BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Tanggal 20 April 1999, Indonesia memiliki istrumen hukum yang integratif dan komprehensif yang mengatur tentang perlindungan konsumen yaitu dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen1. Pengaturan perlindungan konsumen tersebut dilakukan dengan : a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidangbidang lain.2 Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindngan konsumen adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi 1 Rachmadi Usman, 2000, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Djambatan, Jakarta, h. 2 Husni Syawali, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen , PT. Mandar Maju, Bandung, h. 195. 7. segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha sebagai penyedia kebutuhan konsumen. Perlindungan terhadap konsumen dipandang semakin penting, mengingat makin pesat dan lajunya ilmu pengetahuan serta teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen. Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen, dengan dijaminnya hak-hak konsumen tersebut akan menciptakan iklim usaha yang sehat. Dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat perlu dilakukan koordinasi di antara sesama instansi teknis terkait untuk meluruskan dan mendudukkan suatu permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, dalam hal ini permasalahan yang akan dikaji adalah pengoplosan beras. . Pengoplosan beras menjadi sangat penting untuk dikaji lebih mendalam lagi disebabkan beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi negara-negara di dunia terutama di belahan Asia. Beras di Indonesia tidak hanya menjadi persoalan ekonomi. Tidak mengherankan apabila beras selalu menjadi masalah penting, tidak saja bagi petani, tetapi juga bagi ekonom, politikus dan para elite, karena itu kebijqakan di bidang beras akan menjadi fokus perhatian semua pihak.3 Dari sisi konsumen, peran penting beras melebihi kentang, jagung, gandum dan serealia lainnya. Fungsi strategisnya terletak pada posisinya yang menjadi pangan pokok (staple food) bagi sekitar 3(tiga) miliar orang atau separuh penduduk dunia. Di banyak Negara Asia, beras menyediakan 30% - 80 % kebutuhan konsumsi kalori per kapita dan menjadi gantungan hidup sebagian besar penduduk Asia khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah4. Pada umumnya kebijakan perberasan berhubungan dengan ketersediaaan atau produksi beras serta harga beras yang beredar dipasaran. Untuk kebijakan harga produksi berorientasi kepada perlindungan harga petani (floor price/harga dasar) dan perlindungan terhadap konsumen (ceiling price/batas harga eceran tertinggi). Harga produksi tersebut merupakan petunjuk tentang turut campur tangan pemerintah terhadap sistem pasar.5 Masalah perberasan di Indonesia yang sering menjadi fenomena adalah melonjaknya harga beras yang cukup tinggi disebabkan tingginya permintaan pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan seperti menjelang Ramadhan, Idul 3 Khudori, 2008, Ironi Negeri Beras, INSISTPress, Yokjakarta, h. 5. 4 Ibid. 5 Khudori, op.cit, h. 90 Fitri, Natal dan Tahun Baru serta pada saat-saat adanya Pemilihan Umum. Masalah pengoplosan beras harus diberikan pada proporsi yang sebenarnya sehingga diperoleh pemahaman dan tindakan yang sama di dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen.6 Di Indonesia, istilah oplos sering dikonotasikan dengan usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan kualitas. Misalnya tindakan pengoplosan solar atau diesel dengan minyak tanah bersubsidi. Cara sedemikian ini dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi tindakan ini sudah jelas mengakibatkan kerusakan mesin dan membohongi serta merugikan konsumen. Cara mengoplos yang demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dapat dipidanakan.7 Pengoplosan beras adalah tindakan mencampur beras antara suatu kualitas dengan kualitas lain yang berbeda, misalnya beras kualitas satu dicampur dengan beras kualitas dua, tiga ataupun kualitas dibawahnya yang terjadi di toko-toko sehingga merugikan masyarakat dan konsumen khususnya di Kota Denpasar. Berdasarkan hal-hal diatas, maka saya tertarik untuk menulis skripsi berjudul ”PENGOPLOSAN BERAS DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA DENPASAR” 6 7 Anoname, http://www.indotops.com/ diakses, tanggal 24-01-2010 Rahardi Ramelan, “Oplos Atau Blending”, http://www.leapidea.com/presentation?id=93. di akses tanggal 08 Februari 2010 1.2 Rumusan Masalah Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras yang dilakukan oleh pelaku usaha? 2. Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen jika mendapat beras oplosan? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk lebih membatasi pembahasan agar tidak menyimpang terlalu jauh maka cakupan atau ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini meliputi batas pertama mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras yang dilakukan oleh pelaku usaha. Permasalahan kedua mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen jika mendapat beras oplosan. 1.4 Orisinalitas Penelitian Karya Ilmiah atau Penulisan Hukum/Skripsi yang berjudul “Pengoplosan Beras Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen” dengan rumusan masalah Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras? Dan Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen jika mendapat beras oplosan? Ini merupakan hasil karya orisinil, tidak terdapat karya dngan judul dan rumusan masalah yang sama yang pernah dajukan, pernah ditulis, atau pernah di terbitkan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Namun ada penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini di luar Fakultas Hukum Universitas Udayana. Setelah dilakukannya penelitian terhadap judul-judul Skripsi dalam bidang Hukum Perdata khususnya mengenai hukum Perlindungan Konsumen yang menyangkut Judul Skripsi Penulis, maka ditemukan judul skripsi dengan tema yang sama diantaranya : NO SKRIPSI JUDUL RUMUSAN MASALAH 1 Parluhutan Pengoplosan Beras 1.Bagaimanakah tindakan Silitonga, 2010, Dalam Perspektif pengoplosan beras ditinjau dari Universitas undang-undang Undang-undang Sumatra Utara, nomor 8 tahun 1999 Perlindungan konsumen. Medan. tentang perlindungan 2.Bagaimanakah pembinaan dan konsumen. pengawasan terhadap perdagangan beras. 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan konsumen 2 Lira Apriana Tinjauan Yuridis 1. Bagaimana pengaturan Sari Nasution, Terhadap perlindungan konsumen atas 2011, Perlindungan beredarnya makanan Universitas Konsumen atas kadaluarsa serta permasalahan Sumatra Utara, Beredarnya yang dihadapi dalam Medan. Makanan Kadaluarsa mengkonsumsi makanan kadaluarsa. 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen makanan kadaluarsa serta pembinaan dan pengawasan pemerintah dan instasi yang terkait terhadap beredarnya makanan kadaluarsa. 3. Bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku usaha atas beredarnya makanan kadaluarsa serta mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran. 1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian merupakan sesuatu yang berguna untuk menentukan hasil apa yang diperoleh. Pada penulisan karya ilmiah, haruslah mempunyai tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.5.1 Tujuan Umum 1. Untuk melatih diri dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian mengenai hukum perlindungan konsumen. 3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1). 4. Untuk mengetahui dan perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras yang dilakukan oleh pelaku usaha. 5. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen jika mendapat beras oplosan. 1.5.2 Tujuan Khusus 1. Untuk memahami perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras yang dilakukan oleh pelaku usaha. 2. Untuk memahami tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen jika mendapat beras oplosan. 1.6 Manfaat Penelitian Dalam setiap penulisan skripsi ada manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan. Manfaat secara umum dalam penulisan skripsi ini terdiri dari : 1.6.1 Manfaat Teoritis 1. Memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan pada khususnya yang berhubungan dengan hukum perlindungan konsumen. 2. Masukan bagi penegak hukum yang ingin memperdalam, mengembangkan dan menambah pengetahuan tentang pelaksanaan pengoplosan beras sesuai undang-undang dan ketentuan yang berlaku. 3. Menambah kasanah perpustakaan. 1.6.2 Manfaat Praktis 1. Sebagai masukan bagi penegak hukum dalam menangani masalah pelaksanaan pengoplosan beras . 2. Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran bagi masyarakat tentang pelaksanaan pengoplosan beras yang merugikan konsumen. 3. Sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan perundang-undangan nasional khususnya yang berhubungan dengan masalah pengoplosan beras. 1.7 Landasan Teori Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru, khususnya di Indonesia.8 sedangkan di negara maju, hal ini mulai dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industry dan teknologi. Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hakhak yang diberikan oleh hukum.9 Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.10 1. Perlindungan Hukum preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban. 8 AdijayaYusuf dan John W. Head, 1988, Topik Matakuliah Hukum Ekonomi dan Kurikulum, ELIPS, Jakarta, h. 7. 9 Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung h.53. 10 Pjillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia , PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 2. 2. Perlindungan yang represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Kaitan teori perlindungan hukum preventif dengan perlindungan konsumen khususnya dalam pengoplosan beras yakni UUPK telah memberikan perlindungan dalam hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha yang tujuanya adalah untuk mencegah terjadinya sengketa. Namun pada kenyataanya terjadi pengoplosan beras yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen Sehingga dalam pengoplosan beras yakni terjadi kesimpangan antara das sollen hukum yang seharusnya dengan das sein hukum yang terjadi di lapangan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan:“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Karena itu, berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku usaha perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Sebaliknya konsumen memerlukan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha guna memenuhi keperluannya sehingga kedua belah pihak saling memperoleh manfaat atau keuntungan.11 Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen juga disebabkan karena mulai dari proses sampai hasil produksi barang dan atau jasa yang dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun.12 Pada peristiwa semacam inilah dibutuhkan hukum untuk memberikan perlindungan konsumen. Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang secara universal pula harus dilindungi dan dihormati yaitu : a b c d e Hak atas keamanan dan keselamatan Hak atas informasi Hak untuk memilih Hak untuk di dengar Hak atas lingkungan hidup13 Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsi-prinsip pyang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah: a. Let the buyer beware 11 Abdul Halim Barkatullah , 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, FH. Unlam Press, Banjarmasin, h. 5. 12 Husni Syawali, op.cit. h. 37 13 Husni Syawali, op.cit. h. 39 Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai untuk menentukan pilihan terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri. b. The due care theory Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhatihati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW yang secara tegas menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan mebuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. c. The prifity of contract Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang dperjanjikan. Dengan demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW yang menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja. d. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat Prinsip ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.14 Dalam etika bisnis, dikenal adanya etika pengakuan yang melihat adanya asimetri dalam tugas dan kewajiban manusia, disamping itu terdapat teori pemeliharaan hak yang mengakui tanggung jawab produsen atau penjual atas produk sebagai hasil hubungan yang asimetri antara pihak konsumen (yang lebih lemah) dan pihak produsen atau pemasok (yang lebih kuat). Teori ini melindungi hak-hak pihak yang lemah dan mendukung gagasan suatu masyarakat moral yang mempraktikkan keadilan.15 Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. 14 Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT. Gramedia WidiasaranaIndonesia, Jakarta, h. 63. 15 Ketut Rindjin, 2004, Etika Bisnis dan Implementasinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 88. Membahas keperluan hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih dahulu melihat situasi peraturan perundangundangan Indonesia khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat, sehingga bentuk hukum perlindungan konsumen yang ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi konsumen Indonesia dan keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka sistem hukum nasional Indonesia.16 Di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha, namun kelihatan bahwa hak yang diberikan kepada konsumen (yang diatur dalam Pasal 4 UUPK ), lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha (yang dimuat pada Pasal 6 UUPK ), dan kewajiban pelaku usaha (dalam Pasal 7 UUPK ) lebih banyak dari kewajiban konsumen (yang dimuat dalam Pasal 5 UUPK). Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UndangUndang Perlindungan konsumen, diantaranya : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 16 Husni Syawali, op.cit. h. 8 c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan. f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa pergantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Selain kewajiban pelaku usaha, di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen juga diatur berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 UUPK Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat dibagi kedalam dua larangan pokok yaitu: a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen. b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen. Dalam larangan-larangan itu menunjukkan kepada produsen bahwa produsen mempunyai tanggung jawab sekurang-kurangnya dalam dua aspek, yaitu: 1. Bertanggung jawab untuk menciptakan iklim berusaha yang sehat, baik antara sesama pelaku usaha maupun antara pelaku usaha dan masyarakat konsumen. Dengan dipatuhinya larangan-larangan tersebut maka hal-hal yang menimbulkan distorsi pasar, persaingan tidak sehat, dan hal lain yang potensial untuk merusak struktur kehidupan perekonomian nasional dapat dihindarkan. Dengan demikian, roda pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik. Ini berarti tugas, kewajiban, dan tanggung jawab setiap pelaku usahalah untuk senatiasa mewujudkan iklim berusaha yang sehat. 2. Bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat konsumen, baik sendiri-sendiri maupun keseluruhan dari kemungkinan timbulnya kerugian terhadap diri konsumen ataupun harta bendanya. Dengan ini dimaksudkan pula bahwa tugas untuk menjaga kesejahteraan rakyat melalui penyediaan kebutuhan yang baik, sehat, dan berkualitas juga merupakan tanggung jawab produsen sebagai pelaku usaha. 3. Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tanggung jawab terhadap segala bentuk kerugian yang diderita konsumen karena memakai atau menkonsumsi produknya yang menimbulkan kerugian. Tanggung jawab dalam hukum dibagi menjadi 3 asas yaitu: 1. asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fauld) 2. asas tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault) 3. tanggung jawab mutlak (strict liability) Pada tanggung jawab berdasarkan kesalahan pihak yang menuntut ganti rugi (penggugat) diharuskan untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialaminya disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan dari pihak yang ia tuntut untuk membayar ganti rugi tersebut (tergugat), pada asas tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault) seseorang bertanggung jawab begitu kerugian terjadi, terlepas dari ada tidaknya kesalahan pada dirinya.17 Sedangkan pada asas tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah prinsip tanggung jawab yang menentukan, namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab. 18 Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fauld) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahannya. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan melawan hukum (sebagai kasus perdata) dan tindak pidana. Undang-undang Perlindungan konsumen telah memberikan akses dan kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan 17 Abdul Halim Barkatullah, op.cit, h. 82 18 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen , Grasindo, Jakarta, h. 63. sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban produk oleh pelaku usaha (product liability). 19 Tanggung jawab produk (product liability) adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (prosessor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual dan mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.20 Dari segi pertanggungjawaban produsen dibebani dua jenis pertanggungjawaban, yaitu tanggung jawab publik dan tanggung jawab privat (perdata).21 Berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 Undang-Undang Konsumen baik larangan mengenai kelayakan produk, berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau 19 Harkristuti Harkrisnowo, 1996, “Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia”, Lokakarya Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta, h. 6. 20 Ansorulloh Najmuddin, Dilema Perundang-undangan http://indoprogress.blogspot.com, diakses tanggal 11-04-2014 21 h. 80. di Indonesia, Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung , jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi masyarakat luas. 22 Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan undangundang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen. 23 Tanggung jawab untuk mengganti rugi tidak saja karena dilakukannya perbuatan melanggar hukum, tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hati, bahkan tanggung jawab itu tidak hanya karena perbuatan atau tidak berbuat pelaku sendiri, tetapi juga karena perbuatan atau tidak berbuat dari orang-orang yang menjadi atau termasuk tanggung jawabnya (Pasal 1366 dan Pasal 1367 KUHPerdata)24 Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dicantumkan dalam Pasal 1365KUHPerdata yang berisi “ Tiap perbuatan melanggar hukum yang 22 Abdul Halim Barkatullah , op.cit. h. 41-42 23 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2008, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, h. 3. 24 77. AZ. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Triarga Utama, Jakarta, h. membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pengertian perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu “Onrechtmatige daad”. Dalam istilah “melawan” melekat pada sifat aktif dan pasif. Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan perkataan lain apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badanya.25 Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok yaitu : a) Adanya perbuatan b) Adanya unsur kesalahan c) Adanya kerugian yang diderita d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian Peranan konsep dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah 25 Abdul Halim Barkatullah, op.cit. h. 75-76 untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini adalah metode yuridis empiris, penelitian berupa studi empiris yang menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Dengan demikian tidak hanya sebatas mempelajari pasal-pasal perundangundangan dan pendapat para ahli dan kemudian diuraikan, tetapi juga menggunakan bahan yang sifatnya empiris dalam rangka mengolah dan menganalisa data-data dari lapangan yang disajikan sebagai pembahasan. 1.8.2 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 1.8.3 Jenis Pendekatan Dalam penelitian skripsi ini terdapat 3 (tiga) jenis pendekatan yaitu: 1) Pendekatan Perundang-Undangan ( The Statute Approach) 2) Pendekatan Fakta (The Fact Approach) 3) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) 1.8.4 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari peenlitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dilapangan yaitu baik dari responden maupun dari informan. Sedangkan data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Selanjutnya data sekunder terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder a. Bahan Hukum Primer yang digunakan adalah 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Undang-Undang No. 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dapat berupa literature-literatur hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti seperti bahan-bahan hukum tentang hukum perlindungan konsumendan hukum jual beli. 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara teknik wawancara, wawancara ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. 1.8.6 Teknik Penentuan Sempel Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah teknik nonprobability sampling yaitu memberikan peran yang sangat besar untuk menentukan pengambilan sampelnya. Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasi. Sedangkan mengenai bentuk dari non-propability sampling yang digunakan adalah Snownall Sampling penarikan sample dari teknik ini dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi dari sampel sebelumnya. Sempel pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh si peneliti yaitu dengan mencari (key informan) informan kunci / responden kunci yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh si peneliti. 1.8.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah dengan mengumpulkan data kepustakaan dan data lapangan, apabila telah terkumpul kemudian data-data tersebut diolah secara analisis kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Serta untuk penyajiannya dilakukan secara deskriptif kualitatif dan sistematis yaitu memberikan gambaran atau pemaparan secara apa adanya dan sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan.