11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan perbandingan terhadap perubahan pola dan waktu tanam. IV. 4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Klimatologis Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat memiliki keberagaman bentuk topografi, dimulai dari wilayah pantai dan dataran rendah yang terdapat dibagian utara, dataran tinggi di tengah dan pegunungan di selatan Provinsi Jawa Barat. Beragamnya kondisi topografi Jawa Barat mengakibatkan keragaman kondisi klimatologis terutama distribusi curah hujan dan suhu. Sebaran curah hujan dan suhu sangat beragam di wilayah Jawa Barat. Setiap daerah di Jawa Barat tidak semuanya mempunyai nilai suhu dan curah hujan yang sama, terutama pada bagian tengah dan bagian selatan Jawa Barat karena adanya barisan pegunungan. Distribusi curah hujan Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan distribusi rata-rata curah hujan tahunan yang diambil dari data BMKG tahun 1985 sampai tahun 1999. Curah hujan tahunan Jawa Barat berkisar antara 1414 mm hingga 4347 mm. Secara umum curah hujan rata-rata Jawa Barat sebesar 3000 mm/tahun. Curah hujan terendah berdasarkan Gambar 3 terdapat di sekitar wilayah pesisir Pantura seperti Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Sedangkan curah hujan tertinggi terdapat di wilayah selatan Jawa Barat yang banyak terdapat pegunungan. Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 12 Gambar 4 Sebaran suhu rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. Keragaman atau distribusi suhu udara rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan hasil yang diperoleh, kisaran suhu udara Jawa Barat berkisar antara 20.0 oC hingga 27.6 oC dengan suhu tertinggi terdapat di wilayah pesisir (bagian utara Pulau Jawa) seperti Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan lainnya. Sedangkan untuk suhu udara terendah terdapat di sekitar wilayah pegunungan dan dataran tinggi seperti Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Papandayan. Selain keragaman pada distribusi curah hujan dan suhu, Jawa Barat juga mempunyai keragaman pada jenis tanah. Jenis tanah Provinsi Jawa Barat sebagian besar berjenis tanah podzolik kuning kemerahan yang keberadaannya menyebar diseluruh Jawa Barat. Pada wilayah pesisir (bagian utara Jawa Barat), jenis tanah yang mendominasi adalah jenis tanah alluvial, sedangkan pada bagian selatan dan pegunungan jenis tanah yang mendominasi adalah jenis tanah latosol dan andosol. Untuk lebih jelas mengenai jenis tanah untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Lampiran 6. Keberagaman kondisi iklim, jenis tanah dan topografi yang ada di Provinsi Jawa Barat memungkinkan berbagai tanaman dapat ditanam disini. Provinsi ini memiliki banyak keunggulan dalam bidang perkebunan, antara lain kopi, teh, cengkeh, kakao, dan karet yang merupakan komoditas unggulan nasional (BAPESITELDA 2008). Selain tanaman perkebunan, komoditas unggulan nasional lainnya adalah tanaman padi. 4.2 Analisis Pola Curah Hujan Pola Curah hujan Jawa Barat secara umum memiliki pola curah hujan monsunal menurut BMKG. Pola curah hujan ini memiliki satu puncak hujan dengan terdapat perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau (Kadarsah 2007). Pada analisis ini pola curah hujan Jawa Barat dikelompokkan lagi berdasarkan pola dan curah hujan setiap bulannya. Analisis pola curah hujan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengelompokkan kesamaan karakteristik diantara obyek-obyek yang biasa disebut analisis cluster atau analisis gerombol (Anderberg 1973 dalam Raharto 2008). Analisis pola curah hujan diawali dengan menghitung nilai komponen utama (PC) yang bertujuan menghilangkan korelasi antara variabel. Setelah diperoleh nilai PC, kemudian dilakukan penentuan jumlah kelompok dilihat dari pembelokkan pertama pada grafik hubungan antara tingkat kesamaan dan nomor kelompok seperti yang telihat pada Lampiran 7. Penentuan pola hujan dilakukan pada pola curah hujan observasi (Gambar 5) dan curah hujan scenario pada Lampiran 8. 13 Gambar 5 Peta sebaran pola curah hujan observasi observasi Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis pola curah hujan dengan menggunakan analisis gerombol menunjukkan bahwa pola curah hujan Jawa Barat terbagi menjadi tiga pola hujan yaitu: 1. C1 untuk pola hujan kelompok 1 2. C2 untuk pola hujan kelompok 2 3. C3 untuk pola hujan kelompok 3 Stasiun cuaca yang terdapat pada masingmasing kelompok pola hujan berdasarkan observasi terdapat pada Lampiran 3. Pola curah hujan observasi merupakan pola hujan yang nantinya menjadi dasar penentuan terhadap analisis selanjutnya. Analisis pola curah hujan dilakukan pada curah hujan observasi dan curah hujan skenario hasil proyeksi, kedua mempunyai tiga pola hujan (C1, C2, dan C3). Pada pola CH observasi dan CH skenario, C1 ditandai oleh warna merah yang sebagian besar terletak pada wilayah utara Jawa Barat. Pola hujan C2 observasi terdapat pada bagian timur Jawa Barat, namun pada pola CH skenario wilayahnya semakin meluas yang tersebar pada bagian tengah hingga selatan, serta bagian timur hingga barat. Hal ini dikarenakan pada hasil proyeksi curah hujan mengalami penurunan, sehingga pola hujan C2 akan semakin luas wilayahnya. Perubahan pola CH observasi yang semula C3 akan berubah menjadi C2 pada kondisi CH skenario (proyeksi). Sehingga pola hujan C3 yang ditandai oleh warna biru, pada kondisi CH skenario hanya terdapat di beberapa bagian wilayah Jawa Barat saja. Sedangkan pada CH observasi pola hujan C3 terdapat pada wilayah selatan sampai barat Provinsi Jawa Barat. C1 C2 C3 Gambar 6 Pola curah hujan dan suhu udara untuk masing-masing pola hujan observasi. 14 Gambar 6 menunjukkan pola curah hujan pada masing-masing kelompok. Pola hujan C1 terlihat jelas memiliki pola monsunal. Puncak hujan tertinggi terdapat pada bulan Januari kemudian berkurang hingga medekati 0 mm/bulan yang terjadi pada bulan Agustus. Jika dibandingkan dengan pola hujan observasi yang lain, C1 memiliki curah hujan yang paling rendah. Pola curah hujan ini tersebar di sebagian besar wilayah utara Jawa Barat. Suhu udara pada C1 tertinggi terdapat pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Januari. Wilayah tengah dan selatan Jawa Barat memiliki pola curah hujan monsunal namun kurang begitu jelas seperti pada C1. Pada kedua pola ini C2 dan C3 terlihat bahwa puncak hujan terjadi pada bulan Januari kemudian turun pada bulan Februari dan pada bulan Maret curah hujan meningkat kembali namun tidak melampaui tinggi curah hujan pada bulan Januari. Hal ini masih termasuk hal yang wajar, karena pada bulan tersebut merupakan bulan basah (musim penghujan). Perbedaan antara C2 dan C3 terdapat pada bulan kering (musim kemarau) dan peralihan. Pada C2 curah hujan terendah terjadi selama 3 bulan dengan curah hujan 50 mm/bulan yang terjadi pada bulan Juli, Agustus, dan September. Memasuki musim penghujan, curah hujan meningkat drastis hingga puncak musim penghujan dengan suhu tertinggi terdapat pada bulan Oktober dan terendah terdapat pada bulan Januari. Sedangkan pada C3 penurunan curah hujan yang terjadi pada masa peralihan dan musim kemarau tidak terlihat drastis. Curah hujan terendah pada cluster ini bernilai lebih dari 100 mm/bulan terjadi pada bulan Juli. Hal ini menandakan bahwa C3 memiliki wilayah yang paling basah dibandingkan dengan wilayah lainnya (C1 dan C2). 4.3 Analisis Perubahan Iklim Curah hujan dan suhu merupakan unsur cuaca yang sangat rentan terhadap terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim akan terlihat pada jangka waktu yang cukup lama yaitu berkisar antara 50 tahun hingga 100 tahun. Pada analisis perubahan iklim yang dilakukan pada penelitian ini, menggunakan data scenario tahun 2055 hingga tahun 2069 untuk mengetahui perubahan iklim 50 tahun yang akan datang. IPCC (2007) dalam UNDP Indonesia (2007) menyatakan akibat peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer pada tahun 1790 hingga tahun 2005 menyebabkan perubahan iklim terutama suhu permukaan pada tahun 2100 akan meningkat antara 1.8 oC hingga 2.9 oC. Simulasi perubahan iklim menggunakan model RegCM3 menghasilkan keluaran berupa data unsur-unsur iklim seperti suhu dan curah hujan, yang nantinya digunakan untuk memprediksi peningkatan suhu dan curah hujan di masa yang akan datang. 4.3.1 Perubahan Curah Hujan Perubahan curah hujan hasil keluaran model RegCM3 pada tahun 2055-2069 (Gambar 7b) menunjukkan penurunan dibandingkan dengan kondisi tahun 19851999 (Gambar 7a). Tahun 1985-1999 curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah selatan Jawa Barat tepatnya di wilayah Gunung Salak, dan curah hujan terendah terdapat di wilayah utara Jawa Barat. Pada tahun 2055-2069 sebaran curah hujan hampir sama dengan kondisi tahun 1985-1999 namun nilai curah hujan rata-rata tahunannya menurun. Penurunan curah hujan terjadi sebesar 6.54%. (a) (b) Gambar 7 Curah hujan keluaran model RegCM3 mililiter (a) tahun 1985-1999 (b) tahun 2055-2069. 15 Gambar 8 Laju kecenderungan curah hujan observasi (tahun 1985-1999). Penentuan laju kecenderungan curah hujan berdasarkan data observasi yaitu periode tahun 1985-1999 dapat dilihat pada Gambar 8. Kecenderungan curah hujan observasi untuk masing-masing pola curah hujan memiliki laju kecenderungan yang berbeda namun secara keseluruhan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada C1 kecenderungan curah hujan memiliki laju yang paling rendah yaitu bernilai 1.49 mm/tahun, sedangkan untuk C2 dan C3 kecenderungan curah hujan bernilai 2.90 mm/tahun dan 2.83 mm/tahun. Hasil perhitungan persentase perubahan curah hujan terdapat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut persentase perubahan curah hujan untuk wilayah C1 memiliki persentase perubahan penurunan curah hujan terbesar yaitu -47.08 % dan C2 memiliki nilai persentase perubahan kenaikan curah hujan yang terbesar yaitu 31.92%. Tanda positif dan negatif pada kedua nilai tersebut mengindikasikan terjadinya pernurunan curah hujan (tanda negatif) dan terjadi kenaikan curah hujan (tanda positif). Sedangkan berdasarkan rata-rata persentase perubahan curah hujan, pada C1, C2, dan C3 menunjukkan terjadinya penurunan curah hujan di waktu yang akan datang dengan kisaran penurunan antara 4.53% hingga 8.16 %. Persentase perubahan curah hujan yang dihitung pada setiap pola curah hujan seperti yang terlihat pada Tabel 1, kemudian diplotkan dalam grafik. Grafik ini menggambarkan perubahan curah hujan saat ini dan curah hujan akan datang sepanjang tahun seperti yang terdapat pada Gambar 9. Tabel 1. Nilai persentase perubahan CH untuk masing-masing pola hujan observasi Persentase Perubahan (%) Nilai C1 C2 C3 Min -47.08 -41.45 -36.14 Max 24.29 31.92 29.93 Rata-rata -5.14 -8.16 -4.53 C1 C2 C3 Gambar 9 Perubahan curah hujan untuk masing-masing pola hujan observasi. 16 Perubahan curah hujan pada setiap pola hujan observasi (C1, C2, dan C3) secara umum menunjukkan peningkatan pada saat musim penghujan dan akan mengalami penurunan pada musim peralihan dan musim kemarau. Selain mengalami peningkatan dan penurunan curah hujan, dari gambar tersebut juga terlihat bahwa puncak musim hujan akan semakin singkat dan musim kemarau akan semakin lama diiringi dengan terjadinya kemunduran awal musim hujan. Hal tersebut sejalan dengan Naylor et al (2007) dalam UNDP Indonesia (2007) yang menyatakan bahwa pada waktu yang akan datang curah hujan pada wilayah selatan ekuator akan mengalami musim kering yang panjang dan musim hujan (basah) yang singkat dengan curah hujan yang tinggi. Berdasarkan Gambar 9, C1 menunjukkan sedikit perubahan curah hujan. Perubahan peningkatan terlihat pada bulan Januari dengan curah hujan kondisi yang akan datang berada diatas curah hujan saat ini. Pada bulan-bulan selanjutnya perubahan curah hujan tidak begitu jelas terlihat. Curah hujan pada C2 untuk kondisi akan datang terlihat berada diatas curah hujan saat ini pada bulan Desember hingga Maret (musim penghujan), namun memasuki bulan April curah hujan akan datang akan berada dibawah curah hujan saat ini. Dimana pada bulan April sudah memasuki musim peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau. Perubahan curah hujan saat ini dan akan datang untuk wilayah C3 sangat terlihat jelas perubahannya. Curah hujan akan datang terlihat lebih tinggi pada saat musim penghujan yaitu pada akhir Desember hingga Maret dan akan berada dibawah curah hujan saat ini pada saat musim peralihan dan musim kemarau yaitu pada bulan April hingga awal Desember. Terjadinya perubahan curah hujan seperti yang dijelaskan sebelumnya memungkinkan terjadinya bencana seperti terjadinya banjir pada saat musim penghujan dan kekeringan yang parah terjadi pada musim kemarau. Oleh karena itu diperlukan beberapa strategi untuk mengatasi dan meminimalkan resiko tersebut. Salah satunya dengan memanfaatkan dan memaksimakan penggunaan waduk, danau, dan tempat penyimpanan air lainnya. Hal ini dimaksudkan agar kelebihan curah hujan yang jatuh pada saat musim penghujan dapat dialirkan menuju waduk sehingga mengurangi resiko banjir. Selain itu air yang terdapat di waduk dapat digunakan pada saat musim kemarau agar tidak terjadi kekurangan air dan mengurangi kekeringan. 4.3.2 Perubahan Suhu Keluaran model RegCM3 untuk unsur cuaca suhu udara dapat dilihat Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10, suhu udara pada periode tahun 2055-2069 (Gambar 10b) menunjukkan terjadinya kenaikan suhu ratarata tahunan sebesar 2.01 oC dibandingkan dengan suhu pada periode 1985-1990 (Gambar 10a). Suhu udara rata-rata tahun 1985-1999 berkisar antara 20.2 oC hingga 27.8 o C. Sedangkan pada periode tahun 2055-2069 suhu udara berkisar antara 22.2 oC hingga 29.4 oC dengan suhu terendah terdapat di selatan Jawa Barat dan tertinggi terdapat di utara Jawa Barat. (a) (b) Gambar 10 Suhu udara keluaran model RegCM3 (a) tahun 1985-1999 (b) tahun 2055-2069. 17 Gambar 11 Laju kecenderungan suhu observasi (tahun 1985-1999). Laju kecenderungan suhu berdasarkan data observasi periode tahun 1985-1999 dapat dilihat pada Gambar 11. Laju kecenderungan suhu terbesar terdapat pada C1 sebesar 0.0216 o C/tahun dan laju terendah terdapat pada C3 sebesar 0.0174 C/tahun. Semua pola hujan observasi memiliki laju kecenderungan yang mendekati 0.02 oC/tahun, hal ini sejalan dengan penelitian Tat (2005) yang menyatakan kecenderungan kenaikan suhu udara rata-rata antara tahun 1974 sampai 2004 sebesar 0.016 oC/tahun. Perubahan suhu hasil keluaran RegCM3 dapat dilihat pada Tabel 2. Perubahan suhu yang terjadi pada kondisi akan datang berbeda dengan perubahan curah hujan. Pada perubahan suhu, kondisi akan datang akan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini terlihat dari nilai perubahan suhu pada masing-masing pola hujan observasi yang memiliki nilai positif. Nilai positif menandakan bahwa terjadi peningkatan suhu pada kondisi akan datang. Sedangkan perubahan curah hujan seperti yang terlihat pada Gambar 9, kondisi akan datang tidak selamanya berada diatas kondisi saat ini atau dapat dikatakan perubahan curah hujan lebih berfluktuatif dibandingkan perubahan suhu yang cenderung konstan. Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat bahwa perubahan suhu untuk ketiga pola hujan observasi rata-rata mengalami perubahan (kenaikan) sebesar 2.00 C sampai 2.02 oC. Diantara C1, C2, dan C3 perubahan minimum terendah terdapat pada C2 yang bernilai 1.61 oC dan perubahan maksimum tertinggi terdapat pada C2 dan C3 sebesar 2.26 oC. Kisaran nilai rata-rata perubahan suhu yang memiliki nilai positif menggambarkan bahwa perubahan suhu yang terjadi pada ketiga pola hujan observasi memiliki perubahan yang hampir sama yaitu terjadi peningkatan dan cenderung konstan seperti yang terlihat pada Gambar 12. Berdasarkan hasil pada Gambar 12, C1, C2, dan C3 diketahui bahwa suhu pada kondisi akan datang akan lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer, sehingga panas dari permukaan bumi tidak dapat keluar dari lapisan atmosfer, sehingga suhu udara akan semakin meningkat atau yang biasa disebut sebagai efek rumah kaca. o Tabel 2. Nilai perubahan suhu untuk masingmasing pola hujan observasi Perubahan Suhu (oC) Nilai C1 C2 C3 Min 1.64 1.61 1.63 Max 2.25 2.26 2.26 Rata-rata 2.02 2.02 2.00 18 C1 C2 C3 Gambar 12 Perubahan suhu untuk masing-masing pola hujan observasi. 4.4 Pendugaan Nilai Evapotranspirasi Potensial (ETP) Pendugaan evapotranspirasi potensial (ETP) dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang dievapotranspirasikan pada kondisi tanah tidak kekurangan air. ETP berpengaruh terhadap banyaknya kandungan air tanah. Hal ini karena dalam proses evapotranspirasi air yang dievapotranspirasikan berasal dari air yang terdapat di dalam tanah. Oleh karena itu pendugaan ETP sangat penting dilakukan dalam perhitungan neraca air lahan. Proses evapotranspirasi sangat tergantung pada suhu udara yang terdapat di suatu wilayah. Jika suhu udara tinggi maka evapotranspirasi yang terjadi akan tinggi, namun sebaliknya jika suhu udara rendah maka evapotranspirasi yang terjadi akan kecil. Selain faktor suhu udara yang mempengaruhi evapotranspirasi, angin juga mempengaruhi laju evapotranspirasi namun pada perhitungan menggunakan metode Thornhtwaite–Mather hanya faktor suhu saja yang digunakan. Pada perhitungan ETP, nilai ETP yang digunakan adalah nilai ETP yang telah terkoreksi dengan posisi lintang (ETP*). Sehingga nilainya akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai ETP yang tidak terkoreksi oleh posisi lintang. Hasil perhitungan evapotranspirasi (ETP) untuk setiap pola hujan yang ada di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil perhitungan menunjukkan pada kondisi saat ini dan akan datang, wilayah yang mempunyai suhu udara tinggi akan memiliki nilai ETP tahunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai suhu udara yang lebih rendah. Tabel 3. Evapotranspirasi potensial (ETP) tahunan pada setiap pola hujan Pola Evapotranspirasi Potensial Tahunan Evapotranspirasi Potensial Tahunan Hujan (Saat ini) (Akan datang) C1 1974.93 mm 2620.98 mm C2 1648.19 mm 2105.42 mm C3 1464.35 mm 1816.69 mm Pada kondisi saat ini dan yang akan datang nilai ETP tahunan tertinggi terdapat di wilayah pola hujan C1 sebesar 1974.93 mm/tahun pada kondisi saat ini dan 2620.98 mm/tahun pada kondisi yang akan datang. Sedangkan nilai ETP terendah terdapat di wilayah pola hujan C3 sebesar 1464.35 mm/tahun pada kondisi saat ini dan 1816.69 mm/tahun pada kondisi yang akan datang. Penambahan nilai ETP pada kondisi yang akan datang disebabkan oleh adanya perubahan iklim terutama peningkatan suhu udara sebesar 2.00 oC hingga 2.02 oC pada kondisi yang akan datang, yang nantinya akan menyebabkan nilai ETP tahunan secara keseluruhan akan mengalami kenaikan. 4.5 Analisis Neraca Air Lahan Perhitungan neraca air lahan digunakan untuk mengetahui banyaknya kandungan air yang terdapat di dalam tanah. Pengertian neraca air menurut Mayong (2006) didefinisikan sebagai keseimbangan antara air yang masuk pada suatu kolom air dalam tanah dengan air yang keluar ditambah dengan total air yang tertahan di dalam tanah. Banyaknya kandungan air yang terdapat di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah curah hujan yang turun dan evapotranspirasi potensial yang terjadi di suatu lahan. Selisih antara kedua nilai disebut defisit kandungan air tanah. Kandungan air dalam tanah sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di 19 sekitarnya, seperti perubahan pada unsur iklim terutama curah hujan dan evapotranspirasi serta perubahan pada kondisi lingkungan. Adanya perubahan iklim akan sangat mempengaruhi kandungan air tanah yang ada. Oleh karena itu perhitungan neraca air lahan juga perlu dilakukan pada kondisi terjadinya perubahan iklim. Data inputan neraca air lahan yang digunakan berupa data curah hujan dasarian untuk tiga pola hujan yang terdapat di Jawa Barat. Selain itu perhitungan neraca air ini juga memasukan unsur perubahan iklim yang terjadi. Berikut adalah hasil perhitungan neraca air lahan untuk pola hujan yang terdapat di Jawa Barat. Tabel 4. Periode surplus dan defisit pada setiap pola hujan Surplus Defisit Pola Hujan Saat Ini Akan Datang Saat Ini Akan Datang C1 14 Dasarian 10 Dasarian 21 Dasarian 25 Dasarian C2 19 Dasarian 16 Dasarian 15 Dasarian 19 Dasarian C3 20 Dasarian 16 Dasarian 0 Dasarian 9 Dasarian Perhitungan neraca air secara lengkap dengan satuan waktu dasarian pada Provinsi Jawa Barat terdapat pada lampiran. Hasil perhitungan neraca air terkait dengan surplus dan defisit didapatkan wilayah yang memiliki periode surplus terlama pada kondisi saat ini terdapat pada pola hujan C3 selama 20 dasarian. Hal ini menandakan bahwa pada wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi sehingga wilayahnya akan basah. Sedangkan wilayah yang memiliki periode surplus tersingkat dengan periode defisit yang cukup lama terdapat di wilayah pola hujan C1 yaitu periode defisit terjadi selama 21 dasarian. Oleh karena itu wilayah ini dapat dikatakan sebagai wilayah yang kering karena memiliki periode defisit yang lebih lama dibandingkan dengan periode surplusnya. Pada kondisi yang akan datang semua wilayah akan mengalami pengurangan periode surplus dan penambahan periode defisit. Perbedaan periode surplus dan defisit antar wilayah pola hujan disebabkan oleh perbedaan curah hujan tahunannya. Sehingga wilayah yang memiliki curah hujan yang tinggi wilayahnya akan sangat basah karena mengalami surplus. Sedangkan pada wilayah yang memiliki curah hujan yang rendah wilayahnya cenderung lebih kering karena defisit air akan lebih besar dibandingkan dengan surplus air. 4.6 Waktu Tanam dan Pola Tanam Penentuan waktu dan pola tanam dilakukan dengan memanfaatkan informasi hasil perhitungan neraca air lahan yang telah dihitung sebelumnya. Informasi hasil perhitungan neraca air yang digunakan terkait tingkat ketersediaan air yang terdapat di dalam tanah (hubungan antara KL, TLP, dan KAT). Waktu tanam dapat ditentukan jika KAT lebih dari 50% water holding capacity (WHC). Jika KAT kurang dari 50% WHC maka tidak dilakukan penanaman. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut kandungan air di dalam tanah jumlahnya terbatas (sedikit) dan akan terus menerus berkurang, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan air tanaman. Dikhawatirkan tanaman tersebut akan mengalami kekurangan air (layu) yang pada akhirnya tanaman mati dan akan mengalami gagal panen. Hasil perhitungan potensi waktu tanam dan pola tanam padi di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 5. Ketersediaan air di dalam tanah dan potensi waktu tanam berpengaruh terhadap penentuan pola tanam. Selain kedua hal tersebut, penetuan pola tanam disesuaikan dengan lamanya umur tanaman. Umur tanaman padi secara umum berkisar antara 90 hari hingga 120 hari tergantung pada varietas padi yang ditanam. Pada penentuan pola tanam, umur tanaman padi yang digunakan adalah yang berumur 100-110 hari seperti varietas Gajah Mungkur (90 – 95 hari), dodokan (100 - 105 hari), INPAR 1 (108 hari), PB12 (109 hari), Danau Tempe (110 hari) (ICRR 2009) dan umur palawija (kedelai) selama 100 hari dengan waktu persemaian tanaman padi selama 20 hari (Triny 2008). 20 Tabel 5. Potensi waktu tanam dan pola tanam pada setiap pola hujan Potensi Waktu Awal Musim Pola Tanam Tanam (Hari) Tanam Pola Hujan Akan Akan Saat Ini Saat Ini Saat Ini Akan Datang Datang Datang C1 192 141 Nov III Des II Padi-Bera-Bera Padi-Bera-Bera C2 252 212 Nov I Nov II Padi-Padi-Bera Padi-Bera-Bera C3 365 365 Sep III Sep III Padi-Padi-Padi Padi-Padi-Padi Hasil penentuan waktu tanam dan pola tanam berdasarkan Tabel 5, Provinsi Jawa Barat memiliki potensi waktu tanam dan pola tanam yang beragam. Potensi waktu tanam untuk pola hujan observasi (C1,C2, dan C3) akan mengalami pengurangan dan tidak terjadi perubahan (tetap) potensi waktu tanam. Wilayah yang tidak mengalami perubahan potensi waktu tanam terdapat pada wilayah C3. Sedangkan wilayah yang mengalami pengurangan potensi waktu tanam terdapat pada wilayah C1 dan C2. Pengurangan waktu tanam berkisar antara 40 hari hingga 51 hari. Pengurangan waktu naman terbesar terjadi pada pola hujan C1. Pengurangan potensi waktu tanam terjadi jika penurunan persentase perubahan curah hujan yang tinggi bersamaan dengan kenaikan perubahan suhu, sehingga wilayah tersebut akan kering. Lamanya potensi waktu tanam berdasarkan pola hujan pada kondisi saat ini berkisar dari 191 hari sampai 365 hari (waktu tanam dapat dilakukan sepanjang tahun). Sedangkan pada kondisi akan datang potensi waktu tanam berkisar mulai dari 141 hari hingga 365 hari. Potensi waktu tanam tersingkat pada kedua kondisi tersebut terdapat pada pola hujan C1. Awal musim tanam ditentukan pada saat memasuki musim penghujan dimana curah hujan dasarian bernilai lebih dari 50 mm (Sutrisno 2010) dan pada saat nilai KAT berada diatas 50% WHC. Awal musim tanam tercepat terdapat pada pola hujan C3 yang terjadi pada akhir September (dasarian III), sedangkan untuk pola hujan C1 dan C2 awal waktu tanam dapat dilakukan pada bulan November. Sedangkan pola tanam Jawa Barat pada pola hujan C1 memiliki pola tanam padibera-bera, C2 memiliki pola tanam padi-padibera, namun pada pola hujan C3 memiliki pola tanam padi-padi-padi. Perubahan iklim selain berpengaruh terhadap perubahan potensi waktu tanam, juga berpengaruh terhadap perubahan awal musim tanam dan pola tanam. Akibatnya awal musim tanam untuk kondisi akan datang mengalami kemunduran. Kemunduran awal musim tanam berkisar antara satu sampai dua dasarian. Kemunduran awal musim tanam dan terjadinya perubahan potensi waktu tanam akan mengakibat perubahan pada pola tanam yang ada pada saat ini. Pola tanam yang semula padi-padi-bera akan berubah menjadi padi-bera-bera pada pola hujan C2. Pola tanam akan berubah karena menyesuaikan dengan kondisi kandungan air di dalam tanah. Oleh karena itu pemilihan jenis tanaman sangat penting untuk menyesuaikan dan memaksimalkan penggunaan air di dalam tanah. Hasil perhitungan waktu dan pola tanam selain berdasarkan ketiga pola hujan Jawa Barat juga disajikan berdasarkan kabupaten di Jawa Barat (Lampiran 21). V. 5.1 KESIMPULAN Kesimpulan Perhitungan kecenderungan perubahan curah hujan menggunakan data observasi periode tahun 1985-1999, menunjukkan nilai kecenderungan yang terdapat di Jawa Barat sebesar 1.49 mm/tahun hingga 2.90 mm/tahun. Sedangkan untuk mengetahui perubahan kondisi iklim akan datang diperoleh dari keluaran model RegCM3. Kondisi iklim akan datang menunjukkan terjadi penurunan curah hujan di Jawa Barat. Penurunan curah hujan berkisar antara 4.53% hingga 8.16% dengan penurunan persentase rata-rata terbesar terdapat pada pola hujan C2. Pola perubahan curah hujan tahunan menunjukkan peningkatan pada saat musim penghujan dan akan mengalami penurunan pada musim peralihan dan musim kemarau. Selain itu pada kondisi akan datang puncak musim hujan akan semakin singkat dan musim kemarau akan semakin lama. Perubahan iklim juga mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu pada kondisi akan datang. Kecenderungan perubahan suhu berdasarkan data observasi menunjukkan nilai kecenderungan berkisar antara 0.0174 o C/tahun hingga 0.0216 oC/tahun. Sedangkan