Pemanfaatan luaran Regcm3 untuk kajian dampak

advertisement
7
radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin,
dan kelembaban udara dalam penentuan
evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang
mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman
tanah, dan topografi.
Kebutuhan air bagi tanaman untuk
setiap fase pertumbuhan dan jenis tanaman
berbeda (Saragi 2008). Kebutuhan air
tanaman umumnya akan meningkat seiring
dengan bertambahnya petumbuhan tanaman
hingga pertumbuhan vegetatif maksimum dan
kemudian menurun kembali sampai pada
tahap panen. Kebutuhan air tanaman berkisar
antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai
120 mm pada pertumbuhan paling aktif.
Kebutuhan air tanaman untuk padi dan
palawija berbeda. Kebutuhan air untuk padi
sawah adalah sebesar 600-1200 mm (4,5
bulan) atau 90-250 mm per bulan. Sedangkan
untuk palawija seperti jagung kebutuhan air
sebesar 350-400 mm (3 bulan) atau 85-100
mm per bulan, dan untuk tanaman kedelai
kebutuhan air tanamannya adalah sebesar 300350 mm (3,5 bulan) atau 75-100 mm per
bulan (Naylor 2001).
2.11
Kapasitas Lapang dan Titik Layu
Permanen
Kandungan air tanah merupakan
kebutuhan pokok bagi pertumbuhan optimum
tanaman. Menurut Heryani (2001) ada
beberapa
sifat-sifat
air
tanah
yang
mempengaruhi ketersediaan air untuk
tanaman diantaranya :
1. Kemampuan tanah untuk menginfiltrasi
air hujan yang jatuh ke permukaan tanah
2. Daya hisap air oleh tanah dalam
kompetisi dengan tanaman
3. Kemampuan tanah dalam menyimpan
dan menahan air pada daerah perakaran
4. Pergerakan air tanah
5. Volume tanah yang dapat dijelajahi oleh
akar tanaman
Penetapan kadar air tanah pada
beberapa keadaan seperti kapasitas lapang dan
titik layu permanen sangat diperlukan dalam
hubungannya dengan pertumbuhan tanaman.
Kapasitas lapang adalah jumlah air maksimum
yang mampu ditahan oleh tanah. Kapasitas
lapang biasanya dianggap sebagai batas atas
ketersediaan air, keadaan ini tercapai setelah
air berhenti mengalir ke bawah setelah
tercapai keadaan jenuh. Sedangkan titik layu
permanen adalah kandungan air tanah pada
saat tanaman yang berada di atas permukaan
tanah mengalami layu permanen dalam arti
tanaman sulit hidup kembali meskipun telah
ditambahkan sejumlah air yang mencukupi.
Selisih antara kadar air tanah pada kapasitas
lapang dengan titik layu permanen disebut
dengan air tersedia. Air tersedia adalah jumlah
air yang memungkinkan bagi tanaman untuk
dapat diabsorpsi atau sering disebut juga
Water Holding Capacity) (Heryani 2001).
III.
3.1
DATA DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di
Center for Climate Risk Management in
Southeast Asian and Pacific (CCROM –
SEAP) Baranang Siang dan Laboratorium
Klimatologi Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.
3.2
Bahan dan Alat
Bahan atau data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data curah hujan dasarian Provinsi Jawa
Barat periode tahun 1985 sampai 1999
(Sumber:
Badan
Meteorologi
Klimatologi dan Geofosika).
2. Data suhu udara rata-rata dasarian
Provinsi Jawa Barat periode tahun 1985
sampai
1999
(Sumber:
Badan
Meteorologi
Klimatologi
dan
Geofosika).
3. Data jenis tanah Provinsi Jawa Barat
(Sumber: Lembaga Penelitian Tanah
(Puslittanak)).
4. Data Kapasitas Lapang (KL) dan Titik
Layu Permanen (TLP) untuk berbagai
kabupaten di Jawa Barat yang digunakan
untuk perhitungan neraca air dan
penentuan waktu tanam (Sumber:
Pawitan 1997)
5. Simulasi model RegCM3 menggunakan
data initial and boundary condition
(ICBC) dari model GCM ECHAM5
dengan
resolusi
temporal
yang
digunakan 3 jam-an untuk periode
baseline (tahun 1985-1999) dan scenario
(tahun 2055-2069).
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan sistem operasi Linux Fedora 12 untuk
aplikasi model iklim regional RegCM3 dan
sistem operasi Windows untuk aplikasi
Microsoft Office 2003 dan 2007 (Microsoft
Excel untuk mengolah data dan Microsoft
Word), Arc View, Minitab 14, dan panoply.
8
3.3
Tahapan Penelitian
Analisis perubahan iklim yang
digunakan pada penelitian ini menggunakan
data hasil keluaran model RegCM3 berupa
data baseline dan scenario. Kedua data
tersebut diolah dan kemudian diketahui
persentase perubahan iklim yang digunakan
untuk memprediksi kondisi iklim di waktu
yang akan datang. Hasil perhitungan dan
prediksi perubahan iklim kemudian digunakan
untuk menghitung neraca air, waktu tanam,
dan pola tanam di Jawa Barat. Penentuan
waktu tanam dan pola tanam dilakukan
dengan menghitung neraca air lahan yang ada
di Jawa Barat. Neraca air lahan akan
menghasilkan ketersediaan air tanah yang
nantinya akan menjadi dasar penentuan waktu
tanam. Penentuan pola tanam berdasarkan
pada kebutuhan air tanaman untuk masingmasing tanaman pangan. Penentuan dan
perhitungan waktu tanam dan pola tanam juga
dilakukan untuk kondisi saat ini.
3.3.1 Plotting Stasiun Hujan
Plotting atau penempatan posisi stasiun
untuk masing-masing stasiun cuaca yang
digunakan. Plotting dilakukan berdasarkan
garis lintang dan bujur, serta ketinggian
stasiun diatas permukaan laut. Plotting
digunakan untuk menunjukkan jumlah dan
titik lokasi stasiun yang terdapat pada suatu
lokasi.
3.3.2 Pembuatan Curah Hujan Wilayah
Pembuatan curah hujan wilayah
berdasarkan data curah hujan titik pada
stasiun cuaca. Curah hujan wilayah yang
digunakan menggunakan metode isohyet.
Metode ini diawali dengan membuat peta
isohyet dan mencari garis tengah antara
masing-masing garis isohyet. Setelah itu
menghitung luasan dari isohyet tersebut,
kemudian mengkalikan antara curah hujan
dengan luas dan membaginya dengan jumlah
luasan keseluruhan isohyet.
k
∑
P=
(Pi −1 + Pi )Ai
2
i
k
…… (1)
∑ Ai
i
Keterangan:
P
Pi
Ai
: Curah hujan rata-rata
: Curah hujan pada isohyet ke-i
: Luasan wilayah pada isohyet ke-i
3.3.3 Pengelompokkan Curah Hujan Jawa
Barat
Pengelompokan curah hujan diawali
dengan melakukan analisis komponen utama
(PCA) menggunakan Minitab 14. PCA pada
dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan
variabel
yang
diamati
dengan
cara
menyusutkan atau mereduksi dimensi
sehingga menghasilkan komponen utama
(PC). PC adalah cara menghilangkan korelasi
diantara variabel bebas melalui transformasi
variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak
berkorelasi sama sekali (Soemartini 2008),
dengan keragaman data berdasarkan proporsi
kumulatif minimal sebesar 90% atau pada saat
grafik antara jarak level dan nomor kelompok
terjadi pembelokkan pertama. Metode PCA
dapat mengatasi masalah multikolinearitas
tanpa membuang variabel bebas yang
berkolinear tinggi. Setelah komponen utama
didapat,
kemudian
dilakukan
pengelompokkan
dengan
menggunakan
Minitab 14. Pengelompokkan pola curah
hujan Jawa Barat menggunakan metode
hirarki. Metode hirarki dimulai dengan
mengelompokkan dua atau lebih obyek yang
mempunyai kesamaan paling dekat. Metode
ini digunakan untuk menentukan banyaknya
jumlah
kelompok
tanpa
menentukan
jumlahnya terlebih dahulu. Penentuan
banyaknya jumlah kelompok dilihat dari
pembelokkan pertama pada grafik hubungan
antara tingkat kesamaan dan nomor kelompok
yang diperoleh dari minitab. Dendograf
digunakan untuk membantu memperjelas
proses hirarki tersebut.
3.3.4 Analisis Perubahan Iklim
Simulasi model iklim RegCM3
dilakukan untuk memperoleh proyeksi iklim
pada tahun 2055 sampai tahun 2069 dengan
baseline periode tahun 1985 sampai tahun
1999. Pendugaan komponen atmosfer pada
model ini menggunakan ECHAM5. ECHAM
5 merupakan model sirkulasi umum ECHAM
versi ke-5 (Jungclause et al 2005). Model
ECHAM5 menggunakan skema adveksi semilagrangian,
dengan
kelebihan
untuk
mengetahui kadar air total. Resolusi
horizontal ECHAM5 1.875o × 1.875°
sedangkan resolusi vertikal terbatas pada 10
hPa (Liess 2005). Variabel ECHAM5
digunakan sebagai data boundary untuk
menjalankan model iklim skala regional
(RCM) dengan resolusi grid 25 km x 25 km.
RCM
merupakan
teknik
dynamical
downscaling
yang
memperhitungkan
9
dinamika atmosfer, melalui model matematis
yang konsisten dengan gambaran fisis sistem
iklim (Lenart 2008).
Model permukaan daratan yang
digunakan oleh RegCM3 yaitu BATS
(Biosphere Atmosphere Transfer Sceme).
BATS adalah sistem permukaan yang
dirancang untuk menjelaskan pertukaran
momentum, energi, maupun uap air antara
permukaan dengan atmosfer. Parameterisasi
fluks lautan pada model ini menggunakan
skema zeng. Skema zeng menggambarkan
pertukaran panas dan momentum antara lautan
dan atmosfer bawah. Sedangkan untuk
parameterisasi awan atau skema konveksi,
digunakan pendekatan parameterisasi Grell.
Parameterisasi
skema
konveksi
Grell
mengasumsikan tidak adanya percampuran
langsung antara udara yang terdapat di dalam
awan dengan udara lingkungan, kecuali pada
bagian atas dan bawah sirkulasi (Elguindi
2007). Skenario masa depan yang digunakan
pada penelitian ini adalah skenario proyeksi
iklim berdasarkan skenario SRES A1B.
Skenario SRES A1B menggambarkan
keseimbangan penggunaan energi fosil dan
energi non fosil pada kondisi yang akan
datang.
Hasil luaran RegCM3 yang dianalisis
dalam penelitian ini yaitu curah hujan dan
suhu,
yaitu
dengan
membandingkan
perbedaan antar data skenario dan baseline
dari model. Nilai persentase perubahan curah
hujan antara kondisi scenario dan baseline
dihitung melalui persamaan berikut:
% perubahan = % ...… (2)
Nilai persentase perubahan yang diperoleh
dengan menggunakan persamaan (2) antara
baseline dan scenario, digunakan untuk
menduga proyeksi curah hujan akan datang
berdasarkan persamaan berikut:
% CH akan datang = data obs+(data obs*
)...(3)
Nilai selisih perubahan suhu yang diperoleh
dari model antara kondisi scenario dan
baseline dihitung dengan persamaan berikut:
Selisih perubahan =suhu scenario-suhu baseline …(4)
Persamaan (4) digunakan untuk menduga
kondisi suhu yang akan datang dengan
menggunakan persamaan:
Suhu akan datang=suhu observasi+selisih perubahan …(5)
3.3.5 Pendugaan Nilai Evapotranspirasi
Potensial (ETP)
Pendugaan evapotranspirasi potensial
(ETP) dilakukan dengan menggunakan data
suhu yang diperoleh dari stasiun cuaca yang
terdapat di Provinsi Jawa Barat. Selain
membutuhkan data CH dan suhu, pendugaan
ETP juga memerlukan informasi mengenai
panjang hari yang terjadi selama satu tahun
pada letak lintang tertentu.
Pendugaan nilai ETP menggunakan
metode Thornhtwaite–Mather (Chang 1968)
dengan perhitungan sebagai berikut:
ETp*= ETp x f
............ (6)
ETp = 16 ............ (7)
,
i = ............ (8)
I =
............ (9)
f =
∑"
!# !
$
%
............ (10)
Keterangan :
ETp* = Evapotranspirasi terkoreksi
T
= suhu rata-rata bulanan (oC)
a
= 6,75x10-7I3 – 7,71x10-5I2 + 1,792x10-2I + 0,49239
D
= panjang hari berdasarkan lintang
3.3.6 Perhitungan Neraca Air Lahan
Perhitungan
neraca
air
lahan
merupakan langkah yang paling penting
dalam penentuan waktu tanam dan pola tanam
padi. Langkah-langkah dalam penyusunan
neraca air lahan berdasarkan ThornthwaiteMather 1957 adalah sebagai berikut:
1. Menghitung curah hujan dasarian
2. Menghitung suhu udara rata-rata
dasarian
3. Menghitung
nilai
evapotranspirasi
potensial (ETP) dengan menggunakan
metode Thornhtwaite–Mather
4. Menghitung CH-ETP
5. Menghitung APWL (Accumulation of
Potensial Water Loss). Akumulasi air
yang hilang secara potensial, yang
nantinya menentukan kandungan air
tanah pada saat CH lebih kecil dari
evapotranspirasi potensial (CH<ETP).
APWL merupakan akumulasi CH-ETP
yang bernilai negatif.
6. Menghitung nilai Kandungan Air Tanah
(KAT)
Perhitungan nilai KAT sangat tergantung
dari nilai kapasitas lapang (KL). Nilai
KL berbeda-beda tergantung kepada
jenis tanah yang ada pada wilayah
tertentu.
10
7.
KAT = KL exp (APWL/KL) …... (11)
Ro3 = (50% x 50%S1)+(50% x
50%S2)+50% S3
Keterangan:
KAT = Kandungan Air Tanah
KL = Kapasitas lapang
Menghitung
∆KAT
(Perubahan
Kandungan Air Tanah)
Perubahan KAT merupakan selisih
antara KAT satu periode dengan periode
sebelumnya.
Keterangan:
S1 = Surplus pada bulan pertama
S2 = Surplus pada bulan kedua
S3 = Surplus pada bulan ketiga
KAT = KATi – KATi-1 …… (12)
8.
9.
Nilai ∆KAT positif menunjukkan
terjadinya penambahan kandungan air
tanah, penambahan terhenti apabila KL
telah terpenuhi. Sedangkan ∆KAT
negatif
menunjukkan
terjadinya
pengurangan kandungan air tanah.
Menghitung
nilai
Evapotranspirasi
Aktual (ETA)
Perhitungan nilai ETA sangat tergantung
pada
nilai
curah
hujan
dan
evapotranspirasi potensial.
3.3.7 Penentuan Waktu Tanam
Penentuan waktu tanam didasarkan
pada ketersediaan perhitungan lengas tanah
hasil perhitungan neraca air lahan yang
dilakukan sebelumnya. Penetapan periode
tanam atau waktu tanam jika lengas tanah >
50% dari air tersedia (Water Holding
Capacity). Hal ini mengacu pada Richard
(1969) dalam Perdana (1995) yaitu untuk
mendapatkan pertumbuhan tanaman yang
baik, air dalam tanah harus ditambahkan 50%
- 85 % dari air tersedia telah habis terpakai.
Selain itu metode ini sudah banyak digunakan
untuk penelitian terkait dengan penentuan
waktu tanam, seperti yang dilakukan oleh
Hidayat tahun 2005.
Jika CH>ETP, ETA = ETP
Jika CH<ETP, ETA = CH+KAT
3.3.8 Penentuan Pola Tanam
Pada saat curah hujan lebih kecil dari
evapotranspirasi potensial maka tanah
akan mulai mengering dan ETA menjadi
lebih rendah dibandingkan dengan nilai
ETPnya.
Menghitung Defisit
Defisit disini berarti berkurangnya air
untuk keperluan ETP. Nilai defisit
merupakan jumlah air yang perlu
ditambahkan untuk memenuhi keperluan
ETP tanaman.
Penentuan pola tanam berdasarkan
nilai kebutuhan air tanaman untuk masingmasing jenis tanaman. Kebutuhan air tanaman
sering juga disebut sebagai Crop Water
Requirement (CWR) yang
merupakan
banyaknya air yang hilang pada areal
bervegetasi per satuan luas per satuan waktu
yang digunakan untuk transpirasi dan
evaporasi (ETc) (Hidayat 2005). Nilai Kc
akan berbeda-beda tergantung jenis tanaman
dan fase-fase perkembangannya.
D = ETP – ETA …… (13)
CWR = ETcrop = kc * ETp …… (16)
10. Menghitung Surplus
Surplus air yang dimaksud merupakan
kelebihan curah hujan setelah simpanan
air mencapai kapasitas lapang.
S = CH – ETP - KAT …… (14)
Keterangan:
ETcrop : Evapotranspirasi tanaman
kc
:Koefisien tanaman, untuk masingmasing tanaman memiliki nilai
yang berbeda-beda
ETp
: Evapotranspirasi potensial
11. Menghitung Limpasan (Runoff)
Surplus air akan dilepaskan sebesar 50%
secara bertahap, dengan rumus sebagai
berikut:
3.3.9 Analisis
Perbandingan
Waktu
Tanam dan Pola Tanam Kondisi
Saat Ini dan Akan Datang
Ro1 = 50% x S1 …… (15)
Untuk bulan-bulan berikutnya surplus air
dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Ro2 = (50% x 50%S1)+ 50% S2
Perbandingan waktu tanam dan pola
tanam ditentukan berdasarkan perubahan
iklim yang terjadi. Kondisi iklim yang terjadi
saat ini dan beberapa tahun yang lalu
dilakukan dengan cara menghitung unsur
iklim yang terkait dengan waktu dan pola
tanam secara manual (tanpa model).
Sedangkan kondisi iklim yang terjadi di masa
11
yang akan datang, yang cenderung mengalami
perubahan dilakukan dengan memanfaatkan
keluaran model iklim. Hasil antara kondisi
iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan
analisis
dan
kemudian
dilakukan
perbandingan terhadap perubahan pola dan
waktu tanam.
IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Klimatologis Provinsi Jawa
Barat
Provinsi
Jawa
Barat
memiliki
keberagaman bentuk topografi, dimulai dari
wilayah pantai dan dataran rendah yang
terdapat dibagian utara, dataran tinggi di
tengah dan pegunungan di selatan Provinsi
Jawa Barat. Beragamnya kondisi topografi
Jawa Barat mengakibatkan keragaman kondisi
klimatologis terutama distribusi curah hujan
dan suhu. Sebaran curah hujan dan suhu
sangat beragam di wilayah Jawa Barat. Setiap
daerah di Jawa Barat tidak semuanya
mempunyai nilai suhu dan curah hujan yang
sama, terutama pada bagian tengah dan bagian
selatan Jawa Barat karena adanya barisan
pegunungan.
Distribusi curah hujan Provinsi Jawa
Barat dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3
menunjukkan distribusi rata-rata curah hujan
tahunan yang diambil dari data BMKG tahun
1985 sampai tahun 1999. Curah hujan tahunan
Jawa Barat berkisar antara 1414 mm hingga
4347 mm. Secara umum curah hujan rata-rata
Jawa Barat sebesar 3000 mm/tahun. Curah
hujan terendah berdasarkan Gambar 3 terdapat
di sekitar wilayah pesisir Pantura seperti
Kabupaten Indramayu dan Kabupaten
Cirebon. Sedangkan curah hujan tertinggi
terdapat di wilayah selatan Jawa Barat yang
banyak terdapat pegunungan.
Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.
Download