Pemanfaatan luaran Regcm3 untuk kajian dampak

advertisement
11
yang akan datang, yang cenderung mengalami
perubahan dilakukan dengan memanfaatkan
keluaran model iklim. Hasil antara kondisi
iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan
analisis
dan
kemudian
dilakukan
perbandingan terhadap perubahan pola dan
waktu tanam.
IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Klimatologis Provinsi Jawa
Barat
Provinsi
Jawa
Barat
memiliki
keberagaman bentuk topografi, dimulai dari
wilayah pantai dan dataran rendah yang
terdapat dibagian utara, dataran tinggi di
tengah dan pegunungan di selatan Provinsi
Jawa Barat. Beragamnya kondisi topografi
Jawa Barat mengakibatkan keragaman kondisi
klimatologis terutama distribusi curah hujan
dan suhu. Sebaran curah hujan dan suhu
sangat beragam di wilayah Jawa Barat. Setiap
daerah di Jawa Barat tidak semuanya
mempunyai nilai suhu dan curah hujan yang
sama, terutama pada bagian tengah dan bagian
selatan Jawa Barat karena adanya barisan
pegunungan.
Distribusi curah hujan Provinsi Jawa
Barat dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3
menunjukkan distribusi rata-rata curah hujan
tahunan yang diambil dari data BMKG tahun
1985 sampai tahun 1999. Curah hujan tahunan
Jawa Barat berkisar antara 1414 mm hingga
4347 mm. Secara umum curah hujan rata-rata
Jawa Barat sebesar 3000 mm/tahun. Curah
hujan terendah berdasarkan Gambar 3 terdapat
di sekitar wilayah pesisir Pantura seperti
Kabupaten Indramayu dan Kabupaten
Cirebon. Sedangkan curah hujan tertinggi
terdapat di wilayah selatan Jawa Barat yang
banyak terdapat pegunungan.
Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.
12
Gambar 4 Sebaran suhu rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.
Keragaman atau distribusi suhu udara
rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat dapat
dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan hasil
yang diperoleh, kisaran suhu udara Jawa Barat
berkisar antara 20.0 oC hingga 27.6 oC dengan
suhu tertinggi terdapat di wilayah pesisir
(bagian utara Pulau Jawa) seperti Kabupaten
Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten
Cirebon dan lainnya. Sedangkan untuk suhu
udara terendah terdapat di sekitar wilayah
pegunungan dan dataran tinggi seperti
Gunung Salak, Gunung Pangrango dan
Gunung Papandayan.
Selain keragaman pada distribusi curah
hujan dan suhu, Jawa Barat juga mempunyai
keragaman pada jenis tanah. Jenis tanah
Provinsi Jawa Barat sebagian besar berjenis
tanah podzolik kuning kemerahan yang
keberadaannya menyebar diseluruh Jawa
Barat. Pada wilayah pesisir (bagian utara Jawa
Barat), jenis tanah yang mendominasi adalah
jenis tanah alluvial, sedangkan pada bagian
selatan dan pegunungan jenis tanah yang
mendominasi adalah jenis tanah latosol dan
andosol. Untuk lebih jelas mengenai jenis
tanah untuk masing-masing kabupaten dapat
dilihat pada Lampiran 6.
Keberagaman kondisi iklim, jenis
tanah dan topografi yang ada di Provinsi Jawa
Barat memungkinkan berbagai tanaman dapat
ditanam disini. Provinsi ini memiliki banyak
keunggulan dalam bidang perkebunan, antara
lain kopi, teh, cengkeh, kakao, dan karet yang
merupakan komoditas unggulan nasional
(BAPESITELDA 2008). Selain tanaman
perkebunan, komoditas unggulan nasional
lainnya adalah tanaman padi.
4.2
Analisis Pola Curah Hujan
Pola Curah hujan Jawa Barat secara
umum memiliki pola curah hujan monsunal
menurut BMKG. Pola curah hujan ini
memiliki satu puncak hujan dengan terdapat
perbedaan yang jelas antara periode musim
hujan dan periode musim kemarau (Kadarsah
2007). Pada analisis ini pola curah hujan Jawa
Barat dikelompokkan lagi berdasarkan pola
dan curah hujan setiap bulannya.
Analisis pola curah hujan yang
dilakukan pada penelitian ini dilakukan
dengan cara mengelompokkan kesamaan
karakteristik diantara obyek-obyek yang biasa
disebut analisis cluster atau analisis gerombol
(Anderberg
1973 dalam Raharto 2008).
Analisis pola curah hujan diawali dengan
menghitung nilai komponen utama (PC) yang
bertujuan menghilangkan korelasi antara
variabel. Setelah diperoleh nilai PC, kemudian
dilakukan penentuan jumlah kelompok dilihat
dari pembelokkan pertama pada grafik
hubungan antara tingkat kesamaan dan nomor
kelompok seperti yang telihat pada Lampiran
7. Penentuan pola hujan dilakukan pada pola
curah hujan observasi (Gambar 5) dan curah
hujan scenario pada Lampiran 8.
13
Gambar 5 Peta sebaran pola curah hujan observasi
observasi Provinsi Jawa Barat.
Hasil analisis pola curah hujan dengan
menggunakan analisis gerombol menunjukkan
bahwa pola curah hujan Jawa Barat terbagi
menjadi tiga pola hujan yaitu:
1. C1 untuk pola hujan kelompok 1
2. C2 untuk pola hujan kelompok 2
3. C3 untuk pola hujan kelompok 3
Stasiun cuaca yang terdapat pada masingmasing kelompok pola hujan berdasarkan
observasi terdapat pada Lampiran 3. Pola
curah hujan observasi merupakan pola hujan
yang nantinya menjadi dasar penentuan
terhadap analisis selanjutnya.
Analisis pola curah hujan dilakukan
pada curah hujan observasi dan curah hujan
skenario hasil proyeksi, kedua mempunyai
tiga pola hujan (C1, C2, dan C3). Pada pola
CH observasi dan CH skenario, C1 ditandai
oleh warna merah yang sebagian besar
terletak pada wilayah utara Jawa Barat. Pola
hujan C2 observasi terdapat pada bagian timur
Jawa Barat, namun pada pola CH skenario
wilayahnya semakin meluas yang tersebar
pada bagian tengah hingga selatan, serta
bagian timur hingga barat. Hal ini dikarenakan
pada hasil proyeksi curah hujan mengalami
penurunan, sehingga pola hujan C2 akan
semakin luas wilayahnya. Perubahan pola CH
observasi yang semula C3 akan berubah
menjadi C2 pada kondisi CH skenario
(proyeksi). Sehingga pola hujan C3 yang
ditandai oleh warna biru, pada kondisi CH
skenario hanya terdapat di beberapa bagian
wilayah Jawa Barat saja. Sedangkan pada CH
observasi pola hujan C3 terdapat pada wilayah
selatan sampai barat Provinsi Jawa Barat.
C1
C2
C3
Gambar 6 Pola curah hujan dan suhu udara untuk masing-masing pola hujan observasi.
14
Gambar 6 menunjukkan pola curah
hujan pada masing-masing kelompok. Pola
hujan C1 terlihat jelas memiliki pola
monsunal. Puncak hujan tertinggi terdapat
pada bulan Januari kemudian berkurang
hingga medekati 0 mm/bulan yang terjadi
pada bulan Agustus. Jika dibandingkan
dengan pola hujan observasi yang lain, C1
memiliki curah hujan yang paling rendah.
Pola curah hujan ini tersebar di sebagian besar
wilayah utara Jawa Barat. Suhu udara pada C1
tertinggi terdapat pada bulan Oktober dan
terendah pada bulan Januari.
Wilayah tengah dan selatan Jawa Barat
memiliki pola curah hujan monsunal namun
kurang begitu jelas seperti pada C1. Pada
kedua pola ini C2 dan C3 terlihat bahwa
puncak hujan terjadi pada bulan Januari
kemudian turun pada bulan Februari dan pada
bulan Maret curah hujan meningkat kembali
namun tidak melampaui tinggi curah hujan
pada bulan Januari. Hal ini masih termasuk
hal yang wajar, karena pada bulan tersebut
merupakan bulan basah (musim penghujan).
Perbedaan antara C2 dan C3 terdapat
pada bulan kering (musim kemarau) dan
peralihan. Pada C2 curah hujan terendah
terjadi selama 3 bulan dengan curah hujan 50
mm/bulan yang terjadi pada bulan Juli,
Agustus, dan September. Memasuki musim
penghujan, curah hujan meningkat drastis
hingga puncak musim penghujan dengan suhu
tertinggi terdapat pada bulan Oktober dan
terendah terdapat pada bulan Januari.
Sedangkan pada C3 penurunan curah hujan
yang terjadi pada masa peralihan dan musim
kemarau tidak terlihat drastis. Curah hujan
terendah pada cluster ini bernilai lebih dari
100 mm/bulan terjadi pada bulan Juli. Hal ini
menandakan bahwa C3 memiliki wilayah
yang paling basah dibandingkan dengan
wilayah lainnya (C1 dan C2).
4.3
Analisis Perubahan Iklim
Curah hujan dan suhu merupakan
unsur cuaca yang sangat rentan terhadap
terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim
akan terlihat pada jangka waktu yang cukup
lama yaitu berkisar antara 50 tahun hingga
100 tahun. Pada analisis perubahan iklim yang
dilakukan pada penelitian ini, menggunakan
data scenario tahun 2055 hingga tahun 2069
untuk mengetahui perubahan iklim 50 tahun
yang akan datang. IPCC (2007) dalam UNDP
Indonesia
(2007)
menyatakan
akibat
peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer pada
tahun 1790 hingga tahun 2005 menyebabkan
perubahan iklim terutama suhu permukaan
pada tahun 2100 akan meningkat antara 1.8 oC
hingga 2.9 oC.
Simulasi
perubahan
iklim
menggunakan model RegCM3 menghasilkan
keluaran berupa data unsur-unsur iklim seperti
suhu dan curah hujan, yang nantinya
digunakan untuk memprediksi peningkatan
suhu dan curah hujan di masa yang akan
datang.
4.3.1 Perubahan Curah Hujan
Perubahan curah hujan hasil keluaran
model RegCM3 pada tahun 2055-2069
(Gambar 7b) menunjukkan penurunan
dibandingkan dengan kondisi tahun 19851999 (Gambar 7a). Tahun 1985-1999 curah
hujan tertinggi terdapat pada wilayah selatan
Jawa Barat tepatnya di wilayah Gunung Salak,
dan curah hujan terendah terdapat di wilayah
utara Jawa Barat. Pada tahun 2055-2069
sebaran curah hujan hampir sama dengan
kondisi tahun 1985-1999 namun nilai curah
hujan
rata-rata
tahunannya
menurun.
Penurunan curah hujan terjadi sebesar 6.54%.
(a)
(b)
Gambar 7 Curah hujan keluaran model RegCM3 mililiter (a) tahun 1985-1999 (b) tahun 2055-2069.
15
Gambar 8 Laju kecenderungan curah hujan observasi (tahun 1985-1999).
Penentuan laju kecenderungan curah
hujan berdasarkan data observasi yaitu
periode tahun 1985-1999 dapat dilihat pada
Gambar 8. Kecenderungan curah hujan
observasi untuk masing-masing pola curah
hujan memiliki laju kecenderungan yang
berbeda namun secara keseluruhan mengalami
peningkatan tiap tahunnya. Pada C1
kecenderungan curah hujan memiliki laju
yang paling rendah yaitu bernilai 1.49
mm/tahun, sedangkan untuk C2 dan C3
kecenderungan curah hujan bernilai 2.90
mm/tahun dan 2.83 mm/tahun.
Hasil
perhitungan
persentase
perubahan curah hujan terdapat pada Tabel 1.
Berdasarkan tabel tersebut persentase
perubahan curah hujan untuk wilayah C1
memiliki persentase perubahan penurunan
curah hujan terbesar yaitu -47.08 % dan C2
memiliki nilai persentase perubahan kenaikan
curah hujan yang terbesar yaitu 31.92%.
Tanda positif dan negatif pada kedua nilai
tersebut
mengindikasikan
terjadinya
pernurunan curah hujan (tanda negatif) dan
terjadi kenaikan curah hujan (tanda positif).
Sedangkan berdasarkan rata-rata persentase
perubahan curah hujan, pada C1, C2, dan C3
menunjukkan terjadinya penurunan curah
hujan di waktu yang akan datang dengan
kisaran penurunan antara 4.53% hingga 8.16
%.
Persentase perubahan curah hujan yang
dihitung pada setiap pola curah hujan seperti
yang terlihat pada Tabel 1, kemudian
diplotkan
dalam
grafik.
Grafik
ini
menggambarkan perubahan curah hujan saat
ini dan curah hujan akan datang sepanjang
tahun seperti yang terdapat pada Gambar 9.
Tabel 1. Nilai persentase perubahan CH untuk
masing-masing pola hujan observasi
Persentase Perubahan (%)
Nilai
C1
C2
C3
Min
-47.08
-41.45
-36.14
Max
24.29
31.92
29.93
Rata-rata
-5.14
-8.16
-4.53
C1
C2
C3
Gambar 9 Perubahan curah hujan untuk masing-masing pola hujan observasi.
16
Perubahan curah hujan pada setiap pola
hujan observasi (C1, C2, dan C3) secara
umum menunjukkan peningkatan pada saat
musim penghujan dan akan mengalami
penurunan pada musim peralihan dan musim
kemarau. Selain mengalami peningkatan dan
penurunan curah hujan, dari gambar tersebut
juga terlihat bahwa puncak musim hujan akan
semakin singkat dan musim kemarau akan
semakin lama diiringi dengan terjadinya
kemunduran awal musim hujan. Hal tersebut
sejalan dengan Naylor et al (2007) dalam
UNDP Indonesia (2007) yang menyatakan
bahwa pada waktu yang akan datang curah
hujan pada wilayah selatan ekuator akan
mengalami musim kering yang panjang dan
musim hujan (basah) yang singkat dengan
curah hujan yang tinggi.
Berdasarkan
Gambar
9,
C1
menunjukkan sedikit perubahan curah hujan.
Perubahan peningkatan terlihat pada bulan
Januari dengan curah hujan kondisi yang akan
datang berada diatas curah hujan saat ini. Pada
bulan-bulan selanjutnya perubahan curah
hujan tidak begitu jelas terlihat. Curah hujan
pada C2 untuk kondisi akan datang terlihat
berada diatas curah hujan saat ini pada bulan
Desember hingga Maret (musim penghujan),
namun memasuki bulan April curah hujan
akan datang akan berada dibawah curah hujan
saat ini. Dimana pada bulan April sudah
memasuki musim peralihan dari musim
penghujan ke musim kemarau. Perubahan
curah hujan saat ini dan akan datang untuk
wilayah C3 sangat terlihat jelas perubahannya.
Curah hujan akan datang terlihat lebih tinggi
pada saat musim penghujan yaitu pada akhir
Desember hingga Maret dan akan berada
dibawah curah hujan saat ini pada saat musim
peralihan dan musim kemarau yaitu pada
bulan April hingga awal Desember.
Terjadinya perubahan curah hujan
seperti
yang
dijelaskan
sebelumnya
memungkinkan terjadinya bencana seperti
terjadinya banjir pada saat musim penghujan
dan kekeringan yang parah terjadi pada
musim kemarau. Oleh karena itu diperlukan
beberapa strategi untuk mengatasi dan
meminimalkan resiko tersebut. Salah satunya
dengan memanfaatkan dan memaksimakan
penggunaan waduk, danau, dan tempat
penyimpanan
air
lainnya.
Hal
ini
dimaksudkan agar kelebihan curah hujan yang
jatuh pada saat musim penghujan dapat
dialirkan menuju waduk sehingga mengurangi
resiko banjir. Selain itu air yang terdapat di
waduk dapat digunakan pada saat musim
kemarau agar tidak terjadi kekurangan air dan
mengurangi kekeringan.
4.3.2 Perubahan Suhu
Keluaran model RegCM3 untuk unsur
cuaca suhu udara dapat dilihat Gambar 10.
Berdasarkan Gambar 10, suhu udara pada
periode tahun 2055-2069 (Gambar 10b)
menunjukkan terjadinya kenaikan suhu ratarata tahunan sebesar 2.01 oC dibandingkan
dengan suhu pada periode 1985-1990
(Gambar 10a). Suhu udara rata-rata tahun
1985-1999 berkisar antara 20.2 oC hingga 27.8
o
C. Sedangkan pada periode tahun 2055-2069
suhu udara berkisar antara 22.2 oC hingga
29.4 oC dengan suhu terendah terdapat di
selatan Jawa Barat dan tertinggi terdapat di
utara Jawa Barat.
(a)
(b)
Gambar 10 Suhu udara keluaran model RegCM3 (a) tahun 1985-1999 (b) tahun 2055-2069.
17
Gambar 11 Laju kecenderungan suhu observasi (tahun 1985-1999).
Laju kecenderungan suhu berdasarkan
data observasi periode tahun 1985-1999 dapat
dilihat pada Gambar 11. Laju kecenderungan
suhu terbesar terdapat pada C1 sebesar 0.0216
o
C/tahun dan laju terendah terdapat pada C3
sebesar 0.0174 C/tahun. Semua pola hujan
observasi memiliki laju kecenderungan yang
mendekati 0.02 oC/tahun, hal ini sejalan
dengan penelitian Tat (2005) yang
menyatakan kecenderungan kenaikan suhu
udara rata-rata antara tahun 1974 sampai 2004
sebesar 0.016 oC/tahun.
Perubahan suhu hasil keluaran
RegCM3 dapat dilihat pada Tabel 2.
Perubahan suhu yang terjadi pada kondisi
akan datang berbeda dengan perubahan curah
hujan. Pada perubahan suhu, kondisi akan
datang akan selalu lebih tinggi dibandingkan
dengan kondisi saat ini. Hal ini terlihat dari
nilai perubahan suhu pada masing-masing
pola hujan observasi yang memiliki nilai
positif. Nilai positif menandakan bahwa
terjadi peningkatan suhu pada kondisi akan
datang. Sedangkan perubahan curah hujan
seperti yang terlihat pada Gambar 9, kondisi
akan datang tidak selamanya berada diatas
kondisi saat ini atau dapat dikatakan
perubahan curah hujan lebih berfluktuatif
dibandingkan perubahan suhu yang cenderung
konstan.
Berdasarkan hasil yang ditampilkan
pada Tabel 2 terlihat bahwa perubahan suhu
untuk ketiga pola hujan observasi rata-rata
mengalami perubahan (kenaikan) sebesar 2.00
C sampai 2.02 oC. Diantara C1, C2, dan C3
perubahan minimum terendah terdapat pada
C2 yang bernilai 1.61 oC dan perubahan
maksimum tertinggi terdapat pada C2 dan C3
sebesar 2.26 oC. Kisaran nilai rata-rata
perubahan suhu yang memiliki nilai positif
menggambarkan bahwa perubahan suhu yang
terjadi pada ketiga pola hujan observasi
memiliki perubahan yang hampir sama yaitu
terjadi peningkatan dan cenderung konstan
seperti yang terlihat pada Gambar 12.
Berdasarkan hasil pada Gambar 12,
C1, C2, dan C3 diketahui bahwa suhu pada
kondisi akan datang akan lebih tinggi
dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini
dikarenakan adanya peningkatan konsentrasi
gas rumah kaca yang terperangkap di
atmosfer, sehingga panas dari permukaan
bumi tidak dapat keluar dari lapisan atmosfer,
sehingga suhu udara akan semakin meningkat
atau yang biasa disebut sebagai efek rumah
kaca.
o
Tabel 2. Nilai perubahan suhu untuk masingmasing pola hujan observasi
Perubahan Suhu (oC)
Nilai
C1
C2
C3
Min
1.64
1.61
1.63
Max
2.25
2.26
2.26
Rata-rata
2.02
2.02
2.00
18
C1
C2
C3
Gambar 12 Perubahan suhu untuk masing-masing pola hujan observasi.
4.4
Pendugaan Nilai Evapotranspirasi
Potensial (ETP)
Pendugaan evapotranspirasi potensial
(ETP) dilakukan untuk mengetahui jumlah air
yang dievapotranspirasikan pada kondisi
tanah tidak kekurangan air. ETP berpengaruh
terhadap banyaknya kandungan air tanah. Hal
ini karena dalam proses evapotranspirasi air
yang dievapotranspirasikan berasal dari air
yang terdapat di dalam tanah. Oleh karena itu
pendugaan ETP sangat penting dilakukan
dalam perhitungan neraca air lahan.
Proses
evapotranspirasi
sangat
tergantung pada suhu udara yang terdapat di
suatu wilayah. Jika suhu udara tinggi maka
evapotranspirasi yang terjadi akan tinggi,
namun sebaliknya jika suhu udara rendah
maka evapotranspirasi yang terjadi akan kecil.
Selain faktor suhu udara yang mempengaruhi
evapotranspirasi, angin juga mempengaruhi
laju evapotranspirasi namun pada perhitungan
menggunakan metode Thornhtwaite–Mather
hanya faktor suhu saja yang digunakan. Pada
perhitungan ETP, nilai ETP yang digunakan
adalah nilai ETP yang telah terkoreksi dengan
posisi lintang (ETP*). Sehingga nilainya akan
lebih kecil dibandingkan dengan nilai ETP
yang tidak terkoreksi oleh posisi lintang.
Hasil perhitungan evapotranspirasi
(ETP) untuk setiap pola hujan yang ada di
Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil
perhitungan menunjukkan pada kondisi saat
ini dan akan datang, wilayah yang mempunyai
suhu udara tinggi akan memiliki nilai ETP
tahunan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah yang mempunyai suhu udara
yang lebih rendah.
Tabel 3. Evapotranspirasi potensial (ETP) tahunan pada setiap pola hujan
Pola
Evapotranspirasi Potensial Tahunan
Evapotranspirasi Potensial Tahunan
Hujan
(Saat ini)
(Akan datang)
C1
1974.93 mm
2620.98 mm
C2
1648.19 mm
2105.42 mm
C3
1464.35 mm
1816.69 mm
Pada kondisi saat ini dan yang akan
datang nilai ETP tahunan tertinggi terdapat di
wilayah pola hujan C1 sebesar 1974.93
mm/tahun pada kondisi saat ini dan 2620.98
mm/tahun pada kondisi yang akan datang.
Sedangkan nilai ETP terendah terdapat di
wilayah pola hujan C3 sebesar 1464.35
mm/tahun pada kondisi saat ini dan 1816.69
mm/tahun pada kondisi yang akan datang.
Penambahan nilai ETP pada kondisi yang
akan datang disebabkan oleh adanya
perubahan iklim terutama peningkatan suhu
udara sebesar 2.00 oC hingga 2.02 oC pada
kondisi yang akan datang, yang nantinya akan
menyebabkan nilai ETP tahunan secara
keseluruhan akan mengalami kenaikan.
4.5
Analisis Neraca Air Lahan
Perhitungan neraca air lahan digunakan
untuk mengetahui banyaknya kandungan air
yang terdapat di dalam tanah. Pengertian
neraca air menurut Mayong (2006)
didefinisikan sebagai keseimbangan antara air
yang masuk pada suatu kolom air dalam tanah
dengan air yang keluar ditambah dengan total
air yang tertahan di dalam tanah. Banyaknya
kandungan air yang terdapat di dalam tanah
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya adalah curah hujan yang turun
dan evapotranspirasi potensial yang terjadi di
suatu lahan. Selisih antara kedua nilai disebut
defisit kandungan air tanah.
Kandungan air dalam tanah sangat
sensitif terhadap perubahan yang terjadi di
19
sekitarnya, seperti perubahan pada unsur iklim
terutama curah hujan dan evapotranspirasi
serta perubahan pada kondisi lingkungan.
Adanya perubahan iklim akan sangat
mempengaruhi kandungan air tanah yang ada.
Oleh karena itu perhitungan neraca air lahan
juga perlu dilakukan pada kondisi terjadinya
perubahan iklim.
Data inputan neraca air lahan yang
digunakan berupa data curah hujan dasarian
untuk tiga pola hujan yang terdapat di Jawa
Barat. Selain itu perhitungan neraca air ini
juga memasukan unsur perubahan iklim yang
terjadi. Berikut adalah hasil perhitungan
neraca air lahan untuk pola hujan yang
terdapat di Jawa Barat.
Tabel 4. Periode surplus dan defisit pada setiap pola hujan
Surplus
Defisit
Pola Hujan
Saat Ini
Akan Datang
Saat Ini
Akan Datang
C1
14 Dasarian
10 Dasarian
21 Dasarian
25 Dasarian
C2
19 Dasarian
16 Dasarian
15 Dasarian
19 Dasarian
C3
20 Dasarian
16 Dasarian
0 Dasarian
9 Dasarian
Perhitungan neraca air secara lengkap
dengan satuan waktu dasarian pada Provinsi
Jawa Barat terdapat pada lampiran. Hasil
perhitungan neraca air terkait dengan surplus
dan defisit didapatkan wilayah yang memiliki
periode surplus terlama pada kondisi saat ini
terdapat pada pola hujan C3 selama 20
dasarian. Hal ini menandakan bahwa pada
wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi
sehingga wilayahnya akan basah. Sedangkan
wilayah yang memiliki periode surplus
tersingkat dengan periode defisit yang cukup
lama terdapat di wilayah pola hujan C1 yaitu
periode defisit terjadi selama 21 dasarian.
Oleh karena itu wilayah ini dapat dikatakan
sebagai wilayah yang kering karena memiliki
periode defisit yang lebih lama dibandingkan
dengan periode surplusnya. Pada kondisi yang
akan datang semua wilayah akan mengalami
pengurangan periode surplus dan penambahan
periode defisit.
Perbedaan periode surplus dan defisit
antar wilayah pola hujan disebabkan oleh
perbedaan curah hujan tahunannya. Sehingga
wilayah yang memiliki curah hujan yang
tinggi wilayahnya akan sangat basah karena
mengalami surplus. Sedangkan pada wilayah
yang memiliki curah hujan yang rendah
wilayahnya cenderung lebih kering karena
defisit air akan lebih besar dibandingkan
dengan surplus air.
4.6
Waktu Tanam dan Pola Tanam
Penentuan waktu dan pola tanam
dilakukan dengan memanfaatkan informasi
hasil perhitungan neraca air lahan yang telah
dihitung
sebelumnya.
Informasi
hasil
perhitungan neraca air yang digunakan terkait
tingkat ketersediaan air yang terdapat di
dalam tanah (hubungan antara KL, TLP, dan
KAT). Waktu tanam dapat ditentukan jika
KAT lebih dari 50% water holding capacity
(WHC). Jika KAT kurang dari 50% WHC
maka tidak dilakukan penanaman. Hal ini
dikarenakan pada kondisi tersebut kandungan
air di dalam tanah jumlahnya terbatas (sedikit)
dan akan terus menerus berkurang, sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan air
tanaman. Dikhawatirkan tanaman tersebut
akan mengalami kekurangan air (layu) yang
pada akhirnya tanaman mati dan akan
mengalami gagal panen. Hasil perhitungan
potensi waktu tanam dan pola tanam padi di
Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 5.
Ketersediaan air di dalam tanah dan
potensi waktu tanam berpengaruh terhadap
penentuan pola tanam. Selain kedua hal
tersebut, penetuan pola tanam disesuaikan
dengan lamanya umur tanaman. Umur
tanaman padi secara umum berkisar antara 90
hari hingga 120 hari tergantung pada varietas
padi yang ditanam. Pada penentuan pola
tanam, umur tanaman padi yang digunakan
adalah yang berumur 100-110 hari seperti
varietas Gajah Mungkur (90 – 95 hari),
dodokan (100 - 105 hari), INPAR 1 (108
hari), PB12 (109 hari), Danau Tempe (110
hari) (ICRR 2009) dan umur palawija
(kedelai) selama 100 hari dengan waktu
persemaian tanaman padi selama 20 hari
(Triny 2008).
20
Tabel 5. Potensi waktu tanam dan pola tanam pada setiap pola hujan
Potensi Waktu
Awal Musim
Pola Tanam
Tanam (Hari)
Tanam
Pola
Hujan
Akan
Akan
Saat Ini
Saat Ini
Saat Ini
Akan Datang
Datang
Datang
C1
192
141
Nov III
Des II
Padi-Bera-Bera
Padi-Bera-Bera
C2
252
212
Nov I
Nov II
Padi-Padi-Bera
Padi-Bera-Bera
C3
365
365
Sep III
Sep III
Padi-Padi-Padi
Padi-Padi-Padi
Hasil penentuan waktu tanam dan pola
tanam berdasarkan Tabel 5, Provinsi Jawa
Barat memiliki potensi waktu tanam dan pola
tanam yang beragam. Potensi waktu tanam
untuk pola hujan observasi (C1,C2, dan C3)
akan mengalami pengurangan dan tidak
terjadi perubahan (tetap) potensi waktu tanam.
Wilayah yang tidak mengalami perubahan
potensi waktu tanam terdapat pada wilayah
C3. Sedangkan wilayah yang mengalami
pengurangan potensi waktu tanam terdapat
pada wilayah C1 dan C2. Pengurangan waktu
tanam berkisar antara 40 hari hingga 51 hari.
Pengurangan waktu naman terbesar terjadi
pada pola hujan C1. Pengurangan potensi
waktu tanam terjadi jika penurunan persentase
perubahan curah hujan yang tinggi bersamaan
dengan kenaikan perubahan suhu, sehingga
wilayah tersebut akan kering.
Lamanya potensi waktu tanam
berdasarkan pola hujan pada kondisi saat ini
berkisar dari 191 hari sampai 365 hari (waktu
tanam dapat dilakukan sepanjang tahun).
Sedangkan pada kondisi akan datang potensi
waktu tanam berkisar mulai dari 141 hari
hingga 365 hari. Potensi waktu tanam
tersingkat pada kedua kondisi tersebut
terdapat pada pola hujan C1.
Awal musim tanam ditentukan pada
saat memasuki musim penghujan dimana
curah hujan dasarian bernilai lebih dari 50 mm
(Sutrisno 2010) dan pada saat nilai KAT
berada diatas 50% WHC. Awal musim tanam
tercepat terdapat pada pola hujan C3 yang
terjadi pada akhir September (dasarian III),
sedangkan untuk pola hujan C1 dan C2 awal
waktu tanam dapat dilakukan pada bulan
November. Sedangkan pola tanam Jawa Barat
pada pola hujan C1 memiliki pola tanam padibera-bera, C2 memiliki pola tanam padi-padibera, namun pada pola hujan C3 memiliki
pola tanam padi-padi-padi.
Perubahan iklim selain berpengaruh
terhadap perubahan potensi waktu tanam, juga
berpengaruh terhadap perubahan awal musim
tanam dan pola tanam. Akibatnya awal musim
tanam untuk kondisi akan datang mengalami
kemunduran. Kemunduran awal musim tanam
berkisar antara satu sampai dua dasarian.
Kemunduran awal musim tanam dan
terjadinya perubahan potensi waktu tanam
akan mengakibat perubahan pada pola tanam
yang ada pada saat ini. Pola tanam yang
semula padi-padi-bera akan berubah menjadi
padi-bera-bera pada pola hujan C2. Pola
tanam akan berubah karena menyesuaikan
dengan kondisi kandungan air di dalam tanah.
Oleh karena itu pemilihan jenis tanaman
sangat penting untuk menyesuaikan dan
memaksimalkan penggunaan air di dalam
tanah. Hasil perhitungan waktu dan pola
tanam selain berdasarkan ketiga pola hujan
Jawa Barat juga disajikan berdasarkan
kabupaten di Jawa Barat (Lampiran 21).
V.
5.1
KESIMPULAN
Kesimpulan
Perhitungan kecenderungan perubahan
curah hujan menggunakan data observasi
periode tahun 1985-1999, menunjukkan nilai
kecenderungan yang terdapat di Jawa Barat
sebesar 1.49 mm/tahun hingga 2.90
mm/tahun. Sedangkan untuk mengetahui
perubahan kondisi iklim akan datang
diperoleh dari keluaran model RegCM3.
Kondisi iklim akan datang menunjukkan
terjadi penurunan curah hujan di Jawa Barat.
Penurunan curah hujan berkisar antara 4.53%
hingga 8.16% dengan penurunan persentase
rata-rata terbesar terdapat pada pola hujan C2.
Pola perubahan curah hujan tahunan
menunjukkan peningkatan pada saat musim
penghujan dan akan mengalami penurunan
pada musim peralihan dan musim kemarau.
Selain itu pada kondisi akan datang puncak
musim hujan akan semakin singkat dan
musim kemarau akan semakin lama.
Perubahan
iklim
juga
mengakibatkan
terjadinya kenaikan suhu pada kondisi akan
datang. Kecenderungan perubahan suhu
berdasarkan data observasi menunjukkan nilai
kecenderungan berkisar antara 0.0174
o
C/tahun hingga 0.0216 oC/tahun. Sedangkan
Download