hasil dan pembahasan

advertisement
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Contoh
Umur Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah Ibu hamil trimester II yang berdomisili
di kota Bogor. Umur contoh dalam penelitian berkisar antara 20 sampai 40 tahun.
Sebaran contoh lebih banyak pada rentang usia 20-29 tahun sebanyak 116
orang (57.1%) dan sisanya pada rentang 30-40 tahun sebanyak 87 orang
(42.9%). Sebaran contoh berdasarkan umur dan tingkat sosial ekonomi disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan umur
Kuintil-2
Umur
(tahun)
n
%
20-29
30 44.1
30-40
38 55.9
Total
68 100
(r = -0.219; p = 0.002)
kuintil-3
n
%
38 56.7
29 43.3
67 100
Kuintil-4
n
%
48 70.6
20 29.4
68 100
Total
n
%
116
57.1
87
42.9
203
100
Contoh yang berada pada rentang 20-29 tahun meningkat jumlahnya
seiring peningkatan sosial ekonomi. Sementara itu hal sebaliknya terjadi pada
kelompok usia 30-40 tahun. Uji rank spearman menunjukkan terdapat hubungan
yang signifikan (p<0.01) antara tingkat sosial ekonomi dengan umur contoh,
dimana semakin tinggi tingkat sosial ekonomi maka akan semakin muda umur
contoh. Umur yang lebih muda maka dikaitkan dengan produktifitasnya yang
masih tinggi sehingga berpengaruh terhadap aktivitasnya dalam bekerja, cara
pandang dan pola berpikirnya untuk memenuhi kebutuhan gizi sesuai aktifitasnya
yang tinggi (Nurmarchus 2006). Hal sebaliknya pada kelompok umur yang tua.
Tingkat Pendidikan Contoh
Komsan (2002) menyatakan bahwa tingkat ekonomi yang rendah akan
menyebabkan risiko rawan ekonomi yang akhirnya akan menyebabkan keluarga
tidak terjamin. Contoh yang menamatkan pendidikan SD sebanyak 29.1%, SMP
(32.0%), SMA (33.5%) dan PT (5.4%). Contoh pada kuintil-3 dan kuintil-4 paling
banyak menamatkan pendidikannya pada tingkat SMA masing-masing sebesar
41.2%. Hal tersebut berbeda dengan contoh pada kuintil-2 dimana contoh paling
banyak menamatkan pendidikannya di tingkat SD yaitu sebesar 42.6%. Berikut
disajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan pendidikan
pada Tabel 6.
21
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan pendidikan
Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Total
(r = 0.250; p = 0.000)
Kuintil-2
n
%
29
42.6
26
38.2
12
17.6
1
1.5
68
100
Kuintil-3
n
%
16
23.9
17
25.4
28
41.2
6
5.9
67
100
Kuintil-2
n
%
14
20.6
22
32.4
28
41.2
4
5.9
68
100
Total
n
%
59 29.1
65 32.0
68 33.5
11
5.4
203
100
Contoh yang menamatkan SD semakin menurun jumlahnya dengan
meningkatnya tingkat sosial ekonomi. Contoh yang menamatkan SMP dari
kuintil-2 ke kuintil-3 menurun kemudian meningkat kembali di kuintil-4. Adapun
contoh yang menamatkan SMA dan PT relatif sama yaitu meningkat jumlahnya
dengan meningkatnya tingkat sosial ekonomi. Uji rank spearman menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan (p<0.01) tingkat pendidikan contoh dengan
sosial ekonomi, dimana semakin tinggi sosial ekonomi maka akan semakin tinggi
pendidikan yang ditamatkan. Hal tersebut bisa terjadi karena dengan tingkat
sosial ekonomi tinggi maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi akan terbuka secara luas. Seseorang yang berpendidikan tinggi maka
kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik terbuka lebih luas.
Pekerjaan selanjutnya akan menentukan pendapatannya (Sumarwan 2002).
Maka tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, artinya tingkat sosial ekonomi berhubungan dengan
tingkat pendidikan begitupun tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat
sosial ekonomi.
Jenis Pekerjaan
Sumber pendapatan dalam keluarga bisa berasal dari mana saja.
Umumnya pendapatan berasal dari suami yang bekerja. Pekerjaan merupakan
salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Pendapatan tersebut nantinya
akan menggambarkan tingkat sosial ekonomi. Selain suami yang bekerja ada
beberapa contoh yang juga bekerja. Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa
sebagian besar (85.7%) contoh tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga
(IRT). Karyawan swasta dan wirasawasta merupakan pekerjaan yang banyak
dijadikan sumber mata pencaharian dengan meningkatnya tingkat sosial
ekonomi. Pedagang merupakan pekerjaan yang menurun dari kuintil-2 ke kuintil3 kemudian meningkat lagi pada kuintil-4. Sebaran contoh berdasarkan
pekerjaan dan tingkat sosial ekonomi disajikan pada Tabel 7.
22
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan pekerjaan
Pekerjaan
IRT
Karyawan swasta
Wiraswasta
Pedagang
Guru
PRT
Total
Kuintil-2
n
%
60
88.2
1
1.5
0
0.0
4
5.9
1
1.5
2
2.9
68
100
Kuintil-3
n
%
57
85.1
3
4.5
1
1.5
3
4.5
2
3.0
1
1.5
67
100
Kuintil-4
n
%
57
83.8
3
4.4
1
1.5
7
10.3
0
0.0
0
0.0
68
100
Total
n
%
174 85.7
7
3.4
2
1.0
14
6.9
3
1.5
3
1.5
203
100
Guru dan PRT jumlahnya relatif sama dijadikan mata pencaharian di
kuintil-2 dan kuintil-3 tetapi tidak sama sekali di kuintil-4. Walaupun pekerjaan
seseorang sering dihubungkan dengan pendapatan, namun belum tentu
pekerjaan seseorang akan menggambarkan tingkat sosial ekonominya.
Besar Keluarga Contoh
Anggota keluarga merupakan seseorang yang tinggal menetap, makan
dan tidur dalam satu atap dalam sebuah rumah tangga. Jumlah anggota keluarga
akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam keluarga. Sumarwan (2002),
menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga akan menentukan jumlah dan pola
konsumsi terhadap suatu barang. Sebaran contoh berdasarkan tingkat sosial
ekonomi dan besar keluarga disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan besar keluarga
Kuintil-2
Besar
Keluarga
n
%
Kecil
34
50.0
Sedang
28
41.2
Besar
6
8.8
Total
68
100
(r = -0.200; p = 0.004)
Kuintil-3
n
%
42
62.7
24
35.8
1
1.5
67
100
Kuintil-4
n
%
50
73.5
15
22.1
3
4.4
68
100
Total
n
126
67
10
203
%
62.1
33.0
4.9
100
Tabel 8 menunjukkan sebagian besar contoh termasuk ke dalam keluarga
kecil sebanyak 62.1%, keluarga sedang sebanyak 33.0% dan hanya 4.9% yang
tergolong kedalam kategori keluarga besar. Contoh yang termasuk dalam
kategori keluarga kecil paling banyak (73.5%) terdapat di kuintil-4. Adapun
contoh yang termasuk keluarga sedang paling banyak (41.2%) di kuintil-2, begitu
pula contoh yang termasuk kategori keluarga besar sebagian besar (8.8%)
tergolong ke dalam kuintil-2. Uji korelasi rank spearman menunjukkan terdapat
hubungan yang signifikan (p<0.01) antara sosial ekonomi contoh dengan besar
keluarga, dimana semakin kecil keluarga maka akan semakin meningkat tingkat
sosial ekonomi. Hal tersebut dikarenakan dengan semakin kecil keluarga maka
semakin sedikit anggota keluarga yang harus dipenuhi kebutuhan ekonominya
23
sehingga pengeluaran ekonomi per kapita per bulan akan semakin besar. Hal
sebaliknya dengan kondisi ekonomi yang sama semakin besar keluarga maka
akan semakin banyak individu yang harus dipenuhi kebutuhan ekonominya
sehingga pengeluaran ekonomi perkapita per bulan menjadi kecil. Kondisi
tersebut yang diduga menyebabkan dengan semakin kecil keluarga maka akan
semakin tinggi tingkat sosial ekonomi contoh.
Pola Pangan Ikan
Tingkat Keseringan Contoh Mengonsumsi Ikan
Berdasarkan data FFQ, dari 203 contoh hanya 193 (95.1%) yang biasa
mengonsumsi ikan sehingga untuk menganalisis pola pangan ikan hanya
digunakan 193 contoh. Contoh yang mengonsumsi ikan di kuintil-2 (97.6%),
kuntil 3 (95.0%) dan kuintil-4 (92.6%). Data tersebut menggambarkan semakin
tinggi tingkat sosial ekonomi maka semakin sedikit contoh yang mengonsumsi
ikan.
Ikan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi enam kelompok, yaitu
ikan darat segar, ikan laut segar, ikan kering/asin, ikan pindang, udang, cumicumu, kerang, produk olahan ikan. Kelompok ikan yang termasuk ikan darat
segar adalah ikan bandeng, gurame, lele, mas, mujair, nila, patin, dan sepat. Ikan
bawal, kembung, pari dan salem atau salmon dikelompokkan ke dalam ikan laut
segar. Kelompok ikan kering/asin terdiri dari cumi-cumi, ikan asin, cucut, etem,
gabus, jambal, japuh, pari, selar, teri, usam, udang dan udang rebon. Kelompok
ikan pindang terdiri dari dua jenis ikan yaitu ikan cue dan ikan tongkol. Udang,
cumi-cumi segar, kerang tiram dan tutut dikelompokkan kedalam kelompok
udang/cumi/kerang. Adapun kelompok produk olahan ikan terdiri dari nugget dan
sardine.
Berdasarkan frekuensi konsumsi ikan selama satu bulan selanjutnya
dibuat tingkat keseringan konsumsi ikan. Tabel 9 menunjukkan kategori frekuensi
atau tingkat keseringan contoh dalam mengonsumsi berbagai kelompok ikan per
bulan. Jumlah contoh yang mengonsumsi kelompok ikan dengan frekuensi
sangat jarang lebih banyak daripada sering. Begitupun jumlah contoh yang
mengonsumsi dengan frekuensi jarang lebih banyak daripada sering. Kondisi
yang demikian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mengonsumsi ikan
dengan frekuensi sangat jarang, hal tersebut mungkin dilakukan hanya untuk
menciptakan variasi menu dalam keluarga.
24
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat keseringan mengonsumsi ikan
Kelompok Ikan
Sangat Jarang
(≤2kali/minggu)
n
%
ikan darat segar
48
24.9
ikan laut segar
34
ikan kering/asin
56
ikan pindang
Jarang
(3-4kali/minggu)
n
%
Sering
(≥5kali/minggu)
n
%
34
17.6
8
4.1
17.6
7
3.60
2
1.0
29.0
29
15.0
38
19.7
58
30.1
29
15.0
12
6.2
udang/cumi/kerang
42
21.8
13
6.7
3
1.6
produk olahan ikan
6
3.1
2
1.0
0
0.0
Jumlah contoh paling banyak mengonsumsi ikan dengan frekuensi sangat
jarang pada kelompok ikan pindang (30.1%). Frekuensi konsumsi ikan jarang
paling banyak pada kelompok ikan darat segar (17.6%). Adapun contoh yang
mengonsumsi ikan dengan frekuensi sering paling banyak mengkonsumi ikan
kering/asin (19.7%). Produk olahan ikan (sardine dan nugget) tidak ada satu pun
contoh yang mengonsumsi dengan frekuensi sering.
Hasil penelitian Widyawati (2001) menunjukkan hasil yang hampir sama
dimana ikan kering/asin merupakan jenis ikan yang paling disenangi di kota
Bogor. Contoh sering mengonsumsi kelompok ikan kering/asin yang utamanya
adalah ikan teri (Lampiran 1). Keseringan contoh dalam mengonsumsi ikan
kering asin karena ikan asin yang harganya relatif murah dibandingkan ikan lain.
Waysima (2011) menyatakan ikan kering/asin merupakan jenis ikan yang murah
dimana menurut Sediaoetama (1999) kelas ekonomi menengah ke bawah yang
paling banyak membeli jenis ikan tersebut. Hanya dengan sedikit uang maka
akan didapat ikan kering/asin yang banyak untuk pelengkap makan dengan nasi.
Harga yang murah tersebut diduga menjadi salah satu alasan banyak contoh
yang mengonsumsi ikan kering/asin dengan frekuensi sering.
Hal lain yang diduga menjadi penentu keseringan seseorang dalam
mengonsumsi suatu pangan adalah kesukaan terhadap suatu pangan. Waysima
(2011) menyatakan faktor yang berpengaruh terhadap frekuensi keseringan
mengonsumsi ikan laut adalah peubah wilayah pesisir, sikap dan persepsi
tentang ikan laut. Seperti yang diketahui bahwa penelitian ini dilakukan di Kota
Bogor yang jauh dari wilayah pesisir sehingga tidak mengherankan apabila
jumlah contoh yang mengonsumsi ikan/kering asin dengan frekuensi sering
paling banyak. Karena untuk memasarkan ikan laut segar dari daerah pesisir ke
daerah dataran tinggi seperti Bogor perlu waktu sehingga dibutuhkan cara agar
ikan tetap awet salah satunya dengan dikeringkan dan diasinkan. Waysima
25
(2011) juga menyatakan bahwa ibu-ibu di daerah pedalaman yang jauh dari
pantai menganggap ikan kering/asin paling mudah ditemui. Kondisi tersebut
menyebabkan contoh akan lebih sering menemukan jenis ikan kering/asin di
pasar-pasar sehingga peluang untuk membeli jenis ikan tersebut juga akan lebih
besar.
Frekuensi Konsumsi Ikan berdasarkan Tingkat Sosial Ekonomi
Berdasarkan Tabel 10, contoh yang mengonsumsi ikan darat segar
jumlahnya semakin banyak dengan meningkatnya tingkat sosial ekonomi namun
frekuensinya menurun dari kuintil-3 ke kuintil-4 dengan frekuensi terbesar (12.0
kali/bln) di kuintil-3 dan terendah (8.6 kali/bln) di kuintil-4. Berbeda dengan ikan
darat segar, contoh yang mengonsumsi ikan laut segar dan ikan kering/asin
jumlahnya semakin banyak dengan meningkatnya sosial ekonomi namun turun
dari kuintil-3 ke kuintil-4, tetapi frekuensi konsumsinya relatif menurun dengan
semakin tinggi tingkat sosial ekonomi dengan frekuensi terbesar di kuintil-2 dan
terendah di kuintil-3. Adapun contoh yang mengonsumsi ikan pindang jumlahnya
relatif menurun dengan semakin tingginya tingkat sosial ekonomi, tetapi frekuensi
konsumsinya relatif meningkat dengan frekuensi terbesar di kuintil-4.
Tabel 10 Sebaran contoh dan frekuensi konsumsi berbagai kelompok ikan
berdasarkan tingkat sosial ekonomi
Kuintil-2 (n=66)
Kelompok Ikan
Kuintil-4 (n=63)
n
%
frek
/bln
n
%
9.9
33
51.6
12.0
34
54.0
19.7
8.9
18
28.1
8.1
12
68.2
16.5
45
70.3
13.4
33
23
34.8
13
45
frek
/bln
p
%
8.6
90
46.6
0.111
19.0
8.6
43
22.3
0.931
52.4
14.3
123
63.7
0.430
ikan pindang
41 62.1 11.6
30 46.9 11.4
28 44.4 12.3
udang/cumi/
15 22.7
7.2
20 31.3 11.6
23 36.5
6.5
kerang *
produk olahan
2
3.0
4.3
4
6.3
6.4
2
3.2
8.6
ikan
*signifikan pada level 0.1 (2-tailed) antara Kuintil-3 dan Kuintil-4
99
51.3
0.940
58
30.1
0.026
8
4.1
0.634
ikan kering/asin
%
Total
(n=193)
n
ikan darat
segar
ikan laut segar
n
frek
/bln
Kuintil-3 (n=64)
Hal berbeda pada contoh yang mengonsumsi udang/cumi/kerang
jumlahnya semakin banyak dengan meningkatnya sosial ekonomi namun
frekuensinya meningkat dari kuintil-2 ke kuintil-3 kemudian menurun di kuintil-4.
Berdasarkan uji lanjut post-hoc didapat perbedaan frekuensi konsumsi
udang/cumi/kerang yang signifikan (p<0.1), frekuensi konsumsi berbeda secara
signifikan antara kuintil-3 dan kuintil-4 dimana frekuensi konsumsi di kuintil-3
(11.6 kali/bln) lebih besar daripada kuintil-4 (6.5 kali/bln). Hal tersebut
26
dimungkinkan karena contoh di kuintil-4 lebih memilih sumber protein hewani lain
dibandingkan udang/cumi/kerang. Hal yang juga berpengaruh terhadap konsumsi
suatu pangan adalah tabu atau mitos yang dipercaya yang tidak diteliti dalam
penelitian ini. Soedikarijati (2001) dalam tesisnya menyebutkan bahwa sosiobudaya menimbulkan mitos dan tabu yang dikaitkan dengan ibu hamil. Mitos
tersebut antara lain ibu hamil dilarang makan cumi-cumi karena dikhawatirkan
bayi yang dilahirkan tanpa tulang dan dilarang makan udang karena
dikhawatirkan anak yang dilahirkan menjadi bodoh. Mungkin karena tersugesti
oleh hal tersebut maka frekuensi konsumsi udang/cumi/kerang contoh di kuintil-4
menjadi lebih rendah daripada di kuintil-3.
Adapun contoh yang mengonsumsi produk olahan ikan jumlahnya
meningkat dari kuintil-2 ke kuintil-3 kemudian menurun di kuintil-4, namun
frekuensinya meningkat dengan semakin meningkatnya sosial ekonomi contoh.
Produk olahan ikan merupakan kelompok ikan yang paling sedikit dikonsumsi
oleh contoh (4.1%). Kondisi berbeda pada kelompok ikan kering/asin dan ikan
pindang dimana sebagian besar contoh (63.7%) mengonsumsi jenis ikan
kering/asin kemudian disusul ikan pindang (51.3%). Ikan teri merupakan jenis
ikan kering/asin yang paling banyak dikonsumsi sedangkan ikan tongkol
merupakan jenis ikan pindang yang paling banyak dikonsumsi (Lampiran 1).
Hasil penelitian Widyawati (2001), juga menyatakan bahwa jenis ikan yang
banyak dipasarkan di Kota Bogor adalah ikan asin, ikan pindang dan terasi. Jenis
ikan asin yang paling disenangi pertama adalah ikan teri dan yang kedua ikan
pari sedangkan ikan pindang yang paling disenangi adalah ikan tuna dan ikan
tongkol.
Frekuensi Konsumsi Ikan berdasarkan Kelompok Umur
Hardinsyah
mempengaruhi
(2007),
pengetahuan
menyatakan
gizi
yang
pengalaman
kemudian
gizi
akan
(umur)
dapat
mempengaruhi
keragaman konsumsi pangan. Tabel 11 sekilas menunjukkan contoh yang
mengonsumsi ikan darat segar, ikan laut segar dan produk olahan ikan menurun
jumlahnya dengan peningkatan umur namun frekuensi konsumsi ikan laut segar
relatif meningkat dengan peningkatan umur. Berikut disajikan frekuensi konsumsi
ikan berdasarkan kategori umur pada Tabel 11.
27
Tabel 11 Sebaran contoh dan frekuensi konsumsi berbagai kelompok ikan
berdasarkan umur
Kelompok Ikan
ikan darat segar
ikan laut segar
ikan kering/asin
ikan pindang
udang/cumi/kerang
produk olahan ikan
Umur 20-29 (n=109)
n
%
frek/bln
52
47.7
10.7
26
23.9
8.4
69
63.3
14.5
56
51.4
11.5
38
34.9
8.4
6
5.5
7.2
Umur 30-40 (n=84)
n
%
frek/bln
38
45.2
9.4
17
20.2
8.6
54
64.3
15.2
43
51.2
12.1
20
23.8
8.6
2
2.4
4.3
p
0.341
0.929
0.741
0.760
0.903
0.420
Frekuensi contoh yang mengonsumsi ikan kering/asin, ikan pindang dan
udang/cumi/kerang meningkat dengan peningkatan umur, namun jumlah contoh
yang mengonsumsi ikan pindang dan udang/cumi/kerang menurun jumlahnya.
Uji independent sample test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (p>0.1) frekuensi konsumsi berbagai kelompok ikan berdasarkan
kelompok umur. Penelitian Widyawati (2001) menunjukkan hasil yang hampir
sama, dimana dengan peningkatan umur maka konsumsi ikan asin dan ikan
pindang meningkat tetapi tidak signifikan. Walaupun terdapat perbedaan
frekuensi konsumsi kelompok ikan berdasarkan kelompok umur, perbedaan
tersebut diduga lebih dikarenakan besarnya pendapatan dan banyaknya
kebutuhan dalam rumah tangga.
Frekuensi Konsumsi Ikan berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan seseorang tentunya akan sedikit banyak mempengaruhi
pengetahuan akan pangan dan gizi. Berdasarkan Tabel 12 sekilas dapat
diketahui bahwa frekuensi konsumsi ikan darat segar semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya tingkat pendidikan contoh. Hal yang berbeda terjadi pada
frekuensi ikan laut segar yang menurun seiring dengan penurunan tingkat
pendidikan. Frekuensi konsumsi ikan kering/asin relatif menurun dengan
peningkatan pendidikan. Frekuensi konsumsi ikan pindang menurun dari tingkat
pendidikan SD sampai SMA namun meningkat kembali pada PT. Hal yang
berbeda pada frekuensi konsumsi udang/cumi/kerang yang meningkat seiring
dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Adapun produk olahan ikan sama
sekali tidak dikonsumsi oleh contoh PT.
Berdasarkan uji oneway anova tidak terdapat perbedaan yang signifikan
(p>0.1) frekuensi konsumsi berbagai kelompok ikan berdasarkan tingkat
pendidikan. Hal tersebut dikarenakan interval rata-rata frekuensi konsumsi
berbagai kelompok ikan tidak berada pada rentang yang jauh. Hardinsyah (2007)
menyatakan, semakin tinggi pendidikan formal seseorang maka akses terhadap
28
media massa semakin tinggi yang berarti akses terhadap pengetahuan gizi
semakin
tinggi.
Sumarwan
(2002)
juga
menyatakan,
pendidikan
akan
mempengaruhi proses dan keputusan dan pola konsumsi seseorang. Seorang
yang mempunyai pendidikan yang lebih baik akan lebih responsif dalam
menanggapi sebuah informasi dan juga mempengaruhi pemilihan produk atau
merek. Selera konsumen terhadap suatu produk juga dipengaruhi oleh
pendidikan. Maka diduga ada faktor lain yang menyebabkan frekuensi konsumsi
ikan berdasarkan tingkat pendidikan tidak berbeda secara signifikan yaitu faktor
kesukaan dan persepsi terhadap ikan yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 12 Sebaran contoh dan frekuensi konsumsi berbagai kelompok ikan
berdasarkan pendidikan
Kelompok
Ikan
SD (n=58)
frek/
n
%
bln
SMP (n=62)
frek/
n
%
bln
SMA (n=62)
frek/
n
%
bln
ikan darat
segar
21
36.2
8.8
31
50.0
9.7
32
51.6
10.7
6
54.5
14.3
0.308
ikan laut segar
11
19.0
9.4
15
24.2
8.6
12
19.4
7.9
5
45.5
7.7
0.929
ikan kering/
asin
48
82.8
15.3
40
64.5
14.1
31
50.0
15.1
4
36.4
12.9
0.952
Ikan pindang
36
62.1
14.2
33
53.2
10.4
25
40.3
10.1
5
45.5
11.1
0.271
udang/cumi/
kerang
18
31.0
6.7
13
21.0
8.6
23
37.1
9.0
4
36.4
12.9
0.361
3
5.2
4.3
1
1.6
12.9
4
6.5
6.4
0
0.0
0.0
0.177
produk olahan
ikan
PT (n=11)
frek/
%
n
bln
p
Adapun jumlah contoh yang mengonsumsi ikan kering/asin dan ikan
pindang jumlahnya relatif menurun dengan peningkatan pendidikan. Hal tersebut
dihubungkan dengan WHO (1997) yang menganjurkan membatasi konsumsi ikan
asin untuk mengurangi konsumsi garam berlebihan yang digunakan dalam
pengawetan ikan asin dan ikan pindang dikaitkan dengan diet dan penyakit
kanker. Contoh yang yang berpendidikan lebih tinggi tentunya akan lebih besar
peluang memperoleh informasi tersebut sehingga juga akan mempengaruhi
konsumsinya.
Hal berbeda terjadi pada contoh yang mengonsumsi ikan darat segar,
ikan laut segar dan udang/cumi/kerang dimana jumlahnya relatif meningkat
dengan peningkatan pendidikan. Hal tersebut dikaitkan dengan pendidikan yang
lebih tinggi akan memperoleh pekerjaan yang lebih baik pula yang selanjutnya
akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh (Sumarwan 2002). Akibat
pendapatan yang lebih tinggi maka alternatif pilihan jenis ikan akan banyak pula.
Ikan darat segar, ikan laut segar dan udang/cumi/kerang adalah kelompok ikan
29
yang relatif mahal namun dapat dibeli oleh contoh berpendapatan tinggi sehingga
jumlah contoh yang mengonsumsi meningkat dengan peningkatan pendidikan.
Frekuensi Konsumsi Ikan berdasarkan Besar Keluarga
Jumlah anggota dalam keluarga akan mempengaruhi jumlah pembelian
bahan pangan. Berikut disajikan frekuensi konsumsi ikan contoh berdasarkan
besar keluarga pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran contoh dan frekuensi konsumsi berbagai kelompok ikan
berdasarkan besar keluarga
Kelompok Ikan
ikan darat segar *
a,b
kecil (n=120)
frek/
%
n
bln
58 48.3 10.6
sedang (n=64)
frek/
n
%
bln
23 35.9 10.8
besar (n=9)
frek/
n
%
bln
9 100.0
5.2
p
0.063
ikan laut segar
24
20.0
10.0
16
25.0
6.2
3
33.3
8.6
0.121
ikan kering/asin
68
56.7
14.4
42
65.6
14.6
13
144.4
17.5
0.663
ikan pindang
56
46.7
11.8
31
48.4
12.2
12
133.3
10.4
0.850
udang/cumi/kerang
36
30.0
9.2
18
28.1
7.4
4
44.4
6.4
0.535
produk olahan ikan
5
4.2
7.7
3
4.7
4.3
0
0.0
0.0
a
*signifikan pada level 0.1 (2-tailed) signifikan antara keluarga kecil dan besar
b
signifikan antara keluarga sedang dan besar
0.267
Tabel 13 menunjukkan semakin besar keluarga maka frekuensi konsumsi
ikan kering/asin cenderung meningkat, hal sebaliknya terjadi pada kelompok ikan
yang lain. Namun uji post-hoc menunjukkan terdapat pebedaan yang signifikan
(p<0.1) hanya pada frekuensi konsumsi ikan darat segar berdasarkan besar
keluarga, dimana terdapat perbedaan antara keluarga kecil dan keluarga besar
juga antara keluarga sedang dan keluarga besar. Frekuensi konsumsi terbesar
pada keluarga sedang (10.8 kali/bln) diikuti keluarga kecil (10.6 kali/bln) dan
paling rendah adalah keluarga besar (5.2 kali/bln) walaupun jumlah contoh yang
mengonsumsi lebih banyak pada keluarga besar dibandingkan keluarga kecil dan
keluarga sedang. Frekuensi konsumsi yang lebih besar di keluarga sedang dan
kecil daripada keluarga besar diduga karena persepsi tentang harga ikan darat
yang relatif mahal sehingga frekuensi
terhadap jenis ikan tersebut menurun
pada contoh yang termasuk dalam keluarga besar. Sumarwan (2002),
menyatakan jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi jumlah dan konsumsi
terhadap suatu barang. Keluarga yang mempunyai anggota lebih banyak akan
membeli bahan pangan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan anggota
keluarganya. Oleh sebab itu dibutuhkan ikan yang harganya murah untuk
memenuhi kebutuhan semua anggota keluarga.
30
Kondisi ini dapat dibandingkan dengan jumlah contoh maupun frekuensi
konsumsi ikan kering/asin walaupun tidak signifikan yang meningkat dengan
peningkatan besar keluarga. Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh lebih
sering mengonsumsi ikan kering/asin yang relatif murah harganya untuk
memenuhi kebutuhan lauk anggota keluarganya yang lebih banyak. Ikan
kering/asin harganya relatif murah jika dibandingkan dengan kelompok ikan yang
lain (Sediaoetama 1999, Waysima 2011). Oleh karena itu selain besar keluarga
maka faktor lain yang diduga mempengaruhi frekuensi konsumsi ikan adalah
harga.
Konsumsi Ikan Contoh
Berdasarkan data recall (2x24 jam) didapatkan rata-rata jumlah konsumsi
berbagai kelompok ikan sehari. Konsumsi ikan darat segar relatif sama antar
tingkat sosial ekonomi tetapi terendah pada kuintil-3 yaitu 41.4±20.7 g. Tabel 14
menunjukkan rata-rata jumlah konsumsi kelompok ikan laut segar cenderung
meningkat dengan peningkatan ekonomi, dimana konsumsi tertinggi pada kuintil4 sebesar 34.4±19.0 g. Hal tersebut wajar karena dengan kemampuan ekonomi
yang tinggi maka contoh pada kuintil-4 tentunya dapat membeli ikan laut segar
yang harganya relatif mahal lebih banyak dibandingkan kuintil-3 dan kuintil-2.
Adapun jumlah konsumsi ikan kering/asin menurun seiring peningkatan tingkat
sosial ekonomi. Kondisi tersebut diduga dengan peningkatan tingkat sosial
ekonomi maka contoh lebih memilih jenis ikan atau jenis pangan hewani lain dan
ikan kering/asin dianggap barang inferior.
Tabel 14 Rata-rata jumlah konsumsi berbagai kelompok ikan berdasarkan tingkat
sosial ekonomi
Kelompok Ikan
Kuitil-2
n
Kuintil-3
Kuintil-4
Jumlah (g)
n
Jumlah (g)
n
Jumlah (g)
p
Ikan darat segar
Ikan laut segar
6
4
46.0 ± 15.5
22.4 ± 6.3
14
10
41.4 ± 20.7
28.2± 9.1
10
10
46.4 ± 44.4
34.4 ± 19.0
0.905
0.329
Ikan kering/asin
25
18.0 ± 13.1
26
17.2± 16.8
18
14.3 ± 17.9
0.741
Ikan pindang
Udang/cumi/
kerang
Produk olahan
ikan
26
22.7 ± 12.2
12
25.6± 14.3
18
19.2 ±
9.9
0.355
4
10.4 ±
7.8
7
11.3 ±
4.6
1
4 .0 ±
0
0.530
2
26.2 ± 22.3
0
0
0
0
0
0
-
Hal yang berbeda terjadi pada jumlah konsumsi ikan pindang dan
udang/cumi/kerang yang meningkat dari kuintil-2 ke kuintil-3 namun kemudian
menurun di kuintil-4. Produk olahan ikan hanya dikonsumsi oleh contoh di kuintil-
31
2 dengan rata-rata konsumsi sebesar 26.2±22.3 g. Berdasarkan uji oneway
anova tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1) konsumsi berbagai
kelompok ikan berdasarkan tingkat sosial ekonomi. Hal tersebut diduga karena
rata-rata konsumsi masing-masing kelompok ikan berada pada selang yang tidak
terlalu jauh. Berikut ditampilkan konsumsi ikan secara keseluruhan pada Gambar
2.
33.2±22.1
30.8±34.0
30.5±25.2
27.8±18.5
Gambar 2 Rata-rata konsumsi ikan berdasarkan tingkat sosial ekonomi
Gambar 2 menunjukkan rata-rata konsumsi ikan contoh meningkat dari
kuintil-2 ke kuintil-3 namun kemudian menurun pada kuintil-4. Konsumsi ikan
paling tinggi pada kuintil-3 yaitu sebesar 33.2±22.1 g. Secara total rata-rata
konsumsi ikan contoh sebesar 30.5±25.2 g. konsumsi ikan contoh masih jauh di
bawah rata-rata konsumsi nasional. Rata-rata konsumsi ikan penduduk
Indonesia tahun 2010 sebesar 30.48 kg ikan per kapita tahun (KKP 2011) atau
83.5 g ikan per kapita per hari. Waysima (2011) menyatakan bahwa rata-rata
konsumsi ikan di daerah pedalaman yang jauh dari pantai memang lebih rendah
daripada di daerah pantai. Konsumsi ikan yang rendah dari contoh dimungkinkan
karena daerah penelitian atau Kota Bogor memang jauh dari pantai.
Asupan Energi dan Zat Gizi dari Ikan
Dari 193 contohyang biasa mengonsumsi ikan hanya 151 contoh (78.2%)
yang mengonsumsi ikan pada saat recall (2x24 jam). Karena itu untuk
menganalisis asupan energi dan zat gizi maupun kontribusi energi dan zat gizi
ikan digunakan 151 contoh. Untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan juga janin
yang dikandung maka ibu hamil membutuhkan asupan energi dan zat gizi yang
diperoleh dari makanan dan juga minuman.
32
Total Asupan Energi dan Zat Gizi
Sebelum mengetahui asupan energi dan zat gizi dari ikan dilihat pula
asupan total ibu hamil. Varney et al. (2004) menyatakan bahwa ibu hamil
membutuhkan energi dan zat gizi khusus seperti zat besi dan asam folat. Tabel
15 menunjukkan kecuali vitamin A dan asam folat, rata-rata asupan energi dan
zat gizi meningkat dengan peningkatan sosial ekonomi. Asupan vitamin A paling
tinggi di kuintil-3 sedangkan asam folat di kuintil-4. Rata-rata asupan energi
(1654 kkal), protein (54.4 g) asam folat (211.0 µg) dan zat besi (23.7 mg) contoh
masih di bawah anjuran AKG 2004. Dalam hal asupan kalsium hanya pada
contoh yang berada di kuintil-4 yang memenuhi anjuran AKG 2004, sedangkan
hanya mineral seng yang memenuhi angka kecukupan di semua kelompok sosial
ekonomi. Uji oneway anova menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.1)
asupan energi. protein, lemak dan kalsium diantara tingkat sosial ekonomi.
Tabel 15 Rata-rata total asupan energi dan zat gizi ibu hamil berdasarkan tingkat
sosial ekonomi
Energi dan zat
gizi
Energi (kkal) *
Protein (g) *
Lemak (g)
a
a
*a
Kalsium (mg)
*a,b
Tingkat Sosial Ekonomi
Kuintil-2
Kuintil-3
Kuintil-4
Total
p
1530 ±
643
1644 ± 584
1811 ± 600
1654 ±
618
0.075
48.6 ±
23.2
54.3 ± 23.0
61.3 ± 25.1
54.4 ±
24.1
0.030
46 ±
25.3
52.6 ± 26.9
60.4 ± 29.2
52.6 ±
27.5
0.032
642.6 25.404.5
±
715.8 ± 397.7 957.8 ± 436.7 763.4 ± 430.6
0.001
Fe (mg)
19.7 ±
16.3
24.9 ± 40.6
27 ± 48.3
23.7 ±
36.8
0.589
Vit. A (RE)
462 ±
433
692 ± 835
634 ± 415
592 ±
600
0.122
205.6 ± 127.3 197.3 ± 100.2 232.5 ± 91.2 211.0 ± 108.6
0.254
Seng(mg)
12.3 ±
7.8 12.1 ± 8.4
14.1 ± 8.1 12.8 ±
8.1
a
*signifikan pada level 0,1 (2-tailed) signifikan antara kuintil-2 dan kuintil-4
b
signifikan antara kuintil-3 dan kuintil-4
0.425
Asam Folat (µg)
Uji pos-hoc menunjukkan terdapat perbedaan asupan energi, protein,
dan lemak yang signifikan (p<0.1) antara kuintil-2 dan kuintil-4, dimana asupan
energi, protein dan lemak paling tinggi di kuintil-4. Adapun uji post-hoc pada
asupan kalsium menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.1) antara kuintil-2
dan kuintil-4 serta kuintil-3 dan kuintil-4, dimana asupan tertinggi pada contoh di
kuintil-4. Demikian pula asupan Fe, asam folat dan seng yang paling tinggi juga
pada contoh kuintil-4, namun secara statistik tidak signifikan. Tingkat pendidikan
dan tingkat sosial ekonomi dapat dikaitkan dengan asupan energi dan zat gizi.
Tingkat sosial ekonomi yang tinggi akan menyebabkan akses terhadap
pendidikan yang tinggi pula. Hardinsyah (2007) menyatakan pendidikan formal
umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai
33
aspek pengetahuan termasuk gizi. Hal tersebut menyebabkan akses terhadap
pengetahuan akan kandungan zat gizi suatu pangan akan semakin baik pula.
Sumarwan
(2002)
mendapatkan
menyatakan
pekerjaan
yang
dengan
baik
pendidikan
yang
yang
selanjutnya
tinggi
akan
mempengaruhi
pendapatannya. Pendapatan akan menentukan tingkat sosial ekonomi yang
kemudian menyebabkan kemampuan untuk membeli suatu barang akan berbeda
di tiap tingkat sosial ekonomi. Dengan demikian contoh yang berada di kuintil-4
asupan energi, protein, lemak dan kalsium lebih tinggi daripada contoh di kuintil-3
dan kuintil-2. Dengan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi maka alternatif
untuk membeli bahan pangan yang kaya kandungan gizi akan lebih besar.
Asupan Energi dan Zat Gizi Ikan berdasarkan Tingkat Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang diduga dapat
mempengaruhi asupan energi dan zat gizi. Rata-rata asupan energi, protein,
lemak, kalsium, zat besi, vitamin A, asam folat dan seng yang berasal dari ikan
berturut-turut 57 kkal, 7.2 g, 2.7 g, 87.8 mg, 1.0 mg, 17 RE, 4.0 µg dan 0.5 mg.
Asupan protein ikan masih di bawah anjuran WNPG 2004 yaitu sebesar 9 g
protein. Asupan energi dan zat gizi yang berasal dari ikan berdasarkan tingkat
sosial ekonomi ditampilkan pada Tabel 16.
Tabel 16 Rata-rata asupan energi dan zat gizi dari ikan berdasarkan tingkat
sosial ekonomi
Energi dan zat
gizi
Tingkat Sosial Ekonomi
Kuintil-2
Kuintil-3
Total
Kuintil-4
p
Energi (kkal)
56 ±
49
60 ±
42
55 ±
82
57 ±
59
0.906
Protein (g)
6.9 ±
5.3
7.9 ±
5.9
6.7 ±
8.7
7.2 ±
6.6
0.633
Lemak (g)
2.6 ±
3.8
2.8 ±
2.6
2.8 ±
5.4
2.7 ±
4.0
0.961
87.8 ± 122.8
0.595
Kalsium (mg)
101.3 ± 115.7
82 ± 86.8
78.2 ± 160.6
Fe (mg)
0.8 ±
0.9
1.0 ±
1.0
1.0 ±
1.9
1.0 ±
1.3
0.739
Vit. A (RE)
18 ±
43
16 ±
26
15 ±
44
17 ±
39
0.946
Asam Folat (µg)
4.0 ±
3.2
4.3 ±
3.8
3.5 ±
4.0
4.0 ±
3.6
0.572
Seng (mg)
0.5 ±
0.4
0.5 ±
0.4
0.5 ±
0.6
0.5 ±
0.5
0.889
Asupan energi dan zat gizi yang berasal dari ikan sekilas terlihat ada
perbedaan di setiap kelompok sosial ekonomi tetapi berdasarkan uji oneway
anova menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0.1). Namun
patut diperhatikan asupan kalsium dan vitamin A yang menurun seiring
peningkatan sosial ekonomi, dimana asupan tertinggi kalsium sebesar 101.1 mg
dan vitamin A sebesar 18 RE terdapat pada contoh di kuintil-2.
34
Hal tersebut diperkirakan karena jenis, jumlah dan frekuensi konsumsi
ikan yang berbeda di setiap kelompok sosial ekonomi.
Konsumsi ikan
kering/asin lebih banyak di kuintil-2 daripada kuintil-4 dan frekuensinya lebih
sering di kuintil-2 daripada kuintil-3 dan kuintil-4 sehingga asupan kalsiumnya
lebih tinggi di kuintil-2 daripada kuintil-3 dan dan kuintil-4. Jenis ikan kering/asin
yang paling banyak dikonsumsi adalah ikan teri (Lampiran 1). Sediaoetama
(1999) menyatakan, ikan kecil seperti ikan teri dapat dimakan seluruh bagian
tubuhnya termasuk tulangnya yang merupakan sumber kalsium. Hal lainnya
adalah karena contoh di kuintil-4 dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi akan
lebih banyak alternatif pilihan selain ikan kering/asin dan hanya menjadikan ikan
asin sebagai variasi dalam menu makannya. Tingkat sosial ekonomi yang tinggi
umumnya juga akan menimbulkan gengsi untuk mengonsumsi ikan kering/asin
karena ikan kering/asin dianggap barang inferior.
Asupan vitamin A dan asam folat ikan yang menurun dengan peningkatan
sosial
ekonomi
diperkirakan
karena
contoh
di
kuintil-4
lebih
memilih
mengonsumsi sumber vitamin A dan asam folat dari selain ikan daripada contoh
di kuintil-2. Nix (2005), menyebutkan bahwa hati dan kuning telur merupakan
sumber vitamin A sedangkan hati ayam dan hati sapi merupakan sumber asam
folat. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi maka akan semakin banyak alternatif
pilihan pangan yang akan dibeli. Hal tersebut memungkinkan contoh di tingkat
sosial ekonomi tinggi akan lebih mempertimbangkan pangan selain ikan untuk
dikonsumsi. Widyawati (2001) menyatakan semakin tinggi pendapatan maka
persentase pengeluaran untuk pangan dan hasil perikanan akan semakin kecil,
karena
dengan
pendapatan
tinggi
maka
akan
lebih
mengalokasikan
pengeluarannya sesuai gaya hidupnya seperti pakaian, transportasi dan alat
elektronik, olahraga dan lain sebagainya.
Asupan Energi dan Zat Gizi Ikan berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan formal akan menyebabkan akses terhadap pengetahuan
semakin besar, termasuk pengetahuan pangan dan gizi. Pengetahuan pangan
dan gizi tersebut akhirnya akan berpengaruh terhadap konsumsi pangannya.
(Hardinsyah 2007). Berikut ditampilkan asupan energi dan zat gizi ikan
berdasarkan tingkat pendidikan pada Tabel 17.
35
Tabel 17 Rata-rata asupan energi dan zat gizi dari ikan berdasarkan tingkat
pendidikan
Tingkat Pendidikan
Energi dan zat
gizi
SD
SMP
SMA
p
PT
Energi (kkal)
58 ±
66
58 ±
55
59 ±
61
42 ±
26
0.861
Protein (g)
7.7 ±
8.2
7.2 ±
5.9
7.1 ±
6.2
5.6 ±
2.8
0.827
Lemak (g)
2.6 ±
3.9
2.9 ±
4.0
3.0 ±
4.7
1.8 ±
1.8
0.846
31.1 ± 54.8
0.131
Kalsium (mg)
110.7 ± 107.1
97.2 ± 156.4
66.6 ± 103.4
Fe (mg)
0.7 ±
0.7
1.0 ±
1.0
1.2 ±
2.0
1.1 ±
1.1
0.400
Vit. A (RE)
10 ±
32
19 ±
38
20 ±
47
19 ±
30
0.599
Asam Folat (µg)
4.2 ±
3.4
4.0 ±
3.8
3.9 ±
4.1
2.7 ±
1.7
0.680
Seng (mg)
0.6 ±
0.4
0.6 ±
0.6
0.5 ±
0.4
0.4 ±
0.4
0.484
Asupan protein menurun dengan peningkatan tingkat pendidikan
demikian pula asupan kalsium dari ikan semakin menurun dengan peningkatan
pendidikan. Asupan protein yang semakin menurun dengan peningkatan
pendidikan dimungkinkan karena ada pangan lain selain ikan yang dijadikan
sumber protein. Dalam hal kalsium, diduga karena jumlah contoh yang
mengonsumsi, dan frekuensi konsumsi kelompok ikan kering/asin yang tinggi
akan kandungan kalsium semakin menurun dengan peningkatan pendidikan.
Hardinsyah (2007) menyatakan, semakin tinggi pendidikan formal seseorang
maka akses terhadap informasi dan paparan media massa semakin besar
termasuk informasi tentang pengetahuan gizi. Dengan demikian konsumsi akan
suatu
bahan
pangan
juga
akan
berbeda
tergantung
kepada
tingkat
pendidikannya. Kecuali vitamin A asupan energi dan zat gizi ikan pada contoh
dengan tingkat pendidikan PT lebih rendah daripada SD karena dengan tingginya
pendidikan maka akan menyebabkan pengetahuan akan pangan lain semakin
banyak, sehingga akan ada asupan energi dan zat gizi dari pangan lain yang
dipertimbangkan.
Uji oneway anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
(p>0.1) asupan energi dan zat gizi ikan berdasarkan tingkat pendidikan. Hal
tersebut diduga dikarenakan rata-rata asupan energi dan zat gizi ikan di tiap
kelompok pendidikan berada pada kisaran yang tidak terlalu jauh. Hal lain yang
diduga menyebabkan asupan energi dan zat gizi ikan yang tidak signifikan
adalah karena faktor kesukaan terhadap ikan dan pengaruh lokasi yang tidak
diteliti dalam penelitian ini.
36
Asupan Energi dan Zat Gizi Ikan berdasarkan Besar Keluarga
Perbedaan besar keluarga akan menyebabkan ditribusi pangan dalam
keluarga juga berbeda. Secara sepintas semakin besar jumlah anggota keluarga
maka akan semakin kecil asupan protein dan kalsium ikan begitupun energi dan
zat gizi ikan yang lain. Berikut ditampilkan asupan energi dan zat gizi ikan
berdasarkan besar keluarga, disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Rata-rata asupan energi dan zat gizi dari ikan berdasarkan besar
keluarga
Energi dan zat
gizi
Besar Keluarga
Kecil
Sedang
p
Besar
Energi (kkal)
63 ±
66
53 ±
49
27 ±
17
0.227
Protein (g)
7.6 ±
7.4
7.0 ±
5.6
4.2 ±
2.6
0.403
3.2 ±
3.2
2.3 ±
3.4
0.9 ±
1.2
0.216
26.3 ± 37.5
0.386
Lemak (g)
Kalsium (mg)
88.5 ± 128.6
94.3 ± 119.6
Fe (mg)
1.0 ±
1.2
0.9 ±
1.6
0.8 ±
0.8
0.696
Vit. A (RE)
18 ±
34
14 ±
46
14 ±
22
0.811
Asam Folat (µg)
4.1 ±
3.9
4.0 ±
3.5
2.5 ±
1.6
0.573
Seng (mg)
0.5 ±
0.5
0.6 ±
0.5
0.2 ±
0.1
0.211
Horton (1985) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan, dengan
pengurangan satu anggota keluarga maka akan meningkatkan konsumsi kalori
sebesar 240-400 kkal per kapita, tergantung pada umur dan jenis kelamin
anggota keluarganya. Hal tersebut bisa dikatakan dengan semakin besar jumlah
anggota keluarga maka konsumsi terhadap suatu pangan per kapita akan
menurun karena distribusi pangan untuk anggota keluarga yang banyak. Hal
tersebut tentu akan menurunkan asupan energi dan zat gizi per kapita. Namun uji
oneway anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1)
asupan energi dan zat gizi berdasarkan besar keluarga. Perbedaan yang tidak
signifikan tersebut diduga lebih dikarenakan besarnya pendapatan dan daya beli
terhadap ikan.
Kontribusi Asupan Energi dan Zat Gizi dari Pangan Ikan
Kontribusi Asupan Energi dan Zat Gizi Ikan terhadap Total Asupan
Konsumsi salah satu jenis pangan tentunya akan menyumbangkan
asupan energi dan zat gizi terhadap total asupan. Selain ada makanan pokok
yang dikonsumsi contoh ada makanan lain yang menjadi pelengkapnya. Ikan
merupakan salah satu jenis makanan yang dijadikan lauk untuk melengkapi
makanan pokok. Secara total kontribusi asupan energi, protein, lemak, kalsium,
zat besi, vitamin A, asam folat dan seng dari ikan terhadap total asupan berturut-
37
turut 3.6%, 13.7%, 5.4%, 13.6%, 5.5%, 6.0%, 2.3% dan 5.4%. Terdapat
kecenderungan dengan meningkatnya sosial ekonomi maka kontribusi asupan
energi dan zat gizi ikan terhadap total asupan semakin menurun. Kontribusi
asupan energi dan zat gizi terhadap asupan sehari disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Kontribusi asupan energi dan zat gizi dari ikan tehadap total asupan
berdasarkan tingkat sosial ekonomi
Kontribusi energi dan zat gizi ikan (%)
Energi dan
zat gizi
Kuintil-2
(n=54)
3.8 ± 3.0
Energi
a,b
Protein *
Lemak
a
Kalsium *
Fe (mg)
Kuintil-3
(n=51)
3.8 ± 2.5
Kuintil-4
(n=46)
3.1 ± 4.2
Total (n=151)
p
3.6 ± 3.3
0.430
14.7 ±
9.5
15.3 ± 10.1
10.6 ±
9.2
13.7 ± 9.8
0.033
5.9 ±
7.7
5.9 ± 5.4
4.4 ±
7.6
5.4 ± 7.0
0.493
18.5 ± 20.2
14.1 ± 15.7
7.3 ± 11.7
13.6 ± 17.0
0.004
6.6
6.0 ± 5.8
4.9 ±
7.9
5.5 ± 6.7
0.729
10.8 ± 24.9
5.6 ±
4.5 ± 10.1
1.9 ±
4.6
6.0 ± 16.6
0.019
2.6 ± 2.5
1.6 ±
1.9
2.3 ± 2.3
0.072
Seng
5.9 ± 5.5
5.7 ± 4.7
4.5 ± 5.3
5.4 ± 5.2
a
*signifikan pada level 0,1 (2-tailed) signifikan antara Kuintil-2 dan Kuintil-4
b
signifikan antara Kuintil-3 dan Kuintil-4
0.369
a
Vit.A *
b
Asam Folat *
2.5 ±
2.2
Medical and nutrition experts from Mayo Clinic, University of California
Los Angeles, and Dole Food Company (2002), menyatakan bahwa ikan laut
merupakan sumber protein kualitas tinggi dengan kandungan kalori yang rendah.
Oleh karena itu wajar jika kontribusi energi ikan terhadap total asupan energi
hanya di bawah 4% dan untuk kontribusi protein di atas 10%. Kontribusi zat gizi
ikan terhadap total asupan terbesar adalah protein sebesar 13.7% kemudian
kalsium sebesar 13.6% dan terendah adalah asam folat sebesar 2.3%.
Berdasarkan uji oneway anova terdapat perbedaan yang signifikan
(p<0.1) kontribusi protein, kalsium, vitamin A dan asam folat terhadap total
asupan berdasarkan tingkat sosial ekonomi. Uji lanjut post-hoc menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan (p<0.1) kontribusi protein ikan antara kuintil-2
dengan kuintil-4 dan antara kuintil-3 dengan kuintil-4, dimana yang paling tinggi
sebesar 15.3% di kuintil-3. Hal tersebut karena konsumsi sumber protein selain
ikan di kuintil-4 lebih besar dari kuintil-3 dan kuintil-2 sementara itu asupan
protein ikan di kuintil-4 hanya sebesar 6.7 g lebih kecil daripada kuintil-3 sebesar
7.9 g dan kuintil-2 6.9 g (Tabel 16) sehingga menyebabkan kontribusi protein
ikan terhadap total asupan di kuintil-4 menjadi lebih kecil.
Uji post-hoc menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.1)
kontribusi kalsium ikan terhadap total asupan antara kuintil-2 dengan kuintil-4,
dimana kontribusi terbesar pada kuintil-2. Konsumsi ikan kering/asin lebih banyak
38
di kuintil-2 daripada kuintil-3 maupun kuintil-4 dan frekuensinya lebih besar di
kuintil-2 daripada kuintil-3 maupun kuintil-4 sehingga asupan kalsium juga tinggi
sehingga menyebabkan kontribusi kalsiumnya lebih tinggi di kuintil-2 daripada
kuintil-3 dan dan kuintil-4. Hal tersebut bisa terjadi karena ikan kering/asin seperti
ikan teri dapat dimakan seluruh bagian tubuhnya termasuk tulangnnya yang
merupakan sumber dari kalsium (Sediaoetama 1999). Hal lainnya yang
menjadikan kontribusi kalsium ikan terhadap asupan sehari menjadi kecil di
kuintil-4 adalah adanya sumber kalsium lain yaitu susu yang dikonsumsi. Nix
(2005) menyatakan, susu dan produk olahannya merupakan sumber penting
kalsium. Hasil penelitian Rizal (2012) dengan menggunakan data yang sama
menunjukkan susu paling banyak dikonsumsi oleh contoh di kuintil-4 dan paling
sedikit dikonsumsi oleh contoh di kuintil-2.
Dalam hal kontribusi vitamin A dan asam folat terhadap asupan sehari
berdasarkan uji post-hoc, terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.1) kontribusi
asupan vitamin A ikan antara kuintil-2 dan kuintil-4, dimana kontribusi paling
tinggi pada kuintil-2 sebesar 10.8% dan kontribusi asupan asam folat ikan antara
kuintil-3 dan kuintil-4, dimana kontribusi tertinggi pada kuintil-3 sebesar 2.6%. Hal
tersebut diduga karena terdapat konsumsi sumber vitamin A dan asam folat lain
yang lebih tinggi seiring dengan peningkatan sosial ekonomi sehingga kontribusi
vitamin A dan asam folat ikan menjadi semakin rendah. Menurut Nix (2005)
vitamin A juga terdapat secara alami dalam lemak susu. Seperti diuraikan
sebelumnya, Rizal (2012) menunjukkan susu paling banyak dikonsumsi oleh
contoh di kuintil-4 dan paling sedikit dikonsumsi oleh contoh di kuintil-2.
Sebagaimana diketahui bahwa saat ini banyak produk susu yang diperkaya
dengan vitamin A dan asam folat untuk ibu hamil yang umumnya bisa diakses
oleh contoh dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, akibatnya kontribusi
vitamin A dan asam folat dari ikan menjadi rendah pada contoh dengan tingkat
sosial ekonomi yang tinggi.
Kontribusi Asupan Energi dan Zat Gizi Ikan terhadap AKG
Selain kontribusi asupan energi dan zat gizi ikan terhadap total asupan
maka juga dilihat kontribusi asupan energi dan zat gizi ikan terhadap angka
kecukupan gizi (AKG). Kontribusi asupan energi, protein, kalsium, zat besi,
vitamin A, asam folat dan sengterhadap AKG secara total berturut-turut 2.6%,
10.7%, 9.2%, 3.6%, 2.1%, 0.7% dan 4.7%.
39
Kontribusi rata-rata asupan energi ikan contoh terhadap angka
kecukupan gizi di bawah 3% dan protein di atas 10%. Hal ini bisa dijelaskan,
karena ikan bukan merupakan sumber utama energi bagi sebagian besar
penduduk Indonesia; penduduk Indonesia umumnya mengonsumsi beras
sebagai sumber energi. Choo & Williams (2003)
dalam Waysima (2011)
menyebutkan bahwa ikan merupakan salah satu sumber protein, lemak, kalsium,
fosfor, besi dan seng. Dengan demikian kontribusi protein ikan di atas 10%.
Berikut disajikan kontribusi asupan energi dan zat gizi terhadap AKG
berdasarkan sosial ekonomi pada Tabel 20.
Tabel 20 Kontribusi asupan energi dan zat gizi dari ikan tehadap AKG
berdasarkan tingkat sosial ekonomi
Energi dan
zat gizi
Energi
Kontribusi energi dan zat gizi ikan (%)
Kuintil-2
(n=54)
2.6 ± 2.2
Kuintil-3
(n=51)
2.8 ± 2.0
Kuintil-4
(n=46)
2.5 ± 3.7
Total (n=151)
p
2.6 ± 2.7
0.889
Protein
10.3 ±
7.9
11.8 ± 8.7
10.0 ± 12.9
10.7 ± 9.9
0.631
Kalsium
10.7 ± 12.2
8.6 ± 9.1
8.2 ± 16.9
9.2 ± 12.9
0.594
Fe (mg)
3.2 ±
3.6
3.9 ± 3.9
3.8 ±
7.3
3.6 ± 5.1
0.749
Vit.A
2.2 ±
5.4
2.0 ± 3.2
1.9 ±
5.5
2.1 ± 4.8
0.946
Asam Folat
0.7 ±
0.5
0.7 ± 0.6
0.6 ±
0.7
0.7 ± 0.6
0.549
Seng
4.8 ±
3.9
4.7 ± 3.3
4.5 ±
5.8
4.7 ± 4.4
0.943
Seperti halnya pada kontribusi asupan energi dan zat gizi ikan terhadap
total asupan, kontribusi asupan energi dan zat gizi ikan terhadap AKG pun
cenderung menurun dengan peningkatan sosial ekonomi. Widyawati (2001)
menyatakan bahwa semakin tingginya pendapatan maka akan cenderung
membuat orang memiliki alternatif pangan lain yang lebih banyak. Ikan dianggap
barang inferior oleh kelompok berpendapatan tinggi sehingga cenderung
membeli pangan lain dibandingkan ikan. Hal tersebut membuat kontribusi energi
dan zat gizi yang berasal dari ikan terhadap AKG cenderung menurun dengan
peningkatan sosial ekonomi.
Berdasarkan uji lanjut oneway anova , tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (p>0.1) kontribusi asupan energi dan zat gizi terhadap AKG
berdasarkan tingkat sosial ekonomi. Perhitungan kecukupan setiap orang
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, aktifitas fisik,
keadaan hamil dan menyusui. Dalam penelitian ini antara kelompok umur 20-29
tahun dan 30-40 tahun kecukupan energi dan zat gizinya tidak jauh berbeda.
Kondisi tersebut yang menjadikan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
40
kontribusi asupan energi dan zat gizi ikan terhadap AKG berdasarkan tingkat
sosial ekonomi.
Download