good governance - Manajemen Files Narotama

advertisement
INDIKATOR & ALAT UKUR
PRINSIP
AKUNTABILITAS, TRANSPARANSI & PARTISIPASI
Disusun oleh :
Dra.LOINA LALOLO KRINA P.
SEKRETARIAT GOOD PUBLIC GOVERNANCE
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
JAKARTA - AGUSTUS 2003
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tatacara
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik.
Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan,
monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada
masyarakat yang memburuk.
Masalah-masalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan
ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat,
jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan
bahkan telah menyebabkan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah
yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia.
Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan
perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik,
yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan
dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi.
Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat
terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi
ditandai dengan saling ketergantungan antarbangsa, terutama dalam
pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis).
Kedua perkembangan diatas, baik demokratisasi maupun globalisasi,
menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah, yang sebelumnya memegang kuat kendali pemerintahan, cepat
atau lambat harus mengalami pergeseran peran dari posisi yang seba
mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan
pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang
dinilai cenderung menghambat perluasan aktivitas bisnis, harus mulai
menyadari pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik.
Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima
manfaat (beneficiaries), harus mulai menyadari kedudukannya sebagai
pemilik kepentingan yang juga harus berfungsi sebagai pelaku.
Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar
segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses
pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Disadari,
mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan waktu yang tidak
singkat dan juga upaya yang terus menerus. Disamping itu, perlu juga
dibangun kesepakatan serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen
bangsa yang melibatkan tiga pilar berbangsa dan bernegara, yaitu para
aparatur
negara,
pihak
swasta
dan
masyarakat
madani
untuk
menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dalam rangka mencapai tata
pemerintahan yang baik.
1.2.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka beberapa hal yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah :
a. Apa yang dimaksud dengan tata pemerintahan yang baik (good
governance) ?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sebuah tata pemerintahan
yang baik ?
c. Indikator dan alat ukur apa saja yang dapat dipergunakan untuk menilai
sebuah tata pemerintahan ?
II. TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)
Good governance adalah “mantra” yang diucapkan oleh banyak orang di
Indonesia sejak 1993. Kata governance mewakili suatu etika baru yang
terdengar rasional, profesional, dan demokratis, tidak soal apakah
diucapkan di kantor Bank Dunia di Washington, AS atau di kantor LSM yang
kumuh di pinggiran Jakarta. Dengan kata itu pula wakil dari berbagai
golongan profesi seolah disatukan oleh “koor seruan” kepada pemerintah
yang korup di negara berkembang. “Good governance, bad men!”
terkepung oleh seruan dari berbagai pihak, kalangan pejabat pemerintah
pun lantas juga fasih menyebut konsep ini, meski dengan arti dan maksud
yang berbeda.
Proses pemahaman umum mengenai governance atau tata pemerintahan
mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an, dan mulai semakin
bergulir pada tahun 1996, seiring dengan interaksi pemerintah Indonesia
dengan negara luar sebagai negara-negara pemberi bantuan yang banyak
menyoroti kondisi obyektif perkembangan ekonomi dan politik Indonesia.
Istilah ini seringkali disangkutpautkan dengan kebijaksanaan pemberian
bantuan
dari
negara
donor,
dengan
menjadikan
masalah
isu
tata
pemerintahan sebagai salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam
pemberian bantuan, baik berupa pinjaman maupun hibah.
Kata governance sering dirancukan dengan government. Akibatnya, negara
dan pemerintah menjadi korban utama dari seruan kolektif ini, bahwa
mereka adalah sasaran nomor satu untuk melakukan perbaikan-perbaikan.
Badan-badan
keuangan
internasional
mengambil
prioritas
untuk
memperbaiki birokrasi pemerintahan di Dunia Ketiga dalam skema good
governance mereka. Aktivitis dan kaum oposan, dengan bersemangat, ikut
juga dalam aktivitas ini dengan menambahkan prinsip-prinsip kebebasan
politik sebagai bagian yang tak terelakkan dari usaha perbaikan institusi
negara. Good governance bahkan berhasil mendekatkan hubungan antara
badan-badan keuangan multilateral dengan para aktivis politik, yang
sebelumnya bersikap sinis pada hubungan antara pemerintah negara
berkembang dengan badan-badan ini. Maka, jadilah suatu sintesa antara
tujuan ekonomi dengan politik.
Tetapi, sebagaimana layaknya suatu mantra, para pengucap tidak dapat
menerangkan sebab akibat dari suatu kejadian, Mereka hanya mengetahui
sebgian, yaitu bahwa sesuatu yang invisible hand menyukai mantra yang
mereka ucapkan. Pada kasus good governance, para pengucap hanya
mengetahui sedikit hal yaitu bahwa sesuatu yang tidak terbuka dan tidak
terkontrol akan mengundang penyalahgunaan, bahwa program ekonomi
tidak akan berhasil tanpa legitimasi, ketertiban sosial, dan efisiensi
institusional.
Satu faktor yang sering dilupakan adalah, bahwa kekuatan konsep ini justru
terletak pada keaktifan sektor negara, masyarakat dan pasar untuk
berinteraksi. Karena itu, good governance, sebagai suatu proyek sosial,
harus melihat kondisi sektor-sektor di luar negara.
2.1.
Arti Good governance
Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah
penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola
urusan-urusan negara pada semua tingkat. 1 Tata pemerintahan mencakup
seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan
kelompok-kelompok
menggunakan
hak
masyarakat
hukum,
mengutarakan
memenuhi
kepentingan
kewajiban
dan
mereka,
menjembatani
perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan
sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sector negara
dan sector non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif.2
Definisi ini
mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat
dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi
governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusiinstitusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat
banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang
berbeda.
1
2
Dikutip dari artikel “Dokumen Kebijakan UNDP : Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan
Manusia Berkelanjutan”, dalam buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata
Pemerintahan di Indonesia, 2000.
Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul “Good governance : Prinsip, Komponen dan
Penerapannya”, yang dimuat dalam buku HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik &
Masyarakat Warga, (2000), Jakarta : Komnas HAM.
Meskipun mengakui ada banyak aktor yang terlibat dalam proses sosial,
governance bukanlah sesuatu yang terjadi secara chaotic, random atau tidak
terduga. Ada aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai aktor yang
berbeda. Salah satu aturan main yang penting adalah adanya wewenang
yang dijalankan oleh negara. Tetapi harus diingat, dalam konsep governance
wewenang diasumsikan tidak diterapkan secara sepihak, melainkan melalui
semacam konsensus dari pelaku-pelaku yang berbeda. Oleh sebab itu,
karena melibatkan banyak pihak dan tidak bekerja berdasarkan dominasi
pemerintah,
maka
pelaku-pelaku
diluar
pemerintah
harus
memiliki
kompetensi untuk ikut membentuk, mengontrol, dan mematuhi wewenang
yang dibentuk secara kolektif.
Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam konteks pembangunan, definisi
governance adalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan
sosial untuk tujuan pembangunan”, sehingga good governance, dengan
demikian, “adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial
yang substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yang
stabil dengan syarat utama efisien) dan (relatif) merata.”
Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata
pemerintahan
adalah
“penggunaan
wewenang
ekonomi
politik
dan
administrasi guna mengelola urusan-urusan negra pada semua tingkat. Tata
pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga
dimana
warga
dan
kelompok-kelompok
masyarakat
mengutarakan
kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan
menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka. 3
Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara,
pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik
kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja
3
Dokumen Kebijakan UNDP dalam “Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia
Berkelanjutan”, Januari 1997, yang dikutip dari Buletin Informasi Program Kemitraan untuk
Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2000
pemerintah.
Pemerintah
mempromosikan
tujuan
berkewajiban
ekonomi
melakukan
jangka
panjang
investasi
seperti
untuk
pendidikan
kesehatan dan infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu
masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya sistem
demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good
governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good governance tidak
dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak
dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu.
2.2.
Membangun Good governance
Membangun good governance adalah mengubah cara kerja state, membuat
pemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar negara
cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara
umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat
diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan cara
kerja
institusi
negara
dan
pemerintah.
Harus
kita
ingat,
untuk
mengakomodasi keragaman, good governance juga harus menjangkau
berbagai tingkat wilayah politik. Karena itu, membangun good governance
adalah proyek sosial yang besar. Agar realistis, usaha tersebut harus
dilakukan secara bertahap. Untuk Indonesia, fleksibilitas dalam memahami
konsep ini diperlukan agar dapat menangani realitas yang ada.
III.
PRINSIP-PRINSIP
TATA
PEMERINTAHAN
YANG
BAIK
(GOOD
GOVERNANCE)
UNDP
merekomendasikan
beberapa
karakteristik
governance,
yaitu
legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan
berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan
(financial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan
ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya.
Sedangkan
World
Bank
mengungkapkan
sejumlah
karakteristik
good
governance adalah masyarakat sispil yang kuat dan partisipatoris, terbuka,
pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung
jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum.
Masyarakat Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti
:
transparansi,
akuntabilitas,
kewajaran
dan
kesetaraan,
serta
kesinambungan. Sejumlah pendapat lain mengenai prinsip-prinsip good
governance dapat dilihat dalam Lampiran 1.
Asian Development Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa
good governance dilandasi oleh 4 pilar yaitu (1) accountability, (2)
transparency, (3) predictability, dan (4) participation.
4
Jelas bahwa jumlah komponen atau pun prinsip yang melandasi tata
pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain,
dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip
yang
dianggap
sebagai
prinsip-prinsip
utama
yang
melandasi
good
governance, yaitu (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi
Masyarakat.
Berikut ini adalah pembahasan mendalam dari ketiga prinsip tersebut
disertai dengan indikator serta alat ukurnya masing-masing,
3.a.
Prinsip Akuntabilitas : Definisi, Indikator & Alat Ukurnya
Ketiga prinsip tersebut diatas tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri, ada
hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi, masing-masing adalah
instrumen yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya, dan
ketiganya adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai manajemen
publik yang baik.
Walaupun begitu, akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini.5
Prinsip
4
5
ini
menuntut
dua
hal
yaitu
(1)
kemampuan
menjawab
Dikutip dari artikel “Publik Administration in the 21-st Century”, yang diterbitkan oleh Asian
Development Bank
ibid.
(answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama
(istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan
tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka
menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan,
dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.
Prof
Miriam
Budiardjo
mendefinisikan
akuntabilitas
sebagai
“pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada
mereka
yang
memberi
mandat
itu.”6
Akuntabilitas
bermakna
pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi
kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi
penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi
(checks and balances sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah
eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan
sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin
penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar
keempat
Guy Peter menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu : (1) akuntabilitas
keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan
publik.
7
Paparan ini tidak bermaksud untuk membahas tentang akuntabilitas
keuangan, sehingga berbagai ukuran dan indikator yang digunakan
berhubungan dengan akuntabilitas dalam bidang pelayanan publik maupun
administrasi publik.
Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan
penyelenggaraan
pemerintahan
dapat
dipertanggungjawabkan
secara
terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan
kebijakan. 8
6
7
8
Miriam Budiardjo, (1998), “Menggapai kedaulatan Untuk Rakyat”, Bandung : Mizan, hal 107120)
B. Guy Peters, (2000), “The Politics of Bureaucracy”, London : Routledge, hal 299-381)
Op.cit, hal, 19
Pengambilan keputusan didalam organisasi-organisasi publik melibatkan
banyak pihak. Oleh sebab itu wajar apabila rumusan kebijakan merupakan
hasil kesepakatan antara warga pemilih (constituency) para pemimpin
politik, teknokrat, birokrat atau administrator, serta para pelaksana di
lapangan.
Sedangkan dalam bidang politik, yang juga berhubungan dengan masyarakat
secara umum, akuntabilitas didefinisikan sebagai mekanisme penggantian
pejabat atau penguasa, tidak ada usaha untuk membangun monoloyalitas
secara sistematis, serta ada definisi dan penanganan yang jelas terhadap
pelanggaran
kekuasaan
dibawah
rule
of
law.
Sedangkan
publik
accountability didefinisikan sebagai adanya pembatasan tugas yang jelas
dan efisien. 9
Berbagai definisi lain tentang akuntabilitas maupun pembahasan singkatnya
dapat dilihat pada Lampiran 2. Tetapi, secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa
akuntabilitas
berhubungan
dengan
kewajiban
dari
institusi
pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di dalamnya untuk
membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang
berlaku maupun kebutuhan masyarakat. `Akuntabilitas publik menuntut
adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi.
Karena pemerintah bertanggung gugat baik dari segi penggunaan keuangan
maupun sumber daya publik dan juga akan hasil, akuntabilitas internal harus
dilengkapi dengan akuntabilitas eksternal , melalui umpan balik dari para
pemakai jasa pelayanan maupun dari masyarakat.
Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa
besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilainilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang
9
Meuthia Ganie-Rochman, hal 141
berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan tahapan
sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah :
1.
pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator
untuk menjamin akuntabilitas publik adalah :
a. pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan
tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan
b. pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai
yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi
yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders
c. adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah
sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku
d. adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi,
dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika standar
tersebut tidak terpenuhi
e. konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah
ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut.
2.
pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin
akuntabilitas publik adalah :
a. penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media
massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal
b. akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan caracara mencapai sasaran suatu program
c. akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan
dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat
d. ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang
telah dicapai oleh pemerintah.
(Indikator maupun alat ukur secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2)
INDIKATOR & ALAT UKUR
PRINSIP : AKUNTABILITAS
DEFINISI (Konseptual & Operasional)
1. The requirement of an public organization (or perhaps an
individual) to render an account to some other organization and
to explain its action.
INDIKATOR
Proses
pembuatan
sebuah kepu-
ALAT UKUR
Visi & misi
Job
(B. Guy Peters, “The Politics of Bureaucracy”, (2000). London :
Routledge hal. 299-381)
Akuntabilitas dalam definisi ini mencakup :
a. akuntabilitas keuangan (financial accountability)
b. akuntabilitas administrative (administrative accountability)
c. akuntabilitas kebijakan public (policy decision accountability)
2. The extent to which one must answer to higher authority –legal or
organizational- for one’s actions in society at large or within
one’s particular organizational position
(Jay M. Shafritz & E.W. Russell, “Introducing
Administration”, (1997). USA : Longman, hal 376)
Public
3. Holders of public office are accountable for their decisions and
actions to the public and must submit themselves to whatever
scrunity is appropriate to their office
(Martin Minogue, artikel “The management of public change: from
‘old public administration’ to ‘new public management’ dalam
“Law & Governance” Issue I, British Council Briefing.
4. Akuntabilitas diperoleh melalui :
a. usaha imperative untuk membuat para aparat pemerintahan
mampu bertanggung jawb untuk setiap perilaku pemerintahan
dan responsif kepada entitas darimana mereka memperoleh
kewenangan
b. penetapan criteria untuk mengukur performansi aparat
pemerintahan serta penetapan mekanisme untuk menjamin
bahwa standar telah terpenuhi
(Governance : Sound Development Management (1999), Asian
Development Bank hal 7-13)
5. Jenis-jenis akuntabilitas adalah :
a. akuntabilitas politik dari pemerintah melalui lembaga
perwakilan
b. akuntabilitas keuangan melalui pelembagaan budget dan
pengawasan BPK
c. akuntabilitas hukum, dalam bentuk aturan hukum, reformasi
hukum dan pengembangan perangkat hokum
d. akuntabilitas ekonomi (efisiensi), dalam bentuk likuiditas dan
(tidak) kepailitan dalam suatu pemerintahan yang demokratis,
tanggung gugat rakyat melalui sistem perwakilan
(Bintoro Tjokroamidjojo, “Reformasi Administrasi Publik”, (2001),
Jakarta:
MIA-UNKRIS hal 45-49
6. Beberapa pertanyaan yang harus siap dijawab oleh administrator
publik sehubungan dengan akuntabilitas publik adalah
a. apakah saya berhubungan dengan masalah-masalah yang harus
diselesaikan dengan nilai-nilai yang konsisten dengan nilai-nilai
dari konstituen saya ?
b. apakah program yang saya buat untuk konstituen didasarkan
pada hipotesis yang jelas tentang masalah dan solusi yang
efektif untuk menyelesaikan masalah itu ?
c. dengan hipotesis tersebut, apakah saya mempergunakan
metode yang efektif-biaya untuk mengimplementasikan
tusan yang
dibuat secara
tertulis,
tersedia bagi
warga yang
membutuhkan,
dengan setiap
keputusan yang
diambil sudah
memenuhi
standar etika dan
nilai-nilai yang
berlaku, dan
sesuai dengan
prinsip-prinsip
administrasi yang
benar
akurasi dan
kelengkapan
informasi yang
berhubungan
dengan cara-cara
mencapai
sasaran suatu
program
kejelasan dari
sasaran
kebijakan yang
telah diambil
dan
dikomunikasikan
kelayakan dan
konsistensi dari
target
operasional
maupun prioritas
penyebarluasan
informasi
mengenai suatu
keputusan
melalui media
massa
akses publik
pada informasi
atas suatu
keputusan
setelah
keputusan dibuat
dan mekanisme
pengaduan
masyarakat
sistem informasi
manajemen dan
description
(acuan
pelayanan)
- pilihan
metode
pelayanan
- informasi
tentang
tingkat
pelayanan
- mekanisme
/ standar
pelayanan
- standar
efisiensi
- kapasitas yg
memadai
- kualitas
yang
memadai
produk-produk
kebijakan
daerah (proses
pembuatan
keputusan) :
- Pola dasar
- Propeda
- Renstra
- Repetada
- APBD
- Sistem &
mekanisme
perencanaa
n,
pengendalia
n
pembangun
an daerah
- SK
- Anggaran
tahunan
- Perda
Annual report
(Laporan
pertanggungjawaban
Laporan
keuangan
(sistem
pengelolaan
keuangan)
Kebijakan
daerah dalam :
- pengadaan
barang dan
jasa
alternatif yang dipilih ?
d. dalam mengimplementasikan metode tersebut apakah saya
telah me-manfaatkan secara penuh sumber daya yang tersedia
bagi saya dalam pengertian alokasi sumber daya kontrol biaya
waktu dan usaha versus penyelesaian dalam kuantitas maupun
kualitas
e. apakah saya telah menggunakan sumber daya yang, jika telah
digunakan secara efisien dan efektif, akan memenuhi
kebutuhan dari konstituen dalm pengertian secara kuantitas
maupun kualitas.
(John W. Sutherland, “Management Handbook for Public
Administrators, (1978), Van Nostrand Reinhold Company, hal 607662)
7. Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggung
jawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang
terkena dampak penerapan kebijakan.
(Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan
Daerah Bappenas & Depdagri, 2002, hal 19)
8. Accountability, however, is a two way relationship between public
servants and the public at large. Whilst there is a constitutional
obligation on public officials to provide an accountable public
service the onus is on the public to ensure that officials live up to
this expectation. Standards of efficiency and public service
delivery can only be as high as the expectations voiced by civil
society interest groups.
To hold public officials accountable for service delivery requires
that the public be adequately informed about the level of service
that they are entitled to. Moreover, the public must be reliably
informed about the actual level of service delivery and the
performance of individual departments and officials within the
public service.
(Colm Allan, Coordinator Public Service Accountability Monitor
Eastern Cape, South Africa, dalam paper berjudul “Civil Society &
Public Accountability : the Need for Active Monitoring dalam
diskusi internasional 9-th International Anti-Corruption Conference,
10-15 Oktober 1999 Durban, South Africa)
9. Kapasitas dan kualitas yang memadai untuk mengemban fungsi
profesi secara konsisten, efisien dan efektif, responsif, jujur, serta
bertanggung jawab kepada publik.
(Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia)
Kesimpulan :
Prinsip akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa
besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran
nilai-nilai atau norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders
yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut.
Berdasarkan tahapan sebuah program akuntabilitas dari setiap
tahapan adalah :
a. pada tahap proses
administrator publik harus siap untuk mendiskusikan atau
mendemonstrasikan bahwa program telah dibangun dalam
hubungan dengan tujuan program dan rencana utamanya serta
bagaimana pelayanan akan disampaikan dalam sebuah tatacara
yang konsisten dengan nilai-nilai konstituen
monitoring hasil
- pajak dan
retribusi
- demokratisasi
- keuangan
daerah
Penanganan
pengaduan
- kotak pos
pengaduan
- berita-berita
di media
massa
- pengaduan
melalui
ornop (LSM)
- hasil studi &
penelitian
- monitoring
independen
Penetapan
kriteria untuk
mengukur
performansi
aparat
b. pada tahap keluaran
akuntabilitas dimulai dengan pernyataan tujuan, terutama dalam
bentuk level kuantitas maupun kualitas pelayanan yang akan
disediakan bagi konstituen
3.b.
Prinsip Transparansi : Definisi, Indikator & Alat Ukurnya
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap
orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,
yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya,
serta hasil-hasil yang dicapai.10
Transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan
yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek
kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan
informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat,
toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik.11
Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah,
dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi.12 Keduanya akan sangat
sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya.
Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi.
Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk
membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan.
Transparansi harus seimbang, juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan
lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi
individu. Karena pemerintahan menghasilkan data dalam jumlah besar,
maka dibutuhkan petugas informasi professional, bukan untuk membuat
dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusankeputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari
setiap kebijakan tersebut.
10
11
12
Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional & Departemen Dalam Negeri, 2002, hal. 18.
Meutiah, hal 151
op.cit, hal 60
Peran media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik sebagai
sebuah kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan
berbagai informasi yang relevan, juga sebagai “watchdog” atas berbagai
aksi pemerintah dan perilaku menyimpang dari para aparat birokrasi. Jelas,
media tidak akan dapat melakukan tugas ini tanpa adanya kebebasan pers,
bebas dari intervensi pemerintah maupun pengaruh kepentingan bisnis.
Keterbukaan membawa konsekuensi adanya kontrol yang berlebih-lebihan
dari masyarakat dan bahkan oleh media massa. Karena itu, kewajiban akan
keterbukaan harus diimbangi dengan nilai pembatasan, yang mencakup
kriteria yang jelas dari para aparat publik tentang jenis informasi apa saja
yang mereka berikan dan pada siapa informasi tersebut diberikan.
Beberapa definisi lebih lanjut tentang transparansi dapat dilihat dalam
Lampiran 2, termasuk indikator maupun alat ukur dari prinsip ini,
Tetapi secara ringkas dapat disebutkan bahwa, prinsip transparasi paling
tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti :
a. mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari
semua proses-proses pelayanan publik
b. mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang
berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam
sektor publik.
c. mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi
maupun
penyimpangan
tindakan
aparat
publik didalam
kegiatan
melayani
Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada
akhirnya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung gugat kepada
semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan
dalam sector publik.
INDIKATOR & ALAT UKUR
PRINSIP : TRANSPARANSI
DEFINISI (Konseptual & Operasional)
1. Holders of public office should be as open as
possible about all the decisions and actions
that they take. They should give reasons for
their decisions and restrict information only
when the wider public interest clearly
demands
(Martin Minogue, artikel “The management
of public change: from ‘old public
administration’ to ‘new public management’
dalam “Law & Governance” Issue I, British
Council Briefing.
Informasi dan keterbukaan ini mencakup :
a. memberikan fakta dan analisis tentang
keputusan-keputusan kebijakan
b.
menjelaskan
alasan-alasan
dari
keputusan-keputusan administratif
c. membuka informasi “guidelines internal”
tentang cara-cara bagian tersebut
berhubungan dengan publik
d. menyediakan informasi tentang biaya,
target dan performansi dari pelayanan
publik, dan prosedur-prosedur untuk
mengeluh dan mengadu
e. memenuhi permintaan informasi khusus
2.
3.
One of the requirements of corporate
transparency is that a company disclose
whether it has a code of conduct containing
specific rules designed to combat bribery
what the contents of that code are and
evaluations of internal controls and its
performance in implementing the code.
Doing so allows a company to be held to
account if it does not meet its self-imposed
standards.
(Harriet Fletcher “Corporate transparency in
the fight gainst corruption”. Global
Corruption, hal 33)
Transparansi didapat melalui “setting
unambiguous rules on what is expected of
public employees in order to resolve this
conflicting situation
Put stated standards into practice by :
a. socialization : communication training and
counseling
b. enforcement : disclosure systems
detecting and punishing those who
do
not comply with the stated standards
(Evelyn
Levy,
Forum
on
Ensuring
Accountability and Transparency in the
Public Sector, Brasilia, 2001)
INDIKATOR
Penyediaan informasi yang
jelas ten-tang prosedurprosedur , biaya-biaya dan
tanggung jawab
kemudahan akses informasi
menyusun suatu mekanisme
peng-aduan jika ada
peraturan yang dilanggar
atau permintaan untuk
membayar uang suap
meningkatkan arus informasi
melalui kerjasama dengan
media massa dan lembaga
non pemerintahan
ALAT UKUR
Publikasi
kebijakan
publik melalui
alat-alat
komunikasi :
- annual
reports
- brosur
- leaflet
- pusat
informasi
- telepon
bebas pulsa
- liputan
media
- iklan
layanan
masyarakat
- website
- papan
pengumum
an
- Koran lokal
Informasi
yang
disajikan :
- acuan
pelayanan
- perawatan
data
- laporan
kegiatan
publik
- prosedur
keluhan
Penanganan
keluhan :
- berita-berita
kota di
media
massa dan
local
- notice of
response
- personil
- limit waktu
respon
- opinion
pools &
survey ttg
isu-isu
4.
Transparansi merujuk pada ketersediaan
informasi pada masyarakat umum dan
kejelasan (clarity) tentang peraturan,
undang-undang, dan keputusan pemerintah
Indikatornya :
a. akses pada informasi yang akurat dan
tepat waktu (accurate & timely) tentang
kebijakan ekonomi dan pemerintahan
yang sangat penting bagi pengambilan
keputusan ekonomi oleh para pelaku
swasta. Data tersebut harus bebas
didapat dan siap tersedia (freely &
readily available)
b. aturan dan prosedur yang “simple,
straightforward and easy to apply” untuk
mengurangi
perbedaan
dalam
interpretasi
(Asian Development Bank, “Governance :
Sound Development Management, 1999 :
hal 7 -13)
5. Menurut Transparency International, undangundang Freedom of Information (FOI) bukan
hanya mengatur tentang hak public untuk
mengakses
informasi
tetapi
juga
menekankan pada obligasi pemerintah untuk
memfasilitasi akses tersebut. Undangundang ini memuat aturan bahwa sebuah
kantor pemerintahan harus mempublikasikan
informasi yang berhubungan dengan :
a. struktur, fungsi dan operasi
b. kinerja yang dihasilkan oleh organisasi
tersebut
c. rancangan akses
d. prosedur internal yang digunakan oleh
kantor tersebut dalam
melakukan
pelayanan
6
Openness about policy intentions,
formulations and implementations.
(Organization for Economic C0-operation and
Development)
7. Access to information is the ability citizens to
obtain information about the past, present,
and future activities of the state. The phrase
“freedom of information” is also widely used
when referring to the ability of individuals to
gain access to information in the
possession of the state. Access to
information is fundamentally about the
quality of information available from the
state, not the quantity. It has been argued
that access to information is an essential
element of democratic government. That is,
for democracy to flourish, citizens must be
adequately informed about the operations
and policies of their government.
(Nikhil Dey, dikutip oleh Dr. Gopakumar
Krishnan, Public Affairs Centre Bangalore,
kebijakan
public
- komentar &
catatan
untuk draft
kebijakan &
peraturan
- service
users
surveys
Institusi dan
organisasi
daerah
- Bawasda
- Kantor
PMD/BPM
- kantor
Humas
- Dinas
Kominfo
- Forum
Lintas
Pelaku
pertemuan
masyarakat
mimbar
rakyat
dalam paper “Increasing Information
Access to Improve Political Accountability &
Participation : Mapping Future Actions in
Asia Pacific, disajikan dalam Asia Pasific
Regional Workshop,10-th IACC, Prague, 10
Oktober 2001)
8.
Keterbukaan informasi yang berkenaan
dengan perencanaan, penganggaran, dan
monitoring serta evaluasi program, yang
mudah diakses oleh masyarakat pada
umumnya dan kalangan marjinal dan
perempuan pada khususnya.
(Kemitraan
bagi
Pembaruan
Tata
Pemerintahan di Indonesia).
9.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin
akses atau kebebasan bagi setiap orang
untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan
pemerintahan,
yakni
informasi
tentang
kebijakan
proses
pembuatan dan pelaksanaannya serta
hasil-hasil yang dicapai
(Buku Pedoman Penguatan Pengamanan
Program Pembangunan Daerah, Bappenas
dan Depdagri 2002, hal 18)
3.c. Prinsip Partisipatif : Definisi, Indikator & Alat Ukurnya
Dalam proses pembangunan di segala sektor, aparat negara acapkali
mengambil kebijakan-kebijakan yang terwuj ud dalam pelbagai keputusan
yang mengikat masyarakat umum dengan tujuan demi tercapainya tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi. Keputusan-keputusan semacam itu tidak
jarang dapat membuka kemungkinan dilanggarnya hak-hak asasi warga
negara akibat adanya pendirian sementara pejabat yang tidak rasional atau
adanya program-program yang tidak mempertimbangkan pendapat rakyat
kecil. Bukan rahasia lagi bahwa di negara kita ini pertimbanganpertimbangan ekonomis, stabilitas, dan security sering mengalahkan
pertimbangan-pertimbangan mengenai aspirasi masyarakat dan hak asasi
mereka sebagai warga negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah
disubordinasi oleh pembangunan ekonomis maupun kebijakan-kebijakan
pragmatis pejabat tertentu.
Partisipasi dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi, meningkatkan kualitas
dan efektivitas layanan publik, dalam mewujudkan kerangka yang cocok
bagi partisipasi, perlu dipertimbangkan beberapa aspek, yaitu :
a. partisipasi melalui institusi konstitusional (referendum, voting) dan
jaringan civil society (inisiatif asosiasi
b. partisipasi individu dalam proses pengambilan keputusan, civil society
sebagai service provider
c. local kultur pemerintah (misalnya Neighborhood Service Department di
USA, atau Better Management Transparent Budget di New Zealand)
d. faktor-faktor lainnya, seoerti transparansi, substansi proses terbuka dan
konsentrasi pada kompetisi.
Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat
dalam
pengambilan
keputusan
di
setiap
kegiatan
penyelenggaraan
pemerintahan. 13 Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan
secara langsung atau secara tidak langsung.
Transparansi bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat
waktu tentang kebijakan publik, dan proses pembentukannya. Dengan
ketersediaan
informasi
seperti
ini
masyarakat
dapat
ikut
sekaligus
mengawasi sehingga kebijakan publik yang muncul bisa memberikan hasil
yang optimal bagi masyarakat serta mencegah terjadinya kecurangan dan
manipulasi
yang
hanya
akan
menguntungkan
salah
satu
kelompok
masyarakat saja secara tidak proporsional.
Pendapat yang mengatakan bahwa partisipasi dapat dilihat melalui
keterlibatan anggota-anggota masyarakat di dalam Pemilu saja, jelas
merupakan pendapat yang kurang lengkap. Masih banyak pola perilaku
informal yang dapat dijadikan patokan dalam menilai tingkat partisipasi
dalam suatu masyarakat. Jika orang bersedia menilai proses politik secara
netral maka bentuk-bentuk perilaku massa berupa protes, aksi pamflet,
13
Op.cit, hal 20
ataupun pemogokan, sebenarnya juga termasuk partisipasi. Tindakan protes
atau mogok, boleh jadi merupakan luapan dari tuntutan massa akibat
saluran-saluran aspirasi yang sebelumnya ada telah berkembang. Protes
yang disertai aksi-aksi kekerasan terkadang semata-mata disebabkan oleh
keputusasaan, kegusaran, dan terpendamnya konflik internal
Suatu kebijakan mungkin pada dasarnya bertujuan mulia karena jelas-jelas
akan bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun seiring dilaksanakannya
kebijakan tersebut dalam sistem birokrasi yang berjenjang seringkali terjadi
pergeseran dan penyimpangan arah kebijakan tadi.
Bagaimanapun jika para birokrat tidak ingin kehilangan wibawanya dalam
melaksanakan kebijakan-kebijakan publik, para birokrat harus senantiasa
memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat dan mendukung partisipasi
seluruh unsur kemasyarakatan secara wajar. Setidak-tidaknya ada 2 alasan
mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan dalam negara demokratis.
Pertama, ialah bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham
mengenai kebutuhannya. Dan kedua, bermula dari kenyataan bahwa
pemerintahan yang modern cenderung semakin luas dan kompleks, birokrasi
tumbuh membengkak di luar kendali. Oleh sebab itu, untuk menghindari
alienasi warga negara, para warga negara itu harus dirangsang dan dibantu
dalam membina hubungan dengan aparat pemerintah.
Dalam rangka penguatan partisipasi publik, beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh pemerintah adalah :
a. mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh publik
b. menyelenggarakan proses konsultasi untuk menggali dan mengumpulkan
masukan-masukan dari stakeholders termasuk aktivitas warga negara
dalam kegiatan publik,
c. mendelegasikan otoritas tertentu kepada pengguna jasa layanan publik
seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan bagi kegiatan
masyarakat dan layanan publik.
Partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan itu sendiri, sehingga nantinya seluruh lapisan masyarakat akan
memperoleh
hak
dan
kekuatan
yang
sama
untuk
menuntut
atau
mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan. Pembahasan
lebih lengkap mengenai indikator maupun alat ukur dari prinsip ini dapat
dilihat pada Lampiran 2 berikut ini.
Demikianlah pembahasan secara singkat mengenai good governance, dilihat
dari sudut karakteristik, prinsip, indikator serta alat ukurnya.
INDIKATOR & ALAT UKUR
PRINSIP : PARTISIPASI PUBLIK
DEFINISI (Konseptual & Operasional)
INDIKATOR
Didasarkan pada asumsi bahwa organisasi
pemerintahan akan bekerja lebih baik jika
anggota-anggota
dalam
struktur
diberi
kesempatan untuk terlibat secara intim dengan
setiap keputusan organisasi.
Hal ini menyangkut 2 aspek yaitu :
a. keterlibatan aparat melalui terciptanya nilai
dan komitmen diantara para aparat agar
termotivasi dengan kuat pada program
yang diimplementasikan
b.
keterlibatan publik, dalam desain dan
implementasi program.
(B. Guy Peter, “The Politics of Bureaucracy”,
(2001), London : Routledge, hal 299-381.
keterlibatan
aparat melalui
tercip-tanya
nilai dan
komitmen
diantara aparat
1.
2.
Partisipasi dibutuhkan dalam memperkuat
demokrasi meningkatkan kualitas dan efektifitas
layanan public. Dalam mewujudkan kerangka
yang
cocok
bagi
partisipasi
perlu
dipertimbangkan beberapa aspek, yaitu
a.
partisipasi melalui institusi konstitusional
(referendum, voting) dan jaringan civil society
(inisiatif asosiasi)
b.
partisipasi individu dalam proses
pengambilan keputusan civil society
sebagai service provider
c. lokal kultur pemerintah
d. faktor-faktor lainnya, seperti transparansi
substansi proses terbuka dan konsentrasi
pada kompetensi
Dalam rangka penguatan partisipasi public
pemerintah seharusnya mengeluarkan informasi
yang
dapat
diakses
oleh
publik,
menyelenggarakan proses konsultasi untuk
menggali
dan
mengumpulkan
masukan-
ALAT UKUR
public hearing
pertemuan kelompok
masyarakat
(stakeholders meeting)
jajak pendapat umum
adanya forum
untuk
menampung
partisipasi
masyarakat
yang
representatif,
jelas arahnya
dan dapat
dikontrol
bersifat terbuka
dan inklusif,
harus
ditempatkan
sebagai
mimbar
masyarakat
mengekspresikan
keinginannya.
kemampuan
masyarakat
untuk ter-libat
laporan penelitian dan
kajian (constituent
surveys)
media massa
simple voting in
referenda
diskusi publik
e-participation
policy conference
policy round tables
masukan dari stakeholders termasuk aktivitas
warga
negara
dalam
kegiatan
public,
mendelegasikan
otoritas
tertentu
kepada
pengguna
jasa
layanan
publik
seperti
perencanaan dan penyediaan panduan bagi
kegiatan masyarakat dalam pelayanan public
( Dr. Hartmut Gustmann “Public Participation in
Public Service : the German Local Government
Experience”
3. prinsip ini berhubungan dengan pandangan
bahwa
masyarakat
adalah
jantungnya
pembangunan, yang bukan hanya mendapatkan
keuntungan dari sebuah pembangunan tetapi
juga menjadi agen pembangunan. Karena
pembangunan
adalah
untuk
dan
oleh
masyarakat, maka mereka membutuhkan akses
pada
institusi
yang
mempromosikan
pembangunan
(“Governance
:
Sound
Development
Management”, (1999), Asian Development Bank,
hal 7-13)
4. Pemerintahan partisipatif bercirikan :
a. fokusnya adalah pada memberikan arah dan
mengundang orang lain untuk berpartisipasi
b. basis konstitusional dan mandate demokratis
yang berhubungan dengan situasi akhir
adalah yang menjadi tujuan
c. pemerintah hanya menentukan isi (determine
content)
d. sasaran adalah ditujukan dalam kekuatan
gabungan antara pemerintah dan actor lain
dalam masyarakat
e. insiatif dan bagian pertengahan dalam
lingkaran governance adalah penting, tetapi
–walaupun petunjuk umum
diberikan- akhir eksplisit sangat terbuka
f.
visi dan pengembangan berdasarkan
consensus sangat penting
g. pemerintah hanya berperan sebagai
chairperson
h. fokusnya adalah pada “managing outcomes as
shared result”
(Michael Hill & Peter Hupe, “Implementing Public
Policy : Governance in Theory and in Practice”,
(2002), USA : Sage Publication, hal 161 – 197)
5. Asumsi dasar dari partisipasi adalah “semakin
dalam keterlibatan individu dalam tantangan
berproduksi, semakin produktif individu tersebut.”
Ada 2 bentuk kegiatan :
a. mendorong partisipasi secara formal melalui
komite atau dewan, yang mendorong
masyarakat
komunitas
lokal
untuk
memberikan pandangan mereka tentang
isu-isu kebijakan yang akan mempengaruhi
pekerjaan maupun kesejahteraan mereka.
b. mendorong partisipasi tanpa institusi
Partisipasi sangat berguna bagi pemerintah
dalam proses
pembuatan
keputusan
fokus
pemerintah
adalah pada
memberikan
arah dan
mengundang
orang lain
untuk
berpartisipasi
visi dan
pengembangan
berdasar-kan
pada
konsensus
antara
pemerintah dan
masyarakat
akses bagi
masyarakat
untuk
menyampaikan
pendapat
dalam proses
pengambilan
keputusan
didalam memvalidasi premis-premis darimana
sebuah program berasal dan karena itu akan
berkontribusi terhadap efektivitas program.
Dengan hadirnya isu partisipasi, kelompok
tersebut akan berpindah dari orientasi pada
input kepada manajemen program dan
penekanan pada output.
6. A process by which people take an active and
influential hand in shaping decision that affect
their lives.
(Development Assistant Committee, “Evaluation
of
Programs
Promoting
Participatory
Development and Good Governance, 1997, hal
22)
7.
A process by which people, especially
disadvantaged people, influence decisions that
affect them (IBRD)
8, Adanya sistem yang memungkinkan individu
yang tidak terwakili kepentingannya oleh
kelompok kepentingan yang terorganisir untuk
menyalurkan
kepentingannya
dalam
pengambilan
keputusan
mengenai
perencanaan, penganggaran, dan monitoring
serta evaluasi kegiatan program
(Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
di Indonesia)
9. Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang
memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan
pemerintah.
(Buku Pedoman Penguatan Pengamanan
Program Pembangunan Daerah, Bappenas &
Depdagri 2002, hal 20.)
Kesimpulan :
Prinsip
partisipasi
masyarakat
menuntut
masyarakat
harus
diberdayakan,
diberikan
kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan
dalam proses-proses birokrasi mulai dari tahap
perencanaan pelaksanaan dan pengawasan atau
kebijakan publik.
Operasionalisasi konsep :
1.
pada level akar rumput, partisipasi
mengimplikasikan struktur pemerin-tahan yang
fleksibel dan memberikan peluang bagi
masyarakat yang berkepentingan untuk
menyem-purnakan desain dan implementasi
program serta proyek public
2. memberikan peluang bagi LSM seba-gai sarana
alternatif enyaluran energi dari publik, melalui
identifikasi kepentingan publik, mobilisasi opini
publik,
untuk
mendukung
kepen-tingan
tersebut, dan organisasi aksi yang sesuai
DAFTAR BACAAN
Asian Development Bank, (1999), Governance : Sound Development
Management,
Archon, Fung & Erik Olin Wright, (2003), Deepening Democracy :
Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance, The
Real Utopias Project IV, London : Verso.
Budiardjo Miriam, (2000), Menggapai Kedaulatan untuk Rakyat, Bandung :
Mizan.
Catanese, Anthony James (1984), The Politics of Planning & Development,
Sage Library of Social Research, Volume 156, Beverly Hills : Sage
Publications
Development Assistant Committee, (1997), Evaluation of
Promoting Participatory Development & Good Governance.
Programs
Ganie-Rochman, Meuthia, (2000) artikel “Good Governance : Prinsip,
Komponen dan Penerapanny”, dalam HAM : Penyelenggaraan Negara
Yang Baik dan Masyarakat Warga, Jakarta : KOMNAS HAM.
Garcia-Zamor, Jean-Claude, (1985), Public Participation in Development
Planning and Management : Cases from Africa and Asia, London :
Westvoiew Press.
Hill, Michael (1997), The Policy Process, London : Prentice Hall/Harvester
Wheatsheaf.
Hill, Michael & Peter Hupe, (2002), Implementing Public Policy : Governance
in Theory and in Practice, London : Sage Publications.
Lutrin, Carl E. dan Allen K. Settle, (1985), American Public Administration :
Concepts & Cases, USA : Prentice-Hall Inc.
Minogue, Martin, artikel “The Management of Public Change : from ‘Old
Public Administration’ to ‘New Public Management’“ dalam “Law &
Governance” Issue I, British Council Briefing.
Peters, B.Guy, (2000) The Politics of Bureaucracy, London : Routledge.
Schmidt, Gregory D. (1989), Donors and Decentralization in Developing
Countries : Insights from AID Experience in Peru, London : Westview
Press.
Shafritz, Jay M. & E.W. Russell, (1997), Introducing Public Administration,
USA : Longman)
Sutherland, John W. (1978), Management Handbook for
Administrators, New York : Van Nostrand Reinhold Company
Public
Tjokroamidjojo, Bintoro, (2001), Reformasi Administrasi Publik, Jakarta :
MIA – UNKRIS.
Referensi Lain :
1.
Asian Development Bank, “Public Administration in the 21-st Century”
(artikel di Internet)
2.
Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah,
Badan Perencanaan Nasional & Departemen Dalam Negeri, 2002
3.
Buletin Informasi Program Kemitraan
Pemerintahan di Indonesia, 2000
untuk
Pembaharuan
Tata
Download