BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Jinengdalem adalah salah satu desa di Kecamatan Buleleng yang merupakan daerah agraris yang mengandalkan sektor pertanian sebagai penggerak perekonomian. Sebagian besar penduduk Desa Jinengdalem bermata pencaharian bercocok tanam padi dengan luas lahan terbanyak adalah persawahan yang membentang di bagian timur dan barat, yang menghasilkan padi. Untuk memproses hasil panen padi, di Desa Jinengdalem terdapat usaha penggilingan padi yang sudah ada sejak tahun 1976 sebagai usaha sektor informal yang menyerap tenaga kerja lokal dari desa setempat. Desa Jinengdalem terletak kurang lebih lima kilometer arah timur dari kota Singaraja. Berbatasan dengan: sebelah selatan Desa Alasangker, barat Desa Penglatan, utara Kelurahan Penarukan, timur Desa Sinabun. Desa Jinengdalem memiliki ketinggian berkisar 75-100 meter dari permukaan air laut. Luas daerah 288,10 Ha dengan jumlah penduduk 4.626 orang dibagi lima wilayah dusun yaitu: Dusun Bukit, Dusun Tingkih, Dusun Gambang, Dusun Ketug Ketug dan Dusun Dalem. Potensi yang ada di Desa Jinengdalem adalah: pertanian, peternakan, kerajinan (tenun dan songket) (BPS Kabupaten Buleleng 2012). Penggilingan padi merupakan salah satu usaha di sektor informal yang diusahakan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Jinengdalem, di samping memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi perekonomian pekerja, penggilingan padi juga memberi dampak yang merugikan kesehatan bagi pekerja karena proses produksi selain menghasilkan beras, juga menimbulkan polutan berupa debu dan bising. Polutan ini mengganggu kenyamanan pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitar penggilingan 1 padi. Debu merupakan bahaya yang dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi faal paru bahkan dapat menimbulkan keracunan umum (Depkes RI, 2003). Lingkungan kerja yang bising dapat menyebabkan tenaga kerja mengalami gangguan konsentrasi, gangguan komunikasi, gangguan berfikir, penurunan kemampuan kerja, emosi meningkat, otot menjadi tegang dan metabolisme tubuh menjadi meningkat (Suma’mur, 2011). Lingkungan kerja pada proses penggilingan padi belum memberikan kenyamanan terhadap pekerja. Hasil pengukuran di empat titik tempat kerja ditemukan intensitas bising mencapai 88,33 dB(A). Intensitas tersebut melebihi ketentuan Kemenakertrans No 13/MEN/X/2011 yang menyarankan agar intensitas bising tidak melebihi 85 dB(A). Intensitas bising yang melebihi 85 dB(A) pada penggilingan padi memapar pekerja selama delapan jam kerja dan keadaan ini akan mempengaruhi kenyamanan pekerja, gangguan komunikasi, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot dan kelelahan. Konsekuensinya tentu akan berpengaruh terhadap kesehatan kerja dan produktivitas kerja. Sedangkan kadar debu di penggiling padi yaitu sebesar 3,22 mg/m³ melebihi NAB yaitu 3 mg/m³ menimbulkan gangguang pernafasan, keluhan sesak nafas yang dirasakan pekerja, pencemaran lingkungan kerja karena debu, maupun lingkungan masyarakat di sekitar tempat penggilingan padi. Pada penelitian pendahuluan, proses kerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem diawali dengan datangnya petani pemilik gabah untuk menggiling gabah, akan tetapi tidak menutup kemungkinan perusahaan penggilingan padi menjemput gabah yang akan digiling ke setiap pemilik gabah bila ada pesanan. Usaha penggilingan padi di Desa Jinengdalem produksinya berupa beras siap konsumsi rata-rata 4000 kg per hari (420 kg per jam). Bila musim panen tiba, maka perusahaan perlu menambah jam kerja selama 1,5 jam. 2 Dari proses penggilingan padi tersebut masalah ergonomi muncul ketika proses pengolahan gabah bersih menjadi beras pecah kulit, di mana pekerja bekerja dengan sikap membungkuk mengangkat gabah dalam karung untuk dipindahkan ke mesin pecah kulit yang dilakukan berulang kali (50 kali/jam). Kondisi tersebut mengakibatkan beban kerja bertambah. Pada proses pecah kulit, pekerja menggunakan meja kerja berundak untuk mencapai mesin dengan ketinggian 208 cm, undak pertama tingginya 78 cm dari lantai dan undak ke dua dengan ketinggian 61 cm dari undak pertama. Di mana sebelumnya pekerja mengangkat karung berisi gabah kering seberat 50 kg menaiki undakan setinggi 78 cm dengan sikap membungkuk dan kaki ditekuk sehingga paha menyentuh perut. Pada mesin penyosohan pekerja memindahkan beras pecah kulit dengan sikap menengadah, posisi lengan melebihi tinggi bahu yang dilakukan secara berulang (175 kali/jam). Di mana sikap kerja ini merupakan sikap kerja yang tidak alamiah. Menurut Suyoga (2003), dimensi tangga dan antropometri pengguna memiliki hubungan erat, desain ini diperlukan untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna. Jam kerja pada penggilingan padi ini dimulai dari pukul 08.00-17.30 WITA, bila musim panen, jam kerja bisa mencapai pukul 18.00 WITA. Istirahat siang atau waktu makan diberikan pada pukul 11.30-12.30 WITA. Berdasarkan kurva laju produksi individu yang bekerja fisik tampak bahwa produksi akan meningkat mulai jam kerja pukul 08.00 dan produksi maksimum pada pukul 10.00 setelah itu menurun hingga istirahat makan siang pada pukul 12.00. Setelah istirahat satu jam produktivitas meningkat lagi dari pukul 13.00 dan konstan hingga pukul 13.30, kemudian terus menurun (Meyer dan Steward, 2002). Waktu produksi yang terlalu panjang melebihi waktu kerja normal (>8 jam/hari) dan tidak menentu, akan menyebabkan kelelahan yang terakumulasi. Mengacu pada Kemenaker No 102/MEN/VII/2004 di mana waktu 3 kerja normal dalam satu hari adalah delapan jam dan 40 jam kerja dalam satu minggu untuk lima hari, perlu ada pembenahan dalam waktu produksi. Pada penelitian terhadap lima orang pekerja, ditemukan hasil pengukuran denyut nadi pada saat bekerja menunjukkan rerata 128,8±1,92 dpm. Beban kerja tersebut termasuk katagori beban kerja berat (Grandjean dan Kroemer, 2009). Posisi kerja berdiri dengan sikap kerja membungkuk dan kepala menunduk terutama gerak lengan dan tangan mengangkat dan mengangkut yang dilakukan berulang kali, menyebabkan keluhan muskuloskelatal dan kelelahan meningkat, dengan beda keluhan muskuloskeletal rerata 10,53±1,11. Kondisi kerja yang tidak sesuai dengan kaidah ergonomi akan menimbulkan terjadinya (a) beban kerja tambahan; (b) keluhan muskuloskeletal pada leher, bahu, lengan, tangan, pinggang, paha, kaki; (c) kelelahan; (d) waktu penggilingan yang tidak efisien; dan (e) produktivitas yang rendah. Sikap kerja yang tidak alamiah akan menyebabkan adanya gerakan otot yang tidak seharusnya terjadi serta pemborosan energi, sehingga menimbulkan risiko kelelehan dan cedera otot (Adiputra, 2004). Menurut Suyasning (1998) bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan dengan posisi berdiri memerlukan rancangan meja kerja yang sesuai dengan pemakainya, jika terlalu tinggi akan menyebabkan bahu akan sering terangkat sehingga bisa menimbulkan rasa sakit di daerah leher dan bahu, sedangkan bila terlalu rendah akan menyebabkan punggung terlalu membungkuk yang dapat menyebabkan timbul rasa sakit di pinggang (Grandjean, 2000). Menurut Manuaba (1999) alat kerja yang tidak dirancang dengan baik (secara ergonomis) dapat menyebabkan keluhan subjektif, beban kerja yang berat, tidak efektif dan efisien kepada pekerja dan secara lebih jauh lagi menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan kerja sehingga menyebabkan produktivitas menurun. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap pemakaian alat kerja, 4 hendaknya prinsip-prinsip ergonomis harus sudah dimasukkan semenjak mendesain suatu alat atau sistem kerja atau pada tahap perancangan. Sikap kerja membungkuk menyebabkan reaksi berupa keluhan muskuloskeletal (Pheasant dan Haslegrave, 2006; Grandjean dan Kroemer, 2009). Diperkirakan bahwa sekitar 30% cedera otot skeletal bagian belakang disebabkan karena sikap kerja membungkuk dan memutar, sehingga ikut terputarnya tulang belakang (Pheasant, 2003; Bridger, 2008). Adnyana (2001) menyampaikan, bahwa perubahan sikap paksa menjadi sikap kerja secara alamiah atau fisiologis pada proses penggilingan kopi, dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal. Sikap kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak menimbulkan sikap paksa yang melampaui kemampuan fisologis tubuh (Grandjean, 2000). Pada penelitian ergonomi yang selalu melibatkan manusia di dalamnya tidak terlepas dari faktor sosial budaya di mana orang tersebut dilahirkan dan dibesarkan. Dalam arti luas konsep kebudayaan diartikan sebagai seluruh total dan pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya dan dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar (Koentjaraningrat, 2000). Kebudayaan Bali pada hakekatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Budaya Bali banyak disebut sebagai budaya unik yang lahir dari perkawinan antara spiritualitas, agama, tradisi, seni, kecerdasan, dan lingkungan alam Bali yang me-taksu (Sudira, 2011). Kebudayaan Bali menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam filosofi Tri hita karana (THK). Dunia tradisi Bali yang berjiwa Hindu dengan elemen pemujaan alam dan para leluhur adalah hasil evolusi dan akulturasi dari 5 beberapa budaya yang datang ke pulau Bali. Filosofi THK merupakan konsep nilai kultur lokal yang telah tumbuh, berkembang dalam tradisi masyarakat Bali yang dilandasi masyarakat agraris, dan bahkan saat ini telah menjadi landasan falsafah bisnis, filosofi pengembangan pariwisata, pengaturan tata ruang, dan rencana strategi pembangunan daerah (Riana, 2007). Usaha penggilingan padi di Desa Jinengdalem tidak terlepas dari budaya THK. THK merupakan sebuah filosofi sekaligus telah menjadi way of life masyarakat Hindu di Bali dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam usaha penggilingan padi. Konsep ini mengandung makna bagaimana mencari keharmonisan dengan tidak semata-mata mencari materi ataupun keuntungan, namun bagaimana tujuan hidup untuk mendapatkan kebahagian yang kekal. Budaya THK merupakan konsep harmonisasi hubungan yang selalu dijaga meliputi: parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan antar-manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan) yang bersumber dari kitab suci agama Hindu Baghawad gita yang pada dasarnya analog dengan sistem kebudayaan (Windia dan Ratna, 2007). Tujuan ergonomi adalah: (a) meningkatkan kesejahtetaan fisik dan mental; (b) meningkatkan kesejahteraan sosial; (c) keseimbangan rasional antara sistim manusia atau manusia-alat dengan aspek teknis, ekonomi, antropologi dan budaya. Untuk mengimplementasikan tujuan tersebut di atas perlu berpijak kepada kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia, dengan memperhatikan aspek task, organisasi dan lingkungan (Manuaba, 2003a). Task atau tugas/aktivitas penggilingan padi dihubungkan dengan budaya THK adalah upaya menjaga keselamatan dalam bekerja yang terwujud dalam berdoa sebelum dan setelah bekerja, menghaturkan sesajen, mebanten saiban sebagai ungkapan terima kasih atau rasa syukur kepada Tuhan dan benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak berjasa dalam pekerjaan. Banten saiban 6 tidak hanya dipersembahkan kepada peralatan kerja, tetapi juga kepada dewa-dewa atau manifestasi Tuhan dan bhuta kala (energi negatif) di setiap tempat yang umumnya digunakan sebagai tempat persembahyangan (sanggah/merajan), tempat kerja, halaman, lebuh atau jalan. Dengan harapan setiap aktivitas penggilingan padi dapat dilakukan dengan aman, nyaman dan tidak mendapat gangguan dari hal-hal negatif/buruk. Organisasi pada ergonomi adalah bagaimana aktivitas penggilingan padi diorganisisir, seperti perbaikan sikap kerja, pengaturan jam kerja, pemberian istirahat pendek dan kudapan. Hal ini sangat jelas mengacu pada konsep tat twam asi (aku adalah kamu) dan menyama braya yaitu konsep persaudaraan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menghargai sesama pekerja ataupun antara pemilik usaha dan pekerja. Lingkungan kerja yang tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja pekerja dan juga mengganggu masyarakat sekitar penggilingan padi. Lingkungan kerja di penggilingan padi yang perlu diperhatikan adalah suhu, kelembaban, bising dan debu di tempat kerja. Dilihat dari budaya THK aspek ini mengacu pada redisain undakan dan pemberian pelindung vent belt yang menggunakan antropometri pekerja penggilingan padi. Penambahan ventilasi yang mengarah pada kelod kauh untuk mengurangi kadar debu dan bising di ruang kerja. Sehingga pekerja dapat bekerja dengan efektif, aman, nyaman, sehat dan efisien. Permasalahan ergonomi dari aspek budaya THK di penggilingan padi adalah: (1) jam kerja melebihi delapan jam sehari, (2) sikap kerja yang tidak ergonomis, (3) istirahat satu kali pada saat makan siang tanpa adanya istirahat pendek, hal ini bertentangan dengan aspek pawongan (hubungan manusia-manusia) dengan nilai-nilai toleransi didasarkan atas konsep Tat twam asi sebagai bentuk rasa empati dan menyama braya berupa hubungan antara pemilik usaha dan pekerja, (4) pekerja bekerja dengan menggunakan undakan yang tidak ergonomis tidak sesuai dengan antropometri 7 pekerja, dan (5) pekerja bekerja dalam kondisi lingkungan kerja yang bising dan berdebu, hal ini bertentangan dengan aspek palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan). Selain mengganggu masyarakat di sekitar penggilingan padi, hal ini menimbulkan beban kerja bagi pekerja ditambah lagi dengan cara mengangkat dan mengangkut yang tidak ergonomis disertai gerakan tidak fisiologis yang berulang-ulang akan menimbulkan gangguan pada otot. Aplikasi konsep ergonomi total yang selaras dengan THK di penggilingan padi dari aspek pawongan yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, telah dilaksanakan pada aktivitas kerja sehari-hari seperti para pekerja sembahyang sebelum bekerja, mempersembahkan sesaji setiap hari rerainan (purnama, tilem, kajeng kliwon), memberikan sesaji pada peralatan kerja setiap tumpek landep untuk mendoakan agar selamat/rahayu selama melaksanakan pekerjaan penggilingan padi. Dalam menganalisis suatu permasalahan ergonomi dari aspek budaya THK di penggilingan padi, segalanya perlu dipertimbangkan dalam satu kesatuan secara utuh, dikaji dari sudut pandang berbagai disiplin ilmu dan melibatkan berbagai unsur terkait. Pemecahan masalah secara komprehensip dapat dilakukan dengan berorientasi pada pendekatan ergonomi total. Penelitian maupun usaha pemecahan masalah dengan menitikberatkan pada satu aspek saja tanpa berpikir secara holistik cenderung akan menimbulkan masalah baru pada aspek lain (Manuaba, 2006). Pendekatan ergonomi total merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Pendekatan ergonomi total merupakan gabungan penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) melalui pendekatan SHIP (Sitemic, Holistic, Interdisiplinary dan Partisipatory. Keberhasilan pendekatan ini telah terbukti melalui penelitian yang dilakukan Adnyani (2013) pada perajin kain endek di Kecamatan Blahbatuh Gianyar, di mana dengan intervensi ergonomi total yang didalamnya 8 menggunakan penerapan TTG melalui pendekatan SHIP mampu menurunkan kelelahan 17,05%. Upaya untuk mengurangi berbagai masalah yang dijumpai dengan pendekatan ergonomi total pada pekerja penggilingan padi dapat menjadi salah satu intervensi yang mampu memberikan suatu perbaikan secara menyeluruh. Perbaikan yang dilakukan dengan mengedepankan partisipasi pekerja sehingga mampu menciptakan kondisi kerja yang nyaman, sehat, efektif dan efisien. Oleh karena itu diperlukan adanya pendekatan secara interdisipliner dengan melibatkan berbagai ahli seperti ahli budaya, ahli kesehatan, ahli ergonomi, dan ahli tehnik. Untuk itu perlu adanya pendekatan ergonomi total yang mengkaji permasalahan ergonomi dari aspek sosio budaya serta intervensi yang diajukan dalam memecahkan masalah ergonomi sangat efektif dan efisien. Dengan mengkaji permasalahan ergonomi dari aspek budaya THK menyebabkan perbaikan yang dilakukan lebih mudah diterima dan dilaksanakan tanpa adanya resistensi dari penggunanya serta tidak menimbulkan benturan dengan masyarakat setempat (Manuaba, 2003a). Modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK di penggilingan padi bertujuan untuk meningkatkan kesehatan kerja pekerja dengan indikator adalah beban kerja, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot, kelelahan, dan fungsi paru. Beberapa aspek yang mempengaruhi peningkatan kesehatan kerja yang diperbaiki dalam modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK adalah: (a) perbaikan sikap kerja; (b) perbaikan jam kerja, dan pemberian istirahat aktif; (c) redesain undakan dan pemberian pengaman pada vent belt disesuaikan dengan antropometri pekerja penggilingan padi; (d) redisain ventilasi sesuai konsep sanga mandala. Menurut Adiputra (2011), ergonomi kultural agar menjadi kesadaran para ahli ergonomi untuk memasukkannya ke dalam program aksi setiap intervensi ergonomi. 9 Hal ini sejalan dengan tujuan akhir ergonomi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Karenanya, sudah selayaknya dimulai memakai pertimbangan sosio budaya dalam penerapan ergonomi. Keberhasilan penerapan budaya THK dapat dilihat melalui penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2012) pada perawat dan bidan di Unit Rawat Inap RSU Bangli di mana penerapan manajemen kinerja klinik berbasis THK meningkatkan komitmen kerja sebesar 7%. Penelitian tentang redesain berbasis ergonomi dan kearifan lokal yang dilakukan oleh Sutarja (2012) pada penghuni rumah tradisional di Desa Pengotan, dilaporkan dapat meningkatkan kepuasan hidup penghuni sebesar 270%. Berdasarkan uraian tersebut, maka dipandang perlu melakukan penelitian tentang modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK dalam penerapan TTG melalui pendekatan SHIP. Hal ini perlu dilakukan guna meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari menurunnya beban kerja, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot, kelelahan, serta meningkatnya fungsi paru dan produkivitas pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari penurunan beban kerja pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng? 2. Apakah modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng? 10 3. Apakah modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari penurunan ketegangan otot pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng? 4. Apakah modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari penurunan kelelahan pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng? 5. Apakah modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari peningkatan fungsi paru pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng? 6. Apakah modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan produktivitas pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Tujuan Umum penelitian adalah untuk mengetahui manfaat modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dan produktivitas pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. Tujuan khusus 1. Membuktikan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari penurunan beban kerja pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 2. Membuktikan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 11 3. Membuktikan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari penurunan ketegangan otot pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 4. Membuktikan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari penurunan kelelahan pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 5. Membuktikan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan kesehatan kerja dilihat dari peningkatan fungsi paru pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 6. Membuktikan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meningkatkan produktivitas pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Manfaat akademik yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dimanfaatkan sebagai pengetahuan dan informasi tentang modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK pada penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 2. Dimanfaatkan sebagai acuan dalam penerapan ergonomi terkait dengan pemecahan masalah ergonomi dari aspek sosio budaya. 3. Dimanfaatkan sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang ergonomi-fisiologi kerja. 1.4.2 Manfaat praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut 1. Dengan mengetahui hal hal yang diteliti tersebut dapat diambil langkah yang lebih spesifik di dalam menanggulangi masalah beban kerja, keluhan muskuloskeletal, 12 ketegangan otot, kelelahan, fungsi paru dan produktivitas pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 1. Hasil penelitian ini akan dapat mengungkapkan seberapa besar penurunan beban kerja, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot, kelelahan, peningkatan fungsi paru dan produktivitas pekerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng. 13