BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Penyakit Lime 2.1.1Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Penyakit Lime
2.1.1Definisi
Penyakit lime disebut juga lyme borreliosis yang disebabkan oleh
spirochaeta, Borrelia burgdorferi sensu lato, dengan penyebaran melalui tungau
(kutu) kelompok Ixodes ricinus. Infeksi lime ditandai adanya lesi kulit yang luas
dengan gambaran khas dinamai eritema migrans (EM) yakni lesi pada bagian
tengah putih (pucat) dengan disekeliling warna merah cerah di bagian luar dan
disebut target pusat. (Allen C.steere, 2015)
Gambar 1. Eritema migran (EM) pada pasien lime
2.1.2Sejarah dan Etiologi Penyakit Lime
Penyakit lime pertama kali ditemukan di Connecticut, USA, pada tahun
1976 pada seorang anak laki-laki umur 9 tahun, didiagnosa sebagai juvenile
rheumatoid arthritis. Penyakit lime dikenal sebagai penyebab penyakit
multisistemik yang melibatkan kulit, persendian, saraf dan mata.
Penyakit lime merupakan penyakit oleh infeksi dari kelompok kompleks
Borrelia burgdorferi sensu lato dalam famili spirocheta. B.burgdorferi sensu lato
dikenal mempunyai minimal 18 genospesies,sebagian sangat patogen pada
manusia, hewan peternakan dan hewan peliharaan.
Universitas Sumatera Utara
Genospesies yang menyebabkan tersering penyakit lime pada manusia
yaitu B.burgdorferi sensu stricto, B.garinii, B.afzelii dan sekarang dikenal juga
patogen
adalah
B.spielmanii,
B.bissettii,
B.lusitaniae
dan
B.valaisiana,
berdasarkan isolasi pada pasien di Eropa, Asia dan atau studi pada laboratorium
hewan.
2.1.3Borreliaburgdorferi
B.burgdorferi diidentifikasi pertama kali oleh Dr. Willy Burgdorferi tahun
1982. B.burgdorferi termasuk bakteri negatif dan mikroaerofilik, genus spirocheta
dengan ukuran relatif kecil (1,5Mb) dan terdiri dari kromosom linier pada 950kb
dan 17-21 plasmik linier dan sirkular. Spirocheta ini mempunyai sedikit protein
untuk aktivitas biosintesis dan bergantung pada pemenuhan nutrisi pada vektor
dan host. Tidak dikenal adanya rangkaian racun.
2.1.4 Epidemiologi
Telah diketahui 13 genospesies B.burgdoferi sensu lato hidup di alam
sebagai siklus enzootik melibatkan 12 spesies tungau, sebagian besar tungau
kelompok Ixodes ricinus, I.scapularis, I.pacificus dan I.persulcatus.Ixodes
scapularis dan I.pacificus sebagai vektor di negara bagian AS, sedangkan
I.ricinus dan I.persulcatus di Eropa dan Asia.
Gambar 2. Tungau betina hamil dan siklus hidup Ixodes ricinus.
Penelitian yang dilakukan di negara Turki, dtemukan Borrelia burgdorferi
sensu lato yaitu satu B.burgdorferi sensu stricto, dua B.garinii (tipe Eurasia), dua
B.afzelii, empat B.lusitaniae dan satu B.valaisianadari isolasi dari Tungau Ixodes
ricinus (Ece S.Gá˝”ner et al., 2003). Prevalensi penyakit lime pada oleh Tungau
Universitas Sumatera Utara
Ixodes persulcatus ditemukan positifB.burgdorferipada tes DNA Borrelia dengan
PCR sebesar 34,5% di Hokkaido, Jepang (Yusuke Murase et al. 2013). Prevalensi
penyakit lime oleh Tungau Ixodes persulcatus ditemukan di Cina bagian Utara
juga positif sebesar 33,8% dengan PCR (Wu-Chun Cao et al. 2003). Tungau
Ixodes ini juga dijumpai pada binatang baik domestik maupun liar, isolasi kuman
B.burgdorferi dilakukan di Amerika dan negara di Eropa.
Tungau Ixodes mempunyai siklus hidup antara lain larva, nimpha dan
dewasa. Tungau memerlukan darah pada setiap tahap siklus hidup. Resiko infeksi
tergantung pada area (distribusi geografis) disertai adannya tungau sebagai
kebiasaan makan (musim) dan hewan sebagai host. Tungau betina bila mengiggit
pada host hewan, memerlukan 3 hari dari telur menjadi larva, 5 hari menjadi
nimpha dan 7 hari menjadi dewasa. Tungau juga dapat meletakkan telur di
permukaan tanah dan memerlukan beberapa bulan untuk berkembang sampai
tahap tungau dewasa, bergantung pada cuaca.
Siklus hidup Tungau Ixodes dengan tingkat kejadian pada musim semi dan
musim gugur. Karena memerlukan darah untuk setiap tahap siklus hidup,
B.burgdorferi tidak ditemukan penyebaran secara vertikal (keturunan), larva
menjadi infeksius saat mengiggit pada hewan reservoir terinfeksi dan transmisi
infeksi baru pada hewan lain sepanjang melalui gigitan. Pada tahap nimpha yang
sangat berperan pada terjadi penyakit lime pada manusia. Rusa ekor putih (AS)
memberikan kontribusi tersering pada siklus hidup spirochaeta.
Gambar 3. Siklus hidup Tungau Ixodes berdasarkan musim
Universitas Sumatera Utara
Di negara Asia yakni Korea, dijumpai kasus penyakit lime melalui
pengambilan sampel serologisdan karakteristik epidemiologi pada tahun 20052009 ( Sang-Hee Park et al. 2011), deteksi tes serologis lime didapatkan 16 dari
53 kasus (30,2%) terinfeksi lime berasal dari luar Korea dan 37(69,8%) terinfeksi
dari Korea sendiri, dengan karakteristik endemik menurut musim yaitu pada bulan
Mei dan Desember. Seroprevalensi penyakit lime juga terdeteksi di India Timur
(Surg Cmde AK Praharafet al. 2007) dengan tes lime ELISA Ig G didapat sebesar
65 dari 500 sampel (13%) positif IgGBorrelia burgdorferi. Penelitian yang
dilakukan oleh Arunachal Pradesh (India) menunjukkan seroprevalensi lebih
tinggi yaitu 17,8%. Di negara Cina seroprevalensi penyakit lime dengan tes lime
IgG dilaporkan sebesar 5,1% di populasi perdesaan Beijing (Xiangfeng Dou et al.
2015). Seroprevalensi penyakit lime antara pekerja hutan dan petani dengan donor
darah sehat di Duzce, Barat-Laut Turki (Ayse Demet Kayaet al., 2007) tercatat
10,9% pada pekerja hutan dan petani dan 2,6% pada donor darah dengan tes
ELISA dan dilanjutkan Western Blot IgG. Di Amerika Serikat prevalensi berkisar
2-12% dengan menggunakan metode two-tier (ELISA di lanjutkan Western Blot)
dan prevalensi yang cukup tinggi di Eropa 26% dengan pemeriksaan metode lime
two-tier.
2.1.5 Patogenesis dan Immunitas
Dalam mempertahankan siklus enzootik kompleks, Borrelia burgdorferi
harus mampu beradaptasi pada lingkungan berbeda yaitu pada Tungau dan host
mamalia. Bakteri spirochaeta memperlihatkan permukaan protein luar A (OspA)
pada usus tengah tungau dan OspC sebagai regulator perjalanan kuman yang
dijumpai pada kelenjar ludah tungau. OspC berikatan pada protein kelenjar saliva,
dibutuhkan sebagai sumber infeksi pada host mamalia. Tungau ini biasanya
memerlukan waktu minimal 24 jam untuk transmisi B.burgdorferi.
Setelah menginjeksi melalui gigitan pada kulit manusia, spirochaeta
meregulasi via OspC dan lipoprotein VlsE. Protein yang dihasilkan sangat
antigenik yaitu berkemampuan merubah struktur dinding sel dan antigen
permukaan sehingga imun sistem mengalami kesulitan mengenal antigen tersebut
dinamakan polimorfism (oleh Thomas M.Grier, tutorial mikrobiologi berjudul
Universitas Sumatera Utara
The Complexities of Lyme Disease).Akibat pleomorfism ini spirochaeta mampu
beradaptasi di dalam tubuh host. Setelah beberapa hari sampai minggu,
B.burgdorferi bermigrasi ke luar kulit terjadi peradangan yang dinamakan eritema
migrans (EM) dan mungkin penyebaran secara hematogen dan atau limfogen pada
organ lain.
Faktor virulensi yang diketahui dari B.burgdorferi adalah protein
spirochaeta yang melekat pada protein mammalia, integrin, glikoaminoglikans
atau glikoprotein. Sebagai contoh, penyebaran melalui kulit dan
matriks
jaringan lain mungkin difasilitasi oleh ikatan plasminogen manusia dan aktivaktor
pada permukaan spirochaeta. Penyebaran organisme ini pada darah difasilitasi
oleh ikatan reseptor fibrinogen pada platelet teraktivasi (αIIbβ2) dan reseptor
vibronektin pada sel endothelial. Indikasi yang mirip, spirochaeta decorin-binding
protein, glikosaminoglikans pada fibril kollagen, yang dapat dijelaskan mengapa
organisme ini bisa berada sejajar pada fibril kollagen dalam matriks ekstrasellular
di jantung, sistem saraf dan persendian (Dean T.Nardelli et al.2007 dan Ok Sarah
Shin 2014).
Kontrol dan eradikasi B.burgdorferi pada host harus melibatkan kedua
sistem imun tubuh yaitu respon imun innate dan adatif, menghasilkan makrofag
dan antibodi mediasi membunuh kuman spirochaeta. Sebagian respon imun
innate, komplemen menglisiskan spirochaeta pada kulit, sel yang terlibat akan
melepaskan sitokin pro-inflammasi poten seperti interleukin 6, TNF-α, interferonϒ, dan interferon-1β. Respon imun adatif bertujuan untuk menghasilkan spesifik
antibodi, mengopsonisasi
organisme sebagai langkah awal optimal untuk
membunuh spirochaeta. Studi pada rangkaian protein menunjukkan lebih kurang
1.200 protein B.burgdorgeri terdeteksi respon antibodi pada 120 total protein
spirochaeta (khususnya lipoprotein permukaan luar) pada populasi pasien dengan
lime arthritis. Pemeriksaan histologis memperlihatkan adanya infiltrasi limfosit,
makrofag dan sel plasma dengan tingkatan kerusakan pembuluh darah. Dengan
adanya penemuan ini, diduga spirochaeta dapat berada di dalam atau sekitar
pembuluh darah (Ok Sarah Shin, 2014).
Pada infeksi enzootik, spirochaetaBorrelia burgdorferi dapat bertahan
hidup dari pengepungan sistem imun hanya pada musim panas sebelum pada
Universitas Sumatera Utara
siklus larva untuk memulai siklus hidup yang baru mengikuti siklus tahunan. Ini
berbanding terbalik, pada infeksi pada manusia merupakan akhir kematian
spirochaeta dalam beberapa minggu atau bulan, via mekanisme sistem imun
innate dan adaptif tanpa terapi antibiotik (berperan dalam mengontrol penyebaran
infeksi dan gejala klinis sistemik berkurang. Bagaimanpun, tanpa pengobatan
antibiotik, spirochaetaaa mampu hidup ditempat asal untuk beberapa tahun,
sebagai contoh, B.burgdorferipada Amerika Serikat menyebabkan arthritis
persisten atau sangat jarang encefalopathi atau polineuropathi. Demikian,
mekanisme sistem imun sukses mengeradikasi hampir seluruh B.burgdorferi dari
jaringan dan organ semula termasuk persendian dan sistem saraf dan gejala klinis
sembuh pada banyak pasien.
B.burgdorferi tidak dapat disebarkan melalui cairan tubuh, lingkungan,
pernah dilaporkan ditemukan dalam kantong darah, urine, asi pada pasien dengan
eritema migrans. Kuman B.burgdorferi pernah dilaporkan survival 28-35 hari
pada darah babi guinea pada suhu kamar, sampai 48 hari di darah manusia
sewaktu transfusi darah di suhu 4°C dan periode singkat di urine. Didapati 1kasus
penyakit lime dari sampel donor darah di Malaysia (Tay S T et.al., 2002), kontak
darah atau urine terinfeksi lime pada manusia, walaupun transfusi penyebab
penyakit
secara
teori
memungkinkan
(dalam
hewan
percobaan
yakni
tikus,transfusi darah mampu menyebabkan penyebaran. Dalam hewan peliharaan,
anjing, satu kasus transmisi horizontal dilaporkan terinfeksi dari eksperimental
pada hewan kontrol. Pada studi lain, serokonversi tidak terlaporkan saat anjing
terinfeksi atau tidak serumah dalam setahun. Ko-infeksi dengan penyakit
penyebaran tungau ditemukan pada human granulositik (ehrlichiosis) atau
babesiosis, dapat mengubah tanda klinis dan respon pada pengobatan.
Pada penyakit lime tidak ada bukti sebagai penyakit menular pada
manusia, dan juga tidak ada laporan infeksi sesudah transfusi darah terinfeksi lime
atau kontak dengan jaringan atau organ terinfeksi lime.
2.1.6 Manifestasi klinis
A. Infeksi Awal : stadium 1 (infeksi lokalisata)
Universitas Sumatera Utara
Karena ukuran tungau sangat kecil sampai tidak ingat kapan terasa
digigit. Setelah masa inkubasi (3-32 hari), tempat gigitan akan terlihat
seperti makula atau papula berwarna merah dinamakan eritema migrans
(EM). Ruam akan meluas secara perlahan-lahan membentuk lesi annular
yang luas, sehingga ukuran lesi meingkat warna merah terang pada batas
luar kulit dan bagian tengah pucat. EM dapat berlokasi dimanapun seperti
paha dan ketiak merupakan tempat lazim dari tungau. Lesi umumnya
panas dan jarang sakit. Kira-kira 20-40% pasien tidak menunjukkan
manifestasi khas ini pada kulit.
B. Infeksi awal : stadium 2 (infeksi penyebaran).
Kasus di AS, B.burgdorferi menyebar secara hematogen pada
beberapa lokasi (hari-minggu) setelah onzet EM. Pada tahap ini, adanya
lesi annular sekunder pada kulit bersamaan sakit kepala berat,
demam,nyeri migratori pada otot-tulang, radang sendi (arthralgia), bisa
disertai limfoadenopathi, letargia dan malaise.
Setelah beberapa minggu-bulan, 15% pasien tidak mendapat
pengobatan akan terjadi abnormalitas pada saraf seperti tanda encefalitis,
neuritis kranial, motorik dan sensorik radikulopathi, neuropathi perifer,
multipleks mononeuritis, ataksia cerebellar atau mielitis, bisa tunggal atau
kombinasi. Pada anak, saraf optikus akan terjadi peradangan atau
meningkatnya tekanan intrakranial dapat menyebabkan kebutaan. Kelainan
awal neurologis biasanya sembuh secara komplit dalam beberapa bulan,
akan tetapi sangat jarang terjadi abnormalitas kronis.
Kira-kira 8% pada pasien berkembang melibatkan jantung seperti
blok
atrioventrikular,
perikarditis
akut,
disfungsi
ventrikel
kiri.
Kardiomiopathi yang disebabkan B.burgdorferi pernah dilaporkan terjadi
di Eropa.
Selama pada tahap 2 ini, sering terjadi nyeri otot-tulang, berupa
sakit berupa migratori pada persendian, tendon, bursa, otot dan tulang
(biasanya tanpa pembengkakan persendian)dan melibatkan satu atau dua
persendian secara bersamaan
Universitas Sumatera Utara
C. Infeksi akhir: stadium 3 (infeksi persisten)
Beberapa bulan setelah onset dari infeksi, terdapat pada 60% pasien tanpa
pengobatan antibiotik akan berlanjut terjadi arthritis (radang sendi).
Bentuk tipikal terdiri dari serangan intermitten pada arthritis oligoartikular
pada sendi besar (lutut) dan sendi kecil. Bila berat dapat terjadi erosi pada
kartilago dan tulang.
Bila adanya infeksi B.burgdorferi pada persendiaan dinamakan
lime arthritis, ini merupakan komplikasi persentase kecil pada Amerika
bagian Timur-Laut, akibat dari persisten (antibiotik-refraktori) arthritis,
memerlukan pengobatan antibiotik baik oral atau suntikan untuk 2-3
bulan. Autoantigen pada sel respon T dan B dalam infeksi lime berperan
pada refraktori-antibiotik arthritis.
D. Sindroma post lyme (penyakit lime kronis)
Walaupun terjadi penyembuhan secara objektif dengan pengobatan
antibiotik, terdapat 10% masih mengalami nyeri subjektif, manifestasi
neurokognitif (depresi, anxietas) dan fatique. Sampai saat ini, tidak ada
indikasi
jelas
pada
simpton
persisten
secara
subjektif,
setelah
penatalaksanaan antibiotik yang disebabkan infeksi aktif.
2.1.7Diagnosa
Bentuk B.burgdorferi helikal (mikroskop elektron) yang terdiri dari
flagella, permukaan membran luar dan dalam, ruang periplasmik, peptidoglikans
dan membran sitoplasmik.
Gambar 4. Bakteri Borrelia burgdorferi (spiral) dan struktur B.burgdorferi
B.burgdorferi merubah permukaan protein sebagai sumber infeksi dan
mampu bertahan pada Tungau dan host mamalia. Permukaan luar pada lipoprotein
Universitas Sumatera Utara
yang dikenal outer surface protein (OspA dan OspC), dimana OspA sebagai
regulasi utama oleh B.burgdorferi. Dalam usus tengah (midgut) Tungau tak
terinfeksi dan regulasi tambahan sewaktu tungau menghisap darah dan sebagai
penyebaran pada host mamalia. Sebaliknya OspC tidak diekspresikan oleh
B.burgdorferi, akan tetapi OspC segera meregulasikan ke dalam tubuh host
mamalia.
Kultur B.burgdorferi dalam
medium Barbour-Stoener-Kelly (BSK)
merupakan diagnosa definitif, metode ini hanya digunakan pada studi penelitian.
Kultur positif hanya pada awal infeksi dengan biopsi pada lesi kulit EM daripada
sampel plasma, baik sampel cairan sumsum tulang belakang. Pada infeksi
akhir,PCR merupakan pemeriksaan superior dari kultur dalam mendeteksi DNA
B.burgdorferi pada cairan sendi. PCR merupakan pemeriksaan utama pada
penyakit lime.
Penyakit lime biasanya ditegakkan
berdasarkan karakteristik secara
gambaran klinis dengan pemeriksaan serologis, akan tetapi tes ini tidak dapat
membedakan secara jelas apakah infeksi aktif atau non-aktif. Tes serologis dalam
menganalisa penyakit lime di AS, CDC merekomendasikan pendekatan dua tahap
dengan tahap pertama
dengan menggunakan ELISA dan bila hasil positif
dilanjutkan tes Western-Blot.
Diagnosa pada penyakit lyme kronis berdasarkan 4 kategori (Henry M.Feder et al.
NEJM, 2007) :
1. Kategori 1
Pasien yang tidak mempunyai manisfestasi klinis yang objektif
atau bukti laboratorium adanya infeksi B.burgdorferi dan menemuhi
diagnosa dasar simpton non spesifik seperti fatigue, limfadenopathi,
keringat malam, sakit tenggorokan, mialgia, arthralgia, depresi, sulit tidur
(insomnia) dan sakit kepala. Simpton non spesifik dan terjadi lebih dari
10% pada populasi umum merujuk pada penyakit lime pada daerah
endemik.
2. Kategori 2
Universitas Sumatera Utara
Pasien cukup diidentifikasi penyakitnya atau sindroma selain
penyakit lime. Seperti pasien mempunyai riwayat penyakit lime atau tidak.
Pasien terdiagnosa atau kesalahan diagnosa ( contoh multiple sclerosis)
dan pasien menolak untuk menerima dan mencoba mencari diagnosa lain
dari klinisi dan bersedia dalam pengobatan sebagai penyakit lime kronis.
3. Kategori 3
Pasien dengan penyakit yang tidak ada riwayat pemeriksaan klinis
secara objektif konsisten dengan penyakit lime, tetapi sampel serum
terdeteksi
antibodi
B.burgdorferi
yang
ditentukan
oleh
standar
pemeriksaan mengarah pada kronisitas penyakit, gejala subjektif yang
penyebab tidak diketahui. Pasien kategori ini minimal mempunyai tes lime
yang berada pada nilai ekuivalen, bila nilai positif serologis rendah.
4. Kategori 4
Pasien mempunyai simpton yang berhubungan dengan sindrom post lime
2.2 Rheumatoid Arthritis
2.2.1Definisi
Rheumatoid
arthritis(RA) merupakan penyakit inflammasi dengan
etiologi tidak diketahui dengan tanda simetris, poliarthritis periferal, yang dapat
mengakibatkan kerusakan persendian dan gangguan fisik. Karena merupakan
penyakit sistemik, RA dapat memberikan manifestasi klinis pada ektraartikular
meliputi fatique, nodula subkutaneus, paru-paru, perikarditis, neuropathi periferal,
vaskulitis dan abnormalitas hematologis.
2.2.2Tanda klinis
Insidensi rheumatoid arthritis meningkat antara usia 25-55 tahun, setelah
itu mendatar sampai usia 75 tahun dan kemudian menurun. Gejala klinis
rheumatoid arthritis tipikal adanya peradangan pada persendian, tendon dan bursa.
Pasien biasanya mengeluh terutama pada pagi hari terjadi kekakuan persendian
minimal 1 jam dan berkurang bila aktivitas fisik. Biasanya melibatkan persendian
kecil dengan karakteristik bersifat monoartikular, oligoartikular (<5 sendi) dan
poliartikular (>5 sendi). Selain terjadi pembengkakan persendian dan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
diagnosa berdasarkan laboratorium yakni tes positif pada serum rheumatoid factor
(RF), anti-cyclic citrullinated peptide (CCP) antibodi dan atau anti-mutated
citrullinated vimentin(MCV), mempunyai nilai tinggi untuk gangguan fisik pada
persendian.
Gambar 5. Nodul pada jari tangan pada penderita rheumatoid arthritis
2.2.3Epidemiologi
Rheumatoid arthritis memberikan kontribusi sekitar 0,5-1% pada populasi
dewasa di seluruh dunia. Insidensi dan prevalensi rheumatoid arthritis bervariasi
berdasarkan letak geografis, grup ethnis dalam suatu negara. Seperti contoh:
penduduk pribumi Amerika Yakima, Pima dan Chippewa (Amerika Utara) dalam
beberapa studi hampir mendekati 7%. Sangat bertolak belakang, studi
pada
Afrika dan Asia prevalensi berkisar 0,2-0,4%.
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, rheumatoid arthritis terjadi pada
wanita lebih besar dibandingkan pria dengan rasio 2-3:1. Studi pada Amerika
Latin dan negara Afrika dengan rasio wanita dengan pria berkisar 6-8:1. Peran
estrogen dalam meningkatkan respon imun, estrogen menstimulasi tumor necrosis
factor (TNF), sitokin terbesar dalam patogenesis rheumatoid arthritis.
2.2.4Pertimbangan faktor genetik dan lingkungan
Telah diketahui lebih kurang 30 tahun yang lalu, faktor genetik
memberikan kontribusi terjadinya RA sebanding dengan keparahan dari
penyakitnya. Keturunan pertama 2-10 kali lipat lebih besar terjadinya RA
dibandingkan dalam populasi umum. Kembar dalam studi menunjukkan sebagai
faktor genetik sekitar 60% terjadi RA. Adanya peran llingkungan pada beberapa
literatur didapatkan interaksi gen dengan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Pada studi kembar mengimplikasikan faktor genetik pada RA dengan
kisaran 15-30% kembar monozigot dan 5% kembar dizigot. Allela yang diketahui
memberikan
resiko
terbesar
pada
RA
terletak
pada
MHC
(major
histocompatibility complex. Perkiraaan 1/3 resiko genetik untuk RA terletak pada
locus. Gen HLA-DRB1, memberikan petunjuk pada rantai MHC II β. Penyakit
yang berhubungan dengan gen ini membagi pada sekuensi asam amino pada
posisi 70-74 pada 1/3 area hipervariabel yang dikenal sebagai shared epitope (SE),
keterlibatan pada allela SE berkaitan dengan produksi antibodi anti CCP dan
memperburuk penyakit tersebut. Beberapa HLA-DRB1 mempunyai resiko
tinggiuntuk penyakit RA (*0401), sebagian moderat yaitu (*0101, *0404, *1001,
dan *0901). Sebagai tambahan, variasi regional, Yunani; penderita RA cenderung
lebih ringan dari negara Eropa Barat, kerentanan RA berhubungan dengan allela
SE *0101. Sebagai perbandingan, allela *0401atau *0404 didapati sekitar 50-70%
di Eropa Timur dan predominasi allela beresiko pada grup ini. Pada umumnya
yang rentan pada allela SE di Asia yaitu Jepang, Korea dan Cina adalah *0405
dan *0901, terakhir yang rentan adalah populasi penduduk asli Amerika seperti
Pima dan Indian Tingit, mempunyai prevalensi RA cukup tinggi sekitar 7%
berkaitan dengan allela SE *1042. Resiko RA dengan allela SE ini lebih rendah
pada African dan Hispanic American daripada leluhur individu di Eropa.
Saat ini, sebagai contoh gen non MHC menyumbang resiko RA dengan
gen yang mencetak protein tirosin phosphatase di reseptor 22 (PTPN22). Gen ini
bervariasi dalam frekuensi di antara pasien dari beberapa negara di Eropa (310%), akan tetapi absen pada Asia Timur. PTPN22 mencetak limfoid tirosin
phosphatase, protein meregulasi fungsi sel T dan B yang berhubungan eksklusif
dengan penyakit anti CCP positif. Peptidyl arginine deiminase tipe 4 (PADI4)
sebagai gen yang mengatur enzim untuk mengkonversikan arginin ke antigen
citrullin dengan postulat memberikan peranan dalam perkembangan antibodi pada
antigen citrullin. Polimorfism pada PADI4 berkaitan padaRA hanya berkaitan
dengan populasi Asia.
Studi interaksi komplemen pada gen-lingkungan, seperti perokok dan
beberapa stres bronkhial (terpapar silika) meningkatkan resiko RA pada individu
dengan kerentanan allela HLA-DRB1 secara sinergis meningkatkan resiko ACPA.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengamatan pada stressor lingkungan
pada sistem pernafasan
mempromosikan modifikasi translasi melalui PADI4 menghasilkan baik
kuantitastif dan kualitatif perubahan citrullinasi pada mukosa protein. Kehilangan
toleransi seperti neoepitope memperoleh respon ACPA (terdeteksi anti CCP),
meliputi α-enolase, keratin, fibrinogen, fibronektin, kollagen dan vimentin.
Sekitar 43-63% ACPA positif RA merupakan seropositif α-enolase, sangat erat
berkaitan dengan HLA-DRB1*04,PTPN22 dan merokok. Agen infeksi baik pada
kuman usus (CMV, EBV, Proteus dan E.coli) dan periodentitis
diketahui
berkaitan RA dan bentuk postulat dari mimikri molekular. Bentuk kompleks imun
selama infeksi mencetus induksi faktor rheumatoid sebagai diagnosa RA.
Gambar 7. Prevalensi rheumatoid arthritis di dunia (WHO)
2.2.5 Patologi
RA memberikan efek pada jaringan sinovial, kartilago dan tulang.
Membran sinovial, yamg melindungi permukaan artikular, pembungkus tendon
dan bursa, secara normal merupakan lapisan tipis pada jaringan pengikat. Cairan
sinovial, ultrafiltrasi darah berdifusi melalui jaringan subsinovial melewati
membran sinovial dan rongga persendian. Komponen utama terdiri dari
hyaluronan dan lubricin, hyaluronan adalah glukosamine yang memberikan
kekentalan
alami padacairan sinovial, bersamaan dengan lubricin sebagai
pelumas pada permukaan kartilago artikular.
Universitas Sumatera Utara
Patologi yang khas pada RA yakni terjadi peradangan sinovial dan
proliferasi, erosi fokal tulang dan penipisan kartilago artikular. Inflammasi kronis
menyebabkan hiperplasia sinovial dan membentuk pannus, penebalan membran
sellular terdiri dari fibroblast-like sinoviosit dan granulasi reaktif jaringan
fibrovaskular yang mempengaruhi kartilago dan tulang. Infiltrasi peradangan
terdiri dari sel T, sel B, sel plasma, sel dendritik, sel mast dan granulosit.
Kerusakan struktural pada mineralisasi kartilago dan tulang subkondral
yang dimediasi osteoklast. Osteoklast merupakan sel giant multinukleus,
yangdapat diidentifikasi dengan mengekspresikan CD68, asam tartrateresisten
phosphatase, capthesin K dan reseptor calcitonin. Terdapat pannus pada
permukaan tulang dari resorpsi lakuna, menjadi lesi lokalisata yang akhirnya
terjadi eroasi pada tulang.
2.2.6 Patogenesis
Mekanisme patogenik pada peradangan sinovial, merupakan hasil
kompleks melibatkan peran genetik, lingkungan dan faktor immunologi, terjadi
disregulasi sistem imun dan kegagalan self-tolerance. Pada RA, secara pre klinis
awalnya akibat kegagalan self tolerance, ini didukung ditemukan adanya
autoimun seperti faktor rheumatoid dan antibodi anti CCP. Antibodi anti CCP
secara langsung deaminasi peptida, hasil dari modifikasi posttranslasi oleh enzim
PADI4. Diketahui melalui pengenalan citrullin yang berisi area pada beberapa
perbedaan matriks protein, meliputi filaggrin, keratin, fibrinogen dan vimentin,
semua matriks protein terdapat pada cairan persendian, yang terdapat kadar cukup
tinggi pada serum.
Secara teori, stimulasi lingkungan sinergis dengan yang lainnya untuk
mmenyebabkan inflammasi pada RA. Pada pasien perokok menunjukkan protein
citrullinasi tinggi pada cairan bronkhoaveolar dibandingkan yang tidak merokok.
Terpapar asap rokok yang lama memungkinkan merangsang citrullinasi protein
pada paru dan merangsang ekspresi neoepitope yang mencetus reaktivitas sendiri,
pada
akhir
terjadi
pembentukan
imun
kompleks
dan
peradangan
persendian.Kuman dapat berperan dalam peradangan awal pada RA, terjadi
Universitas Sumatera Utara
perubahan sistem imun dengan mendeteksi infeksi kuman melalui Toll like
receptor (TLRs).
2.2.7Diagnosa
Diagnosa klinis RA berdasarkan gejala dan tanda klinis pada inflammasi
kronis arthritis, laboratorium dan radiografis sebagai pemeriksaan tambahan. Pada
tahun 2010, kolaborasi antara American College of Rheumatology (ACR) dan
European Legue Against Rheumatism (EULAR), yang direvisikan dari tahun
1987, sebagai kriteria klasifikasi RA untuk meningkatkan diagnosa awal untuk
lebih memberikan keuntungan
dalam penatalaksaan RA. Kriteria baru yaitu
tespositif pada serum antibodi anti CCP (ACPA, anti-citrullinated peptide
antibodies) dan anti MCV (mutated citrullinated vimentin) dimana memberikan
spesifitas lebih tinggi pada diagnosa RA dibandingkan tes RF
Kriteria RA menurut ACR 1987 ; minimal menemuhi 4 dari 7 kriteria,
keluhan minmal 6 minggu:
1. Kaku pada persendian pagi hari minimal 1 jam
2. Arthritis minimal 3 atau lebih pada area persendian.
3. Arthritis pada persendian tangan minimal lebih dari 1
4. Arthritis bersifat simetris
5. Adanya nodul rheumatoid
6. Serum faktor rheumatoid
7. Gambaran radiologis erosi tulang pada tangan
Universitas Sumatera Utara
Kriteria klasifikasi pada rheumatoid arthritis menurut
American College of
Rheumatology//European League Against Rheumatism 2010 :
skor
Populasi target (siapa perlu tes?); Pasien yang
1. Minimal 1 sendi dengan sinovitis (pembengkakkan)
2. Sinovitis tidak mampu di jelaskan oleh penyakit lain
Kriteria klasifikasi RA: >6/10 dimasukkan RA
A. Keterlibatan sendi
1 sendi besar0
2-10 sendi besar
1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) 2
4-10 sendi kecil (dengan atauu tanpa sendi besar)
3
>10 sendi (minimal 1 sendi kecil)
4
B. Serologi (minimal 1 tes untuk klasifikasi)
5
RF negatif dan CCCP negatif
0
RF positif rendah atau CCCP positif rendah
2
RF positif tinggi atau CCCP positi tinggi
3
C. Reaksi fase akut (minimal 1 tes untuk klasifikasi)
CRP normal dan LED normal
0
CRP abnormal dan LED abnormal
1
D. Durasi pada simptom
<6 minggu
0
≥6 minggu
1
2.2.8 Foto polos radiografi pada RA
Pembengkakkan jaringan lunak, kehilangan ruang persendian simetris dan
erosi subkondral sering pada pergelangan tangan dan tangan.
Gambar 8. Foto X-ray penderita RA tampak erosi tulang pada ruas jari tangan
Universitas Sumatera Utara
2.3 Osteoarthritis (OA)
Osteoarthritis
merupakan
penyebab paling sering
dari arthritis.
Prevalensi tinggi pada usia lanjut dan berhubungan erat pada gangguan disabilitas.
Populasi di bagian Barat Amerika Serikat, faktor usia lanjut dan obesitas
merupakan faktor resiko dominan dalam meningkatkan prevalensi OA. Prevalensi
di AS diperkirakan meningkat sampai 66-100% pada tahun 2020
OA dapat didiagnosakan berdasarkan abnormaliitas struktural atau gejala
gejala klinis yang menimbulkan abnormalitas. Studi pada cadaver, menurut usia
lanjut , perubahan pada struktural pada OA sangat umum. Perubahan meliputi
tulang kartilogo menipis (terlihat ruang persendian menyempit pada X-ray) dan
adanya osteofit. Simptomatis OA pada lutut (nyeri berhari sampai berbulan pada
daerah lutut ditambah ada bukti X-ray OA pada lutut) terjadi pada 12% di atas
usia 60 tahun di AS dan 6% di atas 30 tahun. Adanya radiografi menunjukkan OA
tangan dan disertai pembengkakan tulang melibatkan persendian tangan sangat
tidak biasa yang sering dijumpai pada usia lanjut. Sekalipun simptomatis OA pada
tangan, terjadi 10% pada individual lanjut usia dan sering menimbulkan fungsi
terbatas.
Prevalensi OA meningkat bertambah usia, dimana OA jarang di jumpai
pada usia di bawah 40 tahun dan meningkat pada usia di atas 60 tahun, OA pada
wanita lebih umum dibanding pria dan prevalensi perbedaan gender meningkat
dengan bertambah usia. Osteoarthritis merupakan gangguan pada persendian, di
mana struktural persendian mempunyai perubahan patologis yakni kartilago hialin
pada artikular berkurang atau hilang, bersamaan penebalan dan sklerosis pada
tulang subkhondral, pertumbuhan osteofit pada pinggir tulang, perengangan
kapsul artikular, sinovitis ringan pada persendian dan kelemahan otot sekitar
persendian.
Universitas Sumatera Utara
Gambaran keparahan kelainan bentuk pada jari jari tangan dan deformitas pada
ekstremitas bawah
OA berat pada jari tangan menunjukkan persendian interfalang distal (nodul
Heberden´s) dan persendian interfalang proksimal (nodul
Bouchard´s)
Deformitas pada anggota gerak bawah (lutut), Varus seperti huruf O dan
knock knees (lutut terkunci) disebut valgus seperti huruf X
Gambar 9. Terlihat nodul pada tangan (atas) dan deformitas pada anggota gerak
bawah (bawah)
2.3.1 Faktor predisposisi
a. Obesitas
3-6 kali berat badan sebagai transmisi silang selama pada kaki saat berdiri
terutama memberi tekanan berat waktu berjalan aatu beraktivitas. Obesitas
sangat baik didefinisikan sebagai faktor resiko potensial
dalam
perkembangan OA lutut. Pada wanita terbukti kuat sebagai faktor resiko
Universitas Sumatera Utara
dibanding pria, wanita mempunyai hubungan secara llinier antara
bertambah usia dengan kejadian OA. Penurunan berat badan pada wanita
menurunkan faktor resiko terjadi OA dengan tidak memberikan tekanan
pada persendian, hal ini berbanding terbalik pada obesitas mempunyai
simpton yang lebih berat. Selain terjadi OA pada lutut, OA pada tangan
juga berdampak secara moderat pada pasien obesitas berhubungan erat
dengan sindroma metabolik (Shahpoor Maddah et al. 2014)
b. Penggunaan persendian berulang dan aktivitas
Dibagi dalam 2 kategori pada penggunaan persendian berulang ,
akibat pekerjaan rutin dan aktivitas di waktu senggang. Pekerjaan rutin
dalam beberapa tahun mempunyai resiko
tinggi menderita OA pada
persendian, sebagai contoh petani lebih tinggi menderita OA panggul dan
perkerja tambang resiko sakit OA lutut dan tulang belakang. Pekerja yang
mengangkat beban berat dan individu sering berjalan di daerah terjal dan
sering mendaki gunung lebih resiko terjadi OA lutut.
Orang yang melakukan olahraga secara modifikasi pola hidup
sehat dalam penelitian lama di dapat tidak berhubungan erat dengan resiko
OA pada sebagian besar orang. Sebagai contoh pasien yang mengalami
cedera lutut sangat meningkatkan resiko terjadinya progresif OA lutut
pada atlet pelari dibandingkan yang bukan atlet pelari.
2.3.2 Patologi
Patologi OA menunjukkan bukti keterlibatan banyak struktur persendian.
Kartilago terdapat pada ketidakteraturan dalam komposisi yang dapat terjadi
progresifitas erosi fokal. Setelah kartilago cedera khondrosit mengalami mitosis
sehingga aktivitas metabolik Kluster khondrosit meningkat aktivitas proteoglikans
mengakibatkan deplesi matriks di sekitar khondrosit, dikarenakan proses
katobolik lebih tinggi dibandingkan aktivitas sintetik. Saat perkembangan
penyakit , matriks kolagen mengalami kerusakan , proteoglikans terekspos dan
kartilago mengalami pembengkakan sehingga rentan cedera terjadi pengeluaran
sitokin sehingga terjadi perubahan pada matriks dan pertumbuhan kartilago baru,
invasi neurovaskular dari tulang, bila dilakukan foto Xray ditemukan khas yaitu
Universitas Sumatera Utara
osteofit. Pada daerah persendian terjadi pembengkakan dan inflammasi akibat
dari migrasi makrofag dari perifer
ke dalam jaringan
dan sel berisi pada
sinovium berproliferasi sehingga kapsul artikular menjadi renggang dan udem
serta fibrotik.
2.3.3 Tanda-tanda klinis
Nyeri persendian pada OA berhubungan dengan aktivitas fisik. Nyeri bisa
disebabkan saat, selama atau sesudah pemakaian persendian dan secara gradual
mengurangi rasa sakit. Seperti contoh : sakit persendian pada lutut dan panggul
saat naik atau turun tangga, nyeri saat membawa beban berat sambil berjalan, dan
OA tangan dijumpai ketika memasak. Nyeri pada awal penyakit, nyeri episodik,
dirasakan nyeri hari perhari atau hilang timbul.
OA penyebab kronis nyeri lutut padapsien di atas usia 45 tahun, akan
dideferensial diagnosa dengan gangguan inflammasi disertai kekakuan jari atau
tangan di atas 60 menit dan banyak sendi yang terlibat.
Darah rutin tidak dianjurkan dalam melakukan pemantauan pada pasien
OA jikalau simpton dan tanda tanda klinis mengarah pada arthritis peradangan.
Pemerikasaan cairan sinovial lebih membantu sebagai diagnostik dibandingka Xray. Leukosit pada cairan sinovial diatas 1000/ul, inflammasi arthritis atau gout
atau pseudogout sebagai diferensial diagnosa dengan mengindentifikasi dengan
ditemukan kristal.
X-ray lebih diindikasi untuk mengevaluasi nyeri tangan kronis dan nyeri
panggul bersamaan dengan OA, diagnosis cenderung samar tanpa konfirmasi
radiografi. Pada nyeri OA lutut, radiografi seharusnya dilakukan jika simptom dan
tanda klinis tidak tipikal OA atau nyeri lutut persisten setelah pengobatan. Pada
OA, penemuan secara radiografi
berkorelasi lemah
dengan kehadiran dan
keparahan nyeri, lebih lanjut radiografi tampak normal pada awal penyakit.
2.4 Gout
Gout merupakan penyakit metabolisme sering dialami usia tengah sampai usia
tua pada pria dan wanita setelah menopause. Ini akibat dari produksi asam urat
dalam tubuh (hiperurisemia). Tipikal dengan karakteristik ditandai episode
Universitas Sumatera Utara
arthritis akut dan arthritis kronis diakibatkan penumpukan kristal monosodium
urat pada persendian dan tophus pada jaringan ikat dan resiko pada deposit di
intersitium ginjalatau nefrolithiasis asam urat.
Arthritis akut merupakan manifestasi klinis awal (sering), biasanya awal
hanya satu persendian yang terlibat, bahkan poliartikular (jarang). Yang sering
dijumpai gout pada persendian metatarsofalang pada jari pertama (ibu jari),
persendian tarsal, pergelangan kaki dan lutut juga umum terlibat. Seperti adanya
nodul Heberden´sdan Bouchard´s sebagai awal manifestasi pertama arthritis gout.
Episode awal arthritis gout akut sering dimulai pada malam hari dengan disertai
nyeri persendian dan pembengkakan. Serangan akut arthritis gout spontan dalam
3-10 hari, faktor presipitasi arthritis gout yaitu diet berlebihan (dapat diketahui
melalui kadar serum asam urat meningkat), trauma, minum alkohol berlebihan ,
terapi hipouricemia dan riwayat penyakit seperti infark jantung dan stroke.
Setelah mono atau oligoartikular, proporsi pasien gout memberikan sinovisitis
tidak simetris kronis dapat menyebabkan keraguan dengan rheumatoid arthritis.
Wanita memberikan
sekitar 5-20% pada pasien gout terutama wanita post
menopause.
2.4.1 Gambar klinis gout
Gambar 10. Pembengkakan pada ibu jadi kaki penderita gout
2.4.2Diagnosis laboratorium
Bila timbul secara klinis sangat erat diduga gout, dikonfirmasikan dengan
aspirasi jarum pada persendian dan deposit tophus yang akut maupun kronis dan
dapat dibedakan septik arthritis akut dan kristallin assosiasi arthropathi.
Pemeriksaan serum asam urat dapat normal maupun rendah saat serangan
akut, dimana sitokin inflammasi bersifat urikosurik dan inisiasi efektif pada terapi
Universitas Sumatera Utara
hipouricemia dapat mencetuskan serangan,akan tetapi peningkatan kadar serum
asam urat suatu saat dan merupakan tolak ukur dalam mengikuti pemakaian obat
hipouricemia sebagai penyebab. Pengambilan dan pemeriksaan urine asam urat 24
jam berperan dalam menentukan resiko terbentuk batu. Selain urinalisis, serum
creatinin, hemoglobin, hitung jenis sel darah putih, fungsi tes hati, profil lemak
bisa dimungkinkan sebagai patologi gout sekuele dan sebagai batas atas nilai
dimungkinkan efek sampingan pada pengobatan gout.
2.5 Arthritis septik
Arthritis septik disebabkan arthritis infeksi, arthritis yang disebabkan
adanya infeksi terutama Stahhylococcus aureus,Neisseria gonorrhoeae (kuman
tersering), sangat jarang disebabkan oleh mikrobakterium, jamur, virus. Infeksi
bakteri akut dapat merusakkan
kartilago artikular secara cepat, dimana
inflammasi persendian harus mendapat evaluasi tanpa menunda menyingkirkan
proses non infeksi dan menentukan
secara proporsi terapi antimikroba dan
prosedur drainage.
Infeksi bakteri akut secara tipikal melibatkan persendian tunggal atau
sedikit persendian. Subakut atau kronis monoarthritis atau oligoarthritis
disangkakan oleh infeksi mikrobakterium atau jamur, inflammasi episode sering
pada sifilis. Arthritis septik akibat sifilis, sifilis congenital awal terjadi
pembengkakan periartikular dan anggota gerak bawah sulit bergerak (Parrots
pseudoparalysis) dan tidak nyeri pada sinovitis disertai efusi pada sendi besar
seperti lutut berlangsung kronis (clutton joint). Sifilis sekunder berhubungan
arthralgia dengan simetris arthritis pada lutut, cenderung pada persendian bahu
dan sakrum. Pada sifilis tertier
terjadi persendian Charcotakibat kehilangan
sensorik bersamaan tabes dorsalis. Pemakaian penicillin tidak menolong pada
stadium ini.
2.5.1Faktor resiko
Selain infeksi kuman, faktor resiko yang lain berperan dalam perkemmbangan
sepsis arthritis meliputi (Catherine J. Mathews dan Gerald Coakley, 2008):
1. Prothesis persendian.
Universitas Sumatera Utara
2. Ketergantungan pemakaian obat.
3. Alkoholisme
4. Diabetes
5. Riwayat pemakaian suntikan intra-artikular kortikosteroid.
6. Ulcerasi kutaneus
2.5.2Investigasi dalam menduga arthritis septik
Dapat dilakukan dengan analisis mikroskopik dan kultur cairan sinovial
dari aspirasi persendian yang terlibat. Cairan sinovial dillakukan pewarnaan gram
dan mikroskpik. Dapat dilakukan hitung jenis leukosit pada cairan sinovial dan
laju endap darah
Penelitian yang dilakukan Margaretten et al., 2007 menyimpulkan tidak
dijumpai demam, nilai leukosit normal, LED dan CRP juga menyakinkan dalam
menyingkirkan diagnosis arthritis septik
2.6. Lime arthritis.
Penyakit lime merupakan infeksi Borrelia dan menyebar pada manusia
oleh Tunggau Ixodes. Penyakit lime ini terdapat di Eropa dan Asia, dengan faktor
resiko meliputi pekerjaan, aktivitas di luar rumah (rekreasi) seperti di rumput dan
daerah hutan. Infeksi B.burgdorferi menyebabkan gangguan multisistem, dengan
manifestasi klinis minggu sampai tahun (kronis). Tanda khas dijumpai eritema
marginatum (EM), gangguan pada otot jantung, gangguan saraf dan terjadi
episode arthritis. Beberapa tanda klinis, khususnya arthritis hilang dan tejadi
kembali oleh penyebab bagian dari infeksi, diperkirakan berkaitan dengan respon
imun pada spirochaeta, gejala klinis berulang merupakan refleksi alamiah unik
penyakit lime, dalam perkembangan membutuhkan interaksi kompleks antara
vektor, bakterial, dan faktor host yang memediasi perkembangan pada infeksi
awal, penyebaran bakteri pada lokasi tubuh tertentu dan terjadi perkembangan
secara patologis. Interaksi secara proses inflammasi dapat menegakkan lime
arthritis.
Arthritis merupakan salah satu penyebab dari penyakit lime berkaitan
morbiditas di AS, sekitar 60% individu terinfeksi B.burgdorferi. episode
Universitas Sumatera Utara
B.burgdorferi intermiitten dan berkembang beberapa minggu atau bulan setelah
infeksi, walaupun pemberian antibiotika adekuat, gejala klinis menetap 10% pada
pasien arthritis. Pada kasus berat, lime arthritis sebagai aspek inflammasi cukup
tinggi dengan erosi kartilago dan tulang dengan kerusakan persendian permanen.
Pada kenyataan tidak semua pasien dengan infeksi lime menjadi arthritis mungkin
sebagai refleksi pada ragam genetik pada spesies Borrelia.
Teori amber pada lime arthritis (Gary P.Wormser et al. 2012)
1. Terjadi lebih kurang 6 bulan setelah infeksi kutaneus olehBorrelia
burgdorferi (eritema marginatum) pada pasien yang tidak mendapat
pengobatan
2. Pasien dengan lime arthritis tidak spirochetemia saat terjadi onset
pembengkakan sendi.
3. DNA B.burgdorferi (khusus DNA plasmid) selalu terdeteksi pada cairan
sinovial pada pasien tidak diberikan terapi pada lime arthritis, tetapi cairan
sinovial hampir dijumpai negatif pada kultur. Sebagai tambahan analisis
molekular bahwa spirochaeta hidup tetapi tidak terdeteksi dari cairan
sinovial pada pasien tanpa pengobatan (mRNA tidak ada).
4. Pada pasien tanpa pengobatan, arthritis sembuh sendiri dalam beberapa
hari-minggu akan tetapi secara tipikal berulang dengan persendian sama
atau berbeda.
5. Pasien secara predisposisi secara genetik dengan spesies Borrelia, lime
arthritis pada lutut tetap tidak respon pada pengobatan antibiotik, mungkin
respon pada NSAIDS, DMARDS, steroid artikular atau sinovektomi.
Pasien dengan arthritis dengan persendian lain, bagaimanapun biasanya
dicegah dengan pemberian antibiotik.
2.6.1 Perkembangan arthritis pada infeksi B.burgdorferi (Dean T Nardelli, 2007)
Organisme Borrelia menginfeksi pada kulit pada host saat gigitan dari
tungau terinfeksi, memberikan gambaran lesi EM yang disebabkan
respon
inflammasi yang berisi spirochaeta bereplikasi dan mencegah migrasi dari tempat
awal penumpukan pada kulit, gambaran lesi ini hanya sekitar 60%. Saat proses
pemberian makan, kelenjar air ludah (saliva) dari tungau bersamaan
Universitas Sumatera Utara
spirochaetamasuk ke dalam jaringan host, saliva tungau terbukti mengandung
protein penghambat sel B dan sialostatin L, yang berperan menganggu jaringan
host dan respon imun.
Terbukti B.burgdorferi mampu memodulasi ekspresi pada permukaan
antigen khususnya outer surface protein A dan C (Osp A dan C), mempunyai
mekanisme tambahan untuk menghindari respon imun. Penyebaran organisme
Borrelia tergantung pada kombinasi tungau dan faktor bakteri dalam
menyingkirkan sistem imun innate seperti jumlah spirochaeta yang memadai
untuk bertahan hidup dan melarikan diri dari tempat infeksi. Penghindaran pada
respon imun merupakan peranan yang signifikan untuk mampu menyebarkan dari
lokasi inokulasi dalam menempatkan lokasi pada jaringan persendian dan terjadi
arthritis.
Sistem sel immun innate cukup efektif dan efisien mengeradikasi
spirochaeta, saat immun innate pada individual gagal, mempunyai program dari
sistem immun adaptif yang cukup kuat menginduksi sel Th1 dan respon Th2
untuk menghilangkan spirochaeta. Perluasan faktor imun innate seefektif pada
pemberian antibiotik kemungkinan bersamaan terjadi kerusakan pada host
termasuk menginduksi perkembangan arthritis.
Sistem immun innate secara primer terdiri dari sel NK, neutrofil,
monosit/makrofag dan sel dendritik. Tipe dari tiap sel dipertimbangkan sama
pentingnya karena sel memberikan respon pada infeksi Borrelia. Bagaimanapun,
sel NK berperan dalam lime arthritis (belum sepenuhnya dapat dijelaskan).
Arthritis yang terinfeksi B.burgdoferi rentan C3H/HeJ tikus dan resistensi arthritis
C57BL/6 tikus yang secara genetik defisiensi pada granulosit dan sel NK yang
menyebabkan arthritis lebih ringan dibandingkan yang tipe liar. Kehadiran TLR2
pada sel NK diduga adanya interaksi pada lipoprotein Borrelia mengstimulasi
respon inflammasi yang dimediasi
sel NK secara langsung pada iinterferon
gamma (IFN -ϒ). Sebagai tambahan , OspA mampu meningkatkan aktivitas pada
sel NK, berperan dalam menginduksi mediator inflammasi lainnya seperti TNF-α,
IL-8. Stimulasi dari immun adatif dengan produksi IL-2 dapat merangsang sel NK
secara tidak langsung berperan dalam stimulasi dan aggresivita srespon patologik
secara berlebihan dalam infeksi merangsang terjadinya lime arthritis.
Universitas Sumatera Utara
Neutrofil
berperan
saat
infeksi
dan
menginduksi
arthritis
oleh
B.burgdorferi sel respon imun primer dan dikerahkan pada tempat infeksi dan
berlebihan pada sinovial manusia dan hewan dengan lime arthritis. Neutrofil dapat
membunuh B.burgdorferi dengan ketidakhadiran antibodi dan melepaskan
spesifik granul yang meningkatkan kemampuan dalam membunuh spirochaeta
dan kerusakan jaringan lokal. Saliva tungau
mengandung faktor dalam
menganggu aksi neutrofil pada lokasi infeksi. Pada penelitian yang dilakukan
pada tikus, respon kuat dalam mediasi neutrofil tidak tampak pada kulit, akan
tetapi infiltrasi neutrofil menonjol pada persendian tibiotarsal.
2.6.2Perkembangan arthritis pasca infeksi B.burgdorferi (Dean T Nardelli, 2007)
Terdapatnya B.burgdorferipada jaringan ikat pada persendian pada
individu terinfeksi berperan terjadinya lime arthritis, akan tetapi bila diberikan
terapi antibiotik tidak terdeteksi kuman Borrelia dan DNA pada persendian.
Bagaimanapun
sekitar 10% pasien dengan lime arthritis walaupun adekuat
antibiotik. Sebagai penambahan, pemberian antibiotik pada jaringan sinovial saat
pengobatan pasien lime arthritis menunjukkan kadar molekul adhesi leukosit
tinggi seperti ICAM-1 dan VCAM-1, mengarah terjadi perkembangan
inflammasi.
Steere dan Glickstein
menyusun beberapa hipotesis, terdapat persisten
arthritis walaupun telah mendapat pengobatan yang adekuat antara lain:
1. Kemungkinan dijumpaiB.burgdorferi pada host, diakibatkan antibiotik
tidak mampu mencapai daerah yang terinfeksi atau mekanisme pertahanan
imun lemah. studi saat ini, menunjukkan DNA masih terdeteksi pada tikus
yang terinfeksi dengan kombinasi Ceftriaxone dan antibodi pada sitokin
peradangan TNF, perlu penelitian lanjut untuk mengklarifikasi kenapa
kuman Borrelia mampu bertahan hidup di dalam host.
2. Terjadinya resistensi antibiotik-arthritis, kemungkinan dari antigen
Borrelia. Penelitian Gondolf et.al memperlihatkan outer surface protein
(Osp) B.burgdorferi tertahan pada permukaan kartilago dan membran
sinovial. Dari Steere dan Glickstein terjadinya resistensi pengobatan
Universitas Sumatera Utara
antibiotik pada lime arthritis
dimediasi oleh mekanisme autoimun,
kemungkinan melibatkan molekul mimikri host pada OspA.
Arthritis telah terdokumentasi baik akibat komplikasi yang mengikuti infeksi
dari penyebaran B.burgdorferi. derajat dari arthritis bervariasi dari inflammasi
ringan dan sedang pada persendian dan tendon setelah infeksi. Respon imun juga
berperan termasuk innate dan adatif. Penyebab lime arthritiis secara pasti tidak
diketahui, beberapa studi mengimplikasi adanya peran bersama antara vektor,
bakteri dan host, dari awal perjalanan dimulai infeksispirochaeta, penyebaran dan
tejadinya dalam jaringan persendian dan pengerahan sisten imun yang mana
menyebabkan inflammasi dan mediator penghancuran jaringan dalam persendian.
2.7. Kerangka Teori
KERANGKA TEORI
Penyakit lime kronis
Menurut kategori 3 Henry M Feder, NEJM, 2007
Tidak ada riwayat pemeriksaan klinis objektif,
konsisten dengan penyakit lime dengan gejala
subjektif yang penyebab tidak diketahui mengarah
pada kronisitas penyakit
RHEUMATOID ARTHRITIS
Tidak menemuhi kriteria ACR (1987) dan EULAR (2010)
OSTEOARTHRITIS
Usia 18-40, pembengkakan sendi (-), deformitas tulang (-)
GOUT
Tidak dijumpai nodul (tophus) dan tidak nyeri akut
Arthritis septik
Tidak terdapat pembengkakan sendi dan tidak demam
Tes ELISA lime
( Ig G)
Lime arthritis
Gambar 11. Kerangka teori
Universitas Sumatera Utara
2.8 Kerangka Konsep
KERANGKA KONSEP
Subjek penelitian di Kec.Sibolangit
Mengisi kuesioner penelitian,pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah rutin dan asam urat
(menemuhi syarat)
Menilai
seroprevalensi
penyakit lime
Pembacaan
hasil ELISA
pos/neg
Mengetahui seberapa
besar presentase
arthritis kronis akibat
tes lime ELISA
Ada hubungan antara penyakit lime dengan penderita arthritis kronis
Gambar 11. Kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara
Download