BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dijelaskan teori yang digunakan dalam penelitian. Adapun teori-teori yang dijelaskan adalah teori tentang dukungan sosial teman sebaya, kecemasan, dan tugas perkembangan remaja. 2.1 Dukungan Sosial Teman Sebaya 2.1.1 Definisi Dukungan Sosial Beberapa pengertian mengenai dukungan sosial ini telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Di bawah ini diuraikan beberapa definisi dari dukungan sosial itu,antara lain: 1. Thoits (1986), dukungan sosial adalah suatu interaksi antara individu dengan orang lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar individu yang meliputi kebutuhan untuk dicintai, dihargai, serta adanya kebutuhan akan rasa aman sehingga memperoleh kebahagiaan. Perasaan sosial dasar yang dibutuhkan individu secara terus menerus yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain. 2. Sarafino (1994), dukungan sosial dapat diartikan sebagai kenyamanan, perhatian, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain, dimana orang lain disini bisa berarti individu secara perorangan ataupun kelompok. Ia membedakan lima jenis dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan sosial. 13 14 3. House (dalam Smet, 1994), dukungan sosial sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan potensial yang diterima dari lingkungan. Dukungan sosial tersebut mengacu pada kesenangan yang dirasakan sebagai penghargaan akan kepedulian serta pemberian bantuan dalam konteks hubungan yang akrab. 4. Shinta (1995), dukungan sosial adalah adanya pemberian informasi baik secara verbal maupun nonverbal, pemberian bantuan tingkah laku atau materi yang didapat dari hubungan sosial yang akrab atau hanya disimpulkan dari keberadaan mereka yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dicintai sehingga lebih lanjut bertujuan atau menguntungkan bagi individu yang menerima. 5. Cohen, Underwood, dan Gottlieb (1996), dukungan sosial adalah persepsi bahwa orang lain responsif dan reseptif terhadap kebutuhan seseorang dimana hal ini sangat membantu untuk mengatasi stres atau kecemasan. 6. Dalton, Elias, dan Wandersman (2001), dukungan sosial adalah suatu kumpulan proses sosial, emosional, kognitif, dan perilaku yang berlangsung dalam sebuah hubungan pribadi dimana individu memperoleh bantuan untuk melakukan penyesuaian adaptif atas masalah yang dihadapinya. 7. Robert Weiss (dalam Taylor, 2003), dukungan sosial adalah pertukaran interpersonal dimana salah seorang memberikan bantuan atau pertolongan kepada yang lain. Dukungan sosial dapat diberikan dalam beberapa cara yaitu emosional, instrumental, informasi, dan penilaian individu. 15 8. Sarason (dalam Baron & Byrne, 2005), dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep dukungan sosial adalah suatu transaksi atau interaksi interpersonal yang melibatkan satu atau lebih dari lima hal berikut yaitu kepedulian emosional, bantuan, informasi, jaringan sosial dan penilaian, serta dapat memberikan rasa nyaman secara fisik dan psikologis terhadap orang-orang yang sedang menghadapi tekanan yang diberikan individu lain baik secara perorangan maupun kelompok oleh teman-teman dan rekan keluarga. Manusia dalam peranannya sebagai makhluk sosial, selalu akan berinteraksi dengan orang lain. Semenjak dilahirkan, manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan (Soekanto, dalam Dayakisni, 2009). Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi manusia dengan orang di sekitarnya dapat berupa bantuan baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Begitu pula dengan dukungan yang diterima oleh individu. Sarafino (1990) mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasangan/kekasih, keluarga, teman, terapis, dokter, atau organisasi masyarakat. Semua individu membutuhkan dukungan sosial baik itu dukungan yang diperoleh dari orang tua, teman sebaya (peer), pasangan, guru, sahabat, anak, dan sebagainya. Social Support Network atau jaringan dukungan sosial adalah seseorang yang dapat diminta bantuan dan siapa yang akan memberikan bantuan bila diperlukan, seperti keluarga, teman, dan tetangga (Breckler, Olson, dan Wiggins, 2006). Dukungan sosial merupakan persepsi bahwa orang lain responsif dan reseptif terhadap kebutuhan seseorang (Cohen, dkk., 1996). Orang yang memiliki seseorang untuk bersandar/menaruh kepercayaan dan kesepakatan yang 16 lebih baik tentang masalah hidup akan menunjukkan peningkatan kesehatan (Helgeson & Cohen, dalam Aronson,Wilson, & Akert, 2007). Penjelasan tersebut sejalan dengan Cobb (dalam Sarafino, 1994) yang mengatakan bahwa seseorang yang mendapatkan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, diperhatikan, berharga, bernilai, dan menjadi bagian dari jaringan sosial, seperti keluarga dan komunitas organisasi yang dapat membekali kebaikan,pelayanan, dan saling mempertahankan ketika dibutuhkan. Cohen (dalam Veiel, 1992) menggambarkan tentang individu yang dikelilingi dengan lingkaran-lingkaran luar yang ada di sepanjang hidupnya. Pasangan hidup, keluarga inti, teman dekat misalnya adalah lingkaran paling dekat dengan individu sehingga dapat dikatakan orang-orang ini adalah yang paling dekat dengan individu tersebut dan paling berpotensial untuk memberikan dukungan. 2.1.2 Komponen Dukungan Sosial Menurut Pearson (dalam Sarwono, 2009), manusia adalah makhluk sosial. Artinya, sebagai makhluk sosial, seseorang tidak dapat menjalin hubungan sendiri melainkan selalu menjalin hubungan dengan orang lain serta berinteraksi dengan orang lain. Bagi kebanyakan orang, kecenderungan berafiliasi yaitu keinginan untuk berada bersama orang lain cukup kuat (Sears & Peplau, 1988). Menurut McClelland (dalam Sarwono, 2009), kebutuhan berinteraksi adalah suatu keadaan di mana seseorang berusaha untuk mempertahankan suatu hubungan, bergabung dalam kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan, menikmati aktivitas bersama keluarga atau teman, menunjukkan perilaku saling bekerja sama, saling mendukung, dan konformitas. Dukungan sosial memegang peranan penting dalam suatu hubungan. Thoits (1983) mendefinisikan dukungan sosial sebagai perasaan sosial dasar yang 17 dibutuhkan individu secara terus menerus yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain. Dari interaksi ini individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintai dirinya. Dewasa ini, para teorisi berusaha membuat klasifikasi komponen utama dari berbagai kepentingan yang diperoleh seorang dalam suatu hubungan (House, dalam Sears, 1988). Salah satunya adalah analisis mengenai enam dasar “ketentuan hubungan sosial” yang dikemukakan oleh Robert Weiss pada tahun 1974. Untuk penelitian ini akan digunakan pembagian dari Weiss (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 1997) dalam teorinya mengenai fungsi hubungan sosial (Theory of the Provisions of Social Relationship). Dalam teorinya, Weiss menyebut komponen atau dimensi dari bentuk-bentuk bantuan yang dapat diperoleh dari hubungan dengan orang lain. Weiss mengemukakan adanya 6 komponen dukungan sosial yang disebut sebagai the social provisions scale, dimana masing-masing komponen dapat berdiri sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan. Peneliti menjadikan teori Weiss menjadi teori utama karena teori ini sering dipakai dalam beberapa penelitian tentang dukungan sosial dan mencakup aspek yang luas dari dukungan sosial. Adapun 6 komponen tersebut adalah: a. Keterikatan (Attachment). Merupakan perasaan akan kedekatan emosional dan rasa aman (ketenangan) dalam diri individu. Sumber dukungan sosial ini yang paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan hidup atau kekasih yang memiliki hubungan yang harmonis. b. Integrasi Sosial (Social Integration). Merupakan dukungan yang menimbulkan perasaan dalam diri individu bahwa ia termasuk dalam suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas rekreasi. Jenis dukungan ini memungkinkan seseorang untuk memperoleh 18 perasaan memiliki. Yang sering menjadi sumber dukungan ini adalah teman. c. Penghargaan/Pengakuan (Reassurance of Worth). Merupakan pengakuan atas kompetensi, kemampuan, dan keahlian individu. Pada dukungan sosial jenis ini, seseorang akan mendapat pengakuan atas kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang lain. Dukungan ini sering diperoleh dari rekan kerja. d. Hubungan yang dapat diandalkan (Reliable Alliance). Merupakan keyakinan dalam diri individu bahwa ia dapat mengandalkan orang lain untuk membantunya dalam berbagai kondisi, meliputi kepastian atau jaminan bahwa seseorang dapat mengharapkan keluarga untuk membantu semua keadaan. Dukungan ini sering diperoleh dari anggota keluarga. e. Bimbingan (Guidance). Dukungan sosial jenis ini adalah adanya hubungan sosial yang dapat memungkinkan seseorang mendapat informasi, saran, atau nasihat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini sering diperoleh dari guru, mentor, figur orang tua atau figur yang dituakan dalam keluarga. f. Kesempatan untuk Mengasuh (Opportunity for Nurturance). Merupakan suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan yang dibutuhkan oleh orang lain. Dukungan yang menimbulkan perasaan dalam diri individu bahwa ia bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Dukungan ini sering diperoleh dari anak, cucu, dan pasangan hidup. 19 Keenam komponen dukungan di atas dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori (Cutrona & Russell, 1991). Pertama, bantuan langsung (Assistancerelated). Bantuan ini berfungsi secara langsung dalam mencapai penyelesaian masalah pada stres yang dialami individu. Contohnya yaitu dukungan bimbingan. Kedua, bantuan tidak langsung (non-assistance-related). Bantuan ini berfungsi secara tidak langsung dan berpengaruh melalui perantaraan proses kognitif, misalnya dengan meningkatkan self-efficacy individu. Contohnya adalah dukungan penghargaan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cutrona (1986), ternyata tingkah laku yang merefleksikan kebutuhan akan dukungan emosi dan dukungan informasi akan lebih sering timbul pada individu yang mengalami stres dari pada yang tidak mengalami stres. Jadi, individu yang berada dalam keadaan stres akan mencari orang lain untuk sebuah alasan yang jelas, yaitu meminta dukungan (Deaux & Wrightsman, 1988). Pada umumnya individu membutuhkan bantuan orang lain sebagai dukungan bagi dirinya ketika menghadapi masalah. Dengan adanya dukungan sosial dapat mengurangi timbulnya simtom fisik dan gejala psikologis, seperti kecemasan dan depresi (Gottlieb,1983). Adanya dukungan sosial dapat mengontrol timbulnya stres dan kecemasan (Gottlieb,1983). 2.1.3 Jenis-Jenis Dukungan Sosial Merangkum beberapa pendapat para ahli, Sarafino (1994) merumuskan bahwa ada 5 jenis dukungan sosial yang dapat diberikan oleh seorang individu, yaitu: 1. Dukungan Emosional (Emotional Support) 20 Jenis dukungan ini dilakukan dengan melibatkan ungkapan rasa empati, kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman, ketentraman hati, dan perasaan dicintai yang membuatnya merasa lebih baik. Dukungan emosional adalah ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan (Cohen,1991). Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan memberikan dampak positif, yaitu sebagai sarana pelepasan emosi dan mengurangi kecemasan, serta membuat individu merasa dihargai, diterima, dan diperhatikan. 2. Dukungan Penghargaan (Esteem Support) Dukungan ini terjadi lewat ungkapan penghargaan positif untuk individu yang bersangkutan, dorongan maju dan perbandingan positif individu dengan orang-orang lain. Orford (1992) berpendapat bahwa dukungan penghargaan dititikberatkan pada adanya suatu pengakuan, penilaian yang positif, dan penerimaan terhadap individu. Menurut Cohen (dalam Sarafino,1990), jenis dukungan ini dilakukan melalui ekspresi sambutan positif orang-orang yang berada di sekitarnya, pemberian dorongan atau pernyataan setuju terhadap ide-ide dan perasaan individu. Dukungan ini membuat seseorang merasa berharga, kompeten, dan dihargai. 3. Dukungan Instrumental (Instrumental Support) Jenis dukungan ini berupa bantuan yang sifatnya nyata dan langsung yaitu dapat berupa jasa, waktu, meminjamkan uang, dan membantu mengerjakan tugas seseorang ketika sedang stres (Cohen, dalam Sarafino,1990). Dukungan instrumental mengacu pada penyediaan barang atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah- 21 masalah praktis. Dukungan ini membantu individu untuk melaksanakan aktivitasnya. 4. Dukungan Informasi (Informational Support) Jenis dukungan ini mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran-saran, ataupun umpan balik tentang apa yang telah dikerjakan. Melalui interaksi dengan orang lain, individu akan dapat mengevaluasi dan mempertegas keyakinannya dengan membandingkan pendapat, sikap, keyakinan, dan perilaku orang lain. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis. 5. Dukungan Jaringan Sosial (Network Support) Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan aktivitas sosial. Jenis ini mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok. Dukungan jaringan sosial ini juga disebut sebagai dukungan persahabatan (Companionship Support) yang merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain, dimana memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan. Berasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cohen dan Wills (1992), dukungan jaringan sosial akan membantu individu untuk mengurangi stres yang dialami karena dapat memenuhi kebutuhan akan persahabatan dan kontak sosial dengan orang lain. 22 2.1.4 Manfaat Dukungan Sosial Menurut Baron & Byrne (2005), manusia yang berinteraksi dengan lingkungannya akan menjadi lebih baik untuk menghindari masalah dari pada individu yang terisolasi dari kontak personal. Ketika stres muncul, individu yang mendapat dukungan sosial akan lebih mudah untuk mengatasi stres yang muncul. Individu yang menerapkan pola pendekatan dalam pencarian rasa aman akan lebih mudah untuk mengatasi stres melalui pencarian dukungan sosial. Efek positif dari dukungan interpersonal adalah rasa diterima (Self of Acceptance) oleh lingkungan dapat mengurangi stres dan menumbuhkan perasaan emosi dan fisiologis yang positif. Manfaat dari adanya dukungan sosial ini sangat banyak diantaranya yaitu dikemukakan oleh House dan Kahn (1985) bahwa dukungan sosial mampu menolong individu mengurangi pengaruh yang merugikan dan dapat mempertahankan diri dari pengaruh negatif stressor. Selain itu, Sarason (1983) berpendapat bahwa orang yang memperoleh dukungan sosial akan mengalami halhal positif dalam hidupnya, memiliki harga diri, dan mempunyai pandangan yang lebih optimis. Dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi tekanan psikologis selama masa stres. Misalnya dengan membantu siswa mengatasi stres dari kehidupan kampus yaitu saat akan menghadapi ujian (Broman, dalam Taylor,2000). Sheridan dan Radmacker (1992), menyebutkan bahwa selama menjalani masamasa yang penuh tekanan, seseorang sering mengalami penderitaan emosional serta kemungkinan selanjutnya seperti menderita depresi, kesedihan, cemas, dan berkurangnya harga diri. Dengan adanya dukungan sosial, setidaknya orang tersebut dapat menyadari bahwa ada pihak-pihak atau orang-orang di sekitarnya yang siap membantunya dalam menghadapi tekanan tersebut. 23 House (dalam Russel, 1987) mengatakan bahwa dukungan sosial memang dapat dikatakan memiliki peran yang penting bagi individu-individu yang mengalami stres. Adapun keuntungan yang diperoleh dari dukungan sosial antara lain membuat stres tidak menimbulkan efek negatif pada kesehatan fisik dan psikologis seseorang sehubungan dengan fungsinya sebagai penyokong kesehatan (Health Sustaining) dan penahan stres (Stres Buffering) serta meningkatkan kesejahteraan (Well-being) seseorang. Ditinjau dari bidang klinis, dukungan sosial dapat membantu manusia dalam mencapai perkembangan yang optimal (Yettie, 2004). Sarason, Levine, Basham, dan Sarason (1983) mengemukakan bahwa dukungan sosial itu selalu mencakup dua hal penting, yaitu Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang dapat diandalkan oleh individu saat ia membutuhkan bantuan dan derajat kepuasan akan dukungan yang diterima yang berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya terpenuhi. Menurut Cohen dan Wills (1985), yang penting bagi individu adalah persepsi akan keberadaan (availability) dan ketepatan (adequacy) dukungan. Jadi bukan sekedar seseorang yang memberikan bantuan, tetapi pada persepsi penerima dukungan. 2.1.5 Dukungan Sosial Teman Sebaya Manusia dalam peranannya sebagai makhluk sosial, selalu akan berinteraksi dengan orang lain. Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan (Soekanto, dalam Dayakisni, 2009). Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi manusia dengan orang di sekitarnya dapat berupa bantuan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Begitu pula dengan dukungan yang diterima oleh individu. Menurut Baron dan Byrne (2005), dukungan sosial (Social Support) memberikan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. 24 Dalam hal ini bermanfaat ketika individu mengalami stres dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stres (Frazier, dalam Baron & Byrne, 2005). Taylor, Peplau, dan Sears (2000), menjelaskan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari pasangan, anggota keluarga, teman, dan organisasi masyarakat. Para peneliti fenomena dukungan sosial sepakat bahwa sumber utama dari dukungan sosial adalah hubungan dengan significant others (Swindle & Heller, 1983). Significant others seperti anggota keluarga, teman dekat, rekan sekerja, saudara, dan tetangga. Atwater (1983) memberikan definisi teman sebaya sebagai berikut: “………peer relationship are the relationship between adolescents of the same age, as seen in neighborhood, school, and social environments.” Menurut Atwater (1983), hubungan sebaya adalah hubungan antara remaja pada usia yang sama seperti yang terlihat di lingkungan sekolah dan lingkungan sosial. Menurut Santrock (2009), dalam konteks perkembangan anak, teman sebaya adalah anak-anak dengan usia atau tingkat kedewasaan yang kurang lebih sama. Dari kedua definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa teman sebaya adalah suatu bentuk hubungan pada remaja yang memiliki usia dan tingkat kedewasaan yang sama, baik di lingkungan sekolah ataupun lingkungan rumah. Interaksi teman sebaya yang memiliki usia yang sama memainkan peran khusus dalam perkembangan sosioemosional anak-anak. Salah satu fungsi yang paling penting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Hubungan baik dengan teman sebaya merupakan peran yang mungkin penting agar perkembangan anak menjadi normal (Howes & Tonyan, dalam Santrock, 2009). 25 Dalam rentang kehidupan manusia, masa yang rentan terhadap stres adalah masa remaja (Papalia, 2004). Dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres atau tekanan, remaja membutuhkan dukungan sosial yang didapatkan dari lingkungan sosialnya (Papalia, 2004). Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan sosial, remaja melakukan interaksi tertentu yang membuatnya selalu berhubungan dengan lingkungan sosialnya (Cobb, dalam Turner, 1999). Dalam perkembangan individu yaitu pada masa remaja, kelompok teman sebaya memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan remaja baik secara emosional maupun secara sosial. Buhrmester (dalam Papalia, 2008) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi serta independensi dari orang tua. Salah satu peran dari teman sebaya yaitu berupa pemberian dukungan sosial. Dukungan sosial dari teman sebaya yaitu dukungan yang diterima dari teman sebaya yang berupa bantuan baik secara verbal maupun non verbal. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Anak-anak sampai remaja menghabiskan semakin banyak waktu dalam interaksi teman sebaya. Pada hari sekolah, terjadi 299 episode bersama teman sebaya dalam tiap hari. Bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya (Barker & Wright, dalam Santrock,2003). Pada penelitian yang lain selama satu minggu, remaja muda lakilaki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada waktu dengan orang tuanya (Condry, Simon,& Bronffenbrenner, dalam Santrock,2003). Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan rasa saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah. Di sekolah, remaja biasanya menghabiskan waktu bersama-sama paling sedikit selama enam jam setiap harinya. 26 Sistem dukungan sering kali diperlukan untuk bertahan terhadap stres (Santrock,2003). Dalam penelitian O’Brien (1996) ditemukan bahwa teman sebaya adalah sumber utama dukungan yang menyeluruh bagi remaja. Bagi remaja, temanteman sebaya adalah kehidupannya. Hasil penelitian Becker dan Luthar (2007, dalam Yettie, 2004), menemukan bahwa remaja yang mendapatkan dukungan dari teman sebayanya dalam bentuk penghargaan, pujian, kekaguman sekaligus menjadi seseorang yang disukai oleh teman-temannya akan menunjukkan prestasi yang baik di sekolah. Atwater (1983) menjelaskan mengenai beberapa fungsi teman sebaya sebagai berikut: 1. Teman sebaya membantu individu dalam melakukan suatu transisi dari orientasi keluarga menuju orientasi teman sebaya. Dalam proses perkembangan remaja, proses ini dimulai ketika remaja berinisiatif untuk tidak terlalu bergantung pada keluarga, tetapi mulai mencari kemandirian dengan cara mendapatkan perasaan emosional secara aman melalui teman-temannya. 2. Teman sebaya memberikan keuntungan bagaimana caranya membina suatu hubungan yang baik dengan orang lain dan hal ini akan berguna di masa yang akan datang. 3. Teman sebaya berfungsi sebagai kelompok referensi dimana mereka akan berperan dalam menilai perilaku seseorang apakah baik atau buruk. 4. Teman sebaya membantu individu dalam menentukan identitas personalnya. Menurut Papalia (2001), Kelompok teman sebaya dapat pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang mempengaruhi perilakunya. Ia 27 mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Greenberg dan Baron (dalam Atwater, 1993), menambahkan bahwa memiliki sahabat pada saat-saat sulit dapat membuat individu melihat stres yang dialaminya tidak terlalu mengancam. Sahabat/teman-teman juga dapat memberikan saransaran yang bermanfaat untuk mengatasi stres. Dukungan teman sebaya pada dasarnya adalah tindakan menolong yang diperoleh melalui hubungan interpersonal dan peran teman sebaya dalam penyesuaian sosial salah satunya berupa pemberian dukungan sosial (Yettie, 2004). 2.2 Kecemasan (Anxiety) 2.2.1 Definisi Kecemasan Beberapa pengertian mengenai kecemasan ini telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Di bawah ini diuraikan beberapa definisi dari kecemasan itu, antara lain: 1. Lazarus (1969), kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan dan timbul karena menghadapi tegangan,ancaman, kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik. 2. Taylor (1995), kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa tidak aman. 28 3. Hilgard (1996), kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang terkadang dialami oleh individu dalam tingkat yang berbeda-beda. 4. Nevid (2005), kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi 5. Rollo May (dalam Feist & Feist, 2006), kecemasan merupakan kondisi subjektif individu yang semakin menyadari bahwa adanya ancaman bagi eksistensi dirinya. 6. Haber dan Runyon (dalam Suryani,2007), kecemasan adalah perasaan samar-samar yang tidak menyenangkan bahwa ada firasat sesuatu yang buruk akan terjadi. Jika seseorang mengalami perasaan gelisah, gugup, tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut mengalami kecemasan. Ia mengemukakan empat dimensi kecemasan yaitu dimensi kognitif, dimensi motorik, dimensi somatis, dan dimensi afektif. 7. Atkinson, Hilgard, dan Richard, (2008), kecemasan adalah salah satu bentuk keadaan emosi individu yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan perasaan tegang secara subjektif, keprihatinan, dan kekhawatiran dengan derajat yang berbeda-beda. Berdasarkan dari beberapa definisi mengenai kecemasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu respon terhadap keadaan atau pengalaman subjektif dari emosi yang tidak menyenangkan yang diikuti adanya 29 keterangsangan fisiologis, perasaan tegang (stressful), gelisah, khawatir, dan takut dengan tingkat / derajat yang berbeda-beda. 2.2.2 Dimensi dalam Kecemasan Menurut Haber dan Runyon (1984) bahwa jika individu mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut mengalami kecemasan, yaitu ketakutan yang tidak menyenangkan dan merupakan suatu pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi. Kecemasan merupakan kondisi emosi yang kompleks dengan efek yang luas pada perilaku. David Sue, Derald Wing Sue, dan Stanley Sue (dalam Haber dan Runyon,1984) mengemukakan 4 dimensi kecemasan yaitu: a. Dimensi Kognitif (dalam pikiran seseorang) Dimensi kognitif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam pikiran seseorang sehingga ia mengalami rasa risau dan khawatir. Kekhawatiran ini dapat terjadi mulai dari tingkat khawatir yang ringan lalu panik, cemas, dan merasa akan terjadi malapetaka, kiamat, serta kematian. Saat individu mengalami kondisi ini ia tidak dapat berkonsentrasi, mengambil keputusan, dan mengalami kesulitan untuk tidur. Yang termasuk dimensi kognitif antara lain menjadi sulit tidur di malam hari, mudah bingung, dan lupa. b. Dimensi Motorik (dalam tindakan seseorang) Dimensi motorik yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk tingkah laku seperti meremas jari, jari-jari & tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat, menggeliat, menggigit bibir, 30 menjentikkan kuku, gugup, dan mengambangkan Tics. Biasanya orang yang cemas menunjukkan pergerakan secara acak. c. Dimensi Somatis (dalam reaksi fisik/biologis) Dimensi somatis yaitu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul dalam reaksi fisik biologis seperti mulut terasa kering, kesulitan bernafas, jantung berdebar, tangan dan kaki dingin, diare, pusing seperti hendak pingsan, banyak berkeringat, tekanan darah naik, otot tegang terutama kepala,leher,bahu, dan dada, serta sulit mencerna makanan. d. Dimensi Afektif (dalam emosi seseorang) Dimensi afektif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk emosi, perasaan tegang karena luapan emosi yang berlebihan seperti dihadapkan pada suatu teror. Luapan emosi ini biasanya berupa kegelisahan atau kekhawatiran bahwa ia dekat dengan bahaya padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Yang termasuk dimensi afektif antara lain yaitu merasa tidak pasti, menjadi tidak enak, gelisah, dan menjadi gugup (nervous). Kecemasan sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level yang moderat, misalnya pertandingan sepak bola, ujian, dan wawancara untuk masuk kerja mempunyai tingkat kecemasan yang berbeda. Kecemasan normal sebenarnya adalah sesuatu yang sehat karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri. Kecemasan juga dapat bersifat konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas maka ia akan belajar dengan giat supaya kecemasannya berkurang. Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman dan efektivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang. Apabila 31 seseorang tidak siap menghadapi ancaman, maka perasaan tertekan dan tidak berdaya akan muncul. Kecemasan pada taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya performa, Hal ini disebut sebagai Facilitating Anxiety, yaitu seseorang yang cemas mendapat IP (Indeks Prestasi) buruk membuat seorang mahasiswa belajar dan mempersiapkan diri menghadapi ujian. Dalam hal ini kecemasan yang dimiliki memberikan efek positif yaitu menjadi pendorong untuk belajar dengan rajin. Sedangkan bila kecemasan sangat besar, justru akan mengganggu, dalam hal ini disebut Debilitating Anxiety (Fausiah & Widury, 2006). Pada debilitating anxiety ini terjadi dalam bentuk tidak dapat tidur, gelisah, sering pergi ke toilet pada saat menjelang dilaksanakan ujian atau ketika sedang mengerjakan ujian. (Soekadji,1988). Kecemasan remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, status kesehatan, jenis kelamin, pengalaman, sistem pendukung, dan besar kecilnya stressor (Hurlock, 2000). Bentuk kecemasan sebagai suatu respon dapat dibagi menjadi 2 bentuk. Cattell, Scheier, dan Spielberger (dalam Zulkarnaen, 2004), menggambarkan kecemasan sebagai State Anxiety dan Trait Anxiety. State Anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi dan waktu tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan ketegangan yang subjektif. State Anxiety ini berubah-ubah intensitasnya dan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Sedangkan Trait Anxiety adalah ciri atau karakteristik seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu keadaan sebagai ancaman. Dalam hal ini, kecemasan dalam menghadapi ujian nasional termasuk dalam State Anxiety (Spielberger, dkk., dalam Sena,2007). 32 2.2.3 Kecemasan Terhadap Tes (Test Anxiety) Ketika akan menghadapi ujian atau tes seseorang dapat mengalami kecemasan atau yang biasa disebut kecemasan tes (Test Anxiety). Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Libert dan Morris tahun 1967. Spielberger (1975) mengatakan bahwa kecemasan tes adalah bentuk dasar pada situasi yang lebih spesifik yaitu pada saat menghadapi suatu proses penilaian atau assessment (ujian/tes). Sejalan dengan itu, Ormrod (2006) mengemukakan bahwa kecemasan tes adalah perasaan cemas yang berlebihan mengenai sebuah tes atau penilaian secara menyeluruh. Nicaise (dalam Sena,2007) menjelaskan bahwa kecemasan tes didefinisikan sebagai respon fisiologis, kognitif, dan tingkah laku individu yang mendorong perasaan negatif dalam situasi yang dinilai. Berdasarkan dari pengertian mengenai kecemasan tes di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan tes adalah bentuk perasaan cemas yang berlebihan pada situasi yang spesifik yaitu saat menghadapi suatu proses penilaian (ujian/tes) yang ditunjukkan dalam respon fisiologis, kognitif, dan tingkah laku individu serta mendorong perasaan negatif dalam situasi yang dinilai tersebut. Kecemasan tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga dapat dialami oleh anak ataupun remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Bagi siswa, kecemasan merupakan gangguan emosi yang dapat mengganggu dan menghambat proses belajar di sekolah yang tentunya dapat mempengaruhi nilai ujian individu tersebut. Bernstein (dalam Dewi, 2008), siswa yang mengalami kecemasan berisiko mengalami Underachievement di sekolah yakni ditunjukkan dengan kurangnya motivasi berprestasi dan merasa tidak berharga. Menurut Sudrajat (2008), kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang 33 dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Kecemasan (anxiety) merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan emosi manusia. Sering kali orang yang mengalami kecemasan pada masa ujian, menjadi tidak dapat berkonsentrasi saat belajar dan pada saat ujian berlangsung. Hal ini menyebabkan keluarnya hasil ujian yang tidak maksimal. Dalam kesehariannya sebagai siswa ada banyak pekerjaan, tantangan, dan tuntutan yang harus dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan tersebut antara lain pembuatan bermacam tugas, laporan, makalah, maupun ujian yang merupakan salah satu bentuk evaluasi bagi siswa yang dilakukan secara rutin. Dalam hal ini, salah satu rangsang yang membangkitkan kecemasan adalah situasi saat ujian karena menurut Djiwandono (2001), timbulnya kecemasan yang paling besar adalah pada saat siswa menghadapi tes atau ujian. Selama bertahun-tahun, siswa memberikan reaksi cemas yang hebat terhadap tes. Senada dengan itu, Nevid, dkk. (2005) mengatakan bahwa ujian merupakan salah satu sumber kecemasan bagi seseorang. Adalah normal jika siswa kadang merasa cemas atau khawatir saat menghadapi kesulitan di sekolah, seperti saat akan mengerjakan ujian (Santrock, 2007). Terlampau cemas dan takut menjelang ujian, justru akan menganggu kejernihan pikiran dan daya ingat untuk belajar dengan efektif sehingga hal tersebut mengganggu kejernihan mental yang penting untuk dapat mengatasi ujian (Goleman, 1997). Merasa cemas kiranya menjadi hal yang umum bagi seseorang ketika menghadapi tantangan kehidupan. Namun kecemasan yang intens dengan durasi yang lama dapat menjadi penghambat dalam pencapaian prestasi (achievement) seseorang. kecemasan yang terus menerus dirasakan inilah yang dapat menjadi momok dalam proses belajar seseorang. Penelitian Klingermann (2008) membuktikan bahwa siswa dengan 34 kecemasan tes yang tinggi berhubungan dengan prestasi akademik yang rendah. Pada dasarnya kecemasan dalam tingkat rendah dan sedang berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya dapat meningkatkan motivasi belajar. Sebaliknya akan memberikan pengaruh yang buruk apabila kecemasan tersebut ada pada taraf yang tinggi (Elliot, Kratochwill, Litllefield, dan Traver, 2000). Gambaran ini diperkuat oleh pendapat Bandura (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa telah banyak riset yang menemukan bahwa banyak siswa yang sukses memiliki kecemasan pada level moderat (sedang). Kecemasan yang dirasakan siswa pada taraf sedang akan membantu siswa mencapai kesuksesan dalam menghadapi ujian nasional. Akan tetapi, beberapa siswa yang mempunyai tingkat kecemasan dan tingkat kekhawatiran tinggi secara konstan dapat secara signifikan merusak kemampuan mereka untuk berprestasi. Tobias (dalam Klausmeier, 1985) juga mengatakan bahwa kecemasan yang rendah dapat membantu usaha untuk mencapai prestasi, sedangkan tingginya kecamasan tes dapat menyebabkan rendahnya pencapaian prestasi. Hasil penelitian Freih Owayed El-Anzi (2005), menunjukkan adanya korelasi atau hubungan yang negatif antara pencapaian akademik dengan kecemasan. Tidak hanya pada saat ujian nasional atau ujian sekolah yang dicemaskan, tetapi tes atau ujian yang dilakukan sehari-hari di sekolah pun (ulangan harian) juga dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam dan persepsi tersebut akan menghasilkan perasaan tertekan bahkan panik. Keadaan tertekan dan panik ini yang akan menurunkan hasil-hasil belajar (Franken, 2002). Menurut Rost (1989), kecemasan tes berkaitan dengan situasi yang menyebabkan kecemasan, yang terjadi dalam situasi dan kondisi yang berhubungan dengan latihan, belajar, dan performa. Menurut Spielberger (dalam Cohen, dkk. 2004), orang yang memiliki 35 kecemasan tes yang tinggi memiliki karakter persepsi yang negatif pada dirinya dan juga memiliki harapan yang negatif pada ujiannya. Rendahnya motivasi, penilaian diri yang negatif, dan kesulitan konsentrasi biasa ditemukan pada siswa yang memiliki kecemasan tes (Swanson dan Howell, dalam Lufi, Okasha, & Cohen, 2004). Ormrod (2006) mengatakan bahwa penyebab beberapa dari siswa merasa cemas ketika mereka merasa dievaluasi atau dinilai sehingga dapat diketahui kelemahannya. Sarason (dalam Elliott, 2000) membuat kesimpulan tentang ciri-ciri utama ujian atau tes yang bisa menimbulkan kecemasan yaitu: a. Tes dipersepsikan sebagai sesuatu yang sulit, menantang, dan mengancam. b. Siswa memandang dirinya sendiri sebagai seorang yang tidak sanggup atau tidak mampu mengerjakan tes c. Siswa yang hanya terfokus pada bayangan-bayangan konsekuensi buruk yang tidak diinginkannya. d. Siswa mengantisipasi bahwa ia akan gagal dan kehilangan penghargaan dari orang lain. Menurut Sari dan Kuncoro (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain keadaan pribadi individu, tingkat pendidikan, pengalaman yang tidak menyenangkan dan dukungan sosial. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli dimana salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sarason dan Davidson menemukan bahwa siswa yang mempunyai kecemasan tinggi cenderung mendapat skor yang lebih rendah daripada skor siswa yang kurang cemas. Selain itu, tingkat tantangan dan keterampilan yang dirasakan dapat memberikan hasil yang berbeda (lihat Tabel 2.1) (Brophy, dalam Santrock, 2009). 36 Penghayatan paling mungkin terjadi dalam area-area yang membuat siswa merasa tertantang dan merasa bahwa mereka mempunyai keterampilan tingkat tinggi. Ketika keterampilan siswa tinggi, tetapi aktivitas memberikan sedikit tantangan, hasilnya adalah kebosanan. Ketika baik tantangan maupun keterampilan rendah, siswa merasakan malas. Dan ketika siswa menghadapi tugas yang menantang dan mereka merasa tidak yakin bahwa mereka mempunyai keterampilan yang memadai untuk menguasainya, mereka mengalami kecemasan. Tabel 2.1 Hasil dari Tingkat Tantangan dan Keterampilan yang Dirasakan Keterampilan Rendah Tinggi Rendah Malas Kebosanan Tinggi Kecemasan Penghayatan Tantangan Sumber: Santrock (2009). 2.2.4 Tingkatan Kecemasan Menurut Peplau (dalam Stuart & Laraia, 2001), ada 4 tingkat kecemasan yaitu: a. Kecemasan Ringan Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, 37 mampu untuk belajar, motivasi meningkat, dan tingkah laku sesuai situasi. b. Kecemasan Sedang Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung, ketegangan otot, bicara cepat, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif, tidak sabar, dan mudah lupa. c. Kecemasan Berat Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah pusing, sakit kepala, tidak dapat tidur (insomnia), tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, dan perasaan tidak berdaya. d. Panik Berhubungan dengan ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, mengalami halusinasi dan delusi. pucat, berteriak, menjerit, 38 2.2.5 Kecemasan dan Kinerja Akademik Woolfolk (2008, dalam Prawitasari, 2012) memaparkan beberapa laporan penelitian tentang efek kecemasan terhadap prestasi akademik. Temuan hasil-hasil penelitian tersebut secara konsisten menunjukkan adanya korelasi negatif antara prestasi akademik dengan berbagai ukuran kecemasan, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami maka prestasinya makin rendah. Kecemasan menjadi sebab kegagalan siswa di sekolah. Namun sebaliknya, performa buruk yang secara beruntun mereka capai dalam sejumlah tes atau tugas akademik meningkatkan kecemasan mereka. Dengan kata lain, antara kecemasan dan performa akademik yang buruk terjadi apa yang dinamakan sebagai “Lingkaran Setan”, yaitu terjadinya hubungan pengaruh memengaruhi secara negatif yang berujung pada keadaan yang semakin buruk (lihat gambar 2.1). Sebagai contoh, anak yang memiliki kecemasan sangat khawatir akan gagal dalam ujian, sulit baginya untuk berkonsentrasi saat belajar serta saat mengerjakan ujian. Akibatnya hasil ujian jelek. Sebaliknya, hasil ujian yang jelek, terutama yang terjadi secara beruntun, menimbulkan kecemasan akan gagal dalam ujian. Khawatir akan gagal Hasil Ujian Jelek Tidak bisa konsentrasi saat belajar/tak mampu kuasai materi Gambar 2.1 Lingkaran Setan Antara Kecemasan dan Hasil Ujian Jelek Sumber: Prawitasari (2012). 39 2.3 Remaja / Adolescence 2.3.1 Definisi Remaja Salah satu tahap perkembangan dalam kehidupan manusia adalah masa remaja, yaitu masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari masa kanakkanak ke masa dewasa, dan ditandai dengan kematangan biologis, seksual, perkembangan kejiwaan, dan sosial ekonomisnya yang menjadi relatif lebih bebas. Remaja dalam arti adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh kearah kematangan (Muss dalam Hurlock, 1980). Kematangan disini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pada 1974, WHO (dalam Sarwono, 2010) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa di mana: a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Pada tahun-tahun berikutnya, definisi ini semakin berkembang kearah yang lebih konkret operasional. Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu masalah kesehatan, masalah yang terutama dirasakan mendesak mengenai kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini, WHO 40 menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Jadi, remaja adalah suatu masa transisi dari masa anak ke dewasa, yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif, dan sosial (Latifah dalam Sarwono, 2010). Sehubungan dengan uraian di atas, maka di kalangan pakar psikologi perkembangan (termasuk di Indonesia), yang banyak dianut adalah pendapat Hurlock (1990) yang membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Senada dengan hal itu, Petro Blos (dalam Sarwono, 2010) penganut aliran psikoanalisis berpendapat bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi stres dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. 2.3.2 Tugas Perkembangan Remaja Di awal 1970-an, Robert Havighurst (1972, dalam Sarwono, 2010), mengemukakan suatu teori yang dinamakan teori tugas perkembangan (Developmental Task). Dalam teori ini dikatakan bahwa setiap individu, pada setiap tahapan usia mempunyai tujuan untuk mencapai suatu kepandaian, keterampilan, pengetahuan, sikap, dan fungsi tertentu, sesuai dengan kebutuhan pribadi yang timbul dari dalam dirinya sendiri (faktor nativisme) dan tuntutan yang datang dari masyarakat di sekitarnya (faktor empirisme). Menurut Havighurst (dalam Sarwono, 2010), tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu 41 pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu. Menurut Robert Havighurst (dalam Sarwono,2010), tugas perkembangan pada remaja adalah: a. Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif. b. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang manapun. c. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan). d. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya. e. Mempersiapkan karir ekonomi f. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga g. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab h. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya. Menurut Havighurst selanjutnya, tercapai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan di atas ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kematangan fisik, desakan dari masyarakat, dan motivasi dari individu yang bersangkutan (Jensen dalam Sarwono,2010). Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah sekolah dan belajar, khususnya bagi mereka yang akan menghadapi ujian nasional. Tugas dan tanggung jawab ini harus mereka lalui sebagai bagian dari masa remaja. Di dalam kesehariannya, ada banyak pekerjaan, tantangan, dan tuntutan yang harus dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan tersebut antara lain pembuatan bermacam tugas, laporan, makalah maupun ujian yang merupakan salah satu bentuk evaluasi bagi siswa yang dilakukan secara rutin. Berbagai hal dan situasi juga dapat mempengaruhi keberhasilan siswa atau justru menghambatnya. 42 2.3.3 Remaja di Sekolah Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah bersekolah, lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah sekolahnya. Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP atau SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja cukup besar. Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di samping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya (Sarwono,2010). Pengaruh lingkungan pada tahapnya yang pertama diawali dengan pergaulan dengan teman. Pada usia 9-15 tahun hubungan perkawanan merupakan hubungan yang akrab yang diikat oleh minat yang sama, kepentingan bersama, dan saling membagi perasaan, saling tolong menolong untuk memecahkan masalah bersama. Pada usia ini mereka bisa juga mendengar pendapat pihak ketiga. Pada usia yang agak lebih tinggi, 12 tahun ke atas, ikatan emosi bertambah kuat dan mereka semakin saling membutuhkan, akan tetapi mereka juga saling memberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya masing-masing (Selman & Selman dalam Sarwono, 2010). 2.3.4 Pengaruh Kelompok Sebaya pada Remaja 43 Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan temanteman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri. Jadi, pengaruh teman sebaya bisa berdampak positif atau sebaliknya yaitu berpengaruh negatif (Sarwono,2010). Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 2000) menjelaskan pengaruh kelompok sebaya pada masa remaja yaitu kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang menyiapkan panggung di mana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, disinilah ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana di mana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan disitu pulalah ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin apabila ia mampu melakukannya. Berdasarkan alasan tersebut kelihatanlah kepentingan vital masa remaja bagi remaja bahwa kelompok sebaya 44 terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat menerimanya dan yang kepadanya ia sendiri bergantung (Sarwono, 2010). Sebagian besar pada masa ini, remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Yang merupakan teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2009). Salah satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja menghabiskan semakin banyak waktu dalam interaksi teman sebaya. Pada hari sekolah, terjadi 299 episode bersama teman sebaya dalam setiap harinya. Bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya (Condry, Simon, & Bronffenbrenner, 1968). Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan, dan rasa saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah. Kelompok teman sebaya juga merupakan komunitas belajar di mana peran-peran sosial dan standar yang berkaitan dengan kerja dan prestasi dibentuk. Di sekolah, remaja biasanya menghabiskan waktu bersama-sama paling sedikit selama enam jam setiap harinya. Sekolah juga menyediakan ruang bagi banyak aktivitas remaja sepulang sekolah maupun di akhir pekan. Havinghurst (2001) menyatakan terdapat 10 tugas perkembangan yang harus dilalui remaja yang salah satunya adalah mencapai hubungan yang lebih dewasa dengan teman sebayanya. Pendapat lain dikemukakan oleh Hurlock (1996) mengatakan bahwa remaja mempunyai ciri-ciri yaitu senang berkumpul dengan teman sebaya dan remaja juga mempunyai keinginan untuk cepat mandiri. Menurut Hall dan Lindzey (1985) bersama dengan 45 teman sebaya, remaja merasakan kehadiran seseorang yang dapat mengerti serta memahami dirinya sehingga remaja dapat menaruh kepercayaan yang besar terhadap seorang teman. Menurut Rogacion (1982), remaja umumnya lebih senang membicarakan masalah-masalah atau membicarakan sesuatu bersama teman-teman sebaya mereka, bukan bersama seseorang yang menempatkan diri pada posisi untuk menasihati atau mengatur kehidupan mereka. Dalam menyelesaikan masalahnya, remaja lebih memilih teman sebaya untuk saling membantu dan memberikan dukungan (Mappiare, 1996). 2.4 Kerangka Berpikir Dalam rentang kehidupan manusia, masa yang rentan terhadap stres adalah masa remaja (Papalia, 2004). Dalam kesehariannya ada banyak pekerjaan, tantangan, dan tuntutan yang harus dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan tersebut antara lain yaitu pembuatan berbagai macam tugas, laporan, makalah maupun ujian yang merupakan salah satu bentuk evaluasi bagi siswa (Zulkarnain, 2009). Ujian Nasional adalah salah satu yang paling banyak dicemaskan oleh para siswa dan merupakan salah satu stressor yang dapat menimbulkan kecemasan (Prawitasari, 2012). Menurut Atkinson, dkk. (2008), kecemasan adalah salah satu bentuk keadaan emosi individu yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan perasaan tegang secara subjektif dengan tingkat yang berbeda-beda. Kecemasan tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga dapat dialami oleh anak ataupun remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Ketika akan menghadapi ujian atau tes, seseorang dapat mengalami kecemasan atau biasa disebut kecemasan tes. Menurut Spielberger (1975), kecemasan tes adalah bentuk perasaan cemas yang 46 berlebihan pada situasi yang spesifik yaitu saat menghadapi suatu proses penilaian (ujian/tes). Menurut Djiwandono (2001), timbulnya kecemasan yang paling besar adalah pada saat siswa menghadapi tes atau ujian. Senada dengan itu, Nevid, dkk. (2005) mengatakan bahwa ujian merupakan salah satu sumber kecemasan bagi seseorang. Menurut Woolfolk (dalam Prawitasari, 2012), ada 3 hal yang dicemasakan oleh siswa dalam menghadapi ujian yaitu khawatir akan gagal, tidak bisa konsentrasi saat belajar / tidak mampu kuasai materi, dan hasil ujian jelek. Dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres/tekanan dan situasi cemas, remaja membutuhkan dukungan sosial yang didapatkan dari lingkungan sosialnya (Papalia, 2004). Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan sosial, remaja melakukan interaksi tertentu yang membuatnya selalu berhubungan dengan lingkungan sosialnya (Cobb dalam Turner, 1999). Menurut Taylor (2003), dukungan sosial adalah pertukaran interpersonal dimana salah seorang memberikan bantuan atau pertolongan kepada yang lain. Dukungan sosial dapat diberikan dalam beberapa cara yaitu emosional, instrumental, informasi, dan penilaian individu. Menurut Cohen (dalam Veiel, 1992), pasangan hidup, keluarga inti, dan teman dekat adalah lingkaran yang paling dekat dengan individu sehingga dapat dikatakan orangorang ini adalah yang paling dekat dengan individu tersebut dan paling berpotensial untuk memberikan dukungan. Dukungan sosial memang dapat dikatakan memiliki peran yang penting bagi individu yang mengalami stres. Adapun keuntungan yang diperoleh dari dukungan sosial antara lain yaitu membuat stres tidak menimbulkan efek negatif pada kesehatan fisik dan psikologis seseorang sehubungan dengan fungsinya sebagai penyokong kesehatan, penahan stres, dan meningkatkan kesejahteraan seseorang (House dalam Russell, 1987). 47 Bagi remaja, hubungan dengan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya karena remaja menghabiskan banyak waktu dalam interaksi teman sebaya (Santrock, 2003). Dalam penelitian yang dilakukan oleh O’Brien (1996) ditemukan bahwa teman sebaya adalah sumber utama dukungan yang menyeluruh bagi remaja. Dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi tekanan psikologis selama masa stres. Misalnya dengan membantu siswa mengatasi kecemasan dari kehidupan sekolah yaitu saat akan menghadapi ujian (Broman, dalam Taylor, 2000). Berdasarkan pemikiran di atas, dapat diasumsikan bahwa terdapat pengaruh dari dukungan sosial teman sebaya terhadap kecemasan menghadapi Ujian Nasional.