Berkala Perikanan Terubuk, Juli 2006, hlm .96-101 ISSN 0126-4265 Vol. 33 No. 2 PRODUKSI IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) TIDAK SEGAR SEBAGAI BAHAN BAKU TEPUNG IKAN PANGAN (Fish Flour) Mirna Ilza 1) Diterima tanggal : 15 Maret 2006/ Disetujui Tanggal : 30 April 2006 ABSTRACT The research is entitled; The production of tongkol (Euthynnus affinis) as fish flour material has been done in Kabupaten Kepulauan Riau on July 2002. The experiment was conducted to production of unfresh tongkol as fish flour materials. The research method was survey method at fishing location in Kecamatan Bintan Timur and hold an interview with TPI manager, exporter and fish trader as primary data. The secondary data has also been taken from fishery official (Dinas Perikanan). The research result showed that 30% of cath was unutilized (in unfresh condition). To avoid loss of fishermen and fish trader unfresh tongkol should be processed become fish flour. The fish flour from white meat gave high protein content (67,47%) than red meat (55,06%). Key words : unfresh tongkol, red and white meat, fish flour. PENDAHULUAN Produksi ikan tongkol (Euthynnus affinis) pada tahun 2000 di Kabupaten Kepulauan Riau tercatat 1808,97 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Riau 2001), pada tahun 2001 produksinya naik menjadi 2128,2 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Riau, 2002). Ikan tongkol tidak segar adalah ikan yang mempunyai nilai organoleptik 5 (dengan skor 1 terendah sampai 9 tertinggi) dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Mata agak tenggelam, biji mata kelabu dan kornea agak keruh; 2) Insang memucat dan sedikit berlendir; 3) Dinding perut berubah warna dan agak lunak; 4) Daging menjadi lunak; dan 5) Bau segar hilang. Ikan tongkol merupakan sumber bahan pangan yang kaya protein dan merupakan komponen penting dalam makanan. Daging ikan tongkol memiliki dua macam warna, yaitu putih dan merah. Murniyati dan Sunarman (2000) menyatakan kandungan zat gizi pada ikan tongkol segar pada daging bewarna merah-putih adalah: air 63,9%65,6%, protein 23,1%-23,6%, lemak 9,3%11,6%, dan abu 1,3%-1,4%. Daging ikan tongkol relatif mudah dicerna karena jaringan pengikat rendah dan dibutuhkan untuk 1) Staf Pengajar Jurusan THP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau pertumbuhan tubuh. Biasanya daging bewarna merah tidak disukai konsumen karena dapat berubah menjadi coklat bila dilakukan pemanasan di samping baunya yang amis. Berdasarkan kandungan protein yang lebih tinggi serta berbagai jenis asam amino yang dikandungnya seperti alifatik, aromatik dan bersulfur, daging ikan tongkol dapat diolah menjadi tepung ikan. Tepung ikan dapat diolah dari bahan baku ikan utuh dan dagingnya saja. Nilai gizi tepung ikan untuk pakan komersil yang berasal dari ikan utuh adalah: kadar air 9,2%, lemak 5,48%, protein 59,53%, dan abu 22,27% (Buwono, 2000). Nilai gizi tepung ikan pangan dari daging merah tuna segar yang dihasilkan Hak dkk. (2001) adalah sebagai berikut: kadar air 7,86%, lemak 3,07%, protein 84,03%, dan abu 1,88%. Standar mutu tepung ikan untuk pangan adalah: kadar air maksimum 10%, kadar lemak maksimum 12%, kadar protein minimum 60% dan kadar abu maksimum 20% (Standar Nasional Indonesia, 1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu tepung ikan pangan adalah: bentuk bahan baku, kadar air, lemak, protein dan abu serta teknik pengolahan (perebusan atau pengukusan, pelumatan, pressing, pengeringan, dan penggilingan). Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik melakukan penelitian tentang: Produksi ikan tongkol tidak segar sebagai 96 Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar bahan baku tepung ikan pangan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui produksi ikan tongkol tidak segar di Kabupaten Kepulauan Riau dan mengevaluasi jenis daging ikan tongkol tidak segar sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan pangan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 September sampai 30 Nopember 2002 di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. Bahan dan Alat Ikan yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini adalah ikan tongkol tidak segar dengan berat sekitar 500 gram per ekor. Satu unit percobaan membutuhkan 9 ekor ikan tongkol dengan ulangan 3 kali. Setelah itu ikan dicuci sampai bersih dan ditiriskan, selanjutnya dilakukan pemisahan daging dengan tulang dengan cara difillet serta pemisahan daging yang bewarna merah dan putih. Daging ikan yang sudah dipisahkan diolah menjadi tepung ikan menurut prosedur Itata (2001), untuk lebih jelasnya bahan dan alat dapat dilihat pada prosedur penelitian. Metode dan Prosedur Penelitian Proses pembuatan tepung ikan adalah sebagai berikut: bahan baku daging ikan dikukus dalam wadah pengukus selama 0,5 jam sejak air mendidih untuk mengkoagulasi protein dan mengeluarkan air dan lemak yang terkandung dalam tubuh ikan. Untuk memperoleh partikel tepung ikan yang lebih halus dilakukan pelumatan dengan alat penggiling, kemudian dipres dengan alat pengepres Yasumatsu Model 27 dengan tekanan 10kg/cm2 sebanyak 3 kali selama 0,5 menit untuk memisahkan cairan dan lemak yang masih terkandung dalam daging ikan. Rendemen hasil pengepresan segera dikeringkan di dalam pengering mekanis pada suhu 850C selama 16 jam untuk memperoleh kadar air di bawah 10%. Setelah kering digiling menjadi tepung ikan. Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006 Parameter yang diukur sesudah pengolahan adalah sebagai berikut:1) Uji proksimat yaitu kadar air (Oven), lemak (Ekstraksi Soxhlet), protein (Kjeldahl), dan abu (Muffle). 2) Uji organoleptik warna, tekstur, bau, dan rasa dilakukan 5 orang panelis terlatih berdasarkan skor 1 (terendah) sampai 5 (tertinggi). Skor 1 untuk warna coklat, tekstur menggumpal, bau amis, dan rasa pahit. Skor 2 untuk warna coklat kekuning-kuningan, tekstur kurang menggumpal, bau amis agak lemah, dan rasa pahit diganti rasa ikan yang kuat. Skor 3 untuk warna kekuning-kuningan, tekstur mulai menggumpal, bau amis lebih lemah, dan rasa ikan lemah. Skor 4 untuk warna kuning keputih-putihan, tekstur tidak menggumpal, bau amis lemah sekali, dan rasa ikan lemah sekali. Skor 5 untuk warna putih, tekstur halus tidak menggumpal, tidak berbau amis, dan rasa ikan hilang. Rancangan Percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) susunan faktorial dengan 2 faktor A x B. Faktor A adalah jenis daging ikan tongkol tidak segar (a0 = utuh/tanpa dipisahkan, a1 = bewarna merah, a3 = bewarna putih). Faktor B adalah lama penyimpanan (bo = 0 bulan, b2 = 1 bulan, b3 = 2 bulan). Analisis Data Data kadar air, protein, lemak, dan abu yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas, apabila sebaran data normal dan homogen maka selanjutnya data tersebut dianalisis dengan analisis variansi (ANOVA). Untuk uji lanjut digunakan uji DMRT (Steel dan Torrie, 1984). Hasil perlakuan yang terbaik terutama berdasarkan pada kandungan protein yang tertinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data survai hasil penelitian 30% (57,21 ton) dari hasil tangkapan 171,63 ton ikan tongkol pada bulan Juli 2002 di Kabupaten Kepulauan Riau berada dalam kondisi tidak segar. Ikan tidak segar berasal dari ikan yang terluka pada waktu penangkapan, kurangnya sarana pendinginan, ikan yang tergencet atau terhimpit pada waktu penumpukan dalam 97 Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar palka atau “Cool Box”, sisa sortiran untuk diekspor dan ikan yang tidak terjual selama beberapa hari (lebih tiga hari) di pasar. Dari analisis keragamaman dapat diketahui bahwa interaksi perlakuan jenis daging dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap kadar air, protein, lemak, dan nilai organoleptik. Selanjutnya dari analisis keragaman diketahui bahwa perlakuan jenis daging berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap kadar abu, tetapi perlakuan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap kadar abu. Untuk lebih jelasnya mengenai pengaruh masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa interaksi perlakuan jenis daging ikan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap kadar air tepung ikan. Kadar air yang tertinggi (7,87%) terdapat pada perlakuan daging utuh dengan lama penyimpanan 2 bulan yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan daging merah dengan lama penyimpanan 2 bulan (7,82%) dan perlakuan daging merah dengan lama penyimpanan 2 bulan (7,81%). Setelah itu diikuti oleh perlakuan daging utuh dengan lama penyimpanan 1 bulan (7,79%) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan daging utuh dengan lama penyimpanan 0 bulan (7,74%) serta tidak berbeda nyata dengan daging merah dengan lama penyimpanan 1 bulan (7,73%), daging putih dengan lama penyimpanan 0 bulan (77,7%) dan 1 bulan (7,75%). Selanjutnya diikuti oleh perlakuan daging merah dengan lama penyimpanan 0 bulan (7,66%). Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan jenis daging ikan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap kadar protein tepung ikan. Kadar protein yang tertinggi (67,47 %) terdapat pada perlakuan daging putih dengan lama penyimpanan 0 bulan yang tidak berbeda nyata dengan lama penyimpanan 1 bulan (6,45%), setelah itu diikuti oleh perlakuan daging putih dengan lama penyimpanan 2 bulan (67,37%). Selanjutnya diikuti oleh perlakuan daging utuh dengan lama penyimpanan 0 bulan (59,14%), 1 bulan (58,89%) dan 2 bulan (58,67%). Lebih lanjut Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006 diikuti oleh perlakuan daging merah dengan lama penyimpanan 0 bulan (55,06%), 1 bulan (53,33%), dan 2 bulan (51,21%). Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa interaksi perlakuan jenis daging ikan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap kadar lemak tepung ikan. Kadar lemak yang tertinggi (8,06%) terdapat pada perlakuan daging merah dengan lama penyimpanan 0 bulan. Setelah itu diikuti oleh perlakuan daging merah dengan lama penyimpanan 1 bulan (7,93%) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan daging utuh selama penyimpanan 0 bulan (7,89%). Selanjutnya diikuti oleh perlakuan daging utuh dengan lama penyimpanan 1 bulan (7,79%) yang tidak berbeda nyata dengan lama penyimpanan 2 bulan (7,77%) dan tidak berbeda nyata dengan daging merah dengan lama penyimpanan 2 bulan (7,81%). Lebih lanjut diikuti oleh perlakuan daging putih dengan lama penyimpanan 0 bulan (7,57%), lama penyimpanan 1 bulan (7,45%), dan 2 bulan (7,35%). Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan jenis daging ikan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap nilai organoleptik tepung ikan. Nilai organoleptik yang tertinggi (4,87) terdapat pada perlakuan daging putih dengan lama penyimpanan 0 bulan yang tidak berbeda nyata dengan lama penyimpanan 1 bulan (4,85), setelah itu diikuti oleh perlakuan daging putih dengan lama penyimpanan 2 bulan (4,75). Selanjutnya diikuti oleh perlakuan daging utuh dengan lama penyimpanan 0 bulan (3,94), 2 bulan (3,89) dan 2 bulan (3,77). Lebih lanjut diikuti oleh perlakuan daging merah dengan lama penyimpanan 0 bulan (2,56), 1 bulan (2,33), dan 2 bulan (2,21). Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa perlakuan jenis daging ikan berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap kadar abu tepung ikan, sedangkan perlakuan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap kadar abu tepung ikan. Kadar abu yang tertinggi (2,47%) terdapat pada perlakuan ikan utuh yang tidak berbeda nyata dengan kadar abu daging putih (2,46%), kemudian diikuti oleh perlakuan daging merah (2,33%). 98 Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006 Tabel 1. Rata-rata Kadar Air (%), Protein (%), Lemak (%) dan Abu (%) serta Nilai Organoleptik Tepung Ikan Parameter Yang Diukur Lama Penyimpanan 0 bulan Air (%) 1 bulan 2 bulan 0 bulan Protein (%) 1 bulan 2 bulan Lemak (%) 0 bulan 1 bulan 2 bulan Abu (%) 0 bulan 1 bulan 2 bulan Rata-rata 0 bulan Nilai Organoleptik 1 bulan 2 bulan Utuh A 7,74 a A 7.79 a B 7.87 a Jenis Daging Ikan Warna Merah C 7.66 b A 7.73 a B 7.81 a Warna Putih A 7.77 a A 7.75 a B 7.82 a A 59.14 a B 58.89 a C 58.67 a A 55.06 b B 55.33 b C 51.21 b A 67.47 c A 67.45 c B 67.37 c A 7.89 a B 7.79 a B 7.77 a C 8.06 b A 7.93 a B 7.81 b A 7.57 c A 7.45 c C 7.35 c 2.44 2.49 2.47 2.47 2.36 2.33 2.31 2.33 2.47 2.45 2.45 2.46 A 3.94 a B 3.89 a B 3.77 a A 2.56 b B 2.33 a B 2.21 b A 4.87 c A 4.85 c C 4.75 c Keterangan : Huruf kecil yang tidak sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05). Huruf besar yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05) Berdasarkan kadar protein yang tertinggi (67,47%) yang terdapat pada perlakuan daging putih dengan lama penyimpanan 0 bulan yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 1 bulan, dengan memperhitungkan kadar air 7,77%, kadar lemak 7,57%, kadar abu 2,46% dan nilai organoleptik yang tertinggi (4,87) pada perlakuan yang sama, berarti tepung ikan yang dihasilkan dari bahan dari ikan tongkol tidak segar yang bewarna daging putih memenuhi syarat mutu tepung ikan pangan dengan kandungan protein melebihi 60%. Protein merupakan komponen terpenting dalam tepung ikan pangan. Salah satu tujuan utama untuk memproduksi tepung ikan untuk dijadikan bahan pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan protein hewani manusia khususnya dari hasil perikanan. Tingkat mutu tepung ikan pangan sangat ditentukan dari kadar protein yang dihasilkan. Makin tinggi kadar protein yang dihasilkan makin tinggi mutu tepung ikan pangan. Menurut macam asam amino yang membentuknya, protein tepung ikan tongkol dapat digolongkan ke dalam protein komplek yaitu protein yang mengandung asam-asam amino essensial lengkap baik macam maupun jumlahnya sehingga dapat menjamin pertumbuhan dan mempertahan kehidupan jaringan manusia serta 99 Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar mempunyai nilai biologis yang tinggi (Hak dkk.,2001). Berdasarkan kandungan protein, tepung ikan hasil pengolahan ini dapat dijadikan sumber pengkayaan (enrichment) protein pada pembuatan bubur bayi, biskuit, mie, cracker, snack, dan kerupuk. Protein sebagai zat pembangun, yaitu merupakan pembangun jaringan baru sangat dibutuhkan oleh manusia pada setiap tingkat kehidupan, mulai dari dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang sakit dan dalam taraf penyembuhan, paruh baya dan lanjut usia, semuanya membutuhkan protein untuk mempertahan kehidupan yang sehat. Apabila macam dan jumlahnya tidak memadai akan menimbulkan gejala-gejala kurang protein yang dapat menimbulkan penyakit dan menurunkan tingkat kecerdasan manusia. Tepung ikan sebagai bahan pangan yang mengandung protein, lemak, mineral dan vitamin dapat dijadikan sebagai bahan pangan untuk pemenuhan kebutuhan gizi, pemelihara kesehatan dan meningkatkan kecerdasan manusia. Semuanya ini bisa diperoleh melalui makanan yang difortifikasi (Fortified Foods) sesuai dengan kebutuhan manusia. Makanan pendamping ASI yang dibuat dalam bentuk biskuit yang terdiri tepung ikan 30%, tepung talas atau tepung ubi jalar 10% ditambah bahan-bahan lain berupa shortening, margarin, garam, baking powder, gula halus, kunig telur, ovalet, dan air dengan perbandingan tertentu dapat diberikan pada balita (Prihananto dkk., 2004). Berdasarkan standar Codex Alimentarius Commission (1994), makanan pelengkap untuk bayi dan anak-anak yang mempunyai kandungan protein lebih dari 15% dengan mutu protein tidak kurang dari 80% mutu protein kasein, sebelum diberikan dapat diencerkan dengan menggunakan air. Jika makanan pelengkap untuk bayi dan anak-anak dengan mutu dan kandungan protein yang kurang dari standar maka sebelum diberikan kepada bayi dan anakanak harus diencerkan dengan menggunakan susu. Formula yang digunakan Rieuwpassa dan Soukotta (2006) dalam pembuatan Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006 biskuit adalah; konsentrat protein ikan 20%, terigu 25%, susu skim 15%, gula bubuk 20%, margarin 10%, kuning telur 10%, ditambah baking powder 1% dan esens mocca ½ sendok. Berdasarkan zat-zat gizi dan uji mikrobiologis serta kandungan asamasam amino, maka produk ini layak dikonsumsi oleh balita karena komposisi gizinya masuk dalam kisaran spesifikasi persyaratan mutu untuk biskuit bayi dan balita menurut standar FAO/WHO untuk makanan tambahan bayi dan anak-anak FAO/WHO, 1972). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil penelitian 30% (57,21 ton) dari hasil tangkapan 171,63 ton ikan tongkol di Kabupaten Kepulauan Riau berada dalam kondisi tidak segar. Untuk meningkatkan nilai gizi dan nilai ekonomis, ikan tongkol tidak segar dapat diolah menjadi tepung ikan pangan. 2. Tepung ikan pangan yang terbaik dihasilkan dari perlakuan jenis daging putih dan lama penyimpanan 0 bulan atau 1 bulan didapat kandungan protein 67,47%, air 7,77%, lemak 7,57%, abu 2,46% serta nilai organoleptik 4,87. 3. Tepung daging putih ikan tongkol dapat dijadikan sumber bahan pangan karena kualitasnya sama dengan tepung ikan pangan komersil yaitu kandungan proteinnya melebihi 60%. Saran Tepung ikan pangan yang dihasilkan dari ikan tongkol tidak segar disarankan untuk digunakan sebagai bahan baku pengolahan lebih lanjut sebagai pengkayaan (enrichment) protein seperti pembuatan bubur bayi, biskuit, mie, cracker, snack, dan kerupuk. 100 Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar DAFTAR PUSTAKA Buwono, I. D., 2000. Kebutuhan Asam Amino Esensial dalam Ransum Ikan Kanisius. Yogyakarta. 112 hal. Codex Alimentarius Commission, 1994, Codex Alimentarius Food Special Dietary Use (Including Foods for Infant and Children). FAO-WHO. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Riau, 2001. Laporan Data 2000. Tanjung Pinang. 47 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Riau, 2002. Laporan Data 2001. Tanjung Pinang. 49 hal. Hak, N., Taswir, Murdinah, dan Saleh, 2001. Pengolahan Ikan Mutu Pangan dari Daging Merah Tuna. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4: 57 – 61. Itata, S. A., 2001. Fish Meal and Oil. Presquera. Santiago, Chili. 17 p. Murniyati, A.S. dan Sunarman, 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 220 hal. Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006 PAG/FAO/WHO,1972. PAG Guideline on Protein Rich Mixtures for Use Supplementary Foods. PAG Guideline No. 8. Prihananto, V., H. Dwiyanti, N. Aini dan G. Wijonarko, 2004. Uji Biologis Makanan Pendamping Asi (MP-ASI) Berbahan Baku Pati Talas dengan Suplementasi Tepung Ikan dan Tepung Sumber Vitamin A. Majalah Ilmiah Unsoed 2: 29-38. Riewpassa, F. dan L. M. Soukotta, 2006. Dampak Pemberian Biskuit Konsentrat Protein Ikan dan Probiotik Terhadap Status Gizi Anak Balita Kurang Gizi. Ichthyos 1: 1-6. Standar Nasional Indonesia, 1994. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. 85 hal. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie, 1984. Principles and Procedures of Statistics. McGraw-Hill International Book Company. Singapore. 547 p. 101