13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dijelaskan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan dijelaskan teori yang digunakan dalam penelitian. Adapun
teori-teori yang dijelaskan adalah teori tentang dukungan sosial teman sebaya,
kecemasan, dan tugas perkembangan remaja.
2.1 Dukungan Sosial Teman Sebaya
2.1.1
Definisi Dukungan Sosial
Beberapa
pengertian
mengenai
dukungan
sosial
ini
telah
banyak
dikemukakan oleh para ahli. Di bawah ini diuraikan beberapa definisi dari dukungan
sosial itu,antara lain:
1. Thoits (1986), dukungan sosial adalah suatu interaksi antara individu
dengan orang lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
individu yang meliputi kebutuhan untuk dicintai, dihargai, serta adanya
kebutuhan akan rasa aman sehingga memperoleh kebahagiaan.
Perasaan sosial dasar yang dibutuhkan individu secara terus menerus
yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain.
2. Sarafino (1994), dukungan sosial dapat diartikan sebagai kenyamanan,
perhatian, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain, dimana
orang lain disini bisa berarti individu secara perorangan ataupun
kelompok. Ia membedakan lima jenis dukungan sosial yaitu dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan
informasi, dan dukungan jaringan sosial.
13
14
3. House (dalam Smet, 1994), dukungan sosial sebagai persepsi seseorang
terhadap dukungan potensial yang diterima dari lingkungan. Dukungan
sosial tersebut mengacu pada kesenangan yang dirasakan sebagai
penghargaan akan kepedulian serta pemberian bantuan dalam konteks
hubungan yang akrab.
4. Shinta (1995), dukungan sosial adalah adanya pemberian informasi baik
secara verbal maupun nonverbal, pemberian bantuan tingkah laku atau
materi yang didapat dari hubungan sosial yang akrab atau hanya
disimpulkan dari keberadaan mereka yang membuat individu merasa
diperhatikan, bernilai, dicintai sehingga lebih lanjut bertujuan atau
menguntungkan bagi individu yang menerima.
5. Cohen, Underwood, dan Gottlieb (1996), dukungan sosial adalah
persepsi bahwa orang lain responsif dan reseptif terhadap kebutuhan
seseorang dimana hal ini sangat membantu untuk mengatasi stres atau
kecemasan.
6. Dalton, Elias, dan Wandersman (2001), dukungan sosial adalah suatu
kumpulan proses sosial, emosional, kognitif, dan perilaku yang
berlangsung
dalam
sebuah
hubungan
pribadi
dimana
individu
memperoleh bantuan untuk melakukan penyesuaian adaptif atas
masalah yang dihadapinya.
7. Robert Weiss (dalam Taylor, 2003), dukungan sosial adalah pertukaran
interpersonal
dimana
salah
seorang
memberikan
bantuan
atau
pertolongan kepada yang lain. Dukungan sosial dapat diberikan dalam
beberapa cara yaitu emosional, instrumental, informasi, dan penilaian
individu.
15
8. Sarason (dalam Baron & Byrne, 2005), dukungan sosial adalah
kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain.
Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep
dukungan sosial adalah suatu transaksi atau interaksi interpersonal yang melibatkan
satu atau lebih dari lima hal berikut yaitu kepedulian emosional, bantuan, informasi,
jaringan sosial dan penilaian, serta dapat memberikan rasa nyaman secara fisik dan
psikologis terhadap orang-orang yang sedang menghadapi tekanan yang diberikan
individu lain baik secara perorangan maupun kelompok oleh teman-teman dan rekan
keluarga.
Manusia dalam peranannya sebagai makhluk sosial, selalu akan berinteraksi
dengan orang lain. Semenjak dilahirkan, manusia sudah mempunyai naluri untuk
hidup berkawan (Soekanto, dalam Dayakisni, 2009). Dalam kehidupan sehari-hari,
interaksi manusia dengan orang di sekitarnya dapat berupa bantuan baik secara
langsung ataupun secara tidak langsung. Begitu pula dengan dukungan yang
diterima oleh individu. Sarafino (1990) mengemukakan bahwa dukungan sosial
dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasangan/kekasih, keluarga, teman,
terapis, dokter, atau organisasi masyarakat.
Semua individu membutuhkan dukungan sosial baik itu dukungan yang
diperoleh dari orang tua, teman sebaya (peer), pasangan, guru, sahabat, anak, dan
sebagainya. Social Support Network atau jaringan dukungan sosial adalah
seseorang yang dapat diminta bantuan dan siapa yang akan memberikan bantuan
bila diperlukan, seperti keluarga, teman, dan tetangga (Breckler, Olson, dan
Wiggins, 2006). Dukungan sosial merupakan persepsi bahwa orang lain responsif
dan reseptif terhadap kebutuhan seseorang (Cohen, dkk., 1996). Orang yang
memiliki seseorang untuk bersandar/menaruh kepercayaan dan kesepakatan yang
16
lebih baik tentang masalah hidup akan menunjukkan peningkatan kesehatan
(Helgeson & Cohen, dalam Aronson,Wilson, & Akert, 2007). Penjelasan tersebut
sejalan dengan Cobb (dalam Sarafino, 1994) yang mengatakan bahwa seseorang
yang mendapatkan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, diperhatikan,
berharga, bernilai, dan menjadi bagian dari jaringan sosial, seperti keluarga dan
komunitas organisasi yang dapat membekali kebaikan,pelayanan, dan saling
mempertahankan ketika dibutuhkan.
Cohen (dalam Veiel, 1992) menggambarkan tentang individu yang dikelilingi
dengan lingkaran-lingkaran luar yang ada di sepanjang hidupnya. Pasangan hidup,
keluarga inti, teman dekat misalnya adalah lingkaran paling dekat dengan individu
sehingga dapat dikatakan orang-orang ini adalah yang paling dekat dengan individu
tersebut dan paling berpotensial untuk memberikan dukungan.
2.1.2
Komponen Dukungan Sosial
Menurut Pearson (dalam Sarwono, 2009), manusia adalah makhluk sosial.
Artinya, sebagai makhluk sosial, seseorang tidak dapat menjalin hubungan sendiri
melainkan selalu menjalin hubungan dengan orang lain serta berinteraksi dengan
orang lain. Bagi kebanyakan orang, kecenderungan berafiliasi yaitu keinginan untuk
berada bersama orang lain cukup kuat (Sears & Peplau, 1988). Menurut McClelland
(dalam Sarwono, 2009), kebutuhan berinteraksi adalah suatu keadaan di mana
seseorang berusaha untuk mempertahankan suatu hubungan, bergabung dalam
kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan, menikmati aktivitas bersama keluarga atau
teman, menunjukkan perilaku saling bekerja sama, saling mendukung, dan
konformitas. Dukungan sosial memegang peranan penting dalam suatu hubungan.
Thoits (1983) mendefinisikan dukungan sosial sebagai perasaan sosial dasar yang
17
dibutuhkan individu secara terus menerus yang dipuaskan melalui interaksi dengan
orang lain. Dari interaksi ini individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan,
menghargai, dan mencintai dirinya.
Dewasa ini, para teorisi berusaha membuat klasifikasi komponen utama dari
berbagai kepentingan yang diperoleh seorang dalam suatu hubungan (House, dalam
Sears, 1988). Salah satunya adalah analisis mengenai enam dasar “ketentuan
hubungan sosial” yang dikemukakan oleh Robert Weiss pada tahun 1974. Untuk
penelitian ini akan digunakan pembagian dari Weiss (dalam Taylor, Peplau, & Sears,
1997) dalam teorinya mengenai fungsi hubungan sosial (Theory of the Provisions of
Social Relationship). Dalam teorinya, Weiss menyebut komponen atau dimensi dari
bentuk-bentuk bantuan yang dapat diperoleh dari hubungan dengan orang lain.
Weiss mengemukakan adanya 6 komponen dukungan sosial yang disebut sebagai
the social provisions scale, dimana masing-masing komponen dapat berdiri sendiri,
namun satu sama lain saling berhubungan. Peneliti menjadikan teori Weiss menjadi
teori utama karena teori ini sering dipakai dalam beberapa penelitian tentang
dukungan sosial dan mencakup aspek yang luas dari dukungan sosial. Adapun 6
komponen tersebut adalah:
a. Keterikatan
(Attachment).
Merupakan
perasaan
akan
kedekatan
emosional dan rasa aman (ketenangan) dalam diri individu. Sumber
dukungan sosial ini yang paling sering dan umum adalah diperoleh dari
pasangan hidup atau kekasih yang memiliki hubungan yang harmonis.
b. Integrasi
Sosial
(Social
Integration).
Merupakan
dukungan
yang
menimbulkan perasaan dalam diri individu bahwa ia termasuk dalam
suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas rekreasi.
Jenis dukungan ini memungkinkan seseorang untuk memperoleh
18
perasaan memiliki. Yang sering menjadi sumber dukungan ini adalah
teman.
c. Penghargaan/Pengakuan
(Reassurance
of
Worth).
Merupakan
pengakuan atas kompetensi, kemampuan, dan keahlian individu. Pada
dukungan sosial jenis ini, seseorang akan mendapat pengakuan atas
kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang
lain. Dukungan ini sering diperoleh dari rekan kerja.
d. Hubungan yang dapat diandalkan (Reliable Alliance). Merupakan
keyakinan dalam diri individu bahwa ia dapat mengandalkan orang lain
untuk membantunya dalam berbagai kondisi, meliputi kepastian atau
jaminan
bahwa
seseorang
dapat
mengharapkan keluarga
untuk
membantu semua keadaan. Dukungan ini sering diperoleh dari anggota
keluarga.
e. Bimbingan (Guidance). Dukungan sosial jenis ini adalah adanya
hubungan sosial yang dapat memungkinkan seseorang mendapat
informasi, saran, atau nasihat yang diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini
sering diperoleh dari guru, mentor, figur orang tua atau figur yang
dituakan dalam keluarga.
f.
Kesempatan untuk Mengasuh (Opportunity for Nurturance). Merupakan
suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan yang
dibutuhkan oleh orang lain. Dukungan yang menimbulkan perasaan
dalam diri individu bahwa ia bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
orang lain. Dukungan ini sering diperoleh dari anak, cucu, dan pasangan
hidup.
19
Keenam komponen dukungan di atas dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori (Cutrona & Russell, 1991). Pertama, bantuan langsung (Assistancerelated). Bantuan ini berfungsi secara langsung dalam mencapai penyelesaian
masalah pada stres yang dialami individu. Contohnya yaitu dukungan bimbingan.
Kedua, bantuan tidak langsung (non-assistance-related). Bantuan ini berfungsi
secara tidak langsung dan berpengaruh melalui perantaraan proses kognitif,
misalnya dengan meningkatkan self-efficacy individu. Contohnya adalah dukungan
penghargaan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cutrona (1986), ternyata
tingkah laku yang merefleksikan kebutuhan akan dukungan emosi dan dukungan
informasi akan lebih sering timbul pada individu yang mengalami stres dari pada
yang tidak mengalami stres. Jadi, individu yang berada dalam keadaan stres akan
mencari orang lain untuk sebuah alasan yang jelas, yaitu meminta dukungan (Deaux
& Wrightsman, 1988). Pada umumnya individu membutuhkan bantuan orang lain
sebagai dukungan bagi dirinya ketika menghadapi masalah. Dengan adanya
dukungan sosial dapat mengurangi timbulnya simtom fisik dan gejala psikologis,
seperti kecemasan dan depresi (Gottlieb,1983). Adanya dukungan sosial dapat
mengontrol timbulnya stres dan kecemasan (Gottlieb,1983).
2.1.3
Jenis-Jenis Dukungan Sosial
Merangkum beberapa pendapat para ahli, Sarafino (1994) merumuskan
bahwa ada 5 jenis dukungan sosial yang dapat diberikan oleh seorang individu,
yaitu:
1.
Dukungan Emosional (Emotional Support)
20
Jenis dukungan ini dilakukan dengan melibatkan ungkapan rasa empati,
kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang sehingga memberikan
perasaan nyaman, ketentraman hati, dan perasaan dicintai yang
membuatnya merasa lebih baik. Dukungan emosional adalah ekspresi
dari
afeksi,
kepercayaan,
perhatian,
dan
perasaan
didengarkan
(Cohen,1991). Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan
memberikan dampak positif, yaitu sebagai sarana pelepasan emosi dan
mengurangi kecemasan, serta membuat individu merasa dihargai,
diterima, dan diperhatikan.
2.
Dukungan Penghargaan (Esteem Support)
Dukungan ini terjadi lewat ungkapan penghargaan positif untuk individu
yang bersangkutan, dorongan maju dan perbandingan positif individu
dengan orang-orang lain. Orford (1992) berpendapat bahwa dukungan
penghargaan dititikberatkan pada adanya suatu pengakuan, penilaian
yang positif, dan penerimaan terhadap individu. Menurut Cohen (dalam
Sarafino,1990), jenis dukungan ini dilakukan melalui ekspresi sambutan
positif orang-orang yang berada di sekitarnya, pemberian dorongan atau
pernyataan setuju terhadap ide-ide dan perasaan individu. Dukungan ini
membuat seseorang merasa berharga, kompeten, dan dihargai.
3. Dukungan Instrumental (Instrumental Support)
Jenis dukungan ini berupa bantuan yang sifatnya nyata dan langsung
yaitu dapat berupa jasa, waktu, meminjamkan uang, dan membantu
mengerjakan tugas seseorang ketika sedang stres (Cohen, dalam
Sarafino,1990). Dukungan instrumental mengacu pada penyediaan
barang atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-
21
masalah praktis. Dukungan ini membantu individu untuk melaksanakan
aktivitasnya.
4. Dukungan Informasi (Informational Support)
Jenis dukungan ini mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran-saran,
ataupun umpan balik tentang apa yang telah dikerjakan. Melalui interaksi
dengan orang lain, individu akan dapat mengevaluasi dan mempertegas
keyakinannya dengan membandingkan pendapat, sikap, keyakinan, dan
perilaku orang lain. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah
dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap
masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil
keputusan dan memecahkan masalah secara praktis.
5. Dukungan Jaringan Sosial (Network Support)
Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar
seseorang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki
persamaan minat dan aktivitas sosial. Jenis ini mencakup perasaan
keanggotaan dalam kelompok. Dukungan jaringan sosial ini juga disebut
sebagai
dukungan
persahabatan
(Companionship
Support)
yang
merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain, dimana
memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain
dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan. Berasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Cohen dan Wills (1992), dukungan jaringan sosial akan
membantu individu untuk mengurangi stres yang dialami karena dapat
memenuhi kebutuhan akan persahabatan dan kontak sosial dengan
orang lain.
22
2.1.4
Manfaat Dukungan Sosial
Menurut Baron & Byrne (2005), manusia yang berinteraksi dengan
lingkungannya akan menjadi lebih baik untuk menghindari masalah dari pada
individu yang terisolasi dari kontak personal. Ketika stres muncul, individu yang
mendapat dukungan sosial akan lebih mudah untuk mengatasi stres yang muncul.
Individu yang menerapkan pola pendekatan dalam pencarian rasa aman akan lebih
mudah untuk mengatasi stres melalui pencarian dukungan sosial. Efek positif dari
dukungan interpersonal adalah rasa diterima (Self of Acceptance) oleh lingkungan
dapat mengurangi stres dan menumbuhkan perasaan emosi dan fisiologis yang
positif.
Manfaat dari adanya dukungan sosial ini sangat banyak diantaranya yaitu
dikemukakan oleh House dan Kahn (1985) bahwa dukungan sosial mampu
menolong
individu
mengurangi
pengaruh
yang
merugikan
dan
dapat
mempertahankan diri dari pengaruh negatif stressor. Selain itu, Sarason (1983)
berpendapat bahwa orang yang memperoleh dukungan sosial akan mengalami halhal positif dalam hidupnya, memiliki harga diri, dan mempunyai pandangan yang
lebih optimis. Dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi tekanan psikologis
selama masa stres. Misalnya dengan membantu siswa mengatasi stres dari
kehidupan kampus yaitu saat akan menghadapi ujian (Broman, dalam Taylor,2000).
Sheridan dan Radmacker (1992), menyebutkan bahwa selama menjalani masamasa yang penuh tekanan, seseorang sering mengalami penderitaan emosional
serta kemungkinan selanjutnya seperti menderita depresi, kesedihan, cemas, dan
berkurangnya harga diri. Dengan adanya dukungan sosial, setidaknya orang
tersebut dapat menyadari bahwa ada pihak-pihak atau orang-orang di sekitarnya
yang siap membantunya dalam menghadapi tekanan tersebut.
23
House (dalam Russel, 1987) mengatakan bahwa dukungan sosial memang
dapat dikatakan memiliki peran yang penting bagi individu-individu yang mengalami
stres. Adapun keuntungan yang diperoleh dari dukungan sosial antara lain membuat
stres tidak menimbulkan efek negatif pada kesehatan fisik dan psikologis seseorang
sehubungan dengan fungsinya sebagai penyokong kesehatan (Health Sustaining)
dan penahan stres (Stres Buffering) serta meningkatkan kesejahteraan (Well-being)
seseorang. Ditinjau dari bidang klinis, dukungan sosial dapat membantu manusia
dalam mencapai perkembangan yang optimal (Yettie, 2004).
Sarason, Levine, Basham, dan Sarason (1983) mengemukakan bahwa
dukungan sosial itu selalu mencakup dua hal penting, yaitu Persepsi bahwa ada
sejumlah orang yang dapat diandalkan oleh individu saat ia membutuhkan bantuan
dan derajat kepuasan akan dukungan yang diterima yang berkaitan dengan persepsi
individu bahwa kebutuhannya terpenuhi. Menurut Cohen dan Wills (1985), yang
penting bagi individu adalah persepsi akan keberadaan (availability) dan ketepatan
(adequacy) dukungan. Jadi bukan sekedar seseorang yang memberikan bantuan,
tetapi pada persepsi penerima dukungan.
2.1.5
Dukungan Sosial Teman Sebaya
Manusia dalam peranannya sebagai makhluk sosial, selalu akan berinteraksi
dengan orang lain. Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk
hidup berkawan (Soekanto, dalam Dayakisni, 2009). Dalam kehidupan sehari-hari,
interaksi manusia dengan orang di sekitarnya dapat berupa bantuan baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Begitu pula dengan dukungan yang diterima oleh
individu. Menurut Baron dan Byrne (2005), dukungan sosial (Social Support)
memberikan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain.
24
Dalam hal ini bermanfaat ketika individu mengalami stres dan sesuatu yang sangat
efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stres (Frazier,
dalam Baron & Byrne, 2005).
Taylor, Peplau, dan Sears (2000), menjelaskan bahwa dukungan sosial
dapat berasal dari pasangan, anggota keluarga, teman, dan organisasi masyarakat.
Para peneliti fenomena dukungan sosial sepakat bahwa sumber utama dari
dukungan sosial adalah hubungan dengan significant others (Swindle & Heller,
1983). Significant others seperti anggota keluarga, teman dekat, rekan sekerja,
saudara, dan tetangga.
Atwater (1983) memberikan definisi teman sebaya sebagai berikut:
“………peer relationship are the relationship between adolescents of the same age,
as seen in neighborhood, school, and social environments.” Menurut Atwater (1983),
hubungan sebaya adalah hubungan antara remaja pada usia yang sama seperti
yang terlihat di lingkungan sekolah dan lingkungan sosial. Menurut Santrock (2009),
dalam konteks perkembangan anak, teman sebaya adalah anak-anak dengan usia
atau tingkat kedewasaan yang kurang lebih sama. Dari kedua definisi diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa teman sebaya adalah suatu bentuk hubungan pada
remaja yang memiliki usia dan tingkat kedewasaan yang sama, baik di lingkungan
sekolah ataupun lingkungan rumah.
Interaksi teman sebaya yang memiliki usia yang sama memainkan peran
khusus dalam perkembangan sosioemosional anak-anak. Salah satu fungsi yang
paling penting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber
informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Hubungan baik dengan
teman sebaya merupakan peran yang mungkin penting agar perkembangan anak
menjadi normal (Howes & Tonyan, dalam Santrock, 2009).
25
Dalam rentang kehidupan manusia, masa yang rentan terhadap stres adalah
masa remaja (Papalia, 2004). Dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres
atau tekanan, remaja membutuhkan dukungan sosial yang didapatkan dari
lingkungan sosialnya (Papalia, 2004). Dalam usahanya untuk memperoleh
dukungan sosial, remaja melakukan interaksi tertentu yang membuatnya selalu
berhubungan dengan lingkungan sosialnya (Cobb, dalam Turner, 1999).
Dalam perkembangan individu yaitu pada masa remaja, kelompok teman
sebaya memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan remaja baik secara
emosional maupun secara sosial. Buhrmester (dalam Papalia, 2008) menyatakan
bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman,
panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi
serta independensi dari orang tua. Salah satu peran dari teman sebaya yaitu berupa
pemberian dukungan sosial. Dukungan sosial dari teman sebaya yaitu dukungan
yang diterima dari teman sebaya yang berupa bantuan baik secara verbal maupun
non verbal. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai
kemampuan mereka. Anak-anak sampai remaja menghabiskan semakin banyak
waktu dalam interaksi teman sebaya. Pada hari sekolah, terjadi 299 episode
bersama teman sebaya dalam tiap hari. Bagi remaja, hubungan teman sebaya
merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya (Barker & Wright, dalam
Santrock,2003). Pada penelitian yang lain selama satu minggu, remaja muda lakilaki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya
daripada waktu dengan orang tuanya (Condry, Simon,& Bronffenbrenner, dalam
Santrock,2003). Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan rasa
saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah. Di sekolah, remaja biasanya
menghabiskan waktu bersama-sama paling sedikit selama enam jam setiap harinya.
26
Sistem
dukungan
sering
kali
diperlukan
untuk
bertahan
terhadap
stres
(Santrock,2003). Dalam penelitian O’Brien (1996) ditemukan bahwa teman sebaya
adalah sumber utama dukungan yang menyeluruh bagi remaja. Bagi remaja, temanteman sebaya adalah kehidupannya. Hasil penelitian Becker dan Luthar (2007,
dalam Yettie, 2004), menemukan bahwa remaja yang mendapatkan dukungan dari
teman sebayanya dalam bentuk penghargaan, pujian, kekaguman sekaligus menjadi
seseorang yang disukai oleh teman-temannya akan menunjukkan prestasi yang baik
di sekolah.
Atwater (1983) menjelaskan mengenai beberapa fungsi teman sebaya
sebagai berikut:
1. Teman sebaya membantu individu dalam melakukan suatu transisi dari
orientasi keluarga menuju orientasi teman sebaya. Dalam proses
perkembangan remaja, proses ini dimulai ketika remaja berinisiatif untuk
tidak terlalu bergantung pada keluarga, tetapi mulai mencari kemandirian
dengan cara mendapatkan perasaan emosional secara aman melalui
teman-temannya.
2. Teman sebaya memberikan keuntungan bagaimana caranya membina
suatu hubungan yang baik dengan orang lain dan hal ini akan berguna di
masa yang akan datang.
3. Teman sebaya berfungsi sebagai kelompok referensi dimana mereka
akan berperan dalam menilai perilaku seseorang apakah baik atau buruk.
4. Teman
sebaya
membantu
individu
dalam
menentukan
identitas
personalnya.
Menurut Papalia (2001), Kelompok teman sebaya dapat
pertimbangan
dan
keputusan
seorang
remaja
tentang
mempengaruhi
perilakunya.
Ia
27
mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama
bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup.
Greenberg dan Baron (dalam Atwater, 1993), menambahkan bahwa memiliki
sahabat pada saat-saat sulit dapat membuat individu melihat stres yang dialaminya
tidak terlalu mengancam. Sahabat/teman-teman juga dapat memberikan saransaran yang bermanfaat untuk mengatasi stres. Dukungan teman sebaya pada
dasarnya adalah tindakan menolong yang diperoleh melalui hubungan interpersonal
dan peran teman sebaya dalam penyesuaian sosial salah satunya berupa
pemberian dukungan sosial (Yettie, 2004).
2.2 Kecemasan (Anxiety)
2.2.1
Definisi Kecemasan
Beberapa pengertian mengenai kecemasan ini telah banyak dikemukakan
oleh para ahli. Di bawah ini diuraikan beberapa definisi dari kecemasan itu, antara
lain:
1. Lazarus (1969), kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman
yang dirasa tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir,
dan takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang
karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan dan timbul
karena menghadapi tegangan,ancaman, kegagalan, perasaan tidak
aman dan konflik.
2. Taylor (1995), kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai
ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan
ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa tidak aman.
28
3. Hilgard (1996), kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang
ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang
terkadang dialami oleh individu dalam tingkat yang berbeda-beda.
4. Nevid (2005), kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang
mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak
menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi
5. Rollo May (dalam Feist & Feist, 2006), kecemasan merupakan kondisi
subjektif individu yang semakin menyadari bahwa adanya ancaman bagi
eksistensi dirinya.
6. Haber dan Runyon (dalam Suryani,2007), kecemasan adalah perasaan
samar-samar yang tidak menyenangkan bahwa ada firasat sesuatu yang
buruk akan terjadi. Jika seseorang mengalami perasaan gelisah, gugup,
tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang
tersebut mengalami kecemasan. Ia mengemukakan empat dimensi
kecemasan yaitu dimensi kognitif, dimensi motorik, dimensi somatis, dan
dimensi afektif.
7. Atkinson, Hilgard, dan Richard, (2008), kecemasan adalah salah satu
bentuk keadaan emosi individu yang tidak menyenangkan yang ditandai
dengan
perasaan
tegang
secara
subjektif,
keprihatinan,
dan
kekhawatiran dengan derajat yang berbeda-beda.
Berdasarkan dari beberapa definisi mengenai kecemasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu respon terhadap keadaan atau
pengalaman subjektif dari emosi yang tidak menyenangkan yang diikuti adanya
29
keterangsangan fisiologis, perasaan tegang (stressful), gelisah, khawatir, dan takut
dengan tingkat / derajat yang berbeda-beda.
2.2.2
Dimensi dalam Kecemasan
Menurut Haber dan Runyon (1984) bahwa jika individu mengalami perasaan
gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti
orang tersebut mengalami kecemasan, yaitu ketakutan yang tidak menyenangkan
dan merupakan suatu pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi. Kecemasan
merupakan kondisi emosi yang kompleks dengan efek yang luas pada perilaku.
David Sue, Derald Wing Sue, dan Stanley Sue (dalam Haber dan Runyon,1984)
mengemukakan 4 dimensi kecemasan yaitu:
a. Dimensi Kognitif (dalam pikiran seseorang)
Dimensi kognitif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam
pikiran seseorang sehingga ia mengalami rasa risau dan khawatir.
Kekhawatiran ini dapat terjadi mulai dari tingkat khawatir yang ringan lalu
panik, cemas, dan merasa akan terjadi malapetaka, kiamat, serta
kematian.
Saat
individu
mengalami
kondisi
ini
ia
tidak
dapat
berkonsentrasi, mengambil keputusan, dan mengalami kesulitan untuk
tidur. Yang termasuk dimensi kognitif antara lain menjadi sulit tidur di
malam hari, mudah bingung, dan lupa.
b. Dimensi Motorik (dalam tindakan seseorang)
Dimensi motorik yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam
bentuk tingkah laku seperti meremas jari, jari-jari & tangan gemetar, tidak
dapat duduk diam atau berdiri di tempat, menggeliat, menggigit bibir,
30
menjentikkan kuku, gugup, dan mengambangkan Tics. Biasanya orang
yang cemas menunjukkan pergerakan secara acak.
c. Dimensi Somatis (dalam reaksi fisik/biologis)
Dimensi somatis yaitu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul
dalam reaksi fisik biologis seperti mulut terasa kering, kesulitan bernafas,
jantung berdebar, tangan dan kaki dingin, diare, pusing seperti hendak
pingsan, banyak berkeringat, tekanan darah naik, otot tegang terutama
kepala,leher,bahu, dan dada, serta sulit mencerna makanan.
d. Dimensi Afektif (dalam emosi seseorang)
Dimensi afektif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam
bentuk emosi, perasaan tegang karena luapan emosi yang berlebihan
seperti dihadapkan pada suatu teror. Luapan emosi ini biasanya berupa
kegelisahan atau kekhawatiran bahwa ia dekat dengan bahaya padahal
sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Yang termasuk dimensi afektif antara
lain yaitu merasa tidak pasti, menjadi tidak enak, gelisah, dan menjadi
gugup (nervous).
Kecemasan sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level
yang moderat, misalnya pertandingan sepak bola, ujian, dan wawancara untuk
masuk kerja mempunyai tingkat kecemasan yang berbeda. Kecemasan normal
sebenarnya adalah sesuatu yang sehat karena merupakan tanda bahaya tentang
keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri. Kecemasan
juga dapat bersifat konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi
ujian, merasa cemas maka ia akan belajar dengan giat supaya kecemasannya
berkurang. Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman
dan efektivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang. Apabila
31
seseorang tidak siap menghadapi ancaman, maka perasaan tertekan dan tidak
berdaya akan muncul.
Kecemasan pada taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya performa,
Hal ini disebut sebagai Facilitating Anxiety, yaitu seseorang yang cemas mendapat
IP
(Indeks
Prestasi)
buruk
membuat
seorang
mahasiswa
belajar
dan
mempersiapkan diri menghadapi ujian. Dalam hal ini kecemasan yang dimiliki
memberikan efek positif yaitu menjadi pendorong untuk belajar dengan rajin.
Sedangkan bila kecemasan sangat besar, justru akan mengganggu, dalam hal ini
disebut Debilitating Anxiety (Fausiah & Widury, 2006). Pada debilitating anxiety ini
terjadi dalam bentuk tidak dapat tidur, gelisah, sering pergi ke toilet pada saat
menjelang
dilaksanakan
ujian
atau
ketika
sedang
mengerjakan
ujian.
(Soekadji,1988). Kecemasan remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
usia, status kesehatan, jenis kelamin, pengalaman, sistem pendukung, dan besar
kecilnya stressor (Hurlock, 2000).
Bentuk kecemasan sebagai suatu respon dapat dibagi menjadi 2 bentuk.
Cattell, Scheier, dan Spielberger (dalam Zulkarnaen, 2004), menggambarkan
kecemasan sebagai State Anxiety dan Trait Anxiety. State Anxiety adalah reaksi
emosi sementara yang timbul pada situasi dan waktu tertentu, yang dirasakan
sebagai suatu ancaman. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan ketegangan yang
subjektif. State Anxiety ini berubah-ubah intensitasnya dan berfluktuasi dari waktu ke
waktu. Sedangkan Trait Anxiety adalah ciri atau karakteristik seseorang yang cukup
stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu keadaan
sebagai ancaman. Dalam hal ini, kecemasan dalam menghadapi ujian nasional
termasuk dalam State Anxiety (Spielberger, dkk., dalam Sena,2007).
32
2.2.3
Kecemasan Terhadap Tes (Test Anxiety)
Ketika akan menghadapi ujian atau tes seseorang dapat mengalami
kecemasan atau yang biasa disebut kecemasan tes (Test Anxiety). Istilah ini
pertama kali dipopulerkan oleh Libert dan Morris tahun 1967. Spielberger (1975)
mengatakan bahwa kecemasan tes adalah bentuk dasar pada situasi yang lebih
spesifik yaitu pada saat menghadapi suatu proses penilaian atau assessment
(ujian/tes). Sejalan dengan itu, Ormrod (2006) mengemukakan bahwa kecemasan
tes adalah perasaan cemas yang berlebihan mengenai sebuah tes atau penilaian
secara menyeluruh. Nicaise (dalam Sena,2007) menjelaskan bahwa kecemasan tes
didefinisikan sebagai respon fisiologis, kognitif, dan tingkah laku individu yang
mendorong perasaan negatif dalam situasi yang dinilai. Berdasarkan dari pengertian
mengenai kecemasan tes di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan tes
adalah bentuk perasaan cemas yang berlebihan pada situasi yang spesifik yaitu saat
menghadapi suatu proses penilaian (ujian/tes) yang ditunjukkan dalam respon
fisiologis, kognitif, dan tingkah laku individu serta mendorong perasaan negatif
dalam situasi yang dinilai tersebut.
Kecemasan tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga dapat dialami
oleh anak ataupun remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Bagi siswa,
kecemasan merupakan gangguan emosi yang dapat mengganggu dan menghambat
proses belajar di sekolah yang tentunya dapat mempengaruhi nilai ujian individu
tersebut. Bernstein (dalam Dewi, 2008), siswa yang mengalami kecemasan berisiko
mengalami Underachievement di sekolah yakni ditunjukkan dengan kurangnya
motivasi berprestasi dan merasa tidak berharga. Menurut Sudrajat (2008),
kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang
33
dapat
mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif
seseorang
seperti
dalam
berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah.
Kecemasan (anxiety) merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan
emosi manusia. Sering kali orang yang mengalami kecemasan pada masa ujian,
menjadi tidak dapat berkonsentrasi saat belajar dan pada saat ujian berlangsung.
Hal ini menyebabkan keluarnya hasil ujian yang tidak maksimal. Dalam
kesehariannya sebagai siswa ada banyak pekerjaan, tantangan, dan tuntutan yang
harus dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan tersebut antara lain pembuatan
bermacam tugas, laporan, makalah, maupun ujian yang merupakan salah satu
bentuk evaluasi bagi siswa yang dilakukan secara rutin. Dalam hal ini, salah satu
rangsang yang membangkitkan kecemasan adalah situasi saat ujian karena menurut
Djiwandono (2001), timbulnya kecemasan yang paling besar adalah pada saat siswa
menghadapi tes atau ujian. Selama bertahun-tahun, siswa memberikan reaksi
cemas yang hebat terhadap tes. Senada dengan itu, Nevid, dkk. (2005) mengatakan
bahwa ujian merupakan salah satu sumber kecemasan bagi seseorang. Adalah
normal jika siswa kadang merasa cemas atau khawatir saat menghadapi kesulitan di
sekolah, seperti saat akan mengerjakan ujian (Santrock, 2007). Terlampau cemas
dan takut menjelang ujian, justru akan menganggu kejernihan pikiran dan daya ingat
untuk belajar dengan efektif sehingga hal tersebut mengganggu kejernihan mental
yang penting untuk dapat mengatasi ujian (Goleman, 1997). Merasa cemas kiranya
menjadi hal yang umum bagi seseorang ketika menghadapi tantangan kehidupan.
Namun kecemasan yang intens dengan durasi yang lama dapat menjadi
penghambat dalam pencapaian prestasi (achievement) seseorang. kecemasan yang
terus menerus dirasakan inilah yang dapat menjadi momok dalam proses belajar
seseorang. Penelitian Klingermann (2008) membuktikan bahwa siswa dengan
34
kecemasan tes yang tinggi berhubungan dengan prestasi akademik yang rendah.
Pada dasarnya kecemasan dalam tingkat rendah dan sedang berpengaruh positif
terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya dapat meningkatkan motivasi
belajar. Sebaliknya akan memberikan pengaruh yang buruk apabila kecemasan
tersebut ada pada taraf yang tinggi (Elliot, Kratochwill, Litllefield, dan Traver, 2000).
Gambaran ini diperkuat oleh pendapat Bandura (dalam Santrock, 2007) menyatakan
bahwa telah banyak riset yang menemukan bahwa banyak siswa yang sukses
memiliki kecemasan pada level moderat (sedang). Kecemasan yang dirasakan
siswa pada taraf sedang akan membantu siswa mencapai kesuksesan dalam
menghadapi ujian nasional. Akan tetapi, beberapa siswa yang mempunyai tingkat
kecemasan dan tingkat kekhawatiran tinggi secara konstan dapat secara signifikan
merusak kemampuan mereka untuk berprestasi. Tobias (dalam Klausmeier, 1985)
juga mengatakan bahwa kecemasan yang rendah dapat membantu usaha untuk
mencapai prestasi, sedangkan tingginya kecamasan tes dapat menyebabkan
rendahnya pencapaian prestasi. Hasil penelitian Freih Owayed El-Anzi (2005),
menunjukkan adanya korelasi atau hubungan yang negatif antara pencapaian
akademik dengan kecemasan.
Tidak hanya pada saat ujian nasional atau ujian sekolah yang dicemaskan,
tetapi tes atau ujian yang dilakukan sehari-hari di sekolah pun (ulangan harian) juga
dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam dan persepsi tersebut akan
menghasilkan perasaan tertekan bahkan panik. Keadaan tertekan dan panik ini yang
akan menurunkan hasil-hasil belajar (Franken, 2002). Menurut Rost (1989),
kecemasan tes berkaitan dengan situasi yang menyebabkan kecemasan, yang
terjadi dalam situasi dan kondisi yang berhubungan dengan latihan, belajar, dan
performa. Menurut Spielberger (dalam Cohen, dkk. 2004), orang yang memiliki
35
kecemasan tes yang tinggi memiliki karakter persepsi yang negatif pada dirinya dan
juga memiliki harapan yang negatif pada ujiannya. Rendahnya motivasi, penilaian
diri yang negatif, dan kesulitan konsentrasi biasa ditemukan pada siswa yang
memiliki kecemasan tes (Swanson dan Howell, dalam Lufi, Okasha, & Cohen, 2004).
Ormrod (2006) mengatakan bahwa penyebab beberapa dari siswa merasa cemas
ketika
mereka
merasa
dievaluasi
atau
dinilai
sehingga
dapat
diketahui
kelemahannya.
Sarason (dalam Elliott, 2000) membuat kesimpulan tentang ciri-ciri utama
ujian atau tes yang bisa menimbulkan kecemasan yaitu:
a. Tes dipersepsikan sebagai sesuatu yang sulit, menantang, dan
mengancam.
b. Siswa memandang dirinya sendiri sebagai seorang yang tidak sanggup
atau tidak mampu mengerjakan tes
c. Siswa yang hanya terfokus pada bayangan-bayangan konsekuensi buruk
yang tidak diinginkannya.
d. Siswa mengantisipasi bahwa ia akan gagal dan kehilangan penghargaan
dari orang lain.
Menurut Sari dan Kuncoro (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecemasan antara lain keadaan pribadi individu, tingkat pendidikan, pengalaman
yang tidak menyenangkan dan dukungan sosial. Beberapa penelitian yang dilakukan
oleh para ahli dimana salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sarason
dan Davidson menemukan bahwa siswa yang mempunyai kecemasan tinggi
cenderung mendapat skor yang lebih rendah daripada skor siswa yang kurang
cemas. Selain itu, tingkat tantangan dan keterampilan yang dirasakan dapat
memberikan hasil yang berbeda (lihat Tabel 2.1) (Brophy, dalam Santrock, 2009).
36
Penghayatan paling mungkin terjadi dalam area-area yang membuat siswa merasa
tertantang dan merasa bahwa mereka mempunyai keterampilan tingkat tinggi. Ketika
keterampilan siswa tinggi, tetapi aktivitas memberikan sedikit tantangan, hasilnya
adalah kebosanan. Ketika baik tantangan maupun keterampilan rendah, siswa
merasakan malas. Dan ketika siswa menghadapi tugas yang menantang dan
mereka merasa tidak yakin bahwa mereka mempunyai keterampilan yang memadai
untuk menguasainya, mereka mengalami kecemasan.
Tabel 2.1
Hasil dari Tingkat Tantangan dan Keterampilan yang Dirasakan
Keterampilan
Rendah
Tinggi
Rendah
Malas
Kebosanan
Tinggi
Kecemasan
Penghayatan
Tantangan
Sumber: Santrock (2009).
2.2.4
Tingkatan Kecemasan
Menurut Peplau (dalam Stuart & Laraia, 2001), ada 4 tingkat kecemasan
yaitu:
a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan
ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan,
37
mampu untuk belajar, motivasi meningkat, dan tingkah laku sesuai
situasi.
b. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga
seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan
sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu
kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung, ketegangan otot, bicara
cepat, mampu untuk
belajar
namun tidak
optimal, kemampuan
konsentrasi menurun, perhatian selektif, tidak sabar, dan mudah lupa.
c. Kecemasan Berat
Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada
sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal
lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada
tingkat ini adalah pusing, sakit kepala, tidak dapat tidur (insomnia), tidak
mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, dan perasaan
tidak berdaya.
d. Panik
Berhubungan dengan ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan
kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada
keadaan ini adalah susah bernapas,
mengalami halusinasi dan delusi.
pucat,
berteriak, menjerit,
38
2.2.5
Kecemasan dan Kinerja Akademik
Woolfolk (2008, dalam Prawitasari, 2012) memaparkan beberapa laporan
penelitian tentang efek kecemasan terhadap prestasi akademik. Temuan hasil-hasil
penelitian tersebut secara konsisten menunjukkan adanya korelasi negatif antara
prestasi akademik dengan berbagai ukuran kecemasan, semakin tinggi tingkat
kecemasan yang dialami maka prestasinya makin rendah. Kecemasan menjadi
sebab kegagalan siswa di sekolah. Namun sebaliknya, performa buruk yang secara
beruntun mereka capai dalam sejumlah tes atau tugas akademik meningkatkan
kecemasan mereka. Dengan kata lain, antara kecemasan dan performa akademik
yang buruk terjadi apa yang dinamakan sebagai “Lingkaran Setan”, yaitu terjadinya
hubungan pengaruh memengaruhi secara negatif yang berujung pada keadaan yang
semakin buruk (lihat gambar 2.1). Sebagai contoh, anak yang memiliki kecemasan
sangat khawatir akan gagal dalam ujian, sulit baginya untuk berkonsentrasi saat
belajar serta saat mengerjakan ujian. Akibatnya hasil ujian jelek. Sebaliknya, hasil
ujian yang jelek, terutama yang terjadi secara beruntun, menimbulkan kecemasan
akan gagal dalam ujian.
Khawatir akan
gagal
Hasil Ujian
Jelek
Tidak bisa konsentrasi
saat belajar/tak
mampu kuasai materi
Gambar 2.1 Lingkaran Setan Antara Kecemasan dan Hasil Ujian Jelek
Sumber: Prawitasari (2012).
39
2.3 Remaja / Adolescence
2.3.1
Definisi Remaja
Salah satu tahap perkembangan dalam kehidupan manusia adalah masa
remaja, yaitu masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari masa kanakkanak ke masa dewasa, dan ditandai dengan kematangan biologis, seksual,
perkembangan kejiwaan, dan sosial ekonomisnya yang menjadi relatif lebih bebas.
Remaja dalam arti adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya
tumbuh kearah kematangan (Muss dalam Hurlock, 1980). Kematangan disini tidak
hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis. Istilah
adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas,
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Pada 1974, WHO (dalam Sarwono, 2010) memberikan definisi tentang
remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga
kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Sehingga secara lengkap
definisi tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa di mana:
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
b.
Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
Pada tahun-tahun berikutnya, definisi ini semakin berkembang kearah yang
lebih konkret operasional. Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu masalah
kesehatan, masalah yang terutama dirasakan mendesak mengenai kesehatan
remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini, WHO
40
menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Jadi, remaja
adalah suatu masa transisi dari masa anak ke dewasa, yang ditandai dengan
perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif, dan sosial (Latifah dalam
Sarwono, 2010).
Sehubungan dengan uraian di atas, maka di kalangan pakar psikologi
perkembangan (termasuk di Indonesia), yang banyak dianut adalah pendapat
Hurlock (1990) yang membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga
16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa
remaja awal dan akhir dibedakan Hurlock karena pada masa remaja akhir individu
telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Senada
dengan hal itu, Petro Blos (dalam Sarwono, 2010) penganut aliran psikoanalisis
berpendapat bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri
(coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi stres dan mencari jalan keluar baru dari
berbagai masalah.
2.3.2
Tugas Perkembangan Remaja
Di awal 1970-an, Robert Havighurst (1972, dalam Sarwono, 2010),
mengemukakan
suatu
teori
yang
dinamakan
teori
tugas
perkembangan
(Developmental Task). Dalam teori ini dikatakan bahwa setiap individu, pada setiap
tahapan usia mempunyai tujuan untuk mencapai suatu kepandaian, keterampilan,
pengetahuan, sikap, dan fungsi tertentu, sesuai dengan kebutuhan pribadi yang
timbul dari dalam dirinya sendiri (faktor nativisme) dan tuntutan yang datang dari
masyarakat di sekitarnya (faktor empirisme). Menurut Havighurst (dalam Sarwono,
2010), tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu
41
pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu. Menurut Robert Havighurst (dalam
Sarwono,2010), tugas perkembangan pada remaja adalah:
a. Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.
b. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis
kelamin yang manapun.
c. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).
d. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua
dan orang dewasa lainnya.
e. Mempersiapkan karir ekonomi
f.
Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga
g. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab
h. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah
lakunya.
Menurut
Havighurst
selanjutnya,
tercapai
atau
tidaknya
tugas-tugas
perkembangan di atas ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kematangan fisik, desakan
dari masyarakat, dan motivasi dari individu yang bersangkutan (Jensen dalam
Sarwono,2010).
Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah sekolah dan
belajar, khususnya bagi mereka yang akan menghadapi ujian nasional. Tugas dan
tanggung jawab ini harus mereka lalui sebagai bagian dari masa remaja. Di dalam
kesehariannya, ada banyak pekerjaan, tantangan, dan tuntutan yang harus
dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan tersebut antara lain pembuatan
bermacam tugas, laporan, makalah maupun ujian yang merupakan salah satu
bentuk evaluasi bagi siswa yang dilakukan secara rutin. Berbagai hal dan situasi
juga dapat mempengaruhi keberhasilan siswa atau justru menghambatnya.
42
2.3.3
Remaja di Sekolah
Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah
bersekolah, lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah
adalah sekolahnya. Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP atau SMA
umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti
bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah.
Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja
cukup besar. Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap
perkembangan jiwa remaja karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai
lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga
mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di
samping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para
siswanya (Sarwono,2010).
Pengaruh lingkungan pada tahapnya yang pertama diawali dengan
pergaulan dengan teman. Pada usia 9-15 tahun hubungan perkawanan merupakan
hubungan yang akrab yang diikat oleh minat yang sama, kepentingan bersama, dan
saling membagi perasaan, saling tolong menolong untuk memecahkan masalah
bersama. Pada usia ini mereka bisa juga mendengar pendapat pihak ketiga. Pada
usia yang agak lebih tinggi, 12 tahun ke atas, ikatan emosi bertambah kuat dan
mereka semakin saling membutuhkan, akan tetapi mereka juga saling memberi
kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya masing-masing (Selman &
Selman dalam Sarwono, 2010).
2.3.4
Pengaruh Kelompok Sebaya pada Remaja
43
Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan temanteman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh
teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku
lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja
mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian
anggota kelompok yang popular, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh
kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba
minum
alkohol,
obat-obat
terlarang
atau rokok,
maka remaja cenderung
mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri. Jadi, pengaruh teman
sebaya bisa berdampak positif atau sebaliknya yaitu berpengaruh negatif
(Sarwono,2010).
Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 2000) menjelaskan pengaruh
kelompok sebaya pada masa remaja yaitu kelompok sebaya merupakan dunia nyata
kawula muda, yang menyiapkan panggung di mana ia dapat menguji diri sendiri dan
orang lain. Di dalam kelompok sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep
dirinya, disinilah ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak
dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa. Kelompok sebaya memberikan
sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana di
mana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa
melainkan oleh teman-teman seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah
remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan disitu
pulalah ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai
pemimpin apabila ia mampu melakukannya. Berdasarkan alasan tersebut
kelihatanlah kepentingan vital masa remaja bagi remaja bahwa kelompok sebaya
44
terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat menerimanya
dan yang kepadanya ia sendiri bergantung (Sarwono, 2010).
Sebagian besar pada masa ini, remaja lebih banyak menghabiskan waktu
dengan teman-teman sebayanya. Pada banyak remaja, bagaimana mereka
dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan
mereka. Yang merupakan teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja
dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2009). Salah
satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai
informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja
menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja menghabiskan
semakin banyak waktu dalam interaksi teman sebaya. Pada hari sekolah, terjadi 299
episode bersama teman sebaya dalam setiap harinya. Bagi remaja, hubungan
teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya (Condry,
Simon, & Bronffenbrenner, 1968). Teman sebaya merupakan sumber status,
persahabatan, dan rasa saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah.
Kelompok teman sebaya juga merupakan komunitas belajar di mana peran-peran
sosial dan standar yang berkaitan dengan kerja dan prestasi dibentuk. Di sekolah,
remaja biasanya menghabiskan waktu bersama-sama paling sedikit selama enam
jam setiap harinya. Sekolah juga menyediakan ruang bagi banyak aktivitas remaja
sepulang sekolah maupun di akhir pekan. Havinghurst (2001) menyatakan terdapat
10 tugas perkembangan yang harus dilalui remaja yang salah satunya adalah
mencapai hubungan yang lebih dewasa dengan teman sebayanya. Pendapat lain
dikemukakan oleh Hurlock (1996) mengatakan bahwa remaja mempunyai ciri-ciri
yaitu senang berkumpul dengan teman sebaya dan remaja juga mempunyai
keinginan untuk cepat mandiri. Menurut Hall dan Lindzey (1985) bersama dengan
45
teman sebaya, remaja merasakan kehadiran seseorang yang dapat mengerti serta
memahami dirinya sehingga remaja dapat menaruh kepercayaan yang besar
terhadap seorang teman.
Menurut Rogacion (1982), remaja umumnya lebih senang membicarakan
masalah-masalah atau membicarakan sesuatu bersama teman-teman sebaya
mereka, bukan bersama seseorang yang menempatkan diri pada posisi untuk
menasihati atau mengatur kehidupan mereka. Dalam menyelesaikan masalahnya,
remaja lebih memilih teman sebaya untuk saling membantu dan memberikan
dukungan (Mappiare, 1996).
2.4 Kerangka Berpikir
Dalam rentang kehidupan manusia, masa yang rentan terhadap stres adalah
masa remaja (Papalia, 2004). Dalam kesehariannya ada banyak pekerjaan,
tantangan, dan tuntutan yang harus dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan
tersebut antara lain yaitu pembuatan berbagai macam tugas, laporan, makalah
maupun ujian yang merupakan salah satu bentuk evaluasi bagi siswa (Zulkarnain,
2009). Ujian Nasional adalah salah satu yang paling banyak dicemaskan oleh para
siswa dan merupakan salah satu stressor yang dapat menimbulkan kecemasan
(Prawitasari, 2012). Menurut Atkinson, dkk. (2008), kecemasan adalah salah satu
bentuk keadaan emosi individu yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan
perasaan tegang secara subjektif dengan tingkat yang berbeda-beda. Kecemasan
tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga dapat dialami oleh anak ataupun
remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Ketika akan menghadapi ujian atau
tes, seseorang dapat mengalami kecemasan atau biasa disebut kecemasan tes.
Menurut Spielberger (1975), kecemasan tes adalah bentuk perasaan cemas yang
46
berlebihan pada situasi yang spesifik yaitu saat menghadapi suatu proses penilaian
(ujian/tes). Menurut Djiwandono (2001), timbulnya kecemasan yang paling besar
adalah pada saat siswa menghadapi tes atau ujian. Senada dengan itu, Nevid, dkk.
(2005) mengatakan bahwa ujian merupakan salah satu sumber kecemasan bagi
seseorang. Menurut Woolfolk (dalam Prawitasari, 2012), ada 3 hal yang
dicemasakan oleh siswa dalam menghadapi ujian yaitu khawatir akan gagal, tidak
bisa konsentrasi saat belajar / tidak mampu kuasai materi, dan hasil ujian jelek.
Dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres/tekanan dan situasi cemas,
remaja membutuhkan dukungan sosial yang didapatkan dari lingkungan sosialnya
(Papalia, 2004). Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan sosial, remaja
melakukan interaksi tertentu yang membuatnya selalu berhubungan dengan
lingkungan sosialnya (Cobb dalam Turner, 1999). Menurut Taylor (2003), dukungan
sosial adalah pertukaran interpersonal dimana salah seorang memberikan bantuan
atau pertolongan kepada yang lain. Dukungan sosial dapat diberikan dalam
beberapa cara yaitu emosional, instrumental, informasi, dan penilaian individu.
Menurut Cohen (dalam Veiel, 1992), pasangan hidup, keluarga inti, dan teman dekat
adalah lingkaran yang paling dekat dengan individu sehingga dapat dikatakan orangorang ini adalah yang paling dekat dengan individu tersebut dan paling berpotensial
untuk memberikan dukungan. Dukungan sosial memang dapat dikatakan memiliki
peran yang penting bagi individu yang mengalami stres. Adapun keuntungan yang
diperoleh dari dukungan sosial antara lain yaitu membuat stres tidak menimbulkan
efek negatif pada kesehatan fisik dan psikologis seseorang sehubungan dengan
fungsinya sebagai penyokong kesehatan, penahan stres, dan meningkatkan
kesejahteraan seseorang (House dalam Russell, 1987).
47
Bagi remaja, hubungan dengan teman sebaya merupakan bagian yang paling
besar dalam kehidupannya karena remaja menghabiskan banyak waktu dalam
interaksi teman sebaya (Santrock, 2003). Dalam penelitian yang dilakukan oleh
O’Brien (1996) ditemukan bahwa teman sebaya adalah sumber utama dukungan
yang menyeluruh bagi remaja.
Dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi tekanan psikologis selama
masa stres. Misalnya dengan membantu siswa mengatasi kecemasan dari
kehidupan sekolah yaitu saat akan menghadapi ujian (Broman, dalam Taylor, 2000).
Berdasarkan pemikiran di atas, dapat diasumsikan bahwa terdapat pengaruh dari
dukungan sosial teman sebaya terhadap kecemasan menghadapi Ujian Nasional.
Download