan Rofiq menyebutkan bahwa setiap pembahasan tentang Jazuni, Legislasi, 11. Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum (Jakarta: BP. IBLAM, 2004), 10-11. 3 Ibid., 10-13. Rofiq, Pembaharuan, 13. 1 2 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 47 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori hukum Islam biasanya didahului oleh penjelasan konsep yang memang sering kali menimbulkan kesalahpahaman seperti konsep syarī’ah, tasyrī’, fiqh, ushūl al-fiqh dan lainya. Fiqh misalnya, secara bahasa dalam makna etimologisnya adalah “al-fahm” (pemahaman), “taṣawwur” (persepsi) dan “idrāk” (kognisi) atau pemahaman yang mendalam.4 Sedangkan secara terminologis, fiqh merupakan disiplin keilmuan yang fokus pada hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis amaliyah yang diderivasikan (istinbāṭ) dari dalil-dalil yang terperinci.5 Sehingga fiqh dipahami sebagai konotasi makna hermeneutis, selain mempunyai arti sosial dan makna dalam arti hukum agama. Selain itu, dengan adanya pengaruh oleh pra-anggapan metafisik dari teologi Islam (kalām), fiqh kemudian membedakan dengan tegas antara pemahaman (understanding) dan penafsiran (interpretation) untuk memproteksi autentisitas dan kesempurnaan wahyu. Jadi fiqh lebih banyak diarahkan pada pemahaman makna teks dengan kaidah-kaidah yang bersifat bayāniyah, dan tidak pada tafsiran yang fungsional bagi kehidupan manusia. Pendek kata, fiqh adalah jendela dalam melihat fenomena sosial dalam prespektif Islam.6 Rofiq7 menjelaskan syari’ah yang mengalami penyempitan makna menjadi konsepsi fiqh. Pada konsepsi awal, fiqh mencakup pemahaman terhadap hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah yang mengakomodasi hukum-hukum 4 Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam Kulliyyah al-Khamsah (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 1. 5 Ibid. 6 Moh. Mahfud MD,“Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https://docs. google.com/viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task 7 Rofiq, Pembaharuan, 13-25. 48 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam i’tiqādiyyah, ‘amaliyyah dan khuluqiyyah (teologi, hukum dan moralitas), namun kemudian dimensi teologi dikeluarkan dari konsepsi fiqh.8 Pada ranah ini, fiqh sebagai sebuah disiplin keilmuan yang mandiri mempunyai hubungan dengan syarī’ah yang mempunyai formula praktis yang dipahami dari syariah. Lebih jauh Rofiq9 menjelaskan bahwa dalam konteks ke-Indonesiaan dikenal istilah yang sering kali menimbulkan kekaburan makna dalam pengertian syariah atau fiqh, karena dalam literatur barat dikenal istilah Islamic Law yang secara harfiah berarti hukum Islam. Dilihat dari subtansinya bisa dipahami bahwa yang dimaksudkan bukan syarī’ah, tetapi fiqh yang dikembangkan oleh para mujtahid sesuai dengan konteks ruang dan waktu.10 Artinya, Syari’at berlaku abadi sedangkan fiqh sangat terkait dengan ruang dan waktu. Sehingga, Hukum Islam di Indonesia dapat dipahami sebagai sebuah hukum yang bersumber dari ajaran syari’at Islam, yaitu al-Quran dan alSunnah yang merupakan gabungan fiqh dan syari’at. 8 Fiqh pada fase ini disebut juga dengan al-aḥkām al-syar’iyyah al-far’iyyah, yakni bukan i’tiqādiyyah. Dalam perkembangan berikutnya, setelah terjadi diferensiasi keilmuan yakni dimulai pada awal pemerintahan ‘Abbasiyyah, fiqh menjadi disiplin keilmuan yang murni konsen pada persoalan-persoalan syara’ yang bersifat praktis (hukum) yang memungkinkan berkembang menjadi ilmi hukum Islam. Abid Rohmanu, “Konsepsi Fiqh Jihad Khaled Medhat Abou El Fadl Dalam Perspektif Relasi Fiqh Dan Akhlak,” Disertasi (IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010), 19-25. 9 Rofiq, Pembaharuan, 13-20. 10 Menurut Afandi, tidak diragukan lagi hukum Islam yang diturunkan Allah Swt. memiliki keunggulan dibandingkan dengan hukum sekuler, baik dari segi Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure) maupun Budaya Hukum (legal culture). Di antara keunggulan sistem hukum Islam adalah keefektifannya menekan angka kriminalitas; efektif membuat masyarakat taat dan sadar hukum; efektif menciptakan ketertiban masyarakat; efektif mencegah munculnya mafia hukum serta efektif mewujudkan keadilan yang hakiki. Luthfi Afandi, “Efektifitas Hukum Islam,” 2-4, diakses pada 21 Juni 2012 dari http:// hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/efektifitas-hukum-islam/ Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 49 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori Sedangkan hukum positif adalah hukum yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu tertentu berupa seperangkat aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat maupun sebuah ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa yang bentuknya bisa tertulis seperti peraturan perundangan maupun tidak tertulis seperti hukum adat. Dalam hal ini, konsepsi hukum Islam kerangka dasarnya telah ditetapkan oleh Allah Swt. yang kemudian implementasinya dalam interaksi manusia yang menurut Daud Ali sebagai seperangkat aturan/ukuran tingkah laku yang dalam terminologi Islam disebut hukm, jamaknya ahkām.11 2. Hukum Nasional dan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Dalam konteks pembangunan hukum Indonesia, relasi hukum Islam dengan hukum positif/hukum nasional mempunyai obyek kerja yang searah dalam mewarnai pembangunan hukum nasional. Hal ini terkait dengan sistem hukum nasional yang memungkinkan menyatunya hukum Islam dengan hukum nasional. Berbicara sistem hukum nasional berarti berbicara mengenai kesatuan dari berbagai sub-sistem nasional yang meliputi substansi hukum nasional, struktur hukum nasional dan budaya hukum nasional.12 Dari ketiga lingkup sistem hukum nasional dapat disederhanakan secara substansial bahwa sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum hukum Pancasila yang berorientasi Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Candra Pratama, 1996), 44. Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia), (Semarang: Pustaka Magister, 2012), 12-13. 11 12 50 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam pada tiga pilar yaitu, nilai ketuhanan (bermoral relegius), nilai kemanusiaan (humanistik) dan nilai kemasyarakatan (nasionalistik, demokratik, berkeadilan sosial).13 Dengan demikian, sistem/tatanan hukum di Indonesia yang tidak berorientasi pada tiga pilar/pendekatan/ruh tersebut tidak dapat disebut hukum nasional meskipun dibuat oleh badan legislatif Indonesia.14 Dalam lingkup pembangunan sistem hukum nasional yang meliputi substansi, struktur dan budaya hukum sesuai lokakarya nasional terutama pada Tahun 1999 (era reformasi) dirinci sebagai berikut: Dari substansi/perangkat hukum mencakup 14 sektor yaitu; (1) sektor HTN dan HAN (2) sektor Hukum Tata Ruang (3) sektor Hukum Bahari/laut (4) sektor Hukum Dirgantara (5) sektor Hukum Kependudukan (6) sektor Hukum Lingkungan (7) sektor Hukum Kesehatan (8) sektor Hukum Kesejahteraan Sosial (9) sektor Hukum Teknologi dan Informatika (10) sektor Hukum Keluarga dan Waris (11) sektor Hukum Ekonomi (12) sektor Hukum Pidana (13) sektor Hukum Militer dan Bela Nagara (14) sektor Hukum Transnasional.15 Dari struktur/tata hukum mencakup 5 sektor, yaitu: (1) sektor kelembagaan, administrasi dan manajemen lembaga-lembaga hukum (2) sektor mekanisme, proses dan prosedur (3) sektor peningkatan koordinasi dan kerjasama Ibid. Dalam konteks demikian, Hariyanto menjelaskan hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum. Muhsin Harianto, “Legislasi Hukum Islam di Indonesia Dalam Prespektif Politik Hukum,” 2-10. Diakses pada 5 Pebruari 2013 dari 15 Arief, Pembangunan, 12-13. 13 14 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 51 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori nasional (4) sektor kerjasama regional dan internasional (5) sektor pengembangan sarana dan prasarana pendukung pembangunan hukum.16 Dari budaya hukum mencakup 5 sektor, yaitu: (1) sektor Pembinaan Fisafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional (2) sektor Pembinaan Kesadaran Hukum dan Prilaku Taat Hukum (3) sektor Pengembangan/ Pembinaan Perpustakaan, Penerbitan dan Informatika hukum (4) sektor Pengembangan dan Pembinaan Profesi Hukum (5) sektor Pengembangan dan Pembinaan Pendidikan Hukum. Namun sesuai Renstra (Rencana Strategik) pembangunan hukum nasional Repelita VI hingga memasuki era reformasi disederhanakan menjadi tiga bidang. Pertama, cita hukum, filsafat hukum dan ilmu hukum nasional.17 Kedua, pranata hukum dan lembaga hukum. Ketiga, prilaku hukum pemerintah dan masyarakat.18 Sedangkan berbicara tentang sistem hukum Islam berarti berbicara tentang prinsip yang terkandung dalam hukum Islam, yaitu sifat dan karakter hukum Islam. Sifat atau karakter terpenting dari hukum Islam adalah konstruk peraturan-peraturan yang diorientasikan untuk beribadah atau penghambaan diri kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Melaksanakan hukum Islam berarti suatu ketaatan dan Ibid. Menurut Alim dalam perkembangan ilmu hukum kini telah sampai pada konsep bahwa aturan hukum pada hakikatnya tersusun secara hierarkis. Konsep ini dengan kuat diterima di kalangan keilmuan hukum sehingga ada kecenderungan bahwa ada tidaknya hierarkis, penjenjangan atau tata urutan peraturan perundang-undangan dijadikan sebagai tolak ukur tentang ada tidaknya unsur negara hukum. Kecenderungan tersebut adalah wajar sebab esensi adanya penjenjangan atau tata urutan perundang-undangan itu adalah sebagai pembatasan dalam pembuatan peraturan hukum. Muhammad Alim, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”, 2012, 127-128. Diakses pada 1 Pebruari 2013 dari 18 Arief, Pembangunan, 12-13. 16 17 52 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam pelakunya berhak mendapatkan pahala dari sisi Tuhan, dan yang meninggalkan atau menyalahinya merupakan suatu kemaksiatan yang akan mendapatkan dosa atau sanksi dari Tuhan. Kepatuhan terhadap hukum Islam merupakan tolak ukur keimanan seseorang. Hukum Islam bersifat ijabi dan salbi. Artinya hukum Islam itu memerintah, mendorong, dan menganjurkan untuk melakukan perbuatan baik ma’ruf serta melarang perbuatan munkar dan segala macam bentuk kemudaratan. Hal ini mengingat bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum Islam adalah mendatangkan, menciptakan, dan memelihara kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan individu dan masyarakat harus seimbang. Karakter hukum Islam bukan hanya berisi perintah dan larangan semata, tetapi juga berisi ajaranajaran untuk membentuk pribadi muslim sejati, berakhlak mulia, berhati suci, berjiwa tinggi tidak kerdil, serta mempunyai kesadaran pertanggungjawaban hukum yang tinggi. Hukum Islam mempunyai kemampuan untuk mengakomodir adat istiadat yang berlaku di masyarakat.19 Atas dasar itulah Abū Ishāq al-Shātibī (w. 790 H/1388 M) sebagaimana dikutip Praja20 merumuskan lima tujuan pembentukan hukum Islam, yaitu memelihara kemaslahatan agama (din), memelihara kemaslahatan jiwa (nafs), memelihara kemaslahatan akal (aql), memelihara kemaslahatan keturunan (nasl) dan memelihara kemaslahatan harta (mal). Lima tujuan hukum Islam ini kemudian dikenal dengan istilah al-Maqashid al-Khamsah atau al-Maqashid al-Syari’ah. Tujuan hakiki disyariatkannya hukum Islam adalah tercapainya keridlaan Allah dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law (Bandung: Alumni, 1976), 58. Juhaya S Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: Rosdakarya, 1991), 196. 19 20 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 53 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori 3. Hubungan Agama dan Negara dalam Positivisasi Hukum Positivisasi terkait pembaharuan hukum Islam21 merupakan trend pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Dengan meminjam terminologi Fazlur Rahman, Rofiq22 dan Rahman23 menjelaskan positivisasi sebagai bagian dari pembaharuan hukum Islam menunjukkan trend neomodernisme. Hal ini dapat direpresenstasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk legislasi suatu hukum.24 Ciri-cirinya adalah (1) Mempertimbangkan seluruh tradisi Islam, baik yang bersifat tradisional maupun modern, (2) Pembedaan antara Islam normatif dan Islam historis atau Islam konseptual dan Islam aktual, (3) Menggunakan metodologi ilmiah dalam upaya reformulasi Hukum Islam, berdasarkan khazanah Positivisasi hukum Islam bila diperhatikan dari langkah-langkah penyusunan Kompilasi Hukum Islam, maka pola neo-modernisme nampak jelas dengan beberapa indikator, yaitu (1) Pengkajian kitab-kitab fiqh, (2) Wawancara ulama, (3) Pengkajian yurisprudensi Pengadilan Agama, (4) Studi banding ke negara-negara Muslim, dan (5) Lokakarya dan seminar yang diikuti oleh ahli hukum dan ulama. Oleh karenanya Trend pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia menunjukkan kecenderungan corak neo-modernisme. Hal ini nampak dalam konteks perorangan, kelembagaan, mapupun birokrasi (pemerintah), melalui peraturan perundang-undangan (jika pemilahan ini dibenarkan), menunjukkan bahwa kompromi antara syari’ah atau fiqh, hukum barat dan hukum Adat yang hidup dalam kesadaran masyarakat menjadi pilihan yang efektif. Lembaga ijtihad atau tajdid dikedepankan, pola lintas mazhab dikembangkan, dan teknik kompilasi, baik yang berbentuk administratif maupun substansi hukumnya, merupakan suatu keniscayaan. Sementara teori talfīq yang dalam perspektif masyarakat tertentu ditabukan, bisa menjadi alternatif yang cukup efektif bagi upaya pembaharuan hukum Islam menuju positivisasi hukum Islam. Ahmad Syafii Rahman, “Corak Modernisme Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis),” 2012, 2-9. Diakses pada 24 Juni 2012 dari http://syafiirahman.blogspot. com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_2255.html 22 Rofiq, Pembaharuan, 173. 23 Rahman, Corak Modernisme,2-6. 24 Ibid., 4-10. 21 54 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam intelektualisme Islam klasik dan akar-akar spritualisme Islam, (4) Menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah secara historis sosiologis dan kronologis, (5) Ada pembedaan antara yang ideal-moral dengan legal-spesifik, dengan mengedepankan ideal moral, (6) Upaya mensistematisasi metode penafsiran modernisme klasik, (7) Memasukkan masalah kekinian ke dalam pertimbangan reinterpretasi al-Qur’an.25 Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Dalam lintasan sejarah itu, hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya, baik sebagai hukum positif atau tertulis, maupun tidak tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum. Inilah yang disebut dengan teori eksistensi.26 Kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia pasca kemerdekaan, menurut Sunny27 dibagi Rofiq, Pembaharuan, 173. Rahman, Corak Modernisme,3-10. Teori eksistensi terkait dengan keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional yang dapat dibedakan dalam empat bentuk; 1) sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; 2) ada dalam arti diakui kemandirian, kekuatan, dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional; 3) ada dalam fungsinya sebagai penyaring bagi materi-materi hukum nasional Indonesia; dan 4) ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama bagi pembentukan hukum nasional, sehingga tampak bahwa hukum Islam merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Hukum Islam merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Sebagai sub sistem, hukum Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi yang dominan dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum nasional yang mencerminkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. M. Sularno, Syari’at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia,2012, 3-19” diakses pada 05 Oktober 2012, dari http: / /journal. uii. ac. id/ index. php/ JHI/ article/ viewFile/ 245/240 27 Ismail Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dalam Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), 6-19. 25 26 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 55 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori dalam dua periode, yaitu: pertama, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif, kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yakni sumber yang memiliki kekuatan mengikat dan sah dalam hukum tata negara Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya,28 pemerintah Indonesia menggulirkan kebijakan politik hukum yang dalam batas-batas tertentu mengakomodir beberapa keinginan umat Islam. Hal ini terlihat dengan diberlakukannya hukum Islam bagi pemeluknya sebagai hukum positif oleh pemerintah melalui pengesahan beberapa peraturan perundang-undangan saat itu.29 Setelah perkembangan hukum Indonesia melewati perjuangan panjang, baru kemudian muncul beberapa perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Perbankan tahun 1992 yang memasukkan beberapa aktifitas mu’amalah Islam, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No 23 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UndangUndang Perwakafan, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, termasuk yang sedang dalam pembahasan untuk disahkan menjadi undang-undang, yakni Kompilasi Hukum Islam yang meliputi: perkawinan, kewarisan, perwakafan, infak, sadaqah dan lainya yang akan segera lahir.30 28 Dalam sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia, maka persoalan yang menguntungkan secara signifikan bagi umat Islam hanya terjadi beberapa kali. Sejak Indonesia merdeka, baru pada tahun 1957 ada penegasan tentang kedudukan Peradilan Islam (Agama) atau berlakunya Mahkamah Syar’iyyah. Sularno, Syari’at Islam, 3-19). 29 Sularno, Syari’at Islam, 3-15. 30 Di samping itu juga masalah ekonomi syari’ah yang menarik untuk kaji. Prospek hukum Islam dalam sistem hukum nasional akan cukup menggembirakan sepanjang pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan hukum Islam mampu 56 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam Terkait teori positivisasi, Simarmata31 dengan mengutip pemikiran Ehrlich dan Pound mengembangkan pemikiran pada dekade kedua abad XX dan juga pada periode selanjutnya memunculkan berbagai gerakan pemikiran yang menggugat pengaruh mendalam filsafat positivism terhadap ilmu sosial seperti yang pernah dirintis oleh Auguste Comte (17891857). Selain itu, pandangan lain yang mencoba memisahkan hukum dengan anasir-anasir non hukum juga dikembangkan oleh Hans Kelsen (1881-1973). Menurut Kelsen, hukum harus dibuat murni dari pengaruh-pengaruh non hukum. Kelsen menyebut pendapatnya ini dengan teori hukum murni (reine rechtlehre) yang sebelumnya telah didahului oleh aliran positivisme hukum yang dipelopori John Austin (1790-1859). Sementara dalam konteks Indonesia dengan membatasi pada periode 1945-1990, Dimyati (2004) mengemukakan pemikiran hukum Indonesia berkembang dalam tiga tahapan pemikiran. Tiga tahapan pemikiran hukum tersebut berlangsung pada tiga periode. Periode pertama antara tahun 1945-1960, Periode kedua pada dekade 1960-1970 dan periode untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki hukum Islam, serta mampu mengeliminir kekurangan dan hambatan yang ada dan mencarikan solusinya. Untuk tujuan itu dapat diajukan usulan: pertama, optimalisasi fungsi ijtihad, dalam arti; mentransformasikan nilai-nilai hukum Islam menjadi rumusan-rumusan hukum yang aplikatif, mampu mengakomodir kebutuhan hukum dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, serta melakukan terobosan untuk integrasi hukum Islam dalam hukum nasional. Kedua, optimalkan fungsi komunikasi, sehingga dapat dieliminir miss perception dan disorientation tentang hukum Islam, baik yang muncul dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan non Islam, terlebih para penentu kebijakan di bidang hukum negeri ini. Ibid., 3-19. 31 Rikardo Simarmata, Socio-Legal Studies Dan Gerakan Pembaharuan Hukum, 2-10. Diakses pada 05 Oktober 2012 dari http://huma.or.id/wp-content/ uploads/2006/12/Rikardo-Simarmata.-SOCIO-LEGAL-STUDIES-DAN-GERAKANPEMBAHARUAN-HUKUM.pdf Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 57 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori ketiga pada dekade 1970-1990. Rumusan pemikiran hukum pada periode pertama dan kedua ditandai dengan dua karasteristik penting yaitu, pertama, berkutat pada aspek normatif dan kedua, memiliki komitmen yang kuat terhadap hukum adat. Sementara pemikiran periode ketiga dikategorikan bersifat transformatif. Masing-masing periode memiliki tokoh-tokoh pemikir. Soepomo dan Soekanto adalah tokoh pada periode pertama, Djoko Soetono, Hazairin dan Djojodigoeno adalah tokoh pada periode kedua. Sedangkan Satjipto Rahardjo, Mochtar Kusumaatmadja dan Sunaryati Hartono dianggap sebagai tokoh periode ketiga. Dalam studi Dimyati32 tersebut mengemukakan kentalnya pendekatan empirik dalam pemikiran hukum periode ketiga. Hukum tidak diperlakukan sebagai gejala normatif semata namun diletakkan dalam konteks sosialnya. Pendekatan ini sekaligus mempersoalkan logika formal-postivistik yang dinilai gagal menjelaskan suasana yang tidak normal (kemelut dan guncangan). Model pendekatan ini menurut Rahardjo33 juga akan membelenggu kenerja hukum yang begitu luas, sehingga gerak hukum yang mestinya tanpa batas itu menjadi tersendat dengan pandangan positifistik, tektual. Teori positivistik dianggap hanya mampu menjelaskan keadaan-keadaan normal. Dalam situasi semacam itu, diperlukan perubahan radikal pada pemikiran hukum Indonesia, sehingga dibutuhkan teori hukum yang mampu disamping memberikan gambar hukum Indonesia juga menjelaskan keadaan hukum dalam masyarakat secara seksama dalam kontek pembangunan hukum Islam Indonesia. Dengan demikian positivisasi sebagai 32 33 37. 58 Dimyati, Teoritisasi Hukum, 3-23. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2007), 12- Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam bagian dari pembaharuan hukum Islam diartikan sebagai upaya untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktek keislaman yang telah mapan (established) kepada pemahaman dan pengamalan baru.34 Hariyanto35 menjelaskan adanya format politik hukum Islam yang telah tertata terutama menjelang era reformasi. Menurut Hariyanto36 politik hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila. Kedua, alasan sosiologis, bahwa perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan. Ketiga, alasan yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal. Dalam kenyataan lebih konkret sebagai bukti tertatanya format politik hukum Islam menjelang tahun 1990-an hingga era reformasi terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam. UU sebelum reformasi antara lain, UU RI No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan, UU RI No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006, UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan prinsip bagi hasil. Selain Rofiq, Pembaharuan, 97-98. Hariyanto, Politik Hukum dalam Positivisasi Hukum Islam Bidang Ekonomi, 2-8. Diakses pada 28 November 2012 dari, 36 Ibid., 3-13. 34 35 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 59 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undangundang, antara lain, Penjelasan atas Undang-undang No.1 Tahun 1972 tentang Perkawinan, PP No. 9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan, PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP No. 72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Inpres No. 4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD.37 Sedangkana pada era reformasi beberapa hukum Islam lahir antara lain, UU RI No.10/1998 tentang Perubahan Atas UU 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan Prinsip Syariah, UU RI No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají, UU RI No. 38 Tahun 1999 diganti UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU RI No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam, UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan Partai Islam, UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional, UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004, UU RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.38 Muhsin Heriyanto, Legislasi Hukum Islam di Indonesia dalam Prespektif Politik Hukum, 2013, 2-12. Diakses pada 5 Pebruari 2013 dari 38 Ibid. 37 60 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam Selain itu ada beberapa keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia antara lain, No. 4/ Munas VII/ MUI/08/2005 tentang Perkawinan Beda Agama, Keputusan Fatwa Majlis Ulama, 11 Mei 2002 tentang Wakaf Uang, Keputusan Fatwa Majlis Ulama No. 3 Tahun 2005 tentang Zakat Penghasilan.39 Dari sekian produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU No. 14/1970 dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.40 Selain itu pada awal tahun 1990-an hingga era reformasi sesungguhnya merupakan rea1itas sosial dan politik hukum yang tidak dapat dihindari.41 Pada masa tersebut, peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan Selain itu pada awal tahun 1990-an hingga era reformasi sesungguhnya merupakan rea1itas sosial dan politik hukum yang tidak dapat dihindari. Pada masa tersebut, peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama. Hariyanto, Legislasi Hukum Islam, 6-19. 40 Ibid., 2-7. 41 Sejalan dengan perubahan iklim politik hukum dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi 39 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 61 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama.42 Atas dasar inilah Ratno Lukito menegaskan perlunya membangun hukum khas Indonesia yang mengakomodasi hukum sakral dan hukum sekuler dalam sistem hukum di Indonesia.43 Menguatkan paparan di atas, Gunaryo44 menjelaskan cita Negara Pancasila sebagi suatu sintesis antara teori teokrasi dengan teori skuler. Menurutnyam tidak diragukan lagi bahwa teokratis dan sekuler ternyata tidak dapt menerangkan fenomena yang terjadi di Indonesia. Kenyataan Indonesia bukan Negara agama dan bukan Negara sekuler telah meruntuhkan kedua pendekatan teori tersebut. Kedua teori tersebut tidak dapat dijadikan wadah untuk sebagai dasar pemahaman fenomena pergumulan agama, hukum dan politik di Indonesia. Hubungan antara agama dan Negara di Indonesia dengan sendirinya membuat kedua teori tersebut harus mengakui adanya teori lain yang lebih sesuai upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Pertanyaannya adalah, bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar hukum Islam tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan Indonesia baru yang adil dan sejahtera menuju ilmu hukum Islam Indonesia. Ibid. 42 Hariyanto, Politik Hukum, 2-9. Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2012), 290-312. 43 Ibid., 190-213. 44 Gunaryo, Pergumulan, 33-35. 62 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam dengan konteks Indonesia, yaitu teori Negara Pancasila. Di Indonesia, hukum agama di akomodir, meskipun akomodasi itu tetap dalam rangka kebutuhan memenuhi kepentingan Negara dalam regulasi pemerintahan. Bersama dengan unsur lain, agama diperlakukan sebagai pembentuk unsur Negara dalam pembangunan hukum Negara.45 Sebagai konsekuensi dari teori di atas, maka hukum yang bersumber dari agama diadopsi sebagai salah satu unsur pembentuk hukum Negara. Dengan kata lain, sifat kompetitif antar agama di Indonesia diupayakan menjadi sinergis, komplementer dan saling mengisi tanpa ada kemenangan di satu agama tertentu dam kekalahan pada agama tertentu. Dalam konteks ke-Indonesiaan, cita Negara demikian melekat pada cita Negara Pancasila yang rumusan awalnya termaktub dalam Piagam Jakarta sebagai hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.46 B. Sistem, Pembangunan Hukum Serta Politik Hukum Era Reformasi Berbicara tentang sistem, pembangunan hukum serta politik hukum era reformasi, tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya suatu Negara seperti di Indonesia. Beragam teori terkait sistem politik atau politik hukum sebagai bagian penting dalam regulasi suatu Negara merupakan hal yang sangat urgen dalam dinamika perkembangan suatu Negara dari masa ke masa. Apalagi teori yang berkembang seputar politik dan politik hukum sangat bervariasi bahkan sejak awal kemunculanya di Yunani hingga abda ke-21 sekarang 45 46 Ibid., 33-35. Ibid., 33-35. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 63 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Beberapa teori terkait politik hukum antara lain teori Montesquieu. Dimensi teori Montesquieu dalam politik hukum ini adalah usaha untuk menjamin hak dan kebebasan politik warga Negara, yaitu hak untuk melakukan apapun yang diperbolehkan oleh hukum dan hak warga Negara memperoleh rasa aman.47 Tugas hukum dalam konteks ini adalah menjaga dan mengawal hak-hak tersebut. Untuk memastikan bahwa hak-hak itu aman, maka harus dihindari pemusatan kekuasaan dalam Negara. Kekuasaan membuat hukum (legislatif) tidak boleh berada di satu tangan dengan kekuasaan yang melaksanakan hukum (eksekusi) maupun dengan kekuasaan yang mengadili (Yudikatif). Fungsi pemisahan itu, agar terjadi saling kontrol (cek and balances). Dalam gagasan Trias Politica rakyat diposisikan sebagai pemegang kekuasaan Negara. Dan melalui parlemen dengan kekuasaan legislasinya, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik. Jadi, pemisahan kekuasaan dalam Trias Politica, semata demi memperoleh kepastian bahwa kebebasan warga Negara tidak diciderai. Bagi Montesquieu, pemisahan kekuasaan yang ketat diantara tiga kekuasaan itu merupakan prasyarat kebebasan politik warga Negara. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Trias Politica merupakan metode dalam politik hukum untuk mencapai tujuan yang dituju, yakni adanya jaminan kebebasan politik bagi warga Negara.48 Selain teori Montesqeiu, teori politik hukum yang juga penting dijelaskan adalah teori politik hukum dari Talcolt Parsons. Dimensi politik hukum dari teori Parsons tidak Bernard L Tanya, Politik Hukum, Agenda Kepentingan Bersama (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), 59. 48 Ibid., 60. 47 64 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam mudah ditangkap tanpa menyentuh pentingnya hukum sebagai institusi integrasi dalam suatu sistem. Bagi Parsons, peran tatanan normatif (=hukum), merupakan unsur paling utama dari integrasi sebuah sistem. Hukum diharapkan mampu menjinakkan sub-sub sistem yang lain agar bisa berjalan sinergis tanpa saling bertabrakan. Disinilah letak dimensi politik hukum dalam teori Parsons. Hukum memiliki tugas khusus menjamin integrasi dalam sebuah sistem atau masyarakat.49 Untuk diketahui, menurut Parsons, sebuah sistem selalu terdiri dari minimal empat sub sistem, yaitu sub sistem budaya/nilai, sub sistem norma/hukum, sub sistem politik/otoritas dan sub sistem ekonomi.50 Lebih jauh dalam teori Parson, empat sub sistem tersebut di atas, selain sebagai realitas yang melekat pada masyarakat, juga serentak merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap unit kehidupan sosial. Hidup matinya sebuah masyarakat ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap sub sistem sesuai tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukum-lah yang ditugaskan menata keserasian dan gerak sinergis dari ketiga sub-sistem yang lain. Inilah yang disebut fungsi integrasi dari hukum dalam teori Parsons.51 Posisi hukum sangat penting dalam fungssinya sebagai integrator antara sistem-sistem yang lain. Hal ini menurut Parsons, disebabkan karena tiap sub sistem meiliki logika, mekanisme, dan tujuan yang berbeda. Dari satu sisi sub sistem budaya cenderung konservatif dan setia mempertahankan pola ideal. Pada sisi yang lain, sub system ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan terobosan-terobosan baru yang bisa saja asing dan liar dari ukuran pola-pola ideal Ibid., 71. Ibid., 71. 51 Ibid., 72. 49 50 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 65 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori budaya. Sedangkan sub-sistem politik senantiasa mencarai berbagai cara untuk mencapai tujuan yang boleh jadi caracara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan realitas sumber daya materiil. Atas dasar teori tersebut, maka penguatan hukum agar benar-benar mampu menjalankan fungsinya sebagai integrator sistem kehidupan sosial dan merupakan isu politik hukum yang penting. Kebijakan mendasar mengenai penguatan hukum sebagai sub sistem integrasi, sangat perlu bagi nasib masyarakat sebagai sebuah sub sistem yang terintegrasi. Tanpa fungsi pengintegrasian yang efektif dari hukum, maka akan terjadi konflik menyeluruh dalam masyarakat dan mudah ditebak, masyarakat tersebut pada akhirnya akan mengalami kekacauan. Dengan demikian, jelas bahwa posisi politik hukum dalam teori Parsons sebagai integrasi kehidupan sosial.52 Sementara dalam konteks politik hukum era reformasi di Indonesia, Azizy53 menjelaskan hal ini terkait upaya menampakkan jati diri bangsa Indonesia dalam bidang hukum yang belum berhasil sesuai dengan harapan dan citacita pembangunan hukum nasional Indonesia. Orientasinya mempunyai hukum nasional yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana terekam dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Meskipun demikian, sudah ada usaha yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam rangka menuju citacita tersebut, yaitu adanya program Pembinaan Hukum Nasional. Menurutnya, tidak adanya hukum nasional merupakan salah satu problematika pembangunan hukum 52 53 66 Ibid., 73. Azizy, Reformasi Bermazhab, 20-21. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam di Indonesia, dan pada hakekatnya problematika itu telah mulai ada sejak awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia.54 Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui perundang-undangan dalam proses pembangunan memerlukan skala prioritas. Dalam rangka memperhatikan skala prioritas yang demikian, maka bidang-bidang hukum yang berhubungan dengan kepentingan publik dan sosial dan bidang-bidang hukum yang langsung menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan, perlu diprioritaskan dalam pembentukannya. Sedangkan bidangbidang hukum yang erat hubungannya dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual, dan kehidupan budaya bangsa memerlukan penggarapan yang saksama dan tidak tergesagesa. Menyadari pentingnya kodifikasi dalam rangka pembinaan hukum nasional khususnya dan pembangunan nasional umumnya, dengan mengingat kebutuhan yang mendesak, maka usaha ke arah kodifikasi dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian lapangan hukum tertentu secara bertahap, baik dengan undang-undang maupun dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Pengambilan/pengoperan hukum asing yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut dapat memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional. Pembangunan di bidang hukum harus berdasar atas landasan cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang ditemukan dalam Pancasila dan UUD 1945. Menurut Satjipto Rahardjo A. Qadri Aziziy, Membangun Integritas Bangsa (Jakarta: Renaisan, 2004), 20-21. 54 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 67 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Dengan demikian, hukum tidak merupakan institusi tekhnik yang kosong moral dan steril terhadap moral. Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional dengan penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya penyusunan produk hukum baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu disusun program legislasi nasional yang terpadu sesuai dengan prioritas, termasuk upaya penggantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial dengan peraturan perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.55 Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses secara terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta menghasilkan produk hukum hingga tingkat peraturan pelaksanaannya. Dalam pembentukan hukum perlu diindahkan ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Produk hukum kolonial harus diganti dengan produk hukum yang dijiwai dan bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur yang memiliki 55 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), 60. 68 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam kemampuan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan nasional serta ditujukan kepada pemantapan kemampuan profesional aparatnya. Pembangunan aparatur hukum dilaksanakan melalui pembinaan profesi hukum serta pemantapan semua organisasi dan lembaga hukum agar aparatur hukum mampu melaksanakan tugas kewajibannya yang mencakup penyuluhan, penerapan, dan penegakan serta pelayanan hukum secara profesional dalam rangka pemantapan fungsi dan peranan hukum sebagai sarana pengatur dan pengayom masyarakat. Kualitas dan kemampuan aparat hukum harus dikembangkan melalui peningkatan kualitas manusianya, baik tingkat kemampuan profesionalnya maupun kesejahteraannya, serta didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Penerapan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan lugas tetapi manusiawi berdasarkan asas keadilan dan kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, meningkatkan tertib sosial dan disiplin nasional, mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan damai.56 Atas dasar itulah, al-Shiddiqy57 menjelaskan pembangunan hukum serta politik hukum era reformasi didasarkan pada beberapa aspek prioritas antara lain: 1. Penataan Sistem Hukum Negara Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/The Rule of Law). Bahkan dalam rangka hasil Perubahan Keempat UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Namun, bagaimana cetak biru dan desain 56 57 Ibid., 60-62. Asshiddiqiy, Konstitusi, 379. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 69 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori makro penjabaran ide Negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sitem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating), (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan e) pengelolaan informasi hukum law information management sebagai kegiatan Penunjang.58 2. Penataan Kelembagaan Hukum Sebagai tindak lanjut dari pembaruan konstitusional, setelah dengan ditetapkannya Perubahan Keempat UUD 1945 maka struktur ketatanegaraan Republik Indonesia harus segera disesuaikan dengan desain UUD yang telah berubah itu. Semua institusi pada lapisan supra struktur kenegaraan dan pemerintahan harus ditata kembali. Demikian pula institusi publik di sektor masyarakat (infrastruktur masyarakat), seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan dan organisasi non-pemerintah seperti yayasan (stichting) dan 58 70 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam perkumpulan (vereenigings), juga perlu ditata kembali. Di sektor negara dan pemerintahan, upaya penataan itu mencakup kelembagaan di ranah legislatif, eksekutif, judikatif, dan bahkan di wilayah-wilayah campuran atau yang disebut dengan badan-badan independen. Sekarang, telah bermunculan banyak lembaga independen, misalnya, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya. Semua badan-badan ini perlu dikonsolidasikan sehingga tidak berkembang tanpa arahan yang jelas. Di lingkungan pemerintahan, juga perlu ditata kembali pembedaan antara funfsi-fungsi politik dan teknis administratif, antara organisasi departemen dan non departemen pemerintahan, dan Pasal 17 ayat (4) UUD 1945, misalnya, menentukan bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembubaran organisasi kementrian Negara harus diatur dalam Undang-Undang. Artinya, diperlukan pula UndangUndang yang di dalamnya diatur mengenai berbagai aspek berkenaan dengan kementrian negara, sehingga Presiden tidak seenaknya membentuk, mengubah dan membubarkan suatu organisasi departemen. Penataan kelembagaan ini bahkan juga berkaitan dengan pembenahan yang harus dilakukan sebagai akibat diselenggarakannya otonomi daerah yang luas berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang masih perlu pemikiran berkelanjutan untuk disesuaikan dengan ketentuan UUD 1945.59 3. Pembentukan dan Pembaruan Hukum Bangsa Indonesia sudah berhasil melakukan constitutional reform secara besar-besaran. Jika UUD 1945 59 Ibid., 375-387. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 71 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori yang hanya mencakup 71 butir ketentuan di dalamnya, maka setelah empat kali mengalami perubahan, UUD 1945 sekarang berisi 199 butir ketentuan. Isinya pun bukan hanya perubahan redaksional, melainkan menyangkut pula perubahan paradigma pemikiran yang sangat mendasar. Karena itu, segera setalah agenda constitutional reform (pembaruan konstitusi), perlu melanjutkan dengan agenda legal reform (pembentukan dan pembaruan hukum) yang juga besar-besaran. Bidang-bidang hukum yang memerlukan pembentukan dan pembaruan tersebut dapat dikelompokkan menurut bidang-bidang yang dibutuhkan, yaitu: a) bidang politik dan pemerintahan, b) bidang ekonomi dan dunia usaha, c) bidang kesejahteraan sosial dan budaya dan d) bidang penataan sistem dan aparatur hukum.60 Bentuk hukum yang perlu disusun dan diperbarui tidak saja berupa Undang-Undang, tetapi juga Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan di lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara dan badan-badan khusus dan independen lainnya seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya. Demikian pula di daerah-daerah, pembaruan dan pembentukan hukum juga dilakukan dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Untuk menampung kebutuhan di tingkat lokal, termasuk mengakomodasikan perkembangan norma-norma hukum adat yang hidup dalam masyarakat pedesaan, dapat pula dibentuk Peraturan Desa. Di samping itu, nomenklatur dan bentuk sistem hukumnya juga perlu dibenahi, misalnya, perlu dibedakan dengan jelas antara peraturan (regels) yang dapat dijadikan objek judicial 60 72 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam review dengan penetapan administratif berupa keputusan (beschikking) yang dapat dijadikan objek peradilan tata usaha negara, dan putusan hakim (vonis) dan fatwa (legal opinion).61 4. Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Penegakan hukum law enforcement dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelangaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrasedan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative disputes or conflicts resolution). Bahkan dalam pengertian lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pulasegala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benarbenar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagime alui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badanbadan peradilan. Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. 61 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 73 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung aktor, palaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal (institutionalized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.62 5. Pemasyarakatan dan Pembudayaan Hukum Pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti luas sering tidak dianggap penting. Padahal, tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide negara hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait dengan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sistem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis teknologi informasi information technology, (b) peningkatan upaya publikasi, komunikasi dan sosialisasi hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bidang hukum.63 62 63 74 Ibid. Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam Dalam komunikasi hukum, perlu dipikirkan kebutuhan media digital dan elektronika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan lainnya yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah. Mengenai televisi dan radio dapat dikatakan sudah sangat banyak dan karena itu, kemungkinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari pemerintah seperti masa Orde Baru tidak mungkin lagi terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia banyak dan beragam. Namun, arus informasi dari pemerintah kepada masyarakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pemasyarakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pembangunan media tersebut sangat diperlukan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan termasuk mengenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang dimaksud.64 6. Peningkatan Kapasitas Profesional Hukum Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator, (politisi), (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) konsultan hukum, (iv) advokat, (v) notaris, (vi) pejabat pembuat akta tanah, (vii) polisi, (viii) jaksa, (ix) panitera, (x) hakim, dan (xi) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional 64 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 75 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori aparat hukum Tersebut. Agenda pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benarbenar dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan. Di samping itu, pembinaan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dilakukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesinya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya. Dengan demikian, kualitas hakim dapat ditingkatkan melalui peranan Mahkamah Agung di satu pihak dan melalui peranan Ikatan Hakim Indonesia di lain pihak.65 7. Agenda Infrastruktur Kode Etik Seperti dikemukakan di atas, untuk menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organisasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organisasi. Namun, baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perangkat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu 65 76 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh dijadikan pedoman perilaku berorganisasi.96 Pada umumnya, dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut hanya biasa dilupakan.66 Dengan perkataan lain, dalam kultur keorganisasian atau kultur organisasi di berbagai kalangan masyarakat kita, kebiasaan untuk menaati aturan, rule of the game belumlah menjadi tradisi yang kuat. Tradisi taat aturan itu masih harus dibudayakan secara luas. Untuk itu, diperlukan proses pelembagaan tradisi normatif yang bertingkat-tingkat, baik berkenaan dengan norma hukum, norma etika dan moral, serta norma hukum. Karena itu, selain menata dan memperbaiki kembali sistem norma hukum, kita juga perlu melembagakan sistem dan intra struktur etika positif dalam masyarakat kita. Sistem dan infra struktur etika tersebut dilembagakan, baik melalui mekanisme di lingkungan supra struktur kenegaraan dan pemerintahan maupun di lingkungan infra struktur masyarakat.67 C. Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Hukum Islam Berbicara tentang faktor, peluang dan tantangan positivisasi hukum Islam di Indonesia secara khusus, maka hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya ini sejak awal pembentukannya terkait dengan beragam teori-teori yang mendasarinya, seperti teori peluang dan tantangan dalan 66 67 Ibid. Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 77 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori analisa sosial masyarakat. Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, structural dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial. Secara definitive, Analisa Sosial (ANSOS) merupakan upaya untuk menempatkan suatu masalah tertentu dalam konteks realitas sosial yang lebih luas yang mencakup konsep waktu (sejarah), konteks struktur (ekonomi, sosial, politik, budaya, konteks nilai, dan konteks tingkat atau aras lokasi (spatial: lokal-global).68 Atas dasar itulah, langkah-Langkah dalam ANSOS meliputi beberapa tahap antara lain: 1. Memilih dan menentukan objek analisis. Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalsis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi. 2. Pengumpulan data atau informasi penunjang. Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung Nurul Hidayah, Teori Analisis Sosial, 2013, 1-2. Diakses pada 3 Juni 2013 dari http://tuntutanuntukmenulis.blogspot.com/2013/02/analisis-sosial.html 68 78 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam dilapangan. Re-cek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data. 3. Identifikasi dan analisis masalah. Merupaka tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variabel, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek. 4. Mengembangkan presepsi. Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternatif sebagai kerangka tindak lanjut. 5. Menarik kesimpulan. Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.69 Oleh karenanya dalam konteks analisa faktor, peluang dan tantangan positivisasi hukum Islam, secara politis, masyarakat memiliki kepentingan mendasar terhadap agama supaya tidak larut dalam kepentingan politik praktis. Karena keterlibatan secara praktis dalam ranah politik menjadikan agama tidak lagi menjadi panutan serta ajaran pembebas terhadap berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, 69 Ibid., 1-3. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 79 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori namun justru berkembang menjadi kekuatan yang menindas yang bisa melahirkan otoriter secara berlebihan dalam suatu negara.70 Meminjam pemikiran al-Raisūni71 yang mengatakan bahwa dalam Islam, kebiasaan yang terbangun dari kesepakatan melalui musyawarah merupakan faktor penting dan berpengaruh terhadap suatu hukum, maka dalam konteks positivisasi hukum Islam juga terkait dengan persoalan kebiasaan moral dalam mengamalkan ajaran serta nilai Islam melalui mekanisme politik dan musyawarah. Agama secara moral dan politis berada pada posisi yang benar selama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga pada saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, maka agama jatuh dalam posisi yang salah dan berbahaya.72 Dalam konteks demikian, maka positivisasi terkait dua hal penting yang menjadi wacana diskusi akademik. Pertama, memahami agama dalam arti tradisi, nilai dalam masyarakat untuk membentengi setiap kecenderungan, kekuatan politik yang berkembang, sehingga agama dapat menjadi kekuatan pembebas dan bukan sebaliknya karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan politik.73 Kedua, agama dapat Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2006), 2-7. 71 Ahmad al-Raisūnī, Ijtihad, Antara Teks, Realitas dan Kemashlahatan Sosial, terj. Ibnu Rusydi (Jakarta: Erlangga, 2002), 106. 72 Marzuki Wahid, Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Paska Orde Baru, Studi Politik Hukum atas CLD-KHI, 2012, 1-3. Diakses pada 10 Juni 2012 dari http: // www. komnasperempuan. or. id/ wp - content/ uploads/ 2009/ 02/ pembaharuan – keluarga – islam – pasca – orde - baru_marzuki-wahid.pdf 73 Menurut Amal kekuatan-kekuatan politik Islam dalam aksi politik di refleksikan dari syariah Islam sebagai idiologi politik yang dahulunya lahir untuk melawan kolonialisme dan dalam perkembangan selanjutnya lahir sebagai partai politik, menjadi kekuatan- kekuatan sipil, melawan pemodal asing atau neoliberalisme dan bahkan sebagai kekuatan politik untuk mempertahankan dan 70 80 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam memainkan peran moral untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menyimpang dan menekan kehidupan masyarakat. Sedangkan secara sosiologis, persoalan ini terkait dengan persoalan ajaran nilai agama dalam masyarakat yang berkembang dalam memahami hakikat hukum nasional yang merupakan masalah mendasar terkait dengan fungsi sosial agama. Para sosiolog dan ekonom telah kehilangan kesadaran akan betapa pentingnya unsur-unsur yang tidak tampak dari manusia, terutama aspek moralnya, sehingga perlu dialektika hukum Islam dengan modernisasi serta pembangunan sosial.74 Sebagaimana institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi yang sangat urgen bagi masyarakat.75 Fungsi ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya terkait moralitas dan akhlak.76 Sehingga secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan, Integrative menjalankan agama Islam ketika mendapat ancaman dari dalam maupun dari luar. Karena ajaran syariah Islam yang di terjemakan secara berlebihan untuk melawan manusia yang lain yang dalam perspektif Islam di anggap kafir maka perlu di bunuh dengan cara kekerasan tentunya menjadi perhatian serius negara dan dunia internasional dengan pertimbagan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan apapun tindakan yang hendak di ambil dalam menjalankan syariah Islam penting menyesuaikan diri dengan hukum negara Indonesia. Amal, Politik Syariat Islam, 36-45. 74 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKis, 2005), 137-138. 75 Diantara fungsinya adalah menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan. Fungsi-fungsi partai politik dalam Negara demokrasi adalah melaksanakan fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi dengan modal utamanya dalam pemilu. Salah satu bentuk keterikatan primordial itu adalah munculnya partai-partai Islam. Partai yang menggunakan Pancasila sebagai dasar ideologinya, tetapi pada saat yang sama menggunakan asas lain sebagai kepentingan politik kelompok. 76 Amin Ahmad, Etika Ilmu Akhlaq (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 81 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori Factor, dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah, desintegrative factor. Agama yang dipahami sebagai fungsi integrasi sosial mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Peran agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka dalam dinamika kehidupan sosial. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Atas dasar itulah Sukardi menjelaskan hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat. Dalam hal demikian, dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. O’Dea, Sukardi mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia. Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia. Dalam konteks ini agama sungguh mempunyai potensi integrative dalam sosial masyarakat. Sedangkan Agama yang dipahami sebagai fungsi integrasi sosial disintegratif yang bersifat destruktif dan memecah-belah desintegrative factor dalam konteks ini, agama tidak hanya memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat. Pada saat yang sama, agama juga dapat memainkan peranan sebagai 82 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Landasan Teori Dr. M. Shohibul Itmam kekuatan yang memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Dalam konteks ini, ada tiga bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu: Pertama, perbedaan doktrin dan sikap mental. Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianut yang memiliki kebenaran, claim of truth, sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna. Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan intoleransi. Selain itu, seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi terhadap eksistensi sikap-sikap tersebut Kedua, perbedaan suku dan ras pemeluk agama. Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 83 Dr. M. Shohibul Itmam Landasan Teori Ketiga, perbedaan tingkat kebudayaan. Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Peter Berger sebgaimana dikutip Hendropuspito menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan cara yang suci.77 Dalam konteks Indonesia, Bismar Siregar dalam rangka memahami nilai moralitas dan upaya penegakan hukum di Indonesia menetapkan Pancasila sebagai sumber hukum serta keadilan, ditegakkan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hanya melalui itikad baik dan kejujuran. Selain itu, keimanan dan ketakwaan terus dibina dan ditingkatkan, karena kepada-Nya dipertanggungjawabkan setiap perbuatan. Oleh karenanya, lebih jauh dijelaskan bahwa Pancasila di satu sisi dan agama di sisi yang lain merupakan dua hal yang patut dan seharusnya diletakkan dalam cakupan dan posisi yang berbeda akan tetapi dalam suatu kesatuan penghayatan hidup dan kesadaran manusia. Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa kemerdekaan yang diperoleh secara jujur diakui bukanlah semata hasil usaha manusiawi belaka, akan tetapi di situ Tuhan ikut berperan dalam bentuk rahmat dan berkah. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978 telah dinyatakan pula, sebagai kelanjutan isi Pembukaan tersebut bahwa seluruh dinamika kemasyarakatan sebagai pelaksanaan Pancasila harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.78 Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1983. Bismar Siregar, Islam and Pancasila in The Clash of Ijtihad Fundamnetalist Versus Liberal Muslim, The Development of Islamic Thingking in Contemporary Indonesia (Delhi: ISPCK, 2011), 13-15. 77 78 84 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia BAB III HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM POSITIVISASI HUKUM DI INDONESIA A. Hubungan Agama, Hukum dan Politik di Indonesia Dalam studi kontemporer, kajian tentang hubungan agama, hukum dan politik selalu menimbulkan ambivalensi dari sisi implementasinya.1 Ketiganya mempunyai jalinan dalam menata kehidupan dengan ragam aspeknya sehingga membutuhkan pendekatan disiplin ilmu tertentu. Ambivalensi ini semakin jelas ketika dikaitkan dengan sistem hukum negara yang mempunyai kultur pluralis, heterogen seperti Indonesia. Pernyataan ini tentu dapat dibenarkan dengan realitas keberagamaan Indonesia yang mendukung implementasi ketiganya secara bersamaan dalam bingkai demokrasi Pancasila. Selain itu hal ini terkait entitas negara Indonesia berdasarkan Pancasila yang bukan negara sekuler Ambivalensi itu semakin nampak kental khusunya hubungan hukum dan politik dalam kerangka negara hukum seperti Indonesia, karena hukum harus menjadi panduan penyelenggaraan politik selain sebagai rekayasa sosial (Gunaryo, 2006: 19). Selain itu hukum dan politik sebagai ilmu sosial, pada dasarnya mempelajari manusia yang berlaku sebagai makhluk individu dan sosial, bermasyarakat (Alim, 2010: 39). Perlu juga di jelaskan bahwa terkait negara Islam menurut Syaibani sebagaimana dikutip Atrukin (2012: 11) bahwa, negara Islam adalah negara yang memberlakukan syariat Islam meskipun penduduknya bukan non muslim. Untuk melakukan model ini diperlukan semangat yang dari pemrintah dan para ahli hukum yang menjadi rujukan, punya otoritas (Bayudli, 2004: 10-12). 1 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 85 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara dan juga bukan negara agama.2 Pancasila merupakan nilai universal internasional melintasi semua sistem tatanegara di dunia, mengakomodasi semua sistem hukum dan nilai kemanusiaan untuk masyarakat global modern.3 Ambivalensi hubungan ketiganya dalam pengertian normatif, agama dikaitkan dengan keyakinan atau prinsip individual dalam kehidupan sosial masyarakat sedangkan hukum terkait masalah duniawi atau perilaku manusia, yang di tengah relasi agama dan hukum itulah persoalan politik merupakan suatu prosesi membangun pola hubungan antara keduanya.4 Tarik menarik antara wilayah agama, hukum dan politik menjadi konflik terutama sisi akademis yang tidak kunjung usai, meskipun akhirnya bisa dijelaskan aspek-aspek perbedaannya dari sisi tertentu.5 Mengawali kajian pola hubungan ketiganya, terkait perkembangan studi agama, hukum serta politik biasanya berorientasi dan merujuk pada literatur dunia barat mulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, masa renaissance, hingga kontemporer.6 Oleh karenanya, agama menurut para sosiolog misalnya dipahami sebagai prinsip atau keyakinan yang berperan dalam memecahkan persoalan individual. Bahkan studi kontemporer menjelaskan agama sebagai 2 Menurut Latif (2011: 12-38) berdasarkan Pancasila Indonesia bukanlah negara yang terpisah dengan agama namun juga tidak menyatu dengan agama. Tidak terpisah karena karena secara aktif, dinamis membimbing, memlihara, menyokong dan mengembangkan agama khususnya melalui Kementerian Agama. Tidak menyatu dengan dengan Negara, karena Negara tidak didekte atau mewakili agama terttentu, bahkan tidak memberikan keistimewaan pada agama tertentu. 3 Siregar, Islam and Pancasila, 183-184. 4 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Edisi Baru) (Jakarta: Rajawali Press, 1983), 158-170. 5 Gunaryo, Pergumulan, 19-25. 6 Alim, Asas-asas, 1. 86 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam upaya penyesuaiaan diri terhadap perkembangan zaman serta merumuskan kebutuhan dalam dinamika perubahan masyarakat.7 Agama juga berfungsi sebagai sumber energi dalam menemukan kekuatan baru, mewujudkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan manusia8 Agama tidak hanya normatif terutama dalam melihat keadilan dalam Islam tertapi juga termasuk dalam urusan dunia. Adil dalam agama Islam sangat memungkinkan menjadi tidak adil bahkan tidak baik dalam konteks Indonesia.9 Terdapat ragam definisi serta pengertian agama. Agama juga dapat dipahami sebagai suatu realisasi sosio individu yang hidup dalam ajaran tertentu, tingkah laku, ritus, upacara keagamaan dari suatu relasi yang melewati kodrat manusia dan dunia yang berlangsung dalam tradisi masyarakat.10 Atas dasar argumentasi itulah, agama sebagai implementasi nilai, merupakan upaya dalam menemukan makna yang terkandung dalam memenuhi kebutuhan hidup. Realisasi sosio individu yang hidup dalam suatu komunitas ini mengatur makna atau nilai dalam kehidupan Hendropuspito, Sosiologi, 15-34. Raisūni (2012: 10-11) menjelaskan bahwa persoalan pokok agama adalah persoalan umat dan masyarakat. Pemerintah, pemimpin, pejabat serta unsure yang lainnya menempati nomor sekian stelah umat, sehingga pembangunan Negara dengan prioritas umat adalah tujuan semangat Islam. Sementara Gus Dur, agama lebih tepat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi terciptanya sistem yang berkeadilan dalam sistem kenegaraan di Indonesia, sehingga agama perlu dibedakan dengan ideologi. Dalam konteks Indonesia terkait permasalahan ideologi Negara dalam arti Pancasila sudah selesai sejak awal berdirinya Negara (Hidayat, 2012: 1). Cecep Hidayat, ” Terorisme, Islam, dan Gus dur”, Diakses pada 14 Oktober 2012 dari, http: // www. gusdur. net/ Opini/ Detail/ ?id = 227/hl = id/ Terorisme _ Islam _ Dan_Gus_Dur 9 Rifyal Ka’bah, Percakapan Cendekiawan Tentang Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1990), 76-87. 10 Hendropuspito, Sosiologi, 38. 7 8 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 87 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara manusia serta digunakan sebagai kerangka acuan bagi seluruh realitas. Dengan demikian agama berperan sebagai upaya pembaharuan kerena hubungannya dengan persoalan aktual, mendinamisasi perubahan dalam bingkai perkembangan dan perubahan zaman.11 Sedangkan politik dipahami sebagai seperangkat makna atau nilai serta pilihan-pilihan yang diambil dari masyarakat untuk membenarkan fungsi tatanan masyarakat yang berlaku. Selain itu politik juga dipahami sebagai proses resolusi atas problem kolektif untuk memenuhi kebijakan kolektif dalam kehidupan sosial masyarakat terkait dengan nilai serta pilihan bagi masyarakat dalam mencapai suatu tujuan.12 Atas dasar inilah Isbar13 dengan mengutip Ibnu Sina menjelaskan bahwa politik merupakan persoalan yang terkait dengan ragam perbedaan kehidupan antara pemimpin dan rakyat yang orientasinya diarahkan pada perbaikan kekuasaan. Menurut Syafi’i Maarif, Islam sebagai agama di Indonesia relasinya dengan negara dan politik merupakan fenomena menarik dalam perkembangan studi hukum ketatanegaraan. Hal ini terkait relasi agama dan negara yang memungkinkan untuk dipisahkan atau dipertemukan dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara yang telah lama menjadi 11 Hayat Burhamati, Tajdīd al Ahkām Inda Abu al A’lā al Maudūdi, (Disertasi Jamiah Muhammad Khamis Akdal) (Rabat Marocco, 2008), 7-10. Azizy, Reformasi, 18-26. 12 Menurut Budiarjo (2003: 30-35) politik merupakan aktifitas menggambarkan, membandingkan serta membahas fakta-fakta kehidupan sedemikan rupa sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan dalam generalisasigeneralisasi. Sehingga politik lebih merupakan proses dalam mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. 13 Ali Muhammad Isbar, Abu Ali bin Sina, Kitab al-Siyasah (Suriah: Majma’ alRaudlah al-Tijary, 2007), 40. 88 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam perbincangan akademik. Bahkan kajian perbincangan tersebut mencuat sejak Indonesia masih berumur belasan bulan, tepatnya ketika penentuan dasar negara. Namun, perkembangan selanjutnya tuntutan yang disuarakan oleh kelompok agama Islam tersebut kandas di tengah jalan lantaran mendapatkan resistensi dari kelompok nasionalis.14 Syafii Maarif juga menjelaskan bahwa gagasan negara Islam (daulah al-Islāmiyyah) merupakan fenomena abad ke-20. Kendati demikian, Islam sangat membutuhkan mesin negara untuk membumikan cita-cita dan ajaran-ajaran moral.15 Lebih jauh, menurutnya dalam konteks kenegaraan, al-Qur’an yang penuh dengan ajaran imperatif moral yang tidak diragukan lagi sangat membutuhkan negara sebagai institusi pemaksa bagi pelaksanaan perintah dan ajaran moralnya.16 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 101-110. 15 Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 60-62. 16 Pendapat Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud tidak lain adalah negara. Oleh karenanya, ia menolak pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara. Menurutnya, di samping tidak memiliki basis teoretis yang kuat, pendapat seperti itu dalam waktu yang panjang akan berakhir menjadi kerja bunuh diri. Menurutnya, semua aspek kehidupan tidak dapat ditempatkan dalam kategori yang dikotomis, antara ibadah dan kerja sekuler. Dalam hal ini, ia sepakat dengan pandangan Ibnu Taimiyyah yang mengemukakan bahwa negara (kekuasaan politik) merupakan sesuatu yang penting bagi agama. Tanpa adanya negara, agama tidak akan tegak dengan kukuh. Ibnu Taimiyyah menuturkan bahwa Allah mewajibkan amar ma’ruf nahî munkar, jihad, keadilan, menegakkan hudûd, dan semua hal yang Allah wajibkan. Hal itu tidak mungkin terealisasi dengan sempurna tanpa kekuatan dan kekuasaan (Maarif, 1996: 193-195). Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (19591965) (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 14 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 89 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Dalam kajian relasi agama, hukum dan politik tersebut tidak bisa lepas dari suatu nilai yang mendorong pertemuan antara ketiganya. Nilai dan atau pilihan yang berkembang tersebut mengandung ideologi dan hubungan kekuasaan yang menjamin efektifitas politik. Hal ini berbeda dengan ideologi yang diartikan sebagai bentuk imajinasi sosial yang menjelaskan eksistensi suatu masyarakat, cita-cita yang hendak diwujudkan serta mendorong ke arah tindakan yang bersifat praktis. Fungsi ideologi ini memberi legitimasi tindakan serta pilihan-pilihan dalam tatanan masyarakat yang terkait beberapa kepentingan serta pilihan-pilihan yang terkandung di dalamnya. Pilihan dapat ditingkatkan pada status nilai untuk mencapai kepentingan. Argumentasi ini memperjelas bahwa politik terkait dengan persoalan agama dan hukum serta mempunyai jalinan terutama dalam bingkai demokrasi.17 Terkait pendalaman makna politik, dengan mengutip Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa politik terkait nilai agama diyakini bersumber dari wahyu yang dijadikan kerangka acuan seluruh realitas. Nilai dalam politik sebagai kerangka acuan untuk memfungsikan nilai agama dalam tatanan masyarakat.18 Nilai dalam politik ini tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang menjadi sumber nilai dan cita-cita yang diaktualisasikan melalui lembaga politik atau organisasi kelompok tertentu.19 Dalam studi fokus tentang 17 Muhammad Bubakry, al- Dimaqraṭiyyah fī al- Zamān al- Aulamah (Marocco: Dar- al Saqafah- Dar al-Baidla, 2001), 12-15. 18 Bubakri (2001: 3-11) menjelaskan politik sebagai sarana mengakomodasi ragam kepentingan yang berkembang dalam bingkai demokrasi. Masing-masing individu memperoleh haknya tanpa memberikan prioritas berlebihan terhada hak yang lain. 19 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:XpbOr1kUP0J:law.uii.ac.id/dokumentasi/task,doc_download/gid,62/+KEBEBASAN+ 90 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam ilmu politik, Ramlan Surbakti menjelaskan tiga hal penting dalam memahami politik. Pertama, mengidentifikasi kategori-kategori aktifitas yang membentuk politik. Kedua, menyusun rumusan yang dapat merangkum apa saja yang dapat dikategorikan sebagai politik. Ketiga, menyusun daftar pertanyaan yang harus dijawab untuk memahami politik. Dari ketiga hal penting terkait politik, dapat dipahami bahwa politik merupakan studi tentang sosial masyarakat yang sangat luas terkait dengan beragam proses yang berkembang dalam mencapai tujuan masyarakat.20 Dalam konteks ini, Al-Jābiry21 menjelaskan politik sebagai pijakan kekuasaan pada masa Yunani untuk mengatur negara dengan kekuasaannya. Al-Jābiry22 juga menjelaskan politik terkait dengan pembaharuan yang tidak sempurna tanpa memasukkan kebudayaan masyarakat, dicocokkan dengan persoalan kekinian. BERAGAMA+DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5 cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. 20 Surbakti (1999: 2) juga menjelaskan bahwa sejak awal perkembangan hingga studi modern tentang ilmu politik, sedikitnya mencakup lima pandangan. Pertama, politik merupakan usaha Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik merupakan hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kegiatan yang diarahkan untuk mencarai dan mempertahankan kekuasaan. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumbersumber yang dianggap penting. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1999). 21 Muhammad Ābid Al-Jābiry, Qadlāyā fi al-Fikri al-Muāshiri al-Aulamah Shūrā al-Hadlarāt al-Audat ila al-Akhlāq al-Tasāmuh al-Dimuqratiyyah wa Nidlām al-Qoym alFalsafah wa al-Madīnah (Beirut: Markaz Dirāsah al-Wahdat al-Arabiyyat, 2011), 150. 22 Muhammad Ābid Al-Jābiry, Al-Islām wa Al-Hadatsāt wa al-Ijtimā al-Siyāsī (hiwārāt fikriyyat) (Beirut: Markaz Dirāsat al-Wahdat al-Arabiyyat, 2010), 25. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 91 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Sedangkan persoalan hukum relasinya dengan agama dan politik, menurut Saleh23 menjelaskan sebagaimana Satjipto Rahardjo, bahwa masalah hukum khususnya dari sekian definisi yang berkembang hingga ratusan definisi pada intinya bisa dipahami sebagai upaya untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan yang meliputi perilaku manusia.24 Dalam hal demikian, Mahfud MD memahami hukum sebagai norma atau kaidah yang mengandung perintah dan larangan yang pelanggarannya dijatuhi sanksi berdasar otoritas Negara.25 Hal ini dapat dimaklumi dengan ragamnya definisi yang telah diberikan ilmuwan hukum. Roscou Pound misalnya, sebagaimana dikutip Azizi26 menyatakan bahwa hukum adalah himpunan peraturan27 yang dibuat oleh pihak berwenang dengan Abdul Rahman Saleh dkk, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan Masalah Hukum (Jakarta: YLBHI dan PSHK, 2007), 2. 24 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas , 2007), 67. 25 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5 xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv Ck-Uo2UVEw 26 Azizy, Reformasi, 74. 27 Hukum antara lain dipahami sebagai sistem dasar yang ditemukan secara filosofis yang dapat mengekpresikan esensi pokok sesuatu, dimana setiap orang harus bertindak sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum juga dipahami sebagai kumpulan deklarasi mengenai aturan moral yang kekal dan tidak berubah. Artinya, hukum dianggap dengan ketentuan moral universal (Azizi, 2002: 74-76). Sementara Yningsih (2012) menjelaskan, hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Menurut Kansil, hukum itu mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sebagai keamanan dan ketertiban terpelihara. Menurut J.C.T. Simorangkir, dan 23 92 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggar. Selain itu hukum lebih berorientasi pada menjaga keseimbangan antara proses dan tujuan dalam kehidupan sosial. Sementara E. Utrecht sebagaimana dikutip Kansil28 menjelaskan hukum merupakan himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat dengan kesadaran hukumnya. Sehingga pelanggaran atas petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah, penguasa dalam menjatuhkan sanksi. Nampaknya definisi demikian tidak jauh berbeda dengan yang mengatakan hukum sebagai norma atau kaidah yang berisi kewajiban dan larangan yang pelanggarannya dapat dijatuhi sanksi berdasar otoritas Negara.29 Dalam ranah penegakan hukum sebagaimana Woerjono Sastropranoto, hukum ialah peraturan yang bersifat memaksa, menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai tindakan-tindakan hukum tertentu. Plato, hukum merupakan peraturanperaturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Sedangkan Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim (Yuningsih, 2012: 3-19). 28 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 12. 29 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5 xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv Ck-Uo2UVEw Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 93 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara dimaksud sebagai otoritas pemerintah melalui hakim yang mempunyai kompetensi untuk kemaslahatan dunia dengan mengeluarkan dan menetapkan masalah ijtihad dalam suatu pertentangan atau permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.30 Selain itu hukum juga dipahami sebagai persoalan yang terkait dengan politik dalam obyeknya menjadikan manusia dalam arti ulama dan pemerintah supaya bersama kompromi merumuskan suatu hukum atau kaidah yanag sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat. Sehingga hukum termasuk hukum Islam—ushul fiqh perlu diperbarui sesuai perubahan sosial masyarakat tersebut.31 Sampai kajian di sini, dapat dipahami bahwa hubungan agama, hukum dan politik sebagaimana tersebut di atas terkait dengan persoalan hubungan agama, hukum dan politik dalam konteks Indonesia yang sesungguhnya tidak salah jika ambivalensi dianggap sebagai persoalan krusial dalam rangka mewujudkan negara hukum sesuai demokrasi Pancasila.32 Artinya merumuskan sebuah paradigma hukum positif dengan berpijak dari pluralitas nilai dan norma budaya dalam bingkai Pancasila merupakan suatu keniscayaan, yang karenanya ilmu hukum Indonesia terkait positivisasi hukum Islam merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan dalam pembangunan sistem hukum nasional, Dengan runtutan argumentasi demikian, maka hukum, agama dan politik dalam pola hubungan ketiganya jelas terlibat dalam pembangunan negara sebagai upaya penyesuaian dengan perkembangan sosial ekonomi serta Abd al-Salam Balaji, Taṭawwuru Ilm Uṣūl al-Fiqh wa Tajaddudihi (wa Taaṡṡurihi bi al-Mabāhitsi al-Kalamiyyah) (Beirut, Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2010), 59. 31 Ibid., 41. 32 Gunaryo, Pergumulan, 20-25. 30 94 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.33 Bahkan argumentasi ini juga dibenarkan demi kepentingan negara, pembangunan ekonomi mendapat prioritas serta pembangunan politik melalui demokratisasi yang mendongkrak pembangunan negara serta mendapat kejelasan yuridis dari perspektif hukum. Pola hubungan ketiganya dalam ambivalensi yang saling berhubungan dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum Islam.34 Ābid al-Jābiry menjelaskan bahwa hubungan agama, hukum dan politik, dalam konteks pembangunan hukum suatu negara, maka agama berfungsi sebagai kritik atau pembimbing terhadap ragam model pembangunan serta perubahan sosial masyarakat yang sangat cepat dengan masalah kekinian.35 Pemahaman demikian sangat berpengaruh terhadap suatu usaha tertentu serta nilai yang berkembang dalam suatu daerah atau negara. Dengan argumentasi ini, persoalan agama, hukum dan politik merupakan segitiga kekuatan yang berkelindan dalam melakukan transformasi sosial budaya masyarakat dengan pengaruh globalisasi dalam kehidupan ekonomi serta nilainilai budaya dalam masyarakat, sehingga khususnya agama tetap teguh sebagai kekuatan moral bagi keberlangsungan 33 Dalam hal ini Ahmad Syafii Maarif secara doktrinal menjelaskan Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. Menurutnya, baik al-Qur’an maupun alSunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya (Maarif, 1985: 20). Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985) 34 Noer, Pemikiran, 205. Dan Maarif, Islam, 17-25. 35 Al-Jābiry, Al-Islām, 25. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 95 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara kehidupan36 Dalam argumentasi demikian maka sangat wajar dalam konteks hukum ketatanegaraan Indonesia potensi agama khususnya Islam bisa berperan secara politik hukum melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan undang-undang. Hubungan agama, hukum dan politik dalam konteks agama Islam antara lain menjelaskan bahwa seorang muslim wajib taat kepada Allah dan rasulnya, namun terhadap pemimpin dalam arti pemerintah tidak harus ditaati dan dipatuhi secara mutlak karena dalam ajaran Islam juga membolehkan berbeda dengan pemerintahan yang menyimpang dari ketentuan syari’at.37 Kewajiban umat Islam menetapkan pemimpin, pemerintahan yang dapat mengarahkan pada keadilan seraya menjauhkan dari hal yang bersifat mungkar merupakan hal yang wajar dan diterima secara positif. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah sebagaimana dikutip Fahri38 menjelaskan pola politik 36 Dengan mengutip Mawardy, Ilahy (2010: 80-81) menjelaskan persoalan agama, hukum dan politik yang terkait dengan fardlu ain dan fardlu kifayah. Sehingga hal tersebut merupakan bagian dari kewajiban pemerintah yang harus dilaksanakan dengan beberapa syarat; pertama, jelas merupakan kepentingan pemerintah, kedua, murni terkait dengan persoalan kewajiban, ketiga, terbatas pada kemampuan yang bisa ditentukan dan keempat, adanya perubahan prilaku dalam masyarakat. Argumentasinya, pola ideal dalam perubahan sesuai kehendak Islam didasarkan pada empat aspek dengan mempertimbangkan kultur yang berkembang. 37 Ahmad al-Raisūnī, al Ummat Hiya al Asal, Muqārabat Ta’shīliyyat li Qadlāyā al Dimaqratiyyat, Hurriyyat al Ta’bir, al Fan (Bairut- Libanon: al Syabkat al ‘Arabiyyat li al Abhās Wa al Nasyr, 2012), 8-10. 38 M. Fahri, “Kepemimpinan Dalam Islam” diakses pada 13 November 2012 dari http://www. google. co. ma/#hl= fr&gs_nf= 3&pq=kepemimpinan% 20 dalam %20 islam & cp= 38 &gs_id= aa&xhr= t&q= kepemimpinan + dalam + islam + menurut + ibnu & pf = p & sclient = psy-ab&oq = kepemimpinan+dalam+islam+me nurut+ibnu+&gs_l=&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp=d871091483ba7df4& bpcl=38093640&biw=1280&bih=637. 96 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam kepemimpinan sebagai bagian dari menunaikan amanat. Dalam hal demikian, Islam menentukan empat kriteria berikut. Pertama, menempatkan orang secara proporsional sesuai dengan kompetensinya dalam jabatan tertentu.39 Kedua, menempatkan orang yang pantas, lebih utama karena kelebihan aspek tertentu yang dimiliknya, misalnya dalam pembidangan disiplin ilmu tertentu yang berpengaruh terhadap pola kerja. Ketiga, mempunyai jiwa yang amanah dalam menjalankan tugas yang diembannya. Keempat, memahami persoalan yang lebih maslahat dan sempurna dalam kehidupan nyata.40 Menurut ar-Raisūni41 persoalan yang dimaklumi dalam perspektif hukum Islam adalah tidak adanya kekuasaan yang paling tinggi selain kekuasaan tuhan. Sehingga dalam Islam tidak dibenarkan adanya kekuatan monarki absolut sebagaimana pernah terjadi di dunia Barat melalui sistem demokrasi parlementer. Sehingga dengan mengutip Maududi, Burhamati42 menegaskan adanya theo-demokrasi dalam konsep politik dalam pemerintahan Islam yang Fahri (2012: 142) dengan mengutip Ibn Taymiyah menjeleaskan bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah dalam memberikan interpretasi tentang perlunya ketaatan dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan karakteristik negara Islam, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam ayat selanjutnya dari QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan rasul (al-Hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’: 59). M. Fahri, “Kepemimpinan Dalam Islam” diakses pada 13 November 2012 dari 40 Ibid. 41 al-Raisūnī, al Ummat, 6-8. 42 Burhamati, Tajdīd, 3-15. 39 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 97 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara memberikan kedaulatan pada rakyat tanpa dibatasi norma yang datangnya dari Allah. Kedaulatan rakyat sebagai perwujudan semangat politik masyarakat dalam merespon problem aktual yang terjadi pada masanya merupakan hal wajar sesuai perkembangan sosio kultur dan dinamika yang terjadi.43 Dengan berpijak ragam pendapat inilah nampaknya tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sejarah pemikiran Islam dengan perkembangannya selalu terkait dengan persoalan pemikiran seputar akal, jiwa dan hubungannya dengan alam, sehingga hal yang mengarah pada hubungan agama, hukum dan politik merupakan suatu keniscayaan.44 1. Pergumulan Agama, Hukum dan Politik di Indonesia Melanjutkan studi tentang hubungan hukum, agama dan politik dalam pergumulan suatu negara yang secara spesifik terkait dengan cita-cita negara seperti Indonesia, Gunaryo45 menjelaskan adanya pemisahan yang ekstrim dengan paradigma theokratis dan sekuler. Argumentasinya, Islam menolak filsafat kedaulatan rakyat dan mengembangkan teori politik dan masyarakat politik yang bersandar pada kedaulatan tuhan dan khilafah. Nampaknya argumentasi Gunaryo juga pernah disampaikan Ibnu Taimiyyah yang menjelaskan hubungan ketiganya dalam dua hal penting dalam Islam. Pertama, Islam menggunakan kekhilafahan bukan kedaulatan, karena kedaulatan tertinggi hanya milik tuhan. Kedua, semua kaum beriman merupakan kekhalifahan yang bersifat umum, setiap mukmin adalah khalifah tuhan sesuai dengan kemampuannya Ibid., 3-15. Dan al-Raisūnī, al Ummat, 2-3. Muhammad Misbahy, Al-Aql al-Islāmī baina Qorthobat wa Asfahān (Beirut: Dar al-Thaliat, 2006), 13-14. 45 Gunaryo, Pergumulan, 25. 43 44 98 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam masing-masing.46 Bahkan usaha mengatur warga negara yang bukan Islam juga menjadi kewajiban negara. Menurut Maarif47 dalam konteks hubungan agama hukum dan politik dalam masyarakat Islam Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor negara. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor yang berpengaruh terhadap politik yang berkembang di Indonesia.48 Ada dua alasan penting dalam hal ini. Pertama, karena memang secara kuantitas mayoritas Indonesia beragama Islam. Kedua, karena adanya pemikiran yang berkembang dalam umat Islam sendiri, bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan.49 Dalam Sebagai makna penting dari konsep khilafah dapat diperjelas bahwa dalam suatu masyarakat semua orang merupakan khalifah tuhan, dimana semua menikmati dan kedudukan yang sama sementara kriteria supperioritas terletak pada kemampuan dan karakteristiknya. Ini senada dengan Ibnu Taimiyah (1953:181-189) yang menjelaskan seorang hakim muslim mestinya tidak mengikatkan diri secara kaku pada suatu tafsiran al-Quran tertentu, terutama dalam berbagai persoalan yang sifatnya kontroversial. Suatu pemikiran yang baik dapat saja diterima meskipun tidak selaras dengan empat mazhab hukum Islam. Ibnu Taimiyah sendiri juga mengeluarkan fatwafatwa yang sebagian tidak sejalan dengan salah satu dari mazhab-mazhab tersebut. Kebebasan berpendapat itu dimaksudkan untuk menyanggah padangan bahwa ulama pemerintah. adalah para penentu keputusan terakhir dalam berbagai masalah sekaligus ditujukan untuk membendung kecenderungan untuk memonopoli proses pengambilan keputusan. Karena dalil ini pula Ibnu Taimiyah tidak cenderung mengakui keberadaan ahlul-halli wal-aqli (dewan perumus undang-undang dan pemilih) seperti yang berlaku pada teori-teori khilafah tradisional. Semua itu cenderung untuk mengikis unsur-unsur teokrasi dalam sistem pemerintahan Islam (Taimiyyah, 1953:181-189). 47 Maarif, Islam dan Politik, 190-196. 48 Amal, Politik Syariat Islam, 2-14. 49 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_ nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AH IEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. Dan Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 5-12. 46 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 99 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara konteks demikian, Deliar Noer50 menjelaskan bahwa Islam mempunyai konsep negara yang terkait dengan persoalan politik, sehingga hubungan keduanya sulit dipisahkan. Deliar Noer dalam hal ini menjelaskan bahwa konsep negara dalam Islam dilandasi oleh beberapa ketentuan antara lain; pertama, al-Qur’an dan Sunnah rasul sebagai pegangan hidup bernegara. Kedua, hukum harus dijalankan. Ketiga, prinsip musyawarah, syūrā dijalankan. Keempat, kebebasan mendapat tempat yang layak. Kelima, toleransi antar umat beragama.51 Dalam konteks pembangunan hukum suatu negara, An-Na’im52 menjelaskan bahwa hukum Islam (syariat Islam) perlu diterapkan dengan melakukan ijtihad sesuai kebutuhan manusia dengan sosial budayanya. Orientasi syariat Islam bukan negara skuler dan juga bukan negara Islam, tetapi prinsipnya setuju dengan syariat Islam (hukum Islam) bukan negara Islam. Atas dasar argumentasi inilah dalam konteks negara atau pemerintahan, suatu agama resmi yang diakui sebagai sistem keyakinan kepada tuhan Noer, Pemikiran, 196-199. Dalam konteks demikian Gus Dur (1993: 12-30) menjelaskan toleransi antar umat beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang menunjukkan umat saling menghargai, menghormati, menolong, mengasihi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain; menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain; tidak merusak tempat ibadah; tidak menghina ajaran agama orang lain, serta memberi kesempatan kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya. Di samping itu, maka agamaagama akan mampu untuk melayani dan menjalankan misi keagamaan dengan baik sehingga terciptanya suasana rukun dalam hidup dan kehidupan masyarakat serta bangsa. Jika semua orang menjalankan agamanya masing-masing dengan sebenar-benarnya, maka sudah pasti akan melahirkan kedamaian, ketentraman hidup dan kerjasama sosial yang sehat. Abdul Rahman Wahid, Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993). 52 Abdullah Ahmed al-Naī’m, Sharīa Law and The Modern Nation-State, A Malysian Simposium (Kuala Lumpur: Friedrich-Nauman-Stiftung (Germany), 1994), 18-20. 50 51 100 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam ditentukan dengan memiliki kriteria adanya kitab suci, nabi serta ajaran yang jelas sesuai kemanusiaan.53 Dalam konteks agama tersebut sedikitnya mengandung tiga unsur. Pertama, membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok, artinya tanpa membedakan agama tertentu, karena semua mempunyai hak sama untuk dibina. Kedua, mengupayan agama bagi semua masyarakat, sehingga semua warga memiliki agama. Dan ketiga, pemerintah memposisiakn diri sebagai pengorganisir, wasit sekaligus aktor dalam mengatur hubungan antar umat beragama.54 Dari sudut pandang yang demikian, maka secara sederhana agama dapat dipahami sebagai keyakinan entitas yang bersifat spiritual. Dengan devinisi yang lebih kompleks, agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa manusia dalam suasana yang lebih kongkrit, sehingga agama tersebut benar-benar sebagai pendorong, pengarah dalam memotifasi semua aktifitas manusia secara nyata dalam kehidupan sosial masyarakat.55 Melanjutkan kajian tentang pergumulan agama, hukum dan politik dalam konteks Indonesia, Gunaryo56 menjelaskan terjadinya dinamika hubungan ketiganya berlangsung dalam konteks instrumentalisasi yang sering kali ditempeli oleh muatan potensi integratif dan disintegratif. Dengan demikian, secara kongkrit positivisasi ajaran agama dalam kehidupan yang nyata di Indonesia memiliki legitimasi sebagai instrumen kekuasaan. Ada kemungkinan terjadinya Hendropuspito, Sosiologi, 35-45. Yudi Latief, Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 15-35. Dan Hendropuspito, Sosiologi, 23-31. 55 Azizy, Eklektisisme, 80-89. 56 Gunaryo, Pergumulan, 19-25. 53 54 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 101 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara skenario politik agama, agama dan negara terpisah satu dengan lainnya. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang terorganiser misalnya dalam masjid, gereja dan tempat peribadatan lainnya. Semua yang terkait dengan agama diselesaikan dalam institusi keagamaan tersebut dengan prinsip utama agama adalah agama,57 sehingga agama direduksi menjadi salah satu unsur dari sistem yang dipandang, dan saling tergantung dengan sistem yang lain.58 57 Menurut Wikipedia (2012) definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya. Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama 58 Menurut Rofiq persoalan sebagaimana dimaksud terkait erat dengan munculnya gagasan reaktualisasi ajaran Islam yang mula-mula disampaikan Munawir Sjadzali, mendapat tanggapan luas, yang kemudian dibukukan dengan judul polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (1988). Apabila diperhatikan, tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran Hukum Islam berangkat dari term ijtihad, suatu istilah yang inheren dengan watak Hukum Islam itu sendiri. Namun sayangnya, sejarah telah terlanjur mencatat bahwa gerakan ijtihad–atau tajdid– ini mengalami pemasungan yang relatif lama sehingga memunculkan kemandegan dan stagnasi intelektualisme Islam dalam bidang hukum, meskipun menurut Wael B. Hallaq, isu tentang terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad masih kontroversial. Tumbuh suburnya karya-karya syarah (komentar), hasyiyah (komentar atas komentar), mukhtasar (ringkasan), mukhtasar jiddan (ringkasan dan ringkasan), dan lain-lain, menunjukkan indikasi terjadinya penghargaan intekletual kepada karya seseorang secara massal. Implikasinya, kreativitas pribadi kurang mendapatkan porsi yang proporsional. Rofiq, Pembaharuan, 23-48. 102 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam Dalam konteks demikian, Latief59 mejelaskan kebijakankebijakan yang merupakan kongkretisasi pendekatan sistematik dalam negara semakin jelas menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis. Sehingga gejolak sekecil apapun langsung diredam oleh negara, sehingga keseimbangan selalu terjaga. Model pendekatan ini menempatkan negara dalam kedudukan sentral yang selanjutnya seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem tersebut. Keadaan demikian, membuat negara semakin kuat karena sistem posisi masyarakat merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara sehingga negara lebih mempunyai kekuatan memaksa dengan otoritasnya.60 Menurut Sahal Mahfudz bahwa persoalan politik merupakan realitas historis atau sunnatullah yang tidak bisa dihindari, dan merupakan suatu keniscayaan. Menurutnya, proses kehidupan manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik. Sehingga telah menjadi sunnatullah bahwa setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah dalam konteks perpolitikan. Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusia. Artinya, agama dan negara tidak dapat dipisahkan dari keduanya61. Argumentasi 59 Latief, Menyemai, 13-40. Dan Mahfud, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfB PdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. 60 Noer, Pemikiran, 43-60. Dan Amal, Politik, 35-50. 61 Pernyataan ini juga diperkuat Raisūni (2012: 3-7) yang mengatakan adanya keterkaitan antara persoalan agama dengan kepentingan umat. Kepentingan umat adalah segalanya sebagai upaya menangkap apa yang dikehendaki oleh syariat dengan prinsip mashlahah. al-Raisuni, al Ijtihād, 2012. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 103 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara ini diperkuat dengan adanya kata al-Dīn dan al-Siyāsah yang sesunguhnya menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara dengan segala ragam produknya harus berlabel Islam.62 Atas dasar inilah Islam dipahami sebagai pengetahuan yang lengkap, mengandung ketentuan hidup yang lengkap dan menjadi inti dari ketentuan undang-undang yang berlaku di dunia.63 Lebih jauh berdasarkan argumentasi di atas, relasi hukum, agama dan negara menurut Gus Dur64 dan Mahfudz hendaknya mengacu pada asas simbiosis mutualisme, yang keduanya saling mempengaruhi dalam masyarakat dan umat yang beradab demi kemaslahatan umum.65 Negara diberi kekuasaan untuk mengatur aspek ideologis karena eksistensi Indonesia yang bermacam-macam agama, pluralitas, heterogen akan lebih berfungsi secara positif dalam pola hubungan ketiganya termasuk persoalan ideologis.66 62 Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2001), 12-37. Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 35-41. Dan Latief, Menyemai. Dan Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011). 63 Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories Of Islamic Law, The Methodology Of Ijtihad (New Delhi, India: Adam Publisher & Distributor, 2007), 50. 64 Wahid, Dialog, 23-30. 65 Dalam konteks demikian Raisūni (2009: 62-66) menjelaskan bahwa kepentingan yang dimaksud adalah selasa dengan ashul al-khamsah sesuai substansi Islam, menjaga dan mengutamakan segalanya demi kepentingan agama, nyawa, akal, harta dan keturunan. Ahmad al-Raisuni, Madkhal Ila Maqāṣid al-Syarīah, Marocco, Rabat, Dar al-Aman, 2009. 66 Dilain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran keimanan yang harus dihormati oleh Negara. Pengaturan yang terjadi selama ini masih ditik beratkan pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang dan peraturan tertentu yang bersifat temporal, sehingga masa mendatang diperlukan dialog antar budaya yang saling menghubungkan antara etnis satu dengan yang 104 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam Menurut Ibnu Taimiyyah67 dan ar-Raisūni, kekuasaan politik hendaknya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Sehingga pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural juga bisa menjadi pemimpin. Kepemimpinan politik kultural mempunyai fungsi strategis sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara pada level basis bawah.68 Dalam konteks hubungan agama dan negara secara khusus, ulama dan penguasa di Indonesia, dapat dijelaskan dengan paradigma akomodasi kritis. Artinya paradigma yang menganut kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan integratif terhadap ulama. Islam harus dipandang sebagai faktor pelengkap yang berfungsi sebagai penyatu, integrator yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan dalam menata kehidupan yang pluralis dengan ragama budaya, agama, etnis dan keyakinan.69 Berpijak pada pemaparan di atas, maka dapat dipahami bahwa agama dan hukum serta politik dalam pembangunan suatu negara merupakan jalinan segitiga yang harus saling menguatkan, karena sejarah dunia kehidupan manusia lainya. Sehingga tidak ada satu kelompok merasa termarjinalkan dengan adaya kelompok lain yang lebih dominan (Khomry, 2012: 15). Said Khomri, Ruh al- Dastūr, al-Islāh, al-Sultah Wa al-Syarīat bi al-Maghribi (Marocco: al-Najah al-Jadidah, 2012). 67 al-Raisuni, al Ijtihād, 62-66. 68 Khomri, Ruh, 56-57. 69 Gunaryo, Pergumulan, 19-26. Dan Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, akses pada 1 Pebruari 2012 dari http://law.uii.ac.id/ images/stories/Jurnal%20 Hukum/1%20M.Alim.pdf. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 105 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara beragama mengenal pola ketiganya sebagai sejarah panjang kehidupan yang berujung pada sebuah reformasi. Hal ini dapat diterima karena dalam literatur agama-agama di dunia lebih mengenal reformasi dalam agama Kristen seperti timbulnya Kristen Protestan, ketimbang reformasi dalam agama Islam sebagaimana agama lain dengan ketentuan masing-masing.70 Berbeda dengan reformasi dalam agama Kristen, reformasi dalam agama Islam lebih merupakan pemurnian dalam peribadatan, substansi hukum Islam— fiqh. Sehingga pada akhirnya reformasi tersebut menjelma menjadi upaya modernisasi dalam segala bidang kehidupan termasuk dalam bidang politik sesuai substansi Islam.71 Dalam pengalaman negara yang mayoritas Islam, reformasi agama dalam bidang politik mengarah pada perwujudan hubungan agama, hukum dan politik yang senantiasa diupayakan menuju kompromi yang memungkinkan agama menjadi dasar religiusitas, tidak hanya dalam kehidupan sosial masyarakat tetapi juga dalam kehidupan Negara.72 Argumentasi ini tetap berpijak pada Menurut Mahfud (2012: 18-20) dalam konteks demikian yang lebih penting dan positif bagi hukum Islam khusunya adalah melakukan transformasi nilai-nilai kemanusiaan yang bisa dipertemukan antara aliran-aliran dan nilai semua agama di Indonesia secara kompromi. Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, akses pada 1 Pebruari 2012 dari http: // law. uii. ac. id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/ 1%20M.Alim.pdf. 71 Noer, Pemikiran, 102-110. 72 Menurut Assyaukanie (2012: 3-20) reformasi sebagaimana renaisans dalam Islam adalah semangat untuk kembali kepada nilai-nilai peradaban yang pernah dicapai pada masa kegemilangan Islam. Dengan demikian, reformasi adalah pembaruan keagamaan dan protes terhadap model dan cara beragama pada era kegelapan, era di mana ijtihad, rasionalitas, filsafat, dan pemikiran, dikecam dan dicampakkan. Renaesans dan reformasi dalam Islam, jika demikian, bukanlah merujuk kepada gerakan kebangkitan agama dalam maknanya yang puritan, bukan pula gerakan yang kembali kepada semangat ortodoksisme dan konservatisme. 70 106 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam keyakinan bahwa tidak semua ajaran agama termasuk Islam bisa dirubah karena ada wilayah ajaran yang memungkinkan perubahan dan yang tidak memungkinkan perubahan. Dalam teori ushul fiqh atau ulum al-Quran ada teks dzanni dan qath’i dan ada wilayah uṣūliyyah serta furū’iyyah.73 Dalam konteks inilah, pergumulan agama, hukum dan politik di Indonesia dapat dijelaskan dengan paradigma akomodasi kritis. 2. Teori Teokrasi dan Sekuler dalam Negara Pancasila Dalam sejarah pergumulan politik hukum di Indonesia, teori teokrasi74 dan sekuler ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam mendinamisasi perkembangan hubungan agama dan negara di Indonesia, kalau tidak disebut mandul. Kenyataan Tapi, gerakan renaesans dan reformasi dalam Islam adalah gerakan mengembalikan nilai-nilai dan semangat rasionalisme dan liberalisme seperti pada masa-masa kegemilangan peradaban Islam. Lutfie Assyaukanie, “Renaisans Dan Reformasi Agama” akses pada 24 November 2012 dari, http: //islamlib.com/ id/ artikel/ renesans – dan - reformasi-agama. 73 al-Raisuni, al Ijtihād. 74 Menurut Maria (2012: 1-3) Teori teokrasi ini beranggapan bahwa tindakan penguasa/negara selalu benar, sebab negara itu hasil ciptaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh-tokoh teori teokrasi yaitu Agustinus, Thomas Aquinas, Friedrich Julius Stahl. Teori teokrasi langsung. Menurut teori ini, seorang penguasa berkuasa karena menerima wahyu dai Tuhan. Teori teokrasi tidak langsung, penguasa berkuasa karena kodrat dari Tuhan. Teori kekuatan atau kekuasaan. Menurut teori ini kekuasaan negara lahir dari mereka yg memiliki kekuatan, baik secara fisik, materi, maupun politik. Kekuatan secara fisik yaitu orang yang kuat dan berani, secara materi yaitu orang yang memiliki harta kekayaan, secara politik yaitu orang yang berpengaruh baik karena kepandaian ataupun karena keturunan bangsawan. Tokoh-tokoh pendukungnya yaitu Thomas Hobes, Leon Duguit, Karl Marx. Teori Hukum Alam Hukum alam bukan buatan Negara, melainkan kekuasaan alam yang berlaku setiap waktu dan tempat, serta bersifat universal dan tidak berubah. Tokoh-tokoh pendukungnya Plato, Aristoteles, Agustinus. Adelyn Maria, “Negara Dan Bangsa” akses pada 21 November 2012 dari, http://www.slideshare.net/nixfairy/national-heroismnegara-dan-bangsa-2127809. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 107 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara yang dapat diterima adalah Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler, sehingga keduanya runtuh dalam perkembangan pemikiran hukum di Indonesia.75 Dalam studi perkembangan hukum Islam di Indonesia, pendekatan teokrasi dan sekuler tidak memadai untuk dijadikan dasar pemahaman fenomena pergumulan pelembagaan politik hukum. Dalam konteks Indonesia, hukum agama diakomodir negara meskipun dalam kerangka kebutuhan bersama orientasinya tertuju pada pembangunan negara.76 Berbarengan dengan unsur lain sebagai bagian penting dari negara, agama dijadikan sebagai salah satu pembentuk negara, staatsidee.77 Lebih jauh Gunaryo78 juga menjelaskan bahwa hukum yang bersumber dari agama diadopsi sebagai salah satu pembentuk hukum negara atau hukum nasional. Sehingga sifat kompetitif diupayakan menjadi sinergis, komplementer dan saling mengisi tanpa adanya kemenangan atau kekalahan dalam pihak tertentu.79 Menurut Mahfud80 dalam konteks ke-Indonesiaan, cita negara melekat dalam bingkai Pancasila yang rumusan awalnya Gunaryo, Pergumulan, 34-35. Ideologi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah ideologi Pancasila. Pancasila digunakan sebagai landasan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi Pancasila bersumber dan digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Prinsip ideologi Pancasila adalah terwujudnya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bangsa dan Negara (Gunaryo, 2006: 19-26). Gunaryo, Pergumulan. 77 Gunaryo, Pergumulan, 34. 78 Ibid., 25-40. 79 Azizy, Reformasi, 180-189. 80 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBP dpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. 75 76 108 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam sesuai dengan rumusan piagam Jakarta sebagai hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam. Menurut Dubes Kuwait, Ismail (2012) dalam hubungan agama dan negara, dikenal negara teokrasi dan sekuler. Negara teokrasi adalah negara yang didasarkan pada agama tertentu dan diperintah kaum Clergy waktu itu. Negara sekuler adalah negara yang tidak didasarkan pada agama, tetapi diasaskan pada paham atau ideologi sekuler. Negara Indonesia yang berdasar Pancasila bukan negara teokrasi, bukan pula negara sekuler.81 Melanjutkan argumentasi di atas, eksistensi Kementerian Agama dan Pengadilan Agama memperjelas Indonesia sebagai bukan negara sekuler. Bukti lain yang menjelaskan Indonesia bukan negara sekuler adalah penyelenggaraan pendidikan agama mulai SD sampai perguruan tinggi. Praktik dan nuansanuansa keagamaan yang melekat pada negara Indonesia tidak terdapat di negara-negara sekuler Barat.82 81 Menurut Arrafat (2012: 13-19) persoalan dasar filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun golongan nasionalis tidak setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kesepakatan dengan ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945. (Kaelan, 2009: 11-12). Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama seluruh bangsa Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya. Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan bersejarah tersebut, kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” (Kaelan, 2009: 13-14). Kaelan, ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”, Makalah, Yogyakarta, 2009. 82 Faisal Ismail, “Warning dari Paus Benedict” diakses pada 20 November 2012 dari, . Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 109 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Komunitas-komunitas agama di Indonesia memperlihatkan pengamalan agama masing-masing secara taat dan aktif. Masjid, terutama pada ramadlan, dipenuhi para jamaah untuk beribadah. Gereja, pura, klenteng, dan rumah-rumah ibadat lain juga dipenuhi para jemaah dalam rangka melaksanakan ibadat dengan tekun dan giat. Semua fenomena keagamaan itu menunjukkan adanya penguatan akidah pada setiap komunitas agama di Indonesia.83 Dengan melihat fakta dan realitas tersebut di atas yang di dalamnya mengandung unsur nilai-nilai kebenaran, maka optimis bahwa rembesan pengaruh sekulerisme terhadap masyarakat Indonesia dapat dikurangi, bahkan dibendung.84 Sehingga secara ideologis, Pancasila pada tataran pemerintahan dan kenegaraan dapat dijadikan tameng untuk menangkal sekularisme.85 Sehingga secara teologis, akidah-akidah dan doktrin-doktrin agama yang dipraktikkan secara benar oleh komunitas-komunitas agama di Indonesia dapat berfungsi menangkal sekularisme pada tataran sosial, kebudayaan, dan kemasyarakatan.86 Noer, Pemikiran, 2-9. Dalam konteks ini, pendiri negara Indonesia menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Pancasila sila pertama, ”Ketuhanan yang Maha Esa”, dinilai sebagai paradigma relasi negara dan agama yang ada di Indonesia. Selain itu, melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras agama nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja bentuk negara sebagaimana yang ada di dunia. (Kaelan, 2009: 24) 85 Gunaryo, Pergumulan, 19-26. 86 Ibid. Dan Faisal Ismail, “Warning dari Paus Benedict” diakses pada 20 November 2012 dari, . 83 84 110 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam Senada argumentasi di atas Arrafat87 juga menjelaskan bangsa Indonesia nampak kejelasannya, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan semata-mata perjuangan rakyat namun semua itu merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Pendek kata, sejak negara Indonesia lahir sudah didasari oleh nilai-nilai Ketuhanan.88 Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat dinyatakan secara tegas bahwa ”Kemerdekaan Indonesia adalah berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Selain itu, dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) diperkuat lagi pengakuan negara atas kekuatan Tuhan yang menyatakan bahwa negara berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Realitas demikian memperjelas argumentasi bahwa Indonesia bukan negara sekuler.89 Atas dasar pemaparan dari atas hingga di sini dapat dipahami bahwa, Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler melainkan negara hukum berdasarkan Pancasila. Hukum menjadi panglima, dan kekuasaan tertinggi adalah hukum. Artinya bahwa Undang-undang dibuat oleh lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari berbagai suku, etnis, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Hukum di Indonesia Yasir Arrafat, Relasi Agama dan Negara, diakses pada 20 November 2012 dari, http://ressay.wordpress.com/2011/04/02/relasi-negara-dan-agama/ 88 Sesuai dengan prinsip Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan agama diperlakukan sebagai salah satu pembentuk cita negara (staasidee). Namun hal itu bukan berarti bahwa Indonesia merupakan negara teokrasi. Relasi yang terjalin antara negara Indonesia dan agama ialah relasi yang bersifat simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan kerohanian yang dalam sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. (Gunaryo, 2006: 20-40). Gunaryo, Pergumulan. 89 Gunaryo, Pergumulan, 23-27. 87 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 111 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara tidak dibuat oleh kelompok agama. Jadi agama tidak pernah mengatur negara, begitu juga sebaliknya negara tidak semestinya mengatur kehidupan beragama seseorang.90 Meskipun demikian, implementasi relasi agama dan negara di Indonesia bisa saling mengisi mengingat adanya pluralitas bangsa Indonesia.91 Dengan mencermati pemaparan demikian, maka baik secara historis maupun secara yuridis, negara Indonesia dalam hal relasi agama, hukum dan politik menggunakan paradigma Pancasila, yaitu paradigma yang berorientasi ketuhanan, kemanusiaan dan kemasyarakatan keadilan social.92 Sehingga sangat tepat ketika Mahfud93 menyebut Pancasila merupakan suatu konsep prismatik. Suatu konsep yang mengambil segisegi yang baik dari dua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga Dalam konteks kenegaraan yang lebih luas, penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara. (Gunaryo, 2006: 19-40). Gunaryo, Pergumulan. 91 Azizy, Reformasi, 175-182. 92 Arief, Beberapa, 3-10. 93 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5 xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv Ck-Uo2UVEw 90 112 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam dapat selalu diaktualisasikan dengan kenyataan masyarakat Indonesia dalam setiap perkembangannya.94 Berpijak dari argumentasi diatas, maka negara Indonesia bukan negara agama yang hanya mendasarkan diri pada satu agama saja, tetapi negara Pancasila juga bukan negara sekuler karena negara sekuler tidak terlibat dalam urusan agama. Negara Pancasila adalah sebuah religions nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk.95 Sehingga dapat dimaklumi bahwa Indonesia memang bukan negara sekuleristik.96 Karenanya Pancasila sebagai paradigma Azizy, Reformasi, 52-61. Gunaryo, Pergumulan, 19-27. Dan Yasir Arrafat, Relasi Agama dan Negara, diakses pada 20 November 2012 dari, http://ressay.wordpress.com/2011/04/02/ relasi-negara-dan-agama/ 96 Menurut Arrafat (2012: 2-19) paradigma ini menolak kedua paradigma di atas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama. Paradigma ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan-urusan Agama (Syari’at). Yasir Arrafat, Relasi Agama dan Negara, diakses pada 20 November 2012 dari, http://ressay.wordpress. com/2011/04/02/relasi-negara-dan-agama/ 94 95 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 113 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara perpaduan antara bangunan negara agama dan negara sekuler dalam kompromi politis yang saling menguatkan. B. Hukum Islam dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia Mengkaji hukum Islam dalam konteks tata hukum Indonesia sungguh menimbulkan persoalan hukum yang unik jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini karena term hukum Islam merupakan term khas yang berlaku di Indonesia.97 Kajian demikian semakin menimbulkan ketegangan ketika hukum Islam dikembangkan dalam konteks ketatanegaraan yang bukan negara Islam tetapi mayoritas penduduk muslim dalam bingkai demokrasi Pancasila yang substansinya secara yuridis harus mengakomodasi semua nilai yang berkembang dan mengakar dalam masyarakat yang sangat pluralis.98 Karena luasnya pengertian hukum Islam dalam konteks Indonesia, maka Rofiq99 menjelaskan hukum Islam sebagai gabungan dari dua kata, hukum dan Islam yang dipahami sebagai hukum yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya untuk disebarluaskan dan dipedomani umat manusia guna mencapai tujuan hidupnya, selamat di dunia dan sejahtera di akhirat.100 Di dalamnya mengandung pengertian bahwa hukum Islam kalau di Barat di kenal dengan Islamic law atau Islamic yurisprudens yang berarti syariat dan atau fiqh. Syariat dan atau fiqh yang digabung dengan satu term menjadi hukum Islam ini hanya berlaku dan Rofiq, Pembaharuan, 13. Ibid., 20-25. 99 Ibid., 21-22. 100 Dalam konteks demikian, Rofiq (2001: 33-39) juga menjelaskan perlunya hukum Islam dipahami secara cermat kontekstual dalam dinamika perkembangan sosial masyarakat. Gagasannya menawarkan hukum Islam sebagai kontrol sosial dan rekayasa sosial merupakan langkah kompromis serta politis dalam konteks pembaharuan hukum Islam Indonesia dengan tetap mempertimbangkana spirit hukum Islam untuk kemashlahatan umum dan kemanusiaan. Rofiq, Pembaharuan. 97 98 114 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam dipakai dalam kontek studi Islam di Indonesia. Pendek kata hukum Islam merupakan terminologi yang ambigu antara fiqh dan syariat.101 Hukum Islam yang dipahami sebagai gabungan dari fiqh dan syariat dalam konteks Indonesia jika kembangkan dalam ketatanegaraan dalam negara yang bukan agama dan juga bukan sekuler, maka hukum Islam akan menemukan beberapa kendala antara lain paradoks dalam implementasinya. Hukum Islam (baca syariah) tentu berbeda dengan Hukum Islam (baca fiqh). Masing-masing dari fiqh dan syariah mempunyai pemahaman yang jelas berbeda yang tidak bisa dicampuradukkan. Syariah lebih seragam sedangkan fiqh cenderung beragam, syariah atas wahyu sedangkan fiqh atas akal, syariah cenderung otoriter sedangkan fiqh cenderung liberal, syariah cenderung normatif sedangkan fiqh cenderung dinamis.102 Berpijak dari pemaparan demikian, maka pembaharuan hukum Indonesia yang berorientasi pada positivisasi hukum Islam sesungguhnya merupakan kajian serius terkait memposisikan Hukum Islam mana yang dipositifkan. Peryataan demikian tentunya wajar dan sangat lumrah serta dapat diterima sesuai dinamika keilmuan hukum yang meniscayakan adanya perubahan sesuai perubahan sosial masyarakat dari waktu ke waktu. Hal ini karena menurut Ka’bah103 bahwa dalam substansi Islam terkait positivisasi hukum Islam perlu gabungan antara pendekatan kultural dan struktural. Pendekatan struktural, sebagaimana dinyatakan Ka‘bah, menginginkan penegakan syariat yang terstruktur dalam sistem hukum nasional dengan hukum subtansial dan hukum acara yang jelas dan penegakan yang jelas melalui lembaga penegakan hukum. Sementara Rofiq, Pembaharuan, 13-20. Ibid., 25-30. 103 Ka’bah, Percakapan, 9-35. 101 102 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 115 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara pendekatan kultural menginginkan penegakan syariat tumbuh dari pembiasaan masyarakat melalui usaha persuasif seperti pendidikan, percontohan yang baik dan lain-lain sesuai dengan pengertian ad-dīn (agama) itu sendiri yang secara bahasa berarti ketaatan, ketundukan, dan ketakutan individu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Membicarakan hukum Islam di tengah-tengah hukum nasional, maka perhatian utama mengarah pada kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Meminjam teori ar-Raisūni104 tentang umat adalah pondasi dasar dalam arti sebagai tujuan utama dasar pembangunan, maka sistem hukum Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarah hukum yang mempunyai sifat majemuk merupakan potensi khas yang perlu direspon.105 Atas dasar kajian inilah negara Indonesia hingga dewasa ini masih terus mendiskusikan persoalan hukum terkait pembangunan sistem hukum nasionalnya yang masih pro dan kontra khusunya terkait eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Penjelasan demikian karena sampai sekarang negara Republik Indonesia masih memberlakukan beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan susunan warisan Barat dan Belanda sejak awal kemerdekaan hingga sekarang.106 al-Raisūnī, al Ummat, 10-11. Hal ini senada dengan Rahardjo (2003: 32-38) yang menjelaskan perlunya pembangunan hukum itu sesuai dengan nilai dinamis yang berkembang dalam suatu masyarakat. 106 Sehingga kalau membicarakan sistem hukum Indonesia perlu mengetahui dan memahami bahwa sistem hukum dimaksud adalah yang berasaskan Pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman terhadap Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang dan peraturan lainnya. Oleh karena itu, Pancasila sebagai norma fundamental negara membentuk norma-norma hukum bawahannya secara berjenjang. Norma hukum yang di bawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi, sehingga tidak terdapat pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya. 104 105 116 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam Sistem hukum tersebut adalah sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.107 Menurut Amal108 sejak awal kehadiran Islam pada abad ke tujuh masehi, tata hukum Islam sudah dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam.109 Menurutnya, Hamka pemikir Islam waktu Hal itu, menunjukkan bahwa Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia di satu pihak dan di pihak lain sebagai sistem norma hukum yang menjadi norma fundamental negara dan aturan tertulisnya terdapat dalam pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan bahwa cita hukum menjadi bintang pemandu (Leitstern) dan sistem norma hukum yang terdiri atas berbagai jenjang norma hukum yang mengatur secara riil dan konkrit perilaku kehidupan hukum rakyat Indonesia. Keduanya dilahirkan bersamaan dan dari satu induk pula, yaitu konsensus para pendiri negara Republik Indonesi (Ayu, 2012: 1). Kesuma Riana Ayu, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari, http: // riana. tblog. com/ post/ 1969986906 107 azizy, Eklektisisme, 20-25. 108 Amal, Politik, 26-48. 109 Menurut Muhadjirin (2012: 2-15), pada 1400 tahun terakhir sejarah negara Islam, dikenal dengan administrasi peradilannya, dan kemampuannya melindungi hak-hak rakyat dan hal inilah yang sangat berbeda dengan seluruh aspek kehidupan bangsa lainnya baik secara pribadi maupun politik. Ada dua kelompok yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan Islam dalam berbagai hal yakni: Khalifah dan Qadhi (hakim). Khalifah menjalankan hukumhukum Islam dan menerapkannya kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim mengambil putusan-putusan secara Islami untuk kondisi-kondisi yang berbeda berdasarkan sumber-sumber (seperti Al-Qur`an, As Sunnah dan segala sesuatu yang berasal dari keduannya) dan menggunakannya. Karena itu peradilan merupakan salah satu pilar yang fundamental dalam negara Islam dan diatas hal inilah sistem pemerintahan disandarkan sebagai bagian Implementasi Islam dalam kehidupan politik. Dalam negara Islam telah ada sebuah peradilan yang senantiasa menjalankan keadilan dan menghukum siapa saja yang patut dihukum ditengah- tengah masyarakat untuk memastikan bahwa Islam telah ditaati secara terus-menerus. Sistem peradilan ini tidak ada yang bertentangan dengan Islam malah ia berasal dari aqidah Islam dan membentuk satu kesatuan yang padu dalam pandangan hidup Islam, ditambah dengan Sistem Islam yang lain seperti Sistem Ekonomi (Iqtisad), dan ritual (ibadah) yang saling menyempurnakan satu Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 117 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara itu mengajukan fakta berbagai karya ahli hukum Islam Indonesia, misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil al-Muhtadin, Kartagama dan lainnya, namun semua karya tulis tersebut masih bercorak pembahasan fiqih, masih bersifat doktrin hukum dan sistem fiqih Indonesia yang berorientasi kepada ajaran Imam Mazhab. Pada era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam, Peradilan Agama sudah hadir secara formal. Ada yang bernama peradilan penghulu seperti di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera, dan Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun sangat disayangkan, walaupun pada masa Kesultanan telah berdiri secara formal peradilan Agama serta status ulama memegang peranan sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fiqih.110 Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1760 VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun hukum yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium ini dijadikan rujukan hukum dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah yang dikuasai VOC. Penggunaan Compendium Freijer tidak berlangsung lama. Pada tahun 1800, VOC menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bersamaan dengan itu lenyap dan tenggelam compendium sama lain. Muhammad Aziz Muhadjirin, Sistem Peradilan Dalam Islam”, akses pada 24 November 2012 dari, http: // muhammadaiz. wordpress. com/ materi – peradilan – islam – di - indonesia/ 110 Gunaryo, Pergumulan, 23-40. Dan M. Sularno, ” Syari’at Islam Dan Upaya pembentukan Hukum Positif di Indonesia,” diakses pada 05 Oktober 2012, dari http: / /journal. uii. ac. id/ index. php/ JHI/ article/ viewFile/ 245/240 118 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam itu. Lahirlah politik hukum baru, yang didasarkan atas teori resepsi atau teori konflik Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven. Sejak itu secara sistematik, dengan senjaga hukum Islam dipencilkan. Sebagai gantinya digunakan dan ditampilkan hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba melaksanakan hanya dua sistem hukum yang berlaku, yaitu hukum adat untuk golongan Bumiputera dan hukum barat bagi golongan Eropa.111 Upaya paksaan untuk melenyapkan peran hukum Islam, terakhir ditetapkan dalam Staatsblad 1937 Nomor 116.112 Sementara Rofiq (2001) menjelaskan keadaan hukum perdata Indonesia dapat katakan masih bersifat majemuk, masih beraneka warna. Ada dua faktor penyebab keanekaragaman tersebut; pertama, faktor ethnis disebabkan keanekaragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa. Kedua, faktor yuridis yang dapat dilihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu; golongan eropa dan yang dipersamakan. Golongan bumi putera (pribumi/ bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab). Sementara pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas. Adapun hukum yang diperlakukan bagi masing-masing golongan yaitu; bagi golongan eropa dan yang dipersamakan berlaku hukum perdata dan hukum dagang barat yang diselenggarakan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negara belanda berdasarkan azas konkordinasi. Bagi golongan bumi putera dan yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak lama berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat. Bagi golongan timur asing berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan bumi putera dan timur asing diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hukum eropa barat baik secara keseluruhan maupun untuk macam tindakan hukum tertentu. 112 Terkait persoalan ini, Gunaryo (2006) menjelaskan bahwa abad 19 dan 20 merupakan masa-masa dimana puncak imperialisme terjadi. Pada pada kurun waktu itu, bangsa imperialis barat yang haus kekuasaan seperti Inggris, perancin dan lain-lainnya telah merajalela di mana-mana terutama di Asia dan Afrika, mengancam negara-negara berdaulat untuk dijadikan wilayah kekuasaan Eropa. Belanda sendiri jauh sebelum abad 19 dan 20, telah menapakkan kaki imperialisme di nusantara. Ketika pertama kali menapakkan kakinya di nusantara, Belanda 111 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 119 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Aturan ini merupakan hasil usaha komisi Ter Haar, yang di dalamnya memuat rekomendasi; pertama, hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Kedua, mencabut wewenang Peradilan Agama (Raad Agama) untuk mengadili perkara kewarisan, dan wewenang ini dialihkan kepada Landraad. Ketiga, pengadilan Agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad. Keempat, putusan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan tanpa Executoir Verklaring dari ketua Landraad.113 Setelah Indonesia merdeka, melalui UUD 1945 seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus dihilangkan karena bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Hazairin menyebut teori Receptie sebagai teori Iblis. Sehingga berdasarkan pendapatnya ini, Hazairin mengembangkan teori yang disebutnya sebagai teori receptie exit.114 Pokok-pokok pikiran Hazairin sebagaimana dikutip Ahmad Rofiq menjelaskan beberapa hal terkait perkembangan hukum Islam di Indonesia; yaitu; pertama, teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945. Kedua, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 maka negara Republik Indonesia mendapati kenyataan bahwa sebagian besar penduduk nusantara beragama Islam. Sistem sosial Islam telah berjalan. Lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Peradilan Agama dan Hukum Islam telah mapan (Well established). Raffles, Gubenur Inggris, selama memerintah di Indonesia sebagai pemerintah jajahan mengamati bahwa agama yang telah mapan di Indonesia adalah agama Islam. Hukum Islam telah diterapkan oleh para penghulu atau kiai yang dimintai pendapat dan keputusan dalam kasus-kasus perkawinan, perceraian, dan kewarisan. 113 Gunaryo, Pergumulan, 25-45. Dan Rofiq, Pembaharuan, 13-50. 114 Rofiq, Pembaharuan, 68. 120 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya berupa hukum agama. Ketiga, hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional bukan hukum Islam saja tetapi semua agama sesuai pemeluknya. Hukum agama bidang perdata dan pidana diserap menjadi hukum nasional, sehingga menetapkan Indonesia berdasarkan Pancasila.115 Selain Hazairin, tokoh yang juga menentang teori receptie adalah Sayuti Thalib yang menulis buku Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan hukum Islam.116 Menurut Ali117 teori ini mengandung sebuah pemikiran bahwa, hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Melalui teori ini jiwa pembukaan dan UUD 1945 telah mengalahkan Pasal 134 ayat 2 indische staatsregling. Menurut Ibid. Menurut Tahlib (1982: 17-27) bahwa perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia. Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan. Sajuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1982). 117 Mohammad Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 116-118. 115 116 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 121 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Sunny118 setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku sebagai dasar negara kendati tanpa memuat ketujuh kata dari Piagam Jakarta maka teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya.119 Selanjutnya, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam sesuai dengan pasal 29 UUD 1945. Masa ini disebut Sunny sebagai periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber Persuasif, persuasive source.120 Penjelasan ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam diterima setelah mengalami penyesuaian dengan nilai dan budaya mayarakat dalam proses akulturasi. Sunny, Tradisi, 35-48. Dalam hal ini Rambe (2012: 1-3) menjelaskan bahwa berdasarkan sejarah hukum Islam di Indonesia tokoh hukum Islam, Hazairin mengembangkan teori yang disebutnya sebagai teori receptie exit. Pokok-pokok pikiran Hazairin tersebut adalah; 1) Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945, 2) Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 maka negara Republik Indonesia berkewajiban, membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya hukum agama. Negara mempunyai kewajiban kenegaraan untuk membentuk hukum berdasarkan agama, 3) Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia bukan hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di bidang hukum perdata diserap dan hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Sehingga hukum hukum baru yang berkembang di Indonesia dengan tetap berdasar Pancasila. Di samping Hazairin, seorang tokoh yang juga menentang teori receptie adalah Sayuti Thalib yang menulis buku Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Teori ini mengandung sebuah pemikiran bahwa, hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Melalui teori ini jiwa pembukaan dan UUD 1945 telah mengalahkan Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregling itu. Menurut Ismail Sunny setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku sebagai dasar negara kendati tanpa memuat ketujuh kata dari Piagam Jakarta maka teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya. Rambe, Mara Sutan, 2012, “Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Pidana Nasional” diaskses pada 21 November 2012 dari, http: // msrambe. wordpress. com/ 2012/ 06/ 21/ proses – akomodasi – hukum – islam – kedalam – hukum – pidana - nasional/ 120 Praja, Hukum, 25-39. 118 119 122 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam Sedangkan dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka era ini dapat dikatakan era penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif (authoritative source). Penjelasan ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam dengan normatifnya mempunyai kekuatan untuk dipaksakan serta diberlakukan dalam suatu masyarakat tanpa membutuhkan proses akulturasi. Sering kali disebut bahwa Piagam Jakarta menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Kata menjiwai bisa bermakna negatif dalam arti tidak boleh dibuat perundang-undangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif maknanya adalah pemeluk-pemeluk yang beragama Islam diwajibkan menjalankan syari’at Islam.121 Atas dasar pemaparan demikian, maka diperlukan undang-undang yang memperjelas menaungi secara yuridis atas pemberlakuan hukum Islam dalam hukum nasional yang 121 Menurut Qodri Azizy, nilai ketuhanan berupa nilai agama merupakan nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional. Terdapat beberapa ahli hukum yang sudah memberikan pemikirannya tentang sistem hukum Indonesia yang berdimensi Ketuhanan. Dalam hal ini, Azizy menawarkan konsep eklektisisme hukum nasional. Eklektisisme diartikan sebagai suatu sistem (agama atau filsafat) yang dibentuk dengan secara kritis memilih dari pelbagai sumber dan doktrin. Membentuk hukum nasional dengan secara kritis memilih unsur-unsur dari doktrin hukum yang memang berlaku di Indonesia. Lebih jauh Azizy menolak adanya dikotomi hukum yakni antara hukum Islam dengan hukum positif. Inti yang dikemukakan oleh Qodri Azizy adalah bahwa hukum Islam dapat menjadi hukum nasional, bukan hanya melalui pendekatan normatif, namun juga akademik dan analisis. Hukum Islam yang mempunyai janji untuk menegakkan dan mewujudkan kemaslahatan umat semestinya harus mampu mengisi hukum nasional. memperingatkan dengan mempertegas konsepsi hukum Islam itu sendiri untuk menghindari kesalahfahaman atas apa yang dimaksud dalam Islam sesuai perkembangan sosial (Azizy, 2003: 160-185). Azizy, Eklektisisme. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 123 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara kemudian langkah tersebut perlu strategi politik melalui legislasi atau positivisasi hukum Islam. Sehingga keberdayaan hukum Islam mecerminkan adanya peranan politik hukum dinamis sesuai hukum yang berkembang di Indonesia. Akhirnya hal ini berpengaruh terhadap tatanan sistem hukum Indonesia yang memberi peluang besar terhadap hukum Islam dalam mewarnai pembangunan hukum nasional.122 1. Hukum Islam dan Hukum Positif Kata hukum Islam123 menurut Rofiq124 tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan Azizy, Eklektisisme, 165-178. Menurut Azizi (2003: 28-43) hukum Islam dipahami hukum syar’i, dalam banyak istilah disebut hukum syara’ atau hukum syari’at atau hukum syari’ah, dan oleh dalam masyarakat Indonesia lebih dikenal sebagai hukum Islam adalah salah satu sub sistem hukum yang berlaku di negara Indonesia dan menjadi unsur yang membentuk (sumber bahan hukum) sistem hukum nasional Indonesia. Disamping itu ada dua sub sistem hukum lagi sebagai sumber bahan hukum yaitu hukum barat dan hukum adat. Secara lughawi (etimologis) syari’at berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang sesungguhnya harus dituruti. Syari’at juga berarti tempat yang akan dilalui untuk mengambil air di sungai. Maka dapat ditegaskan di sini syari’at adalah segala aturan Allah yang berkaitan dengan amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum atau aturanaturan yang berasal atau dibangsakan kepada syari’at tersebut disebut hukum syar’i. Sedangakan syari’at/syari’ah dalam pengertian terminologis adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya. Di dalam ajaran Islam sendiri tidak dikenal istilah hukum Islam (hanya merupakan istilah khas di Indonesia). Dalam Alquran dan Sunnah istilah hukum islam (al-hukm al-islam) tidak ditemukan. Namun yang lazim digunakan adalah kata hukum syar’i, hukum syara’, syari’at Islam, yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqh, artinya adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya (secara terminologis). Azizy, Eklektisisme. 124 Rofiq, Pembaharuan, 20-25. 122 123 124 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term Islamic Law dari literatur Barat. Dalam penjelasan tentang hukum Islam dari literatur Barat ditemukan definisi hukum Islam yaitu keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Dari definisi tersebut, arti hukum Islam jelas berbeda dengan hukum positif karena lebih dekat dengan pengertian syariah.125 Hasbi Asy-Syiddiqy sebagaimana dikutip Rofiq126 memberikan definisi hukum Islam dengan koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh.127 Untuk lebih memberikan 125 Menurut Rofiq (2001: 23-45) dalam kehidupan sehari-hari hukum Islam sering dikenal dengan kata Fiqih Islam atau Syari’at. Kedua kata tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan tentang ajaran agama Islam yang memenuhi aspek-aspek hukum. Antara kata Fiqih dan Syari’at dalam penggunaan sehari-hari tidak ada perbedaan arti, padahal kalau dikaji secara mendalam kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda. Kata syari’at itu sendiri mencakup seluruh ajaran Islam, yang menyangkup ibadah, muamalah, ahklak ataupun Fiqih itu sendiri, yang semuanya bersumber dalam al Qur’an. Sedangkan Fiqih hanya sebagian dari Syari’ah tersebut. Menurut para Ulama Syari’ah adalah hukum- hukum yang berasaldari Allah untuk para hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh Nabi Muhammad melalui wahyu. Menurut istilah Syari’ah itu berarti jalan yang harus diikuti oleh umatIslam. Menurut istilah, Syari’ah adalah aturan-aturan yang digariskan Allah agar manusia berpegang kepada-Nya, di dalam hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, manusia dengan saudaranya sesama muslim, dengan alam dan didalam hubungannya dengan kehidupannya. Jadi dapat diketahui bahwa Syari’at adalah semua yang difirmankan Allah baik yang diperintahkan maupun yang dilarang yangberhubungan dengan perbuatan setiap umat muslim dalam menjalanikehidupan. Rofiq, Pembaharuan. 126 Rofiq, Pembaharuan, 22-25. 127 Sedangkan Fiqih menurut bahasa berarti memahami, mengetahui danmendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Sedangkan menurut istilah Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliah (mengenai perbuatan perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran ijtihad (penelitian) dan memerlukan wawasan perenungan mendalam (Rofiq, 2001: 24-38). Rofiq, Pembaharuan. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 125 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu arti dari kata hukum. Sebenarnya tidak ada arti yang sempurna tentang hukum apalagi terkait dengan persoalan hukum Islam. Bila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup Hukum Syari’ah dan hukum fiqh, karena arti syara, dan fiqh terkandung di dalamnya.128 Terkait hukum Islam, Trikanti129 menjelaskan bahwa para ulama fiqh, ushul fiqh menetapkan defenisi hukum Islam antara lain sebagai berikut: Al-Baidhawi menjelaskan hukum Islam sebagai firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadh’i. Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan sebagai firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan perintah dan larangan atau menerangkan pilihan kebolehan memilih atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang terhadap suatu hukum. Hal ini juga dijelaskan Syatibi (1965) bahwa syari’at dalam literatur hukum Islam, mempunyai tiga pengertian sebagai berikut: a. Syariah dalam arti hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa. Rofiq, Pembaharuan, 20-30. Trikanti, “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04 November 2012 dari, http: // trikantii. blogspot. com/ 2011/ 10/ perkembangan – sistem – hukum - indonesia. html 128 129 126 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam b. Syariah dalam pengertian hukum Islam, hukum syar’i, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun yang berubah sesuai perkembangan zaman. c. Syari’ah dalam pengertian hukum yang terjadi berdasarkan istinbath dari al-Qur’an dan al-Sunnah (fiqh), yaitu hukum yang diinterpretasikan oleh para sahabat Nabi saw, hasil ijtihad dari para mujtahid dan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ahli hukum Islam melalui metode qiyas dan metode ijtihad lainnya.130 Dengan argumentasi demikian hukum syar’i adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia mukallaf dalam bidang fiqh Islam (syari’ah), bukan hukum berkaitan dengan akidah dan akhlak. Karena syari’ah Islam secara luas meliputi meliputi aqidah, iman, sistem keyakinan, syari’ah Islam, sistem hukum, akhlak, ihsan dan sistem moral.131 Pada dimensi lain penyebutan hukum syar’i selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum. Jika demikian, maka hukum syar’i bukan lagi sebagai hukum Islam in absracto pada tataran fatwa atau doktrin melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto pada tataran aplikasi dan pembumian. Sebab secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif,132 yaitu hukum Rofiq, Pembaharuan, 22-35. Ibid. dan Ahmad al-Raisuni, al Ijtihād, 5-11. 132 Hukum positif merupakan salah satu bagian hukum, ditinjau menurut waktu berlakunya. Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu; Ius constitutum (hukum positif), Ius contituendum (hukum asasi), hukum positif atau bisa dikenal dengan istilah Ius Constitutum, yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Singkatnya; Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu. Ada sarjana yang menamakan hukum positif itu tata hukum. Tata hukum sendiri berasal dari kata bahasa belanda. Dalam bahasa 130 131 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 127 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara yang mengikat dalam suatu tempat tertentu, misalnya di Indonesia hukum syara’ diterapkan dalam Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Zakat dan Wakaf, dan sebagainya. Kata yang sangat dekat hubungannya dengan perkataan syari’at adalah syara’ dan syar’i yang diterjemahkan dengan agama. Oleh karena itu jika berbicara tentang hukum syara’ yang dimaksud adalah hukum agama yaitu hukum yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya, yakni hukum syari’at meskipun terkadang isinya hukum fiqih. Dari perkataan syari’at kemudian lahir perkataan tasyrī’, artinya pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari wahyu dan sunnah yang disebut tasyrī’ samāwī, dan peraturan yang bersumber dari pemikiran manusia yang disebut tasyrī’ wadh’ī. Dengan demikian argumentasi yang mengatakan adanya perbedaan antara hukum Islam, syari’ah dan tasyrī’ dapat diterima dengan porsinya masing-masing.133 Dengan mencermati ragam definisi serta argumentasi para ulama fiqh tentang kriteria penetapan sesuatu sebagai hukum syar’i, maka dapat dikatakan bahwa; pertama, menurut ulama ushul fiqh, bahwa nash, teks dari pembuat syara’ (Allah dan Rasul-Nya) itu yang dimaksud dengan hukum syar’i. Dalam al Qur’an, Q. S. Al-Baqarah (2): 10, ÑÝv»A AÌÀγAË (dirikanlah shalat). Di sini, perkataan aqīmū al- ṣalāh itulah yang menjadi Belanda recht orde ialah susunan hukum, artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum. Yang dimaksud “memberikan tempat yang sebenarnya” yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup. Itu dilakukan supaya ketentuan yang berlaku, dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum (Kansil, 2008). 133 Rofiq, Pembaharuan, 23-43. 128 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam hukum syar’i. Kedua, menurut ulama Fiqh, bukan nash itu yang dimaksud dengan hukum syar’i, melainkan efek dari kandungan perkataan aqim al-ṣalāh itu yang mengakibatkan terjadinya hukum syar’i.134 Terkait hukum syar’i, ulama ushul fiqh mengatakan bahwa firman (perintah wajib shalat) itulah yang dikatakan hukum syar’i, berbeda dengan ahli fiqh yang mengatakan bahwa kewajiban shalat itu yang dikatakan hukum syar’i. Hukum syar’i/syara’ di Indonesia sering dipakai istilah hukum Islam yaitu kata yang tidak dikenal dalam ajaran Islam sendiri, tetapi istilah yang dipakai adalah hukum syar’i, hukum syara’, hukum syari’at, hukum syari’ah, syari’at Islam atau fiqh dan hukum Islam.135 Kalau berbicara tentang hukum Islam di Indonesia, maka yang dimaksud adalah bagaimana hukum yang berlandaskan hukum syar’i itu diterapkan terhadap peristiwaperistiwa hukum yang terjadi pada kaum muslimin.136 Berbagai pendapat ulama dalam mendefinisikan hukum syar’i pada prinsipnya sependapat bahwa hukum syar’i adalah perintah Allah terhadap manusia dalam menjalankan 134 Trikanti, “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04 November 2012 dari, http: // trikantii. blogspot. com/ 2011/ 10/ perkembangan – sistem – hukum - indonesia. html 135 Rofiq, Pembaharuan, 20-25. 136 Menurut Azizy (2002) hukum Islam merupakan salah satu hukum yang hidup (living law) dan merupakan bagian dari tiga sistem hukum yang ada di Indonesia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (kurang lebih 88 %) sudah barang tentu teradapat nilai ataupun norma agama bersamaan dengan hadirnya agama tersebut. Dinamisasi hukum Islam pastilah akan berpengaruh terhadap proses maupun interaksi sosial. Begitu juga dengan status sosial, dikarenakan norma yang terserap hasil dari interaksi antara agama dengan masyarakat tersebut memunculkan implikasi terhadap proses sosial yang terjadi di Indonesia (misalnya pengaruh seoarang kyai sebagai tokoh masyarakat). Pengaruh yang dihasilkan melalui jalur status sosial, realitas yang terjadi di Indonesia terkadang terjadi kontradiktif diantara para pemegang status yang mengakibatkan rawan konflik. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 129 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara kehidupannya, yang berisi aturan, pedoman dalam berhubungan dengan Allah swt, sesama manusia dan makhluk lainnya. Sumbernya berasal dari al Qur’an dan al- Hadits serta ijtihad para ulama, dan biasanya hanya mencakup masalah fiqhiyyah, ibadah, bukan aqidah dan akhlak.137 Berdasarkan penjelasan hukum Islam di atas, maka hukum positif berbeda dengan hukum Islam. Dalam konteks keIndonesiaan hukum positif atau hukum nasional adalah hukum yang dibuat atau dibangun oleh bangsa Indonesia yang kemudian menjadi undang-undang dan berlakukan oleh negara untuk semua komponen bangsa. Hukum positif adalah hukum yang berlaku setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama bagi warga negara Republik Indonesia sebagai pengganti hukum kolonial sesuai kebutuhan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya dan agama yang berbeda, ditambah dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial dahulu, bukan pekerjaan mudah, maka wajar hal ini kerap menimbulkan ambivalensi.138 Pembangunan hukum nasional akan berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya harus dilakukan dengan hati-hati, karena di antara agama yang dipeluk oleh warga negara Republik Indonesia ini ada agama yang tidak dapat dipisahkan dari hukum.139 Agama Islam, Ibid., 15-25. Gunaryo, Pergumulan, 20-30. 139 Terkait pembangunan hukum nasional, menurut Latief (2011:2-5)) menjelaskan bahwa, pasca reformasi yang berlangsung pada bulan Mei Tahun 1998, bangsa Indonesia tengah mengalami perubahan tatanan kehidupan yang mendasar, sehingga memerlukan suatu tekad dan tujuan bersama untuk mempertahankan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk mengembangkan diri dalam mencapai cita-cita luhur para pendiri bangsa (founding 137 138 130 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam misalnya dipahami sebagai hukum agama yang mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bahwa Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti di Indonesia ini, unsurunsur hukum agama itu harus benar-benar diperhatikan. Untuk itu perlu wawasan yang jelas dan kebijakan yang arif.140 Karena hukum nasional harus mampu mengayomi dan memayungi seluruh bangsa dan negara dalam segala aspek kehidupannya, maka menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh (1989) dalam merencanakan pembangunan hukum nasional, wajib menggunakan wawasan nasional yang merupakan tritunggal yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, yaitu; wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan bhinneka tunggal ika.141 fathers) yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara material dan spiritual. Gagasan luhur tersebut jika dicermati dengan seksama tetap relevan dan menjadi isu penting karena bangsa Indonesia harus menemukan nilai-nilai yang dapat memotivasi, memberi inspirasi dan mempersatukan seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan cita-cita bersama. Disadari sepenuhnya bahwa upaya mewujudkan cita-cita tersebut tidak mudah, karena bangsa Indonesia sangat plural dan heterogen, dengan jumlah penduduk terbesar urut ke empat dan tersebar luas, sehingga sangat rawan konflik akibat alasan yang sulit diprediksi dan mendadak. Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011). 140 Kesuma Riana Ayu, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari, http: // riana. tblog. com/ post/ 1969986906 141 Sebagai Nation (Bhinneka Tunggal Ika), Indonesia yang memiliki penduduk besar 237 juta jiwa penduduk (sensus Tahun 2010) dan kondisi geografis yang memiliki kandungan sumber kekayaan alam yang besar merupakan modal perjuangan yang utama. Dalam perkembangannya, persenyawaan antara kondisi geografis dan demografis dimaknai dan dirumuskan sebagai sumber jati diri bangsa, dasar negara dan pandangan hidup bersama (Latif, 2011: 2-3). Latief, Negara. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 131 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Dipandang dari wawasan kebangsaan sistem hukum nasional harus berorientasi penuh pada aspirasi serta kepentingan bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan sekarang bukanlah wawasan kebangsaan yang tertutup, tetapi terbuka memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang dan mampu menyerap nilai-nilai hukum modern.142 Selain itu, berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2011 sangat membantu terlaksananya Hukum Islam sebagai hukum positif dalam konteks pembangunan sistem hukum nasional karena prinsipnya adalah sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang prinsip dan aspirasi tersebut telah mengakar sekian tahun di Indonesia sesuai kesadaran hukum masyarakat. Karena yang dianut dalam pembangunan hukum nasional juga wawasan nusantara yang menginginkan adanya satu hukum nasional, maka usaha unifikasi di bidang hukum harus sejauh mungkin dilaksanakan. Ini berarti seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh satu sistem hukum yaitu sistem hukum nasional. Akan tetapi, demi keadilan, kata Menteri Kehakiman, hukum nasional yang akan diwujudkan berdasarkan kedua wawasan itu, harus juga memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat.143 Oleh karena itu, di samping kedua wawasan tersebut, pembangunan hukum nasional harus mempergunakan wawasan bhinneka tunggal ika. Dengan mempergunakan wawasan tersebut, unifikasi hukum yang diinginkan oleh wawasan nusantara itu harus menjamin tertuangnya aspirasi, Latief, Menyemai, 13-38. Kesuma Riana Ayu, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari, http: // riana. tblog. com/ post/ 1969986906 142 143 132 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam nilai-nilai dan kebutuhan hubungan masyarakat ke dalam sistem hukum nasional. Dengan wawasan Bhinneka Tunggal Ika ini, keragaman suku bangsa, budaya dan agama sebagai aset pembangunan nasional harus dihormati, sepanjang, tentu saja, tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.144 Dengan menggunakan ragam wawasan secara serentak dan terpadu dari berbagai asas dan kaidah seperti hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat, maka proses demikian akan menjadikan integrasi hukum nasional, baik hukum nasional yang tertulis maupun hukum nasional yang tidak tertulis atau hukum kebiasaan.145 Terkait hukum nasional atau hukum positif, maka agama Islam mempunyai hukum yang secara substansi terdiri atas dua bidang yaitu; pertama bidang ibadah dan kedua, bidang mu’amalah. Pengaturan bidang ibadah bersifat rinci, pengaturan mengenai mu’amalah atau mengenai segala aspek kehidupan masyarakat tidak bersifat rinci, yang ditemukan dalam bidang terakhir ini hanya prinsip-prinsipnya saja. Pembangunan dan aplikasi prinsip-prinsip bidang mu’amalah itu, diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan yakni para ulil amri.146 Karena hukum Islam memegang peranan penting dalam Latief, Negara, 23-48. Lebih jauh Latief (2011: 23-48) menjelaskan bahwa persoalan hukum yang berkembang di Indonesia hendaknya mengakomodir semua aspirasi dari ragam agama yang tumbuh berkembang di Indonesia. Upaya ini sangat penting sebagai upaya menjaga sistem demokratisasi yang menjadi pilihan bangsa Indonesia. Latief, Negara. 146 Sementara menurut Azizy (2003: 64-79) peranan penting yang dimiliki umat Islam Indonesia bisa menjadi modal besar dalam rangkai mewarnai pembangunan hukum nasional. Upaya membutuhkan strategi tertentu antara lain eklektissme, sehingga tanpa ada pihak atau unsure Negara yang dirugikan secara kelembagaan, proyeksi transformasi hukum Islam tetap berjalan dengan potensi mayoritasnya. Azizy, Eklektisisme. 144 145 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 133 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara membentuk dan membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh adalah mengusahakan secara ilmiah transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sesuai dengan Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945 dan relevan dengan kebutuhan hukum khususnya umat Islam.147 Penjelasan demikian dapat dibenarkan dengan mengakui adanya peranan atau kontribusi yang dilakukan Hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional. Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional, hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya (Imron, 2008). Pernyataan ini dapat dibenarkan karena diperkuat oleh beberapa argumentasi sebagai berikut; Pertama, UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 2 Undang-undang ini, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Kedua, di dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang telah diratifikasi dengan Undangundang No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.148 Latief, Negara, 23-48. Menurut Syaddad (2012: 3-19) saat undang-undang tersebut baik UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 147 148 134 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam Ketiga, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini membuktikan bahwa Peradilan Agama sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi Indonesia. Hal ini membuktikan adanya kontribusi umat Islam sebagai umat yang mayoritas. Keempat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak berbentuk Undang-undang, melainkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 namun Kompilasi ini sangat membantu para hakim dalam memutuskan perkara, terutama di Peradilan Agama. Kelima, PP No. 28 tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik, di samping UU No. 5 tahun 1960 sebagai pengaturan pokok masalah pertanahan di Indonsia. Sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan juga Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 tahun 1978. Peran hukum Islam di Indonesia, menurut Gus Dur149, agama sebagai etika sosial yang berfungsi komplementer 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokohtokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan. Padahal dalam UU sebelumnya yaitu dalam Pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. Ahmad Farhan Syaddad, “Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Analisis Terhadap Kebijakan Perubahan UUSPN no 2 Tahun 1989 MenjadiUU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003)” akses pada 23 November 2012 dari, http://www. scribd.com/doc/92938997/ANALISIS-UU-SISDIKNAS 149 Abdul Rahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunan percikan Pemikiran Gusdur (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1999), 55-76. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 135 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara dalam negara, nilai-nilai dasar Islam bersama nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain di tanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai termasuk dalam pengembagan pendidikan.150 Sebagai konskuensinya, dalam pelaksanaan program tersebut telah dikeluarkan beberapa peraturan sebagai berikut; 1. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil Kementerian Agama Propinsi/ setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat atau memberhentikan Kepala KUA Kecamatan sebagai PAIW, 150 Lebih jauh Gus Dur (1999: 55-78) juga menolak hubungan agama dengan negara dengan beberapa alasan sebagai berikut; pertama, dipilihnya agama sebagai suplementer dalam kehidupan bernegara akan berakibat pada kecilnya penghargaan terhadap hak asasi manusia dan tidak akan mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak dari kiebebasan berbicara dan berpendapat. Kedua, dalam posisinya yang suplementer hubungan agama dan negara akan bersifat manipulative, yaitu sekedar menjadikan sumber-sumber agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan. Ketiga, menolak sebagai idiologi alternative bagi negara. Karena dalam sebuah negara pluralistik menjadikan Islam atau agama apapun, sebagai idiologi negara hanya akan memicu disintegrasi. Sementara negara seperti Indonesia tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Keempat, dalam sebuah negara pluralistik negara merupakan hukum alam atau sunnatullah, menurutnya, Islam seharusnya diinplementasikan sebagai suatu etika social yang berarti Islam harus berfungsi komplomenter dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam sebagai idiologi negara akan membawa bangsa ini kedalam masa penuh ketegangan seperti terlihat hampir selama lima dekade sejak tahun 1930 an. Wahid, Islam. 136 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam 2. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri masing-masing No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977, 3. Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil Kementerian Agama Propinsi, setingkat untuk mengangkat atau memberhentikan setiap Kepala KUA Kec. sebagai PPAIW, 4. Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.II/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai dengan lampiran rekaman Surat Direktorat Jenderal Pajak No. S-629/ PJ.331/1080 tentang Ketentuan Menteri Keuangan atas tanda-tanda sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik. 6. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D. II/5/ Ed/07/1981 tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik; 7. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D. II/5/ Ed/ll/1981 tentang Petunjuk Pengisian nomor pada formulir Perwakafan Tanah Milik. Terkait peran hukum Islam di Indonesia, hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.151 151 Azizy, Eklektisisme, 30-35. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 137 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi.152 Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional masa lalu, masa kini dan masa datang yang menegaskan bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum Islam ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum.153 Menurut Rahman154 teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia, yaitu; 1. Ada, dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; 2. Ada, dalam arti kemandiriannya yang diakui, adanya kekuatan dan wibawanya, dan diberi status sebagai hukum nasional; 152 Teori eksistensi ini dikemukakan oleh Ichtijanto. Menurutnya, yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut; (1) merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia, (2) keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional, (3) norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan (4) sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia (Bisri, 1991: 131). Cik Hasan Bisri, Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan, (Rosda Karya, Bandung). 153 Trikanti, “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04 November 2012 dari, http: // trikantii. blogspot. com/ 2011/ 10/ perkembangan – sistem – hukum - indonesia. html 154 Ahmad Syafii Rahman, “Corak Modernisme Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis),” diakses pada 24 Juni 2012 dari http://syafiirahman.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-xnone_2255.html 138 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam 3. Ada, dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia; 4. Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama. Dengan demikian, secara eksistensial kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional. Karenanya, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai. Dengan demikian secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum, selalu sama-sama menuntut ketaatan.155 Dari argumentasi di atas semakin jelas, bahwa hubungan antara agama, hukum dan politik sangat erat. Ketiganya secara bersamaan menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat. Pola hubungan ketiganya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang. Tidak boleh dibiarkan saling bertentangan dalam konteks pembangunan hukum nasional Indonesia (Imron, 2008). Bahkan dalam kenyataan lebih konkret sebagai bukti tertatanya format politik hukum Islam menjelang tahun 1990-an hingga era reformasi terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain: M. Sularno, ” Syari’at Islam Dan Upaya pembentukan Hukum Positif di Indonesia,” diakses pada 05 Oktober 2012, dari http: / /journal. uii. ac. id/ index. php/ JHI/ article/ viewFile/ 245/240 155 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 139 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara 1. UU RI No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan. 2. UU RI No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama (diganti UU No. 3, 2006) 3. UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan prinsip bagi hasil. Sedangkan UU pada era reformasi antara lain: 1. UU RI No.10/1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan Prinsip Syariah. 2. UU RI No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají 3. UU RI No. 38 Tahun 1999 diganti UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat 4. UU RI No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam 5. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan Partai Islam 6. UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 7. UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf 8. UU RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 9. UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara 10. UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dll. Selain tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain: 1. PP No. 9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan 2. PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik 3. PP No. 72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. 140 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam 4. Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 5. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD. Dari sekian produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.156 Selain itu pada awal tahun 1990-an hingga era reformasi sesungguhnya merupakan rea1itas sosial dan politik hukum yang tidak dapat dihindari.157 Pada masa tersebut, peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk 156 Muhsin Harianto, “Legislasi Hukum Islam di Indonesia Dalam Prespektif Politik Hukum” akses pada 5 Pebruari 2013 dari 157 Sejalan dengan perubahan iklim politik hukum dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Pertanyaannya adalah, bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar hukum Islam tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan Indonesia baru yang adil dan sejahtera menuju ilmu hukum Islam Indonesia (Hariyanto, 2013: 2-7). Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 141 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama.158 Atas dasar rentetan kajian dari atas hingga disini, kiranya wajar dan dapat diterima bahwa positivisasi hukum Islam sesungguhnya merupakan upaya terobosan untuk memanfaatkan situasi dan perkembangan politik hukum nasional yang secara yuridis formal memberikan angin segar terhadap hukum Islam menuju hukum nasional. Hukum Islam dengan hukum nasional menuju bangunan sistem ilmu hukum Indonesia atau ilmu hukum Islam Indonesia. Berdasarkan pemaparan dari atas maka sesungguhnya sampai saat ini dalam diskursus keislaman, ada tiga pola yang dikembangkan dalam menata hubungan agama dengan negara. Pertama, agama dan negara memiliki hubungan yang terpisah sama sekali. Meminjam ungkapan Thaha Husein, a­ l-dīn syai’ wa al- daulah syai’un ākhar. Kedua, agama dan negara memiliki hubungan yang erat dan integral atau apa yang sering disebut dalam khazanah pemikiran Islam klasik, al-Islām dīn wa al- daulah. Ketiga, agama dan negara sebagai dua entitas yang terpisah namun memiliki hubungan dalam bentuk nilai-nilai agama harus mempengaruhi kehidupan agama. Berangkat dari tiga pola di atas, maka bisa melihat kedudukan syari‘ah. Tampaknya pola yang pertama, seharusnya agama tidak boleh—meminjam ungkapan Gus Dur—mengintervensi negara dan sebaliknya negara juga tidak boleh mengintervensi agama. Termasuk di dalamnya dalam masalah hukum Islam. Ketika negara telah Hariyanto, Muhsin, “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam Bidang Ekonomi”, akses pada 28 November 2012 dari, 158 142 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam mempositifkan hukum Islam, sama artinya bahwa negara telah ikut campur dalam masalah keagamaan. Menurut Tarigan159 pola hubungan yang kedua yang menyatukan agama dan negara serta pola hubungan yang ketiga ditolak oleh sebagian ilmuan. Agama atau syari‘ah menurutnya, dengan mengutip pendapat An-Na‘im, biarlah menjadi aturan-aturan normatif yang mengikat setiap pemeluknya. Sedangkan bagaimana menata negara yang harus menjamin kehidupan warganya yang sangat pluralistik, diserahkan pada aturan-aturan universal yang mungkin saja tidak bersumber pada agama. Hemat penulis, dalam tingkat tertentu, campur tangan negara tetap diperlukan. Misalnya dalam bidang mu‘amalah negara harus berperan sebagai upaya menertibkan kepentingan umat. Paling tidak hal ini disebabkan beberapa hal; Pertama, mu‘amalah Islam itu biasanya menyangkut kehidupan orang banyak, dimana hukum yang berfungsi untuk menjaga tertib sosial mutlak diperlukan. Hal-hal yang berkenaan dengan aturan-aturan mu‘amalah menjadi penting untuk dilegislasi mengingat hal ini menyangkut hak dan kepentingan orang banyak. Perkawinan misalnya, tidak saja berhubungan dengan dua orang manusia yang akan menikah, tetapi bersangkut paut dengan masalah lainnya, seperti warisan dan perwalian. Jika diserahkan kepada masing-masing setiap orang, atas dasar apa seseorang menuntut berhak atas warisan dan sebagainya.160 Kedua, aturan-aturan mu‘amalah dalam Islam itu sangat sedikit. Jika di dalam al-Qur‘an ayat hukum tidak lebih dari Tarigan, Azhari Akmal, “Menimbang Kembali Penerapan Syari’ah Islam”, akses pada 16 Pebruari dari http: // www. waspada. co. id/ index2. php? Option = com_content & do_pdf=1&id=20286 160 Ibid. 159 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 143 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara 265 ayat, ayat-ayat mu‘amalah lebih sedikit lagi yaitu sekitar 10 sampai 15 ayat. Artinya, dinamisnya perkembangan mu‘amalah itu sangat disadari oleh al-Qur‘an sehingga alQur‘an tidak memberikan aturan-aturan yang terperinci. Nilai-nilai universal yang dikandung ayat-ayat mu‘amalah inilah yang sejatinya harus dikembangkan lebih jauh sesuai dengan perkembangan historisnya.161 Tampaknya, menurut penulis hal-hal inilah yang dilupakan sebagian ilmuan. Hal yang tampaknya belum terjawab adalah, pertama, jika negara tetap membutuhkan hukum positif, dari manakah sumber hukum positif itu dirumuskan. Jika syari‘ah dijadikan dasar, bukankah itu juga termasuk telah mempositifkan syari‘ah walaupun hanya nilai-nilainya. Bahkan jika nilai syari‘ah itu mewarnai produk hukum, maka sebenarnya hal itu disebut sebagai hukum Islam yang tidak mungkin memisahkan antara nilai dan bentuk formalnya. Kedua, jika bukan Syari‘ah, apa yang dijadikan sebagaian ilmuan sebagai jaminan, bahwa hukum positif yang ditetapkan oleh negara tersebut akan menjamin demokrasi dan HAM. Dengan demikian tentunya dapat diterima bahwa positivisasi hukum Islam sesungguhnya telah berjalan sejak lama di Indonesia, sehingga hukum Islam dan hukum positif dalm konteks pembangunan sistem hukum nasional telah menyatu dalam pandangan tertentu. 2. Politik Hukum Islam di Era Reformasi Politik hukum nasional era reformasi menampakkan wajah dan gaungnya yang membedakan dengan sebelum reformasi. Pada masa reformasi lahir beberapa perundang161 144 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam undangan yang dapat memperkokoh162 hukum Islam dalam sistem tata hukum nasional sesuai perkembangan politik hukum nasional antara lain: 1. UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah penganti UU RI No. 10/1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan Prinsip Syariah. 2. UU RI No. 17/ 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají 3. UU RI No. 38 Tahun 1999 diganti UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat 4. UU RI No. 44/ 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam 5. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan Partai Islam 6. UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 7. UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf 8. UU RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 9. UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Menurut Praja (1991: xv) undang-undang sebagai upaya memperkokoh negara dengan cara merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum nasional, walaupun dalam praktek tidak lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurutnya menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai pengaruh cukup besar. Praja, Hukum. 162 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 145 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara 10. Perda Syariah dan lainya. Beragam perundang-undangan bernuansa Islam yang lahir kalau dicermati sesungguhnya tidak lepas dari peranan umat Islam apakah secara kultural maupun struktural. Politik hukum dalam hal ini memainkan peran penting dalam proses lahirnya beragam perundang-undangan tersebut termasuk yang sekarang marak adalah terkait dengan perda syariah. Politik hukum sebagai mekanisme serta menentukan layak tidaknya suatu hukum yang akan diberlakukan sesuai kebutuhan masyarakat.163 Politik hukum menjadi bagian dari studi ilmu hukum memang awalnya agak dianggap asing, namun setelah di lapangan atau praktek hukum banyak ditemukan ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan antara hukum yang bersifat ius constituendum dan hukum yang bersifat ius constitutum, maka politik hukum akhirnya bisa diterima dengan baik atas dasar kebutuhan hukum yang sesuai dengaan kesadaran hukum masyarakat.164 Pertentangan 163 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5 xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv Ck-Uo2UVEw 164 Mahfud (1998: 7-10) menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh 146 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam yang terjadi dalam dunia hukum tersebut dapat dijelaskan dengan politik hukum sebagai pengontrol layak tidaknya suatu hukum yang akan diberlakukan atau dibatalkan. Dari sudut materi dan mekanisme pembuatan politik hukum di Indonesia diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang diganti sekarang denan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan pada program legislasi nasional (prolegnas) dan program legislasi Daerah (Prolegda). Atas dasar argumentasi demikian, sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara, cita hukum dan penuntun yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, sehingga tidak boleh ada produk hukum yang bertentangan antara satu dengan lainnya. Sistem hukum yang oleh Barda Nawawi Arief yang merupakan substansi, struktur dan budaya hukum di Indonesia harus selaras dengan semangat Pancasila dan UUD 1945.165 Politik hukum terkait dengan rencana pembangunan materi hukum yang termuat dalam PROLEGNAS secara nasional dan PROLEGDA secara kedaerahan sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011. Prolegnas konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada zaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Pada sisi lain, hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1988). 165 Arief, Beberapa, 3-15. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 147 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara ini disusun oleh DPR bersama pemerintah yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh DPR. Peletakan koordinasi oleh DPR merupakan konsekuensi logis dari hasil amandemen pertama UU 1945 yang menggeser penjuru atau titik berat pemebentukan UU dari pemerintah ke DPR sesuai dengan bunyi pasal 20 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen bahwa “Dewan perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. Sedangkan, ketentuan bahwa Prolegnas merupakan wadah politik hukum (untuk jangka waktu tertentu) dapat dilihat pada UU No. 12 Tahun 2011 sebagi pengganti dari UU No. 10 Tahun 2004 dalam Pasal 15 ayat (1) yang menggariskan bahwa “perencanaan penyususunan undangundang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.” Sedangkan ketentuan bahwa prolegnas adalah wadah politik hukum untuk setiap daerah tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) yang menggariskan juga untuk membuat Program Legislasi Daerah (Prolegda) agar tercipta konsistensi antara berbagai peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Dengan demikian dari Prolegnas dan Prolegda dapat dipahami bahwa setiap UU yang akan dibuat untuk jangka waktu tertentu merupakan politik hukum di tingkat nasional maupun masing-masing daerah.166 Berdasarkan pemaparan diatas dapat dipahami bahwa hubungan politik dan hukum di Indonesia dapat di rumuskan 166 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5 xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv Ck-Uo2UVEw 148 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam secara mendasar dalam tiga bangunan. Pertama, hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Kedua, politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. Ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, artinya politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis) dan hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.167 Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi, pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.168 Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah religious nation state atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. 167 168 Mahfud MD, Membangun, 9-30. Ibid., 9-28. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 149 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.169 Teori politik hukum yang dirumuskan oleh Mahfud MD nampaknya cenderung pada pendapat bahwa yang terjadi di Indonesia adalah politik determinan atas hukum. Situasi dan kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan. Hubungan politik dengan hukum di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang mendasarinya.170 Ada beberapa pendapat yang menguatkan dalam hal ini antara lain: Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan cita). Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam arti bahwa dalam kenyataannya baik produk normatif maupun implementasi-penegakannya hukumitusangatdipengaruhidanmenjadidependentvariableatas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris. Ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang dapat dipahami bahwa politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh. Mahfud MD mengatakan hukum dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya politik determinan (menentukan) atas hukum”. Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai 169 170 150 Mahfud MD, Politik, 14-35. Ibid., 14-35. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam dependent variable (variable pengaruh), politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh).171 Lebih jauh menjelaskan konsep hukum responsif otonom diidentifikasi berdasarkan pada proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum. Pengertian konseptual yang dipakai meliputi beberapa hal, yaitu: 1. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan Negara. Dengan demikian pemerintah lebih merupakan “komite” yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan parpol berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam membuat kebijakkan,sedangkan pers dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa takut ancaman pemberedelan. 2. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi yang menempatkanposisi pemerintahyang sangat dominandalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan Negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Dan juga badan perwakilan dan parpoltidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah, 171 Pilihan atas pemahaman tersebut berarti bahwa produk hukum merupakan produk politik, mengantarkan pada penentuan hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter (non-demokrtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau menindas. Konsep demokratis atau otoriter (nondemokratis) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif dan kebebasan pers (Mahfud, 2009: 10-30). Mahfud MD, Politik. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 151 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara sedangkan pers tidak mempunyai kebebasan dan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah dan berada dalam bayang-bayang pemeredelan. 3. Produk hukum responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan didalam masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat. 4. Produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Hukum demikian biasanya bersifat formalitas dan produk hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. Berdasarkan pemaparan tentang ragam hukum hukum perundangan bernuansa Islam yang lahir era reformasi berdasarkan politik hukum nasional yang berkembang, Mahfud172 menjelaskan adanya konsepsi prismatik yang kemudian melahirkan beberapa penuntun sebagai landasan kerja politik hukum nasional. Pertama, hukum-hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang diskriminatif berdasarkan ikatan primordial. Tuntutan utama dari hal ini 172 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: 152 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam adalah hukum nasional harus menjaga keutuhan bangsa dan Negara baik secara territory maupun secara ideologi. Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan. Pembuatannya harus menyerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukan dengan cara-cara yang secara hukum atau procedural fair. Dengan nomokratis hukum tidak hanya dapat dibentuk berdasarkan suara terbanyak (demokratis) tetapi harus dengan prosedur dan konsistensi isi hukum dengan falsafah yang harus mendasarinya dan hubung-hubungan hierarkisnya. Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial yang antara lain ditandai oleh adaanya proteksi khusus oleh Negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah agar tidak dibiarkan bersaing secara bebas tapi tidak pernah seimbang dengan kelompok kecil bagian masyarakat yang kuat. Keempat, hukum berdasarkan toleransi beragama yang berkeadaban dalam arti tidak boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya beragama) yang didasarkan pada ajaran agama tertentu. Dengan konsep prismatik dan penuntun hukum khas Indonesia tersebut maka sesungguhnya Indonesia mempunyai pegangan yang kuat untuk melakukan tindakan-tindakan yang tegas jika kemudian ada hukum-hukum yang dipersoalkan karena dinilai dipersoalkan keluar dari bingkai penuntun tersebut. Dengan demikian positivisasi hukum Islam era reformasi berdasarkan politik hukum yang berkembang mempunyai peluang sama untuk dikaji dan dikoreksi apakah sudah sesuai dengan konsep prismatik tersebut ataukah perlu penyesuaian lain. Positivisasi hukum Islam seperti perda syariah dan lainya disesuaikan dengan instrumen hukum yang tersedia misalnya melalui represif oleh pemerintah, Judicial review, legislative Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 153 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara dan sebagainya agar dapat disesuaikan dengan sistem hukum Pancasila yang prismatic.173 Dari ragam pendapat tersebut, ilmuan hukum Islam Indonesia dan pakar ilmu hukum Indonesia nampaknya sepakat dengan ragam tulisan yang mengarah pada positivisasi hukum Islam di Indonesia sebagai hal lumrah dan wajar sesuai dinamika ilmu hukum yang terus mengalami perubahan, khusunya menuju hukum khas Indonesia. 3. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Studi positivisasi hukum Islam dalam konteks Indonesia berarti studi tentang pembangunan hukum yang diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang menjadi174 kepentingan nasional, dengan penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.175 Karena itu perlu ditegaskan bahwa penyusunan program Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTf sx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEwXpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrV IgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw 174 Upaya mewujudkan ini penuh dengan hambatan antara lain hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negatif tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan tertentu, symbol yang mendiskreditkan Islam sebagai agama (Latief, 2011). 175 Latief, Menyemai, 2-3. 173 154 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam legislatif nasional, termasuk upaya pergantian peraturan perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan upaya cerdas dalam proses perwujudan hukum nasional yang dijiwai oleh nilai-nilai nasional dan keagamaan bangsa Indonesia. Nilai hukum Islam sebagai nilai mayoritas di Indonesia mempunyai peluang besar dalam konteks pembangunan demokrasi dengan pendekatan akademik keilmuan. Oleh karenanya pemikiran terjadinya perubahan hukum nasional, sebenarnya suatu manifestasi dari kehendak melepaskan diri dari kehidupan yang tidak demokratis, fasistis dan represif dengan segala hambatanya.176 Pikiran itu merupakan pergumulan dialektis dari kekuatan yang tidak puas dengan sistem hukum warisan kolonial yang tidak sejalan dengan nilai-nilai sosial kultural Indonesia.177 Konsep ini tertuang dalam sejarah dan nilai-nilai perjuangan bangsa yang diwujudkan dalam Piagam Jakarta sebagai kesepakatan bersama yang menjiwai dan mencetuskan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam sudah mempunyai akar historis yang sangat jauh ke jiwa bangsa Indonesia. Hambatan bisa bermacam-macam antara lain, sebagaimana dijelaskan Praja (1991: xv) adalah hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy. Selain itu ada hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam Karen.a belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl. Hambatan lainya adalah usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain. 177 Gunaryo, Pergumulan, 25-45. 176 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 155 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara Oleh karenanya, di samping peluang sosiologis, hukum Islam juga memiliki beberapa problem, utamanya menyangkut integritasnya ke dalam hukum nasional yaitu: Pertama, kemajemukan bangsa. Patut diingat bahwa negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, masingmasing memiliki kondisi sosial dan kultural sendiri-sendiri sehingga tidak mudah untuk mendekatkannya satu sama lain. Tetapi, upaya pengintegrasian aspek sosio-kultural masingmasing elemen bangsa ini ke dalam sistem hukum nasional, harus didahului dengan proses pemilahan pada bidangbidang yang dilakukan direunifikasikan secara relevan.178 Kedua, metode pendidikan hukum. Selama ini, pelajaran ilmu hukum yang diajarkan kepada mahasiswa adalah trikotomi antara hukum Barat, hukum Islam, dan hukum adat. Berhubungan dengan masyarakat Indonesia relatif heterogen dan wilayahnya cukup luas, maka semakin berakibat pada ragamnya pandangan dalam pencarian titik temu di antara elemen hukum-hukum tersebut. Jadi, diperlukan sekarang adalah pemahaman integral dari pakar hukum dari ketiga sumber hukum tadi. Itu sudah pasti memerlukan perjuangan intelektual yang sangat berat.179 Ketiga, kurangnya pengkajian akademik di bidang hukum Islam. Ketertinggalan dalam mengembangkan pusat-pusat pengkajian Islam disebabkan antara lain: 1. Secara historis, pusat pengkajian yang tidak menghargai hukum Islam yang lebih dahulu berkembang ternyata tidak memberi tempat bagi pengkajian hukum Islam. 2. Pengkajian hukum Islam terletak di antara pengkajian ilmu agama dan pengkajian ilmu hukum, akibatnya aspek pengkajiannya tidak mendalam. Azizy, Eklektisisme, 165-178. Bisyara, Agung “Perkembangan Hukum Islam dan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia” akses pada 17 November 2012 dari, 178 179 156 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam 3. Perkembangan kualitas ketaatan umat Islam yang lemah, terutama keyakinan akidah dan moral yang sulit dikendalikan sehingga menimbulkan penurunan kualitas moral dalam pelaksanaan hukum. 4. Masih dianutnya kebijaksanaan hukum politik Belanda yang mempunyai kepentingan politik sendiri, seperti; pertama, umat Islam tidak boleh tunduk kepada hukumnya sendiri. Kedua, belum sepenuhnya kemandirian Peradilan Agama dalam sengketa perdata kecuali hukum keluarga. 5. Banyak masalah yang dihadapi umat Islam, sementara belum ada fatwa hukum yang mampu merangkumkannya dalam satu perundang-undangan yang bisa diterima oleh semua elemen masyarakat Islam.180 Dalam konteks pembangunan hukum nasional nampaknya beberapa hal di atas cukup diterima sebagai masalah-masalah penting yang dihadapi umat Islam dewasa ini apalagi ketika umat Islam hendak berkontribusi dalam proses pembangunan hukum nasional. Ragam persoalan seperti dinamika keilmuan yang saling memberikan pandangan pelengkap dalam bangunan ilmu hukum Indonesia, proses demokratisasi yang masih sangat membutuhkan pendewasaan untuk rakyat. Sehingga dari uraian perkembangan hukum Islam dapat dipahami, bahwa perjalanan hukum Islam mengalami perkembangan yang signifikan. Masih banyak peluang hukum Islam masuk dalam perundangundangan di Indonesia. Hal ini membutuhkan semangat keilmuan terutama akademisi untuk lebih semangat dalam upaya menemukan formula dan paradigma hukum Indonesia. Saat ini telah nampak adanya fenomena perkembangan yang 180 Azizy, Eklektisisme, 76-90. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 157 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara positif dalam penerimaan masyarakat, elit penguasa, dan legislatif terhadap kehendak legislasi hukum Islam.181 Sampai di sini dapat dipahami bahwa positivisasi hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan kebijakan politik dan hukum yang diterapkan. Pada masa penjajahan Hindia Belanda, hukum Islam diakui sebagai hukum positif dengan diterapkannya teori receptio in complexu yang kemudian ditentang dengan teori receptie (resepsi) dan keadaan tidak jauh berubah saat Jepang mengambil alih kekuasaan. Pada masa Orde Lama hukum Islam berada pada posisi yang suram dan pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda namun hukum Islam mulai membaik dengan lahirnya Undang-Undang tentang Perkawinan dan semakin berkembang pada era reformasi sekarang ini. Positivisasi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional memiliki dua bentuk yaitu pertama, dalam perspektif pembangunan hukum nasional maka positivisasi hukum Islam tidak bisa dilakukan karena kondisi pluralitas bangsa Indonesia. Kedua, hukum Islam dapat menjadi hukum positif di Indonesia yang berlaku bagi umat Islam melalui proses legislasi yang sah seperti dalam bidang muamalah atau hukum privat.182 Positivisasi hukum Islam memiliki prospek yang cerah karena era reformasi yang demokratis memiliki karakter hukum responsif, sistem hukum Barat/Kolonial sudah tidak berkembang, jumlah penduduk mayoritas beragama Islam, 181 Bisyara, Agung “Perkembangan Hukum Islam dan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia” akses pada 17 November 2012 dari, 182 Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi,” diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer? A = v&q = cache: 0zc 1QFZfE S4J: digilib. uns. ac. id/abstrak. pdf. php? d_id%3D14171 + positivisasi + hukum + islam + di + indonesia &hl = id&gl = id&pid = bl&srcid = ADGEESg 7WDT_PhI-4YofCc V-- J9z3cZbrf—Qw 9RPW3ACQUr0 AlB2 FsIYfl 4voE0Fz_h DC6tom IwKrzy NH Cpp LB0 so CWCs UDXT 42S8l4 fwL 5e VMw O6bt X0 DAkh Sb Wxo Hqtr 43o BQMB j& sig = AHIEtb RMW AhSPz VTX5Mc5dhMAX6Pd5geRw 158 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam politik pemerintah yang mendukung berkembanganya hukum Islam, dan hukum Islam menjadi salah satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional disamping hukum adat dan hukum Barat/kolonial. Implikasinya adalah kebijakan yang demokratis memberikan ruang yang luas bagi hukum Islam untuk tumbuh, berkembang dan ikut berperan dalam pembangunan hukum di Indonesia serta kondisi plural bangsa Indonesia sangat berpengaruh terhadap pembangunan hukum nasional Indonesia sehingga hukum nasional yang dipilih adalah hukum yang dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia.183 Dari pemaparan tentang perundang-undangan yang sudah lahir hingga tahun 2013 pasca reformasi nampaknya masih sangat banyak peluang dan transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional. Wilayah inilah yang menjadi kajian utama dalam positivisasi hukum Islam di Indonesia dalam pembahasan berikutnya. Berangkat dari kerangka pikir politik hukum nasional serta konsep prismatik tersebut, maka persoalan positivisasi hukum Islam secara sederhana dapat dijelaskan bahwa negara tidak dapat membuat hukum yang mewajibkan (memberlakukan) hukum agama tertentu tetapi Negara dapat membuat aturan yang mengatur pelaksanaan hukum agama yang telah dilaksanakan atas kesadaran sendiri oleh para penganutnya. Sehingga hukum-hukum yang dibuat negara atas dasar agama berdasar terbatas pada melayani dan melindungi atas kesadaran yang tumbuh sendiri dari pemeluknya agar tidak terjadi konflik diantara umat beragama. Dengan demikian, positivisasi hukum Islam dapat terjadi dengan memposisikan sebagai hukum nasional bersama dengan sumber-sumber lainnya yang sudah lama hidup sebagai 183 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 159 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hukum Islam dalam keperdataan terutama terutama menyangkut hukum keluarga, tetap berlaku bagi umat Islam sebagaimana telah dijadikan politik hukum oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1848 sejauh pemeluk Islam ingin memberlakukan bagi diri mereka sendiri. Politik hukum yang demikian sampai sekarang masih berlaku dan tidak perlu penetapan baru dengan berbagai formalisasi atau positivisasi apalagi hanya dengan sebuah perda yang hanya berlaku untuk suatu daerah.184 Namun demikian sebagai Negara yang sangat pluralis dari sisi hukumnya, maka di era reformasi Indonesia sesuai dengan perkembangan politik hukum nasional dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan dapat dijelaskan bahwa kedudukan Peraturan Daerah (Perda) sangat kuat. Hal ini sejalan dengan pemberian kedudukan kepada daerah yang juga kuat jika dibandingkan dengan pada era Orde Baru. Era Orde Baru secara substantif sebenarnya tidak ada otonomi daerah sebab yang ada adalah desentralisasi yang sentralistis. Daerah tidak dapat menentukan kepala daerahnya sendiri secara demokratis, DPRD dijadikan subordinasi pemerintah daerah, kekayaan ekonomi daerah disedot habis untuk kepentingan politik pusat. Namun pada era reformasi semua sudah ditata ulang sesuai dengan semangat demokratisasi. Otonomi luas yang kemudian dianut dalam UU No. 22 Tahun 2009 untuk kemudian semangat ini diperkuat dengan dimasukkannya otonomi luas di dalam 184 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/+ KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfB PdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw 160 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Hubungan Agama dan Negara Dr. M. Shohibul Itmam amandemen atas Pasal 18 UUD 1945, bahkan otonomi luas yang menekankan pada demokratisasi ini kemudian diperkuat dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004.185 Dari uraian tentang politik hukum era reformasi menuju positivisasi hukum Islam di Indonesia dapat dipahami bahwa hukum Islam dalam tata hukum nasional Indonesia merupakan sumber hukum materiil yang dapat digabung secara eklektis dengan sumber-sumber hukum yang lain untuk kemudian menjadi hukum formal. Hukum Islam tidak dapat secara eksklusif menjadi sumber hukum formal tersendiri kecuali untuk hal-hal yang sifatnya melayani dalam hal-hal yang terkait dengan peribadatan seperti penyelengaraan haji, zakat dan seterusnya.186 Ajaran Islam memerintahkan penganutnya berbuat baik termasuk dengan non muslim dan mengikuti ajaran Islam sesuai dengan kesadaran tanpa paksaan. Berdasar perintah amar ma’ruf nahi mungkar, maka sebuah organisasi Negara diperlukan sebagai alat. Pemerintahan yang tidak didukung dengan suatu organisasi akan sulit, bahkan mungkin tidak akan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Imam al-Ghazaly sebagaimana dikutip Mahfud MD menjelaskan bahwa melaksanakan perintah agama dan meraih kekuasaan merupakan suudara kembar. Keduanya saling membutuhkan yang satu sebagai asas dan satunya lagi sebagai pengawal. Atas dasar ini kaidah ushul fiqh bisa dipakai “jika suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu itu wajib hukumnya untuk diadakan” (mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fa huwa wājib).187 Dalam konteks Indonesia perjuangan sebagai umat Islam untuk memberlakukan dasar Negara dan hukum Islam sudah Ibid. Ibid. 187 Ibid. 185 186 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 161 Dr. M. Shohibul Itmam Hubungan Agama dan Negara lama dilakukan dan hasilnya adalah kompromi (modus vivendi) dalam bentuk Negara pancasila. Negara Pancasila adalah religious nation state yang sama sekali tidak mengahalangi umat Islam untuk melaksanakan ajarannya tanpa boleh mendiskriminasikan ditengah pluralitas masyarakat. Selain itu berdasarkan kaidah ushul fiqh yang menjelaskan “jika tidak dapat memperoleh seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya melainkan ambillah yang masih mungkin dimabil”, maka kaidah ini memberikan arti bahwa yang dapat dilakukan dalam konteks pembangunan sistem hukum nasional Indonesia adalah bukan mengembangkan dan membangun Negara Islam melainkan membangun masyarakat yang islami, karena setelah perjuangan secara konstitusional Negara Indonesia ini akhirnya dibangun sebagai negara Pancasila. Oleh karenanya positivisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan perubahan tata hukum nasional dengan memperjuangkan substansi ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah manusia dengan prinsip “patokan dasar dalam simboliknya”, (al ‘ibrah fi al-Islām bi al-jawhar la bi al-madzhar). Atas dasar itulah positivisasi hukum Islam terkait dengan nilai-nilai ajaran Islam yang dapat diperjuangkan dan sudah pasti tidak akan ditolak oleh golongan lain karena sifatnya universal yaitu mengakkan keadilan, menegakkan hukum, membangun demokrasi, membangun kepemimpinan yang amanah, melindungi hak asasi manusia, menjalin kebersamaan, membangun keamanan dan sebagainya, sehingga nilai-nilai inilah yang akan masuk dalam sistem hukum nasional. Dalam konteks bernegara Indonesia yang penting adalah memperjuangkan masyarakat Islami yang sesuai dengan nilai-nilai substantif dalam Islam (jujur, amanah, demokratis, adil, menghormati HAM, melestarikan alam dan sebagainya). Inilah yang dimaksudkan oleh penulis dengan positivisasi hukum Islam di Indonesia era reformasi. 162 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia BAB IV SISTEM HUKUM, PEMBANGUNAN HUKUM DAN POLITIK HUKUM ERA REFORMASI A. Politik dan Tata Hukum di Indonesia Pra Reformasi Jauh sebelum merdeka dari cengkraman penjajah, Indonesia adalah negara yang politik dan tata hukumnya menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utamanya sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum syari’ah Islam1. Hal ini menimbulkan kewajaran, jika ragam budaya, etnik dan agama juga berkembang pesat di Indonesia.2 1 Menurut Fuad (2005: 1-6) hukum Islam merupakan sistem hukum yang terbaik dalam pelaksanaan rangkaian kekuasaan dan kelembagaan supaya terhindar dari bentuk penyalahgunaan bidang politik, ekonomi dan sosial dengan berbagai cara dan tindakan. Selain itu hukum Islam juga sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi terkait dengan hukum pidana. Hukum pidana sebagai cara negara dalam menertibkan dan menuntut pelaku hukum dalam konstitusi hukum, menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia, memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan dalam persoalan pilihan (Trikanti, 2012: 2-19). Dalam konteks ini, sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dan berkaitan secara kuat (Rahardjo, 2000: 4-20). 2 Azizy, Eklektisisme, 109. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 163 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Sebagaimana diketahui bahwa hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan rangkaian kekuasaan kelembagaan dalam suatu negara supaya terhindar dari penyalahgunaan, terutama penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, perantara dalam membangun hubungan sosial masyarakat, menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum serta perlindungan hak asasi manusia.3 Dalam hal ini hukum mempunyai hubungan erat dengan persoalan politik sebagaimana lazimnya perkembangan dalam pemikiran dunia Islam karena hubungannya dengan persoalan akal, jiwa serta alam.4 Dalam konteks tata hukum Indonesia sejak kemerdekaan hingga era reformasi, sistem hukum yang terjadi di Indonesia merupakan rangkaian upaya menuju hukum nasional yang lebih baik sebagai kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan.5 Dalam perkembangan dan perubahan sistem hukum nasional tersebut, hukum Islam selalu mengambil peran penting dalam pembaruan hukum nasional, baik sebelum, saat menjelang kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan hingga reformasi.6 Menurut Siroj7 dalam kontek Indonesia, memang sebaiknya sistem hukum yang baik tidak boleh terjadi pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih diantara 3 Yudi Lathief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 348-353. 4 Muhammad Misbahy, Al-Aql al-Islāmī baina Qorthobat wa Asfahān (Beirut: Dar al-Thaliat, 2006), 13-14. 5 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKis, 2005), 2-6. 6 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012), 145-149. 7 Ibid., 145-147. 164 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam bagian-bagian yang ada.8 Jika pertentangan atau kontradiksi tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikan hingga tidak berlarut. Sehingga tujuan dari pembaharuan hukum sendiri harus terarah pada usaha pembentukan sistem hukum nasional dan hukum yang responsif pada kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dengan begitu kegiatan pembaharuan hukum mempunyai arti yang luas, bergerak merefleksikan perubahan-perubahan baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial dan seirama dengan perkembangan dan peningkatan kebutuhan-kebutuhan serta corak interaksi masyarakat yang tumbuh berkembang di Indonesia.9 Sepanjang sejarahnya, Indonesia pernah dijajah beberapa negara antara lain Belanda dan Jepang. Negara penjajah tersebut mempunyai kecenderungan untuk menanamkan nilai serta sistem hukumnya di Indonesia, sehinga masyarakat Indonesia yang sudah mempunyai tata nilai dan hukum sendiri sangat terpengaruh dengan hukum penjajah tersebut.10 Menurut Azizy11 hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut tersebut, baik perdata maupun pidana masih berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah 8 Sebagai Negara pluralis dengan jajahan ragam sistem hukum yang pernah masuk, Indonesia mempunyai potensi untuk menerima ragam perbedaan dengan segala argumentasi yang melingkupinya. Bahkan termasuk perbedaan dalam ragam agama dengan memperhatikan etnis dan suku yang berkembang di Indonesia (Siroj, 2012: 147-149). 9 Azizy, Eklektisisme, 104-107. 10 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 3-10. 11 Azizy, Eklektisisme, 180-185. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 165 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (NederlandschIndie).12 Hal ini berdampak pada bangunan sistem hukum yang berjalan di Indonesia hingga sekarang era reformasi.13 Mengenai hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang terserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan lanjutan dari aturan-aturan dari masyarakat dan budaya yang ada di Indonesia. Hal ini karena sepanjang sejarah Indonesia pernah dijajah oleh beberapa negara antara lain Belanda dan Jepang.14 Negara penjajah mempunyai kecenderungan untuk menanamkan nilai serta sistem hukumnya di wilayah jajahan, sementara masyarakat yang terjajah juga mempunyai tata nilai dan hukum sendiri. Ketika Indonesia dikuasai Belanda pertama kali, yaitu oleh VOC, tidak banyak perubahan di bidang hukum. Namun ketika diambil alih oleh Pemerintah Belanda, maka banyak peraturan perundangan yang diberlakukan oleh Hindia Belanda baik dikodifikasi (seperti BW, WvK, WvS) maupun tidak dikodifikasi (seperti RV, HIR). Meskipun demikian, Belanda masih membiarkan Dalam konteks ini Siroj (2012: 110) menjelaskan bahwa hukum yang dimaksud mengandung unsur sebagai berikut; pertama, merumuskan komponen hukum terhadap yang dilarang dan yang diperblehkan. Kedua, menegaskan kepada siapa saja yang boleh berbuat dengan prosedurnya secara jelas. Ketiga, penyelesain sengketa dan keempat, mempertahankan kemampuan yang berbeda dalam masyarakat bahkan jika terjadi perubahan hendaknya langsung bisa disesuaikan dengan perubahan tersebut. Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012). 13 Lathief, Negara Paripurna, 348- 353. 14 Rofiq, Pembaharuan, 35-49. 12 166 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam berlakunya hukum adat dan hukum lain bagi orang asing di Indonesia. Kemudian pada tahun 1917, pemerintah Hindia Belanda memberi kemungkinan bagi golongan non Eropa untuk tunduk pada aturan Hukum Perdata dan Hukum Dagang golongan Eropa melalui penundukan diri.15 Dengan argumentasi demikian, maka bisa dipahami bahwa di Indonesia terdapat pluralisme hukum atau tidak ada unifikasi hukum saat itu, kecuali hukum pidana pada tahun 1918 dengan memberlakukan WvS (KUH Pidana) untuk semua golongan.16 Dengan demikian, badan peradilan yang dibentuk tidak untuk semua golongan penduduk. Masing-masing golongan mempunyai badan peradilan sendiri. Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial dalam bingkai politik. Pluralisme hukum17 harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat terkait politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.18 Dalam bangunan tata hukum Indonesia demikian, setiap kelompok masyarakat memiliki sistem hukum Gunaryo, Pergumulan, 58-64. Dan Trikanti, “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04 November 2012 dari, http: // trikantii. blogspot. com/ 2011/ 10/ perkembangan – sistem – hukum - indonesia. html 16 Gunaryo, Pergumulan, 25-36. 17 Menurut Mahfud (2009) pluralisme hukum terkait persoalan politik yang dibedakan secara diametral corak atau konfigurasinya menjadi dua kutub yang berbeda yaitu konfigurasi politik demokratis yang diartikan sebagai susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi masyarakat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Sementara konfigurasi politik yang kedua adalah konfigurasi politik otoriter diartikan sebagai susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. 18 Siroj, Pembaharuan, 42. 15 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 167 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lain seperti dalam keluarga, tingkatan umur, komunitas dan kelompok politik, yang merupakan kesatuan dari masyarakat yang homogeny.19 Pluralitas konteks Indonesia merupakan ciri khas Indonesia dibandingkan negara lain di dunia, sehingga banyak pulau, suku, bahasa, dan budaya berkembang di Indonesia turut mewarnai pembangunan bangsa yang stabil dan modern dengan ikatan nasional yang kuat. Menghindari pluralisme sama dengan memungkiri kenyataan yang berbeda mengenai cara pandang dan keyakinan yang hidup di masyarkat Indonesia.20 Oleh karenanya dalam konteks Indonesia, manusia dengan kecenderungannya memang mempunyai watak demikian pluralis, ingin membangun dan ingin merobohkan, mengikat dan ingin melepaskan ikatannya sendiri dalam membangun suatu hukum.21 Wahid, Dialog Kritik, 43-47. Hasil catatan diskusi penulis secara tidak terstruktur dengan Abdul Moqsit Ghazali, Dosen UIN Jakarta, aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) selama mengikuti program ARFI Kemenag di Maroko (12-30 November 2012) menjelaskan bahwa pembagian konfigurasi politik kedalam corak demokratis dan otoriter berimplikasi terhadap karakter produk hukum yang dihasilkannya. Pada konfigurasi politik demokratis, karakter produk hukumnya adalah responsif/populistik yang diartikan sebagai produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Sementara proses pembuatan hukum yang memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu- individu dalam masyarakat, maka hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Sementara konfigurasi politik otoriter akan melahirkan produk hukum konservatif, ortodoks, elitis yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu- individu dalam masyarakat. Dalam pembuatan hukum yang demikian peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. 21 Dalam konteks ini, Rokhmad (2012: 12-20) menjelaskan bahwa Indonesia memang sepatutnya terus melakukan pembenahan dalam berhukum melalui 19 20 168 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat diterapkan dalam transaksi tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya. Pengertian pluralisme hukum sendiri senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya. Bahkan dengan adanya globalisasi, hubungan tersebut menjadi semakin kompleks karena terkait dengan perkembangan hukum internasional. Dalam sejarah perkembangan selanjutnya, pada tahun 1942 Pemerintahan Jepang menguasai Indonesia. Ada beberapa peraturan penting yang dikeluarkan pemerintah yaitu peraturan pidana, Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942 yang dalam salah satu pasalnya menentukan badan, lembaga pemerintah serta peraturan yang sudah ada masih dapat berlaku selama tidak bertentangan dengan Pemerintahan Tentara Jepang.22 Hal ini berbagai cara dan pendekatan, bahkan setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat hendaknya direspon serius oleh pakar hukum untuk dirumuskan dalam ketentuan hukum yang sesuai dengan dinamika dan perubahan masyarakat. Tandasnya, dengan pendekatan hukum progresif persoalan hukum bisa diselesaikan dengan arif sesuai konteks dan sosio kemanusiaan. Abu Rokhmad, Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam Perspektif Teori Mashlahah (Semarang: Pustaka Rizqi Putra & Pascasarjana IAIN Walisongo, 2012). 22 Bahkan Gunaryo (2006:108-109) menjelaskan adanya ketidaksiapan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan hingga tiga tahun saat itu, dan bahkan sisi tertentu hingga sekarang. Nampaknya hal ini dipengaruhi oleh kekhawatiran dalam menjaga integritas bangsa yang baru saja menikmati kemerdekaan, khawatirnya dengan melahirkan perundangan baru malah bisa memperkeruh suasana yang masih dalam tahap konsolidasi anatar suku dan kelompok bangsa. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 169 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum penting untuk mencegah kekosongan hukum dalam sistem hukum di Indonesia pada masa itu.23 Setelah kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan kepribadian bangsa melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan ke bentuk hukum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS 1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal, sehingga hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif, aspiratif dan limitatif. Demokrasi liberal atau demokrasi konstitusional adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.24 Menurut Latief25 dalam demokrasi liberal, keputusankeputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi. Pada masa Orde Lama, Pemerintah (Presiden) melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945. Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya Gunaryo, Pergumulan, 102-109. Ibid., 42-60. Dan Lukito, Hukum Sakral, 394-403. 25 Lathief, Negara Paripurna, 149-150. 23 24 170 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam hukum yang terbentuk merupakan hukum yang konservatif (ortodoks) yang merupakan kebalikan dari hukum responsif, karena memang pendapat pemimpin yang termuat dalam produk hukum.26 Dalam kondisi demikian, maka wajar terjadi banyak penyimpangan, antara lain,27 pertama, kekuasaan Presiden dijalankan secara sewenang-wenang. Hal ini terjadi karena kekuasaan MPR, DPR, dan DPA yang pada waktu itu belum dibentuk dilaksanakan oleh Presiden. Kedua, MPRS menetapkan Presiden menjadi Presiden seumur hidup. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan mengenai masa jabatan Presiden. Ketiga, pimpinan MPRS dan DPR diberi status sebagai menteri. Dengan demikian, MPR dan DPR berada di bawah Presiden. Keempat, pimpinan MA diberi status menteri, yang merupakan penyelewengan terhadap prinsip bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Kelima, presiden membuat penetapan yang isinya semestinya diatur dengan undang-undang (yang harus dibuat bersama DPR). Dengan demikian Presiden melampaui kewenangannya. Keenam, pembentukan lembaga negara yang tidak diatur dalam konstitusi, yaitu Front Nasional. Ketuju, presiden membubarkan DPR, padahal menurut konstitusi, Presiden tidak bisa membubarkan DPR. Maka pada tahun 1966 merupakan titik akhir Orde lama dan dimulainya Orde Baru yang membawa semangat untuk Ibid., 149-150. Menurut Latief (2012: 3-24) hal berpengaruh terhadap pembangunan sistem hukum sekarang, sehingga selama 14 tahun Reformasi, banyak melakukan dekonstruksi, tapi belum berhasil melakukan rekonstruksi. Sehingga perlu membuat blue print (cetak biru) langkah-langkah reformasi sehingga dapat menjadi acuan bersama. Pemerintah hendaknya tidak membiarkan reformasi mengalir tanpa arah, tetapi perlu langkah cepat sesuai aspirasi masyarakat. 26 27 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 171 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun, Soeharto sebagai penguasa Orde Baru saat itu juga cenderung otoriter.28 Hukum yang lahir kebanyakan hukum yang kurang atau tidak responsif.29 Apalagi pada masa itu, hukum hanya sebagai pendukung pembangunan ekonomi karena pembangunan dari PELITA I-PELITA VI dititikberatkan pada sektor ekonomi. Tetapi harus diakui peraturan perundangan yang dikeluarkan pada masa Orde Baru banyak dan beragam dan masih banyak membutuhkan tinjauan ulang terkait perjalanan demokrasi30 yang sempoyongan di negeri ini. Latief, Menyemai, 23-30. Menurut Rokhmad (2012: 18-39) kurangnya responsif dalam budaya hukum negari ini disebabkan lambatnya penegakan hukum yang disebabkan oleh faktor yuridis. Hukum masih mengeja teks, tidak memperhatikan dinamika social serta perubahan manusia dengan kompleksitas problemnya. Hukum yang demikian hanya akan membelenggu manusia dan sulit mecapai tujuan hukum, yaitu untuk memanusiakan manusia. Abu Rokhmad, Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam Perspektif Teori Mashlahah (Semarang: Pustaka Rizqi Putra & Pascasarjana IAIN Walisongo). 30 Maka wajar Latief (2012: 2-9) menjelaskan bahwa etelah otoritas rezim Orde baru runtuh, kita masuk dalam pemerintahan yang lemah, bahkan tanpa otoritas. Lewat demokratisasi dengan sistem multipartai, otoritas politik kemudian meluas dan tersebar dalam banyak lembaga, bahkan sampai ke daerahdaerah. Demokrasi cenderung memberi tempat bagi kekuatan modal, ketimbang kekuatan kapasitas manusia, sehingga biaya politik menjadi mahal. Sementara penegakan hukum lemah. Kondisi demikian telah mendorong penyelenggara negara berperilaku korup dengan jaringan korupsi yang meluas. Negara yang diharapkan mengontrol keadaan ternyata tak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang demikian cepat, Untuk mengatasi kondisi ini, bangsa Indonesia harus mengevaluasi seluruh institusi demokrasi kita dan menata ulangnya kembali. Kurangi lembaga kenegaraan yang tumpang-tindih, bangun partai politik secara lebih bertanggung jawab dengan melakukan penyederhanaan dan pengembangan fungsinya, serta perlu aturan dan audit arus pemasukan dan pengeluaran uang dalam partai. 28 29 172 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Penyimpangan-penyimpangan pemerintah pada masa orde baru sangat merepotkan pemerintahan sekarang, antara lain, pertama, terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter. Kedua, berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan pemerintah (Presiden). Ketiga, pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga presiden terus menerus dipilih kembali serta masih banyak lagi penyimpangan31 yang sangat merugikan jalannya demokrasi.32 Setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembenahan sistem hukum termasuk agenda penting reformasi. Langkah awal yang dilakukan yaitu melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945, karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi acuan dalam kehidupan bernegara di segala bidang. Setelah itu diadakan pembenahan dalam pembuatan peraturan perundangan, baik yang mengatur bidang baru Penyimpangan lain menurut Bisyara (2012: 3-19) misalnya pertama, terjadi monopoli penafsiran Pancasila; Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Kedua, pembatasan hakhak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul dan berpendapat. Ketiga, pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka. Keempat, pembentukan lembaga-lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas. Kelima, terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang luar biasa parahnya sehingga merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multidimensi. 32 Latief, Menyemai, 20-30. 31 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 173 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum maupun perubahan dan penggantian peraturan lama untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.33 Berbicara bagaimana peranan Pemerintah dalam implementasi hukum di Indonesia terkait dengan politik hukum yang dijalankan Pemerintah, karena politik hukum itu menentukan produk hukum yang dibuat dan implementasinya. Pada masa Penjajahan Belanda, politik hukumnya tertuang dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) yang mengatur hukum mana yang berlaku untuk tiaptiap golongan penduduk. Adapun mengenai penggolongan penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan politik hukum itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum.34 Menurut Gunaryo35 setelah Indonesia merdeka, untuk mencegah kekosongan hukum dipakai aturan peralihan seperti yang terdapat pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS dan Pasal 142 UUDS 1950. Hukum tidak terlalu berkembang pada masa awal kemerdekaan, akan tetapi implementasinya relatif baik yang ditandai lembaga peradilan yang mandiri. Hal ini merupakan efek dari berlakunya demokrasi liberal yang memberi kebebasan kepada warga untuk berpendapat. Sebaliknya pada masa Orde lama, peran Menurut Latief (2011: 13-39) tujuan utama reformasi adalah pemulihan demokrasi politik, pemulihan demokrasi sosial dan ekonomi yang sesungguhnya memiliki hakikat untuk mengembalikan perjalanan bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Menjatuhkan pemerintahan Soeharto terbatas hanya untuk merubuhkan pemerintahan yang gagal mengembankan amanat UUD 1945 karena tidak amanah dalam menjalankan konstitusi. Penjatuhan Soeharto seharusnya menjadi entry point redemokratisasi bukan malah menjadikan reformasi sebagai penjungkirbalikan, pengaburan dan penguburan tiga pilar utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu Rakyat, UUD 1945 dan Negara. Latief, Negara Paripurna. 34 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Edisi Revisi) (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 37-43. 35 Gunaryo, Pergumulan, 104-115. 33 174 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam pemimpin (Presiden) sangat dominan yang menyebabkan implementasi hukum mendapat campur tangan dari Presiden. Akibatnya lembaga peradilan menjadi tidak bebas.36 Ketika Orde Baru berkuasa, politik hukum yang dijalankan pemerintah yaitu hukum diarahkan untuk melegitimasi kekuasaan pemerintah, sebagai sarana untuk mendukung sektor ekonomi dan sebagai sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa social.37 Hal ini dikarenakan pemerintah Orde Baru lebih mengutamakan bidang ekonomi dalam pembangunan. Perubahan terjadi ketika memasuki era reformasi yang menghendaki penataan kehidupan masyarakat di segala bidang. Semangat kebebasan dan keterbukaan (transparansi) menciptakan kondisi terkontrolnya langkah pemerintah untuk mendukung agenda reformasi termasuk bidang hukum.38 Perbedaan ekskutif orde lama dan orde baru hingga reformasi terletak pada kewenangan yang berlebihan pada presiden. Masa orde lama dan orde bariu begitu kuat pengaruh presiden dalam mewarnai pemabngunan nasional, sehingga berdampak paa militerisasi dan arogansi pembangunan yang kurang memperhatiakn kepentingan rakyat (Suprayogo, 2012). Imam Suprayogo, “Kekuasaan Presiden Dari Masa ke Masa”, akses pada 24 November 2012, dari http: // www. Uin - malang. ac. id/ index. php? Option = com_ content & view = article&id = 3024: kekuasaan -presiden-dari-masa-ke-masa-&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 37 Mahfud MD, Politik, 3-23. 38 Menurut Suprayogo (2012: 2-14) era reformasi sekarang mirip dengan situasi kesemrawutan, segalanya seolah dibiarkan bebas dan terbebas dari kungkungan dan cengkeraman penguasa atas hak politik warga-bangsa. Pemimpin termasuk Presiden pada masa ini terbatas dan dibatasi wewenang dan otoritasnya. Sementara itu rakyat sudah terlanjur terbiasa dengan situasi sebelumnya yang memiliki stigma bahwa power Presiden ampuh dan kuat. Mereka menganggap seorang Presiden demikian kuasanya mengatur Negara ini. Dari ketiga lembaga tinggi Negara saat itu hanya lembaga eksekutif dengan Presiden sebagai pucuk pimpinannya yang paling berperan. Lalu kini, akibat amandemen UUD 1945 yang diberlakukan terhadap kekuasaan lembaga eksekutif, power Presiden telah terdegradasikan. Sedangkan tata pandang sebagian rakyat terutama pengamat dan kritikus politik tentang kekuasaan Presiden tersebut masih tetap sama. Imam Suprayogo, “Kekuasaan Presiden Dari Masa ke Masa”, akses pada 24 November 36 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 175 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dalam kondisi demikian, langkah-langkah yang diambil antara lain pembenahan peraturan perundangan memberi keleluasaan kepada lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya serta memberi suasana kondusif dalam rangka mengembangkan sistem kontrol masyarakat untuk mendukung penegakan hukum sesuai tuntutan reformasi.39 1. Masa Pra Kemerdekaan Pra kemerdekaan merupakan masa bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena merupakan rentetan menuju kemerdekaan masa berikutnya. Masa ini dikuasai oleh Belanda dan Jepang yang dikenal dengan berbagai istilah dalam masa tersebut.40 Berikut beberapa argumentasinya; Pertama, masa penjajahan Belanda. Masa ini merupakan perkembangan dan diakuinya hukum Islam sebagai hukum positif. Hukum Islam lahir di Indonesia yaitu sejak datangnya Islam ke Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia. Hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat terkait kapan datangnya Islam ke Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 M, hal ini didasarkan pada adanya pedagangpedagang muslim asal Arab, Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara.41 Pendapat lain menyatakan 2012, dari http://www.Uin-malang.ac.id/index.php?Option=com_content&vie w=article&id=3024:kekuasaan-presiden-dari-masa-ke-masa-&catid=35:artikeldosen&Itemid=210 39 Latief, Negara Paripurna, 43-50. 40 Gunaryo, Pergumulan, 258-264. 41 Menurut Yatim (1996: 18-39), sejarah kontroversi masiknya Islam ke Indonesia dipengaruhi oleh perspektif yang berbeda dari para sejarawan. Perspektif tersebut menguatkan masing-masing argumentasinya, namun pendapat yang masih kuat dipakai dikalangan sejarawan Indonesia khusunya, adalah Islam datang pada abad pertama hijriyyah. 176 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam bahwa Islam masuk ke Indonesia yaitu pada Abad ke-13 Masehi, hal ini ditandai oleh sudah adanya masyarakat muslim di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang. Sementara di Jawa terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13. Hal ini merupakan bukti perkembangan komunitas Islam termasuk di pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu yakni Majapahit.42 Pada waktu VOC pertama kali menguasai Indonesia, VOC kurang menghiraukan agama dan kebudayaan bangsa Indonesia. Setelah kekuasaan kompeni diambil oleh kerajaan Belanda abad ke-18 barulah ada perhatian Belanda kepada kehidupan kebudayaan dan agama. Belanda selalu kuatir dan curiga terhadap perkembangan Islam di Indonesia terutama karena ada gerakan Pan Islamisme yang berpusat di Turki semasa kekuasaan Othmaniyah di Istambul. Pemerintah Kerajaan Belanda mengalami perlawanan politik dan militer dari kesultanan-kesultanan dan pemimpin-pemimpin ummat Islam di daerah-daerah Indonesia terutama sepanjang Sementara menurut Bisyara (2012: 2-20) bahwa, pada akhir abad keenam belas atau tepatnya tahun 1596, organisasi perusahaan Belanda bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula untuk berdagang, namun kemudian berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, Pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada VOC untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi yaitu pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya kemudian, VOC membentuk badan-badan peradilan untuk Bangsa Indonesia. Namun, oleh karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. 42 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 177 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum abad ke-19 dan yang terakhir adalah perang Aceh yang baru dapat berakhir (formil) pada tahun 1903, jadi sudah masuk abad ke- 20 bahkan pada tahun 1908 di Kamang Sumatera Barat terjadi lagi pemberontakan rakyat muslimin terhadap Belanda. Oleh karena itu Belanda memperhatikan psikologi massa antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum Islam di Indonesia.43 Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman Daendels (1800-1811) dan sewaktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) yang mana Thomas S. Raffles menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia, hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat. Pada masa itu hukum Islam dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di kalangan orang Islam bahkan pada masa itu disusun kitab undang-undang yang berasal dari kitab hukum Islam.44 Melalui ahli hukumnya, Van Den Berg, lahirlah teori receptio in complexu yang menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori ini, maka pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam.45 Daerah jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan ibu kotanya Batavia dalam hal Amal, Politik Syariat Islam, 55-56. Dan Gunaryo, Pergumulan, 25-40. Ibid. 45 Menurut Gunaryo (2006) melalui ahli hukum Van den Berg, lahirlah teori receptie in complexu, yang menyatakan bahwa syari’at Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Atas pengaruh teori ini, maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan Peradilan Agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk Agama Islam. Melalui Peradilan Agama inilah pertama kali hukum Islam diformalkan di Indonesia. Namun, teori receptie in complexu ini kemudian ditentang oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum 43 44 178 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam kekuasaan administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnya ditangan Residen. Residen dengan aparat kepolisiannya berkuasa penuh menyelesaikan perkara pidana maupun perdata yang terjadi.46 Pada masa pemerintahan Van Den Berg inilah hukum Islam benar-benar diakui berlaku sebagai hukum positif bagi masyarakat yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 75 ayat (3) Regeerings Reglement yang menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam, oleh hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan Pengadilan Agama yang kemudian diiringi dengan terbentuknya Pengadilan Tinggi Agama (Mahkamah Syar’iyyah).47 Munculnya teori Receptio In Complexu ini menjadikan hukum Islam diakui dan berlaku sebagai hukum positif pada masa pemerintahan Hindia Belanda walaupun pada dasarnya hukum Islam telah ada berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda tiba di Indonesia.48 Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum Adat. Atas pengaruh teori ini, maka pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah- masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagai pertentangan terhadap teori receptive. 46 Ibid. 47 Sebenarnya yang dilakukan Belanda ini hanyalah salah satu bentuk kebijakan politik dalam rangkan mengkondisikan hukum Islam supaya sesuai dengan keinginan Belanda, supaya Islam tidak menyebar luas dengan kekuatan yang menjelama menjadi politik gerakan kebangkitan Islam (Gnaryo, 2006). 48 Gunaryo, Pergumulan, 102-127. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 179 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Namun kemudian, teori receptio in complexu kemudian ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie (resepsi) yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat.49 Menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut teori tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan karena belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat. Munculnya teori receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat.50 Menurut Gunaryo51, Hindia Belanda sebagai realisasi teori receptie ini adalah dengan berusaha melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam dengan beberapa cara. Pertama, sama sekali tidak memasukkan masalah hudūd dan qiṣāṣ dalam bidang hukum pidana. Mengenai hukum pidana ini telah diunifikasi dengan Wet Boek Van Strafrecht yang mulai berlaku sejak Januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732). Atas pengaruh teori ini, maka pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagai pertentangan terhadap teori receptive. Kemudian muncul teori receptie a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib. Teori ini merupakan pengembangan dari teori Hazairin yang intinya menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya. Dengan demikian hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini sejalan dengan konsep Urf yang dikenal dalam Islam. (Gunaryo, 2006). 50 Ibid., 112-146. 51 Ibid., 64-75. 49 180 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Kedua, dibidang tatanegara, ajaran Islam yang mengenai hal tersebut dihancurkan sama sekali. Segala bentuk kajian yang berhubungan dengan politik ketatanegaraan (siyasah) dilarang keras. Ketiga, mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.52 Pada perjalanan hukum Indonesia selanjutnya, selain hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi dua syarat yaitu; pertama, norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat), kedua, kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan kaidah hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.53 Adanya teori resepsi ini yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat dalam realisasinya dikeluarkan Staatsblad 1937 No. 116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama menjadikan peranan hukum Islam sangat dibatasi. Pada saat itu hukum Islam mengalami kondisi yang sangat berat karena harus berhadapan dengan hukum adat dan hukum pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada saat itu.54 a. Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (1602-1799) Pada masa ini bermula dari hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada VOC berupa Hak Octrooi (meliputi 52 Ibid., 90-98. Praja, Hukum Islam di Indonesia, 34-45. Dan Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 13-36. 54 Dampaknya adalah hukum Islam yang telah berlaku secara formal dipersempit ruang geraknya oleh pemerintah Hindia Belanda seperti wewenang menyelesaikan hukum waris yang sebelumnya menjadi wewenang pengadilan agama dialihkan menjadi wewenang pengadilan negeri (Gunaryo, 2006). Gunaryo, Pergumulan. 53 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 181 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan mencetak uang). Pada saat itu, Gubernur Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat peraturan guna menyelesaikan masalah dalam lingkungan pegawai VOC hingga memutuskan perkara perdata dan pidana. Kumpulan peraturan pertama kali dilakukan pada tahun 1642 yang terkenal dengan nama kumpulan Statuta Batavia. Pada tahun 1766 dihasilkan kumpulan ke-2 diberi nama Statuta Bara.55 Kekuasaan VOC berakhir pada 31 Desember 1799.56 b. Masa Besluiten Regerings (1844-1855) Pada masa ini, tata hukum Hindia Belanda terdiri dari beberapa unsur: 1. Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan. 2. Peraturan-peraturan tertulis yang tidak dikodifikasikan. 3. Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan Eropa.57 55 Sebagai contoh dari statute tersebut adalah adanya campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat (Soehino, 2004). 56 Muhammad Ikhsan, “Hukum Islam di Indonesia; Dulu Dan Sekarang,” di akses pada 16 Juni 2012 dari http: // blumewahabi. wordpress. com/ 2007/ 06/ 12/ hukum-islam-di-indonesia-dulu-dan-sekarang-2/, 57 Amal, Politik Syariat Islam, 55-56. Dan Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www. scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan – Orde - Baru 182 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening (Peraturan Pusat). Menurut Said ada dua macam keputusan raja waktu itu: 1. Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut Besluit. Seperti ketetapan pengangkatan Gubernur Jenderal. 2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut Algemene Verodening atau Algemene Maatregel van Bestuur (AMVB). Pada masa ini dimulai penerapan politik agraria yang disebut dengan kerja paksa oleh Gubernur Jenderal Du Bus De Gisignes.58 Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata yang diundangkan pada tanggal 1 Oktober 1838.59 c. Masa Regerings Reglement/RR (1855-1926) Masa ini terjadi pertentangan antara raja dan parlemen dengan kemenangan di tangan parlemen. Pertentangan ini menyebabkan adanya perubahaan gondwet sehingga mengakibatkan terjadinya perubahaan terhadap pemerintahaan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Kerja paksa ini terjadi karena raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening dalam bentuk peraturan pusat (Soehino, 2004). 59 Amal, Politik Syariat Islam, 14-29. Dan Gunaryo, Pergumulan, 65-70. 58 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 183 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Peraturan dasar mengenai pemerintahan yang dibuat untuk kepentingan daerah jajahan berbentuk undangundang yang disebut Regerings Reglemets (RR). Politik hukum yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah Hindia Belanda dicantumkan dalam pasal 75 RR. Pembagian penghuninya terbagi menjadi dua golongan yaitu yang menjajah dan yang dijajah. RR ini mulai berlaku tahun 1855, kemudian pada tahun 1920 diadakan perubahaan yang disebut dengan RR Baru (1 Januari 1920-1926). Politik hukum dalam pasal 75 RR Baru mengalami perubahan menjadi pendatang dan yang didatangi.60 Penggolongan penduduknya dibagi menjadi tiga golongan yaitu: a. Golongan Eropa b. Golongan Bumiputera c. Timur Asing Dengan penggolongan penduduk dibagi menjadi tiga, maka demi kepetingan penjajahannya, Belanda berhasil membuat perundang-undangan yang diundangkan yaitu; 1. Kitab Hukum pidana untuk golongan Eropa melalui S.1866:5561. 2. Algemene Politie Strafreglement sebagai tambahan Kitab Hukum Pidana untuk Golongan Eropa. 3. Kitab Hukum Pidana orang bukan Eropa melalui S.1872:85. 4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa. Amal, Politik Syariat Islam, 12-45. Tujuannya antara lain adalah untuk pembagian golongan ini adalah untuk menentukan sistem hukum mana yang berlaku bagi masing-masing golongan berdasarkan pasal 131 IS. Untuk hukum acara digunakan Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering dan Reglement op de Strafvordering untuk Jawa dan Madura (Gunaryo, 2006). 60 61 184 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam 5. Wetboek Van Strafrecht yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui S. 1915:732 mulai berlaku 1 Januari 191862 d. Masa Indische Straatsregeling (1926-1942) Pada masa ini berdasarkan pasal 163 IS penduduk dibagi menjadi tiga golongan,63 yaitu; 1. Golongan Eropa-Hukum Eropa 2. Golongan Timur Asing-sebagian Hukum Eropa dan sebagian Hukum Adat. 3. Golongan Pribumi-Hukum Adat. Menurut Gunaryo (2006) dan Amal (2004) tujuan pembagian golongan waktu itu adalah untuk menentukan sistem hukum mana yang berlaku bagi masing-masing golongan berdasarkan pasal 131 IS. Untuk hukum acara digunakan Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering dan Reglement op de Strafvordering untuk Jawa dan Madura. Adapun susunan Peradilannya meliputi: 1. Residentiegerecht 2. Ruud van Justitie 3. Hooggerechtshoj Untuk yang di luar Jawa dan Madura diatur dalam Recht Reglement Brugengewesten berdasarkan S. 1927: 227. Hukum acara yang berlaku bagi masing-masing golongan 62 Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www. scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan – Orde - Baru 63 Pembagian ini dillatar belakangi oleh Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu dengan alasan politis, historis dan alasan yuridis. Setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak menganut Azas Konkordansi (Concordantie Beginselen) lagi. Azas Konkordansi berlaku juga untuk negara jajahan Belanda pada waktu itu seperti Indonesia, Suriname dan Antilen. Maka sejak Indonesia merdeka Azas Konkordansi tersebut tidak berlaku lagi bagi Indonesia (Gunaryo, 2006). Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 185 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum disesuaikan dengan tingkatan pengadilan. peradilannya adalah sebagai berikut: • Pengadilan Swapraja • Pengadilan Agama • Pengadilan Militer Susunan Untuk golongan pribumi berlaku hukum adat dalam bentuk tidak tertulis tetapi dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan Pemerintah Belanda berdasarkan pasal 131 (6) IS.64 e. Masa Jepang (Osamu Seirei) Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia dibagi menjadi Indonesia Timur (di bawah kekuasaan AL Jepang berkedudukan di Makassar) dan Indonesia Barat (di bawah kekuasaan AD Jepang yang berkedudukan di Jakarta). Gunaryo (2006) menjelaskan bahwa peraturan-peraturan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan dibuat dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/ 1942 menentukan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang lalu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer65. Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan Indonesia sebagai akibat pecahnya perang Pasifik. Kedatangan Jepang mulamula disambut dengan senang hati bangsa Indonesia karena Gunaryo, Pergumulan, 45-64. Secara politik, sejak masuknya kekuasaan Jepang di Indonesia, organisasiorganisasi politik tidak dapat berkembang lagi. Bahkan pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan segala bentuk kegiatan organisasi-organisasi, baik yang bersifat politik maupun yang bersifat sosial, ekonomi, dan agama. Organisasiorganisasi itu dihapuskan dan diganti dengan organisasi buatan Jepang, sehingga kehidupan politik pada masa itu diatur oleh pemerintah Jepang, walaupun masih terdapat beberapa organisasi politik yang terus berjuang menentang pendudukan Jepang di Indonesia (Soehino, 2004). 64 65 186 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam telah mengusir Belanda yang telah ratusan tahun menguasai Indonesia. Kebijakan yang ditempuh Jepang yaitu berusaha merangkul pemimpin Islam untuk diajak bekerja sama. Dia mengklaim dirinya sebagai saudara tua rakyat Indonesia dengan tuannya memobilisasi seluruh penduduk untuk mempercepat tercapainya tujuan perang. Kelanjutan dari kebijakan politiknya secara bertahap, Jepang mengakui kembali organisasi-organisasi Islam yang sebelumnya telah dibekukan. Selain itu Jepang memberi motivasi kepada kalangan Islam untuk mendirikan organisasiorganisasi Islam baru.66 Dalam sejarah modern Indonesia, Jepang tercatat sebagai pemerintah pertama yang memberi tempat penting kepada golongan Islam.67 Beberapa alasan Jepang mengesahkan pendirian ormasormas Islam yaitu: a. Untuk memperoleh dukungan dan bantuan dari penduduk di pedesaan diperlukan organisasi yang dipatuhi penduduk yaitu organisasi para ulama. b. Dengan pengesahan secara formal lebih mempermudah Jepang untuk melakukan pengawasan terhadap organisasi-organisasi Islam. c. Jepang tidak berhasil mendapatkan dukungan penuh dari rakyat Indonesia dengan pengakuannya terhadap fungsi putra dan Jawa Hokokai. d. Jepang bermaksud menebus dosa beberapa kesalahannya terhadap kalangan Islam.68 Secara politis, memang penjajahan Jepang tidak separah sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda, jepang lebih memberikan kelonggaran terhadap berkembannya berbagai aspirasi umat Islam dalam kegiatannya melalui ormasoramas yang didirikan waktu itu (Gunaryo, 2006: 21-47). Gunaryo, Pergumulan. 67 Praja, Hukum Islam di Indonesia, 16-35. 68 Ali, Hukum Islam, 18-48. 66 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 187 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Pada awal kekuasaannya, Jepang membentuk Shumubu (Kantor Departemen Agama) di Ibukota Jakarta, selanjutnya membentuk Hizbullah, semacam unit militer bagi pemuda Islam dan didirikannya organisasi federasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Terwadahinya para ulama dan para pemuda Islam membuat Jepang tidak menaruh kecurigaan kepada para pemimpin Islam. Dalam kondisi itulah para ulama dengan bebas dapat menyebarluaskan hukum Islam ke berbagai lapisan masyarakat.69 Kebijakan Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya (masa kolonial Belanda). Menurut Said70 kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 undang-undang bala tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No. 1 hanya terdapat perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.71 Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang tersebut cukup menguntungkan masyarakat Islam walaupun di balik itu maksud tujuan Jepang adalah hanya untuk mencari simpati dan dukungan rakyat Indonesia semata. Kebijakan Jepang cukup menguntungkan karena adanya beberapa kebebasan yang diberikan seperti diakuinya kembali organisasi-organisasi Islam dan membentuk organisasi Islam yang baru seperti Hizbullah yaitu semacam unit militer bagi pemuda Islam dan didirikannya organisasi Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www. scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan – Orde - Baru 70 Ibid. 71 Praja, Hukum Islam di Indonesia, 13-39. 69 188 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam federasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang mana kebijakan itu tidak diberikan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda. Namun kebijakan tersebut tidak diikuti pada kebijakan peradilan agama karena kebijakan yang dikeluarkan hanya merubah nama dalam peradilan agama tetapi isinya sama dengan kebijakan sewaktu pemerintahan Hindia Belanda. Kebijakan Jepang tidak banyak memberikan pengaruh bagi kondisi perkembangan hukum Islam karena singkatnya waktu Jepang menguasai Indonesia menyusul kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.72 2. Masa Orde Lama (ORLA) Orde lama merupakan perjuangan mengangkat hukum Islam yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh Islam pada saat menjelang kemerdekaan. Hasilnya adalah disetujuinya rumusan kompromi yang dituangkan dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dengan tambahan rumusan sila pertama berbunyi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.73 Namun dalam persidangan-persidangan PPKI (Panitia Persiapan 72 Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www. scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan – Orde - Baru 73 Menurut Praja (1991: 13-39) pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD. Butir pertama yang berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Praja, Hukum Islam di Indonesia. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 189 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Kemerdekaan Indonesia) selanjutnya perjuangan tersebut mengalami kemunduran. Keinginan-keinginan golongan Islam yang telah diajukan sebelumnya semuanya ditolak, bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi simbol kemenangan Islam dihapuskan, kata Allah dalam Mukaddimah diganti dengan Tuhan dan kata Mukaddimah diubah menjadi pembukaan.74 Salah satu makna kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa dengan lahirnya ideologi Nasakom yang menyatukan paham nasionalis, agama, dan komunis. Tindakan tersebut sangat tidak masuk akal karena Islam sebagai agama tauhid tidak mungkin bisa disatukan dengan komunis. Karena itu tindakan tersebut mendapat reaksi yang keras dari pemimpin-pemimpin Islam waktu itu sehingga tidak bisa dikembangkan dan dalam waktu dekat ideologi ini terkubur dengan sendirinya.75 Menurut Gunaryo76 dunia peradilan agama juga berada dalam keadaan suram disebabkan oleh tetap diberlakukannya lembaga eksskutorial verklaring artinya setiap putusan pengadilan agama baru mempunyai kekuatan hukum berlaku setelah mendapat pengukuhan (fat eksekusi) dari pengadilan negeri.77 Azizy, Eklektisisme, 172-179. Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http://www. scribd. com/ doc/ 52908105/Konfigurasi–Politik–pada–Era–Orde–Lama–dan–Orde-Baru. 76 Gunaryo, Pergumulan, 107-150. 77 Menurut Gunaryo (2006) kondisi seperti ini benar- melemahkan posisi peradilan agama, sehingga keberdayaanya selaku lembaga pengadilan nyaris tidak punya daya tawar, karena setiap putusannya selalu dibatasi dan dibayangai oleh kekuatan yuridis yang berada di bawah kekuasaan pengadilan negeri. Pendek kata, pengadilan agama selalu menjadi pengadilan nomor dua. 74 75 190 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Hal itu menjadikan pengadilan agama selalu berada dalam posisi di bawah pengadilan negeri karena dapat berlaku atau tidaknya putusan-putusan pengadilan agama tergantung kepada pengadilan negeri. Di samping itu, pengadilan agama dicabut kewenangannya sejak tahun 1937 dan diteruskan pada masa orde lama khususnya masalah kewarisan. Mahkamah Agung menegaskan bahwa sepanjang mengenai warisan di seluruh Indonesia, hukum yang ada harus didahulukan yakni di daerahdaerah yang amat kuat pengaruh Islamnya, karena sedikit banyak sudah mencakup unsur-unsur hukum Islam. Oleh karena itu wewenang menjatuhkan keputusan (sepanjang) mengenai warisan berada pada pengadilan negeri biasa.78 Pembatasan lain yang menjadi masalah dalam penerapannya yaitu pengadilan agama hanya diberi wewenang untuk memutus perkara apabila kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat beragama Islam.79 Masalah yang timbul yakni siapa saja yang dimaksudkan sebagai orang Islam yang dalam hal ini Notosusanto memberikan kriteria bahwa yang termasuk orang Islam adalah sebagai berikut: a. Seorang yang termasuk bagian dari kaum muslimin menurut pandangan sesama warga negara. Ia tidak menolak disebut orang Islam termasuk melangsungkan perkawinan secara Islam dan menginginkan dikubur secara Islam jika meninggal dunia. 78 Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http://www. scribd. com/doc/52908105/Konfigurasi–Politik–pada–Era–Orde–Lama–dan–Orde-Baru 79 Gunaryo (2006:35-49) juga menjelaskan, bahwa masalah seperti ini memang sering terjadi dikalangan umat Islam saat itu, sehingga interfensi penjajah terhadap keberlangsungan hukum Islam di Indonesia benar-banar sangat dibatasi, bahkan sampai mulai berani mengatur masalah ibadah yang mestinya bukan kewenangan penjajah saat itu. Gunaryo, Pergumulan. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 191 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum b. Orang yang dengan sukarela telah mengucapkan dua kalimat syahadat. c. Orang yang tidak sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi juga memiliki pengetahuan ajaranajaran pokok Islam. d. Orang yang tidak sekadar memiliki pengetahuan ajaranajaran pokok Islam, tetapi juga menjalankan kewajiban keagamaan khususnya shalat dan puasa.80 Pada masa orde lama ini, kondisi hukum Islam belum menandakan adanya perbaikan bahkan menurut Warkum Sumitro pada masa itu hukum Islam berada pada masa yang amat suram. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan hukum agama selalu dikendalikan oleh manifesto politik, adanya kebijakan yang tidak berpihak terhadap organisasi-organisasi Islam yang dinilai memiliki peran besar dalam penegakan hukum Islam di Indonesia, bahkan lahirnya ideologi Nasakom yang menyatukan paham “nasionalis, agama, dan komunis.81 Secara umum proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde Lama dan periode Orde Baru. Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.82 Praja, Hukum Islam di Indonesia, 23-38. Ibid. 82 Menurut Said (2012: 3-22) wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasionalsejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampailahirlah Supersemar sebagai titik 80 81 192 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru yang dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat itu selama masa pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga negara. Pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik di mana tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan pernah mencapai 7% (tujuh persen) namun keberhasilan itu hanya bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari hutang luar negeri yang berakibat timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.83 Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnyabangsaIndonesiamengalamiberbagaiperubahanasas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Konfigurasi politik, menurut Mahfud84 mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produkbalik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yangmerupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideologi sosialisme komunisme. Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http://www.scribd. com/doc/52908105/Konfigurasi–Politik–pada–Era–Orde–Lama–dan–Orde-Baru 83 Praja, Hukum Islam di Indonesia, 32-50. 84 Mahfud, Politik Hukum, 34-50. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 193 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa tersebut, politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme. Sedangkan di bawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur. Oleh karenanya, studi terkait konfigurasi politik dalam analisis ini dibatasi pada dua era, yakni Orde Lama dan Orde Baru serta pemahaman terhadap partai politiknya.85 Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 yang intinya menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante dalam melaksanakan tugasnya.86 Ibid., 13-20. Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang memberlakukan´atau tidak memberlakukan´sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan iniberdasarkan pada sistem trial and error ´yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang (Praja, 1991: 32-56). Praja, Hukum Islam di Indonesia. 85 86 194 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Maka problem dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitasrealitas objektif serta mengandung pula kemungkinankemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti Demokrasi Terpimpin´dan Demokrasi Pancasila.87 Menurut Said88 berbagai eksperimen tersebut ternyata menimbulkan keadaan excessive (berlebihan) baik dalam bentuk Ultra Demokrasi (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkaptediktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerdedemocratie). Sistem Trial and Error telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan kelompok Dar al-Islām (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang berhaluan teokrasi Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus dibayar tingggi berupa; Gunaryo, Pergumulan, 102-145. Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www. scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan – Orde - Baru 87 88 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 195 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Pertama, gerakan separatis pada tahun 1957. Kedua, konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959. Oleh karena konflik antara Pancasila dengan teokrasi Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional.89 Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus dibayar dengan biaya tinggi.90 Adapun partai politik dalam Era Orde Lama Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. Xtanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkathingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada 89 90 196 Ibid., 3-19. Ibid., 2-19. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.91 Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.92 Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan Deklarasi Bogor. 3. Masa Orde Baru (ORBA) Orde Baru diawali dengan runtuhnya kekuasaan Orde Lama memberikan harapan baru bagi umat Islam untuk memantapkan keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Namun harapan pada awal orde baru ini juga disertai dengan kekecewaan baru karena ternyata setelah pemerintah Orde Baru memantapkan kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pihak pemerintah. Pengawasan terhadap politik 91 92 Praja, Hukum Islam di Indonesia, 32-50. Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 197 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Islam tersebut terus diperketat bahkan disertai dengan isu-isu sensitif trauma masa lalu tentang pembangkangan pemimpin-pemimpin Islam.93 Menurut Khisni94 dengan memperhatikan sikap pemerintah yang semakin ketat dalam pengawasan partaipartai politik, para pemimpin Islam sadar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur politik tidak selamanya berhasil, bahkan resikonya lebih tinggi. Karena itu para pemimpin Islam mulai berubah haluan perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk mewujudkan hukum Islam di Indonesia yang semula dipandang sebagai suatu perjuangan untuk memproklamasikan suatu negara Islam secara formal berubah menjadi perjuangan kultural dari bawah yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam dengan tetap bertitik tolak pada Piagam Jakarta. Di dalam perkembangannya, perjungan untuk mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat muslimin. Adapun bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan waktu itu yakni hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat. Diantara bidangbidang hukum yang diperjuangkan itu hanya bidang hukum perkawinan yang dapat dikatakan berhasil dalam bentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kesuma Riana Ayu, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari, http: // riana. tblog. com/ post/ 1969986906 94 Akhmad Khisni, “Hukum Islam dan Pemikirannya di Indonesia,” diakses pada 15 Juni 2012 dari http: // khisni. blog. unissula. ac. id/ 2011/ 10/ 10/ hukum – islam – dan – pemikirannya – di – indonesia - jurnal/ 93 198 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Menurut Rofiq95 kelahiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut pendapat Hazairin dan Mahadi merupakan ajal bagi kematian teori receptie. Karena Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini menurut Ali (2000), bahwa sejak lahirnya undang-undang perkawinan nasional itu, maka hal yang terjadi adalah; a. Hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum adat dalam menilai apakah perkawinan sah atau tidak, b. Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum Barat, c. Negara Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam sepanjang pengaturan itu untuk memenuhi kebutuhan hukum umat Islam. Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 diberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam diberlakukan di lingkungan peradilan agama di Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan keperdataan orang-orang Islam. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi dewan perwakilan rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh mahkamah agung dan departemen agama yang melibatkan 95 Rofiq, Pembaharuan, 40-65. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 199 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta komponen masyarakat lainnya.96 Kebijakan pemerintah pada masa orde baru terhadap hukum Islam juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Pada masa orde baru, pemerintah membatasi dan memperketat pengawasan terhadap aktifitas gerakan politik Islam karena dikhawatirkan akan menandingi kekuatan pemerintah. Karena itu terjadi perubahan perjuangan oleh para tokoh-tokoh Islam yang semula ingin mewujudkan negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam.97 Perubahan arah perjuangan tersebut diantaranya yaitu bagaimana berjuang mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional sehingga hukum Islam dapat diterapkan secara praktis dan secara hukum adalah sah. Perjuangan tersebut akhirnya berhasil yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menurut Hazairin dan Mahadi dengan lahirnya undang-undang ini merupakan ajal bagi kematian teori receptie karena dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadikan hukum Islam secara otomatis berlaku tanpa harus melalui hukum adat.98 Sementara Gunaryo99 menjelaskan bahwa, setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Ali, Hukum Islam, 15-39. Gunaryo, Pergumulan, 102-130. 98 Mara Sutan Rambe, “Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Pidana Nasional” diaskses pada 21 November 2012 dari, http://msrambe. wordpress.com/2012/06/21/ proses–akomodasi–hukum–islam–kedalam–hukum –pidana-nasional/ 99 Gunaryo, Pergumulan, 102-14 5. 96 97 200 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam tentang Peradilan Agama yang menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara Republik Indonesia, walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 jo, dan surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh. Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli1966. Diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tumbuh dan berkembang di Indonesia. PKI ditetapkan sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.100 Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapaistabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu; pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan 100 Praja, Hukum Islam di Indonesia, 35-52. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 201 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama. Kedua, konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.101 Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi masa. Konsensus ini kemudian dituangkan ke dalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR.102 Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang notabene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokohtokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, Masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru. Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu.103 Gunaryo, Pergumulan, 102-145. Ali, Hukum Islam, 23-48. 103 Gunaryo, Pergumulan, 104-134 101 102 202 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompokkelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai Political Battle Unit rezim orde baru. Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas. Gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya ke dalam golongan nasional, spiritual dan karya. Selanjutnya, menurut Imran (2012) pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997). Adapun partai politik dalam era multi partai di masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret Tahun 1966, maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 203 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum maka didirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM. Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya.104 Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru, maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai PersatuanPembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana di sebutkan di atas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu. B. Politik dan Tata Hukum di Indonesia Era Reformasi Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia era reformasi mengalami berbagai perubahan yang sangat dinamis. Berbeda dengan dinamika ketatanegaraan pada awal kemerdekaan yang terjadi karena kondisi negara yang Ahmad Syafii Rahman, “Corak Modernisme Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis),” diakses pada 24 Juni 2012 dari http://syafiirahman.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-xnone_2255.html 104 204 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam baru merdeka dan tuntutan mempertahankan kemerdekaan, dinamika yang terjadi pasca era reformasi ini didasarkan pada kerangka konstitusional, yaitu UUD 1945. Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada 1999 hingga 2002 bersifat sangat mendasar. Perubahan tersebut memberikan dasardasar substansial baru dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta tatanan kelembagaan yang baru pula. Hasil perubahan UUD 1945 menegaskan dianutnya prinsip negara hukum yang demokratis. Hal itu diwujudkan dengan jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang lebih rinci serta pembatasan kekuasaan negara melalui pemisahan kekuasaan dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) agar masing-masing lembaga negara dapat menjalankan kekuasaan yang telah didistribusikan oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi guna mencapai tujuan nasional. Perubahan105 tersebut berpengaruh secara langsung terhadap tatanan kelembagaan negara baik cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun munculnya lembaga-lembaga baru sebagai organ negara yang independen. Namun, perkembangan tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang demikian cepat tersebut, belum diiringi dengan ketersediaan literatur hukum yang memberikan informasi dan analisis terhadap perkembangan ketatanegaraan pasca reformasi. Bagi masyarakat, 105 Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya dinamika hukum dan kebijakan, serta kelembagaan sebagai bentuk pelaksanaan UUD 1945. Dinamika itu tentu tidak hanya terjadi di bidang politik, tetapi juga di bidang kehidupan kebangsaan yang lain, baik sosial maupun ekonomi. Hal itu mengingat materi muatan UUD 1945 yang tidak hanya memberikan dasar politik, tetapi juga dasar-dasar perekonomian nasional, kesejahteraan sosial, dan kebudayaan (Asshiddiqie, 2012: 3-11). Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 205 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum khususnya pembelajar hukum tata negara, tentu tidak mudah mempelajari masalah ketatanegaraan hanya dengan membaca ketentuan-ketentuan normatif dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memahami masalah ketatanegaraan dibutuhkan adanya pengetahuan dan pemahaman awal tentang berbagai konsep keilmuan serta pengetahuan tentang peraturan dan praktiknya baik di masa lalu maupun di negara lain. Oleh karena itu dibutuhkan literatur yang mengemas informasi dan memberikan analisis agar mudah dipahami. Atas dasar realitas tersebut, sejak merdeka, Indonesia telah memberlakukan tiga macam konstitusi dalam empat periode, yaitu periode pertama 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 berlaku UUD 1945. Periode kedua 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 berlaku UUD RIS. Periode ketiga 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 berlaku UUD 1950 yang bersifat sementara. Dan periode keempat 5 Juli 1959 sampai sekarang berlaku UUD 1945 (Kusnardi, 1988: 86-100). Setelah kembali kepada UUD 1945 sampai sekarang konstitusi Indonesia tidak lagi mengalami pergantian. Akan tetapi hanya mengalami Amandemen sebanyak empat kali, yaitu Amndemen yang pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Amandemen kedua tangal 18 Agustus 2000 dan Amandemen ketiga 10 November 2001 serta Amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002. Menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana telah dikutip oleh Sri Soemantri dalam disertasinya, memberikan gambaran secara jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi. Pada pokoknya konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu: 1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan waga negaranya; 206 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam 2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; 3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas dan ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.106 Atas dasar itulah, maka UUD 1945 Republik Indonesia yang dalam teori Stufenbau Hans Kelsen disebut sebagai groundnorm harus memberikan jaminan atas hak asasi manusia dan adanya pembagiaan kekuasaan dalam struktur negara untuk memberikan batasan atas kekuasaan tersebut agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut. Dengan demikian, nilai yang terkandung di dalam batang tubuh UUD 1945 mengandung sistem politik hukum bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara ideal yang dicata-citakan. Politik hukum di dalam batang tubuh UUD 1945 tidak hanya mengandung sistem politik, akan tetapi juga sistem ekonomi, sistem hukum dan sosial. Menurut T. M. Radhie, yang dimaksud politik hukum adalah suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.107 Menurut Mahfud108 Politik hukum dalah legal policy yang telah atau akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: 1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. 2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Bandung: Alumni Bandung, 1987), 51. 107 Teuku Mohammad Radhie, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, 3. 108 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1998), 9. 106 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 207 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Tetapi dalam prakteknya, hukum seringkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan. UUD 1945 mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan kebebasan individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Atas dasar penjelasan demikian, menurut teori pemerintahan dikenal dua model bentuk negara (staatvormen), yaitu negara federal dan negara kesatuan. Untuk membedakan kedua bentuk negara tersebut dapat dilihat dari kekuasaan legislatif atau dari konsep kedaulatan maupun dari teori pemerintahan. Jika menggunakan tolok ukur kekuasaan legislatif, maka dalam negara federal kekuasaan legislatif terbagi antara badan legislatif federal dan badan-badan legislatif dari negara-negara bagian. Sedangkan di dalam negara kesatuan, kekuasaan legislatif yang tertinggi berada secara terpusat dalam satu badan legislatif. Apabila tolok ukurnya menggunakan konsep kedaulatan, dalam negara federal, kedaulatan terbagi atas dua aspek, yaitu kedaulatan intern dan kedaulatan ekstern. Kedaulatan intern tersebut terbagi antara negara-negara bagian dan kedaulatan ekstern tetap berada pada pemerintah pusat federal (the central of federal power). Sedangkan dalam negara kesatuan, kedaulatan intern dan ekstern berada pada pemerintah pusat. Jika menggunakan tolok ukur teori pemerintahan, dalam negara federal terbentuk melalui dua tahap, yaitu tahap pengakuan atas keberadaan negara-negara dan/atau wilayah-wilayah independen dan tahap kedua adalah adanya kesepakatan antar mereka untuk membentuk negara federal. Sedangkan 208 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam dalam negara kesatuan adalah adanya klaim dari para pendiri negara atas seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara saat mereka mendeklarasikan kemerdekaannya. Berdasarkan rumusan dalam UUD 1945, Indonesia menerapkan bentuk negara kesatuan. Akan tetapi akibat desakan politik dari kolonial Belanda—dalam periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 – Indonesia pernah menerapkan bentuk Negara Federal. Bentuk negara federal tersebut akhirnya berakhir setelah terjadi pertemuan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950 yang memutuskan untuk kembali kepada bentuk negara kesatuan. Dasar negara Indonesia yang berbentuk kesatuan ini sebagaimana tedapat di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, yaitu “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia terdapat dua bentuk pemerintahan (forme de government atau regeringsvorm), yaitu bentuk pemerintahan Monarki dan bentuk pemerintahan Republik. Pemerintahan Monarki (kerajaan, kesultanan dan kekaisaran) ialah negara yang dikepalai oleh seorang raja dan bersifat turun temurun dan menjabat untuk seumur hidup ketika Indonesia masih menjadi nusantara. Bentuk pemerintaan monarki ini terdiri dari tiga macam, yaitu monarki mutlak (absolut), monarki terbatas (konstitusional) dan monarki parlementer.109 Republik berasal dari bahasa latin respublica (kepentingan umum), jadi pemerintahan republik adalah negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang kepala negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk suatu masa Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), 91. 109 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 209 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum jabatan tertentu. Pemerintahan Republik ini terdapat tiga macam. Pertama, Republik dengan sistem pemerintahan rakyat secara langsung (system referendum). Kedua, Republik dengan sistem pemerintahan perwakilan rakyat (system parlementer). Dan ketiga, Republik dengan sistem pemisahan kekuasaan (system presidensiil). Berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945, Negara Indonesia berbentuk Republik. Hal ini sebagaimana tedapat di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Adapun sistem pemerintahannya menerapkan sistem presidensiil. Hal ini sebagaimana tersirat di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945, dimana presiden bertanggang jawab dalam penyelenggraan pemerintahan dan dalam pengangkatan dan pemberhetian para menterinya.110 Sedangkan dalam konsepsi negara hukum menurut Fachruddin111 terdapat dua macam, yaitu Konsep Rechtsstaat dan Konsep Rule of Law. Menurut Sckeltema, terdapat empat unsur utama dalam negara hukum, Rechtsstaat, dan masing-masing unsur utama mempunyai turunannya, yang sebagaimana dikemukaan oleh Azhary, yaitu: 1. Adanya kepastian hukum: a) Asas legalitas; b) Undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa hingga warga dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan; c) Undang-undang tidak boleh berlaku surut; d) Hak asasi dijamin oleh undang-undang; e) Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan. Ibid., 91-92. Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: PT. Alumni, 2004), 112-114. 110 111 210 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam 2. Asas persamaan: a) Tindakan yang berwenang diatur di dalam undangundang dalam arti materiil; b) Adanya pemisahan kekuasaan. 3. Asas demokrasi: a) Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara; b) Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen; c) Parlemen mengawasi tindakan pemerintah. 4. Asas pemerintah untuk rakyat: a) Hak asasi dengan undang-undang dasar; b) Pemerintahan secara efektif dan efisien. Sedangkan Konsep The Rule of Law awalnya dikembangkan oleh Albert Venn Dicey (Inggris). Dia mengemukakan tiga unsur utama The Rule of Law, yaitu: 1. Supremacy of law (supremasi hukum), yaitu bahwa negara diatur oleh hukum, seseorang hanya dapat dihukum karena melanggar hukum. 2. Equality before the law (persamaan di hadapan hukum), yaitu semua warga negara dalam kapasitas sebagai pribadi maupun pejabat negara tunduk kepada hukum yang sama dan diadili oleh pengadilan yang sama. 3. Constitution based on individual right (Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perorangan), yaitu bahwa konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individual yang dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan dan parlemen hingga membatasi posisi Crown dan aparaturnya.112 112 Ibid., 18-21. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 211 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Philipus M. Hadjon menjelaskan bahwa antara konsep rechtsstaat dan the rule of law memang terdapat perbedaan. Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner yang bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law system atau modern roman law dengan karakteristik administratif. Sebaliknya, the rule of law berkembang secara evolusioner dan bertumpu pada common law system dengan karakteristik yudisial.113 Sedangkan konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep rechtstaat dan rule of law karena mempunyai latarbelakang yang berbeda pula. Konsep negara hukum Indonesia adalah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Istilah negara hukum dalam kepustakaan Indonesia hampir selalu dipadankan dengan istilahistilah asing antara lain rechts staat, atat de droit, the state according to law, legal state, dan rule of law. Notohamijdojo memadankan istilah negara hukum di dalam konstitusi Indonesia dengan konsep rehtsstaat sebagaimana dalam tulisannya “...negara hukum atau rechtsstaat”.114 Di samping itu, Muhammad Yamin di dalam tulisannya menyebutkan bahwa “...Republik Indonesia ialah negara hukum (rehtsstaat, government of law).115 Akan tetapi Ismail Suny menyamakan negara hukum dengan konsep rule of law dengan argumentasi bahwa pelaksanaan demokrasi terpimpin adalah dimana kapastian hukum tidak terdapat dalam arti sepenuhnya di negeri kita, Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 72. 114 Notohamidjojo, Makna Negara hukum (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), 27. 115 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 72. 113 212 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam that the rule of law absent in Indonesia, negara kita bukan negara hukum. Begitu juga dengan pendapat Sunaryati Hartono yang menyamakan istilah negara hukum dengan konsep the rule of law dengan argumentasi supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, mak penegakan rule of law itu harus dalam arti materiil.116 Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Philipus M. Hadjon yang lebih mengkritik terhadap para pakar hukum yang mempersamakan istilah negara hukum dengan konsep rechtstaat dan konsep the rule of law, dia menyatakan bahwa di dalam sebuah nama terkandung isi (nomen est omen), negara hukum merupakan sebuah konsep tersendiri yang dipergunakan oleh negara Indonesia, sehingga tidak bisa dipadankan dengan konsep rechtsstaat atau konsep the rule of law yang telah mempunyai isi masing-masing yang berbeda. Pendapat ini tentu dapat difahami mengingat saat ini terdapat lima konsep negara hukum yang dianggap berpengaruh dan telah mempunyai isi yang berlainan, di antaranya pertama, rechtsstaat yang merupakan konsp yang dikenal di Belanda. Kedua, the rule of law yang merupakan konsep yang di kenal di negara-negara Anglo-Saxon seperti Inggris, Amerika Serikat.117 Menurut Philipus M. Hadjon makna yang paling tepat dalam konsep negara hukum Indonesia adalah mengandung empat unsur, di antaranya: 1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat; 2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaankekuasan negara; 3. Penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedang peradilan merupakan sarana terakhir; dan Ismail Sunny, Mencari Keadilan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 123. Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah (Bandung: PT. Alumni, 2004), 110-111. 116 117 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 213 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum 4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Di samping itu, di dalam konsep negara hukum Indonesia juga telah terdapat adanya jaminan atas perlindungan hak asasi manusia. Hal ini sebagaimana telah dirumuskan di dalam BAB XA Pasal 28A sampai Pasal 28J Amandemen kedua UUD 1945.118 Adapun struktur negara Indonesia merupakan sistem ketatanegaraan yang diterapkan di Indonesia berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam UUD 1945 pasca Amandemen. Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ini merupakan penerapan dari sistem Trias Politika yang bertujuan untuk memberikan batasan atas kekuasaan yang diberikan terhadap suatu lembaga kenegaraan. Lembaga kenegaraan tersebut terdiri dari lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Struktur negara Indonesia adalah di antaranya sebagaimana terdapat di dalam Pasal 18 ayat (1) Amandemen kedua UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota, yang tiap-tiap pronvinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan rumusan Pasal ini sangat jelas bahwa struktur negara Indonesia terdiri dari Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Di dalam Pemerintahan Daerah ini terdiri dari Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota yang kesemuanya mempunyai struktur pemerintahan sendiri. Urutan dan struktur dalam masing-masing wilayah tersebut menunjukkan adanya otonomi pemerintahan dalam setiap level pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. 118 214 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Atas dasar itulah, Pemerintahan Pusat sejak reformasi mengalami perubahan signifikan, terutama hilangnya lembaga tertinggi yang dulu di tangan majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) bergeser menjadi lembaga tinggi Negara yang sifatnya setara dan saling mengontrol. Sehingga berdasarkan teori Trias Politika dari Montesquieu, struktur pemerintahan terdiri tiga lembaga kenegaraan, yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Di dalam analisisnya Gabrial A. Almond, istilah eksekutif ini diganti dengan rule application function, lembaga legislatif diganti istilah rule making function dan lembaga yudikatif diganti rule adjudication function. Jika analisis tersebut dikaitkan dengan struktur pemerintahan pusat, maka lembaga-lembaga negara pasca Amandemen UUD 1945 menurut Fakhurohman adalah sebagaimana tabel di bawah ini: Rule Application Function Rule Making Function Rule Adjudication Function Presiden DPR + Presiden MA TNI-POLRI * MPR MK BI * DPD Komisi Yudisial *** KPU * BPK ** Keterangan : *: Merupakan lembaga negara yang independen yang dijamin oleh UUD 1945, walaupun pada dasarnya lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi eksekutif. ** : BPK tidak memegang fungsi legialatif. Namun, BPK memegang fungsi pemeriksaan yang merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR dan DPD. *** : Pada dasarnya KY bukan lembaga yudikatif. Namun lebih menyerupai “Dewan Kehormatan” MA yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 215 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Di dalam Amandemen UUD 1945, lembaga negara dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu organ utama (main state’s organ) dan organ bantu (auxiliary state’s organ). Organ utama (main state’s organ) adalah lembaga negara sebagai pelaksana utama dari ketiga kekuasaan negara, di antaranya MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA serta MK. Sedangkan organ bantu (auxiliary state’s organ) adalah lembaga negara untuk mengoptimalkan pelaksanaan dari check and balances antar lembaga negara tersebut, di antaranya BPK, KY, BI, KPU, TNI, dan POLRI. Menurut Jimly Ashiddiqie, bahwa Indonesia pasca Amandemen menganut teori pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan alasan lembaga negara yang ada sekarang ini tidak lagi mendapatkan kewenangan melalui pembagian kekuasaan dari MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sebagaimana paradigma yang dianut oleh UUD 1945 sebelum Amandemen. Kini lembaga-lembaga negara tersebut mendapatkan kewenangannya secara langsung dari UUD 1945. Konsepsi UUD 1945 pasca amandemen juga telah berubah pada konsep check and balances antar semua lembaga negara. Karena bagaimanapun juga penguasa sangat rentan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of powers) sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Lord Action, ”power tends to corrupt, obsolutely power corrupts absolutely”. Menurut Thalib (2006: 3) penerapan prinsip check and balances antara lembaga negara di Indonesia ini didasarkan pada teori yang dikembangkan oleh James Madison yang bertumpu pada empat unsur pokok, diantaranya: 1. Pemisahan kekuasaan; 2. Kedaulatan dibagi antara pusat dan negara bagian; 216 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam 3. Hak asasi manusia; dan 4. Anggota kongres dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya, maka dalam Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan terhadap pergeseran kekuasaan negara, diantaranya: 1. MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat, akan tetapi telah menjadi lembaga negara setara dengan lembaga negara lainnya (Pasal 1 ayat (2). 2. MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD sebagai representasi perwakilan kepentingan rakyat dan kepentingan daerah (Pasal 2 ayat (1). 3. Kekuasaan membentuk undang-undang tidak lagi berada pada Presiden, tetapi menjadi kekuasaan DPR (Pasal 20 ayat (1). 4. Proses impeachment Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi menjadi wewenang penuh MPR, tetapi harus melalui ”Putusan MK” terlebih dahulu (Pasal Pasal 7B ayat (1). 5. Penarapan sistem pemerintahan presidensiil sebagai wujud dari konsep separation of power dengan legislatif (Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 17 ayat (2). 6. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh masyarakat melalui partai politik di dalam pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) dan (2). 7. Kekuasaan Kehakiman tidak lagi hanya dilaksanakan oleh MA, tetapi juga oleh MK sebagai lembaga penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution atau waakhond van de grondwet), sehingga kewenangan MK ini adalah untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 217 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum terhadap hak-hak konstitusional. MK berwenang untuk memeriksa pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik, sengketa kewenangan lembaga negara, perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden (Pasal 24 ayat (2) jo. Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2). Selain itu dibentuk lembaga Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1). 1. Politik Hukum Era Reformasi Sejarah era reformasi lahir sejak tahun 1998 yaitu dengan jatuhnya rezim pemerintahan orde baru yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sejak jatuhnya rezim pemerintahan orde baru tersebut, terjadi perubahan yang sangat besar dalam diri bangsa Indonesia termasuk di antaranya dalam wilayah hukum. Pada era reformasi, isu hukum menjadi salah satu isu yang sangat penting hingga terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian berpengaruh besar terhadap kebijakan politik dan hukum Indonesia sampai sekarang ini. Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku hukum nasional. Perkembangan hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum 218 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang yaitu hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan antar satu hukum dengan hukum lainya.119 Partisipasi masyarakat dalam hukum nasional dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang sekarang terbaru dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya dalam Pasal 18 tentang aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pasal 53 undang-undang tersebut menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Ini berarti bila masyarakat menghendaki, maka hukum Islam dapat diajukan menjadi rancangan undang-undang atau perda untuk menjadi hukum nasional.120 Di samping itu, dalam RPJPN 2005-2025 juga dinyatakan bahwa kemajemukan tatanan hukum yang berlaku di masyarakat harus diperhatikan dalam pembaruan materi hukum nasional. Dengan demikian, hukum Islam sebagai hukum yang tumbuh di masyarakat juga tidak boleh diabaikan. Memang pemanfaatan hukum Islam sebagai bahan baku pembentukan hukum nasional agak diabaikan oleh RPJMN 2004-2009. Namun demikian, RPJMN tidak mungkin menolak ketika aspirasi masyarakat menunjukkan akan keinginan untuk diperhatikannya hukum Islam bagi 119 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju SaintifikModeren (Jakarta: Teraju, 2002), 174-180. 120 Menurut Azizy (2003: 160-185) peluang besar yang terjadi pada hukum Islam nampak semakin jelas dengan adanya dukungan yuridis melaui GBHN 1999-2004. Bahkan peluang ini sejalan dengan tuntutan perlunya pelaksanaan demokratis serta ditambah dengan meningkatnya kajian akademik keilmuan. Azizy, Eklektisisme Hukum Islam. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 219 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum pembentukan hukum nasional, apalagi RPJMN hanya berlaku selama 5 tahun. Sejak bergulirnya era reformasi, cukup banyak peraturan perundang-undangan yang mengakomodir nilai-nilai hukum Islam. Kondisi Islam pada masa era reformasi juga menunjukkan tanda-tanda positif. Peraturan yang memuat nilai- nilai hukum Islam yang telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang di antaranya yaitu: a. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. b. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diganti dengan UU nomor 21 tahun 2008. d. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, e. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, f. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya penegakan syariat Islam. g. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 h. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankkan Syariah. 220 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam i. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Di samping berbagai undang-undang di atas, pada masa reformasi juga muncul berbagai peraturan daerah yang memuat nilai-nilai hukum Islam di daerah-daerah. Fenomena perda bernuansa syariat merupakan dampak dari perubahan sistem politik kenegaraan dan pemerintahan. Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi demokratis. Sistem pemerintahan yang sentralistik berubah menjadi desentralistik. Perubahan-perubahan tersebut berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung dalam Amandemen UUD 1945. Disahkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat menjadikan pemerintah daerah lebih otonom. Yang paling jelas adalah setelah lahirnya UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Undang-undang. Selain itu banyak undang-undang dan peraturan daerah bernuansa hukum Islam pada era reformasi yang menunjukkan keinginan masyarakat Indonesia sangat besar agar hukum Islam dijadikan sebagai hukum positif. Kebijakan politik hukum era reformasi memungkinkan terjadinya keterbukaan secara lebih demokratis daripada era orde lama yang masih tarik ulur antara kepentingan dan era orde baru yang sangat otoriter dalam demokrasi Pancasila. Pada era reformasi juga muncul berbagai organisasi-organisasi Islam yang ikut meramaikan pembangunan hukum.121 Sebagai lanjutan menguatkan argumentasi politik hukum era reformasi perlu dijelaskan misalnya dinamika legislasi dan karakteristik Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang 121 Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 170-189. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 221 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung.122 Perubahan UUD 1945 ini mengharuskan adanya perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masingmasing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Adeles Jung Society, “Dinamika dan Karakteristik Produk Undang-Undang Era Reformasi”, akses pada 3 Juni 2013 dari, http:// adelesmagicbox.wordpress. com/ 2012/ 03/ 27/ dinamika- dan-karakteristik – produk – undang – undang – era - reformasi/ 122 222 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di samping perubahan-perubahan di tingkat konstruksi kekuasaan kehakiman, pada kenyataannya di kehidupan masyarakat, khususnya tingkat kesadaran beragama di kalangan umat Islam semakin meningkat untuk menjalankan ketentuan ajaran Islam dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih tuntutan untuk mencari alternatif baru dari kegagalan sistem konvensional kepada sistem nilai yang religius. Salah satunya adalah bidang muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 Tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas, ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu: • Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah; • Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya; • Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 223 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal. Mekanisme pembentukkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini yakni diawali dengan DPR RI yang mengajukan Usul Inisiatif RUU tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama melalui surat tertanggal 30 Juni 2005 kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pemerintah pun merespon positif atas prakarsa DPR RI tersebut. Begitu juga berbagai fraksi di DPR RI juga memandang perlunya perubahan terhadap undang-undang tersebut, sehingga dalam proses perumusan RUU ini hampir tidak menuai perbedaan mendasar dalam pembahasannya. Setelah melalui proses pembahasan, DPR RI dan Pemerintah menyetujui bersama pada tanggal 21 Februari 2006. Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 diundangkan menjadi UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Bila dicermati konfigurasi politik ketika terjadinya usul inisiatif atas perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka itu sesuai dengan iklim politik di era reformasi, sehingga hal ini dapat disebut sebagai konfigurasi demokratis dengan beberapa indikator penting yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR, antara lain: 1. Partai politik dari badan perwakilan rakyat berperan aktif dan ikut serta dalam menentukan hukum negara atau politik nasional, khususnya dalam bidang reformasi. 2. Tumbuhnya supremasi rakyat diletakkan di atas kepentingan penguasa. 224 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam 3. Menjunjung tinggi pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama yang dijamin dalam UUD 1945. 4. Peran eksekutif menghormati kehendak rakyat dan melaksanakan kebijakan yang pro rakyat. Dari segi karakter produk hukumnya, maka UU ini dikategorikan pada produk hukum responsif yang lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, karena UU ini dapat mencerminkan aspirasi sebagian besar umat Islam dan rasa keadilan. Selain itu, UU ini merupakan perwujudan pemenuhan atas harapan masyarakat, seperti adanya perluasan absolut kompetensi pengadilan agama di bidang ekonomi syariah. Semenntara dinamika dan karakteristik Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan dinamika yang agak berbeda meskipun sama-sama lancar dalam legislasinya. Dinamika Legislasi perbankan syari’ah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba, serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Sikap umat Islam mengenai isu bunga bank mendorong sarjana dan praktisi perbankan muslim untuk menemukan sejumlah cara dan alat untuk mengembangkan sistem perbankan alternatif yang sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip ekonomi Islam yang menjadi dasar perbankan syariah adalah perbaikan kesejahteraan masyarakat, material, dan spitritual, yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits. Bank syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 225 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mulamula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya. Rintisan praktik perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18–20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Untuk petunjuk operasional 226 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam pasal-pasal yang mengatur perbankan dengan sistem bagi hasil dalam undang-undang tersebut, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.72 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Perbankan syariah mulai dikenalkan secara lebih sistematis sejak tahun 1991 dengan didirikannya Bank Muamalat. Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU tersebut, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syariah atau Bank berdasarkan Prinsip Syariah. Selain itu, muncul kemudian UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Namun, peraturan perundang-undangan tersebut belum secara spesifik mengatur sistem perbankan syariah di Indonesia, sehingga membutuhkan undang-undang yang khusus, yakni UU Perbankan Syariah.123 Pada awalnya, rencana penyusunan RUU Perbankan Syariah diwacanakan oleh Komisi IX DPR RI periode 19992004. Namun karena kendala waktu, RUU ini diteruskan pada periode 2004-2009 dimana RUU Perbankan Syariah ini dijadikan sebagai salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Pada dasarnya, RUU Perbankan Syariah ini tidak menimbulkan polemik di antara kekuatan politik dan kalangan masyarakat, bahkan seluruh fraksi di DPR sangat menyetujui usulan RUU Perbankan Syariah ini. Keberadaan Adeles Jung Society, “Dinamika dan Karakteristik Produk Undang-Undang Era Reformasi”, akses pada 3 Juni 2013 dari, http:// adelesmagicbox.wordpress. com/ 2012/ 03/ 27/ dinamika- dan-karakteristik – produk – undang – undang – era - reformasi/ 123 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 227 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum UU Perbankan Syariah dalam sebuah tatanan perekonomian Indonesia diperlukan untuk mengatur operasional dan teknis pelaksanaan Direktorat Perbankan Syariah yang telah dibuat oleh pemerintah. Keberadaan Perbankan Syariah memberikan ketentraman bagi umat Islam, serta dapat menjadi pilihan alternatif dalam menggunakan jasa layanan perbankan.124 Oleh karenanya, sama halnya dengan UU Wakaf dan UU Peradilan Agama, bahwa UU Perbankan Syariah yang lahir di era reformasi ini, telah menjadi salah satu produk hukum yang responsif. Hal ini lantaran berkembangnya nilai-nilai demokrasi di tengah kehidupan masyarakat. Sehingga peraturan perundang-undangan yang hadir adalah peraturan yang sangat memperhatikan keinginan masyarkat dan dapat memenuhi setiap aspirasi yang dimunculkan oleh masyarakat. Indikator pentingnya adalah bahwa adanya dukungan dari partai politik atau kekuatan politik, organisasi masyarakat, pemerintah, maupun masyarakat yang sangat berperan aktif dalam rangka mewujudkan UU Perbankan. Selain itu pun, undang-undang ini adalah sebagai jawaban pelaksanaan hukum yang sesuai dengan Pancasila dimana telah mengakomodir kebutuhan akan hukum agama. 2. Positivisasi Hukum Islam Era Reformasi Ada dua hal yang sangat penting dalam proses positivisasi, yaitu demokratisasi dan keilmuan.125 Oleh karenanya dalam keadaan yang sangat terbuka sebagai konsekuensi era reformasi dan dalam waktu bersamaan dalam kondisi yang krisis seperti sekarang ini, hukum Islam atau fiqh mempunyai peran besar sebagai sumber 124 125 228 Ibid. Azizy, Eklektisisme, 173-175. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam hukum nasional.126 Arti sumber di sini akan mengalami perkembangan yang sangat signifikan, bukan saja dalam sistem peradilan agama, sepeti selama ini, namun juga dalam sistem peradilan (meliputi materi hukum dan sistem kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum) yang lebih luas.127 Dalam konteks ini, positivisasi tidak hanya sekedar mentransfer fiqh yang merupakan produk beberapa abad lalu, tetapi juga tidak berarti harus membuang begitu saja hasil pemikiran fuqaha masa yang sudah silam. Pemikiran atau karya fuqaha’ masa lalu merupakan living knowledge (pelajaran hidup) yang sangat berarti bagi pemikiran masa kini. Bahkan juga tidak mustahil kalau juga menjadi sumber pemikiran sekarang, sebagai proses historical continuity dalam tradisi akademik.128 Kalau menempatkan fiqh atau hukum Islam dalam jajaran sumber ilmu hukum secara umum, maka dalam tataran operasional atau hukum materiil, fiqh dapat dijadikan sumber melalui beberapa jalur atau alur, antara lain sebagai berikut: 1. Peraturan perundang-undangan. 2. Sumber kebijakan pelaksana pemerintahan yang tidak secara langsung dalam pengertian legislasi sebagai mana peraturan pemerintah, namun dalam konteks kedisiplinan secara administratif, meskipun pada akhirnya berkaitan dengan nilai-nilai legislasi pula. 126 Bisyara (2012: 2-13) menjelaskan bahwa Termasuk dalam konteks ini menempatkan fiqh sebagai salah satu bentuk ilmu hukum dalam dunia hukum, yang dapat memberi arti bahwa fiqh atau hukum islam menjadi sumber kajian dalam dunia ilmu hukum dan sekaligus sumber hukum materiil. Namun bahwa fiqh yang ada disini harus berupa fiqh yang memang sudah sesuai dengan tuntunan zaman, bukan dalam pengertian pasif dan jumud. 127 Azizy, Eklektisisme, 170-180. 128 Ibid., 170-185. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 229 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum 3. Yurisprudensi. 4. Sumber bagi penegak hukum, polisi, jaksa, dan pengacara. 5. Sumber ilmu hukum atau filsafat hukum. 6. Sumber nilai-nilai budaya masyarakat dan sekaligus sebagai sumber kebiasaan. Dari uaraian di atas, dapat dipahami bahwa lahirnya reformasi total di Indonesia menjadi kesempatan dan sekaligus tantangan bagi kajian hukum Islam. Kalau semula kajian hukum Islam seoalah melangit atau “ngawangngawang”, oleh karena didominasi oleh model menghafal hasil pemikiran ulama yang telah sekian abad lalu, kini kajian hukum Islam sudah saatnya untuk mampu bersifat empiris dan realistis, membumi yang mudah dipahami dan kemudian diamalkan oleh pemeluknya.129 Para pemikir hukum Islam dituntut untuk mampu meletakkan hukum Islam, mampu berperan dan berdaya guna dalam rangka keperluan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.130 Terkait pembahasan positivisasi hukum Islam, ada peluang besar bagi kedudukan hukum Islam, namun juga sekaligus tantangan kemampuan para pelaku kajiannya. Konsekuensinya, model dan kajian pendekatan hukum Islam di Indonesia, terutama sekali di lembaga-lembaga akademik seperti PT dan 129 Peluang ini dengan meminjam pemikiran Raisūni (2012: 7-10) yang menatakan bahwa, dalam pemahaman hukum Islam sekarang terutama dalam menetapkan hukum sesuai dengan kondisi modern diperlukan musyawarah dan memahami realitas yang menjadi kecenderungan umum, artinya apa yang telaah terjadi sebagai kebiasaan yang terbanyak diikuti dan dipraktekkan dalam suatu masyarakat tersebut. Jadi jelas Raisūni (2012) menekankan bangunan hukum yang baik hukum yang sesuai dengan kebanyakan kehendak umat, baik dalam kalangan umala’ maupun masyarakat secara umum. 130 Ibid., 168-178. 230 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam pusat kajian, sudah waktunya untuk diperbaharui. Model, pendekatan dan filosofi kajian hukum Islam atau fiqh di IAIN, STAIN, PTAIS perlu diadakan reorientasi atau bahkan perubahan agar benar-benar bermanfaat dan memenuhi tuntutan tadi hukum positif, meliputi merekonstruksi pemikiran hukum Islam dengan bahasa UU, seperti KHI, sehingga akan lebih mudah dipahami dengan menggunakan bahasa hukum pada umumnya. Usaha positivisasi hukum Islam merupakan suatu keharusan baik dalam konteks kajian akademik yang selalu mengikuti ekelektisisme maupun proses demokratisasi yang mendasarkan pada mayoritas penduduk.131 Menurut Masruhan132 pada masa reformasi, hokum Islam telah memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan hukum nasional Indonesia. Namun, lahirnya aneka peraturan perundang-undangan yang memuat nilai-nilai hukum Islam tidak terlepas dari masalah, bahkan kontroversi yang terjadi di kalangan umat Islam sendiri yang merupakan problem serius dalam memahami hakikat Islam. Setiap Indonesia melakukan usaha legislasi hukum Islam, maka hal tersebut selalu menimbulkan kontroversi baik bersifat teknis yuridis maupun politis. Polemik itu muncul karena posisi hukum Islam berada di titik tengah antara paradigma agama dan negara dan bahkan berada di titik tengah ketegangan antara agama itu sendiri. Bahkan kekuatan politik yang berkembang dalam berbagai partai sulit disatukan persepsinya tentang Islam yang mana. Islam sendiri tidak mengharuskan positivisasi hukumnya untuk menjamin kepastian.133 Rofiq, Pembaharuan, 23-50. Dan Gunaryo, Pergumulan, 102-135. Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 133 Ibid. 131 132 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 231 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dalam perkembangannya, positivisasi hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab himpunan hukum Islam menjadi kebutuhan hidup bernegara karena ada kebutuhan akan landasan dan dasar hukum bagi hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara demi keseragaman dan kepastian hukum. Hukum Islam bisa berlaku dalam sebuah negara harus melalui positivisasi dengan cara memasukkan prinsipprinsip hukum ke dalam peraturan perundang-undangan.134 Upaya ini sangat prospektif karena masih banyak peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang belum tergantikan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang bernuansa Islami. Secara sosiologis, upaya tersebut terus berproses melalui perjuangan positivisasi hukum Islam yang didukung oleh tingginya rasa kesadaran dari masyarakat Indonesia. Hal ini karena hukum Islam hidup dan dianut oleh rakyat setempat dalam kehidupan sehari-hari. Strategi dan pendekatan yang ditempuh adalah logika dan dasar bahwa setiap orang Islam harus menjalankan syariat Islam. Oleh karenanya, secara akademik, menurut Azizy135, positivisasi harus melalui proses keilmuan dalam disiplin ilmu hukum (jurisprudence). Sehingga, secara politis dalam sistem politik demokratis, positivisasi tetap dalam koridor demokratisasi tanpa mengutamakan asas adat atau mayoritas Islam Indonesia. Setelah reformasi, hukum Islam menampakkan karakter aslinya dengan kebijakan Pemerintah Era Reformasi di bidang hukum, yang menurut Teuku Mohammad Radhie ditetapkan dengan memanfaatkan bahan baku dari sistem hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan tatanan hukumnya, menurut Sidharta memiliki ciri134 135 232 Azizy, Eklektisisme, 170-180. Ibid., 173-179. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam ciri; berwawasan kebangsaan dan nusantara, mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan, berbentuk tertulis dan terunifikasi, bersifat rasional baik segi efisiensi, kewajaran, kaidah dan nilai, transparansi dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat. Lagi pula, upaya pembangunan nasional dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara yang efektivitas, efisiensi dan obyektivitasnya memerlukan perencanaan pembangunan nasional.136 Sistem hukum nasional yang pembangunannya diupayakan adalah sebuah sistem hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlaku di seluruh Indonesia. Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang beragam suku bangsa, budaya dan agama seharusnya tidak memandang agama yang dipeluknya.137 (Azizy, 2002). Sebab, diantara agama mereka itu adalah agama Islam yang tidak dapat dipisahkan dari hukum. Artinya, Islam adalah agama hukum dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pembangunan hukum nasional yang mayoritas penduduknya beragama Islam haruslah memperhatikan unsur hukum agama. Apalagi, menurut Said138 hukum Islam merupakan salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum nasional. 136 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http://ejournal.Sunan-ampel.ac.id/index.php/Islamica/article/viewFile/ 453/347 137 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju SaintifikModeren (Jakarta: Teraju, 2002). 138 Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http://www. scribd. com/doc/52908105/Konfigurasi–Politik–pada–Era–Orde–Lama–dan–Orde- Baru Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 233 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Pembangunan hukum nasional harus dapat mengayomi seluruh bangsa dan aspek kehidupannya. Karena itu, pembangunan hukum nasional wajib menggunakan wawasan nasional yang terdiri atas wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan Bhinneka Tunggal Ika dengan arah dan tujuan yang diatur dalam GBHN 19992004.139 Sebenarnya secara yuridis, dengan Perubahan UUD 1945 timbullah perubahan dalam pembangunan yakni tidak dibuatnya GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional. Namun, ada pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dengan undang- undang.140 Sementara itu, sistem perencanaan pembangunan Nasional menggunakan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Sasaran perencanaan pembangunan nasional di bidang politik dan hukum periode tahun 2004-2009 adalah terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif (termasuk tidak bias gender), terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan serta penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat.141 Arah kebijakan pembangunan nasional di bidang politik dan hukum tahun 20042009 ini merupakan pembenahan sistem dan politik hukum Mahfud, Membangun Politik Hukum, 42-49. Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 141 Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, 25-48. 139 140 234 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam dalam lima tahun mendatang untuk memperbaiki materi, struktur, dan kultur hukum yang dijabarkan ke dalam programprogram pembangunan. Pertama, program perencanaan hukum untuk menciptakan persamaan persepsi para pelaku pembangunan terutama di bidang hukum untuk mengantisipasi isu-isu strategis dan global agar penegakan dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan. Dengan program ini diharapkan adanya produk kebijakan (materi hukum) yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, mengandung perlindungan dan penghormatan HAM serta berlaku efektif dalam masyarakat dalam kurun waktu lima tahun berikutnya.142 Kedua, menciptakan perangkat peraturan perundangundangan dan yurisprudensi untuk mengatur perilaku individu dan lembaga serta menyelesaikan sengketa. Ketiga, Program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya untuk memperkuat lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana terpadu yang melibatkan antara lain MA, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Lembaga Pemasyarakatan dan praktisi hukum untuk mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan. Sehingga, terwujud lembaga peradilan dan penegakan hukum yang transparan, akuntabel dan berkualitas berbentuk putusan pengadilan yang benar dan adil.143 Muchsin, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional,” diakses pada 20 Juni 2012 dari http: //www.ditpertais.net/ annualconference/2008/dokumen/KONTRIBUSI-% 20HUKUM% 20ISLAM muchsin.pdf 143 Gunaryo, Pergumulan, 103-127. Dan Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 142 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 235 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Keempat, program peningkatan kualitas kemampuan profesional aparat penegak hukum yang meliputi hakim, polisi, jaksa, petugas pemasyarakatan, petugas keimigrasian, perancang peraturan perundang-undangan, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), para praktisi hukum dan lain sebagainya. Kelima, program peningkatan kesadaran hukum dan HAM untuk menumbuhkembangkan serta meningkatkan kadar kesadaran hukum dan HAM masyarakat dan para penyelenggara negara agar menyadari hak dan kewajibannya serta mampu berperilaku sesuai dengan kaidah hukum dan menghormati HAM. Dengan program ini, terwujudlah penyelenggaraan negara yang bersih dan menghormati HAM.144 Kebijakan pemerintah dalam hukum tidak lepas dari politik hukum Indonesia. Politik hukum, menurut Soedarto, adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Politik hukum ini, menurut C.F.G Sunaryati Hartono, merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia.145 Politik dan hukum itu memiliki hubungan kausalitas. Hukum menurut kaum idealis harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat dan kehidupan politik. Peletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat adalah suatu kewajaran, karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan kepentingan masyarakat akan menjadi relevan. Sedangkan kaum 144 145 236 Ibid. Azizy, Reformasi Bermazhab, 170-182. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam realis seperti Savigni menganggap bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Artinya, mau tidak mau, hukum menjadi independent variable atas keadaan di luarnya, terutama keadaan politiknya. Memang kenyataannya, hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Kalimatkalimat dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak politik yang saling bersaingan. Dengan demikian, karakter produk hukum selalu berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Menurut Mahfud146 suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan berpengaruh signifikan terhadap suatu produk hukum yang dilahirkannya. Negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik. Sedangkan negara yang konfigurasi politiknya otoriter produk hukumnya berkarakter ortodok atau konservatif atau elitis. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa produk hukum yang dihasilkan di era reformasi yang konfigurasi politiknya demokratis adalah responsif. Hal ini terlihat dari rumusan sasaran yang dilakukan dalam pembenahan sistem dan politik hukum 20042009 dan langkah-langkah yang dilakukan terhadap hukum dan peradilan. Sehingga, terwujudlah lembaga peradilan dan penegakan hukum yang transparan, akuntabel dan berkualitas berbentuk putusan pengadilan yang benar dan adil. Menurut teori hukum responsif Philippe Nonet dan Selznick bahwa hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural, berkompeten dan adil, mampu mengenali keinginan publik dan memiliki komitmen bagi tercapainya keadilan substantif. Berdasarkan atas UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem 146 Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, 25-40. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 237 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 bahwa produk hukum yang dihasilkan pada era reformasi sekarang ini memiliki karakter hukum responsif. Dalam kondisi negara demokratis, positivisasi hukum Islam yang dilaksanakan sesuai aturan dan prosedur yang benar dalam pembentukan hukum nasional berarti positivisasi hukum Islam tersebut sesuai dengan arah dan tujuan hukum nasional, yaitu mewujudkan materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik sekarang maupun mendatang, mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap HAM serta mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat secara keseluruhan.147 Terkait positivisasi hukum Islam, maka perlu mempertimbangkan legalitas atau legalnya suatu hukum Islam, yang terkait dengan tata hukum Imndonesia. Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan hukum agama dengan jelas. Menurut Mochtar Kusumatmadja, sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan, bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaikbaiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 147 238 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.148 Berkaitan dengan kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia, dapat dikatakan bahwa ada tiga pola legislasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional. Pertama, Pola unifikasi dengan diferensiasi. Dalam hal ini hukum Islam berlaku untuk setiap warga negara dengan beberapa pengecualian. Misalnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua, Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam. Misalnya, Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Ketiga, Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundangundangan nasional dan berlaku untuk setiap warga negara seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang Kesehatan. Positivisasi dan demokratisasi sangat relevan dengan masalah hukum Islam di Indonesia. Langkah positivisasi dan demokratisasi merupakan langkah menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional. Dua langkah ini sebagai solusi yang disampaikan oleh Syahrur ketika hukum Islam disatukan dengan sistem hukum negara bangsa. Penyatuan harus berjalan dengan mekanisme demokrasi. Bila mekanisme demokrasi dijalankan dalam memproduksi hukum, dan proses positivisasi berjalan, maka vitalisasi aparat penegak hukum menemui jalan mulus, tak canggung dan phobi dengan hukum Islam. Sebab, tidak ada dikotomi hukum Islam dan hukum nasional. Hukum Islam dengan sendirinya merupakan hukum nasional, sementara hukum nasional selama tidak menyalahi hudud Allah merupakan hukum Islam walaupun diproduksi oleh parlemen dan manusia biasa. Dalam konteks demikian, aktualisasi hukum Islam adalah bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Ada dua Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 148 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 239 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum bentuk aktualisasi hukum Islam yaitu upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang berlaku khusus bagi umat Islam dan upaya menjadikan syari’at Islam dan fiqh sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.149 Dengan demikian, aktualisasi hukum Islam harus dilakukan secara sistemik dan dengan tindakan nyata. Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan jika dilakukan sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan syari’at Islam. Syari’at Islam adalah jalan hidup yang menjadi sumber rujukan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya aktualisasi hukum Islam adalah belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku khusus bagi umat Islam maupun yang berlaku secara umum. Agar proses aktualisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan baik, ada beberapa masalah yang harus diselesaikan. Dalam praktek di lapangan, undang-undang mempunyai kedudukan yang penting ketika berbicara mengenai hukum karena ada alasan-alasan yang mendasarinya.150 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache: XpbOr1k-UP0J:law. uii.ac.id/dokumentasi/task,doc_download/gid,62/+KEBEBASAN+BERAGAMA+DALAM+P ERSPEKTIF+KONSTITUSI&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsqQ 4BRPHOGBBe4bvY2QrdS1C33Xz1VxmRZy1Xop–mLsM252VzcTtpDOaP8SXQatiMBbqp3t 357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWz vCk-Uo2UVEw. Dan Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi,” diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer? A = v&q = cache: 0zc 1QFZfE S4J: digilib. uns. ac. id/abstrak. pdf. php? d_id%3D14171 + positivisasi + hukum + islam + di + indonesia &hl = id&gl = id&pid = bl&srcid = ADGEESg 7WDT_PhI-4YofCc V-- J9z3cZbrf—Qw 9RPW3ACQUr0 AlB2 FsIYfl 4voE0Fz_h DC6tom IwKrzy NH Cpp LB0 so CWCs UDXT 42S8l4 fwL 5e VMw O6bt X0 DAkh Sb Wxo Hqtr 43o BQMB j& sig = AHIEtb RMW AhSPz VTX5Mc5dhMAX6Pd5geRw. 150 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http://ejournal.Sunan-ampel.ac.id/index.php/Islamica/article/viewFile/ 453/347 149 240 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Kesempatan dan sarana terbesar bagi positivisasi hukum Islam adalah memasukkan nilai- nilai hukum Islam ke dalam undang-undang dan tidak berarti harus secara langsung menjadikan undang-undang tersendiri. Kesempatan yang lebih banyak lagi adalah positivisasi hukum Islam pada setiap hukum tertulis, dari hukum dasar sampai dengan peraturan perundangundangan yang terendah. Model ini lebih memperkecil pendekatan normatif dengan menjadikan hukum Islam dalam sebuah undang-undang tertentu. Namun dalam waktu bersamaan akan mempunyai jangkauan lebih luas, karena akan mampu meliputi banyak aspek atau jenis hukum atau undangundang. Model seperti ini merupakan usaha memasukkan hukum Islam ke dalam hukum nasional secara akademik, argumentatif, sosiologis, kultural dan asas kemanfaatan bersama demi tercapainya visi, misi, cita-cita dan kemaslahatan bangsa. Pendekatan seperti ini juga dapat dilakukan ketika hakim atau penegak hukum berbicara mengenai kebiasaan dan doktrin sebagai sumber hukum. Hukum yang dibuat negara yang berdasarkan Pancasila harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat Indonesia, terutama umat Islam yang berjumlah mayoritas. Apabila hukum yang dibuat tidak memperhatikan rasa keadilan hukum yang dianut oleh masyarakat maka hukum itu akan ditolak oleh masyarakat tempat hukum itu diberlakukan.151 151 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx 6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. Dan Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 241 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Salah satu syarat berlakunya hukum dengan baik dalam masyarakat, menurut Teuku Muhammad Radhi ialah keharusan hukum tersebut sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan karenanya dalam penyusunan hukum nasional para pihak berwenang mengindahkan hukum Islam sehingga hukum nasional tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Positivisasi hukum Islam ini dilandasi oleh nilai filosofis, yuridis dan sosiologis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup dan karakter semua bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.152 Hukum yang berlaku di Indonesia harus tetap konsisten dan dilandasi oleh nilai-nilai ke- Tuhanan Yang Maha Esa dan tetap mengindahkan nilai-nilai hukum Islam. Sebaliknya, hukum nasional terutama yang berlaku bagi umat Islam Indonesia tidak boleh mengandung ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Betapapun dalam praktiknya legislasi bukan merupakan kecenderungan, pada saat ini jalur siyāsah hukum Islam dalam bidang-bidang tertentu telah terakomodasi dalam perundang- undangan. Artinya, hukum Islam tersebut telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pengembangan hukum Islam di Indonesia cenderung berlangsung melalui dua jalur yaitu jalur legislasi dan jalur non legislasi.153 Azizy, Reformasi Bermazhab, 170-185. Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx 6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. Dan Masruhan, 152 153 242 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Kecenderungan perkembangan hukum di luar perundang-undangan lebih banyak dari pada melalui jalur legislasi, karena kendala struktural dan kultural, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, para pendukung sistem hukum Islam beranggapan bahwa hukum Islam sebagai suatu sistem yang belum perlu dikembangkan dalam konteks hukum nasional. Secara eksternal, struktur politik yang ada belum tentu mendukung proses legislasi hukum Islam.154 Dalam konteks demikian, pengembangan hukum Islam melalui proses legislasi tetap perlu dilakukan. Materi hukum Islam yang diundangkan bukan hukum publik, sebab akan berbenturan dengan materi hukum agama lain. Sedangkan materi hukum privat tidak pada semua bidang karena ada bidang-bidang hukum tertentu yang peka. Jika bidang hukum yang peka ini diangkat pasti akan terjadi konflik baik internal maupun eksternal. Dilihat dari kebutuhan dalam pergaulan hukum nasional dan internasional, legislasi merupakan tuntutan objektif dan urgen karena akan mendukung implementasi hukum Islam secara pasti dan mengikat secara formal yuridis. Dalam teks ajaran Islam, memang tidak ada keharusan memberlakukan hukum Islam melalui legislasi. Namun menurut kaidah ushul fiqh sesuatu yang mubah bisa menjadi wajib, jika manfaat yang diberikan oleh sesuatu itu lebih besar bagi terlaksananya sesuatu yang diperintahkan. “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 154 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. Amal, Politik Syariat Islam, 24-39. Dan Abdul Moqsith Ghazali, ”Menggemakan Pemikiran Gus Dur,” diiakses pada 21 Juni 2012 dari http:// islamlib.com/id/artikel/menggemakan-pemikiran-gus-dur Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 243 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Atas dasar itu, jika efektivitas hukum Islam di Indonesia memerlukan campur tangan pemerintah, maka legislasi merupakan kebutuhan yang urgen.155 Menerapkan hukum Islam dalam konteks sosial politik Indonesia di masa kini selalu mengundang polemik. Polemik itu tidak sekadar berputar pada perkara teknis yuridis belaka, tetapi menyentuh perkara politik yang peka. Setidaknya ada dua sebab, yaitu; Pertama, hukum Islam itu berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma negara. Sebagai bagian dari paradigma agama Islam, penerapan hukum Islam menjadi nilai agama. Ia menjadi bagian dari usaha operasionalisasi totalitas Islam dalam kenyataan empiris. Bahkan, operasionalisasi prinsip keagamaan menjadi semacam tugas suci.156 Pada saat yang sama, hukum Islam menjadi bagian dari paradigma negara yang mempunyai sistemnya sendiri. Dalam zaman modern, negara dalam konteks pluralitas, legitimasi negara berada pada komitmen atas pluralitas itu sendiri. Akibatnya untuk mempertahankan pluralitas itu negera terpaksa mereduksi tidak hanya hukum Islam tetapi juga berbagai perangkat keislaman lainnya. Hal ini dilakukan untuk membuat kelompok non Islam tetap mengidentifikasikan dirinya dengan negara. Membuat penganut agama lain merasa aman berarti negara harus berdiri netral tidak berpihak ke salah satu agama. Di zaman ini solusi atas tarik menarik ini 155 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347 156 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. Dan Abdul Moqsith Ghazali, ”Menggemakan Pemikiran Gus Dur,” diiakses pada 21 Juni 2012 dari http://islamlib.com/id/artikel/menggemakan-pemikiran-gus-dur 244 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam telah dapat diketahui yakni sektor publik diurus oleh negara dan sektor privat diberikan kepada agama.157 Kedua, hukum Islam juga berada pada titik tengah ketegangan antar agama itu sendiri. Dalam kondisi masyarakat yang agamanya plural, pemekaran agama yang satu dapat menjadi ancaman bagi agama lainnya. Legislasi hukum agama yang satu dapat menimbulkan keterasingan dan kecemburuan agama lainnya. Untuk menjaga komitmen pada pluralitas agama itu, sekali lagi hukum Islam direduksi sampai pada tingkat yang membuat penganut agama lain merasa tidak terancam. Sebagaimana penganut agama Islam tidak ingin merasa terancam eksistensinya, penganut agama lain pun mempunyai kepentingan yang sama. Padahal, undang-undang mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sistem hukum di Indonesia.158 Dalam konteks demikian, hukum Islam dapat berlaku secara formal apabila dilegislasi menjadi hukum nasional. Legislasi hukum Islam tidak berarti harus secara langsung menjadikan undang-undang tersendiri melainkan dapat melalui setiap hukum tertulis, dari hukum dasar sampai dengan peraturan perundangundangan terkecil atau terendah. Artinya bagaimana nilai-nilai hukum Islam itu dapat diserap menjadi hukum nasional dengan suatu undang-undang khusus ataupun tidak, yang terpenting adalah nilai-nilai dalam hukum tidak bertentangan dengan nilainilai hukum Islam.159 Hukum Islam di bidang publik seperti pidana Islam sampai sekarang belum dapat menjadi hukum positif. Usulan pengadaan kodifikasi hukum pidana Islam menjadi 157 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. 158 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 4-10. Dan Gunaryo, Pergumulan, 102-145. 159 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta, 1999), 3-26. Dan Azizy, Reformasi Bermazhab, 167-179. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 245 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum hukum nasional, banyak menuai perdebatan bahkan dalam kalangan Islam sendiri. Sebab, menurut Rahmad Rosyadi, ada ketidakmengertian, kesalahpahaman, dan ketakutan terhadap hukum pidana Islam yang tidak proporsional. Positivisasi hukum Islam dimaksudkan sebagai upaya melegalisasi hukum Islam menjadi hukum positif untuk diaplikasikan secara nyata dalam praktik kehidupan. Rancangan legislasi hukum Islam dapat disampaikan oleh eksekutif, legislatif atau pihak lain yang ditunjuk, sebagai naskah kalangan akademis. Kemudian, rancangan undang-undang tersebut diproses menjadi undangundang atau peraturan lain sehingga mempunyai daya ikat dan memenuhi unsur keadilan serta kepastian hukum di masyarakat. Upaya positivisasi hukum Islam tentu memerlukan dukungan pemerintah yang berkuasa. Dengan kekuatan politik dan sistem hukum yang ada, pemerintah dapat membuat kebijakan pemberlakuan hukum Islam ini menjadi hukum positif.160 Menurut Raharjo161 dalam paham sosiologi hukum yang dikembangkan oleh aliran Pragmatic Legal Realism yang dipelopori antara lain oleh Roscou Pound, terdapat keyakinan bahwa hukum adalah ‘a tool of social engineering’. Dengan paham ini, maka perubahan hukum di Indonesia harus a) bercirikan sikap hidup dan karakter bangsa Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia, sehingga ke depan akan terjadi tranformasi hukum yang lebih bersifat Indonesiani, dan b) mampu membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan terhormat di mata pergaulan antar bangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana mencapai tujuan bangsa yang efektif. Perubahan hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan Azizy, Reformasi Bermazhab, 175-182. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2007), 24-39. 160 161 246 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan yang berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara (politik) sehingga mampu mengisi kekosongan atau kevakuman hukum dalam berbagai segi kehidupan.162 Menurut Masruhan163 dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di Indonesia yang menurut Mochtar Kusumaatmaja harus dilakukan dengan beberapa jalan: Pertama, meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional antara lain dengan mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Kedua, menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing. Ketiga, meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum Keempat, memupuk kesadaran hukum masyarakat. Kelima, membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/negara ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Atas argumentasi demikian, maka pemahanam fungsi serta teori eksistensi, dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional sangatlah penting. Sebagai bagian integral dari hukum nasional kemandirian hukum Islam diakui berkekuatan hukum nasional baik sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional, sebagai bahan dan unsur utama utama hukum nasional Indonesia. Karena itu, ada tuntutan hak konstitusional penerapan syariat Islam yang menurut Jawahir Thontowi didasarkan pada argumentasi: Ibid., 13-39. Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. 162 163 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 247 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum pertama, jaminan penerapan syariat Islam dalam HAM Internasional seperti tersebut dalam Deklarasi Universal HAM Pasal 18; kedua, ICESCR (The International Covenant on Economic, Social and Cultural) dan ICCPR meletakkan kemerdekaan beragama sebagai hak fundamental, sehingga larangan apapun atas hak-hak dasar bertentangan dengan kekuatan HAM Internasional. Freedom of Expression, of Association, of Relogion, Freedom from Fear, want and Expression and Hungger merupakan kewajiban negara untuk melindunginya.164 Kebebasan beragama, menurut Nathan Lerner sebagaimana dikutip Masruhan (2012) mencakup kebebasan beribadah dan berkumpul terkait dengan agama atau keyakinannya, mendirikan, memelihara tempat-tempat beribadah; mendirikan dan memelihara lembaga donor untuk kemanusiaan; membuat atau menggunakan tanda-tanda yang dikaitkan dengan upacara keagamaan; menulis dan mempublikasikan serta melakukan diseminasi dengan publikasi yang relevan di wilayahnya masing-masing;Kmemberikan pendidikan dan pengajaran atas anak-anak didik penganut; memberikan atau menerima harta sebagai bantuan keuangan; melatih atau memilih para penyebar agamanya masing-masing; memberlakukan hari libur untuk istirahat; mendirikan dan memelihara harmonisasi individu dan masyarakat, dalam kaitannya dengan persoalan keagamaan dan kepercayaan, baik dalam level nasional dan juga internasional.165 164 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. Dan Abu Hafsin, “Kebebasan Beragama dan Hak-hak Politik Minoritas (Analisis Keagamaan Terhadap Kebijakan Presiden Gus Dur),” salah satu makalah dalam Seminar Gus Dur, Seorang Muslim dan Demokrat di Universitas Wahid Hasyim Semarang 31 Agustus 2000, 2-16. 165 Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, 23-48. 248 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam Lebih lanjut Masruhan166 juga menjelaskan beberapa ketentuan mengenai hak-hak dasar keagamaan pada saat ini telah merefleksikan kebiasaan hukum intemasional, dan ketentuan mengenai pembatasan perlakuan diskriminatif atas dasar agama, atau pelanggaran terhadap genocida terhadap kelompok agama tertentu, tergolong pada perbuatan yang melanggar HAM berat, tergolong Ius-Cogen. Hak konstitusional penerapan syariat Islam bagi kaum muslimin di Indonesia tidak dapat terbantahkan sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan oleh MPR sejak tahun 1999-2002.167 Perjuangan umat Islam untuk menegakan hukum Islam tidak pernah berhenti bahkan cenderung lebih efektif untuk terrealisir. Hal ini karena, (1) Mempertahankan pembukaan UUD 1945. Tekad untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar alasan historis dan politis melainkan filosofis. Sebab, menurut Moh. Natsir, di dalamnya terdapat Pancasila sebagai dasar negara, yang mengandung nilai-nilai syariat Islam. (2) Otonomi daerah seluas-luasnya yang memberikan model hubungan kekuasaan pemerintahan pusat dengan daerah dalam mekanisme bukan saja sharing of power, melainkan juga check and balance. Peran penerapan syariat Islam sangat dinantikan keberhasilannya oleh masyarakat Indonesia, di tingkat pusat dan juga lokal. Dan terbukti, institusi adat seperti Nagari di Sumatra Barat yang semula sempat tidak berfungsi saat ini kembali menjadi lembaga pelengkap pemerintahan daerah yang berfungsi 166 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. 167 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. Dan Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012) 23-46. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 249 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum melakukan pengawasan terehadap pemberlakukan ketentuan ajaran Islam. (3) Kehidupan beragama sebagai persoalan HAM; (4) Kewajiban warga negara Indonesia beragama. Ajaran agama Islam sangat menjunjung tinggi jaminan kebebasan beragama dan beribadah menurut agamanya.168 Berbicara positivisasi berarti membicarakan Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional. Oleh karenanya, perkembangan hukum Islam di Indonesia memiliki peluang yang sangat cerah dalam pembangunan hukum nasional. Sebab, secara sosio-antropologis dan emosional, hukum Islam sangat dekat dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.169 Selain itu secara historis hukum Islam telah dikenal jauh sebelum penjajah masuk ke Indonesia. Peluang bagi masa depan hukum Islam di Indonesia juga terbuka karena telah banyak aturan dalam hukum Islam yang disahkan menjadi hukum nasional. Hal ini menunjukkan adanya political will pemerintah yang memberikan respon dan peluang yang baik bagi hukum Islam. Dengan melihat realitas kedekatan, kompleksitas materi hukum Islam pada masa datang, maka peluang hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional akan lebih luas lagi. Demikian juga peran akademisi yang melakukan pengembangan dan penelitian yang konstruktif dapat menunjang perkembangan hukum Islam di Indonesia. Yang 168 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 23-48. Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. Dan Azizy, Reformasi Bermazhab,170-179. 169 Ibid. 250 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sistem Hukum, Pembangunan Hukum Dr. M. Shohibul Itmam tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang secara ikhlas mengajarkan dan tetap menyiarkan materimateri hukum Islam kepada para santri serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Semua itu secara alami akan tetap menjaga keberadaan hukum Islam di Indonesia.170 Di era reformasi ini, secara politis-yuridis telah terjadi kemajuan dengan adanya keberpihakan pemerintah terhadap positivisasi hukum Islam menjadi hukum nasional, walaupun masih terbatas di wilayah hukum privat yang berkenaan dengan ubudiyah dan muamalah (perdata Islam). Sedangkan di wilayah hukum publik (pidana Islam), sampai sekarang hanya dalam bentuk wacana para ahli hukum sebagai naskah akademis. Tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tetap mendiskriminasikan hukum Islam dalam tata hukum nasional. Sebab, secara historis hukum Islam telah teruji baik eksistensi maupun efektivitasnya dalam menjamin kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.171 Kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional memang telah diakui dan memiliki peran yang penting dalam pembangunan hukum. Hukum Islam merupakan bahan baku pembangunan hukum nasional di samping hukum adat dan hukum warisan kolonial. Hukum yang akan menjadi hukum nasional adalah hukum yang dapat memenangkan kompetisi dalam proses pembuatannya. Berdasarkan perkembangan 170 Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfB PdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw 171 Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 251 Dr. M. Shohibul Itmam Sistem Hukum, Pembangunan Hukum yang ada, dari ketiga sistem hukum yang ada di Indonesia itu dapat dinilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum Barat sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia. Sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional. Karena itu, harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukum Islam dengan positivisasi.172 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. Dan Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357 Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bY WzvCk-Uo2UVEw. 172 252 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia BAB V FAKTOR, PELUANG DAN TANTANGAN POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA A. Positivisasi Hukum Islam: Antara Peluang dan Tantangan Dalam positivisasi hukum Islam ada tiga faktor penting yang berpengaruh sebagai peluang dan tantangan yaitu, faktor politik, faktor filosofis dan faktor sosiologis yang ketiganya saling berkaitan dalam membentuk sistem hukum dan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional. Positivisasi hukum Islam terkait dengan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, trend kajian Islam moderen, pengembangan metodologi studi agama, kajian ilmu hukum Islam yang menyatu dengan ilmu hukum umum, politik hukum, menghilangkan dikotomi antara hukum sakral dan hukum sekuler dalam koteks teori hukum murni dan lain sebagainya. Atas dasar itulah kiranya juga perlu diterima ketika Satjipto Rahardjo menggagas teori hukum progresif, Barda Nawawi Arief dengan teori integral kontekstual dan Qodri Azizy dengan teori eklektisisme hukumnya serta istilah-istilah lain dari para ilmuan hukum Indonesia yang semuanya berorientasi pada perlunya membangun hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Oleh karenanya positivisasi hukum Islam di Indonesia tidak lepas dari studi terkait agama, hukum dan politik di Indonesia secara kolektif dan berkesinambungan. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 253 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Sebagai kajian positivisasi hukum Islam perlu di jelaskan bahwa studi keislaman, relevansinya dengan pembahasan tentang hubungan antara negara Islam, masyarakat Islam dan hukum positif merupakan kajian menarik dalam dekade akhir ini. Indonesia dalam peta dunia Islam merupakan fenomena keislaman tersendiri yang kadang berbeda dengan dunia Islam yang lain, baik pada aspek kenegaraan maupun kondisi masyarakatnya. Karenanya, para pemerhati dunia Islam merasa belum lengkap jika tidak menyertakan Indonesia dalam proyek kajiannya. Ada banyak hal yang membuat Indonesia harus diperhitungkan, dan karenanya layak sebagai objek kajian Islam di tingkat internasional. Selain Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia juga karena di tengahtengah kehidupan mayoritas muslim ini segala persoalan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatannya tidak didasarkan kepada suatu paham keagamaan (keislaman). Justru, yang dijadikan pandangan hidup (way of life) dan ideologi negara adalah Pancasila, sejumlah nilai dasar yang digali dari bumi Indonesia sendiri yang pada tingkat tertentu bisa menjadi titik temu dalam membangun peradaban dunia. Atas dasar itulah positivisasi hukum Islam dalam suatu tatanan negara hukum (rechtstaat) yang berdasarkan Pancasila ini, mengarah pada pemahaman bahwa masyarakat muslim Indonesia mengamalkan (sebagian) hukum ajaran agamanya (syarī’ah) dan sebagian yang lain harus tunduk kepada ”hukum negara” yang diadopsi dari Barat. Tentu saja secara simplistis dapat diasumsikan bahwa sepanjang sejarahnya, perjuangan menegakkan hukum Islam diwilayah negara Pancasila ini senantiasa mengalami masa-masa ketegangan (tension) dan bergaining of power yang cukup melelahkan, baik dengan eksponen bangsa yang lain maupun dengan kekuasaan negara 254 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam sebagai pola artikulasi relasi keduanya. Dialektika hukum Islam dengan kekuasaan politik negara Pancasila terjadi secara terus menerus sejak merintis negara ini. Pada wilayah inilah politik hukum suatu negara memegang peranan penting bahkan kadang menghegemoni dalam menentukan pelaksanaan hukum Islam khususnya era reformasi. Pada sisi lain, penting dilihat bahwa negara hukum Indonesia menganut aliran positivisme yuridis. Aliran ini menyatakan bahwa yang dapat diterima sebagai hukum yang sebenarnya hanyalah yang telah ditentukan secara positif oleh negara. Hukum hanya berlaku kalau hukum itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang (negara). Norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan rasa keadilan dalam hati nurani manusia sering kali tidak mempunyai tempat dalam sistem sosiologi hukum yang berkembang dalam masyarakat. Keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dengan demikian, tidak bebas nilai, tidak bebas kepentingan, dan tidak bebas kekuasaan (no value free, no interest free, no power free). Hukum senantiasa dipenuhi dan diliputi dengan nilai-nilai tertentu sesuai dengan kehendak perbuatannya (negara). Bahkan, secara generik arti hukum sendiri merupakan akumulasi dan formulasi dari nilai-nilai tersebut. Nilai mayoritas akan senantiasa mendominasi dengan kesadaran kolektif yang diterima bersama. Realitas inilah yang nampaknya menjadi peluang positivisasi hukum Islam. Dengan mengikuti logika ini, hukum apapun bentuk dan labelnya, memang bukan sekedar kumpulan teks-teks (pernyataan-pernyataan) semata, melainkan mempunyai tujuan, jangkauan, kehendak-kehendak sosial tertentu dan juga logika dan latar belakan di balik teks (beyond the Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 255 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi teks). Hukum tidak netral dan tidak juga objektif. Hukum diciptakan dan dibuat untuk memihak dan membela, bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan dan pengayoman bagi masyarakat demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Disini, hukum seolah-olah tunduk pada kekuatan politik, sesuatu yang seharusnya hukum berada di atas segalanya (supreme). Di sinilah perlunya meluruskan paradigma positivisasi hukum Islam dalam arti menyatu secara integral dengan hukum nasional sesuai kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Positivisasi hukum Islam berarti memberikan peran sepenuhnya kepada hukum yaitu sebagai salah satu sisi dari peran hukum sebagai a tool of social engineering. Jika dilihat secara jernih dan menyeluruh, hukum itu sesungguhnya ibarat pisau bermata dua. Di satu pihak, hukum bisa menjadi hukum yang menindas (repressive laws), tetapi di lain pihak hukum bisa membantu ke arah perubahan (facilitatif laws), atau sebagai sarana bagi perubahan sosial (agent of social change). Mengenai diskursus hukum tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial politik (negara) dimana hukum itu diciptakan, atau dengan kata lain dari konteks politik hukumnya. Atas dasar inilah penulis memahami pemikiran Mahfud MD yang menyatakan bahwa karakter suatu produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, konfigurasi politik tertentu dari suatu kelompok dominan, sebagai pemahaman yang tepat untuk merumuskan hukum sesuai kesadaran hukum nasional melalui politik hukum yang kompetitif. Kompetisi kompetensi nampaknya hal yang tidak bisa ditawar lagi dalam politik hukum nasional apalagi sejak lahirnya UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang256 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam undangan yang menjelaskan dengan gamblang khusunya Pasal 18 a-h yang intinya sangat mempertimbangkan dan mengutamakan nilai-nilai yang berkembang serta sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Inilah yang oleh penulis disebut sebagai teori ”Balapan Kompetensi”. Dalam implementasi teori “Balapan Kompensi” ini, konsep law as a tool of social engineering diramu secara kolaboratif sebagaimanana konsep Roscoe Pound namun agak berbeda sedikit dari pijakan nilai dasarnya. Konsep Pound ini didasarkan pada keadaan masyarakat Amerika yang senjang. Pound ingin memperbaiki kesenjangan ini dengan mendayagunakan hukum. Jadi, di samping berakar pada liberalisme, konsep ini juga terlalu memistifikasikan hukum. Konsep ini mengarah pada terjadinya perbaikan sosial bukan pada perubahan sosial, sama dengan pola trickle down effect (efek tetesan ke bawah) dalam strategi pencapaian kemakmuran ekonomi. Dalam konteks demikian, kendati secara tekstual diperoleh kesimpulan tidak ada keharusan pemberlakuan aturan hukum Islam melalui keputusan poilitik atau legalitas penguasa, baik berupa undang-undang (taqnīn) atau instrumen peraturan perundangundangan lainnya, namun dalam batas-batas tertentu hukum bisa dikatakan produk politik suatu penguasa atau kekuasaan. Bahkan, legitimasi ini bisa menjadi suatu keharusan, karena besarnya manfaat bagi kepastian dan kekuatan hukum secara legal-positif. Dalam ranah keilmuan, hubungan agama dan negara, Islam dan politik, atau hukum Islam dan kekuasaan politik (negara) memang selalu menjadi wacana yang menarik, baik oleh kalangan Muslim sendiri maupun para islamolog. Wacana tersebut sesungguhnya muncul berpangkal dari historisitas permulaan Islam itu sendiri, terutama pasca kepemimpinan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 257 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Rasulullah Saw. Berawal dari pertikaian politik lalu muncul firqah-firqah dalam Islam, yang sekarang sering disebut sebagai aliran teologi/kalam. Bahkan pada perkembangannya, ternyta tidak sekedar perbedaan Islam semata yang mengemuka, perbedaan dalam bidang hukum dan tafsir pun tidak kalah tumbuh subur. Fanatisme golongan dalam politik juga menjadi tak terelakkan. Golongan yang dominan dan dekat dengan penguasa politik akhirnya yang memperoleh kekuasaan dengan mudah. Atas dasar inilah positivisasi hukum Islam sesungguhnya bukan hal yang wajib dan harus seperti pedang, tetapi itu bagian dari upaya melaksanakan hal yang terkait dengan hal yang wajib sesuai kesadaran hukum mayoritas secara demokratis, yaitu kesadaran hukum Islam. Ada hal yang menarik dalam Islam di Indonesia. Meskipun agama merupakan unsur dominan di dalam masyarakat, tetapi dasar negara dan pandangan hidupnya tidak didasarkan pada agama (Islam). Menjadikan agama sebagai dasar negara untuk membentuk nation state yang mampu memayungi pluralitas selalu tidak berhasil. Pancasila tampaknya memang solusi terbaik atas persoalan ini. Selain mampu memberikan kesamaan persepsi dan memupuk integrasi atas pluralitas bangsa, Pancasila juga akhirnya diterima sebagai satu-satunya ideologi negara. Dengan demikian, dalam ranah peningkatan pemahaman hubungan antara negara Islam dengan hukum positif, diperlukan penataan hukum nasional dengan meletakkan pola pikir yang mendasari penyusunan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, penyusunan kerangka sistem hukum nasional serta penginventarisasian dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum dalam rangka pembaharuan hukum nasional, peningkatan penegakan 258 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam hukum dan pembinaan aparatur hukum, serta peningkatan sarana dan prasarana hukum sangat dibutuhkan menuju positivisasi hukum Islam di Indonesia. Selain itu pemahaman tentang pluralitas hukum juga sangat diperlukan, karena pluralitas itu pula, penerapan dan pemberlakuan hukum Islam secara ”murni” dalam pentas sosial politik Indonesia kontemporer, khususnya era Orde Baru, selalu mengundang polemik. Polemik itu tidak sekedar berkutat pada perkara teknis yuridis belaka, melainkan telah menyentuh pada arus politik yang peka. Demi menjaga komitmen atas pluralitas agama, hukum Islam ”direduksi” wilayah pemeberlakuannya sampai pada tingkat yang membuat penganut agama lain merasa tidak terancam. Posisi hukum Islam disejajarkan dengan hukum Barat dan hukum adat, sebagai subsistem dan sumber inspirasi bagi pembangunan hukum nasional. Atas dasar inilah, studi positivisasi hukum Islam ini lebih fokus pada perundang-undangan bernuansa Islam yang sudah lahir khusunya era reformasi dalam kasus tertentu (case study), meskipun kasus-kasus yang lain tidak diabaikan begitu saja sesuai politik hukum era reformasi. Sebagai contoh, pemerintahan Indonesia di bawah Orde Baru telah muncul sebagai satu rezim politik yang memiliki ciriciri khas yang membedakan dirinya dengan rezim-rezim politik sebelumnya. Ciri khas yang menonjol adalah munculnya negara (the state) sebagai aktor dominan dalam menentukan pengelolaan sosial, ekonomi, dan politik, sehingga kecenderungan yang terjadi selama lebih dari tiga dasa warsa adalah semakin lemah dan tergantungnya masyarakat terhadap negara. Hal itu menurutnya, dilakukan bukan saja lewat jaringan-jaringan patron-klien, korporatisasi negara, dan institusialisasi sosial-politik tetapi juga lewat hegemoni ideologi. Oleh sebab itu, Islam mengangap konfigurasi politik Orde Baru lebih dari Negara Otoriter Birokratis Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 259 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi (Bureaucratic Authoritarian State) di dalam masyarakat, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia bukan saja membentuk birokrasi yang otoriter dan korup, tapi juga telah mempengaruhi alam pikiran masyarakat dan membentuk struktur berpikir yang ”otoriter” dan ”korup” tersebut. Memberi predikat konfigurasi politik yang dimainkan Orde Baru nampaknya tepat dengan sebutan Negara Otoriter Birokratis. Atas dasar inilah, Mahfud MD menyebutnya sebagai negara Non-Demokratis. Konfigurasi politik rezim Orde Baru, menurut Mahfud, mengandung ciri otoriter dan demokratis sekaligus. Akan tetapi, ciri otoriternya tampak lebih menonjol. Berbeda apabila dilihat dari sejarah kelahirannya pada tahun 1966, Orde Baru lebih sejalan dengan tekadnya untuk membangun tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Bangunan masyarakat dan negara (society and state) yang akan dibangun tidak lain adalah masyarakat dan negara Pancasila. Dengan demikian dapat diketahui bahwa di dalam Pancasila dan UUD 1945 terkandung nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang luhur bagi penyelenggaraan negara. Diantaranya adalah prinsip ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial. Mempertimbangkan prinsip-prinsip ini, masyarakat dan negara Pancasila yang diidealkan Orde Baru tentu saja suatu masyarakat dan negara yang anti-otoritarianisme dan totaliterisme dalam segala bentuknya. Hal inilah yang nampaknya senada dengan tujuan proyek positivisasi hukum Islam sesuai UU No. 12 Tahun 2011 khususnya Pasal 18 tentang aspirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai penentu penting tidaknya suatu undang-undang baru bagi negara Indonesia. Namun masa sebelum reformasi tidak dilengkapi dengan piranti hukum yang mendukung secara demokratis. 260 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Secara sosiologis, diakui bahwa realitas politik Orde Baru mempengaruhi bentuk-bentuk pemahaman keagamaan di Indonesia, telebih lagi bagi agama Islam. Terbentuknya Kompilasi Hukum Islam yang di bidani oleh Depratemen Agama RI dan Mahkamah Agung RI jelas merupakan wujud pemahaman keagamaan yang dikehendaki politik hukum Orde Baru. Hukum Islam macam apa yang dibutuhkan pembangunan proyek utama Orde Baru merupakan titik tolak pengembangan pemikiran keislaman dan pembentukan hukum Islam di Indonesia idiologi Orde Baru di antaranya menuntut perubahan sosial keagamaan, dan modsernisasi umat Islam. Ini berarti suatu tuntutan untuk mengubah nilai-nilai keagamaan ”tradisional” menjadi nilai-nilai keagamaan yang ”modern”, mengubah mentalitas tradisional menjadi mentalitas modern. Termasuk bagian program ini adalah melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum nasional sebagai titik tolak politik hukum Orde Baru. Atas dasar fenomena itulah politik hukum era reformasi menunjukkan peran fungsi semua hukum, semua nilai dengan kesadaran hukum yang berkembang secara nasional. Pemerintah mengakomodasi semua nilai yang berkembang tanpa menafikan satu nilai yang bisa mengurangi keharmonisan hukum nasional dalam konteks pembangunan sistem hukum nasional. Politik hukum era reformasi jelas sangat mendukung terhadap terlaksananya proyek positivisasi hukum Islam. Argumentasi ini sekaligus memperjelas bahwa politik hukum dalam kondisi otoriter belum tentu melahirkan prodak hukum yang otoriter sebagaimana politik hukum yang demokratis belum tentu melahirkan produk hukum yang demokratis juga. Sehingga dalam konteks Indonesia terkait pembangunan sistem hukum nasional adalah akomodasi pemerintah terhadap semua nilai yang berkembang, sehingga melahirkan suatu Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 261 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi fenomena politik dimana setiap kompetensi dalam kompetisi pembangunan hukum akan diakomodir oleh pemerintah karena falsafah negara adalah demokrasi Pancasila. Model inilah yang oleh penulis disebut dengan teori Balapan Kompetensi. Dengan mengakui teori ini, maka tidak perlu adanya pembelaan oleh negara kepada agama tententu dalam politik apapun, tetapi negara membiarkan semua agama dengan memfasilitasinya secara sama sesuai dengan kompetensi dan kesadaran hukum yang berkembang. Sehingga kekhawatiran dari kelompok tertentu selalu memperoleh perlindungan dari kepastian hukum dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam bingkai demokrasi Pancasila dan UUD 1945. Teori Balapan Kompetensi ini sekaligus memperjelas bahwa tidak selamanya pemerintahan dengan politik hukum yang baik akan melahirkan produk hukum yang baik, begitu juga sebaliknya, pemerintahan yang tidak baik, otoriter dalam pemerintahanya sesuai politik hukum belum tentu melahirkan produk hukum yang negatif. Karena menurut teori Balapan Kompetensi ini semua terpulang pada kesadaran hukum masyarakat yang selalu mengalami perubahan sesuai perubahan sosial masyarakat dengan ragam faktor yang mempengaruhinya. B. Peluang dan Tantangan Perspektif Politis Membicarakan peluang dan tantangan positivisasi hukum Islam di Indonesia berarti membicarakan tiga persoalan hubungan antara agama, hukum dan politik dalam sistem ketatanegaraan yang memiliki keterkaitan, berkelindan saling melengkapi antara ketiganya.1 Persolan penting yang terkait ketiganya adalah mempertimbangkan sisi tertentu yang menjadi faktor utama 1 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju Saintifik- Moderen (Jakarta: Teraju, 2002), 173-180. 262 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam dalam tatanan hukum Indonesia, seperti politik, sosial serta ragam pemikiran yang berkembang dalam masyarakat.2 Oleh karenanya secara khusus terkait dengan politik, masyarakat memiliki kepentingan mendasar terhadap agama supaya tidak larut dalam kepentingan politik praktis. Karena keterlibatan secara praktis dalam ranah politik menjadikan agama tidak lagi menjadi panutan serta ajaran pembebas terhadap berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, namun justru berkembang menjadi kekuatan yang menindas yang bisa melahirkan otoriter secara berlebihan dalam suatu Negara.3 Meminjam pemikiran al-Raisūni4 yang mengatakan bahwa dalam Islam, kebiasaan yang terbangun dari kesepakatan melalui musyawarah merupakan faktor penting dan berpengaruh terhadap suatu hukum, maka dalam konteks positivisasi hukum Islam juga terkait dengan persoalan kebiasaan moral dalam mengamalkan ajaran serta nilai Islam melalui mekanisme politik dan musyawarah. Kebiasaan perlu dibangun selaras supaya tidak mengarahkan pada politik praktis yang berkembang menurut selera pribadi yang bisa membahayakan kehidupan umat. Hal ini dimaksudkan supaya agama dalam pembangunan hukum utamanya, dapat menjalankan peran moral tersebut, serta dapat mengatasi persoalan politik serta tidak melibatkan agama secara langsung dalam politik praktis. Bila agama terlibat terutama dalam persoalan politik, maka agama bisa kehilangan kekuatan 2 Menurut Raisuni persoalan masyarakat dipahami sebagai masalah penting umat. Umat adalah obyek utama dari tujuan yang paling dituju dari sekian program kehidupan dalam Islam. Bahkan menurutnya, semua ayat al Qur’an yang terkait selalu merujuk pada kepentingan umat, jamaah dan kepentingan umum, bukan pribadi, kelompok atau golongan. Ahmad al-Raisuni, Hukm al-Aghlabiyyat fī- al-Islām, Dirāsah Ushūliyyah (Marocco: Dar al-Baidla, 2007), 10-13. 3 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2006), 2-7. 4 Al-Raisuni, Hukm al-Aghlabiyyat, 106. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 263 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi moralnya yang berpotensi mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menekankan kehidupan dan justru menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama serta kehendak masyarakat. Oleh karenanya, kebiasaan demikian perlu mendapat bingkai secara demokratis dan kejujuran akademik.5 Sebagai lanjutan positivisasi dari sisi politik dengan aspeknya sebagai peluang dan tantangan, perlu dijelaskan bahwa Islam sebagai agama didudukkan dalam kondisi yang semestinya sebagai agama. Hukum Islam merupakan sistem tata keimanan, kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya yang secara sosiologis6 mengalami perubahan.7 Agama secara moral dan politis berada pada posisi yang benar selama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga pada saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, maka agama 5 Sehingga wajar menurut Wahid kritik atas politik hukum Islam di Indonesia berubah menjadi kekuasaan, dan kekuasaan kadang berbalik sebagai hukum yang diberi kekuatan imperatif kemudian berpengaruh membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan politik hukum negara di dalam wadah negara Pancasila. Marzuki, Wahid, 2001, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta: LKis, 2001), 28-29. 6 Menurt Azizy (2002: 32-33) faktor yang sangat menentukan terjadinya perubahan dalam hukum Islam adalah pengaruh kemajuan dan pluralisme sosial budaya dan politik dalam suatu masyarakat dan Negara. Sehingga hal ini menuntut adanya upaya penyesuaian suatu ajaran Islam dengan perkembangan sosial tersebut, saling mengisi dan memberi. Lebih jauh Azizy menjelaskan, bahwa teks atau nash wahyu sangat terbatas sedangkan persoalan dan permasalah yang timbul akan selalu berkembang. Argumentasinya, perubahan suatu tuntutan semua pihak termasuk perubahan pemikiran para pemeluk agama terutama mujtahidnya. Azizy, Reformasi Bermazhab, 173- 174, dan A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi Hukum Islam dan Hukum Umum (Jakarta: Gama Media, 2003), 47. 7 Azizy, Reformasi, 31-33. Dan Ahmad al-Raisuni, Madkhal Ila Maqāṣid al-Syarīah (Marocco, Rabat: Dar al-Aman, 2009), 62-66. 264 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam jatuh dalam posisi yang salah dan berbahaya.8 Dalam konteks demikian, maka positivisasi terkait dua hal penting yang menjadi wacana diskusi akademik. Pertama, memahami agama dalam arti tradisi, nilai dalam masyarakat untuk membentengi setiap kecenderungan, kekuatan politik yang berkembang, sehingga agama dapat menjadi kekuatan pembebas dan bukan sebaliknya karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan politik.9 Kedua, agama dapat memainkan peran moral untuk ikut Mazuki Wahid, “Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur,” diakses pada 21 Juni 2012 dari http: // www. gusdur. net/ Opini/ Detail/ ?id = 238/h l= id/ Inspirasi _Dari_ Pemikiran_Gus_Dur. Menurut Wahid (2012: 2-3) manusia adalah makhluk yang tidak bisa dipisahkan dari lainya. oleh karenanya membutuhkan kerjasama mereka untuk melangsungkan kehidupan dengan lancar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus bekerja keras sehingga kebutuhan mereka dapat terpenuhi baik kebutuhan primer maupun sekunder. Ketika kebutuhan mereka tidak terpenuhi secara wajar, maka akan timbul konflik dalam dirinya sehingga mengakibatkan jiwa mereka akan tergoncang dan memerlukan penanganan secepatnya. Untuk menangani penyakit yang berhubungan dengan mental misalnya, banyak yang menggunakan cara pengobatan tradisional dan modern. Akan tetapi dari berbagai kasus yang ada justru banyak penderita kejiwaan yang disembuhkan dengan pendekatan agama atau kepercayaan. Hal ini membuktikan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertuhan dan akan kembali kepada tuhan pada suatu saat. Sehingga ketika mereka terhimpit permasalahan batin mereka akan lari kepada agama dan menemukan jawaban dari permasalahan yang mereka hadapi. 9 Menurut Amal kekuatan-kekuatan politik Islam dalam aksi politik di refleksikan dari syariah Islam sebagai idiologi politik yang dahulunya lahir untuk melawan kolonialisme dan dalam perkembangan selanjutnya lahir sebagai partai politik, menjadi kekuatan- kekuatan sipil, melawan pemodal asing atau neoliberalisme dan bahkan sebagai kekuatan politik untuk mempertahankan dan menjalankan agama Islam ketika mendapat ancaman dari dalam maupun dari luar. Karena ajaran syariah Islam yang di terjemakan secara berlebihan untuk melawan manusia yang lain yang dalam perspektif Islam di anggap kafir maka perlu di bunuh dengan cara kekerasan tentunya menjadi perhatian serius negara dan dunia internasional dengan pertimbagan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan apapun tindakan yang hendak di ambil dalam menjalankan syariah Islam penting menyesuaikan diri dengan hukum negara Indonesia. Taufiq Adnan Amal, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 36-45. 8 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 265 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menyimpang dan menekan kehidupan masyarakat.10 Dalam konteks Indonesia, dua hal tersebut menjadi penting terutama dalam mengawal umat Islam supaya memiliki pemahaman yang cukup tentang proses politik sebagai kontrol perkembangan masyarakat.11 Tanpa adanya pemahaman atas proses politik, sulit untuk membentengi dari pengaruh luar karena proses pemahaman tersebut akan menimbulkan kepekaan nurani sekaligus menimbulkan suatu perencanaan bagaimana politik yang seharusnya dan diharapkan, dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan terutama menyangkut rasa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.12 Sebagai konskuensinya, tidak mengerti persoalan politik dapat menyebabkan umat Islam dibodohi oleh kepentingankepentingan dan muatan-muatan politik yang tidak jelas arahnya. Pembodohan terhadap masyarakat dapat menimbulkan perubahan besar tanpa kontrol kebijakan dari masyarakat. Jadi usaha menjadikan agama supaya tidak dikotori dan diberi muatan politik tidak berarti agama harus mengalami pendangkalan Ahmad Gunaryo, Pergumulan Pergumulan Politik dan Hukum Islam (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), kerjasama Pascasarjana IAIN Walisongo, 25-29. Dan Azizy, Reformasi, 173-175. 11 Secara historis, akar Islam sebagai kekuatan politik sebelumnya ada pada gerakan sarekat Islam (SI) yang menjadi satu-satunya alat perlawanan penjajah. Setelah kemerdekaan Indonesia gerakan sarekat Islam melahirkan partai politik masyumi dan NU. Namun karena kepentingan politik yang berbeda presiden sokarno mengeluarkan keppres nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan masyumi dan partai sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh masyumi dan PSI. Jika dalam waktu seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah ketua umum masyumi, Prawoto Mangkusasmito dan sekjennya Muhammad Yunan Nasution mengeluarkan pernyataan politik membubarkan masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah saat itu (Amal, 2004: 24-46). 12 Wahid, “Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur,” 1-3.. 10 266 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam fungsinya sebagai agen pembebas. Justru pemahaman atas proses politik diperlukan karena agama memiliki peran penting terhadap nilai-nilai moral dan spiritual yang mampu memberikan muatan bagi politik, bukan sebaliknya. Selain itu, pemahaman atas sistem politik, baik yang menyangkut masalah ekonomi atau sosial menjadi semakin penting bagi setiap individu karena bagaimanapun juga, berbicara mengenai Islam adalah berbicara mengenai bagaimana memahami problem dan solusinya. Lebih fokus lagi, Islam dapat kehilangan akarnya bila tidak sanggup menyesuaiakan dan peduli dengan persoalan dunia dengan dinamikanya yang kompleks.13 Memahami dan menyelesaikan problematika hukum Islam terkait masalah politik14 tidak semudah memahami penderitaan pada zaman Nabi dan sahabat, apalagi terkait upaya positivisasi hukum Islam dalam suatu negara yang sangat pluralis seperti Indonesia. Masyarakat sekarang tidak seburuk dengan sistem yang sekarang dipakai oleh pemerintah. Menurut Latief15 bahwa asumsi yang terbangun menjelaskan semua usaha reformasi Azizy, Reformasi, 31-34. Problem umat Islam sejak abad ke-16 khususnya, penduduk Nusantara – terutama kaum Muslim mendapat musibah yang hingga kini masih berdampak, bahkan ada kecenderungan dilestarikan oleh para elitnya. Musibah dimaksud adalah kehadiran imperialisme Barat dengan berakibat keterbelakangan bangsa ini, serta konflik intern yang sudah ada sejak pra kolonial atau juga sebagai akibat taktik devide et impera kolonial yang menyisakan sosok-sosok anteknya. Musibah tersebut mungkin merupakan peringatan keras dari tuhan sebagai balasan tidak atau kurang amanahnya bangsa ini. Indonesia dengan wilayah luas, kaya dengan sumber alamnya dan letak strategis telah diperlakukan dengan ceroboh oleh penghuninya. Ironisnya kaum Muslim sebagai penduduk mayoritas dengan sikap mentang-mentang dan kurang menilai anugrah Tuhan sebagai amanat dan tanggung jawab mereka. konflik sesama, praktek korupsi, pelanggaran hak asasi, pencemaran lingkungan dan ekploitasi sumber alam secara rakus oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. 15 Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 112-120. 13 14 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 267 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi telah gagal selama empat belas tahun yang sudah berjalan. Sistem yang ada juga belum terlalu mengena tujuan reformasi. Sehingga perubahan seseorang masih dapat memberikan pengaruh besar terhadap lingkungan sekitarnya dengan sosio kulturnya yang berkembang selama mendapat dukungan sosial dari warga setempat.16 Pembenahan melalui reformasi dan positivisasi hukum Islam menyangkut seluruh bagian dari suatu sistem yang pincang dan tidak demokratis yang berjalan hingga sekarang. Melalui upaya ini, sistem yang cenderung menimbulkan kecenderungan saling berebut dan menjatuhkan dalam demokrasi yang tidak sehat perlu ditemukan solusinya secara tepat. Hal ini, perlu memperjelas sistem yang berlangsung, tapi bukan membenci personal yang terlibat dalam sistem tersebut. Oleh karena itu pemahaman atas sistem politik maupun ideologi menjadi sangat penting. Usaha untuk mengatasi penghancuran lingkungan, ketidakadilan, dan berbagai kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi, misalnya, jelas menjadi tugas seorang Muslim. Dengan demikian, umat Islam tidak boleh berhenti untuk menyadari bahwa setiap komitmen moral yang dimiliki terhadap usaha pembebasan17 dan penderitaan yang memang sesungguhnya bersifat politis.18 Amal, Politik Syariat Islam, 32-59. Kesempurnaan ajaran Islam itu telah menjadi pusat perhatian manusia di masa lalu dan juga di masa sekarang serta demikian juga halnya di masa yang akan datang. Pusat perhatian tersebut di antaranya disebabkan semua ajaran Islam mengandung seruan pemebesan diri masnusia dari berbagai bentuk penjajahan, pengabdian dan perbudakan selain kepada Allah dan mengarahkannya hanya kepada Allah sang pencipta. Demikian juga dengan ajaran-ajaran Islam yang lain, semuanya mengarah kepada pembebebasan manusia dari berbagai bentuk perbudakan, penindasan, penghambaan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia atau setan terhadap manusia lainnnya agar manusia bebas dan merdeka, kemudian merasakan kenikamtan, keadilan, keselamatan dan kesejahteraan dunia akhirat. 18 Ahmad Zainal Abidin, Membangun Negara Islam (Yogyakarta: Pustaka Iqra’, 2001), 3-22. Dan Latief, Negara, 12-38. 16 17 268 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Mengatasi problematika memang merupakan komitmen moral, tapi melakukan perubahan struktural yang tidak demokratis agar rakyat terbebas dari struktur sosial yang menindas dan banyak menimbulkan penderitaan, maupun yang melanggengkan ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat juga merupakan keputusan serius dalam ranah politik. Jadi jelas, pembebasan persoalan tidak dapat dipahami hanya dalam konteks pribadi, karena Islam selain memberi sarana bagi pembebasan pribadi, juga melapangkan jalan bagi pembebasan sosial dan lingkungan sesuai perkembangan dan tuntutan kehidupan sosial. Upaya ini mebutuhkan ketegasan politik pemerintah dalam menjaring aspirasi melalui komunitas yang terwakili dalam bingkai demokrasi. Disinilah letak peluang strategis politik dalam konteks posistivisasi hukum Islam di Indonesia.19 Berdasarkan penjelasan di atas, terkait positivisasi hukum Islam, maka persoalan tentang agama dipilih sebagai persoalan sederhana namun luas meliputi semua sendi kehidupan yang dipertaruhkan dalam gelanggang parlemen. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur kehidupan rohani manusia dan sosial yang berpengaruh terhadap permainan di tingkat parlemen. Untuk itu, sebagai agama perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaan20 yang Abidin, Membangun, 13-47. Dan Azizy, Eklektisisme, 178-185. Upaya ini bisa dilakukan dengan dialog antar agama. Semua ini tidak bisa terwujud tanpa adanya dialog antar pemeluk agama secara intensif dan berkesinambungan. Tentu saja yang dimaksudkan dengan dialog di sini bukanlah upaya mengonversi pihak lain untuk memeluk agama kita; bukan usaha menyatukan semua ajaran agama menjadi satu agama; bukan beradu argumentasi antar pelbagai pemeluk agama hingga ada yang menang dan ada yang kalah; dan bukan pula meminta pertanggungjawaban orang lain dalam menjalankan agamanya. Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama dalam kedudukannya yang setaraf dan sederajat tanpa merasa lebih baik atau lebih tinggi daripada yang lain, serta tanpa tujuan yang 19 20 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 269 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi berdampak paa gerakan sosial. Dalam kontesk ini, konstelasi politik mempunyai peranan signifikan dalam mengakomodir semua kepentingan dalam pertarungan demokrasi yang memperoleh pengesahan legislatif meskipun hal ini tetap menimbulkan polemik di tengah pluralitas bangsa Indonesia.21 Dengan demikian, bisa dipahami bahwa agama dalam konteks positivisasi hukum Islam, persoalan politik merupakan penghambaan manusia sebagai warga negara kepada Tuhannya yang terwakili melaui kebijakan negara melaui mekanisme legislasi. Dalam pengertian yang lebih konkrit, agama Islam dalam arti hukum Islam mempunyai tiga unsur; manusia, proses penghambaan dan Tuhan. Ketiganya saling melengkapi dalam keterkaitan utuh dalam upaya positivisasi. Sehingga suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut hukum Islam. Dengan memposisikan nilai agama Islam dalam pengertian implementatif demikian, akan dapat memberi peluang besar terhadap upaya posistivisasi hukum Islam di Indonesia dengan peranan proses politik sebagai startegi yang dilakukan oleh umat Islam dalam bernegara.22 Terkait positivisasi hukum Islam di Indonesia, memang tidak bisa lepas dengan persoalan ragam kepentingan yang berkembang dalam suatu masyarakat. Perbedaan pandangan melalui aspirasi kelompok tertentu dalam masyarakat dirahasiakan. Dialog lebih merupakan komunikasi antar penganut agama dan jalan bersama untuk mencapai tujuan dan kerja sama dalam projek-projek yang menyangkut kepentingan bersama. Dialog semacam ini menuntut para peserta dialog untuk dapat menghormati, bersedia mendengar, tulus, terbuka, mau menerima pendapat orang lain, dan mau bekerja sama dengan orang lain. Abdul Rahman Wahid, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), 23-37. 21 Mahfud, Membangun, 18-21. 22 Azizy, Eklektisisme, 172-180. Dan al-Raisuni, Madkhal, 62-66. 270 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam memerlukan strategi dalam menyatukan persepsi.23 Untuk itu, upaya positivisasi membutuhkan kerjasama kompromi dalam suatu musyawarah konstitusi melalui pengesahan pemerintah, legislasi dengan undang-undang.24 Munculnya tudingan atas kejahatan dari suatu partai terhadap partai lain merupakan hal yang dipahami secara wajar, sebagai pendewasaan pola berfikir dalam bingkai demokrasi sebagai sistem yang diakui bersama dalam pembangunan negara Indonesia.25 Terkait positivisasi hukum Islam, menurut Hariyanto,26 hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Keduanya terkait dalam membentuk suatu model pola fikir masyarakat tertentu sesuai kehendak sistem tata negara tertentu. Dalam konteks demikian, hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan, sebaliknya politik yang Menurut Latief agenda politik bersama umat Islam yang harus segera diselesaikan dengan beberapa cara antara lain, pertama menyediakan komponen strategis dengan mengkalkulasi, memperhitungkan seluruh unsur potensi kekuatan Umat Islam. Kedua, meletakkan dasar kebersamaan, kolektivitas dan unitas jama’ah dan jami’ah, diantara umat Islam, dengan visi politik yang dijiwai oleh semangat keterbukaan dan demokratisasi, serta yang juga menjangkau wajah perekonomian, hukum, sosial, budaya dan moralitas angsa dan negara. Komponen politik strategis yang perlu disiapkan. Pertama, kesamaan visi dan persepsi politik yang akan menjadi garis kebijakan politik bersama Umat Islam. Kedua, instrumen politik, sarana dan prasarana infrastrukturnya yang dapat bekerja sebagai mesin politik umat Islam. Ketiga, masa pendukung dengan kadar intelektual dan kesadaran politik yang memadai sebagai motor penggerak perubahan. Keempat, pemimpin umat yang bisa diterima secara kolektif oleh semua pihak. Kelima, media massa yang berpihak pada umat Islam. Yudi Latief, Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009). 24 Azizy, Eklektisisme, 173-183. 25 Latief, Menyemai Karakter Bangsa, 35-39. 26 Muchsin Hariyanto, “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam Bidang Ekonomi”, 2-3. Diakses pada 28 November 2012 dari, http://muhsinhar. staff.umy.ac.id/politik-hukum-dalam-positivisasi-hukum-islam-bidang-ekonomi/ 23 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 271 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan. Namun sebaliknya, semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan, karena luasnya perbedaan yang berkembang dalam Islam. Pendek kata, Islam dan politik adalah dua hal yang saling terkait.27 Peluang positivisasi hukum Islam sangat tergantung pada kesiapan umat Islam.28 Ketika umat Islam kuat secara politik, dengan city state Madinah, hukum Islam dan politik dapat menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, meski tanpa menyebut secara tegas hukum Islam sebagai pedoman negara. Negara Madinah dengan piagam madinah, malah tidak disebut sebagai negara Islam. Namun, konstitusi negara tersebut, sanggup mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat yang majemuk dalam pluralitas keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.29 Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum (Jakarta: BP. IBLA, 2004), 24-32. Menurut Bisri dalam kesiapan ini perlu memperjelas hubungan antara hukum Islam dan kekuasaan negara mengacu pada konstitusi yang berlaku, yang dioperasionalisasikan dalam wujud politik hukum yang diterapkan. Apa yang kemudian dikenal sebagai adatrechts politiek atau receptio in complexu theorie dan receptie theorie, merupakan suatu deskripsi tentang politik hukum yang diterapkan oleh penguasa negara. Dalam kondisi Indonesia merdeka, ketika negara didirikan atas dasar suatu kesatuan kebangsaan, kemudian dikenal politik hukum nasional. Hal itu muncul sebagai suatu gagasan untuk menggantikan hukum kolonial (Lihat: GBHN 1999) yang dipandang tidak cocok dengan alam kemerdekaan dan kebudayaan bangsa. Politik hukum tersebut merupakan suatu keputusan kekuasaan negara tentang hukum yang berlaku secara nasional dan ke arah sistem hukum yang dianut serta dikembangkan. Cik Hasan Bisri,Transformasi Hukum Islam (Bagian Ketiga: Politik Hukum Nasional), 2012, 2. Diakses pada 28 November 2012 dari, http://www. fshuinsgd.ac.id/ 2012/ 04/ transformasi – hukum – islam – bagian - ketiga-politik-hukum-nasional/ 29 Muhsin Hariyanto, “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam Bidang Ekonomi”, akses pada 28 November 2012 dari, http:// muhsinhar. staff. umy. ac. id/ politik-hukum-dalam-positivisasi-hukum-islam-bidang-ekonomi/ 27 28 272 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Dalam konteks positivisasi hukum Islam sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 secara tegas dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka ketentuan ini merupakan pernyataan betapa hukum itu sangat menentukan dalam pelaksanaan kenegaraan. Selain itu ketentuan ini juga mengandung pengertian segala sesuatu di negeri ini mesti berdasarkan hukum. Sebagai contohnya adalah semakin menguatnya status bank dalam bidang ekonomi syariah yang secara yuridis memperoleh legislasi hukum pemerintah.30 Sebagai contoh, positivisasi hukum Islam di bidang ekonomi telah dimulai sejak muncul Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yang diamandemen Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 kemudian berlanjut tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.31 Secara umum, dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai Perbakan Syariah pada umumnya dibuat berdasarkan asumsi-asumsi ideologis menyangkut relasi antara Islam dan negara serta pertanyaan mengenai seberapa jauh Islam dapat berperan di ruang publik. Asumsi-asumsi tersebut tidak berlaku permanen namun selalu berubah sesuai kepentingan sosial dan politik nasional melalui dinamika komunikasi politik antara umat Islam dan Negara.32 Dalam sejarah tumbangnya orde baru, peluang politik hukum Islam semakin terbuka lebar yang ditandai dengan Ibid. Dan Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Balai Pustaka, 2000). Meskipun pada awalnya undang-undang perbankan syariah menimbulkan polemik, bahkan terutama dikalangan umat Islam sendiri karena adanya pandangan yang berbeda tentang sunstansi bank dengan ribanya, namun akhirnya upaya ini menemukan titik terang dengan adanya pengesahan legislasi terhadap undang-undang syaria’ah tersebut. Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum (Jakarta: BP. IBLA, 2004), 34-40. 32 Latief, Menyemai Karakter Bangsa, 2-4. 30 31 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 273 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi sikap permisif negara terhadap Islam.33 Momentum besar ini menjadi latar belakang masalah yang menggugah untuk untuk pengembangan hukum Islam Indonesia mengenai kebijakan negara terhadap hukum Islam seperti dalam bidang ekonomi syariah. Nampaknya, peluang positivisasi hukum Islam pada bidang yang lain juga sangat besar, bahkan mempunyai masa depan cerah terutama dakam masalah pidana dan lainnya.34 Pemberlakuan hukum Islam melalui proses positivisasi hukum Islam dalam konteks hukum syariah diterima oleh negara dalam peraturan perundang-undangan positif yang berlaku secara nasional. Aspek hukum perbankan syariah, khususnya di Indonesia merupakan bidang yang baru di bidang ilmu hukum dan masih memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan ilmu-ilmu hukum yang lain di masa mendatang.35 Sementara itu, menurut Bisri,36 terjadi interaksi intensif antara hukum nasional dengan hukum Islam yang kemudian menjadikan bidang ilmu ini sangat menantang dari aspek hukum maupun dari aspek politik. Menurutnya, transformasi asas-asas hukum tanpa menggunakan label hukum Islam, tetapi diserap ke dalam hukum nasional. Transformasi hukum Islam ke dalam produk hukum nasional dalam interaksi antara kelompok elite Islam, ulama bebas, pemimpin organisasi Oleh karenanya Bisri menjelaskan politik hukum merupakan produk interaksi di kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial dan budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastuktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar. Demikian pula sebaliknya. Hal itu terlihat dengan jelas dalam perjalanan sejarah masyarakat bangsa Indonesia, baik pada masa kesultanan Islam dan masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan hingga kini. Bisri,Transformasi Hukum Islam, 2-4. 34 Muchsin, Ikhtisar, 44-39. 35 Ibid., 24-38. 36 Bisri, Cik Hasan, Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan (Rosda Karya, Bandung, 1991), 138. 33 274 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam kemasyarakatan, pejabat agama dengan pendekatan fraksifraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan pembahasan intensif di kalangan mereka. Perkembangan dari peraturan perundang-undangan dan regulasi di bidang perbankan dan keuangan syariah belum diikuti secara memadai oleh studi ilmu hukum. Interaksi antara hukum nasional dan hukum Islam tersebut telah menjadikan bidang ilmu hukum ini menarik untuk dikembangkan, terlebih setelah sekian lamanya dalam dominasi hukum Barat sebagai sumber-sumber hukum nasional. Ilmu hukum Indonesia dihadapkan untuk melihat hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum utama dalam menciptakan hukum sesuai kesadaran hukum Indonesia, seperti yang terjadi dalam hukum perbankan dan keuangan syariah. Keberhasilan pengembangan ilmu hukum perbankan, keuangan syariah ini dapat menentukan keberhasilan pengembangan ilmu-ilmu hukum lainnya yang bersumberkan dari nilai agama Islam.37 Dengan demikian, dalam konteks positivisasi, penerapan hukum Islam dalam kegiatan perbankan, keuangan atau kegiatan ekonomi lainnya yang modern bukanlah pekerjaan yang sederhana sekaligus masalah urgen mendasar bagi bangsa.38 Dalam konteks seperti di atas, studi mengenai Muchsin, Ikhtisar, 34-40. Menurut Bisri ada beberapa catatan tentang transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional. Pertama, urgensi transformasi itu berkenaan dengan potensi dan peluang untuk menjadikan hukum Islam sebagai kaidah kehidupan masyarakat bangsa yang sebagian besar memeluk agama Islam. Hal tersebut lebih cocok dengan kemerdekaan dan sejalan dengan nilai budaya yang dianut masyarakat bangsa yang terdiri atas berbagai masyarakat etnis. Dengan demikian hukum Islam memberi kontribusi terhadap perlindungan, kepastian dan ketertiban hukum, baik bagi Muslim maupun non-Muslim. Hukum Islam dapat menggantikan dominasi hukum Barat karena telah berakar dalam masyarakat. Bisri,Transformasi Hukum Islam. 37 38 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 275 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi hukum perbankan syariah atau hukum keuangan syariah menjadi suatu studi yang menarik dan menantang untuk dunia hukum di Indonesia dimana hukum positif (hukum yang berlaku) di negara Indonesia berbeda dengan yang berlaku dengan hukum agama Islam.39 Pemberlakuan hukum Islam melalui proses positivisasi hukum Islam merupakan persoalan politis yang penuh dengan peluang dan tantangan. Dalam hal ini, hukum syari’ah misalnya dapat diterima oleh negara dalam peraturan perundang-undangan positif yang berlaku secara nasional. Argumentasinya, perkembangan perbankan syariah banyak ditentukan oleh dinamika internal umat serta hubungan yang harmonis antara umat Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif, yang tidak memusuhi, memungkinkan berkembannya perbankan syariah. Selain itu demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi politik Islam secara konstitusional. Sehingga politik dalam bidang Ekonomi Syariah ditentukan oleh proses integrasi, nasionalisasi gagasan sosial politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Peluang ini sangat besar untuk mengarah pada hukum-hukum lain dalam semangat demokrasi Pancasila.40 MenurutMasruhan41bahwadenganamandemen,perubahan UUD 1945 telah memunculkan perubahan dalam pembangunan yakni tidak dibuatnya GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional. Namun, ada pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dengan undang-undang. Sedangkan Sistem Perencanaan Ibid. Hariyanto, “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam Bidang Ekonomi”. 41 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. 39 40 276 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Pembangunan Nasionalnya menggunakan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Sasaran perencanaan pembangunan nasional di bidang politik dan hukum periode tahun 2004-2009 adalah terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif termasuk pembidangan wilayah bias gender. Hukum berpihak pada realitas basis sesuai karakter Indonesia. Untuk itu perlu upaya penjaminan konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, kelembagaan peradilan serta penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat.42 Menurut Azizy43 dengan kerangka hukum model demikian, arah kebijakan pembangunan nasional di bidang politik dan hukum tahun 2004-2009 merupakan pembenahan sistem dan politik hukum dalam setiap lima tahun untuk memperbaiki materi, struktur, dan kultur hukum yang dijabarkan ke dalam program-program pembangunan berikut,44 sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Program perencanaan hukum untuk menciptakan persamaan persepsi para pelaku pembangunan terutama di bidang hukum untuk mengantisipasi isu-isu strategis dan global agar penegakan dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan. Model ini dapat 42 Ibid. dan Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011). 43 Azizy, Reformasi, 174-170. 44 Menurut Gunaryo persoalan ini muncul sebagai reaksi atas reformasi yang menyuarakan banyak kebebasan termasuk berpolitik karena sekian lama terbelenggu dalam rezim orde baru. Sehingga berbagai daerah sempat mengusulkan diadakannya formalisasi-formalisasi Islam termasuk kasus yang ramai di Aceh Darussalam waktu itu. Gunaryo, Pergumulan, 320. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 277 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi melahirkan produk kebijakan, materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, mengandung perlindungan dan penghormatan HAM serta berlaku efektif dalam masyarakat dalam kurun waktu lima tahun berikutnya. Kedua, menciptakan perangkat peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi untuk mengatur perilaku individu dan lembaga serta menyelesaikan sengketa. Ketiga, Program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya untuk memperkuat lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana terpadu yang melibatkan antara lain MA, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Lembaga Pemasyarakatan dan praktisi hukum untuk mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat.45 Dengan pemaparan posistivisasi hukum Islam dari sisi politik, maka proses tersebut sesungguhnya berpengaruh signifikan terhadap masuknya nilai hukum hukum Islam ke dalam hukum nasional. Hukum Islam dengan strategi politik mempunyai peluang yuridis yang terkait dengan kesiapan, pemahaman umat Islam akan ajaran dan nilai Islam seirama dengan kesadaran demokrasi Pancasila.46 Selain itu, kesepakatan politik antara kepentingan yang berkembang di legislatif turut menentukan proses tersebut supaya pertentangan politisi pada tingkat parlemen mengkristal pada kesepakatan perlunya membumikan nilai hukum Islam melalui legislasi. Peluang dan tantangan bidang politik sekaligus merupakan problem internal umat Ibid., 320-330. Wahid juga menjelaskan kritik atas politik hukum Islam di Indonesia. Dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menghargai dan menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, menjaga kesatuan dan persatuan, berwatak demokratis dan kemanusiaan. Wahid, Fiqih Mazhab Negara, 320-330. 45 46 278 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Islam dalam pengembangan makna fiqh konteks Indonesia yang ditransformasikan melalui kepentingan partai. C. Peluang dan Tantangan Perspektif Sosiologis Sebagai lanjutan dari persoalan positivisasi hukum Islam, maka perlu dijelaskan persoalan sosial47 yang merupakan masalah serius yang berkelindan dalam upaya tersebut.48 Persoalan ini terkait dengan persoalan ajaran nilai agama dalam masyarakat yang berkembang dalam memahami hakikat hukum nasional yang merupakan masalah mendasar terkait dengan fungsi sosial agama. Para sosiolog dan ekonom telah kehilangan kesadaran akan betapa pentingnya unsur-unsur yang tidak tampak dari manusia, terutama aspek moralnya, sehingga perlu dialektika hukum Islam dengan modernisasi serta pembangunan social.49 Sebagaimana institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi yang sangat urgen bagi masyarakat.50 Fungsi ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya terkait moralitas dan akhlak.51 Sehingga secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh Munurut Hendropuspito melalui pendekatan sosial, agama terkait persoalan Sosial. Meskipun demikian jangan sampai salah sangka dalam menyepelekan iman dan ibadah. Pelaksanaan dimensi sosial tidak berarti kalau tidak dilandasi iman dan melaksanakan ibadah mahdlah. 48 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKis, 2005), 137-139. 49 Ibid., 137-138. 50 Di antara fungsi agama adalah menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan. Fungsi-fungsi partai politik dalam Negara demokrasi adalah melaksanakan fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi dengan modal utamanya dalam pemilu. Salah satu bentuk keterikatan primordial itu adalah munculnya partai-partai Islam. Partai yang menggunakan Pancasila sebagai dasar ideologinya, tetapi pada saat yang sama menggunakan asas lain sebagai kepentingan politik kelompok. 51 Amin Ahmad, Etika Ilmu Akhlaq (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). 47 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 279 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi yang menyatukan, Integrative Factor, dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecahbelah, desintegrative factor .52 Pembahasan tentang fungsi agama cukup banyak, sehingga fokus kajian disini dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat. Dua hal inilah yang nampaknya terkait dengan proyek positivisasi hukum Islam di Indonesia. Dengan memposisikan nilai hukum Islam khususnya sebagai fungsi kontrol dan rekayasa sosial masyarakat sesuai spirit hukum Islam. 1. Fungsi Integratif Agama Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilainilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilainilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat. 52 Gunaryo, Pergumulan. Dan Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi,” diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer? A = v&q = cache: 0zc 1QFZfE S4J: digilib. uns. ac. id/abstrak. pdf. php? d_id%3D14171 + positivisasi + hukum + islam + di + indonesia &hl = id&gl = id&pid = bl&srcid = ADGEESg 7WDT_ PhI-4YofCc V-- J9z3cZbrf—Qw 9RPW3ACQUr0 AlB2 FsIYfl 4voE0Fz_h DC6tom IwKrzy NH Cpp LB0 so CWCs UDXT 42S8l4 fwL 5e VMw O6bt X0 DAkh Sb Wxo Hqtr 43o BQMB j& sig = AHIEtb RMW AhSPz VTX5Mc5dhMAX6Pd5geRw 280 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, memiliki fungsi53 dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia. Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia.54 Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas, Hendropuspito mengungkapkan beberapa fungsi agama antara lain sebagai berikut: a. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian. b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat di tengah kondisi ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dihadapi manusia.55 53 Agama digunakan sebagai istilah untuk menyebut kelompok- kelompok terorganisasi, komunitas iman maupun ritual, dalam perkembangan dan perubahan sosial dan kebudayaan di negara-negara Barat dalam beberapa dekade sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan sosial manusia. 54 Agama terutama Islam meyakini bahwa, kebenaran agama termasuk perkara yang bersifat qaṭ’ī, thawābit dan badīhiy/pasti, tetap dan jelas (min al-umūr al-ddarūriyah fī al-dīn) yakni termasuk di antara perkara-perkara agama yang bersifat dhloruriyah (suatu keharusan) karena telah disepakati dan didukung oleh seluruh ulama’ sepanjang masa lebih-lebih oleh salafus salih berdasarkan nas-nas yang jelas dan tegas (PP. Muhammadiyyah, 2012). 55 Sebagai seorang Guru Besar kedokteran Fanani menjelaskan bahwa, aspek spiritual yang mempengrauhi kesehatan jiwa dapat termasuk di dalamnya aspek agama. Karena peran agama masih tergolong baru dalam psikiatri, maka perlu dijelaskan beberapa pendapat serta hasil penelitian yang menunjukkan korelasi antara pemahaman keagamaan, kepatuhan terhadap prinsip keagamaan, serta rutinitas pelaksanaan aktivitas peribadatan dengan kesehatan jiwa. Menurutnya, orang yang mengaku beragama dan memiliki konsekuensi tinggi, maka akan memiliki Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 281 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas kepentingan individu dan disiplin kelompok di atas dorongan hati individu. Dengan demikian, agama berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas. d. Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada masyarakat yang mapan. e. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peran serta manusia dalam ritual agama dan do’a, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan dan mobilitas sosial yang berlangsung cepat, sumbangan agama terhadap identitas menjadi semakin tinggi. Salah satu contoh tentang hal ini dikemukakan oleh Will Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di tahun 1950-an, dimana salah satu cara penting dari orang Amerika membentuk identitasnya adalah dengan menjadi salah satu anggota dari “tiga agama demokrasi”, yaitu: Protestan, Katholik, dan Yahudi. keterikatan pikiran dan emosi dengan keyakinan atau agama beserta aturanaturan atau syariat yang ada di dalamnya. Agama mempunyai makna yang penting bagi manusia karena iman dapat berfungsi sebagai penghibur dikala duka serta sumber kekuatan batin saat manusia menghadapi kesulitan. Muhammad Fanani, Agama sebagai Salah Satu Modalitas Dalam Terapi, diakses pada 30 November 2012 dari http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=456 282 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam f. Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.56 Dari beberapa fungsi yang dijalankan oleh agama di atas, dalam konteks positivisasi hukum Islam, nampak bahwa nilai agama memiliki peran yang urgen57 tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu, agama berperan dalam mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas.58 Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.59 Dengan model Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 89-120. Menurut Fuad grand design wacana urgensi hukum Islam sebagai upaya membumikan nilai-nilai fiqh klasik secara holistik teopassing dengan stressing pada perkembangan sosial. Namun demikian, nuansa pemberdayaan empowering dalam kreasi ijtihad hukum yang diajukan ini cukup sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKis, 2005), 4. 58 Dalam konteks demikian, juga menjelaskan bahwa agama mempunyai potensi untuk dilembagakan sebagai pranata yang disepakati bersama dalam upaya menertibkan kepentingan sesame umat beragama (Hendropuspito, Sosiologi Agama, 27). Artinya potensi ini seirama dengan upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia yang tidak menyepelekan persoalan sosiologi agama. Azizy, Reformasi, 173-174. 59 Lebih jauh Fanani menjelaskan adanya ketahanan sistem iman dapat ditingkatkan salah satunya dengan komitmen agama yang tinggi. Daya tahan mental juga akan lebih baik karena dengan agama orang akan memiliki positive thinking, self control & self esteem yang baik dan merasa menjalani hidup dengan penuh makna. Komitmen terhadap agama secara klinis dapat berperan sebagai sarana promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif terhadap gejala depresi, ansietas, penyalahgunaan obat serta perilaku antisocial. Selain itu, materi kuliah 56 57 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 283 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi penyatuan pengaruh agama terhadap fenomena sosial inilah akan berpengaruh secara sinergis terhadap proyek psitivisasi hukum Islam di Indonesia. 2. Fungsi Disintegratif Agama Positivisasi yang terkait persoalan agama, khususnya hukum Islam, mempunyai peluang yang tidak selamanya baik secara sosiologis. Dalam konteks ini, agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat. Pada saat yang sama, agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Sehingga pembicaraan tentang fungsi disintegratif agama lebih memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama.60 Puspito menjelaskan bahwa setidaknya ada empat bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:61 Pertama, perbedaan doktrin dan sikap mental. Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta agama di Fakultas Kedokteran tidak hanya mengajarkan akidah, syariat, muamalah secara umum, tetapi justru lebih diarahkan kepada agama sebagai modalitas terapi. Hal itu sebagai salah satu cara untuk meningkatkan keefektifan terapi psikiatri dan memperluas jangkauan pelayanan. Pendidikan ahli psikiatri perlu mengembangkan konseling dengan nuansa agamis dan sebaliknya perlu meningkatkan kemampuan konseling bagi rohaniwan. Fanani, Hukum Islam Indonesia. 60 Hendropuspito, Sosiologi Agama, 45-65. 61 Ibid., 126-128. 284 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki kebenaran, claim of truth, sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna.62 Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup sisi rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun saling pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi akan eksistensi sikap-sikap tersebut.63 Kedua, perbedaan suku dan ras pemeluk agama. Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa Realitas sejarah menunjukkan bahwa, Agama Islam pada zaman nabi Muhammad tidak mengalami perbedaan faham yang membawa kepada perpecahan pemeluknya, karena semua persoalan yang ada dapat diselesaikan oleh nabi sendiri, sehingga terlihat adanya hidup rukun antara dua kelompok sahabat Nabi yaitu: Muhajirin dan Anshor. Setelah nabi Muhammad wafat dan menyebar keberbagai daerah yang luas, maka agama Islam memasuki zaman yang situasi, kultur dan sosialnya jauh berbeda denga situasi asalnya, maka timbullah perpecahan pemeluknya dikarenakan pemahaman yang berbeda, sehingga dikenal dalam sejarah dinamakan golongan Khawarji, Murji’ah, Mu’tazilah dan lain-lain. Di Indonesia juga diknal adanya golongan muhammadiyah, Al-Irsyat, Nahdlatul Ulama’, Persis dan lain-lainnya. Masingmasing golongan saling mencari dalil untuk membenarkan golongan dirinya dan menyalahkan golongan lain. Hal ini akan menimbulkan konflik antara golongan yang satu dengan yang lain. Hendropuspito, Sosiologi Agama. 63 Hendropuspito, Sosiologi Agama, 45-65. 62 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 285 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut. Ketiga, perbedaan tingkat kebudayaan. Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya.64 Fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam menyediakan nilainilai yang di satu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan mengekang pemikiran tersebut.65 Dengan demikian, Dalam konteks ini, agama adalah suatu jenis sitem sosial yang dibuat oleh penganut-pengenutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas secara umum. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Kosda Karya, 2003), 129. 65 Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan atau biasa disebut sub-kultur, yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya subkultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender. Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat 64 286 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi fenomena kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme dalam mendorong munculnya kapitalisme. Kempat, masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama. Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial. Dalam konteks ini, sedikitnya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena konflik mayoritas-minoritas, yaitu; pertama, agama diubah menjadi suatu ideologi; kedua, prasangka mayoritas terhadap minoritas atau sebaliknya; ketiga, mitos dari mayoritas. Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang mayoritas seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana kepentingan tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa. Monokulturalisme, pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama. Leitkultur (kebudayaan inti) sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli. Melting Pot, kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah. Multikulturalisme, sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk. Elizabeth K Hottingh, Agama dan Masyarakat, Jakarta: PT. Raja Grapindo Parsada, 1996), 3-4. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 287 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas yang akan bermuara pada timbulnya konflik sosial.66 Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan keagamaan di atas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang terkandung pada masalahmasalah keagamaan. Hal ini wajar jika dalam konstelasi politik sangat mempengaruh terhadap pola hukum yang ditentukan oleh pemerintah melalui legislasi terutama positivisasi hukum Islam di Indonesia.67 Dalam kondisi demikian, sudah selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan permasalahan keagamaan yang dihadapi. Ketepatan memilih perspektif tentu saja akan mampu menghadirkan gambaran riil dari permasalahan yang ada sehingga harapan untuk memunculkan berbagai solusi alternatif bagi pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal.68 Hendropuspito, Sosiologi Agama, 45-46. Menurut Azizy upaya positivisasi hukum Islam hendaknya memperhatikan sisi budaya dan nilai yang berkembang dalam masyarakat. Apapun nilai dan budaya yang berkembang itulah yang akan berpengaruh terhadap positivisasi sebagai bentuk adanya penyerapan nilai masyarakat ke dalam hukum nasional melalui suatu perundang-undangan, sehingga dalam porses ini tetap berjalan dalam koridor akademik keilmuan dan demokratisasi secara wajar di Indonesia. Aziz, Eklektisisme Hukum Islam, 173-176. 68 Hendropuspito, Sosiologi Agama, 43-54. 66 67 288 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar di atas setidaknya telah menunjukkan bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah.69 Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.70 Berangkat dari pemahaman agama mempunyai peran besar dalam memobilisasi sebuah perubahan, maka konsep positivisasi hukum Islam sangat erat dengan kesadaran hukum yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Sehingga perubahan yang terjadi pada masa reformasi mempunyai karakter khusus ketimbang masa-masa sebelumnya terkait dinamika perubahan sosial negara Indonesia.71 Terkait positivisasi hukum Islam, menurut Masruhan72 karakter khusus yang dimiliki hukum Indonesia terkait dengan kebijakan Pemerintah Era Reformasi di bidang hukum, menurut Teuku Mohammad Radhie, ditetapkan dengan memanfaatkan 69 Terkait pentingnya mempelajari sosiologi agama, karena dalam studi sosiologi mempelajari fungsi agama dalam masyarakatagama yang didefinisikan oleh Johnstone sebagai sebuah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa dirasakan sebagai pengadaan adikodrati dan kudus. Ibid., 34-48. 70 Hottingh, Agama dan Masyarakat, 4-18. 71 Masruhan, Positivisasi Hukum Islam, 1-2, Azizy, Reformasi Bermazhab, 180-185. 72 Masruhan, Positivisasi Hukum Islam, 119-125. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 289 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi bahan baku dari sistem hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan tatanan hukumnya, menurut Arif Sidharta mempunyai tanda berwawasan kebangsaan dan nusantara, mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan, berbentuk tertulis dan terunifikasi, bersifat rasional baik segi efisiensi, kewajaran, kaidah dan nilai, transparansi dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat. Selain itu, upaya pembangunan nasional dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara yang efektivitas, efisiensi dan obyektivitasnya memerlukan perencanaan pembangunan nasional. Sistem hukum nasional yang pembangunannya diupayakan adalah sebuah sistem hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta berlaku di seluruh Indonesia. Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang beragam suku bangsa, budaya dan agama seharusnya tidak memandang agama yang dipeluknya. Sebab, di antara agama mereka itu adalah agama Islam yang tidak dapat dicerai pisahkan dari hukum. Artinya, Islam adalah agama hukum dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pembangunan hukum nasional yang mayoritas penduduknya beragama Islam harus memperhatikan unsur hukum agama.73 Oleh karenanya, menurut Azizy,74 hukum Islam merupakan salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum nasional. Pembangunan hukum nasional harus dapat mengayomi seluruh bangsa dan aspek kehidupannya. Karena itu, pembangunan hukum nasional wajib menggunakan wawasan nasional yang terdiri atas wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2012), 261. 74 Azizy, Reformasi Bermazhab, 174-180. 73 290 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam wawasan Bhinneka Tunggal Ika dengan arah dan tujuan yang diatur dalam GBHN 1999-2004. Fenomena demikian dengan syarat demokratis serta akademis ilmiah.75 Prsoses demokratisasi yang dimaksud tentunya sesuai dengan mekanisme yang berjalan dalam setiap lima tahun dengan pemilu. Oleh karena itu, mengikuti pemilihan bagi yang punya hak suara merupakan kewajiban umat Islam khususnya. Sedangkan proses akademik dimaksud sebagai upaya penjelasan secara metodologis sesuai teori keilmuan yang sudah mapan dalam perkembangan ilmu hukum Indonesia. Ragam penjelasan inilah yang nampaknya mempengaruhi proyek positivisasi hukum Islam di Indonesia dalam perspektif sosiologis. Sehingga membumikan nilai Islam dalam sosial budaya masyarakat Indonesia merupakan langkah penting menuju positivisasi hukum Islam. D. Peluang dan Tantangan Perspektif Filosofis Sebagai lanjutan pembahasan positivisasi hukum Islam, terkait peluang dan tantangan dari sisi filosofis,76 kiranya perlu dijelaskan hubungan agama dan filsafat hukum sebagai pandangan hidup bernegara dengan perkembangnnya di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, karena memang keduanya sangat terkait pemahaman yang berkembang seputar hukum Islam Indonesia, sehingga dua hal penting tersebut sulit dipisahkan dalam konteks pembangunan hukum nasional.77 Masruhan, Positivisasi Hukum Islam, 120-125. Azizy, Reformasi Bermazhab, 174. Hubungan agama dan filsafat hukum di Indonesia menurut Fuad sangat berpengaruh terhadap dinamika pemikiran yang berkembang seputar pembaharuan hukum Islam Indonesia dengan ragam model sesuai sosiologi masyarakat. Fuad, Hukum Islam Indonesia, 312. 77 Azizy, Eklektisisme, 120-125 dan Membangun, 47. 75 76 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 291 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Salah satu persoalan yang sangat penting dalam positivisasi hukum Islam adalah perkembangan pemikiran yang terjadi antara keduanya terkait perkembangan metode dan makna ijtihad.78 Pemikiran yang berkembang sangat dipengaruhi beberapa faktor yang saling berkelindan, kait mengait antara agama dan pemikiran yang berkembang seputar hukum Islam sebagai upaya positivisasi tersebut.79 Dalam hal ini, Pancasila merupakan pandangan filosofis yang sangat penting dalam menentukan proyek positivisasi hukum Islam di Indonesia. Untuk hal ini, dalam konteks Indonesia, Bismar Siregar dalam rangka memahami nilai moralitas dan upaya penegakan hukum di Indonesia menetapkan Pancasila sebagai sumber hukum serta keadilan, ditegakkan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hanya melalui itikad baik dan kejujuran. Selain itu, keimanan dan ketakwaan terus dibina dan ditingkatkan, karena kepada-Nya dipertanggungjawabkan setiap perbuatan. Oleh karenanya, lebih jauh dijelaskan bahwa Pancasila di satu sisi dan agama di sisi yang lain merupakan Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 47-48. Dalam koteks demikian, Sularno menjelaskan bahwa syari’at, hukum Islam pantas menjadi sumber pembentukan hukum nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya, ia mengandung dimensi yang berakar pada nas qat’i yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa, di samping itu mengandung pula dimensi yang berakar pada nas zanni yang merupakan wilayah ijtihad dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Secara garis besar, ragam produk pembaharuan hukum Islam di Indonesia terdapat empat macam, yaitu: fiqih, fatwa, produk pengadilan, serta peraturan perundang-undangan. Adapun tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran hukum Islam adalah berangkat dari term ijtihad, yang dalam kontek Indonesia, gerakan ijtihad yang berjalan menunjukkan adanya metode dan kecenderungan yang beragam. Sularno, M,” Syari’at Islam Dan Upaya pembentukan Hukum Positif di Indonesia,” diakses pada 05 Oktober 2012, dari http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/ article/viewFile/245/240. 78 79 292 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam dua hal yang patut dan seharusnya diletakkan dalam cakupan dan posisi yang berbeda akan tetapi dalam suatu kesatuan penghayatan hidup dan kesadaran manusia. Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa kemerdekaan yang diperoleh secara jujur diakui bukanlah semata hasil usaha manusiawi belaka, akan tetapi di situ Tuhan ikut berperan dalam bentuk rahmat dan berkah. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978 telah dinyatakan pula, sebagai kelanjutan isi Pembukaan tersebut, bahwa seluruh dinamika kemasyarakatan sebagai pelaksanaan Pancasila harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.80 Dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945 diperoleh pengertian bahwa negara menjunjung tinggi moral yang luhur dan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur. Budi pekerti atau moral tersebut dalam agama yang secara normatif mengikat pemeluk-pemeluknya. Relasionalitas nilai atau persambungan nilai antara Pancasila dan Agama, berkaitan dalam pelaksanaan dan pengamalan di dalam kehidupan praktis sehari-hari dan kenegaraan. Maka pejabat negara ditentukan harus orang yang bertakwa dan disumpah menurut agamanya masing-masing sebelum memangku jabatan tersebut. Pada persambungan nilai Pancasila sebagai filsafat dan agama sebagai petunjuk hidup manusia, bertemulah di dalamnya kegiatan dan gerak dinamika pembangunan manusia seutuhnya yang juga merupakan upaya perwujudan cita-cita dan tujuan hidup manusia. Dalam kaitan dengan hal di atas, seorang tokoh Islam yang pernah menjadi Perdana Menteri RI, Moh. Natsir, jauhjauh hari telah mengatakan bahwa perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah antara pemimpin-pemimpin pada Bismar Siregar, Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, 2003), 13-15. 80 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 293 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Dia percaya bahwa di dalam keadaan yang demikian para pemimpin yang berkumpul tersebut, di mana sebagian besar beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.81 Selanjutnya Moh. Natsir mengatakan, “Bagaimana mungkin al-Qur’an yang memancarkan tauhid akan terdapat apriori, bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagaimana mungkin al-Qur’an yang ajaran-ajarannya penuh dengan kewajiban menegakkan ‘adālah-ijtimā’iyyah bisa bertentangan dengan keadilan sosial. Bagaimana mungkin al-Qur’an yang justru memberantas sistem feodal dan pemerintahan istibdād (sewenang-wenang), serta meletakkan dasar musyawarah dalam susunan pemerintahan, dapat apriori, bertentangan dengan apa yang dinamakan kedaulatan rakyat dan bagaimana mungkin al-Qur’an yang menegakkan ishlāḥ bain al-nās sebagai dasar yang pokok yang harus ditegakkan oleh umat Islam dapat apriori, bertentangan dengan apa yang disebut peri kemanusiaan. Akhirnya, juga bagaimana mungkin al-Qur’an yang mengakui adanya bangsabangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan apriori dapat dikatakan bertentangan dengan kebangsaan. Dari berbagai pandangan tersebut di atas maka jelas bahwa Pancasila dimaksudkan sebagai cara dan wadah dalam menjalankan dan mengamalkan norma agama, termasuk dalam hal ini ajaran Islam, dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Sehingga antara keduanya tidak ada pertentangan nilai dalam konteks kenegaraan dan berhukum di Indonesia.82 Shaleh Harun, dan Abdul Munir Mulkhan, Latar Belakang Ummat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal (Yogyakarta: Aquarius,1985), 26-19. 82 Ibid. 81 294 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Atas dasar penjelasan demikian kiranya dapat dipahami bahwa menurut Mahfud.83 senada dengan al-Raisūni84 menetapkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat adalah suatu kewajaran, karena dengan itu fungsi hukum hendaknya menjaga serta menjamin ketertiban dan kepentingan masyarakat supaya senantiasa relevan dengan perubahan yang terjadi. Sedangkan kaum realis seperti Savigni sebagaimana dikutip Masruhan85 menganggap hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Artinya, mau tidak mau, hukum menjadi independent variable atas keadaan di luarnya, terutama keadaan politiknya. Memang kenyataannya, hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Sehingga kalimat-kalimat dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak politik yang saling bersaingan antara arah yang terjadi dalam masyarakat, sehingga suatu kristalisasi harapan yang sama sebagai masa depan hukum Indonesia.86 Terkait perlunya penyesuaian pemikiran hukum Islam di Indonesia, Azizy87 menyebutnya dengan reformasi bermazhab. Sebuah kajian fiqh yang sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakat serta sebagai model pendekatan saintifik modern. Dengan argumentasi demikian, maka studi positivisasi hukum Islam di Inonesia sangat terkait dengan aspek filosofis, perkembangan pemikiran ulama, perkembangan pemikirannya dijelaskan dengan apsek tertentu dalam hukum yang sudah 83 Moh Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media 1999), 70-72. 84 Ahmad, al-Raisūnī, al-Ijtihād, Nash, al-Wāqi wa al-Maṣlaḥaḥ (Bairut-Libanon: Sabkat al-Arabiyyāt li al Abhās wa al-Nasyr, 2012), 3-6. 85 Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam”, 3-8. 86 Muchsin, Ikhtisar, 25-30. 87 Azizy, Eklestisme Hukum Islam, 23-30. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 295 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi familiar di kalangan masyarakat Indonesia khususnya umat Islam sebagi pandangan filosofis seperti hukumam mati, potong tangan, cambuk dan lainya yang masih kontroversi di Indonesia. Sebagai contoh, koran Tempo yang terbit pada 4 Oktober 2012 menjelaskan, bahwa hukuman mati88 terhadap koruptor kembali menjadi debat publik setelah Musyawarah Nasional alim ulama dan Konferensi Besar Nahdatul Ulama di Cirebon mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi pencuri uang negara terutama koruptor kelas berat. Dari analisa prospek hukum Indonesia, nampaknya respon di kalangan umat Islam khususnya dan warga Indonesia umumnya masih menuai kontroversi. Ragam pemikiran secara filosofis mempunyai argumentasi yang kuat. Sehingga memunculkan dua argument, argumen kelompok yang kontra dan argumen kelompok pro hukuman mati, khususnya terhadap koruptor. Fenomena demikian jelas dapat mempersulit pemerintah dalam menentukan suatu hukum yang diterima secara nasional, sebagai hukum positif di Indonesia. Hukum yang mana akan selalu menjadi pertaanyaan umat Islam khususnya dan Islam yang mana akan terus menjadi polemik.89 Namun, potret demikian tetap memberi peluang bagi eksistensi hukum Islam di Indonesia untuk ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Sebagai contoh kongkrit dalam penjelasan tersebut di atas adalah hukuman mati dalam hukum Islam. Argumentasi kontroversi pada hukuman mati telah lama, dan nampaknya akan tetap menjadi topik debat klasik di antara para Menurut Lubis (2009: 326) secara filosofis, kontroversi hukuman mati di Indonesia tetap menjadi masalah besar sesuai hukum Indonesia. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari dikategorikannya hak untuk hidup sebagai non-derogable right, hukuman mati tidak dapat diterapkan di Indonesia meskipun dalam keadaan darurat. Namun, perlu tegaskan bahwa, uapaya keadilan harus ditentukan solusinya. 89 Azizy, Eklestisme Hukum Islam, 194-196. 88 296 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam ilmuwan filsafat dan hukum, ilmuan Islam dan non Islam. Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok abolisionis) maupun yang mendukung hukuman mati (kelompok retensionis) mendasarkan pendapatnya pada argumen yang kuat.90 Namun faktanya sampai sekarang hukuman mati tetap dipandang layak dan diakui oleh sebagian negara di dunia dalam konteks dan kasus tertentu. Terkait kontroversi hukumam mati, kaum abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan. Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Hukuman mati merupakan pelanggaran yang merugikan keluarga. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Hinga sekarang sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa melarang pemberlakuan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000.91 Sementara secara terpisah, majelis umum PBB pada tahun 2007, 2008 dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (nonbinding resolutions) yang menghimbau moratorium global terhadap hukuman mati. Protokol Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak.92 Kompas, 4 Oktober 2012. Menurut Iskandar penghapusan hukuman mati hanya pada masa damai. Di Eropa terdapat protokol no. 6 yang tertuju pada pengahpusan hukuman mati di masa damai. Namun konvensi HAM memberikan toleransi terhadap pelaksanaan pidana mati pada masa peperangan, tetapi di Eorpa terdapat protocol 13 yang dapat mewajibkan penghapusan hukuman mati secara absolut. Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional, Sebuah Pengantar Kontekstual, Cianjur: IMR Press, 2012), 578. 92 Kompas, 4 Oktober 2012. 90 91 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 297 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dasar argumentasi selanjutnya yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas hukuman mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman mati karena hukuman ini bertentangan dengan Amandemen VIII Konstitusi Amerika Serikat. Dasar argumentasi konstitusional juga telah digunakan oleh kaum abolisionis di Indonesia. Pada tahun 2007, dua WNI terpidana mati kasus narkoba yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta tiga warga Australia yaitu Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Rush mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal hukuman mati dalam UU No 22/1997 tentang Narkotika.93 (Kompas, 4 Oktober 2012). Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati UU No 22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945. Namun, permohonan para pemohon ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan hukuman mati terhadap kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia. Kelompok abolisionis juga menolak alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati dapat menimbulkan efek jera, dan karenanya dapat menurunkan tingkat kejahatan khususnya korupsi. Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi negatif antara hukuman mati dan tingkat korupsi.94 Sebaliknya, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional tahun 2011 justru negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati menempati ranking tertinggi sebagai negara yang relatif bersih dari korupsi, yaitu Selandia Baru ranking 1, Denmark rangking 2, dan Swedia rangking 4. 93 94 298 Ibid. Kompas, 4 Oktober 2012. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Sementara kelompok pro hukuman mati atau kelompok retensionis tidak kalah sengit mengajukan argumen yang mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah hukuman mati memberikan efek cegah terhadap pejabat publik yang akan melakukan korupsi. Bila menyadari akan dihukum mati, pejabat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negaranegara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati memiliki tingkat kejahatan yang rendah. Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime pada tahun 2012, misalnya, tingkat kejahatan pembunuhan hanya 1,0 per 100.000 orang. Bandingkan dengan Finlandia 2,2, Belgia 1,7 dan Russia 10,2.95 Kaum retensionis juga menolak pendapat kelompok abolisionis yang mengatakan hukuman mati (terhadap koruptor) bertentangan dengan kemanusiaan. Sebaliknya, mereka berpendapat justru korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menistakan perikemanusiaan. Korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak hidup dan hak asasi manusia tidak hanya satu orang, namun jutaan manusia. Kelompok retensionis berpendapat, hukuman mati terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Di Amerika Serikat, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam kasus Gregg vs Georgia Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan, “the punishment of death does not violate the Constitution.”96 Dari berbagai argumen yang dikemukakan kelompok abolisionis dan retensionis sesungguhnya dapat diambil 95 96 Ibid. Ibid. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 299 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi kebijakan sintesis hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Dalam keadaan darurat korupsi seperti sekarang ini, dimana korupsi telah menyebabkan kemiskinan yang luas dan karenanya membunuh hak hidup jutaan manusia, adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang koruptor. Jadi pertimbangan utamanya adalah rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukuman mati juga diterapkan untuk memberikan peringatan keras pada para pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi.97 Akan tetapi, hukuman mati hanya dijatuhkan pada bentuk korupsi yang paling jahat dan berdampak luas. Selain itu, hukuman mati harus sangat berhati-hati dijatuhkan. Dalam sistem peradilan pidana yang korup seperti sekarang ini seseorang sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of justice). Di Amerika Serikat, 23 orang telah dihukum mati karena kekeliruan peradilan dalam periode 1900-1987.98 Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice terdakwa korupsi harus diberikan hak melakukan upaya hukum yang adil. Misalnya, dalam sidang kasasi terdakwa wajib diadili sendiri oleh sembilan hakim agung pidana independen Mahkamah Agung. Untuk mengumpulkan bukti-bukti baru yang meyakinkan (novum), diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali tanpa batas waktu.99 Apabila terdakwa pada akhirnya dipidana mati, maka masih memiliki kesempatan untuk mengajukan grasi atau permintaan ampun. Ada dua opsi dalam hal ini. Pertama, ia mengajukan permintaan ampun kepada Parlemen sebagai wakil rakyat yang telah dirugikan. Jika grasinya diterima, maka hukumannya diperingan. Peringanan hukuman hanya boleh diberikan Ibid. Ibid. 99 Ibid. 97 98 300 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam menjadi minimal 20 tahun penjara. Namun bila ditolak, ia masih memiliki kesempatan memohon grasi ke Presiden.100 Opsi kedua, terdakwa mengajukan grasi ke Presiden yang sedang berkuasa. Tetapi, apabila grasinya ditolak, ia dapat mengajukan kepada Presiden dari pemerintahan yang baru. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan hukuman mati oleh rezim korup yang ingin menyingkirkan lawanlawan politiknya.101 Dengan demikian, dimaklumi bahwa jika Indonesia telah terbebas dari darurat korupsi dan kedaulatan hukum telah ditegakkan, maka hukuman mati terhadap koruptor sebaiknya dihapuskan. Karena dampak korupsi dalam keadaan normal tidaklah seburuk seperti dampak korupsi dalam keadaan darurat.102 Terkait positivisai hukum Islam, maka persoalan seperti hukumam mati bagi pembunuh atau koruptor yang layak dengan hukum tersebut, masih menimbulkan kontroversi di tengah keberadaan mayarakat Indonesia. Bahkan, dikalangan umat muslim sendiri, masih terjadi pertentangan serius dalam masalah tersebut. Hal inilah yang sangat krusial dalam menentukan upaya transformasi hukum Islam di Indonesia, yang kemudian menjadi positivisasi hukum Islam Indonesia.103 Melanjutkan kajian posititvisasi hukum Islam dalam konteks sosio-filosofis dengan hambatan dan peluangnya, maka muncul sebuah pemahaman bahwa hukum Islam secara kultural mempunyai potensi besar ketimbang Islam struktural untuk ditransformasikan dalam hukum nasional.104 Ibid. Ibid. 102 Iskandar, Hukum HAM Internasional, 577-580. 103 Ibid. dan Amal, Politik Syariat Islam, 2004, Azizy, Reformasi Bermazhab. 104 Azizy, Reformasi Bermazhab, 194-199. 100 101 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 301 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Secara struktural, potensi ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik yang akan mendominasinya terutama dalam menghadapi perkembangan sosial dalam globalisasi di tengah eksistensi hukum Islam Indonesia. Oleh karenanya, selain dihadapkan pada persoalanpersoalan globalisasi hukum, eksistensi Hukum Islam di Indonesia dapat dihadapkan pula pada masalah-masalah pembangunan hukum nasional. Keberadaan hukum Islam dari hari kehari kian memperlihatkan perkembangannya yang lebih baik. Berbeda dengan hukum Adat, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia tidak dikenal istilah hukum adat105 dan masyarakat hanya mengenal kata adat atau kebiasaan (Rofiq, 2004). Terkait psotivisasi hukum Islam di Indonesia, perlu diperhatikan pendapat Rafiq,106 bahwa pembaruan pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan suatu tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar, mengingat perkembangan sains dan teknologi yang sangat kompleks. Karenaya, kefakuman hukum harus dihentikan dengan cara ijtihad dan pengembangan makna fiqh.107 Dalam koteks demikian, yang perlu dilakukan adalah mencontoh metode ulama terdahulu dalam menentukan suatu hukum, bukan menggunakan hasil yang sudah jadi tanpa mempertimbangkan kondisi sosio-kultur yang ada. Sehingga yang terbaik adalah menggabungkan antara konsep bermazhab Istilah hukum adat dikemukakan pertama kalinya oleh Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul De Acheers (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul Het Adat Recht van Nederland Indie. Pemerintah Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mempergunakan istilah hukum adat secara resmi pada akhir tahun 1929 dalam peraturan perundang-undangan Belanda. Sementara dalam agama Islam istilah hukum Islam sudah melembaga dan integral dengan ajaran Islam. 106 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia (Jakarta: Gama Media, 2001), 31. 107 Azizy, Eklestisme, 12-15. 105 302 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam dan konsep ijtihad, dalam arti seseorang mengikuti mazhab tertentu dalam suatu masalah, sambil melakukan ijtihad terhadap persoalan baru, dengan paradigma reformasi bermazhab.108 Oleh karenanya, analisis disertasi ini terfokus pada masa depan hukum Islam di Indonesia era reformasi, terkait peluang dan tantangannya secara filosofis dengan mereformulasikan kembali maksud hukum Islam dalam konteks postivisasi. Untuk memahami hukum Islam tentu dapat berbeda dengan memahami hukum konvensional (law state), meskipun dalam beberapa bidang tertentu terdapat hukum Islam secara positif, seperti hukum perkawinan, wakaf, peradilan agama, dan lain sebagainya. Menurut Ali109 perbedaan itu sangat sulit untuk disangkal, dimana dalam kalangan umat Islam ketika berbicara hukum maka maksudnya adalah hukum Islam yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada al-Qur’an dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikongkritkan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam tingkah laku beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.110 Menurut Ali (2000) kaedah-kaedah yang bersumber dari Allah Swt. kemudian lebih dikongkritkan dan diselaraskan dengan kebutuhan zamannya melalui ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar di bidangnya masingmasing. Dalam konteks alur dari hukum Islam itu, beberapa ulama memberikan pengertian terhadap hukum Islam. Al-Iman Abu Hamid al-Ghazali berpendapat, fiqh itu bermakna faham dan ilmu. Sementara Ibnu Kaldun berpendapat bahwa fiqh adalah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan mukalaf, baik yang wajib, yang haram, yang makruh dan yang harus (mubah) yang diambil (diistimbathkan) dari al-Kitab dan al-Sunnah dan dari dalil-dalil Ibid. Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Candra Pratama, 1996), 45. 110 Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, 18-34. 108 109 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 303 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi yang telah ditegakkan Syara’ seperti qiyās umpamanya. Apabila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan Ijtihad dari dalildalilnya, maka yang dikeluarkan itu namanya fiqih. Setelah memahami sekilas tentang hukum Islam, menurut Tamin111 pendekatan terhadap hukum Islam sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya hanya sekedar untuk mengantarkan kepada bagaimana masa depan hukum Islam setelah bergulirnya reformasi menetapkan salah satu agendanya, yaitu reformasi di bidang hukum nasional. Terlepas dari ada perbedaan pandangan dari para sarjana, yang pasti di Indonesia sistem hukum Islam adalah sistem hukum yang hidup berdampingan dengan sistem hukum lainnya. Hukum Islam itu bisa tumbuh dan berkembang tidaklah tergantung pada kebijakan politik pemerintah dalam bidang hukum atau tergantung pada kemauan pembentuk undang-undang. Meskipun tidak disebut secara implisit, tetapi dari pembukaan konstitusi (UUD 1945) menyiratkan eksistensi hukum Islam, bahkan lebih dari itu, negara ini pun tersusun sebagai rahmat Allah Tuhan yang Maha Esa. Meskipun kemudian, pilihan jatuh kepada negara Indonesia bukan sebagai negara agama, tetapi agama diakui dan dilindungi di Indonesia.112 Dengan demikian, Hukum Islam memiliki ruang dan kesempatan yang cukup untuk bertumbuh dan berkembang di Indonesia, apalagi penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Di samping itu hukum Islam sebagai hukum tidak tertulis juga diakui oleh konstitusi negara. Apalagi dalam Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas dicantumkan negara 111 Boy Yendra Tamin, “Masa Depan Hukum Islam Pasca Reformasi dan Tantangan Menghadapi Globalisasi Hukum”, 2012, 2-4. Diakses pada 9 Desember 2012 dari, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/05/masa-depan-hukumislam-pasca-reformasi.html 112 Ibid. 304 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, maka konsekuensi yuridisnya adalah nilai-nilai keagamaan seharusnya menjadi dasar kenegaraan, terutama di bidang hukum. Demikian juga dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang merupakan authoritative source dengan sendirinya menjadi landasan yuridis bahwa tidak boleh ada peraturan perundang-undangan dalam ketatanegaraan Indonesia yang bertentangan dengan hukum Islam.113 Positivisasi hukum Islam selain melalui pembentukkan undang-undang atau peraturan perundang-undangan juga bisa berjalan melalui yurisprudensi oleh Mahkamah Agung. Hal ini tidak hanya menyangkut hukum yang menjadi kewenangan badan Peradilan Agama, tetapi juga menyangkut hukum yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dengan menggunakan dasar-dasar hukum Islam atau mengambil nilai-nilai yang bersumber dari hukum Islam. Misalnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3574 K /Pdt/2000 tanggal 5 September 2002, mengenai tanggungjawab seseorang atas utang orang tuanya, sebatas pada hak atas harta peninggalan pewaris (orang tua)-nya yang menjadi haknya saja adalah menggunakan dasar hukum dari Kompilasi Hukum Islam.114 Demikian juga dalam putusan nomor 3713.K/Pdt./1994 tanggal 28 Agustus 1997 Mahkamah Agung telah memutuskan perkara perjanjian yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, berdasarkan nilai-nilai hukum Islam yang diambil secara langsung dari al Qur’an. Dari fenomena yang terjadi dalam praktek penegakan hukum pada Mahkamah Agung itu terlihat suatu alur tumbuhnya 113 Ismail Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), 40-43. 114 Arbijoto (Ketua Tim), Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 2004 (Jakarta: Mahkamah Agung, 2005), 42. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 305 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Hukum Islam melalui institusi peradilan dan tidak semata-mata bertumpu pada badan pembentuk undang-undang atau pada kebijakan pembangunan hukum pemerintah. Mahkamah Agung melalui yurisprudensi mengangkat Hukum Islam dari keadaan sebagai hukum tidak tertulis menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat (meski pada kasus tertentu dan terbatas pada para pihak) dan dapat menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya terhadap kasus-kasus serupa di masa datang.115 Dalam koteks seperti ini, meminjam istilah al-Raisūni116 tentang ijtihad yang terkait dengan maslahat, maka positvisasi Hukum Islam melalui putusan-putusan pengadilan dan beberapa antaranya melalui pembentukan undang-undang tentu belum sepenuhnya mencerminkan posisi hukum Islam memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan hukum di Indonesia. Perlu juga disadari, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralistik dan terdapat keanekaragaman sistem hukum yang hidup. Pluralistik yang melingkup Indonesia itu, tentu saja menyulitkan bagi adanya suatu unifikasi hukum di Indonesia. Unifikasi hukum hanya bisa dilakukan pada bidang-bidang hukum yang netral, seperti ekonomi, perdagangan, perburuhan, pidana. Sebaliknya, unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk menggugurkan kandungan dan perkawinan sesama jenis. Dalam perspektif yang demikian, maka dalam kalangan pemeluk dan cendekiwan Islam sendiri, haruslah tumbuh suatu inisiatif untuk mengupayakan positivisasi Hukum Islam yang netral dan di lain pihak melakukan unifikasi hukum Islam bagi pemeluk agama Islam.117 Tamin, “Masa Depan Hukum Islam”, 2-19. Al-Raisūni, Ijtihad, Antara Teks, 3-18. 117 Tamin, “Masa Depan Hukum Islam”, 2-18. 115 116 306 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam Atas argumentasi demikian, insiatif atau gagasan pembentukan hukum positif hukum Islam ditentukan juga oleh cara pandang di lingkungan ulama, pemikir dalam kalangan Islam sendiri. Dalam perspektif ini, menurut Rofiq,118 yang terpenting adalah cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam. Hal ini berimplikasi dalam sudut aplikasinya dan perbedaan cara pandang di kalangan Islam sekaligus menjadi penghabat bagi tumbuh dan berkembangnya hukum Islam di Indonesia dengan lebih baik lagi. Dalam hal ini perlu dijelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam yang dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundangundangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.119 Oleh karenya, membicarakan masa depan hukum Islam dalam konteks reformasi hukum, sudah seharusnya beberapa permasalahan di kalangan Islam sendiri berkaitan dengan hukum Islam harus diminimalisir, apabila mengharapkan hukum Islam tumbuh dan berkembang dengan baik dan kuat di Indonesia. Perbedaan pendapat yang berlangsung di kalangan penganut agama Islam di Indonesia berpotensi menempatkan hukum Islam tertinggal ketika bidang-bidang hukum lain memperkuat dirinya dalam kerangka reformasi hukum. Hukum Islam diutamakan nilainya yang bersifat universal.120 Dalam konteks reformasi hukum, gagasan Suny121 patut menjadi pemikiran kalangan ahli hukum Islam. Politik hukum Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, 13-27. Ibid., 23-30. Mohammad Atho’ Mudzhar,, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II, Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam,1991), 20-29. 120 Rofiq, Pembaharuan, 31. 121 Sunny, Tradisi dan Inovasi, 5-19. 118 119 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 307 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive source dimana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode authority source dimana setiap orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundang-undangan nasional.122 Dengan argumnetasi ini, sangat jelas meskipun sebelumnya sudah kemukakan ada beberapa bidang tertentu yang tidak bisa dilakukan unifikasi atau kodifikasi.123 Untuk memantapkan transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, jelas tidak terlepas dari politik hukum dan filsafat hukum yang berkembang. Dalam hubungan ini, semestinya pemeluk agama Islam yang mayoritas mampu memberikan pengaruhnya yang kuat dalam perumusan kebijakan politik hukum nasional. Namun mayoritas saja tidak cukup, karena selain pluralistik, arus globalisasi mempunyai kepentingan dalam kebijakan politik hukum nasional, dan dalam hal inilah betapa pentingnya keutuhan dan kesamaan pandang di kalangan Islam dalam memberikan pengaruh pada kebijakan Politik Hukum Nasional. Sehingga, transformasi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional mendapat porsi yang memadai bahkan medominanasi prosesi pembangunan hukum nasional.124 Dalam hal ini, bisa dipahami lemahnya pengaruh kalangan Islam dalam ranah pembangunan sistem hukum di Indonesia. Dapat dibayangkan, apabila pembentukan pengadilan agama bukanlah merupakan suatu produk politik hukum (struktur Ibid., 40-43. Azizy, Reformasi, 189-93 124 Ibid. 122 123 308 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam hukum) atau substansi hukum melainkan sebuah produk dari sosial budaya. Hal ini bisa jadi dikarenakan pengaruh dari apa yang telah berlangsung selama ini, dimana hukum Islam senantiasa dipahami sudah melembaga dalam pemeluk agama Islam, tetapi di sisi lain umat Islam melupakan bahwa sistem hukum Islam hanyalah satu dari sistem hukum nasional dan juga sangat mempengaruhi pergaulan hidup para penganut agama Islam.125 Atas dasar kenyataan yang demikian, betapa penting peran kalangan Islam dalam pembentukan atau perumusana kebijakan politik hukum nasional serta hukum Islam mendapat tempat yang memadai dalam politik hukum nasional. Pasca reformasi merupakan saat yang tepat bagi Hukum Islam untuk masuk lebih dalam di ranah perumusan politik hukum nasional. Hal ini terutama pembangunan hukum di era reformasi yang tampaknya masih menjadi debatable, dimana muncul ketidakpuasan terhadap pembangunan hukum yang diterapkan selama Orde Baru dan di sisi lain Indonesia belum menemukan paradigma pembangunan hukum yang bersifat keindonesiaan.126 Sekalipun UUD 1945 sudah diamandemen, tetapi pembangunan hukum belum dapat dikatakan terarah dan terpadu sebagaimana pada masa Orde Baru. Atas kenyataan ini, maka sebenarnya pembangunan hukum di Indonesia sedang dihadapkan pada keadaan tidak menentu, kecuali adanya keinginan untuk mengembangkan suatu konsep pembangunan hukum yang lebih demokratis dan ke arah masyarakat sipil (civil society) yang lebih sejahtera. Kesempatan itu seharus diambil oleh kalangan Islam untuk menguatkan Rofiq, Pembahuruan, 123-145. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 23-34. 125 126 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 309 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi keberadaannya dalam kehidupan hukum di Indonesia melaui implementasi konsep teknis posistivisasi hukum Islam.127 Dilema yang dihadapi dalam pembangunan hukum nasional secara tidak lansung tentu mempengaruhi segala aspek kehidupan hukum di Indonesia atau sebaliknya memberi keuntungan bagi hukum Islam. Bahkan Indonesia belum memiliki grand design pembangunan hukum nasional, di sisi lain penyelenggaraan pemerintahan harus berjalan di atas ketentuan hukum yang ada, termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada zaman Orde Baru. Oleh karenanya rumusan GBHN 1999-2004 dan seterusnya merupakan angin segar bagi hukum Islam untuk melakukan transformasi nilai secara besar-besaran melaui proses demokratis dan keilmuan sesuai perkembangan ilmu hukum modern.128 Sebagai pemupuk prospek hukum Islam Indonesia hingga muncul semangat perlunya positivisasi, selama rezim Orde Baru, GBHN berisi kebijakan-kebijakan nasional garisgaris besar pembangunan hukum nasional yang kemudian dapat dipicu oleh semua pihak penyelenggara negara untuk kemudian dituangkan dalam berbagai macam kebijakan beleid/policy yang lebih konkrit/ normatif baik dalam wujud UU maupun peraturan lainnya yang tidak sesuai dengan pasca amandemen UUD 1945 sebagai salah satu hasil reformasi.129 Pasca amandemen UUD 1945 tidak dikenal lagi GBHN dan setiap lembaga negara –dalam hal ini administrasi negara— berjalan sesuai dengan tugas dan fungsi serta wewenangnya masing-masing dan kemudian saling mengawasi dan saling mengendalikan, cheks and balances dan tidak berpuncak pada pertanggung jawab kepada MPR. Dengan kondisi demikian, Azizy, Ekletisme, 174-180). Ibid., 189-193 129 Azizy, Reformasi. 127 128 310 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam pembangunan hukum nasinal yang akan dituangkan dalam UU harus dalam bentuk norma normative, bukan berisi program/rencana jangka pendek, menengah dan panjang. UU harus mengatur secara normatif yang berisi larangan/ verbod, suruhan, perintah/gebod dan kebolehan/toestimming. Kontroversi seputar pemikiran hukum Islam hingga era reformasi yang berkembang dalam konteks pembangunan hukum nasional, berdampak terhadap eksistensi hukum Islam untuk mengambil kesempatan memainkan peranannya yang lebih optimal atau justru semakin tertinggal. Dalam hubungan ini, hukum Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat ketika elite politik Islam dengan gagasannya yang cemerlang memiliki daya tawar kuat dalam interaksi perumusan politik hukum, sehingga peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan dalam hukum nasional selesai dengan lancar melewati perdebatan akademik di tingkat legislatif.130 Percaturan pemikiran hukum Islam yang demikian tentu mendapatkan ruang yang lebih dalam perumusan kebijakan pembangunan hukum nasional, pengalaman masa lalu perlu dijadikan sebagai masukkan yang berharga. Ini setidaknya menjadikan kalangan Islam modernis berhadapan pada dua pilihan dilematis, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru atau Reformasi sekalipun mendukung Barat. Sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional. Jika pada masa Orde Baru, pembentukan hukum berpijak pada GBHN sebagai garis kebijaksanaan pembangunan hukum, sementara pada masa era Reformasi ini GBHN tidak ada lagi. Pembangunan hukum di Indonesia saat ini hanya terimplemtasi dalam 130 Azizy, Reformasi, 18-190. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 311 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi bentuk Prolegnas dan cenderung pada upaya pembentukan udang-undang, padahal pembangunan hukum tidaklah identik dengan pembentukkan undang-undang.131 Pembentukan hukum nasional, seperti diamanatkan oleh GBHN Tahun 1999, dilakukan dengan upaya legislasi di lembaga parlemen. Karena diproses secara politik dalam parlemen, maka pembentukan hukum melalui legislasi akan selalu terjadi tarik-menarik berbagai kepentingan (politik dan ideologi), yang mengakibatkan lambatnya pembentukan hukum. Padahal perkembangan masyarakat yang cepat juga memerlukan jawaban hukum dengan segera. Pada sisi lain perkembangan ummat Islam Indonesia yang semakin bergairah untuk melaksanakan hukum Islam, memerlukan jawaban hukum Islam. Untuk beberapa persoalan telah dijawab dengan pelembagaan hukum Islam melalui proses legislasi, sehingga telah menjadi hukum positif dalam bentuk undang-undang, seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan yang juga menjadi gantungan yuridis penerapan sistem syariah dalam dunia perbankan dan lembaga keuangan lainnya, dan yang baru saja adalah Undang-undang tentang Wakaf.132 Beberapa positivisasi hukum Islam di Indonesia melalui upaya-upaya legislasi, seperti diuraikan di muka, mengharuskan upaya lain yaitu melalui yurisprudensi dan lainnya yang tentunya mengantarkan pada pembangunan hukum Islam secara lebih demokratis, ilmiah, terencana serta Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, 13-20. Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2004), 56. 131 132 312 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam terarah sesuai kebutuhan karakter bangsa dan kebutuhan nasional. Positivisasi hukum Islam melalui yurisprudensi, selain temporer juga kasuistis.133 Dengan perdebatan filosofis seputar positivisasi hukum Islam Indonesia, nampak sejumlah hubungan antara harapan untuk mengembangkan hukum Islam pada sisi tertentu dan adanya hambatan-hambatan hukum Islam dalam mengaktualiasikan nilai secara positif pada sisi yang lain. Dalam konteks lainya, berlansungnya reformasi hukum di Indonesia telah membuka ruang kesempatan hukum Islam memainkan peran yang lebih besar, tetapi perlu adanya penguatan-penguatan dari kalangan Islam dalam pengembangan hukum Islam melalui ijtihad modern. Apalagi jika dipahami bahwa transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan merupakan produk interaksi elite politik Islam, ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim dengan elite kekuasaan kalangan politisi dan pejabat negara. Dari fenomena di atas, setidaknya tampak bahwa hukum Islam memiliki potensi konstributif dalam mewujukan tujuan negara. Bahkan sangat tepat kalau dikatakan bahwa hukum Islam dapat tumbuh berkembang dalam masyarakat yang modern, pluralis dengan berkembangnya bank syariah sebagai insitusi keuangan, pertumbuhan aturan wakaf, zakat, haji, dan lainya dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia. Proyek besar ini dapat berhasil pada saat Indonesia semakin dewasa memahami demokrasi serta terus menjalani dinamika perkembangan pemikiran hukum Islam Indonesia. Dengan demikian positivisasi hukum Islam hendaknya dipahami dari sisi positif sebagai dinamika 133 Muchsin,“Kontribusi Hukum Islam”, 2-4. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 313 Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi ilmu hukum yang tidak akan pernah berhenti mengalami perubahan. Kontroversi seputar hukum Islam Indonesia akan memperkaya pemikiran menuju upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia. Sampai di sini, maka kajian tentang positivisasi hukum Islam di Indonesia era reformasi terkait dengan relasi agama, hukum dan politik dapat dipahami bahwa positivisasi hukum Islam seperti Perda bermuatan syariah sesungguhnya dibuat dalam rangka implementasi kebebasan pengaturan dalam beragama sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945. Kehadiran Perda bermuatan syariah merupakan manifestasi dari pluralisme sistem hukum di Indonesia yang terdiri dari Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat (BW). Artinya, implementasi Perda bermuatan syariah yang secara khusus ditujukan bagi pemeluk agama Islam, ternyata sejauh ini terbukti tidak merugikan kelompok agama lain di luar agama Islam. Dengan demikian positivisasi hukum Islam seperti Perda bermuatan syariah tersebut terbukti turut memberikan kontribusi dalam pembangunan sistem hukum nasional era reformasi. Upaya positivisasi hukum Islam era reformasi ini juga sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang menjelaskan perlunya pembangunan hukum sesuai dengan nilai dan kebutuhan serta aspirasi masyarakat. 314 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 2. Agama dan Negara mempunyai hubungan yang kuat dan kokoh terutama dalam melahirkan suatu hukum positif dengan proses politik hukum sebagai fungsi kontrol dan perubahan. Relasi agama dan Negara tersebut, merupakan relasi fungsional dan struktural, simbiosis, mutualisme dalam konteks pembangunan sistem hukum dan politik hukum nasional. Argumentasinya, setiap agama mempunyai hak yang sama untuk diberdayakan dalam bingkai demokrasi Pancasila dan UUD 1945 dengan memfungsikan pemerintah sebagai regulator dalam mengatur relasi fungsional antara agama dan Negara tersebut. 3. Sistem hukum, pembangunan hukum dan politik hukum nasional Indonesia era reformasi menunjukkan perubahan besar terhadap eksistensi hukum Islam. Perubahan tersebut dapat dilihat dari orientasinya, yang sebelumnya (orde baru) menekankan pada aspek ekonomi yang sangat rentan korupsi, otoriter, kolusi dan nepotisme. Sistem dan pembangunan hukum serta politik hukum era reformasi juga menunjukkan masih Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 315 Dr. M. Shohibul Itmam Penutup adanya rekayasa ilmiah politik hukum Belanda yang berpengaruh hingga sekarang yang mengakibatkan sistem hukum Indonesia belum sesuai kesadaran hukum yang sesungguhnya. Dikotomi antara ilmu hukum Indonesia dengan ilmu hukum Islam Indonesia merupakan pemicu pudarnya kesadaran hukum nasional yang berpengaruh dalam upaya pembangunan sistem hukum dan politik hukum nasional hingga era reformasi. Perkembangan politik hukum nasional yang dipengaruhi pemikiran dan ragam nilai hukum pluralis, dengan perubahan mendasar sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat merupakan momentum bagi umat Islam—hukum Islam, menyatu dengan hukum lain sebagai sumber hukum nasional serta menduduki posisi penting dalam konteks pembangunan sitem dan tata hukum nasional. 4. Faktor-faktor yang menjadi peluang dan tantangan positivisasi hukum Islam di Indonesia dapat dipolakan dalam tiga aspek meliputi faktor politis, faktor filosofis dan faktor sosiologis. Secara politik, lemahnya dukungan politik parlemen dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) merupakan tantangan serius bagi hukum Islam menuju positivisasi. Sedangkan secara filosofis, kontroversi internal dalam memahami hukum Islam seringkali menyudutkan pada hukum Islam itu sendiri. Hal ini terkait dengan perkembangan metodolgi studi Islam yang tidak bisa dibendung dan disatukan dalam suatu paradigma tertentu. Sedangkan secara sosiologis, sedikit nilai hukum Islam yang menjadi tradisi atau nilai yang secara mayoritas diakui dalam sosial masyarakat yang bisa di serap secara nasional. Dengan demikian, positivisasi hukum Islam perspektif politik hukum era 316 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Penutup Dr. M. Shohibul Itmam reformasi adalah upaya integrasi ilmu Hukum Indonesia yang dikotomi dengan ilmu Hukum Islam Indonesia supaya menyatu di tengah pluralitas hukum nasional menuju hukum khas Indonesia. B. Saran/ Rekomendasi 1. Merubah dan mengembangkan model dan kajian pendidikan dan pendekatan hukum Islam di Indonesia, terutama lembaga-lembaga akademik seperti perguruan tinggi, pesantren dan pusat-pusat kajian hukum Islam. Keterlambatan berfikir demikian harus dihentikan dan sudah waktunya untuk memperbarui model, pendekatan dan filosofi kajian hukum Islam atau fiqh di IAIN, STAIN, PTAIS. Hal ini senada dengan Amin Abdullah yang mengatakan perlu di rekonstruksi karena studi hukum Islam Indonesia sudah expired, usang, kadaluwarsa. Sehingga diperlukan reorientasi atau bahkan perubahan agar benar-benar bermanfaat dan memenuhi tuntutan Indonesia sekarang dan masa depan. Tawaran ini meliputi merekonstruksi pemikiran hukum Islam dengan bahasa UU, seperti KHI, sehingga akan lebih mudah dipahami dengan menggunakan bahasa hukum pada umumnya. Usaha positivisasi hukum Islam merupakan suatu keharusan baik dalam konteks kajian akademik yang selalu mengikuti ekelektisisme maupun proses demokratisasi yang mendasarkan pada mayoritas penduduk. Pada akhirnya menjadi tantangan bahwa Islam harus mampu menunjukan janji besarnya, yaitu rahmatan lil ‘ālamīn dan li al-taḥqīq maṣāliḥ al nās. Kegelisahan demikian, hendaknya menjadi tantangan bagi para ahli hukum Islam dan sekaligus bagi para ahli hukum umum. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 317 Dr. M. Shohibul Itmam Penutup 2. Mengembangkan pola pemahaman yuridis terkait positivisasi hukum Islam yang disikapi oleh setiap diri pribadi umat Islam Indonesia dengan mengimplementasikannya secara baik dan benar. Selain itu, hendaknya positivisasi hukum Islam dilakukan dengan tetap melalui legislasi, mengutamakan kepentingan dan keutuhan bangsa Indonesia yang pluralistik sehingga terhindarkan dari konflik dan disintegrasi bangsa. Mengutamakan keutuhan NKRI melalui transformasi nilai Islam sebagai pengawal persatuan dan kesatuan diantara ragam etnis dan golongan. Selain itu kajian lintas agama dalam konteks pemahaman hukum nasional perlu ditingkatkan terutama pakar lintas agama di Indonesia yang konsentrasi dan fokus pada bidang hukum masingmasing agamanya. 3. Sebagai wahana serta gelanggang akademik yang secara konsisten peduli dan memunculkan ide-ide gagasan dinamika persoalan hukum Islam, perlu diadakan simposium rutin lintas lembaga baik pendidikan, hukum dan lainya melaui koordinasi lintas kementerian untuk terus memantapkan hukum Islam sebagai model terbaik dalam berbagai disiplin dengan menangkap spirit demorasi Indonesia dari, oleh dan untuk rakyat. Hal ini sekaligus sebagai upaya untuk menjelaskan terhadap kelompok minoritas di Indonesia atau non muslim yang sangat khawatir terhadap kemajuan hukum Islam di Indonesia dalam berbagai bidang. Kekhawatiran yang tidak terbukti tersebut sekaligus perlu dijelaskan sebagai wahana mempererat ukhuwah sesama komponen bangsa dalam bingkai kesatuan negara demokrasi Pancasila. 318 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdul Ghani. “Peradilan Agama Pasca UU No. 7/ 1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, No. 1 Tahun V (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994), akses pada 5 Pebruari 2013 dari http://muhsinhar.staff. umy.ac.id/legislasi-hukum-islam-di-indonesia-dalamprespektif-politik-hukum-2/, 2013. Abidin, Ahmad Zainal. Membangun Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Iqra’, 2001. Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004. Afandi, Luthfi. “Efektifitas Hukum Islam”. diakses pada 21 Juni 2012 dari http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/ efektifitas-hukum-islam/, 2012. Ahmad, Amin. Etika Ilmu Akhlaq. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Candra Pratama, 1996. Ali, Fahry dan Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung, Mizan, 1986. Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 319 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka ---------. Hukum Islam PIH dan THI di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. ---------. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Alim, Muhammad. Asas-asas Negara Hukum Moderen dalam Islam, Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan. Yogyakarta: LkiS, 2010. ---------. “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”, akses pada 1 Pebruari 2013 dari http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/ 1% 20MAlim.pdf, 2012. Amal, Taufiq Adnan. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004. Amrullah, Ahmad. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Anwar, Harjono dan Ramly Hutabarat. “Prospek Peradilan Agama sebagai Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik Indonesia” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Arbijoto (Ketua Tim). Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 2004. Jakarta: Mahkamah Agung, 2005. Aritonang, Dinoroy Marganda. “Penerapan Sistem Presidensil Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 45” akses pada 17 November 2012 dari http://www. google. co.ma/#hl=fr&sclient=psy-ab&q=+Asshiddiqie+dalam% 2C++++http:%2F%2Fwww.jimly.com%2Fpemikiran%2Fv iew%2F4%2C&oq=+Asshiddiqie+dalam%2C++++http:%2F 320 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam %2Fwww.jimly.com%2Fpemikiran%2Fview%2F4%2C& gs_l=hp.3...8013.8013.0.9583.1.1.0.0.0.0.120.120.0j1.1.0.cr nk_timediscountc..0.0...1c.1.SNWsA3bd5UM&pbx=1&ba v=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp=82f8fda0ca064c5c&bpcl=3 8625945&biw=1280&bih=637. Arifin, Busthanul. “Menghidupkan Kembali Norma-Norma Hukum Islam,” Makalah di Padang 27 Desember, 2002. ---------. “Masalah Konsep Satu Atap M.A dan Peradilan Agama,” Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Ilmiah Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 13 September 2000. ---------.”La Yanfau Takallumu bi Haqqin La Nafāza Lahu,” Makalah pada sarasehan sehari IAIN Syarif Hidayatullah, 2000. ---------. Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut). Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1999. ---------. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. ---------. Pengadilan Agama di Indonesia dan Lain-lain (Sebuah Bunga Rampai), t.p. (dipublikasikan perpustakaan IAIN Walisongo). tt. Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia). Semarang: Pustaka Magister, 2011. ---------. Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Relegius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro, 2011. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 321 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka ---------. Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia). Semarang: Pustaka Magister, 2012. Arrafat, Yasir. Relasi Agama dan Negara, diakses pada 20 November 2012 dari http://ressay.wordpress. com/2011/04/02/relasi-negara-dan-agama/, 2012. Asmar, Lanka. “Ahli Waris Pengganti dalam KHI,” diakses pada 18 Mei 2012 dari http://hukum.kompasiana. com/2012/05/16/ahli–waris-pengganti-dalam-khi/, 2012. Asmawi. Teori Maslahah Relevansinya Dengan Undang-undang Pidana Khusus di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010. Assyaukanie, Lutfie. “Renaisans Dan Reformasi Agama” akses pada 24 November 2012 dari, http: //islamlib.com/ id/ artikel/renesans – dan - reformasi-agama, 2012. Asshiddiqiy, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. al-Atas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1990. Atrukin, Muhammad. al-Sulṭah Wa al-Syarīah Fi Dār-Islām, Dirasat Li Ayāt Wa Qawāid al-Qanūn al-Am al-Islāmiyyah. Marocco: Dar- al-Baidha, 2012. Aulani, A. Wasit. Sejarah Perkembangan Hukum Islam” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Ayu, Kesuma Riana. “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari, http://riana.tblog.com/post/1969986906. 322 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam Azizy, A. Qodri. Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju Saintifik- Moderen. Jakarta: Teraju, 2002. ----------. Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi Hukum Islam dan Hukum Umum. Jakarta: Gama Media, 2003. ----------. Membangun Integritas Bangsa. Jakarta: Renaisan, 2004. Azra, Azyumardi. Islam di Asia Tenggara Pengantar Pemikiran. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989. Balaji, Abd al-Salam. Taṭawwuru Ilm Uṣūl al-Fiqh wa Tajaddudihi (wa Taaṡṡurihi bi al-Mabāhitsi al-Kalamiyyah). Beirut, Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2010. ---------. Al-Ahkām fī Tamyīzi al-Fatāwī an al-Ahkām wa Tasharrafat al-Qādli wa al-Imām Syihāb al-Din Ahmad bin Idrīs al-Qarāfī. Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2010. Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Islam menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Basyir, Ahmad Azhar. “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa dalam Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam” dalam Tata Hukum Indonesia, Edisi 2. Yogyakarta: UII Press, 1999. Bayudli, Ahmad. al Fikr al Islamī al ‘Arabī Mā Ba’da Maṭla’i al Qura’ān al hamīs Fi ‘Aṣri al Hijri Dirāsah Manhajiyyah Taḥlīliyyah Fi Dhaui al-Dafui al Tsaqāfī (Disertasi Jamiah Muhammad Khamis Akdal), Rabat Marocco, 2004. Bisri, Cik Hasan. Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan. (Rosda Karya, Bandung, 1991. ---------. Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Social. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 323 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka ---------. Transformasi Hukum Islam (Bagian Ketiga: Politik Hukum Nasional), Akses pada 28 November 2012 dari, http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/transformasi– hukum–islam–bagian-ketiga-politik-hukum-nasional/. Boy, Pradana. Fikih Jalan Tengah: Dialektika Hukum Islam dan Masalah-Masalah Sosial. tp: tk, 2008. Bubakry, Muhammad. al-Dimaqraṭiyyah fī al-Zamān alAulamah. Marocco: Dar-al Saqafah- Dar al-Baidla, 2001. Burhamati, Hayat. Tajdīd al Ahkām Inda Abu al A’lā al Maudūdi, (Disertasi Jamiah Muhammad Khamis Akdal), Rabat Marocco, 2008. Chamzawi. “Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam,” diakses pada 09 April 2012 dari http://dc93.4shared. com/doc/_IoS24Ya/preview.html, 2012. Devos. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987. Dimyati, Khudzaifah. “Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990”. Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2004. Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. E. Gobee dan C. Adriaanse. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus Jilid I. Jakarta: INIS, 1990. Fahri, M. “Kepemimpinan Dalam Islam” diakses pada 13 November 2012 dari, http://www.google.co.ma/#hl=fr&gs_ nf=3&pq=kepemimpinan%20dalam%20islam&cp=38&gs_ id=aa&xhr=t&q=kepemimpinan+dalam+islam+menurut+ ibnu&pf=p&sclient=psy-ab&oq=kepemimpinan+dalam+i 324 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam slam+menurut+ibnu+&gs_l=&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_ pw.r_qf.&fp=d871091483ba7df4&bpcl=38093640&biw=1280 &bih=637, 2012. Fanani, Muhammad. Agama sebagai Salah Satu Modalitas Dalam Terapi, akses pada 30 November 2012 dari http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news. asp?IDNews=456, 2012. Fachruddin, Irfa. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah. Bandung: PT. Alumni, 2004. Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LKis, 2005. Ghazali, Abdul Moqsith. ”Menggemakan Pemikiran Gus Dur,” diiakses pada 21 Juni 2012 dari http://islamlib.com/id/ artikel/menggemakan-pemikiran-gus-dur, 2012. Gunaryo, Ahmad. Pergumulan Politik dan Hukum Islam. Jogyakarta: Pustaka Pelajar kerjasama Pascasarjana IAIN Walisongo, 2006. Hafsin, Abu. “Kebebasan Beragama dan Hak-hak Politik Minoritas (Analisis Keagamaan Terhadap Kebijakan Presiden Gus Dur),” salah satu makalah dalam Seminar Gus Dur, Seorang Muslim dan Demokrat di Universitas Wahid Hasyim Semarang 31 Agustus 2000. Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987. Hatta, Moh. “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, Juni 2008, akses pada 4 Pebruari 2013 dari, http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/ index.php/al-Qanun/article/viewFile/15/pdf, 2012. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 325 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Hariyanto, Muchsin. “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam Bidang Ekonomi”, akses pada 28 November 2012 dari http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/politikhukum-dalam-positivisasi-hukum-islam-bidangekonomi/, 2012. Harun, Shaleh dan Abdul Munir Mulkhan. Latar Belakang Ummat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal. Yogyakarta: Aquarius, 1985. Hartono, Sunaryati. Apakah The Rule of Law. Bandung: Alumni, 1976. Harian Terbit, 4 September 2012. Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983. Hidayat, Cecep.” Terorisme, Islam, dan Gus dur”, diakses pada 14 Oktober 2012 dari, http: // www. gusdur. net/ Opini/ Detail/?id=227/hl=id/Terorisme_Islam_Dan_Gus_Dur, 2012. Hidayah, Nurul. “Teori Analisis Sosial”, akses pada 3 Juni 2013 dari http://tuntutanuntukmenulis.blogspot.com/2013/02/ analisis-sosial.html, 2013. Hottingh, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grapindo Parsada, 1996. ICRP. “ICRP Mendesak Pemerintah Mencabut Perda Bernuansa Syariah” akses pada 5 Pebruari 2013 dari http://icrp-online.org/122011/post-888.html. Ikhsan, Muhammad. “Hukum Islam di Indonesia; Dulu Dan Sekarang,” di akses pada 16 Juni 2012 dari http: //blumewahabi.wordpress.com/2007/06/12/hukumislam-di-indonesia-dulu-dan-sekarang-2/, 2012. 326 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam Ilahi, Fadl, al Hasbah. Ta’rīfuhā wa Masyrū’iyyatihā wa Wujūbihā. al-Riyadl: Dar al-Khadlarah, 2010. Imron, Al. “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas`uliyyat dalam Legislasi Hukum),” Disertasi. Semarang: Uneversitas Diponegoro, 2008. Isbar, Ali Muhammad. Abu Ali bin Sina, Kitab al-Siyasah. Suriah: Majma’ al-Raudlah al-Tijary, 2007. Iskandar, Pranoto. Hukum HAM Internasional, Sebuah Pengantar Kontekstual. Cianjur: IMR Press, 2012. Al-Jābiry, Muhammad Ābid. Al-Islām wa Al-Hadatsāt wa alIjtimā al-Siyāsī (hiwārāt fikriyyat). Beirut: Markaz Dirāsat al-Wahdat al-Arabiyyat, 2010. ---------. Qadlāyā fi al-Fikri al-Muāshiri al-Aulamah Shūrā alHadlarāt al-Audat ila al-Akhlāq al-Tasāmuh al-Dimuqratiyyah wa Nidlām al-Qoym al-Falsafah wa al-Madīnah. Beirut: Markaz Dirāsah al-Wahdat al-Arabiyyat, 2011. Jamil, Abdul. “Ceramah Kuliah Islam dan Tranformasi Global,” Pascasarjana Program Doktor IAIN Walisongo Semarang (catatan penulis tidak dipublikasikan), 2008. Jazuni. Legislasi Hukum Islam Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Junaidi. “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi,” diakses pada 21 Juni 2012 dari, https:// docs.google.com/viewer?A=v&q=cache:0zc1QFZfES4J: digilib.uns.ac.id/abstrak.pdf.php?d_id%3D14171+posi tivisasi+hukum+islam+di+indonesia&hl=id&gl=id&pid Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 327 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka =bl&srcid=ADGEESg7WDT_PhI-4YofCcV--J9z3cZbrf— Qw9RPW3ACQUr0AlB2FsIYfl4voE0Fz_hDC6tomIwKrzy NHCppLB0soCWCsUDXT42S8l4fwL5eVMwO6btX0D AkhSbWxoHqtr43oBQMBj&sig=AHIEtbRMWAhSPz VTX5Mc5dhMAX6Pd5geRw, 2012. Ka’bah, Rifyal. Percakapan Cendekiawan Tentang Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia. Bandung: Mizan, 1990. ---------. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta, 1999. ---------. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan, 2004. Kaelan. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”. Makalah, Yogyakarta, 2009. Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Kosda Karya, 2003. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, 2000. al-Khalāf, Abd al-Wahāb. Ilmu Uṣūl al-Fiqh. Kairo: Dar alRasyid, 2008. Khisni, Akhmad. “Hukum Islam dan Pemikirannya di Indonesia,” diakses pada 15 Juni 2012 dari http: // khisni. blog. unissula. ac. id/ 2011/ 10/ 10/ hukum – islam – dan – pemikirannya – di – indonesia - jurnal/, 2012. Kholis, Nor.” Dialog dan Dialektika Islam Dan Budaya Lokal Dalam Bidang Ekonomi Sebagai Salah Satu Wajah Islam Nusantara,” diakses pada 18 Mei 2012 dari http: // dualmode. kemenag. go. id/ acis10/ file/ dokumen/ 6.nurkholis. pdf, 2012. 328 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam Khomri, Said. Ruh al-Dastūr, al-Islāh, al-Sultah Wa al-Syarīat bi al-Maghribi. Marocco: al-Najah al-Jadidah, 2012. Kompas. Minggu 25 November 2012 Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan). Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2012. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1988. Latief, Yudi. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009. ---------. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Alvabet, 2012. ---------. Tradisi Hukum Indonesia. Cianjur: IMR Press, 2012. M. Atho Mudzhar. Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II. Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1985. ---------. Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 329 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka ---------. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Mahfud MD, Moh. “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6h UrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCkUo2UVEw, 2012. ---------. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 1999. ---------. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2006. ---------. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1998. ---------. Politik Hukum Di Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Pers, 2009. ---------. “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, akses pada 1 Pebruari 2012 dari http://law.uii.ac.id/images/ stories/Jurnal%20 Hukum/1%20M.Alim.pdf, 2012. Mahfud, Sahal. “Pidato Penerimaan Gelar Doktor Kehormatan KH. Sahal Mahfudz” diakses pada Jumat 1 Pebruari 2013 dari http://www. syarikat. org/content/ pidato–penerimaan–gelar-doktor–kehormatan-khsahal-mahfudz 330 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam Mahmud, Moh Natsir. Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif). Semarang: Dina Utama, 1997. Maria, Adelyn. “Negara Dan Bangsa” akses pada 21 November 2012 dari, http://www.slideshare.net/nixfairy/ national-heroism-negara-dan-bangsa-2127809 Masruhan. “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347, 2012. Minhaji, Akhmad. Sejarah Sosial dalam Studi Islam, Teori, Metodologi dan Implementasi. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2010. Miri, Djamaluddin M.”Hukum Islam di Indonesia (Tinjauan Terhadap Esensi, Eksistensi, Pelembagaan, Pembaharuan, Pengembangan dan Prospek Penerapannya),” diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer? a=v&q = cache: n8LDiFM3FPkJ: mahadalytebuireng. files. wordpress. com/ 2009/ 05/ hukum – islam – di -indonesia1. doc+PEMIKIRAN+HUKUM+ISLAM+BUSTANUL+ARIFIN+%2 8Studi+Tentang+Esensi,+Eksistensi,+Pelembagaan,+Pemb aharuan,+Pengembangan+dan+Prospek+Penerapan+Huk um+Islam+di+Indonesia%29&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=A DGEESjK8ms5L_apfezWP3E1hO_56W_zzWHvBEoAmK6U M1XGeyAWpINFy5wrp9BWGjQSbJYNQR4LVws NtH5LO4j D9I7MQ tt 1qG8h – PYHv ExA67 k1scyp LP5zOGH6GtwiHT oESjGrZKI5&sig=AHIEtbTxmNR9m44gAHcgxuMw0xtzXpw A2A, 2012. Misbahy, Muhammad. Al-Aql al-Islāmī baina Qorthobat wa Asfahān. Beirut: Dar al-Thaliat, 2006. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 331 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka Mochtar, M. Akil. “Visi Pembangunan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 4 Pebruari 2013 dari http:// www.akilmochtar.com/wp-content/uploads/2011/06/ VISI_PEMBANGUNAN_SISTEM_HUKUM_INDONESIA_ akil1.pdf, 2012. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Jakarta: Rosdakarya, 2004. Mubarok, Jaih. ”Formalisasi Hukum Islam: Pelaksanaan Syariat Oleh Negara,” diakses pada 21 Juni 2012 dari http://www.pa-balikpapan.net/index.php?option= com_content&view=article&id=86:formalisasi– hukum–islam–profdr–jaih–mubarok&catid=61:artikelumum&Itemid=206, 2012. Muchsin. Ikhtisar Sejarah Hukum. Jakarta: BP. IBLAM, 2004, ----------. Masa Depan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: BP. IBLAM, 2004. ---------. “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional,” diakses pada 20 Juni 2012 dari http: // www.ditpertais.net/annualconference/2008/dokumen/ KONTRIBUSI-% 20HUKUM% 20ISLAM - muchsin.pdf, 2012. Mudzhar, Mohammad Atho’. Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II, Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991. ---------. Fatwa fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993. 332 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam Muhadjirin, Muhammad Aziz. Sistem Peradilan Dalam Islam”, akses pada 24 November 2012 dari, http: // muhammadaiz. wordpress. com/ materi – peradilan – islam – di - indonesia/, 2012. Muzadi, Hasyim. “ Kalau dibiarkan, Negara Bisa Bubrah,” diakses pada 24 Juni 2012 dari http: // www. nu. or. id/ a, public - m, dinamic - s, detail - ids, 5-id, 7522 - lang, id - c, halaqoh - t, Hasyim + Muzadi + Kalau + dibiarkan + + Negara + Bisa + Bubrah + + 65533 + + -.phpx, 2012. al-Naī’m, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Syarī’ah, Kritik Konsep Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajidi. Yogyakarta: LKiS, 1996. ---------. Sharīa Law and The Modern Nation-State, A Malysian Simposium. Kuala Lumpur: Friedrich-Nauman-Stiftung (Germany), 1994. Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negara Barat (Edisi Baru). Jakarta: Rajawali Press, 1983. Notohamidjojo. Makna Negara hukum. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970. Nyazee, Imran Ahsan Khan. Theories Of Islamic Law, The Methodology Of Ijtihad. New Delhi, India: Adam Publisher & Distributor, 2007. Partanto, Pius A dan Dahlan al Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994. PP IKAHI, Varia Peradilan, Nomor 161 Tahun 1999. Praja, Juhaya S. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, Bandung: Rosdakarya, 1991. Purnomo, Agus. Konstruksi Formalisasi Syariat Islam Elite Politik: Kajian Tentang Peraturan Daerah Syariat Kabupaten Pamekasan. (Disertasi IAIN Sunan Ampel, Surabaya), 2013. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 333 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka Radhie, Teuku Mohammad. Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember, 1973. Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2007. ---------. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2006. ---------. Kata Pengantar dalam buku Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004. ---------. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. Rahman, Ahmad Syafii. “Corak Modernisme Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis),” diakses pada 24 Juni 2012 dari http://syafiirahman. blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-enus-x-none_2255.html, 2012. al-Raisūnī, Ahmad. Ijtihad, Antara Teks, Realitas dan Kemashlahatan Sosial, terj. Ibnu Rusydi. Jakarta: Erlangga, 2002. ---------. Hukm al- Aghlabiyyat Fī- al- Islām, Dirāsah Ushūliyyah. Marocco: Dar al-Baidlā, 2007. ---------. Madkhal Ila Maqāṣid al-Syarīah. Marocco, Rabat, Dar al-Aman, 2009. ---------. al Ijtihād, Nash, al Wāqi wa al-Mashlahah. BairutLibanon: Sabkat al-Arabiyyāt li al Abhās wa al-Nasyr, 2012. 334 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam ---------. al Ummat Hiya al Asal, Muqārabat Ta’shīliyyat li Qadlāyā al Dimaqratiyyat, Hurriyyat al Ta’bir, al Fan, BairutLibanon: al Syabkat al ‘Arabiyyat li al Abhās Wa al Nasyr, 2012. ---------. Qadliyyah al Aghlabiyyat Min al Wajhat al Syar’iyya. Bairut: Sabkat al Arabiyyat Li al Abhas Wa al Nasyr, 2012. Rambe, Mara Sutan. “Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Pidana Nasional” diaskses pada 21 November 2012 dari, http: // msrambe. wordpress. com/ 2012/ 06/ 21/ proses – akomodasi – hukum – islam – kedalam – hukum – pidana - nasional/, 2012. Rofiq, Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia. Jakarta: Gama Media, 2001. Rohmanu, Abid. “Konsepsi Fiqh Jihad Khaled Medhat Abou El Fadl Dalam Perspektif Relasi Fiqh Dan Akhlak,” Disertasi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010. Rokhmad, Abu. Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam Perspektif Teori Mashlahah. Semarang: Pustaka Rizqi Putra & Pascasarjana IAIN Walisongo, 2012. Sadzali, Munawir.”Makalah dalam Upacara Penbukaan Rapat Kerja Gabungan Mahkamah Agung dengan Semua Lingkungan Peradilan pada 21 Maret di Yogyakarta, 1985. Said, Imran. “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www. scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan – Orde - Baru Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 335 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka Saleh, Abdul Rahman dkk. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI dan PSHK, 2007. al-Shiddiqie dalam, http://www.jimly.com/pemikiran/ view/4, akses 04 November 2012. Sidharta, Bernard Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: CV Mandar Maju, 1999. Simarmata, Rikardo.” Socio-Legal Studies Dan Gerakan Pembaharuan Hukum,” diakses pada 05 Oktober 2012 dari http: // huma. or. id/ wp - content/ uploads/ 2006/ 12/ Rikardo - Simarmata.- SOCIO - LEGAL-STUDIES-DANGERAKAN-PEMBAHARUAN-HUKUM.pdf, 2012. Siroj, Malthuf. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012. Siregar, Bismar. Islam and Pancasila in The Clash Of Ijtihad Fundamnetalist Versus Liberal Muslim, The Development Of Islamic Thingking in Contemporary Indonesia. Delhi: ISPCK, 2011. ---------. Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al Azhar, 2003. Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni Bandung, 1987. Soemitro, Roni Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Solihin.“PandanganM.AmienRaisTentangPolitikIslamIndonesia (Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985– 2000)”, diakses pada 21 Juni 2012 dari https://docs.google. com/viewer?a=v&q=cache:I8u8k-JWggJ:www.uinsgd.ac.id/_ multimedia/document/20120611/20120611111350_solihin. 336 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam Pdf+Amin+rais+dan+pandangannya+tentang+hukum+Isla m&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShNL4X045vJQtF2N fsNgp9FHtOuCAnR6NyNbasfv1n6z9IAisZ8j-DaaFb9lKuLMaNaWi9jdacNpP40Cv73GecAkpLum5Rrtm7dFn34a–ymEs2dnxeaK-QK14cSm5_kR8vK8_&sig=AHIEtbQ1q_XRsB_ md9qNn1 KTT7 YF8Ujtmw, 2012. Society, Adeles Jung. “Dinamika dan Karakteristik Produk Undang-Undang Era Reformasi”, akses pada 3 Juni 2013 dari http://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/ 03/27/dinamika-dan-karakteristik–produk–undang– undang–era- reformasi/, 2013. Sularno, M. ”Syari’at Islam Dan Upaya pembentukan Hukum Positif di Indonesia,” diakses pada 05 Oktober 2012, dari http:// journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/ viewFile/245/240. Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-undang Perdata Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2004. Suryabrata, Sumard. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1999. Sunny, Ismail. Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I. Bandung: Ulul Albab Press, 1997. ---------. Mencari Keadilan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Suprayogo, Imam. “Kekuasaan Presiden Dari Masa ke Masa”, akses pada 24 November 2012, dari http://www.Uinmalang.ac.id/index.php?Option=com_content&view= article&id= 024: kekuasaan -presiden-dari-masa-ke-masa&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210, 2012. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 337 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka Supranto, J. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Syaddad, Ahmad Farhan. “Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Analisis Terhadap Kebijakan Perubahan UUSPN No 2 Tahun 1989 MenjadiUU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003)” akses pada 23 November 2012 dari, http://www. scribd.com/doc/92938997/ANALISIS-UU-SISDIKNAS, 2012. al-Syaṭibī, Abū Ishāq. Al-Muwaffaqāt Fi Uṣūl al-Ahkām, Juz. 2. Kaero: Al-Mīdani, 1963. Taimiyyah, Ibnu. as-Siyāsah asy-Syar’iyyah. Kairo: Dar alKitab al-Arabi, 1952. Tamin, Boy Yendra. “Masa Depan Hukum Islam Pasca Reformasi dan Tantangan Menghadapi Globalisasi Hukum”, akses pada 9 Desember 2012 dari, http://boyyendratamin. blogspot.com/2012/05/masa-depan-hukum-islam-pascareformasi.html, 2012. Tamrin, Dahlan. Kaidak-kaidah Hukum Islam Kulliyyah alKhamsah. Malang: UIN Maliki Press, 2010. Tanya, Bernard L. Politik Hukum, Agenda Kepentingan Bersama. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011. Tarigan, Azhari Akmal. “Menimbang Kembali Penerapan Syari’ah Islam”, akses pada 16 Pebruari dari http: //www. waspada.co.id/index2.php?Option=com_content&do_ pdf=&id=20286, 2013. Thalib, Sajuti. Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1982. 338 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Daftar Pustaka Dr. M. Shohibul Itmam Thalib, Abdul Rosyid. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Trikanti. “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04 November 2012 dari, http://trikantii. blogspot.com/2011/10/ perkembangan–sistem–hukum-indonesia. html, 2012. Tutik, Titik Triwulan. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Wahid, Abdul Rahman. Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunan percikan Pemikiran Gusdur. Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1999. ---------. Dialog Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993. Wahid, Marzuki. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKis, 2001. ---------. “Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Paska Orde Baru, Studi Politik Hukum atas CLD-KHI,” diakses pada 10 Juni 2012 dari http: // www. komnasperempuan. or. id/ wp - content/ uploads/ 2009/ 02/ pembaharuan – keluarga – islam – pasca – orde - baru_marzuki-wahid.pdf, 2012. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 339 Dr. M. Shohibul Itmam Daftar Pustaka ---------. “Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur,” diakses pada 21 Juni 2012 dari http: // www. gusdur. net/ Opini/ Detail/ ?id = 238/h l= id/ Inspirasi _Dari_Pemikiran_Gus_Dur, 2012. Wasck, Raymond. Philoshopy of Law. Oxford: Oxford University Pres, 2006. Wikipedia. akses pada 24 November 2012 dari, http: // id. wikipedia. org/ wiki/ Agama, 2012. Winarno. wawancara di Iran dalam sarasehan mahasiswa utusan PBNU dengan atase keamanan (tidak dupublikasikan), 2006. Yamin, Muhammad. Proklamasi dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Zoelva, Hamdan. “Syari’at Islam dan Politik Hukum Nasional Indonesia”, diakses pada 26 April 2012 dari http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/01/ syari%E2%80%99at–islam–dan–politik-hukum-nasionalindonesia/, 2012. 340 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia GLOSSARY Akhlak, Budi pekerti, prilaku sebagai manifestasi sikap dari suatu pemahaman Al Ahkam al Khamsah, lima hukum yang pokok, terkenal dalam ushul fiqh (halal, haram, sunnah, makruh dan jawaz). Al Hadits, sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan, sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran. Al Qur`’an, firman Allah, sumber hukum Islam yang pertama dan utama, kitab suci umat bagi Islam diberikan kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril As Sunnah, nama lain al Hadits, sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan dan merupakan sumber hukum Islam kedua setelah a-Qur’an. Asas, dasar, sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak sebagai dasar cita-cita atau hukum dasar BW (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warga negara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 341 Dr. M. Shohibul Itmam Glossary timur asing yang pada prakteknya masih berlaku di Indonesia hingga sekarang Daulah, negara, pemerintahan atau kerajaan (terminology dari Bahasa Arab) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Dzanny, tidak meyakinkan, relatif atau dalam konteks tafsir al-Qur’an merupakan lafal-lafal yang mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan Era reformasi, era lengsernya Soeharto menuju perubahan pemerintahan yang lebih demokratis dan transparan yang dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Fatwa, nasihat hukum, jawaban hukum, pendapat ulama ahli terhadap persoalan yang belum diselesaikan atau yang menimbulkan pertikaian mengenai atau berhubung dengan hukum Syara’ Fiqh, pemahaman atas prinsip-prinsip hukum Islam atau bidang ilmu syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun beribadah 342 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Glossary Dr. M. Shohibul Itmam Hukum Islam, istilah hukum yang khusus di Indonesia yang merupakan perpaduan atau gabungan antara syariat dan fiqh, dibarat dikenal dengan istilah Islamic Law dan Islamic Jurisprudent Ijtihad, upaya sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu, biasanya dilakukan untuk maksud istimbath Istimbath, pengeluaran hukum-hukum dari dalil nash alQur’an atau al-Sunnah yang bisanya terkait dalam melahirkan suatu produk fiqh tertentu atau ijtihad Jakarta Charter atau Piagam Jakarta, hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan BPUPKI dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis) yang didalamnya terdapat ketentuan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” Kaffah, menyeluruh, komplit dan komprehensif dalam memahami ajaran Islam menuju kesempurnaan KHI (Kompilasi Hukum Islam), adalah materi hukum Islam yang disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di Indonesia dari masa ke masa yang ditulis dalam bahasa hukum, pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal) ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 343 Dr. M. Shohibul Itmam Glossary Khilafiyah, masih diperdebatkan kesahihannya atau terkait perbedaan pendapat di kalangan ummat beragama, baik mengenai hukumnya, tata cara dalam melakukan ibadah dan yang lainnya Landraad, pengadilan negeri, istilah bahasa Belanda untuk “pengadilan negeri”, yang merupakan salah satu pengadilan tingkat pertama di wilayah Hindia-Belanda selain districtgerecht, regentschapsgerecht, rechtbank van omgang, raad van justitie, dan hooggerechtshof Machtstaat, Negara yang berdasar keuasaan belaka, identik dengan pemimpin yang otoriter, kekuasaan yang terpusat (sentralistik), konfigurasi politik otoriter yang biasanya melahirkan produk hukum yang represif dan sangat mengekang kebebasan Mahdhah, jenis ibadah yang berhubungan dengan tuhan dan hanya untuk tuhan, biasanya terkait dengan suatu ritual keagamaan tertentu Positivisasi Hukum Islam, upaya menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif melalui tranformasi nilai yang terkandung di dalamnya, baik nilai moral spesifik maupun nilai moral universal Politik Hukum, suatu proses, kebijakan yang mengantarkan pada upaya perlu lahir atau tidaknya suatu undangundang atau hukum Ulil amri, pemegang otoritas, pemerintahan yang biasanya disepakati dan diikuti kebijakannya dalam konteks Islam Ushul fiqh, ilmu atau pengetahuan tentang dasar-dasar hukum Islam atau ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara 344 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Glossary Dr. M. Shohibul Itmam terinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumbernya Qanun, hukum atau peraturan daerah, atau Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat seperti yang ada di Provinsi Aceh. Qadli, hakim, orang yang memutuskan perkara seperti qadli Muhtasib, yaitu qadli yang bertugas memutuskan semua perkara yang menyangkut hak umum. Dalam hal ini tidak ada pihak penuntut, namun wewenangnya tidak meliputi perkara perdata (hudud) dan pidana (jinayat) Qiyas, analogi yang dipakai untuk penentuan status hukum sesuatu dan merupakan suatu metode penalaran yang lazim digunakan dalam ilmu-ilmu keislaman yang terangkum di dalam kategori rumpun ilmu-ilmu bayani, yakni sekumpulan ilmu-ilmu dalam disiplin-disiplin fiqh jurisprudensi, kalam teologi, nahwu gramatika, dan balaghah retorika. Qiyas ini kemudian dipakai oleh para ahli fiqih untuk merumusakan metode dalam mengambil kesimpulan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ra’yu, akal, rasio, logika yang biasanya dipakai dalam konteks penafsiran al-Qur’an dan al-sunnah berdasarkan akal Reception in Complexu, teori ahli hukum Belanda yang mengatakan bahwa hukum mengikuti agama Receptive Theory, teori ahli hukum Belanda yang mengatakan bahwa hukum Islam tidak dianggap sebagai hukum kecuali telah diterima oleh hukum adat Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 345 Dr. M. Shohibul Itmam Glossary Rechtstaat, Negara berdasar hukum, segala sesuatu diselesaikan dengan aturan hukum, bukan kekuasaan atau otiritas seseorang RR, Regeering Reglement, Undang-undang Hindia Belanda tentang perubahan sistem pemerintahan dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer yang terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda SHN (Sistem Hukum Nasional), perangkat hukum negara yang secara beraturan saling berkaitan mengatur ketertiban jalannya suatu operasional pemerintahan UUPA (Undang-Undang Peradilan Agama), undang-undang di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam UndangUndang. UUD (Undang-Undang Dasar), hukum dasar yang berlaku di suatu negara, tidak mengatur hal-hal yang terperinci, melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya. 346 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia INDEKS A al-Qur’an, al-Sunnah, authoritative source, B budaya hukum, D Dekrit Presiden, E eklektisisme, era reformasi, F fiqh, G hukum Adat, hukum Barat, hukum Islam, hukum pidana, hukum positif, I Ijmā’, Ijtihād, K kebhinnekaan, kesadaran hukum, kolonial, kolonial Belanda, Kompilasi Hukum Islam, L legislasi, GBHN, O H Orde Baru, Orde Lama, HAM, Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 347 Dr. M. Shohibul Itmam Indeks P R Pancasila, peluang, pembaharuan, pembaharuan hukum, Peradilan Agama, Perda Syariah, persuasive source, perundang-undangan, Piagam Jakarta, pluralis, politik hukum, positivisasi hukum Islam, PROPENAS, Recepcio In Complexu, Receptie, 348 S substansi hukum, syarī’ah, T tantangan, teologis, Y yuridis formal, Positivisasi Hukum Islam di Indonesia LAMPIRAN Peraturan dan Perundang-undangan Hukum Islam di Indonesia Sebelum reformasi: 1. UU RI No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan. 2. UU RI No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dan kemudian UU No. 3 Tahun 2006 3. UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan prinsip bagi hasil. Selain tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain: 1. Penjelasan atas Undang-undang No. 1 Tahun 1972 tentang Perkawinan 2. PP No. 9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan 3. PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik 4. PP No. 72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. 5. Inpres No. 1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 6. Inpres No. 4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 349 Dr. M. Shohibul Itmam Lampiran Era reformasi: 1. UU RI No.10/1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan Prinsip Syariah. 2. UU RI No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají 3. UU RI No. 38 Tahun 1999 diganti UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat 4. UU RI No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam 5. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan Partai Islam 6. UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 7. Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional 8. UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf 9. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 10. UU RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 11. UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara 12. UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 13. UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Selain itu ada beberapa: A. Keputusan Fatwa Majlis Ulama No. 4/Munas VII/ MUI/08/2005 tentang Perkawinan Beda Agama B. Keputusan Fatwa Majlis Ulama, 11 Mei 2002 tentang Wakaf Uang C. Keputusan Fatwa Majlis Ulama No. 3 Tahun 2005 tentang Zakat Penghasilan 350 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia CURRICULUM VITAE Lahir pada 15 Pebruari 1979 di desa Petekeyan Kecamatan Tahunan Jepara. Dosen tetap jurusan syari’ah, pengampu mata kuliah Ilmu Hukum (IH) dan Hukum Tata Negara (HTN) di IAIN Ponorogo sejak Tahun 2010. Pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyyah Nahdlatul Fata (1992) dan Madrasah Diniyyah Awwaliyyah Nahdlatul Fata (1994) di Desa kelahirannya. Pendidikan Tsanawiyah/Wustho (1996) dan Aliyah/‘Ulya (1999) dijalani dengan nyantri di Pondok Pesantren al-Mustaqim, Bugel, Kedung, Jepara. Pada tahun 2004 menyelesaikan sarjana (S1) Ushuludin, Tafsir Hadis di STAIN Kudus. Pendidikan (S2) Magister Ilmu Hukum diraih atas beasiswa dari Institut Bisnis Law and Management di Jakarta (STIH IBLAM) pada Tahun 2005 dengan nyantri di Pondok Pesantren Mahasiswa, Ciganjur dalam asuhan Gus Dur (KH. Abdurahman Wahid). Sempat menerima beasiswa jaringan PBNU—Iran, Teheran dengan belajar di Madreesehe/ Hauzah Ilmiah al-Mahdy di kota Qoom, Iran (2006). Pendidikan Doktor (S3) diraih dari UIN Walisongo atas rekomendasi PBNU dan KBRI Teheran Iran, pada 2013. Mengawali karir sebagai pengajar di STAIN Kudus pada 2007. Pernikahannya dengan gadis pilihanya, Erna Dian Istiana, S. Pd di karunia Medina Pyruz Behtare Zendegy dan Mehrabany Della Tamam Afaridy. Selain sebagai dosen, penulis juga pendiri dan pengajar di Pondok Pesantren An-Najah yang dirintis bersama masyarakat sejak pulang dari Iran. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 351 Dr. M. Shohibul Itmam Curriculum Vitae Beberapa karya yang telah dipublikasikan antara lain, Mengurai Pemikiran Islam dalam Perspektif Sunny-Syi’ah, antara Persamaan dan Perbedaan (Jurnal al-Din, STAIN Kudus, 2008), Hukum Alam (Jurnal Yustisia, STAIN Kudus, 2009), Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Positif dalam Konteks keIndonesiaan (Jurnal Justisia, STAIN Ponorogo, 2010), Studi al-Qur’an Perpektif Muhammad Arqoun (Jurnal Dialogia, STAIN Ponorogo, 2011), Diktat Ilmu Hukum (STAIN Ponorogo, 2011), Reformulasi Studi Hukum Islam Pendekatan Sosiologis (Jurnal al-Tsaqafah, UIN SUNAN KALIJAGA, 2012) Kesadaran Hukum Pengendara Kendaraan Bermotor Menurut UU No. 22 Tahun 2009, Studi Wilayah Polres Ponorogo (Penelitian P3M STAIN Ponorogo, 2012) Model Studi Islam dengan Pendekatan Sosiologis (Jurnal INSURI Ponorogo), Masa Depan Hukum Islam di Indonesia (Studi UU Jaminan Produk Halal), Penelitian P3M STAIN Ponorogo, 2013). Makalah AICIS Balikpapan 2014, Hukum Rimba (Potret kesadaran hukum orang rimba di Jambi. Penelitian Kebijakan Progresif sebagai alternatif pemberdayaan STAIN Ponorogo (DIPA 2014). Pergumulan Hukum Rimba dengan hukum moderen (Jurnal IAIN STS Jambi). Makalah AICIS Manado 2015, Islam Rimba (Potret keberagamaan Orang Rimba di Jambi Sumatra). Penelitian Makna kesejehteraan di STAIN Ponorogo dalam perspektif hukum progresif (DIPA 2015). Penulis bisa dihubungi dengan nomor 085226394498, email [email protected] atau [email protected], dan via post alamat PP. An Najah, desa Petekeyan, 12/03 Kecamatan Tahunan Jepara. 352 Positivisasi Hukum Islam di Indonesia