BAB II LANDASAN TEORI A. Organization Citizenship Behavior A1. Definisi Organization Citizenship Behavior (OCB) Peran perilaku yang dituntut dari seorang karyawan meliputi in role dan extra role. In role adalah peran yang diminta organisasi dari seorang karyawan sesuai dengan job description dan sesuai dengan imbalannya. Extra role adalah peran yang diharapkan perusahaan dari seorang karyawan yang tidak berkaitan dengan job description dari karyawan tersebut atau melebihi dari yang seharusnya. Hal ini sangat diperlukan untuk mencapai efektivitas dan kesuksesan suatu organisasi (Akhirudin & Aini, 2005). Kontribusi pekerja di atas dan lebih dari deskripsi kerja formal inilah yang disebut dengan organizational citizenship behavior (Organ et.al. 2006). Konsep organizational citizenship behavior pertama kali didiskusikan dalam literatur penelitian organisasional pada awal 1980 an. Organ et.al. (2006) mendefinisikan organizational citizenship behavior sebagai perilaku individu yang mempunyai kebebasan untuk memilih, yang secara tidak langsung atau tidak secara eksplisit dikaitkan dengan sistem reward, dan memberi kontribusi pada efektivitas dan efisiensi fungsi organisasi. Robbins (2012) mengemukakan bahwa organizational citizenship behavior merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Universitas Sumatera Utara Rifai (2005) menjelaskan bahwa organizational citizenship behavior dapat dilihat sebagai sebuah rangkaian proses dimana karyawan berperilaku secara spontan di luar dari uraian jabatan yang nantinya berguna untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa organizational citizenship behavior adalah perilaku yang bersifat suka rela dan dipilih sendiri oleh karyawan yang memberikan kontribusi dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi dan tidak terkait dengan sistem reward. A2. Dimensi-dimensi Organization Citizenship Behavior Istilah Organizational Citizenships Behaviour pertama kali diajukan oleh Organ (1988) yang mengemukakan lima dimensi primer dari organizational citizenship behavior yakni : 1. Perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasional organisasi (Altruism). 2. Perilaku yang menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsifungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial alamiah (Civic Virtue). 3. Kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standar minimum (Conscientiousness). 4. Perilaku meringankan masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain (Courtesy). 5. Tidak membuat isu-isu yang tidak baik meskipun merasa kecewa (Sportmanships). Universitas Sumatera Utara Sedangkan menurut Graham (1991) mengemukakan tiga bentuk OCB yaitu: 1. Obedience; yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menerima dan mematuhi peraturan dan prosedur organisasi. 2. Loyalty; yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menempatkan kepentingan pribadi mereka untuk keuntungan dan kelangsungan organisasi. 3. Participation; yang menggambarkan kemauan karyawan untuk secara aktif mengembangkan seluruh aspek kehidupan organisasi. Partisipasi terdiri dari: a. Partisipasi sosial yang menggambarkan keterlibatan karyawan dalam urusan-urusan organisasi dan dalam aktivitas sosial organisasi. Misalnya: selalu menaruh perhatian pada isu-isu aktual organisasi atau menghadiri pertemuan-pertemuan tidak resmi. b. Partisipasi advokasi, yang menggambarkan kemauan karyawan untuk mengembangkan organisasi dengan memberikan dukungan dan pemikiran inovatif. Misalnya: memberi masukan pada organisasi dan memberi dorongan pada karyawan lain untuk turut memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan organisasi. c. Partisipasi fungsional, yang menggambarkan kontribusi karyawan yang melebihi standar kerja yang diwajibkan. Misalnya: kesukarelaan untuk melaksanakan tugas ekstra, bekerja lembur untuk menyelesaikan proyek penting, atau mengikuti pelatihan tambahan yang berguna bagi pengembangan organisasi. Podsakoff et al. (2000) membagi OCB menjadi tujuh dimensi: 1. Perilaku membantu. Yaitu perilaku membantu teman kerja secara sukarela dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan pekerjaan. Dimensi Universitas Sumatera Utara ini merupakan komponen utama dari OCB. Organ (1988) menggambarkan dimensi ini sebagai perilaku altruism, pembuat/ penjaga ketenangan dan menyemangati teman kerja. 2. Kepatuhan terhadap organisasi. Yaitu perilaku yang melakukan prosedur dan kebijakan perusahaan melebihi harapan minimum perusahaan. Karyawan yang menginternalisasikan peraturan perusahaan secara sadar akan mengikutinya meskipun pada saat sedang diawasi. Dimensi ini serupa dengan konsep kepatuhan umum dan menaati peraturan perusahaan. 3. Sportsmanship. Yaitu tidak melakukan complain mengenai ketidaknyamanan bekerja, mempertahankan sikap positif ketika tidak dapat memenuhi keinginan pribadi, mengizinkan seseorang untuk mengambil tindakan demi kebaikan kelompok (Organ, 1990). Dimensi ini serupa dengan konsep mengahargai perusahaan dan tidak mengeluh. 4. Loyalitas terhadap organisasi. Didefinisikan sebagai loyalitas terhadap organisasi, meletakkan perusahaan diatas diri sendiri, mencegah dan menjaga perusahaan dari ancaman eksternal, serta mempromosikan reputasi organisasi (Van Dyne, et al., 1994, 1998). 5. Inisiatif individual. Sama dengan apa yang disebut Organ (1988) sebagai kesadaran (conscientiousness), merupakan derajat antusiasme dan komitmen ekstra pada kinerja melebihi kinerja maksimal dan yang diharapkan. Dimensi ini serupa dengan konsep kerja pribadi dan sukarela mengerjakan tugas 6. Kualitas sosial. Dijelaskan sebagai tindakan keterlibatan yang bertanggung jawab dan konstruktif dalam proses politik organisasi, bukan hanya Universitas Sumatera Utara mengekspresikan pendapat mengenai suatu pemberian, tetapi mengikuti rapat, dan tetap mengetahui isu yang melibatkan organisasi (Organ, 1988). 7. Perkembangan diri. Meliputi keterlibatan dalam aktivitas untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman seseorang sebagai keuntungan bagi organisasi. Berdasarkan uraian diatas, dimensi yang digunakan pada penelitian ini adalah dimensi menurut Organ yaitu altruism, civic virtue, conscientiousness, courtesy, sportmanships. A3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya OCB cukup kompleks. Penelitian yang dilakukan oleh Moorman (1998), Wayne (1997) dan Liden (1996) menemukan adanya pengaruh kuat dari persepsi atas dukungan organisasi terhadap OCB. Semakin positif persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi kepadanya, akan semakin tinggi intensitas OCB. Karyawan akan rela memberikan kinerja terbaiknya di luar tugas-tugas resminya karena merasa bahwa organisasi memberikan apa yang mereka harapkan. Pekerja yang merasa bahwa mereka didukung oleh organisasi akan memberikan timbal baliknya (feed back) dan menurunkan ketidakseimbangan dalam hubungan tersebut dengan terlibat dalam perilaku OCB. Iklim organisasi dapat menjadi penyebab kuat atas berkembangnya OCB dalam suatu organisasi. Di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka Universitas Sumatera Utara diperlakukan oleh para atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya. Penilaian karyawan terhadap keadilan berbagai kebijakan atau peraturan perusahaan juga mempengaruhi OCB. Seseorang yang merasa diperlakukan secara adil oleh perusahaan melalui berbagai aturannya akan meningkat OCB nya. Sebaliknya, karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil akan semakin rendah OCB nya (Moorman, 1998 & Schappe, 1998). OCB juga dipengaruhi oleh hubungan antara atasan bawahan yang selama ini terjalin. Semakin bawahan merasa dekat dengan atasan, merasa diberi kepercayaan oleh atasan, merasa diperhatikan atasan, dan sebagainya, akan semakin tinggi OCB nya (Liden et.al, 1996; Wayne.et.al, 1997). Riggio (1990) juga menyatakan bahwa apabila interaksi pemimpin-bawahan berkualitas tinggi maka seorang pemimpin akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa pemimpinnya banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada pemimpinnya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan oleh pemimpin mereka Padsakoff et.al (1997) mengidentifikasi variabel kepuasan kerja yang ternyata berpengaruh pada OCB. Karyawan yang merasa puas dengan tugas-tugas yang harus ia lakukan dari perusahaan selama ini akan menunjukkan tingkat OCB yang lebih tinggi dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas dengan hal tersebut. Sommers et.al (1996) menyebutkan bahwa masa kerja dapat berfungsi sebagai prediktor OCB. Karyawan yang telah lama bekerja di suatu organisasi Universitas Sumatera Utara akan memiliki keterdekatan dan keterikatan yang kuat terhadap organisasi tersebut. Masa kerja yang lama juga akan meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensi karyawan dalam melakukan pekerjaannya, serta menimbulkan perasaan dan perilaku positif terhadap organisasi yang memperkerjakannya. Kepribadian dan suasana hati mempunyai pengaruh terhadap timbulnya perilaku OCB secara individual maupun kelompok. George dan Brief (1992) berpendapat bahwa kemauan seseorang untuk membantu orang lain juga dipengaruhi oleh suasana hati. Kepribadian merupakan suatu karakteristik yang secara relatif dapat dikatakan tetap, sedangkan suasana hati merupakan karakteristik yang dapat berubah-ubah. Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk membantu orang lain. Wijayanto dan Kismono (2004) memprediksikan bahwa organizational citizenship behavior dapat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan. Hal ini dikarenakan kecerdasan seseorang memainkan peranan yang penting dalam menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Perilaku-perilaku kerja seperti menolong orang lain, bersahabat dan bekerjasama dengan orang lain lebih menonjol dilakukan oleh wanita daripada pria. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa wanita cenderung lebih mengutamakan pembentukan relasi daripada pria dan lebih menunjukkan perilaku menolong daripada pria (Konrad, 2000). Lovell et al. (1999) juga menemukan perbedaan yang cukup signifikan antara pria dan wanita dalam tingkat OCB mereka, dimana perilaku menolong wanita lebih besar dari pada pria. Morrison (1994) juga membuktikan bahwa ada perbedaan persepsi terhadap OCB antara Universitas Sumatera Utara pria dan wanita, dimana wanita menganggap OCB merupakan bagian dari perilaku in-role mereka dibandingkan pria. Jahangir et.al (2004) menyatakan bahwa pegawai yang lebih muda fleksibel dalam mengatur kebutuhan mereka dan kebutuhan organisasi. Sementara itu, pegawai yang lebih tua cenderung lebih kaku dalam menyesuaikan antara kebutuhan mereka dan kebutuan organisasinya. Sehingga, para pegawai muda dan tua bisa memiliki orientasi-orientasi yang berbeda kepada diri mereka sendiri, orang lain dan pekerjaannya. Perbedaan usia bisa menghasilkan perbedaan motif pada OCB. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi organizational citizenship behavior meliputi: a. Faktor individu Perbedaan individu termasuk sifat yang stabil yang dimiliki individu. Kepribadian, jenis kelamin, kemampuan dan pengetahuan, kecerdasan, usia dan masa kerja merupakan faktor individu yang mempengaruhi OCB. b. Faktor kelompok OCB didasari oleh kedekatan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Oleh karena itu, persepsi positif individu terhadap hubungan sosial meningkatkan kohesivitas mereka terhadap kelompok dan kohesivitas inilah yang mempengaruhi terbentuknya perilaku OCB (Carless et.al, 2000). Norma budaya dalam kelompok dapat mendorong seseorang untuk saling menolong satu sama lain kapan pun dibutuhkan. Karyawan yang merasa nyaman dalam organisasi dan mendapat manfaat secara pribadi, sangat senang untuk Universitas Sumatera Utara membalas perlakuan dari kelompoknya dengan bentuk organizational citizenship behavior (Leung, 2008). c. Faktor organisasi Iklim dan budaya organisasi, interaksi atasan bawahan dalam suatu organisasi dapat menjadi penyebab kuat atas berkembangnya OCB dalam suatu organisasi. Dukungan dan gaya kepemimpinan atasan sangat mempengaruhi munculnya OCB pada karyawan. Hal ini dapat dipahami melalui proses modeling yang dilakukan oleh atasan yang kemudian menginspirasi para karyawan untuk melakukan OCB, sehingga atasan dapat menjadi agen model OCB (Graham, 1991; Hui & Law, 1999). Selain itu, karyawan yang dipelakukan secara adil oleh organisasi akan menunjukkan perilaku OCB. Keadilan sangat berpengaruh terhadap karyawan, yaitu mempengaruhi dukungan organisasi yang mereka rasakan dan selanjutnya mendorong mereka untuk membalas dengan OCB (Moorman dan Blakely, 1998; Luthans, 2006). Individu mengevaluasi hubungan pertukaran sosial mereka dengan organisasi melalui persepsi mereka terhadap sejauh mana dukungan yang diberikan oleh organisasi kepada mereka. Saat individu menyatakan bahwa organisasi mereka peduli terhadap karyawannya, dan mengerti tentang apa yang dibutuhkan individu, mereka akan memperlihatkan hubungan yang lebih baik dengan organisasi (David & Thomas, 2008). Semakin terikat karyawan tersebut secara emosional dengan organisasinya, maka semakin cenderung ia membantu rekan kerja dan atasan dalam hal penyelesaian tugas, pencegahan masalah dalam bekerja, dan pemberian semangat Universitas Sumatera Utara (Ahdiayana, 2009). Karyawan juga akan semakin cenderung untuk membantu organisasi secara keseluruhan, dengan cara mentolerir situasi yang kurang ideal dalam bekerja, peduli pada kelangsungan hidup perusahaan dan patuh pada peraturan dan tata tertib perusahaan (Purba dan Seniati, 2004). Tidak semua faktor-faktor yang mempengaruhi OCB tersebut akan disertakan sebagai variabel-variabel dalam penelitian ini. Berdasarkan pada relevansi dengan permasalahan yang ada dan ketertarikan penulis sendiri untuk mendalami organizational citizenship behavior dilihat dari faktor individu dalam hal ini kecerdasan emosional dan faktor kelompok ditinjau dari kohesivitas kelompok. A.4. Manfaat Organizational Citizenship Behavior dalam Perusahaan Melalui sejumlah riset, OCB diyakini dan terbukti dapat memberikan manfaat yang besar terhadap organisasi, diantaranya adalah berikut (Podsakoff et.al, 2000) : 1. Organizational citizenship behavior meningkatkan produktivitas rekan kerja. a. Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut. b. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan menjadi suatu kebiasaan yang baik pada unit kerja atau kelompok. 2. Organizational citizenship behavior meningkatkan produktivitas manajer. Universitas Sumatera Utara a. Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja. b. Karyawan yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja, akan membantu manajer terhindar dari krisis manajemen. 3. Organizational citizenship behavior menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan. a. Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan. b. Karyawan yang menampilkan concentioussness yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting. c. Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut. d. Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanships akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan. 4. Organizational citizenship behavior membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok. Universitas Sumatera Utara a. Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril, sehingga anggota kelompok tidak perlu menghabiskan energi dan waktu. b. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen berkurang. 5. Organizational citizenship behavior dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja. a. Menampilkan perilaku civic virtue akan membantu koordinasi diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok. b. Menampilkan perilaku courtesy akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan. 6. Organizational citizenship behavior meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik. a. Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta perasan saling memiliki diantara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik. b. Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportsmanship akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi. 7. Organizational citizenship behavior meningkatkan stabilitas kerja organisasi. Universitas Sumatera Utara a. Membantu tugas karyawan yang tidak hadir ditempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas dari kinerja unit kerja. b. Karyawan yang conscientious cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja. 8. Organizational citizenship behavior meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. a. Karyawan yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat. b. Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuanpertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi. c. Karyawan yang menampilkan perilaku concientioussness akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. B. Kohesivitas Kelompok B.1. Definisi Kohesivitas Kelompok Kelompok kerja menjadi suatu hal yang sangat penting saat ini. Bekerja dalam sebuah kelompok akan memberikan keuntungan dibandingkan dengan bekerja sendiri. Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan kelompok sebagai Universitas Sumatera Utara sekelompok orang yang dipersepsikan terikat satu sama lain dalam sebuah unit yang koheren pada derajat tertentu. Faktor-faktor yang menyebabkan anggota kelompok bertahan dalam kelompok inilah yang disebut kohesivitas. Robbins dan Judge (2008) menyatakan kohesivitas kelompok sebagai tingkat dimana para anggotanya saling tertarik dan termotivasi untuk tinggal dalam kelompok tersebut. Kohesivitas menurut Man dan Lam (2003) adalah sebuah proses dinamis yang mencerminkan kecenderungan anggota kelompok untuk selalu bersama dan mempertahankan kesatuan untuk mencapai tujuan. Baron & Byrne (2004) mendefinisikan kohesivitas sebagai semua kekuatan yang menyebabkan anggota bertahan dalam suatu kelompok, seperti kesukaan pada anggota lain dalam kelompok dan keinginan untuk menjaga atau meningkatkan status dengan menjadi anggota dari kelompok yang tepat. Forshyt (2010) juga menyatakan bahwa kehesivitas kelompok sebagai proses dinamis yang merefleksikan kecenderungan anggota tim secara bersama-sama untuk tetap bersatu dalam bekerja sama mencapai tujuan. Hasil nyata dari kohesivitas meliputi kinerja atau produktivitas. Sudah menjadi hal umum bahwa kesatuan menghasilkan kekuatan. Kohesivitas yang tinggi menghasilkan kinerja yang lebih baik dengan meningkatkan koordinasi antar anggota dan meningkatkan cara kerja yang baik dalam kelompok (Arninda & Safitri, 2012). Saat norma dalam kelompok bersifat positif dan berorientasi pada tugas, maka kohesivitas akan menghasilkan kinerja yang lebih baik (Man dan Lam, 2003). Sanders dan Schyns (2006) menyatakan kohesivitas sangat penting dalam karakteristik kelompok karena anggota kelompok akan dengan sukarela untuk Universitas Sumatera Utara saling bekerja sama satu sama lain. Hal ini disebabkan karena anggota kelompok akan cenderung untuk lebih sensitif terhadap rekan-rekannya dan akan rela untuk memberikan bantuan serta bimbingan. Man dan Lam (2003), diskusi dan interaksi antar anggota kelompok akan menghasilkan banyak alternatif solusi yang akan menghasilkan produktivitas yang lebih baik. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap kohesivitas kelompok diukur melalui persepsi anggota terhadap tingkat kohesivitas kelompoknya. Persepsi anggota terhadap kohesivitas kelompok akan diperoleh dari respon anggota terhadap skala kohesivitas kelompok yang dapat disebut dengan self-report technique oleh karyawan. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa kohesivitas kelompok merupakan penilaian anggota kelompok yang menunjukkan sejauh mana kelompoknya memiliki kecenderungan untuk terus bersama dan mempertahankan kesatuan untuk mencapai tujuan. B.2. Aspek-aspek Kohesivitas Kelompok Widmeyer et. all (2009); Carless dan Paola (2000) menyatakan bahwa aspek-aspek kohesivitas pada dasarnya terdiri dari dua aspek: social cohesion dan task cohesion. Weinberg dan Gould (2003) mengatakan kohesi tugas mencerminkan sejauh mana anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, sedangkan kohesi sosial mencerminkan atraksi interpersonal diantara anggota kelompok. Kohesi sosial mencerminkan sejauh mana anggota tim saling menyukai dan menikmati perusahaan satu sama lainnya. Universitas Sumatera Utara Cota (1995) mengungkap aspek-aspek kohesivitas yang lebih lengkap lagi, yaitu (dalam Baron, 2004): 1. Integrasi kelompok dalam tugas (group integration-task); persepsi anggota kelompok terhadap kedekatan tim dalam menyelesaikan tugas. 2. Integrasi kelompok secara sosial (group integration-social); persepsi anggota kelompok terhadap kedekatan dan keakraban tim dalam aktivitas sosial. 3. Ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attraction to grouptask); persepsi anggota kelompok terhadap keterlibatan diri pada tugas kelompok. 4. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attraction to group-social); persepsi anggota kelompok terhadap keterlibatan interaksi sosial dalam kelompok. Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek kohesivitas yang diungkapkan oleh Cota (1995) yang akan digunakan dalam penelitian ini. B.3. Manfaat Kohesivitas Kelompok dalam Perusahaan Kelompok kerja merupakan bagian dari kehidupan organisasi, atau dengan kata lain kelompok kerja merupakan sebuah organisasi kecil dari suatu organisasi besar. kelompok kerja memang keberadaannya memang dibutuhkan oleh organisasi besar demi pencapaian tujuan organisasi (Yuwono, 2005). Manfaat kohesivitas kelompok dalam perusahaan: 1. Kohesivitas kelompok akan membuat karyawan merasa nyaman dalam bekerja. Rasa nyaman dalam bekerja menimbulkan kebersamaan dan pada Universitas Sumatera Utara akhirnya akan menghasilkan produktivitas yang tinggi (Jewell, 1998; Gibson, 2003; Mathis & Jackson, 2006). 2. Kohesivitas kelompok kerja yang terjalin dalam kelompok kerja dapat meningkatkan semangat kerja karyawan, karena anggota kelompok menikmati interaksi satu sama lain dalam bekerja (Forsyth, 1999). 3. Kohesivitas kelompok dapat memberikan motivasi yang tinggi kepada karyawan, dimana sesama karyawan akan saling membantu sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerjanya (Davis, 2000). C. Kecerdasan Emosional C.1. Definisi Kecerdasan Emosional Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai subset kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, membedakan emosi dan perasaan, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun pemikiran dan tindakan (Luthans, 2006). Goleman (2001) juga mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kapasitas untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri dan untuk mengolah emosi diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Goleman menyimpulkan bahwa pada tingkat individu, elemen kecerdasan emosional dapat diidentifikasi, dinilai dan di up-grade. Pada tingkat kelompok, elemen kecerdasan emosional berarti pengaturan dinamika interpersonal yang baik yang membuat kelompok menjadi lebih cerdas. Pada tingkat organisasi, elemen kecerdasan emosional berarti merevisi hirarki nilai agar kecerdasan Universitas Sumatera Utara emosional menjadi prioritas dalam konteks penerimaan karyawan, pelatihan dan pengembangan, evaluasi kinerja dan promosi. Suatu analisis teori akademis mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional mungkin membantu mempermudah adaptasi dan perubahan karyawan. Dalam konteks penelitian empiris, ada beberapa bukti longitudinal yang mengindikasikan bahwa dibanding IQ, kecerdasan emosional adalah prediktor yang lebih baik untuk kesuksesan hidup (keberhasilan ekonomi, kepuasan hidup, persahabatan, kehidupan keluarga). Sedangkan Robbins (2012) mendefinisikan kecerdasan emosional adalah keanekaragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi nonkognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. C.2. Dimensi-dimensi Kecerdasan Emosional Robbins (2012) menyatakan terdapat 5 (lima) dimensi kecerdasan emosional, yaitu: 1. Kesadaran Diri. Kemampuan untuk sadar akan apa yang dirasakan. 2. Mengelola Diri. Kemampuan untuk mengelola emosi dan rangsangan sendiri. 3. Motivasi diri. Kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi kemunduran dan kegagalan. 4. Empati. Kemampuan untuk merasakan bagaimana yang lain merasakan. Universitas Sumatera Utara 5. Keterampilan sosial. Kemampuan untuk menangani emosi orang lain. Kecerdasan emosional dalam konteks dunia kerja menurut Goleman sebagaimana dikutip oleh Simons (2001) dalam Hardaningtyas (2004) membagi dua wilayah kerangka kecerdasan emosi yaitu: 1. Kompetensi pribadi (personal competence), yaitu bagaimana mengatur diri sendiri yang terdiri dari: a. Kesadaran diri (self awareness), yaitu kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri. Indikatornya: tingkat emosional awareness, ketepatan self assessment, self confidence. b. Kemampuan mengatur diri sendiri (self regulation/self management), yaitu kemampuan mengatur perasaannya. Indikatornya: tingkat self control, trustworthiness dan conscientiousness, inovasi dan adaptasi. c. Motivasi, yaitu kecenderungan untuk memfasilitasi diri sendiri untuk mencapai tujuan walaupun mengalami kegagalan dan kesulitan. Indikatornya; tingkat achievement drive, komitmen, inisiatif dan optimisme. 2. Kompetensi sosial (social competency), yaitu kemampuan mengatur hubungan dengan orang lain yang terdiri dari: a. Empati, yaitu kesadaran untuk memberikan perasaan/perhatian, kebutuhan atau kepedulian kepada orang lain. Indikatornya; memahami orang lain, mengembangkan orang lain, berorientasi pada pemberian pelayanan, leveraging diversity, kesadaran politis. b. Memelihara hubungan sosial, yaitu mengatur emosi dengan orang lain, keterampilan sosial seperti kepemimpinan, kerja tim, kerjasama, dan negosiasi. Indikatornya: kemampuan mempengaruhi, kemampuan Universitas Sumatera Utara komunikasi, kemampuan mengelola konflik, tingkat kepemimpinan, change catalyst. C.3. Manfaat Kecerdasan Emosional pada Perusahaan Kecerdasan emosional memiliki banyak manfaat dengan mengetahui kapan dan bagaimana mengekspresikan emosi sehingga hal tersebut dapat terkontrol. Manfaat kecerdasan emosional dalam perusahaan (Goleman, 1998): 1. Kecerdasan emosional menentukan seberapa baik seseorang menggunakan keterampilan-keterampilan yang dimiliki termasuk keterampilan intelektual dan spiritual. 2. Kecerdasan emosional dapat mendorong seorang karyawan dalam mengelola perasaan, memotivasi diri sendiri, berempati, dan bekerjasama dengan orang lain. 3. Kecerdasan emosional akan mendorong karyawan berperilaku secara koperatif, suka menolong, perhatian dan bekerja bersungguh-sungguh diluar persyaratan formal. D. Gambaran PT. Tanimas Soap Industries PT. Tanimas Soap Industries merupakan corporate dari PT. Tanimas Group dimana pendirian perusahaan ini dilatar belakangi oleh peluang bisnis baru yang dilihat oleh PT. Tanimas Edible Oil sebagai kolektor minyak kelapa sawit dari beberapa pabrik kelapa sawit di Indonesia. Produksi PT. Tanimas Edible Oil menjadi salah satu sumber bahan baku untuk PT. Tanimas Soap Industries dalam menjalankan roda bisnisnya ditambah dengan pembelian CPO dari beberapa Universitas Sumatera Utara perusahaan yang menjadi kolektor minyak kelapa sawit. Untuk melancarkan pengangkutan hasil produksi dari lokasi usaha ke pelabuhan, PT. Tanimas Soap Industries menggunakan transportasi dari PT. Tangki Mas yang juga corporate dari PT. Tanimas Group. PT Tanimas Soap Industries merupakan badan usaha yang melakukan kegiatan industri di kawasan berikat dengan hasil produksinya berupa sabun cuci dan sabun mandi. Dalam hal ini PT. Tanimas Soap Industries akan memproduksi sabun berdasarkan permintaan dari konsumennya yang merupakan distributor consumer good ataupun pabrikan di kawasan benua Afrika dan sebagian negara di benua Asia. Sebagai corporate dari PT. Tanimas Group, PT. Tanimas Soap Industries mempunyai visi menjadi perusahaan consumer good kelas dunia yang berekspansi secara strategis dan terus menerus berkembang. Misinya adalah mempertahankan bisnis melalui optimalisasi sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi yang kompetitif dan mitra bisnis yang bersinergis, dengan memberikan yang terbaik terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen; dan menyediakan kualitas hidup yang lebih baik bagi para stakeholder. Berdasarkan struktur organisasi, PT. Tanimas Soap Industries memiliki enam departemen dimana antara satu departemen dengan departemen lainnya mempunyai keterikatan dalam pelaksanaan tugasnya. Departemen produksi sebagai salah satu departemen yang memegang peranan dalam menghasilkan produk perusahaan memiliki tujuh unit bagian yang karyawannya diharapkan memiliki kinerja yang maksimal serta mau bekerja secara ekstra sehingga dapat Universitas Sumatera Utara mengantarkan perusahaan mencapai visinya menjadi perusahaan kelas dunia dan bertahan dalam persaingan global. E. Hubungan Kohesivitas Kelompok dan Kecerdasan Emosional dengan Organizational Citizenship Behavior Selain menampilkan perilaku in-role, perusahaan juga berharap karyawannya dapat menampilkan perilaku ekstra-role. Perilaku extra-role sangat penting artinya karena memberikan manfaat yang lebih baik untuk menunjang keberlangsungan organisasi (Oguz, 2010). Perilaku extra-role di dalam organisasi dikenal dengan istilah Organizational Citizenship Behavior (OCB). OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi sukarelawan (volunteer) untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan dan prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan nilai tambah karyawan yang merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial positif, konstruktif dan bermakna membantu (Aldag & Resckhe, 1997). Organisasi tidak akan berhasil dengan baik tanpa ada anggota yang melakukan perilaku organizational citizenship behavior. Karyawan yang baik (good citizenship) cenderung melakukan organizational citizenship behavior. Perilaku-perilaku tersebut secara normatif dapat berkontribusi pada peningkatan kinerja baik kinerja secara pribadi, secara teamwork maupun organisasi (Markoczy & Xin, 2002). Seseorang karyawan dalam menampilkan OCB dipengaruhi oleh banyak faktor. Ketika berada dalam kelompok kerja, OCB menjadi sebuah tipe perilaku Universitas Sumatera Utara kerja dimana para karyawan yang memang senang berada dalam sebuah kelompok akan memilih melakukan perilaku tersebut. Wijayanto dan Kismono (2004) mengindikasikan bahwa hubungan karyawan dengan rekan kerjanya atau karyawan lain dalam suatu kelompok yang kohesif, dapat meningkatkan tanggung jawab individu yang akhirnya dapat memotivasi karyawan untuk melakukan peran ekstranya. Karyawan yang merasa nyaman dalam suatu kelompok kerja dan mendapat manfaat secara pribadi, sangat senang untuk membalas perlakuan dari kelompoknya dengan bentuk organizational citizenship behavior (Leung, 2008). Organizational citizenship behavior dapat meningkat saat kelompok menjadi lebih kohesif. Perilaku seperti koperatif, membantu dan mengajarkan rekan kerja, atau bekerja melebihi waktu saat mendapatkan tugas, diharapkan akan muncul dalam kelompok yang tingkat kohesivitasnya tinggi.Walaupun hal tersebut tidak diminta, diharapkan bagi anggota yang memiliki ikatan yang kuat dengan kelompoknya akan rela melakukan hal tersebut bukan hanya untuk kepentingan pribadi tapi juga demi kepentingan kelompok (Stashevsky dan Koslowsky, 2006). Sikap kooperatif karyawan sendiri dapat menunjukkan tingkat sportmanship yang dimiliki karyawan. Apabila tingkat sportsmanship yang ditunjukkan karyawan sangat kurang maka akan memberikan efek yang negatif terhadap kohesivitas kelompok dan membuat suasana kerja menjadi kurang atraktif. Keadaan tersebut tentu saja dapat menahan karyawan untuk menjadi sangat produktif (Podsakoff, 1997). Keyakinan akan adanya good sports akan dapat meningkatkan suasana kerja dalam kelompok ataupun organisasi yang membuat hal tersebut menjadi lebih menarik bagi para karyawan (Widmeyer, 2009). Universitas Sumatera Utara Civic virtue yang sangat tinggi dalam sebuah kelompok, berdampak pada kebebasan bagi para pekerja untuk mencari cara agar dapat bekerja lebih efektif dan sesuai dengan keadaannya, sehingga hal ini dapat menumbuhkan kepedulian pekerja terhadap kelompok kerjanya, berperilaku ekstra dan dengan begitu dapat menambah keinginan anggota kelompok untuk bertahan pada kelompoknya (Robinson, 1995). Selain faktor kohesivitas, faktor lain yang mempengaruhi OCB karyawan ketika bekerja dalam kelompok adalah kecerdasan emosional. Kemampuan ini mencakup kemampuan dalam mengelola diri sendiri, inisiatif, optimisme, mengorganisasi emosi dalam diri, serta melakukan pemikiran yang tenang tanpa terbawa emosi (Boyatzis dan Ron, 2001). Kemampuan karyawan dalam mengelola perasaan, memotivasi diri sendiri, berempati, dan bekerjasama dengan orang lain akan mendorongnya berperilaku dalam organisasi secara kooperatif, suka menolong, perhatian, dan bersungguhsungguh diluar persyaratan formal (Ariani, 2008). Kecerdasan emosi terbukti menjadi faktor utama pada individu yang memiliki kinerja yang tinggi dalam pelayanan jasa, teknis, penjualan, manajemen konsumen, kepemimpinan dan peranan eksekutif berdasarkan hasil penelitian Spencer dan Spencer (1993). Hasil penelitian Goleman (1998) menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual hanya memberi kontribusi 20 persen terhadap kesuksesan hidup seseorang. Sisanya 80 persen bergantung pada kecerdasan emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritualnya, bahkan dalam hal keberhasilan kerja, kecerdasan intelektual hanya berkontribusi empat persen. Universitas Sumatera Utara Untuk melakukan sesuatu yang baik seorang karyawan memang tidak selalu digerakkan oleh kemampuannya hal-hal berempati yang hanya karyawan menguntungkan bisa memahami dirinya. orang Dengan lain dan lingkungannya serta bisa menyelaraskan nilai-nilai individual yang dianutnya dengan nilai-nilai lingkungannya, sehingga muncul perilaku yang nice yaitu good citizen. Jika karyawan dalam organisasi memiliki OCB, karyawan dapat mengendalikan perilakunya sendiri sehingga mampu memilih perilaku yang terbaik untuk organisasinya (Hein, 1999). Berdasarkan uraian diatas, dapat terlihat bahwa terdapat pengaruh kohesivitas kelompok dan kecerdasan emosional terhadap OCB karyawan. F. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, peneliti mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut : Hipotesis Mayor : Terdapat pengaruh kohesivitas kelompok dan kecerdasan emosional terhadap organizational citizenship behavior. Hipotesis Minor : 1. Terdapat pengaruh positif yang signifikan antara kohesivitas kelompok terhadap organizational citizenship behavior. 2. Terdapat pengaruh positif yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap organizational citizenship behavior. 3. Terdapat pengaruh aspek-aspek kohesivitas kelompok terhadap organizational citizenship behavior. Universitas Sumatera Utara 3a. Terdapat pengaruh aspek group integration task terhadap organizational citizenship behavior. 3b. Terdapat pengaruh aspek group integration social terhadap organizational citizenship behavior. 3c. Terdapat pengaruh aspek individual attraction to group task terhadap organizational citizenship behavior. 3d. Terdapat pengaruh aspek individual attraction to group social terhadap organizational citizenship behavior. 4. Terdapat pengaruh dimensi-dimensi kecerdasan emosional terhadap organizational citizenship behavior. 4a. Terdapat pengaruh dimensi self awareness terhadap organizational citizenship behavior. 4b. Terdapat pengaruh dimensi self regulation terhadap organizational citizenship behavior. 4c. Terdapat pengaruh dimensi motivasi terhadap organizational citizenship behavior. 4d. Terdapat pengaruh dimensi empati terhadap organizational citizenship behavior. 4e. Terdapat pengaruh dimensi memelihara hubungan sosial terhadap organizational citizenship behavior. Universitas Sumatera Utara KERANGKA BERPIKIR Kohesivitas Kelompok Organizational Citizenship Behavior (OCB) Kecerdasan Emosional Universitas Sumatera Utara