BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Penyakit Lime 2.1.1Definisi Penyakit lime disebut juga lyme borreliosis yang disebabkan oleh spirochaeta, Borrelia burgdorferi sensu lato, dengan penyebaran melalui tungau (kutu) kelompok Ixodes ricinus. Infeksi lime ditandai adanya lesi kulit yang luas dengan gambaran khas dinamai eritema migrans (EM) yakni lesi pada bagian tengah putih (pucat) dengan disekeliling warna merah cerah di bagian luar dan disebut target pusat. (Allen C.steere, 2015) Gambar 1. Eritema migran (EM) pada pasien lime 2.1.2Sejarah dan Etiologi Penyakit Lime Penyakit lime pertama kali ditemukan di Connecticut, USA, pada tahun 1976 pada seorang anak laki-laki umur 9 tahun, didiagnosa sebagai juvenile rheumatoid arthritis. Penyakit lime dikenal sebagai penyebab penyakit multisistemik yang melibatkan kulit, persendian, saraf dan mata. Penyakit lime merupakan penyakit oleh infeksi dari kelompok kompleks Borrelia burgdorferi sensu lato dalam famili spirocheta. B.burgdorferi sensu lato dikenal mempunyai minimal 18 genospesies,sebagian sangat patogen pada manusia, hewan peternakan dan hewan peliharaan. Universitas Sumatera Utara Genospesies yang menyebabkan tersering penyakit lime pada manusia yaitu B.burgdorferi sensu stricto, B.garinii, B.afzelii dan sekarang dikenal juga patogen adalah B.spielmanii, B.bissettii, B.lusitaniae dan B.valaisiana, berdasarkan isolasi pada pasien di Eropa, Asia dan atau studi pada laboratorium hewan. 2.1.3Borreliaburgdorferi B.burgdorferi diidentifikasi pertama kali oleh Dr. Willy Burgdorferi tahun 1982. B.burgdorferi termasuk bakteri negatif dan mikroaerofilik, genus spirocheta dengan ukuran relatif kecil (1,5Mb) dan terdiri dari kromosom linier pada 950kb dan 17-21 plasmik linier dan sirkular. Spirocheta ini mempunyai sedikit protein untuk aktivitas biosintesis dan bergantung pada pemenuhan nutrisi pada vektor dan host. Tidak dikenal adanya rangkaian racun. 2.1.4 Epidemiologi Telah diketahui 13 genospesies B.burgdoferi sensu lato hidup di alam sebagai siklus enzootik melibatkan 12 spesies tungau, sebagian besar tungau kelompok Ixodes ricinus, I.scapularis, I.pacificus dan I.persulcatus.Ixodes scapularis dan I.pacificus sebagai vektor di negara bagian AS, sedangkan I.ricinus dan I.persulcatus di Eropa dan Asia. Gambar 2. Tungau betina hamil dan siklus hidup Ixodes ricinus. Penelitian yang dilakukan di negara Turki, dtemukan Borrelia burgdorferi sensu lato yaitu satu B.burgdorferi sensu stricto, dua B.garinii (tipe Eurasia), dua B.afzelii, empat B.lusitaniae dan satu B.valaisianadari isolasi dari Tungau Ixodes ricinus (Ece S.Gá˝”ner et al., 2003). Prevalensi penyakit lime pada oleh Tungau Universitas Sumatera Utara Ixodes persulcatus ditemukan positifB.burgdorferipada tes DNA Borrelia dengan PCR sebesar 34,5% di Hokkaido, Jepang (Yusuke Murase et al. 2013). Prevalensi penyakit lime oleh Tungau Ixodes persulcatus ditemukan di Cina bagian Utara juga positif sebesar 33,8% dengan PCR (Wu-Chun Cao et al. 2003). Tungau Ixodes ini juga dijumpai pada binatang baik domestik maupun liar, isolasi kuman B.burgdorferi dilakukan di Amerika dan negara di Eropa. Tungau Ixodes mempunyai siklus hidup antara lain larva, nimpha dan dewasa. Tungau memerlukan darah pada setiap tahap siklus hidup. Resiko infeksi tergantung pada area (distribusi geografis) disertai adannya tungau sebagai kebiasaan makan (musim) dan hewan sebagai host. Tungau betina bila mengiggit pada host hewan, memerlukan 3 hari dari telur menjadi larva, 5 hari menjadi nimpha dan 7 hari menjadi dewasa. Tungau juga dapat meletakkan telur di permukaan tanah dan memerlukan beberapa bulan untuk berkembang sampai tahap tungau dewasa, bergantung pada cuaca. Siklus hidup Tungau Ixodes dengan tingkat kejadian pada musim semi dan musim gugur. Karena memerlukan darah untuk setiap tahap siklus hidup, B.burgdorferi tidak ditemukan penyebaran secara vertikal (keturunan), larva menjadi infeksius saat mengiggit pada hewan reservoir terinfeksi dan transmisi infeksi baru pada hewan lain sepanjang melalui gigitan. Pada tahap nimpha yang sangat berperan pada terjadi penyakit lime pada manusia. Rusa ekor putih (AS) memberikan kontribusi tersering pada siklus hidup spirochaeta. Gambar 3. Siklus hidup Tungau Ixodes berdasarkan musim Universitas Sumatera Utara Di negara Asia yakni Korea, dijumpai kasus penyakit lime melalui pengambilan sampel serologisdan karakteristik epidemiologi pada tahun 20052009 ( Sang-Hee Park et al. 2011), deteksi tes serologis lime didapatkan 16 dari 53 kasus (30,2%) terinfeksi lime berasal dari luar Korea dan 37(69,8%) terinfeksi dari Korea sendiri, dengan karakteristik endemik menurut musim yaitu pada bulan Mei dan Desember. Seroprevalensi penyakit lime juga terdeteksi di India Timur (Surg Cmde AK Praharafet al. 2007) dengan tes lime ELISA Ig G didapat sebesar 65 dari 500 sampel (13%) positif IgGBorrelia burgdorferi. Penelitian yang dilakukan oleh Arunachal Pradesh (India) menunjukkan seroprevalensi lebih tinggi yaitu 17,8%. Di negara Cina seroprevalensi penyakit lime dengan tes lime IgG dilaporkan sebesar 5,1% di populasi perdesaan Beijing (Xiangfeng Dou et al. 2015). Seroprevalensi penyakit lime antara pekerja hutan dan petani dengan donor darah sehat di Duzce, Barat-Laut Turki (Ayse Demet Kayaet al., 2007) tercatat 10,9% pada pekerja hutan dan petani dan 2,6% pada donor darah dengan tes ELISA dan dilanjutkan Western Blot IgG. Di Amerika Serikat prevalensi berkisar 2-12% dengan menggunakan metode two-tier (ELISA di lanjutkan Western Blot) dan prevalensi yang cukup tinggi di Eropa 26% dengan pemeriksaan metode lime two-tier. 2.1.5 Patogenesis dan Immunitas Dalam mempertahankan siklus enzootik kompleks, Borrelia burgdorferi harus mampu beradaptasi pada lingkungan berbeda yaitu pada Tungau dan host mamalia. Bakteri spirochaeta memperlihatkan permukaan protein luar A (OspA) pada usus tengah tungau dan OspC sebagai regulator perjalanan kuman yang dijumpai pada kelenjar ludah tungau. OspC berikatan pada protein kelenjar saliva, dibutuhkan sebagai sumber infeksi pada host mamalia. Tungau ini biasanya memerlukan waktu minimal 24 jam untuk transmisi B.burgdorferi. Setelah menginjeksi melalui gigitan pada kulit manusia, spirochaeta meregulasi via OspC dan lipoprotein VlsE. Protein yang dihasilkan sangat antigenik yaitu berkemampuan merubah struktur dinding sel dan antigen permukaan sehingga imun sistem mengalami kesulitan mengenal antigen tersebut dinamakan polimorfism (oleh Thomas M.Grier, tutorial mikrobiologi berjudul Universitas Sumatera Utara The Complexities of Lyme Disease).Akibat pleomorfism ini spirochaeta mampu beradaptasi di dalam tubuh host. Setelah beberapa hari sampai minggu, B.burgdorferi bermigrasi ke luar kulit terjadi peradangan yang dinamakan eritema migrans (EM) dan mungkin penyebaran secara hematogen dan atau limfogen pada organ lain. Faktor virulensi yang diketahui dari B.burgdorferi adalah protein spirochaeta yang melekat pada protein mammalia, integrin, glikoaminoglikans atau glikoprotein. Sebagai contoh, penyebaran melalui kulit dan matriks jaringan lain mungkin difasilitasi oleh ikatan plasminogen manusia dan aktivaktor pada permukaan spirochaeta. Penyebaran organisme ini pada darah difasilitasi oleh ikatan reseptor fibrinogen pada platelet teraktivasi (αIIbβ2) dan reseptor vibronektin pada sel endothelial. Indikasi yang mirip, spirochaeta decorin-binding protein, glikosaminoglikans pada fibril kollagen, yang dapat dijelaskan mengapa organisme ini bisa berada sejajar pada fibril kollagen dalam matriks ekstrasellular di jantung, sistem saraf dan persendian (Dean T.Nardelli et al.2007 dan Ok Sarah Shin 2014). Kontrol dan eradikasi B.burgdorferi pada host harus melibatkan kedua sistem imun tubuh yaitu respon imun innate dan adatif, menghasilkan makrofag dan antibodi mediasi membunuh kuman spirochaeta. Sebagian respon imun innate, komplemen menglisiskan spirochaeta pada kulit, sel yang terlibat akan melepaskan sitokin pro-inflammasi poten seperti interleukin 6, TNF-α, interferonϒ, dan interferon-1β. Respon imun adatif bertujuan untuk menghasilkan spesifik antibodi, mengopsonisasi organisme sebagai langkah awal optimal untuk membunuh spirochaeta. Studi pada rangkaian protein menunjukkan lebih kurang 1.200 protein B.burgdorgeri terdeteksi respon antibodi pada 120 total protein spirochaeta (khususnya lipoprotein permukaan luar) pada populasi pasien dengan lime arthritis. Pemeriksaan histologis memperlihatkan adanya infiltrasi limfosit, makrofag dan sel plasma dengan tingkatan kerusakan pembuluh darah. Dengan adanya penemuan ini, diduga spirochaeta dapat berada di dalam atau sekitar pembuluh darah (Ok Sarah Shin, 2014). Pada infeksi enzootik, spirochaetaBorrelia burgdorferi dapat bertahan hidup dari pengepungan sistem imun hanya pada musim panas sebelum pada Universitas Sumatera Utara siklus larva untuk memulai siklus hidup yang baru mengikuti siklus tahunan. Ini berbanding terbalik, pada infeksi pada manusia merupakan akhir kematian spirochaeta dalam beberapa minggu atau bulan, via mekanisme sistem imun innate dan adaptif tanpa terapi antibiotik (berperan dalam mengontrol penyebaran infeksi dan gejala klinis sistemik berkurang. Bagaimanpun, tanpa pengobatan antibiotik, spirochaetaaa mampu hidup ditempat asal untuk beberapa tahun, sebagai contoh, B.burgdorferipada Amerika Serikat menyebabkan arthritis persisten atau sangat jarang encefalopathi atau polineuropathi. Demikian, mekanisme sistem imun sukses mengeradikasi hampir seluruh B.burgdorferi dari jaringan dan organ semula termasuk persendian dan sistem saraf dan gejala klinis sembuh pada banyak pasien. B.burgdorferi tidak dapat disebarkan melalui cairan tubuh, lingkungan, pernah dilaporkan ditemukan dalam kantong darah, urine, asi pada pasien dengan eritema migrans. Kuman B.burgdorferi pernah dilaporkan survival 28-35 hari pada darah babi guinea pada suhu kamar, sampai 48 hari di darah manusia sewaktu transfusi darah di suhu 4°C dan periode singkat di urine. Didapati 1kasus penyakit lime dari sampel donor darah di Malaysia (Tay S T et.al., 2002), kontak darah atau urine terinfeksi lime pada manusia, walaupun transfusi penyebab penyakit secara teori memungkinkan (dalam hewan percobaan yakni tikus,transfusi darah mampu menyebabkan penyebaran. Dalam hewan peliharaan, anjing, satu kasus transmisi horizontal dilaporkan terinfeksi dari eksperimental pada hewan kontrol. Pada studi lain, serokonversi tidak terlaporkan saat anjing terinfeksi atau tidak serumah dalam setahun. Ko-infeksi dengan penyakit penyebaran tungau ditemukan pada human granulositik (ehrlichiosis) atau babesiosis, dapat mengubah tanda klinis dan respon pada pengobatan. Pada penyakit lime tidak ada bukti sebagai penyakit menular pada manusia, dan juga tidak ada laporan infeksi sesudah transfusi darah terinfeksi lime atau kontak dengan jaringan atau organ terinfeksi lime. 2.1.6 Manifestasi klinis A. Infeksi Awal : stadium 1 (infeksi lokalisata) Universitas Sumatera Utara Karena ukuran tungau sangat kecil sampai tidak ingat kapan terasa digigit. Setelah masa inkubasi (3-32 hari), tempat gigitan akan terlihat seperti makula atau papula berwarna merah dinamakan eritema migrans (EM). Ruam akan meluas secara perlahan-lahan membentuk lesi annular yang luas, sehingga ukuran lesi meingkat warna merah terang pada batas luar kulit dan bagian tengah pucat. EM dapat berlokasi dimanapun seperti paha dan ketiak merupakan tempat lazim dari tungau. Lesi umumnya panas dan jarang sakit. Kira-kira 20-40% pasien tidak menunjukkan manifestasi khas ini pada kulit. B. Infeksi awal : stadium 2 (infeksi penyebaran). Kasus di AS, B.burgdorferi menyebar secara hematogen pada beberapa lokasi (hari-minggu) setelah onzet EM. Pada tahap ini, adanya lesi annular sekunder pada kulit bersamaan sakit kepala berat, demam,nyeri migratori pada otot-tulang, radang sendi (arthralgia), bisa disertai limfoadenopathi, letargia dan malaise. Setelah beberapa minggu-bulan, 15% pasien tidak mendapat pengobatan akan terjadi abnormalitas pada saraf seperti tanda encefalitis, neuritis kranial, motorik dan sensorik radikulopathi, neuropathi perifer, multipleks mononeuritis, ataksia cerebellar atau mielitis, bisa tunggal atau kombinasi. Pada anak, saraf optikus akan terjadi peradangan atau meningkatnya tekanan intrakranial dapat menyebabkan kebutaan. Kelainan awal neurologis biasanya sembuh secara komplit dalam beberapa bulan, akan tetapi sangat jarang terjadi abnormalitas kronis. Kira-kira 8% pada pasien berkembang melibatkan jantung seperti blok atrioventrikular, perikarditis akut, disfungsi ventrikel kiri. Kardiomiopathi yang disebabkan B.burgdorferi pernah dilaporkan terjadi di Eropa. Selama pada tahap 2 ini, sering terjadi nyeri otot-tulang, berupa sakit berupa migratori pada persendian, tendon, bursa, otot dan tulang (biasanya tanpa pembengkakan persendian)dan melibatkan satu atau dua persendian secara bersamaan Universitas Sumatera Utara C. Infeksi akhir: stadium 3 (infeksi persisten) Beberapa bulan setelah onset dari infeksi, terdapat pada 60% pasien tanpa pengobatan antibiotik akan berlanjut terjadi arthritis (radang sendi). Bentuk tipikal terdiri dari serangan intermitten pada arthritis oligoartikular pada sendi besar (lutut) dan sendi kecil. Bila berat dapat terjadi erosi pada kartilago dan tulang. Bila adanya infeksi B.burgdorferi pada persendiaan dinamakan lime arthritis, ini merupakan komplikasi persentase kecil pada Amerika bagian Timur-Laut, akibat dari persisten (antibiotik-refraktori) arthritis, memerlukan pengobatan antibiotik baik oral atau suntikan untuk 2-3 bulan. Autoantigen pada sel respon T dan B dalam infeksi lime berperan pada refraktori-antibiotik arthritis. D. Sindroma post lyme (penyakit lime kronis) Walaupun terjadi penyembuhan secara objektif dengan pengobatan antibiotik, terdapat 10% masih mengalami nyeri subjektif, manifestasi neurokognitif (depresi, anxietas) dan fatique. Sampai saat ini, tidak ada indikasi jelas pada simpton persisten secara subjektif, setelah penatalaksanaan antibiotik yang disebabkan infeksi aktif. 2.1.7Diagnosa Bentuk B.burgdorferi helikal (mikroskop elektron) yang terdiri dari flagella, permukaan membran luar dan dalam, ruang periplasmik, peptidoglikans dan membran sitoplasmik. Gambar 4. Bakteri Borrelia burgdorferi (spiral) dan struktur B.burgdorferi B.burgdorferi merubah permukaan protein sebagai sumber infeksi dan mampu bertahan pada Tungau dan host mamalia. Permukaan luar pada lipoprotein Universitas Sumatera Utara yang dikenal outer surface protein (OspA dan OspC), dimana OspA sebagai regulasi utama oleh B.burgdorferi. Dalam usus tengah (midgut) Tungau tak terinfeksi dan regulasi tambahan sewaktu tungau menghisap darah dan sebagai penyebaran pada host mamalia. Sebaliknya OspC tidak diekspresikan oleh B.burgdorferi, akan tetapi OspC segera meregulasikan ke dalam tubuh host mamalia. Kultur B.burgdorferi dalam medium Barbour-Stoener-Kelly (BSK) merupakan diagnosa definitif, metode ini hanya digunakan pada studi penelitian. Kultur positif hanya pada awal infeksi dengan biopsi pada lesi kulit EM daripada sampel plasma, baik sampel cairan sumsum tulang belakang. Pada infeksi akhir,PCR merupakan pemeriksaan superior dari kultur dalam mendeteksi DNA B.burgdorferi pada cairan sendi. PCR merupakan pemeriksaan utama pada penyakit lime. Penyakit lime biasanya ditegakkan berdasarkan karakteristik secara gambaran klinis dengan pemeriksaan serologis, akan tetapi tes ini tidak dapat membedakan secara jelas apakah infeksi aktif atau non-aktif. Tes serologis dalam menganalisa penyakit lime di AS, CDC merekomendasikan pendekatan dua tahap dengan tahap pertama dengan menggunakan ELISA dan bila hasil positif dilanjutkan tes Western-Blot. Diagnosa pada penyakit lyme kronis berdasarkan 4 kategori (Henry M.Feder et al. NEJM, 2007) : 1. Kategori 1 Pasien yang tidak mempunyai manisfestasi klinis yang objektif atau bukti laboratorium adanya infeksi B.burgdorferi dan menemuhi diagnosa dasar simpton non spesifik seperti fatigue, limfadenopathi, keringat malam, sakit tenggorokan, mialgia, arthralgia, depresi, sulit tidur (insomnia) dan sakit kepala. Simpton non spesifik dan terjadi lebih dari 10% pada populasi umum merujuk pada penyakit lime pada daerah endemik. 2. Kategori 2 Universitas Sumatera Utara Pasien cukup diidentifikasi penyakitnya atau sindroma selain penyakit lime. Seperti pasien mempunyai riwayat penyakit lime atau tidak. Pasien terdiagnosa atau kesalahan diagnosa ( contoh multiple sclerosis) dan pasien menolak untuk menerima dan mencoba mencari diagnosa lain dari klinisi dan bersedia dalam pengobatan sebagai penyakit lime kronis. 3. Kategori 3 Pasien dengan penyakit yang tidak ada riwayat pemeriksaan klinis secara objektif konsisten dengan penyakit lime, tetapi sampel serum terdeteksi antibodi B.burgdorferi yang ditentukan oleh standar pemeriksaan mengarah pada kronisitas penyakit, gejala subjektif yang penyebab tidak diketahui. Pasien kategori ini minimal mempunyai tes lime yang berada pada nilai ekuivalen, bila nilai positif serologis rendah. 4. Kategori 4 Pasien mempunyai simpton yang berhubungan dengan sindrom post lime 2.2 Rheumatoid Arthritis 2.2.1Definisi Rheumatoid arthritis(RA) merupakan penyakit inflammasi dengan etiologi tidak diketahui dengan tanda simetris, poliarthritis periferal, yang dapat mengakibatkan kerusakan persendian dan gangguan fisik. Karena merupakan penyakit sistemik, RA dapat memberikan manifestasi klinis pada ektraartikular meliputi fatique, nodula subkutaneus, paru-paru, perikarditis, neuropathi periferal, vaskulitis dan abnormalitas hematologis. 2.2.2Tanda klinis Insidensi rheumatoid arthritis meningkat antara usia 25-55 tahun, setelah itu mendatar sampai usia 75 tahun dan kemudian menurun. Gejala klinis rheumatoid arthritis tipikal adanya peradangan pada persendian, tendon dan bursa. Pasien biasanya mengeluh terutama pada pagi hari terjadi kekakuan persendian minimal 1 jam dan berkurang bila aktivitas fisik. Biasanya melibatkan persendian kecil dengan karakteristik bersifat monoartikular, oligoartikular (<5 sendi) dan poliartikular (>5 sendi). Selain terjadi pembengkakan persendian dan pemeriksaan Universitas Sumatera Utara diagnosa berdasarkan laboratorium yakni tes positif pada serum rheumatoid factor (RF), anti-cyclic citrullinated peptide (CCP) antibodi dan atau anti-mutated citrullinated vimentin(MCV), mempunyai nilai tinggi untuk gangguan fisik pada persendian. Gambar 5. Nodul pada jari tangan pada penderita rheumatoid arthritis 2.2.3Epidemiologi Rheumatoid arthritis memberikan kontribusi sekitar 0,5-1% pada populasi dewasa di seluruh dunia. Insidensi dan prevalensi rheumatoid arthritis bervariasi berdasarkan letak geografis, grup ethnis dalam suatu negara. Seperti contoh: penduduk pribumi Amerika Yakima, Pima dan Chippewa (Amerika Utara) dalam beberapa studi hampir mendekati 7%. Sangat bertolak belakang, studi pada Afrika dan Asia prevalensi berkisar 0,2-0,4%. Seperti pada penyakit autoimun lainnya, rheumatoid arthritis terjadi pada wanita lebih besar dibandingkan pria dengan rasio 2-3:1. Studi pada Amerika Latin dan negara Afrika dengan rasio wanita dengan pria berkisar 6-8:1. Peran estrogen dalam meningkatkan respon imun, estrogen menstimulasi tumor necrosis factor (TNF), sitokin terbesar dalam patogenesis rheumatoid arthritis. 2.2.4Pertimbangan faktor genetik dan lingkungan Telah diketahui lebih kurang 30 tahun yang lalu, faktor genetik memberikan kontribusi terjadinya RA sebanding dengan keparahan dari penyakitnya. Keturunan pertama 2-10 kali lipat lebih besar terjadinya RA dibandingkan dalam populasi umum. Kembar dalam studi menunjukkan sebagai faktor genetik sekitar 60% terjadi RA. Adanya peran llingkungan pada beberapa literatur didapatkan interaksi gen dengan lingkungan. Universitas Sumatera Utara Pada studi kembar mengimplikasikan faktor genetik pada RA dengan kisaran 15-30% kembar monozigot dan 5% kembar dizigot. Allela yang diketahui memberikan resiko terbesar pada RA terletak pada MHC (major histocompatibility complex. Perkiraaan 1/3 resiko genetik untuk RA terletak pada locus. Gen HLA-DRB1, memberikan petunjuk pada rantai MHC II β. Penyakit yang berhubungan dengan gen ini membagi pada sekuensi asam amino pada posisi 70-74 pada 1/3 area hipervariabel yang dikenal sebagai shared epitope (SE), keterlibatan pada allela SE berkaitan dengan produksi antibodi anti CCP dan memperburuk penyakit tersebut. Beberapa HLA-DRB1 mempunyai resiko tinggiuntuk penyakit RA (*0401), sebagian moderat yaitu (*0101, *0404, *1001, dan *0901). Sebagai tambahan, variasi regional, Yunani; penderita RA cenderung lebih ringan dari negara Eropa Barat, kerentanan RA berhubungan dengan allela SE *0101. Sebagai perbandingan, allela *0401atau *0404 didapati sekitar 50-70% di Eropa Timur dan predominasi allela beresiko pada grup ini. Pada umumnya yang rentan pada allela SE di Asia yaitu Jepang, Korea dan Cina adalah *0405 dan *0901, terakhir yang rentan adalah populasi penduduk asli Amerika seperti Pima dan Indian Tingit, mempunyai prevalensi RA cukup tinggi sekitar 7% berkaitan dengan allela SE *1042. Resiko RA dengan allela SE ini lebih rendah pada African dan Hispanic American daripada leluhur individu di Eropa. Saat ini, sebagai contoh gen non MHC menyumbang resiko RA dengan gen yang mencetak protein tirosin phosphatase di reseptor 22 (PTPN22). Gen ini bervariasi dalam frekuensi di antara pasien dari beberapa negara di Eropa (310%), akan tetapi absen pada Asia Timur. PTPN22 mencetak limfoid tirosin phosphatase, protein meregulasi fungsi sel T dan B yang berhubungan eksklusif dengan penyakit anti CCP positif. Peptidyl arginine deiminase tipe 4 (PADI4) sebagai gen yang mengatur enzim untuk mengkonversikan arginin ke antigen citrullin dengan postulat memberikan peranan dalam perkembangan antibodi pada antigen citrullin. Polimorfism pada PADI4 berkaitan padaRA hanya berkaitan dengan populasi Asia. Studi interaksi komplemen pada gen-lingkungan, seperti perokok dan beberapa stres bronkhial (terpapar silika) meningkatkan resiko RA pada individu dengan kerentanan allela HLA-DRB1 secara sinergis meningkatkan resiko ACPA. Universitas Sumatera Utara Dalam pengamatan pada stressor lingkungan pada sistem pernafasan mempromosikan modifikasi translasi melalui PADI4 menghasilkan baik kuantitastif dan kualitatif perubahan citrullinasi pada mukosa protein. Kehilangan toleransi seperti neoepitope memperoleh respon ACPA (terdeteksi anti CCP), meliputi α-enolase, keratin, fibrinogen, fibronektin, kollagen dan vimentin. Sekitar 43-63% ACPA positif RA merupakan seropositif α-enolase, sangat erat berkaitan dengan HLA-DRB1*04,PTPN22 dan merokok. Agen infeksi baik pada kuman usus (CMV, EBV, Proteus dan E.coli) dan periodentitis diketahui berkaitan RA dan bentuk postulat dari mimikri molekular. Bentuk kompleks imun selama infeksi mencetus induksi faktor rheumatoid sebagai diagnosa RA. Gambar 7. Prevalensi rheumatoid arthritis di dunia (WHO) 2.2.5 Patologi RA memberikan efek pada jaringan sinovial, kartilago dan tulang. Membran sinovial, yamg melindungi permukaan artikular, pembungkus tendon dan bursa, secara normal merupakan lapisan tipis pada jaringan pengikat. Cairan sinovial, ultrafiltrasi darah berdifusi melalui jaringan subsinovial melewati membran sinovial dan rongga persendian. Komponen utama terdiri dari hyaluronan dan lubricin, hyaluronan adalah glukosamine yang memberikan kekentalan alami padacairan sinovial, bersamaan dengan lubricin sebagai pelumas pada permukaan kartilago artikular. Universitas Sumatera Utara Patologi yang khas pada RA yakni terjadi peradangan sinovial dan proliferasi, erosi fokal tulang dan penipisan kartilago artikular. Inflammasi kronis menyebabkan hiperplasia sinovial dan membentuk pannus, penebalan membran sellular terdiri dari fibroblast-like sinoviosit dan granulasi reaktif jaringan fibrovaskular yang mempengaruhi kartilago dan tulang. Infiltrasi peradangan terdiri dari sel T, sel B, sel plasma, sel dendritik, sel mast dan granulosit. Kerusakan struktural pada mineralisasi kartilago dan tulang subkondral yang dimediasi osteoklast. Osteoklast merupakan sel giant multinukleus, yangdapat diidentifikasi dengan mengekspresikan CD68, asam tartrateresisten phosphatase, capthesin K dan reseptor calcitonin. Terdapat pannus pada permukaan tulang dari resorpsi lakuna, menjadi lesi lokalisata yang akhirnya terjadi eroasi pada tulang. 2.2.6 Patogenesis Mekanisme patogenik pada peradangan sinovial, merupakan hasil kompleks melibatkan peran genetik, lingkungan dan faktor immunologi, terjadi disregulasi sistem imun dan kegagalan self-tolerance. Pada RA, secara pre klinis awalnya akibat kegagalan self tolerance, ini didukung ditemukan adanya autoimun seperti faktor rheumatoid dan antibodi anti CCP. Antibodi anti CCP secara langsung deaminasi peptida, hasil dari modifikasi posttranslasi oleh enzim PADI4. Diketahui melalui pengenalan citrullin yang berisi area pada beberapa perbedaan matriks protein, meliputi filaggrin, keratin, fibrinogen dan vimentin, semua matriks protein terdapat pada cairan persendian, yang terdapat kadar cukup tinggi pada serum. Secara teori, stimulasi lingkungan sinergis dengan yang lainnya untuk mmenyebabkan inflammasi pada RA. Pada pasien perokok menunjukkan protein citrullinasi tinggi pada cairan bronkhoaveolar dibandingkan yang tidak merokok. Terpapar asap rokok yang lama memungkinkan merangsang citrullinasi protein pada paru dan merangsang ekspresi neoepitope yang mencetus reaktivitas sendiri, pada akhir terjadi pembentukan imun kompleks dan peradangan persendian.Kuman dapat berperan dalam peradangan awal pada RA, terjadi Universitas Sumatera Utara perubahan sistem imun dengan mendeteksi infeksi kuman melalui Toll like receptor (TLRs). 2.2.7Diagnosa Diagnosa klinis RA berdasarkan gejala dan tanda klinis pada inflammasi kronis arthritis, laboratorium dan radiografis sebagai pemeriksaan tambahan. Pada tahun 2010, kolaborasi antara American College of Rheumatology (ACR) dan European Legue Against Rheumatism (EULAR), yang direvisikan dari tahun 1987, sebagai kriteria klasifikasi RA untuk meningkatkan diagnosa awal untuk lebih memberikan keuntungan dalam penatalaksaan RA. Kriteria baru yaitu tespositif pada serum antibodi anti CCP (ACPA, anti-citrullinated peptide antibodies) dan anti MCV (mutated citrullinated vimentin) dimana memberikan spesifitas lebih tinggi pada diagnosa RA dibandingkan tes RF Kriteria RA menurut ACR 1987 ; minimal menemuhi 4 dari 7 kriteria, keluhan minmal 6 minggu: 1. Kaku pada persendian pagi hari minimal 1 jam 2. Arthritis minimal 3 atau lebih pada area persendian. 3. Arthritis pada persendian tangan minimal lebih dari 1 4. Arthritis bersifat simetris 5. Adanya nodul rheumatoid 6. Serum faktor rheumatoid 7. Gambaran radiologis erosi tulang pada tangan Universitas Sumatera Utara Kriteria klasifikasi pada rheumatoid arthritis menurut American College of Rheumatology//European League Against Rheumatism 2010 : skor Populasi target (siapa perlu tes?); Pasien yang 1. Minimal 1 sendi dengan sinovitis (pembengkakkan) 2. Sinovitis tidak mampu di jelaskan oleh penyakit lain Kriteria klasifikasi RA: >6/10 dimasukkan RA A. Keterlibatan sendi 1 sendi besar0 2-10 sendi besar 1 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) 2 4-10 sendi kecil (dengan atauu tanpa sendi besar) 3 >10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 4 B. Serologi (minimal 1 tes untuk klasifikasi) 5 RF negatif dan CCCP negatif 0 RF positif rendah atau CCCP positif rendah 2 RF positif tinggi atau CCCP positi tinggi 3 C. Reaksi fase akut (minimal 1 tes untuk klasifikasi) CRP normal dan LED normal 0 CRP abnormal dan LED abnormal 1 D. Durasi pada simptom <6 minggu 0 ≥6 minggu 1 2.2.8 Foto polos radiografi pada RA Pembengkakkan jaringan lunak, kehilangan ruang persendian simetris dan erosi subkondral sering pada pergelangan tangan dan tangan. Gambar 8. Foto X-ray penderita RA tampak erosi tulang pada ruas jari tangan Universitas Sumatera Utara 2.3 Osteoarthritis (OA) Osteoarthritis merupakan penyebab paling sering dari arthritis. Prevalensi tinggi pada usia lanjut dan berhubungan erat pada gangguan disabilitas. Populasi di bagian Barat Amerika Serikat, faktor usia lanjut dan obesitas merupakan faktor resiko dominan dalam meningkatkan prevalensi OA. Prevalensi di AS diperkirakan meningkat sampai 66-100% pada tahun 2020 OA dapat didiagnosakan berdasarkan abnormaliitas struktural atau gejala gejala klinis yang menimbulkan abnormalitas. Studi pada cadaver, menurut usia lanjut , perubahan pada struktural pada OA sangat umum. Perubahan meliputi tulang kartilogo menipis (terlihat ruang persendian menyempit pada X-ray) dan adanya osteofit. Simptomatis OA pada lutut (nyeri berhari sampai berbulan pada daerah lutut ditambah ada bukti X-ray OA pada lutut) terjadi pada 12% di atas usia 60 tahun di AS dan 6% di atas 30 tahun. Adanya radiografi menunjukkan OA tangan dan disertai pembengkakan tulang melibatkan persendian tangan sangat tidak biasa yang sering dijumpai pada usia lanjut. Sekalipun simptomatis OA pada tangan, terjadi 10% pada individual lanjut usia dan sering menimbulkan fungsi terbatas. Prevalensi OA meningkat bertambah usia, dimana OA jarang di jumpai pada usia di bawah 40 tahun dan meningkat pada usia di atas 60 tahun, OA pada wanita lebih umum dibanding pria dan prevalensi perbedaan gender meningkat dengan bertambah usia. Osteoarthritis merupakan gangguan pada persendian, di mana struktural persendian mempunyai perubahan patologis yakni kartilago hialin pada artikular berkurang atau hilang, bersamaan penebalan dan sklerosis pada tulang subkhondral, pertumbuhan osteofit pada pinggir tulang, perengangan kapsul artikular, sinovitis ringan pada persendian dan kelemahan otot sekitar persendian. Universitas Sumatera Utara Gambaran keparahan kelainan bentuk pada jari jari tangan dan deformitas pada ekstremitas bawah OA berat pada jari tangan menunjukkan persendian interfalang distal (nodul Heberden´s) dan persendian interfalang proksimal (nodul Bouchard´s) Deformitas pada anggota gerak bawah (lutut), Varus seperti huruf O dan knock knees (lutut terkunci) disebut valgus seperti huruf X Gambar 9. Terlihat nodul pada tangan (atas) dan deformitas pada anggota gerak bawah (bawah) 2.3.1 Faktor predisposisi a. Obesitas 3-6 kali berat badan sebagai transmisi silang selama pada kaki saat berdiri terutama memberi tekanan berat waktu berjalan aatu beraktivitas. Obesitas sangat baik didefinisikan sebagai faktor resiko potensial dalam perkembangan OA lutut. Pada wanita terbukti kuat sebagai faktor resiko Universitas Sumatera Utara dibanding pria, wanita mempunyai hubungan secara llinier antara bertambah usia dengan kejadian OA. Penurunan berat badan pada wanita menurunkan faktor resiko terjadi OA dengan tidak memberikan tekanan pada persendian, hal ini berbanding terbalik pada obesitas mempunyai simpton yang lebih berat. Selain terjadi OA pada lutut, OA pada tangan juga berdampak secara moderat pada pasien obesitas berhubungan erat dengan sindroma metabolik (Shahpoor Maddah et al. 2014) b. Penggunaan persendian berulang dan aktivitas Dibagi dalam 2 kategori pada penggunaan persendian berulang , akibat pekerjaan rutin dan aktivitas di waktu senggang. Pekerjaan rutin dalam beberapa tahun mempunyai resiko tinggi menderita OA pada persendian, sebagai contoh petani lebih tinggi menderita OA panggul dan perkerja tambang resiko sakit OA lutut dan tulang belakang. Pekerja yang mengangkat beban berat dan individu sering berjalan di daerah terjal dan sering mendaki gunung lebih resiko terjadi OA lutut. Orang yang melakukan olahraga secara modifikasi pola hidup sehat dalam penelitian lama di dapat tidak berhubungan erat dengan resiko OA pada sebagian besar orang. Sebagai contoh pasien yang mengalami cedera lutut sangat meningkatkan resiko terjadinya progresif OA lutut pada atlet pelari dibandingkan yang bukan atlet pelari. 2.3.2 Patologi Patologi OA menunjukkan bukti keterlibatan banyak struktur persendian. Kartilago terdapat pada ketidakteraturan dalam komposisi yang dapat terjadi progresifitas erosi fokal. Setelah kartilago cedera khondrosit mengalami mitosis sehingga aktivitas metabolik Kluster khondrosit meningkat aktivitas proteoglikans mengakibatkan deplesi matriks di sekitar khondrosit, dikarenakan proses katobolik lebih tinggi dibandingkan aktivitas sintetik. Saat perkembangan penyakit , matriks kolagen mengalami kerusakan , proteoglikans terekspos dan kartilago mengalami pembengkakan sehingga rentan cedera terjadi pengeluaran sitokin sehingga terjadi perubahan pada matriks dan pertumbuhan kartilago baru, invasi neurovaskular dari tulang, bila dilakukan foto Xray ditemukan khas yaitu Universitas Sumatera Utara osteofit. Pada daerah persendian terjadi pembengkakan dan inflammasi akibat dari migrasi makrofag dari perifer ke dalam jaringan dan sel berisi pada sinovium berproliferasi sehingga kapsul artikular menjadi renggang dan udem serta fibrotik. 2.3.3 Tanda-tanda klinis Nyeri persendian pada OA berhubungan dengan aktivitas fisik. Nyeri bisa disebabkan saat, selama atau sesudah pemakaian persendian dan secara gradual mengurangi rasa sakit. Seperti contoh : sakit persendian pada lutut dan panggul saat naik atau turun tangga, nyeri saat membawa beban berat sambil berjalan, dan OA tangan dijumpai ketika memasak. Nyeri pada awal penyakit, nyeri episodik, dirasakan nyeri hari perhari atau hilang timbul. OA penyebab kronis nyeri lutut padapsien di atas usia 45 tahun, akan dideferensial diagnosa dengan gangguan inflammasi disertai kekakuan jari atau tangan di atas 60 menit dan banyak sendi yang terlibat. Darah rutin tidak dianjurkan dalam melakukan pemantauan pada pasien OA jikalau simpton dan tanda tanda klinis mengarah pada arthritis peradangan. Pemerikasaan cairan sinovial lebih membantu sebagai diagnostik dibandingka Xray. Leukosit pada cairan sinovial diatas 1000/ul, inflammasi arthritis atau gout atau pseudogout sebagai diferensial diagnosa dengan mengindentifikasi dengan ditemukan kristal. X-ray lebih diindikasi untuk mengevaluasi nyeri tangan kronis dan nyeri panggul bersamaan dengan OA, diagnosis cenderung samar tanpa konfirmasi radiografi. Pada nyeri OA lutut, radiografi seharusnya dilakukan jika simptom dan tanda klinis tidak tipikal OA atau nyeri lutut persisten setelah pengobatan. Pada OA, penemuan secara radiografi berkorelasi lemah dengan kehadiran dan keparahan nyeri, lebih lanjut radiografi tampak normal pada awal penyakit. 2.4 Gout Gout merupakan penyakit metabolisme sering dialami usia tengah sampai usia tua pada pria dan wanita setelah menopause. Ini akibat dari produksi asam urat dalam tubuh (hiperurisemia). Tipikal dengan karakteristik ditandai episode Universitas Sumatera Utara arthritis akut dan arthritis kronis diakibatkan penumpukan kristal monosodium urat pada persendian dan tophus pada jaringan ikat dan resiko pada deposit di intersitium ginjalatau nefrolithiasis asam urat. Arthritis akut merupakan manifestasi klinis awal (sering), biasanya awal hanya satu persendian yang terlibat, bahkan poliartikular (jarang). Yang sering dijumpai gout pada persendian metatarsofalang pada jari pertama (ibu jari), persendian tarsal, pergelangan kaki dan lutut juga umum terlibat. Seperti adanya nodul Heberden´sdan Bouchard´s sebagai awal manifestasi pertama arthritis gout. Episode awal arthritis gout akut sering dimulai pada malam hari dengan disertai nyeri persendian dan pembengkakan. Serangan akut arthritis gout spontan dalam 3-10 hari, faktor presipitasi arthritis gout yaitu diet berlebihan (dapat diketahui melalui kadar serum asam urat meningkat), trauma, minum alkohol berlebihan , terapi hipouricemia dan riwayat penyakit seperti infark jantung dan stroke. Setelah mono atau oligoartikular, proporsi pasien gout memberikan sinovisitis tidak simetris kronis dapat menyebabkan keraguan dengan rheumatoid arthritis. Wanita memberikan sekitar 5-20% pada pasien gout terutama wanita post menopause. 2.4.1 Gambar klinis gout Gambar 10. Pembengkakan pada ibu jadi kaki penderita gout 2.4.2Diagnosis laboratorium Bila timbul secara klinis sangat erat diduga gout, dikonfirmasikan dengan aspirasi jarum pada persendian dan deposit tophus yang akut maupun kronis dan dapat dibedakan septik arthritis akut dan kristallin assosiasi arthropathi. Pemeriksaan serum asam urat dapat normal maupun rendah saat serangan akut, dimana sitokin inflammasi bersifat urikosurik dan inisiasi efektif pada terapi Universitas Sumatera Utara hipouricemia dapat mencetuskan serangan,akan tetapi peningkatan kadar serum asam urat suatu saat dan merupakan tolak ukur dalam mengikuti pemakaian obat hipouricemia sebagai penyebab. Pengambilan dan pemeriksaan urine asam urat 24 jam berperan dalam menentukan resiko terbentuk batu. Selain urinalisis, serum creatinin, hemoglobin, hitung jenis sel darah putih, fungsi tes hati, profil lemak bisa dimungkinkan sebagai patologi gout sekuele dan sebagai batas atas nilai dimungkinkan efek sampingan pada pengobatan gout. 2.5 Arthritis septik Arthritis septik disebabkan arthritis infeksi, arthritis yang disebabkan adanya infeksi terutama Stahhylococcus aureus,Neisseria gonorrhoeae (kuman tersering), sangat jarang disebabkan oleh mikrobakterium, jamur, virus. Infeksi bakteri akut dapat merusakkan kartilago artikular secara cepat, dimana inflammasi persendian harus mendapat evaluasi tanpa menunda menyingkirkan proses non infeksi dan menentukan secara proporsi terapi antimikroba dan prosedur drainage. Infeksi bakteri akut secara tipikal melibatkan persendian tunggal atau sedikit persendian. Subakut atau kronis monoarthritis atau oligoarthritis disangkakan oleh infeksi mikrobakterium atau jamur, inflammasi episode sering pada sifilis. Arthritis septik akibat sifilis, sifilis congenital awal terjadi pembengkakan periartikular dan anggota gerak bawah sulit bergerak (Parrots pseudoparalysis) dan tidak nyeri pada sinovitis disertai efusi pada sendi besar seperti lutut berlangsung kronis (clutton joint). Sifilis sekunder berhubungan arthralgia dengan simetris arthritis pada lutut, cenderung pada persendian bahu dan sakrum. Pada sifilis tertier terjadi persendian Charcotakibat kehilangan sensorik bersamaan tabes dorsalis. Pemakaian penicillin tidak menolong pada stadium ini. 2.5.1Faktor resiko Selain infeksi kuman, faktor resiko yang lain berperan dalam perkemmbangan sepsis arthritis meliputi (Catherine J. Mathews dan Gerald Coakley, 2008): 1. Prothesis persendian. Universitas Sumatera Utara 2. Ketergantungan pemakaian obat. 3. Alkoholisme 4. Diabetes 5. Riwayat pemakaian suntikan intra-artikular kortikosteroid. 6. Ulcerasi kutaneus 2.5.2Investigasi dalam menduga arthritis septik Dapat dilakukan dengan analisis mikroskopik dan kultur cairan sinovial dari aspirasi persendian yang terlibat. Cairan sinovial dillakukan pewarnaan gram dan mikroskpik. Dapat dilakukan hitung jenis leukosit pada cairan sinovial dan laju endap darah Penelitian yang dilakukan Margaretten et al., 2007 menyimpulkan tidak dijumpai demam, nilai leukosit normal, LED dan CRP juga menyakinkan dalam menyingkirkan diagnosis arthritis septik 2.6. Lime arthritis. Penyakit lime merupakan infeksi Borrelia dan menyebar pada manusia oleh Tunggau Ixodes. Penyakit lime ini terdapat di Eropa dan Asia, dengan faktor resiko meliputi pekerjaan, aktivitas di luar rumah (rekreasi) seperti di rumput dan daerah hutan. Infeksi B.burgdorferi menyebabkan gangguan multisistem, dengan manifestasi klinis minggu sampai tahun (kronis). Tanda khas dijumpai eritema marginatum (EM), gangguan pada otot jantung, gangguan saraf dan terjadi episode arthritis. Beberapa tanda klinis, khususnya arthritis hilang dan tejadi kembali oleh penyebab bagian dari infeksi, diperkirakan berkaitan dengan respon imun pada spirochaeta, gejala klinis berulang merupakan refleksi alamiah unik penyakit lime, dalam perkembangan membutuhkan interaksi kompleks antara vektor, bakterial, dan faktor host yang memediasi perkembangan pada infeksi awal, penyebaran bakteri pada lokasi tubuh tertentu dan terjadi perkembangan secara patologis. Interaksi secara proses inflammasi dapat menegakkan lime arthritis. Arthritis merupakan salah satu penyebab dari penyakit lime berkaitan morbiditas di AS, sekitar 60% individu terinfeksi B.burgdorferi. episode Universitas Sumatera Utara B.burgdorferi intermiitten dan berkembang beberapa minggu atau bulan setelah infeksi, walaupun pemberian antibiotika adekuat, gejala klinis menetap 10% pada pasien arthritis. Pada kasus berat, lime arthritis sebagai aspek inflammasi cukup tinggi dengan erosi kartilago dan tulang dengan kerusakan persendian permanen. Pada kenyataan tidak semua pasien dengan infeksi lime menjadi arthritis mungkin sebagai refleksi pada ragam genetik pada spesies Borrelia. Teori amber pada lime arthritis (Gary P.Wormser et al. 2012) 1. Terjadi lebih kurang 6 bulan setelah infeksi kutaneus olehBorrelia burgdorferi (eritema marginatum) pada pasien yang tidak mendapat pengobatan 2. Pasien dengan lime arthritis tidak spirochetemia saat terjadi onset pembengkakan sendi. 3. DNA B.burgdorferi (khusus DNA plasmid) selalu terdeteksi pada cairan sinovial pada pasien tidak diberikan terapi pada lime arthritis, tetapi cairan sinovial hampir dijumpai negatif pada kultur. Sebagai tambahan analisis molekular bahwa spirochaeta hidup tetapi tidak terdeteksi dari cairan sinovial pada pasien tanpa pengobatan (mRNA tidak ada). 4. Pada pasien tanpa pengobatan, arthritis sembuh sendiri dalam beberapa hari-minggu akan tetapi secara tipikal berulang dengan persendian sama atau berbeda. 5. Pasien secara predisposisi secara genetik dengan spesies Borrelia, lime arthritis pada lutut tetap tidak respon pada pengobatan antibiotik, mungkin respon pada NSAIDS, DMARDS, steroid artikular atau sinovektomi. Pasien dengan arthritis dengan persendian lain, bagaimanapun biasanya dicegah dengan pemberian antibiotik. 2.6.1 Perkembangan arthritis pada infeksi B.burgdorferi (Dean T Nardelli, 2007) Organisme Borrelia menginfeksi pada kulit pada host saat gigitan dari tungau terinfeksi, memberikan gambaran lesi EM yang disebabkan respon inflammasi yang berisi spirochaeta bereplikasi dan mencegah migrasi dari tempat awal penumpukan pada kulit, gambaran lesi ini hanya sekitar 60%. Saat proses pemberian makan, kelenjar air ludah (saliva) dari tungau bersamaan Universitas Sumatera Utara spirochaetamasuk ke dalam jaringan host, saliva tungau terbukti mengandung protein penghambat sel B dan sialostatin L, yang berperan menganggu jaringan host dan respon imun. Terbukti B.burgdorferi mampu memodulasi ekspresi pada permukaan antigen khususnya outer surface protein A dan C (Osp A dan C), mempunyai mekanisme tambahan untuk menghindari respon imun. Penyebaran organisme Borrelia tergantung pada kombinasi tungau dan faktor bakteri dalam menyingkirkan sistem imun innate seperti jumlah spirochaeta yang memadai untuk bertahan hidup dan melarikan diri dari tempat infeksi. Penghindaran pada respon imun merupakan peranan yang signifikan untuk mampu menyebarkan dari lokasi inokulasi dalam menempatkan lokasi pada jaringan persendian dan terjadi arthritis. Sistem sel immun innate cukup efektif dan efisien mengeradikasi spirochaeta, saat immun innate pada individual gagal, mempunyai program dari sistem immun adaptif yang cukup kuat menginduksi sel Th1 dan respon Th2 untuk menghilangkan spirochaeta. Perluasan faktor imun innate seefektif pada pemberian antibiotik kemungkinan bersamaan terjadi kerusakan pada host termasuk menginduksi perkembangan arthritis. Sistem immun innate secara primer terdiri dari sel NK, neutrofil, monosit/makrofag dan sel dendritik. Tipe dari tiap sel dipertimbangkan sama pentingnya karena sel memberikan respon pada infeksi Borrelia. Bagaimanapun, sel NK berperan dalam lime arthritis (belum sepenuhnya dapat dijelaskan). Arthritis yang terinfeksi B.burgdoferi rentan C3H/HeJ tikus dan resistensi arthritis C57BL/6 tikus yang secara genetik defisiensi pada granulosit dan sel NK yang menyebabkan arthritis lebih ringan dibandingkan yang tipe liar. Kehadiran TLR2 pada sel NK diduga adanya interaksi pada lipoprotein Borrelia mengstimulasi respon inflammasi yang dimediasi sel NK secara langsung pada iinterferon gamma (IFN -ϒ). Sebagai tambahan , OspA mampu meningkatkan aktivitas pada sel NK, berperan dalam menginduksi mediator inflammasi lainnya seperti TNF-α, IL-8. Stimulasi dari immun adatif dengan produksi IL-2 dapat merangsang sel NK secara tidak langsung berperan dalam stimulasi dan aggresivita srespon patologik secara berlebihan dalam infeksi merangsang terjadinya lime arthritis. Universitas Sumatera Utara Neutrofil berperan saat infeksi dan menginduksi arthritis oleh B.burgdorferi sel respon imun primer dan dikerahkan pada tempat infeksi dan berlebihan pada sinovial manusia dan hewan dengan lime arthritis. Neutrofil dapat membunuh B.burgdorferi dengan ketidakhadiran antibodi dan melepaskan spesifik granul yang meningkatkan kemampuan dalam membunuh spirochaeta dan kerusakan jaringan lokal. Saliva tungau mengandung faktor dalam menganggu aksi neutrofil pada lokasi infeksi. Pada penelitian yang dilakukan pada tikus, respon kuat dalam mediasi neutrofil tidak tampak pada kulit, akan tetapi infiltrasi neutrofil menonjol pada persendian tibiotarsal. 2.6.2Perkembangan arthritis pasca infeksi B.burgdorferi (Dean T Nardelli, 2007) Terdapatnya B.burgdorferipada jaringan ikat pada persendian pada individu terinfeksi berperan terjadinya lime arthritis, akan tetapi bila diberikan terapi antibiotik tidak terdeteksi kuman Borrelia dan DNA pada persendian. Bagaimanapun sekitar 10% pasien dengan lime arthritis walaupun adekuat antibiotik. Sebagai penambahan, pemberian antibiotik pada jaringan sinovial saat pengobatan pasien lime arthritis menunjukkan kadar molekul adhesi leukosit tinggi seperti ICAM-1 dan VCAM-1, mengarah terjadi perkembangan inflammasi. Steere dan Glickstein menyusun beberapa hipotesis, terdapat persisten arthritis walaupun telah mendapat pengobatan yang adekuat antara lain: 1. Kemungkinan dijumpaiB.burgdorferi pada host, diakibatkan antibiotik tidak mampu mencapai daerah yang terinfeksi atau mekanisme pertahanan imun lemah. studi saat ini, menunjukkan DNA masih terdeteksi pada tikus yang terinfeksi dengan kombinasi Ceftriaxone dan antibodi pada sitokin peradangan TNF, perlu penelitian lanjut untuk mengklarifikasi kenapa kuman Borrelia mampu bertahan hidup di dalam host. 2. Terjadinya resistensi antibiotik-arthritis, kemungkinan dari antigen Borrelia. Penelitian Gondolf et.al memperlihatkan outer surface protein (Osp) B.burgdorferi tertahan pada permukaan kartilago dan membran sinovial. Dari Steere dan Glickstein terjadinya resistensi pengobatan Universitas Sumatera Utara antibiotik pada lime arthritis dimediasi oleh mekanisme autoimun, kemungkinan melibatkan molekul mimikri host pada OspA. Arthritis telah terdokumentasi baik akibat komplikasi yang mengikuti infeksi dari penyebaran B.burgdorferi. derajat dari arthritis bervariasi dari inflammasi ringan dan sedang pada persendian dan tendon setelah infeksi. Respon imun juga berperan termasuk innate dan adatif. Penyebab lime arthritiis secara pasti tidak diketahui, beberapa studi mengimplikasi adanya peran bersama antara vektor, bakteri dan host, dari awal perjalanan dimulai infeksispirochaeta, penyebaran dan tejadinya dalam jaringan persendian dan pengerahan sisten imun yang mana menyebabkan inflammasi dan mediator penghancuran jaringan dalam persendian. 2.7. Kerangka Teori KERANGKA TEORI Penyakit lime kronis Menurut kategori 3 Henry M Feder, NEJM, 2007 Tidak ada riwayat pemeriksaan klinis objektif, konsisten dengan penyakit lime dengan gejala subjektif yang penyebab tidak diketahui mengarah pada kronisitas penyakit RHEUMATOID ARTHRITIS Tidak menemuhi kriteria ACR (1987) dan EULAR (2010) OSTEOARTHRITIS Usia 18-40, pembengkakan sendi (-), deformitas tulang (-) GOUT Tidak dijumpai nodul (tophus) dan tidak nyeri akut Arthritis septik Tidak terdapat pembengkakan sendi dan tidak demam Tes ELISA lime ( Ig G) Lime arthritis Gambar 11. Kerangka teori Universitas Sumatera Utara 2.8 Kerangka Konsep KERANGKA KONSEP Subjek penelitian di Kec.Sibolangit Mengisi kuesioner penelitian,pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah rutin dan asam urat (menemuhi syarat) Menilai seroprevalensi penyakit lime Pembacaan hasil ELISA pos/neg Mengetahui seberapa besar presentase arthritis kronis akibat tes lime ELISA Ada hubungan antara penyakit lime dengan penderita arthritis kronis Gambar 11. Kerangka konsep Universitas Sumatera Utara