positivisasi hukum islam di indonesia

advertisement
Editor:
M. Harir Muzakki
POSITIVISASI HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
oleh:
Dr. M. Shohibul Itmam, M.H.
Judul Buku:
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
xii+352 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN:
Penulis:
Dr. M. Shohibul Itmam, M.H.
Editor:
M. Harir Muzakki
Desain Sampul:
Thafa
Tata Letak:
Aprilio
Diterbitkan oleh:
STAIN Po PRESS
Jl. Pramuka No. 156 Ponorogo
Telp. (0352)481277
E-mail: [email protected]
Dicetak oleh:
Nadi Offset
Jl. Nakulo No. 4A, Dsn. Pugeran, Sleman, Yogyakarta
Telp. (0274)6882748
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1.
Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
FORMULASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA:
KOMPROMI ANTARA NEGARA DAN AGAMA?
(SEBUAH PENGANTAR)
Segala puji hanya milik Allah SWT, hanya atas rahmat
dan taufik-Nya penulisan buku yang merupakan disertasi sdr.
Muhammad Shohibul Itmam yang diajukan untuk meraih
gelar doktor pada Program Pascasarjana UIN Walisongo
Semarang, dapat dihadirkan ke hadapan pembaca.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
Baginda Rasulullah Muhammad Saw, para keluarga, para
sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa mencintai
dan menjalankan sunnahnya.
Berbicara tentang “Positivisasi Hukum Islam di
Indonesia (Kajian Terhadap Politik Hukum Era Reformasi)”,
meminjam bahasa Noul J. Coulson, melahirkan konflik
dan ketegangan, baik dalam proses awal maupun ketika
sudah berada di wilayah lembaga legislatif. Hampir tidak
ada sebuah undang-undang yang lahir dari rahim lembaga
legislatif yang terhormat ini, yang seratus persen mulus,
karena sudah pasti ada riak-riak fraksi yang menolak,
bahkan hingga sidang paripurna pun, tidak jarang dijumpai
ada fraksi yang menempuh cara walk-out. Sebutlah, lahirnya
UU No. 33 Tahun 2014 di akhir pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) memilih walkout.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
iii
Dr. M. Shohibul Itmam
Kata Pengantar
Sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat para
politisi di Senayan tersebut, adalah sesuatu yang amat
wajar. Akan tetapi jika menyangkut isu utama tentang
jaminan produk halal, rasanya agak aneh. Sementara Jepang
saja, hanya karena akan menjadi tuan rumah Olimpiade,
“menetapkan” kota Tokyo, sebagai kota halal. Saya yakin,
mereka tidak melihat dari sisi politik, tetapi boleh jadi lebih
meninjol dari perspektif ekonomi.
Ketika saya diminta membuat pengantar, sebagai
“promotor” ketika penulis menyiapkan disertasinya, saya
merasa tidak bisa menolaknya. Yang jelas, sejauh yang saya
ketahui melalui komunikasi akademik, sudah berusaha
maksimal mencurahkan kemampuan akademik dan pemikiran
untuk dapat menyajikan hasil kerja intelektualnya dalam
memotret formulasi hukum Islam di Indonesia menjadi hukum
positif. Karena perjalanan kodifikasi dan positifisasi di negara
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, ternyata mengalami
konflik dan ketegangan, yang kadang-kadang lebih menonjol
kepentingan politiknya katimbang sisi untuk memberikan
perlindungan dan kemashlahatan bagi masyarakatnya.
Padahal sesungguhnya, jika hukum Islam diposisikan
sebagai sumber hukum, nilai, value, dan substansi hukum,
maka formulasinya akan dirasa lebih smooth, apalagi ketika
didasarkan pertimbangan bahwa hukum dihadirkan kepada
masyarakat, adalah dalam misi membahagiakan mereka, bukan
masyarakat untuk hukum. Inilah sejatinya hukum. Terlebih
lagi, jika mengikuti perspektif hukum progresif, atau meminjam
bahasa Ushul Fiqh, disebut dengan maqashid al-syariah, yakni
kebahagiaan manusia yang bermuara pada memelihara agama,
jiwa, akal, keluarga, dan harta. Padahal ketika gagasan regulasi
yang terkait dengan hukum Islam, karena di dalamnya ada misi
iv
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Kata Pengantar
Dr. M. Shohibul Itmam
untuk merealisasikan kemashlahatan, kepastian hukum, dan
tentu kebahagiaan.
Dalam buku ini, penulis berusaha menjelaskan dinamika
politik hukum nasional yang tidak terlepas dari adanya saling
mempengaruhi (interdependensi) antara hukum Islam dan
hukum umum, dalam upaya kodifikasi dan unifikasi hukum
nasional dalam program legislasi nasional (PROLEGNAS).
Dinamika politik hukum nasional tersebut sesungguhnya
terkait dengan kesadaran hukum masyarakat yang merupakan
indikator bermanfaat atau tidaknya suatu hukum dalam
masyarakat yang diterima sebagai rumusan hukum nasional, di
satu sisi, namun juga ada political will dari pemerintah sebagai
pemegang otoritas regulatif, dalam ikhtiar mewujudkan
kemashlahatan masyarakat sebagai subyek hukum. Apalah
artinya hukum dilahirkan, jika tidak menghadirkan
kebahagiaan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Dalam upaya menyesuaikan kesadaran hukum nasional
tersebut maka sistem hukum Indonesia dibangun atas tiga
sumber; hukum adat, hukum barat dan hukum Islam secara
eklektik. Harus difahami bahwa, sudah tidak masanya lagi
mempertentangkan antara ketiga hukum tersebut, tetapi
mana yang secara universal diyakini sebagai instrumen
untuk melahirkan keadilan dan kepastian hukum, itulah
yang diambil.
Era reformasi selaras Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Tahun 1999-2004 kemudian Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) sesuai dinamika politik hutkum nasional hingga
sekarang merupakan peluang besar bagi upaya positivisasi
hukum Islam. Atas dasar realitas tersebut, buku ini kiranya
dapat menjadi salah satu bacaan bagi pemerhati ilmu hukum,
termasuk di dalamnya hukum Islam dan relevansinya
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
v
Dr. M. Shohibul Itmam
Kata Pengantar
dengan dinamika politik hukum nasional sebagai referensi
yang melengkapi. Dalam buku ini juga dijelaskan hubungan
agama dan negara dalam positivisasi di Indonesia, sistem
dan pembangunan hukum serta politik hukum Indonesia era
reformasi serta beberapa faktor yang menjadi peluang dan
tantangan positivisasi hukum Islam di Indonesia.
Dalam beberapa pemaparan yang cukup argumentatif,
buku ini menjelaskan terjalinnya hubungan agama dan
negara dalam positivisasi di Indonesia secara simbiosis
mutualistik guna membangun sistem hukum nasional.
Sumber hukum manapun mempunyai hak untuk
diberdayakan dan diadaptasi sebagai nilai dan khazanah
hukum, sejalan dengan nilai Pancasila dan UUD 1945
dengan fungsi pemerintah sebagai regulator. Sistem dan
pembangunan hukum serta politik hukum era reformasi
tampak masih belum hilang sama sekali, dampak rekayasa
politik hukum Belanda yang berpengaruh hingga sekarang
dan mengakibatkan sistem hukum Indonesia belum sesuai
kesadaran hukum yang sesungguhnya. Dikhotomi antara
ilmu hukum Indonesia dengan ilmu hukum Islam Indonesia
merupakan pemicu pudarnya kesadaran hukum nasional.
Faktor penyebabnya antara lain kurangnya dukungan
secara politik di parlemen dalam program legislasi nasional
(PROLEGNAS). Selain itu kontroversi filosofis internal
dalam memahami hukum Islam seringkali menyudutkan
hukum Islam itu sendiri. Selain itu, nilai hukum Islam
yang mengejawantah menjadi tradisi, sebagai nilai yang
diakui dalam kesadaran hukum masyarakat diserap secara
nasional. Sehingga, positivisasi hukum Islam dalam politik
hukum era reformasi adalah upaya integrasi Hukum positif
yang dikhotomik dengan Hukum Islam Indonesia.
vi
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pada bagian akhir buku ini dijelaskan tentang politik
hukum era reformasi yang menunjukkan prospek cerah
dalam menjadikan nilai hukum Islam syari’at—fiqh sebagai
sumber materi hukum nasional. UU No. 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
menunjukkan, bahwa sistem perencanaan pembangunan
nasional, rencana strategi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dalam menyiapkan regulasi merefer pada nilai, aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat. Karena Indonesia, sebagai
negara hukum, yang bukan negara agama dan juga bukan
negara sekuler, kompromi antara agama dan negara, adalah
bagian dari solusi bagi tumbuhnya sistem hukum Indonesia
yang berkeadilan dan bermartabat.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, penulis
buku ini berharap dapat memberikan kontribusi positif
bagi ikhtiar pembangunan wawasan baru bagi tersusunnya
hukum Indonesia dan hukum Islam Indonesia menuju
pembangunan hukum nasional yang dapat mewujudkan
keadilan dan kebahaiaan masyarakat.
Sudah barang tentu, bagi seorang calon ilmuwan, meski
buku ini, bermula dari disertasi yang dipertahankan di
hadapan majelis penguji yang terdiri dari para guru besar,
dapat menjadi starting poin, untuk bisa melahirkan karyakarya berikutnya.
Selamat membaca, semoga bermanfaat. Allah a’lam bi alshawab.
Semarang, 01 November 2015,
Prof. Dr. KH. Ahmad Rofiq, MA
(Guru Besar Hukum Islam UIN Semarang).
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................iii
DAFTAR ISI...............................................................................ix
BAB IPENDAHULUAN.......................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................. 1
B. Tinjauan Pustaka....................................................... 23
C. Metode Penelitian...................................................... 40
1. Jenis Penelitian................................................... 41
2. Pendekatan dan Sumber Data........................... 42
3. Tehnik Pengumpulan Data................................ 43
4. Pengolahan Data................................................. 44
5. Analisis Data........................................................ 45
6. Validitas/Kesahihan........................................... 45
BAB IILANDASAN TEORI.................................................... 47
A. Hubungan Agama dan Negara dalam
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia.................... 47
1. Hukum Islam diantara
Syarī’ah dan Fiqh.................................................. 47
2. Hukum Nasional dan Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasional.......................... 50
3. Hubungan Agama dan Negara dalam
Positivisasi Hukum............................................. 54
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
ix
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Isi
B. Sistem, Pembangunan Hukum Serta
Politik Hukum Era Reformasi................................... 63
1. Penataan Sistem Hukum.................................... 69
2. Penataan Kelembagaan Hukum........................ 70
3. Pembentukan dan
Pembaruan Hukum............................................. 71
4. Penegakan Hukum dan
Hak Asasi Manusia.............................................. 73
5. Pemasyarakatan dan
Pembudayaan Hukum........................................ 74
6. Peningkatan Kapasitas
Profesional Hukum............................................. 75
7. Agenda Infrastruktur Kode Etik........................ 76
C. Faktor, Peluang dan Tantangan
Positivisasi Hukum Islam.......................................... 77
BAB III HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
DALAM POSITIVISASI HUKUM
DI INDONESIA........................................................... 85
A. Hubungan Agama, Hukum dan
Politik di Indonesia.................................................... 85
1. Pergumulan Agama, Hukum dan
Politik di Indonesia............................................. 98
2. Teori Teokrasi dan Sekuler dalam
Negara Pancasila............................................... 107
B. Hukum Islam dalam Sistem Tata Hukum
di Indonesia.............................................................. 114
1. Hukum Islam dan Hukum Positif.................... 124
2. Politik Hukum Islam
di Era Reformasi................................................ 144
3. Positivisasi Hukum Islam
di Indonesia....................................................... 154
x
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Isi
Dr. M. Shohibul Itmam
BAB IV SISTEM HUKUM, PEMBANGUNAN HUKUM
DAN POLITIK HUKUM
ERA REFORMASI.................................................... 163
A. Politik dan Tata Hukum di Indonesia
Pra Reformasi........................................................... 163
1. Masa Pra Kemerdekaan.................................... 176
2. Masa Orde Lama (ORLA)................................... 189
3. Masa Orde Baru (ORBA).................................... 197
B. Politik dan Tata Hukum di Indonesia
Era Reformasi........................................................... 204
1. Politik Hukum Era Reformasi.......................... 218
2. Positivisasi Hukum Islam
Era Reformasi.................................................... 228
BAB V FAKTOR, PELUANG DAN
TANTANGAN POSITIVISASI HUKUM ISLAM
DI INDONESIA......................................................... 253
A. Positivisasi Hukum Islam:
Antara Peluang dan Tantangan.............................. 253
B. Peluang dan Tantangan
Perspektif Politis...................................................... 262
C. Peluang dan Tantangan
Perspektif Sosiologis................................................ 279
1. Fungsi Integratif Agama.................................. 280
2. Fungsi Disintegratif Agama............................. 284
D. Peluang dan Tantangan
Perspektif Filosofis.................................................. 291
BAB VIPENUTUP................................................................. 315
A. Kesimpulan............................................................... 315
B. Saran/Rekomendasi................................................ 317
DAFTAR PUSTAKA................................................................ 319
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
xi
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Isi
GLOSSARY.............................................................................. 341
INDEKS.................................................................................... 347
LAMPIRAN............................................................................. 349
CURRICULUM VITAE............................................................ 351
xii
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran tentang pembaharuan hukum Islam1 di
Indonesia secara konsisten dan konsern yang tinggi telah
dilakukan oleh Hasbi al-Shiddieqy dan Hazairin. Perbedaannya
Hasbi lebih mengacu pada metodologi hukum Islam yang
dirintis ulama terdahulu, sedangkan Hazairin cenderung pada
Menurut Rofiq (Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia
(Jakarta: Gama Media, 2001), 97-98) pembaharuan hukum Islam diartikan sebagai
upaya untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktek keislaman
yang telah mapan (established) kepada pemahaman dan pengamalan baru.
Pembaharuan terus berjalan dari masa ke masa walaupun sebenarnya Hukum
Islam sudah berlaku sejak awal masuknya Islam di Indonesia. Bahkan pada
perkembangan berikutnya, Hukum Islam menjadi salah satu dari tiga bahan
dasar dari hukum nasional, selain Hukum Adat dan Hukum Barat. Pada masa Orde
Lama dan Orde Baru, Hukum Islam belum terakomodir secara maksimal dalam
Garis Besar Haluan Negara. Akan tetapi pada era reformasi, Hukum Islam baru
diakomodir dalam hukum nasional. Hal ini tentunya terdapat unsur politis yang
di dalamnya terimplementasi adanya multi partai. Eksistensi Hukum Islam pada
era reformasi tidak hanya terjadi pada tataran struktural, tetapi pada tataran
yang lebih menentukan, yakni tataran kultural. Peran Hukum Islam dalam
reformulasi hukum nasional menuju terciptanya hukum khas Indonesia adalah;
pertama, Hukum Islam merupakan bahan baku hukum nasional. Kedua, adanya
yurisprudensi yang memberi kesempatan hakim untuk berijtihad. Ketiga, Hukum
Islam dapat dijadikan sumber penegak hukum dalam bidang etika dan moral.
Moh. Hatta, “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, Juni 2008, akses pada 4 Pebruari 2013 dari http://ejournal.
sunan- ampel. ac.id/index. php/al-Qanun/article/view File/ 15/ pdf.
1
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
1
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
konstitusionalisasi hukum Islam mengacu pada semangat
Piagam Jakarta dengan melakukan interpretasi baru terhadap
al-Qur’an dan al-Sunnah.2 Pembaharuan hukum Islam
Indonesia terkait dengan pembaharuan Ilmu Hukum Indonesia
dengan bukti historis adanya relasi keduanya yang tidak bisa
dipisahkan dalam konteks pembangunan Sistem Hukum
Nasional (SHN) sejak awal kemerdekaan. Relasi keduanya
dalam pembaharuan ilmu hukum Indonesia meliputi beberapa
aspek hukum nasional seperti hukum pidana, perdata dan
lainnya yang sudah, sedang dan terus diproses.3
Kajian tentang pembaharuan hukum Islam di Indonesia
telah sampai pada persoalan positivisasi hukum Islam yang
merupakan bagian dari masalah mendesak tentang perlunya
pembaharuan hukum nasional. Pernyataan ini wajar karena
induk hukum nasional terutama KUHP (WvS) yang berlaku
hingga sekarang adalah hukum warisan zaman Hindia Belanda
dan Perancis dari sistem hukum keluarga, hukum kontinental
civil law system dengan ajaran yang menonjolkan individualism,
liberalism and individual rights yang tidak sesuai dengan kesadaran
hukum Indonesia yang karenanya harus segera dituntaskan.4
Studi positivisasi hukum Islam terkait dengan eksistensi
hukum Islam di tengah konstitusi nasional menimbulkan polemik
Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, 170-172; M. Sularno Syari’at Islam dan
Upaya pembentukan Hukum Positif di Indonesia, 2014, diakses pada 05 Oktober 2012,
dari http: / /journal. uii. ac. id/ index. php/ JHI/ article/ viewFile/ 245/240.
3
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi Hukum Islam dan Hukum
Umum, (Jakarta: Gama Media, 2003), 150-157; Barda Nawawi Arief, Beberapa
Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana
Indonesia), (Semarang: Pustaka Magister, 2011), 5-20.
4
Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 145-157; Arief, Beberapa Aspek, 10-11, 20-27.
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal
ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, 11-16, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
//ejournal. Sunan-ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347
2
2
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
sejak kemerdekaan terkait Piagam Jakarta yang dipahami
sebagai cerminan syariat Islam. Perkembangan selanjutnya,
positivisasi hukum Islam sebagai upaya pembaharuan hukum
nasional yang hukum induknya masih menggunakan Hukum
Hindia Belanda yang bertentangan dengan kultur, budaya dan
kesadaran hukum yang berkembang di Indonesia yang mayoritas
penduduk muslim, sangat erat kaitannya dengan perkembangan
politik hukum nasional. Pembaharuan yang dimaksud dalam
positivisasi hukum Islam sesunguhnya merupakan upaya
pembangunan sistem hukum nasional.5 Pentingnya upaya
positivisasi tersebut terkait dengan fakta hukum nasional yang
secara yuridis konstitusional sejak kemerdekaan hingga sekarang
(era reformasi) belum berhasil menggantikan induk hukum
Menurut salah satu Hakim Konstitusi, M. Akil Mochtar, Undang-undang Nomor
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 20052025 dan undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundangundangan menjelaskan pembangunan nasional yang ditetapkan menuju Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur. Dalam bidang hukum, misi yang diemban adalah
mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum. Misi tersebut ditujukan
untuk memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh, memperkuat
peran masyarakat sipil, memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah,
menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengkomunikasikan
kepentingan masyarakat serta melakukan pembenahan struktur hukum dan
meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak
diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil. Sedangkan visi Indonesia di bidang
hukum adalah terwujudnya Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan
keadilan. Ukuran tercapainya visi tersebut adalah; pertama, terciptanya supremasi
hukum dan penegakkan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang mencerminkan kebenaran,
keadilan, akomodatif, dan aspiratif. Kedua, terciptanya penegakan hukum tanpa
memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang demi supremasi hukum dan
terciptanya penghormatan pada hak-hak asasi manusia. Mochtar, M. Akil, 2012, “Visi
Pembangunan Sistem Hukum Indonesia”, 2012, 2-9, akses pada 4 Pebruari 2013 dari
http://www.akilmochtar.com/wpcontent/uploads/2011/06/VISI_PEMBANGUNAN_
SISTEM_HUKUM_INDONESIA_akil1.pdf.
5
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
3
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
nasional warisan Belanda, walaupun usaha penggantian tersebut
tersebut terus diupayakan dengan berbagai penyesuaian sejak
UU No. 1 Tahun 1946.6
Beberapa undang-undang yang mengandung nilai atau
bersumber dari hukum Islam sejak kemerdekaan hingga
sekarang masih menjadi polemik, meskipun secara substansi
hukum Islam terus bergerak dan berjalan dengan pasti dalam
mewarnai pembangunan hukum nasional hingga sekarang.
Contoh kongkritnya adalah UU Perkawinan No. 1 tahun 1974
yang mencerminkan aspirasi dan nilai hukum Islam, Kompilasi
Hukum Islam yang berdasar Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Perda Syariah7
dan lain-lainnya. Gerakan hukum Islam menuju hukum positif
memiliki peluang besar dengan bergulirnya reformasi ditopang
politik hukum nasional yang secara konstitusional menguatkan
posisi hukum Islam sesuai UU No. 12 tahun 2011.8 Hal ini terkait
dengan kondisi politik hukum era Orde Lama dan Orde Baru
yang cenderung otoriter dan normatif serta memihak pada
kepentingan pemerintah yang otoriter saat itu.
Dalam konteks demikian, positivisasi hukum Islam
sesungguhnya merupakan upaya pembaharuan hukum nasional
selaras dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat
Arief, Beberapa Aspek, 10-13.
Menurut Alim (Muhammad Alim, 2012, “Perda Bernuansa Syariah dan
Hubungannya Dengan Konstitusi”, akses pada 1 Pebruari 2013 dari http: // law. uii.
ac.id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/1% 20MAlim.pdf 40-41) bahwa implementasi
perda bermuatan syariah secara khusus ditujukan bagi pemeluk agama Islam serta
sejauh ini terbukti tidak merugikan kelompok agama lain di luar agama Islam. Dengan
demikian Perda bermuatan syariah tersebut terbukti turut memberikan kontribusi
dalam pembangunan sistem hukum nasional. Muhammad Alim, “Perda Bernuansa
Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”, 2012, 40-41, akses pada 1 Pebruari 2013
dari http: // law. uii.ac.id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/1% 20MAlim.pdf
8
Azizy, Eklektisisme, 140-155.
6
7
4
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
dan merupakan hal wajar untuk terus dilakukan. Hal ini
dimaksudkan sekaligus sebagai upaya merubah sistem otoriter
yang terjadi pada masa sebelum reformasi. Argumentasi lainnya
menjelaskan bahwa pembaharuan dalam konteks positivisasi
tersebut terkait dengan dengan pembangunan sistem/ilmu
hukum Nasional dengan menyusun grand design9 sistem/politik
hukum nasional sesuai UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
dan Pancasila sebagai landasan filosofisnya.10
Positivisasi hukum Islam sebagai upaya pembaharuan
hukum nasional dengan menyusun grand design menempatkan
beragam nilai yang tumbuh berkembang di Indonesia sesuai
tuntutan pembangunan hukum nasional dan nilai hukum
Islam sebagai hukum yang dipeluk mayoritas penduduk
Indonesia yang sangat berpengaruh terhadap pola hidup
dan perilaku11 seperti pengaruhnya ajaran atau nilai hukum
9
Grand design sistem dan politik hukum nasional yang sudah berusia 64 tahun
ternyata belum tersusun, bahkan RKUHP yang sudah 48 tahun disusun oleh beberapa
generasi/angkatan (bahkan banyak yang sudah meninggal) hingga kini ternyata
masih mengendap dan belum dibicarakan di DPR. Arief, Beberapa Aspek, 5-6.
10
Ibid.
11
Perilaku dalam arti respon dari hukum sebagai jalinan nilai dikelompokkan ke
dalam nilai-nilai dasar yang sangat abstrak serta nilai-nilai yang lebih konkrit sebagai
pedoman dalam kehidupan masyarakat manusia. Nilai dasar adalah asas yang diterima
sebagai dalil yang bersifat mutlak sekaligus diterima sebagai sesuatu yang tidak perlu
dipertanyakan lagi. Oleh karenanya, Indonesia sebagai negara memiliki keberagaman
luar biasa, namun di balik keberagaman itu terdapat nilai-nilai universal yang berlaku
pada semua golongan atau kelompok. Saling menghormati, tolong menolong, sopan
santun adalah contoh nilai-nilai yang dianggap baik oleh semua kalangan. Sebaliknya
membunuh, mencaci, menganiaya, mencuri, memaksakan kehendak adalah nilainilai yang diakui dimanapun sebagai sesuatu yang buruk dan salah. Nilai-nilai
dasar umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat berupa nilai-nilai agama
(ketuhanan) dan nilai- nilai hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan
bernegara. Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,”
2012: 7, diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q=
cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task .
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
5
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
Islam terhadap umat Islam karena adanya syarī’ah—fiqh
dalam hukum Islam tersebut.12 Di dalam Islam, syari’at
berupa al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber13 dasar
hukum yang sangat berpengaruh berdasarkan iman, baik
hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia yang
kemudian menjadi fiqh—hukum Islam14 yang dalam sistem
12
Muchsin, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional,”
2012, 1, diakses pada 20 Juni 2012 dari http: //www.ditpertais.net/annualconference/2008/
dokumen/KONTRIBUSI-% 20HUKUM% 20ISLAM - muchsin.pdf
13
Menurut Asmawi umat Islam telah berkonsensus bahwa al-Qur’an
merupakan dalil/sumber utama hukum Islam dan telah meletakkan dasar pokok
prinsip umum hukum Islam. Asmawi, Teori Maslahah Relevansinya Dengan Undangundang Pidana Khusus di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2010), 1. Dalam konteks ini, Mubarok menjelaskan bahwa Hukum Islam
yang dimaksud seringkali dipahami sebagai terjemahan dari term fikih (al-fiqh), alsyarī’at, al-hukm al-Islāmī, syarī’at law, dan Islamic law. Masing-masing istilah tersebut
memiliki kerangka pemikiran tersendiri. Jaih Mubarok,”Formalisasi Hukum Islam:
Pelaksanaan Syariat Oleh Negara,”1. Diakses pada 21 Juni 2012 dari http://www.pabalikpapan.net/index.php?option=com_content&view = article&id = 86: formalisasi
– hukum – islam – profdr – jaih – mubarok & catid=61:artikel-umum&Itemid=206.
Oleh karenanya, ulama dalam berbagai tulisan dan forum telah berusaha ikut serta
menjelaskan terminologi-terminologi tersebut sehingga antara satu dengan yang
lainnya dapat dibedakan dan ditempatkan secara proporsional. Sementara menurut
Amal, perbedaan terjadi karena hukum Islam dipahami sebagai terjemahan dari
term Fiqh (al-fiqh) dan syari’ah (al-syarīat). Taufiq Adnan Amal, Politik Syariat Islam:
Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 1-3.
14
Menurut Arifin, semua hukum sebenarnya berasal dari agama (Busthanul
Arifin, “Masalah Konsep Satu Atap M.A dan Peradilan Agama,” Makalah
Disampaikan Dalam Diskusi Ilmiah Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 13
September 2000, 3). Sementara Bisri mengatakan bahwa fiqh sebagai hukum
merupakan dimensi yang paling dikenal oleh masyarakat, baik kalangan umat
Islam maupun akademisi komunitas ilmiah, sebagai produk penalaran fuqaha’
yang dideduksi dari sumber (ayat al-Qur’an dan al-Hadis) yang otentik (Cik Hasan
Bisri, Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), 46. Hal ini menurut Sahal Mahfud menguatkan posisi fiqh sebagai dasar/
jendela dalam memotret perkembangan sosial masyarakat (Sahal Mahfud, “Politik
Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, 3-5, akses pada 1 Pebruari 2012 dari http:
// law. uii. ac. id/ images/ stories/ Jurnal% 20 Hukum/ 1%20M.Alim.pdf)
6
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
ketatanegaraan Indonesia atau sistem hukum nasional
dijadikan sebagai salah satu sumber terutama dari substansi
hukum nasional.15 Pemahaman demikian cukup wajar karena
menurut Sahal Mahfud, Islam memang lahir sebagai agama
dan negara, penyebaran Islam pada masa nabi juga diwarnai
dengan watak politik. Akibatnya, lebih banyak permasalahan
sosial keagamaan yang bersifat praktis muncul ke permukaan
ketimbang permasalahan sosial keagamaan yang bersifat
teologis. Atas dasar alasan inilah mengapa kebutuhan
terhadap hukum terlihat begitu dominan.16
Berdasarkan argumentasi sebagian tokoh yang
menetapkan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber hukum
Islam yang mempengaruhi hukum nasional, Mahfud17 justru
memiliki pendapat yang agak berbeda. Menurutnya, sumber
hukum Islam tersebut tidak memberikan ajaran pengaruh
tertentu dalam persoalan sistem politik dan ketatanegaraan.
Dalam kebebasan18 memilih tersebut, setiap negara yang
menyatakan sebagai negara Islam atau mencoba menerapkan
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Candra Pratama, 1996), 42; Arief,
Beberapa, 5-6.
16
Moh. Mahmud MD, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, 2012,
1-3. Diakses pada 1 Pebruari 2012 dari http: //law.uii.ac. id/ images/ stories/
Jurnal% 20 Hukum/ 1%20M.Alim.pdf
17
Lebih jelas dalam pengantar bukunya Muhammad Ali (2010: xi), Mahfud
menjelaskan bahwa memang tidak ada ketentuan baku mengenai sitem politik
dalam Islam sejak Nabi Muhammad hingga para sahabat bahkan masing-masing
dari para sahabat tersebut berbeda antara satu dengan lainya (2010: xi).
18
Termasuk kebebasan di sini adalah kebebasan beragama yang merupakan
salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka
mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu
kebebasan nurani freedom of conscience, kebebasan mengekspresikan keyakinan
agama freedom of religious expression, kebebasan melakukan perkumpulan
keagamaan freedom of religious association dan kebebasan melembagakan keyakinan
keagamaan freedom of religious institution (Hafsin, 2000: 2-7).
15
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
7
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
nilai hukum Islam, biasanya berbeda-beda utamanya dalam
implementasi sistem politik dan hukum ketatanegaraanya
yang bersifat nasional.
Atas dasar itulah studi positivisasi hukum Islam terkait
erat dengan sistem hukum nasional terkait dengan sumbernya
yang berbentuk nilai-nilai dasar yang mengakar di masyarakat
dan merupakan bagian penting dari sistem hukum yang terdiri
dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.
Dari ketiga pilar substansi tersebut memperjelas positivisasi
hukum Islam dalam menempati pembangunan sistem dari
aspek budaya hukum dengan grand design menyesuaikan
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.19
Positivisasi hukum Islam jika dilihat dari perjalanan
sistem politik hukum Indonesia menurut Arifin karena
adanya pengaruh pemahaman Syarī’at—Fiqh yang mempunyai
corak khusus20 mempengaruhi wajah hukum nasional,
disamping akibat rekayasa ilmiah politik hukum kolonial
Belanda. Hal ini terkait pemahaman ulang tentang desain
hukum Islam Indonesia pada sisi tertentu dan pemahaman
sistem atau politik hukum nasional pada sisi yang lain sesuai
kesadaran hukum bangsa Indonesia tanpa hegemoni politik
kolonial. Langkah ini membutuhkan strategi tertentu yang
Arief, Beberapa, 5-6.
Kekhususan ini termasuk Indonesia sebagai negara yang berpenduduk
muslim terbesar di dunia dalam percaturan politik di kawasan Asia Tenggara,
sehingga memiliki peran yang sangat strategis dalam membumikan nilai Islam.
Kondisi demikian oleh Fazlur Rahman disinyalir sebagai kebangkitan Islam yang
dimulai dari kawasan Asia seperti Indonesia (Solihin, “Pandangan M. Amien Rais
Tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode
1985–2000)”, diakses pada 21 Juni 2012 dari https: //docs. google. com/ viewer?
a= v&q= cache: I8u8k - JWggJ: www. uinsgd. ac. id/ _ multimedia/ document/
20120611/ 20120611111350).
19
20
8
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
disebutnya pelembagaan hukum Islam21 atau menurut
bahasa Azizy22 disebut positivisasi hukum Islam.
Berdasarkan argumentasi di atas, maka berbicara
positivisasi hukum Islam di Indonesia berarti berbicara
bagian penting dari pembaharuan sitem hukum nasional.
Pemahaman demikian menurut Azizy23 dapat diterima
karena sesuai dengan ketentuan rumusan Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) tahun 1999-2004 era reformasi yang sekarang
berganti PROPENAS dan juga selaras dengan UU No. 12 tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
khususnya Pasal 18 a-h. Keselarasan dan kewajaran demikian,
dalam realitas implementasi berhukum masih menimbulkan
kontroversi di tengah mayoritas penduduk Indonesia
bahkan internal umat muslim padahal secara yuridis formal
upaya ini sesungguhnya memberi peluang besar terhadap
eksistensi hukum Islam dalam pembangunan sistem hukum
nasional (UU No. 12 Tahun 2011).
21
Menurut Arifin setiap negara, bagaimanapun bentuknya, selalu
membutuhkan hukum yang sesuai dengan kondisi sosio kulturnya. Setiap
negara bisa saja berbeda-beda dalam menentukan bangunan hukumnya terkait
dengan lembaga peradilannya dengan prinsip peradilan sebagai alat kekuasaan
penegakan syari’at atau fiqh (Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia
Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 78.
Arifin juga menjelaskan bahwa perbedaan terjadi karena hukum Islam dipahami
sebagai terjemahan dari term Fiqh (al-fiqh) dan syari’ah (al-syarīat). Rofiq (2001:
3) juga menjelaskan Hukum Islam sebagai terminologi khas Indonesia, jika
diterjemahkan langsung ke dalam Bahasa Arab menjadi al-hukm al Islam suatu
terminologi yang tidak dikenal dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Padanan yang
tepat dari istilah Hukum Islam adalah al-fiqh al-Islāmī atau al-syarī’ah al-Islāmīah,
yang dalam wacana ahli hukum barat digunakan istilah Islamic Law. Ahmad Rofiq,
Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia (Jakarta: Gama Media, 2001), 1.
22
Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 117.
23
Ibid., 175-179.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
9
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
Argumentasi lain yang mejelaskan tentang pentingnya
positivisasi hukum Islam adalah karena lebih dari setengah abad
merdeka, Indonesia belum memiliki sistem hukum nasional
yang mandiri. Seminar hukum nasional berlangsung 10 kali
sejak tahun 1963 hingga tahun 2008 juga masih membicarakan
grand design sistem24 dan politik hukum nasional.25 Dengan
berpijak pada beberapa argumentasi dan faktor tersebut di
atas maka persoalan positivisasi sesungguhnya merupakan
masalah serius terkait hukum nasional yang memicu terjadinya
kontroversi di satu sisi sekaligus menunjukkan pentingnya
upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia pada sisi yang lain
dalam dinamika perkembangan Ilmu Hukum Islam dan Ilmu
Hukum Indonesia menuju hukum khas Indonesia yang sangat
terlambat kehadirannya.26
Berdasarkan argumentasi demikian, Azizy27 menjelaskan
bahwa positivisasi adalah persoalan besar terkait perkembangan
historis serta metodologi studi agama—hukum Islam, seperti
24
Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia)
(Semarang: Pustaka Magister, 2012), 3-5.
25
Kepentingan sebagai motifasi lain adalah hukum Islam Indonesia
mempunyai kehebatan yang mampu menyatukan Nusantara dengan pemisahan
pulau dan danau daripada Timur Tengah yang tepecah menjadi 50-an negara
yang tersebar di seantero Jazirah Arab tanpa adanya pemisahan geografis yang
berarti. Terkait hukum Islam Indonesia, Rofiq menjelaskan produk pemikirannya
menjadi empat macam (Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, 2-10). Pertama, Fiqh yang
merupakan bangunan pengetahuan yang meliputi ibadah dan mu’amalah secara
menyeluruh. Kedua, Fatwa yang merupakan produk pemikiran hukum perorangan
atau kelembagaan atas dasar permintaan anggota masyarakat terhadap persoalan
tertentu. Ketiga, Yurisprudensi merupakan produk pengadilan yang bersifat
mengikat pihak-pihak yang berperkara. Keempat, peraturan perundang-undangan
termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI).
26
A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju Saintifik-Moderen
(Jakarta: Teraju, 2002), 178-84.
27
Ibid., 175-177.
10
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
Ijtihād, Ijmā’, Qiyās dan lainnya yang mempunyai lingkup kajian
luas dengan menyesuaikan sosio kultur yang berkembang di
Indonesia yang pemaknaannya membutuhkan perubahan
sesuai tuntutan perubahan sosial dan studi keislaman
kontemporer (eklektisisme).28 Hampir senada secara substansial
dengan Azizy, Arief29 dari perspektif yang berbeda menjelaskan
sisi sistem/ilmu hukum nasional tentang perlunya reorientasi
dan reformasi hukum positif dilihat dari konsep nilai-nilai
sentral bangsa Indonesia (aspek sosio-filosofik, sosio-politik
dan sosio-kultural) sebagai landasan kebijakan sosial, kebijakan
kriminal dan kebijakan penegakan hukum sesuai ilmu hukum
Indonesia yang sesungguhnya.
Dalam konteks demikian, kajian ilmu hukum Islam dan
ilmu hukum Indonesia nampak jelas dan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan ilmu hukum nasional Indonesia30
Dalam studi kontemporer, Minhaji menjelaskan secara singkat bahwa studi
Islam berkembang dalam empat pendekatan; pertama, normatif religius. Kedua,
sejarah dan filologi. Ketiga, ilmu-ilmu sosial dan keempat, pendekatan fenomenologi
(Akhmad Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam, Teori, Metodologi dan Implementasi,
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2010), 71-72. Sementara Azizy menjelaskan hukum
Islam ada dua; pertama, hukum Islam yang secara langsung dan tegas ditetapkan oleh
Allah melalui dalil qathi. Kedua, hukum Islam yang ditetapkan pokok-pokoknya saja
dan ditetapkan oleh Allah melalui dalil dhanni (A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab,
Sebuah Ikhtiyar Menuju Saintifik-Moderen, Jakarta: Teraju, 2002), 47-57). Hukum Islam
yang pertama disebut syari’ah al-syarī’at yang diyakini bersifat konstan, sempurna,
dan tetap berlaku universal sepanjang zaman, tidak mengenal perubahan dan tidak
dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sedangkan hukum Islam yang kedua
disebut fikih yang bersifat dinamis (fleksibel), tidak bersifat universal, dan dapat
mengalami perubahan sesuai perubahan tempat, waktu dan zaman.
29
Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional, 31-32.
30
Hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang sebab akibat (Ahmad Amin,
Etika Ilmu Akhlaq, Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 9. Sementara menurut Rahardjo
hukum adalah prilaku kita sendiri karena objek hukum adalah perilaku manusia
dengan kebudayaan-kebudayaanya yang diharapkan menjadi teratur dengan
adanya hukum (Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:
Kompas, 2007, 3. Bahkan menurut Devos dalam arti luas hukum termasuk hubungan
28
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
11
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
sekaligus merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar
lagi sebagai aspek penting dari proyek positivisasi hukum
Islam.31 Persepsi atau argumentasi demikian tentunya
dapat diterima, karena paradigma yang berkembang secara
nasional sebagai dasar falsafah negara adalah paradigma
Pancasila32 untuk mewadahi semua karakteristik yang
pluralis meliputi semua golongan dan aliran hukum yang
berkembang tanpa menghilangkan suatu nilai sentral yang
mengakar di Indonesia.33
Menurut Arifin positivisasi hukum Islam secara
sosiologis merupakan gejala sosial hukum34 akibat lamanya
antara manusia dengan binatang-binatang yang biasanya dilindungi (Devos, 1987,
Pengantar Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 59. Di era globalisasi sekarang
ada kekuatan yang tidak menghendaki pelurusan persepsi terhadap syari’ah Islam,
yaitu kekuatan yang berasal dari negara adikuasa. Karena bila umat Islam Indonesia
sampai pada kesatuan persepsi terhadap syari’ah Islam, maka Islam akan kuat dan
kekuatannya mungkin akan mengalahkan kekuatan ekonomi Jepang, Cina dan Korea
Selatan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Winarno, Jenderal Atase
Keamanan Kedutaan RI di Iran pada April Tahun 2005 terhadap lima Pelajar NU yang
dikirim oleh PBNU dalam sebuah diskusi (Winarno, 2005: tidak dipublikasikan).
31
Azizy, Eklektisime, 170-200.
32
Sebagaimana Jazuni menyatakan bahwa Pancasila merupakan instrumen
untuk menjaring dan mewadahi semua aspirasi rakyat karena penafsiran Pancasila
yang dimonopoli pemerintah tidak akan mampu membendung pergolakan yang
muncul di tengah perubahan sosial masyarakat (Jazuni, Legislasi Hukum Islam di
Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 1.
33
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta: Kompas,
2006), 10.
34
Menurut Arifin, sebagaimana dikutip Amrullah (1996: 10-12) Islam
adalah agama besar yang mempunyai perjalanan panjang terkait dengan sebuah
fenomena yang mewarnai dalam peradabannya. Untuk menegakkan hukum Islam
yang bersifat formal yuridis, pemerintah Indonesia telah membuat peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1946, PP. No, 45
Tahun 1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undang-undang No. 14 Tahun
1970, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7 Tahun 1989, dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 1991. Dengan undang-undang atau peraturan
12
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
benturan tiga sistem hukum; hukum Adat, hukum Barat
dan hukum Islam oleh politik Hukum Belanda. Sedangkan
secara normatif filofofis merupakan upaya meluruskan
persepsi tentang syariat Islam yang mengalami kejumudan
sejak abad ke-10 Hijriyah akibat pergolakan politik Islam
yang berpengaruh di Indonesia. Arifin juga menjelaskan
hukum Islam Indonesia secara normatif diyakini mampu
mengantarkan kesejahteraan dunia akhirat dan mempunyai
potensi besar untuk kebangkitan Indonesia yang telah lama
dipolitisir oleh hukum Belanda dengan rekayasa hukum
ilmiah melalui teori Recepcio In Complexu. Dengan demikian
dapat diterima bahwa positivisasi hukum Islam sebagai
bentuk pengejawantahan hukum yang diberlakukan sesuai
kesadaran hukum nasional serta kondisi masyarakat yang
membutuhkan reformulasi hukum nasional sesuai kondisi
dan karakter Indonesia yang pluralis kebhinnekaan melaui
legislasi negara dengan stake holder terkait.35
Pemahaman demikian tentu dapat dimaklumi karena
substansi hukum Islam mempunyai relasi fungsional baik
dari sisi substansi, struktur maupun budaya hukumnya
tersebut diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan hukum Islam,
khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan secara formal yuridis sebagai
hukum positif di Indonesia. Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 10-12.
35
Menguatkan pentingnya positivisasi hukum Islam di atas, Arifin (1996: 7075) menjelaskan bahwa positivisasi hukum Islam seperti Kompilasi Hukum Islam
(KHI) melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 dalam prakteknya dapat terlaksana dengan
baik dalam memenuhi kebutuhan kesadaran hukum nasional dalam rentang waktu
yang cukup lama (sekarang sudah 22 tahun). Setelah KHI tersebut, beragam UU dan
peraturan bernuansa Islam juga lahir seperti UU Perbankan Syari’ah, UU Haji, UU
Wakaf, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, rancangan
UU produk halal dan lainya yang akan dan terus lahir dengan regulasi dan proses
yang mewarnainya. Arifin, Pelembagaan Hukum Islam, 70-75.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
13
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
dengan sistem hukum nasional36 dengan sifat bercirikan
elastis, memperhatikan berbagai segi kehidupan, tidak
memiliki dogma yang kaku, keras serta memaksa, sehingga
optimisme terhadap positivisasi hukum Islam di Indonesia
merupakan hal yang tidak berlebihan.37
Rentetan diskusi dan argumentasi di atas secara substansi
dalam konteks pembangunan hukum nasional38 menguatkan
proyek, gagasan besar pentingnya positivisasi hukum
Islam. Optimisme sebagai hal wajar dan tidak berlebihan ini
didukung oleh landasan yuridis dalam ranah politik hukum
melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) yang sangat
dominan melahirkan suatu perundang-undangan diperkuat
dengan lahirnya UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan
perundang-undangan. Sebagai contoh, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sejak tahun 1991 dan lainya sejak kemerdekaan
sebagaimana tersebut di atas yang masih menuai kontroversi
akan segera selesai dalam perspektif yang lebih jelas.
Positivisasi hukum Islam dalam kasus KHI yang banyak
melahirkan kritikan dari kelompok tertentu, seperti munculnya
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang
pernah disusun oleh Tim yang menamakan dirinya sebagai
Pengarustamaan Gender Departemen Agama RI, diketuai Musdah
Bahkan dalam konteks penegakan hukum nasional yang demikian Arief
menjelaskan perlunya mempertimbangkan secara fokus pada nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat dan kesadaran hukum/sikap perilaku hukum/perilaku sosialnya
dan pendidikan ilmu hukum. Arief, Beberapa Aspek, 42-44.
37
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), 47. Dan Rofiq, Pembaharuan, 165-190.
38
Substansi hukum nasional menurut Arief adalah perangkat hukum nasional
yang terdiri dari 14 sektor antara lain sektor Hukum Tata Negara dan hukum
administrasi negara serta hukum pidana dan lainya. Menurutnya substansi
merupakan satu dari tiga sistem hukum nasional yaitu; substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum. Arief, Beberapa Aspek, 13-16.
36
14
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
Mulia pada tahun 2004 dan menimbulkan kontroversi di tengah
masyarakat dan kalangan ahli hukum, adalah contoh perbedaan
pandangan dalam memahami hukum Islam di Indonesia.39
Bahkan, sejak awal keluarnya Inpres tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam sampai tahun 2004, kontroversi terus
berlanjut hingga sekarang walaupun beragam peraturan dan
undang-undang bernuansa Islam terus lahir, seperti UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan syariah, UU No. 13 Tahun 2008
tentang haji, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, rancangan
undang-undang produk halal yang draft RUU JPH telah
mengkebiri makna halal yang sesungguhnya karena tergantikan
dengan proses monitoring yang standar tanpa melihat kaidah
norma agama dan lainya. Draft RUU JPH tersebut mencabut
peran ulama sebagai kontrol kehalalan produk. Peran ulama
dibatasi pada lingkup labelisasi semata sehingga RUU tersebut
mandeg di DPR (Harian Terbit, 4 September 2012).
Selain itu Perda Syariah dan lainya yang terus berproses
merupakan tantangan tersendiri. Konferensi Nasional Lintas
Agama (Indonesian Conference on Religion and Peace/ICRP)
mendesak pemerintah untuk mencabut perda-perda benuansa
syariah karena dinilai inkonstitusional dan bertentangan
dengan Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945. Musdah
Mulia, Ketua ICRP, meminta agar pemerintah meninjau
39
Dalam menengarahi kontroversi pada tahun 2004, Menteri Agama, Said
Agil Hussin al-Munawwar menyampaikan teguran keras dengan membekukan
Tim penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya No. MA/271/2004,
tanggal 12 Oktober 2004. Hal ini dimaksudkan supaya tim tersebut tidak
mengulangi lagi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan melibatkan
serta mengatasnamakan Tim Departemen Agama hingga akhirnya semua naskah
asli Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam itu diserahkan kepada
Menteri Agama RI. Chamzawi, “Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam,”
2012, 1. diakses pada 09 April 2012 dari http://dc93.4shared.com/doc/_IoS24Ya/
preview.html
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
15
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
kembali seluruh Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa
syariah (ICRP, 2012: 1). Kontroversi tentang positivisasi
hukum Islam terus berlanjut. Bahkan Gus Dur sebagai sosok
modernitas, rujukan intelektual kultural dan sederetan aktifis
muda terutama di kalangan NU juga sangat menentang keras
upaya positivisasi atau formalisasi hukum Islam di Indonesia.40
40
Menurut Chamzawi (2012: 1) sebuah diskusi panel tentang kontroversi
itu digelar di Universitas YARSI, Jakarta, pada 29 Oktober 2004. Hadir sebagai
pembicara antara lain; DR. Jazuni, SH, MH, DR. H. Rifyal Ka’bah, MA, Prof. Dr.
H. Bustanul Arifin, SH dan Prof. DR. Huzaimah T Yanggo. Dalam diskusi itu
terungkap beberapa hal mendasar yang menjadikan buku Pembaruan Hukum
Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (untuk mudahnya disebut
saja KHI Tandingan) menimbulkan kontroversi. Diantara pemicu kontroversi
adalah bahwa pembaruan yang diajukan oleh perumus KHI Tandingan bukanlah
dalam konteks Tajdīd pemurnian atau ishlāh perbaikan terhadap yang rusak Fasad,
namun masuk dalam pengertian Bid’ah penyimpangan dan Taghyīr perubahan
dari hukum Islam yang asli (Chamzawi, Kontroversi Revisi, 1. Menurut Huzaimah
T Yanggo, guru besar Syari’ah pada Universitas Islam Negeri Jakarta, merekam
secara rinci dan lugas kontroversi yang mengundang kecaman terhadap buku KHI
Tandingan. Menurutnya, sudut pandang yang dipergunakan oleh para penyusun
KHI Tandingan meliputi:
1. Sudut pandang pribadi, karakter dan kecenderungan para penulisnya,
2. Sudut pandang gaya bahasa dan ungkapan yang dipakainya terkesan
sentimental, sinis, menggugat, arogan dan inkosisten,
3. Sudut pandang visi dan misi yang dibawa: pluralisme, demokrasi dan
HAM, keseteraan gender, emansipasitoris, humanis, inklusif, dekonstruksi
syari’ah Islam,
4. Sudut pandang masalah yang digugat adalah: Al Qur’an dan al-Hadis
disesuaikan dengan rasio dan kondisi sosial masyarakat. Karya ulama
klasik dituding sangat arabis, tidak sesuai dengan perkembangan zaman,
oleh sebab itu harus ditinggalkan. Paradigma dan orientasi keberagaman,
problem kemanusiaan dan hubungan antar agama,
5. Kaidah yang digunakan dalam draft adalah yang menjadi perhatian
Mujtahid yaitu Maqāshid maksud-maksud yang dikandung nash, bukan
pada lafaznya. Boleh menganulir ketentuan-ketentuan nash dengan
menggunakan logika kemaslahatan, serta mengamandemen nash dengan
akal berkenaan dengan perkara-perkara publik.
16
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
Salah satu pendapat mengatakan bahwa kontroversi41
seputar positivisasi hukum Islam nampaknya terletak pada
pendekatan perumusan sebagaimana dilakukan penentangpenentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut. Sebagian
penentang mengatakan bahwa pendekatan yang digunakan
tim counter KHI khususnya bukan pendekatan hukum Islam,
tetapi pendekatan Gender, Pluralisme, Hak Azasi Manusia
dan Demokrasi yang dipahami tidak sesuai tujuan syarī’ah
terutama dalam menegakkan nilai dan prinsip keadilan
sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta
serta kearifan sosial dalam konteks masyarakat Indonesia.
Di tengah perdebatan wacana kontroversi seputar positivisasi
hukum Islam Indonesia pada sisi tertentu dan perlunya
pembaharuan sistem/ilmu hukum nasional pada sisi yang lain
yang sudah dirintis sejak awal kemerdekaan melalui UU No. 1
tahun 1946 hingga era reformasi sekarang, muncul beragam
pendapat antara lain bahwa era reformasi dengan politik
hukumnya yang penuh keterbukaan telah membuka kesempatan
besar bagi semua kalangan terutama ahli hukum sehingga
memungkinkan diwarnainya tuntutan-tuntutan umat Islam
yang ingin menegakkan syariat Islam dengan ragam pendekatan
yang berbeda. Muhammad Alim sebagai Hakim Konstitusi dalam
Jurnal Hukum No. 1 vol. 17 Januari 2010 menjelaskan bahwa
positivisasi hukum Islam seperti perda syariah justru terbukti
turut memberikan kontribusi dalam pembangunan sistem hukum
nasional.42 Barda Nawawi Arief, Pakar Hukum Pidana menjelaskan
Sementara Gunaryo juga menjelaskan bahwa, kontroversi juga pernah
terjadi pada awal akan disahkannya Undang-undang perkawinan, melalui
argumentasi politik dan kepentingan yang dipelopori seorang Jenderal angkatan
Darat, Ali Moertopo. Ahmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam,
Jogyakarta: Pustaka Pelajar kerjasama Pascasarjana IAIN Walisongo2006, 142.
42
Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Moderen dalam Islam, Kajian
Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: LkiS, 2010), 141-149.
41
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
17
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
perlunya kembali pada nilai-nilai sentral yang berkembang di
Indonesia untuk mewujudkan pembangunan hukum Nasional.43
Hal ini berbeda dengan Muzadi yang mengeluarkan
pernyataan keras melarang adanya Peraturan Daerah (perda)
bernuansa syarī’ah.44 Menurutnya, syari’at Islam seharusnya ada
dalam konteks civil society bukan nation state karena khawatir
formalisasi/positivisasi hukum Islam dalam peraturan
daerah hanya akan memicu perpecahan bangsa dan negara.45
Pernyataan demikian juga senada dengan Sahal Mahfud yang
menjelaskan hukum Islam—fiqh mempunyai dua wawasan,
dimensi etik dan formal legalistik. Penempatan kedua dimensi
dilakukan secara proporsional agar pengembangan fiqh benarbenar sejalan dengan fungsinya, yakni sebagai pembimbing
sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan praktis,
baik bersifat individual maupun sosial. Pendek kata, fiqh
dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara.46
Arief, Beberapa, 2-17.
Muzadi, Hasyim, 2012,“ Kalau dibiarkan, Negara Bisa Bubrah,” diakses
pada 24 Juni 2012 dari http: // www. nu. or. id/ a, public - m, dinamic - s, detail ids, 5-id, 7522 - lang, id - c, halaqoh – t.
45
Menurut Mubarok (2012: 2) bahwa salah satu bentuk pemikiran
hukum Islam adalah qanun atau peraturan perundangan. Penetrasi hukum
Islam ke dalam peraturan perundangan di Indonesia dapat dibedakan
menjadi dua model; pertama, penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan
perundangan secara subtantif dan tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai
hukum-hukum Islam. Kedua, penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan
perundangan yang secara eksplisit dinyatakan sebagai hukum Islam. Model
pertama adalah hal yang cocok dan berisiko kecil kemungkinan munculnya
disintegrasi bangsa mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berbhinneka tunggal ika. Oleh karenanya membumikan asas-asas hukum
Islam dan istinbath ahkam menempati posisi yang strategis dibandingkan
tuntutan hukum Islam yang formalistik (Imron, 2008)
46
Moh. Mahfudz MD, “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, 2012,
3-4. akses pada 1 Pebruari 2012 dari http: // law. uii. ac. id/ images/ stories/
Jurnal% 20 Hukum/ 1%20M.Alim.pdf
43
44
18
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
Berdasarkan problematika di atas, secara historis khususnya
sejak reformasi melaui GBHN 1999-2004 hingga keluarnya UU
No.12 tahun 2011 tentang pembentukan undang-undang yang
menjadi pedoman dalam Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) dapat dipahami bahwa arah pembangunan
politik/sistem hukum Indonesia telah menemukan jati diri
yang pernah hilang pada masa-masa sebelumnya. Arah ini
menuju kebebasan dalam mengekpresikan Indonesia sebagai
negara hukum serta terbentuknya suatu sistem hukum yang
lebih transparan dalam meningkatkan peran masyarakat
baik sebagai pembuat, pelaku maupun pelaksana hukum atau
lebih dikenal dengan demokratisasi melalui legislasi hukum
dengan kompetensi aktornya seperti Dewan Perwakilan
Rakyat, polisi, jaksa, hakim dan lainya sesuai kekuatan politik
yang mendukung dan kesadaran hukum yang berkembang di
masyarakat.47
Problematika sebagiamana dimaksud, terkait dengan semua
gerakan dan potensi pemikiran hukum yang berkembang di
Indonesia, baik dari sisi ilmu hukum Islam maupun ilmu hukum
nasional dalam rangka menguatkan realitas serta beragam nilai
yang berkembang yang mengarah pada positivisasi hukum
Islam bersamaan dengan integrasi ilmu hukum Islam Indonesia
dengan ilmu hukum nasional Indonesia.48 Pengamalan syariat
Islam ini bahkan sudah menjadi adat istiadat bagi masyarakat
Azizy, Reformasi, 176-179. Dan Arief, Beberapa, 20-30.
Senada dengan perlunya proyek positivisasi hukum Islam secara
substantif Imron (2008) dalam disertasinya menjelaskan beberapa faktor
yang mendukung Implementasi hukum Islam di Indonesia antara lain karena
hukum Islam telah mentradisi dan Islam sudah diamalkan oleh masyarakat
Indonesia dalam kurun waktu yang berabad-abad, bersamaan dengan datangnya
agama Islam di Indonesia. Ali Imron, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap
Pembangunan Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas`uliyyat
dalam Legislasi Hukum),” Disertasi, Semarang: Uneversitas Diponegoro2008.
47
48
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
19
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
tertentu, bahkan oleh mereka sudah menjadi hukum adat di
tengah mayoritas warga negara Indonesia memeluk agama
Islam.49
Di tengah perdebatan positivisasi hukum Islam terkait
sistem hukum/politik nasional, Zoelva50 selaku hakim
Mahkamah Konstitusi menjelaskan perdebatan tersebut
sesungguhnya terkait dengan wacana penggantian
hukum kolonial, hukum yang sesuai dan bisa mewarnai
Dalam upaya positivisasi hukum Islam, perlu memperhatikan peraturan
hukum terutama di dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 dan tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa dalam membentuk peraturan
perundang-undangan harus berdasarkan pada asas yang meliputi; 1) Kejelasan
tujuan; 2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; 3) Kesesuaian
antara jenis dan materi muatan; 4) Dapat dilaksanakan; 5) Kedayagunaan dan
kehasilgunaan; 6) Kejelasan rumusan; dan 7) Keterbukaan. Materi muatan
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 mengandung asas-asas yang meliputi; 1) Pengayoman, 2)
Kemanusiaan, 3) Kebangsaan, 4) Kekeluargaan, 5) Kenusantaraan, 6) Bhinneka
tunggal ika, 7) Keadilan, 8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
9) Ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau 10) Keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. Sekarang UU tersebut diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang
sangat mengutamakan kebutuhan dan aspirasi masyarakat seperti dalam Pasal 18.
Selain asas-asas tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi
asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Untuk menindaklanjuti program yang dicanangkan oleh PROPENAS
dan ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam bidang hukum, menurut Asshiddiqiy
terdapat beberapa agenda penting dalam pembangunan hukum nasional, yaitu
agenda penataan sistem hukum, penataan kelembagaan hukum, pembentukan dan
pembaruan hukum, penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemasyarakatan
dan pembudayaan hukum, peningkatan kapasitas profesional hukum dan agenda
infrastruktur kode etika positif bagi pembangunan hukum. Jimly Asshiddiqiy,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), 2.
50
Hamdan Zoelva, “Syari’at Islam dan Politik Hukum Nasional Indonesia”, 1.
diakses pada 26 April 2012 dari http: // hamdanzoelva. wordpress. com/ 2008/04/ 01/
syari%E2%80%99at – islam – dan – politik - hukum-nasional-indonesia/
49
20
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
pembangunan sistem hukum nasional Indonesia modern.
Ragam pemikiran serta pendapat bermunculan antara lain
adanya kecenderungan hukum Barat perlu dipertahankan
diperbarui
dengan
menyesuaikan
perkembangan
masyarakat. Sementara kecenderungan kelompok hukum
adat supaya diberlakukan menjadi hukum nasional,
sedangkan kelompok lain mengusulkan agar syarī’at Islam
perlu diintrodusir sebagai hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan perdebatan problem akademik di atas,
maka dapat dimengerti dan diterima ketika Khisni51 juga
menjelaskan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dan al-Sunnah serta ijtihad al-Ra’yu merupakan kaidahkaidah normatif dan sosial yang bersifat duniawi dan ukhrawi
yang sangat berbeda dengan sifat dan hakekat hukum
Barat. Hukum Islam mempunyai peluang lebih dominan
dalam konteks pembangunan hukum Indonesia. Peluang ini
terkait luasnya cakupan dan batasan hukum Islam dengan
adanya lima sifat yang melekat pada hukum Islam yaitu,
multiperspektif, adil, individual, komunal, komprehensif
serta dinamis.52 Hal lain adalah adanya lima pokok Islam yang
terkenal ushul al-khamsah yang sangat luas pemaknaanya
sebagai tujuan syariah maqāṣid al-syarī’ah. Selain itu, kajian
terhadap integrasi ilmu hukum Islam dengan ilmu sosial
sudah cukup banyak namun kajian integrasi ilmu hukum
Islam dengan ilmu hukum/teori hukum murni nampaknya
masih sangat layak dikembangkan. Kajian tersebut sangat
penting terutama untuk menunjukkan dinamika ilmu
hukum dalam konteks ilmu hukum Indonesia terutama
Akhmad Khisni, “Hukum Islam dan Pemikirannya di Indonesia,” 4. diakses
pada 15 Juni 2012 dari http: // khisni. blog. unissula. ac. id/ 2011/ 10/ 10/ hukum
– islam – dan – pemikirannya – di – indonesia - jurnal/
52
Rofiq, Pembaharuan, 165-190.
51
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
21
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
sebagai tuntutan era reformasi menuju hukum Indonesia
yang sesungguhnya.
Atas dasar problematika di atas, tulisan ini akan
membahas: pertama, bagaimana hubungan agama dan
negara dalam positivisasi hukum Islam di Indonesia? Kedua,
bagaimana sistem hukum, pembangunan hukum dan
politik hukum nasional Indonesia era reformasi? Ketiga,
faktor-faktor apa yang merupakan peluang dan tantangan
positivisasi hukum Islam di Indonesia? Sesuai ketiga
rumusan masalah di atas akan dikaji secara mendalam yang
terkait dengan hubungan agama, hukum serta politik hukum
di Indonesia dengan memunculkan beragam teori seperti
teokrasi dan sekuler yang membedakan dengan demokrasi
Pancasila, kemudian dilajutkan dengan pembahasan
mengenai pembangunan sistem hukum Indonesia era
reformasi yang meliputi aspek peluang dan tantangannya
secara politis, sosiologis serta filosofis secara tertib dan
sistematis.
Secara teoritis, buku ini akan melahirkan konsep-konsep
atau pandangan yang selama ini mungkin dianggap oleh
sebagian kelompok Muslim Indonesia sebagai kebenaran final,
sehingga bisa menjadikan tulisan ini sebagai dinamisator
serta menggugah adanya pengakuan terhadap pemikiran
yang mungkin baru. Sementara hal lain adalah bisa menjadi
alternatif-alternatif konsep dalam positivisasi hukum Islam
di Indonesia serta menjadi sumbangan pemikiran untuk
melakukan pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara
pada semua sektor, terutama politik, hukum, ekonomi serta
budaya hukum. Selain itu bisa menjadi sumbangan yang
memungkinkan adanya perubahan atau penemuan makna
hukum Islam Indonesia dalam dinamika kehidupan sosial
22
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
yang terus berkembang di Indonesia. Dengan demikian,
integrasi hukum Islam dengan hukum nasional merupakan hal
yang wajar dalam sistem hukum nasional karena mendapat
legitimasi dari UU No. 12 Tahun 2011.
Secara praktis, buku ini telah menunjukkan kejelasan
atau adanya suatu tawaran formulasi hukum Islam Indonesia
sesuai konteks dan kondisi sosio kultur masyarakat dan bangsa
Indonesia. Tawaran tersebut misalnya kejelasan pemikiran
hukum Islam Indonesia pada masa kontemporer sejak
kemerdekaan, reformasi bahkan hingga sekarang. Manfaat
lain juga berpengaruh terhadap pandangan memposisikan
peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional
dan bangsa Indonesia serta upaya pengembangan studi
hukum Islam Indonesia menuju muslim yang lebih baik
dan kaffah. Oleh karena itu, adanya saling menuding antara
kelompok yang menghendaki Islam sebagai hukum nasional,
gagasan Negara Islam, konsep khilafah dan lainnya dapat
dihindari dengan menjelaskan sisi-sisi kompromi yang
memungkinkan secara akademik demi keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Harus diakui juga bahwa
negara yang sangat heterogen seperti Indonesia ini sangat
membutuhkan suatu pencerahan hukum Islam Indonesia
sesuai dinamika kehidupan sosial masyarakat yang terus
mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
B. Tinjauan Pustaka
Studi buku ini berpijak dari berbagai studi sebelumnya,
khususnya yang terkait dengan positivisasi hukum Islam.53
Menurut Junaidi, positivisasi hukum Islam dalam pembangunan hukum
nasional memiliki dua bentuk; pertama, dalam perspektif pembangunan hukum
nasional maka positivisasi hukum Islam tidak bisa dilakukan karena kondisi
pluralitas bangsa Indonesia. Kedua, hukum Islam dapat menjadi hukum positif di
53
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
23
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
Beberapa studi tersebut antara lain buku Pembaharuan Hukum
Islam yang ditulis Rofiq (2001) menjelaskan perlunya studi
berkelanjutan dari proses dialektis perjalanan sejarah hukum
Islam di Indonesia dari pemahaman dan pengamalan lama
menuju pemahaman dan pengamalan baru. Dalam kesimpulanya
menjelaskan bahwa pembararuan hukum Islam di Indonesia
pada dasarnya telah dirintis dalam waktu yang cukup lama
seiring dengan keberhasilan perjuangan fisik yang dilakukan
bangsa Indonesia. Selain itu ilustrasi dan proses pembaharuan
hukum Islam di Indonesia menuntut keseriusan para pemikir dan
pelaksana gagasan itu sendiri. Sehingga pada akhir kesimpulanya,
pembaharuan hukum Islam Indonesia lebih mencerminkan sikap
antisipatif, responsive, dan kepentingan pragmatis.
Agus Purnomo dalam disertasinya (IAIN Sunan Ampel, 2013)
berjudul Konstruksi Formalisasi Syariat Islam Elite Politik: Kajian
tentang Peraturan Daerah Syariat Kabupaten Pamekasan, menjelaskan
dan berusaha menemukan dan memahami makna tindakan
pelaku yang menyusun Perda syariat, sebagaimana dilakukan
dalam penelitian fenomenologi. Temuannya adalah konstruksi
formalisasi syariat Islam elite politik berupa penyusunan Perda
syariat merupakan respon elite atas keinginan para kiai dan
masyarakat untuk menerapkan syariat Islam di Pamekasan. Dalam
Indonesia yang berlaku bagi umat Islam melalui proses legislasi yang sah seperti
dalam bidang muamalah atau hukum privat. Positivisasi hukum Islam memiliki
prospek yang cerah karena era reformasi yang demokratis memiliki karakter
hukum responsif, sistem hukum Barat/Kolonial sudah tidak berkembang, jumlah
penduduk mayoritas beragama Islam, politik pemerintah yang mendukung
berkembanganya hukum Islam, dan hukum Islam menjadi salah satu sumber
bahan baku dalam pembentukan hukum nasional disamping hukum adat dan
hukum Barat/Kolonial (Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif
Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi,” 2-4. diakses pada 21
Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer? A = v&q = cache: 0zc 1QFZfE
S4J: digilib. uns. ac. id/abstrak. pdf. php? .
24
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
menyusun Perda syariat, elite politik berusaha menyeimbangkan
antara tuntutan masyarakat dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh negara. Kedua, dengan latar belakang dan cara memahami
realitas yang berbeda, konstruksi formalisasi syariat Islam elite
politik terbagi menjadi dua kelompok. Pertama memahami bahwa
Perda syariat tidak boleh bertentangan dengan tata perundangan
yang lebih tinggi di antaranya UU Otonomi Daerah. Karenanya,
usaha memadukan antara keinginan membuat Perda dan
ketentuan yang mengaturnya niscaya dilakukan. Pemahaman
kelompok ini penulis sebut dengan istilah ideologis-konstitusional.
Kedua, memahami bahwa Perda syariat adalah hak umat Islam.
Karena itu, membuat Perda syariat tidak harus selalu di bawah
bayang-bayang tata perundangan, sepanjang tidak dalam konteks
mendirikan negara Islam. Pemahaman kelompok ini disebut
dengan ideologis-non konstitusional.
Lukito (2008) dalam bukunya berjudul Hukum Sakral dan
Hukum Sekuler menjelaskan dalam satu bahasan positivisasi
hukum Islam di Indonesia dengan mencoba menjelaskan adanya
sisi pluralitas hukum sebagai aset dalam pembanguan hukum
nasional. Dalam kesimpulannya, menjelaskan bahwa positivisasi
hukum Islam dipahami sebagai upaya menjadikan nilai-nilai
ajaran Islam selaras dengan beragam nilai-nilai yang tumbuh
berkembang di Indonesia menyatu secara integral sebagai bagian
dari pembangunan sistem/politik hukum nasional melalui
transformasi nilai hukum Islam ke dalam hukum nasional.54
54
Agumentasi demikian dimaksudkan supaya di Indonesia Islam hanya
numpang, singgah, dan menjadi “orang lain” yang-apabila bisa akan-menguasai
Indonesia. Indonesia harus diislamkan, artinya diubah dan diganti dengan
Islam Arab atau pseudo-Arab: menjadi negara Islam, secara simbolik menyebut
Syari’at Islam, berbahasa Arab atau kearab-araban, pakaian kearab-araban,
dan sejenisnya. Islam model ini tidak ramah dengan kebudayaan lokal, malah
cenderung memusuhinya. Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik
Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Lkis, 2001), 32.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
25
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
Atas dasar itulah, positivisasi mempunyai relasi dengan istilah
pelembagaan, pembaharuan, reformasi, reorientasi. Dalam hal
ini, menjelaskan positivisasi terkait pelembagaan atau lembaga
berarti yang asli, yang jadi, yang akan jadi atau bakal. Dengan
demikian positivisasi hukum Islam di Indonesia dapat dipahami
sebagai usaha, prospek masa yang akan datang dan seterusnya
untuk membumikan ajaran hukum Islam.
Gus Dur sebagaimana dikutip Wahid55 mencoba
menjelaskan Indonesia yang secara sadar tidak menggunakan
label Islam dalam struktur dan sistem kenegaraannya.
Dalam kesimpulanya bahwa Indonesia lebih Islami dalam
implementasi nilai kemanusiaan. Meskipun dengan dasar
Pancasila dan UUD 1945, tetapi aturan-aturan kenegaraan
dan peraturan perundang-undangannya tidak bertentangan
dengan Islam, bahkan sejalan dengan misi Islam untuk
mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kemaslahatan.
Lebih jauh, Gus Dur memilah dan membedakan tema “Islam
Indonesia” dan “Islam di Indonesia”. Sekilas tidak terdapat
perbedaan, tetapi secara paradigmatik memiliki implikasi
yang jauh. Yang digambarkan adalah “Islam Indonesia” Islam
khas Indonesia, Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang
menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa
bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi
Islam versi Arab. Islam Indonesia adalah Islam berbaju
kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang
menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal,
dan sejenisnya. Islam Indonesia bukan foto copy Islam Arab,
bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat,
dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. Islam Indonesia adalah
semua Islam yang tersaring ke dalam ke-Indonesiaan. Berbeda
55
26
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
dengan itu, Islam di Indonesia memberikan pengertian
bahwa Indonesia hanya sebagai lokus persinggahan dari
Islam. Filosofi, logika, nalar, budaya, simbol, bahasa, dan tata
cara pergaulan semuanya diadopsi, difoto copy, dicangkok,
diduplikasi, dan diplagiasi secara sempurna dari Islam Arab.
Asumsi paradigma “Islam di Indonesia” adalah bahwa Islam
itu Arab dengan seluruh darah daging kebudayaannya, sejak
kelahiran hingga perkembangan dewasa ini.
Imron56 dalam disertasinya berjudul Kontribusi Hukum
Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional: Studi Tentang
Konsepsi Taklif dan Mas’uliyyat dalam Legislasi Hukum, telah
menjelaskan hakekat pertanggungjawaban hukum dalam
payung Pancasila sebagai cita-cita pembangunan hukum
nasional Indonesia perspektif Islam dan keterkaitannya dengan
perkembangan dinamika masyarakat dan batasan konsepsi
taklif dan mas’uliyyat dalam hukum Islam relevansinya dengan
pertanggungjawaban hukum dalam cita-cita pembangunan
hukum nasional dan peraturan perundangan di Indonesia serta
mencoba menjelaskan problematika implementasi konsepsi
taklif dan mas’uliyyat dalam legislasi hukum nasional. Dalam
kesimpulanya, menjelaskan bahwa pertanggungjawaban
hukum dalam payung Pancasila adalah tatanan
pertanggungjawaban hukum yang berorientasi pada nilai-nilai
1) moral religius (ketuhanan); 2) humanistik (kemanusiaan);
3) nasionalistik (kebangsaan); 4) demokrasi (kerakyatan);
dan 5) sosial yang berkeadilan. Sedangkan subtansi atau nilai
filosofis rumusan norma pertanggungjawaban hukum terdapat
kesamaan antara hukum Islam dengan nilai-nilai yang dicitacitakan pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya
Ali Imron, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas`uliyyat dalam Legislasi Hukum),”
Disertasi (Semarang: Uneversitas Diponegoro, 2008).
56
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
27
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
nilai keadilan, kemanfaatan dan kemaslahatan hukum bagi
manusia. Namun, dalam hal rumusan batasan usia atau dewasa
bagi seseorang untuk dapat memikul pertanggungjawaban
hukum, terdapat beberapa perbedaan prinsip antara rumusan
`aqil baligh dalam hukum Islam dengan peraturan perundangan
di Indonesia. Batasan usia dalam peraturan perundangan
Indonesia perlu disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat
dewasa ini. Ketercukupan asupan gizi, perkembangan teknologi
rekayasa pangan, dan perkembangan teknologi informatika
berpengaruh kuat terhadap kecenderungan lebih cepat dewasa
bagi seseorang. Implementasi konsepsi taklif dan mas`uliyyat
dalam legislasi hukum nasional dengan cara mengintegrasikan
asas-asas hukum dan mengintegrasikan istinbath ahkam
ke dalam hukum nasional. Problematika implementasinya
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu problematika internal umat
Islam dan problematika eksternal. Nampaknya dari tulisannya,
Imron menginginkan usaha integrasi ilmu hukum nasional
dengan hukum Islam Indonesia. Mengintegrasikan hukum
Islam ke dalam hukum nasional mempunyai pengertian
konsepsi-konsepsi (pengertian, pendapat, rancangan yang ada
dalam fikiran, ide, cita-cita, pengertian yang diabstraksikan)
yang terdapat di dalam hukum Islam dialihkan menjadi hukum
nasional Indonesia, sehingga pada wilayah praktisnya hukum
Islam dapat diterima secara eksis oleh semua kalangan tanpa
memandang dari sisi Islamnya.57
Perkembangan metodologi hukum sebagai upaya integrasi hukum Islam
dalam legislasi hukum nasional harus tetap berpedoman pada UU Nomor 12 Tahun
2011 dan UU Nomor 17 Tahun 2007. Oleh karena itu usaha yang ditempuh adalah
dengan cara mengintegrasikan asas-asas hukum Islam dan mengintegrasikan
istinbath ahkam (metodologi penggalian hukum) ke dalam hukum nasional sesuai
perundangan yang berlaku (Imron, 2008).
57
28
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
Sementara Mirri58 dalam sebuah jurnal telah menjelaskan
perkembangan hukum Islam dan kontribusinya terhadap
hukum nasional. Menurutnya, terkait perlunya postivisasi
hukum Islam, UUD 1945 secara jelas dalam pembukaan
menyebutkan:
“…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…”.
Paragrap di atas dipahami oleh Mirri bahwa kejelasan
Indonesia adalah negara hukum yang berkeinginan membentuk
suatu hukum baru sesuai dengan kesadaran hukum, kebutuhan
hukum, aspirasi masyarakat sesuai kebangsaan Indonesia.
Sedangkan Arifin59 mencoba membangun hukum nasional
yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia
dengan menjelaskan alasan mendasar perlunya hal tersebut
karena hukum Indonesia masih di persimpangan jalan
Indonesian law at the cross roads, sehingga perlu diintegrasikan
sesuai budaya, norma dan karakter bangsa menuju hukum
Indonesia yang sesungguhnya. Dalam konteks ini syarī’at
Djamaluddin M. Miri,”Hukum Islam di Indonesia (Tinjauan Terhadap
Esensi, Eksistensi, Pelembagaan, Pembaharuan, Pengembangan dan Prospek
Penerapannya),” 2012, diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/
viewer? a=v&q = cache: n8LDiFM3FPkJ: mahadalytebuireng. files. wordpress.
com/ 2009/ 05/ hukum – islam – di -indonesia1.doc+PEMIKIRAN+HUKUM+ISLAM+
BUSTANUL+ARIFIN+%28Studi+Tentang+Esensi,+Eksistensi,+Pelembagaan,+Pemba
haruan,+Pengembangan+dan+Prospek+Penerapan+Hukum+Islam+di+Indonesia%2
9&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESjK8ms5L_apfezWP3E1hO_56W_zzWHvBEoA
mK6UM1XGeyAWpINFy5wrp9BWGjQSbJYNQR4LVws NtH5LO4j D9I7MQ tt 1qG8h
– PYHv ExA67 k1scyp LP5zOGH6GtwiHToESjGrZKI5&sig=AHIEtbTxmNR9m44gAH
cgxuMw0xtzXpwA2A
59
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah
Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
58
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
29
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
dan ilmu hukum memang tidak sama, tetapi masing-masing
mempunyai relasi aplikatif dalam konteks ke-Indonesiaan
perlu upaya menuju positivisasi hukum Islam. Menurutnya,
hukum berfungsi skunder, artinya dalam oprasionalnya
terkait dengan tujuan yang hendak dicapai oleh hukum,
hukum harus beres dulu, baru kemudian diharapkan dan
dijamin keberhasilan tujuan hukum. Arifin juga menjelaskan
bahwa dalam perspektif Islam, hukum senantiasa mampu
untuk mendasari dan mengarahkan berbagai perubahan
sosial masyarakat, karena dalam hukum Islam terdapat ragam
metode untuk menggali dan menemukan hukum dalam
syari’at, seperti metode Ijmā’ dan Qiyās yang akomodatif
terhadap persoalan, baik yang sudah muncul, sedang maupun
yang akan dalam fenomena sosial masyarakat. Pendek kata,
persoalan hukum Indonesia adalah bagian dari hukum
Islam (perpaduan syarī’at dan fiqh). Syari’at adalah program
implementasi dari al-Dīn/ al-Hudā yang bersifat universal
sedangkan pemahaman syariat menjadi fiqh.
Studi Dimyati60 yang mencoba fokus dalam memotret
sejarah hukum Islam di Indonesia sejak kemerdekaan hingga
tahun 1990-an menjelaskan bahwa proses positivisasi
pada hakekatnya adalah suatu proses obyektivitas norma
metayuridis menjadi norma yang positif, sehingga ilmu
hukum yang terbangun adalah tetap berdasarkan logika
normologi dan tidak berlogika normologis yang induktif
untuk menemukan sejumlah norma yang eksis sebagai
fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial
dan kultural masyarakat. Selain itu, hubungan kausal antara
fakta hukum dan akibat hukum dalam aliran positivisme
Khudzaifah Dimyati, Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990 (Surakarta: Muhammadiyyah University
Press, 2004).
60
30
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
merupakan hasil normatif judgmen bukan hasil observasiobservasi yang menggunakan metode sains guna menjamin
obyektifitas dan reliabilitas suatu hukum.
Sementara Azizy dalam bukunya Eklektisisme Hukum
Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum
menyatakan bahwa agar hukum nasional Indonesia yang
setelah sekian lama diidam-idamkan dapat terwujud, ia
melontarkan ide eklektisisme. Maksudnya membentuk
hukum nasional Indonesia dengan secara kritis memilahmilih unsur-unsur dari doktrin hukum umum (peninggalan
kolonial Belanda), hukum Adat dan hukum Islam karena
memang hanya sistem atau doktrin hukum inilah yang telah
membumi di Indonesia. Adapun syarat yang harus dipenuhi
adalah membangun kesamaan persepsi antara para ulama
(pemegang otoritas hukum Islam/syari`ah) dan para ahli
hukum umum atau civitas akademika fakultas hukum. Lebih
jauh Azizy menawarkan, mengembangkan pemikiran hukum
Islam dengan istilah yang disebut eklektisisme hukum Islam
(suatu sistem agama atau filsafat) yang dibentuk secara
kritis dengan memilih dari berbagai sumber dan doktrin
sebagai upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia.
Argumentasinya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai
prodak positivisasi hukum Islam dari segi bahasa dan substansi
masih menimbulkan ragam pemahaman.61 Orientasinya tidak
bisa dipisahkan dengan gagasan positivisasi hukum Islam
61
Menurut kamus Black’s Law Dictionary, “kompilasi” berarti suatu produk
berbentuk tulisan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. Jadi
KHI bukan peraturan perundang-undangan dan juga bukan hukum (Amrullah:
1996:65-98). Sementara Boy (2008: 3-12) mengatakan bahwa KHI merupakan
salah satu bentuk solusi yang cukup penting dalam mengakomodasi kelompok
penentang maupun pendukung formalisasi syariah Islam. Kelompok lain KHI
merupakan penyegaran kembali dari gagasan Hazairin oleh Munawir Sjadzali,
Menteri Agama (1983-1993) yang perlu dikembangkan (Junaidi:tt)
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
31
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
sekaligus meniadakan dikotomi antara ilmu hukum nasional
dengan ilmu hukum Islam.62 Terkait positivisasi hukum Islam,
Azizi juga menjelaskan bahwa di kalangan umat Islam sendiri
terdapat perbedaan pendapat mengenai posisi hukum Islam
di Indonesia. Ada pendapat yang meyakini supremasi hukum
Islam, artinya hukum Islam lebih tinggi dari yang lainya
dan ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam
dengan hukum lainnya (adat dan barat) mempunyai posisi
sama, masing-masing hukum tersebut berkompetisi dalam
mewarnai pembangunan hukum Nasional.63
Namun Gus Dur sebagaimana dikutip Ghazali (Abdul Moqsith Ghazali,
2012, ”Menggemakan Pemikiran Gus Dur,” diiakses pada 21 Juni 2012 dari http://
islamlib.com/id/artikel/menggemakan-pemikiran-gus-dur 2012: 2-17) menafsiri
ulang pengertian al-maqāṣid al-syar’iyyah atau al-dlaruriyat al-khams (lima prinsip
dasar Islam). Di antaranya, hifdz al-dīn diartikan Gus Dur dengan kebebasan
beragama, hifdz al-aql dengan kebebasan berfikir. Dengan mengerti relativisme
dan subyektivisme fikih, Gus Dur menolak menjadikan fikih sebagai hukum positif
negara. Formalisasi fikih Islam ke dalam produk perundang-undangan bukan
solusi bagi masyarakat Indonesia yang plural. Telah lama Gus Dur membunyikan
lonceng peringatan sekiranya umat Islam memaksa agar fikih Islam yang partikular
dan beragam itu diformalisasikan. Memformalisasikan satu jenis fikih berarti
membuang puluhan jenis fikih yang lain. Itu sebabnya, Gus Dur lebih suka merelakan
fikih berada di tangan pemangku agama dan bukan di haribaan penguasa negara.
Biarkan fikih menjadi medan eksplorasi intelektual para ulama dan bukan bahan
hegemoni para zuama. Lebih dari itu, menurut Gus Dur, dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara seluruh warga negara tak terkecuali umat Islam harus
terus didorong untuk merujuk pada Pancasila dan konstitusi bukan pada teks kitab
suci. Kitab suci boleh menjadi inspirasi, tapi tak boleh menjadi aspirasi. Tuntutan
formalisasi syariat Islam, demikian Gus Dur, berwajah sektarian dan berlawanan
dengan asas kesetaraan bagi warga negara. Di negara Indonesia, kedudukan utama
seseorang adalah warga negara bukan warga agama. Semua kita pada mulanya
adalah penghuni negara Indonesia baru kemudian penghuni agama (Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, Sikh, Baha’i, dan lain-lain).
63
Arifin, Pelembagaan, 33-55. Dia menjelaskan persoalan hukum Islam
merupakan persoalan tetap yang tidak kunjung selesai, selalu mengombangambingkan manusia muslim antara tuntutan keimanan dengan tuntunan social
masyarakat modern seperti yang terjadi dewasa ini. Lebih jauh dengan mengutip
62
32
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
Studi Asmar64 yang fokus pada pergumulan politik
hukum Islam di Indonesia menjelaskan bahwa pergumulan
politik hukum seputar KHI sebagai produk dari positivisasi
hukum Islam setelah 20 tahun lebih diterapkan sebagai
hukum materiil Pengadilan Agama, ternyata masih
diperdebatkan legitimasinya. Misalnya Habiburrahman
menyatakan bahwa KHI illegal, karena khususnya bab
hukum waris mestinya menurut SK ditangani Wasit Aulawi
dan KH. Azhar Basyir, namun keduanya tidak tahu persis dan
secara tiba-tiba muncul buku II tentang hukum kewarisan
terutama pasal pasal 185 KHI tentang ahli waris pengganti
yang di dalamnya banyak terdapat pemikiran-pemikiran
Hazairin yang pola pikirnya lebih dekat kepada pemikiran
orientalis dari pada seorang muslim. Sehingga pemahaman
ulang tentang positivisasi hukum Islam dengan KHI sebagai
produknya merupakan hal yang harus disikapi secara serius.
Menurut Masruhan65 dalam tulisannya di sebuah jurnal
yang fokus pada positivisasi hukum Islam di Indonesia
pendapat Mahmaud Syaltut, Arifin menjelaskan pentingnya pelaksanaan
syari’at secara nyata yang bercampur dengan akal pikiran (rasio-paham). Hasil
pemahaman Ijtihad selamanya tetap menjadi fiqh, dan syari’at tetaplah syari’at
yang sempurna, sesuai dengan segala tempat dan waktu. Lebih jauh Arifīn (Ibid.,
24) menjelaskan bahwa syari’at adalah metode atau cara menjalankan al-Dīn.
Syarī’at juga dapat disebut sebagai program implementasi al-dīn. Al-dīn hanya
satu dan seragam universal, sedangkan syarī’at sebagai program pelaksanaanya
berbeda-beda sepanjang sejarah kemanusiaan sesuai masa para nabi dengan
syariatnya masing-masing.
64
Lanka Asmar, “Ahli Waris Pengganti dalam KHI,” 2012,diakses pada 18 Mei
2012 dari http://hukum.kompasiana.com/2012/05/16/ahli – waris - penggantidalam-khi/
65
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari,
http://ejournal.Sunan-ampel.ac. id/index.php/ Islamica/ article/ viewFile/
453/347
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
33
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
menjelaskan bahwa proses positivisasi hukum Islam di
Indonesia mengandung dua dimensi yang dibedakan antara:
1. Hukum Islam dalam kaitannya dengan syarī’at yang
berakar pada nash qath’ī, berlaku universal dan menjadi
asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas
umat Islam sedunia.
2. Hukum Islam yang berakar pada nash dhannī yang
merupakan wilayah ijtihādī yang produk-produknya
kemudian disebut dengan fiqh.66
Realitas ini membutuhkan pengembangan kontekstual
dalam mengembalikan pemahaman fungsi ajaran Islam secara
umum sebagai rahmatan li al-‘ālamīn sekaligus sebagai sumber
dhannī dalam konteks Indonesia. Arifin67 menjelaskan perlunya
mengembalikan ajaran Islam Indonesia terkait hukum Islam
Indonesia yang telah dipengaruhi oleh kepentingan politik
Belanda. Menurutnya, secara historis motif penjajahan
awalnya adalah faktor perdagangan rempah-rempah Indonesia
yang laris di pasar Eropa yang kemudian penjajahan mengarah
kepada Islam karena dalam pemahaman Belanda, Islam adalah
agama yang berpengaruh di Indonesia.
Arifin menyatakan bahwa pelembagaan terkait pengembangan makna
aplikatif tentang al-syari’at dan al-din (Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam
di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
5-15. Dalam pengertian ini kemudian memberikan kemungkinan epistemologi
hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum
Islam secara berbeda-beda sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi
(Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), 19-45). Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah sejak lama
memperoleh tempat yang layak dalam kehidupan masyarakat seiring dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan bahkan pernah sempat menjadi hukum
resmi negara (Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia (Jakarta: Gama
Media, 2001), 23-39.
67
Arifin, Pelembagaan Hukum Islam, 35.
66
34
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
Studi Gunaryo dengan fokus pada pergumulan politik
hukum Islam di Indonesia dalam konteks lembaga peradilan
Agama menjelaskan perkembangan penjajahan Belanda yang
berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam di
Indonesia yang mengakibatkan sedikit demi sedikit hukum Islam
terpangkas, sampai akhirnya yang tertinggal—selain ibadah—
hanya sebagian dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris)
dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya.68 Gunaryo
juga menjelaskan bahwa sejarah panjang pergumulan politik
hukum Islam membuktikan eksisnya hukum Islam di Nusantara
yang tidak bisa dilepaskan dari pemahaman yang sesuai dengan
budaya.69 Dengan demikian, penyesuaian hukum Islam dengan
ragam budaya bisa dijelaskan antara lain dengan aplikasi
metode maṣlahah yang akomodatif terhadap dinamika hukum
Islam. Terkait positivisasi, studinya menjelaskan bahwa dalam
perkembangan hukum Islam70 di Indonesia dibagi menjadi dua:
1. Hukum Islam yang bersifat normatif yang berkaitan
dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya
sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat
Islam Indonesia kepada agamanya.
Gunaryo, Pergumulan, 2006.
Terkait positivisasi hukum Islam, Naim dalam studinya tentang
dekonstruksi syari’ah menjelaskan bahwa wacana Islam tidak hanya wacana
politik dan intelektual di negara-negara Islam, tetapi merupakan dimensi penting
dari perdebatan publik mengenai konstitusional dan legal negara-negara tersebut
(Abdullah Ahmed al-Naī’m, Dekonstruksi Syarī’ah, Kritik Konsep Penjelajahan Lain,
terj. Farid Wajidi, Yogyakarta: LKiS, 1996), 83-96. Tersirat di sini pelembagaan
hukum Islam di semua negara menjadi penting untuk dikaji.
70
Menurut Sihab diantara wujud kontribusi hukum Islam, terutama dalam aspek
penjiwaan nilai Islami (khususnya bidang perdata karena bidang pidana untuk saat
ini masih belum memungkinkan) terhadap hukum nasional adalah. UU No. 14 Tahun
1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman pada pasal 10 Ayat (1)
diperundangkan; “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan;
Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
68
69
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
35
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
2. Hukum Islam yang bersifat yuridis formal yang berkaitan
dengan aspek mu’āmalah (khususnya bidang perdata dan
diupayakan pula dalam bidang pidana yang sampai sekarang
masih dalam tahap perjuangan) yang membutuhkan
campur tangan negara dalam pelaksanaannya.
Terkait usaha positivisasi meskipun keduanya (hukum
normatif dan yuridis formal) masih mendapatkan perbedaan
dalam pemberlakuannya, namun keduanya sebenarnya dapat
terlaksana secara serentak di Indonesia sesuai dengan UUD 45
pasal 29 ayat 2.71 Hukum Islam—fiqh Indonesia adalah hukumhukum yang hidup72 dalam masyarakat Indonesia, baik yang
bersifat normatif maupun yuridis formal yang konkritnya bisa
berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.
Salah satu pokok kajian Gunaryo adalah menguraikan proses
rekonsiliasi kelembagaan instrumentatif antar Peradilan Agama
dan Hukum Islam di satu sisi dan Peradilan Hukum Sekular di
sisi lain. Di samping itu juga mengkaji tentang pergumulan
politik pelembagaan Mahkamah Syar`iah dan hukum Islam di
Aceh. Menurutnya setelah Aceh mendapat legalisasi (formal
juridis) untuk melaksanakan syari`at Islam secara kaffah,
Bahkan Arifin mengatakan bahwa KHI sebagai produk Pelembagaan
Hukum Islam yang keluar secara yuridis melalui Intruksi Persiden sebenarnya
adalah langkah politis karena adanya penghiantan dari Tim KHI yang mestinya
KHI dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah. Selain kedua aspek dia atas,
dengan disahkannya pula UU No. 7 Tahun 1989, maka selain lebih mempertegas
keberadaan lembaga Peradilan Agama dalam sistem pengadilan nasional, juga
telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yang telah ada
sebelumnya (Busthanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional
(Bertenun dengan Benang-benang Kusut) (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1999), 3-23.
72
Yakni, hukum yang diterima dan digunakan secara nyata dalam kehidupan
umat, atau yang tersosialisasikan dan diterima masyarakat secara persuasif,
karena dianggap telah sesuai dengan kesadaran hukum dan cita mereka tentang
keadilan. Amrullah, Dimensi Hukum Islam, 209.
71
36
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
dalam implementasinya di lapangan belum banyak yang dapat
dikatakan. Pelaksanaan itu sendiri belum diberi pola atau format
yang jelas selain masih berada dalam taraf eksperimentatif.
Sebagai lanjutan pentingnya pembahasan ini, Arifin dalam
sebuah makalahnya juga memperjelas bahwa positivisasi
hukum Islam73 sesungguhnya merupakan strategi politik dalam
memasukkan nilai hukum Islam ke dalam hukum nasional
diawali dengan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 sebagai
wadah besarnya yang selanjutnya tinggal memikirkan isinya.
Positivisasi hukum Islam di Indonesia juga merupakan rentetan
sejarah panjang perjalanannya sejak kedatangannya yang terus
berpengaruh hingga sekarang. Atas dasar itulah pemahaman
73
Positivisasi hukum Islam di Indonesia terkait dengan sejarah kedatangaanya
yang multi teori Busthanul Arifin, Transformasi, dan Azyumardi Azra, Islam di Asia
Tenggara Pengantar Pemikiran (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), xii) bayak teori
menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia. Di antaranya; pertama, teori Islam masuk
ke Indonesia pada abad ke-12 dari Gujarat dan Malabar, bukan Persia atau Arabia.
Teori ini dikemukakan oleh Pijnappel pada tahun 1872, dan didukung oleh umumnya
sarjana-sarjana Belanda seperti C. Snouck Hurgronje, Moquette dan Morrison. Kedua,
teori S.Q. Fathimi mengatakan bahwa Islam datang dari Bengal. Argumentasinya bahwa
kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka.
Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya pada abad ke-11 adalah dari pantai
timur, bukan dari barat (Malaka), melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran dan
Trengganu. Teori ketiga menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau
tepatnya Hadhramaut. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Crawfurd (1820) dan
didukung oleh Keyzer (1859), Niemann (1861), de Hollander (1861) dan Veth (1878).
Crawfurd menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab. Keyzer, Niemann
dan de Hollander menyatakan bahwa umat Islam di Nusantara bermadzhab Syafi’i
sebagaimana halnya madzhab umat Islam di Mesir dan Hadhramaut. Dalam beberapa
hal, “teori Arab” ini didukung oleh Thomas W. Arnold (1913) yang menegaskan
bahwa selain Coromandel, Islam Indonesia juga berasal dari Malabar. Namun,
menurut Arnold, daerah-daerah ini bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa. Ia
juga mengajukan pandangan bahwa para pedagang dari Arabia sendiri memegang
peranan dominan dalam menyebarkan Islam ke Indonesia, bahkan sejak abad ke-7 dan
ke-8 Masehi atau awal-awal abad pertama Hijriyah. Menurut Arnold, di pantai Barat
Sumatera telah didapati satu kelompok perkampungan orang Arab pada tahun 684 M.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
37
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
strategis tentang hukum Islam—fiqh perlu penyesuaian untuk
mengisi wadah yang sudah terbentuk dalam KHI tersebut sesuai
konteks Indonesia. Penyesuaian yang memungkinkan adalah
pengembangan dalam aplikasi sosial tentang penerapan metode
tertentu dalam ilmu agama. Selain al-Qur’an dan al-Sunnah,
Ijmā’ juga merupakan sumber hukum yang kuat, menduduki
tingkatan ketiga dalam urutan sumber hukum Islam.74 Sehingga
positivisasi hukum Islam dari segi sumber kedudukan hukum
Islam dalam ketatanegaraan dibagi dua; sebagai sumber persuasif
dan autoritatif. Sumber persuasive, persuasive source, adalah
sumber yang harus diyakinkan supaya diterima semua orang
lain (masyarakat). Sedangkan sumber autoritatif, authoritative
source, adalah sumber yang mempunyai kekuatan hukum tanpa
harus meyakinkan kepada orang lain (masyarakat).
Positivisasi hukum Islam di Indonesia sesungguhnya
merupakan suatu bentuk Ijtihād Tatbīqi dalam konstelasi
pergumulan politik hukum nasional di Indonesia terkait
dengan pengembangan kajian hukum Islam mengenai
al-Dīn - Syarī’ah – Fiqh - yang memang sangat dibutuhkan
seiring dengan berkembangnya persoalan manusia dengan
sosial budaya Indonesia. Artinya, positivisasi hukum Islam
sesungguhnya merupakan upaya meluruskan persepsi tentang
syari’at melalui (1) Pengadilan Agama terutama para hakimhakimnya (2) mengakrabkan umat Islam (ulama-ulama)
dengan yurisprudensi, dan (3) membuat kompilasi hukum
Islam serta perundangan lain yang sesuai dengan kebutuhan
bangsa Indonesia dengan segala persoalan sosial budayanya.
Hukum dalam pengertian Ilmu hukum sekarang dikembangkan dalam
norma-norma hidup dari suatu masyarakat dan selalu kumpulan norma-norma
hidup itu terkait dengan moral agama. Sementara moral agama terkait dengan
tauhid yang selalu membuahkan kesadaran kesamaan kedudukan manusia dalam
hukum. Arifin, Pelembagaan, 26.
74
38
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
Muhammad Alim75 dalam bukunya Relasi Agama dan
Negara menjelaskan bahwa negara republik seperti Indonesia
mempunyai potensi pembangunan sesuai Islam masa nabi
dan sahabatnya. Upaya ini untuk mewujudkan keadilan
yang merdeka, tidak memihak dalam menegakkan keadilan,
menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia, memiliki
konstitusi (al-Qur’an dan Sunnah) dan seterusnya, sebagai
modal menuju pelembagaan dan positivisasi hukum Islam
yang sesungguhnya. Hal ini karena adanya ikatan antara
agama dan negara di Indonesia.
Sementara Malthuf Siroj76 dalam studinya menjelaskan
tentang perlunya pembaharuan hukum Islam dengan
mencoba menguji kesesuaian KHI dengan kebutuhan hukum
di Indonesia.77 Menurutnya hukum Islam perlu disesuaikan
dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang antara
lain disebabkan oleh perkembangan politik, ekonomi, budaya,
ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain. Tujuannya antara
lain untuk melengkapi pilar peradilan Agama, menyamakan
persepsi penerapan hukum, mempercepat proses taqrīb
bain al-ummah (penyatuan elemen-elemen masyarakat) dan
menghilangkan paham urusan pribadi dan golongan.
Dari sekian studi yang berkembang seputar hukum
Islam Indonesia, transformasi nilai hukum Islam ke dalam
75
Alim, Asas-asas Negara Hukum Moderen dalam Islam, Kajian Komprehensif Islam
dan Ketatanegaraan (Yogyakarta: LkiS, 2010).
76
Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah Kompilasi
Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012).
77
Dalam studi Jazuni menjelaskan bahwa pelembagaan hukum Islam sebagai
bagian dari pembangunan hukum nasional melalui legislasi, hukum Islam
harus berkompetisi dengan hukum lain, dan pendukung hukum Islam harus
berkompetisi dengan pendukung hukum lain. Kompetesi ini supaya meciptkan
kondusifitas Negara berlangsung melalui wadah demokrasi. Jazuni, Legislasi
Hukum Islam Di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 2-8.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
39
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
hukum Nasional, nampaknya penelitian seperti ini masih
layak untuk dikembangkan guna memperkaya khazanah
keilmuan serta dinamika hukum Islam, apalagi penelitian
yang secara tegas menjelaskan politik hukum era reformasi
dalam konteks positivisasi hukum Islam nampaknya
belum banyak disinggung oleh penelitian atau tulisan
sebelumnya. Sehingga penelitian/disertasi ini menunjukkan
perbedaan dengan tulisan sebelumnya secara tegas dan jelas
terutama dari sisi politik hukum era reformasi yang sangat
berpengaruh terhadap suatu produk hukum, sehingga hal
ini sekaligus menunjukkan kalau penelitian/disertasi ini
masih relevan sebagai upaya memunculkan suatu model
tertentu dalam pengembangan ilmu hukum Indonesia atau
ilmu hukum Islam Indonesia yang tentunya tidak lepas
dari rujukan dan analisis yang mirip menuju “Indonesiasi
Islam dan Islamisasi Indonesia”. Sehingga wajah hukum
Indonesia mencerminkan karakter bangsa Indonesia dalam
konteks pembangunan hukum sebagai negara hukum. Hal
inilah yang sekaligus membedakan penelitian disertasi ini
dengan penelitian sebelumnya dengan fokus pada usaha
integrasi ilmu hukum Islam dengan Ilmu hukum nasional di
tengah pluralitas hukum nasional sesuai bingkai demokrasi
Pancasila dengan mayoritas umat muslim di Indonesia.
C. Metode Penelitian
Untuk mempermudah dalam mengolah informasi atau
jawaban sesuai dengan rumusan permasalahan, maka buku ini
telah disusun dengan suatu desain secara menyeluruh sesuai
urutan kerja dari penelitian yang telah direncanakan. Tujuanya
adalah untuk memperjelas pemahaman secara dinamis, sesuai
data dan pemikiran yang muncul serta berkembang secara dialogis
40
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
dalam pengolahan data.78 Selain itu, hal tersebut dimaksudkan
agar penelitian dapat terarah dan tidak menyimpang dari
yang penulis telah rencanakan, berdasarkan metode-metode
ilmiah.79 Argumentasinya adalah, suatu penelitian merupakan
usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan, usaha tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode-metode ilmiah.80
Penulisan buku ini merupakan jenis kualitatif dengan pola
deskriptif analitis. Penelitian ini didasari oleh argumentasi
bahwa hukum itu terdiri atas ide-ide dan konsep-konsep yang
abstrak yang membutuhkan cara tertentu untuk memperoleh
gambaran ide-ide yang diwujudkan dalam praktik kehidupan.
Tujuannya agar dapat memberikan penjelasan bermakna
tentang data-data hukum yang diinterpretasi secara analisis
sesuai data yang sudah terkumpulkan. Hal ini karena positivisasi
hukum Islam didasarkan pada doktrin hukum positif dan
hukum Islam untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, dan
kemaslahatan secara dialogis.81
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka Library Resarch,
jenis kualitatif dengan pola deskriptif, yaitu penelitian yang
menjelaskan dan menggambarkan apa adanya tentang konsepsi
positivisasi hukum Islam dan dinamika pemikiran hukum hukum
Islam serta problematika implementasinya di Indonesia.82
78
Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik (Jakarta: Rineka Cipta,
2003), 3.
79
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982), 2.
80
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), 73.
81
Supranto, Metode, 6-7.
82
Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, 23.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
41
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
Menurut Suryabrata83 secara harfiyah penelitian
deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
membuat pencandraan mengenai situasi-situasi atau
kejadian-kejadian. Oleh karenanya penelitian ini bisa disebut
menggunakan analisis kualitatif, pendekatan historis, yuridis
sosiologis dengan jenis kepustakaan (library research) untuk
mendialogkan berbagai pengetahuan pustaka dan karya yang
telah ada.84 Pustaka dimaksud adalah data tertulis khususnya
buku-buku ilmiah yang terkait dengan teori positivisasi.85
Selain itu menggunakan literatur yang sesuai untuk
memperoleh data yang diperlukan.86 Hal ini karena hukum
tidak hanya dilihat sebagai suatu entitas normatif, melainkan
sebagai bagian riil dari sistem sosial dalam kaitannya dengan
variabel sosial yang ada dalam masyarakat.87
2. Pendekatan dan Sumber Data
Penelitian buku ini adalah penelitian pustaka Library
Resarch yang memposisikan sumber data sebagai subjek dari
mana data tersebut diperoleh,88 sehingga pendekatannya
menggunakan pendekatan hukum normatif, pendekatan
historis dan pendekatan sosiologis. Adapun sumber datanya
ini adalah buku-buku, artikel, tulisan-tulisan dan dokumen
peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia yang
relevan dengan materi buku ini. Data dalam penelitian ini
berupa data primer dan sekunder.89 Data primer atau data
Suryabrata, Metodologi Penelitian, 10.
Supranto, Metode, 6-7.
85
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), (Jakarta:
Rosdakarya, 2004), 13.
86
Ibid., 9.
87
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 38.
88
Soemitro, Metodologi, 39.
89
Ibid., 11-12.
83
84
42
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari
subyek penelitian sebagai data utama.90
Data sekunder adalah bukti teoritik yang diperoleh
melalui studi pustaka sebagai kajian yang digunakan untuk
mendudukung data primer yang menjadi landasan kerangka
berfikir, atau data yang diproleh dari pihak lain, tidak langsung
diperoleh dari subyek penelitiannya.91 Data dimaksud berupa
literatur yang terkait dan mendukung dengan materi
pembahasan. Adapun sumber data yang dimaksud adalah:
a. Buku-buku yang memuat tentang hubungan agama,
hukum, dan politik di Indonesia dalam studi hukum
Islam dan dinamika legislasi hukum Islam
b. Buku-buku yang membahas tentang sistem hukum di
Indonesia.
c. Dokumen-dokumen resmi pemerintah Republik
Indonesia yang terkait dengan permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Memperoleh data adalah persoalan metodologis.92
Sehingga data tentang positivisasi hukum Islam, politik
hukum dan konsep pembangunan ilmu hukum nasional
Indonesia digali sebagai instrumen, melalui teknik informasi
dokumentasi. Untuk mendapatkan data yang mendukung,
digunakan metode dokumentasi dengan mengumpulkan
data dilanjutkan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahanbahan tertulis berhubugan dengan topik penelitian.93
Adi, Metodologi, 38.
Ibid., 48.
92
Moleong, Metodologi, 67.
93
Ibid., 92.
90
91
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
43
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
Dalam melakukan penelitian ini, teori-teori, konsepsikonsepsi, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum
serta isi kaidah hukum diperoleh melalui dua referensi
utama sebagai berikut:
a. Bersifat umum seperti buku-buku, teks, ensiklopedia,
dan yang sejenisnya.
b. Bersifat khusus seperti jurnal, laporan hasil penelitian,
terbitan berkala, dan yang sejenisnya. Penelitian melalui
studi pustaka lebih diarahkan pada penelitian terhadap
telaah pustaka atau dokumen-dokumen pemerintah
atau negara, baik yang bersifat nasional maupun
internasional serta dokumen yang relevan dengan
penelitian ini.
4. Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, telah dilakukan analisis untuk
memberi gambaran yang jelas mengenai objek penelitian.
Memaparkan data apa adanya, penyajian data sesuai
fakta tanpa interfensi kepentingan penulis.94 Dengan
pola serta model penelitian demikian, data akan diolah
dengan cara editing di mana dalam tahap ini dilakukan
pemeriksaan atau pengecekan terhadap data-data yang
telah diperoleh agar dapat dilakukan koreksi terhadap
data yang salah untuk melengkapi data yang masih kurang,
sehingga data akhir yang diharapkan adalah data yang
valid serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dengan model pengolahan data demikian, penulis bisa
mempertangungjawabkan keilmiahan suatu data.
94
44
Ibid., 62.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dr. M. Shohibul Itmam
5. Analisis Data
Analisis merupakan proses yang tidak pernah
selesai,95 berhenti selama penelitian serta untuk menjaga
keseimbangan antara objek diteliti dengan pandangan
subyektif penulis.96 Karakter penelitian kualitatif adalah
analisis berkesinambungan, mengolah data secara induktif.
Analisis merupakan cara untuk mempelajari serta memilah
data sehingga diambil suatu kesimpulan konkrit tentang
persoalan yang diteliti atau dibahas.97 Oleh karenanya
seluruh data yang diperoleh setelah dilakukan berbagi
proses identifikasi dan klasifikasi secara sistematis,
kemudian dilakukan analisis secara induksi-interpretasikonseptualisasi. Dengan demikian data yang telah didapatkan
secara detail (induksi) dapat berupa data yang lebih mudah
dipahami, dicarikan makna sehingga ditemukan pikiran apa
yang tersembunyi di balik data tersebut (interpretasi) dan
akhirnya dapat diciptakan suatu konsep (konseptualisasi).
6.Validasi/Kesahihan
Dalam buku ini supaya ada pertanggungjawaban moral
terutama dari sisi akademik terhadap publik serta dengan
mengingat data-data yang diperoleh berupa tulisan-tulisan
referensi juga merupakan data yang bersifat narasi/
informatif, maka validasi yang digunakan adalah melengkapi
aktifitas penelitian dengan triangulasi, sebagai tehnik
Analisis merupakan proses yang tidak pernah selesai, terutama setelah
menemukan data atau meninggalkan lapangan. Sebenarnya analisis dapat
dilakukan sejak peneliti menemukan data atau berada di lapangan, namun sebagian
besar konsentrasi untuk menganalisis dan menginterpretasi itu biasanya tercurah
pada sesudah meninggalkan lapangan atau menemukan data pustakanya.
96
Moleong, Metodologi, 62.
97
Ibid., 10, 248.
95
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
45
Dr. M. Shohibul Itmam
Pendahuluan
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu.98 Teknik triangulasi
yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui
sumber lain dengan cara dibanding-bandingkan.99 Dengan
membandingkan beberapa data yang lebih relevan maka
penulis bisa mendekati dalam memperoleh data lebih
optimal.
98
99
46
Ibid., 178.
Adi, Metodologi, 79.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hubungan Agama dan Negara dalam Positivisasi
Hukum Islam di Indonesia
1. Hukum Islam diantara Syarī’ah dan Fiqh
Islam mengajarkan hukum yang lengkap dalam menata
kehidupan yang kompleks sehingga hukum Islam tersebut
berkembang pemahamannya di antara syari’at dan fiqh.
Dalam konteks Negara misalnya, hukum Islam memberi
penjelasan yang jelas dalam menata hubungan timbal
balik yang positif antara Islam sebagai Agama dan sebagai
kekuasaan atau Negara. Menurut Ahsan Khan Nyazee
sebagaimana dikutip Jazuni1 bahwa di dalam doktrin
Islam, sumber dari segala sumber adalah Allah. Sebagai
kerangka konseptual dalam positivisasi hukum Islam,
perlu dijelaskan pengertian teoritis/konseptual fiqh dan
syari’ah terkait kenegaraan. Kerangka teoritis/konseptual
ini diharapkan menjadi rancangan yang dapat menegaskan
dimensi-dimensi kajian utama penelitian serta mengungkap
perkiraan hubungan-hubungan dalam pandangan tertentu.2
Dalam kelengkapan ajaran Islam tersebut, Muhsin3
dan Rofiq menyebutkan bahwa setiap pembahasan tentang
Jazuni, Legislasi, 11.
Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum (Jakarta: BP. IBLAM, 2004), 10-11.
3
Ibid., 10-13. Rofiq, Pembaharuan, 13.
1
2
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
47
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
hukum Islam biasanya didahului oleh penjelasan konsep
yang memang sering kali menimbulkan kesalahpahaman
seperti konsep syarī’ah, tasyrī’, fiqh, ushūl al-fiqh dan lainya.
Fiqh misalnya, secara bahasa dalam makna etimologisnya
adalah “al-fahm” (pemahaman), “taṣawwur” (persepsi) dan
“idrāk” (kognisi) atau pemahaman yang mendalam.4
Sedangkan secara terminologis, fiqh merupakan disiplin
keilmuan yang fokus pada hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis amaliyah yang diderivasikan (istinbāṭ) dari dalil-dalil
yang terperinci.5 Sehingga fiqh dipahami sebagai konotasi
makna hermeneutis, selain mempunyai arti sosial dan
makna dalam arti hukum agama. Selain itu, dengan adanya
pengaruh oleh pra-anggapan metafisik dari teologi Islam
(kalām), fiqh kemudian membedakan dengan tegas antara
pemahaman (understanding) dan penafsiran (interpretation)
untuk memproteksi autentisitas dan kesempurnaan wahyu.
Jadi fiqh lebih banyak diarahkan pada pemahaman makna
teks dengan kaidah-kaidah yang bersifat bayāniyah, dan
tidak pada tafsiran yang fungsional bagi kehidupan manusia.
Pendek kata, fiqh adalah jendela dalam melihat fenomena
sosial dalam prespektif Islam.6
Rofiq7 menjelaskan syari’ah yang mengalami penyempitan
makna menjadi konsepsi fiqh. Pada konsepsi awal, fiqh
mencakup pemahaman terhadap hukum-hukum yang
disyari’atkan oleh Allah yang mengakomodasi hukum-hukum
4
Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam Kulliyyah al-Khamsah (Malang:
UIN Maliki Press, 2010), 1.
5
Ibid.
6
Moh. Mahfud MD,“Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses
pada 22 Juni 2012 dari https://docs. google.com/viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k
- UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task
7
Rofiq, Pembaharuan, 13-25.
48
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
i’tiqādiyyah, ‘amaliyyah dan khuluqiyyah (teologi, hukum dan
moralitas), namun kemudian dimensi teologi dikeluarkan dari
konsepsi fiqh.8 Pada ranah ini, fiqh sebagai sebuah disiplin
keilmuan yang mandiri mempunyai hubungan dengan
syarī’ah yang mempunyai formula praktis yang dipahami dari
syariah. Lebih jauh Rofiq9 menjelaskan bahwa dalam konteks
ke-Indonesiaan dikenal istilah yang sering kali menimbulkan
kekaburan makna dalam pengertian syariah atau fiqh, karena
dalam literatur barat dikenal istilah Islamic Law yang secara
harfiah berarti hukum Islam. Dilihat dari subtansinya bisa
dipahami bahwa yang dimaksudkan bukan syarī’ah, tetapi fiqh
yang dikembangkan oleh para mujtahid sesuai dengan konteks
ruang dan waktu.10 Artinya, Syari’at berlaku abadi sedangkan
fiqh sangat terkait dengan ruang dan waktu. Sehingga, Hukum
Islam di Indonesia dapat dipahami sebagai sebuah hukum yang
bersumber dari ajaran syari’at Islam, yaitu al-Quran dan alSunnah yang merupakan gabungan fiqh dan syari’at.
8
Fiqh pada fase ini disebut juga dengan al-aḥkām al-syar’iyyah al-far’iyyah,
yakni bukan i’tiqādiyyah. Dalam perkembangan berikutnya, setelah terjadi
diferensiasi keilmuan yakni dimulai pada awal pemerintahan ‘Abbasiyyah, fiqh
menjadi disiplin keilmuan yang murni konsen pada persoalan-persoalan syara’
yang bersifat praktis (hukum) yang memungkinkan berkembang menjadi ilmi
hukum Islam. Abid Rohmanu, “Konsepsi Fiqh Jihad Khaled Medhat Abou El Fadl
Dalam Perspektif Relasi Fiqh Dan Akhlak,” Disertasi (IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2010), 19-25.
9
Rofiq, Pembaharuan, 13-20.
10
Menurut Afandi, tidak diragukan lagi hukum Islam yang diturunkan
Allah Swt. memiliki keunggulan dibandingkan dengan hukum sekuler, baik dari
segi Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure) maupun
Budaya Hukum (legal culture). Di antara keunggulan sistem hukum Islam adalah
keefektifannya menekan angka kriminalitas; efektif membuat masyarakat taat
dan sadar hukum; efektif menciptakan ketertiban masyarakat; efektif mencegah
munculnya mafia hukum serta efektif mewujudkan keadilan yang hakiki. Luthfi
Afandi, “Efektifitas Hukum Islam,” 2-4, diakses pada 21 Juni 2012 dari http://
hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/efektifitas-hukum-islam/
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
49
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
Sedangkan hukum positif adalah hukum yang berlaku
dalam suatu tempat dan waktu tertentu berupa seperangkat
aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur tingkah
laku manusia, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
maupun sebuah ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa
yang bentuknya bisa tertulis seperti peraturan perundangan
maupun tidak tertulis seperti hukum adat. Dalam hal
ini, konsepsi hukum Islam kerangka dasarnya telah
ditetapkan oleh Allah Swt. yang kemudian implementasinya
dalam interaksi manusia yang menurut Daud Ali sebagai
seperangkat aturan/ukuran tingkah laku yang dalam
terminologi Islam disebut hukm, jamaknya ahkām.11
2. Hukum Nasional dan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional
Dalam konteks pembangunan hukum Indonesia, relasi
hukum Islam dengan hukum positif/hukum nasional
mempunyai obyek kerja yang searah dalam mewarnai
pembangunan hukum nasional. Hal ini terkait dengan sistem
hukum nasional yang memungkinkan menyatunya hukum
Islam dengan hukum nasional. Berbicara sistem hukum
nasional berarti berbicara mengenai kesatuan dari berbagai
sub-sistem nasional yang meliputi substansi hukum nasional,
struktur hukum nasional dan budaya hukum nasional.12 Dari
ketiga lingkup sistem hukum nasional dapat disederhanakan
secara substansial bahwa sistem hukum nasional Indonesia
adalah sistem hukum hukum Pancasila yang berorientasi
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Candra Pratama, 1996), 44.
Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia),
(Semarang: Pustaka Magister, 2012), 12-13.
11
12
50
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
pada tiga pilar yaitu, nilai ketuhanan (bermoral relegius),
nilai kemanusiaan (humanistik) dan nilai kemasyarakatan
(nasionalistik, demokratik, berkeadilan sosial).13 Dengan
demikian, sistem/tatanan hukum di Indonesia yang tidak
berorientasi pada tiga pilar/pendekatan/ruh tersebut tidak
dapat disebut hukum nasional meskipun dibuat oleh badan
legislatif Indonesia.14
Dalam lingkup pembangunan sistem hukum nasional
yang meliputi substansi, struktur dan budaya hukum
sesuai lokakarya nasional terutama pada Tahun 1999 (era
reformasi) dirinci sebagai berikut:
Dari substansi/perangkat hukum mencakup 14 sektor
yaitu; (1) sektor HTN dan HAN (2) sektor Hukum Tata
Ruang (3) sektor Hukum Bahari/laut (4) sektor Hukum
Dirgantara (5) sektor Hukum Kependudukan (6) sektor
Hukum Lingkungan (7) sektor Hukum Kesehatan (8) sektor
Hukum Kesejahteraan Sosial (9) sektor Hukum Teknologi
dan Informatika (10) sektor Hukum Keluarga dan Waris
(11) sektor Hukum Ekonomi (12) sektor Hukum Pidana (13)
sektor Hukum Militer dan Bela Nagara (14) sektor Hukum
Transnasional.15
Dari struktur/tata hukum mencakup 5 sektor, yaitu:
(1) sektor kelembagaan, administrasi dan manajemen
lembaga-lembaga hukum (2) sektor mekanisme, proses dan
prosedur (3) sektor peningkatan koordinasi dan kerjasama
Ibid.
Dalam konteks demikian, Hariyanto menjelaskan hukum adalah produk
politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan
pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap
pembangunan hukum. Muhsin Harianto, “Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Prespektif Politik Hukum,” 2-10. Diakses pada 5 Pebruari 2013 dari
15
Arief, Pembangunan, 12-13.
13
14
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
51
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
nasional (4) sektor kerjasama regional dan internasional
(5) sektor pengembangan sarana dan prasarana pendukung
pembangunan hukum.16
Dari budaya hukum mencakup 5 sektor, yaitu: (1) sektor
Pembinaan Fisafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional (2)
sektor Pembinaan Kesadaran Hukum dan Prilaku Taat
Hukum (3) sektor Pengembangan/ Pembinaan Perpustakaan,
Penerbitan dan Informatika hukum (4) sektor Pengembangan
dan Pembinaan Profesi Hukum (5) sektor Pengembangan
dan Pembinaan Pendidikan Hukum. Namun sesuai Renstra
(Rencana Strategik) pembangunan hukum nasional Repelita
VI hingga memasuki era reformasi disederhanakan menjadi
tiga bidang. Pertama, cita hukum, filsafat hukum dan ilmu
hukum nasional.17 Kedua, pranata hukum dan lembaga
hukum. Ketiga, prilaku hukum pemerintah dan masyarakat.18
Sedangkan berbicara tentang sistem hukum Islam
berarti berbicara tentang prinsip yang terkandung dalam
hukum Islam, yaitu sifat dan karakter hukum Islam. Sifat
atau karakter terpenting dari hukum Islam adalah konstruk
peraturan-peraturan yang diorientasikan untuk beribadah
atau penghambaan diri kepada Allah Tuhan Yang Maha
Esa. Melaksanakan hukum Islam berarti suatu ketaatan dan
Ibid.
Menurut Alim dalam perkembangan ilmu hukum kini telah sampai
pada konsep bahwa aturan hukum pada hakikatnya tersusun secara hierarkis.
Konsep ini dengan kuat diterima di kalangan keilmuan hukum sehingga ada
kecenderungan bahwa ada tidaknya hierarkis, penjenjangan atau tata urutan
peraturan perundang-undangan dijadikan sebagai tolak ukur tentang ada
tidaknya unsur negara hukum. Kecenderungan tersebut adalah wajar sebab
esensi adanya penjenjangan atau tata urutan perundang-undangan itu adalah
sebagai pembatasan dalam pembuatan peraturan hukum. Muhammad Alim,
“Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi”, 2012, 127-128.
Diakses pada 1 Pebruari 2013 dari
18
Arief, Pembangunan, 12-13.
16
17
52
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
pelakunya berhak mendapatkan pahala dari sisi Tuhan, dan
yang meninggalkan atau menyalahinya merupakan suatu
kemaksiatan yang akan mendapatkan dosa atau sanksi dari
Tuhan. Kepatuhan terhadap hukum Islam merupakan tolak ukur
keimanan seseorang. Hukum Islam bersifat ijabi dan salbi. Artinya
hukum Islam itu memerintah, mendorong, dan menganjurkan
untuk melakukan perbuatan baik ma’ruf serta melarang
perbuatan munkar dan segala macam bentuk kemudaratan.
Hal ini mengingat bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum
Islam adalah mendatangkan, menciptakan, dan memelihara
kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan individu dan
masyarakat harus seimbang. Karakter hukum Islam bukan hanya
berisi perintah dan larangan semata, tetapi juga berisi ajaranajaran untuk membentuk pribadi muslim sejati, berakhlak
mulia, berhati suci, berjiwa tinggi tidak kerdil, serta mempunyai
kesadaran pertanggungjawaban hukum yang tinggi. Hukum
Islam mempunyai kemampuan untuk mengakomodir adat
istiadat yang berlaku di masyarakat.19
Atas dasar itulah Abū Ishāq al-Shātibī (w. 790 H/1388
M) sebagaimana dikutip Praja20 merumuskan lima
tujuan pembentukan hukum Islam, yaitu memelihara
kemaslahatan agama (din), memelihara kemaslahatan jiwa
(nafs), memelihara kemaslahatan akal (aql), memelihara
kemaslahatan keturunan (nasl) dan memelihara
kemaslahatan harta (mal). Lima tujuan hukum Islam ini
kemudian dikenal dengan istilah al-Maqashid al-Khamsah
atau al-Maqashid al-Syari’ah. Tujuan hakiki disyariatkannya
hukum Islam adalah tercapainya keridlaan Allah dalam
kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law (Bandung: Alumni, 1976), 58.
Juhaya S Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung:
Rosdakarya, 1991), 196.
19
20
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
53
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
3. Hubungan Agama dan Negara dalam Positivisasi
Hukum
Positivisasi terkait pembaharuan hukum Islam21
merupakan trend pembaharuan pemikiran hukum Islam di
Indonesia. Dengan meminjam terminologi Fazlur Rahman,
Rofiq22 dan Rahman23 menjelaskan positivisasi sebagai bagian
dari pembaharuan hukum Islam menunjukkan trend neomodernisme. Hal ini dapat direpresenstasikan dalam peraturan
perundang-undangan sebagai produk legislasi suatu hukum.24
Ciri-cirinya adalah (1) Mempertimbangkan seluruh tradisi Islam,
baik yang bersifat tradisional maupun modern, (2) Pembedaan
antara Islam normatif dan Islam historis atau Islam konseptual
dan Islam aktual, (3) Menggunakan metodologi ilmiah dalam
upaya reformulasi Hukum Islam, berdasarkan khazanah
Positivisasi hukum Islam bila diperhatikan dari langkah-langkah penyusunan
Kompilasi Hukum Islam, maka pola neo-modernisme nampak jelas dengan beberapa
indikator, yaitu (1) Pengkajian kitab-kitab fiqh, (2) Wawancara ulama, (3) Pengkajian
yurisprudensi Pengadilan Agama, (4) Studi banding ke negara-negara Muslim, dan (5)
Lokakarya dan seminar yang diikuti oleh ahli hukum dan ulama. Oleh karenanya Trend
pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia menunjukkan kecenderungan
corak neo-modernisme. Hal ini nampak dalam konteks perorangan, kelembagaan,
mapupun birokrasi (pemerintah), melalui peraturan perundang-undangan (jika
pemilahan ini dibenarkan), menunjukkan bahwa kompromi antara syari’ah atau fiqh,
hukum barat dan hukum Adat yang hidup dalam kesadaran masyarakat menjadi
pilihan yang efektif. Lembaga ijtihad atau tajdid dikedepankan, pola lintas mazhab
dikembangkan, dan teknik kompilasi, baik yang berbentuk administratif maupun
substansi hukumnya, merupakan suatu keniscayaan. Sementara teori talfīq yang dalam
perspektif masyarakat tertentu ditabukan, bisa menjadi alternatif yang cukup efektif
bagi upaya pembaharuan hukum Islam menuju positivisasi hukum Islam. Ahmad Syafii
Rahman, “Corak Modernisme Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia (Sebuah Kajian
Metodologis),” 2012, 2-9. Diakses pada 24 Juni 2012 dari http://syafiirahman.blogspot.
com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_2255.html
22
Rofiq, Pembaharuan, 173.
23
Rahman, Corak Modernisme,2-6.
24
Ibid., 4-10.
21
54
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
intelektualisme Islam klasik dan akar-akar spritualisme Islam,
(4) Menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah secara historis
sosiologis dan kronologis, (5) Ada pembedaan antara yang
ideal-moral dengan legal-spesifik, dengan mengedepankan
ideal moral, (6) Upaya mensistematisasi metode penafsiran
modernisme klasik, (7) Memasukkan masalah kekinian ke
dalam pertimbangan reinterpretasi al-Qur’an.25
Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia,
kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan
perjuangan eksistensi. Dalam lintasan sejarah itu, hukum
Islam selalu memperteguh eksistensinya, baik sebagai
hukum positif atau tertulis, maupun tidak tertulis, dalam
berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum.
Inilah yang disebut dengan teori eksistensi.26
Kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan
Indonesia pasca kemerdekaan, menurut Sunny27 dibagi
Rofiq, Pembaharuan, 173. Rahman, Corak Modernisme,3-10.
Teori eksistensi terkait dengan keberadaan hukum Islam dalam hukum
nasional yang dapat dibedakan dalam empat bentuk; 1) sebagai bagian integral
dari hukum nasional Indonesia; 2) ada dalam arti diakui kemandirian, kekuatan,
dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional;
3) ada dalam fungsinya sebagai penyaring bagi materi-materi hukum nasional
Indonesia; dan 4) ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama bagi
pembentukan hukum nasional, sehingga tampak bahwa hukum Islam merupakan
bagian dari sistem hukum nasional. Hukum Islam merupakan sub sistem dari sistem
hukum nasional. Sebagai sub sistem, hukum Islam diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang dominan dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum
nasional yang mencerminkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hal
ini dimungkinkan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. M.
Sularno, Syari’at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia,2012, 3-19”
diakses pada 05 Oktober 2012, dari http: / /journal. uii. ac. id/ index. php/ JHI/
article/ viewFile/ 245/240
27
Ismail Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum
Islam, dikutip dalam Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung:
Ulul Albab Press, 1997), 6-19.
25
26
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
55
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
dalam dua periode, yaitu: pertama, periode penerimaan
hukum Islam sebagai sumber persuasif, kedua, periode
penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yakni
sumber yang memiliki kekuatan mengikat dan sah dalam hukum
tata negara Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya,28
pemerintah Indonesia menggulirkan kebijakan politik hukum
yang dalam batas-batas tertentu mengakomodir beberapa
keinginan umat Islam. Hal ini terlihat dengan diberlakukannya
hukum Islam bagi pemeluknya sebagai hukum positif oleh
pemerintah melalui pengesahan beberapa peraturan
perundang-undangan saat itu.29
Setelah perkembangan hukum Indonesia melewati
perjuangan panjang, baru kemudian muncul beberapa
perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Perbankan
tahun 1992 yang memasukkan beberapa aktifitas mu’amalah
Islam, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji, UU No 23 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UndangUndang Perwakafan, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara, termasuk yang sedang dalam
pembahasan untuk disahkan menjadi undang-undang, yakni
Kompilasi Hukum Islam yang meliputi: perkawinan, kewarisan,
perwakafan, infak, sadaqah dan lainya yang akan segera lahir.30
28
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia, maka persoalan
yang menguntungkan secara signifikan bagi umat Islam hanya terjadi beberapa
kali. Sejak Indonesia merdeka, baru pada tahun 1957 ada penegasan tentang
kedudukan Peradilan Islam (Agama) atau berlakunya Mahkamah Syar’iyyah.
Sularno, Syari’at Islam, 3-19).
29
Sularno, Syari’at Islam, 3-15.
30
Di samping itu juga masalah ekonomi syari’ah yang menarik untuk kaji.
Prospek hukum Islam dalam sistem hukum nasional akan cukup menggembirakan
sepanjang pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan hukum Islam mampu
56
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
Terkait teori positivisasi, Simarmata31 dengan mengutip
pemikiran Ehrlich dan Pound mengembangkan pemikiran
pada dekade kedua abad XX dan juga pada periode selanjutnya
memunculkan berbagai gerakan pemikiran yang menggugat
pengaruh mendalam filsafat positivism terhadap ilmu sosial
seperti yang pernah dirintis oleh Auguste Comte (17891857). Selain itu, pandangan lain yang mencoba memisahkan
hukum dengan anasir-anasir non hukum juga dikembangkan
oleh Hans Kelsen (1881-1973). Menurut Kelsen, hukum harus
dibuat murni dari pengaruh-pengaruh non hukum. Kelsen
menyebut pendapatnya ini dengan teori hukum murni (reine
rechtlehre) yang sebelumnya telah didahului oleh aliran
positivisme hukum yang dipelopori John Austin (1790-1859).
Sementara dalam konteks Indonesia dengan membatasi
pada periode 1945-1990, Dimyati (2004) mengemukakan
pemikiran hukum Indonesia berkembang dalam tiga
tahapan pemikiran. Tiga tahapan pemikiran hukum tersebut
berlangsung pada tiga periode. Periode pertama antara tahun
1945-1960, Periode kedua pada dekade 1960-1970 dan periode
untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki hukum Islam, serta
mampu mengeliminir kekurangan dan hambatan yang ada dan mencarikan
solusinya. Untuk tujuan itu dapat diajukan usulan: pertama, optimalisasi fungsi
ijtihad, dalam arti; mentransformasikan nilai-nilai hukum Islam menjadi
rumusan-rumusan hukum yang aplikatif, mampu mengakomodir kebutuhan
hukum dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, serta melakukan terobosan
untuk integrasi hukum Islam dalam hukum nasional. Kedua, optimalkan fungsi
komunikasi, sehingga dapat dieliminir miss perception dan disorientation
tentang hukum Islam, baik yang muncul dari kalangan Islam sendiri, maupun dari
kalangan non Islam, terlebih para penentu kebijakan di bidang hukum negeri ini.
Ibid., 3-19.
31
Rikardo Simarmata, Socio-Legal Studies Dan Gerakan Pembaharuan Hukum,
2-10. Diakses pada 05 Oktober 2012 dari http://huma.or.id/wp-content/
uploads/2006/12/Rikardo-Simarmata.-SOCIO-LEGAL-STUDIES-DAN-GERAKANPEMBAHARUAN-HUKUM.pdf
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
57
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
ketiga pada dekade 1970-1990. Rumusan pemikiran hukum pada
periode pertama dan kedua ditandai dengan dua karasteristik
penting yaitu, pertama, berkutat pada aspek normatif dan
kedua, memiliki komitmen yang kuat terhadap hukum adat.
Sementara pemikiran periode ketiga dikategorikan bersifat
transformatif. Masing-masing periode memiliki tokoh-tokoh
pemikir. Soepomo dan Soekanto adalah tokoh pada periode
pertama, Djoko Soetono, Hazairin dan Djojodigoeno adalah
tokoh pada periode kedua. Sedangkan Satjipto Rahardjo,
Mochtar Kusumaatmadja dan Sunaryati Hartono dianggap
sebagai tokoh periode ketiga.
Dalam studi Dimyati32 tersebut mengemukakan
kentalnya pendekatan empirik dalam pemikiran hukum
periode ketiga. Hukum tidak diperlakukan sebagai gejala
normatif semata namun diletakkan dalam konteks
sosialnya. Pendekatan ini sekaligus mempersoalkan logika
formal-postivistik yang dinilai gagal menjelaskan suasana
yang tidak normal (kemelut dan guncangan). Model
pendekatan ini menurut Rahardjo33 juga akan membelenggu
kenerja hukum yang begitu luas, sehingga gerak hukum
yang mestinya tanpa batas itu menjadi tersendat dengan
pandangan positifistik, tektual. Teori positivistik dianggap
hanya mampu menjelaskan keadaan-keadaan normal.
Dalam situasi semacam itu, diperlukan perubahan radikal
pada pemikiran hukum Indonesia, sehingga dibutuhkan
teori hukum yang mampu disamping memberikan gambar
hukum Indonesia juga menjelaskan keadaan hukum dalam
masyarakat secara seksama dalam kontek pembangunan
hukum Islam Indonesia. Dengan demikian positivisasi sebagai
32
33
37.
58
Dimyati, Teoritisasi Hukum, 3-23.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2007), 12-
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
bagian dari pembaharuan hukum Islam diartikan sebagai
upaya untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan
praktek keislaman yang telah mapan (established) kepada
pemahaman dan pengamalan baru.34
Hariyanto35 menjelaskan adanya format politik hukum
Islam yang telah tertata terutama menjelang era reformasi.
Menurut Hariyanto36 politik hukum Islam di Indonesia
telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada
tiga alasan, yaitu: pertama, alasan filosofis, ajaran Islam
rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum
mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran
penting bagi terciptanya norma fundamental negara
Pancasila. Kedua, alasan sosiologis, bahwa perkembangan
sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan cita
hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam
memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan. Ketiga,
alasan yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD
1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara
yuridis formal.
Dalam kenyataan lebih konkret sebagai bukti tertatanya
format politik hukum Islam menjelang tahun 1990-an
hingga era reformasi terdapat beberapa produk peraturan
perundang-undangan yang secara formil maupun material
tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam. UU sebelum
reformasi antara lain, UU RI No. 1/1974 tentang Hukum
Perkawinan, UU RI No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dan
UU No. 3 Tahun 2006, UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan
yang membolehkan menggunakan prinsip bagi hasil. Selain
Rofiq, Pembaharuan, 97-98.
Hariyanto, Politik Hukum dalam Positivisasi Hukum Islam Bidang Ekonomi, 2-8.
Diakses pada 28 November 2012 dari,
36
Ibid., 3-13.
34
35
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
59
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undangundang, antara lain, Penjelasan atas Undang-undang No.1
Tahun 1972 tentang Perkawinan, PP No. 9/1975 tentang
Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan, PP No.
28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP No. 72/1992
tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil, Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
Inpres No. 4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi
Khusus di NAD.37
Sedangkana pada era reformasi beberapa hukum Islam
lahir antara lain, UU RI No.10/1998 tentang Perubahan Atas
UU 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang membolehkan
menggunakan Prinsip Syariah, UU RI No. 17/1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Hají, UU RI No. 38 Tahun 1999 diganti
UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU RI No.
44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe
Aceh Darussalam, UU Politik Tahun 1999 yang mengatur
ketentuan Partai Islam, UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang
Badan Amil Zakat Nasional, UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004, UU RI No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara, UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat.38
Muhsin Heriyanto, Legislasi Hukum Islam di Indonesia dalam Prespektif Politik
Hukum, 2013, 2-12. Diakses pada 5 Pebruari 2013 dari
38
Ibid.
37
60
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
Selain itu ada beberapa keputusan Fatwa Majlis Ulama
Indonesia antara lain, No. 4/ Munas VII/ MUI/08/2005
tentang Perkawinan Beda Agama, Keputusan Fatwa Majlis
Ulama, 11 Mei 2002 tentang Wakaf Uang, Keputusan Fatwa
Majlis Ulama No. 3 Tahun 2005 tentang Zakat Penghasilan.39
Dari sekian produk perundang-undangan yang memuat
materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah
disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak
masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa
kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru
kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan
sehagai undang-undang. Padahal UU No. 14/1970 dalam
Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan
Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.40
Selain itu pada awal tahun 1990-an hingga era reformasi
sesungguhnya merupakan rea1itas sosial dan politik hukum
yang tidak dapat dihindari.41 Pada masa tersebut, peran
besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan
Selain itu pada awal tahun 1990-an hingga era reformasi sesungguhnya
merupakan rea1itas sosial dan politik hukum yang tidak dapat dihindari. Pada masa
tersebut, peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi,
serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan
Islam, dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam
secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan
dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti
membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses
politik dalam rentang sejarah yang cukup lama. Hariyanto, Legislasi Hukum Islam, 6-19.
40
Ibid., 2-7.
41
Sejalan dengan perubahan iklim politik hukum dan demokratisasi di
awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan
pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial,
budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi
39
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
61
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam
berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat
penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam
secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk
perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum
Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan
kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan
melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup
lama.42 Atas dasar inilah Ratno Lukito menegaskan perlunya
membangun hukum khas Indonesia yang mengakomodasi
hukum sakral dan hukum sekuler dalam sistem hukum di
Indonesia.43
Menguatkan paparan di atas, Gunaryo44 menjelaskan
cita Negara Pancasila sebagi suatu sintesis antara teori
teokrasi dengan teori skuler. Menurutnyam tidak diragukan
lagi bahwa teokratis dan sekuler ternyata tidak dapt
menerangkan fenomena yang terjadi di Indonesia. Kenyataan
Indonesia bukan Negara agama dan bukan Negara sekuler
telah meruntuhkan kedua pendekatan teori tersebut. Kedua
teori tersebut tidak dapat dijadikan wadah untuk sebagai
dasar pemahaman fenomena pergumulan agama, hukum
dan politik di Indonesia. Hubungan antara agama dan
Negara di Indonesia dengan sendirinya membuat kedua teori
tersebut harus mengakui adanya teori lain yang lebih sesuai
upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Pertanyaannya
adalah, bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar
hukum Islam tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan
Indonesia baru yang adil dan sejahtera menuju ilmu hukum Islam Indonesia. Ibid.
42
Hariyanto, Politik Hukum, 2-9. Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum
Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta:
Alvabet, 2012), 290-312.
43
Ibid., 190-213.
44
Gunaryo, Pergumulan, 33-35.
62
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
dengan konteks Indonesia, yaitu teori Negara Pancasila. Di
Indonesia, hukum agama di akomodir, meskipun akomodasi
itu tetap dalam rangka kebutuhan memenuhi kepentingan
Negara dalam regulasi pemerintahan. Bersama dengan
unsur lain, agama diperlakukan sebagai pembentuk unsur
Negara dalam pembangunan hukum Negara.45
Sebagai konsekuensi dari teori di atas, maka hukum
yang bersumber dari agama diadopsi sebagai salah satu
unsur pembentuk hukum Negara. Dengan kata lain, sifat
kompetitif antar agama di Indonesia diupayakan menjadi
sinergis, komplementer dan saling mengisi tanpa ada
kemenangan di satu agama tertentu dam kekalahan pada
agama tertentu. Dalam konteks ke-Indonesiaan, cita Negara
demikian melekat pada cita Negara Pancasila yang rumusan
awalnya termaktub dalam Piagam Jakarta sebagai hasil
kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan
Islam.46
B. Sistem, Pembangunan Hukum Serta Politik Hukum
Era Reformasi
Berbicara tentang sistem, pembangunan hukum serta
politik hukum era reformasi, tidak bisa dilepaskan dari sejarah
berdirinya suatu Negara seperti di Indonesia. Beragam teori
terkait sistem politik atau politik hukum sebagai bagian
penting dalam regulasi suatu Negara merupakan hal yang
sangat urgen dalam dinamika perkembangan suatu Negara
dari masa ke masa. Apalagi teori yang berkembang seputar
politik dan politik hukum sangat bervariasi bahkan sejak
awal kemunculanya di Yunani hingga abda ke-21 sekarang
45
46
Ibid., 33-35.
Ibid., 33-35.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
63
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Beberapa
teori terkait politik hukum antara lain teori Montesquieu.
Dimensi teori Montesquieu dalam politik hukum
ini adalah usaha untuk menjamin hak dan kebebasan
politik warga Negara, yaitu hak untuk melakukan apapun
yang diperbolehkan oleh hukum dan hak warga Negara
memperoleh rasa aman.47 Tugas hukum dalam konteks ini
adalah menjaga dan mengawal hak-hak tersebut. Untuk
memastikan bahwa hak-hak itu aman, maka harus dihindari
pemusatan kekuasaan dalam Negara. Kekuasaan membuat
hukum (legislatif) tidak boleh berada di satu tangan dengan
kekuasaan yang melaksanakan hukum (eksekusi) maupun
dengan kekuasaan yang mengadili (Yudikatif). Fungsi
pemisahan itu, agar terjadi saling kontrol (cek and balances).
Dalam gagasan Trias Politica rakyat diposisikan sebagai
pemegang kekuasaan Negara. Dan melalui parlemen
dengan kekuasaan legislasinya, kepentingan rakyat dapat
terwakili secara baik. Jadi, pemisahan kekuasaan dalam
Trias Politica, semata demi memperoleh kepastian bahwa
kebebasan warga Negara tidak diciderai. Bagi Montesquieu,
pemisahan kekuasaan yang ketat diantara tiga kekuasaan
itu merupakan prasyarat kebebasan politik warga Negara.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Trias Politica
merupakan metode dalam politik hukum untuk mencapai
tujuan yang dituju, yakni adanya jaminan kebebasan politik
bagi warga Negara.48
Selain teori Montesqeiu, teori politik hukum yang juga
penting dijelaskan adalah teori politik hukum dari Talcolt
Parsons. Dimensi politik hukum dari teori Parsons tidak
Bernard L Tanya, Politik Hukum, Agenda Kepentingan Bersama (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2011), 59.
48
Ibid., 60.
47
64
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
mudah ditangkap tanpa menyentuh pentingnya hukum
sebagai institusi integrasi dalam suatu sistem. Bagi Parsons,
peran tatanan normatif (=hukum), merupakan unsur paling
utama dari integrasi sebuah sistem. Hukum diharapkan
mampu menjinakkan sub-sub sistem yang lain agar bisa
berjalan sinergis tanpa saling bertabrakan. Disinilah letak
dimensi politik hukum dalam teori Parsons. Hukum memiliki
tugas khusus menjamin integrasi dalam sebuah sistem atau
masyarakat.49 Untuk diketahui, menurut Parsons, sebuah
sistem selalu terdiri dari minimal empat sub sistem, yaitu
sub sistem budaya/nilai, sub sistem norma/hukum, sub
sistem politik/otoritas dan sub sistem ekonomi.50
Lebih jauh dalam teori Parson, empat sub sistem
tersebut di atas, selain sebagai realitas yang melekat pada
masyarakat, juga serentak merupakan tantangan yang harus
dihadapi oleh setiap unit kehidupan sosial. Hidup matinya
sebuah masyarakat ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap
sub sistem sesuai tugas masing-masing. Untuk menjamin
itu, hukum-lah yang ditugaskan menata keserasian dan
gerak sinergis dari ketiga sub-sistem yang lain. Inilah yang
disebut fungsi integrasi dari hukum dalam teori Parsons.51
Posisi hukum sangat penting dalam fungssinya sebagai
integrator antara sistem-sistem yang lain. Hal ini menurut
Parsons, disebabkan karena tiap sub sistem meiliki logika,
mekanisme, dan tujuan yang berbeda. Dari satu sisi sub sistem
budaya cenderung konservatif dan setia mempertahankan
pola ideal. Pada sisi yang lain, sub system ekonomi sangat
dinamis dan cenderung melahirkan terobosan-terobosan
baru yang bisa saja asing dan liar dari ukuran pola-pola ideal
Ibid., 71.
Ibid., 71.
51
Ibid., 72.
49
50
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
65
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
budaya. Sedangkan sub-sistem politik senantiasa mencarai
berbagai cara untuk mencapai tujuan yang boleh jadi caracara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan
realitas sumber daya materiil.
Atas dasar teori tersebut, maka penguatan hukum
agar benar-benar mampu menjalankan fungsinya sebagai
integrator sistem kehidupan sosial dan merupakan isu
politik hukum yang penting. Kebijakan mendasar mengenai
penguatan hukum sebagai sub sistem integrasi, sangat
perlu bagi nasib masyarakat sebagai sebuah sub sistem yang
terintegrasi. Tanpa fungsi pengintegrasian yang efektif
dari hukum, maka akan terjadi konflik menyeluruh dalam
masyarakat dan mudah ditebak, masyarakat tersebut pada
akhirnya akan mengalami kekacauan. Dengan demikian,
jelas bahwa posisi politik hukum dalam teori Parsons sebagai
integrasi kehidupan sosial.52
Sementara dalam konteks politik hukum era reformasi
di Indonesia, Azizy53 menjelaskan hal ini terkait upaya
menampakkan jati diri bangsa Indonesia dalam bidang
hukum yang belum berhasil sesuai dengan harapan dan citacita pembangunan hukum nasional Indonesia. Orientasinya
mempunyai hukum nasional yang sesuai dengan cita-cita
kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana terekam
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Meskipun demikian, sudah ada usaha yang
dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam rangka menuju citacita tersebut, yaitu adanya program Pembinaan Hukum
Nasional. Menurutnya, tidak adanya hukum nasional
merupakan salah satu problematika pembangunan hukum
52
53
66
Ibid., 73.
Azizy, Reformasi Bermazhab, 20-21.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
di Indonesia, dan pada hakekatnya problematika itu
telah mulai ada sejak awal-awal kemerdekaan Republik
Indonesia.54
Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui
perundang-undangan
dalam
proses
pembangunan
memerlukan skala prioritas. Dalam rangka memperhatikan
skala prioritas yang demikian, maka bidang-bidang
hukum yang berhubungan dengan kepentingan publik
dan sosial dan bidang-bidang hukum yang langsung
menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan, perlu
diprioritaskan dalam pembentukannya. Sedangkan bidangbidang hukum yang erat hubungannya dengan kehidupan
pribadi, kehidupan spiritual, dan kehidupan budaya bangsa
memerlukan penggarapan yang saksama dan tidak tergesagesa. Menyadari pentingnya kodifikasi dalam rangka
pembinaan hukum nasional khususnya dan pembangunan
nasional umumnya, dengan mengingat kebutuhan yang
mendesak, maka usaha ke arah kodifikasi dilaksanakan
untuk seluruh atau sebagian lapangan hukum tertentu
secara bertahap, baik dengan undang-undang maupun
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu). Pengambilan/pengoperan hukum asing yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan
hal tersebut dapat memperkembangkan dan memperkaya
hukum nasional.
Pembangunan di bidang hukum harus berdasar atas
landasan cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana
kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang ditemukan
dalam Pancasila dan UUD 1945. Menurut Satjipto Rahardjo
A. Qadri Aziziy, Membangun Integritas Bangsa (Jakarta: Renaisan, 2004), 20-21.
54
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
67
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti bahwa
kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Dengan
demikian, hukum tidak merupakan institusi tekhnik yang
kosong moral dan steril terhadap moral. Pembangunan
materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum
nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional dengan
penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang
bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya penyusunan produk hukum baru yang sangat
dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan
pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu disusun program
legislasi nasional yang terpadu sesuai dengan prioritas,
termasuk upaya penggantian peraturan perundang-undangan
warisan kolonial dengan peraturan perundang-undangan yang
bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.55
Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses
secara terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, serta menghasilkan produk
hukum hingga tingkat peraturan pelaksanaannya. Dalam
pembentukan hukum perlu diindahkan ketentuan yang
memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan
kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai
budaya yang berlaku di masyarakat, dan nilai yuridis yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Produk hukum kolonial harus diganti dengan
produk hukum yang dijiwai dan bersumber pada Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945. Pembangunan aparatur
hukum diarahkan pada terciptanya aparatur yang memiliki
55
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), 60.
68
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
kemampuan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung
pembangunan nasional serta ditujukan kepada pemantapan
kemampuan profesional aparatnya. Pembangunan aparatur
hukum dilaksanakan melalui pembinaan profesi hukum serta
pemantapan semua organisasi dan lembaga hukum agar
aparatur hukum mampu melaksanakan tugas kewajibannya
yang mencakup penyuluhan, penerapan, dan penegakan
serta pelayanan hukum secara profesional dalam rangka
pemantapan fungsi dan peranan hukum sebagai sarana
pengatur dan pengayom masyarakat. Kualitas dan kemampuan
aparat hukum harus dikembangkan melalui peningkatan
kualitas manusianya, baik tingkat kemampuan profesionalnya
maupun kesejahteraannya, serta didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai. Penerapan hukum dan penegakan
hukum dilaksanakan secara tegas dan lugas tetapi manusiawi
berdasarkan asas keadilan dan kebenaran dalam rangka
mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, meningkatkan
tertib sosial dan disiplin nasional, mendukung pembangunan
serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan
damai.56
Atas dasar itulah, al-Shiddiqy57 menjelaskan
pembangunan hukum serta politik hukum era reformasi
didasarkan pada beberapa aspek prioritas antara lain:
1. Penataan Sistem Hukum
Negara Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the
founding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/The
Rule of Law). Bahkan dalam rangka hasil Perubahan Keempat
UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Hukum. Namun, bagaimana cetak biru dan desain
56
57
Ibid., 60-62.
Asshiddiqiy, Konstitusi, 379.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
69
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
makro penjabaran ide Negara hukum itu, selama ini belum
pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya
pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena
itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan
sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami
sebagai suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum.
Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sitem terdapat (1) elemen
kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan
(elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek
hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan
oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga
elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan
hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan
hukum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas
pelanggaran hukum (law adjudicating), (d) pemasyarakatan dan
pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam
arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan e) pengelolaan
informasi hukum law information management sebagai kegiatan
Penunjang.58
2. Penataan Kelembagaan Hukum
Sebagai tindak lanjut dari pembaruan konstitusional,
setelah dengan ditetapkannya Perubahan Keempat UUD 1945
maka struktur ketatanegaraan Republik Indonesia harus
segera disesuaikan dengan desain UUD yang telah berubah itu.
Semua institusi pada lapisan supra struktur kenegaraan dan
pemerintahan harus ditata kembali. Demikian pula institusi
publik di sektor masyarakat (infrastruktur masyarakat),
seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan dan
organisasi non-pemerintah seperti yayasan (stichting) dan
58
70
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
perkumpulan (vereenigings), juga perlu ditata kembali.
Di sektor negara dan pemerintahan, upaya penataan itu
mencakup kelembagaan di ranah legislatif, eksekutif,
judikatif, dan bahkan di wilayah-wilayah campuran atau yang
disebut dengan badan-badan independen. Sekarang, telah
bermunculan banyak lembaga independen, misalnya, Komisi
Pemilihan Umum, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya.
Semua badan-badan ini perlu dikonsolidasikan sehingga tidak
berkembang tanpa arahan yang jelas.
Di lingkungan pemerintahan, juga perlu ditata
kembali pembedaan antara funfsi-fungsi politik dan teknis
administratif, antara organisasi departemen dan non
departemen pemerintahan, dan Pasal 17 ayat (4) UUD 1945,
misalnya, menentukan bahwa pembentukan, pengubahan,
dan pembubaran organisasi kementrian Negara harus diatur
dalam Undang-Undang. Artinya, diperlukan pula UndangUndang yang di dalamnya diatur mengenai berbagai aspek
berkenaan dengan kementrian negara, sehingga Presiden tidak
seenaknya membentuk, mengubah dan membubarkan suatu
organisasi departemen. Penataan kelembagaan ini bahkan
juga berkaitan dengan pembenahan yang harus dilakukan
sebagai akibat diselenggarakannya otonomi daerah yang luas
berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang masih perlu pemikiran berkelanjutan untuk
disesuaikan dengan ketentuan UUD 1945.59
3. Pembentukan dan Pembaruan Hukum
Bangsa Indonesia sudah berhasil melakukan
constitutional reform secara besar-besaran. Jika UUD 1945
59
Ibid., 375-387.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
71
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
yang hanya mencakup 71 butir ketentuan di dalamnya,
maka setelah empat kali mengalami perubahan, UUD 1945
sekarang berisi 199 butir ketentuan. Isinya pun bukan
hanya perubahan redaksional, melainkan menyangkut pula
perubahan paradigma pemikiran yang sangat mendasar.
Karena itu, segera setalah agenda constitutional reform
(pembaruan konstitusi), perlu melanjutkan dengan agenda
legal reform (pembentukan dan pembaruan hukum)
yang juga besar-besaran. Bidang-bidang hukum yang
memerlukan pembentukan dan pembaruan tersebut dapat
dikelompokkan menurut bidang-bidang yang dibutuhkan,
yaitu: a) bidang politik dan pemerintahan, b) bidang ekonomi
dan dunia usaha, c) bidang kesejahteraan sosial dan budaya
dan d) bidang penataan sistem dan aparatur hukum.60
Bentuk hukum yang perlu disusun dan diperbarui
tidak saja berupa Undang-Undang, tetapi juga Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri,
Peraturan di lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara
dan badan-badan khusus dan independen lainnya seperti
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia,
Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya. Demikian pula di
daerah-daerah, pembaruan dan pembentukan hukum juga
dilakukan dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati dan Peraturan Walikota. Untuk menampung
kebutuhan di tingkat lokal, termasuk mengakomodasikan
perkembangan norma-norma hukum adat yang hidup dalam
masyarakat pedesaan, dapat pula dibentuk Peraturan Desa.
Di samping itu, nomenklatur dan bentuk sistem hukumnya
juga perlu dibenahi, misalnya, perlu dibedakan dengan jelas
antara peraturan (regels) yang dapat dijadikan objek judicial
60
72
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
review dengan penetapan administratif berupa keputusan
(beschikking) yang dapat dijadikan objek peradilan tata
usaha negara, dan putusan hakim (vonis) dan fatwa (legal
opinion).61
4. Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Penegakan hukum law enforcement dalam arti luas
mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan
hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap
pelangaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh
subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun
melalui prosedur arbitrasedan mekanisme penyelesaian
sengketa lainnya (alternative disputes or conflicts resolution).
Bahkan dalam pengertian lebih luas lagi, kegiatan penegakan
hukum mencakup pulasegala aktifitas yang dimaksudkan
agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang
mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benarbenar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana
mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu
menyangkut kegiatan penindakan terhadap peraturan
perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagime
alui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat
kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badanbadan peradilan. Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor
utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses
penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan
hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat sebagai orang
atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur
kerjanya masing-masing.
61
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
73
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
Dalam pengertian demikian persoalan penegakan
hukum tergantung aktor, palaku, pejabat atau aparat
penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat
pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan
kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita
melihat penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang
pada kenyataannya, belum terinstitusionalisasikan secara
rasional dan impersonal (institutionalized). Namun, kedua
perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif
dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta
keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang
terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang
rasional.62
5. Pemasyarakatan dan Pembudayaan Hukum
Pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum
(law socialization and law education) dalam arti luas sering tidak
dianggap penting. Padahal, tanpa didukung oleh kesadaran,
pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam
masyarakat, nonsens suatu norma hukum dapat diharapkan tegak
dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan
dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam
rangka perwujudan ide negara hukum di masa depan. Beberapa
faktor yang terkait dengan soal ini adalah (a) pembangunan
dan pengelolaan sistem dan infra struktur informasi hukum
yang berbasis teknologi informasi information technology, (b)
peningkatan upaya publikasi, komunikasi dan sosialisasi hukum;
dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di
bidang hukum.63
62
63
74
Ibid.
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
Dalam komunikasi hukum, perlu dipikirkan kebutuhan
media digital dan elektronika, baik radio, televisi maupun
jaringan internet dan lainnya yang dimiliki dan dikelola oleh
pemerintah. Mengenai televisi dan radio dapat dikatakan
sudah sangat banyak dan karena itu, kemungkinan
terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari pemerintah
seperti masa Orde Baru tidak mungkin lagi terjadi. Karena
itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal
sudah tersedia banyak dan beragam. Namun, arus informasi
dari pemerintah kepada masyarakat, khususnya berkenaan
dengan pendidikan dan pemasyarakatan hukum terasa sangat
kurang. Untuk itu, pembangunan media tersebut sangat
diperlukan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan
termasuk mengenai kemungkinan memperkuat kedudukan
TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang
dimaksud.64
6. Peningkatan Kapasitas Profesional Hukum
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu
dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain
meliputi (i) legislator, (politisi), (ii) perancang hukum (legal
drafter), (iii) konsultan hukum, (iv) advokat, (v) notaris, (vi)
pejabat pembuat akta tanah, (vii) polisi, (viii) jaksa, (ix) panitera,
(x) hakim, dan (xi) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan
kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut,
diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi,
termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di
samping itu juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan
terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental,
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional
64
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
75
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
aparat hukum Tersebut. Agenda pengembangan kualitas
profesional di kalangan profesi hukum ini perlu dipisahkan
dari program pembinaan pegawai administrasi di lingkungan
lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan
ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian,
orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benarbenar dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan.
Di samping itu, pembinaan kualitas profesional aparat hukum
ini dapat pula dilakukan melalui peningkatan keberdayaan
organisasi profesinya masing-masing, seperti Ikatan Hakim
Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya. Dengan
demikian, kualitas hakim dapat ditingkatkan melalui peranan
Mahkamah Agung di satu pihak dan melalui peranan Ikatan
Hakim Indonesia di lain pihak.65
7. Agenda Infrastruktur Kode Etik
Seperti dikemukakan di atas, untuk menunjang
berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang
ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di
setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat
peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja
yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organisasi
masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar
dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organisasi. Namun,
baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga
tersebut yang telah memiliki perangkat Kode Etika yang disertai
oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun
Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud.
Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan
rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu
65
76
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh
dijadikan pedoman perilaku berorganisasi.96 Pada umumnya,
dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar
dan rumah tangga tersebut hanya dibuka dan dibaca pada
saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah nasional
organisasi yang bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen
tersebut hanya biasa dilupakan.66
Dengan perkataan lain, dalam kultur keorganisasian
atau kultur organisasi di berbagai kalangan masyarakat kita,
kebiasaan untuk menaati aturan, rule of the game belumlah
menjadi tradisi yang kuat. Tradisi taat aturan itu masih
harus dibudayakan secara luas. Untuk itu, diperlukan proses
pelembagaan tradisi normatif yang bertingkat-tingkat,
baik berkenaan dengan norma hukum, norma etika dan
moral, serta norma hukum. Karena itu, selain menata dan
memperbaiki kembali sistem norma hukum, kita juga perlu
melembagakan sistem dan intra struktur etika positif dalam
masyarakat kita. Sistem dan infra struktur etika tersebut
dilembagakan, baik melalui mekanisme di lingkungan
supra struktur kenegaraan dan pemerintahan maupun di
lingkungan infra struktur masyarakat.67
C. Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Hukum
Islam
Berbicara tentang faktor, peluang dan tantangan
positivisasi hukum Islam di Indonesia secara khusus, maka hal
ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya ini sejak awal
pembentukannya terkait dengan beragam teori-teori yang
mendasarinya, seperti teori peluang dan tantangan dalan
66
67
Ibid.
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
77
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
analisa sosial masyarakat. Analisis sosial merupakan usaha
untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial
secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh
gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah
kaitan-kaitan histories, structural dan konsekuensi
masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial,
mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan
aspek politik, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga akan
diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana
institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial,
dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial.
Secara definitive, Analisa Sosial (ANSOS) merupakan upaya
untuk menempatkan suatu masalah tertentu dalam konteks
realitas sosial yang lebih luas yang mencakup konsep waktu
(sejarah), konteks struktur (ekonomi, sosial, politik, budaya,
konteks nilai, dan konteks tingkat atau aras lokasi (spatial:
lokal-global).68
Atas dasar itulah, langkah-Langkah dalam ANSOS
meliputi beberapa tahap antara lain:
1. Memilih dan menentukan objek analisis. Pemilihan
sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan
rasional dalam arti realitas yang dianalsis merupakan
masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai
dengan visi atau misi organisasi.
2. Pengumpulan data atau informasi penunjang. Untuk
dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu
didukung dengan data dan informasi penunjang yang
lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media
massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung
Nurul Hidayah, Teori Analisis Sosial, 2013, 1-2. Diakses pada 3 Juni 2013 dari
http://tuntutanuntukmenulis.blogspot.com/2013/02/analisis-sosial.html
68
78
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
dilapangan. Re-cek data atau informasi mutlak dilakukan
untuk menguji validitas data.
3. Identifikasi dan analisis masalah. Merupaka tahap
menganalisis objek berdasarkan data yang telah
dikumpulkan. Pemetaan beberapa variabel, seperti
keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama
dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara
komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi
masalah dan menemukan saling keterkaitan antara
aspek.
4. Mengembangkan presepsi. Setelah di identifikasi
berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat
dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi
atas masalah sesuai cara pandang yang objektif. pada
tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi
konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan
beberapa alternatif sebagai kerangka tindak lanjut.
5. Menarik kesimpulan. Pada tahap ini telah diperoleh
kesimpulan tentang; akar masalah, pihak mana saja
yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan,
akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan
ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan
untuk proses perubahan sosial.69
Oleh karenanya dalam konteks analisa faktor, peluang
dan tantangan positivisasi hukum Islam, secara politis,
masyarakat memiliki kepentingan mendasar terhadap agama
supaya tidak larut dalam kepentingan politik praktis. Karena
keterlibatan secara praktis dalam ranah politik menjadikan
agama tidak lagi menjadi panutan serta ajaran pembebas
terhadap berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan,
69
Ibid., 1-3.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
79
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
namun justru berkembang menjadi kekuatan yang menindas
yang bisa melahirkan otoriter secara berlebihan dalam
suatu negara.70 Meminjam pemikiran al-Raisūni71 yang
mengatakan bahwa dalam Islam, kebiasaan yang terbangun
dari kesepakatan melalui musyawarah merupakan faktor
penting dan berpengaruh terhadap suatu hukum, maka
dalam konteks positivisasi hukum Islam juga terkait dengan
persoalan kebiasaan moral dalam mengamalkan ajaran serta
nilai Islam melalui mekanisme politik dan musyawarah.
Agama secara moral dan politis berada pada posisi yang
benar selama tidak menjadi alat untuk memperebutkan
atau mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga
pada saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, maka
agama jatuh dalam posisi yang salah dan berbahaya.72 Dalam
konteks demikian, maka positivisasi terkait dua hal penting
yang menjadi wacana diskusi akademik. Pertama, memahami
agama dalam arti tradisi, nilai dalam masyarakat untuk
membentengi setiap kecenderungan, kekuatan politik yang
berkembang, sehingga agama dapat menjadi kekuatan
pembebas dan bukan sebaliknya karena telah terdistorsi
oleh kekuatan-kekuatan politik.73 Kedua, agama dapat
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta:
LP3ES, 2006), 2-7.
71
Ahmad al-Raisūnī, Ijtihad, Antara Teks, Realitas dan Kemashlahatan Sosial, terj.
Ibnu Rusydi (Jakarta: Erlangga, 2002), 106.
72
Marzuki Wahid, Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Paska Orde
Baru, Studi Politik Hukum atas CLD-KHI, 2012, 1-3. Diakses pada 10 Juni 2012 dari
http: // www. komnasperempuan. or. id/ wp - content/ uploads/ 2009/ 02/
pembaharuan – keluarga – islam – pasca – orde - baru_marzuki-wahid.pdf
73
Menurut Amal kekuatan-kekuatan politik Islam dalam aksi politik di
refleksikan dari syariah Islam sebagai idiologi politik yang dahulunya lahir
untuk melawan kolonialisme dan dalam perkembangan selanjutnya lahir sebagai
partai politik, menjadi kekuatan- kekuatan sipil, melawan pemodal asing atau
neoliberalisme dan bahkan sebagai kekuatan politik untuk mempertahankan dan
70
80
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
memainkan peran moral untuk ikut mengarahkan politik
agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menyimpang
dan menekan kehidupan masyarakat.
Sedangkan secara sosiologis, persoalan ini terkait
dengan persoalan ajaran nilai agama dalam masyarakat yang
berkembang dalam memahami hakikat hukum nasional yang
merupakan masalah mendasar terkait dengan fungsi sosial
agama. Para sosiolog dan ekonom telah kehilangan kesadaran
akan betapa pentingnya unsur-unsur yang tidak tampak dari
manusia, terutama aspek moralnya, sehingga perlu dialektika
hukum Islam dengan modernisasi serta pembangunan sosial.74
Sebagaimana institusi sosial lainnya, agama juga memiliki
fungsi yang sangat urgen bagi masyarakat.75 Fungsi ini sangat
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya
terkait moralitas dan akhlak.76 Sehingga secara sosiologis,
pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang
bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan, Integrative
menjalankan agama Islam ketika mendapat ancaman dari dalam maupun dari luar.
Karena ajaran syariah Islam yang di terjemakan secara berlebihan untuk melawan
manusia yang lain yang dalam perspektif Islam di anggap kafir maka perlu di
bunuh dengan cara kekerasan tentunya menjadi perhatian serius negara dan dunia
internasional dengan pertimbagan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan
apapun tindakan yang hendak di ambil dalam menjalankan syariah Islam penting
menyesuaikan diri dengan hukum negara Indonesia. Amal, Politik Syariat Islam, 36-45.
74
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta: LKis, 2005), 137-138.
75
Diantara fungsinya adalah menuju hukum yang berperspektif kesetaraan
dan keadilan. Fungsi-fungsi partai politik dalam Negara demokrasi adalah
melaksanakan fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi dengan
modal utamanya dalam pemilu. Salah satu bentuk keterikatan primordial itu
adalah munculnya partai-partai Islam. Partai yang menggunakan Pancasila
sebagai dasar ideologinya, tetapi pada saat yang sama menggunakan asas lain
sebagai kepentingan politik kelompok.
76
Amin Ahmad, Etika Ilmu Akhlaq (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
81
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
Factor, dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang
bersifat destruktif dan memecah-belah, desintegrative factor.
Agama yang dipahami sebagai fungsi integrasi sosial
mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat.
Peran agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti
peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik
diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka dalam dinamika kehidupan sosial. Hal ini dikarenakan
nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial
didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan
sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Atas dasar itulah Sukardi menjelaskan hal ini semakin diperkuat
dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilai-nilai
keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah
dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.
Dalam hal demikian, dengan mendasarkan pada perspektif
fungsionalis, Thomas F. O’Dea, Sukardi mengungkapkan
bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal.
Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar
yang tidak terjangkau oleh manusia. Kedua, sarana ritual
yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar
jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan
bagi manusia. Dalam konteks ini agama sungguh mempunyai
potensi integrative dalam sosial masyarakat.
Sedangkan Agama yang dipahami sebagai fungsi integrasi
sosial disintegratif yang bersifat destruktif dan memecah-belah
desintegrative factor dalam konteks ini, agama tidak hanya
memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan,
mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat. Pada
saat yang sama, agama juga dapat memainkan peranan sebagai
82
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Landasan Teori
Dr. M. Shohibul Itmam
kekuatan yang memecah-belah bahkan menghancurkan
eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya
sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan
eksistensi pemeluk agama lain. Dalam konteks ini, ada tiga
bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:
Pertama, perbedaan doktrin dan sikap mental. Dalam konteks
ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok
agama yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal
semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah yang seringkali
masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak
disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti
oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang
dianut yang memiliki kebenaran, claim of truth, sedangkan yang
lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna. Klaim kebenaran
inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang
berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran
diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka,
fanatisme, dan intoleransi. Selain itu, seringkali sisi non-rasional
dan supra-rasional, yang memegang peranan penting dalam
agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak argumentasi
rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan
kontribusi terhadap eksistensi sikap-sikap tersebut
Kedua, perbedaan suku dan ras pemeluk agama. Meskipun
tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki
peran dalam mempersatukan orang-orang yang memiliki
perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa membantah
bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik
sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk
memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan
agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
83
Dr. M. Shohibul Itmam
Landasan Teori
Ketiga, perbedaan tingkat kebudayaan. Sebagai bagian
dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi
pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada
umumnya. Peter Berger sebgaimana dikutip Hendropuspito
menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa
agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu
jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah
upaya menciptakan alam semesta dengan cara yang suci.77
Dalam konteks Indonesia, Bismar Siregar dalam rangka
memahami nilai moralitas dan upaya penegakan hukum di
Indonesia menetapkan Pancasila sebagai sumber hukum serta
keadilan, ditegakkan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, hanya melalui itikad baik dan kejujuran. Selain
itu, keimanan dan ketakwaan terus dibina dan ditingkatkan,
karena kepada-Nya dipertanggungjawabkan setiap perbuatan.
Oleh karenanya, lebih jauh dijelaskan bahwa Pancasila di
satu sisi dan agama di sisi yang lain merupakan dua hal yang
patut dan seharusnya diletakkan dalam cakupan dan posisi
yang berbeda akan tetapi dalam suatu kesatuan penghayatan
hidup dan kesadaran manusia. Dalam Pembukaan UUD
1945, dinyatakan bahwa kemerdekaan yang diperoleh
secara jujur diakui bukanlah semata hasil usaha manusiawi
belaka, akan tetapi di situ Tuhan ikut berperan dalam bentuk
rahmat dan berkah. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978
telah dinyatakan pula, sebagai kelanjutan isi Pembukaan
tersebut bahwa seluruh dinamika kemasyarakatan sebagai
pelaksanaan Pancasila harus dapat dipertanggung jawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.78
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Bismar Siregar, Islam and Pancasila in The Clash of Ijtihad Fundamnetalist
Versus Liberal Muslim, The Development of Islamic Thingking in Contemporary Indonesia
(Delhi: ISPCK, 2011), 13-15.
77
78
84
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
BAB III
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM
POSITIVISASI HUKUM DI INDONESIA
A. Hubungan Agama, Hukum dan Politik di Indonesia
Dalam studi kontemporer, kajian tentang hubungan
agama, hukum dan politik selalu menimbulkan ambivalensi
dari sisi implementasinya.1 Ketiganya mempunyai jalinan
dalam menata kehidupan dengan ragam aspeknya
sehingga membutuhkan pendekatan disiplin ilmu tertentu.
Ambivalensi ini semakin jelas ketika dikaitkan dengan sistem
hukum negara yang mempunyai kultur pluralis, heterogen
seperti Indonesia. Pernyataan ini tentu dapat dibenarkan
dengan realitas keberagamaan Indonesia yang mendukung
implementasi ketiganya secara bersamaan dalam bingkai
demokrasi Pancasila. Selain itu hal ini terkait entitas negara
Indonesia berdasarkan Pancasila yang bukan negara sekuler
Ambivalensi itu semakin nampak kental khusunya hubungan hukum
dan politik dalam kerangka negara hukum seperti Indonesia, karena hukum
harus menjadi panduan penyelenggaraan politik selain sebagai rekayasa sosial
(Gunaryo, 2006: 19). Selain itu hukum dan politik sebagai ilmu sosial, pada
dasarnya mempelajari manusia yang berlaku sebagai makhluk individu dan
sosial, bermasyarakat (Alim, 2010: 39). Perlu juga di jelaskan bahwa terkait negara
Islam menurut Syaibani sebagaimana dikutip Atrukin (2012: 11) bahwa, negara
Islam adalah negara yang memberlakukan syariat Islam meskipun penduduknya
bukan non muslim. Untuk melakukan model ini diperlukan semangat yang dari
pemrintah dan para ahli hukum yang menjadi rujukan, punya otoritas (Bayudli,
2004: 10-12).
1
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
85
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
dan juga bukan negara agama.2 Pancasila merupakan nilai
universal internasional melintasi semua sistem tatanegara
di dunia, mengakomodasi semua sistem hukum dan nilai
kemanusiaan untuk masyarakat global modern.3
Ambivalensi hubungan ketiganya dalam pengertian
normatif, agama dikaitkan dengan keyakinan atau prinsip
individual dalam kehidupan sosial masyarakat sedangkan
hukum terkait masalah duniawi atau perilaku manusia, yang
di tengah relasi agama dan hukum itulah persoalan politik
merupakan suatu prosesi membangun pola hubungan
antara keduanya.4 Tarik menarik antara wilayah agama,
hukum dan politik menjadi konflik terutama sisi akademis
yang tidak kunjung usai, meskipun akhirnya bisa dijelaskan
aspek-aspek perbedaannya dari sisi tertentu.5
Mengawali kajian pola hubungan ketiganya, terkait
perkembangan studi agama, hukum serta politik biasanya
berorientasi dan merujuk pada literatur dunia barat mulai
dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, masa renaissance, hingga
kontemporer.6 Oleh karenanya, agama menurut para
sosiolog misalnya dipahami sebagai prinsip atau keyakinan
yang berperan dalam memecahkan persoalan individual.
Bahkan studi kontemporer menjelaskan agama sebagai
2
Menurut Latif (2011: 12-38) berdasarkan Pancasila Indonesia bukanlah
negara yang terpisah dengan agama namun juga tidak menyatu dengan agama.
Tidak terpisah karena karena secara aktif, dinamis membimbing, memlihara,
menyokong dan mengembangkan agama khususnya melalui Kementerian Agama.
Tidak menyatu dengan dengan Negara, karena Negara tidak didekte atau mewakili
agama terttentu, bahkan tidak memberikan keistimewaan pada agama tertentu.
3
Siregar, Islam and Pancasila, 183-184.
4
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Edisi Baru) (Jakarta: Rajawali
Press, 1983), 158-170.
5
Gunaryo, Pergumulan, 19-25.
6
Alim, Asas-asas, 1.
86
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
upaya penyesuaiaan diri terhadap perkembangan zaman
serta merumuskan kebutuhan dalam dinamika perubahan
masyarakat.7 Agama juga berfungsi sebagai sumber energi
dalam menemukan kekuatan baru, mewujudkan kebenaran,
keadilan dan kesejahteraan manusia8 Agama tidak hanya
normatif terutama dalam melihat keadilan dalam Islam
tertapi juga termasuk dalam urusan dunia. Adil dalam agama
Islam sangat memungkinkan menjadi tidak adil bahkan
tidak baik dalam konteks Indonesia.9
Terdapat ragam definisi serta pengertian agama.
Agama juga dapat dipahami sebagai suatu realisasi sosio
individu yang hidup dalam ajaran tertentu, tingkah laku,
ritus, upacara keagamaan dari suatu relasi yang melewati
kodrat manusia dan dunia yang berlangsung dalam tradisi
masyarakat.10 Atas dasar argumentasi itulah, agama sebagai
implementasi nilai, merupakan upaya dalam menemukan
makna yang terkandung dalam memenuhi kebutuhan
hidup. Realisasi sosio individu yang hidup dalam suatu
komunitas ini mengatur makna atau nilai dalam kehidupan
Hendropuspito, Sosiologi, 15-34.
Raisūni (2012: 10-11) menjelaskan bahwa persoalan pokok agama adalah
persoalan umat dan masyarakat. Pemerintah, pemimpin, pejabat serta unsure
yang lainnya menempati nomor sekian stelah umat, sehingga pembangunan
Negara dengan prioritas umat adalah tujuan semangat Islam. Sementara Gus Dur,
agama lebih tepat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi terciptanya sistem
yang berkeadilan dalam sistem kenegaraan di Indonesia, sehingga agama perlu
dibedakan dengan ideologi. Dalam konteks Indonesia terkait permasalahan
ideologi Negara dalam arti Pancasila sudah selesai sejak awal berdirinya Negara
(Hidayat, 2012: 1). Cecep Hidayat, ” Terorisme, Islam, dan Gus dur”, Diakses pada
14 Oktober 2012 dari, http: // www. gusdur. net/ Opini/ Detail/ ?id = 227/hl = id/
Terorisme _ Islam _ Dan_Gus_Dur
9
Rifyal Ka’bah, Percakapan Cendekiawan Tentang Pembaharuan Pemikiran Islam
Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1990), 76-87.
10
Hendropuspito, Sosiologi, 38.
7
8
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
87
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
manusia serta digunakan sebagai kerangka acuan bagi
seluruh realitas. Dengan demikian agama berperan
sebagai upaya pembaharuan kerena hubungannya dengan
persoalan aktual, mendinamisasi perubahan dalam bingkai
perkembangan dan perubahan zaman.11
Sedangkan politik dipahami sebagai seperangkat
makna atau nilai serta pilihan-pilihan yang diambil dari
masyarakat untuk membenarkan fungsi tatanan masyarakat
yang berlaku. Selain itu politik juga dipahami sebagai proses
resolusi atas problem kolektif untuk memenuhi kebijakan
kolektif dalam kehidupan sosial masyarakat terkait dengan
nilai serta pilihan bagi masyarakat dalam mencapai suatu
tujuan.12 Atas dasar inilah Isbar13 dengan mengutip Ibnu
Sina menjelaskan bahwa politik merupakan persoalan
yang terkait dengan ragam perbedaan kehidupan antara
pemimpin dan rakyat yang orientasinya diarahkan pada
perbaikan kekuasaan.
Menurut Syafi’i Maarif, Islam sebagai agama di Indonesia
relasinya dengan negara dan politik merupakan fenomena
menarik dalam perkembangan studi hukum ketatanegaraan.
Hal ini terkait relasi agama dan negara yang memungkinkan
untuk dipisahkan atau dipertemukan dengan menjadikan
Islam sebagai dasar negara yang telah lama menjadi
11
Hayat Burhamati, Tajdīd al Ahkām Inda Abu al A’lā al Maudūdi, (Disertasi
Jamiah Muhammad Khamis Akdal) (Rabat Marocco, 2008), 7-10. Azizy, Reformasi,
18-26.
12
Menurut Budiarjo (2003: 30-35) politik merupakan aktifitas
menggambarkan, membandingkan serta membahas fakta-fakta kehidupan
sedemikan rupa sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan dalam generalisasigeneralisasi. Sehingga politik lebih merupakan proses dalam mencapai tujuan
dan bukan tujuan itu sendiri.
13
Ali Muhammad Isbar, Abu Ali bin Sina, Kitab al-Siyasah (Suriah: Majma’ alRaudlah al-Tijary, 2007), 40.
88
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
perbincangan akademik. Bahkan kajian perbincangan
tersebut mencuat sejak Indonesia masih berumur belasan
bulan, tepatnya ketika penentuan dasar negara. Namun,
perkembangan selanjutnya tuntutan yang disuarakan oleh
kelompok agama Islam tersebut kandas di tengah jalan
lantaran mendapatkan resistensi dari kelompok nasionalis.14
Syafii Maarif juga menjelaskan bahwa gagasan negara Islam
(daulah al-Islāmiyyah) merupakan fenomena abad ke-20.
Kendati demikian, Islam sangat membutuhkan mesin negara
untuk membumikan cita-cita dan ajaran-ajaran moral.15 Lebih
jauh, menurutnya dalam konteks kenegaraan, al-Qur’an yang
penuh dengan ajaran imperatif moral yang tidak diragukan
lagi sangat membutuhkan negara sebagai institusi pemaksa
bagi pelaksanaan perintah dan ajaran moralnya.16
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 101-110.
15
Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 60-62.
16
Pendapat Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah
sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam
membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud tidak lain adalah
negara. Oleh karenanya, ia menolak pandangan yang menghendaki pemisahan
Islam dan negara. Menurutnya, di samping tidak memiliki basis teoretis yang
kuat, pendapat seperti itu dalam waktu yang panjang akan berakhir menjadi
kerja bunuh diri. Menurutnya, semua aspek kehidupan tidak dapat ditempatkan
dalam kategori yang dikotomis, antara ibadah dan kerja sekuler. Dalam hal ini, ia
sepakat dengan pandangan Ibnu Taimiyyah yang mengemukakan bahwa negara
(kekuasaan politik) merupakan sesuatu yang penting bagi agama. Tanpa adanya
negara, agama tidak akan tegak dengan kukuh. Ibnu Taimiyyah menuturkan
bahwa Allah mewajibkan amar ma’ruf nahî munkar, jihad, keadilan, menegakkan
hudûd, dan semua hal yang Allah wajibkan. Hal itu tidak mungkin terealisasi
dengan sempurna tanpa kekuatan dan kekuasaan (Maarif, 1996: 193-195). Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (19591965) (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
14
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
89
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Dalam kajian relasi agama, hukum dan politik tersebut
tidak bisa lepas dari suatu nilai yang mendorong pertemuan
antara ketiganya. Nilai dan atau pilihan yang berkembang
tersebut mengandung ideologi dan hubungan kekuasaan
yang menjamin efektifitas politik. Hal ini berbeda dengan
ideologi yang diartikan sebagai bentuk imajinasi sosial yang
menjelaskan eksistensi suatu masyarakat, cita-cita yang
hendak diwujudkan serta mendorong ke arah tindakan yang
bersifat praktis. Fungsi ideologi ini memberi legitimasi tindakan
serta pilihan-pilihan dalam tatanan masyarakat yang terkait
beberapa kepentingan serta pilihan-pilihan yang terkandung
di dalamnya. Pilihan dapat ditingkatkan pada status nilai untuk
mencapai kepentingan. Argumentasi ini memperjelas bahwa
politik terkait dengan persoalan agama dan hukum serta
mempunyai jalinan terutama dalam bingkai demokrasi.17
Terkait pendalaman makna politik, dengan mengutip
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa politik terkait nilai
agama diyakini bersumber dari wahyu yang dijadikan
kerangka acuan seluruh realitas. Nilai dalam politik sebagai
kerangka acuan untuk memfungsikan nilai agama dalam
tatanan masyarakat.18 Nilai dalam politik ini tidak dapat
dipisahkan dari ideologi yang menjadi sumber nilai dan
cita-cita yang diaktualisasikan melalui lembaga politik atau
organisasi kelompok tertentu.19 Dalam studi fokus tentang
17
Muhammad Bubakry, al- Dimaqraṭiyyah fī al- Zamān al- Aulamah (Marocco:
Dar- al Saqafah- Dar al-Baidla, 2001), 12-15.
18
Bubakri (2001: 3-11) menjelaskan politik sebagai sarana mengakomodasi
ragam kepentingan yang berkembang dalam bingkai demokrasi. Masing-masing
individu memperoleh haknya tanpa memberikan prioritas berlebihan terhada
hak yang lain.
19
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses
pada 22 Juni 2012 dari https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:XpbOr1kUP0J:law.uii.ac.id/dokumentasi/task,doc_download/gid,62/+KEBEBASAN+
90
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
ilmu politik, Ramlan Surbakti menjelaskan tiga hal penting
dalam memahami politik. Pertama, mengidentifikasi
kategori-kategori aktifitas yang membentuk politik. Kedua,
menyusun rumusan yang dapat merangkum apa saja yang
dapat dikategorikan sebagai politik. Ketiga, menyusun daftar
pertanyaan yang harus dijawab untuk memahami politik.
Dari ketiga hal penting terkait politik, dapat dipahami
bahwa politik merupakan studi tentang sosial masyarakat
yang sangat luas terkait dengan beragam proses yang
berkembang dalam mencapai tujuan masyarakat.20 Dalam
konteks ini, Al-Jābiry21 menjelaskan politik sebagai pijakan
kekuasaan pada masa Yunani untuk mengatur negara
dengan kekuasaannya. Al-Jābiry22 juga menjelaskan politik
terkait dengan pembaharuan yang tidak sempurna tanpa
memasukkan kebudayaan masyarakat, dicocokkan dengan
persoalan kekinian.
BERAGAMA+DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid
= ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm
RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5
cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw.
20
Surbakti (1999: 2) juga menjelaskan bahwa sejak awal perkembangan
hingga studi modern tentang ilmu politik, sedikitnya mencakup lima pandangan.
Pertama, politik merupakan usaha Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Kedua, politik merupakan hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara
dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kegiatan yang diarahkan untuk
mencarai dan mempertahankan kekuasaan. Keempat, politik sebagai kegiatan
yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima,
politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumbersumber yang dianggap penting. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta:
PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1999).
21
Muhammad Ābid Al-Jābiry, Qadlāyā fi al-Fikri al-Muāshiri al-Aulamah Shūrā
al-Hadlarāt al-Audat ila al-Akhlāq al-Tasāmuh al-Dimuqratiyyah wa Nidlām al-Qoym alFalsafah wa al-Madīnah (Beirut: Markaz Dirāsah al-Wahdat al-Arabiyyat, 2011), 150.
22
Muhammad Ābid Al-Jābiry, Al-Islām wa Al-Hadatsāt wa al-Ijtimā al-Siyāsī
(hiwārāt fikriyyat) (Beirut: Markaz Dirāsat al-Wahdat al-Arabiyyat, 2010), 25.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
91
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Sedangkan persoalan hukum relasinya dengan agama
dan politik, menurut Saleh23 menjelaskan sebagaimana
Satjipto Rahardjo, bahwa masalah hukum khususnya
dari sekian definisi yang berkembang hingga ratusan
definisi pada intinya bisa dipahami sebagai upaya untuk
menciptakan ketertiban dan keteraturan yang meliputi
perilaku manusia.24 Dalam hal demikian, Mahfud MD
memahami hukum sebagai norma atau kaidah yang
mengandung perintah dan larangan yang pelanggarannya
dijatuhi sanksi berdasar otoritas Negara.25 Hal ini dapat
dimaklumi dengan ragamnya definisi yang telah diberikan
ilmuwan hukum. Roscou Pound misalnya, sebagaimana
dikutip Azizi26 menyatakan bahwa hukum adalah himpunan
peraturan27 yang dibuat oleh pihak berwenang dengan
Abdul Rahman Saleh dkk, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Pedoman
Anda Memahami Dan Menyelesaikan Masalah Hukum (Jakarta: YLBHI dan PSHK,
2007), 2.
24
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas , 2007), 67.
25
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses
pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ +
KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl =
id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd
S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5
xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv
Ck-Uo2UVEw
26
Azizy, Reformasi, 74.
27
Hukum antara lain dipahami sebagai sistem dasar yang ditemukan secara
filosofis yang dapat mengekpresikan esensi pokok sesuatu, dimana setiap orang
harus bertindak sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum juga dipahami sebagai
kumpulan deklarasi mengenai aturan moral yang kekal dan tidak berubah.
Artinya, hukum dianggap dengan ketentuan moral universal (Azizi, 2002: 74-76).
Sementara Yningsih (2012) menjelaskan, hukum adalah segala peraturan tertulis
dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Menurut Kansil, hukum itu mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia,
sebagai keamanan dan ketertiban terpelihara. Menurut J.C.T. Simorangkir, dan
23
92
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai
sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi
yang melanggar. Selain itu hukum lebih berorientasi pada
menjaga keseimbangan antara proses dan tujuan dalam
kehidupan sosial.
Sementara E. Utrecht sebagaimana dikutip Kansil28
menjelaskan hukum merupakan himpunan petunjuk
hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib
dalam suatu masyarakat yang harus ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat dengan kesadaran hukumnya.
Sehingga pelanggaran atas petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah, penguasa dalam
menjatuhkan sanksi. Nampaknya definisi demikian tidak
jauh berbeda dengan yang mengatakan hukum sebagai
norma atau kaidah yang berisi kewajiban dan larangan yang
pelanggarannya dapat dijatuhi sanksi berdasar otoritas
Negara.29 Dalam ranah penegakan hukum sebagaimana
Woerjono Sastropranoto, hukum ialah peraturan yang bersifat memaksa,
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat
oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai
tindakan-tindakan hukum tertentu. Plato, hukum merupakan peraturanperaturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Sedangkan
Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya
mengikat masyarakat tetapi juga hakim (Yuningsih, 2012: 3-19).
28
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 12.
29
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses
pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ +
KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl =
id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd
S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5
xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv
Ck-Uo2UVEw
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
93
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
dimaksud sebagai otoritas pemerintah melalui hakim yang
mempunyai kompetensi untuk kemaslahatan dunia dengan
mengeluarkan dan menetapkan masalah ijtihad dalam suatu
pertentangan atau permasalahan yang terjadi di tengah
masyarakat.30 Selain itu hukum juga dipahami sebagai
persoalan yang terkait dengan politik dalam obyeknya
menjadikan manusia dalam arti ulama dan pemerintah
supaya bersama kompromi merumuskan suatu hukum
atau kaidah yanag sesuai dengan perkembangan sosial
masyarakat. Sehingga hukum termasuk hukum Islam—ushul
fiqh perlu diperbarui sesuai perubahan sosial masyarakat
tersebut.31
Sampai kajian di sini, dapat dipahami bahwa hubungan
agama, hukum dan politik sebagaimana tersebut di atas
terkait dengan persoalan hubungan agama, hukum dan
politik dalam konteks Indonesia yang sesungguhnya tidak
salah jika ambivalensi dianggap sebagai persoalan krusial
dalam rangka mewujudkan negara hukum sesuai demokrasi
Pancasila.32 Artinya merumuskan sebuah paradigma
hukum positif dengan berpijak dari pluralitas nilai dan
norma budaya dalam bingkai Pancasila merupakan suatu
keniscayaan, yang karenanya ilmu hukum Indonesia terkait
positivisasi hukum Islam merupakan suatu keniscayaan dan
kebutuhan dalam pembangunan sistem hukum nasional,
Dengan runtutan argumentasi demikian, maka
hukum, agama dan politik dalam pola hubungan ketiganya
jelas terlibat dalam pembangunan negara sebagai upaya
penyesuaian dengan perkembangan sosial ekonomi serta
Abd al-Salam Balaji, Taṭawwuru Ilm Uṣūl al-Fiqh wa Tajaddudihi (wa Taaṡṡurihi
bi al-Mabāhitsi al-Kalamiyyah) (Beirut, Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2010), 59.
31
Ibid., 41.
32
Gunaryo, Pergumulan, 20-25.
30
94
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.33
Bahkan argumentasi ini juga dibenarkan demi kepentingan
negara, pembangunan ekonomi mendapat prioritas
serta pembangunan politik melalui demokratisasi yang
mendongkrak pembangunan negara serta mendapat
kejelasan yuridis dari perspektif hukum. Pola hubungan
ketiganya dalam ambivalensi yang saling berhubungan
dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
konteks Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum Islam.34
Ābid al-Jābiry menjelaskan bahwa hubungan agama,
hukum dan politik, dalam konteks pembangunan hukum
suatu negara, maka agama berfungsi sebagai kritik atau
pembimbing terhadap ragam model pembangunan
serta perubahan sosial masyarakat yang sangat cepat
dengan masalah kekinian.35 Pemahaman demikian sangat
berpengaruh terhadap suatu usaha tertentu serta nilai
yang berkembang dalam suatu daerah atau negara. Dengan
argumentasi ini, persoalan agama, hukum dan politik
merupakan segitiga kekuatan yang berkelindan dalam
melakukan transformasi sosial budaya masyarakat dengan
pengaruh globalisasi dalam kehidupan ekonomi serta nilainilai budaya dalam masyarakat, sehingga khususnya agama
tetap teguh sebagai kekuatan moral bagi keberlangsungan
33
Dalam hal ini Ahmad Syafii Maarif secara doktrinal menjelaskan Islam
tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang
wajib digunakan oleh kaum Muslim. Menurutnya, baik al-Qur’an maupun alSunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan
lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan
persatuannya (Maarif, 1985: 20). Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985)
34
Noer, Pemikiran, 205. Dan Maarif, Islam, 17-25.
35
Al-Jābiry, Al-Islām, 25.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
95
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
kehidupan36 Dalam argumentasi demikian maka sangat wajar
dalam konteks hukum ketatanegaraan Indonesia potensi
agama khususnya Islam bisa berperan secara politik hukum
melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) sesuai UU
No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan undang-undang.
Hubungan agama, hukum dan politik dalam konteks
agama Islam antara lain menjelaskan bahwa seorang
muslim wajib taat kepada Allah dan rasulnya, namun
terhadap pemimpin dalam arti pemerintah tidak harus
ditaati dan dipatuhi secara mutlak karena dalam ajaran
Islam juga membolehkan berbeda dengan pemerintahan
yang menyimpang dari ketentuan syari’at.37 Kewajiban
umat Islam menetapkan pemimpin, pemerintahan yang
dapat mengarahkan pada keadilan seraya menjauhkan
dari hal yang bersifat mungkar merupakan hal yang wajar
dan diterima secara positif. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah
sebagaimana dikutip Fahri38 menjelaskan pola politik
36
Dengan mengutip Mawardy, Ilahy (2010: 80-81) menjelaskan persoalan
agama, hukum dan politik yang terkait dengan fardlu ain dan fardlu kifayah.
Sehingga hal tersebut merupakan bagian dari kewajiban pemerintah yang harus
dilaksanakan dengan beberapa syarat; pertama, jelas merupakan kepentingan
pemerintah, kedua, murni terkait dengan persoalan kewajiban, ketiga, terbatas
pada kemampuan yang bisa ditentukan dan keempat, adanya perubahan prilaku
dalam masyarakat. Argumentasinya, pola ideal dalam perubahan sesuai kehendak
Islam didasarkan pada empat aspek dengan mempertimbangkan kultur yang
berkembang.
37
Ahmad al-Raisūnī, al Ummat Hiya al Asal, Muqārabat Ta’shīliyyat li Qadlāyā al
Dimaqratiyyat, Hurriyyat al Ta’bir, al Fan (Bairut- Libanon: al Syabkat al ‘Arabiyyat li
al Abhās Wa al Nasyr, 2012), 8-10.
38
M. Fahri, “Kepemimpinan Dalam Islam” diakses pada 13 November 2012
dari http://www. google. co. ma/#hl= fr&gs_nf= 3&pq=kepemimpinan% 20 dalam
%20 islam & cp= 38 &gs_id= aa&xhr= t&q= kepemimpinan + dalam + islam +
menurut + ibnu & pf = p & sclient = psy-ab&oq = kepemimpinan+dalam+islam+me
nurut+ibnu+&gs_l=&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp=d871091483ba7df4&
bpcl=38093640&biw=1280&bih=637.
96
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
kepemimpinan sebagai bagian dari menunaikan amanat.
Dalam hal demikian, Islam menentukan empat kriteria
berikut.
Pertama, menempatkan orang secara proporsional
sesuai dengan kompetensinya dalam jabatan tertentu.39
Kedua, menempatkan orang yang pantas, lebih utama karena
kelebihan aspek tertentu yang dimiliknya, misalnya dalam
pembidangan disiplin ilmu tertentu yang berpengaruh
terhadap pola kerja. Ketiga, mempunyai jiwa yang amanah
dalam menjalankan tugas yang diembannya. Keempat,
memahami persoalan yang lebih maslahat dan sempurna
dalam kehidupan nyata.40
Menurut ar-Raisūni41 persoalan yang dimaklumi dalam
perspektif hukum Islam adalah tidak adanya kekuasaan
yang paling tinggi selain kekuasaan tuhan. Sehingga
dalam Islam tidak dibenarkan adanya kekuatan monarki
absolut sebagaimana pernah terjadi di dunia Barat melalui
sistem demokrasi parlementer. Sehingga dengan mengutip
Maududi, Burhamati42 menegaskan adanya theo-demokrasi
dalam konsep politik dalam pemerintahan Islam yang
Fahri (2012: 142) dengan mengutip Ibn Taymiyah menjeleaskan bahwa
ayat tersebut merupakan kalam Allah dalam memberikan interpretasi tentang
perlunya ketaatan dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan
karakteristik negara Islam, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam
ayat selanjutnya dari QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT
(al-Qur’an) dan rasul (al-Hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
takwilnya ” (QS. Al-Nisa’: 59). M. Fahri, “Kepemimpinan Dalam Islam” diakses
pada 13 November 2012 dari
40
Ibid.
41
al-Raisūnī, al Ummat, 6-8.
42
Burhamati, Tajdīd, 3-15.
39
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
97
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
memberikan kedaulatan pada rakyat tanpa dibatasi norma
yang datangnya dari Allah. Kedaulatan rakyat sebagai
perwujudan semangat politik masyarakat dalam merespon
problem aktual yang terjadi pada masanya merupakan hal
wajar sesuai perkembangan sosio kultur dan dinamika yang
terjadi.43 Dengan berpijak ragam pendapat inilah nampaknya
tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sejarah pemikiran Islam
dengan perkembangannya selalu terkait dengan persoalan
pemikiran seputar akal, jiwa dan hubungannya dengan
alam, sehingga hal yang mengarah pada hubungan agama,
hukum dan politik merupakan suatu keniscayaan.44
1. Pergumulan Agama, Hukum dan Politik di Indonesia
Melanjutkan studi tentang hubungan hukum, agama dan
politik dalam pergumulan suatu negara yang secara spesifik
terkait dengan cita-cita negara seperti Indonesia, Gunaryo45
menjelaskan adanya pemisahan yang ekstrim dengan paradigma
theokratis dan sekuler. Argumentasinya, Islam menolak filsafat
kedaulatan rakyat dan mengembangkan teori politik dan
masyarakat politik yang bersandar pada kedaulatan tuhan
dan khilafah. Nampaknya argumentasi Gunaryo juga pernah
disampaikan Ibnu Taimiyyah yang menjelaskan hubungan
ketiganya dalam dua hal penting dalam Islam. Pertama,
Islam menggunakan kekhilafahan bukan kedaulatan, karena
kedaulatan tertinggi hanya milik tuhan. Kedua, semua kaum
beriman merupakan kekhalifahan yang bersifat umum, setiap
mukmin adalah khalifah tuhan sesuai dengan kemampuannya
Ibid., 3-15. Dan al-Raisūnī, al Ummat, 2-3.
Muhammad Misbahy, Al-Aql al-Islāmī baina Qorthobat wa Asfahān (Beirut:
Dar al-Thaliat, 2006), 13-14.
45
Gunaryo, Pergumulan, 25.
43
44
98
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
masing-masing.46 Bahkan usaha mengatur warga negara yang
bukan Islam juga menjadi kewajiban negara.
Menurut Maarif47 dalam konteks hubungan agama hukum
dan politik dalam masyarakat Islam Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari faktor negara. Sejarah telah membuktikan
bahwa Islam merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
politik yang berkembang di Indonesia.48 Ada dua alasan penting
dalam hal ini. Pertama, karena memang secara kuantitas
mayoritas Indonesia beragama Islam. Kedua, karena adanya
pemikiran yang berkembang dalam umat Islam sendiri, bahwa
memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan.49 Dalam
Sebagai makna penting dari konsep khilafah dapat diperjelas bahwa dalam
suatu masyarakat semua orang merupakan khalifah tuhan, dimana semua menikmati
dan kedudukan yang sama sementara kriteria supperioritas terletak pada kemampuan
dan karakteristiknya. Ini senada dengan Ibnu Taimiyah (1953:181-189) yang
menjelaskan seorang hakim muslim mestinya tidak mengikatkan diri secara kaku pada
suatu tafsiran al-Quran tertentu, terutama dalam berbagai persoalan yang sifatnya
kontroversial. Suatu pemikiran yang baik dapat saja diterima meskipun tidak selaras
dengan empat mazhab hukum Islam. Ibnu Taimiyah sendiri juga mengeluarkan fatwafatwa yang sebagian tidak sejalan dengan salah satu dari mazhab-mazhab tersebut.
Kebebasan berpendapat itu dimaksudkan untuk menyanggah padangan bahwa ulama
pemerintah. adalah para penentu keputusan terakhir dalam berbagai masalah sekaligus
ditujukan untuk membendung kecenderungan untuk memonopoli proses pengambilan
keputusan. Karena dalil ini pula Ibnu Taimiyah tidak cenderung mengakui keberadaan
ahlul-halli wal-aqli (dewan perumus undang-undang dan pemilih) seperti yang berlaku
pada teori-teori khilafah tradisional. Semua itu cenderung untuk mengikis unsur-unsur
teokrasi dalam sistem pemerintahan Islam (Taimiyyah, 1953:181-189).
47
Maarif, Islam dan Politik, 190-196.
48
Amal, Politik Syariat Islam, 2-14.
49
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses pada 22
Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii.
ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM
+ PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_
nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp
DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AH
IEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. Dan Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 5-12.
46
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
99
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
konteks demikian, Deliar Noer50 menjelaskan bahwa Islam
mempunyai konsep negara yang terkait dengan persoalan
politik, sehingga hubungan keduanya sulit dipisahkan. Deliar
Noer dalam hal ini menjelaskan bahwa konsep negara dalam
Islam dilandasi oleh beberapa ketentuan antara lain; pertama,
al-Qur’an dan Sunnah rasul sebagai pegangan hidup bernegara.
Kedua, hukum harus dijalankan. Ketiga, prinsip musyawarah,
syūrā dijalankan. Keempat, kebebasan mendapat tempat yang
layak. Kelima, toleransi antar umat beragama.51
Dalam konteks pembangunan hukum suatu negara,
An-Na’im52 menjelaskan bahwa hukum Islam (syariat
Islam) perlu diterapkan dengan melakukan ijtihad sesuai
kebutuhan manusia dengan sosial budayanya. Orientasi
syariat Islam bukan negara skuler dan juga bukan negara
Islam, tetapi prinsipnya setuju dengan syariat Islam (hukum
Islam) bukan negara Islam. Atas dasar argumentasi inilah
dalam konteks negara atau pemerintahan, suatu agama
resmi yang diakui sebagai sistem keyakinan kepada tuhan
Noer, Pemikiran, 196-199.
Dalam konteks demikian Gus Dur (1993: 12-30) menjelaskan toleransi antar
umat beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang
menunjukkan umat saling menghargai, menghormati, menolong, mengasihi,
dan lain-lain. Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain;
menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain; tidak merusak tempat
ibadah; tidak menghina ajaran agama orang lain, serta memberi kesempatan
kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya. Di samping itu, maka agamaagama akan mampu untuk melayani dan menjalankan misi keagamaan dengan
baik sehingga terciptanya suasana rukun dalam hidup dan kehidupan masyarakat
serta bangsa. Jika semua orang menjalankan agamanya masing-masing dengan
sebenar-benarnya, maka sudah pasti akan melahirkan kedamaian, ketentraman
hidup dan kerjasama sosial yang sehat. Abdul Rahman Wahid, Dialog Kritik dan
Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993).
52
Abdullah Ahmed al-Naī’m, Sharīa Law and The Modern Nation-State, A Malysian
Simposium (Kuala Lumpur: Friedrich-Nauman-Stiftung (Germany), 1994), 18-20.
50
51
100
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
ditentukan dengan memiliki kriteria adanya kitab suci, nabi
serta ajaran yang jelas sesuai kemanusiaan.53 Dalam konteks
agama tersebut sedikitnya mengandung tiga unsur. Pertama,
membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok,
artinya tanpa membedakan agama tertentu, karena semua
mempunyai hak sama untuk dibina. Kedua, mengupayan
agama bagi semua masyarakat, sehingga semua warga
memiliki agama. Dan ketiga, pemerintah memposisiakn
diri sebagai pengorganisir, wasit sekaligus aktor dalam
mengatur hubungan antar umat beragama.54
Dari sudut pandang yang demikian, maka secara
sederhana agama dapat dipahami sebagai keyakinan
entitas yang bersifat spiritual. Dengan devinisi yang lebih
kompleks, agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja
memantapkan suasana jiwa manusia dalam suasana yang
lebih kongkrit, sehingga agama tersebut benar-benar sebagai
pendorong, pengarah dalam memotifasi semua aktifitas
manusia secara nyata dalam kehidupan sosial masyarakat.55
Melanjutkan kajian tentang pergumulan agama, hukum
dan politik dalam konteks Indonesia, Gunaryo56 menjelaskan
terjadinya dinamika hubungan ketiganya berlangsung
dalam konteks instrumentalisasi yang sering kali ditempeli
oleh muatan potensi integratif dan disintegratif. Dengan
demikian, secara kongkrit positivisasi ajaran agama dalam
kehidupan yang nyata di Indonesia memiliki legitimasi
sebagai instrumen kekuasaan. Ada kemungkinan terjadinya
Hendropuspito, Sosiologi, 35-45.
Yudi Latief, Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis
Kesastraan, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 15-35. Dan Hendropuspito,
Sosiologi, 23-31.
55
Azizy, Eklektisisme, 80-89.
56
Gunaryo, Pergumulan, 19-25.
53
54
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
101
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
skenario politik agama, agama dan negara terpisah satu
dengan lainnya. Doktrin agama hanya menjadi pedoman
hidup sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang
terorganiser misalnya dalam masjid, gereja dan tempat
peribadatan lainnya. Semua yang terkait dengan agama
diselesaikan dalam institusi keagamaan tersebut dengan
prinsip utama agama adalah agama,57 sehingga agama
direduksi menjadi salah satu unsur dari sistem yang
dipandang, dan saling tergantung dengan sistem yang lain.58
57
Menurut Wikipedia (2012) definisi tentang agama dipilih yang sederhana
dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu
longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal
melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau
institusi penting yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap
apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan
titik perbedaannya. Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa
agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama
terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham
atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat
disebut agama
58
Menurut Rofiq persoalan sebagaimana dimaksud terkait erat dengan
munculnya gagasan reaktualisasi ajaran Islam yang mula-mula disampaikan
Munawir Sjadzali, mendapat tanggapan luas, yang kemudian dibukukan dengan
judul polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (1988). Apabila diperhatikan, tema
besar dari wacana pembaharuan pemikiran Hukum Islam berangkat dari term
ijtihad, suatu istilah yang inheren dengan watak Hukum Islam itu sendiri.
Namun sayangnya, sejarah telah terlanjur mencatat bahwa gerakan ijtihad–atau
tajdid– ini mengalami pemasungan yang relatif lama sehingga memunculkan
kemandegan dan stagnasi intelektualisme Islam dalam bidang hukum, meskipun
menurut Wael B. Hallaq, isu tentang terbuka atau tertutupnya pintu ijtihad
masih kontroversial. Tumbuh suburnya karya-karya syarah (komentar), hasyiyah
(komentar atas komentar), mukhtasar (ringkasan), mukhtasar jiddan (ringkasan
dan ringkasan), dan lain-lain, menunjukkan indikasi terjadinya penghargaan
intekletual kepada karya seseorang secara massal. Implikasinya, kreativitas
pribadi kurang mendapatkan porsi yang proporsional. Rofiq, Pembaharuan, 23-48.
102
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
Dalam konteks demikian, Latief59 mejelaskan kebijakankebijakan yang merupakan kongkretisasi pendekatan sistematik
dalam negara semakin jelas menekankan kontrol yang tegas
terhadap unsur-unsurnya termasuk unsur agama agar selalu
terwujud keteraturan yang harmonis. Sehingga gejolak sekecil
apapun langsung diredam oleh negara, sehingga keseimbangan
selalu terjaga. Model pendekatan ini menempatkan negara
dalam kedudukan sentral yang selanjutnya seolah melepaskan
diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem tersebut. Keadaan
demikian, membuat negara semakin kuat karena sistem posisi
masyarakat merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan
untuk mengontrol negara sehingga negara lebih mempunyai
kekuatan memaksa dengan otoritasnya.60
Menurut Sahal Mahfudz bahwa persoalan politik merupakan
realitas historis atau sunnatullah yang tidak bisa dihindari, dan
merupakan suatu keniscayaan. Menurutnya, proses kehidupan
manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik. Sehingga
telah menjadi sunnatullah bahwa setiap kelompok ada yang
dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan
yang diperintah dalam konteks perpolitikan. Politik merupakan
kebutuhan hidup menurut naluri manusia. Artinya, agama dan
negara tidak dapat dipisahkan dari keduanya61. Argumentasi
59
Latief, Menyemai, 13-40. Dan Mahfud, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif
Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a=
v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid,
62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id
& pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33
Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfB
PdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw.
60
Noer, Pemikiran, 43-60. Dan Amal, Politik, 35-50.
61
Pernyataan ini juga diperkuat Raisūni (2012: 3-7) yang mengatakan adanya
keterkaitan antara persoalan agama dengan kepentingan umat. Kepentingan
umat adalah segalanya sebagai upaya menangkap apa yang dikehendaki oleh
syariat dengan prinsip mashlahah. al-Raisuni, al Ijtihād, 2012.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
103
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
ini diperkuat dengan adanya kata al-Dīn dan al-Siyāsah yang
sesunguhnya menggambarkan bentuk integrasi agama dan
negara. Meskipun negara dan agama tidak dapat dipisahkan,
namun bukan berarti negara dengan segala ragam produknya
harus berlabel Islam.62 Atas dasar inilah Islam dipahami sebagai
pengetahuan yang lengkap, mengandung ketentuan hidup yang
lengkap dan menjadi inti dari ketentuan undang-undang yang
berlaku di dunia.63
Lebih jauh berdasarkan argumentasi di atas, relasi hukum,
agama dan negara menurut Gus Dur64 dan Mahfudz hendaknya
mengacu pada asas simbiosis mutualisme, yang keduanya
saling mempengaruhi dalam masyarakat dan umat yang
beradab demi kemaslahatan umum.65 Negara diberi kekuasaan
untuk mengatur aspek ideologis karena eksistensi Indonesia
yang bermacam-macam agama, pluralitas, heterogen akan
lebih berfungsi secara positif dalam pola hubungan ketiganya
termasuk persoalan ideologis.66
62
Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di
Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2001), 12-37. Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum
Islam di Indonesia Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), 35-41. Dan Latief, Menyemai. Dan Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas,
Dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).
63
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories Of Islamic Law, The Methodology Of Ijtihad
(New Delhi, India: Adam Publisher & Distributor, 2007), 50.
64
Wahid, Dialog, 23-30.
65
Dalam konteks demikian Raisūni (2009: 62-66) menjelaskan bahwa
kepentingan yang dimaksud adalah selasa dengan ashul al-khamsah sesuai
substansi Islam, menjaga dan mengutamakan segalanya demi kepentingan
agama, nyawa, akal, harta dan keturunan. Ahmad al-Raisuni, Madkhal Ila Maqāṣid
al-Syarīah, Marocco, Rabat, Dar al-Aman, 2009.
66
Dilain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan
ajaran keimanan yang harus dihormati oleh Negara. Pengaturan yang terjadi selama
ini masih ditik beratkan pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang dan
peraturan tertentu yang bersifat temporal, sehingga masa mendatang diperlukan
dialog antar budaya yang saling menghubungkan antara etnis satu dengan yang
104
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
Menurut Ibnu Taimiyyah67 dan ar-Raisūni, kekuasaan
politik hendaknya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu
memelihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Sehingga
pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan
formal struktural, mereka yang memegang kekuasaan
kultural juga bisa menjadi pemimpin. Kepemimpinan politik
kultural mempunyai fungsi strategis sebagai kekuatan untuk
mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik
tentang hak dan kewajiban seorang warga negara pada level
basis bawah.68
Dalam konteks hubungan agama dan negara secara
khusus, ulama dan penguasa di Indonesia, dapat dijelaskan
dengan paradigma akomodasi kritis. Artinya paradigma
yang menganut kemampuan para ulama untuk menjadikan
Islam sebagai kekuatan integratif terhadap ulama. Islam
harus dipandang sebagai faktor pelengkap yang berfungsi
sebagai penyatu, integrator yang mendorong timbulnya
partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang
kuat, demokratis dan berkeadilan dalam menata kehidupan
yang pluralis dengan ragama budaya, agama, etnis dan
keyakinan.69
Berpijak pada pemaparan di atas, maka dapat dipahami
bahwa agama dan hukum serta politik dalam pembangunan
suatu negara merupakan jalinan segitiga yang harus saling
menguatkan, karena sejarah dunia kehidupan manusia
lainya. Sehingga tidak ada satu kelompok merasa termarjinalkan dengan adaya
kelompok lain yang lebih dominan (Khomry, 2012: 15). Said Khomri, Ruh al- Dastūr,
al-Islāh, al-Sultah Wa al-Syarīat bi al-Maghribi (Marocco: al-Najah al-Jadidah, 2012).
67
al-Raisuni, al Ijtihād, 62-66.
68
Khomri, Ruh, 56-57.
69
Gunaryo, Pergumulan, 19-26. Dan Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum dalam
Perda Berbasis Syariah”, akses pada 1 Pebruari 2012 dari http://law.uii.ac.id/
images/stories/Jurnal%20 Hukum/1%20M.Alim.pdf.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
105
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
beragama mengenal pola ketiganya sebagai sejarah panjang
kehidupan yang berujung pada sebuah reformasi. Hal ini
dapat diterima karena dalam literatur agama-agama di
dunia lebih mengenal reformasi dalam agama Kristen seperti
timbulnya Kristen Protestan, ketimbang reformasi dalam
agama Islam sebagaimana agama lain dengan ketentuan
masing-masing.70 Berbeda dengan reformasi dalam agama
Kristen, reformasi dalam agama Islam lebih merupakan
pemurnian dalam peribadatan, substansi hukum Islam—
fiqh. Sehingga pada akhirnya reformasi tersebut menjelma
menjadi upaya modernisasi dalam segala bidang kehidupan
termasuk dalam bidang politik sesuai substansi Islam.71
Dalam pengalaman negara yang mayoritas Islam,
reformasi agama dalam bidang politik mengarah pada
perwujudan hubungan agama, hukum dan politik
yang senantiasa diupayakan menuju kompromi yang
memungkinkan agama menjadi dasar religiusitas, tidak
hanya dalam kehidupan sosial masyarakat tetapi juga dalam
kehidupan Negara.72 Argumentasi ini tetap berpijak pada
Menurut Mahfud (2012: 18-20) dalam konteks demikian yang lebih penting
dan positif bagi hukum Islam khusunya adalah melakukan transformasi nilai-nilai
kemanusiaan yang bisa dipertemukan antara aliran-aliran dan nilai semua agama
di Indonesia secara kompromi. Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum dalam Perda
Berbasis Syariah”, akses pada 1 Pebruari 2012 dari http: // law. uii. ac. id/ images/
stories/ Jurnal% 20 Hukum/ 1%20M.Alim.pdf.
71
Noer, Pemikiran, 102-110.
72
Menurut Assyaukanie (2012: 3-20) reformasi sebagaimana renaisans dalam
Islam adalah semangat untuk kembali kepada nilai-nilai peradaban yang pernah
dicapai pada masa kegemilangan Islam. Dengan demikian, reformasi adalah
pembaruan keagamaan dan protes terhadap model dan cara beragama pada era
kegelapan, era di mana ijtihad, rasionalitas, filsafat, dan pemikiran, dikecam dan
dicampakkan. Renaesans dan reformasi dalam Islam, jika demikian, bukanlah
merujuk kepada gerakan kebangkitan agama dalam maknanya yang puritan, bukan
pula gerakan yang kembali kepada semangat ortodoksisme dan konservatisme.
70
106
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
keyakinan bahwa tidak semua ajaran agama termasuk Islam
bisa dirubah karena ada wilayah ajaran yang memungkinkan
perubahan dan yang tidak memungkinkan perubahan. Dalam
teori ushul fiqh atau ulum al-Quran ada teks dzanni dan qath’i
dan ada wilayah uṣūliyyah serta furū’iyyah.73 Dalam konteks
inilah, pergumulan agama, hukum dan politik di Indonesia
dapat dijelaskan dengan paradigma akomodasi kritis.
2. Teori Teokrasi dan Sekuler dalam Negara Pancasila
Dalam sejarah pergumulan politik hukum di Indonesia,
teori teokrasi74 dan sekuler ternyata tidak mampu berbuat
banyak dalam mendinamisasi perkembangan hubungan agama
dan negara di Indonesia, kalau tidak disebut mandul. Kenyataan
Tapi, gerakan renaesans dan reformasi dalam Islam adalah gerakan
mengembalikan nilai-nilai dan semangat rasionalisme dan liberalisme seperti
pada masa-masa kegemilangan peradaban Islam. Lutfie Assyaukanie, “Renaisans
Dan Reformasi Agama” akses pada 24 November 2012 dari, http: //islamlib.com/
id/ artikel/ renesans – dan - reformasi-agama.
73
al-Raisuni, al Ijtihād.
74
Menurut Maria (2012: 1-3) Teori teokrasi ini beranggapan bahwa tindakan
penguasa/negara selalu benar, sebab negara itu hasil ciptaan Tuhan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Tokoh-tokoh teori teokrasi yaitu Agustinus,
Thomas Aquinas, Friedrich Julius Stahl. Teori teokrasi langsung. Menurut teori
ini, seorang penguasa berkuasa karena menerima wahyu dai Tuhan. Teori
teokrasi tidak langsung, penguasa berkuasa karena kodrat dari Tuhan. Teori
kekuatan atau kekuasaan. Menurut teori ini kekuasaan negara lahir dari mereka
yg memiliki kekuatan, baik secara fisik, materi, maupun politik. Kekuatan secara
fisik yaitu orang yang kuat dan berani, secara materi yaitu orang yang memiliki
harta kekayaan, secara politik yaitu orang yang berpengaruh baik karena
kepandaian ataupun karena keturunan bangsawan. Tokoh-tokoh pendukungnya
yaitu Thomas Hobes, Leon Duguit, Karl Marx. Teori Hukum Alam Hukum alam
bukan buatan Negara, melainkan kekuasaan alam yang berlaku setiap waktu dan
tempat, serta bersifat universal dan tidak berubah. Tokoh-tokoh pendukungnya
Plato, Aristoteles, Agustinus. Adelyn Maria, “Negara Dan Bangsa” akses pada 21
November 2012 dari, http://www.slideshare.net/nixfairy/national-heroismnegara-dan-bangsa-2127809.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
107
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
yang dapat diterima adalah Indonesia bukan negara agama dan
juga bukan negara sekuler, sehingga keduanya runtuh dalam
perkembangan pemikiran hukum di Indonesia.75
Dalam studi perkembangan hukum Islam di Indonesia,
pendekatan teokrasi dan sekuler tidak memadai untuk dijadikan
dasar pemahaman fenomena pergumulan pelembagaan politik
hukum. Dalam konteks Indonesia, hukum agama diakomodir
negara meskipun dalam kerangka kebutuhan bersama
orientasinya tertuju pada pembangunan negara.76 Berbarengan
dengan unsur lain sebagai bagian penting dari negara, agama
dijadikan sebagai salah satu pembentuk negara, staatsidee.77 Lebih
jauh Gunaryo78 juga menjelaskan bahwa hukum yang bersumber
dari agama diadopsi sebagai salah satu pembentuk hukum negara
atau hukum nasional. Sehingga sifat kompetitif diupayakan
menjadi sinergis, komplementer dan saling mengisi tanpa
adanya kemenangan atau kekalahan dalam pihak tertentu.79
Menurut Mahfud80 dalam konteks ke-Indonesiaan, cita
negara melekat dalam bingkai Pancasila yang rumusan awalnya
Gunaryo, Pergumulan, 34-35.
Ideologi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah ideologi Pancasila.
Pancasila digunakan sebagai landasan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi Pancasila bersumber dan digali dari
kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Prinsip ideologi Pancasila adalah terwujudnya
keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan bangsa dan Negara (Gunaryo, 2006: 19-26). Gunaryo, Pergumulan.
77
Gunaryo, Pergumulan, 34.
78
Ibid., 25-40.
79
Azizy, Reformasi, 180-189.
80
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,”
diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ +
KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id &
pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33
Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBP
dpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw.
75
76
108
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
sesuai dengan rumusan piagam Jakarta sebagai hasil kompromi
antara golongan kebangsaan dan golongan Islam. Menurut
Dubes Kuwait, Ismail (2012) dalam hubungan agama dan negara,
dikenal negara teokrasi dan sekuler. Negara teokrasi adalah
negara yang didasarkan pada agama tertentu dan diperintah
kaum Clergy waktu itu. Negara sekuler adalah negara yang
tidak didasarkan pada agama, tetapi diasaskan pada paham
atau ideologi sekuler. Negara Indonesia yang berdasar Pancasila
bukan negara teokrasi, bukan pula negara sekuler.81
Melanjutkan argumentasi di atas, eksistensi Kementerian
Agama dan Pengadilan Agama memperjelas Indonesia sebagai
bukan negara sekuler. Bukti lain yang menjelaskan Indonesia
bukan negara sekuler adalah penyelenggaraan pendidikan
agama mulai SD sampai perguruan tinggi. Praktik dan nuansanuansa keagamaan yang melekat pada negara Indonesia tidak
terdapat di negara-negara sekuler Barat.82
81
Menurut Arrafat (2012: 13-19) persoalan dasar filsafat negara (Pancasila)
menjadi pusat perdebatan antara golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada
awalnya golongan Islam menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun
golongan nasionalis tidak setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu
kesepakatan dengan ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai
rancangan Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945. (Kaelan, 2009:
11-12). Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamasikan oleh Soekarno
dan Hatta, atas nama seluruh bangsa Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil
ketuanya memulai tugas-tugasnya. Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya
pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan
UUD dan isinya, dan hal ini dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan
rakyat Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan
bersejarah tersebut, kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang
luhur menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” (Kaelan, 2009: 13-14). Kaelan, ”Relasi
Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”, Makalah, Yogyakarta, 2009.
82
Faisal Ismail, “Warning dari Paus Benedict” diakses pada 20 November
2012 dari, .
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
109
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Komunitas-komunitas agama di Indonesia memperlihatkan
pengamalan agama masing-masing secara taat dan aktif.
Masjid, terutama pada ramadlan, dipenuhi para jamaah untuk
beribadah. Gereja, pura, klenteng, dan rumah-rumah ibadat
lain juga dipenuhi para jemaah dalam rangka melaksanakan
ibadat dengan tekun dan giat. Semua fenomena keagamaan itu
menunjukkan adanya penguatan akidah pada setiap komunitas
agama di Indonesia.83
Dengan melihat fakta dan realitas tersebut di atas yang
di dalamnya mengandung unsur nilai-nilai kebenaran,
maka optimis bahwa rembesan pengaruh sekulerisme
terhadap masyarakat Indonesia dapat dikurangi, bahkan
dibendung.84 Sehingga secara ideologis, Pancasila pada
tataran pemerintahan dan kenegaraan dapat dijadikan
tameng untuk menangkal sekularisme.85 Sehingga secara
teologis, akidah-akidah dan doktrin-doktrin agama yang
dipraktikkan secara benar oleh komunitas-komunitas
agama di Indonesia dapat berfungsi menangkal sekularisme
pada tataran sosial, kebudayaan, dan kemasyarakatan.86
Noer, Pemikiran, 2-9.
Dalam konteks ini, pendiri negara Indonesia menentukan pilihan yang
khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan agama.
Pancasila sila pertama, ”Ketuhanan yang Maha Esa”, dinilai sebagai paradigma
relasi negara dan agama yang ada di Indonesia. Selain itu, melalui pembahasan
yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi sampailah
pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur rakyat dan bangsa
Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras agama nampaknya
Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja bentuk negara
sebagaimana yang ada di dunia. (Kaelan, 2009: 24)
85
Gunaryo, Pergumulan, 19-26.
86
Ibid. Dan Faisal Ismail, “Warning dari Paus Benedict” diakses pada 20
November 2012 dari, .
83
84
110
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
Senada argumentasi di atas Arrafat87 juga menjelaskan
bangsa Indonesia nampak kejelasannya, bahwa kemerdekaan
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945
bukan semata-mata perjuangan rakyat namun semua itu
merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Pendek kata,
sejak negara Indonesia lahir sudah didasari oleh nilai-nilai
Ketuhanan.88 Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia
keempat dinyatakan secara tegas bahwa ”Kemerdekaan
Indonesia adalah berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.
Selain itu, dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1)
diperkuat lagi pengakuan negara atas kekuatan Tuhan yang
menyatakan bahwa negara berdasakan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Realitas demikian memperjelas argumentasi
bahwa Indonesia bukan negara sekuler.89
Atas dasar pemaparan dari atas hingga di sini dapat
dipahami bahwa, Indonesia bukan negara agama dan juga
bukan negara sekuler melainkan negara hukum berdasarkan
Pancasila. Hukum menjadi panglima, dan kekuasaan
tertinggi adalah hukum. Artinya bahwa Undang-undang
dibuat oleh lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari berbagai suku, etnis,
agama, jenis kelamin dan sebagainya. Hukum di Indonesia
Yasir Arrafat, Relasi Agama dan Negara, diakses pada 20 November 2012
dari, http://ressay.wordpress.com/2011/04/02/relasi-negara-dan-agama/
88
Sesuai dengan prinsip Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan agama diperlakukan sebagai
salah satu pembentuk cita negara (staasidee). Namun hal itu bukan berarti
bahwa Indonesia merupakan negara teokrasi. Relasi yang terjalin antara negara
Indonesia dan agama ialah relasi yang bersifat simbiosis-mutualistis di mana
yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan
kerohanian yang dalam sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.
(Gunaryo, 2006: 20-40). Gunaryo, Pergumulan.
89
Gunaryo, Pergumulan, 23-27.
87
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
111
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
tidak dibuat oleh kelompok agama. Jadi agama tidak pernah
mengatur negara, begitu juga sebaliknya negara tidak
semestinya mengatur kehidupan beragama seseorang.90
Meskipun demikian, implementasi relasi agama dan negara
di Indonesia bisa saling mengisi mengingat adanya pluralitas
bangsa Indonesia.91
Dengan mencermati pemaparan demikian, maka baik
secara historis maupun secara yuridis, negara Indonesia dalam
hal relasi agama, hukum dan politik menggunakan paradigma
Pancasila, yaitu paradigma yang berorientasi ketuhanan,
kemanusiaan dan kemasyarakatan keadilan social.92 Sehingga
sangat tepat ketika Mahfud93 menyebut Pancasila merupakan
suatu konsep prismatik. Suatu konsep yang mengambil segisegi yang baik dari dua konsep yang bertentangan yang
kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga
Dalam konteks kenegaraan yang lebih luas, penataan hubungan antara
agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling
mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara
untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap
warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama
yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta
dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya
kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan
praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh
peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin
dan dilindungi negara. (Gunaryo, 2006: 19-40). Gunaryo, Pergumulan.
91
Azizy, Reformasi, 175-182.
92
Arief, Beberapa, 3-10.
93
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,”
diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ +
KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl =
id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd
S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5
xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv
Ck-Uo2UVEw
90
112
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
dapat selalu diaktualisasikan dengan kenyataan masyarakat
Indonesia dalam setiap perkembangannya.94
Berpijak dari argumentasi diatas, maka negara Indonesia
bukan negara agama yang hanya mendasarkan diri pada satu
agama saja, tetapi negara Pancasila juga bukan negara sekuler
karena negara sekuler tidak terlibat dalam urusan agama.
Negara Pancasila adalah sebuah religions nation state yakni
sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan
memfasilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh
rakyatnya tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk.95
Sehingga dapat dimaklumi bahwa Indonesia memang bukan
negara sekuleristik.96 Karenanya Pancasila sebagai paradigma
Azizy, Reformasi, 52-61.
Gunaryo, Pergumulan, 19-27. Dan Yasir Arrafat, Relasi Agama dan Negara,
diakses pada 20 November 2012 dari, http://ressay.wordpress.com/2011/04/02/
relasi-negara-dan-agama/
96
Menurut Arrafat (2012: 2-19) paradigma ini menolak kedua paradigma di atas.
Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama
atas negara dan pemisahan negara atas agama. Negara dan Agama merupakan dua
bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan
intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif
yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia
melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama. Paradigma
ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara
sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan
manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan
manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai
dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak
berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma
tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan
antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan
warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara
tidak intervensif dalam urusan-urusan Agama (Syari’at). Yasir Arrafat, Relasi
Agama dan Negara, diakses pada 20 November 2012 dari, http://ressay.wordpress.
com/2011/04/02/relasi-negara-dan-agama/
94
95
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
113
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
perpaduan antara bangunan negara agama dan negara sekuler
dalam kompromi politis yang saling menguatkan.
B. Hukum Islam dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia
Mengkaji hukum Islam dalam konteks tata hukum
Indonesia sungguh menimbulkan persoalan hukum yang unik
jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini karena term
hukum Islam merupakan term khas yang berlaku di Indonesia.97
Kajian demikian semakin menimbulkan ketegangan ketika
hukum Islam dikembangkan dalam konteks ketatanegaraan
yang bukan negara Islam tetapi mayoritas penduduk muslim
dalam bingkai demokrasi Pancasila yang substansinya secara
yuridis harus mengakomodasi semua nilai yang berkembang
dan mengakar dalam masyarakat yang sangat pluralis.98 Karena
luasnya pengertian hukum Islam dalam konteks Indonesia,
maka Rofiq99 menjelaskan hukum Islam sebagai gabungan dari
dua kata, hukum dan Islam yang dipahami sebagai hukum yang
diturunkan Allah melalui Rasul-Nya untuk disebarluaskan dan
dipedomani umat manusia guna mencapai tujuan hidupnya,
selamat di dunia dan sejahtera di akhirat.100 Di dalamnya
mengandung pengertian bahwa hukum Islam kalau di Barat di
kenal dengan Islamic law atau Islamic yurisprudens yang berarti
syariat dan atau fiqh. Syariat dan atau fiqh yang digabung
dengan satu term menjadi hukum Islam ini hanya berlaku dan
Rofiq, Pembaharuan, 13.
Ibid., 20-25.
99
Ibid., 21-22.
100
Dalam konteks demikian, Rofiq (2001: 33-39) juga menjelaskan perlunya
hukum Islam dipahami secara cermat kontekstual dalam dinamika perkembangan
sosial masyarakat. Gagasannya menawarkan hukum Islam sebagai kontrol sosial
dan rekayasa sosial merupakan langkah kompromis serta politis dalam konteks
pembaharuan hukum Islam Indonesia dengan tetap mempertimbangkana spirit
hukum Islam untuk kemashlahatan umum dan kemanusiaan. Rofiq, Pembaharuan.
97
98
114
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
dipakai dalam kontek studi Islam di Indonesia. Pendek kata
hukum Islam merupakan terminologi yang ambigu antara fiqh
dan syariat.101
Hukum Islam yang dipahami sebagai gabungan dari fiqh
dan syariat dalam konteks Indonesia jika kembangkan dalam
ketatanegaraan dalam negara yang bukan agama dan juga bukan
sekuler, maka hukum Islam akan menemukan beberapa kendala
antara lain paradoks dalam implementasinya. Hukum Islam
(baca syariah) tentu berbeda dengan Hukum Islam (baca fiqh).
Masing-masing dari fiqh dan syariah mempunyai pemahaman
yang jelas berbeda yang tidak bisa dicampuradukkan. Syariah
lebih seragam sedangkan fiqh cenderung beragam, syariah atas
wahyu sedangkan fiqh atas akal, syariah cenderung otoriter
sedangkan fiqh cenderung liberal, syariah cenderung normatif
sedangkan fiqh cenderung dinamis.102
Berpijak dari pemaparan demikian, maka pembaharuan
hukum Indonesia yang berorientasi pada positivisasi hukum
Islam sesungguhnya merupakan kajian serius terkait
memposisikan Hukum Islam mana yang dipositifkan. Peryataan
demikian tentunya wajar dan sangat lumrah serta dapat diterima
sesuai dinamika keilmuan hukum yang meniscayakan adanya
perubahan sesuai perubahan sosial masyarakat dari waktu ke
waktu. Hal ini karena menurut Ka’bah103 bahwa dalam substansi
Islam terkait positivisasi hukum Islam perlu gabungan antara
pendekatan kultural dan struktural. Pendekatan struktural,
sebagaimana dinyatakan Ka‘bah, menginginkan penegakan
syariat yang terstruktur dalam sistem hukum nasional dengan
hukum subtansial dan hukum acara yang jelas dan penegakan
yang jelas melalui lembaga penegakan hukum. Sementara
Rofiq, Pembaharuan, 13-20.
Ibid., 25-30.
103
Ka’bah, Percakapan, 9-35.
101
102
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
115
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
pendekatan kultural menginginkan penegakan syariat tumbuh
dari pembiasaan masyarakat melalui usaha persuasif seperti
pendidikan, percontohan yang baik dan lain-lain sesuai dengan
pengertian ad-dīn (agama) itu sendiri yang secara bahasa berarti
ketaatan, ketundukan, dan ketakutan individu kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Membicarakan hukum Islam di tengah-tengah hukum
nasional, maka perhatian utama mengarah pada kedudukan
hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Meminjam teori
ar-Raisūni104 tentang umat adalah pondasi dasar dalam arti
sebagai tujuan utama dasar pembangunan, maka sistem hukum
Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarah hukum
yang mempunyai sifat majemuk merupakan potensi khas yang
perlu direspon.105
Atas dasar kajian inilah negara Indonesia hingga dewasa
ini masih terus mendiskusikan persoalan hukum terkait
pembangunan sistem hukum nasionalnya yang masih pro dan
kontra khusunya terkait eksistensi hukum Islam dalam sistem
hukum nasional. Penjelasan demikian karena sampai sekarang
negara Republik Indonesia masih memberlakukan beberapa
sistem hukum yang mempunyai corak dan susunan warisan
Barat dan Belanda sejak awal kemerdekaan hingga sekarang.106
al-Raisūnī, al Ummat, 10-11.
Hal ini senada dengan Rahardjo (2003: 32-38) yang menjelaskan perlunya
pembangunan hukum itu sesuai dengan nilai dinamis yang berkembang dalam
suatu masyarakat.
106
Sehingga kalau membicarakan sistem hukum Indonesia perlu mengetahui
dan memahami bahwa sistem hukum dimaksud adalah yang berasaskan Pancasila.
Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman terhadap Undang-Undang Dasar
1945, undang-undang dan peraturan lainnya. Oleh karena itu, Pancasila sebagai
norma fundamental negara membentuk norma-norma hukum bawahannya secara
berjenjang. Norma hukum yang di bawah terbentuk berdasar dan bersumber pada
norma hukum yang lebih tinggi, sehingga tidak terdapat pertentangan antara norma
hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya.
104
105
116
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem hukum tersebut adalah sistem hukum Adat, sistem
hukum Islam dan sistem hukum Barat.107
Menurut Amal108 sejak awal kehadiran Islam pada abad
ke tujuh masehi, tata hukum Islam sudah dipraktikkan
dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan
peradilan Islam.109 Menurutnya, Hamka pemikir Islam waktu
Hal itu, menunjukkan bahwa Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) dalam
kehidupan hukum bangsa Indonesia di satu pihak dan di pihak lain sebagai sistem
norma hukum yang menjadi norma fundamental negara dan aturan tertulisnya
terdapat dalam pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945,
menunjukkan bahwa cita hukum menjadi bintang pemandu (Leitstern) dan sistem
norma hukum yang terdiri atas berbagai jenjang norma hukum yang mengatur
secara riil dan konkrit perilaku kehidupan hukum rakyat Indonesia. Keduanya
dilahirkan bersamaan dan dari satu induk pula, yaitu konsensus para pendiri
negara Republik Indonesi (Ayu, 2012: 1). Kesuma Riana Ayu, “Eksistensi Hukum
Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari, http: //
riana. tblog. com/ post/ 1969986906
107
azizy, Eklektisisme, 20-25.
108
Amal, Politik, 26-48.
109
Menurut Muhadjirin (2012: 2-15), pada 1400 tahun terakhir sejarah
negara Islam, dikenal dengan administrasi peradilannya, dan kemampuannya
melindungi hak-hak rakyat dan hal inilah yang sangat berbeda dengan seluruh
aspek kehidupan bangsa lainnya baik secara pribadi maupun politik. Ada dua
kelompok yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan Islam dalam
berbagai hal yakni: Khalifah dan Qadhi (hakim). Khalifah menjalankan hukumhukum Islam dan menerapkannya kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim
mengambil putusan-putusan secara Islami untuk kondisi-kondisi yang berbeda
berdasarkan sumber-sumber (seperti Al-Qur`an, As Sunnah dan segala sesuatu
yang berasal dari keduannya) dan menggunakannya. Karena itu peradilan
merupakan salah satu pilar yang fundamental dalam negara Islam dan diatas
hal inilah sistem pemerintahan disandarkan sebagai bagian Implementasi Islam
dalam kehidupan politik. Dalam negara Islam telah ada sebuah peradilan yang
senantiasa menjalankan keadilan dan menghukum siapa saja yang patut dihukum
ditengah- tengah masyarakat untuk memastikan bahwa Islam telah ditaati secara
terus-menerus. Sistem peradilan ini tidak ada yang bertentangan dengan Islam
malah ia berasal dari aqidah Islam dan membentuk satu kesatuan yang padu
dalam pandangan hidup Islam, ditambah dengan Sistem Islam yang lain seperti
Sistem Ekonomi (Iqtisad), dan ritual (ibadah) yang saling menyempurnakan satu
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
117
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
itu mengajukan fakta berbagai karya ahli hukum Islam
Indonesia, misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim,
Sabil al-Muhtadin, Kartagama dan lainnya, namun semua
karya tulis tersebut masih bercorak pembahasan fiqih,
masih bersifat doktrin hukum dan sistem fiqih Indonesia
yang berorientasi kepada ajaran Imam Mazhab.
Pada era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan
Islam, Peradilan Agama sudah hadir secara formal. Ada yang
bernama peradilan penghulu seperti di Jawa, Mahkamah
Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera, dan Peradilan
Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun sangat
disayangkan, walaupun pada masa Kesultanan telah berdiri
secara formal peradilan Agama serta status ulama memegang
peranan sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun
suatu buku hukum positif yang sistematik. Hukum yang
diterapkan masih abstraksi yang ditarik dari kandungan
doktrin fiqih.110
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1760 VOC
memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun hukum yang
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium
ini dijadikan rujukan hukum dalam menyelesaikan sengketa
yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah yang
dikuasai VOC. Penggunaan Compendium Freijer tidak
berlangsung lama. Pada tahun 1800, VOC menyerahkan
kekuasaan
kepada
Pemerintah
Hindia
Belanda.
Bersamaan dengan itu lenyap dan tenggelam compendium
sama lain. Muhammad Aziz Muhadjirin, Sistem Peradilan Dalam Islam”, akses
pada 24 November 2012 dari, http: // muhammadaiz. wordpress. com/ materi –
peradilan – islam – di - indonesia/
110
Gunaryo, Pergumulan, 23-40. Dan M. Sularno, ” Syari’at Islam Dan Upaya
pembentukan Hukum Positif di Indonesia,” diakses pada 05 Oktober 2012, dari
http: / /journal. uii. ac. id/ index. php/ JHI/ article/ viewFile/ 245/240
118
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
itu. Lahirlah politik hukum baru, yang didasarkan atas
teori resepsi atau teori konflik Snouck Hurgronje dan van
Vollenhoven. Sejak itu secara sistematik, dengan senjaga
hukum Islam dipencilkan. Sebagai gantinya digunakan
dan ditampilkan hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda
mencoba melaksanakan hanya dua sistem hukum yang
berlaku, yaitu hukum adat untuk golongan Bumiputera dan
hukum barat bagi golongan Eropa.111
Upaya paksaan untuk melenyapkan peran hukum Islam,
terakhir ditetapkan dalam Staatsblad 1937 Nomor 116.112
Sementara Rofiq (2001) menjelaskan keadaan hukum perdata Indonesia
dapat katakan masih bersifat majemuk, masih beraneka warna. Ada dua faktor
penyebab keanekaragaman tersebut; pertama, faktor ethnis disebabkan
keanekaragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara Indonesia terdiri
dari beberapa suku bangsa. Kedua, faktor yuridis yang dapat dilihat, yang pada
pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu;
golongan eropa dan yang dipersamakan. Golongan bumi putera (pribumi/ bangsa
Indonesia asli) dan yang dipersamakan. Golongan timur asing (bangsa cina, India,
arab). Sementara pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan
bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas. Adapun
hukum yang diperlakukan bagi masing-masing golongan yaitu; bagi golongan
eropa dan yang dipersamakan berlaku hukum perdata dan hukum dagang barat
yang diselenggarakan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negara
belanda berdasarkan azas konkordinasi. Bagi golongan bumi putera dan yang
dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak lama berlaku
di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum
tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat. Bagi golongan timur asing
berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan bumi putera dan
timur asing diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hukum eropa barat
baik secara keseluruhan maupun untuk macam tindakan hukum tertentu.
112
Terkait persoalan ini, Gunaryo (2006) menjelaskan bahwa abad 19 dan 20
merupakan masa-masa dimana puncak imperialisme terjadi. Pada pada kurun
waktu itu, bangsa imperialis barat yang haus kekuasaan seperti Inggris, perancin
dan lain-lainnya telah merajalela di mana-mana terutama di Asia dan Afrika,
mengancam negara-negara berdaulat untuk dijadikan wilayah kekuasaan Eropa.
Belanda sendiri jauh sebelum abad 19 dan 20, telah menapakkan kaki imperialisme
di nusantara. Ketika pertama kali menapakkan kakinya di nusantara, Belanda
111
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
119
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Aturan ini merupakan hasil usaha komisi Ter Haar, yang di
dalamnya memuat rekomendasi; pertama, hukum kewarisan
Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Kedua,
mencabut wewenang Peradilan Agama (Raad Agama) untuk
mengadili perkara kewarisan, dan wewenang ini dialihkan
kepada Landraad. Ketiga, pengadilan Agama ditempatkan di
bawah pengawasan Landraad. Keempat, putusan Pengadilan
Agama tidak dapat dilaksanakan tanpa Executoir Verklaring
dari ketua Landraad.113
Setelah Indonesia merdeka, melalui UUD 1945 seluruh
peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori
receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan
UUD 1945. Teori Receptie harus dihilangkan karena bertentangan
dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Hazairin menyebut teori
Receptie sebagai teori Iblis. Sehingga berdasarkan pendapatnya
ini, Hazairin mengembangkan teori yang disebutnya sebagai
teori receptie exit.114
Pokok-pokok pikiran Hazairin sebagaimana dikutip
Ahmad Rofiq menjelaskan beberapa hal terkait perkembangan
hukum Islam di Indonesia; yaitu; pertama, teori receptie
telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia
sejak tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia
dan mulai berlakunya UUD 1945. Kedua, sesuai dengan
UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 maka negara Republik Indonesia
mendapati kenyataan bahwa sebagian besar penduduk nusantara beragama Islam.
Sistem sosial Islam telah berjalan. Lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti
Peradilan Agama dan Hukum Islam telah mapan (Well established). Raffles, Gubenur
Inggris, selama memerintah di Indonesia sebagai pemerintah jajahan mengamati
bahwa agama yang telah mapan di Indonesia adalah agama Islam. Hukum Islam
telah diterapkan oleh para penghulu atau kiai yang dimintai pendapat dan
keputusan dalam kasus-kasus perkawinan, perceraian, dan kewarisan.
113
Gunaryo, Pergumulan, 25-45. Dan Rofiq, Pembaharuan, 13-50.
114
Rofiq, Pembaharuan, 68.
120
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia yang
bahannya berupa hukum agama. Ketiga, hukum agama yang
masuk dan menjadi hukum nasional bukan hukum Islam
saja tetapi semua agama sesuai pemeluknya. Hukum agama
bidang perdata dan pidana diserap menjadi hukum nasional,
sehingga menetapkan Indonesia berdasarkan Pancasila.115
Selain Hazairin, tokoh yang juga menentang teori receptie
adalah Sayuti Thalib yang menulis buku Receptie a Contrario:
Hubungan Hukum Adat dengan hukum Islam.116 Menurut
Ali117 teori ini mengandung sebuah pemikiran bahwa, hukum
adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Melalui teori ini jiwa pembukaan dan UUD 1945 telah
mengalahkan Pasal 134 ayat 2 indische staatsregling. Menurut
Ibid.
Menurut Tahlib (1982: 17-27) bahwa perkembangan hukum Islam dari
segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di
Indonesia. Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang
kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian
terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan
mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum
Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin,
dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan
dengan agama Islam dan hukum Islam. Teori ini disebut teori reception a contrario
karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive. Sayuti Thalib berpendirian
bahwa di Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945,
semestinya orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya,
atuaran-aturan itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan
dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan
dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma
adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat
diberlakukan. Sajuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan
Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1982).
117
Mohammad Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), 116-118.
115
116
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
121
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Sunny118 setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku
sebagai dasar negara kendati tanpa memuat ketujuh kata dari
Piagam Jakarta maka teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi
dan kehilangan dasar hukumnya.119 Selanjutnya, Hukum Islam
berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam sesuai
dengan pasal 29 UUD 1945. Masa ini disebut Sunny sebagai
periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber Persuasif,
persuasive source.120 Penjelasan ini mengandung pengertian
bahwa hukum Islam diterima setelah mengalami penyesuaian
dengan nilai dan budaya mayarakat dalam proses akulturasi.
Sunny, Tradisi, 35-48.
Dalam hal ini Rambe (2012: 1-3) menjelaskan bahwa berdasarkan sejarah
hukum Islam di Indonesia tokoh hukum Islam, Hazairin mengembangkan teori
yang disebutnya sebagai teori receptie exit. Pokok-pokok pikiran Hazairin
tersebut adalah; 1) Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata
negara Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan
mulai berlakunya UUD 1945, 2) Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 maka
negara Republik Indonesia berkewajiban, membentuk hukum nasional Indonesia
yang bahannya hukum agama. Negara mempunyai kewajiban kenegaraan untuk
membentuk hukum berdasarkan agama, 3) Hukum agama yang masuk dan menjadi
hukum nasional Indonesia bukan hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama
lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di bidang hukum perdata diserap dan
hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Sehingga hukum hukum
baru yang berkembang di Indonesia dengan tetap berdasar Pancasila. Di samping
Hazairin, seorang tokoh yang juga menentang teori receptie adalah Sayuti Thalib
yang menulis buku Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum
Islam. Teori ini mengandung sebuah pemikiran bahwa, hukum adat baru berlaku
kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Melalui teori ini jiwa pembukaan
dan UUD 1945 telah mengalahkan Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregling itu.
Menurut Ismail Sunny setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku sebagai
dasar negara kendati tanpa memuat ketujuh kata dari Piagam Jakarta maka teori
receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya. Rambe,
Mara Sutan, 2012, “Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Pidana Nasional”
diaskses pada 21 November 2012 dari, http: // msrambe. wordpress. com/ 2012/ 06/
21/ proses – akomodasi – hukum – islam – kedalam – hukum – pidana - nasional/
120
Praja, Hukum, 25-39.
118
119
122
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
Sedangkan dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam
Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka era ini dapat
dikatakan era penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif
(authoritative source). Penjelasan ini mengandung pengertian
bahwa hukum Islam dengan normatifnya mempunyai kekuatan
untuk dipaksakan serta diberlakukan dalam suatu masyarakat
tanpa membutuhkan proses akulturasi. Sering kali disebut
bahwa Piagam Jakarta menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan
merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.
Kata menjiwai bisa bermakna negatif dalam arti tidak boleh
dibuat perundang-undangan dalam negara RI yang bertentangan
dengan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif
maknanya adalah pemeluk-pemeluk yang beragama Islam
diwajibkan menjalankan syari’at Islam.121
Atas dasar pemaparan demikian, maka diperlukan
undang-undang yang memperjelas menaungi secara yuridis
atas pemberlakuan hukum Islam dalam hukum nasional yang
121
Menurut Qodri Azizy, nilai ketuhanan berupa nilai agama merupakan nilai
yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia. Karena masyarakat
Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki
peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional. Terdapat
beberapa ahli hukum yang sudah memberikan pemikirannya tentang sistem
hukum Indonesia yang berdimensi Ketuhanan. Dalam hal ini, Azizy menawarkan
konsep eklektisisme hukum nasional. Eklektisisme diartikan sebagai suatu sistem
(agama atau filsafat) yang dibentuk dengan secara kritis memilih dari pelbagai
sumber dan doktrin. Membentuk hukum nasional dengan secara kritis memilih
unsur-unsur dari doktrin hukum yang memang berlaku di Indonesia. Lebih jauh
Azizy menolak adanya dikotomi hukum yakni antara hukum Islam dengan hukum
positif. Inti yang dikemukakan oleh Qodri Azizy adalah bahwa hukum Islam dapat
menjadi hukum nasional, bukan hanya melalui pendekatan normatif, namun juga
akademik dan analisis. Hukum Islam yang mempunyai janji untuk menegakkan
dan mewujudkan kemaslahatan umat semestinya harus mampu mengisi hukum
nasional. memperingatkan dengan mempertegas konsepsi hukum Islam itu
sendiri untuk menghindari kesalahfahaman atas apa yang dimaksud dalam Islam
sesuai perkembangan sosial (Azizy, 2003: 160-185). Azizy, Eklektisisme.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
123
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
kemudian langkah tersebut perlu strategi politik melalui
legislasi atau positivisasi hukum Islam. Sehingga keberdayaan
hukum Islam mecerminkan adanya peranan politik hukum
dinamis sesuai hukum yang berkembang di Indonesia.
Akhirnya hal ini berpengaruh terhadap tatanan sistem hukum
Indonesia yang memberi peluang besar terhadap hukum
Islam dalam mewarnai pembangunan hukum nasional.122
1. Hukum Islam dan Hukum Positif
Kata hukum Islam123 menurut Rofiq124 tidak ditemukan
dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada
dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan
Azizy, Eklektisisme, 165-178.
Menurut Azizi (2003: 28-43) hukum Islam dipahami hukum syar’i, dalam
banyak istilah disebut hukum syara’ atau hukum syari’at atau hukum syari’ah, dan
oleh dalam masyarakat Indonesia lebih dikenal sebagai hukum Islam adalah salah
satu sub sistem hukum yang berlaku di negara Indonesia dan menjadi unsur yang
membentuk (sumber bahan hukum) sistem hukum nasional Indonesia. Disamping
itu ada dua sub sistem hukum lagi sebagai sumber bahan hukum yaitu hukum
barat dan hukum adat. Secara lughawi (etimologis) syari’at berarti jalan ke tempat
pengairan atau jalan yang sesungguhnya harus dituruti. Syari’at juga berarti tempat
yang akan dilalui untuk mengambil air di sungai. Maka dapat ditegaskan di sini
syari’at adalah segala aturan Allah yang berkaitan dengan amalan manusia yang
harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum atau aturanaturan yang berasal atau dibangsakan kepada syari’at tersebut disebut hukum syar’i.
Sedangakan syari’at/syari’ah dalam pengertian terminologis adalah seperangkat
norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt, hubungan
manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya. Di
dalam ajaran Islam sendiri tidak dikenal istilah hukum Islam (hanya merupakan
istilah khas di Indonesia). Dalam Alquran dan Sunnah istilah hukum islam (al-hukm
al-islam) tidak ditemukan. Namun yang lazim digunakan adalah kata hukum syar’i,
hukum syara’, syari’at Islam, yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah
fiqh, artinya adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari
padanya (secara terminologis). Azizy, Eklektisisme.
124
Rofiq, Pembaharuan, 20-25.
122
123
124
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan
terjemahan dari term Islamic Law dari literatur Barat. Dalam
penjelasan tentang hukum Islam dari literatur Barat ditemukan
definisi hukum Islam yaitu keseluruhan kitab Allah yang
mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya.
Dari definisi tersebut, arti hukum Islam jelas berbeda dengan
hukum positif karena lebih dekat dengan pengertian syariah.125
Hasbi Asy-Syiddiqy sebagaimana dikutip Rofiq126
memberikan definisi hukum Islam dengan koleksi daya
upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Pengertian hukum Islam dalam definisi
ini mendekati kepada makna fiqh.127 Untuk lebih memberikan
125
Menurut Rofiq (2001: 23-45) dalam kehidupan sehari-hari hukum Islam
sering dikenal dengan kata Fiqih Islam atau Syari’at. Kedua kata tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan tentang ajaran agama Islam yang memenuhi
aspek-aspek hukum. Antara kata Fiqih dan Syari’at dalam penggunaan sehari-hari
tidak ada perbedaan arti, padahal kalau dikaji secara mendalam kedua kata tersebut
mempunyai arti yang berbeda. Kata syari’at itu sendiri mencakup seluruh ajaran
Islam, yang menyangkup ibadah, muamalah, ahklak ataupun Fiqih itu sendiri, yang
semuanya bersumber dalam al Qur’an. Sedangkan Fiqih hanya sebagian dari Syari’ah
tersebut. Menurut para Ulama Syari’ah adalah hukum- hukum yang berasaldari
Allah untuk para hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh Nabi Muhammad melalui
wahyu. Menurut istilah Syari’ah itu berarti jalan yang harus diikuti oleh umatIslam.
Menurut istilah, Syari’ah adalah aturan-aturan yang digariskan Allah agar manusia
berpegang kepada-Nya, di dalam hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, manusia
dengan saudaranya sesama muslim, dengan alam dan didalam hubungannya dengan
kehidupannya. Jadi dapat diketahui bahwa Syari’at adalah semua yang difirmankan
Allah baik yang diperintahkan maupun yang dilarang yangberhubungan dengan
perbuatan setiap umat muslim dalam menjalanikehidupan. Rofiq, Pembaharuan.
126
Rofiq, Pembaharuan, 22-25.
127
Sedangkan Fiqih menurut bahasa berarti memahami, mengetahui
danmendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Sedangkan menurut
istilah Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliah (mengenai
perbuatan perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqih adalah
ilmu yang dihasilkan oleh pikiran ijtihad (penelitian) dan memerlukan wawasan
perenungan mendalam (Rofiq, 2001: 24-38). Rofiq, Pembaharuan.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
125
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu diketahui lebih
dahulu arti dari kata hukum. Sebenarnya tidak ada arti yang
sempurna tentang hukum apalagi terkait dengan persoalan
hukum Islam. Bila hukum dihubungkan dengan Islam, maka
hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan
wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam. Dari definisi yang
dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam
mencakup Hukum Syari’ah dan hukum fiqh, karena arti syara,
dan fiqh terkandung di dalamnya.128
Terkait hukum Islam, Trikanti129 menjelaskan bahwa
para ulama fiqh, ushul fiqh menetapkan defenisi hukum
Islam antara lain sebagai berikut:
Al-Baidhawi menjelaskan hukum Islam sebagai firman
Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf,
baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadh’i.
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan sebagai firman Allah
yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang
bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan
mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung
tuntutan perintah dan larangan atau menerangkan pilihan
kebolehan memilih atau menjadikan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau penghalang terhadap suatu hukum. Hal ini juga
dijelaskan Syatibi (1965) bahwa syari’at dalam literatur
hukum Islam, mempunyai tiga pengertian sebagai berikut:
a. Syariah dalam arti hukum yang tidak dapat berubah
sepanjang masa.
Rofiq, Pembaharuan, 20-30.
Trikanti, “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04
November 2012 dari, http: // trikantii. blogspot. com/ 2011/ 10/ perkembangan –
sistem – hukum - indonesia. html
128
129
126
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
b. Syariah dalam pengertian hukum Islam, hukum syar’i,
baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun yang
berubah sesuai perkembangan zaman.
c. Syari’ah dalam pengertian hukum yang terjadi
berdasarkan istinbath dari al-Qur’an dan al-Sunnah
(fiqh), yaitu hukum yang diinterpretasikan oleh para
sahabat Nabi saw, hasil ijtihad dari para mujtahid dan
hukum-hukum yang dihasilkan oleh ahli hukum Islam
melalui metode qiyas dan metode ijtihad lainnya.130
Dengan argumentasi demikian hukum syar’i adalah
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia mukallaf
dalam bidang fiqh Islam (syari’ah), bukan hukum berkaitan
dengan akidah dan akhlak. Karena syari’ah Islam secara luas
meliputi meliputi aqidah, iman, sistem keyakinan, syari’ah
Islam, sistem hukum, akhlak, ihsan dan sistem moral.131
Pada dimensi lain penyebutan hukum syar’i selalu
dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik
yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang
belum. Jika demikian, maka hukum syar’i bukan lagi sebagai
hukum Islam in absracto pada tataran fatwa atau doktrin
melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto pada
tataran aplikasi dan pembumian. Sebab secara formal sudah
dinyatakan berlaku sebagai hukum positif,132 yaitu hukum
Rofiq, Pembaharuan, 22-35.
Ibid. dan Ahmad al-Raisuni, al Ijtihād, 5-11.
132
Hukum positif merupakan salah satu bagian hukum, ditinjau menurut
waktu berlakunya. Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibagi dalam 3
bagian, yaitu; Ius constitutum (hukum positif), Ius contituendum (hukum asasi),
hukum positif atau bisa dikenal dengan istilah Ius Constitutum, yaitu hukum yang
berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
Singkatnya; Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu,
dalam suatu tempat tertentu. Ada sarjana yang menamakan hukum positif itu
tata hukum. Tata hukum sendiri berasal dari kata bahasa belanda. Dalam bahasa
130
131
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
127
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
yang mengikat dalam suatu tempat tertentu, misalnya di
Indonesia hukum syara’ diterapkan dalam Undang-Undang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang
Zakat dan Wakaf, dan sebagainya. Kata yang sangat dekat
hubungannya dengan perkataan syari’at adalah syara’ dan
syar’i yang diterjemahkan dengan agama.
Oleh karena itu jika berbicara tentang hukum syara’
yang dimaksud adalah hukum agama yaitu hukum yang
ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya, yakni
hukum syari’at meskipun terkadang isinya hukum fiqih.
Dari perkataan syari’at kemudian lahir perkataan tasyrī’,
artinya pembuatan peraturan perundang-undangan yang
bersumber dari wahyu dan sunnah yang disebut tasyrī’
samāwī, dan peraturan yang bersumber dari pemikiran
manusia yang disebut tasyrī’ wadh’ī. Dengan demikian
argumentasi yang mengatakan adanya perbedaan antara
hukum Islam, syari’ah dan tasyrī’ dapat diterima dengan
porsinya masing-masing.133
Dengan mencermati ragam definisi serta argumentasi para
ulama fiqh tentang kriteria penetapan sesuatu sebagai hukum
syar’i, maka dapat dikatakan bahwa; pertama, menurut ulama
ushul fiqh, bahwa nash, teks dari pembuat syara’ (Allah dan
Rasul-Nya) itu yang dimaksud dengan hukum syar’i. Dalam
al Qur’an, Q. S. Al-Baqarah (2): 10, ÑÝv»A AÌÀγAË (dirikanlah
shalat). Di sini, perkataan aqīmū al- ṣalāh itulah yang menjadi
Belanda recht orde ialah susunan hukum, artinya memberikan tempat yang
sebenarnya kepada hukum. Yang dimaksud “memberikan tempat yang
sebenarnya” yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam
pergaulan hidup. Itu dilakukan supaya ketentuan yang berlaku, dengan mudah
dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa
hukum (Kansil, 2008).
133
Rofiq, Pembaharuan, 23-43.
128
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
hukum syar’i. Kedua, menurut ulama Fiqh, bukan nash itu
yang dimaksud dengan hukum syar’i, melainkan efek dari
kandungan perkataan aqim al-ṣalāh itu yang mengakibatkan
terjadinya hukum syar’i.134 Terkait hukum syar’i, ulama ushul
fiqh mengatakan bahwa firman (perintah wajib shalat) itulah
yang dikatakan hukum syar’i, berbeda dengan ahli fiqh yang
mengatakan bahwa kewajiban shalat itu yang dikatakan hukum
syar’i. Hukum syar’i/syara’ di Indonesia sering dipakai istilah
hukum Islam yaitu kata yang tidak dikenal dalam ajaran Islam
sendiri, tetapi istilah yang dipakai adalah hukum syar’i, hukum
syara’, hukum syari’at, hukum syari’ah, syari’at Islam atau fiqh
dan hukum Islam.135
Kalau berbicara tentang hukum Islam di Indonesia,
maka yang dimaksud adalah bagaimana hukum yang
berlandaskan hukum syar’i itu diterapkan terhadap peristiwaperistiwa hukum yang terjadi pada kaum muslimin.136
Berbagai pendapat ulama dalam mendefinisikan hukum
syar’i pada prinsipnya sependapat bahwa hukum syar’i
adalah perintah Allah terhadap manusia dalam menjalankan
134
Trikanti, “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04
November 2012 dari, http: // trikantii. blogspot. com/ 2011/ 10/ perkembangan –
sistem – hukum - indonesia. html
135
Rofiq, Pembaharuan, 20-25.
136
Menurut Azizy (2002) hukum Islam merupakan salah satu hukum yang hidup
(living law) dan merupakan bagian dari tiga sistem hukum yang ada di Indonesia.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (kurang lebih 88 %)
sudah barang tentu teradapat nilai ataupun norma agama bersamaan dengan hadirnya
agama tersebut. Dinamisasi hukum Islam pastilah akan berpengaruh terhadap proses
maupun interaksi sosial. Begitu juga dengan status sosial, dikarenakan norma yang
terserap hasil dari interaksi antara agama dengan masyarakat tersebut memunculkan
implikasi terhadap proses sosial yang terjadi di Indonesia (misalnya pengaruh
seoarang kyai sebagai tokoh masyarakat). Pengaruh yang dihasilkan melalui jalur
status sosial, realitas yang terjadi di Indonesia terkadang terjadi kontradiktif diantara
para pemegang status yang mengakibatkan rawan konflik.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
129
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
kehidupannya, yang berisi aturan, pedoman dalam berhubungan
dengan Allah swt, sesama manusia dan makhluk lainnya.
Sumbernya berasal dari al Qur’an dan al- Hadits serta ijtihad
para ulama, dan biasanya hanya mencakup masalah fiqhiyyah,
ibadah, bukan aqidah dan akhlak.137
Berdasarkan penjelasan hukum Islam di atas, maka hukum
positif berbeda dengan hukum Islam. Dalam konteks keIndonesiaan hukum positif atau hukum nasional adalah hukum
yang dibuat atau dibangun oleh bangsa Indonesia yang kemudian
menjadi undang-undang dan berlakukan oleh negara untuk
semua komponen bangsa. Hukum positif adalah hukum yang
berlaku setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk
Indonesia, terutama bagi warga negara Republik Indonesia
sebagai pengganti hukum kolonial sesuai kebutuhan bangsa
Indonesia. Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa
Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya
dan agama yang berbeda, ditambah dengan keanekaragaman
hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial dahulu,
bukan pekerjaan mudah, maka wajar hal ini kerap menimbulkan
ambivalensi.138
Pembangunan hukum nasional akan berlaku bagi semua
warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya
harus dilakukan dengan hati-hati, karena di antara agama yang
dipeluk oleh warga negara Republik Indonesia ini ada agama
yang tidak dapat dipisahkan dari hukum.139 Agama Islam,
Ibid., 15-25.
Gunaryo, Pergumulan, 20-30.
139
Terkait pembangunan hukum nasional, menurut Latief (2011:2-5))
menjelaskan bahwa, pasca reformasi yang berlangsung pada bulan Mei Tahun
1998, bangsa Indonesia tengah mengalami perubahan tatanan kehidupan
yang mendasar, sehingga memerlukan suatu tekad dan tujuan bersama untuk
mempertahankan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk
mengembangkan diri dalam mencapai cita-cita luhur para pendiri bangsa (founding
137
138
130
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
misalnya dipahami sebagai hukum agama yang mengandung
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain dan benda dalam masyarakat. Bahwa Islam adalah agama
hukum dalam arti kata yang sesungguhnya. Oleh karena itu,
dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam seperti di Indonesia ini, unsurunsur hukum agama itu harus benar-benar diperhatikan.
Untuk itu perlu wawasan yang jelas dan kebijakan yang arif.140
Karena hukum nasional harus mampu mengayomi dan
memayungi seluruh bangsa dan negara dalam segala aspek
kehidupannya, maka menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh
(1989) dalam merencanakan pembangunan hukum nasional,
wajib menggunakan wawasan nasional yang merupakan
tritunggal yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain,
yaitu; wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan
bhinneka tunggal ika.141
fathers) yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara material dan
spiritual. Gagasan luhur tersebut jika dicermati dengan seksama tetap relevan
dan menjadi isu penting karena bangsa Indonesia harus menemukan nilai-nilai
yang dapat memotivasi, memberi inspirasi dan mempersatukan seluruh elemen
masyarakat dalam mewujudkan cita-cita bersama. Disadari sepenuhnya bahwa
upaya mewujudkan cita-cita tersebut tidak mudah, karena bangsa Indonesia
sangat plural dan heterogen, dengan jumlah penduduk terbesar urut ke empat
dan tersebar luas, sehingga sangat rawan konflik akibat alasan yang sulit
diprediksi dan mendadak. Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas,
Dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).
140
Kesuma Riana Ayu, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari, http: // riana. tblog. com/ post/
1969986906
141
Sebagai Nation (Bhinneka Tunggal Ika), Indonesia yang memiliki penduduk
besar 237 juta jiwa penduduk (sensus Tahun 2010) dan kondisi geografis yang
memiliki kandungan sumber kekayaan alam yang besar merupakan modal
perjuangan yang utama. Dalam perkembangannya, persenyawaan antara kondisi
geografis dan demografis dimaknai dan dirumuskan sebagai sumber jati diri
bangsa, dasar negara dan pandangan hidup bersama (Latif, 2011: 2-3). Latief, Negara.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
131
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Dipandang dari wawasan kebangsaan sistem hukum
nasional harus berorientasi penuh pada aspirasi serta
kepentingan bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan sekarang
bukanlah wawasan kebangsaan yang tertutup, tetapi terbuka
memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang
dan mampu menyerap nilai-nilai hukum modern.142 Selain
itu, berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2011 sangat membantu
terlaksananya Hukum Islam sebagai hukum positif dalam
konteks pembangunan sistem hukum nasional karena
prinsipnya adalah sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat yang prinsip dan aspirasi tersebut telah mengakar
sekian tahun di Indonesia sesuai kesadaran hukum masyarakat.
Karena yang dianut dalam pembangunan hukum
nasional juga wawasan nusantara yang menginginkan
adanya satu hukum nasional, maka usaha unifikasi di
bidang hukum harus sejauh mungkin dilaksanakan. Ini
berarti seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh satu
sistem hukum yaitu sistem hukum nasional. Akan tetapi,
demi keadilan, kata Menteri Kehakiman, hukum nasional
yang akan diwujudkan berdasarkan kedua wawasan itu,
harus juga memperhatikan perbedaan latar belakang sosial
budaya dan kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat.143
Oleh karena itu, di samping kedua wawasan tersebut,
pembangunan hukum nasional harus mempergunakan
wawasan bhinneka tunggal ika. Dengan mempergunakan
wawasan tersebut, unifikasi hukum yang diinginkan oleh
wawasan nusantara itu harus menjamin tertuangnya aspirasi,
Latief, Menyemai, 13-38.
Kesuma Riana Ayu, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari, http: // riana. tblog. com/ post/
1969986906
142
143
132
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
nilai-nilai dan kebutuhan hubungan masyarakat ke dalam
sistem hukum nasional. Dengan wawasan Bhinneka Tunggal
Ika ini, keragaman suku bangsa, budaya dan agama sebagai
aset pembangunan nasional harus dihormati, sepanjang, tentu
saja, tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.144
Dengan menggunakan ragam wawasan secara serentak dan
terpadu dari berbagai asas dan kaidah seperti hukum Islam,
hukum Adat dan hukum Barat, maka proses demikian akan
menjadikan integrasi hukum nasional, baik hukum nasional
yang tertulis maupun hukum nasional yang tidak tertulis atau
hukum kebiasaan.145
Terkait hukum nasional atau hukum positif, maka agama
Islam mempunyai hukum yang secara substansi terdiri
atas dua bidang yaitu; pertama bidang ibadah dan kedua,
bidang mu’amalah. Pengaturan bidang ibadah bersifat rinci,
pengaturan mengenai mu’amalah atau mengenai segala aspek
kehidupan masyarakat tidak bersifat rinci, yang ditemukan
dalam bidang terakhir ini hanya prinsip-prinsipnya saja.
Pembangunan dan aplikasi prinsip-prinsip bidang mu’amalah
itu, diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara
negara dan pemerintahan yakni para ulil amri.146
Karena hukum Islam memegang peranan penting dalam
Latief, Negara, 23-48.
Lebih jauh Latief (2011: 23-48) menjelaskan bahwa persoalan hukum yang
berkembang di Indonesia hendaknya mengakomodir semua aspirasi dari ragam
agama yang tumbuh berkembang di Indonesia. Upaya ini sangat penting sebagai
upaya menjaga sistem demokratisasi yang menjadi pilihan bangsa Indonesia.
Latief, Negara.
146
Sementara menurut Azizy (2003: 64-79) peranan penting yang dimiliki
umat Islam Indonesia bisa menjadi modal besar dalam rangkai mewarnai
pembangunan hukum nasional. Upaya membutuhkan strategi tertentu antara
lain eklektissme, sehingga tanpa ada pihak atau unsure Negara yang dirugikan
secara kelembagaan, proyeksi transformasi hukum Islam tetap berjalan dengan
potensi mayoritasnya. Azizy, Eklektisisme.
144
145
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
133
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
membentuk dan membina ketertiban sosial umat Islam dan
mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik
yang dapat ditempuh adalah mengusahakan secara ilmiah
transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum
nasional, sesuai dengan Pancasila dan Undang- undang Dasar
1945 dan relevan dengan kebutuhan hukum khususnya umat
Islam.147 Penjelasan demikian dapat dibenarkan dengan
mengakui adanya peranan atau kontribusi yang dilakukan
Hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional.
Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum
nasional, hukum Islam telah memberikan kontribusi yang
sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya (Imron, 2008).
Pernyataan ini dapat dibenarkan karena diperkuat oleh
beberapa argumentasi sebagai berikut;
Pertama, UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada Pasal 2 Undang-undang ini, ditulis bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa,
yang dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini adalah
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
Kedua, di dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang telah diratifikasi dengan Undangundang No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa dalam rangka
pembangunan manusia seutuhnya adalah beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani,
mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.148
Latief, Negara, 23-48.
Menurut Syaddad (2012: 3-19) saat undang-undang tersebut baik UUSPN
No. 2 Tahun 1989 dan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 masih berupa Rencana
undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun
147
148
134
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
Ketiga, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang ini membuktikan bahwa Peradilan Agama
sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di
bumi Indonesia. Hal ini membuktikan adanya kontribusi
umat Islam sebagai umat yang mayoritas.
Keempat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak
berbentuk Undang-undang, melainkan Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 namun Kompilasi ini sangat membantu para hakim
dalam memutuskan perkara, terutama di Peradilan Agama.
Kelima, PP No. 28 tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah
Milik, di samping UU No. 5 tahun 1960 sebagai pengaturan pokok
masalah pertanahan di Indonsia. Sebagai pelaksanaannya telah
dikeluarkan juga Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978
tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 tahun 1978.
Peran hukum Islam di Indonesia, menurut Gus Dur149,
agama sebagai etika sosial yang berfungsi komplementer
1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki
adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan
pendidikan yang mengarah pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokohtokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut
RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU
tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan
itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, tenaga pengajar pendidikan
agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta
didik yang bersangkutan. Padahal dalam UU sebelumnya yaitu dalam Pasal 20 UU No
4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang
tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara
menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan
yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama
dengan Menteri Agama. Ahmad Farhan Syaddad, “Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Analisis Terhadap Kebijakan Perubahan UUSPN no 2 Tahun 1989 MenjadiUU
SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003)” akses pada 23 November 2012 dari, http://www.
scribd.com/doc/92938997/ANALISIS-UU-SISDIKNAS
149
Abdul Rahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunan percikan
Pemikiran Gusdur (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1999), 55-76.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
135
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
dalam negara, nilai-nilai dasar Islam bersama nilai-nilai
agama dan pandangan hidup yang lain di tanah air akan
potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk
keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam
pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat
yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang
tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola
hidup yang berdampingan secara damai termasuk dalam
pengembagan pendidikan.150
Sebagai konskuensinya, dalam pelaksanaan program
tersebut telah dikeluarkan beberapa peraturan sebagai
berikut;
1. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang
Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil
Kementerian Agama Propinsi/ setingkat di seluruh
Indonesia untuk mengangkat atau memberhentikan
Kepala KUA Kecamatan sebagai PAIW,
150
Lebih jauh Gus Dur (1999: 55-78) juga menolak hubungan agama dengan
negara dengan beberapa alasan sebagai berikut; pertama, dipilihnya agama
sebagai suplementer dalam kehidupan bernegara akan berakibat pada kecilnya
penghargaan terhadap hak asasi manusia dan tidak akan mendukung tegaknya
kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak dari kiebebasan berbicara dan
berpendapat. Kedua, dalam posisinya yang suplementer hubungan agama dan
negara akan bersifat manipulative, yaitu sekedar menjadikan sumber-sumber
agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan. Ketiga, menolak sebagai idiologi
alternative bagi negara. Karena dalam sebuah negara pluralistik menjadikan
Islam atau agama apapun, sebagai idiologi negara hanya akan memicu
disintegrasi. Sementara negara seperti Indonesia tidak mungkin memberlakukan
nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara yang berasal dari agama
dan pandangan hidup yang berlainan. Keempat, dalam sebuah negara pluralistik
negara merupakan hukum alam atau sunnatullah, menurutnya, Islam seharusnya
diinplementasikan sebagai suatu etika social yang berarti Islam harus berfungsi
komplomenter dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam sebagai idiologi
negara akan membawa bangsa ini kedalam masa penuh ketegangan seperti
terlihat hampir selama lima dekade sejak tahun 1930 an. Wahid, Islam.
136
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
2. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri masing-masing No. 1 Tahun 1978 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977,
3. Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978
tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil
Kementerian Agama Propinsi, setingkat untuk mengangkat
atau memberhentikan setiap Kepala KUA Kec. sebagai PPAIW,
4. Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji
No. D.II/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai
dengan lampiran rekaman Surat Direktorat Jenderal
Pajak No. S-629/ PJ.331/1080 tentang Ketentuan Menteri
Keuangan atas tanda-tanda sebagai dimaksud dalam
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang
Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977,
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun
1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai
Perwakafan Tanah Milik.
6. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D. II/5/
Ed/07/1981 tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik;
7. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D. II/5/
Ed/ll/1981 tentang Petunjuk Pengisian nomor pada
formulir Perwakafan Tanah Milik.
Terkait peran hukum Islam di Indonesia, hukum Islam
sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh
mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah
hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan
sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam
kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam
pembinaan dan pengembangannya.151
151
Azizy, Eklektisisme, 30-35.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
137
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran
hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan
eksistensi.152 Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum
nasional masa lalu, masa kini dan masa datang yang
menegaskan bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum
nasional baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum
Islam ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan
praktik hukum.153
Menurut Rahman154 teori eksistensi dalam kaitannya
dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan
tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional
Indonesia, yaitu;
1. Ada, dalam arti sebagai bagian integral dari hukum
nasional Indonesia;
2. Ada, dalam arti kemandiriannya yang diakui, adanya
kekuatan dan wibawanya, dan diberi status sebagai
hukum nasional;
152
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh Ichtijanto. Menurutnya, yang
berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam
adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam didalam hukum
nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai
salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut; (1) merupakan bagian
integral dari hukum nasional Indonesia, (2) keberadaan, kemandirian, kekuatan,
dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum
nasional, (3) norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan (4) sebagai bahan utama dan unsur
utama hukum nasional Indonesia (Bisri, 1991: 131). Cik Hasan Bisri, Hukum Islam di
Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan, (Rosda Karya, Bandung).
153
Trikanti, “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04
November 2012 dari, http: // trikantii. blogspot. com/ 2011/ 10/ perkembangan –
sistem – hukum - indonesia. html
154
Ahmad Syafii Rahman, “Corak Modernisme Pembaharuan Hukum Islam
Di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis),” diakses pada 24 Juni 2012 dari
http://syafiirahman.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-xnone_2255.html
138
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
3. Ada, dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam
yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum
nasional di Indonesia;
4. Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama.
Dengan demikian, secara eksistensial kedudukan hukum
Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari
hukum nasional. Karenanya, hukum Islam juga mempunyai
peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka
pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski
harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah
usai. Dengan demikian secara sosiologis, kedudukan hukum
Islam di Indonesia melibatkan kesadaran keberagaman
bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan
pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama
maupun norma hukum, selalu sama-sama menuntut
ketaatan.155
Dari argumentasi di atas semakin jelas, bahwa hubungan
antara agama, hukum dan politik sangat erat. Ketiganya secara
bersamaan menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga
masyarakat. Pola hubungan ketiganya harus dikembangkan
secara searah, serasi, dan seimbang. Tidak boleh dibiarkan
saling bertentangan dalam konteks pembangunan hukum
nasional Indonesia (Imron, 2008). Bahkan dalam kenyataan
lebih konkret sebagai bukti tertatanya format politik
hukum Islam menjelang tahun 1990-an hingga era reformasi
terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan
yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan
yuridis hukum Islam, antara lain:
M. Sularno, ” Syari’at Islam Dan Upaya pembentukan Hukum Positif di
Indonesia,” diakses pada 05 Oktober 2012, dari http: / /journal. uii. ac. id/ index.
php/ JHI/ article/ viewFile/ 245/240
155
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
139
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
1. UU RI No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan.
2. UU RI No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama (diganti UU
No. 3, 2006)
3. UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan yang membolehkan
menggunakan prinsip bagi hasil.
Sedangkan UU pada era reformasi antara lain:
1. UU RI No.10/1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
membolehkan menggunakan Prinsip Syariah.
2. UU RI No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají
3. UU RI No. 38 Tahun 1999 diganti UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat
4. UU RI No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Khusus Nangroe Aceh Darussalam
5. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan Partai
Islam
6. UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
7. UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
8. UU RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
9. UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara
10. UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dll.
Selain tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga
terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah
Undang-undang, antara lain:
1. PP No. 9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum
Perkawinan
2. PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
3. PP No. 72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil.
140
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
4. Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
5. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi
Khusus di NAD.
Dari sekian produk perundang-undangan yang memuat
materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah
disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak
masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa
kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru
kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan
sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam
Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan
Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.156
Selain itu pada awal tahun 1990-an hingga era reformasi
sesungguhnya merupakan rea1itas sosial dan politik hukum
yang tidak dapat dihindari.157 Pada masa tersebut, peran
besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan
birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam
berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat
penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam
secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk
156
Muhsin Harianto, “Legislasi Hukum Islam di Indonesia Dalam Prespektif
Politik Hukum” akses pada 5 Pebruari 2013 dari
157
Sejalan dengan perubahan iklim politik hukum dan demokratisasi di
awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan
pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial,
budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi
upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Pertanyaannya
adalah, bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar
hukum Islam tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan
Indonesia baru yang adil dan sejahtera menuju ilmu hukum Islam Indonesia
(Hariyanto, 2013: 2-7).
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
141
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum
Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan
kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan
melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup
lama.158 Atas dasar rentetan kajian dari atas hingga disini,
kiranya wajar dan dapat diterima bahwa positivisasi hukum
Islam sesungguhnya merupakan upaya terobosan untuk
memanfaatkan situasi dan perkembangan politik hukum
nasional yang secara yuridis formal memberikan angin segar
terhadap hukum Islam menuju hukum nasional. Hukum
Islam dengan hukum nasional menuju bangunan sistem
ilmu hukum Indonesia atau ilmu hukum Islam Indonesia.
Berdasarkan pemaparan dari atas maka sesungguhnya
sampai saat ini dalam diskursus keislaman, ada tiga pola
yang dikembangkan dalam menata hubungan agama dengan
negara. Pertama, agama dan negara memiliki hubungan
yang terpisah sama sekali. Meminjam ungkapan Thaha
Husein, a­ l-dīn syai’ wa al- daulah syai’un ākhar. Kedua, agama
dan negara memiliki hubungan yang erat dan integral atau
apa yang sering disebut dalam khazanah pemikiran Islam
klasik, al-Islām dīn wa al- daulah. Ketiga, agama dan negara
sebagai dua entitas yang terpisah namun memiliki hubungan
dalam bentuk nilai-nilai agama harus mempengaruhi
kehidupan agama. Berangkat dari tiga pola di atas, maka
bisa melihat kedudukan syari‘ah. Tampaknya pola yang
pertama, seharusnya agama tidak boleh—meminjam
ungkapan Gus Dur—mengintervensi negara dan sebaliknya
negara juga tidak boleh mengintervensi agama. Termasuk di
dalamnya dalam masalah hukum Islam. Ketika negara telah
Hariyanto, Muhsin, “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam
Bidang Ekonomi”, akses pada 28 November 2012 dari,
158
142
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
mempositifkan hukum Islam, sama artinya bahwa negara
telah ikut campur dalam masalah keagamaan.
Menurut Tarigan159 pola hubungan yang kedua yang
menyatukan agama dan negara serta pola hubungan yang
ketiga ditolak oleh sebagian ilmuan. Agama atau syari‘ah
menurutnya, dengan mengutip pendapat An-Na‘im, biarlah
menjadi aturan-aturan normatif yang mengikat setiap
pemeluknya. Sedangkan bagaimana menata negara yang
harus menjamin kehidupan warganya yang sangat pluralistik,
diserahkan pada aturan-aturan universal yang mungkin saja
tidak bersumber pada agama. Hemat penulis, dalam tingkat
tertentu, campur tangan negara tetap diperlukan. Misalnya
dalam bidang mu‘amalah negara harus berperan sebagai
upaya menertibkan kepentingan umat. Paling tidak hal ini
disebabkan beberapa hal;
Pertama, mu‘amalah Islam itu biasanya menyangkut
kehidupan orang banyak, dimana hukum yang berfungsi
untuk menjaga tertib sosial mutlak diperlukan. Hal-hal
yang berkenaan dengan aturan-aturan mu‘amalah menjadi
penting untuk dilegislasi mengingat hal ini menyangkut hak
dan kepentingan orang banyak. Perkawinan misalnya, tidak
saja berhubungan dengan dua orang manusia yang akan
menikah, tetapi bersangkut paut dengan masalah lainnya,
seperti warisan dan perwalian. Jika diserahkan kepada
masing-masing setiap orang, atas dasar apa seseorang
menuntut berhak atas warisan dan sebagainya.160
Kedua, aturan-aturan mu‘amalah dalam Islam itu sangat
sedikit. Jika di dalam al-Qur‘an ayat hukum tidak lebih dari
Tarigan, Azhari Akmal, “Menimbang Kembali Penerapan Syari’ah Islam”,
akses pada 16 Pebruari dari http: // www. waspada. co. id/ index2. php? Option =
com_content & do_pdf=1&id=20286
160
Ibid.
159
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
143
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
265 ayat, ayat-ayat mu‘amalah lebih sedikit lagi yaitu sekitar
10 sampai 15 ayat. Artinya, dinamisnya perkembangan
mu‘amalah itu sangat disadari oleh al-Qur‘an sehingga alQur‘an tidak memberikan aturan-aturan yang terperinci.
Nilai-nilai universal yang dikandung ayat-ayat mu‘amalah
inilah yang sejatinya harus dikembangkan lebih jauh sesuai
dengan perkembangan historisnya.161
Tampaknya, menurut penulis hal-hal inilah yang
dilupakan sebagian ilmuan. Hal yang tampaknya belum
terjawab adalah, pertama, jika negara tetap membutuhkan
hukum positif, dari manakah sumber hukum positif itu
dirumuskan. Jika syari‘ah dijadikan dasar, bukankah itu
juga termasuk telah mempositifkan syari‘ah walaupun
hanya nilai-nilainya. Bahkan jika nilai syari‘ah itu mewarnai
produk hukum, maka sebenarnya hal itu disebut sebagai
hukum Islam yang tidak mungkin memisahkan antara nilai
dan bentuk formalnya. Kedua, jika bukan Syari‘ah, apa yang
dijadikan sebagaian ilmuan sebagai jaminan, bahwa hukum
positif yang ditetapkan oleh negara tersebut akan menjamin
demokrasi dan HAM. Dengan demikian tentunya dapat
diterima bahwa positivisasi hukum Islam sesungguhnya
telah berjalan sejak lama di Indonesia, sehingga hukum
Islam dan hukum positif dalm konteks pembangunan sistem
hukum nasional telah menyatu dalam pandangan tertentu.
2. Politik Hukum Islam di Era Reformasi
Politik hukum nasional era reformasi menampakkan
wajah dan gaungnya yang membedakan dengan sebelum
reformasi. Pada masa reformasi lahir beberapa perundang161
144
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
undangan yang dapat memperkokoh162 hukum Islam dalam
sistem tata hukum nasional sesuai perkembangan politik
hukum nasional antara lain:
1. UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
penganti UU RI No. 10/1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
yang membolehkan menggunakan Prinsip Syariah.
2. UU RI No. 17/ 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají
3. UU RI No. 38 Tahun 1999 diganti UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat
4. UU RI No. 44/ 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Khusus Nangroe Aceh Darussalam
5. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan Partai
Islam
6. UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
7. UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
8. UU RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
9. UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara.
Menurut Praja (1991: xv) undang-undang sebagai upaya memperkokoh
negara dengan cara merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai
penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum nasional, walaupun
dalam praktek tidak lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih
memiliki arti besar bagi kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang
menurutnya menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam
kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai
yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang
harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan,
dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari
hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga,
adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam
sehingga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan
yang masih mempunyai pengaruh cukup besar. Praja, Hukum.
162
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
145
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
10. Perda Syariah dan lainya.
Beragam perundang-undangan bernuansa Islam yang
lahir kalau dicermati sesungguhnya tidak lepas dari peranan
umat Islam apakah secara kultural maupun struktural.
Politik hukum dalam hal ini memainkan peran penting
dalam proses lahirnya beragam perundang-undangan
tersebut termasuk yang sekarang marak adalah terkait
dengan perda syariah. Politik hukum sebagai mekanisme
serta menentukan layak tidaknya suatu hukum yang akan
diberlakukan sesuai kebutuhan masyarakat.163
Politik hukum menjadi bagian dari studi ilmu hukum
memang awalnya agak dianggap asing, namun setelah di
lapangan atau praktek hukum banyak ditemukan ketidak
sesuaian antara harapan dan kenyataan antara hukum
yang bersifat ius constituendum dan hukum yang bersifat
ius constitutum, maka politik hukum akhirnya bisa diterima
dengan baik atas dasar kebutuhan hukum yang sesuai
dengaan kesadaran hukum masyarakat.164 Pertentangan
163
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,”
diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ +
KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl =
id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd
S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5
xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv
Ck-Uo2UVEw
164
Mahfud (1998: 7-10) menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik
sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai
oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan
politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik
yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen”
ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari
sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh
146
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
yang terjadi dalam dunia hukum tersebut dapat dijelaskan
dengan politik hukum sebagai pengontrol layak tidaknya
suatu hukum yang akan diberlakukan atau dibatalkan. Dari
sudut materi dan mekanisme pembuatan politik hukum di
Indonesia diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang diganti
sekarang denan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan pada program legislasi
nasional (prolegnas) dan program legislasi Daerah (Prolegda).
Atas dasar argumentasi demikian, sistem hukum
nasional harus dibangun berdasarkan cita-cita bangsa,
tujuan negara, cita hukum dan penuntun yang terkandung
dalam pembukaan UUD 1945, sehingga tidak boleh ada
produk hukum yang bertentangan antara satu dengan
lainnya. Sistem hukum yang oleh Barda Nawawi Arief
yang merupakan substansi, struktur dan budaya hukum
di Indonesia harus selaras dengan semangat Pancasila dan
UUD 1945.165
Politik hukum terkait dengan rencana pembangunan
materi hukum yang termuat dalam PROLEGNAS secara
nasional dan PROLEGDA secara kedaerahan sesuai dengan
UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011. Prolegnas
konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah
panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan
adalah panglima pada zaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism)
telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu
mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah
dijadikan alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa.
Pada sisi lain, hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung
politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak
dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah
atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai
hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di
Indonesia, Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1988).
165
Arief, Beberapa, 3-15.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
147
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
ini disusun oleh DPR bersama pemerintah yang dalam
penyusunannya dikoordinasikan oleh DPR. Peletakan
koordinasi oleh DPR merupakan konsekuensi logis dari hasil
amandemen pertama UU 1945 yang menggeser penjuru atau
titik berat pemebentukan UU dari pemerintah ke DPR sesuai
dengan bunyi pasal 20 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen
bahwa “Dewan perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang”.
Sedangkan, ketentuan bahwa Prolegnas merupakan
wadah politik hukum (untuk jangka waktu tertentu)
dapat dilihat pada UU No. 12 Tahun 2011 sebagi pengganti
dari UU No. 10 Tahun 2004 dalam Pasal 15 ayat (1) yang
menggariskan bahwa “perencanaan penyususunan undangundang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.”
Sedangkan ketentuan bahwa prolegnas adalah wadah
politik hukum untuk setiap daerah tertuang dalam Pasal 15
ayat (2) yang menggariskan juga untuk membuat Program
Legislasi Daerah (Prolegda) agar tercipta konsistensi antara
berbagai peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat
hingga tingkat daerah. Dengan demikian dari Prolegnas dan
Prolegda dapat dipahami bahwa setiap UU yang akan dibuat
untuk jangka waktu tertentu merupakan politik hukum di
tingkat nasional maupun masing-masing daerah.166
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dipahami bahwa
hubungan politik dan hukum di Indonesia dapat di rumuskan
166
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,”
diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ +
KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl =
id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd
S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5
xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzv
Ck-Uo2UVEw
148
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
secara mendasar dalam tiga bangunan. Pertama, hukum
determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum
harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik.
Kedua, politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam
kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi
penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi
dipendent variable atas politik. Ketiga, politik dan hukum
terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, artinya
politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan
(anarkis) dan hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.167
Berangkat dari studi mengenai hubungan antara
politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori
“politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang
telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah
Indonesia meliputi, pertama, pembangunan yang berintikan
pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum
agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik
hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya
dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik
nasional serta bagaimana hukum difungsikan.168
Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional
negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula
negara sekuler. Indonesia adalah religious nation state
atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah
negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar
moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
167
168
Mahfud MD, Membangun, 9-30.
Ibid., 9-28.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
149
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar
negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.169
Teori politik hukum yang dirumuskan oleh Mahfud MD
nampaknya cenderung pada pendapat bahwa yang terjadi
di Indonesia adalah politik determinan atas hukum. Situasi
dan kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat
mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat Islam,
dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk
hukum yang dihasilkan. Hubungan politik dengan hukum
di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan
hukum terdapat asumsi yang mendasarinya.170 Ada beberapa
pendapat yang menguatkan dalam hal ini antara lain:
Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam
arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua
kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen
(keinginan, keharusan dan cita). Kedua, politik determinan
terhadap hukum dalam arti bahwa dalam kenyataannya
baik produk normatif maupun implementasi-penegakannya
hukumitusangatdipengaruhidanmenjadidependentvariableatas
politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan,
realitas) dalam studi hukum empiris. Ketiga, politik dan hukum
terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung
yang dapat dipahami bahwa politik tanpa hukum menimbulkan
kesewenang-wenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan
menjadi lumpuh.
Mahfud MD mengatakan hukum dikonstruksikan secara
akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa
dalam realitasnya politik determinan (menentukan) atas hukum”.
Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai
169
170
150
Mahfud MD, Politik, 14-35.
Ibid., 14-35.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
dependent variable (variable pengaruh), politik diletakkan
sebagai independent variable (variabel berpengaruh).171
Lebih jauh menjelaskan konsep hukum responsif otonom
diidentifikasi berdasarkan pada proses pembuatan hukum,
pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.
Pengertian konseptual yang dipakai meliputi beberapa hal, yaitu:
1. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang
membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara
maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan Negara.
Dengan demikian pemerintah lebih merupakan “komite”
yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya,
yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan
rakyat dan parpol berfungsi secara proporsional dan lebih
menentukan dalam membuat kebijakkan,sedangkan pers
dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa takut
ancaman pemberedelan.
2. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi yang
menempatkanposisi pemerintahyang sangat dominandalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan Negara, sehingga
potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan
terartikulasi secara proporsional. Dan juga badan perwakilan
dan parpoltidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan
alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah,
171
Pilihan atas pemahaman tersebut berarti bahwa produk hukum
merupakan produk politik, mengantarkan pada penentuan hipotesis bahwa
konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu
pula. Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi
yang otoriter (non-demokrtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum
yang berkarakter responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter
ortodoks/konservatif atau menindas. Konsep demokratis atau otoriter (nondemokratis) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian
dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif dan kebebasan pers (Mahfud,
2009: 10-30). Mahfud MD, Politik.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
151
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
sedangkan pers tidak mempunyai kebebasan dan senantiasa
berada dibawah kontrol pemerintah dan berada dalam
bayang-bayang pemeredelan.
3. Produk hukum responsif/otonom adalah produk hukum
yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas
tuntutan-tuntutan baik individu maupun kelompok
sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu
mencerminkan rasa keadilan didalam masyarakat.
Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang
secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan
lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat
pelaksana bagi kehendak masyarakat.
4. Produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum
yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang
kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak
melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara
sungguh-sungguh. Hukum demikian biasanya bersifat
formalitas dan produk hukum diberi fungsi dengan sifat
positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan
ideologi dan program pemerintah.
Berdasarkan pemaparan tentang ragam hukum hukum
perundangan bernuansa Islam yang lahir era reformasi
berdasarkan politik hukum nasional yang berkembang,
Mahfud172 menjelaskan adanya konsepsi prismatik yang
kemudian melahirkan beberapa penuntun sebagai landasan
kerja politik hukum nasional. Pertama, hukum-hukum di
Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa
dan karenanya tidak boleh ada hukum yang diskriminatif
berdasarkan ikatan primordial. Tuntutan utama dari hal ini
172
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,”
diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
152
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
adalah hukum nasional harus menjaga keutuhan bangsa dan
Negara baik secara territory maupun secara ideologi.
Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis dan
nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan. Pembuatannya
harus menyerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukan
dengan cara-cara yang secara hukum atau procedural fair.
Dengan nomokratis hukum tidak hanya dapat dibentuk
berdasarkan suara terbanyak (demokratis) tetapi harus dengan
prosedur dan konsistensi isi hukum dengan falsafah yang harus
mendasarinya dan hubung-hubungan hierarkisnya.
Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan
sosial yang antara lain ditandai oleh adaanya proteksi khusus
oleh Negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah
agar tidak dibiarkan bersaing secara bebas tapi tidak pernah
seimbang dengan kelompok kecil bagian masyarakat yang kuat.
Keempat, hukum berdasarkan toleransi beragama yang
berkeadaban dalam arti tidak boleh ada hukum publik
(mengikat komunitas yang ikatan primordialnya beragama)
yang didasarkan pada ajaran agama tertentu.
Dengan konsep prismatik dan penuntun hukum khas
Indonesia tersebut maka sesungguhnya Indonesia mempunyai
pegangan yang kuat untuk melakukan tindakan-tindakan yang
tegas jika kemudian ada hukum-hukum yang dipersoalkan karena
dinilai dipersoalkan keluar dari bingkai penuntun tersebut.
Dengan demikian positivisasi hukum Islam era reformasi
berdasarkan politik hukum yang berkembang mempunyai
peluang sama untuk dikaji dan dikoreksi apakah sudah sesuai
dengan konsep prismatik tersebut ataukah perlu penyesuaian
lain. Positivisasi hukum Islam seperti perda syariah dan lainya
disesuaikan dengan instrumen hukum yang tersedia misalnya
melalui represif oleh pemerintah, Judicial review, legislative
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
153
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
dan sebagainya agar dapat disesuaikan dengan sistem hukum
Pancasila yang prismatic.173 Dari ragam pendapat tersebut,
ilmuan hukum Islam Indonesia dan pakar ilmu hukum Indonesia
nampaknya sepakat dengan ragam tulisan yang mengarah
pada positivisasi hukum Islam di Indonesia sebagai hal lumrah
dan wajar sesuai dinamika ilmu hukum yang terus mengalami
perubahan, khusunya menuju hukum khas Indonesia.
3. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Studi positivisasi hukum Islam dalam konteks Indonesia
berarti studi tentang pembangunan hukum yang diarahkan
pada terwujudnya sistem hukum nasional yang menjadi174
kepentingan nasional, dengan penyusunan awal materi hukum
secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan UUD
1945.175 Karena itu perlu ditegaskan bahwa penyusunan program
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses
pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k
- UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN +
BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid
= ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1
Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTf
sx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEwXpbOr1k
- UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN +
BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid =
ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop
– mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrV
IgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw
174
Upaya mewujudkan ini penuh dengan hambatan antara lain hambatan
eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap
Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi
tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam.
Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negatif tentang Islam dan syariat
Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan tertentu, symbol
yang mendiskreditkan Islam sebagai agama (Latief, 2011).
175
Latief, Menyemai, 2-3.
173
154
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
legislatif nasional, termasuk upaya pergantian peraturan
perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan UUD
1945, merupakan upaya cerdas dalam proses perwujudan hukum
nasional yang dijiwai oleh nilai-nilai nasional dan keagamaan
bangsa Indonesia. Nilai hukum Islam sebagai nilai mayoritas di
Indonesia mempunyai peluang besar dalam konteks pembangunan
demokrasi dengan pendekatan akademik keilmuan.
Oleh karenanya pemikiran terjadinya perubahan hukum
nasional, sebenarnya suatu manifestasi dari kehendak
melepaskan diri dari kehidupan yang tidak demokratis,
fasistis dan represif dengan segala hambatanya.176 Pikiran
itu merupakan pergumulan dialektis dari kekuatan yang
tidak puas dengan sistem hukum warisan kolonial yang
tidak sejalan dengan nilai-nilai sosial kultural Indonesia.177
Konsep ini tertuang dalam sejarah dan nilai-nilai
perjuangan bangsa yang diwujudkan dalam Piagam
Jakarta sebagai kesepakatan bersama yang menjiwai dan
mencetuskan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam sudah mempunyai
akar historis yang sangat jauh ke jiwa bangsa Indonesia.
Hambatan bisa bermacam-macam antara lain, sebagaimana dijelaskan
Praja (1991: xv) adalah hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu
ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan
mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para
hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy. Selain
itu ada hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam Karen.a belum
memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah.
Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl. Hambatan
lainya adalah usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan
dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak
yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki
strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin
signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.
177
Gunaryo, Pergumulan, 25-45.
176
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
155
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
Oleh karenanya, di samping peluang sosiologis,
hukum Islam juga memiliki beberapa problem, utamanya
menyangkut integritasnya ke dalam hukum nasional yaitu:
Pertama, kemajemukan bangsa. Patut diingat bahwa
negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, masingmasing memiliki kondisi sosial dan kultural sendiri-sendiri
sehingga tidak mudah untuk mendekatkannya satu sama lain.
Tetapi, upaya pengintegrasian aspek sosio-kultural masingmasing elemen bangsa ini ke dalam sistem hukum nasional,
harus didahului dengan proses pemilahan pada bidangbidang yang dilakukan direunifikasikan secara relevan.178
Kedua, metode pendidikan hukum. Selama ini, pelajaran
ilmu hukum yang diajarkan kepada mahasiswa adalah trikotomi
antara hukum Barat, hukum Islam, dan hukum adat. Berhubungan
dengan masyarakat Indonesia relatif heterogen dan wilayahnya
cukup luas, maka semakin berakibat pada ragamnya pandangan
dalam pencarian titik temu di antara elemen hukum-hukum
tersebut. Jadi, diperlukan sekarang adalah pemahaman integral
dari pakar hukum dari ketiga sumber hukum tadi. Itu sudah
pasti memerlukan perjuangan intelektual yang sangat berat.179
Ketiga, kurangnya pengkajian akademik di bidang hukum
Islam. Ketertinggalan dalam mengembangkan pusat-pusat
pengkajian Islam disebabkan antara lain:
1. Secara historis, pusat pengkajian yang tidak menghargai
hukum Islam yang lebih dahulu berkembang ternyata
tidak memberi tempat bagi pengkajian hukum Islam.
2. Pengkajian hukum Islam terletak di antara pengkajian
ilmu agama dan pengkajian ilmu hukum, akibatnya
aspek pengkajiannya tidak mendalam.
Azizy, Eklektisisme, 165-178.
Bisyara, Agung “Perkembangan Hukum Islam dan Positivisasi Hukum
Islam di Indonesia” akses pada 17 November 2012 dari,
178
179
156
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
3. Perkembangan kualitas ketaatan umat Islam yang
lemah, terutama keyakinan akidah dan moral yang
sulit dikendalikan sehingga menimbulkan penurunan
kualitas moral dalam pelaksanaan hukum.
4. Masih dianutnya kebijaksanaan hukum politik
Belanda yang mempunyai kepentingan politik sendiri,
seperti; pertama, umat Islam tidak boleh tunduk
kepada hukumnya sendiri. Kedua, belum sepenuhnya
kemandirian Peradilan Agama dalam sengketa perdata
kecuali hukum keluarga.
5. Banyak masalah yang dihadapi umat Islam, sementara
belum ada fatwa hukum yang mampu merangkumkannya
dalam satu perundang-undangan yang bisa diterima
oleh semua elemen masyarakat Islam.180
Dalam konteks pembangunan hukum nasional nampaknya
beberapa hal di atas cukup diterima sebagai masalah-masalah
penting yang dihadapi umat Islam dewasa ini apalagi ketika
umat Islam hendak berkontribusi dalam proses pembangunan
hukum nasional. Ragam persoalan seperti dinamika keilmuan
yang saling memberikan pandangan pelengkap dalam bangunan
ilmu hukum Indonesia, proses demokratisasi yang masih sangat
membutuhkan pendewasaan untuk rakyat. Sehingga dari uraian
perkembangan hukum Islam dapat dipahami, bahwa perjalanan
hukum Islam mengalami perkembangan yang signifikan.
Masih banyak peluang hukum Islam masuk dalam perundangundangan di Indonesia. Hal ini membutuhkan semangat
keilmuan terutama akademisi untuk lebih semangat dalam
upaya menemukan formula dan paradigma hukum Indonesia.
Saat ini telah nampak adanya fenomena perkembangan yang
180
Azizy, Eklektisisme, 76-90.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
157
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
positif dalam penerimaan masyarakat, elit penguasa, dan
legislatif terhadap kehendak legislasi hukum Islam.181
Sampai di sini dapat dipahami bahwa positivisasi hukum Islam
di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan kebijakan
politik dan hukum yang diterapkan. Pada masa penjajahan
Hindia Belanda, hukum Islam diakui sebagai hukum positif
dengan diterapkannya teori receptio in complexu yang kemudian
ditentang dengan teori receptie (resepsi) dan keadaan tidak jauh
berubah saat Jepang mengambil alih kekuasaan. Pada masa Orde
Lama hukum Islam berada pada posisi yang suram dan pada masa
Orde Baru tidak jauh berbeda namun hukum Islam mulai membaik
dengan lahirnya Undang-Undang tentang Perkawinan dan
semakin berkembang pada era reformasi sekarang ini. Positivisasi
hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional memiliki dua
bentuk yaitu pertama, dalam perspektif pembangunan hukum
nasional maka positivisasi hukum Islam tidak bisa dilakukan
karena kondisi pluralitas bangsa Indonesia. Kedua, hukum Islam
dapat menjadi hukum positif di Indonesia yang berlaku bagi
umat Islam melalui proses legislasi yang sah seperti dalam bidang
muamalah atau hukum privat.182
Positivisasi hukum Islam memiliki prospek yang cerah
karena era reformasi yang demokratis memiliki karakter
hukum responsif, sistem hukum Barat/Kolonial sudah tidak
berkembang, jumlah penduduk mayoritas beragama Islam,
181
Bisyara, Agung “Perkembangan Hukum Islam dan Positivisasi Hukum
Islam di Indonesia” akses pada 17 November 2012 dari,
182
Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif Pembangunan Hukum
Nasional Indonesia di Era Reformasi,” diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs.
google. com/ viewer? A = v&q = cache: 0zc 1QFZfE S4J: digilib. uns. ac. id/abstrak. pdf.
php? d_id%3D14171 + positivisasi + hukum + islam + di + indonesia &hl = id&gl = id&pid
= bl&srcid = ADGEESg 7WDT_PhI-4YofCc V-- J9z3cZbrf—Qw 9RPW3ACQUr0 AlB2 FsIYfl
4voE0Fz_h DC6tom IwKrzy NH Cpp LB0 so CWCs UDXT 42S8l4 fwL 5e VMw O6bt X0
DAkh Sb Wxo Hqtr 43o BQMB j& sig = AHIEtb RMW AhSPz VTX5Mc5dhMAX6Pd5geRw
158
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
politik pemerintah yang mendukung berkembanganya hukum
Islam, dan hukum Islam menjadi salah satu sumber bahan baku
dalam pembentukan hukum nasional disamping hukum adat
dan hukum Barat/kolonial. Implikasinya adalah kebijakan yang
demokratis memberikan ruang yang luas bagi hukum Islam untuk
tumbuh, berkembang dan ikut berperan dalam pembangunan
hukum di Indonesia serta kondisi plural bangsa Indonesia sangat
berpengaruh terhadap pembangunan hukum nasional Indonesia
sehingga hukum nasional yang dipilih adalah hukum yang dapat
diterima oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia.183
Dari pemaparan tentang perundang-undangan yang
sudah lahir hingga tahun 2013 pasca reformasi nampaknya
masih sangat banyak peluang dan transformasi hukum Islam
ke dalam hukum nasional. Wilayah inilah yang menjadi
kajian utama dalam positivisasi hukum Islam di Indonesia
dalam pembahasan berikutnya.
Berangkat dari kerangka pikir politik hukum nasional serta
konsep prismatik tersebut, maka persoalan positivisasi hukum
Islam secara sederhana dapat dijelaskan bahwa negara tidak
dapat membuat hukum yang mewajibkan (memberlakukan)
hukum agama tertentu tetapi Negara dapat membuat aturan
yang mengatur pelaksanaan hukum agama yang telah
dilaksanakan atas kesadaran sendiri oleh para penganutnya.
Sehingga hukum-hukum yang dibuat negara atas dasar agama
berdasar terbatas pada melayani dan melindungi atas kesadaran
yang tumbuh sendiri dari pemeluknya agar tidak terjadi konflik
diantara umat beragama.
Dengan demikian, positivisasi hukum Islam dapat terjadi
dengan memposisikan sebagai hukum nasional bersama
dengan sumber-sumber lainnya yang sudah lama hidup sebagai
183
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
159
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hukum Islam dalam
keperdataan terutama terutama menyangkut hukum keluarga,
tetap berlaku bagi umat Islam sebagaimana telah dijadikan
politik hukum oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun
1848 sejauh pemeluk Islam ingin memberlakukan bagi diri
mereka sendiri. Politik hukum yang demikian sampai sekarang
masih berlaku dan tidak perlu penetapan baru dengan berbagai
formalisasi atau positivisasi apalagi hanya dengan sebuah
perda yang hanya berlaku untuk suatu daerah.184
Namun demikian sebagai Negara yang sangat pluralis
dari sisi hukumnya, maka di era reformasi Indonesia sesuai
dengan perkembangan politik hukum nasional dan UU No.
12 Tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan
dapat dijelaskan bahwa kedudukan Peraturan Daerah (Perda)
sangat kuat. Hal ini sejalan dengan pemberian kedudukan
kepada daerah yang juga kuat jika dibandingkan dengan pada
era Orde Baru. Era Orde Baru secara substantif sebenarnya
tidak ada otonomi daerah sebab yang ada adalah desentralisasi
yang sentralistis. Daerah tidak dapat menentukan kepala
daerahnya sendiri secara demokratis, DPRD dijadikan
subordinasi pemerintah daerah, kekayaan ekonomi daerah
disedot habis untuk kepentingan politik pusat. Namun
pada era reformasi semua sudah ditata ulang sesuai dengan
semangat demokratisasi. Otonomi luas yang kemudian dianut
dalam UU No. 22 Tahun 2009 untuk kemudian semangat ini
diperkuat dengan dimasukkannya otonomi luas di dalam
184
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,”
diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/+
KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id &
pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33
Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfB
PdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw
160
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Hubungan Agama dan Negara
Dr. M. Shohibul Itmam
amandemen atas Pasal 18 UUD 1945, bahkan otonomi luas
yang menekankan pada demokratisasi ini kemudian diperkuat
dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004.185
Dari uraian tentang politik hukum era reformasi menuju
positivisasi hukum Islam di Indonesia dapat dipahami bahwa
hukum Islam dalam tata hukum nasional Indonesia merupakan
sumber hukum materiil yang dapat digabung secara eklektis
dengan sumber-sumber hukum yang lain untuk kemudian
menjadi hukum formal. Hukum Islam tidak dapat secara
eksklusif menjadi sumber hukum formal tersendiri kecuali
untuk hal-hal yang sifatnya melayani dalam hal-hal yang
terkait dengan peribadatan seperti penyelengaraan haji,
zakat dan seterusnya.186
Ajaran Islam memerintahkan penganutnya berbuat baik
termasuk dengan non muslim dan mengikuti ajaran Islam sesuai
dengan kesadaran tanpa paksaan. Berdasar perintah amar ma’ruf
nahi mungkar, maka sebuah organisasi Negara diperlukan sebagai
alat. Pemerintahan yang tidak didukung dengan suatu organisasi
akan sulit, bahkan mungkin tidak akan dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Imam al-Ghazaly sebagaimana dikutip
Mahfud MD menjelaskan bahwa melaksanakan perintah agama
dan meraih kekuasaan merupakan suudara kembar. Keduanya
saling membutuhkan yang satu sebagai asas dan satunya lagi
sebagai pengawal. Atas dasar ini kaidah ushul fiqh bisa dipakai
“jika suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya
sesuatu yang lain, maka sesuatu itu wajib hukumnya untuk
diadakan” (mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fa huwa wājib).187
Dalam konteks Indonesia perjuangan sebagai umat Islam
untuk memberlakukan dasar Negara dan hukum Islam sudah
Ibid.
Ibid.
187
Ibid.
185
186
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
161
Dr. M. Shohibul Itmam
Hubungan Agama dan Negara
lama dilakukan dan hasilnya adalah kompromi (modus vivendi)
dalam bentuk Negara pancasila. Negara Pancasila adalah
religious nation state yang sama sekali tidak mengahalangi
umat Islam untuk melaksanakan ajarannya tanpa boleh
mendiskriminasikan ditengah pluralitas masyarakat.
Selain itu berdasarkan kaidah ushul fiqh yang menjelaskan
“jika tidak dapat memperoleh seluruhnya, maka jangan tinggalkan
seluruhnya melainkan ambillah yang masih mungkin dimabil”,
maka kaidah ini memberikan arti bahwa yang dapat dilakukan
dalam konteks pembangunan sistem hukum nasional Indonesia
adalah bukan mengembangkan dan membangun Negara Islam
melainkan membangun masyarakat yang islami, karena setelah
perjuangan secara konstitusional Negara Indonesia ini akhirnya
dibangun sebagai negara Pancasila. Oleh karenanya positivisasi
hukum Islam dapat dilakukan dengan perubahan tata hukum
nasional dengan memperjuangkan substansi ajaran Islam yang
sesuai dengan fitrah manusia dengan prinsip “patokan dasar
dalam simboliknya”, (al ‘ibrah fi al-Islām bi al-jawhar la bi al-madzhar).
Atas dasar itulah positivisasi hukum Islam terkait dengan
nilai-nilai ajaran Islam yang dapat diperjuangkan dan sudah pasti
tidak akan ditolak oleh golongan lain karena sifatnya universal
yaitu mengakkan keadilan, menegakkan hukum, membangun
demokrasi, membangun kepemimpinan yang amanah, melindungi
hak asasi manusia, menjalin kebersamaan, membangun
keamanan dan sebagainya, sehingga nilai-nilai inilah yang akan
masuk dalam sistem hukum nasional. Dalam konteks bernegara
Indonesia yang penting adalah memperjuangkan masyarakat
Islami yang sesuai dengan nilai-nilai substantif dalam Islam (jujur,
amanah, demokratis, adil, menghormati HAM, melestarikan alam
dan sebagainya). Inilah yang dimaksudkan oleh penulis dengan
positivisasi hukum Islam di Indonesia era reformasi.
162
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
BAB IV
SISTEM HUKUM, PEMBANGUNAN HUKUM DAN
POLITIK HUKUM ERA REFORMASI
A. Politik dan Tata Hukum di Indonesia Pra Reformasi
Jauh sebelum merdeka dari cengkraman penjajah,
Indonesia adalah negara yang politik dan tata hukumnya
menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum
utamanya sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem
hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem
hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum
syari’ah Islam1. Hal ini menimbulkan kewajaran, jika
ragam budaya, etnik dan agama juga berkembang pesat di
Indonesia.2
1
Menurut Fuad (2005: 1-6) hukum Islam merupakan sistem hukum yang
terbaik dalam pelaksanaan rangkaian kekuasaan dan kelembagaan supaya
terhindar dari bentuk penyalahgunaan bidang politik, ekonomi dan sosial dengan
berbagai cara dan tindakan. Selain itu hukum Islam juga sebagai perantara utama
dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi terkait dengan
hukum pidana. Hukum pidana sebagai cara negara dalam menertibkan dan
menuntut pelaku hukum dalam konstitusi hukum, menyediakan kerangka kerja
bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia, memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan dalam persoalan pilihan (Trikanti, 2012: 2-19).
Dalam konteks ini, sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan
yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dan
berkaitan secara kuat (Rahardjo, 2000: 4-20).
2
Azizy, Eklektisisme, 109.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
163
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa hukum adalah sistem
yang terpenting dalam pelaksanaan rangkaian kekuasaan
kelembagaan dalam suatu negara supaya terhindar dari
penyalahgunaan, terutama penyalahgunaan kekuasaan
dalam bidang politik, perantara dalam membangun hubungan
sosial masyarakat, menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum serta perlindungan hak asasi manusia.3
Dalam hal ini hukum mempunyai hubungan erat dengan
persoalan politik sebagaimana lazimnya perkembangan
dalam pemikiran dunia Islam karena hubungannya dengan
persoalan akal, jiwa serta alam.4
Dalam konteks tata hukum Indonesia sejak kemerdekaan
hingga era reformasi, sistem hukum yang terjadi di Indonesia
merupakan rangkaian upaya menuju hukum nasional yang
lebih baik sebagai kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang
terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan.5 Dalam perkembangan dan perubahan sistem
hukum nasional tersebut, hukum Islam selalu mengambil
peran penting dalam pembaruan hukum nasional, baik
sebelum, saat menjelang kemerdekaan maupun pasca
kemerdekaan hingga reformasi.6
Menurut Siroj7 dalam kontek Indonesia, memang
sebaiknya sistem hukum yang baik tidak boleh terjadi
pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih diantara
3
Yudi Lathief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas
Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 348-353.
4
Muhammad Misbahy, Al-Aql al-Islāmī baina Qorthobat wa Asfahān (Beirut: Dar
al-Thaliat, 2006), 13-14.
5
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta: LKis, 2005), 2-6.
6
Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah Kompilasi Hukum
Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012), 145-149.
7
Ibid., 145-147.
164
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
bagian-bagian yang ada.8 Jika pertentangan atau kontradiksi
tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikan
hingga tidak berlarut. Sehingga tujuan dari pembaharuan
hukum sendiri harus terarah pada usaha pembentukan
sistem hukum nasional dan hukum yang responsif pada
kebutuhan-kebutuhan
dan
kepentingan-kepentingan
masyarakat secara keseluruhan. Dengan begitu kegiatan
pembaharuan hukum mempunyai arti yang luas, bergerak
merefleksikan perubahan-perubahan baik dari segi politik,
ekonomi, maupun sosial dan seirama dengan perkembangan
dan peningkatan kebutuhan-kebutuhan serta corak interaksi
masyarakat yang tumbuh berkembang di Indonesia.9
Sepanjang sejarahnya, Indonesia pernah dijajah
beberapa negara antara lain Belanda dan Jepang. Negara
penjajah tersebut mempunyai kecenderungan untuk
menanamkan nilai serta sistem hukumnya di Indonesia,
sehinga masyarakat Indonesia yang sudah mempunyai tata
nilai dan hukum sendiri sangat terpengaruh dengan hukum
penjajah tersebut.10 Menurut Azizy11 hukum di Indonesia
merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut
tersebut, baik perdata maupun pidana masih berbasis pada
hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena
aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah
8
Sebagai Negara pluralis dengan jajahan ragam sistem hukum yang pernah
masuk, Indonesia mempunyai potensi untuk menerima ragam perbedaan dengan
segala argumentasi yang melingkupinya. Bahkan termasuk perbedaan dalam
ragam agama dengan memperhatikan etnis dan suku yang berkembang di
Indonesia (Siroj, 2012: 147-149).
9
Azizy, Eklektisisme, 104-107.
10
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah
Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 3-10.
11
Azizy, Eklektisisme, 180-185.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
165
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (NederlandschIndie).12 Hal ini berdampak pada bangunan sistem hukum
yang berjalan di Indonesia hingga sekarang era reformasi.13
Mengenai hukum Agama, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi
hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang
perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di
Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang terserap
dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang
merupakan lanjutan dari aturan-aturan dari masyarakat
dan budaya yang ada di Indonesia. Hal ini karena sepanjang
sejarah Indonesia pernah dijajah oleh beberapa negara
antara lain Belanda dan Jepang.14
Negara penjajah mempunyai kecenderungan untuk
menanamkan nilai serta sistem hukumnya di wilayah
jajahan, sementara masyarakat yang terjajah juga
mempunyai tata nilai dan hukum sendiri. Ketika Indonesia
dikuasai Belanda pertama kali, yaitu oleh VOC, tidak banyak
perubahan di bidang hukum. Namun ketika diambil alih oleh
Pemerintah Belanda, maka banyak peraturan perundangan
yang diberlakukan oleh Hindia Belanda baik dikodifikasi
(seperti BW, WvK, WvS) maupun tidak dikodifikasi (seperti
RV, HIR). Meskipun demikian, Belanda masih membiarkan
Dalam konteks ini Siroj (2012: 110) menjelaskan bahwa hukum yang
dimaksud mengandung unsur sebagai berikut; pertama, merumuskan komponen
hukum terhadap yang dilarang dan yang diperblehkan. Kedua, menegaskan
kepada siapa saja yang boleh berbuat dengan prosedurnya secara jelas. Ketiga,
penyelesain sengketa dan keempat, mempertahankan kemampuan yang berbeda
dalam masyarakat bahkan jika terjadi perubahan hendaknya langsung bisa
disesuaikan dengan perubahan tersebut. Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam
di Indonesia, Telaah Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012).
13
Lathief, Negara Paripurna, 348- 353.
14
Rofiq, Pembaharuan, 35-49.
12
166
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
berlakunya hukum adat dan hukum lain bagi orang asing di
Indonesia. Kemudian pada tahun 1917, pemerintah Hindia
Belanda memberi kemungkinan bagi golongan non Eropa
untuk tunduk pada aturan Hukum Perdata dan Hukum
Dagang golongan Eropa melalui penundukan diri.15
Dengan argumentasi demikian, maka bisa dipahami
bahwa di Indonesia terdapat pluralisme hukum atau tidak
ada unifikasi hukum saat itu, kecuali hukum pidana pada
tahun 1918 dengan memberlakukan WvS (KUH Pidana)
untuk semua golongan.16 Dengan demikian, badan peradilan
yang dibentuk tidak untuk semua golongan penduduk.
Masing-masing golongan mempunyai badan peradilan
sendiri. Pluralisme hukum secara umum didefinisikan
sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum
yang berada dalam suatu kehidupan sosial dalam bingkai
politik. Pluralisme hukum17 harus diakui sebagai sebuah
realitas masyarakat terkait politik yang berkembang dalam
masyarakat Indonesia.18
Dalam bangunan tata hukum Indonesia demikian,
setiap kelompok masyarakat memiliki sistem hukum
Gunaryo, Pergumulan, 58-64. Dan Trikanti, “Perkembangan Sistem Hukum
Indonesia”, akses pada 04 November 2012 dari, http: // trikantii. blogspot. com/
2011/ 10/ perkembangan – sistem – hukum - indonesia. html
16
Gunaryo, Pergumulan, 25-36.
17
Menurut Mahfud (2009) pluralisme hukum terkait persoalan politik yang
dibedakan secara diametral corak atau konfigurasinya menjadi dua kutub yang
berbeda yaitu konfigurasi politik demokratis yang diartikan sebagai susunan
sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi masyarakat
secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Sementara
konfigurasi politik yang kedua adalah konfigurasi politik otoriter diartikan
sebagai susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat
aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan
negara.
18
Siroj, Pembaharuan, 42.
15
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
167
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lain seperti
dalam keluarga, tingkatan umur, komunitas dan kelompok
politik, yang merupakan kesatuan dari masyarakat yang
homogeny.19 Pluralitas konteks Indonesia merupakan ciri
khas Indonesia dibandingkan negara lain di dunia, sehingga
banyak pulau, suku, bahasa, dan budaya berkembang di
Indonesia turut mewarnai pembangunan bangsa yang stabil
dan modern dengan ikatan nasional yang kuat. Menghindari
pluralisme sama dengan memungkiri kenyataan yang
berbeda mengenai cara pandang dan keyakinan yang hidup
di masyarkat Indonesia.20 Oleh karenanya dalam konteks
Indonesia, manusia dengan kecenderungannya memang
mempunyai watak demikian pluralis, ingin membangun
dan ingin merobohkan, mengikat dan ingin melepaskan
ikatannya sendiri dalam membangun suatu hukum.21
Wahid, Dialog Kritik, 43-47.
Hasil catatan diskusi penulis secara tidak terstruktur dengan Abdul Moqsit
Ghazali, Dosen UIN Jakarta, aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) selama mengikuti
program ARFI Kemenag di Maroko (12-30 November 2012) menjelaskan bahwa
pembagian konfigurasi politik kedalam corak demokratis dan otoriter berimplikasi
terhadap karakter produk hukum yang dihasilkannya. Pada konfigurasi politik
demokratis, karakter produk hukumnya adalah responsif/populistik yang diartikan
sebagai produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat. Sementara proses pembuatan hukum yang memberikan peranan besar
dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu- individu dalam
masyarakat, maka hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok
sosial atau individu dalam masyarakat. Sementara konfigurasi politik otoriter akan
melahirkan produk hukum konservatif, ortodoks, elitis yaitu produk hukum yang isinya
lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah,
bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program
negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap
tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu- individu dalam masyarakat. Dalam
pembuatan hukum yang demikian peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
21
Dalam konteks ini, Rokhmad (2012: 12-20) menjelaskan bahwa Indonesia
memang sepatutnya terus melakukan pembenahan dalam berhukum melalui
19
20
168
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia
menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam
kelompok masyarakat diterapkan dalam transaksi tertentu
atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum
yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan
bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang
berlaku padanya. Pengertian pluralisme hukum sendiri
senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa
di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum
seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya. Bahkan
dengan adanya globalisasi, hubungan tersebut menjadi
semakin kompleks karena terkait dengan perkembangan
hukum internasional.
Dalam sejarah perkembangan selanjutnya, pada tahun
1942 Pemerintahan Jepang menguasai Indonesia. Ada beberapa
peraturan penting yang dikeluarkan pemerintah yaitu peraturan
pidana, Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942 yang dalam salah
satu pasalnya menentukan badan, lembaga pemerintah serta
peraturan yang sudah ada masih dapat berlaku selama tidak
bertentangan dengan Pemerintahan Tentara Jepang.22 Hal ini
berbagai cara dan pendekatan, bahkan setiap perubahan yang terjadi dalam
masyarakat hendaknya direspon serius oleh pakar hukum untuk dirumuskan
dalam ketentuan hukum yang sesuai dengan dinamika dan perubahan masyarakat.
Tandasnya, dengan pendekatan hukum progresif persoalan hukum bisa
diselesaikan dengan arif sesuai konteks dan sosio kemanusiaan. Abu Rokhmad,
Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam Perspektif Teori Mashlahah (Semarang:
Pustaka Rizqi Putra & Pascasarjana IAIN Walisongo, 2012).
22
Bahkan Gunaryo (2006:108-109) menjelaskan adanya ketidaksiapan bangsa
Indonesia pasca kemerdekaan hingga tiga tahun saat itu, dan bahkan sisi tertentu
hingga sekarang. Nampaknya hal ini dipengaruhi oleh kekhawatiran dalam
menjaga integritas bangsa yang baru saja menikmati kemerdekaan, khawatirnya
dengan melahirkan perundangan baru malah bisa memperkeruh suasana yang
masih dalam tahap konsolidasi anatar suku dan kelompok bangsa.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
169
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
penting untuk mencegah kekosongan hukum dalam sistem
hukum di Indonesia pada masa itu.23
Setelah kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk
membangun hukum nasional yang berdasarkan kepribadian
bangsa melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum
Indonesia diarahkan ke bentuk hukum tertulis. Pada awal
kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil, masih belum
dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek
kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum,
hukum lama masih berlaku dengan dasar Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada saat
berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika
berlaku UUDS 1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia
menjalankan demokrasi liberal, sehingga hukum yang ada
cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif,
aspiratif dan limitatif. Demokrasi liberal atau demokrasi
konstitusional adalah sistem politik yang melindungi
secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan
pemerintah.24
Menurut Latief25 dalam demokrasi liberal, keputusankeputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung)
diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan
pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan
agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan
dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.
Pada masa Orde Lama, Pemerintah (Presiden) melakukan
penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945.
Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang
menyebabkan kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya
Gunaryo, Pergumulan, 102-109.
Ibid., 42-60. Dan Lukito, Hukum Sakral, 394-403.
25
Lathief, Negara Paripurna, 149-150.
23
24
170
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
hukum yang terbentuk merupakan hukum yang konservatif
(ortodoks) yang merupakan kebalikan dari hukum responsif,
karena memang pendapat pemimpin yang termuat dalam
produk hukum.26
Dalam kondisi demikian, maka wajar terjadi banyak
penyimpangan, antara lain,27 pertama, kekuasaan Presiden
dijalankan secara sewenang-wenang. Hal ini terjadi
karena kekuasaan MPR, DPR, dan DPA yang pada waktu itu
belum dibentuk dilaksanakan oleh Presiden. Kedua, MPRS
menetapkan Presiden menjadi Presiden seumur hidup. Hal
ini tidak sesuai dengan ketentuan mengenai masa jabatan
Presiden. Ketiga, pimpinan MPRS dan DPR diberi status
sebagai menteri. Dengan demikian, MPR dan DPR berada
di bawah Presiden. Keempat, pimpinan MA diberi status
menteri, yang merupakan penyelewengan terhadap prinsip
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka. Kelima, presiden membuat penetapan yang isinya
semestinya diatur dengan undang-undang (yang harus
dibuat bersama DPR). Dengan demikian Presiden melampaui
kewenangannya. Keenam, pembentukan lembaga negara
yang tidak diatur dalam konstitusi, yaitu Front Nasional.
Ketuju, presiden membubarkan DPR, padahal menurut
konstitusi, Presiden tidak bisa membubarkan DPR. Maka
pada tahun 1966 merupakan titik akhir Orde lama dan
dimulainya Orde Baru yang membawa semangat untuk
Ibid., 149-150.
Menurut Latief (2012: 3-24) hal berpengaruh terhadap pembangunan
sistem hukum sekarang, sehingga selama 14 tahun Reformasi, banyak melakukan
dekonstruksi, tapi belum berhasil melakukan rekonstruksi. Sehingga perlu
membuat blue print (cetak biru) langkah-langkah reformasi sehingga dapat
menjadi acuan bersama. Pemerintah hendaknya tidak membiarkan reformasi
mengalir tanpa arah, tetapi perlu langkah cepat sesuai aspirasi masyarakat.
26
27
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
171
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Namun, Soeharto sebagai penguasa Orde Baru
saat itu juga cenderung otoriter.28
Hukum yang lahir kebanyakan hukum yang kurang
atau tidak responsif.29 Apalagi pada masa itu, hukum
hanya sebagai pendukung pembangunan ekonomi karena
pembangunan dari PELITA I-PELITA VI dititikberatkan pada
sektor ekonomi. Tetapi harus diakui peraturan perundangan
yang dikeluarkan pada masa Orde Baru banyak dan beragam
dan masih banyak membutuhkan tinjauan ulang terkait
perjalanan demokrasi30 yang sempoyongan di negeri ini.
Latief, Menyemai, 23-30.
Menurut Rokhmad (2012: 18-39) kurangnya responsif dalam budaya hukum
negari ini disebabkan lambatnya penegakan hukum yang disebabkan oleh faktor
yuridis. Hukum masih mengeja teks, tidak memperhatikan dinamika social serta
perubahan manusia dengan kompleksitas problemnya. Hukum yang demikian
hanya akan membelenggu manusia dan sulit mecapai tujuan hukum, yaitu untuk
memanusiakan manusia. Abu Rokhmad, Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam
Perspektif Teori Mashlahah (Semarang: Pustaka Rizqi Putra & Pascasarjana IAIN
Walisongo).
30
Maka wajar Latief (2012: 2-9) menjelaskan bahwa etelah otoritas rezim
Orde baru runtuh, kita masuk dalam pemerintahan yang lemah, bahkan tanpa
otoritas. Lewat demokratisasi dengan sistem multipartai, otoritas politik
kemudian meluas dan tersebar dalam banyak lembaga, bahkan sampai ke daerahdaerah. Demokrasi cenderung memberi tempat bagi kekuatan modal, ketimbang
kekuatan kapasitas manusia, sehingga biaya politik menjadi mahal. Sementara
penegakan hukum lemah. Kondisi demikian telah mendorong penyelenggara
negara berperilaku korup dengan jaringan korupsi yang meluas. Negara yang
diharapkan mengontrol keadaan ternyata tak mampu menyesuaikan diri dengan
berbagai perubahan yang demikian cepat, Untuk mengatasi kondisi ini, bangsa
Indonesia harus mengevaluasi seluruh institusi demokrasi kita dan menata
ulangnya kembali. Kurangi lembaga kenegaraan yang tumpang-tindih, bangun
partai politik secara lebih bertanggung jawab dengan melakukan penyederhanaan
dan pengembangan fungsinya, serta perlu aturan dan audit arus pemasukan dan
pengeluaran uang dalam partai.
28
29
172
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Penyimpangan-penyimpangan pemerintah pada masa
orde baru sangat merepotkan pemerintahan sekarang,
antara lain, pertama, terjadi pemusatan kekuasaan di
tangan Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan
secara otoriter. Kedua, berbagai lembaga kenegaraan tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan
pemerintah (Presiden). Ketiga, pemilu dilaksanakan secara
tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk
mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga presiden
terus menerus dipilih kembali serta masih banyak
lagi penyimpangan31 yang sangat merugikan jalannya
demokrasi.32
Setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya
pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang
bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pembenahan sistem hukum
termasuk agenda penting reformasi. Langkah awal yang
dilakukan yaitu melakukan amandemen atau perubahan
terhadap UUD 1945, karena UUD merupakan hukum dasar
yang menjadi acuan dalam kehidupan bernegara di segala
bidang. Setelah itu diadakan pembenahan dalam pembuatan
peraturan perundangan, baik yang mengatur bidang baru
Penyimpangan lain menurut Bisyara (2012: 3-19) misalnya pertama,
terjadi monopoli penafsiran Pancasila; Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan
pemerintah untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Kedua, pembatasan hakhak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul dan berpendapat. Ketiga,
pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan
kehakiman tidak merdeka. Keempat, pembentukan lembaga-lembaga yang tidak
terdapat dalam konstitusi, yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas.
Kelima, terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang luar biasa parahnya
sehingga merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis
multidimensi.
32
Latief, Menyemai, 20-30.
31
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
173
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
maupun perubahan dan penggantian peraturan lama untuk
disesuaikan dengan tujuan reformasi.33
Berbicara bagaimana peranan Pemerintah dalam
implementasi hukum di Indonesia terkait dengan politik
hukum yang dijalankan Pemerintah, karena politik
hukum itu menentukan produk hukum yang dibuat dan
implementasinya. Pada masa Penjajahan Belanda, politik
hukumnya tertuang dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling)
yang mengatur hukum mana yang berlaku untuk tiaptiap golongan penduduk. Adapun mengenai penggolongan
penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan politik
hukum itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum.34
Menurut Gunaryo35 setelah Indonesia merdeka, untuk
mencegah kekosongan hukum dipakai aturan peralihan
seperti yang terdapat pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
Pasal 192 Konstitusi RIS dan Pasal 142 UUDS 1950. Hukum tidak
terlalu berkembang pada masa awal kemerdekaan, akan tetapi
implementasinya relatif baik yang ditandai lembaga peradilan
yang mandiri. Hal ini merupakan efek dari berlakunya
demokrasi liberal yang memberi kebebasan kepada warga
untuk berpendapat. Sebaliknya pada masa Orde lama, peran
Menurut Latief (2011: 13-39) tujuan utama reformasi adalah pemulihan
demokrasi politik, pemulihan demokrasi sosial dan ekonomi yang sesungguhnya
memiliki hakikat untuk mengembalikan perjalanan bangsa Indonesia seperti
yang tercantum dalam UUD 1945. Menjatuhkan pemerintahan Soeharto terbatas
hanya untuk merubuhkan pemerintahan yang gagal mengembankan amanat UUD
1945 karena tidak amanah dalam menjalankan konstitusi. Penjatuhan Soeharto
seharusnya menjadi entry point redemokratisasi bukan malah menjadikan
reformasi sebagai penjungkirbalikan, pengaburan dan penguburan tiga pilar
utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu Rakyat, UUD 1945 dan
Negara. Latief, Negara Paripurna.
34
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Edisi Revisi) (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), 37-43.
35
Gunaryo, Pergumulan, 104-115.
33
174
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
pemimpin (Presiden) sangat dominan yang menyebabkan
implementasi hukum mendapat campur tangan dari Presiden.
Akibatnya lembaga peradilan menjadi tidak bebas.36
Ketika Orde Baru berkuasa, politik hukum yang dijalankan
pemerintah yaitu hukum diarahkan untuk melegitimasi
kekuasaan pemerintah, sebagai sarana untuk mendukung
sektor ekonomi dan sebagai sarana untuk memfasilitasi proses
rekayasa social.37 Hal ini dikarenakan pemerintah Orde Baru
lebih mengutamakan bidang ekonomi dalam pembangunan.
Perubahan terjadi ketika memasuki era reformasi yang
menghendaki penataan kehidupan masyarakat di segala
bidang. Semangat kebebasan dan keterbukaan (transparansi)
menciptakan kondisi terkontrolnya langkah pemerintah untuk
mendukung agenda reformasi termasuk bidang hukum.38
Perbedaan ekskutif orde lama dan orde baru hingga reformasi terletak
pada kewenangan yang berlebihan pada presiden. Masa orde lama dan orde bariu
begitu kuat pengaruh presiden dalam mewarnai pemabngunan nasional, sehingga
berdampak paa militerisasi dan arogansi pembangunan yang kurang memperhatiakn
kepentingan rakyat (Suprayogo, 2012). Imam Suprayogo, “Kekuasaan Presiden Dari
Masa ke Masa”, akses pada 24 November 2012, dari http: // www. Uin - malang.
ac. id/ index. php? Option = com_ content & view = article&id = 3024: kekuasaan
-presiden-dari-masa-ke-masa-&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
37
Mahfud MD, Politik, 3-23.
38
Menurut Suprayogo (2012: 2-14) era reformasi sekarang mirip dengan
situasi kesemrawutan, segalanya seolah dibiarkan bebas dan terbebas dari
kungkungan dan cengkeraman penguasa atas hak politik warga-bangsa. Pemimpin
termasuk Presiden pada masa ini terbatas dan dibatasi wewenang dan otoritasnya.
Sementara itu rakyat sudah terlanjur terbiasa dengan situasi sebelumnya yang
memiliki stigma bahwa power Presiden ampuh dan kuat. Mereka menganggap
seorang Presiden demikian kuasanya mengatur Negara ini. Dari ketiga lembaga
tinggi Negara saat itu hanya lembaga eksekutif dengan Presiden sebagai pucuk
pimpinannya yang paling berperan. Lalu kini, akibat amandemen UUD 1945
yang diberlakukan terhadap kekuasaan lembaga eksekutif, power Presiden telah
terdegradasikan. Sedangkan tata pandang sebagian rakyat terutama pengamat
dan kritikus politik tentang kekuasaan Presiden tersebut masih tetap sama. Imam
Suprayogo, “Kekuasaan Presiden Dari Masa ke Masa”, akses pada 24 November
36
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
175
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dalam kondisi demikian, langkah-langkah yang diambil
antara lain pembenahan peraturan perundangan memberi
keleluasaan kepada lembaga peradilan dalam menjalankan
tugasnya serta memberi suasana kondusif dalam rangka
mengembangkan sistem kontrol masyarakat untuk
mendukung penegakan hukum sesuai tuntutan reformasi.39
1. Masa Pra Kemerdekaan
Pra kemerdekaan merupakan masa bersejarah bagi
bangsa Indonesia, karena merupakan rentetan menuju
kemerdekaan masa berikutnya. Masa ini dikuasai oleh
Belanda dan Jepang yang dikenal dengan berbagai istilah
dalam masa tersebut.40 Berikut beberapa argumentasinya;
Pertama, masa penjajahan Belanda. Masa ini merupakan
perkembangan dan diakuinya hukum Islam sebagai hukum
positif. Hukum Islam lahir di Indonesia yaitu sejak datangnya
Islam ke Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda
datang ke Indonesia. Hingga saat ini masih terdapat perbedaan
pendapat terkait kapan datangnya Islam ke Indonesia. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia
pada abad ke-7 M, hal ini didasarkan pada adanya pedagangpedagang muslim asal Arab, Persia dan India yang sudah
sampai ke kepulauan nusantara.41 Pendapat lain menyatakan
2012, dari http://www.Uin-malang.ac.id/index.php?Option=com_content&vie
w=article&id=3024:kekuasaan-presiden-dari-masa-ke-masa-&catid=35:artikeldosen&Itemid=210
39
Latief, Negara Paripurna, 43-50.
40
Gunaryo, Pergumulan, 258-264.
41
Menurut Yatim (1996: 18-39), sejarah kontroversi masiknya Islam ke
Indonesia dipengaruhi oleh perspektif yang berbeda dari para sejarawan.
Perspektif tersebut menguatkan masing-masing argumentasinya, namun
pendapat yang masih kuat dipakai dikalangan sejarawan Indonesia khusunya,
adalah Islam datang pada abad pertama hijriyyah.
176
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
bahwa Islam masuk ke Indonesia yaitu pada Abad ke-13
Masehi, hal ini ditandai oleh sudah adanya masyarakat muslim
di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang. Sementara di Jawa
terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang
berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di
Tralaya yang berasal dari abad ke-13. Hal ini merupakan bukti
perkembangan komunitas Islam termasuk di pusat kekuasaan
Hindu Jawa ketika itu yakni Majapahit.42
Pada waktu VOC pertama kali menguasai Indonesia,
VOC kurang menghiraukan agama dan kebudayaan bangsa
Indonesia. Setelah kekuasaan kompeni diambil oleh kerajaan
Belanda abad ke-18 barulah ada perhatian Belanda kepada
kehidupan kebudayaan dan agama. Belanda selalu kuatir dan
curiga terhadap perkembangan Islam di Indonesia terutama
karena ada gerakan Pan Islamisme yang berpusat di Turki
semasa kekuasaan Othmaniyah di Istambul. Pemerintah
Kerajaan Belanda mengalami perlawanan politik dan militer
dari kesultanan-kesultanan dan pemimpin-pemimpin
ummat Islam di daerah-daerah Indonesia terutama sepanjang
Sementara menurut Bisyara (2012: 2-20) bahwa, pada akhir abad
keenam belas atau tepatnya tahun 1596, organisasi perusahaan Belanda
bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) merapatkan kapalnya
di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula untuk berdagang, namun
kemudian berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk mencapai
maksud tersebut, Pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada VOC untuk
mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja
Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi yaitu
pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Sebagai
usaha memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum
Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya kemudian,
VOC membentuk badan-badan peradilan untuk Bangsa Indonesia. Namun, oleh
karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak
dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang
ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya.
42
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
177
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
abad ke-19 dan yang terakhir adalah perang Aceh yang baru
dapat berakhir (formil) pada tahun 1903, jadi sudah masuk
abad ke- 20 bahkan pada tahun 1908 di Kamang Sumatera
Barat terjadi lagi pemberontakan rakyat muslimin terhadap
Belanda. Oleh karena itu Belanda memperhatikan psikologi
massa antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum
Islam di Indonesia.43
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman
Daendels (1800-1811) dan sewaktu Inggris menguasai
Indonesia (1811-1816) yang mana Thomas S. Raffles menjadi
Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia, hukum
Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat. Pada
masa itu hukum Islam dipergunakan untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang terjadi di kalangan orang
Islam bahkan pada masa itu disusun kitab undang-undang
yang berasal dari kitab hukum Islam.44
Melalui ahli hukumnya, Van Den Berg, lahirlah teori receptio
in complexu yang menyatakan bahwa syariat Islam secara
keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga
berdasarkan pada teori ini, maka pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada
warga masyarakat yang memeluk agama Islam.45 Daerah jajahan
Belanda yaitu Indonesia dengan ibu kotanya Batavia dalam hal
Amal, Politik Syariat Islam, 55-56. Dan Gunaryo, Pergumulan, 25-40.
Ibid.
45
Menurut Gunaryo (2006) melalui ahli hukum Van den Berg, lahirlah teori
receptie in complexu, yang menyatakan bahwa syari’at Islam secara keseluruhan
berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Atas pengaruh teori ini, maka Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan Peradilan Agama yang ditujukan
kepada warga masyarakat yang memeluk Agama Islam. Melalui Peradilan Agama
inilah pertama kali hukum Islam diformalkan di Indonesia. Namun, teori receptie
in complexu ini kemudian ditentang oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje
sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum
43
44
178
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
kekuasaan administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk
peradilan agama sepenuhnya ditangan Residen. Residen dengan
aparat kepolisiannya berkuasa penuh menyelesaikan perkara
pidana maupun perdata yang terjadi.46
Pada masa pemerintahan Van Den Berg inilah hukum
Islam benar-benar diakui berlaku sebagai hukum positif
bagi masyarakat yang beragama Islam sebagaimana telah
disebutkan dalam Pasal 75 ayat (3) Regeerings Reglement yang
menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata antara
orang-orang Indonesia yang beragama Islam, oleh hakim
Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig
wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1882 mendirikan Pengadilan Agama yang
kemudian diiringi dengan terbentuknya Pengadilan Tinggi
Agama (Mahkamah Syar’iyyah).47 Munculnya teori Receptio
In Complexu ini menjadikan hukum Islam diakui dan berlaku
sebagai hukum positif pada masa pemerintahan Hindia Belanda
walaupun pada dasarnya hukum Islam telah ada berlaku dalam
kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum pemerintah
Hindia Belanda tiba di Indonesia.48
Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi
dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam
harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum Adat. Atas pengaruh teori ini,
maka pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad Nomor
116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki oleh Peradilan Agama dalam
persoalan waris dan masalah- masalah lain yang berhubungan dengan harta benda,
terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah
perkawinan dan perceraian. Sebagai pertentangan terhadap teori receptive.
46
Ibid.
47
Sebenarnya yang dilakukan Belanda ini hanyalah salah satu bentuk
kebijakan politik dalam rangkan mengkondisikan hukum Islam supaya sesuai
dengan keinginan Belanda, supaya Islam tidak menyebar luas dengan kekuatan
yang menjelama menjadi politik gerakan kebangkitan Islam (Gnaryo, 2006).
48
Gunaryo, Pergumulan, 102-127.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
179
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Namun kemudian, teori receptio in complexu kemudian
ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje
sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie (resepsi) yang
menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang
tidak bertentangan dengan hukum adat.49 Menurut pandangan
teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi
(diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya
menurut teori tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak
dapat diberlakukan karena belum diterima atau bertentangan
dengan hukum adat. Munculnya teori receptie ini berpangkal dari
keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat
jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab pada
umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan
hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat.50
Menurut Gunaryo51, Hindia Belanda sebagai realisasi
teori receptie ini adalah dengan berusaha melumpuhkan dan
menghambat pelaksanaan hukum Islam dengan beberapa
cara. Pertama, sama sekali tidak memasukkan masalah hudūd
dan qiṣāṣ dalam bidang hukum pidana. Mengenai hukum
pidana ini telah diunifikasi dengan Wet Boek Van Strafrecht
yang mulai berlaku sejak Januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
Atas pengaruh teori ini, maka pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan staatsblad Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang
dimiliki oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah-masalah
lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah
kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian.
Sebagai pertentangan terhadap teori receptive. Kemudian muncul teori
receptie a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib. Teori ini merupakan
pengembangan dari teori Hazairin yang intinya menyatakan bahwa hukum yang
berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya. Dengan demikian hukum adat
hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini sejalan
dengan konsep Urf yang dikenal dalam Islam. (Gunaryo, 2006).
50
Ibid., 112-146.
51
Ibid., 64-75.
49
180
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Kedua, dibidang tatanegara, ajaran Islam yang mengenai hal
tersebut dihancurkan sama sekali. Segala bentuk kajian yang
berhubungan dengan politik ketatanegaraan (siyasah) dilarang
keras. Ketiga, mempersempit berlakunya hukum muamalah
yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.52
Pada perjalanan hukum Indonesia selanjutnya, selain
hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila
telah memenuhi dua syarat yaitu; pertama, norma hukum
Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan
(adat masyarakat setempat), kedua, kalaupun sudah diterima
oleh hukum adat, norma dan kaidah hukum Islam itu juga tidak
boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain
oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.53
Adanya teori resepsi ini yang menyatakan bahwa hukum
Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum adat dalam realisasinya dikeluarkan Staatsblad 1937
No. 116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama
menjadikan peranan hukum Islam sangat dibatasi. Pada saat
itu hukum Islam mengalami kondisi yang sangat berat karena
harus berhadapan dengan hukum adat dan hukum pemerintah
Hindia Belanda yang berkuasa pada saat itu.54
a. Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (1602-1799)
Pada masa ini bermula dari hak istimewa yang diberikan oleh
pemerintah Belanda kepada VOC berupa Hak Octrooi (meliputi
52
Ibid., 90-98.
Praja, Hukum Islam di Indonesia, 34-45. Dan Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), 13-36.
54
Dampaknya adalah hukum Islam yang telah berlaku secara formal dipersempit
ruang geraknya oleh pemerintah Hindia Belanda seperti wewenang menyelesaikan
hukum waris yang sebelumnya menjadi wewenang pengadilan agama dialihkan
menjadi wewenang pengadilan negeri (Gunaryo, 2006). Gunaryo, Pergumulan.
53
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
181
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dan mencetak uang). Pada saat itu,
Gubernur Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat
peraturan guna menyelesaikan masalah dalam lingkungan
pegawai VOC hingga memutuskan perkara perdata dan pidana.
Kumpulan peraturan pertama kali dilakukan pada tahun 1642
yang terkenal dengan nama kumpulan Statuta Batavia. Pada
tahun 1766 dihasilkan kumpulan ke-2 diberi nama Statuta Bara.55
Kekuasaan VOC berakhir pada 31 Desember 1799.56
b. Masa Besluiten Regerings (1844-1855)
Pada masa ini, tata hukum Hindia Belanda terdiri dari
beberapa unsur:
1. Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan.
2. Peraturan-peraturan tertulis yang tidak dikodifikasikan.
3. Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang
khusus berlaku bagi golongan Eropa.57
55
Sebagai contoh dari statute tersebut adalah adanya campur tangan VOC dalam
hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para
hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai
sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada
tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang
berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde
Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan
wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap
sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak
mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan
dianggap sangat menghormati hukum adat (Soehino, 2004).
56
Muhammad Ikhsan, “Hukum Islam di Indonesia; Dulu Dan Sekarang,” di
akses pada 16 Juni 2012 dari http: // blumewahabi. wordpress. com/ 2007/ 06/ 12/
hukum-islam-di-indonesia-dulu-dan-sekarang-2/,
57
Amal, Politik Syariat Islam, 55-56. Dan Imran Said, “Konfigurasi Politik pada
Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada
04 November 2012 dari http: // www. scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi –
Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan – Orde - Baru
182
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan
tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan
mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain.
Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat
dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan
nama Algemene Verordening (Peraturan Pusat). Menurut
Said ada dua macam keputusan raja waktu itu:
1. Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut
Besluit. Seperti ketetapan pengangkatan Gubernur
Jenderal.
2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut
Algemene Verodening atau Algemene Maatregel van
Bestuur (AMVB).
Pada masa ini dimulai penerapan politik agraria yang
disebut dengan kerja paksa oleh Gubernur Jenderal Du Bus
De Gisignes.58 Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda berhasil
mengkodifikasikan hukum perdata yang diundangkan pada
tanggal 1 Oktober 1838.59
c. Masa Regerings Reglement/RR (1855-1926)
Masa ini terjadi pertentangan antara raja dan parlemen
dengan kemenangan di tangan parlemen. Pertentangan
ini menyebabkan adanya perubahaan gondwet sehingga
mengakibatkan
terjadinya
perubahaan
terhadap
pemerintahaan dan perundang-undangan jajahan Belanda
di Indonesia.
Kerja paksa ini terjadi karena raja mempunyai kekuasaan mutlak dan
tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap
harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula
dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama
Algemene Verordening dalam bentuk peraturan pusat (Soehino, 2004).
59
Amal, Politik Syariat Islam, 14-29. Dan Gunaryo, Pergumulan, 65-70.
58
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
183
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Peraturan dasar mengenai pemerintahan yang dibuat
untuk kepentingan daerah jajahan berbentuk undangundang yang disebut Regerings Reglemets (RR). Politik
hukum yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum
pemerintah Hindia Belanda dicantumkan dalam pasal 75 RR.
Pembagian penghuninya terbagi menjadi dua golongan yaitu
yang menjajah dan yang dijajah. RR ini mulai berlaku tahun
1855, kemudian pada tahun 1920 diadakan perubahaan
yang disebut dengan RR Baru (1 Januari 1920-1926). Politik
hukum dalam pasal 75 RR Baru mengalami perubahan
menjadi pendatang dan yang didatangi.60 Penggolongan
penduduknya dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
a. Golongan Eropa
b. Golongan Bumiputera
c. Timur Asing
Dengan penggolongan penduduk dibagi menjadi tiga,
maka demi kepetingan penjajahannya, Belanda berhasil
membuat perundang-undangan yang diundangkan yaitu;
1. Kitab Hukum pidana untuk golongan Eropa melalui
S.1866:5561.
2. Algemene Politie Strafreglement sebagai tambahan
Kitab Hukum Pidana untuk Golongan Eropa.
3. Kitab Hukum Pidana orang bukan Eropa melalui S.1872:85.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
Amal, Politik Syariat Islam, 12-45.
Tujuannya antara lain adalah untuk pembagian golongan ini adalah untuk
menentukan sistem hukum mana yang berlaku bagi masing-masing golongan
berdasarkan pasal 131 IS. Untuk hukum acara digunakan Reglement op de
Burgelijk Rechtsvordering dan Reglement op de Strafvordering untuk Jawa dan
Madura (Gunaryo, 2006).
60
61
184
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
5. Wetboek Van Strafrecht yang berlaku bagi semua golongan
penduduk melalui S. 1915:732 mulai berlaku 1 Januari 191862
d. Masa Indische Straatsregeling (1926-1942)
Pada masa ini berdasarkan pasal 163 IS penduduk dibagi
menjadi tiga golongan,63 yaitu;
1. Golongan Eropa-Hukum Eropa
2. Golongan Timur Asing-sebagian Hukum Eropa dan
sebagian Hukum Adat.
3. Golongan Pribumi-Hukum Adat.
Menurut Gunaryo (2006) dan Amal (2004) tujuan
pembagian golongan waktu itu adalah untuk menentukan
sistem hukum mana yang berlaku bagi masing-masing
golongan berdasarkan pasal 131 IS. Untuk hukum acara
digunakan Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering dan
Reglement op de Strafvordering untuk Jawa dan Madura.
Adapun susunan Peradilannya meliputi:
1. Residentiegerecht
2. Ruud van Justitie
3. Hooggerechtshoj
Untuk yang di luar Jawa dan Madura diatur dalam
Recht Reglement Brugengewesten berdasarkan S. 1927: 227.
Hukum acara yang berlaku bagi masing-masing golongan
62
Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu
Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www.
scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan
– Orde - Baru
63
Pembagian ini dillatar belakangi oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
waktu itu dengan alasan politis, historis dan alasan yuridis. Setelah Indonesia
merdeka, Indonesia tidak menganut Azas Konkordansi (Concordantie Beginselen)
lagi. Azas Konkordansi berlaku juga untuk negara jajahan Belanda pada waktu
itu seperti Indonesia, Suriname dan Antilen. Maka sejak Indonesia merdeka Azas
Konkordansi tersebut tidak berlaku lagi bagi Indonesia (Gunaryo, 2006).
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
185
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
disesuaikan dengan tingkatan pengadilan.
peradilannya adalah sebagai berikut:
• Pengadilan Swapraja
• Pengadilan Agama
• Pengadilan Militer
Susunan
Untuk golongan pribumi berlaku hukum adat dalam bentuk
tidak tertulis tetapi dapat diganti dengan ordonansi yang
dikeluarkan Pemerintah Belanda berdasarkan pasal 131 (6) IS.64
e. Masa Jepang (Osamu Seirei)
Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia dibagi
menjadi Indonesia Timur (di bawah kekuasaan AL Jepang
berkedudukan di Makassar) dan Indonesia Barat (di bawah
kekuasaan AD Jepang yang berkedudukan di Jakarta). Gunaryo
(2006) menjelaskan bahwa peraturan-peraturan yang
digunakan untuk mengatur pemerintahan dibuat dengan
dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pasal 3 Osamu Seirei No.
1/ 1942 menentukan bahwa semua badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah
yang lalu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah militer65.
Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan Indonesia sebagai
akibat pecahnya perang Pasifik. Kedatangan Jepang mulamula disambut dengan senang hati bangsa Indonesia karena
Gunaryo, Pergumulan, 45-64.
Secara politik, sejak masuknya kekuasaan Jepang di Indonesia, organisasiorganisasi politik tidak dapat berkembang lagi. Bahkan pemerintah pendudukan
Jepang menghapuskan segala bentuk kegiatan organisasi-organisasi, baik yang
bersifat politik maupun yang bersifat sosial, ekonomi, dan agama. Organisasiorganisasi itu dihapuskan dan diganti dengan organisasi buatan Jepang, sehingga
kehidupan politik pada masa itu diatur oleh pemerintah Jepang, walaupun masih
terdapat beberapa organisasi politik yang terus berjuang menentang pendudukan
Jepang di Indonesia (Soehino, 2004).
64
65
186
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
telah mengusir Belanda yang telah ratusan tahun menguasai
Indonesia. Kebijakan yang ditempuh Jepang yaitu berusaha
merangkul pemimpin Islam untuk diajak bekerja sama. Dia
mengklaim dirinya sebagai saudara tua rakyat Indonesia
dengan tuannya memobilisasi seluruh penduduk untuk
mempercepat tercapainya tujuan perang.
Kelanjutan dari kebijakan politiknya secara bertahap,
Jepang mengakui kembali organisasi-organisasi Islam yang
sebelumnya telah dibekukan. Selain itu Jepang memberi
motivasi kepada kalangan Islam untuk mendirikan organisasiorganisasi Islam baru.66 Dalam sejarah modern Indonesia,
Jepang tercatat sebagai pemerintah pertama yang memberi
tempat penting kepada golongan Islam.67
Beberapa alasan Jepang mengesahkan pendirian ormasormas Islam yaitu:
a. Untuk memperoleh dukungan dan bantuan dari
penduduk di pedesaan diperlukan organisasi yang
dipatuhi penduduk yaitu organisasi para ulama.
b. Dengan pengesahan secara formal lebih mempermudah
Jepang untuk melakukan pengawasan terhadap
organisasi-organisasi Islam.
c. Jepang tidak berhasil mendapatkan dukungan penuh
dari rakyat Indonesia dengan pengakuannya terhadap
fungsi putra dan Jawa Hokokai.
d. Jepang bermaksud menebus dosa beberapa kesalahannya
terhadap kalangan Islam.68
Secara politis, memang penjajahan Jepang tidak separah sebagaimana
yang dilakukan oleh Belanda, jepang lebih memberikan kelonggaran terhadap
berkembannya berbagai aspirasi umat Islam dalam kegiatannya melalui ormasoramas yang didirikan waktu itu (Gunaryo, 2006: 21-47). Gunaryo, Pergumulan.
67
Praja, Hukum Islam di Indonesia, 16-35.
68
Ali, Hukum Islam, 18-48.
66
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
187
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Pada awal kekuasaannya, Jepang membentuk Shumubu
(Kantor Departemen Agama) di Ibukota Jakarta, selanjutnya
membentuk Hizbullah, semacam unit militer bagi pemuda
Islam dan didirikannya organisasi federasi Masyumi (Majelis
Syura Muslimin Indonesia). Terwadahinya para ulama
dan para pemuda Islam membuat Jepang tidak menaruh
kecurigaan kepada para pemimpin Islam. Dalam kondisi
itulah para ulama dengan bebas dapat menyebarluaskan
hukum Islam ke berbagai lapisan masyarakat.69
Kebijakan Jepang terhadap peradilan agama tetap
meneruskan kebijakan sebelumnya (masa kolonial Belanda).
Menurut Said70 kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan
peralihan Pasal 3 undang-undang bala tentara Jepang (Osamu
Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No. 1 hanya terdapat perubahan
nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat pertama
yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi,
sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.71
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang
tersebut cukup menguntungkan masyarakat Islam walaupun
di balik itu maksud tujuan Jepang adalah hanya untuk
mencari simpati dan dukungan rakyat Indonesia semata.
Kebijakan Jepang cukup menguntungkan karena adanya
beberapa kebebasan yang diberikan seperti diakuinya
kembali organisasi-organisasi Islam dan membentuk
organisasi Islam yang baru seperti Hizbullah yaitu semacam
unit militer bagi pemuda Islam dan didirikannya organisasi
Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu
Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www.
scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan
– Orde - Baru
70
Ibid.
71
Praja, Hukum Islam di Indonesia, 13-39.
69
188
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
federasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang
mana kebijakan itu tidak diberikan pada waktu pemerintahan
Hindia Belanda.
Namun kebijakan tersebut tidak diikuti pada kebijakan
peradilan agama karena kebijakan yang dikeluarkan hanya
merubah nama dalam peradilan agama tetapi isinya sama
dengan kebijakan sewaktu pemerintahan Hindia Belanda.
Kebijakan Jepang tidak banyak memberikan pengaruh bagi
kondisi perkembangan hukum Islam karena singkatnya
waktu Jepang menguasai Indonesia menyusul kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.72
2. Masa Orde Lama (ORLA)
Orde lama merupakan perjuangan mengangkat hukum Islam
yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh Islam pada saat menjelang
kemerdekaan. Hasilnya adalah disetujuinya rumusan kompromi
yang dituangkan dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dengan
tambahan rumusan sila pertama berbunyi ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.73
Namun dalam persidangan-persidangan PPKI (Panitia Persiapan
72
Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu
Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www. scribd.
com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan – Orde - Baru
73
Menurut Praja (1991: 13-39) pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua
BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada
pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi
Pembukaan UUD. Butir pertama yang berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas
usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman
Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan
menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta,
A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad
Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Praja, Hukum Islam di Indonesia.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
189
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Kemerdekaan Indonesia) selanjutnya perjuangan tersebut
mengalami kemunduran. Keinginan-keinginan golongan Islam
yang telah diajukan sebelumnya semuanya ditolak, bahkan setelah
proklamasi kemerdekaan, tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang
menjadi simbol kemenangan Islam dihapuskan, kata Allah dalam
Mukaddimah diganti dengan Tuhan dan kata Mukaddimah diubah
menjadi pembukaan.74
Salah satu makna kemerdekaan bagi Bangsa
Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda.
Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun
aturan peralihan menyatakan bahwa dengan lahirnya
ideologi Nasakom yang menyatukan paham nasionalis,
agama, dan komunis. Tindakan tersebut sangat tidak masuk
akal karena Islam sebagai agama tauhid tidak mungkin bisa
disatukan dengan komunis. Karena itu tindakan tersebut
mendapat reaksi yang keras dari pemimpin-pemimpin Islam
waktu itu sehingga tidak bisa dikembangkan dan dalam
waktu dekat ideologi ini terkubur dengan sendirinya.75
Menurut Gunaryo76 dunia peradilan agama juga berada
dalam keadaan suram disebabkan oleh tetap diberlakukannya
lembaga eksskutorial verklaring artinya setiap putusan pengadilan
agama baru mempunyai kekuatan hukum berlaku setelah
mendapat pengukuhan (fat eksekusi) dari pengadilan negeri.77
Azizy, Eklektisisme, 172-179.
Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu
Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http://www. scribd.
com/ doc/ 52908105/Konfigurasi–Politik–pada–Era–Orde–Lama–dan–Orde-Baru.
76
Gunaryo, Pergumulan, 107-150.
77
Menurut Gunaryo (2006) kondisi seperti ini benar- melemahkan posisi
peradilan agama, sehingga keberdayaanya selaku lembaga pengadilan nyaris
tidak punya daya tawar, karena setiap putusannya selalu dibatasi dan dibayangai
oleh kekuatan yuridis yang berada di bawah kekuasaan pengadilan negeri. Pendek
kata, pengadilan agama selalu menjadi pengadilan nomor dua.
74
75
190
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Hal itu menjadikan pengadilan agama selalu berada dalam
posisi di bawah pengadilan negeri karena dapat berlaku atau
tidaknya putusan-putusan pengadilan agama tergantung kepada
pengadilan negeri. Di samping itu, pengadilan agama dicabut
kewenangannya sejak tahun 1937 dan diteruskan pada masa
orde lama khususnya masalah kewarisan. Mahkamah Agung
menegaskan bahwa sepanjang mengenai warisan di seluruh
Indonesia, hukum yang ada harus didahulukan yakni di daerahdaerah yang amat kuat pengaruh Islamnya, karena sedikit
banyak sudah mencakup unsur-unsur hukum Islam. Oleh karena
itu wewenang menjatuhkan keputusan (sepanjang) mengenai
warisan berada pada pengadilan negeri biasa.78
Pembatasan lain yang menjadi masalah dalam
penerapannya yaitu pengadilan agama hanya diberi
wewenang untuk memutus perkara apabila kedua belah
pihak, baik penggugat maupun tergugat beragama Islam.79
Masalah yang timbul yakni siapa saja yang dimaksudkan
sebagai orang Islam yang dalam hal ini Notosusanto
memberikan kriteria bahwa yang termasuk orang Islam
adalah sebagai berikut:
a. Seorang yang termasuk bagian dari kaum muslimin
menurut pandangan sesama warga negara. Ia tidak
menolak disebut orang Islam termasuk melangsungkan
perkawinan secara Islam dan menginginkan dikubur
secara Islam jika meninggal dunia.
78
Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu
Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http://www. scribd.
com/doc/52908105/Konfigurasi–Politik–pada–Era–Orde–Lama–dan–Orde-Baru
79
Gunaryo (2006:35-49) juga menjelaskan, bahwa masalah seperti ini
memang sering terjadi dikalangan umat Islam saat itu, sehingga interfensi
penjajah terhadap keberlangsungan hukum Islam di Indonesia benar-banar
sangat dibatasi, bahkan sampai mulai berani mengatur masalah ibadah yang
mestinya bukan kewenangan penjajah saat itu. Gunaryo, Pergumulan.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
191
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
b. Orang yang dengan sukarela telah mengucapkan dua
kalimat syahadat.
c. Orang yang tidak sekadar mengucapkan dua kalimat
syahadat, tetapi juga memiliki pengetahuan ajaranajaran pokok Islam.
d. Orang yang tidak sekadar memiliki pengetahuan ajaranajaran pokok Islam, tetapi juga menjalankan kewajiban
keagamaan khususnya shalat dan puasa.80
Pada masa orde lama ini, kondisi hukum Islam belum
menandakan adanya perbaikan bahkan menurut Warkum
Sumitro pada masa itu hukum Islam berada pada masa yang
amat suram. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan
hukum agama selalu dikendalikan oleh manifesto politik, adanya
kebijakan yang tidak berpihak terhadap organisasi-organisasi
Islam yang dinilai memiliki peran besar dalam penegakan
hukum Islam di Indonesia, bahkan lahirnya ideologi Nasakom
yang menyatukan paham “nasionalis, agama, dan komunis.81
Secara umum proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam
dua bagian yaitu, periode Orde Lama dan periode Orde Baru.
Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas,
kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia.
Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang
bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama
yang mengaburkan identitas nasional adalah; Pemberontakan
PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD
Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.82
Praja, Hukum Islam di Indonesia, 23-38.
Ibid.
82
Menurut Said (2012: 3-22) wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi
dan instabilisasi nasionalsejak periode orde lama yang berpuncak pada
pemberontakan PKI 30 September 1945 sampailahirlah Supersemar sebagai titik
80
81
192
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru
yang dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan
keadaan bangsa saat itu selama masa pemerintahannya
melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga
negara. Pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup
baik di mana tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan pernah
mencapai 7% (tujuh persen) namun keberhasilan itu hanya
bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari
hutang luar negeri yang berakibat timbulnya krisis moneter
dan tumbuh sehatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.83
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa
Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai
bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan
sejarahnyabangsaIndonesiamengalamiberbagaiperubahanasas,
paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan
ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia
dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Konfigurasi politik, menurut Mahfud84 mengandung arti
sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara
dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara
diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi
politik otoriter. Konfigurasi politik yang ada pada periode
orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu
rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produkbalik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yangmerupakan koreksi total
terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya
mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideologi sosialisme
komunisme. Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu
Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http://www.scribd.
com/doc/52908105/Konfigurasi–Politik–pada–Era–Orde–Lama–dan–Orde-Baru
83
Praja, Hukum Islam di Indonesia, 32-50.
84
Mahfud, Politik Hukum, 34-50.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
193
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur
pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya
pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.
Pada masa tersebut, politik kepartaian sangat mendominasi
konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta
sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme. Sedangkan
di bawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri
tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum
memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan
Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan
Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society)
dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan
makmur. Oleh karenanya, studi terkait konfigurasi politik
dalam analisis ini dibatasi pada dua era, yakni Orde Lama dan
Orde Baru serta pemahaman terhadap partai politiknya.85
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan
Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante,
diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun
1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 yang intinya menetapkan
berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi
UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu
dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
adalah gagalnya konstituante dalam melaksanakan tugasnya.86
Ibid., 13-20.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin.
Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan
keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950
Presiden tidak berwenang memberlakukan´atau tidak memberlakukan´sebuah
UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan
struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan iniberdasarkan pada sistem
trial and error ´yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai
oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang cepat berkembang (Praja, 1991: 32-56). Praja, Hukum Islam di Indonesia.
85
86
194
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Maka problem dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu
itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik
yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitasrealitas objektif serta mengandung pula kemungkinankemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun
secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan
kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi
seperti Demokrasi Terpimpin´dan Demokrasi Pancasila.87
Menurut Said88 berbagai eksperimen tersebut ternyata
menimbulkan keadaan excessive (berlebihan) baik dalam
bentuk Ultra Demokrasi (berdemokrasi secara berlebihan)
seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun
suatu
kediktatoran
terselubung
(verkaptediktatuur)
dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi
(gekwalificeerdedemocratie). Sistem Trial and Error telah
membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik
yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan
ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan
kelompok Dar al-Islām (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII)
yang berhaluan teokrasi Islam fundamental (1952-1962) dan
kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu
PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi
pergeseran politik ke sistem catur mayoritas.
Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa
harus dibayar tingggi berupa;
Gunaryo, Pergumulan, 102-145.
Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu
Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http: // www.
scribd. com/ doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde – Lama – dan
– Orde - Baru
87
88
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
195
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Pertama, gerakan separatis pada tahun 1957. Kedua,
konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan
ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang
Dewan Konstituante pada tahun 1959. Oleh karena konflik
antara Pancasila dengan teokrasi Islam fundamentalis itu
telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila
17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang
Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata
politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis
Konstitusional.89
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut
dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dijadikan salah satu sumber hukum
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun
1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari
pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah
memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga
walau harus dibayar dengan biaya tinggi.90
Adapun partai politik dalam Era Orde Lama Pada masa
sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi
partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini
ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. Xtanggal 16
Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November
1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan
demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkathingga
29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada
89
90
196
Ibid., 3-19.
Ibid., 2-19.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem
kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan
Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960
yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan
pembubaran partai-partai.91
Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya
10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara
lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO,
Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun,
setahun sebelumnya pada tanggal 17Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.92
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol
menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik
ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan
politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka
diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12
Desember 1964 yang menghasilkan Deklarasi Bogor.
3. Masa Orde Baru (ORBA)
Orde Baru diawali dengan runtuhnya kekuasaan
Orde Lama memberikan harapan baru bagi umat Islam
untuk memantapkan keberadaan hukum Islam dalam
tata hukum di Indonesia. Namun harapan pada awal orde
baru ini juga disertai dengan kekecewaan baru karena
ternyata setelah pemerintah Orde Baru memantapkan
kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang
lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama para
kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi
kekuatan pihak pemerintah. Pengawasan terhadap politik
91
92
Praja, Hukum Islam di Indonesia, 32-50.
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
197
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Islam tersebut terus diperketat bahkan disertai dengan
isu-isu sensitif trauma masa lalu tentang pembangkangan
pemimpin-pemimpin Islam.93
Menurut Khisni94 dengan memperhatikan sikap
pemerintah yang semakin ketat dalam pengawasan partaipartai politik, para pemimpin Islam sadar bahwa perjuangan
untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur politik tidak
selamanya berhasil, bahkan resikonya lebih tinggi. Karena
itu para pemimpin Islam mulai berubah haluan perjuangan
yang semula untuk mewujudkan suatu negara Islam
berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat
Islam. Perjuangan untuk mewujudkan hukum Islam di
Indonesia yang semula dipandang sebagai suatu perjuangan
untuk memproklamasikan suatu negara Islam secara formal
berubah menjadi perjuangan kultural dari bawah yakni
dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari
hukum Islam dengan tetap bertitik tolak pada Piagam Jakarta.
Di dalam perkembangannya, perjungan untuk
mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum
nasional tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat
muslimin. Adapun bidang-bidang hukum Islam yang
diperjuangkan waktu itu yakni hukum perkawinan, hukum
kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat. Diantara bidangbidang hukum yang diperjuangkan itu hanya bidang hukum
perkawinan yang dapat dikatakan berhasil dalam bentuk
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kesuma Riana Ayu, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”,
diakses pada 21 November 2012 dari, http: // riana. tblog. com/ post/ 1969986906
94
Akhmad Khisni, “Hukum Islam dan Pemikirannya di Indonesia,” diakses
pada 15 Juni 2012 dari http: // khisni. blog. unissula. ac. id/ 2011/ 10/ 10/ hukum
– islam – dan – pemikirannya – di – indonesia - jurnal/
93
198
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Menurut Rofiq95 kelahiran Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut pendapat
Hazairin dan Mahadi merupakan ajal bagi kematian teori
receptie. Karena Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa “perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam hal
ini menurut Ali (2000), bahwa sejak lahirnya undang-undang
perkawinan nasional itu, maka hal yang terjadi adalah;
a. Hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung
tanpa harus melalui hukum adat dalam menilai apakah
perkawinan sah atau tidak,
b. Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat
dan hukum Barat,
c. Negara Republik Indonesia dapat mengatur suatu
masalah sesuai dengan hukum Islam sepanjang
pengaturan itu untuk memenuhi kebutuhan hukum
umat Islam.
Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 diberlakukan Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam diberlakukan
di lingkungan peradilan agama di Indonesia yang berfungsi
sebagai petunjuk dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan
keperdataan orang-orang Islam. Kompilasi Hukum Islam
tidak dihasilkan melalui proses legislasi dewan perwakilan
rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan
lainnya yang dijadikan sebagai hukum positif, tetapi
merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh
mahkamah agung dan departemen agama yang melibatkan
95
Rofiq, Pembaharuan, 40-65.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
199
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta
komponen masyarakat lainnya.96
Kebijakan pemerintah pada masa orde baru terhadap
hukum Islam juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Pada masa orde baru, pemerintah membatasi dan
memperketat pengawasan terhadap aktifitas gerakan
politik Islam karena dikhawatirkan akan menandingi
kekuatan pemerintah. Karena itu terjadi perubahan
perjuangan oleh para tokoh-tokoh Islam yang semula ingin
mewujudkan negara Islam berubah menjadi perjuangan
untuk mewujudkan masyarakat Islam.97
Perubahan arah perjuangan tersebut diantaranya yaitu
bagaimana berjuang mengangkat unsur-unsur hukum
Islam dalam hukum nasional sehingga hukum Islam dapat
diterapkan secara praktis dan secara hukum adalah sah.
Perjuangan tersebut akhirnya berhasil yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menurut Hazairin dan Mahadi dengan
lahirnya undang-undang ini merupakan ajal bagi kematian
teori receptie karena dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadikan
hukum Islam secara otomatis berlaku tanpa harus melalui
hukum adat.98 Sementara Gunaryo99 menjelaskan bahwa,
setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan
ditetapkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Ali, Hukum Islam, 15-39.
Gunaryo, Pergumulan, 102-130.
98
Mara Sutan Rambe, “Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Pidana Nasional”
diaskses pada 21 November 2012 dari, http://msrambe. wordpress.com/2012/06/21/
proses–akomodasi–hukum–islam–kedalam–hukum –pidana-nasional/
99
Gunaryo, Pergumulan, 102-14 5.
96
97
200
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
tentang Peradilan Agama yang menandakan hukum Islam
telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara Republik
Indonesia, walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan
dan perwakafan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum
Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 jo, dan
surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/
Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian
orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret
1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani
sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto
untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk
keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai
Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan
sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara
penuh. Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS
yang berlangsung pada Juni-Juli1966. Diantara ketetapan
yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tumbuh
dan berkembang di Indonesia. PKI ditetapkan sebagai partai
terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas
PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar
lainnya diasingkan ke pulau Buru.100
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan
stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk
mencapaistabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan
apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu; pertama berwujud kebulatan
tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan
100
Praja, Hukum Islam di Indonesia, 35-52.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
201
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus
utama. Kedua, konsensus mengenai cara-cara melaksanakan
konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai
lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah
dan partai-partai politik dan masyarakat.101
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat
dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah,
TNI dan beberapa organisasi masa. Konsensus ini kemudian
dituangkan ke dalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu
konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat
bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hasil konsensus
tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan
keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR.102
Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah
Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap
partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada
PNI yang notabene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan
dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan
tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam.
Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan
kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama,
pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokohtokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai.
Kedua, Masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan
sebagai partai baru. Pada Pemilu 1971 partai-partai politik
disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik
yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu.103
Gunaryo, Pergumulan, 102-145.
Ali, Hukum Islam, 23-48.
103
Gunaryo, Pergumulan, 104-134
101
102
202
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar)
menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan
gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan
kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984
mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber
Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan
kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir
mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan
organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompokkelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR
dan lainnya sebagai Political Battle Unit rezim orde baru. Pasca
pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai
yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena
partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu
stabilitas. Gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra
karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik
dan membentuk partai-partai hanya ke dalam golongan
nasional, spiritual dan karya.
Selanjutnya, menurut Imran (2012) pada tahun 1973
konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat
diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui
Undang-undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik
dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali
Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987,
1992 dan 1997).
Adapun partai politik dalam era multi partai di masa Orde
Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal
12 Maret Tahun 1966, maka dimulai suatu usaha pembinaan
terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968
sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas
Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
203
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
maka didirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI)
dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII,
Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM. Selanjutnya pada
tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan
terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang
terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba.
Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok
Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI,
PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang
dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang
kemudian disebut Golongan Karya.104
Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol
dalam masa Orde Baru, maka terjadilah perampingan parpol
sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga
pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3
kontestan, yaitu Partai PersatuanPembangunan (PPP)
dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan
Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta
pemilu hanya terdiri sebagaimana di sebutkan di atas, yakni
2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde
Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat
Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
B. Politik dan Tata Hukum di Indonesia Era Reformasi
Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia era
reformasi mengalami berbagai perubahan yang sangat
dinamis. Berbeda dengan dinamika ketatanegaraan pada
awal kemerdekaan yang terjadi karena kondisi negara yang
Ahmad Syafii Rahman, “Corak Modernisme Pembaharuan Hukum Islam
Di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis),” diakses pada 24 Juni 2012 dari
http://syafiirahman.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-xnone_2255.html
104
204
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
baru merdeka dan tuntutan mempertahankan kemerdekaan,
dinamika yang terjadi pasca era reformasi ini didasarkan
pada kerangka konstitusional, yaitu UUD 1945. Perubahan
UUD 1945 yang dilakukan pada 1999 hingga 2002 bersifat
sangat mendasar. Perubahan tersebut memberikan dasardasar substansial baru dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta tatanan kelembagaan yang
baru pula.
Hasil perubahan UUD 1945 menegaskan dianutnya prinsip
negara hukum yang demokratis. Hal itu diwujudkan dengan
jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional
warga negara yang lebih rinci serta pembatasan kekuasaan
negara melalui pemisahan kekuasaan dengan prinsip
saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances)
agar masing-masing lembaga negara dapat menjalankan
kekuasaan yang telah didistribusikan oleh UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi guna mencapai tujuan nasional. Perubahan105
tersebut berpengaruh secara langsung terhadap tatanan
kelembagaan negara baik cabang eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, maupun munculnya lembaga-lembaga baru sebagai
organ negara yang independen.
Namun, perkembangan tatanan kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan yang demikian cepat tersebut, belum
diiringi dengan ketersediaan literatur hukum yang
memberikan informasi dan analisis terhadap perkembangan
ketatanegaraan pasca reformasi. Bagi masyarakat,
105
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya dinamika
hukum dan kebijakan, serta kelembagaan sebagai bentuk pelaksanaan UUD 1945.
Dinamika itu tentu tidak hanya terjadi di bidang politik, tetapi juga di bidang
kehidupan kebangsaan yang lain, baik sosial maupun ekonomi. Hal itu mengingat
materi muatan UUD 1945 yang tidak hanya memberikan dasar politik, tetapi
juga dasar-dasar perekonomian nasional, kesejahteraan sosial, dan kebudayaan
(Asshiddiqie, 2012: 3-11).
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
205
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
khususnya pembelajar hukum tata negara, tentu tidak
mudah mempelajari masalah ketatanegaraan hanya
dengan membaca ketentuan-ketentuan normatif dalam
peraturan perundang-undangan. Untuk memahami masalah
ketatanegaraan dibutuhkan adanya pengetahuan dan
pemahaman awal tentang berbagai konsep keilmuan serta
pengetahuan tentang peraturan dan praktiknya baik di
masa lalu maupun di negara lain. Oleh karena itu dibutuhkan
literatur yang mengemas informasi dan memberikan analisis
agar mudah dipahami.
Atas dasar realitas tersebut, sejak merdeka, Indonesia
telah memberlakukan tiga macam konstitusi dalam empat
periode, yaitu periode pertama 18 Agustus 1945 sampai
27 Desember 1949 berlaku UUD 1945. Periode kedua 27
Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 berlaku UUD RIS.
Periode ketiga 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 berlaku
UUD 1950 yang bersifat sementara. Dan periode keempat 5
Juli 1959 sampai sekarang berlaku UUD 1945 (Kusnardi, 1988:
86-100). Setelah kembali kepada UUD 1945 sampai sekarang
konstitusi Indonesia tidak lagi mengalami pergantian. Akan
tetapi hanya mengalami Amandemen sebanyak empat kali,
yaitu Amndemen yang pertama ditetapkan pada tanggal 19
Oktober 1999. Amandemen kedua tangal 18 Agustus 2000 dan
Amandemen ketiga 10 November 2001 serta Amandemen
keempat pada tanggal 10 Agustus 2002.
Menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana telah dikutip
oleh Sri Soemantri dalam disertasinya, memberikan gambaran
secara jelas apa yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi.
Pada pokoknya konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu:
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan
waga negaranya;
206
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara
yang bersifat fundamental;
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas dan
ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.106
Atas dasar itulah, maka UUD 1945 Republik Indonesia
yang dalam teori Stufenbau Hans Kelsen disebut sebagai
groundnorm harus memberikan jaminan atas hak asasi manusia
dan adanya pembagiaan kekuasaan dalam struktur negara
untuk memberikan batasan atas kekuasaan tersebut agar tidak
terjadi kekuasaan yang absolut. Dengan demikian, nilai yang
terkandung di dalam batang tubuh UUD 1945 mengandung
sistem politik hukum bangsa Indonesia untuk mewujudkan
negara ideal yang dicata-citakan. Politik hukum di dalam batang
tubuh UUD 1945 tidak hanya mengandung sistem politik, akan
tetapi juga sistem ekonomi, sistem hukum dan sosial.
Menurut T. M. Radhie, yang dimaksud politik hukum adalah
suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum
yang berlaku di wilayah dan mengenai arah perkembangan
hukum yang dibangun.107 Menurut Mahfud108 Politik hukum
dalah legal policy yang telah atau akan dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi:
1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan
pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan.
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Bandung: Alumni
Bandung, 1987), 51.
107
Teuku Mohammad Radhie, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional, dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, 3.
108
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1998), 9.
106
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
207
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik
hukum nasional Indonesia. Tetapi dalam prakteknya,
hukum seringkali menjadi cermin dari kehendak pemegang
kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang memandang
bahwa hukum sama dengan kekuasaan. UUD 1945 mengakui
hak-hak (termasuk hak milik) dan kebebasan individu
sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi. Atas dasar penjelasan
demikian, menurut teori pemerintahan dikenal dua model
bentuk negara (staatvormen), yaitu negara federal dan
negara kesatuan. Untuk membedakan kedua bentuk negara
tersebut dapat dilihat dari kekuasaan legislatif atau dari
konsep kedaulatan maupun dari teori pemerintahan.
Jika menggunakan tolok ukur kekuasaan legislatif,
maka dalam negara federal kekuasaan legislatif terbagi
antara badan legislatif federal dan badan-badan legislatif
dari negara-negara bagian. Sedangkan di dalam negara
kesatuan, kekuasaan legislatif yang tertinggi berada secara
terpusat dalam satu badan legislatif. Apabila tolok ukurnya
menggunakan konsep kedaulatan, dalam negara federal,
kedaulatan terbagi atas dua aspek, yaitu kedaulatan intern
dan kedaulatan ekstern. Kedaulatan intern tersebut terbagi
antara negara-negara bagian dan kedaulatan ekstern tetap
berada pada pemerintah pusat federal (the central of federal
power). Sedangkan dalam negara kesatuan, kedaulatan
intern dan ekstern berada pada pemerintah pusat. Jika
menggunakan tolok ukur teori pemerintahan, dalam negara
federal terbentuk melalui dua tahap, yaitu tahap pengakuan
atas keberadaan negara-negara dan/atau wilayah-wilayah
independen dan tahap kedua adalah adanya kesepakatan
antar mereka untuk membentuk negara federal. Sedangkan
208
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
dalam negara kesatuan adalah adanya klaim dari para pendiri
negara atas seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu
negara saat mereka mendeklarasikan kemerdekaannya.
Berdasarkan rumusan dalam UUD 1945, Indonesia
menerapkan bentuk negara kesatuan. Akan tetapi akibat desakan
politik dari kolonial Belanda—dalam periode 27 Desember
1949 sampai 17 Agustus 1950 – Indonesia pernah menerapkan
bentuk Negara Federal. Bentuk negara federal tersebut akhirnya
berakhir setelah terjadi pertemuan antara Dewan Perwakilan
Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14
Agustus 1950 yang memutuskan untuk kembali kepada bentuk
negara kesatuan. Dasar negara Indonesia yang berbentuk
kesatuan ini sebagaimana tedapat di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD
1945, yaitu “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik”.
Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia terdapat
dua bentuk pemerintahan (forme de government atau
regeringsvorm), yaitu bentuk pemerintahan Monarki dan
bentuk pemerintahan Republik. Pemerintahan Monarki
(kerajaan, kesultanan dan kekaisaran) ialah negara yang
dikepalai oleh seorang raja dan bersifat turun temurun
dan menjabat untuk seumur hidup ketika Indonesia masih
menjadi nusantara. Bentuk pemerintaan monarki ini terdiri
dari tiga macam, yaitu monarki mutlak (absolut), monarki
terbatas (konstitusional) dan monarki parlementer.109
Republik berasal dari bahasa latin respublica (kepentingan
umum), jadi pemerintahan republik adalah negara dengan
pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang kepala
negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk suatu masa
Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2006), 91.
109
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
209
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
jabatan tertentu. Pemerintahan Republik ini terdapat tiga
macam. Pertama, Republik dengan sistem pemerintahan
rakyat secara langsung (system referendum). Kedua, Republik
dengan sistem pemerintahan perwakilan rakyat (system
parlementer). Dan ketiga, Republik dengan sistem pemisahan
kekuasaan (system presidensiil). Berdasarkan ketentuan
dalam UUD 1945, Negara Indonesia berbentuk Republik.
Hal ini sebagaimana tedapat di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD
1945, yaitu: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik”. Adapun sistem pemerintahannya
menerapkan sistem presidensiil. Hal ini sebagaimana
tersirat di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 17 ayat
(2) UUD 1945, dimana presiden bertanggang jawab dalam
penyelenggraan pemerintahan dan dalam pengangkatan
dan pemberhetian para menterinya.110
Sedangkan dalam konsepsi negara hukum menurut
Fachruddin111 terdapat dua macam, yaitu Konsep Rechtsstaat
dan Konsep Rule of Law. Menurut Sckeltema, terdapat
empat unsur utama dalam negara hukum, Rechtsstaat, dan
masing-masing unsur utama mempunyai turunannya, yang
sebagaimana dikemukaan oleh Azhary, yaitu:
1. Adanya kepastian hukum:
a) Asas legalitas;
b) Undang-undang yang mengatur tindakan yang
berwenang sedemikian rupa hingga warga dapat
mengetahui apa yang dapat diharapkan;
c) Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
d) Hak asasi dijamin oleh undang-undang;
e) Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan.
Ibid., 91-92.
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan
Pemerintah, (Bandung: PT. Alumni, 2004), 112-114.
110
111
210
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
2. Asas persamaan:
a) Tindakan yang berwenang diatur di dalam undangundang dalam arti materiil;
b) Adanya pemisahan kekuasaan.
3. Asas demokrasi:
a) Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara;
b) Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan
oleh parlemen;
c) Parlemen mengawasi tindakan pemerintah.
4. Asas pemerintah untuk rakyat:
a) Hak asasi dengan undang-undang dasar;
b) Pemerintahan secara efektif dan efisien.
Sedangkan Konsep The Rule of Law awalnya dikembangkan
oleh Albert Venn Dicey (Inggris). Dia mengemukakan tiga
unsur utama The Rule of Law, yaitu:
1. Supremacy of law (supremasi hukum), yaitu bahwa negara
diatur oleh hukum, seseorang hanya dapat dihukum
karena melanggar hukum.
2. Equality before the law (persamaan di hadapan hukum),
yaitu semua warga negara dalam kapasitas sebagai
pribadi maupun pejabat negara tunduk kepada hukum
yang sama dan diadili oleh pengadilan yang sama.
3. Constitution based on individual right (Konstitusi yang
didasarkan pada hak-hak perorangan), yaitu bahwa
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan
konsekuensi dari hak-hak individual yang dirumuskan
dan ditegaskan oleh pengadilan dan parlemen hingga
membatasi posisi Crown dan aparaturnya.112
112
Ibid., 18-21.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
211
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Philipus M. Hadjon menjelaskan bahwa antara konsep
rechtsstaat dan the rule of law memang terdapat perbedaan.
Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme
sehingga bersifat revolusioner yang bertumpu pada sistem
hukum kontinental yang disebut civil law system atau modern
roman law dengan karakteristik administratif. Sebaliknya, the
rule of law berkembang secara evolusioner dan bertumpu pada
common law system dengan karakteristik yudisial.113
Sedangkan konsep negara hukum Indonesia berbeda
dengan konsep rechtstaat dan rule of law karena mempunyai
latarbelakang yang berbeda pula. Konsep negara hukum
Indonesia adalah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1
ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945 yang berbunyi: “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Istilah negara hukum dalam
kepustakaan Indonesia hampir selalu dipadankan dengan istilahistilah asing antara lain rechts staat, atat de droit, the state according
to law, legal state, dan rule of law. Notohamijdojo memadankan
istilah negara hukum di dalam konstitusi Indonesia dengan
konsep rehtsstaat sebagaimana dalam tulisannya “...negara
hukum atau rechtsstaat”.114 Di samping itu, Muhammad Yamin
di dalam tulisannya menyebutkan bahwa “...Republik Indonesia
ialah negara hukum (rehtsstaat, government of law).115
Akan tetapi Ismail Suny menyamakan negara hukum
dengan konsep rule of law dengan argumentasi bahwa
pelaksanaan demokrasi terpimpin adalah dimana kapastian
hukum tidak terdapat dalam arti sepenuhnya di negeri kita,
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1987), 72.
114
Notohamidjojo, Makna Negara hukum (Jakarta: Badan Penerbit Kristen,
1970), 27.
115
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982), 72.
113
212
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
that the rule of law absent in Indonesia, negara kita bukan negara
hukum. Begitu juga dengan pendapat Sunaryati Hartono yang
menyamakan istilah negara hukum dengan konsep the rule of law
dengan argumentasi supaya tercipta suatu negara hukum yang
membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan,
mak penegakan rule of law itu harus dalam arti materiil.116
Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Philipus M.
Hadjon yang lebih mengkritik terhadap para pakar hukum
yang mempersamakan istilah negara hukum dengan konsep
rechtstaat dan konsep the rule of law, dia menyatakan bahwa
di dalam sebuah nama terkandung isi (nomen est omen),
negara hukum merupakan sebuah konsep tersendiri yang
dipergunakan oleh negara Indonesia, sehingga tidak bisa
dipadankan dengan konsep rechtsstaat atau konsep the rule of
law yang telah mempunyai isi masing-masing yang berbeda.
Pendapat ini tentu dapat difahami mengingat saat ini terdapat
lima konsep negara hukum yang dianggap berpengaruh dan
telah mempunyai isi yang berlainan, di antaranya pertama,
rechtsstaat yang merupakan konsp yang dikenal di Belanda.
Kedua, the rule of law yang merupakan konsep yang di kenal di
negara-negara Anglo-Saxon seperti Inggris, Amerika Serikat.117
Menurut Philipus M. Hadjon makna yang paling tepat
dalam konsep negara hukum Indonesia adalah mengandung
empat unsur, di antaranya:
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat;
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaankekuasan negara;
3. Penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedang
peradilan merupakan sarana terakhir; dan
Ismail Sunny, Mencari Keadilan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 123.
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan
Pemerintah (Bandung: PT. Alumni, 2004), 110-111.
116
117
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
213
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Di samping itu, di dalam konsep negara hukum Indonesia
juga telah terdapat adanya jaminan atas perlindungan hak asasi
manusia. Hal ini sebagaimana telah dirumuskan di dalam BAB
XA Pasal 28A sampai Pasal 28J Amandemen kedua UUD 1945.118
Adapun struktur negara Indonesia merupakan sistem
ketatanegaraan yang diterapkan di Indonesia berdasarkan
rumusan yang terdapat di dalam UUD 1945 pasca Amandemen.
Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ini merupakan
penerapan dari sistem Trias Politika yang bertujuan untuk
memberikan batasan atas kekuasaan yang diberikan terhadap
suatu lembaga kenegaraan. Lembaga kenegaraan tersebut
terdiri dari lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga
yudikatif. Struktur negara Indonesia adalah di antaranya
sebagaimana terdapat di dalam Pasal 18 ayat (1) Amandemen
kedua UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota, yang
tiap-tiap pronvinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan rumusan Pasal ini sangat jelas bahwa
struktur negara Indonesia terdiri dari Pemerintahan Pusat
dan Pemerintahan Daerah. Di dalam Pemerintahan Daerah ini
terdiri dari Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten atau Kota yang kesemuanya mempunyai
struktur pemerintahan sendiri. Urutan dan struktur dalam
masing-masing wilayah tersebut menunjukkan adanya otonomi
pemerintahan dalam setiap level pemerintahan, baik di tingkat
pusat maupun tingkat daerah.
118
214
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Atas dasar itulah, Pemerintahan Pusat sejak reformasi
mengalami perubahan signifikan, terutama hilangnya lembaga
tertinggi yang dulu di tangan majelis Permusyawatan Rakyat
(MPR) bergeser menjadi lembaga tinggi Negara yang sifatnya
setara dan saling mengontrol. Sehingga berdasarkan teori
Trias Politika dari Montesquieu, struktur pemerintahan terdiri
tiga lembaga kenegaraan, yaitu lembaga eksekutif, lembaga
legislatif dan lembaga yudikatif. Di dalam analisisnya Gabrial
A. Almond, istilah eksekutif ini diganti dengan rule application
function, lembaga legislatif diganti istilah rule making function dan
lembaga yudikatif diganti rule adjudication function. Jika analisis
tersebut dikaitkan dengan struktur pemerintahan pusat, maka
lembaga-lembaga negara pasca Amandemen UUD 1945 menurut
Fakhurohman adalah sebagaimana tabel di bawah ini:
Rule Application
Function
Rule Making Function
Rule Adjudication
Function
Presiden
DPR + Presiden
MA
TNI-POLRI *
MPR
MK
BI *
DPD
Komisi Yudisial ***
KPU *
BPK **
Keterangan :
*:
Merupakan lembaga negara yang independen yang dijamin oleh
UUD 1945, walaupun pada dasarnya lembaga-lembaga tersebut
menjalankan fungsi eksekutif.
** :
BPK tidak memegang fungsi legialatif. Namun, BPK memegang fungsi
pemeriksaan yang merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR dan
DPD.
*** :
Pada dasarnya KY bukan lembaga yudikatif. Namun lebih menyerupai
“Dewan Kehormatan” MA yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
215
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Di dalam Amandemen UUD 1945, lembaga negara dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu organ utama (main state’s
organ) dan organ bantu (auxiliary state’s organ). Organ utama
(main state’s organ) adalah lembaga negara sebagai pelaksana
utama dari ketiga kekuasaan negara, di antaranya MPR, DPR,
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA serta MK. Sedangkan
organ bantu (auxiliary state’s organ) adalah lembaga negara
untuk mengoptimalkan pelaksanaan dari check and balances
antar lembaga negara tersebut, di antaranya BPK, KY, BI,
KPU, TNI, dan POLRI.
Menurut Jimly Ashiddiqie, bahwa Indonesia pasca
Amandemen menganut teori pemisahan kekuasaan
(separation of power), dengan alasan lembaga negara yang ada
sekarang ini tidak lagi mendapatkan kewenangan melalui
pembagian kekuasaan dari MPR sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat sebagaimana paradigma yang dianut oleh UUD
1945 sebelum Amandemen. Kini lembaga-lembaga negara
tersebut mendapatkan kewenangannya secara langsung
dari UUD 1945. Konsepsi UUD 1945 pasca amandemen juga
telah berubah pada konsep check and balances antar semua
lembaga negara. Karena bagaimanapun juga penguasa
sangat rentan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang
(abuse of powers) sebagaimana yang pernah dikatakan oleh
Lord Action, ”power tends to corrupt, obsolutely power corrupts
absolutely”.
Menurut Thalib (2006: 3) penerapan prinsip check and
balances antara lembaga negara di Indonesia ini didasarkan
pada teori yang dikembangkan oleh James Madison yang
bertumpu pada empat unsur pokok, diantaranya:
1. Pemisahan kekuasaan;
2. Kedaulatan dibagi antara pusat dan negara bagian;
216
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
3. Hak asasi manusia; dan
4. Anggota kongres dan Presiden dipilih langsung oleh
rakyat.
Sebagai konsekuensinya, maka dalam Amandemen
UUD 1945 telah membawa perubahan terhadap pergeseran
kekuasaan negara, diantaranya:
1. MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang
melaksanakan kedaulatan rakyat, akan tetapi telah
menjadi lembaga negara setara dengan lembaga negara
lainnya (Pasal 1 ayat (2).
2. MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD sebagai
representasi perwakilan kepentingan rakyat dan
kepentingan daerah (Pasal 2 ayat (1).
3. Kekuasaan membentuk undang-undang tidak lagi
berada pada Presiden, tetapi menjadi kekuasaan DPR
(Pasal 20 ayat (1).
4. Proses impeachment Presiden dan atau Wakil Presiden
tidak lagi menjadi wewenang penuh MPR, tetapi harus
melalui ”Putusan MK” terlebih dahulu (Pasal Pasal 7B
ayat (1).
5. Penarapan sistem pemerintahan presidensiil sebagai
wujud dari konsep separation of power dengan legislatif
(Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 17 ayat (2).
6. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR,
tetapi dipilih langsung oleh masyarakat melalui partai
politik di dalam pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) dan (2).
7. Kekuasaan Kehakiman tidak lagi hanya dilaksanakan
oleh MA, tetapi juga oleh MK sebagai lembaga penjaga
kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution atau
waakhond van de grondwet), sehingga kewenangan MK ini
adalah untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
217
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
terhadap hak-hak konstitusional. MK berwenang untuk
memeriksa pengujian undang-undang terhadap UUD
1945, memutuskan pembubaran partai politik, sengketa
kewenangan lembaga negara, perselisihan tentang
hasil pemilihan umum dan kewajiban memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan adanya
pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden
(Pasal 24 ayat (2) jo. Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2).
Selain itu dibentuk lembaga Komisi Yudisial yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
(Pasal 24B ayat (1).
1. Politik Hukum Era Reformasi
Sejarah era reformasi lahir sejak tahun 1998 yaitu
dengan jatuhnya rezim pemerintahan orde baru yang pada
waktu itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sejak jatuhnya
rezim pemerintahan orde baru tersebut, terjadi perubahan
yang sangat besar dalam diri bangsa Indonesia termasuk di
antaranya dalam wilayah hukum. Pada era reformasi, isu
hukum menjadi salah satu isu yang sangat penting hingga
terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang
kemudian berpengaruh besar terhadap kebijakan politik
dan hukum Indonesia sampai sekarang ini.
Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa
Indonesia diatur dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya
GBHN tahun 1999 ini, hukum Islam mempunyai kedudukan
lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan
baku hukum nasional. Perkembangan hukum nasional
pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum
218
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang
yaitu hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi
bebas dan demokratis, bukan pemaksaan antar satu hukum
dengan hukum lainya.119
Partisipasi masyarakat dalam hukum nasional dapat
ditemukan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
yang sekarang terbaru dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya
dalam Pasal 18 tentang aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Pasal 53 undang-undang tersebut menyatakan bahwa
masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Ini berarti
bila masyarakat menghendaki, maka hukum Islam dapat
diajukan menjadi rancangan undang-undang atau perda
untuk menjadi hukum nasional.120 Di samping itu, dalam RPJPN
2005-2025 juga dinyatakan bahwa kemajemukan tatanan
hukum yang berlaku di masyarakat harus diperhatikan dalam
pembaruan materi hukum nasional. Dengan demikian, hukum
Islam sebagai hukum yang tumbuh di masyarakat juga tidak
boleh diabaikan. Memang pemanfaatan hukum Islam sebagai
bahan baku pembentukan hukum nasional agak diabaikan
oleh RPJMN 2004-2009. Namun demikian, RPJMN tidak
mungkin menolak ketika aspirasi masyarakat menunjukkan
akan keinginan untuk diperhatikannya hukum Islam bagi
119
A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju SaintifikModeren (Jakarta: Teraju, 2002), 174-180.
120
Menurut Azizy (2003: 160-185) peluang besar yang terjadi pada hukum
Islam nampak semakin jelas dengan adanya dukungan yuridis melaui GBHN
1999-2004. Bahkan peluang ini sejalan dengan tuntutan perlunya pelaksanaan
demokratis serta ditambah dengan meningkatnya kajian akademik keilmuan.
Azizy, Eklektisisme Hukum Islam.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
219
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
pembentukan hukum nasional, apalagi RPJMN hanya berlaku
selama 5 tahun.
Sejak bergulirnya era reformasi, cukup banyak peraturan
perundang-undangan yang mengakomodir nilai-nilai
hukum Islam. Kondisi Islam pada masa era reformasi juga
menunjukkan tanda-tanda positif. Peraturan yang memuat
nilai- nilai hukum Islam yang telah ditetapkan dalam bentuk
undang-undang di antaranya yaitu:
a. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
b. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji,
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan yang diganti dengan UU
nomor 21 tahun 2008.
d. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
e. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama,
f. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi
khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mana
pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas
untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola
sumber daya alam dan sumber daya manusia, termasuk
di dalamnya penegakan syariat Islam.
g. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999
h. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum
Perbankkan Syariah.
220
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
i. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara.
Di samping berbagai undang-undang di atas, pada
masa reformasi juga muncul berbagai peraturan daerah
yang memuat nilai-nilai hukum Islam di daerah-daerah.
Fenomena perda bernuansa syariat merupakan dampak dari
perubahan sistem politik kenegaraan dan pemerintahan.
Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi
demokratis. Sistem pemerintahan yang sentralistik berubah
menjadi desentralistik. Perubahan-perubahan tersebut
berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung
dalam Amandemen UUD 1945. Disahkannya UU Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25
tahun 1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat
menjadikan pemerintah daerah lebih otonom. Yang paling
jelas adalah setelah lahirnya UU No. 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan Undang-undang.
Selain itu banyak undang-undang dan peraturan
daerah bernuansa hukum Islam pada era reformasi yang
menunjukkan keinginan masyarakat Indonesia sangat besar
agar hukum Islam dijadikan sebagai hukum positif. Kebijakan
politik hukum era reformasi memungkinkan terjadinya
keterbukaan secara lebih demokratis daripada era orde lama
yang masih tarik ulur antara kepentingan dan era orde baru
yang sangat otoriter dalam demokrasi Pancasila. Pada era
reformasi juga muncul berbagai organisasi-organisasi Islam
yang ikut meramaikan pembangunan hukum.121
Sebagai lanjutan menguatkan argumentasi politik hukum
era reformasi perlu dijelaskan misalnya dinamika legislasi
dan karakteristik Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang
121
Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 170-189.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
221
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Dalam era reformasi hingga saat ini, telah
terjadi tiga kali perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD
1945. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat
(2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di
bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer,
Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal
ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua
lembaga peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung.122
Perubahan UUD 1945 ini mengharuskan adanya
perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman
untuk disesuaikan dengan UUD 1945. Perubahan tersebut
dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35
Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970
yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi, dan
finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang
sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masingmasing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan,
susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang
tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4
tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan
Adeles Jung Society, “Dinamika dan Karakteristik Produk Undang-Undang
Era Reformasi”, akses pada 3 Juni 2013 dari, http:// adelesmagicbox.wordpress.
com/ 2012/ 03/ 27/ dinamika- dan-karakteristik – produk – undang – undang –
era - reformasi/
122
222
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN,
dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di samping perubahan-perubahan di tingkat konstruksi
kekuasaan kehakiman, pada kenyataannya di kehidupan
masyarakat, khususnya tingkat kesadaran beragama di
kalangan umat Islam semakin meningkat untuk menjalankan
ketentuan ajaran Islam dalam praktik kehidupan berbangsa
dan bernegara, terlebih tuntutan untuk mencari alternatif
baru dari kegagalan sistem konvensional kepada sistem
nilai yang religius. Salah satunya adalah bidang muamalah.
Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang
mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah,
pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan
ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa
atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila
terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui
peradilan umum. Menyadari hal ini, dalam Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 Tahun 1989 maka
ruang lingkup Peradilan Agama diperluas, ruang lingkup
tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu:
• Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang :perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah;
• Diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa
hak milik atau keperdataan lainnya;
• Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian
rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh
Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat)
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
223
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan
awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan,
awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam
rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara
nasional untuk rukyat Hilal.
Mekanisme pembentukkan Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 ini yakni diawali dengan DPR RI yang mengajukan
Usul Inisiatif RUU tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama melalui surat tertanggal 30
Juni 2005 kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan
bersama. Pemerintah pun merespon positif atas prakarsa
DPR RI tersebut. Begitu juga berbagai fraksi di DPR RI juga
memandang perlunya perubahan terhadap undang-undang
tersebut, sehingga dalam proses perumusan RUU ini hampir
tidak menuai perbedaan mendasar dalam pembahasannya.
Setelah melalui proses pembahasan, DPR RI dan
Pemerintah menyetujui bersama pada tanggal 21 Februari
2006. Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 diundangkan
menjadi UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Bila dicermati konfigurasi politik ketika terjadinya
usul inisiatif atas perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, maka itu sesuai dengan iklim politik
di era reformasi, sehingga hal ini dapat disebut sebagai
konfigurasi demokratis dengan beberapa indikator penting
yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR, antara lain:
1. Partai politik dari badan perwakilan rakyat berperan
aktif dan ikut serta dalam menentukan hukum negara
atau politik nasional, khususnya dalam bidang reformasi.
2. Tumbuhnya supremasi rakyat diletakkan di atas
kepentingan penguasa.
224
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
3. Menjunjung tinggi pelaksanaan hukum, termasuk
hukum agama yang dijamin dalam UUD 1945.
4. Peran eksekutif menghormati kehendak rakyat dan
melaksanakan kebijakan yang pro rakyat.
Dari segi karakter produk hukumnya, maka UU ini
dikategorikan pada produk hukum responsif yang lahir
dari konfigurasi politik yang demokratis, karena UU ini
dapat mencerminkan aspirasi sebagian besar umat Islam
dan rasa keadilan. Selain itu, UU ini merupakan perwujudan
pemenuhan atas harapan masyarakat, seperti adanya
perluasan absolut kompetensi pengadilan agama di bidang
ekonomi syariah.
Semenntara dinamika dan karakteristik Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan
dinamika yang agak berbeda meskipun sama-sama lancar
dalam legislasinya. Dinamika Legislasi perbankan syari’ah
atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha
pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama
Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga
atau yang disebut dengan riba, serta larangan investasi
untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal
ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Sikap umat Islam mengenai isu bunga bank mendorong
sarjana dan praktisi perbankan muslim untuk menemukan
sejumlah cara dan alat untuk mengembangkan sistem
perbankan alternatif yang sesuai dengan ajaran Islam.
Prinsip ekonomi Islam yang menjadi dasar perbankan
syariah adalah perbaikan kesejahteraan masyarakat,
material, dan spitritual, yang sesuai dengan Al-Qur’an dan
hadits. Bank syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
225
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab
tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan
usaha dan ekonomi masyarakat.
Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri
dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mulamula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul
mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga
adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga
timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank
Islam tersebut akan membiayai operasinya.
Rintisan praktik perbankan Islam di Indonesia dimulai
pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi
bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam.
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut,
untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A
Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan
M Amien Azis. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian
Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada
tanggal 18–20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga
bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil
lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990,
yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok
kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja
dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas
untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua
pihak yang terkait.
Eksistensi Bank Islam secara hukum positif
dimungkinkan pertama kali melalui Undang-undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Untuk petunjuk operasional
226
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
pasal-pasal yang mengatur perbankan dengan sistem bagi
hasil dalam undang-undang tersebut, maka pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.72 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Perbankan syariah mulai dikenalkan secara lebih
sistematis sejak tahun 1991 dengan didirikannya Bank
Muamalat. Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih
dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU tersebut,
penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas
diberikan dengan istilah Bank Syariah atau Bank berdasarkan
Prinsip Syariah. Selain itu, muncul kemudian UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah
menjadi UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Namun, peraturan perundang-undangan tersebut belum
secara spesifik mengatur sistem perbankan syariah di
Indonesia, sehingga membutuhkan undang-undang yang
khusus, yakni UU Perbankan Syariah.123
Pada awalnya, rencana penyusunan RUU Perbankan
Syariah diwacanakan oleh Komisi IX DPR RI periode 19992004. Namun karena kendala waktu, RUU ini diteruskan
pada periode 2004-2009 dimana RUU Perbankan Syariah
ini dijadikan sebagai salah satu prioritas dalam Program
Legislasi Nasional. Pada dasarnya, RUU Perbankan Syariah ini
tidak menimbulkan polemik di antara kekuatan politik dan
kalangan masyarakat, bahkan seluruh fraksi di DPR sangat
menyetujui usulan RUU Perbankan Syariah ini. Keberadaan
Adeles Jung Society, “Dinamika dan Karakteristik Produk Undang-Undang
Era Reformasi”, akses pada 3 Juni 2013 dari, http:// adelesmagicbox.wordpress.
com/ 2012/ 03/ 27/ dinamika- dan-karakteristik – produk – undang – undang –
era - reformasi/
123
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
227
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
UU Perbankan Syariah dalam sebuah tatanan perekonomian
Indonesia diperlukan untuk mengatur operasional dan teknis
pelaksanaan Direktorat Perbankan Syariah yang telah dibuat
oleh pemerintah. Keberadaan Perbankan Syariah memberikan
ketentraman bagi umat Islam, serta dapat menjadi pilihan
alternatif dalam menggunakan jasa layanan perbankan.124
Oleh karenanya, sama halnya dengan UU Wakaf dan
UU Peradilan Agama, bahwa UU Perbankan Syariah yang
lahir di era reformasi ini, telah menjadi salah satu produk
hukum yang responsif. Hal ini lantaran berkembangnya
nilai-nilai demokrasi di tengah kehidupan masyarakat.
Sehingga peraturan perundang-undangan yang hadir adalah
peraturan yang sangat memperhatikan keinginan masyarkat
dan dapat memenuhi setiap aspirasi yang dimunculkan oleh
masyarakat. Indikator pentingnya adalah bahwa adanya
dukungan dari partai politik atau kekuatan politik, organisasi
masyarakat, pemerintah, maupun masyarakat yang sangat
berperan aktif dalam rangka mewujudkan UU Perbankan.
Selain itu pun, undang-undang ini adalah sebagai jawaban
pelaksanaan hukum yang sesuai dengan Pancasila dimana
telah mengakomodir kebutuhan akan hukum agama.
2. Positivisasi Hukum Islam Era Reformasi
Ada dua hal yang sangat penting dalam proses
positivisasi, yaitu demokratisasi dan keilmuan.125 Oleh
karenanya dalam keadaan yang sangat terbuka sebagai
konsekuensi era reformasi dan dalam waktu bersamaan
dalam kondisi yang krisis seperti sekarang ini, hukum
Islam atau fiqh mempunyai peran besar sebagai sumber
124
125
228
Ibid.
Azizy, Eklektisisme, 173-175.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
hukum nasional.126 Arti sumber di sini akan mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, bukan saja dalam
sistem peradilan agama, sepeti selama ini, namun juga
dalam sistem peradilan (meliputi materi hukum dan sistem
kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum) yang lebih
luas.127
Dalam konteks ini, positivisasi tidak hanya sekedar
mentransfer fiqh yang merupakan produk beberapa abad
lalu, tetapi juga tidak berarti harus membuang begitu saja
hasil pemikiran fuqaha masa yang sudah silam. Pemikiran
atau karya fuqaha’ masa lalu merupakan living knowledge
(pelajaran hidup) yang sangat berarti bagi pemikiran masa
kini. Bahkan juga tidak mustahil kalau juga menjadi sumber
pemikiran sekarang, sebagai proses historical continuity
dalam tradisi akademik.128
Kalau menempatkan fiqh atau hukum Islam dalam jajaran
sumber ilmu hukum secara umum, maka dalam tataran
operasional atau hukum materiil, fiqh dapat dijadikan sumber
melalui beberapa jalur atau alur, antara lain sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan.
2. Sumber kebijakan pelaksana pemerintahan yang tidak
secara langsung dalam pengertian legislasi sebagai
mana peraturan pemerintah, namun dalam konteks
kedisiplinan secara administratif, meskipun pada
akhirnya berkaitan dengan nilai-nilai legislasi pula.
126
Bisyara (2012: 2-13) menjelaskan bahwa Termasuk dalam konteks ini
menempatkan fiqh sebagai salah satu bentuk ilmu hukum dalam dunia hukum,
yang dapat memberi arti bahwa fiqh atau hukum islam menjadi sumber kajian
dalam dunia ilmu hukum dan sekaligus sumber hukum materiil. Namun bahwa
fiqh yang ada disini harus berupa fiqh yang memang sudah sesuai dengan
tuntunan zaman, bukan dalam pengertian pasif dan jumud.
127
Azizy, Eklektisisme, 170-180.
128
Ibid., 170-185.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
229
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
3. Yurisprudensi.
4. Sumber bagi penegak hukum, polisi, jaksa, dan
pengacara.
5. Sumber ilmu hukum atau filsafat hukum.
6. Sumber nilai-nilai budaya masyarakat dan sekaligus
sebagai sumber kebiasaan.
Dari uaraian di atas, dapat dipahami bahwa lahirnya
reformasi total di Indonesia menjadi kesempatan dan
sekaligus tantangan bagi kajian hukum Islam. Kalau semula
kajian hukum Islam seoalah melangit atau “ngawangngawang”, oleh karena didominasi oleh model menghafal
hasil pemikiran ulama yang telah sekian abad lalu, kini
kajian hukum Islam sudah saatnya untuk mampu bersifat
empiris dan realistis, membumi yang mudah dipahami dan
kemudian diamalkan oleh pemeluknya.129 Para pemikir
hukum Islam dituntut untuk mampu meletakkan hukum
Islam, mampu berperan dan berdaya guna dalam rangka
keperluan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia pada
umumnya.130
Terkait pembahasan positivisasi hukum Islam, ada peluang
besar bagi kedudukan hukum Islam, namun juga sekaligus
tantangan kemampuan para pelaku kajiannya. Konsekuensinya,
model dan kajian pendekatan hukum Islam di Indonesia,
terutama sekali di lembaga-lembaga akademik seperti PT dan
129
Peluang ini dengan meminjam pemikiran Raisūni (2012: 7-10) yang
menatakan bahwa, dalam pemahaman hukum Islam sekarang terutama dalam
menetapkan hukum sesuai dengan kondisi modern diperlukan musyawarah dan
memahami realitas yang menjadi kecenderungan umum, artinya apa yang telaah
terjadi sebagai kebiasaan yang terbanyak diikuti dan dipraktekkan dalam suatu
masyarakat tersebut. Jadi jelas Raisūni (2012) menekankan bangunan hukum
yang baik hukum yang sesuai dengan kebanyakan kehendak umat, baik dalam
kalangan umala’ maupun masyarakat secara umum.
130
Ibid., 168-178.
230
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
pusat kajian, sudah waktunya untuk diperbaharui. Model,
pendekatan dan filosofi kajian hukum Islam atau fiqh di IAIN,
STAIN, PTAIS perlu diadakan reorientasi atau bahkan perubahan
agar benar-benar bermanfaat dan memenuhi tuntutan tadi
hukum positif, meliputi merekonstruksi pemikiran hukum
Islam dengan bahasa UU, seperti KHI, sehingga akan lebih
mudah dipahami dengan menggunakan bahasa hukum pada
umumnya. Usaha positivisasi hukum Islam merupakan suatu
keharusan baik dalam konteks kajian akademik yang selalu
mengikuti ekelektisisme maupun proses demokratisasi yang
mendasarkan pada mayoritas penduduk.131
Menurut Masruhan132 pada masa reformasi, hokum
Islam telah memainkan peran yang sangat penting dalam
pembangunan hukum nasional Indonesia. Namun, lahirnya
aneka peraturan perundang-undangan yang memuat nilai-nilai
hukum Islam tidak terlepas dari masalah, bahkan kontroversi
yang terjadi di kalangan umat Islam sendiri yang merupakan
problem serius dalam memahami hakikat Islam. Setiap
Indonesia melakukan usaha legislasi hukum Islam, maka hal
tersebut selalu menimbulkan kontroversi baik bersifat teknis
yuridis maupun politis. Polemik itu muncul karena posisi
hukum Islam berada di titik tengah antara paradigma agama
dan negara dan bahkan berada di titik tengah ketegangan
antara agama itu sendiri. Bahkan kekuatan politik yang
berkembang dalam berbagai partai sulit disatukan persepsinya
tentang Islam yang mana. Islam sendiri tidak mengharuskan
positivisasi hukumnya untuk menjamin kepastian.133
Rofiq, Pembaharuan, 23-50. Dan Gunaryo, Pergumulan, 102-135.
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347
133
Ibid.
131
132
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
231
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dalam perkembangannya, positivisasi hukum Islam
sebagaimana terdapat dalam kitab himpunan hukum Islam
menjadi kebutuhan hidup bernegara karena ada kebutuhan
akan landasan dan dasar hukum bagi hakim dalam memeriksa
dan memutuskan perkara demi keseragaman dan kepastian
hukum. Hukum Islam bisa berlaku dalam sebuah negara
harus melalui positivisasi dengan cara memasukkan prinsipprinsip hukum ke dalam peraturan perundang-undangan.134
Upaya ini sangat prospektif karena masih banyak
peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang belum
tergantikan dengan peraturan perundang-undangan nasional
yang bernuansa Islami. Secara sosiologis, upaya tersebut terus
berproses melalui perjuangan positivisasi hukum Islam yang
didukung oleh tingginya rasa kesadaran dari masyarakat
Indonesia. Hal ini karena hukum Islam hidup dan dianut oleh
rakyat setempat dalam kehidupan sehari-hari. Strategi dan
pendekatan yang ditempuh adalah logika dan dasar bahwa
setiap orang Islam harus menjalankan syariat Islam. Oleh
karenanya, secara akademik, menurut Azizy135, positivisasi
harus melalui proses keilmuan dalam disiplin ilmu hukum
(jurisprudence). Sehingga, secara politis dalam sistem politik
demokratis, positivisasi tetap dalam koridor demokratisasi
tanpa mengutamakan asas adat atau mayoritas Islam Indonesia.
Setelah reformasi, hukum Islam menampakkan karakter
aslinya dengan kebijakan Pemerintah Era Reformasi di
bidang hukum, yang menurut Teuku Mohammad Radhie
ditetapkan dengan memanfaatkan bahan baku dari sistem
hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan
tatanan hukumnya, menurut Sidharta memiliki ciri134
135
232
Azizy, Eklektisisme, 170-180.
Ibid., 173-179.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
ciri; berwawasan kebangsaan dan nusantara, mampu
mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis
kedaerahan dan keyakinan keagamaan, berbentuk tertulis
dan terunifikasi, bersifat rasional baik segi efisiensi,
kewajaran, kaidah dan nilai, transparansi dan responsif
terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Lagi pula, upaya pembangunan nasional dilaksanakan oleh
semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan
bernegara yang efektivitas, efisiensi dan obyektivitasnya
memerlukan perencanaan pembangunan nasional.136
Sistem hukum nasional yang pembangunannya
diupayakan adalah sebuah sistem hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlaku di
seluruh Indonesia. Untuk mewujudkan satu hukum nasional
bagi bangsa Indonesia yang beragam suku bangsa, budaya
dan agama seharusnya tidak memandang agama yang
dipeluknya.137 (Azizy, 2002). Sebab, diantara agama mereka
itu adalah agama Islam yang tidak dapat dipisahkan dari
hukum. Artinya, Islam adalah agama hukum dalam arti
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pembangunan hukum
nasional yang mayoritas penduduknya beragama Islam
haruslah memperhatikan unsur hukum agama. Apalagi,
menurut Said138 hukum Islam merupakan salah satu sumber
bahan baku bagi pembentukan hukum nasional.
136
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012
dari, http://ejournal.Sunan-ampel.ac.id/index.php/Islamica/article/viewFile/
453/347
137
A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju SaintifikModeren (Jakarta: Teraju, 2002).
138
Imran Said, “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan Orde Baru: Suatu
Telaahan dalam Partai Politik” diakses pada 04 November 2012 dari http://www. scribd.
com/doc/52908105/Konfigurasi–Politik–pada–Era–Orde–Lama–dan–Orde- Baru
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
233
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum nasional harus dapat mengayomi
seluruh bangsa dan aspek kehidupannya. Karena itu,
pembangunan hukum nasional wajib menggunakan
wawasan nasional yang terdiri atas wawasan kebangsaan,
wawasan nusantara dan wawasan Bhinneka Tunggal Ika
dengan arah dan tujuan yang diatur dalam GBHN 19992004.139 Sebenarnya secara yuridis, dengan Perubahan UUD
1945 timbullah perubahan dalam pembangunan yakni tidak
dibuatnya GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana
pembangunan nasional. Namun, ada pembuatan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dengan
undang- undang.140
Sementara itu, sistem perencanaan pembangunan
Nasional menggunakan Peraturan Presiden tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Sasaran
perencanaan pembangunan nasional di bidang politik dan
hukum periode tahun 2004-2009 adalah terciptanya sistem
hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif
(termasuk tidak bias gender), terjaminnya konsistensi seluruh
peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah,
serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan serta penegak hukum
yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan
kembali kepercayaan hukum masyarakat.141 Arah kebijakan
pembangunan nasional di bidang politik dan hukum tahun 20042009 ini merupakan pembenahan sistem dan politik hukum
Mahfud, Membangun Politik Hukum, 42-49.
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari,
http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/
453/347
141
Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, 25-48.
139
140
234
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
dalam lima tahun mendatang untuk memperbaiki materi,
struktur, dan kultur hukum yang dijabarkan ke dalam programprogram pembangunan. Pertama, program perencanaan
hukum untuk menciptakan persamaan persepsi para pelaku
pembangunan terutama di bidang hukum untuk mengantisipasi
isu-isu strategis dan global agar penegakan dan kepastian hukum
tetap berjalan secara berkesinambungan. Dengan program ini
diharapkan adanya produk kebijakan (materi hukum) yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat, mengandung perlindungan
dan penghormatan HAM serta berlaku efektif dalam masyarakat
dalam kurun waktu lima tahun berikutnya.142
Kedua, menciptakan perangkat peraturan perundangundangan dan yurisprudensi untuk mengatur perilaku
individu dan lembaga serta menyelesaikan sengketa. Ketiga,
Program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga
penegakan hukum lainnya untuk memperkuat lembaga
peradilan dan lembaga penegakan hukum melalui sistem
peradilan pidana terpadu yang melibatkan antara lain MA,
Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Lembaga Pemasyarakatan dan
praktisi hukum untuk mempercepat pemulihan kepercayaan
masyarakat terhadap hukum dan peradilan. Sehingga,
terwujud lembaga peradilan dan penegakan hukum yang
transparan, akuntabel dan berkualitas berbentuk putusan
pengadilan yang benar dan adil.143
Muchsin, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum
Nasional,” diakses pada 20 Juni 2012 dari http: //www.ditpertais.net/
annualconference/2008/dokumen/KONTRIBUSI-% 20HUKUM% 20ISLAM muchsin.pdf
143
Gunaryo, Pergumulan, 103-127. Dan Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam
Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September
2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/
index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347
142
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
235
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Keempat, program peningkatan kualitas kemampuan
profesional aparat penegak hukum yang meliputi hakim,
polisi, jaksa, petugas pemasyarakatan, petugas keimigrasian,
perancang peraturan perundang-undangan, penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS), para praktisi hukum dan lain sebagainya.
Kelima, program peningkatan kesadaran hukum dan HAM untuk
menumbuhkembangkan serta meningkatkan kadar kesadaran
hukum dan HAM masyarakat dan para penyelenggara negara
agar menyadari hak dan kewajibannya serta mampu berperilaku
sesuai dengan kaidah hukum dan menghormati HAM. Dengan
program ini, terwujudlah penyelenggaraan negara yang bersih
dan menghormati HAM.144
Kebijakan pemerintah dalam hukum tidak lepas dari
politik hukum Indonesia. Politik hukum, menurut Soedarto,
adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki, yang akan digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan. Politik hukum ini, menurut C.F.G Sunaryati
Hartono, merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum
nasional demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia.145
Politik dan hukum itu memiliki hubungan kausalitas.
Hukum menurut kaum idealis harus mampu mengendalikan
dan merekayasa perkembangan masyarakat dan kehidupan
politik. Peletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat adalah suatu kewajaran, karena dengan itu
fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan kepentingan
masyarakat akan menjadi relevan. Sedangkan kaum
144
145
236
Ibid.
Azizy, Reformasi Bermazhab, 170-182.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
realis seperti Savigni menganggap bahwa hukum selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Artinya, mau tidak mau, hukum menjadi independent variable
atas keadaan di luarnya, terutama keadaan politiknya.
Memang kenyataannya, hukum itu lahir sebagai refleksi
dari konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Kalimatkalimat dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi
dari kehendak politik yang saling bersaingan. Dengan demikian,
karakter produk hukum selalu berkembang seirama dengan
perkembangan konfigurasi politik. Menurut Mahfud146 suatu
proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan berpengaruh
signifikan terhadap suatu produk hukum yang dilahirkannya.
Negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk
hukumnya berkarakter responsif atau populistik. Sedangkan
negara yang konfigurasi politiknya otoriter produk hukumnya
berkarakter ortodok atau konservatif atau elitis. Karena itu,
dapatlah dikatakan bahwa produk hukum yang dihasilkan
di era reformasi yang konfigurasi politiknya demokratis
adalah responsif. Hal ini terlihat dari rumusan sasaran yang
dilakukan dalam pembenahan sistem dan politik hukum 20042009 dan langkah-langkah yang dilakukan terhadap hukum
dan peradilan. Sehingga, terwujudlah lembaga peradilan dan
penegakan hukum yang transparan, akuntabel dan berkualitas
berbentuk putusan pengadilan yang benar dan adil.
Menurut teori hukum responsif Philippe Nonet dan
Selznick bahwa hukum yang baik seharusnya menawarkan
sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural,
berkompeten dan adil, mampu mengenali keinginan publik
dan memiliki komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.
Berdasarkan atas UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
146
Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, 25-40.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
237
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden
Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004-2009 bahwa produk hukum
yang dihasilkan pada era reformasi sekarang ini memiliki
karakter hukum responsif. Dalam kondisi negara demokratis,
positivisasi hukum Islam yang dilaksanakan sesuai aturan
dan prosedur yang benar dalam pembentukan hukum
nasional berarti positivisasi hukum Islam tersebut sesuai
dengan arah dan tujuan hukum nasional, yaitu mewujudkan
materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik
sekarang maupun mendatang, mengandung perlindungan
dan penghormatan terhadap HAM serta mempunyai daya
laku yang efektif dalam masyarakat secara keseluruhan.147
Terkait positivisasi hukum Islam, maka perlu
mempertimbangkan legalitas atau legalnya suatu hukum Islam,
yang terkait dengan tata hukum Imndonesia. Tata hukum
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah
memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap
pembangunan hukum agama dengan jelas. Menurut Mochtar
Kusumatmadja, sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya
berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang
bertentangan, bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama.
Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaikbaiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada
setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah
menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan
bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi
agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347
147
238
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.148 Berkaitan
dengan kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia,
dapat dikatakan bahwa ada tiga pola legislasi hukum Islam dalam
peraturan perundang-undangan nasional. Pertama, Pola unifikasi
dengan diferensiasi. Dalam hal ini hukum Islam berlaku untuk
setiap warga negara dengan beberapa pengecualian. Misalnya,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua, Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat
Islam. Misalnya, Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Ketiga, Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundangundangan nasional dan berlaku untuk setiap warga negara seperti
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang Kesehatan.
Positivisasi dan demokratisasi sangat relevan dengan
masalah hukum Islam di Indonesia. Langkah positivisasi dan
demokratisasi merupakan langkah menjadikan hukum Islam
sebagai hukum nasional. Dua langkah ini sebagai solusi yang
disampaikan oleh Syahrur ketika hukum Islam disatukan dengan
sistem hukum negara bangsa. Penyatuan harus berjalan dengan
mekanisme demokrasi. Bila mekanisme demokrasi dijalankan
dalam memproduksi hukum, dan proses positivisasi berjalan,
maka vitalisasi aparat penegak hukum menemui jalan mulus,
tak canggung dan phobi dengan hukum Islam. Sebab, tidak ada
dikotomi hukum Islam dan hukum nasional. Hukum Islam dengan
sendirinya merupakan hukum nasional, sementara hukum
nasional selama tidak menyalahi hudud Allah merupakan hukum
Islam walaupun diproduksi oleh parlemen dan manusia biasa.
Dalam konteks demikian, aktualisasi hukum Islam adalah
bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Ada dua
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347
148
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
239
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
bentuk aktualisasi hukum Islam yaitu upaya pemberlakuan
hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu
yang berlaku khusus bagi umat Islam dan upaya menjadikan
syari’at Islam dan fiqh sebagai sumber hukum bagi penyusunan
hukum nasional.149 Dengan demikian, aktualisasi hukum Islam
harus dilakukan secara sistemik dan dengan tindakan nyata.
Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan jika
dilakukan sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan
tuntutan pemberlakuan syari’at Islam. Syari’at Islam adalah
jalan hidup yang menjadi sumber rujukan. Salah satu masalah
yang dihadapi dalam upaya aktualisasi hukum Islam adalah
belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang
harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku
khusus bagi umat Islam maupun yang berlaku secara umum.
Agar proses aktualisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan
baik, ada beberapa masalah yang harus diselesaikan. Dalam
praktek di lapangan, undang-undang mempunyai kedudukan
yang penting ketika berbicara mengenai hukum karena ada
alasan-alasan yang mendasarinya.150
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses
pada 22 Juni 2012 dari https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache: XpbOr1k-UP0J:law.
uii.ac.id/dokumentasi/task,doc_download/gid,62/+KEBEBASAN+BERAGAMA+DALAM+P
ERSPEKTIF+KONSTITUSI&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsqQ
4BRPHOGBBe4bvY2QrdS1C33Xz1VxmRZy1Xop–mLsM252VzcTtpDOaP8SXQatiMBbqp3t
357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWz
vCk-Uo2UVEw. Dan Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif Pembangunan
Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi,” diakses pada 21 Juni 2012 dari, https: //
docs. google. com/ viewer? A = v&q = cache: 0zc 1QFZfE S4J: digilib. uns. ac. id/abstrak.
pdf. php? d_id%3D14171 + positivisasi + hukum + islam + di + indonesia &hl = id&gl = id&pid
= bl&srcid = ADGEESg 7WDT_PhI-4YofCc V-- J9z3cZbrf—Qw 9RPW3ACQUr0 AlB2 FsIYfl
4voE0Fz_h DC6tom IwKrzy NH Cpp LB0 so CWCs UDXT 42S8l4 fwL 5e VMw O6bt X0 DAkh
Sb Wxo Hqtr 43o BQMB j& sig = AHIEtb RMW AhSPz VTX5Mc5dhMAX6Pd5geRw.
150
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari,
http://ejournal.Sunan-ampel.ac.id/index.php/Islamica/article/viewFile/ 453/347
149
240
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Kesempatan dan sarana terbesar bagi positivisasi hukum
Islam adalah memasukkan nilai- nilai hukum Islam ke dalam
undang-undang dan tidak berarti harus secara langsung
menjadikan undang-undang tersendiri. Kesempatan yang lebih
banyak lagi adalah positivisasi hukum Islam pada setiap hukum
tertulis, dari hukum dasar sampai dengan peraturan perundangundangan yang terendah. Model ini lebih memperkecil
pendekatan normatif dengan menjadikan hukum Islam
dalam sebuah undang-undang tertentu. Namun dalam waktu
bersamaan akan mempunyai jangkauan lebih luas, karena akan
mampu meliputi banyak aspek atau jenis hukum atau undangundang. Model seperti ini merupakan usaha memasukkan
hukum Islam ke dalam hukum nasional secara akademik,
argumentatif, sosiologis, kultural dan asas kemanfaatan bersama
demi tercapainya visi, misi, cita-cita dan kemaslahatan bangsa.
Pendekatan seperti ini juga dapat dilakukan ketika hakim atau
penegak hukum berbicara mengenai kebiasaan dan doktrin
sebagai sumber hukum. Hukum yang dibuat negara yang
berdasarkan Pancasila harus memperhatikan rasa keadilan
masyarakat Indonesia, terutama umat Islam yang berjumlah
mayoritas. Apabila hukum yang dibuat tidak memperhatikan rasa
keadilan hukum yang dianut oleh masyarakat maka hukum itu
akan ditolak oleh masyarakat tempat hukum itu diberlakukan.151
151
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses
pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k
- UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN +
BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid
= ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1
Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx
6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. Dan Masruhan,
“Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol.
6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
241
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Salah satu syarat berlakunya hukum dengan baik dalam
masyarakat, menurut Teuku Muhammad Radhi ialah keharusan
hukum tersebut sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam dan karenanya dalam penyusunan
hukum nasional para pihak berwenang mengindahkan hukum
Islam sehingga hukum nasional tersebut tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Positivisasi hukum Islam ini dilandasi
oleh nilai filosofis, yuridis dan sosiologis bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam
sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Karena pada
dasarnya cara berpikir, pandangan hidup dan karakter semua
bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.152 Hukum
yang berlaku di Indonesia harus tetap konsisten dan dilandasi oleh
nilai-nilai ke- Tuhanan Yang Maha Esa dan tetap mengindahkan
nilai-nilai hukum Islam. Sebaliknya, hukum nasional terutama
yang berlaku bagi umat Islam Indonesia tidak boleh mengandung
ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Betapapun
dalam praktiknya legislasi bukan merupakan kecenderungan,
pada saat ini jalur siyāsah hukum Islam dalam bidang-bidang
tertentu telah terakomodasi dalam perundang- undangan.
Artinya, hukum Islam tersebut telah menjadi bagian dari hukum
positif di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pengembangan
hukum Islam di Indonesia cenderung berlangsung melalui dua
jalur yaitu jalur legislasi dan jalur non legislasi.153
Azizy, Reformasi Bermazhab, 170-185.
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,” diakses
pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k
- UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ + KEBEBASAN +
BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid
= ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1
Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx
6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw. Dan Masruhan,
152
153
242
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Kecenderungan perkembangan hukum di luar
perundang-undangan lebih banyak dari pada melalui jalur
legislasi, karena kendala struktural dan kultural, baik secara
internal maupun eksternal. Secara internal, para pendukung
sistem hukum Islam beranggapan bahwa hukum Islam sebagai
suatu sistem yang belum perlu dikembangkan dalam konteks
hukum nasional. Secara eksternal, struktur politik yang ada
belum tentu mendukung proses legislasi hukum Islam.154
Dalam konteks demikian, pengembangan hukum Islam
melalui proses legislasi tetap perlu dilakukan. Materi hukum
Islam yang diundangkan bukan hukum publik, sebab akan
berbenturan dengan materi hukum agama lain. Sedangkan
materi hukum privat tidak pada semua bidang karena ada
bidang-bidang hukum tertentu yang peka. Jika bidang hukum
yang peka ini diangkat pasti akan terjadi konflik baik internal
maupun eksternal. Dilihat dari kebutuhan dalam pergaulan
hukum nasional dan internasional, legislasi merupakan
tuntutan objektif dan urgen karena akan mendukung
implementasi hukum Islam secara pasti dan mengikat secara
formal yuridis. Dalam teks ajaran Islam, memang tidak ada
keharusan memberlakukan hukum Islam melalui legislasi.
Namun menurut kaidah ushul fiqh sesuatu yang mubah bisa
menjadi wajib, jika manfaat yang diberikan oleh sesuatu itu
lebih besar bagi terlaksananya sesuatu yang diperintahkan.
“Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol.
6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal. Sunan ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347
154
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”,
dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember
2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/
viewFile/ 453/347. Amal, Politik Syariat Islam, 24-39. Dan Abdul Moqsith Ghazali,
”Menggemakan Pemikiran Gus Dur,” diiakses pada 21 Juni 2012 dari http://
islamlib.com/id/artikel/menggemakan-pemikiran-gus-dur
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
243
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Atas dasar itu, jika efektivitas hukum Islam di Indonesia
memerlukan campur tangan pemerintah, maka legislasi
merupakan kebutuhan yang urgen.155
Menerapkan hukum Islam dalam konteks sosial politik
Indonesia di masa kini selalu mengundang polemik. Polemik
itu tidak sekadar berputar pada perkara teknis yuridis belaka,
tetapi menyentuh perkara politik yang peka. Setidaknya ada
dua sebab, yaitu;
Pertama, hukum Islam itu berada pada titik tengah antara
paradigma agama dan paradigma negara. Sebagai bagian dari
paradigma agama Islam, penerapan hukum Islam menjadi nilai
agama. Ia menjadi bagian dari usaha operasionalisasi totalitas
Islam dalam kenyataan empiris. Bahkan, operasionalisasi
prinsip keagamaan menjadi semacam tugas suci.156 Pada saat
yang sama, hukum Islam menjadi bagian dari paradigma
negara yang mempunyai sistemnya sendiri. Dalam zaman
modern, negara dalam konteks pluralitas, legitimasi negara
berada pada komitmen atas pluralitas itu sendiri. Akibatnya
untuk mempertahankan pluralitas itu negera terpaksa
mereduksi tidak hanya hukum Islam tetapi juga berbagai
perangkat keislaman lainnya. Hal ini dilakukan untuk
membuat kelompok non Islam tetap mengidentifikasikan
dirinya dengan negara. Membuat penganut agama lain merasa
aman berarti negara harus berdiri netral tidak berpihak ke
salah satu agama. Di zaman ini solusi atas tarik menarik ini
155
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347
156
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347.
Dan Abdul Moqsith Ghazali, ”Menggemakan Pemikiran Gus Dur,” diiakses pada 21
Juni 2012 dari http://islamlib.com/id/artikel/menggemakan-pemikiran-gus-dur
244
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
telah dapat diketahui yakni sektor publik diurus oleh negara
dan sektor privat diberikan kepada agama.157
Kedua, hukum Islam juga berada pada titik tengah ketegangan
antar agama itu sendiri. Dalam kondisi masyarakat yang agamanya
plural, pemekaran agama yang satu dapat menjadi ancaman
bagi agama lainnya. Legislasi hukum agama yang satu dapat
menimbulkan keterasingan dan kecemburuan agama lainnya.
Untuk menjaga komitmen pada pluralitas agama itu, sekali lagi
hukum Islam direduksi sampai pada tingkat yang membuat
penganut agama lain merasa tidak terancam. Sebagaimana
penganut agama Islam tidak ingin merasa terancam eksistensinya,
penganut agama lain pun mempunyai kepentingan yang sama.
Padahal, undang-undang mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam sistem hukum di Indonesia.158
Dalam konteks demikian, hukum Islam dapat berlaku secara
formal apabila dilegislasi menjadi hukum nasional. Legislasi
hukum Islam tidak berarti harus secara langsung menjadikan
undang-undang tersendiri melainkan dapat melalui setiap hukum
tertulis, dari hukum dasar sampai dengan peraturan perundangundangan terkecil atau terendah. Artinya bagaimana nilai-nilai
hukum Islam itu dapat diserap menjadi hukum nasional dengan
suatu undang-undang khusus ataupun tidak, yang terpenting
adalah nilai-nilai dalam hukum tidak bertentangan dengan nilainilai hukum Islam.159 Hukum Islam di bidang publik seperti pidana
Islam sampai sekarang belum dapat menjadi hukum positif.
Usulan pengadaan kodifikasi hukum pidana Islam menjadi
157
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347.
158
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 4-10. Dan
Gunaryo, Pergumulan, 102-145.
159
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta,
1999), 3-26. Dan Azizy, Reformasi Bermazhab, 167-179.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
245
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
hukum nasional, banyak menuai perdebatan bahkan dalam
kalangan Islam sendiri. Sebab, menurut Rahmad Rosyadi, ada
ketidakmengertian, kesalahpahaman, dan ketakutan terhadap
hukum pidana Islam yang tidak proporsional. Positivisasi
hukum Islam dimaksudkan sebagai upaya melegalisasi hukum
Islam menjadi hukum positif untuk diaplikasikan secara nyata
dalam praktik kehidupan. Rancangan legislasi hukum Islam
dapat disampaikan oleh eksekutif, legislatif atau pihak lain
yang ditunjuk, sebagai naskah kalangan akademis. Kemudian,
rancangan undang-undang tersebut diproses menjadi undangundang atau peraturan lain sehingga mempunyai daya ikat dan
memenuhi unsur keadilan serta kepastian hukum di masyarakat.
Upaya positivisasi hukum Islam tentu memerlukan dukungan
pemerintah yang berkuasa. Dengan kekuatan politik dan
sistem hukum yang ada, pemerintah dapat membuat kebijakan
pemberlakuan hukum Islam ini menjadi hukum positif.160
Menurut Raharjo161 dalam paham sosiologi hukum yang
dikembangkan oleh aliran Pragmatic Legal Realism yang dipelopori
antara lain oleh Roscou Pound, terdapat keyakinan bahwa
hukum adalah ‘a tool of social engineering’. Dengan paham ini, maka
perubahan hukum di Indonesia harus a) bercirikan sikap hidup
dan karakter bangsa Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai
universal manusia sebagai warga dunia, sehingga ke depan akan
terjadi tranformasi hukum yang lebih bersifat Indonesiani, dan
b) mampu membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
mandiri, bermartabat dan terhormat di mata pergaulan antar
bangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana mencapai
tujuan bangsa yang efektif. Perubahan hukum di Indonesia
pada kenyataannya berlangsung, baik yang dilakukan oleh
penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan
Azizy, Reformasi Bermazhab, 175-182.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2007), 24-39.
160
161
246
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan perundangan
yang menjangkau semua fase kehidupan yang berorientasi pada
kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun kehidupan
bernegara (politik) sehingga mampu mengisi kekosongan atau
kevakuman hukum dalam berbagai segi kehidupan.162
Menurut Masruhan163 dengan perencanaan yang baik,
perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan
hukum di Indonesia yang menurut Mochtar Kusumaatmaja
harus dilakukan dengan beberapa jalan: Pertama, meningkatkan
dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional antara lain
dengan mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum
dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran
hukum masyarakat. Kedua, menertibkan fungsi lembaga hukum
menurut proporsinya masing-masing. Ketiga, meningkatkan
kemampuan dan kewibawaan penegak hukum Keempat,
memupuk kesadaran hukum masyarakat. Kelima, membina sikap
para penguasa dan para pejabat pemerintah/negara ke arah
komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Atas argumentasi demikian, maka pemahanam fungsi
serta teori eksistensi, dapat dikatakan bahwa keberadaan
hukum Islam dalam hukum nasional sangatlah penting.
Sebagai bagian integral dari hukum nasional kemandirian
hukum Islam diakui berkekuatan hukum nasional baik sebagai
penyaring bahan-bahan hukum nasional, sebagai bahan dan
unsur utama utama hukum nasional Indonesia. Karena itu,
ada tuntutan hak konstitusional penerapan syariat Islam yang
menurut Jawahir Thontowi didasarkan pada argumentasi:
Ibid., 13-39.
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347.
162
163
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
247
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
pertama, jaminan penerapan syariat Islam dalam HAM
Internasional seperti tersebut dalam Deklarasi Universal HAM
Pasal 18; kedua, ICESCR (The International Covenant on Economic,
Social and Cultural) dan ICCPR meletakkan kemerdekaan
beragama sebagai hak fundamental, sehingga larangan
apapun atas hak-hak dasar bertentangan dengan kekuatan
HAM Internasional. Freedom of Expression, of Association, of
Relogion, Freedom from Fear, want and Expression and Hungger
merupakan kewajiban negara untuk melindunginya.164
Kebebasan beragama, menurut Nathan Lerner sebagaimana
dikutip Masruhan (2012) mencakup kebebasan beribadah
dan berkumpul terkait dengan agama atau keyakinannya,
mendirikan, memelihara tempat-tempat beribadah; mendirikan
dan memelihara lembaga donor untuk kemanusiaan; membuat
atau menggunakan tanda-tanda yang dikaitkan dengan upacara
keagamaan; menulis dan mempublikasikan serta melakukan
diseminasi dengan publikasi yang relevan di wilayahnya
masing-masing;Kmemberikan pendidikan dan pengajaran
atas anak-anak didik penganut; memberikan atau menerima
harta sebagai bantuan keuangan; melatih atau memilih para
penyebar agamanya masing-masing; memberlakukan hari
libur untuk istirahat; mendirikan dan memelihara harmonisasi
individu dan masyarakat, dalam kaitannya dengan persoalan
keagamaan dan kepercayaan, baik dalam level nasional dan
juga internasional.165
164
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari,
http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/
453/347. Dan Abu Hafsin, “Kebebasan Beragama dan Hak-hak Politik Minoritas
(Analisis Keagamaan Terhadap Kebijakan Presiden Gus Dur),” salah satu makalah
dalam Seminar Gus Dur, Seorang Muslim dan Demokrat di Universitas Wahid
Hasyim Semarang 31 Agustus 2000, 2-16.
165
Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, 23-48.
248
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
Lebih lanjut Masruhan166 juga menjelaskan beberapa
ketentuan mengenai hak-hak dasar keagamaan pada saat
ini telah merefleksikan kebiasaan hukum intemasional, dan
ketentuan mengenai pembatasan perlakuan diskriminatif atas
dasar agama, atau pelanggaran terhadap genocida terhadap
kelompok agama tertentu, tergolong pada perbuatan yang
melanggar HAM berat, tergolong Ius-Cogen. Hak konstitusional
penerapan syariat Islam bagi kaum muslimin di Indonesia
tidak dapat terbantahkan sejak adanya amandemen UUD
1945 yang dilaksanakan oleh MPR sejak tahun 1999-2002.167
Perjuangan umat Islam untuk menegakan hukum Islam
tidak pernah berhenti bahkan cenderung lebih efektif untuk
terrealisir. Hal ini karena, (1) Mempertahankan pembukaan
UUD 1945. Tekad untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
bukan sekedar alasan historis dan politis melainkan filosofis.
Sebab, menurut Moh. Natsir, di dalamnya terdapat Pancasila
sebagai dasar negara, yang mengandung nilai-nilai syariat Islam.
(2) Otonomi daerah seluas-luasnya yang memberikan model
hubungan kekuasaan pemerintahan pusat dengan daerah dalam
mekanisme bukan saja sharing of power, melainkan juga check
and balance. Peran penerapan syariat Islam sangat dinantikan
keberhasilannya oleh masyarakat Indonesia, di tingkat pusat dan
juga lokal. Dan terbukti, institusi adat seperti Nagari di Sumatra
Barat yang semula sempat tidak berfungsi saat ini kembali
menjadi lembaga pelengkap pemerintahan daerah yang berfungsi
166
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347.
167
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari,
http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/
453/347. Dan Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah Kompilasi
Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012) 23-46.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
249
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
melakukan pengawasan terehadap pemberlakukan ketentuan
ajaran Islam. (3) Kehidupan beragama sebagai persoalan HAM;
(4) Kewajiban warga negara Indonesia beragama. Ajaran agama
Islam sangat menjunjung tinggi jaminan kebebasan beragama
dan beribadah menurut agamanya.168
Berbicara positivisasi berarti membicarakan Hukum
Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional. Oleh karenanya,
perkembangan hukum Islam di Indonesia memiliki peluang
yang sangat cerah dalam pembangunan hukum nasional.
Sebab, secara sosio-antropologis dan emosional, hukum Islam
sangat dekat dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.169
Selain itu secara historis hukum Islam telah dikenal jauh
sebelum penjajah masuk ke Indonesia. Peluang bagi masa depan
hukum Islam di Indonesia juga terbuka karena telah banyak
aturan dalam hukum Islam yang disahkan menjadi hukum
nasional. Hal ini menunjukkan adanya political will pemerintah
yang memberikan respon dan peluang yang baik bagi hukum
Islam.
Dengan melihat realitas kedekatan, kompleksitas materi
hukum Islam pada masa datang, maka peluang hukum
Islam dalam pembangunan hukum nasional akan lebih
luas lagi. Demikian juga peran akademisi yang melakukan
pengembangan dan penelitian yang konstruktif dapat
menunjang perkembangan hukum Islam di Indonesia. Yang
168
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah
Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 23-48. Masruhan,
“Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA,
Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http: // ejournal.
Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347. Dan Azizy,
Reformasi Bermazhab,170-179.
169
Ibid.
250
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
Dr. M. Shohibul Itmam
tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang
secara ikhlas mengajarkan dan tetap menyiarkan materimateri hukum Islam kepada para santri serta jamaahnya yang
tersebar di berbagai pelosok tanah air. Semua itu secara alami
akan tetap menjaga keberadaan hukum Islam di Indonesia.170
Di era reformasi ini, secara politis-yuridis telah terjadi
kemajuan dengan adanya keberpihakan pemerintah
terhadap positivisasi hukum Islam menjadi hukum nasional,
walaupun masih terbatas di wilayah hukum privat yang
berkenaan dengan ubudiyah dan muamalah (perdata Islam).
Sedangkan di wilayah hukum publik (pidana Islam), sampai
sekarang hanya dalam bentuk wacana para ahli hukum
sebagai naskah akademis. Tidak ada alasan bagi bangsa
Indonesia untuk tetap mendiskriminasikan hukum Islam
dalam tata hukum nasional. Sebab, secara historis hukum
Islam telah teruji baik eksistensi maupun efektivitasnya
dalam menjamin kehidupan masyarakat Indonesia yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.171
Kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional
memang telah diakui dan memiliki peran yang penting dalam
pembangunan hukum. Hukum Islam merupakan bahan baku
pembangunan hukum nasional di samping hukum adat dan
hukum warisan kolonial. Hukum yang akan menjadi hukum
nasional adalah hukum yang dapat memenangkan kompetisi
dalam proses pembuatannya. Berdasarkan perkembangan
170
Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,”
diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a= v&q= cache:
XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid, 62/ +
KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl = id&gl = id &
pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv Y2Qrd S1C33
Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfB
PdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCk-Uo2UVEw
171
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
251
Dr. M. Shohibul Itmam
Sistem Hukum, Pembangunan Hukum
yang ada, dari ketiga sistem hukum yang ada di Indonesia
itu dapat dinilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih
berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum
nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan
hukum Islam juga karena sistem hukum Barat sudah tidak
berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia. Sementara
hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang
besar bagi pembangunan hukum nasional. Karena itu,
harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah
sumbangsih hukum Islam dengan positivisasi.172
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”,
dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember
2012 dari, http: // ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/
viewFile/ 453/347. Dan Moh. Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif
Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs. google. com/ viewer? a=
v&q= cache: XpbOr1k - UP0J: law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/
gid, 62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF + KONSTITUSI & hl =
id&gl = id & pid = bl&srcid = ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv
Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa P8SX Qati MBbqp 3t357
Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6hUrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bY
WzvCk-Uo2UVEw.
172
252
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
BAB V
FAKTOR, PELUANG DAN TANTANGAN POSITIVISASI
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Positivisasi Hukum Islam: Antara Peluang dan Tantangan
Dalam positivisasi hukum Islam ada tiga faktor penting
yang berpengaruh sebagai peluang dan tantangan yaitu,
faktor politik, faktor filosofis dan faktor sosiologis yang
ketiganya saling berkaitan dalam membentuk sistem hukum
dan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional.
Positivisasi hukum Islam terkait dengan pembaharuan
hukum Islam di Indonesia, trend kajian Islam moderen,
pengembangan metodologi studi agama, kajian ilmu hukum
Islam yang menyatu dengan ilmu hukum umum, politik
hukum, menghilangkan dikotomi antara hukum sakral dan
hukum sekuler dalam koteks teori hukum murni dan lain
sebagainya. Atas dasar itulah kiranya juga perlu diterima
ketika Satjipto Rahardjo menggagas teori hukum progresif,
Barda Nawawi Arief dengan teori integral kontekstual dan
Qodri Azizy dengan teori eklektisisme hukumnya serta
istilah-istilah lain dari para ilmuan hukum Indonesia yang
semuanya berorientasi pada perlunya membangun hukum
yang sesuai dengan kesadaran hukum bangsa Indonesia yang
sesungguhnya. Oleh karenanya positivisasi hukum Islam di
Indonesia tidak lepas dari studi terkait agama, hukum dan
politik di Indonesia secara kolektif dan berkesinambungan.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
253
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
Sebagai kajian positivisasi hukum Islam perlu di jelaskan
bahwa studi keislaman, relevansinya dengan pembahasan
tentang hubungan antara negara Islam, masyarakat Islam dan
hukum positif merupakan kajian menarik dalam dekade akhir
ini. Indonesia dalam peta dunia Islam merupakan fenomena
keislaman tersendiri yang kadang berbeda dengan dunia
Islam yang lain, baik pada aspek kenegaraan maupun kondisi
masyarakatnya. Karenanya, para pemerhati dunia Islam
merasa belum lengkap jika tidak menyertakan Indonesia
dalam proyek kajiannya. Ada banyak hal yang membuat
Indonesia harus diperhitungkan, dan karenanya layak sebagai
objek kajian Islam di tingkat internasional. Selain Indonesia
berpenduduk Muslim terbesar di dunia juga karena di tengahtengah kehidupan mayoritas muslim ini segala persoalan
kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatannya tidak
didasarkan kepada suatu paham keagamaan (keislaman).
Justru, yang dijadikan pandangan hidup (way of life) dan
ideologi negara adalah Pancasila, sejumlah nilai dasar yang
digali dari bumi Indonesia sendiri yang pada tingkat tertentu
bisa menjadi titik temu dalam membangun peradaban dunia.
Atas dasar itulah positivisasi hukum Islam dalam suatu
tatanan negara hukum (rechtstaat) yang berdasarkan Pancasila
ini, mengarah pada pemahaman bahwa masyarakat muslim
Indonesia mengamalkan (sebagian) hukum ajaran agamanya
(syarī’ah) dan sebagian yang lain harus tunduk kepada ”hukum
negara” yang diadopsi dari Barat. Tentu saja secara simplistis
dapat diasumsikan bahwa sepanjang sejarahnya, perjuangan
menegakkan hukum Islam diwilayah negara Pancasila ini
senantiasa mengalami masa-masa ketegangan (tension) dan
bergaining of power yang cukup melelahkan, baik dengan
eksponen bangsa yang lain maupun dengan kekuasaan negara
254
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
sebagai pola artikulasi relasi keduanya. Dialektika hukum
Islam dengan kekuasaan politik negara Pancasila terjadi
secara terus menerus sejak merintis negara ini. Pada wilayah
inilah politik hukum suatu negara memegang peranan
penting bahkan kadang menghegemoni dalam menentukan
pelaksanaan hukum Islam khususnya era reformasi.
Pada sisi lain, penting dilihat bahwa negara hukum
Indonesia menganut aliran positivisme yuridis. Aliran ini
menyatakan bahwa yang dapat diterima sebagai hukum
yang sebenarnya hanyalah yang telah ditentukan secara
positif oleh negara. Hukum hanya berlaku kalau hukum
itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi
yang berwenang (negara). Norma-norma kritis yang ada
hubungannya dengan rasa keadilan dalam hati nurani
manusia sering kali tidak mempunyai tempat dalam sistem
sosiologi hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, dengan demikian, tidak bebas nilai, tidak bebas
kepentingan, dan tidak bebas kekuasaan (no value free, no
interest free, no power free). Hukum senantiasa dipenuhi dan
diliputi dengan nilai-nilai tertentu sesuai dengan kehendak
perbuatannya (negara). Bahkan, secara generik arti hukum
sendiri merupakan akumulasi dan formulasi dari nilai-nilai
tersebut. Nilai mayoritas akan senantiasa mendominasi dengan
kesadaran kolektif yang diterima bersama. Realitas inilah yang
nampaknya menjadi peluang positivisasi hukum Islam.
Dengan mengikuti logika ini, hukum apapun bentuk
dan labelnya, memang bukan sekedar kumpulan teks-teks
(pernyataan-pernyataan) semata, melainkan mempunyai
tujuan, jangkauan, kehendak-kehendak sosial tertentu
dan juga logika dan latar belakan di balik teks (beyond the
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
255
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
teks). Hukum tidak netral dan tidak juga objektif. Hukum
diciptakan dan dibuat untuk memihak dan membela,
bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan dan
pengayoman bagi masyarakat demi tegaknya keadilan
dan kebenaran. Disini, hukum seolah-olah tunduk pada
kekuatan politik, sesuatu yang seharusnya hukum berada
di atas segalanya (supreme). Di sinilah perlunya meluruskan
paradigma positivisasi hukum Islam dalam arti menyatu
secara integral dengan hukum nasional sesuai kesadaran
hukum masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Positivisasi hukum Islam berarti memberikan peran
sepenuhnya kepada hukum yaitu sebagai salah satu sisi dari
peran hukum sebagai a tool of social engineering. Jika dilihat
secara jernih dan menyeluruh, hukum itu sesungguhnya ibarat
pisau bermata dua. Di satu pihak, hukum bisa menjadi hukum
yang menindas (repressive laws), tetapi di lain pihak hukum bisa
membantu ke arah perubahan (facilitatif laws), atau sebagai
sarana bagi perubahan sosial (agent of social change).
Mengenai diskursus hukum tidak bisa dipisahkan dari
konteks sosial politik (negara) dimana hukum itu diciptakan,
atau dengan kata lain dari konteks politik hukumnya. Atas
dasar inilah penulis memahami pemikiran Mahfud MD yang
menyatakan bahwa karakter suatu produk hukum senantiasa
dipengaruhi atau ditentukan oleh konfigurasi politik
yang melahirkannya. Artinya, konfigurasi politik tertentu
dari suatu kelompok dominan, sebagai pemahaman yang
tepat untuk merumuskan hukum sesuai kesadaran hukum
nasional melalui politik hukum yang kompetitif. Kompetisi
kompetensi nampaknya hal yang tidak bisa ditawar lagi
dalam politik hukum nasional apalagi sejak lahirnya UU No.
12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang256
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
undangan yang menjelaskan dengan gamblang khusunya
Pasal 18 a-h yang intinya sangat mempertimbangkan dan
mengutamakan nilai-nilai yang berkembang serta sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Inilah yang
oleh penulis disebut sebagai teori ”Balapan Kompetensi”.
Dalam implementasi teori “Balapan Kompensi” ini, konsep
law as a tool of social engineering diramu secara kolaboratif
sebagaimanana konsep Roscoe Pound namun agak berbeda
sedikit dari pijakan nilai dasarnya. Konsep Pound ini didasarkan
pada keadaan masyarakat Amerika yang senjang. Pound ingin
memperbaiki kesenjangan ini dengan mendayagunakan
hukum. Jadi, di samping berakar pada liberalisme, konsep ini
juga terlalu memistifikasikan hukum. Konsep ini mengarah pada
terjadinya perbaikan sosial bukan pada perubahan sosial, sama
dengan pola trickle down effect (efek tetesan ke bawah) dalam
strategi pencapaian kemakmuran ekonomi. Dalam konteks
demikian, kendati secara tekstual diperoleh kesimpulan tidak
ada keharusan pemberlakuan aturan hukum Islam melalui
keputusan poilitik atau legalitas penguasa, baik berupa
undang-undang (taqnīn) atau instrumen peraturan perundangundangan lainnya, namun dalam batas-batas tertentu hukum
bisa dikatakan produk politik suatu penguasa atau kekuasaan.
Bahkan, legitimasi ini bisa menjadi suatu keharusan, karena
besarnya manfaat bagi kepastian dan kekuatan hukum secara
legal-positif.
Dalam ranah keilmuan, hubungan agama dan negara,
Islam dan politik, atau hukum Islam dan kekuasaan politik
(negara) memang selalu menjadi wacana yang menarik, baik
oleh kalangan Muslim sendiri maupun para islamolog. Wacana
tersebut sesungguhnya muncul berpangkal dari historisitas
permulaan Islam itu sendiri, terutama pasca kepemimpinan
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
257
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
Rasulullah Saw. Berawal dari pertikaian politik lalu muncul
firqah-firqah dalam Islam, yang sekarang sering disebut sebagai
aliran teologi/kalam. Bahkan pada perkembangannya, ternyta
tidak sekedar perbedaan Islam semata yang mengemuka,
perbedaan dalam bidang hukum dan tafsir pun tidak kalah
tumbuh subur. Fanatisme golongan dalam politik juga menjadi
tak terelakkan. Golongan yang dominan dan dekat dengan
penguasa politik akhirnya yang memperoleh kekuasaan
dengan mudah. Atas dasar inilah positivisasi hukum Islam
sesungguhnya bukan hal yang wajib dan harus seperti pedang,
tetapi itu bagian dari upaya melaksanakan hal yang terkait
dengan hal yang wajib sesuai kesadaran hukum mayoritas
secara demokratis, yaitu kesadaran hukum Islam.
Ada hal yang menarik dalam Islam di Indonesia.
Meskipun agama merupakan unsur dominan di dalam
masyarakat, tetapi dasar negara dan pandangan hidupnya
tidak didasarkan pada agama (Islam). Menjadikan agama
sebagai dasar negara untuk membentuk nation state yang
mampu memayungi pluralitas selalu tidak berhasil. Pancasila
tampaknya memang solusi terbaik atas persoalan ini. Selain
mampu memberikan kesamaan persepsi dan memupuk
integrasi atas pluralitas bangsa, Pancasila juga akhirnya
diterima sebagai satu-satunya ideologi negara. Dengan
demikian, dalam ranah peningkatan pemahaman hubungan
antara negara Islam dengan hukum positif, diperlukan
penataan hukum nasional dengan meletakkan pola pikir
yang mendasari penyusunan sistem hukum nasional yang
bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, penyusunan
kerangka sistem hukum nasional serta penginventarisasian
dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum dalam rangka
pembaharuan hukum nasional, peningkatan penegakan
258
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
hukum dan pembinaan aparatur hukum, serta peningkatan
sarana dan prasarana hukum sangat dibutuhkan menuju
positivisasi hukum Islam di Indonesia.
Selain itu pemahaman tentang pluralitas hukum juga
sangat diperlukan, karena pluralitas itu pula, penerapan dan
pemberlakuan hukum Islam secara ”murni” dalam pentas sosial
politik Indonesia kontemporer, khususnya era Orde Baru, selalu
mengundang polemik. Polemik itu tidak sekedar berkutat pada
perkara teknis yuridis belaka, melainkan telah menyentuh pada
arus politik yang peka. Demi menjaga komitmen atas pluralitas
agama, hukum Islam ”direduksi” wilayah pemeberlakuannya
sampai pada tingkat yang membuat penganut agama lain merasa
tidak terancam. Posisi hukum Islam disejajarkan dengan hukum
Barat dan hukum adat, sebagai subsistem dan sumber inspirasi
bagi pembangunan hukum nasional. Atas dasar inilah, studi
positivisasi hukum Islam ini lebih fokus pada perundang-undangan
bernuansa Islam yang sudah lahir khusunya era reformasi dalam
kasus tertentu (case study), meskipun kasus-kasus yang lain tidak
diabaikan begitu saja sesuai politik hukum era reformasi.
Sebagai contoh, pemerintahan Indonesia di bawah Orde
Baru telah muncul sebagai satu rezim politik yang memiliki ciriciri khas yang membedakan dirinya dengan rezim-rezim politik
sebelumnya. Ciri khas yang menonjol adalah munculnya negara
(the state) sebagai aktor dominan dalam menentukan pengelolaan
sosial, ekonomi, dan politik, sehingga kecenderungan yang terjadi
selama lebih dari tiga dasa warsa adalah semakin lemah dan
tergantungnya masyarakat terhadap negara. Hal itu menurutnya,
dilakukan bukan saja lewat jaringan-jaringan patron-klien,
korporatisasi negara, dan institusialisasi sosial-politik tetapi
juga lewat hegemoni ideologi. Oleh sebab itu, Islam mengangap
konfigurasi politik Orde Baru lebih dari Negara Otoriter Birokratis
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
259
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
(Bureaucratic Authoritarian State) di dalam masyarakat, sesuatu
yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia bukan saja membentuk
birokrasi yang otoriter dan korup, tapi juga telah mempengaruhi
alam pikiran masyarakat dan membentuk struktur berpikir yang
”otoriter” dan ”korup” tersebut.
Memberi predikat konfigurasi politik yang dimainkan
Orde Baru nampaknya tepat dengan sebutan Negara Otoriter
Birokratis. Atas dasar inilah, Mahfud MD menyebutnya sebagai
negara Non-Demokratis. Konfigurasi politik rezim Orde Baru,
menurut Mahfud, mengandung ciri otoriter dan demokratis
sekaligus. Akan tetapi, ciri otoriternya tampak lebih menonjol.
Berbeda apabila dilihat dari sejarah kelahirannya pada tahun
1966, Orde Baru lebih sejalan dengan tekadnya untuk membangun
tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali
pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Bangunan
masyarakat dan negara (society and state) yang akan dibangun
tidak lain adalah masyarakat dan negara Pancasila.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di dalam Pancasila
dan UUD 1945 terkandung nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang luhur bagi penyelenggaraan negara. Diantaranya adalah
prinsip ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan
sosial. Mempertimbangkan prinsip-prinsip ini, masyarakat
dan negara Pancasila yang diidealkan Orde Baru tentu saja
suatu masyarakat dan negara yang anti-otoritarianisme
dan totaliterisme dalam segala bentuknya. Hal inilah yang
nampaknya senada dengan tujuan proyek positivisasi hukum
Islam sesuai UU No. 12 Tahun 2011 khususnya Pasal 18 tentang
aspirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai penentu penting
tidaknya suatu undang-undang baru bagi negara Indonesia.
Namun masa sebelum reformasi tidak dilengkapi dengan
piranti hukum yang mendukung secara demokratis.
260
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Secara sosiologis, diakui bahwa realitas politik Orde Baru
mempengaruhi bentuk-bentuk pemahaman keagamaan
di Indonesia, telebih lagi bagi agama Islam. Terbentuknya
Kompilasi Hukum Islam yang di bidani oleh Depratemen Agama
RI dan Mahkamah Agung RI jelas merupakan wujud pemahaman
keagamaan yang dikehendaki politik hukum Orde Baru. Hukum
Islam macam apa yang dibutuhkan pembangunan proyek utama
Orde Baru merupakan titik tolak pengembangan pemikiran
keislaman dan pembentukan hukum Islam di Indonesia idiologi
Orde Baru di antaranya menuntut perubahan sosial keagamaan,
dan modsernisasi umat Islam. Ini berarti suatu tuntutan untuk
mengubah nilai-nilai keagamaan ”tradisional” menjadi nilai-nilai
keagamaan yang ”modern”, mengubah mentalitas tradisional
menjadi mentalitas modern. Termasuk bagian program ini
adalah melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum nasional
sebagai titik tolak politik hukum Orde Baru.
Atas dasar fenomena itulah politik hukum era reformasi
menunjukkan peran fungsi semua hukum, semua nilai
dengan kesadaran hukum yang berkembang secara nasional.
Pemerintah mengakomodasi semua nilai yang berkembang
tanpa menafikan satu nilai yang bisa mengurangi keharmonisan
hukum nasional dalam konteks pembangunan sistem hukum
nasional. Politik hukum era reformasi jelas sangat mendukung
terhadap terlaksananya proyek positivisasi hukum Islam.
Argumentasi ini sekaligus memperjelas bahwa politik hukum
dalam kondisi otoriter belum tentu melahirkan prodak hukum
yang otoriter sebagaimana politik hukum yang demokratis
belum tentu melahirkan produk hukum yang demokratis
juga. Sehingga dalam konteks Indonesia terkait pembangunan
sistem hukum nasional adalah akomodasi pemerintah terhadap
semua nilai yang berkembang, sehingga melahirkan suatu
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
261
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
fenomena politik dimana setiap kompetensi dalam kompetisi
pembangunan hukum akan diakomodir oleh pemerintah karena
falsafah negara adalah demokrasi Pancasila. Model inilah yang
oleh penulis disebut dengan teori Balapan Kompetensi.
Dengan mengakui teori ini, maka tidak perlu adanya
pembelaan oleh negara kepada agama tententu dalam politik
apapun, tetapi negara membiarkan semua agama dengan
memfasilitasinya secara sama sesuai dengan kompetensi dan
kesadaran hukum yang berkembang. Sehingga kekhawatiran
dari kelompok tertentu selalu memperoleh perlindungan dari
kepastian hukum dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara
dalam bingkai demokrasi Pancasila dan UUD 1945. Teori Balapan
Kompetensi ini sekaligus memperjelas bahwa tidak selamanya
pemerintahan dengan politik hukum yang baik akan melahirkan
produk hukum yang baik, begitu juga sebaliknya, pemerintahan
yang tidak baik, otoriter dalam pemerintahanya sesuai politik
hukum belum tentu melahirkan produk hukum yang negatif.
Karena menurut teori Balapan Kompetensi ini semua terpulang
pada kesadaran hukum masyarakat yang selalu mengalami
perubahan sesuai perubahan sosial masyarakat dengan ragam
faktor yang mempengaruhinya.
B. Peluang dan Tantangan Perspektif Politis
Membicarakan peluang dan tantangan positivisasi hukum
Islam di Indonesia berarti membicarakan tiga persoalan hubungan
antara agama, hukum dan politik dalam sistem ketatanegaraan
yang memiliki keterkaitan, berkelindan saling melengkapi antara
ketiganya.1 Persolan penting yang terkait ketiganya adalah
mempertimbangkan sisi tertentu yang menjadi faktor utama
1
A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju Saintifik- Moderen
(Jakarta: Teraju, 2002), 173-180.
262
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
dalam tatanan hukum Indonesia, seperti politik, sosial serta ragam
pemikiran yang berkembang dalam masyarakat.2 Oleh karenanya
secara khusus terkait dengan politik, masyarakat memiliki
kepentingan mendasar terhadap agama supaya tidak larut dalam
kepentingan politik praktis. Karena keterlibatan secara praktis
dalam ranah politik menjadikan agama tidak lagi menjadi panutan
serta ajaran pembebas terhadap berbagai bentuk penindasan dan
ketidakadilan, namun justru berkembang menjadi kekuatan yang
menindas yang bisa melahirkan otoriter secara berlebihan dalam
suatu Negara.3
Meminjam pemikiran al-Raisūni4 yang mengatakan bahwa
dalam Islam, kebiasaan yang terbangun dari kesepakatan melalui
musyawarah merupakan faktor penting dan berpengaruh
terhadap suatu hukum, maka dalam konteks positivisasi hukum
Islam juga terkait dengan persoalan kebiasaan moral dalam
mengamalkan ajaran serta nilai Islam melalui mekanisme politik
dan musyawarah. Kebiasaan perlu dibangun selaras supaya tidak
mengarahkan pada politik praktis yang berkembang menurut
selera pribadi yang bisa membahayakan kehidupan umat. Hal
ini dimaksudkan supaya agama dalam pembangunan hukum
utamanya, dapat menjalankan peran moral tersebut, serta dapat
mengatasi persoalan politik serta tidak melibatkan agama secara
langsung dalam politik praktis. Bila agama terlibat terutama
dalam persoalan politik, maka agama bisa kehilangan kekuatan
2
Menurut Raisuni persoalan masyarakat dipahami sebagai masalah penting
umat. Umat adalah obyek utama dari tujuan yang paling dituju dari sekian
program kehidupan dalam Islam. Bahkan menurutnya, semua ayat al Qur’an yang
terkait selalu merujuk pada kepentingan umat, jamaah dan kepentingan umum,
bukan pribadi, kelompok atau golongan. Ahmad al-Raisuni, Hukm al-Aghlabiyyat
fī- al-Islām, Dirāsah Ushūliyyah (Marocco: Dar al-Baidla, 2007), 10-13.
3
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta:
LP3ES, 2006), 2-7.
4
Al-Raisuni, Hukm al-Aghlabiyyat, 106.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
263
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
moralnya yang berpotensi mengarahkan politik agar tidak
berkembang menjadi kekuatan yang menekankan kehidupan dan
justru menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama serta
kehendak masyarakat. Oleh karenanya, kebiasaan demikian perlu
mendapat bingkai secara demokratis dan kejujuran akademik.5
Sebagai lanjutan positivisasi dari sisi politik dengan
aspeknya sebagai peluang dan tantangan, perlu dijelaskan bahwa
Islam sebagai agama didudukkan dalam kondisi yang semestinya
sebagai agama. Hukum Islam merupakan sistem tata keimanan,
kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia
dan manusia serta lingkungannya yang secara sosiologis6
mengalami perubahan.7
Agama secara moral dan politis berada pada posisi yang
benar selama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau
mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga pada saat
agama mengarah kepada politik kekuasaan, maka agama
5
Sehingga wajar menurut Wahid kritik atas politik hukum Islam di Indonesia
berubah menjadi kekuasaan, dan kekuasaan kadang berbalik sebagai hukum yang
diberi kekuatan imperatif kemudian berpengaruh membawa konsekuensi untuk
memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan politik hukum negara
di dalam wadah negara Pancasila. Marzuki, Wahid, 2001, Fiqh Madzhab Negara:
Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta: LKis, 2001), 28-29.
6
Menurt Azizy (2002: 32-33) faktor yang sangat menentukan terjadinya
perubahan dalam hukum Islam adalah pengaruh kemajuan dan pluralisme sosial
budaya dan politik dalam suatu masyarakat dan Negara. Sehingga hal ini menuntut
adanya upaya penyesuaian suatu ajaran Islam dengan perkembangan sosial
tersebut, saling mengisi dan memberi. Lebih jauh Azizy menjelaskan, bahwa teks
atau nash wahyu sangat terbatas sedangkan persoalan dan permasalah yang timbul
akan selalu berkembang. Argumentasinya, perubahan suatu tuntutan semua pihak
termasuk perubahan pemikiran para pemeluk agama terutama mujtahidnya. Azizy,
Reformasi Bermazhab, 173- 174, dan A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi
Hukum Islam dan Hukum Umum (Jakarta: Gama Media, 2003), 47.
7
Azizy, Reformasi, 31-33. Dan Ahmad al-Raisuni, Madkhal Ila Maqāṣid al-Syarīah
(Marocco, Rabat: Dar al-Aman, 2009), 62-66.
264
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
jatuh dalam posisi yang salah dan berbahaya.8 Dalam konteks
demikian, maka positivisasi terkait dua hal penting yang
menjadi wacana diskusi akademik. Pertama, memahami agama
dalam arti tradisi, nilai dalam masyarakat untuk membentengi
setiap kecenderungan, kekuatan politik yang berkembang,
sehingga agama dapat menjadi kekuatan pembebas dan bukan
sebaliknya karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan
politik.9 Kedua, agama dapat memainkan peran moral untuk ikut
Mazuki Wahid, “Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur,” diakses pada 21 Juni 2012
dari http: // www. gusdur. net/ Opini/ Detail/ ?id = 238/h l= id/ Inspirasi _Dari_
Pemikiran_Gus_Dur. Menurut Wahid (2012: 2-3) manusia adalah makhluk yang tidak
bisa dipisahkan dari lainya. oleh karenanya membutuhkan kerjasama mereka untuk
melangsungkan kehidupan dengan lancar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
manusia harus bekerja keras sehingga kebutuhan mereka dapat terpenuhi baik
kebutuhan primer maupun sekunder. Ketika kebutuhan mereka tidak terpenuhi
secara wajar, maka akan timbul konflik dalam dirinya sehingga mengakibatkan
jiwa mereka akan tergoncang dan memerlukan penanganan secepatnya. Untuk
menangani penyakit yang berhubungan dengan mental misalnya, banyak yang
menggunakan cara pengobatan tradisional dan modern. Akan tetapi dari berbagai
kasus yang ada justru banyak penderita kejiwaan yang disembuhkan dengan
pendekatan agama atau kepercayaan. Hal ini membuktikan bahwa manusia pada
hakikatnya adalah makhluk yang bertuhan dan akan kembali kepada tuhan pada
suatu saat. Sehingga ketika mereka terhimpit permasalahan batin mereka akan lari
kepada agama dan menemukan jawaban dari permasalahan yang mereka hadapi.
9
Menurut Amal kekuatan-kekuatan politik Islam dalam aksi politik di
refleksikan dari syariah Islam sebagai idiologi politik yang dahulunya lahir
untuk melawan kolonialisme dan dalam perkembangan selanjutnya lahir sebagai
partai politik, menjadi kekuatan- kekuatan sipil, melawan pemodal asing atau
neoliberalisme dan bahkan sebagai kekuatan politik untuk mempertahankan dan
menjalankan agama Islam ketika mendapat ancaman dari dalam maupun dari luar.
Karena ajaran syariah Islam yang di terjemakan secara berlebihan untuk melawan
manusia yang lain yang dalam perspektif Islam di anggap kafir maka perlu di
bunuh dengan cara kekerasan tentunya menjadi perhatian serius negara dan dunia
internasional dengan pertimbagan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan
apapun tindakan yang hendak di ambil dalam menjalankan syariah Islam penting
menyesuaikan diri dengan hukum negara Indonesia. Taufiq Adnan Amal, Politik
Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 36-45.
8
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
265
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan
yang menyimpang dan menekan kehidupan masyarakat.10
Dalam konteks Indonesia, dua hal tersebut menjadi penting
terutama dalam mengawal umat Islam supaya memiliki
pemahaman yang cukup tentang proses politik sebagai kontrol
perkembangan masyarakat.11 Tanpa adanya pemahaman
atas proses politik, sulit untuk membentengi dari pengaruh
luar karena proses pemahaman tersebut akan menimbulkan
kepekaan nurani sekaligus menimbulkan suatu perencanaan
bagaimana politik yang seharusnya dan diharapkan, dengan
mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan terutama
menyangkut rasa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.12
Sebagai konskuensinya, tidak mengerti persoalan politik
dapat menyebabkan umat Islam dibodohi oleh kepentingankepentingan dan muatan-muatan politik yang tidak jelas
arahnya. Pembodohan terhadap masyarakat dapat menimbulkan
perubahan besar tanpa kontrol kebijakan dari masyarakat. Jadi
usaha menjadikan agama supaya tidak dikotori dan diberi muatan
politik tidak berarti agama harus mengalami pendangkalan
Ahmad Gunaryo, Pergumulan Pergumulan Politik dan Hukum Islam (Jogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), kerjasama Pascasarjana IAIN Walisongo, 25-29. Dan Azizy,
Reformasi, 173-175.
11
Secara historis, akar Islam sebagai kekuatan politik sebelumnya ada pada
gerakan sarekat Islam (SI) yang menjadi satu-satunya alat perlawanan penjajah. Setelah
kemerdekaan Indonesia gerakan sarekat Islam melahirkan partai politik masyumi dan
NU. Namun karena kepentingan politik yang berbeda presiden sokarno mengeluarkan
keppres nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan masyumi
dan partai sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan
sendiri oleh masyumi dan PSI. Jika dalam waktu seratus hari kedua partai itu tidak
membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab
itulah ketua umum masyumi, Prawoto Mangkusasmito dan sekjennya Muhammad
Yunan Nasution mengeluarkan pernyataan politik membubarkan masyumi, mulai dari
pusat sampai ke daerah-daerah saat itu (Amal, 2004: 24-46).
12
Wahid, “Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur,” 1-3..
10
266
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
fungsinya sebagai agen pembebas. Justru pemahaman atas
proses politik diperlukan karena agama memiliki peran penting
terhadap nilai-nilai moral dan spiritual yang mampu memberikan
muatan bagi politik, bukan sebaliknya. Selain itu, pemahaman
atas sistem politik, baik yang menyangkut masalah ekonomi
atau sosial menjadi semakin penting bagi setiap individu karena
bagaimanapun juga, berbicara mengenai Islam adalah berbicara
mengenai bagaimana memahami problem dan solusinya. Lebih
fokus lagi, Islam dapat kehilangan akarnya bila tidak sanggup
menyesuaiakan dan peduli dengan persoalan dunia dengan
dinamikanya yang kompleks.13
Memahami dan menyelesaikan problematika hukum Islam
terkait masalah politik14 tidak semudah memahami penderitaan
pada zaman Nabi dan sahabat, apalagi terkait upaya positivisasi
hukum Islam dalam suatu negara yang sangat pluralis seperti
Indonesia. Masyarakat sekarang tidak seburuk dengan sistem
yang sekarang dipakai oleh pemerintah. Menurut Latief15 bahwa
asumsi yang terbangun menjelaskan semua usaha reformasi
Azizy, Reformasi, 31-34.
Problem umat Islam sejak abad ke-16 khususnya, penduduk Nusantara –
terutama kaum Muslim mendapat musibah yang hingga kini masih berdampak,
bahkan ada kecenderungan dilestarikan oleh para elitnya. Musibah dimaksud adalah
kehadiran imperialisme Barat dengan berakibat keterbelakangan bangsa ini, serta
konflik intern yang sudah ada sejak pra kolonial atau juga sebagai akibat taktik
devide et impera kolonial yang menyisakan sosok-sosok anteknya. Musibah tersebut
mungkin merupakan peringatan keras dari tuhan sebagai balasan tidak atau kurang
amanahnya bangsa ini. Indonesia dengan wilayah luas, kaya dengan sumber alamnya
dan letak strategis telah diperlakukan dengan ceroboh oleh penghuninya. Ironisnya
kaum Muslim sebagai penduduk mayoritas dengan sikap mentang-mentang dan
kurang menilai anugrah Tuhan sebagai amanat dan tanggung jawab mereka. konflik
sesama, praktek korupsi, pelanggaran hak asasi, pencemaran lingkungan dan
ekploitasi sumber alam secara rakus oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
15
Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas
Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 112-120.
13
14
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
267
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
telah gagal selama empat belas tahun yang sudah berjalan.
Sistem yang ada juga belum terlalu mengena tujuan reformasi.
Sehingga perubahan seseorang masih dapat memberikan
pengaruh besar terhadap lingkungan sekitarnya dengan sosio
kulturnya yang berkembang selama mendapat dukungan sosial
dari warga setempat.16
Pembenahan melalui reformasi dan positivisasi hukum Islam
menyangkut seluruh bagian dari suatu sistem yang pincang dan
tidak demokratis yang berjalan hingga sekarang. Melalui upaya
ini, sistem yang cenderung menimbulkan kecenderungan saling
berebut dan menjatuhkan dalam demokrasi yang tidak sehat
perlu ditemukan solusinya secara tepat. Hal ini, perlu memperjelas
sistem yang berlangsung, tapi bukan membenci personal yang
terlibat dalam sistem tersebut. Oleh karena itu pemahaman atas
sistem politik maupun ideologi menjadi sangat penting. Usaha
untuk mengatasi penghancuran lingkungan, ketidakadilan, dan
berbagai kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi, misalnya, jelas
menjadi tugas seorang Muslim. Dengan demikian, umat Islam tidak
boleh berhenti untuk menyadari bahwa setiap komitmen moral
yang dimiliki terhadap usaha pembebasan17 dan penderitaan yang
memang sesungguhnya bersifat politis.18
Amal, Politik Syariat Islam, 32-59.
Kesempurnaan ajaran Islam itu telah menjadi pusat perhatian manusia
di masa lalu dan juga di masa sekarang serta demikian juga halnya di masa yang
akan datang. Pusat perhatian tersebut di antaranya disebabkan semua ajaran Islam
mengandung seruan pemebesan diri masnusia dari berbagai bentuk penjajahan,
pengabdian dan perbudakan selain kepada Allah dan mengarahkannya hanya kepada
Allah sang pencipta. Demikian juga dengan ajaran-ajaran Islam yang lain, semuanya
mengarah kepada pembebebasan manusia dari berbagai bentuk perbudakan,
penindasan, penghambaan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia atau setan
terhadap manusia lainnnya agar manusia bebas dan merdeka, kemudian merasakan
kenikamtan, keadilan, keselamatan dan kesejahteraan dunia akhirat.
18
Ahmad Zainal Abidin, Membangun Negara Islam (Yogyakarta: Pustaka Iqra’,
2001), 3-22. Dan Latief, Negara, 12-38.
16
17
268
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Mengatasi problematika memang merupakan komitmen
moral, tapi melakukan perubahan struktural yang tidak
demokratis agar rakyat terbebas dari struktur sosial yang
menindas dan banyak menimbulkan penderitaan, maupun
yang melanggengkan ketergantungan dan ketidakberdayaan
masyarakat juga merupakan keputusan serius dalam ranah
politik. Jadi jelas, pembebasan persoalan tidak dapat dipahami
hanya dalam konteks pribadi, karena Islam selain memberi
sarana bagi pembebasan pribadi, juga melapangkan jalan bagi
pembebasan sosial dan lingkungan sesuai perkembangan dan
tuntutan kehidupan sosial. Upaya ini mebutuhkan ketegasan
politik pemerintah dalam menjaring aspirasi melalui komunitas
yang terwakili dalam bingkai demokrasi. Disinilah letak peluang
strategis politik dalam konteks posistivisasi hukum Islam di
Indonesia.19
Berdasarkan penjelasan di atas, terkait positivisasi hukum
Islam, maka persoalan tentang agama dipilih sebagai persoalan
sederhana namun luas meliputi semua sendi kehidupan yang
dipertaruhkan dalam gelanggang parlemen. Agama merupakan
suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur kehidupan
rohani manusia dan sosial yang berpengaruh terhadap
permainan di tingkat parlemen. Untuk itu, sebagai agama
perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaan20 yang
Abidin, Membangun, 13-47. Dan Azizy, Eklektisisme, 178-185.
Upaya ini bisa dilakukan dengan dialog antar agama. Semua ini tidak
bisa terwujud tanpa adanya dialog antar pemeluk agama secara intensif dan
berkesinambungan. Tentu saja yang dimaksudkan dengan dialog di sini bukanlah
upaya mengonversi pihak lain untuk memeluk agama kita; bukan usaha
menyatukan semua ajaran agama menjadi satu agama; bukan beradu argumentasi
antar pelbagai pemeluk agama hingga ada yang menang dan ada yang kalah;
dan bukan pula meminta pertanggungjawaban orang lain dalam menjalankan
agamanya. Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk
berbagai agama dalam kedudukannya yang setaraf dan sederajat tanpa
merasa lebih baik atau lebih tinggi daripada yang lain, serta tanpa tujuan yang
19
20
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
269
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
berdampak paa gerakan sosial. Dalam kontesk ini, konstelasi
politik mempunyai peranan signifikan dalam mengakomodir
semua kepentingan dalam pertarungan demokrasi yang
memperoleh pengesahan legislatif meskipun hal ini tetap
menimbulkan polemik di tengah pluralitas bangsa Indonesia.21
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa agama dalam
konteks positivisasi hukum Islam, persoalan politik
merupakan penghambaan manusia sebagai warga negara
kepada Tuhannya yang terwakili melaui kebijakan negara
melaui mekanisme legislasi. Dalam pengertian yang lebih
konkrit, agama Islam dalam arti hukum Islam mempunyai
tiga unsur; manusia, proses penghambaan dan Tuhan.
Ketiganya saling melengkapi dalam keterkaitan utuh dalam
upaya positivisasi. Sehingga suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat
disebut hukum Islam. Dengan memposisikan nilai agama
Islam dalam pengertian implementatif demikian, akan dapat
memberi peluang besar terhadap upaya posistivisasi hukum
Islam di Indonesia dengan peranan proses politik sebagai
startegi yang dilakukan oleh umat Islam dalam bernegara.22
Terkait positivisasi hukum Islam di Indonesia, memang
tidak bisa lepas dengan persoalan ragam kepentingan yang
berkembang dalam suatu masyarakat. Perbedaan pandangan
melalui aspirasi kelompok tertentu dalam masyarakat
dirahasiakan. Dialog lebih merupakan komunikasi antar penganut agama dan
jalan bersama untuk mencapai tujuan dan kerja sama dalam projek-projek yang
menyangkut kepentingan bersama. Dialog semacam ini menuntut para peserta
dialog untuk dapat menghormati, bersedia mendengar, tulus, terbuka, mau
menerima pendapat orang lain, dan mau bekerja sama dengan orang lain. Abdul
Rahman Wahid, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1993), 23-37.
21
Mahfud, Membangun, 18-21.
22
Azizy, Eklektisisme, 172-180. Dan al-Raisuni, Madkhal, 62-66.
270
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
memerlukan strategi dalam menyatukan persepsi.23 Untuk itu,
upaya positivisasi membutuhkan kerjasama kompromi dalam
suatu musyawarah konstitusi melalui pengesahan pemerintah,
legislasi dengan undang-undang.24 Munculnya tudingan atas
kejahatan dari suatu partai terhadap partai lain merupakan hal
yang dipahami secara wajar, sebagai pendewasaan pola berfikir
dalam bingkai demokrasi sebagai sistem yang diakui bersama
dalam pembangunan negara Indonesia.25
Terkait positivisasi hukum Islam, menurut Hariyanto,26
hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa
dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Keduanya terkait
dalam membentuk suatu model pola fikir masyarakat
tertentu sesuai kehendak sistem tata negara tertentu.
Dalam konteks demikian, hukum Islam tanpa dukungan
politik sulit digali dan diterapkan, sebaliknya politik yang
Menurut Latief agenda politik bersama umat Islam yang harus segera
diselesaikan dengan beberapa cara antara lain, pertama menyediakan komponen
strategis dengan mengkalkulasi, memperhitungkan seluruh unsur potensi kekuatan
Umat Islam. Kedua, meletakkan dasar kebersamaan, kolektivitas dan unitas jama’ah
dan jami’ah, diantara umat Islam, dengan visi politik yang dijiwai oleh semangat
keterbukaan dan demokratisasi, serta yang juga menjangkau wajah perekonomian,
hukum, sosial, budaya dan moralitas angsa dan negara. Komponen politik strategis
yang perlu disiapkan. Pertama, kesamaan visi dan persepsi politik yang akan
menjadi garis kebijakan politik bersama Umat Islam. Kedua, instrumen politik,
sarana dan prasarana infrastrukturnya yang dapat bekerja sebagai mesin politik
umat Islam. Ketiga, masa pendukung dengan kadar intelektual dan kesadaran
politik yang memadai sebagai motor penggerak perubahan. Keempat, pemimpin
umat yang bisa diterima secara kolektif oleh semua pihak. Kelima, media massa
yang berpihak pada umat Islam. Yudi Latief, Menyemai Karakter Bangsa: Budaya
Kebangkitan Berbasis Kesastraan (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009).
24
Azizy, Eklektisisme, 173-183.
25
Latief, Menyemai Karakter Bangsa, 35-39.
26
Muchsin Hariyanto, “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam
Bidang Ekonomi”, 2-3. Diakses pada 28 November 2012 dari, http://muhsinhar.
staff.umy.ac.id/politik-hukum-dalam-positivisasi-hukum-islam-bidang-ekonomi/
23
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
271
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan
dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik
semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan.
Namun sebaliknya, semakin renggang hubungan Islam dan
politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan,
karena luasnya perbedaan yang berkembang dalam Islam.
Pendek kata, Islam dan politik adalah dua hal yang saling
terkait.27
Peluang positivisasi hukum Islam sangat tergantung pada
kesiapan umat Islam.28 Ketika umat Islam kuat secara politik,
dengan city state Madinah, hukum Islam dan politik dapat
menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, meski tanpa
menyebut secara tegas hukum Islam sebagai pedoman negara.
Negara Madinah dengan piagam madinah, malah tidak disebut
sebagai negara Islam. Namun, konstitusi negara tersebut,
sanggup mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat yang
majemuk dalam pluralitas keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.29
Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum (Jakarta: BP. IBLA, 2004), 24-32.
Menurut Bisri dalam kesiapan ini perlu memperjelas hubungan antara
hukum Islam dan kekuasaan negara mengacu pada konstitusi yang berlaku, yang
dioperasionalisasikan dalam wujud politik hukum yang diterapkan. Apa yang
kemudian dikenal sebagai adatrechts politiek atau receptio in complexu theorie dan
receptie theorie, merupakan suatu deskripsi tentang politik hukum yang diterapkan
oleh penguasa negara. Dalam kondisi Indonesia merdeka, ketika negara didirikan atas
dasar suatu kesatuan kebangsaan, kemudian dikenal politik hukum nasional. Hal itu
muncul sebagai suatu gagasan untuk menggantikan hukum kolonial (Lihat: GBHN
1999) yang dipandang tidak cocok dengan alam kemerdekaan dan kebudayaan bangsa.
Politik hukum tersebut merupakan suatu keputusan kekuasaan negara tentang
hukum yang berlaku secara nasional dan ke arah sistem hukum yang dianut serta
dikembangkan. Cik Hasan Bisri,Transformasi Hukum Islam (Bagian Ketiga: Politik Hukum
Nasional), 2012, 2. Diakses pada 28 November 2012 dari, http://www. fshuinsgd.ac.id/
2012/ 04/ transformasi – hukum – islam – bagian - ketiga-politik-hukum-nasional/
29
Muhsin Hariyanto, “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam
Bidang Ekonomi”, akses pada 28 November 2012 dari, http:// muhsinhar. staff.
umy. ac. id/ politik-hukum-dalam-positivisasi-hukum-islam-bidang-ekonomi/
27
28
272
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Dalam konteks positivisasi hukum Islam sebagaimana
dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 secara tegas dijelaskan
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka
ketentuan ini merupakan pernyataan betapa hukum itu
sangat menentukan dalam pelaksanaan kenegaraan. Selain
itu ketentuan ini juga mengandung pengertian segala
sesuatu di negeri ini mesti berdasarkan hukum. Sebagai
contohnya adalah semakin menguatnya status bank dalam
bidang ekonomi syariah yang secara yuridis memperoleh
legislasi hukum pemerintah.30 Sebagai contoh, positivisasi
hukum Islam di bidang ekonomi telah dimulai sejak muncul
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yang diamandemen
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 kemudian berlanjut
tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syari’ah.31
Secara umum, dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai
Perbakan Syariah pada umumnya dibuat berdasarkan
asumsi-asumsi ideologis menyangkut relasi antara Islam
dan negara serta pertanyaan mengenai seberapa jauh Islam
dapat berperan di ruang publik. Asumsi-asumsi tersebut tidak
berlaku permanen namun selalu berubah sesuai kepentingan
sosial dan politik nasional melalui dinamika komunikasi
politik antara umat Islam dan Negara.32
Dalam sejarah tumbangnya orde baru, peluang politik
hukum Islam semakin terbuka lebar yang ditandai dengan
Ibid. Dan Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Balai Pustaka, 2000).
Meskipun pada awalnya undang-undang perbankan syariah menimbulkan
polemik, bahkan terutama dikalangan umat Islam sendiri karena adanya
pandangan yang berbeda tentang sunstansi bank dengan ribanya, namun
akhirnya upaya ini menemukan titik terang dengan adanya pengesahan legislasi
terhadap undang-undang syaria’ah tersebut. Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum
(Jakarta: BP. IBLA, 2004), 34-40.
32
Latief, Menyemai Karakter Bangsa, 2-4.
30
31
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
273
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
sikap permisif negara terhadap Islam.33 Momentum besar ini
menjadi latar belakang masalah yang menggugah untuk untuk
pengembangan hukum Islam Indonesia mengenai kebijakan
negara terhadap hukum Islam seperti dalam bidang ekonomi
syariah. Nampaknya, peluang positivisasi hukum Islam pada
bidang yang lain juga sangat besar, bahkan mempunyai masa
depan cerah terutama dakam masalah pidana dan lainnya.34
Pemberlakuan hukum Islam melalui proses positivisasi
hukum Islam dalam konteks hukum syariah diterima oleh negara
dalam peraturan perundang-undangan positif yang berlaku
secara nasional. Aspek hukum perbankan syariah, khususnya di
Indonesia merupakan bidang yang baru di bidang ilmu hukum dan
masih memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan
ilmu-ilmu hukum yang lain di masa mendatang.35
Sementara itu, menurut Bisri,36 terjadi interaksi intensif
antara hukum nasional dengan hukum Islam yang kemudian
menjadikan bidang ilmu ini sangat menantang dari aspek
hukum maupun dari aspek politik. Menurutnya, transformasi
asas-asas hukum tanpa menggunakan label hukum Islam,
tetapi diserap ke dalam hukum nasional. Transformasi hukum
Islam ke dalam produk hukum nasional dalam interaksi antara
kelompok elite Islam, ulama bebas, pemimpin organisasi
Oleh karenanya Bisri menjelaskan politik hukum merupakan produk
interaksi di kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial
dan budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam
interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastuktur politik pun
memiliki peluang yang sangat besar. Demikian pula sebaliknya. Hal itu terlihat
dengan jelas dalam perjalanan sejarah masyarakat bangsa Indonesia, baik pada
masa kesultanan Islam dan masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan
hingga kini. Bisri,Transformasi Hukum Islam, 2-4.
34
Muchsin, Ikhtisar, 44-39.
35
Ibid., 24-38.
36
Bisri, Cik Hasan, Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan
(Rosda Karya, Bandung, 1991), 138.
33
274
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
kemasyarakatan, pejabat agama dengan pendekatan fraksifraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan
pembahasan intensif di kalangan mereka. Perkembangan
dari peraturan perundang-undangan dan regulasi di bidang
perbankan dan keuangan syariah belum diikuti secara
memadai oleh studi ilmu hukum. Interaksi antara hukum
nasional dan hukum Islam tersebut telah menjadikan bidang
ilmu hukum ini menarik untuk dikembangkan, terlebih
setelah sekian lamanya dalam dominasi hukum Barat sebagai
sumber-sumber hukum nasional. Ilmu hukum Indonesia
dihadapkan untuk melihat hukum Islam sebagai salah satu
sumber hukum utama dalam menciptakan hukum sesuai
kesadaran hukum Indonesia, seperti yang terjadi dalam
hukum perbankan dan keuangan syariah. Keberhasilan
pengembangan ilmu hukum perbankan, keuangan syariah ini
dapat menentukan keberhasilan pengembangan ilmu-ilmu
hukum lainnya yang bersumberkan dari nilai agama Islam.37
Dengan demikian, dalam konteks positivisasi, penerapan
hukum Islam dalam kegiatan perbankan, keuangan atau
kegiatan ekonomi lainnya yang modern bukanlah pekerjaan
yang sederhana sekaligus masalah urgen mendasar bagi
bangsa.38 Dalam konteks seperti di atas, studi mengenai
Muchsin, Ikhtisar, 34-40.
Menurut Bisri ada beberapa catatan tentang transformasi hukum Islam
ke dalam sistem hukum nasional. Pertama, urgensi transformasi itu berkenaan
dengan potensi dan peluang untuk menjadikan hukum Islam sebagai kaidah
kehidupan masyarakat bangsa yang sebagian besar memeluk agama Islam. Hal
tersebut lebih cocok dengan kemerdekaan dan sejalan dengan nilai budaya yang
dianut masyarakat bangsa yang terdiri atas berbagai masyarakat etnis. Dengan
demikian hukum Islam memberi kontribusi terhadap perlindungan, kepastian dan
ketertiban hukum, baik bagi Muslim maupun non-Muslim. Hukum Islam dapat
menggantikan dominasi hukum Barat karena telah berakar dalam masyarakat.
Bisri,Transformasi Hukum Islam.
37
38
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
275
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
hukum perbankan syariah atau hukum keuangan syariah
menjadi suatu studi yang menarik dan menantang untuk
dunia hukum di Indonesia dimana hukum positif (hukum
yang berlaku) di negara Indonesia berbeda dengan yang
berlaku dengan hukum agama Islam.39
Pemberlakuan hukum Islam melalui proses positivisasi
hukum Islam merupakan persoalan politis yang penuh
dengan peluang dan tantangan. Dalam hal ini, hukum syari’ah
misalnya dapat diterima oleh negara dalam peraturan
perundang-undangan positif yang berlaku secara nasional.
Argumentasinya, perkembangan perbankan syariah banyak
ditentukan oleh dinamika internal umat serta hubungan
yang harmonis antara umat Islam dan negara. Iklim politik
yang kondusif, yang tidak memusuhi, memungkinkan
berkembannya perbankan syariah. Selain itu demokrasi
menyediakan arena bagi artikulasi politik Islam secara
konstitusional. Sehingga politik dalam bidang Ekonomi Syariah
ditentukan oleh proses integrasi, nasionalisasi gagasan sosial
politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik
nasional. Peluang ini sangat besar untuk mengarah pada
hukum-hukum lain dalam semangat demokrasi Pancasila.40
MenurutMasruhan41bahwadenganamandemen,perubahan
UUD 1945 telah memunculkan perubahan dalam pembangunan
yakni tidak dibuatnya GBHN sebagai pedoman penyusunan
rencana pembangunan nasional. Namun, ada pembuatan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
dengan undang-undang. Sedangkan Sistem Perencanaan
Ibid.
Hariyanto, “Politik Hukum Dalam Positivisasi Hukum Islam Bidang Ekonomi”.
41
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era Reformasi”, dalam
Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/ article/ viewFile/ 453/347.
39
40
276
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Pembangunan Nasionalnya menggunakan Peraturan Presiden
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2004-2009. Sasaran perencanaan pembangunan nasional di
bidang politik dan hukum periode tahun 2004-2009 adalah
terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen
dan tidak diskriminatif termasuk pembidangan wilayah bias
gender. Hukum berpihak pada realitas basis sesuai karakter
Indonesia. Untuk itu perlu upaya penjaminan konsistensi
seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat
dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi, kelembagaan peradilan serta
penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam
upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat.42
Menurut Azizy43 dengan kerangka hukum model
demikian, arah kebijakan pembangunan nasional di bidang
politik dan hukum tahun 2004-2009 merupakan pembenahan
sistem dan politik hukum dalam setiap lima tahun untuk
memperbaiki materi, struktur, dan kultur hukum yang
dijabarkan ke dalam program-program pembangunan
berikut,44 sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, Program perencanaan hukum untuk
menciptakan persamaan persepsi para pelaku pembangunan
terutama di bidang hukum untuk mengantisipasi isu-isu
strategis dan global agar penegakan dan kepastian hukum
tetap berjalan secara berkesinambungan. Model ini dapat
42
Ibid. dan Yudi Latief, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).
43
Azizy, Reformasi, 174-170.
44
Menurut Gunaryo persoalan ini muncul sebagai reaksi atas reformasi
yang menyuarakan banyak kebebasan termasuk berpolitik karena sekian
lama terbelenggu dalam rezim orde baru. Sehingga berbagai daerah sempat
mengusulkan diadakannya formalisasi-formalisasi Islam termasuk kasus yang
ramai di Aceh Darussalam waktu itu. Gunaryo, Pergumulan, 320.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
277
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
melahirkan produk kebijakan, materi hukum yang sesuai
dengan aspirasi masyarakat, mengandung perlindungan dan
penghormatan HAM serta berlaku efektif dalam masyarakat
dalam kurun waktu lima tahun berikutnya. Kedua,
menciptakan perangkat peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi untuk mengatur perilaku individu dan lembaga
serta menyelesaikan sengketa. Ketiga, Program peningkatan
kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum
lainnya untuk memperkuat lembaga peradilan dan lembaga
penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana terpadu
yang melibatkan antara lain MA, Kepolisian, Kejaksaan,
KPK, Lembaga Pemasyarakatan dan praktisi hukum untuk
mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat.45
Dengan pemaparan posistivisasi hukum Islam dari sisi
politik, maka proses tersebut sesungguhnya berpengaruh
signifikan terhadap masuknya nilai hukum hukum Islam
ke dalam hukum nasional. Hukum Islam dengan strategi
politik mempunyai peluang yuridis yang terkait dengan
kesiapan, pemahaman umat Islam akan ajaran dan nilai
Islam seirama dengan kesadaran demokrasi Pancasila.46
Selain itu, kesepakatan politik antara kepentingan yang
berkembang di legislatif turut menentukan proses tersebut
supaya pertentangan politisi pada tingkat parlemen
mengkristal pada kesepakatan perlunya membumikan
nilai hukum Islam melalui legislasi. Peluang dan tantangan
bidang politik sekaligus merupakan problem internal umat
Ibid., 320-330.
Wahid juga menjelaskan kritik atas politik hukum Islam di Indonesia. Dalam
negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran hukum, menghargai dan menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, menjaga kesatuan dan persatuan, berwatak demokratis dan
kemanusiaan. Wahid, Fiqih Mazhab Negara, 320-330.
45
46
278
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Islam dalam pengembangan makna fiqh konteks Indonesia
yang ditransformasikan melalui kepentingan partai.
C. Peluang dan Tantangan Perspektif Sosiologis
Sebagai lanjutan dari persoalan positivisasi hukum Islam,
maka perlu dijelaskan persoalan sosial47 yang merupakan masalah
serius yang berkelindan dalam upaya tersebut.48 Persoalan ini
terkait dengan persoalan ajaran nilai agama dalam masyarakat
yang berkembang dalam memahami hakikat hukum nasional
yang merupakan masalah mendasar terkait dengan fungsi sosial
agama. Para sosiolog dan ekonom telah kehilangan kesadaran
akan betapa pentingnya unsur-unsur yang tidak tampak dari
manusia, terutama aspek moralnya, sehingga perlu dialektika
hukum Islam dengan modernisasi serta pembangunan social.49
Sebagaimana institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi
yang sangat urgen bagi masyarakat.50 Fungsi ini sangat berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dan pemeliharaannya terkait moralitas dan
akhlak.51 Sehingga secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat
dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh
Munurut Hendropuspito melalui pendekatan sosial, agama terkait
persoalan Sosial. Meskipun demikian jangan sampai salah sangka dalam
menyepelekan iman dan ibadah. Pelaksanaan dimensi sosial tidak berarti kalau
tidak dilandasi iman dan melaksanakan ibadah mahdlah.
48
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta: LKis, 2005), 137-139.
49
Ibid., 137-138.
50
Di antara fungsi agama adalah menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan
keadilan. Fungsi-fungsi partai politik dalam Negara demokrasi adalah melaksanakan
fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi dengan modal utamanya dalam
pemilu. Salah satu bentuk keterikatan primordial itu adalah munculnya partai-partai
Islam. Partai yang menggunakan Pancasila sebagai dasar ideologinya, tetapi pada saat
yang sama menggunakan asas lain sebagai kepentingan politik kelompok.
51
Amin Ahmad, Etika Ilmu Akhlaq (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
47
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
279
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
yang menyatukan, Integrative Factor, dan pengaruh yang bersifat
negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecahbelah, desintegrative factor .52
Pembahasan tentang fungsi agama cukup banyak, sehingga
fokus kajian disini dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai
faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Dua hal inilah yang nampaknya terkait dengan proyek
positivisasi hukum Islam di Indonesia. Dengan memposisikan
nilai hukum Islam khususnya sebagai fungsi kontrol dan
rekayasa sosial masyarakat sesuai spirit hukum Islam.
1. Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi
masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu
ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang
membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilainilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung
bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama
menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Hal ini semakin
diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilainilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk
dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.
52
Gunaryo, Pergumulan. Dan Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam Dalam
Perspektif Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi,” diakses
pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer? A = v&q = cache: 0zc
1QFZfE S4J: digilib. uns. ac. id/abstrak. pdf. php? d_id%3D14171 + positivisasi +
hukum + islam + di + indonesia &hl = id&gl = id&pid = bl&srcid = ADGEESg 7WDT_
PhI-4YofCc V-- J9z3cZbrf—Qw 9RPW3ACQUr0 AlB2 FsIYfl 4voE0Fz_h DC6tom
IwKrzy NH Cpp LB0 so CWCs UDXT 42S8l4 fwL 5e VMw O6bt X0 DAkh Sb Wxo Hqtr
43o BQMB j& sig = AHIEtb RMW AhSPz VTX5Mc5dhMAX6Pd5geRw
280
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, memiliki
fungsi53 dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala
pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia.
Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia
dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan
keselamatan bagi manusia.54 Lebih jauh, dengan mendasarkan
pada dua hal diatas, Hendropuspito mengungkapkan beberapa
fungsi agama antara lain sebagai berikut:
a. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang
berada di luar jangkauan manusia yang melibatkan
takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana
emosional penting yang membantu manusia dalam
menghadapi ketidakpastian.
b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui
pemujaan dan upacara peribadatan, karenanya agama
memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan
identitas yang lebih kuat di tengah kondisi ketidakpastian
dan ketidakmungkinan yang dihadapi manusia.55
53
Agama digunakan sebagai istilah untuk menyebut kelompok- kelompok
terorganisasi, komunitas iman maupun ritual, dalam perkembangan dan
perubahan sosial dan kebudayaan di negara-negara Barat dalam beberapa dekade
sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan sosial manusia.
54
Agama terutama Islam meyakini bahwa, kebenaran agama termasuk
perkara yang bersifat qaṭ’ī, thawābit dan badīhiy/pasti, tetap dan jelas (min al-umūr
al-ddarūriyah fī al-dīn) yakni termasuk di antara perkara-perkara agama yang
bersifat dhloruriyah (suatu keharusan) karena telah disepakati dan didukung oleh
seluruh ulama’ sepanjang masa lebih-lebih oleh salafus salih berdasarkan nas-nas
yang jelas dan tegas (PP. Muhammadiyyah, 2012).
55
Sebagai seorang Guru Besar kedokteran Fanani menjelaskan bahwa, aspek
spiritual yang mempengrauhi kesehatan jiwa dapat termasuk di dalamnya aspek
agama. Karena peran agama masih tergolong baru dalam psikiatri, maka perlu
dijelaskan beberapa pendapat serta hasil penelitian yang menunjukkan korelasi
antara pemahaman keagamaan, kepatuhan terhadap prinsip keagamaan, serta
rutinitas pelaksanaan aktivitas peribadatan dengan kesehatan jiwa. Menurutnya,
orang yang mengaku beragama dan memiliki konsekuensi tinggi, maka akan memiliki
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
281
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai
masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan
dominasi tujuan kelompok di atas kepentingan individu
dan disiplin kelompok di atas dorongan hati individu.
Dengan demikian, agama berfungsi untuk membantu
pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola
masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.
d. Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan
dengan fungsi sebaliknya, yaitu memberikan standar
nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah
terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, terutama agama yang
menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada
masyarakat yang mapan.
e. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting.
Melalui peran serta manusia dalam ritual agama dan
do’a, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan
yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan
dan mobilitas sosial yang berlangsung cepat, sumbangan
agama terhadap identitas menjadi semakin tinggi. Salah
satu contoh tentang hal ini dikemukakan oleh Will Herberg
melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di
tahun 1950-an, dimana salah satu cara penting dari
orang Amerika membentuk identitasnya adalah dengan
menjadi salah satu anggota dari “tiga agama demokrasi”,
yaitu: Protestan, Katholik, dan Yahudi.
keterikatan pikiran dan emosi dengan keyakinan atau agama beserta aturanaturan atau syariat yang ada di dalamnya. Agama mempunyai makna yang
penting bagi manusia karena iman dapat berfungsi sebagai penghibur dikala duka
serta sumber kekuatan batin saat manusia menghadapi kesulitan. Muhammad
Fanani, Agama sebagai Salah Satu Modalitas Dalam Terapi, diakses pada 30 November
2012 dari http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=456
282
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
f. Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan
kedewasaan individu, serta perjalanan hidup melalui
tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.56
Dari beberapa fungsi yang dijalankan oleh agama di atas,
dalam konteks positivisasi hukum Islam, nampak bahwa
nilai agama memiliki peran yang urgen57 tidak hanya bagi
individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu,
agama berperan dalam mengidentifikasikan individu dengan
kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat
moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas.58
Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi
menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan
mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai
dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk
mengatasi kesalahan dan keterasingan.59 Dengan model
Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 89-120.
Menurut Fuad grand design wacana urgensi hukum Islam sebagai upaya
membumikan nilai-nilai fiqh klasik secara holistik teopassing dengan stressing
pada perkembangan sosial. Namun demikian, nuansa pemberdayaan empowering
dalam kreasi ijtihad hukum yang diajukan ini cukup sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan zaman. Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris
Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKis, 2005), 4.
58
Dalam konteks demikian, juga menjelaskan bahwa agama mempunyai
potensi untuk dilembagakan sebagai pranata yang disepakati bersama dalam
upaya menertibkan kepentingan sesame umat beragama (Hendropuspito, Sosiologi
Agama, 27). Artinya potensi ini seirama dengan upaya positivisasi hukum Islam di
Indonesia yang tidak menyepelekan persoalan sosiologi agama. Azizy, Reformasi,
173-174.
59
Lebih jauh Fanani menjelaskan adanya ketahanan sistem iman dapat
ditingkatkan salah satunya dengan komitmen agama yang tinggi. Daya tahan
mental juga akan lebih baik karena dengan agama orang akan memiliki positive
thinking, self control & self esteem yang baik dan merasa menjalani hidup dengan
penuh makna. Komitmen terhadap agama secara klinis dapat berperan sebagai
sarana promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif terhadap gejala depresi,
ansietas, penyalahgunaan obat serta perilaku antisocial. Selain itu, materi kuliah
56
57
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
283
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
penyatuan pengaruh agama terhadap fenomena sosial
inilah akan berpengaruh secara sinergis terhadap proyek
psitivisasi hukum Islam di Indonesia.
2. Fungsi Disintegratif Agama
Positivisasi yang terkait persoalan agama, khususnya
hukum Islam, mempunyai peluang yang tidak selamanya
baik secara sosiologis. Dalam konteks ini, agama memiliki
peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat,
dan memelihara eksistensi suatu masyarakat. Pada saat
yang sama, agama juga dapat memainkan peranan sebagai
kekuatan yang memecah-belah bahkan menghancurkan
eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya
sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Sehingga
pembicaraan tentang fungsi disintegratif agama lebih
memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk konflik
sosial yang bersumber dari agama.60
Puspito menjelaskan bahwa setidaknya ada empat
bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:61
Pertama, perbedaan doktrin dan sikap mental. Dalam
konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal
dua kelompok agama yang berbeda, bukan hanya sebatas
konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta
agama di Fakultas Kedokteran tidak hanya mengajarkan akidah, syariat, muamalah
secara umum, tetapi justru lebih diarahkan kepada agama sebagai modalitas terapi.
Hal itu sebagai salah satu cara untuk meningkatkan keefektifan terapi psikiatri dan
memperluas jangkauan pelayanan. Pendidikan ahli psikiatri perlu mengembangkan
konseling dengan nuansa agamis dan sebaliknya perlu meningkatkan kemampuan
konseling bagi rohaniwan. Fanani, Hukum Islam Indonesia.
60
Hendropuspito, Sosiologi Agama, 45-65.
61
Ibid., 126-128.
284
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini.
Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya
perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental
yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah
yang memiliki kebenaran, claim of truth, sedangkan yang lain
sesat, atau setidaknya kurang sempurna.62
Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya
konflik sosial yang berlatarbelakang agama, terlebih
pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya
sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan
intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah
menutup sisi rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan
untuk membangun saling pengertian antar pemeluk agama.
Seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional, yang
memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai
senjata untuk menolak argumentasi rasional yang ada.
Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi akan
eksistensi sikap-sikap tersebut.63
Kedua, perbedaan suku dan ras pemeluk agama.
Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa
Realitas sejarah menunjukkan bahwa, Agama Islam pada zaman nabi
Muhammad tidak mengalami perbedaan faham yang membawa kepada perpecahan
pemeluknya, karena semua persoalan yang ada dapat diselesaikan oleh nabi sendiri,
sehingga terlihat adanya hidup rukun antara dua kelompok sahabat Nabi yaitu:
Muhajirin dan Anshor. Setelah nabi Muhammad wafat dan menyebar keberbagai daerah
yang luas, maka agama Islam memasuki zaman yang situasi, kultur dan sosialnya jauh
berbeda denga situasi asalnya, maka timbullah perpecahan pemeluknya dikarenakan
pemahaman yang berbeda, sehingga dikenal dalam sejarah dinamakan golongan
Khawarji, Murji’ah, Mu’tazilah dan lain-lain. Di Indonesia juga diknal adanya golongan
muhammadiyah, Al-Irsyat, Nahdlatul Ulama’, Persis dan lain-lainnya. Masingmasing golongan saling mencari dalil untuk membenarkan golongan dirinya dan
menyalahkan golongan lain. Hal ini akan menimbulkan konflik antara golongan yang
satu dengan yang lain. Hendropuspito, Sosiologi Agama.
63
Hendropuspito, Sosiologi Agama, 45-65.
62
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
285
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-orang
yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga
tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan
ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku
dan ras saja telah cukup untuk memunculkan konflik sosial,
maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan
semakin mempertegas konflik tersebut.
Ketiga, perbedaan tingkat kebudayaan. Sebagai bagian
dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi
pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada
umumnya.64 Fenomena ini dengan menegaskan bahwa
agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu
jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah
upaya menciptakan alam semesta dengan cara yang suci.
Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan
peran dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan
melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan
yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak
bisa dilepaskan dari peran agama dalam menyediakan nilainilai yang di satu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran
bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat
dan mengekang pemikiran tersebut.65 Dengan demikian,
Dalam konteks ini, agama adalah suatu jenis sitem sosial yang dibuat oleh
penganut-pengenutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris
yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi
mereka dan masyarakat luas secara umum. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,
Bandung: Remaja Kosda Karya, 2003), 129.
65
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan atau biasa
disebut sub-kultur, yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan
dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya subkultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras,
etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender. Ada
beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan
kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat
64
286
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta
menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan
kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam
menghadapi fenomena kehidupan sosial yang berubah
dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap
fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang
lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme
dalam mendorong munculnya kapitalisme.
Kempat, masalah mayoritas dan minoritas kelompok
agama. Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah
mayoritas dan minoritas seringkali menjadi faktor penyebab
munculnya konflik sosial. Dalam konteks ini, sedikitnya ada
tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena
konflik mayoritas-minoritas, yaitu; pertama, agama diubah
menjadi suatu ideologi; kedua, prasangka mayoritas terhadap
minoritas atau sebaliknya; ketiga, mitos dari mayoritas.
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok
agama yang mayoritas seringkali mengembangkan suatu
bentuk ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh
emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana kepentingan
tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan
minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli,
keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan
yang berkuasa. Monokulturalisme, pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi
kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling
bekerja sama. Leitkultur (kebudayaan inti) sebuah model yang dikembangkan oleh
Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan
mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan
induk yang ada dalam masyarakat asli. Melting Pot, kebudayaan imigran/asing
berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
Multikulturalisme, sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok
minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi
secara damai dengan kebudayaan induk. Elizabeth K Hottingh, Agama dan
Masyarakat, Jakarta: PT. Raja Grapindo Parsada, 1996), 3-4.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
287
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan
suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang
memiliki wewenang untuk menjalankan segala aspek
kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah yang pada
akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan
sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas yang akan
bermuara pada timbulnya konflik sosial.66
Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada
permasalahan keagamaan di atas, kita bisa melihat bahwa
betapa besar potensi konflik yang terkandung pada masalahmasalah keagamaan. Hal ini wajar jika dalam konstelasi politik
sangat mempengaruh terhadap pola hukum yang ditentukan
oleh pemerintah melalui legislasi terutama positivisasi
hukum Islam di Indonesia.67 Dalam kondisi demikian, sudah
selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama
memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan
peneliti sosial keagamaan dalam memberikan gambaran yang
lebih detail dan komprehensif tentang fenomena keagamaan
dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai
dengan permasalahan keagamaan yang dihadapi. Ketepatan
memilih perspektif tentu saja akan mampu menghadirkan
gambaran riil dari permasalahan yang ada sehingga
harapan untuk memunculkan berbagai solusi alternatif bagi
pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal.68
Hendropuspito, Sosiologi Agama, 45-46.
Menurut Azizy upaya positivisasi hukum Islam hendaknya memperhatikan
sisi budaya dan nilai yang berkembang dalam masyarakat. Apapun nilai dan
budaya yang berkembang itulah yang akan berpengaruh terhadap positivisasi
sebagai bentuk adanya penyerapan nilai masyarakat ke dalam hukum nasional
melalui suatu perundang-undangan, sehingga dalam porses ini tetap berjalan
dalam koridor akademik keilmuan dan demokratisasi secara wajar di Indonesia.
Aziz, Eklektisisme Hukum Islam, 173-176.
68
Hendropuspito, Sosiologi Agama, 43-54.
66
67
288
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar di atas
setidaknya telah menunjukkan bahwa fenomena keagamaan
yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena
yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah
teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain
seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu,
disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar
untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena
keberagamaan secara ilmiah.69 Mengingat begitu pentingnya
posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai
fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman
yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis
yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak
hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.70
Berangkat dari pemahaman agama mempunyai peran
besar dalam memobilisasi sebuah perubahan, maka konsep
positivisasi hukum Islam sangat erat dengan kesadaran
hukum yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Sehingga
perubahan yang terjadi pada masa reformasi mempunyai
karakter khusus ketimbang masa-masa sebelumnya terkait
dinamika perubahan sosial negara Indonesia.71
Terkait positivisasi hukum Islam, menurut Masruhan72
karakter khusus yang dimiliki hukum Indonesia terkait dengan
kebijakan Pemerintah Era Reformasi di bidang hukum, menurut
Teuku Mohammad Radhie, ditetapkan dengan memanfaatkan
69
Terkait pentingnya mempelajari sosiologi agama, karena dalam studi
sosiologi mempelajari fungsi agama dalam masyarakatagama yang didefinisikan
oleh Johnstone sebagai sebuah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana
sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa dirasakan sebagai
pengadaan adikodrati dan kudus. Ibid., 34-48.
70
Hottingh, Agama dan Masyarakat, 4-18.
71
Masruhan, Positivisasi Hukum Islam, 1-2, Azizy, Reformasi Bermazhab, 180-185.
72
Masruhan, Positivisasi Hukum Islam, 119-125.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
289
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
bahan baku dari sistem hukum Adat, hukum Islam dan hukum
Barat. Sedangkan tatanan hukumnya, menurut Arif Sidharta
mempunyai tanda berwawasan kebangsaan dan nusantara,
mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis
kedaerahan dan keyakinan keagamaan, berbentuk tertulis dan
terunifikasi, bersifat rasional baik segi efisiensi, kewajaran,
kaidah dan nilai, transparansi dan responsif terhadap
perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat. Selain
itu, upaya pembangunan nasional dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara
yang efektivitas, efisiensi dan obyektivitasnya memerlukan
perencanaan pembangunan nasional.
Sistem hukum nasional yang pembangunannya
diupayakan adalah sebuah sistem hukum yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 serta berlaku di seluruh Indonesia.
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa
Indonesia yang beragam suku bangsa, budaya dan agama
seharusnya tidak memandang agama yang dipeluknya. Sebab,
di antara agama mereka itu adalah agama Islam yang tidak
dapat dicerai pisahkan dari hukum. Artinya, Islam adalah
agama hukum dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karena itu,
pembangunan hukum nasional yang mayoritas penduduknya
beragama Islam harus memperhatikan unsur hukum agama.73
Oleh karenanya, menurut Azizy,74 hukum Islam merupakan
salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum nasional.
Pembangunan hukum nasional harus dapat mengayomi seluruh
bangsa dan aspek kehidupannya. Karena itu, pembangunan
hukum nasional wajib menggunakan wawasan nasional yang
terdiri atas wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan
Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2012), 261.
74
Azizy, Reformasi Bermazhab, 174-180.
73
290
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
wawasan Bhinneka Tunggal Ika dengan arah dan tujuan yang
diatur dalam GBHN 1999-2004. Fenomena demikian dengan
syarat demokratis serta akademis ilmiah.75
Prsoses demokratisasi yang dimaksud tentunya sesuai
dengan mekanisme yang berjalan dalam setiap lima tahun
dengan pemilu. Oleh karena itu, mengikuti pemilihan bagi
yang punya hak suara merupakan kewajiban umat Islam
khususnya. Sedangkan proses akademik dimaksud sebagai
upaya penjelasan secara metodologis sesuai teori keilmuan
yang sudah mapan dalam perkembangan ilmu hukum
Indonesia. Ragam penjelasan inilah yang nampaknya
mempengaruhi proyek positivisasi hukum Islam di Indonesia
dalam perspektif sosiologis. Sehingga membumikan nilai
Islam dalam sosial budaya masyarakat Indonesia merupakan
langkah penting menuju positivisasi hukum Islam.
D. Peluang dan Tantangan Perspektif Filosofis
Sebagai lanjutan pembahasan positivisasi hukum Islam,
terkait peluang dan tantangan dari sisi filosofis,76 kiranya
perlu dijelaskan hubungan agama dan filsafat hukum sebagai
pandangan hidup bernegara dengan perkembangnnya
di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, karena memang
keduanya sangat terkait pemahaman yang berkembang
seputar hukum Islam Indonesia, sehingga dua hal penting
tersebut sulit dipisahkan dalam konteks pembangunan
hukum nasional.77
Masruhan, Positivisasi Hukum Islam, 120-125. Azizy, Reformasi Bermazhab, 174.
Hubungan agama dan filsafat hukum di Indonesia menurut Fuad
sangat berpengaruh terhadap dinamika pemikiran yang berkembang seputar
pembaharuan hukum Islam Indonesia dengan ragam model sesuai sosiologi
masyarakat. Fuad, Hukum Islam Indonesia, 312.
77
Azizy, Eklektisisme, 120-125 dan Membangun, 47.
75
76
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
291
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
Salah satu persoalan yang sangat penting dalam
positivisasi hukum Islam adalah perkembangan pemikiran
yang terjadi antara keduanya terkait perkembangan metode
dan makna ijtihad.78 Pemikiran yang berkembang sangat
dipengaruhi beberapa faktor yang saling berkelindan, kait
mengait antara agama dan pemikiran yang berkembang
seputar hukum Islam sebagai upaya positivisasi tersebut.79
Dalam hal ini, Pancasila merupakan pandangan filosofis
yang sangat penting dalam menentukan proyek positivisasi
hukum Islam di Indonesia.
Untuk hal ini, dalam konteks Indonesia, Bismar Siregar
dalam rangka memahami nilai moralitas dan upaya penegakan
hukum di Indonesia menetapkan Pancasila sebagai sumber
hukum serta keadilan, ditegakkan demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, hanya melalui itikad baik dan
kejujuran. Selain itu, keimanan dan ketakwaan terus dibina
dan ditingkatkan, karena kepada-Nya dipertanggungjawabkan
setiap perbuatan. Oleh karenanya, lebih jauh dijelaskan bahwa
Pancasila di satu sisi dan agama di sisi yang lain merupakan
Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 47-48.
Dalam koteks demikian, Sularno menjelaskan bahwa syari’at,
hukum Islam pantas menjadi sumber pembentukan hukum nasional,
karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika masyarakat
Indonesia
dalam
mencapai
cita-citanya,
ia
mengandung
dimensi
yang berakar pada nas qat’i yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa, di
samping itu mengandung pula dimensi yang berakar pada nas zanni yang merupakan
wilayah ijtihad dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Secara garis besar, ragam
produk pembaharuan hukum Islam di Indonesia terdapat empat macam, yaitu: fiqih,
fatwa, produk pengadilan, serta peraturan perundang-undangan. Adapun tema besar
dari wacana pembaharuan pemikiran hukum Islam adalah berangkat dari term
ijtihad, yang dalam kontek Indonesia, gerakan ijtihad yang berjalan menunjukkan
adanya metode dan kecenderungan yang beragam. Sularno, M,” Syari’at Islam Dan
Upaya pembentukan Hukum Positif di Indonesia,” diakses pada 05 Oktober 2012, dari
http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/ article/viewFile/245/240.
78
79
292
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
dua hal yang patut dan seharusnya diletakkan dalam cakupan
dan posisi yang berbeda akan tetapi dalam suatu kesatuan
penghayatan hidup dan kesadaran manusia. Dalam Pembukaan
UUD 1945, dinyatakan bahwa kemerdekaan yang diperoleh
secara jujur diakui bukanlah semata hasil usaha manusiawi
belaka, akan tetapi di situ Tuhan ikut berperan dalam bentuk
rahmat dan berkah. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978
telah dinyatakan pula, sebagai kelanjutan isi Pembukaan
tersebut, bahwa seluruh dinamika kemasyarakatan sebagai
pelaksanaan Pancasila harus dapat dipertanggung jawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.80
Dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945 diperoleh
pengertian bahwa negara menjunjung tinggi moral yang
luhur dan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur.
Budi pekerti atau moral tersebut dalam agama yang secara
normatif mengikat pemeluk-pemeluknya. Relasionalitas
nilai atau persambungan nilai antara Pancasila dan Agama,
berkaitan dalam pelaksanaan dan pengamalan di dalam
kehidupan praktis sehari-hari dan kenegaraan. Maka pejabat
negara ditentukan harus orang yang bertakwa dan disumpah
menurut agamanya masing-masing sebelum memangku
jabatan tersebut. Pada persambungan nilai Pancasila
sebagai filsafat dan agama sebagai petunjuk hidup manusia,
bertemulah di dalamnya kegiatan dan gerak dinamika
pembangunan manusia seutuhnya yang juga merupakan
upaya perwujudan cita-cita dan tujuan hidup manusia.
Dalam kaitan dengan hal di atas, seorang tokoh Islam
yang pernah menjadi Perdana Menteri RI, Moh. Natsir, jauhjauh hari telah mengatakan bahwa perumusan Pancasila
adalah hasil musyawarah antara pemimpin-pemimpin pada
Bismar Siregar, Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam (Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Al-Azhar, 2003), 13-15.
80
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
293
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun
1945. Dia percaya bahwa di dalam keadaan yang demikian
para pemimpin yang berkumpul tersebut, di mana sebagian
besar beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan
sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka nyata
bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.81
Selanjutnya Moh. Natsir mengatakan, “Bagaimana
mungkin al-Qur’an yang memancarkan tauhid akan terdapat
apriori, bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagaimana mungkin al-Qur’an yang ajaran-ajarannya penuh
dengan kewajiban menegakkan ‘adālah-ijtimā’iyyah bisa
bertentangan dengan keadilan sosial. Bagaimana mungkin
al-Qur’an yang justru memberantas sistem feodal dan
pemerintahan istibdād (sewenang-wenang), serta meletakkan
dasar musyawarah dalam susunan pemerintahan, dapat
apriori, bertentangan dengan apa yang dinamakan kedaulatan
rakyat dan bagaimana mungkin al-Qur’an yang menegakkan
ishlāḥ bain al-nās sebagai dasar yang pokok yang harus
ditegakkan oleh umat Islam dapat apriori, bertentangan
dengan apa yang disebut peri kemanusiaan. Akhirnya, juga
bagaimana mungkin al-Qur’an yang mengakui adanya bangsabangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan
apriori dapat dikatakan bertentangan dengan kebangsaan.
Dari berbagai pandangan tersebut di atas maka jelas bahwa
Pancasila dimaksudkan sebagai cara dan wadah dalam
menjalankan dan mengamalkan norma agama, termasuk
dalam hal ini ajaran Islam, dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Sehingga antara keduanya tidak ada pertentangan
nilai dalam konteks kenegaraan dan berhukum di Indonesia.82
Shaleh Harun, dan Abdul Munir Mulkhan, Latar Belakang Ummat Islam
Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal (Yogyakarta: Aquarius,1985), 26-19.
82
Ibid.
81
294
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Atas dasar penjelasan demikian kiranya dapat dipahami
bahwa menurut Mahfud.83 senada dengan al-Raisūni84
menetapkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat adalah suatu kewajaran, karena dengan itu fungsi
hukum hendaknya menjaga serta menjamin ketertiban dan
kepentingan masyarakat supaya senantiasa relevan dengan
perubahan yang terjadi. Sedangkan kaum realis seperti Savigni
sebagaimana dikutip Masruhan85 menganggap hukum selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Artinya, mau tidak mau, hukum menjadi independent variable
atas keadaan di luarnya, terutama keadaan politiknya. Memang
kenyataannya, hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi
politik yang melatar belakanginya. Sehingga kalimat-kalimat
dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari
kehendak politik yang saling bersaingan antara arah yang
terjadi dalam masyarakat, sehingga suatu kristalisasi harapan
yang sama sebagai masa depan hukum Indonesia.86
Terkait perlunya penyesuaian pemikiran hukum Islam di
Indonesia, Azizy87 menyebutnya dengan reformasi bermazhab.
Sebuah kajian fiqh yang sesuai dengan tuntutan dan perubahan
masyarakat serta sebagai model pendekatan saintifik modern.
Dengan argumentasi demikian, maka studi positivisasi hukum
Islam di Inonesia sangat terkait dengan aspek filosofis,
perkembangan pemikiran ulama, perkembangan pemikirannya
dijelaskan dengan apsek tertentu dalam hukum yang sudah
83
Moh Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta:
Gama Media 1999), 70-72.
84
Ahmad, al-Raisūnī, al-Ijtihād, Nash, al-Wāqi wa al-Maṣlaḥaḥ (Bairut-Libanon:
Sabkat al-Arabiyyāt li al Abhās wa al-Nasyr, 2012), 3-6.
85
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam”, 3-8.
86
Muchsin, Ikhtisar, 25-30.
87
Azizy, Eklestisme Hukum Islam, 23-30.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
295
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
familiar di kalangan masyarakat Indonesia khususnya umat
Islam sebagi pandangan filosofis seperti hukumam mati,
potong tangan, cambuk dan lainya yang masih kontroversi di
Indonesia. Sebagai contoh, koran Tempo yang terbit pada 4
Oktober 2012 menjelaskan, bahwa hukuman mati88 terhadap
koruptor kembali menjadi debat publik setelah Musyawarah
Nasional alim ulama dan Konferensi Besar Nahdatul Ulama di
Cirebon mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi pencuri uang
negara terutama koruptor kelas berat.
Dari analisa prospek hukum Indonesia, nampaknya respon di
kalangan umat Islam khususnya dan warga Indonesia umumnya
masih menuai kontroversi. Ragam pemikiran secara filosofis
mempunyai argumentasi yang kuat. Sehingga memunculkan
dua argument, argumen kelompok yang kontra dan argumen
kelompok pro hukuman mati, khususnya terhadap koruptor.
Fenomena demikian jelas dapat mempersulit pemerintah dalam
menentukan suatu hukum yang diterima secara nasional, sebagai
hukum positif di Indonesia. Hukum yang mana akan selalu
menjadi pertaanyaan umat Islam khususnya dan Islam yang
mana akan terus menjadi polemik.89 Namun, potret demikian
tetap memberi peluang bagi eksistensi hukum Islam di Indonesia
untuk ditransformasikan ke dalam hukum nasional.
Sebagai contoh kongkrit dalam penjelasan tersebut di
atas adalah hukuman mati dalam hukum Islam. Argumentasi
kontroversi pada hukuman mati telah lama, dan nampaknya
akan tetap menjadi topik debat klasik di antara para
Menurut Lubis (2009: 326) secara filosofis, kontroversi hukuman mati di
Indonesia tetap menjadi masalah besar sesuai hukum Indonesia. Oleh karena itu,
sebagai konsekuensi dari dikategorikannya hak untuk hidup sebagai non-derogable
right, hukuman mati tidak dapat diterapkan di Indonesia meskipun dalam keadaan
darurat. Namun, perlu tegaskan bahwa, uapaya keadilan harus ditentukan solusinya.
89
Azizy, Eklestisme Hukum Islam, 194-196.
88
296
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
ilmuwan filsafat dan hukum, ilmuan Islam dan non Islam.
Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok
abolisionis) maupun yang mendukung hukuman mati
(kelompok retensionis) mendasarkan pendapatnya pada
argumen yang kuat.90 Namun faktanya sampai sekarang
hukuman mati tetap dipandang layak dan diakui oleh
sebagian negara di dunia dalam konteks dan kasus tertentu.
Terkait kontroversi hukumam mati, kaum abolisionis
mendasarkan argumennya pada beberapa alasan. Pertama,
hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan
martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Hukuman mati merupakan pelanggaran yang merugikan
keluarga. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak
negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan
pidananya. Hinga sekarang sudah 97 negara menghapuskan
hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa melarang
pemberlakuan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of
Fundamental Rights of the European Union tahun 2000.91
Sementara secara terpisah, majelis umum PBB pada tahun
2007, 2008 dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (nonbinding resolutions) yang menghimbau moratorium global
terhadap hukuman mati. Protokol Opsional II International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang
penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak.92
Kompas, 4 Oktober 2012.
Menurut Iskandar penghapusan hukuman mati hanya pada masa damai. Di
Eropa terdapat protokol no. 6 yang tertuju pada pengahpusan hukuman mati di
masa damai. Namun konvensi HAM memberikan toleransi terhadap pelaksanaan
pidana mati pada masa peperangan, tetapi di Eorpa terdapat protocol 13 yang
dapat mewajibkan penghapusan hukuman mati secara absolut. Pranoto Iskandar,
Hukum HAM Internasional, Sebuah Pengantar Kontekstual, Cianjur: IMR Press,
2012), 578.
92
Kompas, 4 Oktober 2012.
90
91
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
297
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
Dasar argumentasi selanjutnya yang dikemukakan
kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas hukuman mati.
Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang
hukuman mati karena hukuman ini bertentangan dengan
Amandemen VIII Konstitusi Amerika Serikat. Dasar argumentasi
konstitusional juga telah digunakan oleh kaum abolisionis di
Indonesia. Pada tahun 2007, dua WNI terpidana mati kasus
narkoba yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta tiga
warga Australia yaitu Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan
Scott Rush mengajukan permohonan uji konstitusional kepada
Mahkamah Konstitusi terhadap pasal hukuman mati dalam UU
No 22/1997 tentang Narkotika.93 (Kompas, 4 Oktober 2012).
Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati
UU No 22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan
II Undang-Undang Dasar 1945. Namun, permohonan para
pemohon ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang
pada intinya menyatakan hukuman mati terhadap kejahatan
yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia.
Kelompok abolisionis juga menolak alasan kaum
retensionis yang meyakini hukuman mati dapat
menimbulkan efek jera, dan karenanya dapat menurunkan
tingkat kejahatan khususnya korupsi. Belum ada bukti
ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi negatif antara
hukuman mati dan tingkat korupsi.94
Sebaliknya, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi
Transparansi Internasional tahun 2011 justru negara-negara yang
tidak menerapkan hukuman mati menempati ranking tertinggi
sebagai negara yang relatif bersih dari korupsi, yaitu Selandia Baru
ranking 1, Denmark rangking 2, dan Swedia rangking 4.
93
94
298
Ibid.
Kompas, 4 Oktober 2012.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Sementara kelompok pro hukuman mati atau kelompok
retensionis tidak kalah sengit mengajukan argumen yang
mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah hukuman
mati memberikan efek cegah terhadap pejabat publik yang
akan melakukan korupsi. Bila menyadari akan dihukum
mati, pejabat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali
untuk melakukan korupsi.
Fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negaranegara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi
yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati memiliki
tingkat kejahatan yang rendah. Berdasarkan data United Nations
Office on Drugs and Crime pada tahun 2012, misalnya, tingkat
kejahatan pembunuhan hanya 1,0 per 100.000 orang. Bandingkan
dengan Finlandia 2,2, Belgia 1,7 dan Russia 10,2.95
Kaum retensionis juga menolak pendapat kelompok
abolisionis yang mengatakan hukuman mati (terhadap
koruptor) bertentangan dengan kemanusiaan. Sebaliknya,
mereka berpendapat justru korupsi merupakan kejahatan luar
biasa yang menistakan perikemanusiaan. Korupsi merupakan
kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak hidup dan hak
asasi manusia tidak hanya satu orang, namun jutaan manusia.
Kelompok retensionis berpendapat, hukuman mati
terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi sebagaimana
telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Di Amerika Serikat,
hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam kasus
Gregg vs Georgia Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan,
“the punishment of death does not violate the Constitution.”96
Dari berbagai argumen yang dikemukakan kelompok
abolisionis dan retensionis sesungguhnya dapat diambil
95
96
Ibid.
Ibid.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
299
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
kebijakan sintesis hukuman mati bagi koruptor di
Indonesia. Dalam keadaan darurat korupsi seperti sekarang
ini, dimana korupsi telah menyebabkan kemiskinan yang
luas dan karenanya membunuh hak hidup jutaan manusia,
adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu
orang koruptor. Jadi pertimbangan utamanya adalah rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukuman mati juga
diterapkan untuk memberikan peringatan keras pada para
pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi.97
Akan tetapi, hukuman mati hanya dijatuhkan pada bentuk
korupsi yang paling jahat dan berdampak luas. Selain itu,
hukuman mati harus sangat berhati-hati dijatuhkan. Dalam
sistem peradilan pidana yang korup seperti sekarang ini seseorang
sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of
justice). Di Amerika Serikat, 23 orang telah dihukum mati karena
kekeliruan peradilan dalam periode 1900-1987.98
Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice
terdakwa korupsi harus diberikan hak melakukan upaya
hukum yang adil. Misalnya, dalam sidang kasasi terdakwa
wajib diadili sendiri oleh sembilan hakim agung pidana
independen Mahkamah Agung. Untuk mengumpulkan
bukti-bukti baru yang meyakinkan (novum), diberikan hak
untuk mengajukan peninjauan kembali tanpa batas waktu.99
Apabila terdakwa pada akhirnya dipidana mati, maka masih
memiliki kesempatan untuk mengajukan grasi atau permintaan
ampun. Ada dua opsi dalam hal ini. Pertama, ia mengajukan
permintaan ampun kepada Parlemen sebagai wakil rakyat yang
telah dirugikan. Jika grasinya diterima, maka hukumannya
diperingan. Peringanan hukuman hanya boleh diberikan
Ibid.
Ibid.
99
Ibid.
97
98
300
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
menjadi minimal 20 tahun penjara. Namun bila ditolak, ia masih
memiliki kesempatan memohon grasi ke Presiden.100
Opsi kedua, terdakwa mengajukan grasi ke Presiden
yang sedang berkuasa. Tetapi, apabila grasinya ditolak, ia
dapat mengajukan kepada Presiden dari pemerintahan yang
baru. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan hukuman
mati oleh rezim korup yang ingin menyingkirkan lawanlawan politiknya.101
Dengan demikian, dimaklumi bahwa jika Indonesia
telah terbebas dari darurat korupsi dan kedaulatan hukum
telah ditegakkan, maka hukuman mati terhadap koruptor
sebaiknya dihapuskan. Karena dampak korupsi dalam
keadaan normal tidaklah seburuk seperti dampak korupsi
dalam keadaan darurat.102 Terkait positivisai hukum Islam, maka persoalan seperti
hukumam mati bagi pembunuh atau koruptor yang layak
dengan hukum tersebut, masih menimbulkan kontroversi di
tengah keberadaan mayarakat Indonesia. Bahkan, dikalangan
umat muslim sendiri, masih terjadi pertentangan serius
dalam masalah tersebut. Hal inilah yang sangat krusial dalam
menentukan upaya transformasi hukum Islam di Indonesia,
yang kemudian menjadi positivisasi hukum Islam Indonesia.103
Melanjutkan kajian posititvisasi hukum Islam dalam
konteks sosio-filosofis dengan hambatan dan peluangnya,
maka muncul sebuah pemahaman bahwa hukum Islam
secara kultural mempunyai potensi besar ketimbang Islam
struktural untuk ditransformasikan dalam hukum nasional.104
Ibid.
Ibid.
102
Iskandar, Hukum HAM Internasional, 577-580.
103
Ibid. dan Amal, Politik Syariat Islam, 2004, Azizy, Reformasi Bermazhab.
104
Azizy, Reformasi Bermazhab, 194-199.
100
101
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
301
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
Secara struktural, potensi ini sangat dipengaruhi oleh
kekuatan politik yang akan mendominasinya terutama dalam
menghadapi perkembangan sosial dalam globalisasi di tengah
eksistensi hukum Islam Indonesia.
Oleh karenanya, selain dihadapkan pada persoalanpersoalan globalisasi hukum, eksistensi Hukum Islam di Indonesia
dapat dihadapkan pula pada masalah-masalah pembangunan
hukum nasional. Keberadaan hukum Islam dari hari kehari kian
memperlihatkan perkembangannya yang lebih baik. Berbeda
dengan hukum Adat, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia
tidak dikenal istilah hukum adat105 dan masyarakat hanya
mengenal kata adat atau kebiasaan (Rofiq, 2004).
Terkait psotivisasi hukum Islam di Indonesia, perlu
diperhatikan pendapat Rafiq,106 bahwa pembaruan pemikiran
hukum Islam di Indonesia merupakan suatu tuntutan yang tidak
bisa ditawar-tawar, mengingat perkembangan sains dan teknologi
yang sangat kompleks. Karenaya, kefakuman hukum harus
dihentikan dengan cara ijtihad dan pengembangan makna fiqh.107
Dalam koteks demikian, yang perlu dilakukan adalah
mencontoh metode ulama terdahulu dalam menentukan suatu
hukum, bukan menggunakan hasil yang sudah jadi tanpa
mempertimbangkan kondisi sosio-kultur yang ada. Sehingga
yang terbaik adalah menggabungkan antara konsep bermazhab
Istilah hukum adat dikemukakan pertama kalinya oleh Cristian Snouck
Hurgronye dalam bukunya yang berjudul De Acheers (orang-orang Aceh), yang
kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul
Het Adat Recht van Nederland Indie. Pemerintah Pemerintah Kolonial Belanda
kemudian mempergunakan istilah hukum adat secara resmi pada akhir tahun
1929 dalam peraturan perundang-undangan Belanda. Sementara dalam agama
Islam istilah hukum Islam sudah melembaga dan integral dengan ajaran Islam.
106
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia (Jakarta: Gama Media,
2001), 31.
107
Azizy, Eklestisme, 12-15.
105
302
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
dan konsep ijtihad, dalam arti seseorang mengikuti mazhab
tertentu dalam suatu masalah, sambil melakukan ijtihad terhadap
persoalan baru, dengan paradigma reformasi bermazhab.108
Oleh karenanya, analisis disertasi ini terfokus pada masa
depan hukum Islam di Indonesia era reformasi, terkait peluang
dan tantangannya secara filosofis dengan mereformulasikan
kembali maksud hukum Islam dalam konteks postivisasi.
Untuk memahami hukum Islam tentu dapat berbeda dengan
memahami hukum konvensional (law state), meskipun dalam
beberapa bidang tertentu terdapat hukum Islam secara positif,
seperti hukum perkawinan, wakaf, peradilan agama, dan lain
sebagainya. Menurut Ali109 perbedaan itu sangat sulit untuk
disangkal, dimana dalam kalangan umat Islam ketika berbicara
hukum maka maksudnya adalah hukum Islam yaitu keseluruhan
aturan hukum yang bersumber pada al-Qur’an dan untuk kurun
zaman tertentu lebih dikongkritkan oleh Nabi Muhammad Saw.
dalam tingkah laku beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.110
Menurut Ali (2000) kaedah-kaedah yang bersumber dari
Allah Swt. kemudian lebih dikongkritkan dan diselaraskan
dengan kebutuhan zamannya melalui ijtihad atau penemuan
hukum oleh para mujtahid dan pakar di bidangnya masingmasing. Dalam konteks alur dari hukum Islam itu, beberapa
ulama memberikan pengertian terhadap hukum Islam. Al-Iman
Abu Hamid al-Ghazali berpendapat, fiqh itu bermakna faham
dan ilmu. Sementara Ibnu Kaldun berpendapat bahwa fiqh
adalah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang
berhubungan dengan segala pekerjaan mukalaf, baik yang wajib,
yang haram, yang makruh dan yang harus (mubah) yang diambil
(diistimbathkan) dari al-Kitab dan al-Sunnah dan dari dalil-dalil
Ibid.
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Candra Pratama, 1996), 45.
110
Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, 18-34.
108
109
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
303
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
yang telah ditegakkan Syara’ seperti qiyās umpamanya. Apabila
dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan Ijtihad dari dalildalilnya, maka yang dikeluarkan itu namanya fiqih.
Setelah memahami sekilas tentang hukum Islam, menurut
Tamin111 pendekatan terhadap hukum Islam sebagaimana
dikemukakan di atas, sebenarnya hanya sekedar untuk
mengantarkan kepada bagaimana masa depan hukum Islam
setelah bergulirnya reformasi menetapkan salah satu agendanya,
yaitu reformasi di bidang hukum nasional.
Terlepas dari ada perbedaan pandangan dari para sarjana,
yang pasti di Indonesia sistem hukum Islam adalah sistem hukum
yang hidup berdampingan dengan sistem hukum lainnya. Hukum
Islam itu bisa tumbuh dan berkembang tidaklah tergantung
pada kebijakan politik pemerintah dalam bidang hukum
atau tergantung pada kemauan pembentuk undang-undang.
Meskipun tidak disebut secara implisit, tetapi dari pembukaan
konstitusi (UUD 1945) menyiratkan eksistensi hukum Islam,
bahkan lebih dari itu, negara ini pun tersusun sebagai rahmat
Allah Tuhan yang Maha Esa. Meskipun kemudian, pilihan jatuh
kepada negara Indonesia bukan sebagai negara agama, tetapi
agama diakui dan dilindungi di Indonesia.112
Dengan demikian, Hukum Islam memiliki ruang dan
kesempatan yang cukup untuk bertumbuh dan berkembang
di Indonesia, apalagi penduduk Indonesia mayoritas beragama
Islam. Di samping itu hukum Islam sebagai hukum tidak tertulis
juga diakui oleh konstitusi negara. Apalagi dalam Pasal 29
Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas dicantumkan negara
111
Boy Yendra Tamin, “Masa Depan Hukum Islam Pasca Reformasi dan
Tantangan Menghadapi Globalisasi Hukum”, 2012, 2-4. Diakses pada 9 Desember
2012 dari, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/05/masa-depan-hukumislam-pasca-reformasi.html
112
Ibid.
304
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, maka konsekuensi
yuridisnya adalah nilai-nilai keagamaan seharusnya menjadi
dasar kenegaraan, terutama di bidang hukum. Demikian juga
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang merupakan authoritative
source dengan sendirinya menjadi landasan yuridis bahwa tidak
boleh ada peraturan perundang-undangan dalam ketatanegaraan
Indonesia yang bertentangan dengan hukum Islam.113
Positivisasi hukum Islam selain melalui pembentukkan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan juga
bisa berjalan melalui yurisprudensi oleh Mahkamah Agung.
Hal ini tidak hanya menyangkut hukum yang menjadi
kewenangan badan Peradilan Agama, tetapi juga menyangkut
hukum yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dengan
menggunakan dasar-dasar hukum Islam atau mengambil
nilai-nilai yang bersumber dari hukum Islam. Misalnya
Putusan Mahkamah Agung Nomor 3574 K /Pdt/2000 tanggal
5 September 2002, mengenai tanggungjawab seseorang atas
utang orang tuanya, sebatas pada hak atas harta peninggalan
pewaris (orang tua)-nya yang menjadi haknya saja adalah
menggunakan dasar hukum dari Kompilasi Hukum Islam.114
Demikian juga dalam putusan nomor 3713.K/Pdt./1994
tanggal 28 Agustus 1997 Mahkamah Agung telah memutuskan
perkara perjanjian yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, berdasarkan nilai-nilai
hukum Islam yang diambil secara langsung dari al Qur’an.
Dari fenomena yang terjadi dalam praktek penegakan
hukum pada Mahkamah Agung itu terlihat suatu alur tumbuhnya
113
Ismail Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum
Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung:
Ulul Albab Press, 1997), 40-43.
114
Arbijoto (Ketua Tim), Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 2004 (Jakarta:
Mahkamah Agung, 2005), 42.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
305
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
Hukum Islam melalui institusi peradilan dan tidak semata-mata
bertumpu pada badan pembentuk undang-undang atau pada
kebijakan pembangunan hukum pemerintah. Mahkamah Agung
melalui yurisprudensi mengangkat Hukum Islam dari keadaan
sebagai hukum tidak tertulis menjadi hukum positif yang berlaku
dan mengikat (meski pada kasus tertentu dan terbatas pada para
pihak) dan dapat menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya
terhadap kasus-kasus serupa di masa datang.115
Dalam koteks seperti ini, meminjam istilah al-Raisūni116
tentang ijtihad yang terkait dengan maslahat, maka positvisasi
Hukum Islam melalui putusan-putusan pengadilan dan
beberapa antaranya melalui pembentukan undang-undang
tentu belum sepenuhnya mencerminkan posisi hukum Islam
memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan
hukum di Indonesia. Perlu juga disadari, bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat pluralistik dan terdapat
keanekaragaman sistem hukum yang hidup. Pluralistik yang
melingkup Indonesia itu, tentu saja menyulitkan bagi adanya
suatu unifikasi hukum di Indonesia. Unifikasi hukum hanya
bisa dilakukan pada bidang-bidang hukum yang netral, seperti
ekonomi, perdagangan, perburuhan, pidana. Sebaliknya,
unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang
bersangkutan dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan
warisan, hak untuk mati, hak untuk menggugurkan kandungan
dan perkawinan sesama jenis. Dalam perspektif yang demikian,
maka dalam kalangan pemeluk dan cendekiwan Islam sendiri,
haruslah tumbuh suatu inisiatif untuk mengupayakan
positivisasi Hukum Islam yang netral dan di lain pihak
melakukan unifikasi hukum Islam bagi pemeluk agama Islam.117
Tamin, “Masa Depan Hukum Islam”, 2-19.
Al-Raisūni, Ijtihad, Antara Teks, 3-18.
117
Tamin, “Masa Depan Hukum Islam”, 2-18.
115
116
306
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
Atas argumentasi demikian, insiatif atau gagasan
pembentukan hukum positif hukum Islam ditentukan juga oleh
cara pandang di lingkungan ulama, pemikir dalam kalangan Islam
sendiri. Dalam perspektif ini, menurut Rofiq,118 yang terpenting
adalah cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam
keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat
hukum Islam. Hal ini berimplikasi dalam sudut aplikasinya dan
perbedaan cara pandang di kalangan Islam sekaligus menjadi
penghabat bagi tumbuh dan berkembangnya hukum Islam di
Indonesia dengan lebih baik lagi. Dalam hal ini perlu dijelaskan
cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum
Islam yang dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh,
keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundangundangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.119
Oleh karenya, membicarakan masa depan hukum Islam
dalam konteks reformasi hukum, sudah seharusnya beberapa
permasalahan di kalangan Islam sendiri berkaitan dengan
hukum Islam harus diminimalisir, apabila mengharapkan
hukum Islam tumbuh dan berkembang dengan baik dan kuat di
Indonesia. Perbedaan pendapat yang berlangsung di kalangan
penganut agama Islam di Indonesia berpotensi menempatkan
hukum Islam tertinggal ketika bidang-bidang hukum lain
memperkuat dirinya dalam kerangka reformasi hukum.
Hukum Islam diutamakan nilainya yang bersifat universal.120
Dalam konteks reformasi hukum, gagasan Suny121 patut
menjadi pemikiran kalangan ahli hukum Islam. Politik hukum
Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, 13-27.
Ibid., 23-30. Mohammad Atho’ Mudzhar,, Pengaruh Faktor Sosial Budaya
terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun
II, Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam,1991), 20-29.
120
Rofiq, Pembaharuan, 31.
121
Sunny, Tradisi dan Inovasi, 5-19.
118
119
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
307
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan
kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode
persuasive source dimana setiap orang Islam diyakini mau
menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode
authority source dimana setiap orang Islam menyakini bahwa
hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilaksanakan.
Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis
formal apabila dikodifikasikan dalam perundang-undangan
nasional.122 Dengan argumnetasi ini, sangat jelas meskipun
sebelumnya sudah kemukakan ada beberapa bidang tertentu
yang tidak bisa dilakukan unifikasi atau kodifikasi.123
Untuk memantapkan transformasi hukum Islam ke dalam
supremasi hukum nasional, jelas tidak terlepas dari politik
hukum dan filsafat hukum yang berkembang. Dalam hubungan
ini, semestinya pemeluk agama Islam yang mayoritas mampu
memberikan pengaruhnya yang kuat dalam perumusan
kebijakan politik hukum nasional. Namun mayoritas saja tidak
cukup, karena selain pluralistik, arus globalisasi mempunyai
kepentingan dalam kebijakan politik hukum nasional, dan
dalam hal inilah betapa pentingnya keutuhan dan kesamaan
pandang di kalangan Islam dalam memberikan pengaruh pada
kebijakan Politik Hukum Nasional. Sehingga, transformasi
hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional
mendapat porsi yang memadai bahkan medominanasi prosesi
pembangunan hukum nasional.124
Dalam hal ini, bisa dipahami lemahnya pengaruh kalangan
Islam dalam ranah pembangunan sistem hukum di Indonesia.
Dapat dibayangkan, apabila pembentukan pengadilan agama
bukanlah merupakan suatu produk politik hukum (struktur
Ibid., 40-43.
Azizy, Reformasi, 189-93
124
Ibid.
122
123
308
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
hukum) atau substansi hukum melainkan sebuah produk dari
sosial budaya. Hal ini bisa jadi dikarenakan pengaruh dari
apa yang telah berlangsung selama ini, dimana hukum Islam
senantiasa dipahami sudah melembaga dalam pemeluk agama
Islam, tetapi di sisi lain umat Islam melupakan bahwa sistem
hukum Islam hanyalah satu dari sistem hukum nasional dan
juga sangat mempengaruhi pergaulan hidup para penganut
agama Islam.125
Atas dasar kenyataan yang demikian, betapa penting
peran kalangan Islam dalam pembentukan atau perumusana
kebijakan politik hukum nasional serta hukum Islam
mendapat tempat yang memadai dalam politik hukum
nasional. Pasca reformasi merupakan saat yang tepat bagi
Hukum Islam untuk masuk lebih dalam di ranah perumusan
politik hukum nasional. Hal ini terutama pembangunan
hukum di era reformasi yang tampaknya masih menjadi
debatable, dimana muncul ketidakpuasan terhadap
pembangunan hukum yang diterapkan selama Orde Baru
dan di sisi lain Indonesia belum menemukan paradigma
pembangunan hukum yang bersifat keindonesiaan.126
Sekalipun UUD 1945 sudah diamandemen, tetapi
pembangunan hukum belum dapat dikatakan terarah dan
terpadu sebagaimana pada masa Orde Baru. Atas kenyataan
ini, maka sebenarnya pembangunan hukum di Indonesia
sedang dihadapkan pada keadaan tidak menentu, kecuali
adanya keinginan untuk mengembangkan suatu konsep
pembangunan hukum yang lebih demokratis dan ke arah
masyarakat sipil (civil society) yang lebih sejahtera. Kesempatan
itu seharus diambil oleh kalangan Islam untuk menguatkan
Rofiq, Pembahuruan, 123-145.
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005), 23-34.
125
126
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
309
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
keberadaannya dalam kehidupan hukum di Indonesia melaui
implementasi konsep teknis posistivisasi hukum Islam.127
Dilema yang dihadapi dalam pembangunan hukum nasional
secara tidak lansung tentu mempengaruhi segala aspek kehidupan
hukum di Indonesia atau sebaliknya memberi keuntungan bagi
hukum Islam. Bahkan Indonesia belum memiliki grand design
pembangunan hukum nasional, di sisi lain penyelenggaraan
pemerintahan harus berjalan di atas ketentuan hukum yang
ada, termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk pada zaman Orde Baru. Oleh karenanya rumusan GBHN
1999-2004 dan seterusnya merupakan angin segar bagi hukum
Islam untuk melakukan transformasi nilai secara besar-besaran
melaui proses demokratis dan keilmuan sesuai perkembangan
ilmu hukum modern.128
Sebagai pemupuk prospek hukum Islam Indonesia
hingga muncul semangat perlunya positivisasi, selama rezim
Orde Baru, GBHN berisi kebijakan-kebijakan nasional garisgaris besar pembangunan hukum nasional yang kemudian
dapat dipicu oleh semua pihak penyelenggara negara untuk
kemudian dituangkan dalam berbagai macam kebijakan
beleid/policy yang lebih konkrit/ normatif baik dalam wujud
UU maupun peraturan lainnya yang tidak sesuai dengan pasca
amandemen UUD 1945 sebagai salah satu hasil reformasi.129
Pasca amandemen UUD 1945 tidak dikenal lagi GBHN dan
setiap lembaga negara –dalam hal ini administrasi negara—
berjalan sesuai dengan tugas dan fungsi serta wewenangnya
masing-masing dan kemudian saling mengawasi dan saling
mengendalikan, cheks and balances dan tidak berpuncak pada
pertanggung jawab kepada MPR. Dengan kondisi demikian,
Azizy, Ekletisme, 174-180).
Ibid., 189-193
129
Azizy, Reformasi.
127
128
310
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
pembangunan hukum nasinal yang akan dituangkan dalam
UU harus dalam bentuk norma normative, bukan berisi
program/rencana jangka pendek, menengah dan panjang.
UU harus mengatur secara normatif yang berisi larangan/
verbod, suruhan, perintah/gebod dan kebolehan/toestimming.
Kontroversi seputar pemikiran hukum Islam hingga era
reformasi yang berkembang dalam konteks pembangunan
hukum nasional, berdampak terhadap eksistensi hukum Islam
untuk mengambil kesempatan memainkan peranannya yang
lebih optimal atau justru semakin tertinggal. Dalam hubungan
ini, hukum Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat
ketika elite politik Islam dengan gagasannya yang cemerlang
memiliki daya tawar kuat dalam interaksi perumusan politik
hukum, sehingga peluang bagi pengembangan hukum Islam
untuk ditransformasikan dalam hukum nasional selesai dengan
lancar melewati perdebatan akademik di tingkat legislatif.130
Percaturan pemikiran hukum Islam yang demikian tentu
mendapatkan ruang yang lebih dalam perumusan kebijakan
pembangunan hukum nasional, pengalaman masa lalu perlu
dijadikan sebagai masukkan yang berharga. Ini setidaknya
menjadikan kalangan Islam modernis berhadapan pada dua
pilihan dilematis, yakni apabila mendukung modernisasi
ala Orde Baru atau Reformasi sekalipun mendukung Barat.
Sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat
Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif
dalam program pembangunan nasional. Jika pada masa Orde
Baru, pembentukan hukum berpijak pada GBHN sebagai
garis kebijaksanaan pembangunan hukum, sementara pada
masa era Reformasi ini GBHN tidak ada lagi. Pembangunan
hukum di Indonesia saat ini hanya terimplemtasi dalam
130
Azizy, Reformasi, 18-190.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
311
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
bentuk Prolegnas dan cenderung pada upaya pembentukan
udang-undang, padahal pembangunan hukum tidaklah
identik dengan pembentukkan undang-undang.131
Pembentukan hukum nasional, seperti diamanatkan
oleh GBHN Tahun 1999, dilakukan dengan upaya legislasi
di lembaga parlemen. Karena diproses secara politik dalam
parlemen, maka pembentukan hukum melalui legislasi akan
selalu terjadi tarik-menarik berbagai kepentingan (politik
dan ideologi), yang mengakibatkan lambatnya pembentukan
hukum. Padahal perkembangan masyarakat yang cepat juga
memerlukan jawaban hukum dengan segera. Pada sisi lain
perkembangan ummat Islam Indonesia yang semakin bergairah
untuk melaksanakan hukum Islam, memerlukan jawaban
hukum Islam. Untuk beberapa persoalan telah dijawab dengan
pelembagaan hukum Islam melalui proses legislasi, sehingga
telah menjadi hukum positif dalam bentuk undang-undang,
seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan
yang juga menjadi gantungan yuridis penerapan sistem syariah
dalam dunia perbankan dan lembaga keuangan lainnya, dan
yang baru saja adalah Undang-undang tentang Wakaf.132
Beberapa positivisasi hukum Islam di Indonesia
melalui upaya-upaya legislasi, seperti diuraikan di muka,
mengharuskan upaya lain yaitu melalui yurisprudensi dan
lainnya yang tentunya mengantarkan pada pembangunan
hukum Islam secara lebih demokratis, ilmiah, terencana serta
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, 13-20.
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2004), 56.
131
132
312
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi Dr. M. Shohibul Itmam
terarah sesuai kebutuhan karakter bangsa dan kebutuhan
nasional. Positivisasi hukum Islam melalui yurisprudensi,
selain temporer juga kasuistis.133
Dengan perdebatan filosofis seputar positivisasi hukum
Islam Indonesia, nampak sejumlah hubungan antara
harapan untuk mengembangkan hukum Islam pada sisi
tertentu dan adanya hambatan-hambatan hukum Islam
dalam mengaktualiasikan nilai secara positif pada sisi
yang lain. Dalam konteks lainya, berlansungnya reformasi
hukum di Indonesia telah membuka ruang kesempatan
hukum Islam memainkan peran yang lebih besar, tetapi
perlu adanya penguatan-penguatan dari kalangan Islam
dalam pengembangan hukum Islam melalui ijtihad modern.
Apalagi jika dipahami bahwa transformasi hukum Islam
dalam bentuk perundang-undangan merupakan produk
interaksi elite politik Islam, ulama, tokoh ormas, pejabat
agama dan cendekiawan muslim dengan elite kekuasaan
kalangan politisi dan pejabat negara.
Dari fenomena di atas, setidaknya tampak bahwa hukum
Islam memiliki potensi konstributif dalam mewujukan
tujuan negara. Bahkan sangat tepat kalau dikatakan bahwa
hukum Islam dapat tumbuh berkembang dalam masyarakat
yang modern, pluralis dengan berkembangnya bank
syariah sebagai insitusi keuangan, pertumbuhan aturan
wakaf, zakat, haji, dan lainya dalam konteks pembangunan
hukum di Indonesia. Proyek besar ini dapat berhasil pada
saat Indonesia semakin dewasa memahami demokrasi serta
terus menjalani dinamika perkembangan pemikiran hukum
Islam Indonesia. Dengan demikian positivisasi hukum Islam
hendaknya dipahami dari sisi positif sebagai dinamika
133
Muchsin,“Kontribusi Hukum Islam”, 2-4.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
313
Dr. M. Shohibul Itmam Faktor, Peluang dan Tantangan Positivisasi
ilmu hukum yang tidak akan pernah berhenti mengalami
perubahan. Kontroversi seputar hukum Islam Indonesia
akan memperkaya pemikiran menuju upaya positivisasi
hukum Islam di Indonesia.
Sampai di sini, maka kajian tentang positivisasi hukum
Islam di Indonesia era reformasi terkait dengan relasi agama,
hukum dan politik dapat dipahami bahwa positivisasi hukum
Islam seperti Perda bermuatan syariah sesungguhnya dibuat
dalam rangka implementasi kebebasan pengaturan dalam
beragama sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945.
Kehadiran Perda bermuatan syariah merupakan manifestasi
dari pluralisme sistem hukum di Indonesia yang terdiri dari
Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat (BW).
Artinya, implementasi Perda bermuatan syariah yang secara
khusus ditujukan bagi pemeluk agama Islam, ternyata
sejauh ini terbukti tidak merugikan kelompok agama lain
di luar agama Islam. Dengan demikian positivisasi hukum
Islam seperti Perda bermuatan syariah tersebut terbukti
turut memberikan kontribusi dalam pembangunan sistem
hukum nasional era reformasi. Upaya positivisasi hukum
Islam era reformasi ini juga sesuai dengan UU No. 12 Tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
Indonesia yang menjelaskan perlunya pembangunan hukum
sesuai dengan nilai dan kebutuhan serta aspirasi masyarakat.
314
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
2. Agama dan Negara mempunyai hubungan yang kuat dan
kokoh terutama dalam melahirkan suatu hukum positif
dengan proses politik hukum sebagai fungsi kontrol
dan perubahan. Relasi agama dan Negara tersebut,
merupakan relasi fungsional dan struktural, simbiosis,
mutualisme dalam konteks pembangunan sistem hukum
dan politik hukum nasional. Argumentasinya, setiap
agama mempunyai hak yang sama untuk diberdayakan
dalam bingkai demokrasi Pancasila dan UUD 1945
dengan memfungsikan pemerintah sebagai regulator
dalam mengatur relasi fungsional antara agama dan
Negara tersebut.
3. Sistem hukum, pembangunan hukum dan politik
hukum nasional Indonesia era reformasi menunjukkan
perubahan besar terhadap eksistensi hukum Islam.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari orientasinya,
yang sebelumnya (orde baru) menekankan pada aspek
ekonomi yang sangat rentan korupsi, otoriter, kolusi
dan nepotisme. Sistem dan pembangunan hukum serta
politik hukum era reformasi juga menunjukkan masih
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
315
Dr. M. Shohibul Itmam
Penutup
adanya rekayasa ilmiah politik hukum Belanda yang
berpengaruh hingga sekarang yang mengakibatkan sistem
hukum Indonesia belum sesuai kesadaran hukum yang
sesungguhnya. Dikotomi antara ilmu hukum Indonesia
dengan ilmu hukum Islam Indonesia merupakan pemicu
pudarnya kesadaran hukum nasional yang berpengaruh
dalam upaya pembangunan sistem hukum dan politik
hukum nasional hingga era reformasi. Perkembangan
politik hukum nasional yang dipengaruhi pemikiran dan
ragam nilai hukum pluralis, dengan perubahan mendasar
sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat merupakan
momentum bagi umat Islam—hukum Islam, menyatu
dengan hukum lain sebagai sumber hukum nasional serta
menduduki posisi penting dalam konteks pembangunan
sitem dan tata hukum nasional.
4. Faktor-faktor yang menjadi peluang dan tantangan
positivisasi hukum Islam di Indonesia dapat dipolakan
dalam tiga aspek meliputi faktor politis, faktor filosofis
dan faktor sosiologis. Secara politik, lemahnya dukungan
politik parlemen dalam Program Legislasi Nasional
(PROLEGNAS) merupakan tantangan serius bagi hukum
Islam menuju positivisasi. Sedangkan secara filosofis,
kontroversi internal dalam memahami hukum Islam
seringkali menyudutkan pada hukum Islam itu sendiri.
Hal ini terkait dengan perkembangan metodolgi studi
Islam yang tidak bisa dibendung dan disatukan dalam
suatu paradigma tertentu. Sedangkan secara sosiologis,
sedikit nilai hukum Islam yang menjadi tradisi atau nilai
yang secara mayoritas diakui dalam sosial masyarakat
yang bisa di serap secara nasional. Dengan demikian,
positivisasi hukum Islam perspektif politik hukum era
316
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Penutup
Dr. M. Shohibul Itmam
reformasi adalah upaya integrasi ilmu Hukum Indonesia
yang dikotomi dengan ilmu Hukum Islam Indonesia
supaya menyatu di tengah pluralitas hukum nasional
menuju hukum khas Indonesia.
B. Saran/ Rekomendasi
1. Merubah dan mengembangkan model dan kajian
pendidikan dan pendekatan hukum Islam di Indonesia,
terutama lembaga-lembaga akademik seperti perguruan
tinggi, pesantren dan pusat-pusat kajian hukum Islam.
Keterlambatan berfikir demikian harus dihentikan
dan sudah waktunya untuk memperbarui model,
pendekatan dan filosofi kajian hukum Islam atau fiqh
di IAIN, STAIN, PTAIS. Hal ini senada dengan Amin
Abdullah yang mengatakan perlu di rekonstruksi karena
studi hukum Islam Indonesia sudah expired, usang,
kadaluwarsa. Sehingga diperlukan reorientasi atau
bahkan perubahan agar benar-benar bermanfaat dan
memenuhi tuntutan Indonesia sekarang dan masa depan.
Tawaran ini meliputi merekonstruksi pemikiran hukum
Islam dengan bahasa UU, seperti KHI, sehingga akan
lebih mudah dipahami dengan menggunakan bahasa
hukum pada umumnya. Usaha positivisasi hukum Islam
merupakan suatu keharusan baik dalam konteks kajian
akademik yang selalu mengikuti ekelektisisme maupun
proses demokratisasi yang mendasarkan pada mayoritas
penduduk. Pada akhirnya menjadi tantangan bahwa Islam
harus mampu menunjukan janji besarnya, yaitu rahmatan
lil ‘ālamīn dan li al-taḥqīq maṣāliḥ al nās. Kegelisahan
demikian, hendaknya menjadi tantangan bagi para ahli
hukum Islam dan sekaligus bagi para ahli hukum umum.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
317
Dr. M. Shohibul Itmam
Penutup
2. Mengembangkan pola pemahaman yuridis terkait
positivisasi hukum Islam yang disikapi oleh
setiap diri pribadi umat Islam Indonesia dengan
mengimplementasikannya secara baik dan benar. Selain
itu, hendaknya positivisasi hukum Islam dilakukan
dengan tetap melalui legislasi, mengutamakan
kepentingan dan keutuhan bangsa Indonesia yang
pluralistik sehingga terhindarkan dari konflik dan
disintegrasi bangsa. Mengutamakan keutuhan NKRI
melalui transformasi nilai Islam sebagai pengawal
persatuan dan kesatuan diantara ragam etnis dan
golongan. Selain itu kajian lintas agama dalam konteks
pemahaman hukum nasional perlu ditingkatkan
terutama pakar lintas agama di Indonesia yang
konsentrasi dan fokus pada bidang hukum masingmasing agamanya.
3. Sebagai wahana serta gelanggang akademik yang secara
konsisten peduli dan memunculkan ide-ide gagasan
dinamika persoalan hukum Islam, perlu diadakan
simposium rutin lintas lembaga baik pendidikan, hukum
dan lainya melaui koordinasi lintas kementerian untuk
terus memantapkan hukum Islam sebagai model terbaik
dalam berbagai disiplin dengan menangkap spirit
demorasi Indonesia dari, oleh dan untuk rakyat. Hal ini
sekaligus sebagai upaya untuk menjelaskan terhadap
kelompok minoritas di Indonesia atau non muslim yang
sangat khawatir terhadap kemajuan hukum Islam di
Indonesia dalam berbagai bidang. Kekhawatiran yang
tidak terbukti tersebut sekaligus perlu dijelaskan sebagai
wahana mempererat ukhuwah sesama komponen bangsa
dalam bingkai kesatuan negara demokrasi Pancasila.
318
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Ghani. “Peradilan Agama Pasca UU No.
7/ 1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di
Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, No. 1 Tahun V
(Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994),
akses pada 5 Pebruari 2013 dari http://muhsinhar.staff.
umy.ac.id/legislasi-hukum-islam-di-indonesia-dalamprespektif-politik-hukum-2/, 2013.
Abidin, Ahmad Zainal. Membangun Negara Islam. Yogyakarta:
Pustaka Iqra’, 2001.
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta:
Granit, 2004.
Afandi, Luthfi. “Efektifitas Hukum Islam”. diakses pada 21
Juni 2012 dari http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/
efektifitas-hukum-islam/, 2012.
Ahmad, Amin. Etika Ilmu Akhlaq. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Candra Pratama, 1996.
Ali, Fahry dan Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam
Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru.
Bandung, Mizan, 1986.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
319
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
---------. Hukum Islam PIH dan THI di Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
---------. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
Alim, Muhammad. Asas-asas Negara Hukum Moderen dalam
Islam, Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan.
Yogyakarta: LkiS, 2010.
---------. “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya
Dengan Konstitusi”, akses pada 1 Pebruari 2013 dari
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/
1% 20MAlim.pdf, 2012.
Amal, Taufiq Adnan. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga
Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004.
Amrullah, Ahmad. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Anwar, Harjono dan Ramly Hutabarat. “Prospek Peradilan
Agama sebagai Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik
Indonesia” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Arbijoto (Ketua Tim). Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 2004.
Jakarta: Mahkamah Agung, 2005.
Aritonang, Dinoroy Marganda. “Penerapan Sistem
Presidensil Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 45”
akses pada 17 November 2012 dari http://www. google.
co.ma/#hl=fr&sclient=psy-ab&q=+Asshiddiqie+dalam%
2C++++http:%2F%2Fwww.jimly.com%2Fpemikiran%2Fv
iew%2F4%2C&oq=+Asshiddiqie+dalam%2C++++http:%2F
320
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
%2Fwww.jimly.com%2Fpemikiran%2Fview%2F4%2C&
gs_l=hp.3...8013.8013.0.9583.1.1.0.0.0.0.120.120.0j1.1.0.cr
nk_timediscountc..0.0...1c.1.SNWsA3bd5UM&pbx=1&ba
v=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp=82f8fda0ca064c5c&bpcl=3
8625945&biw=1280&bih=637.
Arifin, Busthanul. “Menghidupkan Kembali Norma-Norma
Hukum Islam,” Makalah di Padang 27 Desember, 2002.
---------. “Masalah Konsep Satu Atap M.A dan Peradilan Agama,”
Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Ilmiah Program
Pascasarjana IAIN Walisongo, 13 September 2000.
---------.”La Yanfau Takallumu bi Haqqin La Nafāza Lahu,”
Makalah pada sarasehan sehari IAIN Syarif Hidayatullah,
2000.
---------. Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional
(Bertenun dengan Benang-benang Kusut). Jakarta: Yayasan
Al-Hikmah, 1999.
---------. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah
Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
---------. Pengadilan Agama di Indonesia dan Lain-lain (Sebuah
Bunga Rampai), t.p. (dipublikasikan perpustakaan IAIN
Walisongo). tt.
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu
Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana
Indonesia). Semarang: Pustaka Magister, 2011.
---------. Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Relegius dalam
Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana)
di Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro, 2011.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
321
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
---------. Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia).
Semarang: Pustaka Magister, 2012.
Arrafat, Yasir. Relasi Agama dan Negara, diakses pada
20 November 2012 dari http://ressay.wordpress.
com/2011/04/02/relasi-negara-dan-agama/, 2012.
Asmar, Lanka. “Ahli Waris Pengganti dalam KHI,” diakses
pada 18 Mei 2012 dari http://hukum.kompasiana.
com/2012/05/16/ahli–waris-pengganti-dalam-khi/, 2012.
Asmawi. Teori Maslahah Relevansinya Dengan Undang-undang
Pidana Khusus di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2010.
Assyaukanie, Lutfie. “Renaisans Dan Reformasi Agama” akses
pada 24 November 2012 dari, http: //islamlib.com/ id/
artikel/renesans – dan - reformasi-agama, 2012.
Asshiddiqiy, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
al-Atas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1990.
Atrukin, Muhammad. al-Sulṭah Wa al-Syarīah Fi Dār-Islām,
Dirasat Li Ayāt Wa Qawāid al-Qanūn al-Am al-Islāmiyyah.
Marocco: Dar- al-Baidha, 2012.
Aulani, A. Wasit. Sejarah Perkembangan Hukum Islam” dalam
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ayu, Kesuma Riana. “Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia”, diakses pada 21 November 2012 dari,
http://riana.tblog.com/post/1969986906.
322
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
Azizy, A. Qodri. Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiyar Menuju
Saintifik- Moderen. Jakarta: Teraju, 2002.
----------. Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi Hukum Islam dan
Hukum Umum. Jakarta: Gama Media, 2003.
----------. Membangun Integritas Bangsa. Jakarta: Renaisan,
2004.
Azra, Azyumardi. Islam di Asia Tenggara Pengantar Pemikiran.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Balaji, Abd al-Salam. Taṭawwuru Ilm Uṣūl al-Fiqh wa Tajaddudihi
(wa Taaṡṡurihi bi al-Mabāhitsi al-Kalamiyyah). Beirut,
Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2010.
---------. Al-Ahkām fī Tamyīzi al-Fatāwī an al-Ahkām wa
Tasharrafat al-Qādli wa al-Imām Syihāb al-Din Ahmad bin
Idrīs al-Qarāfī. Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2010.
Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Islam menjawab Tantangan
Zaman. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Basyir, Ahmad Azhar. “Hukum Islam di Indonesia dari Masa
ke Masa dalam Peradilan Agama & Kompilasi Hukum
Islam” dalam Tata Hukum Indonesia, Edisi 2. Yogyakarta:
UII Press, 1999.
Bayudli, Ahmad. al Fikr al Islamī al ‘Arabī Mā Ba’da Maṭla’i
al Qura’ān al hamīs Fi ‘Aṣri al Hijri Dirāsah Manhajiyyah
Taḥlīliyyah Fi Dhaui al-Dafui al Tsaqāfī (Disertasi Jamiah
Muhammad Khamis Akdal), Rabat Marocco, 2004.
Bisri, Cik Hasan. Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan
dan Pembentukan. (Rosda Karya, Bandung, 1991.
---------. Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Social.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
323
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
---------. Transformasi Hukum Islam (Bagian Ketiga: Politik
Hukum Nasional), Akses pada 28 November 2012 dari,
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/transformasi–
hukum–islam–bagian-ketiga-politik-hukum-nasional/.
Boy, Pradana. Fikih Jalan Tengah: Dialektika Hukum Islam dan
Masalah-Masalah Sosial. tp: tk, 2008.
Bubakry, Muhammad. al-Dimaqraṭiyyah fī al-Zamān alAulamah. Marocco: Dar-al Saqafah- Dar al-Baidla, 2001.
Burhamati, Hayat. Tajdīd al Ahkām Inda Abu al A’lā al Maudūdi,
(Disertasi Jamiah Muhammad Khamis Akdal), Rabat
Marocco, 2008.
Chamzawi. “Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam,”
diakses pada 09 April 2012 dari http://dc93.4shared.
com/doc/_IoS24Ya/preview.html, 2012.
Devos. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.
Dimyati, Khudzaifah. “Teoritisasi Hukum: Studi Tentang
Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990”.
Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2004.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.
E. Gobee dan C. Adriaanse. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje
Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda
1889-1936, Seri Khusus Jilid I. Jakarta: INIS, 1990.
Fahri, M. “Kepemimpinan Dalam Islam” diakses pada 13
November 2012 dari, http://www.google.co.ma/#hl=fr&gs_
nf=3&pq=kepemimpinan%20dalam%20islam&cp=38&gs_
id=aa&xhr=t&q=kepemimpinan+dalam+islam+menurut+
ibnu&pf=p&sclient=psy-ab&oq=kepemimpinan+dalam+i
324
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
slam+menurut+ibnu+&gs_l=&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_
pw.r_qf.&fp=d871091483ba7df4&bpcl=38093640&biw=1280
&bih=637, 2012.
Fanani, Muhammad. Agama sebagai Salah Satu Modalitas
Dalam Terapi, akses pada 30 November 2012 dari
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.
asp?IDNews=456, 2012.
Fachruddin, Irfa. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap
Tindakan Pemerintah. Bandung: PT. Alumni, 2004.
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia, Dari Partisipatoris
Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LKis, 2005.
Ghazali, Abdul Moqsith. ”Menggemakan Pemikiran Gus Dur,”
diiakses pada 21 Juni 2012 dari http://islamlib.com/id/
artikel/menggemakan-pemikiran-gus-dur, 2012.
Gunaryo, Ahmad. Pergumulan Politik dan Hukum Islam.
Jogyakarta: Pustaka Pelajar kerjasama Pascasarjana
IAIN Walisongo, 2006.
Hafsin, Abu. “Kebebasan Beragama dan Hak-hak Politik
Minoritas (Analisis Keagamaan Terhadap Kebijakan
Presiden Gus Dur),” salah satu makalah dalam Seminar
Gus Dur, Seorang Muslim dan Demokrat di Universitas
Wahid Hasyim Semarang 31 Agustus 2000.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di
Indonesia. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.
Hatta, Moh. “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”,
dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, Juni 2008, akses pada
4 Pebruari 2013 dari, http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/
index.php/al-Qanun/article/viewFile/15/pdf, 2012.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
325
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1995.
Hariyanto, Muchsin. “Politik Hukum Dalam Positivisasi
Hukum Islam Bidang Ekonomi”, akses pada 28 November
2012 dari http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/politikhukum-dalam-positivisasi-hukum-islam-bidangekonomi/, 2012.
Harun, Shaleh dan Abdul Munir Mulkhan. Latar Belakang
Ummat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal.
Yogyakarta: Aquarius, 1985.
Hartono, Sunaryati. Apakah The Rule of Law. Bandung: Alumni, 1976.
Harian Terbit, 4 September 2012.
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Hidayat, Cecep.” Terorisme, Islam, dan Gus dur”, diakses pada
14 Oktober 2012 dari, http: // www. gusdur. net/ Opini/
Detail/?id=227/hl=id/Terorisme_Islam_Dan_Gus_Dur, 2012.
Hidayah, Nurul. “Teori Analisis Sosial”, akses pada 3 Juni 2013
dari http://tuntutanuntukmenulis.blogspot.com/2013/02/
analisis-sosial.html, 2013.
Hottingh, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT.
Raja Grapindo Parsada, 1996.
ICRP. “ICRP Mendesak Pemerintah Mencabut Perda
Bernuansa Syariah” akses pada 5 Pebruari 2013 dari
http://icrp-online.org/122011/post-888.html.
Ikhsan, Muhammad. “Hukum Islam di Indonesia; Dulu
Dan Sekarang,” di akses pada 16 Juni 2012 dari http:
//blumewahabi.wordpress.com/2007/06/12/hukumislam-di-indonesia-dulu-dan-sekarang-2/, 2012.
326
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
Ilahi, Fadl, al Hasbah. Ta’rīfuhā wa Masyrū’iyyatihā wa
Wujūbihā. al-Riyadl: Dar al-Khadlarah, 2010.
Imron, Al. “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan
Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif
dan Mas`uliyyat dalam Legislasi Hukum),” Disertasi.
Semarang: Uneversitas Diponegoro, 2008.
Isbar, Ali Muhammad. Abu Ali bin Sina, Kitab al-Siyasah. Suriah:
Majma’ al-Raudlah al-Tijary, 2007.
Iskandar, Pranoto. Hukum HAM Internasional, Sebuah
Pengantar Kontekstual. Cianjur: IMR Press, 2012.
Al-Jābiry, Muhammad Ābid. Al-Islām wa Al-Hadatsāt wa alIjtimā al-Siyāsī (hiwārāt fikriyyat). Beirut: Markaz Dirāsat
al-Wahdat al-Arabiyyat, 2010.
---------. Qadlāyā fi al-Fikri al-Muāshiri al-Aulamah Shūrā alHadlarāt al-Audat ila al-Akhlāq al-Tasāmuh al-Dimuqratiyyah
wa Nidlām al-Qoym al-Falsafah wa al-Madīnah. Beirut:
Markaz Dirāsah al-Wahdat al-Arabiyyat, 2011.
Jamil, Abdul. “Ceramah Kuliah Islam dan Tranformasi
Global,” Pascasarjana Program Doktor IAIN Walisongo
Semarang (catatan penulis tidak dipublikasikan), 2008.
Jazuni. Legislasi Hukum Islam Di Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2005.
Junaidi. “Positivisasi Hukum Islam Dalam Perspektif
Pembangunan Hukum Nasional Indonesia di Era
Reformasi,” diakses pada 21 Juni 2012 dari, https://
docs.google.com/viewer?A=v&q=cache:0zc1QFZfES4J:
digilib.uns.ac.id/abstrak.pdf.php?d_id%3D14171+posi
tivisasi+hukum+islam+di+indonesia&hl=id&gl=id&pid
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
327
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
=bl&srcid=ADGEESg7WDT_PhI-4YofCcV--J9z3cZbrf—
Qw9RPW3ACQUr0AlB2FsIYfl4voE0Fz_hDC6tomIwKrzy
NHCppLB0soCWCsUDXT42S8l4fwL5eVMwO6btX0D
AkhSbWxoHqtr43oBQMBj&sig=AHIEtbRMWAhSPz
VTX5Mc5dhMAX6Pd5geRw, 2012.
Ka’bah, Rifyal. Percakapan Cendekiawan Tentang Pembaharuan
Pemikiran Islam Di Indonesia. Bandung: Mizan, 1990.
---------. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi
Jakarta, 1999.
---------. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jakarta: Khairul
Bayan, 2004.
Kaelan. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat
Pancasila”. Makalah, Yogyakarta, 2009.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Kosda
Karya, 2003.
Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
al-Khalāf, Abd al-Wahāb. Ilmu Uṣūl al-Fiqh. Kairo: Dar alRasyid, 2008.
Khisni, Akhmad. “Hukum Islam dan Pemikirannya di
Indonesia,” diakses pada 15 Juni 2012 dari http: // khisni.
blog. unissula. ac. id/ 2011/ 10/ 10/ hukum – islam – dan
– pemikirannya – di – indonesia - jurnal/, 2012.
Kholis, Nor.” Dialog dan Dialektika Islam Dan Budaya Lokal
Dalam Bidang Ekonomi Sebagai Salah Satu Wajah Islam
Nusantara,” diakses pada 18 Mei 2012 dari http: //
dualmode. kemenag. go. id/ acis10/ file/ dokumen/
6.nurkholis. pdf, 2012.
328
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
Khomri, Said. Ruh al-Dastūr, al-Islāh, al-Sultah Wa al-Syarīat bi
al-Maghribi. Marocco: al-Najah al-Jadidah, 2012.
Kompas. Minggu 25 November 2012
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan). Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2012.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar
Bakti, 1988.
Latief, Yudi. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan
Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2009.
---------. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Dan
Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2011.
Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang
Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:
Alvabet, 2012.
---------. Tradisi Hukum Indonesia. Cianjur: IMR Press, 2012.
M. Atho Mudzhar. Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap
Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar
Hukum No. 4 tahun II. Jakarta: AI-Hikmah dan
Ditbinbapera Islam, 1991.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi
tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES,
1985.
---------. Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
329
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
---------. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Mahfud MD, Moh. “Kebebasan Beragama dalam Perspektif
Konstitusi,” diakses pada 22 Juni 2012 dari https: // docs.
google. com/ viewer? a= v&q= cache: XpbOr1k - UP0J:
law. uii. ac. id/ dokumentasi/ task, doc_download/ gid,
62/ + KEBEBASAN + BERAGAMA + DALAM + PERSPEKTIF
+ KONSTITUSI & hl = id&gl = id & pid = bl&srcid =
ADGEESiXsSZNJAk0_nyOrIbiZYsq Q4BRPHOGBBe 4bv
Y2Qrd S1C33 Xz1Vxm RZy1 Xop – mLs M252Vzc Ttp DOa
P8SX Qati MBbqp 3t357Wjg5xEFcR9DfBPdpVL5cPTfsx6h
UrVIgkW7QhSQf&sig=AHIEtbSSsVrw1QnsnA0bYWzvCkUo2UVEw, 2012.
---------. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta:
Gama Media, 1999.
---------. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi.
Jakarta: LP3ES, 2006.
---------. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES,
1998.
---------. Politik Hukum Di Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
---------. “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syariah”, akses
pada 1 Pebruari 2012 dari http://law.uii.ac.id/images/
stories/Jurnal%20 Hukum/1%20M.Alim.pdf, 2012.
Mahfud, Sahal. “Pidato Penerimaan Gelar Doktor
Kehormatan KH. Sahal Mahfudz” diakses pada Jumat 1
Pebruari 2013 dari http://www. syarikat. org/content/
pidato–penerimaan–gelar-doktor–kehormatan-khsahal-mahfudz
330
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
Mahmud, Moh Natsir. Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif). Semarang: Dina Utama, 1997.
Maria, Adelyn. “Negara Dan Bangsa” akses pada 21 November
2012
dari,
http://www.slideshare.net/nixfairy/
national-heroism-negara-dan-bangsa-2127809
Masruhan. “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Era
Reformasi”, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. 6, No. 1,
September 2011, akses pada 6 Desember 2012 dari, http:
// ejournal. Sunan - ampel. ac. id/ index. php/ Islamica/
article/ viewFile/ 453/347, 2012.
Minhaji, Akhmad. Sejarah Sosial dalam Studi Islam, Teori,
Metodologi dan Implementasi. Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2010.
Miri, Djamaluddin M.”Hukum Islam di Indonesia (Tinjauan
Terhadap Esensi, Eksistensi, Pelembagaan, Pembaharuan,
Pengembangan dan Prospek Penerapannya),” diakses
pada 21 Juni 2012 dari, https: // docs. google. com/ viewer?
a=v&q = cache: n8LDiFM3FPkJ: mahadalytebuireng. files.
wordpress. com/ 2009/ 05/ hukum – islam – di -indonesia1.
doc+PEMIKIRAN+HUKUM+ISLAM+BUSTANUL+ARIFIN+%2
8Studi+Tentang+Esensi,+Eksistensi,+Pelembagaan,+Pemb
aharuan,+Pengembangan+dan+Prospek+Penerapan+Huk
um+Islam+di+Indonesia%29&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=A
DGEESjK8ms5L_apfezWP3E1hO_56W_zzWHvBEoAmK6U
M1XGeyAWpINFy5wrp9BWGjQSbJYNQR4LVws NtH5LO4j
D9I7MQ tt 1qG8h – PYHv ExA67 k1scyp LP5zOGH6GtwiHT
oESjGrZKI5&sig=AHIEtbTxmNR9m44gAHcgxuMw0xtzXpw
A2A, 2012.
Misbahy, Muhammad. Al-Aql al-Islāmī baina Qorthobat wa
Asfahān. Beirut: Dar al-Thaliat, 2006.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
331
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
Mochtar, M. Akil. “Visi Pembangunan Sistem Hukum
Indonesia”, akses pada 4 Pebruari 2013 dari http://
www.akilmochtar.com/wp-content/uploads/2011/06/
VISI_PEMBANGUNAN_SISTEM_HUKUM_INDONESIA_
akil1.pdf, 2012.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).
Jakarta: Rosdakarya, 2004.
Mubarok, Jaih. ”Formalisasi Hukum Islam: Pelaksanaan
Syariat Oleh Negara,” diakses pada 21 Juni 2012 dari
http://www.pa-balikpapan.net/index.php?option=
com_content&view=article&id=86:formalisasi–
hukum–islam–profdr–jaih–mubarok&catid=61:artikelumum&Itemid=206, 2012.
Muchsin. Ikhtisar Sejarah Hukum. Jakarta: BP. IBLAM, 2004,
----------. Masa Depan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: BP.
IBLAM, 2004.
---------. “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan
Hukum Nasional,” diakses pada 20 Juni 2012 dari http: //
www.ditpertais.net/annualconference/2008/dokumen/
KONTRIBUSI-% 20HUKUM% 20ISLAM - muchsin.pdf,
2012.
Mudzhar, Mohammad Atho’. Pengaruh Faktor Sosial Budaya
terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal
Mimbar Hukum No. 4 tahun II, Jakarta: AI-Hikmah dan
Ditbinbapera Islam, 1991.
---------. Fatwa fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988.
Jakarta: INIS, 1993.
332
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
Muhadjirin, Muhammad Aziz. Sistem Peradilan Dalam
Islam”, akses pada 24 November 2012 dari, http: //
muhammadaiz. wordpress. com/ materi – peradilan –
islam – di - indonesia/, 2012.
Muzadi, Hasyim. “ Kalau dibiarkan, Negara Bisa Bubrah,”
diakses pada 24 Juni 2012 dari http: // www. nu. or. id/
a, public - m, dinamic - s, detail - ids, 5-id, 7522 - lang,
id - c, halaqoh - t, Hasyim + Muzadi + Kalau + dibiarkan +
+ Negara + Bisa + Bubrah + + 65533 + + -.phpx, 2012.
al-Naī’m, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Syarī’ah, Kritik Konsep
Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajidi. Yogyakarta: LKiS, 1996.
---------. Sharīa Law and The Modern Nation-State, A Malysian Simposium.
Kuala Lumpur: Friedrich-Nauman-Stiftung (Germany), 1994.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negara Barat (Edisi Baru).
Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Notohamidjojo. Makna Negara hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Kristen, 1970.
Nyazee, Imran Ahsan Khan. Theories Of Islamic Law, The
Methodology Of Ijtihad. New Delhi, India: Adam Publisher
& Distributor, 2007.
Partanto, Pius A dan Dahlan al Barry. Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkola, 1994.
PP IKAHI, Varia Peradilan, Nomor 161 Tahun 1999.
Praja, Juhaya S. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan
Praktek, Bandung: Rosdakarya, 1991.
Purnomo, Agus. Konstruksi Formalisasi Syariat Islam Elite
Politik: Kajian Tentang Peraturan Daerah Syariat Kabupaten
Pamekasan. (Disertasi IAIN Sunan Ampel, Surabaya), 2013.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
333
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
Radhie, Teuku Mohammad. Pembaruan dan Politik Hukum
dalam Rangka Pembangunan Nasional, dalam majalah
Prisma No. 6 Tahun II Desember, 1973.
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta:
Kompas, 2007.
---------. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas,
2006.
---------. Kata Pengantar dalam buku Khudzaifah Dimyati,
Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990. Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2004.
---------. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2002.
Rahman, Ahmad Syafii. “Corak Modernisme Pembaharuan
Hukum Islam Di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis),”
diakses pada 24 Juni 2012 dari http://syafiirahman.
blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-enus-x-none_2255.html, 2012.
al-Raisūnī, Ahmad. Ijtihad, Antara Teks, Realitas dan
Kemashlahatan Sosial, terj. Ibnu Rusydi. Jakarta: Erlangga,
2002.
---------. Hukm al- Aghlabiyyat Fī- al- Islām, Dirāsah Ushūliyyah.
Marocco: Dar al-Baidlā, 2007.
---------. Madkhal Ila Maqāṣid al-Syarīah. Marocco, Rabat, Dar
al-Aman, 2009.
---------. al Ijtihād, Nash, al Wāqi wa al-Mashlahah. BairutLibanon: Sabkat al-Arabiyyāt li al Abhās wa al-Nasyr, 2012.
334
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
---------. al Ummat Hiya al Asal, Muqārabat Ta’shīliyyat li
Qadlāyā al Dimaqratiyyat, Hurriyyat al Ta’bir, al Fan, BairutLibanon: al Syabkat al ‘Arabiyyat li al Abhās Wa al Nasyr,
2012.
---------. Qadliyyah al Aghlabiyyat Min al Wajhat al Syar’iyya.
Bairut: Sabkat al Arabiyyat Li al Abhas Wa al Nasyr, 2012.
Rambe, Mara Sutan. “Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam
Hukum Pidana Nasional” diaskses pada 21 November
2012 dari, http: // msrambe. wordpress. com/ 2012/ 06/
21/ proses – akomodasi – hukum – islam – kedalam –
hukum – pidana - nasional/, 2012.
Rofiq, Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia.
Jakarta: Gama Media, 2001.
Rohmanu, Abid. “Konsepsi Fiqh Jihad Khaled Medhat Abou El
Fadl Dalam Perspektif Relasi Fiqh Dan Akhlak,” Disertasi
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
Rokhmad, Abu. Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam
Perspektif Teori Mashlahah. Semarang: Pustaka Rizqi
Putra & Pascasarjana IAIN Walisongo, 2012.
Sadzali, Munawir.”Makalah dalam Upacara Penbukaan
Rapat Kerja Gabungan Mahkamah Agung dengan Semua
Lingkungan Peradilan pada 21 Maret di Yogyakarta, 1985.
Said, Imran. “Konfigurasi Politik pada Era Orde Lama dan
Orde Baru: Suatu Telaahan dalam Partai Politik” diakses
pada 04 November 2012 dari http: // www. scribd. com/
doc/ 52908105/ Konfigurasi – Politik – pada – Era –Orde
– Lama – dan – Orde - Baru
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
335
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
Saleh, Abdul Rahman dkk. Panduan Bantuan Hukum di
Indonesia, Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan
Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI dan PSHK, 2007.
al-Shiddiqie dalam, http://www.jimly.com/pemikiran/
view/4, akses 04 November 2012.
Sidharta, Bernard Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.
Bandung: CV Mandar Maju, 1999.
Simarmata, Rikardo.” Socio-Legal Studies Dan Gerakan
Pembaharuan Hukum,” diakses pada 05 Oktober 2012
dari http: // huma. or. id/ wp - content/ uploads/ 2006/
12/ Rikardo - Simarmata.- SOCIO - LEGAL-STUDIES-DANGERAKAN-PEMBAHARUAN-HUKUM.pdf, 2012.
Siroj, Malthuf. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Telaah
Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012.
Siregar, Bismar. Islam and Pancasila in The Clash Of Ijtihad
Fundamnetalist Versus Liberal Muslim, The Development Of
Islamic Thingking in Contemporary Indonesia. Delhi: ISPCK, 2011.
---------. Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam. Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Al Azhar, 2003.
Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi.
Bandung: Alumni Bandung, 1987.
Soemitro, Roni Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1982.
Solihin.“PandanganM.AmienRaisTentangPolitikIslamIndonesia
(Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985–
2000)”, diakses pada 21 Juni 2012 dari https://docs.google.
com/viewer?a=v&q=cache:I8u8k-JWggJ:www.uinsgd.ac.id/_
multimedia/document/20120611/20120611111350_solihin.
336
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
Pdf+Amin+rais+dan+pandangannya+tentang+hukum+Isla
m&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShNL4X045vJQtF2N
fsNgp9FHtOuCAnR6NyNbasfv1n6z9IAisZ8j-DaaFb9lKuLMaNaWi9jdacNpP40Cv73GecAkpLum5Rrtm7dFn34a–ymEs2dnxeaK-QK14cSm5_kR8vK8_&sig=AHIEtbQ1q_XRsB_
md9qNn1 KTT7 YF8Ujtmw, 2012.
Society, Adeles Jung. “Dinamika dan Karakteristik Produk
Undang-Undang Era Reformasi”, akses pada 3 Juni
2013 dari http://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/
03/27/dinamika-dan-karakteristik–produk–undang–
undang–era- reformasi/, 2013.
Sularno, M. ”Syari’at Islam Dan Upaya pembentukan Hukum Positif
di Indonesia,” diakses pada 05 Oktober 2012, dari http://
journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/ viewFile/245/240.
Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-undang Perdata
Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Suryabrata, Sumard. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1999.
Sunny, Ismail. Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam
Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan
Islam di Indonesia, Jilid I. Bandung: Ulul Albab Press, 1997.
---------. Mencari Keadilan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Suprayogo, Imam. “Kekuasaan Presiden Dari Masa ke Masa”,
akses pada 24 November 2012, dari http://www.Uinmalang.ac.id/index.php?Option=com_content&view=
article&id= 024: kekuasaan -presiden-dari-masa-ke-masa&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210, 2012.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
337
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
Supranto, J. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2003.
Syaddad, Ahmad Farhan. “Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Analisis Terhadap Kebijakan Perubahan UUSPN
No 2 Tahun 1989 MenjadiUU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun
2003)” akses pada 23 November 2012 dari, http://www.
scribd.com/doc/92938997/ANALISIS-UU-SISDIKNAS, 2012.
al-Syaṭibī, Abū Ishāq. Al-Muwaffaqāt Fi Uṣūl al-Ahkām, Juz. 2.
Kaero: Al-Mīdani, 1963.
Taimiyyah, Ibnu. as-Siyāsah asy-Syar’iyyah. Kairo: Dar alKitab al-Arabi, 1952.
Tamin, Boy Yendra. “Masa Depan Hukum Islam Pasca Reformasi
dan Tantangan Menghadapi Globalisasi Hukum”, akses
pada 9 Desember 2012 dari, http://boyyendratamin.
blogspot.com/2012/05/masa-depan-hukum-islam-pascareformasi.html, 2012.
Tamrin, Dahlan. Kaidak-kaidah Hukum Islam Kulliyyah alKhamsah. Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Tanya, Bernard L. Politik Hukum, Agenda Kepentingan Bersama.
Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.
Tarigan, Azhari Akmal. “Menimbang Kembali Penerapan
Syari’ah Islam”, akses pada 16 Pebruari dari http: //www.
waspada.co.id/index2.php?Option=com_content&do_
pdf=&id=20286, 2013.
Thalib, Sajuti. Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat
Dengan Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1982.
338
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Daftar Pustaka
Dr. M. Shohibul Itmam
Thalib, Abdul Rosyid. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.
Trikanti. “Perkembangan Sistem Hukum Indonesia”, akses pada 04
November 2012 dari, http://trikantii. blogspot.com/2011/10/
perkembangan–sistem–hukum-indonesia. html, 2012.
Tutik, Titik Triwulan. Pokok-pokok Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005–2025.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Wahid, Abdul Rahman. Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunan
percikan Pemikiran Gusdur. Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1999.
---------. Dialog Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1993.
Wahid, Marzuki. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik
Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKis, 2001.
---------. “Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Paska
Orde Baru, Studi Politik Hukum atas CLD-KHI,” diakses pada
10 Juni 2012 dari http: // www. komnasperempuan. or. id/
wp - content/ uploads/ 2009/ 02/ pembaharuan – keluarga –
islam – pasca – orde - baru_marzuki-wahid.pdf, 2012.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
339
Dr. M. Shohibul Itmam
Daftar Pustaka
---------. “Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur,” diakses pada 21
Juni 2012 dari http: // www. gusdur. net/ Opini/ Detail/ ?id
= 238/h l= id/ Inspirasi _Dari_Pemikiran_Gus_Dur, 2012.
Wasck, Raymond. Philoshopy of Law. Oxford: Oxford University
Pres, 2006.
Wikipedia. akses pada 24 November 2012 dari, http: // id.
wikipedia. org/ wiki/ Agama, 2012.
Winarno. wawancara di Iran dalam sarasehan mahasiswa utusan
PBNU dengan atase keamanan (tidak dupublikasikan), 2006.
Yamin, Muhammad. Proklamasi dan Konstitusi Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Zoelva, Hamdan. “Syari’at Islam dan Politik Hukum
Nasional Indonesia”, diakses pada 26 April 2012 dari
http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/01/
syari%E2%80%99at–islam–dan–politik-hukum-nasionalindonesia/, 2012.
340
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
GLOSSARY
Akhlak, Budi pekerti, prilaku sebagai manifestasi sikap dari
suatu pemahaman
Al Ahkam al Khamsah, lima hukum yang pokok, terkenal
dalam ushul fiqh (halal, haram, sunnah, makruh dan
jawaz).
Al Hadits, sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan,
sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran.
Al Qur`’an, firman Allah, sumber hukum Islam yang pertama
dan utama, kitab suci umat bagi Islam diberikan kepada
nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril
As Sunnah, nama lain al Hadits, sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan dan merupakan sumber
hukum Islam kedua setelah a-Qur’an.
Asas, dasar, sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,
berpendapat dan bertindak sebagai dasar cita-cita atau
hukum dasar
BW (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warga
negara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
341
Dr. M. Shohibul Itmam
Glossary
timur asing yang pada prakteknya masih berlaku di
Indonesia hingga sekarang
Daulah, negara, pemerintahan atau kerajaan (terminology
dari Bahasa Arab)
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), salah satu lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan lembaga perwakilan rakyat. terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih melalui pemilihan umum.
Dzanny, tidak meyakinkan, relatif atau dalam konteks tafsir
al-Qur’an merupakan lafal-lafal yang mengandung
pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk
ditakwilkan
Era reformasi, era lengsernya Soeharto menuju perubahan
pemerintahan yang lebih demokratis dan transparan
yang dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998
dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Fatwa, nasihat hukum, jawaban hukum, pendapat ulama
ahli terhadap persoalan yang belum diselesaikan
atau yang menimbulkan pertikaian mengenai atau
berhubung dengan hukum Syara’
Fiqh, pemahaman atas prinsip-prinsip hukum Islam
atau bidang ilmu syariat Islam yang secara khusus
membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai
aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun beribadah
342
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Glossary
Dr. M. Shohibul Itmam
Hukum Islam, istilah hukum yang khusus di Indonesia yang
merupakan perpaduan atau gabungan antara syariat
dan fiqh, dibarat dikenal dengan istilah Islamic Law dan
Islamic Jurisprudent
Ijtihad, upaya sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu,
biasanya dilakukan untuk maksud istimbath
Istimbath, pengeluaran hukum-hukum dari dalil nash alQur’an atau al-Sunnah yang bisanya terkait dalam
melahirkan suatu produk fiqh tertentu atau ijtihad
Jakarta Charter atau Piagam Jakarta, hasil kompromi tentang
dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia
Sembilan BPUPKI dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945
antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis)
yang didalamnya terdapat ketentuan “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”
Kaffah, menyeluruh, komplit dan komprehensif dalam
memahami ajaran Islam menuju kesempurnaan
KHI (Kompilasi Hukum Islam), adalah materi hukum Islam
yang disusun melalui jalan yang sangat panjang dan
melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik
terjadi di Indonesia dari masa ke masa yang ditulis dalam
bahasa hukum, pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal,
terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum
Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk
wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan
(14 pasal) ditambah satu pasal ketentuan penutup yang
berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
343
Dr. M. Shohibul Itmam
Glossary
Khilafiyah, masih diperdebatkan kesahihannya atau terkait
perbedaan pendapat di kalangan ummat beragama, baik
mengenai hukumnya, tata cara dalam melakukan ibadah
dan yang lainnya
Landraad, pengadilan negeri, istilah bahasa Belanda untuk
“pengadilan negeri”, yang merupakan salah satu
pengadilan tingkat pertama di wilayah Hindia-Belanda
selain districtgerecht, regentschapsgerecht, rechtbank van
omgang, raad van justitie, dan hooggerechtshof
Machtstaat, Negara yang berdasar keuasaan belaka, identik
dengan pemimpin yang otoriter, kekuasaan yang terpusat
(sentralistik), konfigurasi politik otoriter yang biasanya
melahirkan produk hukum yang represif dan sangat
mengekang kebebasan
Mahdhah, jenis ibadah yang berhubungan dengan tuhan dan
hanya untuk tuhan, biasanya terkait dengan suatu ritual
keagamaan tertentu
Positivisasi Hukum Islam, upaya menjadikan hukum Islam
sebagai hukum positif melalui tranformasi nilai yang
terkandung di dalamnya, baik nilai moral spesifik
maupun nilai moral universal
Politik Hukum, suatu proses, kebijakan yang mengantarkan
pada upaya perlu lahir atau tidaknya suatu undangundang atau hukum
Ulil amri, pemegang otoritas, pemerintahan yang biasanya
disepakati dan diikuti kebijakannya dalam konteks Islam
Ushul fiqh, ilmu atau pengetahuan tentang dasar-dasar hukum
Islam atau ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari
kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara
344
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Glossary
Dr. M. Shohibul Itmam
terinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang
diambil dari sumber-sumbernya
Qanun, hukum atau peraturan daerah, atau Peraturan
Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat seperti yang ada di Provinsi
Aceh.
Qadli, hakim, orang yang memutuskan perkara seperti qadli
Muhtasib, yaitu qadli yang bertugas memutuskan semua
perkara yang menyangkut hak umum. Dalam hal ini
tidak ada pihak penuntut, namun wewenangnya tidak
meliputi perkara perdata (hudud) dan pidana (jinayat)
Qiyas, analogi yang dipakai untuk penentuan status hukum
sesuatu dan merupakan suatu metode penalaran yang
lazim digunakan dalam ilmu-ilmu keislaman yang
terangkum di dalam kategori rumpun ilmu-ilmu bayani,
yakni sekumpulan ilmu-ilmu dalam disiplin-disiplin
fiqh jurisprudensi, kalam teologi, nahwu gramatika, dan
balaghah retorika. Qiyas ini kemudian dipakai oleh para
ahli fiqih untuk merumusakan metode dalam mengambil
kesimpulan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ra’yu, akal, rasio, logika yang biasanya dipakai dalam konteks
penafsiran al-Qur’an dan al-sunnah berdasarkan akal
Reception in Complexu, teori ahli hukum Belanda yang
mengatakan bahwa hukum mengikuti agama
Receptive Theory, teori ahli hukum Belanda yang mengatakan
bahwa hukum Islam tidak dianggap sebagai hukum
kecuali telah diterima oleh hukum adat
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
345
Dr. M. Shohibul Itmam
Glossary
Rechtstaat, Negara berdasar hukum, segala sesuatu
diselesaikan dengan aturan hukum, bukan kekuasaan
atau otiritas seseorang
RR, Regeering Reglement, Undang-undang Hindia Belanda
tentang perubahan sistem pemerintahan dari monarkhi
konstitusional menjadi monarkhi parlementer yang
terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan
dalam Grond Wet (UUD) Belanda
SHN (Sistem Hukum Nasional), perangkat hukum negara yang
secara beraturan saling berkaitan mengatur ketertiban
jalannya suatu operasional pemerintahan
UUPA (Undang-Undang Peradilan Agama), undang-undang di
lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam UndangUndang.
UUD (Undang-Undang Dasar), hukum dasar yang berlaku di
suatu negara, tidak mengatur hal-hal yang terperinci,
melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang
menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya.
346
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
INDEKS
A
al-Qur’an,
al-Sunnah,
authoritative source,
B
budaya hukum,
D
Dekrit Presiden,
E
eklektisisme,
era reformasi,
F
fiqh,
G
hukum Adat,
hukum Barat,
hukum Islam,
hukum pidana,
hukum positif,
I
Ijmā’,
Ijtihād,
K
kebhinnekaan,
kesadaran hukum,
kolonial,
kolonial Belanda,
Kompilasi Hukum Islam,
L
legislasi,
GBHN,
O
H
Orde Baru,
Orde Lama,
HAM,
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
347
Dr. M. Shohibul Itmam
Indeks
P
R
Pancasila,
peluang,
pembaharuan,
pembaharuan hukum,
Peradilan Agama,
Perda Syariah,
persuasive source,
perundang-undangan,
Piagam Jakarta,
pluralis,
politik hukum,
positivisasi hukum Islam,
PROPENAS,
Recepcio In Complexu,
Receptie,
348
S
substansi hukum,
syarī’ah,
T
tantangan,
teologis,
Y
yuridis formal,
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
LAMPIRAN
Peraturan dan Perundang-undangan
Hukum Islam di Indonesia
Sebelum reformasi:
1. UU RI No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan.
2. UU RI No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dan
kemudian UU No. 3 Tahun 2006
3. UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan yang membolehkan
menggunakan prinsip bagi hasil.
Selain tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga
terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah
Undang-undang, antara lain:
1. Penjelasan atas Undang-undang No. 1 Tahun 1972
tentang Perkawinan
2. PP No. 9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum
Perkawinan
3. PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
4. PP No. 72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
5. Inpres No. 1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
6. Inpres No. 4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi
Khusus di NAD.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
349
Dr. M. Shohibul Itmam
Lampiran
Era reformasi:
1. UU RI No.10/1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
membolehkan menggunakan Prinsip Syariah.
2. UU RI No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají
3. UU RI No. 38 Tahun 1999 diganti UU No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat
4. UU RI No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Khusus Nangroe Aceh Darussalam
5. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan Partai
Islam
6. UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
7. Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan
Amil Zakat Nasional
8. UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
9. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004
10. UU RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
11. UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara
12. UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
13. UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Selain itu ada beberapa:
A. Keputusan Fatwa Majlis Ulama No. 4/Munas VII/
MUI/08/2005 tentang Perkawinan Beda Agama
B. Keputusan Fatwa Majlis Ulama, 11 Mei 2002 tentang
Wakaf Uang
C. Keputusan Fatwa Majlis Ulama No. 3 Tahun 2005 tentang
Zakat Penghasilan
350
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
CURRICULUM VITAE
Lahir pada 15 Pebruari 1979 di desa Petekeyan Kecamatan
Tahunan Jepara. Dosen tetap jurusan syari’ah, pengampu mata
kuliah Ilmu Hukum (IH) dan Hukum Tata Negara (HTN) di IAIN
Ponorogo sejak Tahun 2010. Pendidikan dasar di Madrasah
Ibtidaiyyah Nahdlatul Fata (1992) dan Madrasah Diniyyah
Awwaliyyah Nahdlatul Fata (1994) di Desa kelahirannya.
Pendidikan Tsanawiyah/Wustho (1996) dan Aliyah/‘Ulya (1999)
dijalani dengan nyantri di Pondok Pesantren al-Mustaqim,
Bugel, Kedung, Jepara. Pada tahun 2004 menyelesaikan sarjana
(S1) Ushuludin, Tafsir Hadis di STAIN Kudus. Pendidikan (S2)
Magister Ilmu Hukum diraih atas beasiswa dari Institut Bisnis
Law and Management di Jakarta (STIH IBLAM) pada Tahun
2005 dengan nyantri di Pondok Pesantren Mahasiswa, Ciganjur
dalam asuhan Gus Dur (KH. Abdurahman Wahid). Sempat
menerima beasiswa jaringan PBNU—Iran, Teheran dengan
belajar di Madreesehe/ Hauzah Ilmiah al-Mahdy di kota Qoom,
Iran (2006). Pendidikan Doktor (S3) diraih dari UIN Walisongo
atas rekomendasi PBNU dan KBRI Teheran Iran, pada 2013.
Mengawali karir sebagai pengajar di STAIN Kudus pada
2007. Pernikahannya dengan gadis pilihanya, Erna Dian
Istiana, S. Pd di karunia Medina Pyruz Behtare Zendegy dan
Mehrabany Della Tamam Afaridy. Selain sebagai dosen, penulis
juga pendiri dan pengajar di Pondok Pesantren An-Najah yang
dirintis bersama masyarakat sejak pulang dari Iran.
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
351
Dr. M. Shohibul Itmam
Curriculum Vitae
Beberapa karya yang telah dipublikasikan antara lain,
Mengurai Pemikiran Islam dalam Perspektif Sunny-Syi’ah, antara
Persamaan dan Perbedaan (Jurnal al-Din, STAIN Kudus, 2008),
Hukum Alam (Jurnal Yustisia, STAIN Kudus, 2009), Transformasi
Hukum Islam ke dalam Hukum Positif dalam Konteks keIndonesiaan (Jurnal Justisia, STAIN Ponorogo, 2010), Studi al-Qur’an
Perpektif Muhammad Arqoun (Jurnal Dialogia, STAIN Ponorogo,
2011), Diktat Ilmu Hukum (STAIN Ponorogo, 2011), Reformulasi
Studi Hukum Islam Pendekatan Sosiologis (Jurnal al-Tsaqafah, UIN
SUNAN KALIJAGA, 2012) Kesadaran Hukum Pengendara Kendaraan
Bermotor Menurut UU No. 22 Tahun 2009, Studi Wilayah Polres
Ponorogo (Penelitian P3M STAIN Ponorogo, 2012) Model Studi
Islam dengan Pendekatan Sosiologis (Jurnal INSURI Ponorogo),
Masa Depan Hukum Islam di Indonesia (Studi UU Jaminan Produk
Halal), Penelitian P3M STAIN Ponorogo, 2013). Makalah AICIS
Balikpapan 2014, Hukum Rimba (Potret kesadaran hukum orang
rimba di Jambi. Penelitian Kebijakan Progresif sebagai alternatif
pemberdayaan STAIN Ponorogo (DIPA 2014). Pergumulan Hukum
Rimba dengan hukum moderen (Jurnal IAIN STS Jambi). Makalah
AICIS Manado 2015, Islam Rimba (Potret keberagamaan Orang
Rimba di Jambi Sumatra). Penelitian Makna kesejehteraan di
STAIN Ponorogo dalam perspektif hukum progresif (DIPA 2015).
Penulis bisa dihubungi dengan nomor 085226394498, email
[email protected] atau [email protected], dan
via post alamat PP. An Najah, desa Petekeyan, 12/03 Kecamatan
Tahunan Jepara.
352
Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
Download