Muamalah Muslim MUAMALAH MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

advertisement
Muamalah Muslim
1
MUAMALAH MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM AL-QUR’AN
Ade Nurdiyanto
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Madiun
Email: [email protected]
Abstrak
Keragaman Indonesia yang terbingkai indah dalam wujud Bhinneka Tunggal Ika,
akhir-akhir ini terusik dengan terjadinya peristiwa bentrokan fisik atas nama agama,
sehingga persatuan bangsa patut dipertanyakan kembali. Peristiwa tersebut
menunjukkan bahwa ada gejala yang sudah menggurita dan melunturkan sendi-sendi
kehidupan antar umat beragama di wilayah Indonesia. Bisa jadi itu semua
disebabkan oleh ketidakdewasaan sebagian orang dalam menyikapai realitas
perbedaan di Indonesia, baik perbedaan keyakinan maupun pendapat. Padahal,
perbedaan adalah bagian dari realitas kehidupan umat manusia yang tidak dapat
dihindari oleh seseorang atau masyarakat manapun, lebih-lebih dalam era
globalisasi saat ini. Sehingga diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki keadaan di
atas sebagai solusi untuk menjaga harmonisasi kehidupan antar umat beragama.
Kata Kunci: Muamalah, Muslim, non-Muslim.
Pendahuluan
Tema muamalah muslim dengan non muslim sangatlah menarik dan urgen
untuk dikaji, karena Indonesia merupakan negara yang lekat dengan istilah
heterogenitas. Keanekaragaman budaya, suku, kelas sosial dan agama yang telah
menghiasi dinamika kehidupan manusia Indonesia dalam waktu yang cukup lama,
adalah tanda paling nyata yang bisa dijadikan argumentasi kebenaran akan
heterogenitas tersebut.
Heterogenitas tersebut bisa di rujuk langsung pada wilayah Indonesia yang
begitu luas dan dihuni oleh masyarakat berjumlah sekitar 237 juta jiwa. Dari jumlah
tersebut, 88% merupakan masyarakat muslim. Dari besarnya jumlah umat Islam di
Indonesia, tak dapat dihindari bahwa masyarakat muslim memiliki peranan penting di
segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia baik dalam hal sosial, politik maupun
ekonomi.
Muamalah Muslim
2
Namun demikian, keindahan keanegaraman dalam bingkai Bhinneka Tunggal
Ika tersebut, akhir-akhir ini terusik dengan terjadinya peristiwa bentrokan fisik atas
nama agama, sehingga persatuan bangsa patut dipertanyakan kembali. Contoh dari
permasalahan ini adalah teror bom bunuh diri di Gereja Bethel Injili Sepenuh, di
Kepunton, Solo, Jawa Tengah pada bulan september 2011 lalu. Umat Islam juga tak
lepas dari aksis teror bom tersebut. Hal ini terbukti dengan terjadinya teror bom di
masjid Mapolresta Cirebon.
Peristiwa di atas menunjukkan bahwa ada gejala yang sudah menggurita dan
melunturkan sendi-sendi kehidupan antar umat beragama di wilayah Indonesia. Bisa
jadi itu semua disebabkan oleh ketidakdewasaan sebagian orang dalam menyikapai
realitas perbedaan di Indonesia, baik perbedaan keyakinan maupun pendapat. Padahal,
perbedaan adalah bagian dari realitas kehidupan umat manusia yang tidak dapat
dihindari oleh seseorang atau masyarakat manapun, lebih-lebih dalam era globalisasi
saat ini.
Selain itu, munculnya konflik antar umat beragama tersebut bisa juga
disebabkan oleh karena masalah sosial, ekonomi dan politik. Tetapi karena agama
seringkali dipolitisir, maka permasalahan duniawi (baca: sosial-ekonomi-politik) itu
pun menjadi bagian dari pembahasan yang tidak dapat dipisah dari pemahaman
keagamaan. Dalam bahasa yang sederhana, perbedaan agama dijadikan sebagai garis
demarkasi, sehingga konflik duniawi yang awalnya ditengarai sebagai masalah
religius lambat laun berganti nama menjadi “konflik antar agama”.1
1
Zainul Ma’arif, Wihdat al-Adyan; Melerai Konflik Umat Beragama, Jurnal Pemikiran Islam
“International Institute of Islamic Thought Indonesia”, Vol. I, No. 02, 2003.
Muamalah Muslim
3
Menilik permasalah perbedaan tersebut, yang dibutuhkan bukan menjauhkan
diri dari realitas keberagaman, melainkan harus dicarikan cara dan mekanisme solusi
pemecahan guna menyelesaikan konflik yang marak akhir-akhir ini. Oleh karenanya
tidak salah bila ada harapan agar individu umat beragama di Indonesia secara
keseluruhan selayaknya menelaah kembali pemahaman agama tentang hakikat
kemajemukan dalam bermasyarakat dalam kitab mereka masing-masing, karena
sejatinya tidak satupun ajaran agama yang termaktub dalam kitab-kitabnya yang
mengajarkan kejelekan, sehingga diharapkan dapat mengurangi intensitas konflik
antar umat beragama di Indonesia.
Muamalah Muslim Dengan Non Muslim Dalam Al-Qur’an
Dalam kepercayaan umat Islam, pedoman yang paling utama dalam menjalani
kehidupan ini adalah al-Qur’an, karena kitab suci umat Islam tersebut mengandung
berbagai ajaran yang harus dianut dan dijalankan oleh umat Islam. Termasuk
didalamnya penjabaran hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan vertikal
(hablun min Allah) dan horizontal (habl min al-nas).
Hukum horizontal mencakup tata cara bermuamalah dengan sesama manusia
melalui konsep Islam sebagai rahmah li al-‘alamin (rahmat bagi alam semesta).
Konsep tersebut memberikan gambaran bahwa Islam adalah agama yang cinta akan
kedamaian, sehingga akumulasi dari konsep rahmah li al-‘alamin tersebut al-Qur’an
mengatur umatnya tentang tata cara dalam bermuamalah dengan orang lain, agar
selalu menjunjung tinggi dan mengamalkan norma-norma keharmonisan dalam
masyarakat.
Konsep harmonisasi dalam bermuamalah dengan non muslim tersebut hanya
bersifat temporal. Umat Islam hanya akan bersikap harmonis apabila umat beragama
Muamalah Muslim
4
lain bersikap harmonis terhadapanya. Tetapi apabila umat lain mengedepankan
konfrontasi dalam berhubungan dengan umat Islam, maka agama Islam menyuruh
pemeluknya untuk berjihad guna membela harga dirinya.2
Dari fenomena di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa umat Islam memiliki
dua aspek pandangan yang berbeda dalam tata cara bermuamalah dengan non muslim.
Dua aspek tersebut merujuk kepada dua konsep paradoks dimana masa manusia
muslim tersebut hidup, yaitu masa harmonis dan konfrontasi.
Mengenai hal tersebut, al-Qur’an secara jelas menggambarkannya dalam surat
al-Mumtahanah ayat 8-9 yang redaksinya:
‫ﺎر ُﻛ ْﻢ أَ ْن ﺗَﺒَﺮﱡ وھُ ْﻢ َوﺗُ ْﻘ ِﺴﻄُﻮا إِﻟَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ إِنﱠ ﱠ‬
‫َﻻ ﯾَ ْﻨﮭَﺎ ُﻛ ُﻢ ﱠ‬
َ‫ﷲ‬
ِ ‫ﷲُ ﻋ َِﻦ اﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ ﻟَ ْﻢ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺪ‬
ِ َ‫ﱢﯾﻦ َوﻟَ ْﻢ ﯾ ُْﺨ ِﺮﺟُ ﻮ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ِدﯾ‬
‫ﯾ ُِﺤﺐﱡ ْاﻟ ُﻤ ْﻘ ِﺴ ِﻄﯿﻦَ )( إِﻧﱠ َﻤﺎ ﯾَ ْﻨ َﮭﺎ ُﻛ ُﻢ ﱠ‬
‫اﺟ ُﻜ ْﻢ أَ ْن‬
ِ ‫ﺎر ُﻛ ْﻢ َوظَﺎھَﺮُوا َﻋﻠَﻰ إِ ْﺧ َﺮ‬
ِ ‫ﷲُ ﻋ َِﻦ اﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ ﻗَﺎﺗَﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺪ‬
ِ َ‫ﱢﯾﻦ َوأَ ْﺧ َﺮﺟُ ﻮ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ِدﯾ‬
َ‫ﺗ ََﻮﻟﱠﻮْ ھُ ْﻢ َو َﻣ ْﻦ ﯾَﺘ ََﻮﻟﱠﮭُ ْﻢ ﻓَﺄُوﻟَﺌِﻚَ ھُ ُﻢ اﻟﻈﱠﺎﻟِ ُﻤﻮن‬.
Artinya : ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu
dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka
sebagai kawanmu orang-orang yang yang memerangi kamu dalam urusan
agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
mereka itulah orang yang zalim.”
Dalam ayat 8, Allah berfirman yang intinya berisi legalitas bagi orang mukmin
menjalin hubungan dengan berbuat baik dan berlaku adil terhadap golongan yang lain,
dengan syarat golongan tersebut tidak memerangi mereka (kaum mukmin).
Sebaliknya di ayat 9, dalam kondisi-konsisi tertentu, Allah melarang orang mukmin
untuk menjalin hubungan dengan golongan yang lain apabila golongan tersebut
memusuhi mereka.
2
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Shatibi, al-Muwafaqat, Juz; 2 (al-‘Aqrabiyyah; Dar Ibn
‘Affan, 1997), hal. 20.
Muamalah Muslim
5
Dalil kajian asbab nuzul, ayat ini turun terkait jawaban Rasulullah kepada
Asma’ binti Abu Bakar tentang ibunya yang datang untuk menjenguk:
:‫أﺧﺮج أﺣﻤﺪ واﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ أﺳﻤﺎء ﺑﻨﺖ أﺑﻲ ﺑﻜﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻟﺖ‬
‫ ﻓﺄﺗﻴﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬،‫ إذ ﻋﺎﻫﺪوا‬،‫ وﻫﻲ ﻣﺸﺮﻛﺔ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﻗﺮﻳﺶ‬،‫»ﻗﺪﻣﺖ أﻣﻲ‬
‫ ﺻﻠﻲ‬،‫ ﻧﻌﻢ‬:‫ أﻓﺄﺻﻠﻬﺎ؟ ﻗﺎل‬،‫ إن أﻣﻲ ﻗﺪﻣﺖ وﻫﻲ راﻏﺒﺔ‬،‫ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ‬:‫ ﻓﻘﻠﺖ‬،‫وﺳﻠﻢ‬
ِ‫ﱠ‬
‫ﱠ‬
.‫َﻢ ﻳُﻘﺎﺗِﻠُﻮُﻛ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺪﱢﻳ ِﻦ‬
ْ ‫ﻳﻦ ﻟ‬
َ ‫ ﻻ ﻳَـ ْﻨﻬﺎ ُﻛ ُﻢ اﻟﻠﻪُ َﻋ ِﻦ اﻟﺬ‬:‫ّأﻣﻚ« ﻓﺄﻧﺰل اﷲ ﻓﻴﻬﺎ‬
Ayat ini menurut penulis menarik untuk dikaji, karena memberikan gambaran
secara jelas tentang bagaimana hendaknya umat Islam bermuamalah dengan non
muslim. Ditambah dengan beberapa permasalah seperti kedua ayat di atas tidak secara
jelas menyebut kata kafir, tetapi banyak para ulama yang menafsirkan ayat ini
berkaitan dengan hubungan muslim dengan orang kafir, dan beberapa ulama
berpendapat bahwa ayat tersebut telah di-mansukh.3
Mengenai interpretasi ayat tersebut, mufassir kontemporer Wahbah al-Zuhayli
menerangkan dalam tafsirnya al-Tafsir al-Munir bahwa dalam ayat tadi Allah
membolehkan orang muslim untuk menjalin hubungan dengan orang kafir seperti
menyambung tali silaturahmi, mengambil manfaat dari bertetangga, menepati janji
dan lain sebagainya. Golongan non-muslim, dalam pandangan Wahbah al-Zuhayli,
adalah kaum kafir yang mengadakan gencatan senjata dengan orang mukmin atau
yang disebut dengan ahl al-‘ahd. Namun Wahbah al-Zuhayli tidak menerangkan
secara terperinci tentang golongan masyarakat yang termasuk di dalam ahl al-‘ahd
yang dimaksud dalam ayat 8 surat al-Mumtahanah, malahan penjelasannya cenderung
3
Ulama berbeda pendapat mengenai relevansi ayat tersebut, sebagian Ulama mengatakan
bahwasannya ayat ke 8 dari surat al-Mumtah}anah telah dimansukh dengan ayat lain seperti pendapat
Ibn Zayd dan Qata>dah. Mereka berpendapat bahwa ayat 8 dari surat al-Mumtahanah telah dimansukh
dengan ayat al-Taubah ayat 5. Tetapi banyak mufassir yang mengatakan bahwa ayat ini tidak
dimansukh dan hukumnya masih berlaku hingga sekarang. Lihat Ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an, Juz; 12 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hal. 61.
Muamalah Muslim
6
mengarah kepada orang yang tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan
konfrontasi dengan orang mukmin seperti kaum perempuan dan orang yang lemah.4
Mufassir kontemporer lain yaitu Ahmad Mustafa al-Maraghi yang hidup
antara tahun 1883-1952 Masehi memiliki penafsiran yang lebih konservatif.
Menurutnya, golongan non muslim adalah kaum khuzza’ah5 dan kaum kafir yang
mengadakan perjanjian dengan Rasulullah. Perjanjian tersebut berisi gencatan senjata
dan perjanjian untuk tidak mengeluarkan kaum Muslim dari tempat tinggal mereka.
Secara lebih terperinci, al-Maraghi mengatakan bahwa maksud kata non-muslim atau
kafir hanya terbatas bagi kaum yang hidup di zaman Rasulullah. Dari pemaparan ini,
dapat dipahami bahwa meskipun al-Maraghi merupakan mufassir kontemporer,
ternyata ia tidak menjabarkan golongan non muslim ke dalam kontek kekinian.6
Sementara itu, Ibn Jarir al-Tabari, 839-923 M, dalam tafsirnya menyebutkan
berbagai pendapat ulama tentang maksud kata alladhina lam yuqatilukum yang terdiri
dari beberapa pendapat sahabat dan tabi’in kemudian mengambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan golongan non muslim tersebut adalah ‫ﺟﻤﯿﻊ أﺻﻨﺎف اﻟﻤﻠﻞ واﻷدﯾﺎن‬,
yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah semua agama selain
Islam.7
Dari penafsiran al- Tabari di atas apabila dibandingkan dengan beberapa
mufassir semisal Wahbah al-Zuhayli dan al-Maraghi, ternyata interpretasinya
cenderung lebih luas dan lebih cocok untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia
4
Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir , Juz 27 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hal. 70.
Khuzza’ah adalah nama sebuah suku yang telah menduduki dan menjadi penguasa kota
Makkah dalam waktu yang cukup lama sebelum nabi Muhammad lahir. Suku ini berasal dari Yaman
yang berhijrah ke Makkah akibat banjir ‘Arim. Kekuasaan suku ini akhirnya digulingkan oleh suku
Quraish dengan pahlawannya yang bernama Qus}ay yang merupakan nenek moyang nabi Muhammad.
Suku Khuzza’ah merupakan suku yang juga terlibat dengan perjanjian Hudaibiyah. Lihat Ah}mad
Shalabi, Mawsu’ah al-Tarikh al-Islami, Juz 1 (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, 1987), hal.
529.
6
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 30 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 135.
7
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan, Juz 12, hal. 62.
5
Muamalah Muslim
7
abad modern saat ini yang cenderung terdiri dari sebuah masyarakat yang majemuk.
Meskipun al-Tabari hidup di zaman yang permasalahan manusia tidak sekomplek dan
serumit manusia pada zaman kontemporer interpretasinya lebih relevan dengan zaman
kontemporer.
Jika ditarik benang merah antara konsep al-Tabari dengan kondisi bangsa
Indonesia yang majemuk, maka interpretasinya sangat relevan dengan kondisi bangsa
sebagai solusi atas konflik antar agama yang kerap muncul dewasa ini. Kemajemukan
tersebut bisa dilihat dari agama-agama yang diakui di Indonesia, Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu.8
Agama-agama yang diakui di Indonesia di atas merupakan agama yang
banyak dianut oleh masyarakat di dunia. Meskipun terdapat beberapa agama yang
sudah banyak dianut oleh masyarakat di dunia, tidak seluruhnya diakui di Indonesia
seperti agama Yahudi. Di negara Indonesia, agama Yahudi yang merupakan agama
samawi dan merupakan bagian dari Ahli Kitab eksistensinya cenderung tidak pernah
muncul dalam dinamika keagamaan di Indonesia. Akan tetapi dari pembacaan
penulis, berangkat dari kajian sejarah, ternyata terdapat fakta yang menyebutkan
bahwa agama Yahudi pernah ada di Indonesia. Hal ini berdasarkan adanya penganut
agama Yahudi yang menetap di Indonesia sejak tahun 1850 M. Mereka merupakan
pedagang rempah-rempat berkebangsaan Belanda dan Jerman yang kemudian
menetap di Indonesia. Hingga masa kemerdekaan Indonesia golongan tersebut masih
ada meskipun jumlah pemeluknya berkurang.
8
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di
Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Sedangkan Inpres 14/1967
yang mengekang agama Khonghucu pada jaman Presiden Soeharto dicabut oleh Presiden
K.H.Abdurrahman Wahid dengan Keppres No. 6/2000 tertanggal 17 Januari 2000 yang intinya
memberikan tempat yang layak bagi para penganut Khonghucu untuk menjalankan agamanya sesuai
dengan persamaan hak dengan agama lainnya yang diakui di Indonesia. Lihat ‘Agama di Indonesia’,
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. Diakses tanggal 18 Desember 2011.
Muamalah Muslim
8
Pada tahun 2008-2009 terjadi perang antara Israel dengan Palestina di daerah
Gaza yang menyebabkan sentimen anti Yahudi di Indonesia. Buah dari konflik ini
mengakibatkan Sinagog yang ada di kota Surabaya ditutup atas desakan umat muslim
yang menentang perang Gaza. Satu-satunya Sinagog yang masih ada saat ini hanya
terdapat di kota Manado.
Merujuk kembali kepada penafsiran al-Tabari tentang ayat 8-9 dalam surat alMumtahanah, maka tindakan ini dianggap kurang tepat. Meskipun orang Yahudi
dianggap orang kafir, orang Yahudi di Indonesia tersebut merupakan orang kafir yang
tidak boleh diperangi dan dibatasi gerak sosial dan agamanya. Orang-orang Yahudi
tersebut tidak memerangi umat muslim yang ada di Indonesia, sehingga mereka tidak
patut untuk diperangi.
Tanpa adanya permasalahan konflik antar agama di atas, kemajemukan agama
di Indonesia sebenarnya merupakan bentuk ideal dari sebuah kerukunan antar umat
beragama. Adanya kaum minoritas merupakan bukti nyata akan adanya sikap
keterbukaan, saling menghargai, dan toleransi umat muslim sebagai umat agama
terbesar di Indonesia.9 Bentuk heterogensitas ini adalah bagian dari kemajemukan
umat muslim zaman klasik hingga saat ini.
Keterbukaan kaum muslimin zaman klasik dalam kapasitasnya selaku
pemegang kekuasaan saat itu menggambarkan bahwa mereka selalu bersikap
‘ngemong’ terhadap golongan-golongan yang lain. Nabi Muhammad yang merupakan
pembawa risalah Islam pernah mencontohkan tentang keharmonisan di tengah
9
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), hal. 190.
Muamalah Muslim
9
kemajemukan dengan terciptanya ‘Piagam Madinah’, dan dengan adanya Piagam
Madinah terciptalah sebuah kedamaian tanpa melalui pertumpahan darah.10
Dalam kitab hadits juga terdapat beberapa riwayat yang menguatkan tentang
interaksi antara Rasulullah dengan kaum non muslim. Seperti Rasulullah yang
membeli barang dari kaum yahudi dan rasulullah yang menyewa orang kafir untuk
menunjukkan jalan pada peristiwa hijrah.
Maka dapat dipahami dari kajian di atas, bahwa muamalah umat islam
terhadap non muslim adalah bersifat kerukunan antar masyarakat. Adapun dalam
masalah ideologi, maka dalam surat al-Kafirun di jelaskan bahwa islam memiliki
konsep yang sangat jelas yaitu lakum dinukum wa liya al-din. Bahkan dalam surat alNisa’ ayat 100 disebutkan bahwa jika orang-orang yang beriman menataati para ahli
kitab maka mereka akan mengembalikan orang beriman kepada kekafiran:
            
 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari
orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu
menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”
Penutup
Dari pemaparan di atas bahwa hubungan antara orang islam dan non muslim
dalam al-Qur’an adalah terbagi ke dalam masa harmonis dan konfrontasi. Dalam masa
10
Dalam Piagam Madinah terdapat limat poin penting dalam bermasyarakat: pertama, prinsip
persaudaraan atau ukhuwwah islamiyah yang artinya semua umat muslim dari berbagai suku adalah
saudara. Kedua, prinsip saling menolong dan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai
suku, agama dan bahasa harus saling membantu dalam menghadapi lawan. Ketiga, prinsip melindungi
yang teraniaya. Keempat, prinsip saling kontrol. Kelima, prinsip kebebasan beragama. Lihat dalam
Tesis Jauhar Azizy, Pluralisme Agama Dalam al-Qur’an (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2007), hal.
3.
Muamalah Muslim
10
harmonis, umat Islam akan menjalani kehidupan dengan non-muslim dalam bentuk
kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat. Namun dalam masa konfrontasi,
umat Islam diperintahkan untuk mengangkat senjata untuk mempertahakan eksistensi
mereka.
Muamalah Muslim
11
Daftar Pustaka
Al- Maraghi, Ahmad Mustafa. t.t. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr.
Al- Shatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa.1997. al-Muwafaqat. al-‘Aqrabiyyah: Dar
Ibn ‘Affan.
Al- Tabari, Muhammad Ibn Jarir. 1992. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al- Zuhayli, Wahbah. 1991. al-Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr.
Ma’arif, Zainul. 2003. Wihdat al-Adyan; Melerai Konflik Umat Beragama. Jurnal
Pemikiran “Islam International Institute of Islamic Thought Indonesia”, Vol. I,
No. 02.
Madjid, Nurcholis. 1992. Islam Doktrin Dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina.
Shalabi, Ahmad. 1987. Mawsu’ah al-Tarikh al-Islami. Kairo: Maktabah al-Nahdah alMisriyyah.
Download