UPAYA MEMPERTAHANKAN KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN UNTUK MENGENDALIKAN HAMA TANAMAN PANGAN Yusmani Prayogo Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang 65101 ABSTRAK Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis bioinsektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang sudah diketahui efektif mengendalikan hama penting tanaman adalah Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, Paecilomyces fumosoroseus, Aspergillus parasiticus, dan Verticillium lecanii. Namun pemanfaatan berbagai jenis cendawan tersebut sering menghadapi kendala, antara lain kurangnya pengetahuan petani tentang jenis hama serta manfaat dan upaya mempertahankan viabilitas dan keefektifan cendawan dalam pengendalian hama, termasuk cara perbanyakan, penyiapan dan aplikasinya. Pada tanaman pangan, keefektifan cendawan biasanya rendah karena tanaman pangan bersifat semusim. Upaya untuk meningkatkan keefektifan cendawan dapat dilakukan dengan: 1) melakukan identifikasi jenis hama utama yang akan dikendalikan, 2) mengaplikasikan cendawan entomopatogen pada sore hari dengan konsentrasi konidia minimal 107/ml, 3) mengulang aplikasi sebanyak tiga kali, dan 4) menambahkan bahan perekat dan bahan pembawa pada suspensi konidia sebelum diaplikasikan pada hama sasaran. Kata kunci: Cendawan entomopatogen, pengendalian hama, tanaman pangan, ABSTRACT Efforts in maintaining the effectiveness of entomopathogenic fungi to control insect pests on food crops Entomopathogenic fungi are one of the most common bioinsecticides that can be used to control insect pests on crops. Species of fungi known to be effective as biopesticide are Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, Paecilomyces fumosoroseus, Aspergillus parasiticus, and Verticillium lecanii. However, there are several constraints in using entomopathogenic fungi as biopesticide, namely low experience of farmers in identifying main pest in the field and also effort to sustain viability and effectiveness of entomopathogenic fungi as a control agent, including mass production and application methods. In food crops, effectiveness of the entomopathogenic fungi is commonly low. Increasing the effectiveness of entomopathogenic fungi can be conducted by: 1) identifying the targeted pest in the field before application, 2) applying the entomopathogenic fungi in the afternoon at least 107/ml, 3) applying the bioinsecticide three times, and 4) adding sticker and carrier or mild surfactant to the conidia suspension before it is applied to control the insect pests. Keywords: Entomopathogenic fungi, pest control, food crops B ioinsektisida adalah mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai agen pengendalian serangga hama. Pemanfaatan bioinsektisida sebagai agen hayati pada pengendalian hama merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT). Terdapat enam kelompok mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida, yaitu cendawan, bakteri, virus, nematoda, protozoa, dan ricketsia (Santoso 1993; Tanada dan Kaya 1993). Empat kelompok pertama Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 merupakan jenis yang sering digunakan dan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan (Kaaya et al. 1996; Reithinger et al. 1997; Sosa-Gomez dan Moscardi 1997; Kim et al. 2001; Prayogo et al. 2004). Di Indonesia, pemanfaatan agen hayati khususnya cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama mulai berkembang pesat sejak abad ke-19 khususnya untuk mengendalikan hama pada tanaman perkebunan (Sudarmadji dan Gunawan 1994; Junianto 2000). Pada tanaman pangan, pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama masih menemui berbagai kendala, antara lain kondisi lingkungan mikro yang kurang kondusif bagi perkembangbiakan mikroorganisme tersebut (Steinkraus dan Slaymaker 1994; Glare et al. 1995; Lacey dan Goettel 1995; Oduor et al. 1996). Hal ini karena tanaman pangan bersifat semusim, sehingga apabila tanaman tersebut dipanen kemudian diganti 47 48 JENIS HAMA SASARAN ditunjukkan oleh hasil uji infeksi ulang. Dari beberapa jenis cendawan entomopatogen yang diperoleh dari ulat grayak Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera, cendawan Nomuraea rileyi paling efektif mengendalikan S. litura dengan mortalitas mencapai 100% (Prayogo et al. 2002a; Gambar 1). Cendawan tersebut dilaporkan merupakan salah satu agen hayati yang potensial untuk mengendalikan hama dari ordo Lepidoptera, walaupun juga mampu menginfeksi serangga dari ordo lain (Ignofo 1981; Suryawan dan Carner 1993). Fakta lain menunjukkan bahwa cendawan Verticillium lecanii yang diisolasi dari walang sangit (Leptocoriza acuta) efektif terhadap hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (Prayogo 2004) dengan menyebabkan mortalitas yang cukup tinggi dan biji yang rusak relatif rendah (Gambar 2). Cendawan V. lecanii juga dapat mengkolonisasi telur R. linearis sehingga banyak telur yang tidak menetas (Gambar 3) (Prayogo 2004; Prayogo et al. 2004). Cendawan B. bassiana juga mampu menginfeksi beberapa jenis serangga hama, terutama dari ordo Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera, dan Coleoptera (Varela dan Morales 1996; Hardaningsih dan Prayogo 2001; Prayogo et al. 2002b). Namun, cendawan tersebut lebih efektif mengendalikan hama dari ordo Coleoptera (Varela dan Morales 1996). Salah satu kelemahan petani dalam pengendalian hama adalah kurangnya pemahaman tentang jenis hama yang akan dikendalikan sehingga akan menentukan keberhasilan usaha pengendalian. Dalam konsep PHT, identifikasi jenis hama merupakan salah satu tindakan pertama yang harus dilakukan petani sebelum mengambil keputusan tindakan pengendalian (Rauf 1996). Melalui identifikasi akan diketahui jenis hama sasaran, perilaku hama, tindakan pengendalian yang diperlukan, dan kapan tindakan pengendalian perlu dilakukan. Dengan mengetahui hama yang menyerang tanaman, secara tidak langsung dapat diketahui pula jenis cendawan entomopatogen yang sesuai untuk tindakan pengendalian, karena setiap jenis cendawan entomopatogen mempunyai inang yang spesifik. Cendawan Metarhizium anisopliae, misalnya, diketahui dapat menginfeksi beberapa jenis serangga dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera. (Lee dan Hou 1989; Romero et al. 1997; Luz et al. 1998; Kanga et al. 2003; Strack 2003). Namun M. anisopliae paling efektif bila digunakan untuk mengendalikan hama dari ordo Isoptera (Strack 2003). Hal ini karena adanya hubungan perilaku antara serangga inang dengan keefektifan cendawan entomopatogen. Fenomena tersebut Mortalitas S. litura (%) 100 90 80 70 60 50 40 Gambar 1. A. parasiticus Penicillium sp. V. lecanii B. bassiana P. fumosoroseus N. rileyi 10 0 Fusarium sp. 30 20 M. anisopliae dengan jenis tanaman lain maka inokulum cendawan sebagai sumber infeksi awal di lapangan sulit untuk bertahan hidup dan berkembang (Hajek et al. 1990; Farques et al. 1997; Thomas dan Jenkins 1997). Hal ini berbeda dengan tanaman perkebunan. Biasanya tanaman yang dibudidayakan hanya satu jenis dan bersifat tahunan, sehingga cendawan entomopatogen yang diaplikasikan mudah menyesuaikan diri dan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Kendala lainnya adalah jika tanaman yang dibudidayakan beragam bahkan berganti hampir setiap musim maka jenis hama yang menyerang juga berbedabeda. Jenis hama yang menyerang tanaman akan menentukan keefektifan cendawan entomopatogen karena setiap jenis cendawan entomopatogen mempunyai inang yang spesifik, walaupun ada pula yang mempunyai kisaran inang cukup luas (Santoso 1993; Suryawan dan Carner 1993; Prayogo et al. 2002a; Prayogo 2004). Jenis inang setiap jenis cendawan entomopatogen biasanya belum dipahami oleh petani. Keefektifan cendawan entomopatogen di lapangan juga ditentukan oleh stadia inang pada saat cendawan diaplikasikan. Biasanya populasi hama di lapangan sering tumpang tindih, terutama hama dari ordo Lepidoptera dan Hemiptera. Perubahan stadia instar (nimfa) serangga akan mempengaruhi perilaku serangga tersebut yang akhirnya akan menentukan keefektifan cendawan. Keefektifan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh kondisi lingkungan, seperti curah hujan dan sinar matahari khususnya sinar ultra violet yang dapat merusak konidia cendawan (Tanada dan Kaya 1993; Wahyunendo 2002; Prayogo 2004; Suharsono dan Prayogo 2005). Konidia merupakan salah satu organ infektif (propagule) cendawan yang menyebabkan infeksi pada integumen serangga yang diakhiri dengan kematian. Oleh karena itu, konidia cendawan tersebut perlu dilindungi waktu diaplikasikan, baik dengan bahan perekat maupun bahan pembawa sehingga pengaruh buruk tersebut dapat dieliminir. Tulisan ini menyajikan berbagai faktor yang mempengaruhi keefektifan cendawan entomopatogen dan upaya untuk meningkatkan keefektifannya dalam pengendalian hama, terutama pada tanaman pangan. Mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura) akibat aplikasi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo et al. 2002a). Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 Jumlah tusukan R. linearis pada tiap biji Mortalitas R. linearis (%) 90 Mortalitas 35 80 70 Jumlah tusukan 30 25 60 50 20 40 15 30 10 Kontrol M. anisopliae P. fumosoroseus N. rileyi B. bassiana 5 V. lecanii 20 10 0 0 aplikasi cendawan entomopatogen pada musim hujan belum pernah dilaporkan. Aplikasi V. lecanii pada sore hari (setelah pukul 16.00) mampu menyebabkan kematian hama pengisap polong kedelai R. linearis hingga 80%. Makin tinggi mortalitas serangga, jumlah biji yang rusak pun makin menurun (Prayogo dan Tengkano 2004b). Penurunan kerusakan biji tampak pada jumlah tusukan stilet R. linearis yang hanya 3 tusukan tiap biji bila cendawan entomopatogen diaplikasikan pada sore hari, dan meningkat menjadi 4,70−6,30 tusukan tiap biji bila aplikasi dilakukan pada pagi hingga siang hari (Gambar 4). KONSENTRASI APLIKASI Gambar 2. Mortalitas Riptortus linearis dan jumlah tusukan pada biji kedelai pada aplikasi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo 2004). Gambar 3. Telur Riptortus linearis yang terkolonisasi cendawan entomopatogen V. lecanii (kiri) dan kelompok telur R. linearis yang tidak menetas akibat terinfeksi V. lecanii (kanan) (Prayogo 2004). WAKTU APLIKASI Keefektifan cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Setelah diaplikasikan, cendawan entomopatogen memerlukan kelembapan yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang (Lacey dan Goettel 1995; Mazet et al. 1996). Kelembapan udara yang tinggi diperlukan selama proses pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi ke integumen serangga (Steinkraus dan Slaymaker 1994; Arthurs dan Thomas 2001). Kelembapan di atas 90% selama 6−12 jam setelah inokulasi dibutuhkan cendawan untuk melakukan penetrasi ke dalam tubuh serangga (Hoddle Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 1999; Altre dan Vandenberg 2001a; Cloyd 2003). Waktu aplikasi perlu diperhatikan karena cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap sinar matahari khususnya sinar ultra violet (Altre dan Vandenberg 2001b; Cloyd 2003). Bila terkena sinar matahari dalam waktu 4 jam, cendawan V. lecanii akan kehilangan viabilitas sebesar 16% (Suharsono dan Prayogo 2005), dan bila terkena sinar matahari 8 jam, viabilitas berkurang hingga di atas 50%. Oleh karena itu, bila cendawan diaplikasikan pada musim kemarau perlu dihindarkan dari sinar matahari langsung dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat kelembapan udara tinggi (sore hari). Keberhasilan Keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh konsentrasi cendawan yang diaplikasikan (Hall 1980), yaitu kerapatan konidia dalam setiap mililiter air. Jumlah konidia berkaitan dengan banyaknya biakan cendawan yang dibutuhkan setiap hektar. Kerapatan konidia yang dibutuhkan untuk mengendalikan hama bergantung pada jenis dan populasi hama yang akan dikendalikan (Tohidin et al. 1993; Wikardi 1993). Pada tanaman pangan, kerapatan konidia yang dibutuhkan lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanaman perkebunan. Untuk mengendalikan hama wereng coklat, dibutuhkan kerapatan konidia cendawan M. anisopliae 1015/ml (Baehaki dan Noviyanti 1993; Tabel 1). Sementara itu untuk mengendalikan hama ulat daun kelapa sawit (Darna catenata) hanya dibutuhkan kerapatan konidia B. Jumlah tusukan tiap biji 7 6 5 4 3 2 1 0 123 123 123 123 123 123 123 123 123 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 07.00 10.00 13.00 16.00 Waktu aplikasi Gambar 4. Jumlah tusukan R. linearis pada biji kedelai berdasarkan waktu aplikasi cendawan V. lecanii (Prayogo dan Tengkano 2004b). 49 Tabel 1. Mortalitas imago wereng coklat pada beberapa kerapatan konidia Metarhizium anisopliae. Kerapatan konidia M. anisopliae 0 10 5 10 10 10 15 Mortalitas wereng coklat pada n MSA (%) 1 9,30 15,30 36,70 39,30 2 3 13,30 27,30 54,70 61,70 13,30 27,30 55,30 63 MSA = minggu setelah aplikasi. Sumber: Baehaki dan Noviyanti (1993). bassiana 39,90 x 106/ml untuk mencapai mortalitas 100% (Daud et al. 1993). Hal ini karena tanaman pangan bersifat semusim, sehingga sekali aplikasi cendawan harus mampu menginfeksi dan mengkolonisasi serangga hama sasaran. Oleh karena itu, kerapatan konidia yang dibutuhkan lebih tinggi. Konsentrasi cendawan entomopatogen harus ditentukan secara tepat untuk mendapatkan hasil pengendalian yang optimal. Kerapatan konidia M. anisopliae yang tepat untuk mengendalikan ulat grayak (S. litura) adalah 107/ml (Prayogo dan Tengkano 2004a) (Tabel 2). Untuk mengendalikan hama walang sangit (L. acuta) pada tanaman padi dibutuhkan kerapatan konidia cendawan B. bassiana 107/ml (Tohidin et al. 1993). Kerapatan konidia B. bassiana 107/ml juga efektif untuk mengendalikan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei), yang setara dengan biakan cendawan 1 kg/ha (Haryanta et al. 1993). Untuk tanaman pangan, dosis yang diperlukan dua kali lebih banyak, yaitu 2 kg/ha untuk memperoleh hasil yang optimal. Tabel 2. Kematian larva Spodoptera litura instar 2 pada aplikasi beberapa konsentrasi konidia M. anisopliae. Konsentrasi M. anisopliae (ml air) Mortalitas S. litura (%) pada n HSA 2 4 6 8 10 12 10 4 10 5 10 6 10 7 10 8 8 13,67 14,33 22 23 35,33 43,67 45,67 56 51 42 50,67 55 77,33 64,33 44,33 54 60 79 70,67 47,33 54,33 60,67 82,67 71 48 55 64,33 83,33 71,67 KK (%) 19,27 14,60 15,42 15,42 17,72 17,07 HSA = hari setelah aplikasi. Sumber: Prayogo dan Tengkano (2004a). hujan, angin, dan sinar matahari. Aplikasi juga perlu memperhatikan stadia serangga hama di lapangan yang saling tumpang tindih (tidak seragam). Perubahan stadia instar (nimfa) akan mengakibatkan perubahan perilaku serangga yang akhirnya berpengaruh pada frekuensi aplikasi. Frekuensi aplikasi perlu diketahui dengan tepat agar populasi hama di bawah nilai ambang kendali. Aplikasi M. anisopliae tiga kali berturut-turut selama 3 hari lebih efektif mengendalikan S. litura hingga menyebabkan kematian 86%, dibandingkan dengan aplikasi satu kali yang hanya menimbulkan kematian 40% (Gambar 5; Prayogo dan Tengkano 2004a). 50 Keberhasilan konidia cendawan entomopatogen menempel pada integumen 100 90 80 70 50 Keefektifan cendawan entomopatogen dalam pengendalian hama juga ditentukan oleh frekuensi aplikasi. Hal ini karena konidia yang diaplikasikan pada tahap awal (yang belum mampu menginfeksi hama sasaran) perlu digantikan oleh konidia yang diaplikasikan pada tahap selanjutnya. Frekuensi aplikasi dipengaruhi oleh kondisi cuaca, seperti curah PENAMBAHAN PEREKAT Mortalitas S. litura (%) 3 HSA 1238 HSA 123 123 12 HSA 60 FREKUENSI APLIKASI Bahkan untuk mengendalikan ulat jengkal (E. bhurmitra) pada tanaman teh diperlukan aplikasi cendawan B. bassiana atau P. fumosoroseus hingga empat kali (Widayat dan Rayati 1993a; 1993b). Di daerah dengan curah hujan tinggi dianjurkan melakukan aplikasi berulang kali untuk menghindari kegagalan konidia dalam menginfeksi serangga (Hoddle 1999; Cloyd 2003). 40 30 20 10 0 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1x aplikasi Gambar 5. 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 2x aplikasi 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 3x aplikasi Mortalitas Spodoptera litura pada berbagai waktu dan frekuensi aplikasi cendawan M. anisopliae (Prayogo dan Tengkano 2004a). Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 serangga akan menentukan proses infeksi lebih lanjut yaitu proliferasi dalam organ yang diakhiri dengan kematian serangga. Proses infeksi dapat mengalami kegagalan baik karena faktor internal (viabilitas cendawan entomopatogen) maupun faktor eksternal seperti perubahan stadia instar (nimfa) dan lingkungan (angin, sinar matahari, dan hujan). Salah satu upaya untuk menjamin keberhasilan proses inokulasi adalah dengan menggunakan bahan perekat untuk meningkatkan daya rekat konidia pada integumen serangga (Devi dan Prasad 1988; Widayat dan Rayati 1993b; Leland 2001a; 2001b). Dengan cara demikian, konidia langsung dapat menempel pada integumen serangga serta melakukan infeksi lebih lanjut. Penambahan bahan perekat alkil gliserol ftalat 1 ml/l ke dalam suspensi V. lecanii sebelum aplikasi mampu meningkatkan keefektifan cendawan entomopatogen hingga 20% dibanding kontrol (Prayogo dan Tengkano 2004b). Keefektifan cendawan terlihat dari menurunnya biji yang rusak akibat tusukan stilet hama pengisap polong R. linearis hingga 43% (Prayogo dan Tengkano 2004b). Bahan perekat lainnya, yaitu alkilaril poliglikol eter juga mampu menekan kerusakan biji kedelai, dan keefektifan V. lecanii lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan alkil gliserol ftalat (Gambar 6). Penambahan perekat ke dalam suspensi cendawan entomopatogen dianjurkan dilakukan sebelum aplikasi, terutama untuk mengendalikan hama yang mengalami pergantian kulit beberapa kali. Bila cendawan diaplikasikan saat serangga berganti kulit maka konidia cendawan yang diaplikasikan tidak mampu menginfeksi integumen serangga karena ikut terlepas sewaktu serangga mengalami ganti kulit (Widayat dan Rayati 1993a; Prayogo dan Tengkano 2002b). Ulat grayak selama stadia larva akan mengalami ganti kulit enam kali. Pergantian kulit yang paling tinggi terjadi pada larva instar III dan IV yang hampir mencapai 50% (Gambar 7). Hasil aplikasi cendawan M. anisopliae pada stadia instar tersebut menyebabkan mortalitas lebih rendah yaitu kurang dari 20% dibandingkan pada instar lainnya. Sebaliknya instar I, II, V, dan VI mengalami ganti kulit lebih rendah sehingga aplikasi cendawan lebih efektif (Prayogo dan Tengkano 2002b). Hal ini karena selain ditentukan oleh pergantian kulit, perilaku serangga juga mempengaruhi keefektifan cendawan entomopatogen (Widayat dan Rayati 1993b). PENAMBAHAN BAHAN PEMBAWA Tidak semua konidia cendawan entomopatogen yang diaplikasikan berhasil mencapai sasaran karena mobilitas serangga yang tinggi terutama hama dari ordo Homoptera dan Hemiptera, cara aplikasi yang tidak benar, serta adanya proses ganti kulit pada serangga. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menambahkan bahan pembawa (carrier) sebagai makanan cadangan (starter) bagi konidia sebelum berhasil menginfeksi serangga. Dengan demikian, konidia yang gagal menginfeksi serangga masih dapat bertahan dengan makanan cadangan. Penambahan bahan pembawa berupa tetes tebu sebanyak 10 ml/1.000 ml air pada suspensi konidia cendawan B. bassiana, V. lecanii, dan P. fumosoroseus mampu meningkatkan mortalitas hama tungau merah pada ubi kayu (Gambar 8). Keefektifan cendawan terlihat dari peningkatan mortalitas tungau merah hingga mencapai 17%. Bahan pembawa tetes tebu lebih efektif dibandingkan dengan larutan gula dan agar-agar, baik pada B. bassiana, V. lecanii maupun P. fumosoroseus (Prayogo dan Indiati 2004). Hal ini diduga karena tetes tebu masih banyak mengandung berbagai unsur nutrisi, terutama gula dan protein yang sangat diperlukan cendawan untuk pertumbuhan dan pembentukan spora (Prayogo dan Tengkano 2002a; Mello-Pererira dan daEira 2003; Yuliatin 2004). Sebelum menemukan hama inang, cendawan entomopatogen memerlukan lingkungan yang sesuai seperti tersedianya nutrisi yang cukup agar viabilitas konidia tetap tinggi dan konidia tidak mengalami kekeringan (desiccation) bahkan kematian sebelum proses infeksi. Viabilitas yang tinggi Mortalitas S. litura (%) Ganti kulit (%) 50 Jumlah tusukan R. linearis pada tiap biji 7 6 5 4 3 2 1 0 Alkil gliserol ftalat Alkilaril poliglikol eter 45 123 123 123 123 123 123 123 123 20 Kontrol 15 Jenis bahan perekat Gambar 6. 60 Kerusakan biji kedelai pada aplikasi V. lecanii dengan berbagai bahan perekat (Prayogo dan Tengkano 2004b). Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 50 40 35 40 30 25 30 20 10 10 5 0 Gambar 7. Instar I Instar II Instar III Instar IV Instar V Instar VI 0 Hubungan antara instar Spodoptera litura dengan mortalitas dan ganti kulit (Prayogo dan Tengkano 2002b). 51 Mortalitas T. bimaculatus (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Larutan gula 12 12 Tetes tebu 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 B. bassiana Gambar 8. 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 Agar-agar V. lecanii 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 P. fumosoroseus Mortalitas hama tungau merah akibat aplikasi cendawan entomopatogen dengan berbagai bahan pembawa (Prayogo dan Indiati 2004). sangat menentukan keefektifan cendawan entomopatogen (James dan Jaronski 2000; James 2001; Prayogo dan Tengkano 2002a; Suharsono dan Prayogo 2005). KESIMPULAN Keefektifan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama tanaman pangan dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya, antara lain: 1) mengetahui jenis hama yang akan dikendalikan, 2) melakukan aplikasi pada sore hari dengan dosis aplikasi 1−2 kg biakan cendawan tiap hektar dengan kerapatan konidia minimal 107/ml, 3) melakukan aplikasi tiga kali berturut-turut selama 3 hari, dan 4) menambahkan perekat alkil gliserol ftalat dan bahan pembawa berupa tetes tebu pada suspensi konidia sebelum diaplikasikan pada hama sasaran. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Dr. Ir. Suharsono, MS., Kepala Balitkabi Prof. (Riset) Dr. Subandi, Ketua PEKI Prof. (Riset) Dr. Titis Adisarwanto, dan Prof. (Riset) Dr. Nasir Saleh atas saran dan koreksi terhadap naskah ini. DAFTAR PUSTAKA Altre, J.A. and J.D. Vandenberg. 2001a. Penetration of cuticle and proliferation in himolymph by Paecilomyces fumosoroseus isolates that differ in virulence against lepidopteran larvae. J. Invertebr. Pathol. (78): 78−85. Altre, J.A. and J.D. Vandenberg. 2001b. Factors influencing the infectivity of isolates of Paecilomyces fumosoroseus against diamondback moth Plutella xylostella. J. Invertebr. Pathol. (78): 31−36. Arthurs, S. and M.B. Thomas. 2001. Effects of temperature and relative humidity on speculation of Metarhizium anisopliae var. acridum in mycosed cadavers of Schistocerca gregaria. J. Invertebr. Pathol. (78): 59−65. Baehaki, S.E. dan Noviyanti. 1993. Pengaruh umur biakan Metarhizium anisopliae strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat. hlm. 113−124. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 52 Cloyd, R. 2003. The entomopathogen Verticillium lecanii. Midwest Biological Control News. University of Illions. http://www. extension.umn.Edu/distribution/horticulture/ DG7373.html [22 April 2005]. Daud, I.D., A. Papulung, dan Mery. 1993. Efektivitas lima konsentrasi suspensi spora Beauveria bassiana Vuill. terhadap mortalitas tiga instar larva Darna catenata Snellen (Lepidoptera: Limacodidae). hlm. 125−134. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Devi, P.S.V. and Y.G. Prasad. 1988. Compatibility of soil and atifeedants of plant origin with the entomopathogenic fungus Nomuraea rileyi. J. Invertebr. Pathol. (68): 91−93. Farques, J., A. Ouedraogo, M.S. Goettel, and C.J. Lomer. 1997. Effect of temperature, humidity, and inoculation method on susceptibility of Schistocera gregaria to Metarhizium flavoviridae. Biocontrol Sci. Technol. (7): 345−356. Glare, T.R., R.J. Townsend, and S.D. Young. 1995. Temperature limitations on field effectiveness of Metarhizium anisopliae against Costelytra zealandica (White) (Coleoptera:Scarabidae) in Canterbury. The New Zealand Plat Protection Society Incorporated. http://www.hornet.co.nz/publications/nzpps/proceeding/94/94 266.htm [20 December 2003]. Hajek, A.E., R.I. Carruthers, and R.S. Soper. 1990. Temperature and moisture relations of sporulation and germination by Entomophaga maimaiga (Zygomycetes: Entomophthoraceae), a fungal pathogen of Lymantria dispar (Lepidoptera: Lymantriidae). Environ. Entomol. (19): 85−90. Hall, R.A. 1980. Control of aphids by the fungus, Verticillium lecanii: Effect of spore concentration. Entomol. Experiment. App. (27): 1−5. Hardaningsih, S. dan Y. Prayogo. 2001. Identifikasi dan patogenisitas jamur entomopatogen untuk mengendalikan hama pengisap polong (Riptortus linearis) dan hama boleng (Cylas formicarius). hlm. 145−150. Dalam B. Praswanto, H. Semangun, N. Widijawati, Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 D. Rahardjo, A. Prasetyaningsih, dan C. Amarantini (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta, 8−9 Juni 2001. Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Haryanta, D., A. Susilo, dan H. Prasetyono. 1993. Pengaruh dosis dan waktu aplikasi cendawan Beauveria bassiana terhadap efektivitas pengendalian bubuk buah kopi (Hypothenemus hampei). hlm. 249−254. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12− 13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hoddle, M.S. 1999. The biology and management of silverleaf whitefly Bemisia argentifolii Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae) on greenhouse grown ornament a l s . h t t p : / / w w w. b i o c o n t r o l . u c r. e d u / bemisia.html# verticillium [5 April 2005]. Ignofo, C.M. 1981. The fungus Nomuraea rileyi as a microbial insecticide. In Microbial Control of Pests and Diseases 1970−1980. Academic Press, London. p. 513−538. James, R.R. and S. Jaronski. 2000. Effect of low viability on infectivity of Beauveria bassiana conidia toward the silverleaf whitefly. J. Invertebr. Pathol. (76): 227−228. James, R.R. 2001. Effect of exogeneous nutrients on conidial germination and virulence against the silverlef whitefly for two hyphomycetes. J. Invertebr. Pathol. (77): 99−107. Junianto, Y.D. 2000. Penggunaan Beauveria bassiana untuk pengendalian hama tanaman kopi dan kakao. Workshop Nasional Pengendalian Hayati OPT Tanaman Perkebunan, Cipayung, 15−17 Februari 2000. Balai Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. 15 hlm. Kanga, L.B.B., W.A. Jones, and R.R. James. 2003. Field trials using fungal pathogen, Metarhizium anisopliae (Deuteromycetes: Hyphomycetes) to control the ectoparasitic mite Varroa destructor (Acari: Varroidae) in honey bee Aphis mellifera (Hymenoptera: Apididae) colonies. J. Environ. Entomol. (96): 1.091−1.099. http://www.bioone.org/bioone/ request=get-abstract&issn =00220493&volume=0964issue=048& page=1.091.htm [20 December 2003]. Kaaya, G.P., E.N. Mwangi, and E.A. Ouna. 1996. Prospects for biological control of livestock ticks Rhipicephalus appendiculatus and Amblyomma variegatum using the entomogenous fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. J. Invertebr. Pathol. (67): 15−20. Kim, J.J., M.H. Lee, C.S. Yoon, H.S. Kim, and J.K. You. 2001. Control of cotton aphid and greenhouse whitefly with a fungal pathogen. Food & Fertilizer Technology Center, An international information center for farmers in the Asia Pacific Region. http:// www.agnet.org/library/article/eb502.htm [27 March 2004]. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 Lacey, L.A. and M.S. Goettel. 1995. Current developments in microbial control of insect pests and prospects for the early 21 st century. Entomophaga (40): 3−27. Leland, J.E. 2001a. Enviromental-stress tolerant formulations of Metarhizium anisopliae var. Acridum for control of African Desert Locust (Schistocerca gregaria). Dissertation. Faculty of Virginia Polytechnic. http:// s c h o l a r. l i b . v t . e d u / t h e s e s / a v a i l a b l e / etd_12052001_115455/unrestrictited/ JlelandDisertation. PDF [21 July 2005]. Leland, J.E. 2001b. Coating Metarhizium anisopliae var Acridum with water soluble lignins for enhanced UVB-protection and effects on virulence to Schistocerca Americana (Drary). Virginia: Department of Entomology. http://essa.confex.com/esa/ 2001/echprogram/paper3552.htm [21 July 2005]. Lee, P.C. and R. Hou. 1989. Pathogenesis of Metarhizium anisopliae var. anisopliae in the smaller brown planthopper, laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol. (9): 13−19. http://www.entsoc.org.tw/english/journal/ 9vol/nol/2.htm. [20 December 2003]. Luz, C., M.S. Tigano, I.G. Silva, C.M.T. Cordeiro, and S.M. Aljanabi. 1998. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae isolates to control Triatoma infestans. Memorias do instituto Oswaldo Cruz (93): 839−846 [serial online] http:// memorias.ioc.fiocruz.br/936/3556.html. [20 December 2003]. Mazet, I., J.C. Pendland, and D.G. Boucias. 1996. Dependence of Verticillium lecanii (Fungi:Hypomycetes) on high humidity for infection and sporulation using Myzus persicae (Homoptera:Aphididae) as host. Environ. Entomol. (15): 380−382. Mello-Pererira, S.R. and A.F. daEira. 2003. Methodology for production of Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin in submerged cultivation: biomass sporulation, sugar concentration effect and inoculation cost. http://www.ufsm.br/ccr/revista/resumes/ rv293/eng/rvi293_1001.html [20 April 2005]. Oduor, G.I., G.J. de-Morales, L.P.S. vander Geest, and J.S. Yaninek. 1996. Production and germination of primary conidia of Neozygites floridana (Zygomycetes: Entomophthorales) under constant temperatures, humidities, and photoperiods. J. Invertebr. Pathol. (68): 213−222. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002a. Pengaruh media tumbuh terhadap daya berkecambah, sporulasi, dan virulensi Metarhizium anisopliae (Metchnikoff) Sorokin isolat Kendalpayak pada larva Spodoptera litura. Jurnal Ilmiah Sainteks IX(4): 233−241. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002b. Pengaruh umur larva Spodoptera litura terhadap efektivitas Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak. Majalah Ilmiah Biologi Biosfera 3(19): 70−76. Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Suharsono. 2002a. Jamur entomopatogen pada Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Malang, 25− 26 Juni 2002. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 15 hlm. Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Suharsono. 2002b. Efektivitas jamur Beauveria bassiana isolat Probolinggo untuk mengendalikan hama pengisap polong kacang-kacangan. Seminar Nasional Perkembangan Terkini Pengendalian Hayati di Bidang Pertanian dan Kesehatan. Institut Pertanian Bogor, 5 September 2002. 12 hlm. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2004a. Pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi Metarhizium anisopliae isolat kendalpayak terhadap tingkat kematian Spodoptera litura. Jurnal Ilmiah Sainteks XI(3): 233−243. Universitas Semarang. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2004b. Peningkatan keefektifan dan waktu aplikasi yang tepat cendawan Verticillium lecanii untuk mengendalikan hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae). Laporan Tahunan Hasil Penelitian Tahun 2004. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Prayogo, Y. 2004. Keefektifan lima jenis cendawan entomopatogen terhadap hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (L.) (Hemiptera: Alydidae) dan dampaknya terhadap predator Oxyopes javanus Thorell (Araneida: Oxyopidae). Tesis. Departemen Hama Penyakit Tanaman, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 51 hlm. Prayogo, Y dan S.W. Indiati. 2004. Pengaruh bahan perekat dan bahan pembawa pada tiga jenis cendawan entomopatogen untuk mengendalikan hama tungau merah pada ubi kayu. Laporan Tahunan Hasil Penelitian Tahun 2004. (belum diterbitkan) Prayogo, Y., T. Santoso, dan Widodo. 2004. Keefektifan lima jenis cendawan entomopatogen terhadap telur hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis) (Hemiptera: Alydidae). Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan UmbiUmbian. 11 hlm (belum terbit). Rauf, A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional, Jatisari, 2−9 Januari 1996. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Institut Pertanian Bogor. Reithinger, R., C.R. Davies, H. Cadena, and B. Alexander. 1997. Evaluation of the fungus Beauveria bassiana as a potential biological control agent against phlebotomine sand flies in Colombian coffee plantations. J. Invertebr. Pathol. (70): 131−135. 53 Romero, M., M. Estrada, R.F. Castaneda, and M. Lujan. 1997. Morphological and pathogenical characterization of Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin. Cane Sugar 15(1): 17−25. http://memorias.ioc.fiocruz. br/936/3556.html. [20 December 2003]. Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm. 1−15. Sosa-Gomez, D.R. and F. Moscardi. 1997. Laboratory and field studies on the infection of stink bugs Nezara viridula, Piezodorus guildini, and Euschistus heros (Hemiptera: Pentatomidae) with Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana in Brazil. J. Invertebr. Pathol. (71): 115−120. Sudarmadji, D. dan S. Gunawan. 1994. Patogenisitas fungi entomopatogen Beauveria bassiana terhadap Helopeltis antoni. Balai Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. Menara Perkebunan 62(1): 11 hlm. Suharsono dan Y. Prayogo. 2005. Pengaruh lama pemaparan pada sinar matahari terhadap viabilitas jamur entomopatogen Verticillium lecanii. Jurnal Habitat XVI(2): 122−131. Steinkraus, D.C. and P.H. Slaymaker. 1994. Effect of temperature and humidity on formation, germination, and infectivity of conidia of Neozygites fresenii (Zygomycetes: Neozygitaceae) from Aphis gossypii (Homoptera: Aphididae). J. Invertebr. Pathol. (64): 130−137. anisopliae. http://www.utoronto.ca/forest/ termite/metani_1.htm [20 December 2003] Suryawan, I.B.G. dan G.R. Carner. 1993. Cendawan patogen dari serangga hama pada tanaman palawija dan sayuran. hlm. 288− 295. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., California. Thomas, M.B. and N.E. Jenkins. 1997. Effect of temperature on growth of Metarhizium flavoviridae and virulence to the variegated grasshopper Zonocerus variegates. Mycol. Res. (101): 1.469−1.474. Tohidin, A.T. Lisrianto, dan B.P. Machdar. 1993. Daya bunuh jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin (Moniliales: Moniliacea) terhadap Leptocoriza acuta Thunberg (Hemiptera: Alydidae) di rumah kaca. hlm. 135−143. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Varela, A. and E. Morales. 1996. Characterization of some Beauveria bassiana isolates and their virulence toward the coffee berry borer Hypothenemus hampei. J. Invertebr. Pathol. (67): 147−152. Wahyunendo, Y.D. 2002. Sporulasi cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. pada berbagai media alami dan viabilitasnya di bawah pengaruh suhu dan sinar matahari [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993a. Hasil Penelitian Jamur Entomopatogen Lokal dan Prospek Penggunaannya sebagai Insektisida Hayati. hlm. 61−74 Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993b. Pengaruh frekuensi penyemprotan jamur entomopatogenik terhadap ulat jengkal (Ectropis bhurmitra) di perkebunan teh. hlm. 91−103. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12− 13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wikardi, E.A. 1993. Teknik perbanyakan Beauveria bassiana dan aplikasinya di lapang. hlm. 205−214. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Yuliatin, E. 2004. Pengaruh berbagai jenis media alami terhadap pertumbuhan dan perkembangan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii. Laporan Praktek Kerja Lapangan. Universitas Negeri Malang. 25 hlm. Strack, B.H. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopathogen Metarhizium 54 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006