Vol. 4 No 1 Juni 2012 HUBUNGAN ANEMIA IBU HAMIL TRIMESTER III DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) (Penelitian Analitik di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb. Banyuwangi) Nurun Nikmah, SST Abstrac Anemia pregnancy will influence health of pregnant mother and baby in her pregnant. Some risk because of anemia pregnancy in baby such as low birth weight, asfiction, defected or even baby born death. The purpose of research is to know the relationship between anemia of pregnant mother in trimester III whith low birth weight. This researce used analytical retrospectif. The population is 340 respondents which 184 respondents are the samples by sampling that used is simple random sampling. The independent variable is anemia of pregnant mother in trimester III and dependen variable is low birth weight. Collecting data by using secondary data is medical record that is status of anemia pregnant mother and baby born weigh. The result show that are correlation between anemia of pregnant mother in trimester III whith low birth weight. Hypothesis test with Lambda detained p = 0,008 and α = 0,05, it means that are correlation between anemia of pregnant mother in trimester III whith low birth weigh. By this research, the pregnant mother, medical office, and the stake holder could give more attention to the anemia of pregnant mother. Keywords: Anemia of pregnant mother, Low birth weight JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 1 Vol. 4 No 1 Juni 2012 PENDAHULUAN Latar Belakang Hasil konsepsi (Janin, plasenta, darah) membutuhkan zat besi dalam jumlah besar untuk pembuatan butir - butir darah merah dan pertumbuhannya (Mochtar, 1998). Masalah gizi merupakan salah satu masalah kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini. Masalah gizi dan pangan merupakan masalah yang mendasar karena secara langsung menentukan kualitas sumber daya manusia serta dapat meningkatkan derajat kesehatan (Tarwoto. 2007). Masalah gizi utama di Indonesia yang belum teratasi, salah satunya adalah anemia (Tarwoto. 2007). Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kurangnya zat besi, dengan kadar Hemoglobin kurang dari 11 g% (Manuaba, 1998). Anemia dalam kehamilan akan menyebabkan abortus, partus prematurus, BBLR, partus lama karena inertia uteri, perdarahan post partum karena atonia uteri, syok, infeksi, dan dekompensasi kordis (Wiknjosastro, 2005). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (Saifuddin, 2006). Anemia hamil disebut “potential danger to mother and child” (potensial membahayakan ibu dan anak), karena itulah anemia merupakan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan pada lini terdepan (Manuaba. 1998). Depkes RI, 2007 mengungkapkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil yaitu pemberian tablet Fe sebanyak 90 tablet pada ibu hamil (Dinkes Banyuwangi, 2009). Keadaan anemia sejak hamil yang tidak diobati sering berlanjut sampai saat persalinan dan nifas. Oleh sebab itu, kehamilan dengan anemia ringan perlu perhatian khusus agar dapat ditanggulangi segera. Masalah atau komplikasi yang mungkin timbul dapat ditekan dengan memberikan health education tentang gizi seimbang, makanan yang mengandung zat besi dan dengan pemantauan kadar Hb. Oleh karena itu pemeriksaan Hb ibu hamil dilakukan minimal dua kali selama kehamilan yanitu pada trimester I dan trimester III (Manuaba, 1998). Di Indonesia, berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian neonatal sebesar 20 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab utama kematian neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 29%. Di propinsi Jawa timur, BBLR masih menjadi penyebab kematian neonatal tertinggi pada tahun 2001 sebesar 36,23% dan 2002 sebesar 34,72%. Sedangkan di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2002 dari 232 kasus kematian neonatal sebesar 78,88% mempunyai bayi dengan BBLR dan pada tahun 2003, 62,87% dari 307 kasus kematian neonatal merupakan BBLR. Di Indonesia angka BBLR sebesar 10-14 % merupakan salah satu angka tertinggi di negara sedang berkembang (Shinta, 2008). Depkes RI, 2000 menetapkan bahwa target BBLR pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7% (Kusumawati, 2004). Faktor dominan penyebab utama BBLR adalah gizi saat hamil kurang (Manuaba, 1998). Berdasarkan data dari Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Departemen Kesehatan (Depkes), saat ini angka penderita Anemia pada ibu hamil di Indonesia diperkirakan mencapai 40% (Purwatiningsih, 2009). Njo Tiong Tiat dan Poerwo Soedarmo menemukan frekuensi anemia dalam kehamilan di Indonesia yaitu 16,1% pada triwulan I dan 49,9% pada triwulan III (Mochtar, 1998). Frekuensi anemia ibu hamil di Jawa timur yaitu 57,8% (Amiruddin, 2007), dan frekuensi anemia ibu hamil di Banyuwangi mencapai 51% (Purwatiningsih, 2009). Pada pengambilan data di BPS Sri Susiati yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan medical record berupa register ibu bersalin tahun 2009, didapatkan Ibu hamil dengan kehamilan aterm yang bersalin sejumlah 223 orang, terdapat ibu hamil tidak anemi 103 orang (46,2%) dan ibu hamil yang anemia pada trimester III adalah 120 orang (53,8%). Ibu hamil yang tidak anemi pada trimester III melahirkan bayi dengan berat badan lahir normal 98 bayi (95,1%) dan 5 bayi dengan berat badan lahir rendah (4,9%). Ibu hamil yang anemi pada trimester III melahirkan bayi dengan berat badan lahir normal 99 bayi (82,5%) dan 21 bayi dengan berat badan lahir rendah (17,5%). Tingginya anemia ibu hamil di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb disebabkan karena kurangnya zat besi dalam diet yaitu tidak menghabiskan jumlah tablet Fe yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan dan kurangnya penganekaragaman dalam makanan. Berdasarkan latar belakang dan data awal pada kenyataan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara anemia ibu hamil dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb Desa Karangmulyo Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, permasalahan yang diajukan adalah apakah “ada hubungan anemia ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyati, Amd, Keb.?”. Tujuan Penelitian Diketahuinya hubungan anemia ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri susiyati, Amd. Keb. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan atau pemecahan suatu masalah, pada dasarnya menggunakan metode ilmiah (Notoatmodjo, 2002). Desain Penelitian Desain penelitian adalah rencana dan rancangan yang dibuat oleh peneliti sebagai ancang-ancang kegiatan yang dilakukan (Arikunto, 2002). Penelitian ini merupakan jenis penelitian korelasional dengan mengamati secara retrospektif jumlah ibu hamil dengan anemi pada trimester III tanpa memberikan intervensi tertentu untuk mengkaji hubungan antara anemia ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb. Populasi Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya: manusia, klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu dengan kehamilan trimester III (38 minggu – 40 minggu) dan telah melahirkan, serta terdaftar pada bagian rekam medik di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb pada periode Januari 2008 – Mei 2010. Jumlah persalinan pada Januari 2008 - Mei 2010 yaitu 340 orang (Data Sekunder, Medical Record, 2010). Sampel Sampel adalah terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2008). Sampel pada penelitian ini adalah ibu anemia pada trimester III dan telah melahirkan di Bps Sri Susiyati, Amd. Keb yaitu sebanyak 340 orang. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 2 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Jumlah Sampel Perhitungan besar menggunakan rumus : n sampel pada penelitian ini N 2 1 N d Keterangan : N : Besar populasi n : Besar sampel d : tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,05) (Notoatmojo, 2005) n N 2 1 N d n= 340 . 1+ 340 (0,05)2 n= 340 . 1+ 340 (0,0025) n = 340 . 1+ 0,85 n = 340. 1,85 n = 183,78 ≈ 184 Jadi besar sampel yang akan diteliti adalah 184 orang. Metode Sampling Untuk memenuhi besar sampel kemudian dilanjutkan dengan tehnik simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana (Notoatmojo, 2002). Variabel Variabel Independen anemia ibu hamil trimester III Variabel Dependen BBLR Definisi Operasional Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakter yang diamati, memungkinkan peneliti melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu atau fenomena (Hidayat, 2007). Tabel 4.1. Definisi Operational Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor Opersaional Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kurangnya zat besi, dengan kadar hemoglobin kurang dari 11 g%. Trimester III adalah usia kehamilan 28 – 40 minggu Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram Hasil pengukuran kadar hemoglobin Konfirmasi Ordinal 1). Ringan bila Hb data 10 g% – <11 sekunder g% medical 2). Sedang bila Hb record BPS 8 g% – <10 Sri Susiati, g% Amd. Keb. 3). Berat bila Hb < bulan Januari 8 g% 2008 sampai Mei 2010 (Register Kohort). Hasil pengukuran berat badan Konfirmasi Nominal 1). Berat badan data lahir normal bila sekunder Berat badan medical bayi ≥ 2500 record BPS gram Sri Susiati, 2). Berat badan Amd. Keb. lahir Rendah bulan Januari bila Berat badan 2008 sampai bayi < 2500 Mei 2010 gram (Buku persalinan). Pengumpulan dan Pengolahan Data Instrumen Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih cermat (Notoatmodjo, 2002). Instrument yang digunakan pada penelitian ini adalah register kohort dan buku persalinan. Lokasi dan waktu Penelitian di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb. Desa Karangmulyo Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi dan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2010. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran data sekunder dengan cara mengambil data yang berasal dari medical record yaitu register kohort ibu hamil yang telah melakukan persalinan dan terdaftar di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb. pada bulan Januari 2008 sampai Mei 2010. Pengolahan Data dan Analisis Data Setelah seluruh data terkumpul, pengolahan data dengan cara: Editing, Coding, Data Entry, Cleaning Data selanjutnya dilakukan Analisis Data Setelah dilakukan pengolahan data kemudian dilakukan pengujian hipotesis untuk melihat adanya hubungan antara dua variabel serta menganalisis hubungan data ordinal dengan ordinal digunakan uji Lambda dengan tingkat kesalahan α = 5%. Proses Pengambilan Keputusan: Hipotesis pada penelitian ini jika nilai p ≤ 0,05 maka H0 ditolak, artinya ada hubungan antara anemia ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah (Soesanto, 2010). HASIL PENELITIAN Pada bab ini akan disajikan hasil penelitian tenteng “Hubungan Anemia Ibu Hamil Trimester III dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb., Banyuwangi” yang dilaksanakan pada tanggal 22 Juli 2010. Data yang digunakan adalah data sekunder dari rekam medik. Berdasarkan metode pengambilan sampel yaitu sistem random sampling didapatkan Ibu hamil trimester III sebanyak 184 orang sesuai dengan kriteria inklusi. Penyajian data terdiri dari jumlah anemia Ibu hamil trimester III di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., serta kejadian berat badan lahir rendah dari ibu anemi pada trimester III di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., bulan Januari 2008 sampai Mei 2010. Setelah penelusuran data sekunder kemudian dilakukan coding, cleaning data dan dilanjutkan tabulasi data untuk selanjutnya dianalisis menggunakan uji Lambda. Tabel 2 Distribusi silang hubungan anemia Ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi bulan Januari 2008 sampai Mei 2010 Berat Badan Lahir Tingkat Anemi BBLR Total BBLN ∑ % ∑ % ∑ % Ringan 8 7,3 102 92,7 110 100 Sedang 20 29,0 49 71,0 69 100 Berat 4 80,0 1 20,0 5 100 Total 32 17,4 152 82,6 184 100 (Sumber data sekunder) Berdasarkan tabel 5.3 di atas menujukkan bahwa anemia Ibu hamil trimester III dengan tingkat anemia ringan sebanyak 110 orang (59,8%) dan sebagian besar melahirkan BBLN yaitu JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 3 Vol. 4 No 1 Juni 2012 102 bayi (92,7%), sedangkan Ibu dengan anemia sedang yaitu 69 orang (37,5%) sebagian besar melahirkan BBLN yaitu 49 bayi (71,0%), dan pada Ibu dengan anemia berat yaitu 5 orang (2,7%) sebagian besar melahirkan BBLR yaitu 4 bayi (80,0%). Setelah dilakukan uji statistik korelasi Lambda secara perhitungan SPSS dengan taraf signifikan 5% didapatkan probability sebesar 0,08, sehingga ρ < α, maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan anemia Ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Ibu hamil trimester III dengan anemia ringan 59,8% melahirkan bayi berat badan lahir rendah sebanyak 7,3%, Ibu hamil trimester III dengan anemia sedang 37,5% yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah sebanyak 29,0%, dan Ibu hamil trimester III dengan anemia berat 2,7% melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah sebanyak 80,0%. Anemia pada Ibu hamil secara tidak langsung menumbang angka kematian Ibu dan Bayi. Sedangkan BBLR memiliki persentase menempati urutan kedua setelah asfiksia neonatorum yaitu sebesar 25-30% (Manuaba, 1998). Menurut Soetjiningsih (1998), bahwa Ibu dengan kondisi kesehatan yang baik, system reproduksi yang normal tidak sering menderita sakit dan tidak menderita gangguan gizi pada masa prahamil maupun saat hamil akan menghasilkan bayi yang lebih besar dan sehat. Namun apabila kondisi Ibu sebaliknya akan melahirkan bayi premature, BBLR, vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, lebih-lebih bila Ibu menderita anemia. Berdasarkan penelitian diatas, didapatkan sebagian besar bayi dengan berat badan lahir rendah dilahirkan oleh Ibu dengan anemia berat pada trimester III yaitu 80,0%. Kejadian berat badan lehir rendah dapat ditanggulangi dengan cara yang lebih efisien yaitu dengan pencegahan apabila diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir. Bayi dengan berat badan lahir normal terbukti mempunyai kualitas fisik, intelegensi maupun mental yang lebih baik disbanding bayi dengan berat lahir kurang, sebaliknya bayi dengan berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) akan mengalami hambatan perkembangan dan kemunduran pada fungsi intelektualnya. Angka anemia Ibu hamil pada trimester III di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi masih cukup tinggi, pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan pada seluruh ibu hamil yang melakukan kunjungan dan pemberian tablet Fe diberikan sesuai dengan program pemerintah. Penting untuk mengenali faktor risiko sedini mungkin, dalam hal ini bidan memegang peran penting untuk meningkatkan pelayanan yang menyeluruh dan bermutu dengan bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sehingga dapat menurunkan angka anemia Ibu hamil dan kejadian berat badan lahir randah. Berdasarkan uraian diatas dan hasil penelitian yang telah diperoleh didapatkan hasil perhitungan uji satistik Lambda menggunakan metode kompeterisasi SPSS, dengan derajat kesalahan α = 0,05. Perhitungan SPSS menunjukkan p < α (0,008 < 0,05), sehingga H0 ditolak artinya ada hubungan anemia Ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah. KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan disajikan simpulan dan saran dari penelitian hubungan anemia Ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi pada Januari 2008 sampai Mei 2010. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Anemia Ibu hamil trimester III di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi diperoleh bahwa besar Ibu hamil trimester III yang anemia ringan adalah sebesar 59,8%, anemia sedang sebesar 37,5%, dan anemia berat sebesar 2,7%. 2. Kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi adalah sebesar 17,4% dan berat badan lahir normal adalah sebesar 82,6%. 3. Dari analisis Lambda, didapatkan nilai p < α (0,008 < 0,05), maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan anemia Ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi. Saran 1. Bagi Peneliti Bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan suatu gambaran bagi peneliti selanjutnya dan dikembangkan lebih mendalam mengingat keterbatasan yang dimiliki. 2. Bagi Ibu hamil/ Masyarakat Diharapkan Ibu hamil lebih memperhatikan kesehatannya terutama kadar hemoglobinnya yaitu dengan rutin minum tablet Fe yang diberikan tenaga kesehatan, dan diminum secara baik dan benar, serta memperhatikan asupan gizi yang sesuai yaitu 4 sehat 5 sempurna, di mana kadar hemoglobin Ibu hamil mempengaruhi berat badan bayi lahir. 3. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan Informasi tentang hubungan anemia Ibu hamil dengan kejadian berat badan lahir rendah diharapkan dapat dijadikan acuan untuk lebih memperhatikan kadar hemoglobin Ibu hamil agar Ibu hamil tidak terjadi anemi dan diharapkan bisa menurunkan kejadian berat badan lahir rendah, sehingga diharapkan tanaga kesehatan dapat memberikan informasi kepada masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. Amirudin, Ridwan. 2007. Anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di indonesia (evidence based). http://ridwanamiruddin.wordpress.com. kamis 29 April 2010 jam 09.00 WIB. 2. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta 3. Bahar, Asrul. 2001. Makanan dan Gizi. Surabaya: UNESA University Press. 4. Dinkes Banyuwangi. 2009. Pelayanan Kesehatan. http://dinkes.banyuwangikab.go.id. Rabu, 5 mei 2010, jam 20.30 WIB. 5. Hidayat, A. Aziz Alimun. 2007. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta : Rineka Cipta. 6. Indah. 2009. Masalah Ibu Hamil. http://www.enformasi. Minggu 28 Februari 2010 jam 10.00 WIB. 7. Khoirudin. 2010. Pemeriksaan Darah Rutin. http://keperawatankomunitas.blogspot.com. Kamis, , 29 April 2010 jam 10.30 WIB. 8. Kurniawan. 2010. Hemoglobin. http://idi.wikipedia.org. Selasa, 21 maret 2010, jam 14.30 WIB. 9. Kusumawati. 2004. Pengaruh BBLR Terhadap Penurunan Kecerdasan. http://free-pdfebooks.com. Rabu, 5 mei 2010, jam 21.00 WIB. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 4 Vol. 4 No 1 Juni 2012 10. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikna Bidan. Jakarta : EGC. 11. Muchtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi dan Obstetri Patologi, Jilid I. Jakarta : EGC. 12. Notoatmodjo, Soekidjo.2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta. 13. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. 14. Novita. 2010. Kehamilan. http://idi.wikipedia.org. Rabu, 5 mei 2010, jam 20.00 WIB. 15. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. 16. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. 17. Purwatiningsih. 2009. Bahaya Anemia Pada Kehamilan. http://www.grahapermataibu.com. Minggu, 28 Februari 2010 jam 10.30 WIB. 18. Saifudin, Abdul Bari, dkk. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bida Pustaka. Sarwono Prawihardjo. 19. Shinta. 2008. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). http://kuliahbidan.wordpress.com. Minggu, 28 Februari 2010 jam 11.00 WIB. 20. Tarwoto, Wasnidar. 2007. Buku Saku Anemia Pada Ibu Hamil, Konsep dan Penatalaksanaannya. Jakarta: Trans Info Media. 21. Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiro Hardjo. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 5 Vol. 4 No 1 Juni 2012 HUBUNGAN KETERATURAN ANC DENGAN KEJADIAN PRE EKLAMPSIA PADA IBU NIFAS Di Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr. Soetomo Surabaya (Sherly Jeniawati, Queen Khoirun Nisa Mairo, Ni’matul Ainiyah) ABSTRAK Preeklampsi merupakan penyakit yang melibatkan banyak sistem, ditandai hamokonsentrasi, hipertensi dan proteinurine. Faktor predisposisi antara lain kurangnya kesadaran akan pentingnya keteraturan Antenatal Care (ANC). Masalah penelitian ini adalah meningkatnya kejadian preeklampsia pada ibu nifas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Keteraturan ANC dengan Kejadian Preeklampsi pada Ibu Nifas di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya. Jenis penelitian ini adalah analitik dengan menggunakan metode Case Control. Dengan populasi dan sampel ibu nifas yang dirawat di Nifas IRD Lantai 2 RSUD DR Soetomo Surabaya pada bulan Mei 2011 berjumlah 41 orang. Cara pengambilan sample menggunakan Simple Random Sampling. Instrumen pengumpul data adalah kuesioner dan rekam medik, kemudian di analisis menggunakan tabel distribusi frekuensi dan tabel silang. Variabel penelitian ini adalah keteraturan ANC dan kejadian pre eklampsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 responden yang teratur ANC 5 ibu nifas mengalami pre eklampsi dan dari 17 responden yang tidak teratur ANC 10 ibu nifas mengalami pre eklampsi dengan perhitungan statistik menunjukkan bahwa keteraturan ANC berhubungan dengan kejadian preeklampsi pada ibu nifas dengan uji khi – kuadrat nilai kemaknaan α = 0,05 didapatkan bahwa χ2 hitung = 4,66 dan χ2 tabel = 3,84. Kesimpulan dari penelitian ini Keteraturan ANC pada ibu nifas sebagian besar adalah teratur melakukan ANC, Kejadian preeklampsi pada ibu nifas sebagian besar adalah tidak terjadi preeklampsi, Ada hubungan antara keteraturan ANC dengan kejadian preeklampsi pada ibu nifas. Saran dalam penelitian ini lebih ditujukan kepada tenaga kesehatan, institusi pendidikan dan peneliti selanjutnya, sebagai upaya deteksi dini adanya komplikasi pada kehamilan agar tidak berlanjut ke masa nifas serta menekan angka kejadian preeklampsi. Kata Kunci : Keteraturan ANC, Preeklampsi JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 6 Vol. 4 No 1 Juni 2012 PENDAHULUAN Masa nifas adalah masa pulih kembali setelah melahirkan mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lamanya antara 3-6 minggu (Mochtar, 1998). Selama masa pemulihan tersebut berlangsung ibu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun psikologis, namun jika tidak dilakukan pendampingan melalui asuhan kebidanan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi keadaan patologis (Sulistyawati,2009). Masa nifas masa yang sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebabkan ibu mengalami berbagai masalah bahkan dapat berlanjut pada komplikasi nifas (Sulistyowati, 2009). Perhatian terhadap ibu dalam sebuah keluarga perlu mendapat perhatian khusus karena Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi bahkan tertinggi di antara negaranegara Association of South East Asian Nation (ASEAN). Untuk mencapai sasaran Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, antara lain mengenai Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 per 1.000 KH, perlu upaya percepatan yang lebih besar dan kerja keras karena kondisi saat ini, AKI 307 per 100.000 KH dan AKB 34 per 1.000 KH. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Diperkirakan 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Bidan dituntut untuk melakukan asuhan kabidanan yang dapat mendeteksi dini komplikasi pada ibu nifas (Suherni dkk, 2009). Eklampsi dan pre eklampsi merupakan penyebab kematian ibu nomor satu. Untuk itu ibu harus waspada terhadap munculnya gejala pre eklampsi pada masa nifas pada hari ke satu sampai hari ke 28. Resiko ini ditandai dengan munculnya tekanan darah tinggi, oedema dan pada pemeriksaan laboratorium urine mengandung protein (Indiarti, 2009). Ibu dalam 48 jam sesudah persalinan yang mengeluh nyeri kepala hebat, penglihatan kabur dan nyeri epigastrik perlu di curigai adanya pre eklampsi berat atau eklampsi pasca persalinan (Sujiyatini, 2010). Preeklampsi pada kehamilan dan persalinan sebagian besar berlanjut pada masa nifas (Fraser, 2009). Pada ibu nifas kejang dapat terjadi untuk pertama kalinya setelah melahirkan.oleh karena itu pasien harus diobservasi dengan seksama (WHO, 2001). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2008 menyebut kan presentase cakupan pelayanan ANC di Propinsi Jawa Timur mengalami kenaikan selama empat tahun terakhir, 71,82% (2005), 81,79% (2006), 82,7% (2007), 84,32% (2008). Namun cakupan tersebut belum memenuhi target SPM sebesar 90%.Antenatal care (ANC) merupakan suatu upaya pemeriksaan terhadap wanita hamil guna menyiapkan menyiapkan sebaik – baiknya fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga keadaan mereka sehat dan normal tidak hanya fisik tetapi juga mental (Wiknjosastro, H, 2002). ANC menjadi salah satu program kebijakan Departemen Kesehatan yaitu dengan mengupayakan pelayanan obstetrik sedekat mungkin kepada semua ibu hamil, dengan program ANC ini diharapkan terjadi penurunan angka kematian ibu (AKI) karena pada umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik buruknya keadaan pelayanan kebidanan (Maternal Care ) dalam suatu negara atau daerah ialah kematian meternal (Maternal Mortality) atau AKI (Wiknjosastro, H, 2002). Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini pre eklampsi,dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Walaupun timbulnya pre eklampsi tidak dapat dicegah sepenuhnya,namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil (Prawirohardjo,2010). Frekuensi pre eklampsi untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial-ekonomi, perbedaan kriterium dalam penentuan diagnosis, dan lain-lain. Pre eklampsi diperkirakan secara luas menyerang 3 – 5% kehamilan (Robert & Cooper, 2001) atau satu dari sepuluh kehamilan. Dalam kepustakaan frekuensi dilaporkan berkisar antara 3-10% (Prawirohardjo, 2007). Di indonesia eklampsi di samping perdarahan dan infeksi masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi (Winkjosastro, 2007). Tahun 2005 (AKM) di rumah sakit seluruh indonesia akibat eklampsia atau pre eklampsia sebesar 44,91% (98,379 dari 170.725) (Rizal, 2005). Di Indonesia, pre-eklamsia masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan kematian perinatal yang tinggi. Zuspan (1978) dan Arulkumeran (1995) melaporkan angka kejadian pre-eklamsia di dunia sebesar (0-13 %), di Singapura (0,13-6,6 %) dan di Indonesia (3,4-8,5 %). Di Surabaya di perkirakan jumlah kematian pada ibu akibat pre eklampsia 20 % dan kematian perinatal akibat pre eklampsia berkisar 28 % (Romjoni, 2009). Berdasarkan data laporan tahunan di Instalasi Rawat Darurat RSU Dr. Soetomo Surabayapada tahun 2009 jumlah persalinan adalah 2310 persalinan. Dan jumlah kejadian pre eklampsi sebanyak 323 orang (13,98%). Pada tahun 2010 jumlah persalinan adalah 2084 persalinan. Dan jumlah kejadian pre eklampsia sebanyak 306 orang (14,68%) dari jumlah persalinan. Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari 10 responden ibu nifas dengan pre eklampsi di Nifas Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr. Soetomo Surabaya terdapat 6 (60%) tidak teratur melakukan pemeriksaan kehamilan dan 4 (40%) teratur melakukan pemeriksaan kehamilan. Berdasarkan uraian data tersebut, maka masalah penelitian adalah meningkatnya kejadian pre eklampsia oleh karena tingkat keteraturan dalam memeriksakan kehamilan. Maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan keteraturan ANC dengan kejadian pre eklampsi pada ibu nifas. METODE Jenis penelitian ini termasuk survei analitik, yaitu suatu penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan dan situasi. Pada umumnya berusaha menjawab apa dan mengapa (Notoatmodjo, 2002). Berdasarkan keadaan subjek (Outcome) dan waktunya penelitian ini mempunyai rancang bangun case control yaitu suatu penelitian (Survey) analitik yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan “retrospektive”. Dengan kata lain, efek (penyakit atau status kesehatan) di identifikasi pada saat ini, kemudian faktor resiko diidentifikasi adanya atau terjadinya pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan metode pendekatan case control. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 7 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah Semua ibu nifas yang di rawat di Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya pada bulan Mei 2011 sebanyak 90 responden. Sampel adalah sebagian yang di ambil dari keseluruhan subjek yang teliti yang di anggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu nifas yang di rawat di Nifas IRD RSUD Dr Soetomo Surabaya pada bulan Mei 2011 sebanyak 41 responden. Teknik sampling adalah suatu cara yang di tempuh dalam pengambilan sampel (Nursalam dan Siti Pariani, 2000) . Dalam penelitian ini pengambilan sampel di lakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Untuk mencapai sampling ini, setiap elemen diseleksi secara acak melalui proses pengundian. Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota – anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain (Notoatmodjo, 2005) Variabel pada penelitian ini adalah : 1. Variabel bebas (indipendent) : Variabel bebas adalah stimulasi aktivasi yang dimanipulasi oleh peneliti untuk menciptakan suatu dampak pada variabel tergantung (Nursalam dan Siti Pariani,2001).Variabel bebas dalam penelitian ini adalah keteraturan ANC 2. Variabel Tergantung (Dependent) Variabel tergantung adalah respon atau output. Sebagai variabel respon berarti variabel ini akan muncul sebagai akibat dari manipulasi suatu variabel bebas (Nursalam dan Siti Pariani, 2001). Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kejadian pre eklampsi pada ibu nifas Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Arikunto, 2002). Sumber data dalam penelitian ini adalah status ibu nifas atau rekam medik untuk mendapatkan data pre eklampsi. Dan instrumen penelitian ini adalah kuesioner untuk data tentang keteraturan ANC. Kuesioner diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden (dalam hal angket) dan interviewer (dalam hal wawancara) tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda – tanda tertentu (Notoatmodjo, 2005). A. Data Umum 1. Karakteristik Ibu Berdasarkan Usia Responden Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Usia Responden Di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011 Usia Responden < 20 tahun 20 - 35 tahun >35 tahun Jumlah Sumber: Data Primer 2. Karakteristik Ibu Berdasarkan Paritas Responden Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Paritas Responden Di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011 No. Paritas Responden Frekuensi Prosentase (%) 1. Primipara 24 58,54 2. Multipara 12 29,27 3. Grandemulti 5 12,19 Jumlah 41 100,00 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa dari 41 responden sebagian besar yaitu 24 responden (58,54 %) adalah primipara. Pada ibu yang primipara atau belum pernah melahirkan tidak memiliki pengalaman melahirkan sehingga ibu lebih memilih melahirkan di rumah sakit atau fasilitas yang lengkap karena jika terjadi komplikasi lebih cepat ditangani. 3. Karakteristik Ibu Berdasarkan Pendidikan Responden Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden Di Ruang Nifas IRD Lantai2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011 Pendidikan No. Frekuensi Prosentase (%) Responden 1. Dasar 2 4,88 2. Menengah 31 75,61 3. Tinggi 8 19,51 Jumlah 41 100,00 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa dari 41 responden hampir seluruhnya yaitu 31 responden (75,61 %) berpendidikan terakhir menengah. Faktor pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan serta informasi yang di dapat ibu. Pada ibu yang berpendidikan menengah termasuk memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan sehingga ibu lebih memilih untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik dengan fasilitas yang lengkap yaitu dengan memeriksakan diri ke rumah sakit. 4. Karakteristik Ibu Berdasarkan Pekerjaan Responden HASIL No. 1. 2. 3. Berdasarkan tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa dari 41 responden sebagian besar yaitu 21 responden (51,22 %) berusia 20-35 tahun. Usia 20 – 35 tahun merupakan usia reproduksi sehat sehingga banyak orang memilih rentang usia tersebut sebagai usia yang tepat untuk hamil dan melahirkan dimana usia tersebut organ reproduksi wanita masih normal dan berfungsi dengan baik. Frekuensi 11 21 9 41 Prosentase (%) 26,83 51,22 21,95 100,00 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden Di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011 Pekerjaan No. Frekuensi Prosentase (%) Responden 1. Tidak Bekerja 15 36,59 2. Bekerja 26 63,41 Jumlah 41 100,00 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa dari 41 responden sebagian besar yaitu 26 responden (63,41 %) ibu bekerja. Hal ini dikarenakan pada ibu yang berkerja terutama yang yang memiliki jaminan kesehatan dapat memanfaatkan fasilitas yang diberikan di pelayanan kesehatan seperti rumah JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 8 Vol. 4 No 1 Juni 2012 sakit sehingga ibu lebih memilih memeriksakan diri ke tempat yang dapat menerima jaminan kesehatan. B. Data Khusus 1.Data Keteraturan ANC Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Ibu Nifas berdasarkan keteraturan ANC di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011 Keteraturan ANC ∑ (%) Teratur 58,54 Tidak Teratur 24 41,46 17 Jumlah 41 100,00 Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa dari 41 responden sebagian besar 24 ibu nifas (58,54 %) adalah teratur melakukan ANC. 2. Data Ibu Nifas Berdasarkan Kejadian Preeklamsi pada Ibu Nifas Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Ibu Nifas berdasarkan kejadian preeklampsi pada ibu nifas di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011 Ibu nifas berdasarkan ∑ (%) kejadian preeklampsi pada ibu nifas Preeklampsi 36,58 Tidak terjadi preeklampsi 15 63,42 26 Jumlah 41 100,00 Sumber : Data Sekunder Berdasarkan tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa dari 41 responden sebagian besar 26 ibu nifas (63,42 %) tidak mengalami preeklampsi 3.Hubungan Antara Keteraturan Preeklampsi Pada Ibu Nifas ANC dengan Kejadian Tabel 4.7 Tabel Silang Keteraturan ANC dengan Kejadian Preeklampsi pada Ibu Nifas di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011 Keteraturan ANC Teratur Tidak teratur Jumlah Kejadian Preeklampsi Preeklampsi Tidak terjadi Preeklampsi ∑ % ∑ % 5 12,20 19 46,34 10 24,39 7 17,07 15 36,59 26 63,41 Jumlah ∑ 24 17 41 % 100,00 100,00 100,00 Dari tabel 4.7 dapat dijelaskan bahwa dari kelompok responden teratur melakukan ANC hampir setengahnya 19 ibu nifas (46,34%) tidak mengalami preeklampsi dan dari kelompok responden tidak teratur melakukan ANC, sebagian kecil 10 ibu nifas (24,39 %) mengalami preeklampsi. Dari data yang sudah ditabulasi, kemudian dianalisis untuk mengetahui hubungan antara keteraturan ANC dengan kejadian preeklampsia pada ibu nifas dengan menggunakan uji chi-square. Syarat terpenuhinya uji chi-square yaitu tidak boleh ada sebuah sel pun yang mempunyai nilai (E) < 5. Dari hasil perhitungan tidak terdapat sel yang mempunyai nilai (E) < 5 sehingga memenuhi syarat uji chi-square. Berdasarkan hasil perhitungan data dengan uji chi-square, didapatkan bahwa χ2 hitung = 4,66 dengan α = 0,05, df=1 dan χ2 tabel = 3,84 sehingga χ2 hitung (4,66) > χ2 tabel (3,84), maka H1 diterima artinya ada hubungan antara keteraturan ANC dengan kejadian preeklampsi pada ibu nifas. PEMBAHASAN 1. Keteraturan ANC Hasil penelitian pada tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa dari 41 responden sebagian besar 24 ibu nifas (58,54 %) adalah teratur melakukan ANC Menurut Saifuddin (2002) Keteraturan ANC adalah kedisiplinan / kepatuhan ibu hamil untuk melakukan pengawasan sebelum anak lahir terutama ditujukan kepada anak. Kunjungan antenatal untuk pemanfaatan dan pengawasan kesejahteraan ibu dan anak minimal empat kali selama kehamilan dalam waktu sebagai berikut : Satu kali kunjungan selama trimester satu (< 14 minggu), Satu kali kunjungan selam trimester kedua (antara minggu 14 – 28 ), Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (antara minggu 28 – 36 dan sesudah minggu ke 36 ). Menurut Saifuddin (2002) Tujuan dari ANC yaitu untuk Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang janin. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, maternal dan sosial ibu dan bayi. Mengenal secara dini adanya komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan pembedahan. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin, serta menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal. Banyak faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemeriksaan kehamilan antara lain tingkat pengetahuan ibu, lingkungan serta faktor pekerjaan ibu yang berpengaruh terhadap keteraturan pemeriksaan kehamilan. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian besar ibu nifas memiliki riwayat teratur melakukan ANC yaitu minimal empat kali melakukan kunjungan selama kehamilan. Hal ini dikarenakan faktor pendidikan dan sosial ekonomi yaitu hampir seluruhnya ibu nifas memiliki pendidikan menengah serta dari sosial ekonomi, dilihat dari pekerjaan sebagian besar ibu bekerja. Sehingga kesadaran akan pentingnya melakukan kunjungan antenatal secara teratur guna mangetahui masalah – masalah maupun kelainan – kelainan yang mungkin ada atau timbul selama kehamilan segera dapat dicegah dan diatasi. Sedangkan pada ibu yang tidak teratur melakukan kunjungan ANC hal ini kemungkinan dikarenakan tingkat sosial ekonomi dan pengetahuan ibu yang rendah. 2. Kejadian Preeklampsi pada Ibu Nifas Berdasarkan tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa dari 41 responden sebagian besar 26 ibu nifas (63,42 %) tidak mengalami preeklampsi Menurut Prawirohardjo (2010) Pre eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinurine yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Menurut Fraser (2009) Preeklampsi pada kehamilan dan persalinan sebagian besar berlanjut pada masa nifas. Pada ibu nifas kejang dapat terjadi untuk pertama kalinya setelah melahirkan. Oleh karena itu pasien harus diobservasi dengan seksama. Faktor – faktor predisposisi pre eklampsi pada ibu nifas antara lain faktor internal seperti Usia, Paritas, Obesitas, Pre eklampsia pada kehamilan sebelumnya, Riwayat hipertensi JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 9 Vol. 4 No 1 Juni 2012 kronik, DM. Sedangkan faktor eksternal seperti Riwayat eklampsia keluarga, Sosio Ekonomi dan Keteraturan ANC. Usia yang beresiko terkena preeklampsi adalah usia < 18 tahun atau > 35 tahun (Bobak, 2004). Pada kehamilan < 18 tahun, keadaan alat reproduksi yang belum siap untuk menerima kehamilan akan meningkatkan terjadinya keracunan kehamilan, dalam bentuk preeklampsi dan eklampsi (Manuaba, 1998). Sedangakn pada usia 35 tahun atau lebih, dimana pada usia tersebut terjadi perubahan pada jaringan dan alat – alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi. Selain itu ada kecenderungan didapatkan penyakit lain dalam tubuh ibu, antara lain salah satunya tekanan darah tinggi dan eklampsia (Rochjati, P, 2003) Faktor resiko lain yang berkaitan dengan preeklampsi adalah paritas. Dimana pada primigravida frekuensinya lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda (Wiknjosastro, H, 2002). Wanita yang baru menjadi ibu atau dengan pasangan baru mempunyai risiko 6 sampai 8 kali mudah terkena preeklampsi daripada multigravida (Bobak, 2004). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar ibu nifas tidak mengalami preeklampsi. hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor predisposisi preeklampsi seperti faktor usia yaitu sebagian besar ibu memiliki usia reproduksi sehat dan sebagian besar ibu memiliki kesadaran akan pentingnya melakukan kunjungan antenatal secara teratur guna mengetahui masalah – masalah maupun kelainan – kelainan yang mungkin ada atau timbul selama hamil segera dapat dicegah dan diatasi sehingga tidak berlanjut ke masa nifas. Sedangkan pada ibu yang preeklampsi dapat dilihat sebagian besar ibu nifas adalah primipara serta dapat disebabkan ibu nifas memiliki riwayat preeklampsi pada kehamilan sebelumya, hamil dengan hidramnion, selain itu juga adanya faktor, usia, pendidikan dan pekerjaan yang menyertai ibu. 3. Hubungan antara Keteraturan ANC dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Nifas Berdasarkan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan keteraturan ANC dengan kejadian preeklampsi. Dari tabel 4.7 dapat dijelaskan bahwa dari kelompok responden teratur melakukan ANC hampir setengahnya 19 ibu nifas (46,34%) tidak mengalami preeklampsi dan dari kelompok responden tidak teratur melakukan ANC, sebagian kecil 10 ibu nifas (24,39 %) mengalami preeklampsi. Menurut Prawirohardjo (2010) pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini pre eklampsi, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Walaupun timbulnya pre eklampsi tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil. Teori ini di dukung oleh Fairlie, Sibay, 1993 dalam Bobak (2004) yang mengatakan bahwa prognosis pre eklampsia meningkat pada ibu yang hanya mendapat sedikit perawatan antenatal atau ibu yang sama sekali tidak mendapat perawatan prenatal. Antenatal care merupakan upaya pemeriksaan terhadap wanita hamil guna menyiapkan sebaik-baiknya fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga post partum mereka sehat dan normal. Tidak hanya fisik akan tetapi juga mental (Wiknjosastro, H, 2002). Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan ChiSquare didapatkan χ2 hitung = 4,66 dengan α = 0,05, df=1 dan χ2 tabel = 3,84 sehingga χ2 hitung (4,66) > χ2 tabel (3,84), maka H1 diterima artinya ada hubungan antara keteraturan ANC dengan kejadian preeklampsi pada ibu nifas. Penelitian ini sesuai dengan teori Menurut Prawirohardjo (2010) yaitu pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini pre eklampsi, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Walaupun ada 5 ibu nifas dari 24 responden dari kelompok teratur melakukan ANC dan terjadi preeklampsi hal ini dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi kejadian preeklampsi selain keteraturan ANC yaitu usia, paritas serta riwayat preeklampsi. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Keteraturan ANC pada ibu nifas sebagian besar adalah teratur melakukan ANC 2. Kejadian preeklampsi pada ibu nifas sebagian besar adalah tidak terjadi preeklampsi 3. Ada hubungan antara keteraturan ANC dengan kejadian preeklampsi pada ibu nifas DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 10 Angsar, D, 2004. Kuliah Dasar “Hipertensi dalam Kehamilan” Edisi II. Surabaya : Airlangga pers. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Asrinah, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Persalinan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta : EGC. Bobak, Lowdermilk, Jensen. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC. Cuningham, F. Gary, 2005. Obstetri Wiliams. Jakarta : EGC. Fraser, D. Margaret A. Cooper (Ed). 2009. Myles Buku Ajar Bidan. Edisi 14. Cetakan 1. Jakarta : EGC. Harker dan Moore, 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi Edisi 2 Penerjemah Joko Suyono. Jakarta : Hipokrates. Hidayat, Aziz. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: EGC. Indiarti, M.T. 2009. Langsing & Sehat Pasca Melahirkan Ala Selebritis. Yogyakarta: Genius Publisher. Jordan, Sue, 2003. Farmakologi Kebidanan. Jakarta : EGC Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC. Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC. Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Penulisan Skripsi, Thesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika . 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Penulisan Skripsi, Thesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam dan Siti Pariani, 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Vol. 4 No 1 Juni 2012 18. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. YBP-SP 19. Potter, P. A, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC. 20. Rochjati, Poedji. 2003. Srining Anternatal Pada Ibu Hamil, Pengendalian Faktor Risiko, Deteksi Dini Ibu Hamil Resiko Tinggi. Surabaya : Airlangga University Press. 21. Saifuddin, A. B., 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Ksehatan Maternan dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Biro Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 22. Salmah, dkk. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC 23. Sujiyatini, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan II (Persalinan). Yogyakarta: Rohima Press. 24. Suherni, dkk. 2009. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya. 25. Sulistyawati, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Yogyakarta : ANDI. 26. Varney, Helen, Jon M. Kriebs, Carolyn L. Gregor. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi 4 volume 1. Jakarta. EGC 27. Wijayarini, M. A., 2001, Safe Motherhood Modul Eklampsia Materi Pendidikan Kebidanan. Jakarta : EGC. 28. Wiknjosastro, H. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 11 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Dengan Personal Hygene Organ Reproduksi ((1)Ria Yukotan Matun Nadhiroh,S.SiT., M.P.H (1)Mahasiswa D.III Kebidanan Insan Se Agung Bangkalan (2)Dosen D.III Kebidanan Insan Se Agung Bangkalan (2)A’im ABSTRAK Personal hygene organ reproduksi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menjaga kebersihan organ reproduksi. Tindakan tersebut akan bersifat langgeng jika didasari oleh pengetahuan yang baik dan sikap yang positif tentang kesehatan reproduksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja dengan personal hygene organ reproduksi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik dengan desain cross sectional. Populasinya adalah remaja putri di Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan sebanyak 125 0rang. Dengan tehnik sampling simple random sampling. Besar sampel 95 responden. Varabel independennya adalah pengetahuan dan sikap. Variabel dependennya adalah personal hygene organ reproduksi. Pengolahan datanya menggunakan distribusi frekuensi, tabulasi silang, uji statistiknya dengan rank spearmann dan chi square. Hasil penelitian dari 95 responden diperoleh sebanyak 75 remaja putri (78,95%) memiliki pengetahuan baik, sebanyak 67 remaja putri (70,53%) memiliki sikap negatif, sebanyak 77 remaja putri (80%) melakukan personal hygene organ reproduksi. Berdasarkan uji statistik rank spearman menunjukkan bahwa p=0,002 < α=0,05 artinya ada hubungan pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi. Dan berdasarkan uji chi square menunjukkan p=0,835 > α=0,05 artinya tidak ada hubungan sikap dengan personal hygene organ reproduksi. Maka dari itu bidan sebagai tenaga kesehatan diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai pendidik dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang kesehatan reproduksi remaja khususnya di lingkup pondok pesantren. Kata kunci : Pengetahuan, Sikap dan Personal hygene organ reproduksi ABSTRAC Personal hygene of reproduction organt is an action that which done to keep clean reproduction organt. This action could be everlasting which based by a good knowledge and postive behaviour about reproduction health. The destination of this eksperiment is to know the knowledge correlation and the girl youth behaviour about reproduction health with personal hygene. In this experiment used analitic experiment kinds with cross sectional experiment design. The populations use the girls youth in Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan for about 125 girl. The sample technique used simple random sampling. The sampel are 95 respondent. Independent variable is knowledge and behaviour. The dependent variable is personal hygene of reproduction organt. The data processing uses frequencies distribution, cross tabs, and statistic test is rank spearmann and chi square. The experiment result from 95 respondent got from 75 (78,95) had good knowledge, 67 (70,53%) young girls had negative behaviour in youth reproduction health. In 77 (80%) young girls did personal hygene of reproduction organt. Based statistic test rank spearmann showed that p=0,002 < α=0,05 it means that there is correlations betwen knowledge and personal hygena of reproduction organt. Based chi square test showed that p=0,835 > α=0,005) it means that there is not correlations betwen behaviour and personal hygene. So midwife as healhty labour hope can develope their role as teacher in giving healthy education and conselling about youth reproduction health especially in pondok pesantren environment. Keyword : knowledge, Attitude, Personal hygene JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 12 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Latar Belakang Remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa, dimana terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapainya fertilitas dan terjadi perubahan perubahan psikologik serta kognitif. Untuk tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan Biofisikopsikososial (Soetjiningsih, 2004). Seiring dengan perubahan organ-organ reproduksi yang semakin matang pada remaja, menyebabkan dorongan dan gairah seksual remaja makin kuat dalam dirinya. Padahal dalam kenyataanya remaja belum mampu mengolah informasi yang diterima tersebut secara benar. Akibatnya perilaku seksual remaja seringkali tidak terkontrol dengan baik (Dariyo, 2004). Hal ini terbukti dengan survei kesehatan reproduksi remaja indonesia (SKRI) tahun 2007 persentase perempuan dan lelaki yang memiliki pengalaman seks untuk pertama kali pada usia <15 tahun sebanyak 1,0%, usia 16 tahun sebanyak 0,8%, usia 17 tahun sebanyak 1,2%, usia 18 tahun sebanyak 0,5%, usia 19 tahun sebanyak 0,1%. Serta alasan melakukan hubungan seksual pertama kali sebelum menikah pada remaja usia 15-24 tahun ialah untuk perempuan alasan tertinggi adalah karena terjadi begitu saja sebanyak 38,4%, dipaksa oleh pasangan sebanyak 21,2%. Sedangkan pada lelaki, alasan tertinggi ialah karena ingin tahu sebanyak 51,3%, terjadi begitu saja sebanyak 25,8%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual remaja yang seperti itu nantinya akan mengancam kesehatan reproduksi remaja dan pada akhirnya akan memicu timbulnya infeksi menular seksual yang merupakan salah satu masalah kesehatan yang dialami oleh remaja dan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah atau badan kesehatan lainnya. Saat ini infeksi menular seksual (IMS) yang paling banyak ditemukan adalah syphilis dan gonorrhea. Prevalensi infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yakni dengan prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%, Di kota Surabaya prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8% dan gonorrhea 19,8%, Sedang di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8%, syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7%. Di Medan, kejadian syphilis terus meningkat setiap tahun. Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan pada tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005 meningkat menjadi 22,1%. Kebanyakan penderita penyakit menular seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari ibunya (Lestari, 2008). Selain klamidia, sifilismaupungonore, infeksi Human Immunodefficiency Virus / Acquired Immune Defficiency Syndrom (HIV/ AIDS) saat ini menjadi perhatian karena peningkatan angka kejadian yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Diperkirakan jumlah orang dengan HIV di Indonesia pada akhir tahun 2003 mencapai 90.000-130.000 orang. Sampai dengan desember 2008, pengidap HIV positif yang terdeteksi sebanyak 6.015 kasus. Sedangkan kumulatif kasus AIDS sebanyak 16.110 atau terdapat tambahan 4.969 kasus baru selama tahun 2008. Kematian karena AIDS hingga tahun 2008 sebanyak 3.362 kematian (Depkes, 2009). Salah satu dari upaya tersebut maka peneliti akan bermaksud mengadakan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi dengan personal hygene organ reproduksi di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah dengan pertimbangan bahwa dalam lingkup pondok pesantren tidak ada konsep pembelajaran kesehatan reproduksi. Serta kurangnya akses untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan what. Apabila pengetahuan mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara umum, maka terbentuklah disiplin ilmu (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan merupakan segala apa tentang alam yang dapat dialami atau dianjurkan sehingga orang yang berpengetahuan itu diartikan sebagai orang yang banyak mengetahui atau menyaksikan, mengalami dan banyak diajari (Makmun, 2000). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Dari beberapa pengertian pengetahuan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu manusia yang diperoleh melalui pengamatan indra sehingga hasil dari tahu tersebut akan digunakan untuk mengkaji objek tertentu dan nantinya akan menjadi suatu disiplin ilmu. Menurut Notoatmodjo (2003) tingkat pengetahuan dapat dibagi menjadi 6, meliputi : 1. Tahu (Know) 2. Memahami (Comprehension) 3. Aplikasi (Application) 4. Analisa 5. Sintesis (Syntesis) 6. Evaluasi (Evaluation) Menurut Anwar (2007) faktorfaktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang meliputi : Faktor Internal : Pendidkan, Minat, Intelegensi. Faktor Eksternal : media masa, pengalaman, sosial budaya, lingkungan, penyuluhan, informasi. Menurut Arikunto ( 2005) kriteria pengetahuan yaitu pengukuran pengetahuan yang dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek peneliti atau responden kedalam pengetahuan yang ingin atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan tersebut diatas, sedangkan diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingaktan tersebut diatas, sedangkan kualitas pengetahuan pada masing-masing tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan kriteria, yaitu : 1. Tingkat pengetahuan baik jika jawaban responden dari kuesioner yang benar 76 – 100% 2. Tingkat pengetahuan cukup jika jawaban responden dari kuesioner yang benar 56 – 75% 3. Tingkat pengetahuan kurang jika jawaban responden dari kuesioner yang benar <56% Konsep Dasar Sikap Pengertian sikap menurut Azwar (2003) sebagai berikut: sikap adalah suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipasif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah di kondisikan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Sikap tidak lain adalah efek atau penilaian positif atau negative terhadap suatu objek. Menurut Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan/kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Berdasarkan beberapa pengertian sikap di atas, dapat di katakan sikap adalah penilaian tentang suatu objek sehingga orang tersebut dapat memihak atau tidak memihak terhadap suatu objek. Azwar (2003) merumuskan komponen sikap terdiri dari komponen kognitif (kepercayaan atau beliefs), komponen JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 13 Vol. 4 No 1 Juni 2012 emosional (perasaan atau efektif) dan komponen perilaku (tindakan). 1. Komponen Kognitif Berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. 2. Komponen Afektif Menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum komponen ini di samakan dengan perasaan yang di miliki terhadap sesuatu. Namaun pengertian perasaan pribadi sering kali sangat berbeda perwujudannya bila di kaitkan dengan sikap. 3. Komponen Perilaku Dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang di hadapinya. Kaitan ini mempengaruhi perilaku. Dalam Notoatmodjo (2005) sikap teriri dari empat tingkatan, yaitu: 1. Menerima (receiving). Di artikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang di berikan (objek). 2. Merespon (resporiding). Artinya memberikan jawaban apabila di Tanya, mengerjakan tugas yang di berikan. 3. Menghargai (valuing). Di artikan mengajak orang lain mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah. Bertanggung jawab (responsible). Artinya bertanggung jawab atas segala yang telah di pilihnya dengan segala resiko Konsep Dasar Remaja Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa, dimana remaja adalah mereka yang mencakup usia 10-19 tahun dan belum menikah. Masa remaja disebut pula masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanakkanak dengan masa dewasa. Pada peride ini terjadi perubahan besar dan essensial mengenai kematangan rohaniah dan jasmaniah terutama fungsi seksualnya (Depkes RI, 2003). Menurut Hurlock yang dikutip oleh dariyo (2004) menyatakan bahwa Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Menurut Piaget, secara psikologis masa remaja adalah masa dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada di tingkatan yang sama. Dari beberapa definisi remaja diatas maka remaja dapat diartikan sebagai masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Dalam masa peralihan ini terjadi perubahan psikis dan fisik yang menyertai sehingga pada masa ini sangat penting bagi remaja dalam kehidupannya. Hurlock berpendapat bahwa remaja terbagi atas dua masa yaitu remaja awal adalah individu yang berusia 13 atau 14-17 tahun dan remaja akhir adalah individu yang berusia 17-21 tahun (Dariyo, 2004). Yusuf (2002) menyebutkan bahwa batasan remaja dibagi menjadi tiga yaitu remaja awal, madya dan akhir. Remaja awal adalah individu yang berusia 12-15 tahun. Remaja madya adalah individu yang berusia 15-18 tahun. Remaja akhir adalah individu yang berusia 19-22 dan sesudahnya. Tahap Perkembangan Remaja 1. Perkembangan Fisik Perkembangan hormon pada remaja putri menyebabkan mereka mulai mengalami menstruasi. Pertumbuhan payudara dan munculnya tanda kelamin sekunder seringkali menyebabkan kecanggungan bagi remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya (Sarwono, 2002). 2. Perkembangan Psikis Perkembangan psikis pada masa remaja biasanya ditandai dengan keadaan emosi yang tidak stabil dan tidak terkendali, kecenderungan untuk menyendiri, kesadaran untuk merawat diri sendiri dalam hal penampilan, meragukan konsep dan keyakinan akan religiusnya, meningkatnya keingintahuan tentang seks, dansebagainya (Dariyo, 2004). Dariyo pada tahun 2004 menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja terdiri dari 3 faktor, yaitu : 1. Faktor endogen Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh fakto internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orangtuanya, misalnya : postur tubuh, bakat-minat, kecerdasan, kepribadian. Kondisi fisik atau psikis yang sehat, normal dan baik menjadi predisposisi bagi perkembangan berikutnya. 2. Faktor Eksogen Pandangan factor eksogen menyatakan bahwa perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh factor yang berasal dari luar diri individu itu sendiri, yang berupa lingkungan fisik maupun lingkungan social. Lingkungan fisik berupa tersedianya sarana dan fasilitas, letak geografis, cuaca dan iklim. Sedangkan lingkungan social adalah lingkungan dimana remaja mengadakan relasi/ interaksi dengan individu atau sekelompk individu lainnya. 3. Interaksi antara Indogen dan Eksogen Kedua faktor ini saling berpengaruh sehingga terjadi interaksi antara factor internal dan eksternal yang membentuk kemudian mempengaruhi perkembangan individu. Oleh karena itu dalam memandang dan memprediksi perkembangan seseorang harus melibatkan kedua factor tersbut secara utuh. Menurut Sarwono (2000) faktor-faktor yang berperan dalam permasalahan seksual pada remaja adalah : 1. Meningkatnya libido seksualitas 2. Penundaan usia perkawinan 3. Tabu dan larangan 4. Kurangnya informasi tentang seks 5. Pergaulan yang semakin bebas Konsep Kesehatan Reproduksi Remaja Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran dan sistem reproduksi (Rostina, 2008). Menurut Kartono dalam Nastiti (2009) kesehatan reproduksi remaja adalah keadaan sehat yang menyeluruh meliputi aspek fisik, mental dan sosial serta tidak ada penyakit, gangguan yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses reproduksi itu sendiri. Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Rostina, 2008). Moeliono (2003) menjelaskan bahwa komponen kesehatan reproduksi remaja terdiri dari : 1. Organ Reproduksi Organ reproduksi adalah bagian tubuh yang berfungsi untuk melanjutkan keturunan. Organ reproduksi pada wanita meliputi indung telur (ovarium), umbai-umbai (fimbrae), saluran telur (tuba falopi), rahim (uterus), leher rahim (serviks), liang kemaluan (vagina), bibir kelamin (labia). Organ reproduksi pada laki-laki meliputi batang zakar (penis), saluran kencing (uretra), kantong pelir (skrotum), epididimis, saluran sperma dan kelenjar prostat. 2. Menstruasi atau haid JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 14 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Menstruasi atau haid adalah proses keluarnya cairan bercampur darah dari vagina perempuan. Cairan ini berasal dari dinding Rahim perempuan yang luruh. Menstruasi kadang-kadang disertai rasa sakit/ mules, bau badan, emosi, dll. Pada waktu haid, pakailah pembalut, yang harus sering diganti (sekitar 4 jam sekali) & cuci vagina dengan bersih. 3. Kehamilan pada remaja Hubungan seks satu kali saja bisa mengakibatkan kehamilan yang tak diharapkan dan atau penyakit. Kehamilan bisa terjadi karena organ reproduksi sudah matang, tetapi tidak berarti remaja siap secara fisik, mental dan sosial untuk mengandung, melahirkan, dan mengasuh bayi. Karena akan banyak persoalan muncul. 4. Onani atau mastrubasi Onani adalah aktivitas menyentuh atau meraba bagian tubuh dengan tujuan untuk merangsang secara seksual dirinya sendiri. Aktivitas ini dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Menurut pertimbangan medis onani tidak membahayakan kesehatan selama tidak merusak bagian tubuh. Mitos yang mengatakan bahwa onani dapat menyebabkan kabutaan, kerusakan syaraf dan kemandulan adalah tidak benar. Secara psikologis onani banyak menimbulkan dampak antara lain ketagihan, pikiran terus mengarah pada masalah seks sehingga konsentrasi menurun, dapat mengganggu aktivitas belajar, membuat orang cepat lelah dan menurunkan produktivitas karena onani menghabiskan energi. 5. Penyakit Menular Seksual Hubungan seks satu kali saja juga bisa menularkan penyakit bila dilakukan dengan orang yang sudah tertular salah satu penyakit. Ada banyak sekali jenis penyakit menular seksual dari yang paling ringan sampai yang paling berbahaya sehingga perlu penanganan oleh dokter. Macammacam penyakit menular seksual antara lain adalah syphillis (raja singa), gonorre, herpes genitalis, dan lain-lain. Akibat penyakit menular seksual adalah infeksi saluran reproduksi, kemandulan, keguguran kandungan, kanker mulut rahim, dan cacat janin. Cara pencegahannya dengan tidak melakukan hubungan seks pada usia remaja dan tidak bergantiganti pasangan seks (Masri, 2009). 6. HIV/ AIDS Salah satu virus yang bisa ditularkan melalui hubungan seksual adalah HIV/AIDS (Human Immunodefficiency Virus/ Acquired Immune Defficiency Syndrome). HIV adalah virus yang merusak kekebalan tubuh. AIDS kumpulan gejala penyakit karena infeksi yang memperlemah sistem kekebalan tubuh. Karena system kekebalan tubuh rusak maka tubuh tidak dapat menolak berbagai penyakit yang datang dan akhirnya tubuh diserang berbagai penyakit yang biasanya bisa dilawan tubuh (diare, tbc, dll). HIV ditularkan hanya melalui cairan tubuh orang yang sudah terinfeksi: cairan dari vagina/ sperma dan cairan darah. Virus HIV hanya bisa diketahui melalui test darah . Penularannya cukup lama yaitu 5 - 10 tahun. Selama itu penderita tidak terlihat sakit, tapi setelah itu bisa sakit parah dan meninggal. Konsep Personal Hygene Organ Reproduksi Wanita mempunyai organ reproduksi yang berfungsi sebagai jalan masuk sperma ke dalam tubuh perempuan dan sebagai pelindung organ kelamin dalam dari berbagai organisme penyebab infeksi. Organisme penyebab infeksi dapat masuk ke organ dalam perempuan karena saluran reproduksi perempuan memiliki lubang yang berhubungan dengan dunia luar, sehingga mikroorganismepenyebab penyakit bisa masuk dan menyebakan infeksi. Anatomi organ reproduksi perempuan terdiri atas vulva, vagina, serviks, rahim, saluran telur, dan indung telur (Wiknjosastro, 2005). Alat reproduksi merupakan salah satu organ tubuh yang sensitif dan memerlukan perawatan khusus. Pengetahuan dan perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam memelihara kesehatan reproduksi. Adapun cara menjaga kebersihan organ reproduksi menurut ari (2010) antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Setelah Buang Air Kecil Atau Buang Air Besar Usahakan untuk selalu mencuci bagian luar alat kelamin dengan air dan sabun. Dan siramlah dengan air dengan arah depan ke belakang dan bukan sebaliknya. Hal ini untuk mencegah masuknya kuman dari dubur ke vagina. Kebersihan Pakaian Dalam Sepatutnya dalam sehari, minimal mengganti pakaian dalam sebanyak dua kali untuk menjaga kebersihan. Selain itu pilihlah bahan celana dalam yang dapat mudah menyerap keringat, karena jika tidak jamur bisa menempel di alat kelamin. Hindari untuk saling bertukar pakaian dalam dengan orang lain bahkan itu keluarga sendiri, karena setiap orang memiliki kondisi kelamin yang berbeda. Menggunakan Toilet Umum Siramlah sebelum menggunakan (flushing), Hal ini untuk mencegah penularan jika ada pengguna lainnya adalah penderita penyakit kelamin. Sebaiknya gunakan selalu air yang keluar melalui keran atau tissu dan hindari penggunaan dari bak atau ember, karena menurut penelitian air yang tergenang di toilet umum mengandung 70% jamur candida albicans (penyebab keputihan dan rasa gatal pada vagina). Merawat Rambut yang Tumbuh di Sekitar Alat Kelamin Hindari membersihkan bulu di daerah kemaluan dengan cara mencabut karena akan ada lubang pada bekas bulu kemaluan tersebut dan menjadi jalan masuk bakteri, kuman, dan jamur. Selanjutnya dapat menimbulkan iritasi dan penyakit kulit. Perawatan bulu itu disarankan untuk dirapikan saja dengan memendekkan, dengan gunting atau dicukur tetapi sebelumnya menggunakan busa sabun terlebih dahulu dan menggunakan alat cukur khusus yang lembut, dan sudah dibersihkan dengan sabun dan air hangat. Menurut Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa dengan mencukur bulu pubis, kebersihan bulu pubis akan selalu terjaga, sehingga tidak menjadi media kehidupan kutu dan jasad renik, serta aroma yang tidak sedap. Rambut-rambut tersebut berfungsi untuk kesehatan alat kelamin, yaitu berguna untuk merangsang pertumbuhan bakteri baik yang melawan bakteri jahat serta menghalangi masuknya benda asing kecil ke dalam vagina, Sehingga perlu rajin menjaganya agar tidak menjadi sarang kutu dan jamur. Pemakaian Pantyliner Pemakaian pantyliner tidak dianjurkan digunakan setiap hari, sebaiknya Pantyliner hanya digunakan ketika keputihan. Akan lebih baik jika membawa celana dalam pengganti dari pada menggunakan pantyliner tiap hari. Hindari Menggunakan Celana Dalam dan Celana Jeans yang Sangat Ketat. Memakai celana dalam dan celana jeans yang terlalu ketat di wilayah selangkangan dapat menyebabkan kulit susah untuk bernafas dan akhirnya dapat menyebabkan daerah tersebut berkeringat, lembab, mudah terkena jamur dan teriritasi. Hindari Untuk Menyemprot Minyak Wangi atau Parfum ke dalam Vagina Hal ini jangan di lakukan karena untuk menstabilkan tingkat keasaman vagina, di mana vagina itu sendiri JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 15 Vol. 4 No 1 Juni 2012 8. 9. terdapat lendir yang berfungsi untuk menghadang bakteri yang masuk ke vagina. Setia Pada Pasangan Sendiri Hal ini juga merupakan salah satu tips menjaga dan merawat alat kelamin, karena dengan sering melakukan hubungan seks bebeda-beda pasangan maka kemungkinan akan berisiko terkena penyakit kelamin. Mengganti Pembalut Bagi para wanita yang sedang menstruasi/haid untuk tidak malas mengganti pembalut karena ketika menstruasi kuman-kuman mudah untuk masuk dan pembalut yang telah ada gumpalan darah merupakan tempat berkembangnya jamur dan bakteri. Usahakan untuk mengganti setiap 4 jam sekali, 2-3 kali sehari atau sudah merasa tidak nyaman. Jangan lupa bersihkan vagina sebelumnya ketika mengganti pembalut. 10. Pemeriksaan Rutin Usahakan untuk selalu melakukan pemeriksaan rutin pada alat kelamin. Jika terdapat sesuatu yang tidak seperti biasanya dan tidak terasa nyaman seperti munculnya benjolan kecil di sekitar alat kelamin, segera konsultasikan ke dokter juga. dan Jika ada perubahan warna, kadang disertai bau yang kurang sedap dan gatal-gatal pada alat kelamin, segeralah berkonsultasi ke dokter. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Personal Hygiene Organ Reproduksi Menurut Notoatmodjo (2007) dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Faktor internal Yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat pendidikan, tingkat emosional, konsep diri, jenis kelamin dan sebagainya. 2. Faktor eksternal Yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang dalam menjaga kesehatan organ reproduksi, karena seseorang akan cenderung menyesuaikan dan mengikuti perilaku hygiene organ reproduksi sesuai dengan kebiasaan yang ada di lingkungannya. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers tahun 1974 yang dikutip oleh Suryani (2008) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: 1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus 3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulut tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku. 5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independent dan variabel dependent hanya satu kali pada satu saat. Populasi penelitian ini adalah semua remaja putri yang berada di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan-Bangkalan sebanyak 95 orang. Dalam penelitian ini tidak menggunakan tehnik sampling karena besar sampel adalah total populasi. Sampel diambil dari total populasi sebanyak 95 remaja putri di Pondok pesantren putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan. Kriteria Inklusi dalam penelitian ini adalah : 1. Remaja putri 2. Berada di Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan 3. Bersedia menjadi responden HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan pada bulan Mei sampai Juni 2011. Hasil penelitian ini merupakan gambaran karakteristik responden dari variabel yang diteliti meliputi pengetahuan dan sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja serta personal hygene organ reproduksi. Data Umum a. Umur Remaja Putri Tabel 1 Distribusi frekuensi usia remaja putri di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan pada bulan Juni 2011 Usia 14-15 Tahun 16-17 Tahun 18-19 Tahun Total Frekuensi 29 54 12 95 Persentase (%) 30,53 56,84 12,63 100 Dari tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri di Pondok pesantren putri Al-Hidayah berusia 16-17 tahun sebanyak 54 orang atau 56,84%. b. Pendidikan Terakhir Orang Tua Tabel 2 Distribusi frekuensi pendidikan terakhir orang tua remaja putri di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan Pada Bulan Juni 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total Ayah 0 59 22 9 5 95 Frekuensi (%) Ibu 0 4 62,11 67 23,16 20 9,47 2 5,26 2 100 95 (%) 4,21 70,53 21,05 2,11 2,11 100 Dari tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan orang tua adalah Sekolah Dasar (SD) sebanyak 59 ayah atau 62,11% dan sebanyak 67 ibu (70,53). c. Data Asal Tempat Tinggal Tabel 3 Distribusi frekuensi asal tempat tinggal remaja putri Di Pondok Pesantren Putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan pada bulan Juni 2011 JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 16 No Asal Tempat Frekuensi Persentase Vol. 4 No 1 Juni 2012 1. 2. Tinggal Bangkalan Luar Kota Bangkalan Total 4 91 (%) 4,22 95,78 95 100 Dari tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri di Pondok pesantren putri Al-hidayah jangkebuan Bangkalan berasal dari luar kota Bangkalan yaitu 95,78% atau sebanyak 91 orang. 2. Data Khusus a. Pengetahuan Tabel 5 Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi remaja putri di Pondok pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan-Bangkalan pada bulan Juni 2011 N o Tingkat Pengetahuan Pengetahua n Baik Frekuen si Persentase (%) Cukup Kurang 1 Baik 75 78,95 2 Cukup 17 17,89 3 Kurang 3 3,16 95 100 Total d. Tabulasi silang pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi Tabel 8 Tabulasi silang pengetahuan remaja putri dengan personal hygene organ reproduksi di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan reproduksi pada bulan Juni 2011 1. 2. Personal hygene organ reproduksi Melakukan Tidak melakukan Jumlah f % 3 14,8 6 22,2 2 100 7 4 1 8 3 1 8 18,9 5 9 5 10 0 10 0 10 0 10 0 1 1 4 0 81.0 5 Persentase (%) 29,47 70,53 100 Dari tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri di pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan memiliki sikap negatif 71,58% atau sebanyak 68 orang. c. Personal hygene organ reproduksi Tabel 7 Distribusi frekuensi personal hygene organ reproduksi remaja putri di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan pada bulan Juni 2011 No 7 7 85,1 4 77,7 8 Total Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa dari 74 remaja putri yang memiliki pengetahuan baik tentang kesehatan reproduksi remaja, yang melakukan personal hygene organ reproduksi sebanyak 63 orang (85,14%). Dan sisanya sebanyak 11 remaja putri atau 14,86% tidak melakukan personal hygene organ reproduksi. Dari 18 remaja putri yang memiliki pengetahuan baik dan melakukan personal hygene organ reproduksi sebanyak 14 orang (77,78%). Dan sebanyak 4 orang (22,22%) tidak melakukan personal hygene organ reproduksi. Dari 3 remaja putri yang memiliki pengetahuan kurang tidak ada yang melakukan personal hygene organ reproduksi. b. Sikap Tabel 6 Distribusi frekunsi sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah JangkebuanBangkalan pada bulan Juni 2011 Frekuensi 27 67 95 6 3 1 4 0 Jumlah Berdasarkan tabel 5 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja putri di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi remaja yaitu sebanyak 75 orang atau 78,95%. No Sikap 1. Positif 2. Negatif Jumlah Personal hygene organ reproduksi Melakuka Tidak n Melakuka n f % f % Frekuensi 77 18 95 e. Tabulasi silang sikap dengan personal hygene organ reproduksi Tabel 4.9 Tabulasi silang sikap dengan personal hygene organ reproduksi remaja putri di Pondok Pesantren Putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan pada bulan Juni 2011 Persentase (%) 80 20 100 Berdasarkan tabel 7 dapat disimpulkan bahwa 80% atau sebanyak 76 remaja putri di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan-Bangkalan melakukan personal hygene organ reproduksi. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 17 Sikap Positif Negatif Jumlah Personal hygene organ reproduksi Melakukan Tidak Melakukan f % f % 23 54 77 82,14 80,60 81,05 5 13 18 17,86 19,40 18,95 Total f % 28 67 95 100 100 100 Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa dari 28 remaja putri yang memiliki sikap positif tentang kesehatan Vol. 4 No 1 Juni 2012 reproduksi remaja dan melakukan personal hygene organ reproduksi sebanyak 23 orang (82,14%). Sisanya sebanyak 5 orang remaja(17,86%) tidak melakukan personal hygene organ reproduksi. Dari 67 remaja putri yang memiliki sikap negatif, dan yang melakukan personal hygene organ reproduksi sebanyak 54 orang (80,60%). Sisanya sebanyak 13 orang (19,40%) tidak melakukan personal hygene organ reproduksi. f. Hubungan pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi di Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan pada bulan Juni 2011 Tabel 4.10 Hubungan pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi di Pondok pesantren putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan pada bulan Juni 2011 Pengetahuan p.hygene pengetahuan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N p.hygene Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N 1.000 .318** . .002 95 95 .318** 1.000 .002 . 95 95 Dari tabel 4.10 menunjukkan bahwa nilai probability lebih kecil dari tingkat signifikan (0,002 < 0,005) berarti ada hubungan pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi. g. Hubungan sikap dengan personal hygene organ reproduksi di Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan Tabel 5.1 Hubungan sikap dengan personal hygene organ reproduksi di Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan Value df Pearson ChiSquare Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb Asymp. Sig. (2sided) .238a 1 .626 .044 1 .835 .243 1 .622 Exact Sig. Exact Sig. (2-sided) (1-sided) .782 .235 1 .425 .627 95 Tabel 5.1 menunjukkan bahwa nilai probability lebih besar dari nilai signifikan (0,835 > 0,005) berarti tidak ada hubungan antara sikap remaja putri dengan personal hygene organ reproduksi. Pembahasan Setelah diperoleh hasil pengumpulan data dan tabulasi silang serta uji statistik maka dapat diketahui hubungan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja dengan personal hygene organ reproduksi di Pondok Pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut : Pengetahuan Remaja putri Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan hasil bahwa sebagian besar remaja putri di Podok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi remaja dengan jumlah 75 orang atau 78,95%. Pengetahuan remaja yang baik bisa disebabkan karena pendidikan. Menurut Anwar (2007) menyatakan bahwa pendidikan adalah salas satu usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi manusia agar menjadi manusia yang memiliki kecerdasan, kekuatan spiritual serta keterampilan. Selain itu, tingkat pengetahuan juga bisa dipengaruhi oleh adanya informasi, karena tingkat pengetahuan itu sendiri mampu dikembangkan manusia disebabkan karena dua hal, yakni : pertama kemampuan berfikir manusia menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu atau disebut juga dengan penalaran, sebab kedua manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut, karena dengan memperoleh informasi akan menguatkan keyakinan seseorang untuk mencapai tujuan (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan hasil penelitian serta teori yang sudah dikemukakan, maka pendidikan yang dimiliki oleh remaja berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan, dalam hal ini remaja memiliki pendidikan sesuai dengan usianya (14-19 tahun). Sehingga remaja putri di Pondok pesantren putri Al-hidayah memilki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi remaja. Selain itu informasi juga mempengaruhi pengetahuan remaja dalam pemahaman kesehatan reproduksi. Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat menunjang pengetahuan yang dimilikinya selain dari pendidikan yang dikenyam oleh remaja. Informasi yang didapat oleh remaja bersumber dari adanya fasilitas kesehatan dan PIKER yang ada di lingkup pondok pesantren. Mengingat bahwa masa remaja adalah masa dimana setiap remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar, rasa keingintahuan yang besar mengakibatkan remaja akan mencari informasi baik melalui pendidikan yang dijalani, media massa ataupun pengalaman yang didapatnya dari orang lain tentang kesehatan reproduksi remaja. Dengan pengetahuan remaja yang baik tentang kesehatan reproduksi remaja diharapkan setiap remaja tidak akan salah pengertian tentang kesehatan reproduksi remaja. Sehingga dengan pengetahuan yang baik senantiasa akan membawa remaja untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menganggu ataupun mengancam organ kesehatan reproduksinya. Remaja putri dengan pengetahuan yang kurang tentang kesehatan reproduksi mengakibatkan remaja putri tidak memiliki dasar yang melandasi sikap dan tindakannya dalam melakukan personal hygene organ reproduksi. Pengetahuan yang kurang tersebut bisa bersumber dari orang tua yang memiliki informasi yang sangat minimal akan kesehatan reproduksi sehingga bepengaruh dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. Selain itu faktor budaya yang ada di lingkungan asal tempat tinggal juga bepengaruh dalam tingkat pengetahuan remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja. Masyarakat desa yang cendrung mentabukan ha-hal yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan reproduksi,berusaha untuk menghindarkan remaja putri dari konsep kesehatan reproduksi sebab masyarakat desa menganggap bahwa pendidikan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi remaja putri yang sudah menikah, dan JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 18 Vol. 4 No 1 Juni 2012 masyarkat desa juga beranggapan bahwa jika remaja putri diberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja dikhawatirkan remaja putri menyalahgunakan informasi yang telah didapatnya. Sikap Dari hasil pengumpulan data pada tabel 4.6 yang menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri di pondok Pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan memiliki sikap negatif tentang kesehatan reproduksi remaja yaitu 80,60% atau sebanyak 67 orang. Sikap negatif yang dimiliki remaja putri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pengaruh orang lain yang di anggap penting. Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu di antara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang di anggap penting, seseorang yang di harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat, sesorang yang tidak ingin di kecewakan atau seseorang yang berarti khusus (significant others), akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap terhadap sesuatu (Azwar, 2003). Selain itu Azwar (2003) juga menyatakan bahwa faktor Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individuindividu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya dan hanya kepribadian individu yang mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual. Dalam hal ini sesuai dengan tabel 4.2 yang menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan orang tua adalah Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 59 ayah atau 62,11% dan sebanyak 67 ibu (70,53%). Tingkat pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pengetahuan yang dimilikinya, hal ini akan berdampak bagi orang tua dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Apabila orang tua memberikan informasi yang benar, maka remaja tentu akan memilki penilaian yang positif seputar kesehatan reproduksi remaja, Namun sebaliknya jika orang tua memberikan informasi yang tidak benar seputar kesehatan reproduksi remaja maka tidak menutup kemungkinan remaja akan memiliki penilaian negatif terhadap kesehatan reproduksi remaja. Selain itu faktor kebudayaan yang juga mempengaruhi sikap remaja mengakibatkan remaja memiliki penilaian negatif. Hal ini terjadi akibat sebagian besar remaja putri di pondok Pesantren putri A-Hidayah berasal dari daerah pedesaan yang berada dalam lingkup Kabupaten Bangkalan. Masyarakat desa memiliki pengetahuan yang kurang tentang kesehatan reproduksi remaja akibat kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi remaja sehingga menghambat perkembangan sikap terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Selain itu masyarakat desa juga memiliki tradisi-tradisi yang dapat menghambat pembentukan sikap remaja. Namun hal ini tidak sama dengan sikap positif yang dimiliki oleh beberapa remaja putri. Remaja putri dengan sikap postif senantiasa mampu menerima, mengolah dan menganalisa informasi tentang konsep kesehatan reproduksi remaja secara benar yang diperolehnya dari orang tua, lingkungan, lingkup pendidikan dan media massa. Maka dari itu diharapkan remaja putri dengan sikap positif dapat memberikan informasi yang benar di lingkup pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan Personal hygene organ reproduksi Berdasarkan hasil pengumpulan data pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri sebanyak di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan-Bangkalan melakukan personal hygene organ reproduksi yaitu sebanyak 80% atau 76 orang. Perilaku kesehatan yang mencakup personal hygene organ reproduksi tidak terlepas dari perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) yang merupakan perilaku seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha penyembuhan ketika sakit (Notoatmodjo, 2007). Maka dari itu setiap remaja melakukan personal hygene organ reproduksi, hal ini bertujuan untuk memelihara organ reproduksi agar terhindar dari berbagi macam penyakit kelamin. Dalam memelihara organ reproduksi banyak sekali hal-hal yang perlu diperhatikan dan diketahui oleh remaja terkait dengan hal tersebut misalnya cara merawat organ reproduksi yang baik dan benar. Perawatan terhadap organ reproduksi yang dilakukan remaja dimulai dari saat menstruasi, perawatan sehari-hari, pemeriksaan rutin ke tenaga kesehatan dan perilaku seksual yang sehat serta pencegahan terhadap penyakit kelamin. Hubungan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja dengan personal hygene organ reproduksi Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 66,32% atau sebanyak 63 remaja yang melakukan personal hygene organ reproduksi adalah remaja yang memiliki pengetahuan baik tentang kesehatan reproduksi remaja. Berdasarkan uji statistic rank sperarmann antara pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi remaja dengan hasil nilai probability lebih kecil dari tingkat signifikan (0,002 < 0,05), hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi. Sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Notoatmodjo (2005) yaitu pengetahuan merupakan hasil dari tahu manusia yang nantinya akan menjadi pedoman terbentuknya perilaku manusia. Soekanto pada tahun 2004 menjelaskan bahwa pengetahuan adalah kesan manusia sebagai hasil pengguna panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefe), takhayul (superstitions) dan peneranganpenerangan yang keliru (mis informations). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Dengan adanya pengetahuan yang baik akan mendorong setiap remaja putri untuk melakukan tindakan sesuai dengan apa yang sudah diketahuinya. Dalam hal ini sebagian besar remaja putri di Pondok pesantren putri Al-hidayah Jangkebuan Bangkalan memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi remaja dan melakukan personal hygene organ reproduksi. maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi. Hubungan sikap dengan personal hygene organ reproduksi Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 56,84% atau 54 remaja putri yang melakukan personal hygene organ reproduksi adalah remaja yang memiliki sikap negatif tentang kesehatan reproduksi remaja. Berdasarkan uji satatistik koefisien kontingensi menunjukkan bahwa nilai probability lebih besar dari tingkat signifikan (1,000 > 0,005), artinya tidak ada hubungan antara sikap dengan personal hygene organ reproduksi. Tidak adanya hubungan antara sikap dengan personal hygene tersebut terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap atau respon manusia terhadap objek tertentu. Adapun hal-hal yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2003) adalah pengaruh orang lain yang di anggap penting orang lain di sekitar kita merupakan salah satu di antara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang di anggap penting, seseorang yang di harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat, JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 19 Vol. 4 No 1 Juni 2012 sesorang yang tidak ingin di kecewakan atau seseorang yang berarti khusus (significant others), akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap terhadap sesuatu. Selain itu pengaruh kebudayaan juga berperan dalam pembentukan sikap. Kebudayaan dimana kita hidup dan di besarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya dan hanya kepribadian individu yang mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual (Azwar, 2003). Personal hygene organ reproduksi yang termasuk dalam konsep dasar perilaku manusia, terkait dengan faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku manusia dalam bidang kesehatan yang dinyatakan oleh Suryani (2008) meliputi pengetahuan, sikap, dinamika kelompok, tersedianya fasilitas kesehatan, dan sikap serta perilaku petugas kesehatan. Komponen-komponen yang mempengaruhi perilaku manusia itu akan memberikan kontribusi dalam pembentukan perilaku manusia dalam bidang kesehatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Roger dalam Dariyo (2004) yang mengatakan bahwa perilaku yang didasari dengan pengetahuan yang baik, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Akan tetapi sebagian besar remaja putri yang berada di Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan memilki pengetahuan yang baik, memilki sikap negatif tentang kesehatan reproduksi remaja namun melakukan personal hygene organ reproduksi. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Roger dalam Dariyo (2004) maka dari hasil penelitian menunjukkan bahwa personal hygene yang dilakukan oleh remaja putri tidak akan bersifat langgeng sebab mereka hanya memiliki pengetahuan yang baik tanpa dilandasi dengan sikap positif tentang kesehatan reproduksi remaja. Sebenarnya setiap perilaku manusia hendaknya dilandasi dengan pengetahuan yang baik serta sikap yang positif. Akan tetapi setiap manusia memilki karakter yang berbeda-beda terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, sikap dan personal hygene organ reproduksi. Misalnya tingkat pendidikan, tingkat emosional, jenis kelamin, media massa, lingkungan, sosial budaya dan konsep diri setiap manusia. Oleh karena itu diharapkan setiap remaja mampu memberikan penilaian positif terhadap kesehatan reproduksi remaja walaupun mereka telah memiliki pengetahuan yang baik dan melakukan personal hygene dengan baik pula, hal ini bertujuan untuk menyempurnakan perilaku kesehatan remaja putri di lingkup Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan. Sehingga diharapkan remaja akan bersikap positf tentang apa yang telah diketahuinya dan pada akhirnya remaja akan mampu menjaga kesehatan pada organ reproduksinya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis hubungan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja dengan personal hygene organ reproduksi dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 2. Pengetahuan remaja putri di Pondok Pesantren Putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan mayoritas memiliki pengetahuan baik sebanyak 75 orang (78,95%). 3. Sikap remaja putri di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan mayoritas memiliki sikap negatif sebanyak 67 orang (70,53%). 4. Sebagian besar remaja putri di Pondok Pesantren Putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan melakukan personal hygene organ reproduksi sebanyak 77 orang (80%). 5. 6. Terdapat hubungan antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja dengan personal hygene organ reproduksi sesuai uji statistik rank spearman dengan nilai probability lebih kecil dari nilai signifikan (0,002 < 0,005). Tidak ada hubungan antara sikap tentang kesehatan reproduksi remaja dengan personal hygene organ reproduksi sesuai uji statistic koefisien kontingensi dengan nilai probability lebih besar dari nilai signifikan (1,000 > 0,005). Saran 1. Bagi Tenaga Kesehatan Bagi tenaga kesehatan khususnya bidan diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai tenaga pendidik dalam memberikan pendidikan kesehatan dan konseling mengenai kesehatan reproduksi remaja khususnya di lingkup podok pesantren melalui penyuluhan. 2. Remaja Diharapkan remaja mampu menyikapi dengan baik tentang kesehatan reproduksi remaja sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. 3. Institusi Pondok Pesantren Diharapkan institusi pondok pesantren dapat memasukkan materi pendidikan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan agar remaja putri tidak menyikapi negatif mengenai kesehatan reproduksi remaja. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 20 Soetjiningsih, 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Perma salahannya, Jakarta:Sagung seto. Dariyo, A, 2004. Psikologi Perkembaangan Remaja, Bogor:Ghalia Indonesia Notoadmodjo, S, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. Arikunto, S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : PT Rineka Cipta http://arispurnomo.com/ diakses tanggal 20 maret 2011 Bahiyatun, 2010. Psikologi Ibu Dan Anak, Jakarta : EGC Dinda, 2010,Kesehatan Remaja Indonesia.http//www.elsam. or.id.html diakses tanggal 11 februari 2011 Hidayat, 2009. Mata Kuliah KDMhttp://hidayat2.wordpress.com/2009/03/20/23/ Diakses tanggal 2 Mei 2011 Machfoedz,I. 2008. Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Pro mosi Kesehatan Edisi ke-2. Yogyakarta : Fitramaya. Hal:38-40 Manuaba, I.G.B, 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Remaja, Jakarta:Arcan Merenstein, G, dkk ,2002. Pegangan Pediatrik Edisi 17, Jakarta : Widya Medika Notoatmojo, S, 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan, Jakarta : PT Asdi Mahasatya Rini, 2010.Departemen Kesehatan RI. Laporan triwulan kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2009, Direktorat jenderal P2PL Depkes RI, Jakarta: Indonesia, dilihat 11Februari 201 1, <http://www.nsa.net.au> Rini, 2010.Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007, laporan nasional 2007, badan penelitian dan pengembangan kesehatan, Jakarta: Indonesia, dilihat 11 Februari 2011,<http://www.nsa.net.au> Vol. 4 No 1 Juni 2012 15. Rini, 2010.World Health Organization (WHO). Adolescent friendly health service, an agenda for change, Geneva: Switzerland. 2002, dilihat 11 februari 2011,http://www.nsa.net.au. 16. Rizza, N, 2010. Hubungan Penggunaan Media Massa Dengan Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja Di SMAN 8 Surakarta, DIV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 17. Soesanto, W. 2010. Biostatistik Penelitian Kesehatan, Surabaya: Dua tujuh 18. Sugono, D. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa 19. Suryani, E, 2008. Psikologi Ibu Dan Anak, Yogyakarta : Fitramaya 20. Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I, 2010. Kesehatan Remaja Problem Dan Solusinya, Jakarta: Salemba Medika. 21. Vivin, 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Remaja Tentang Menstruasi Dengan Perawatan Vagina Selama Menstruasi Di SMPN 1 Arosbaya Kabupaten Bangkalan, Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Unggul, Surabaya. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 21 Vol. 4 No 1 Juni 2012 HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPIUTIK DAN PERAN KELUARGA DENGAN RESPON HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH DI RUANG CEMPAKA (RAWAT INAP ANAK) RSUD SAMPANG CORRELATION BETWEEN THERAPEUTIC COMMUNICATION AND FAMILY ROLE AND PRE-SCHOOL CHILD RESPOND TO HOSPITALIZATION AT CEMPAKA ROOM (HOSPITAL ROOM FOR CHILDREN) RSUD SAMPANG (1)Liana Velayati Ash-Shiddiqi, (2) Syiddatul B.,S.Kep.Ns STIKES Insan Se Agung Bangkalan (2)Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan (1)Mahasiswa ABSTRAK Hospitalisasi merupakan suatu proses yang terencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan. Komunikasi terapiutik dan peran keluaga mempengaruhi persepsi anak terhadap hospitalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang periode April-Mei 2011. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan metode cross sectional. Populasi penelitian ini adalah keluarga dan anak usia prasekolah di ruang cempaka sebanyak 23 orang yang diambil secara systematic sampling. Teknik pengumpulan data yaitu observasi dan kuesioner, analisis dengan tabel tabulasi silang dilanjutkan dengan uji statistik Lambda. Berdasarkan hasil penelitian, anak menunjukkan respon positif ketika memperoleh komunikasi terapiutik baik. Uji Lambda diperoleh hasil ρ:0,014<α:0,05 sehingga ada hubungan antara komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah. Sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang memperoleh peran keluarga baik menunjukkan respon positif. Berdasarkan uji Lambda diperoleh hasil ρ:0,013<α:0,05 sehingga ada hubungan antara peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah. Komunikasi terapiutik perlu diberikan dalam upaya mendukung respon positif hospitalisasi. Keluarga juga perlu memberikan peran yang dibutuhkan anak supaya tercipta respon positif. Kata kunci : Komunikasi Terapiutik – Peran Keluarga – Hospitalisasi ABSTRACT Hospitalization is a process, either planned or emergency, requiring a child to stay in hospital, having therapy and health care. Nurse therapeutic communication and family that is done by nurse implicates child’s perception to hospitalization. This research aims to know correlations therapeutic communication and family role and pre-school child respond to hospitalization at Cempaka room (hospital room for children) RSUD Sampang period from April to May 2011. Design that is used in this research is analytical research with cross sectional method. Population of this research was family and pre-school children that were taken care in Cempaka room, 23 peoples taken by systematic sampling. Data collection techniques of observation and questionnaires, the analysis by cross tabulation tables followed by Lambda statistics test. Based on the result, children give positive respond when they are given good therapeutic communication. Lambda test result ρ:0.014 <α:0.05, from this result it can be concluded that there is correlation between therapeutic communication and pre-school children responds to hospitalization. Other result indicates that pre-school children gave more positive responds to better family role. Lambda test results ρ:0.013 < α:0.05, from this result it can be concluded that there is correlation between family role and pre-school child respond to hospitalization. Therapeutic communication needs to be given in support of a positive response to hospitalization. Families also need to give the role a child needs in order to create a positive response. Key words: Therapeutic Communication – Family Roles – Hospitalization JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 22 Vol. 4 No 1 Juni 2012 PENDAHULUAN Latar Belakang Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan pada semua tingkatan usia. Penyebab kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari petugas; perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya; lingkungan baru maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan perkembangan keadaan anaknya, pengobatan dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara psikologis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang mendampingi selama perawatan(1). Kecemasan yang timbul dapat mempengaruhi kondisi psikologis anak. Masa anak-anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan. Dalam masa pertumbuhan dan perkembangan diperlukan stimulasi supaya pertumbuhan dan perkembangan dapat berjalan dengan baik. Anak yang mengalami hospitalisasi juga perlu diberikan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berkaitan dengan kuantitas fisik individu anak, sedangkan perkembangan dihasilkan melalui proses pematangan dan proses belajar dari lingkungannya. Apabila terjadi kecemasan hospitalisasi maka dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rumah sakit sebagai tempat sementara anak selama sakit, diharapkan memiliki ruangan bermain supaya anak merasa betah di rumah sakit dan dapat menjalankan aktifitas bermainnya. Warna cat di rumah sakit seharusnya dibuat menarik agar anak betah selama proses perawatan. Masih ada beberapa rumah sakit yang belum memiliki ruang bermain sehingga anak tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit, bahkan dapat menimbulkan penolakan terhadap tindakan keperawatan. Dalam masa pertumbuhan, anak usia prasekolah sering mengalami sakit dan mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit. Untuk tetap mempertahankan pertumbuhan anak, seharusnya anak yang dihospitalisasi memberikan respon yang baik selama berada di rumah sakit. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak anak usia prasekolah berespons negatif selama berada di rumah sakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. S. Bennett di rumah sakit anak-anak Ontario Timur Canada pada 12 Januari 2005 terdapat 126 dari 165 anak yang menunjukkan respon stres selama berada di rumah sakit. Data di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan periode Januari-Desember 2010 terdapat 1248 pasien anak yang di rawat inap di Irna E dengan anak usia prasekolah berjumlah 221 anak. Sedangkan jumlah anak usia prasekolah yang di rawat inap pada bulan November 2010Januari 2011 yaitu 33 anak. Saat dilakukan pengkajian tanggal 22 Februari 2011, terdapat satu anak usia prasekolah dari 9 anak yang di rawat inap. Respon yang timbul dari anak tersebut yaitu tidak kooperatif dengan menolak dokter memeriksa tubuh anak. Anak juga tidak kooperatif dengan menolak dan menghindar saat dilakukan tindakan keperawatan walau sudah dilakukan komunikasi terapiutik dan orang tua berada di samping anak. Data lain didapatkan di ruang rawat inap anak RSUD kabupaten Sampang periode Januari-Desember 2010, anak usia prasekolah yang dirawat berjumlah 365 anak dengan rerata perbulan berjumlah 30 anak. Persepsi sakit dan hospitalisasi anak usia prasekolah adalah merasa sebagai hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif, dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua atau pada keluarga. Hospitalisasi menjadi hal yang tidak mudah bagi anak karena mengalami perpisahan dengan lingkungan rumah yang lebih menekankan bermain. Bermain merupakan hal yang sangat penting dalam usia tumbuh kembang. Bermain dapat membantu perkembangan sensorik dan motorik, membantu perkembangan kognitif, meningkatkan sosialisasi anak, meningkatkan kreatifitas, meningkatkan kesadaran diri (2). Hospitalisasi dapat mempengaruhi proses bermain sehingga dapat mempengaruhi proses perkembangan anak. Hospitalisasi dapat menimbulkan trauma pada anak antara lain menimbulkan cemas, marah dan nyeri. Keadaan ini dapat menimbulkan reaksi menolak makan, menangis, bahkan menolak untuk dilakukan tindakan keperawatan. Respon tersebut dapat menimbulkan kesulitan pada proses pelaksanaan program terapi dan prosedur asuhan keperawatan. Jika terdapat penolakan pada tindakan keperawatan, maka akan lama dalam proses penyembuhan. Jika respon tersebut dapat dihindari, maka stres berkurang dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan. Selama anak mengalami hospitalisasi diperlukan dukungan dari keluarga karena keluarga adalah unsur penting dalam perawatan, khususnya perawatan pada anak. Peran serta perawat dalam memahami bahwa keluarga sebagai tempat tinggal atau konstanta tetap dalam kehidupan anak (4). Kehidupan anak juga ditentukan keberadaanya bentuk dukungan keluarga, hal ini dapat terlihat bila dukungan keluarga yang sangat baik maka pertumbuhan dan perkembangan anak relatif stabil, tetapi apabila dukungan keluarga kurang baik, maka anak akan mengalami hambatan pada dirinya yang dapat mengganggu psikologis anak. Pentingnya keterlibatan keluarga dapat mempengaruhi proses kesembuhan anak. Keterlibatan orang tua dan kemampuan keluarga dalam merawat merupakan dasar dalam pemberian asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga. Perawat dengan memfasilitasi keluarga dapat membantu proses pemyembuhan pada anak yang sakit selama di rumah sakit (2). Dalam mengurangi respon hospitalisasi pada anak maka perawat harus memberikan komunikasi terapiutik yaitu dengan memberi tahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksaan yang akan digunakan, menggunakan nada suara, bicara lambat, memberi salam pada anak. Intervensi keperawatan diarahkan terhadap peningkatan sikap kooperatif anak terhadap tindakantindakan yang bersifat invasif dan memiliki pengaruh besar terhadap proses penyembuhan penyakitnya. Asuhan keperawatan tersebut bertujuan untuk mencapai proses penyembuhan secara efektif dan efisien dalam arti proses penyembuhan dapat berlangsung dalam waktu relatif pendek (3). Banyak faktor yang mempengaruhi proses komunikasi. Agar komunikasi dapat berjalan baik, komunikasi harus sesuai dengan situasi, waktu yang tepat dan diungkapkan dengan jelas (4). Peneliyian ini bertujuan mengetahui hubungan komunikasi terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka (rawat inap anak) RSUD Sampang. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Komunikasi Terapiutik Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan cara membangun hubungan antar sesama; melalui pertukaran informasi; untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (6).. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 23 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Menurut Arwani (2002), komunikasi terapiutik adalah komunikasi perawat dengan pasien yang direncanakan, disengaja dan merupakan tindakan profesional yang bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pasien sehingga tujuan keperawatan dapat tercapai. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi dengan Anak Dalam proses komunikasi kemungkinan ada hambatan selama komunikasi, karena selama proses komunikasi melibatkan beberapa komponen dalam komunikasi dan dipengaruhi oleh beberapa factor(2).di antaranya: 1. Pendidikan Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Sebagaimana umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi dan makin bagus pengetahuan yang dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif akan dapat dilakukannya. Dalam komunikasi dengan anak atau orang tua juga perlu diperhatikan tingkat pendidikan khususnya orang tua karena berbagai informasi akan mudah diterima jika bahasa yang disampaikan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. 2. Pengetahuan Merupakan proses belajar dengan menggunakan panca indera yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu untuk dapat menghasilkan pengetahuan keterampilan. Faktor pengetahuan tersebut dalam proses komunikasi dapat mempengaruhinya hal ini dapat diperlihatkan apabila seseorang pengetahuan cukup, maka informasi yang disampaikan akan jelas dan mudah diterima oleh penerima akan tetapi apabila pengetahuan kurang akan menghasilkan informasi yang kurang. 3. Sikap Sikap dalam komunikasi dapat mempengaruhi proses komunikasi berjalan efektif atau tidak, hal tersebut dapat ditunjukkan seseorang yang memiliki sikap kurang baik akan menyebabkan pendengar kurang percaya terhadap komunikator, demikian sebaliknya apabila dalam komunikasi menunjukkan sikap yang baik maka dapat menunjukkan kepercayaan dari penerima pesan atau informasi. Sikap yang diharapkan dalam komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati, menghargai dan lain-lain, kesemuanya dapat mendukung berhasilnya komunikasi terapiutik. 4. Usia Tumbuh Kembang Faktor usia ini dapat mempengaruhi proses komunikasi, hal ini dapat ditunjukkan semakin tinggi usia perkembangan anak kemampuan dalam komunikasi semakin komplek dan sempurna yang dapat dilihat dari perkembangan bahasa anak. 5. Status Kesehatan Anak Status kesehatan sakit dapat berpengaruh dalam komunikasi, hal ini dapat diperlihatkan ketika anak sakit atau mengalami gangguan psikologis maka cenderung anak kurang komunikatif atau sangat pasif, dengan demikian dalam komunikasi membutuhkan kesiapan secara fisik dan psikologis untuk mencapai komunikasi yang efektif. 6. Sistem Sosial Sistem sosial yang dimaksud disini adalah budaya yang ada di masyarakat, dimana setiap daerah yang memiliki budaya atau cara komunikasi yang berbeda. Hal tersebut dapat juga mempengaruhi proses komunikasi seperti orang Batak dangan orang Madura ketika berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda dan samasama tidak memahami bahasa daerah maka akan merasa kesulitan untuk mencapai tujuan dari komunikasi. 7. 8. Saluran Saluran ini merupakan faktor luar yang berpengaruh dalam proses komunikasi seperti intonasi suara, sikap tubuh dan sebagainya semuanya akan dapat memberikan pengaruh dalam proses komunikasi, sebagai contoh apabila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki suara atau intonasi jelas maka sangat mudah kita menerima informasi atau pesan yang disampaikan. Demikian sebaliknya apabila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki suara yang tidak jelas kita akan kesulitan menerima pesan atau informasi yang disampaikan. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar area, lingkungan dalam komunikasi yang dimaksud disini dapat berupa situasi, ataupun lokasi yang ada. Lingkungan yang baik atau tenang akan memberikan dampak berhasilnya tujuan komunikasi sedangkan lingkungan yang kurang baik akan memberikan dampak yang kurang. Hal ini dapat kita contohkan apabila kita berkomunikasi dengan anak pada tempat yang gaduh misalnya atau tempat yang bising, maka proses komunikasi tidak akan bisa berjalan dengan baik, kemungkinan sulit kita berkomunikasi secara efektif karena suara yang tidak jelas, sehingga pesan yang akan disampaikan sulit diterima oleh anak. Konsep Keluarga Keluarga didefinisikan dengan beberapa cara pandang. Keluarga dapat dipandang sebagai tempat pemenuhan kebutuhan biologis bagi para anggotanya. Cara pandang dari sudut psikologis keluarga adalah tempat berinteraksi dan berkembangnya kepribadian anggota keluarga. Secara ekonomi keluarga dianggap sebagai unit yang produktif dalam menyediakan materi bagi anggotanya dan secara sosial adalah unit yang bereaksi terhadap lingkungan yang lebih luas. Keluarga merupakan unsur penting dalam merawat anak mengingat anak sebagian dari keluarga kehidupan anak dapat ditentukan oleh lingkungan keluarga, untuk itu keperawatan anak harus mengenal keluarga sebagai tempat tinggal atau sebagai konstanta tetap dalam kehidupan anak(2). Peran Pengasuhan Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal, sedangkan posisi adalah keberadaan seseorang dalam sistem sosial. Peran juga diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengontrol atau mempengaruhi atau mengubah perilaku orang lain. Peran dapat dipelajari melalui proses sosialisasi selama tahapan perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi antar anggota keluarga. Peran yang dipelajari akan mendapat penguatan melalui pemberian penghargaan baik kasih sayang yang diberikan, perhatian dan persahabatan. Pada dasarnya tujuan pengasuhan orang tua adalah mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong kemampuan peningkatan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari melalui pendidikan secara formal, melainkan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial and error dan mempelajari pengalaman orang lain atau orang tua terdahulu. Orang tua harus mempunyai rasa percaya diri yang besar dalam menjalankan peran pengasuhan ini, terutama dalam pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, pemenuhan kebutuhan makanan dan pemeliharaan kebersihan perseorangan, JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 24 Vol. 4 No 1 Juni 2012 penggunaan alat permainan sebagai stimulus pertumbuhan dan perkembangan serta komunikasi efektif yang diperlukan dalam berinteraksi dengan anak dan anggota keluarga lainnya. konflik psikoseksual dan takut terhadap mutilasi, menyebabkan anak terutama takut terhadap pengukuran suhu rektal dan kateterisasi urine. Reaksi terhadap Hospitalisasi a. Mekanisme pertahanan utama anak usia prasekolah adalah regresi. Mereka akan bereaksi terhadap perpisahan dengan regresi dan menolak untuk bekerja sama. b. Anak usia prasekolah merasa kehilangan kendali karena mereka mengalami kehilangan kekuatan mereka sendiri. c. Takut terhadap cedera tubuh dan nyeri mengarah kepada rasa takut terhadap mutilasi dan prosedur yang menyakitkan. d. Keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh meningkatkan rasa takut yang khas sebagai contoh takut terhadap kastrasi (dicetuskan oleh enema, pengukuran suhu rektal dan kateter) dan takut bahwa kerusakan kulit (misal jalur intravena dan prosedur pengambilan darah) akan menyebabkan bagian dalam tubuhnya menjadi bocor. e. Anak usia prasekolah menginterpretasikan hospitalisasi sebagai hukuman dan perpisahan dengan orang tua sebagai kehilangan kasih sayang. 2 Konsep Hospitalisasi pada Anak Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stres (5). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hospitalisasi Reaksi anak terhadap krisis-krisis dipengaruhi (4) oleh: 1. Usia perkembangan mereka. 2. Pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan atau hospitalisasi. 3. Keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan. 4. Keparahan diagnosis. 5. Sistem pendukung yang ada. Konsep Anak Usia Prasekolah Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 tahun sampai dengan 6 tahun(5) Sedangkan menurut Hidayat (2005), anak usia prasekolah adalah anak yang telah mencapai usia antara 2,5 tahun sampai 5 tahun. Teori Pertumbuhan dan Perkembangan Anak usia presekolah Perkembangan Psikososial (Erikson) anak pada usia prasekolah disebut “inisiatif versus rasa bersalah”. Dengan dukungan orang tua dalam imajinasi dan aktifitas, anak berupaya menguasai perasaan inisiatif. Anak mengembangkan perasaan bersalah ketika orang tua membuat anak merasa bahwa imajinasi dan aktifitasnya tidak dapat diterima. Ansietas dan ketakutan terjadi ketika pemikiran dan aktifitas anak tidak sesuai dengan harapan orang tua (7). Perkembangan psikoseksual (Freud) anak usia prasekolah yaitu genetalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki dengan mengetahui perbedaan alat kelamin (5) . Perkembangan kognitif (Piaget) dalam Supartini (2004) berada pada tahap praoperasional. Anak prasekolah berada pada fase peralihan antara preconceptual dan intuitive thought. Pada fase preconceptual, anak sering menggunakan satu istilah untuk beberapa orang yang punya ciri yang yang sama. Sedangkan pada fase intuitive thought, anak sudah bisa memberi alasan pada tindakan yang dilakukannya. Anak prasekolah berasumsi bahwa orang lain berpikir seperti mereka sehingga perlu menggali pengertian mereka dengan pendekatan nonverbal. Perkembangan moral (Kohlberg) anak prasekolah berada pada fase preconventional yang terdiri dari tiga tahapan. Tahap satu didasari oleh adanya rasa egosentris pada anak, yaitu kebaikan adalah seperti apa yang saya mau. Tahap dua yaitu orientasi hukuman dan ketaatan. Tahap tiga yaitu anak berfokus pada motif yang menyenangkan sebagai suatu kebaikan (5). Penyakit dan Hospitalisasi 1 Reaksi terhadap Penyakit a. Anak usia prasekolah merasa fenomena nyata yang tidak berhubungan sebagai penyebab penyakit. b. Cara berpikir magis menyebabkan anak usia prasekolah memandang penyakit sebagai suatu hukuman. Selain itu, anak usia prasekolah mengalami METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan cross sectional yaitu pengumpulan data variabel independen dan variabel dependen dilaksanakan dalam waktu bersamaan pada satu waktu Populasinya adalah keluarga dan anak usia prasekolah di ruang cempaka (rawat inap anak) RSUD kabupaten Sampang bulan April-Mei 2011. Dalam penelitian ini menggunakan Probability Sampling, systematic sampling sehingga didapatkan sampel sebanyak 23 responden. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penyajian data yang ditampilkan meliputi data umum dan data khusus. Data umum menampilkan status pekerjaan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, usia orangtua, dan karakteristik anak. Data Khusus 1. Komunikasi Terapiutik Komunikasi terapiutik diperoleh dengan mengobservasi komunikasi terapiutik yang dilakukan perawat terhadap anak usia prasekolah ketika melaksanakan tindakan invasif . Tabel 1 Distribusi Frekuensi Penerapan Komunikasi Terapiutik di ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Komunikasi Terapiutik Frekuensi Prosentase (%) Kurang 6 26.1 Cukup 10 43.5 Baik 7 30.4 Total 23 100 2. Peran Keluarga Tabel 2 Distribusi Frekuensi Peran Keluarga terhadap Anak Usia Prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 25 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Peran Keluarga Frekuensi Prosentase (%) Kurang 1 4.3 Cukup 12 52.2 Respon Hospitalisasi Anak Negatif Positif Σ % Σ % 6 100 0 0 8 80 2 20 0 0 7 100 14 60.9 9 39.1 Komunikasi Terapiutik Kurang Cukup Baik Total Baik 10 43.5 Total 23 100 Σ 6 10 7 23 Total % 100 100 100 100 3. Respon Hospitalisasi Anak Tabel 3 Distribusi Frekuensi Respon Hospitalisasi anak usia Prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Respon Hospitalisasi Frekuensi Presentase (%) Negatif 14 60.9 Positif 9 39.1 Total 23 100 Tabel 1 Tabulasi silang Komunikasi Terapiutik dengan Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Berdasarkan tabel di atas, seluruh anak (100%) yang memperoleh komunikasi terapiutik kurang menunjukkan respon negatif dan seluruh anak (100%) yang memperoleh komunikasi terapiutik baik menunjukkan respon positif. Dari 10 anak yang diberikan komunikasi cukup, sebagian besar (80%) menunjukkan respon negatif sedangkan sisanya (20%) anak menunjukkan respon positif. Jadi, kecenderungan komunikasi terapiutik baik akan memberikan respon anak positif dan komunikasi terapiutik kurang menunjukkan respon negatif. Tabel 2 Tabulasi Silang Peran Keluarga terhadap Anak Usia Prasekolah dengan Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Respon Hospitalisasi Anak Negatif Peran Keluarga Positif Total Σ % Σ % Σ % Kurang 1 100 0 0 1 100 Cukup 11 91.67 1 8.33 12 100 Baik 2 20 8 80 10 100 Total 14 60.9 9 39.1 23 100 Berdasarkan tabel di atas, seluruh anak (100%) yang memperoleh peran keluarga kurang menunjukkan respon negatif. Dari 12 keluarga yang memberikan peran cukup, sebagian besar anak (91,67%) menunjukkan respon negatif dan sisanya (8,33%) anak menunjukkan respon positif. Dari 10 keluarga yang memberikan peran baik, sebagian besar anak (80%) menunjukkan respon positif dan sisanya (20%) anak menunjukkan respon negatif. Jadi, kecenderungan peran keluarga baik akan memberikan respon hospitalisasi baik dan peran keluarga keluarga kurang memberikan respon hospitalisasi negatif. HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN RESPON HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH Berdasarkan hasil uji statistik Lambda untuk mencari hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah, didapatkan nilai ρ (nilai probability)=0,014. Dikarenakan nilai ρ (nilai probability)=0,014 < α (uji signifikansi)=0,05, maka dapat diinterpretasikan H0 ditolak, H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. HUBUNGAN PERAN KELUARGA DENGAN HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH RESPON Berdasarkan hasil uji statistik Lambda untuk mencari hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah, didapatkan nilai ρ (nilai probability)=0,013. Dikarenakan nilai ρ (nilai probability)=0,013 < α (uji signifikansi)=0,05, maka dapat diinterpretasikan bahwa H0 ditolak, H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. Komunikasi Terapiutik Komunikasi terapiutik yang diberikan meliputi memberikan sikap yang baik dalam berkomunikasi, cara berkomunikasi dengan baik dan melibatkan orang tua, melakukan tahapan komunikasi dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi terapiutik di ruang Cempaka (rawat inap anak) RSUD Sampang didapatkan 6 anak memperoleh komunikasi terapiutik kurang (26,1%), 10 anak memperoleh komunikasi terapiutik cukup (43,5%) dan 7 anak memperoleh komunikasi terapiutik baik (30,4%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian anak yang memperoleh komunikasi terapiutik saat dilakukan tindakan invasif. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya jumlah pasien anak di ruang cempaka sehingga mengakibatkan perawat hanya memiliki waktu singkat dalam berinteraksi dengan anak saat dilakukan tindakan invasif. Akan tetapi, perawat tetap menyapa anak dengan ramah sebelum melakukan tindakan. Komunikasi terapiutik dapat meningkatkan hubungan perawat dan pasien. Hal ini sesuai teori Christina (2008) tentang manfaat komunikasi terapiutik yaitu mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dengan pasien melalui hubungan perawat-pasien; mengidentifikasi, mengungkapkan perasaan, dan mengkaji masalah dan mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat. Komunikasi terapiutik mengakibatkan anak tidak takut kepada perawat sehingga dapat tercipta hubungan yang baik antara anak-perawat. Hubungan yang baik dapat memudahkan perawat dalam mengidentifikasi dan mengkaji masalah yang dirasakan pasien. Dengan demikian diharapkan perawat dapat mengambil tindakan keperawatan yang tepat dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan anak yang di rawat. Peran Keluarga JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 26 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Berdasarkan hasil penelitian, peran keluarga di ruang Cempaka didapatkan 1 keluarga memberikan peran kurang (4,3%), 12 keluarga memberikan peran cukup (52,2%) dan 10 keluarga memberikan peran baik (43,5%). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga pasien rerata memberikan peran baik dalam mengasuh dan menjaga anak yang berada di rumah sakit. Peran yang diberikan meliputi menerima dan mengelola kondisi anak, memenuhi kebutuhan perkembangan anak. Di ruang cempaka, semua anak usia prasekolah dirawat dan ditunggu oleh ibu. Pendidikan responden rerata di bawah SMA dan usia responden masih tergolong muda. Akan tetapi, fakta tersebut tidak mempengaruhi kualitas responden dalam mengasuh anak saat berada di rumah sakit. Orang tua selalu berada disamping anak dan menjaga anak. Hal ini sesuai teori Wong, Perry dan Hockenberry (2002) yang menyatakan bahwa keluarga merupakan unsur penting dalam merawat anak mengingat anak sebagian dari keluarga, kehidupan anak dapat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Keluarga merupakan orang yang paling dekat dengan anak sehingga dengan peran keluarga, anak lebih mudah dalam menerima asuhan keperawatan dan dapat mempercepat proses kesembuhan anak. Keberadaan keluarga disamping anak akan mengurangi kecemasan anak terhadap perpisahan sehingga anak dapat berespon positif terhadap hospitalisasi. Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah Berdasarkan hasil penelitian, respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang yaitu 14 anak menunjukkan respon negatif (60,9%) dan 9 anak menunjukkan respon positif (39,1%). Respon negatif hospitalisasi yang ditunjukkan meliputi menangis, menolak makan, sering bertanya, menolak bekerja sama selama proses perawatan. Hal ini sesuai dengan teori Wong (2008) yang mengatakan anak prasekolah dapat menunjukkan kecemasan akibat perpisahan dengan cara menangis, menolak makan, sering bertanya, menolak bekerja sama selama proses perawatan. Respon hospitalisasi terjadi karena stres akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan, mekanisme koping anak yang terbatas dalam menghadapi stres hospitalisasi. Hospitalisasi menjadi stressor karena anak mengalami perpisahan dengan lingkungan rumah yang biasa diisi dengan kegiatan bermain. Bermain merupakan hal yang sangat penting dalam usia tumbuh kembang anak karena dapat membantu perkembangan sensorik dan motorik, membantu perkembangan kognitif, meningkatkan sosialisasi anak, meningkatkan kreativitas, meningkatkan kesadaran diri. Hospitalisasi dapat mengganggu proses bermain sehingga anak berespon negatif terhadap hospitalisasi. Rumah sakit sebagai tempat sementara anak ketika sakit, akan lebih baik jika dilengkapi fasilitas ruang bermain anak sehingga anak tetap bisa bermain. Perbedaan lingkungan rumah sakit dengan lingkungan rumah juga menjadi stres pada anak, salah satunya warna cat rumah sakit. Akan lebih baik jika warna cat dibuat menarik supaya anak merasa nyaman berada di rumah sakit. Menurut Eric Erikson, masa prasekolah merupakan masa inisiatif versus rasa bersalah. Pemikiran imajinasi anak berkembang dan anak aktif dalam setiap aktifitasnya. Anak usia prasekolah merasa sakit sebagai fenomena nyata yang tidak berhubungan dengan penyebab sakitnya. Cara berpikir magis anak usia prasekolah memandang penyakit sebagai suatu hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah atau takut. Takut terhadap cedera tubuh dan nyeri mengarah pada ketakutan terhadap mutilasi dan prosedur yang menyakitkan dapat mengancam integritas tubuhnya. Anak usia prasekolah memiliki keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh sehingga takut bahwa kerusakan kulit (misal jalur intravena dan prosedur pengambilan darah) akan menyebabkan bagian dalam tubuhnya menjadi rusak. Hal ini menyebabkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, tidak mau bekerja sama dengan perawat dan ketergantungan pada orang tua atau pada keluarga. Dalam mengurangi respon negatif akibat hospitalisasi, maka dibutuhkan peran keluarga dan komunikasi terapiutik perawat. Peran keluarga dan komunikasi terapiutik perawat dapat memfasilitasi adaptasi sehingga stres berkurang. Apabila stres berkurang, maka dapat membantu proses penyembuhan. Hubungan Komunikasi Terapiutik dengan Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi terapiutik kurang menyebabkan respon hospitalisasi anak negatif sebanyak 6 sedangkan respon hospitalisasi baik menyebabkan respon hospitalisasi positif sebanyak 7. Hal ini sesuai teori Nursalam (2003) yang menyatakan kinerja perawat adalah memberikan stimulus atau memfasilitasi koping pasien agar menjadi konstruktif. Dalam melakukan komunikasi terapiutik, diperlukan keikhlasan, empati dan kehangatan. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dia punya terhadap pasien sehingga mampu mengkomunikasikannya secara tepat. Perawat tidak akan pernah menolak pikiran negatif dari pasien bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan pasien. Dengan empati, perawat dapat memahami dan menerima perasaan yang dialami pasien. Suasana yang hangat dan tanpa adanya ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien, sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya. Kondisi ini akan membuat perawat mempunyai kesempatan lebih luas untuk mengetahui kebutuhan pasien. Dengan demikian, perawat dapat mengambil tindakan yang tepat dalam asuhan keperawatan. Komunikasi terapiutik yang dilakukan perawat dapat mengurangi stres hospitalisasi yang dialami anak sehingga dapat membantu proses penyembuhan. Cemas karena perpisahan dapat menimbulkan disstres hospitalisasi dan gangguan adaptasi. Perawat dapat memfasilitasi adaptasi dengan memberikan komunikasi terapiutik saat dilakukan tindakan invasif sehingga stres berkurang dan dapat membantu proses penyembuhan anak. Komunikasi terapiutik merupakan salah satu kunci bagi respon hospitalisasi anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji statistik Lambda, nilai ρ (0,014) < α (0,05) sehingga ada hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah. Wong (2008) mengatakan faktor yang dapat mempengaruhi stres hospitalisasi anak seperti usia perkembangan anak; pengalaman anak sebelumnya dengan hospitalisasi, penyakit, perpisahan; keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan; keparahan diagnosis; sistem pendukung yang ada. Menyadari pentingnya komunikasi terapiutik, maka perawat perlu melakukan komunikasi terapiutik kepada anak saat melakukan tindakan invasif. Anak prasekolah yang diberikan komunikasi terapiutik memiliki respon hospitalisasi yang positif. Jadi, terdapat hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah. Hubungan Peran Keluarga dengan Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang yaitu peran keluarga kurang dengan respon hospitalisasi anak negatif sebanyak 1, peran keluarga cukup dengan respon hospitalisasi anak negatif sebanyak 11, peran keluarga baik namun respon hospitalisasi anak negatif sebanyak 2, peran keluarga cukup namun respon hospitalisasi anak positif sebanyak 1 dan peran keluarga baik JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 27 Vol. 4 No 1 Juni 2012 dengan respon hopitalisasi anak positif sebanyak 8. Hasil uji statistik Lambda, nilai ρ (0,013) < α (0,05) maka dapat diinterpretasikan bahwa H0 ditolak, H1 diterima sehingga dapat disimpulkan ada hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Supartini (2004) yaitu keluarga mempunyai pengaruh besar dalam pemeliharaan dan peningkatan status anak karena pada dasarnya tugas dan fungsi keluarga adalah merawat fisik anak, mendidik anak untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan menerima tanggung jawab atas kesejahteraan anak baik secara fisik maupun psikologis. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi hospitalisasi yaitu perpisahan. Salah satu perpisahan yang diakibatkan oleh hospitalisasi yaitu perpisahan dengan anggota keluarga. Anak terbiasa bermain dengan saudaranya ketika di rumah. Ketika di rumah sakit, anak tidak bertemu dengan saudaranya dan tidak dapat bermain sehingga anak semakin berespons negatif terhadap hospitalisasi. Ketika anak dihospitalisasi, orang tua menunjukkan respon cemas dan takut, sedih, frustrasi. Perasaan cemas dan takut terhadap kondisi anaknya muncul pada saat orang tua melihat anak mendapat prosedur menyakitkan seperti pengambilan darah, injeksi, infus dan prosedur invasif lainnya. Perasaan sedih muncul ketika anak dalam kondisi terminal dan orang tua mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan anaknya untuk sembuh. Kondisi anak yang dirawat cukup lama dan dirasakan tidak mengalami perubahan serta tidak adekuatnya dukungan orang tua baik dari keluarga maupun kerabat lainnya mengakibatkan orang tua merasa putus asa bahkan frustrasi. Keluarga terutama ibu lebih memahami dan lebih dekat dengan anak. Dengan kedekatan itu, maka anak lebih tenang karena ibunya berada disampingnya dan akan berdampak positif terhadap kondisi psikologis anak sehingga anak dapat memberikan adaptasi terhadap respon perpisahan dengan baik dan memberikan respon positif terhadap hospitalisasi. Stressor hospitalisasi menyebabkan stres hospitalisasi sehingga terjadi gangguan adaptasi. Peran keluarga dapat memfasilitasi adaptasi anak sehingga stres berkurang dan dapat mempercepat proses kesembuhan. Menyadari pentingnya peran keluarga terutama ibu, maka keluarga perlu melakukan peran yang diperlukan anak selama anak dirawat di rumah sakit. Anak prasekolah yang diberikan peran yang dibutuhkan selama sakit, memiliki respon hospitalisasi yang positif. Jadi terdapat hubungan antara peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Di ruang cempaka RSUD Sampang, sebagian besar (43,5%) anak usia prasekolah memperoleh komunikasi terapiutik kriteria cukup. 2. Di ruang cempaka RSUD Sampang, rerata keluarga memberikan peran kepada anak usia prasekolah dengan kriteria cukup yaitu 12 orang (52,2 %). 3. Di ruang cempaka RSUD Sampang, anak usia prasekolah yang menunjukkan respon negatif terhadap hospitalisasi sebanyak 14 anak (60,9 %). 4. Ada hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. Respon positif anak paling banyak terjadi pada anak yang diberikan komunikasi terapiutik dengan kriteria baik. 5. Ada hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. Respon positif anak paling banyak terjadi pada anak yang diberikan peran keluarga dengan kriteria baik. Saran Bagi Petugas Kesehatan 1. Diharapkan perawat memberikan komunikasi terapiutik saat melakukan tindakan invasif. 2. Untuk pasien anak yang telah direncanakan masuk rumah sakit, 1-2 hari sebelum dirawat, anak diorientasikan dengan situasi rumah sakit menggunakan miniatur bangunan rumah sakit. 3. Perawat bekerjasama dengan rumah sakit dan sesuai kebijakan rumah sakit menyiapkan ruang rawat sesuai dengan tahap usia anak dan jenis penyakit. 4. Perawat hendaknya memberikan dukungan kepada keluarga anak. 5. Pada hari pertama dirawat, perawat melakukan tindakan : a. Memperkenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya. b. Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang bisa digunakan. c. Kenalkan dengan pasien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya. 6. Perawat berupaya meminimalkan stressor atau penyebab stress. a. Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan dengan cara : 1) Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam (rooming in). 2) Jika tidak mungkin untuk rooming in, hendaknya memberi kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antarmereka. 3) Memodifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti di rumah. 4) Mempertahankan kontak dengan lingkungan sekolah dengan tetap menjalin komunikasi dengan teman sekolah atau teman bermain di rumah. b. Mencegah perasaan kehilangan kontrol dapat dilakukan dengan cara: 1) Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas kesehatan. 2) Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi ketergantungan. c. Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan nyeri dapat dilakukan dengan cara : 1) Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri. 2) Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak. 3) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri. 4) Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan. 5) Pada tindakan prosedur pembedahan, lakukan persiapan khusus jauh sebelumnya apabila memungkinkan JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 28 Vol. 4 No 1 Juni 2012 Bagi Keluarga 1. Keluarga memberikan peran yang dibutuhkan anak selama berada di rumah sakit. 2. Keluarga terutama ibu hendaknya selalu berada di samping anak selama anak dihospitalisasi. Bagi Instansi Rumah Sakit 1. Cat rumah sakit dibuat menarik supaya anak merasa nyaman berada di rumah sakit. 2. Jumlah perawat ditambah supaya saat melakukan tindakan invasif, perawat memiliki waktu lebih banyak dan dapat memberikan komunikasi terapiutik kepada anak. 3. Memberikan kebijakan mengatur ruang rawat inap sesuai dengan tahap usia anak dan jenis penyakit. Bagi Penulis Selanjutnya 1. Jumlah sampel dalam penelitian ini terbatas sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang hubungan komunikasi terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah dengan jumlah sampel yang lebih representatif. 2. Perlu menggunakan alat ukur yang telah teruji validitas dan reabilitasnya dalam permasalahan yang serupa. 3. Dapat mengkaji faktor-faktor yang nantinya akan muncul masalah-masalah baru dan mampu kita temukan pemecahan dari persoalan tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nursalam, dkk (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta : Salemba Medika. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC. Wong, Donna L.,dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Volume 1. Ed 6. Jakarta : EGC. Supartini, Yupi (2000). “Persepsi Perawat tentang Stres Orang Tua selama Anaknya dirawat di Rumah Sakit”. Disampaikan pada seminar hasil riset keperawatan dan kesehatan. Konsorsium Ilmu Kesehatan, Jakarta. Nazir. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Muscari, Mary E. (2005). Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN 29