Muamalah Muslim 1 MUAMALAH MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM AL-QUR’AN Ade Nurdiyanto Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Madiun Email: [email protected] Abstrak Keragaman Indonesia yang terbingkai indah dalam wujud Bhinneka Tunggal Ika, akhir-akhir ini terusik dengan terjadinya peristiwa bentrokan fisik atas nama agama, sehingga persatuan bangsa patut dipertanyakan kembali. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ada gejala yang sudah menggurita dan melunturkan sendi-sendi kehidupan antar umat beragama di wilayah Indonesia. Bisa jadi itu semua disebabkan oleh ketidakdewasaan sebagian orang dalam menyikapai realitas perbedaan di Indonesia, baik perbedaan keyakinan maupun pendapat. Padahal, perbedaan adalah bagian dari realitas kehidupan umat manusia yang tidak dapat dihindari oleh seseorang atau masyarakat manapun, lebih-lebih dalam era globalisasi saat ini. Sehingga diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki keadaan di atas sebagai solusi untuk menjaga harmonisasi kehidupan antar umat beragama. Kata Kunci: Muamalah, Muslim, non-Muslim. Pendahuluan Tema muamalah muslim dengan non muslim sangatlah menarik dan urgen untuk dikaji, karena Indonesia merupakan negara yang lekat dengan istilah heterogenitas. Keanekaragaman budaya, suku, kelas sosial dan agama yang telah menghiasi dinamika kehidupan manusia Indonesia dalam waktu yang cukup lama, adalah tanda paling nyata yang bisa dijadikan argumentasi kebenaran akan heterogenitas tersebut. Heterogenitas tersebut bisa di rujuk langsung pada wilayah Indonesia yang begitu luas dan dihuni oleh masyarakat berjumlah sekitar 237 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 88% merupakan masyarakat muslim. Dari besarnya jumlah umat Islam di Indonesia, tak dapat dihindari bahwa masyarakat muslim memiliki peranan penting di segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia baik dalam hal sosial, politik maupun ekonomi. Muamalah Muslim 2 Namun demikian, keindahan keanegaraman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika tersebut, akhir-akhir ini terusik dengan terjadinya peristiwa bentrokan fisik atas nama agama, sehingga persatuan bangsa patut dipertanyakan kembali. Contoh dari permasalahan ini adalah teror bom bunuh diri di Gereja Bethel Injili Sepenuh, di Kepunton, Solo, Jawa Tengah pada bulan september 2011 lalu. Umat Islam juga tak lepas dari aksis teror bom tersebut. Hal ini terbukti dengan terjadinya teror bom di masjid Mapolresta Cirebon. Peristiwa di atas menunjukkan bahwa ada gejala yang sudah menggurita dan melunturkan sendi-sendi kehidupan antar umat beragama di wilayah Indonesia. Bisa jadi itu semua disebabkan oleh ketidakdewasaan sebagian orang dalam menyikapai realitas perbedaan di Indonesia, baik perbedaan keyakinan maupun pendapat. Padahal, perbedaan adalah bagian dari realitas kehidupan umat manusia yang tidak dapat dihindari oleh seseorang atau masyarakat manapun, lebih-lebih dalam era globalisasi saat ini. Selain itu, munculnya konflik antar umat beragama tersebut bisa juga disebabkan oleh karena masalah sosial, ekonomi dan politik. Tetapi karena agama seringkali dipolitisir, maka permasalahan duniawi (baca: sosial-ekonomi-politik) itu pun menjadi bagian dari pembahasan yang tidak dapat dipisah dari pemahaman keagamaan. Dalam bahasa yang sederhana, perbedaan agama dijadikan sebagai garis demarkasi, sehingga konflik duniawi yang awalnya ditengarai sebagai masalah religius lambat laun berganti nama menjadi “konflik antar agama”.1 1 Zainul Ma’arif, Wihdat al-Adyan; Melerai Konflik Umat Beragama, Jurnal Pemikiran Islam “International Institute of Islamic Thought Indonesia”, Vol. I, No. 02, 2003. Muamalah Muslim 3 Menilik permasalah perbedaan tersebut, yang dibutuhkan bukan menjauhkan diri dari realitas keberagaman, melainkan harus dicarikan cara dan mekanisme solusi pemecahan guna menyelesaikan konflik yang marak akhir-akhir ini. Oleh karenanya tidak salah bila ada harapan agar individu umat beragama di Indonesia secara keseluruhan selayaknya menelaah kembali pemahaman agama tentang hakikat kemajemukan dalam bermasyarakat dalam kitab mereka masing-masing, karena sejatinya tidak satupun ajaran agama yang termaktub dalam kitab-kitabnya yang mengajarkan kejelekan, sehingga diharapkan dapat mengurangi intensitas konflik antar umat beragama di Indonesia. Muamalah Muslim Dengan Non Muslim Dalam Al-Qur’an Dalam kepercayaan umat Islam, pedoman yang paling utama dalam menjalani kehidupan ini adalah al-Qur’an, karena kitab suci umat Islam tersebut mengandung berbagai ajaran yang harus dianut dan dijalankan oleh umat Islam. Termasuk didalamnya penjabaran hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan vertikal (hablun min Allah) dan horizontal (habl min al-nas). Hukum horizontal mencakup tata cara bermuamalah dengan sesama manusia melalui konsep Islam sebagai rahmah li al-‘alamin (rahmat bagi alam semesta). Konsep tersebut memberikan gambaran bahwa Islam adalah agama yang cinta akan kedamaian, sehingga akumulasi dari konsep rahmah li al-‘alamin tersebut al-Qur’an mengatur umatnya tentang tata cara dalam bermuamalah dengan orang lain, agar selalu menjunjung tinggi dan mengamalkan norma-norma keharmonisan dalam masyarakat. Konsep harmonisasi dalam bermuamalah dengan non muslim tersebut hanya bersifat temporal. Umat Islam hanya akan bersikap harmonis apabila umat beragama Muamalah Muslim 4 lain bersikap harmonis terhadapanya. Tetapi apabila umat lain mengedepankan konfrontasi dalam berhubungan dengan umat Islam, maka agama Islam menyuruh pemeluknya untuk berjihad guna membela harga dirinya.2 Dari fenomena di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa umat Islam memiliki dua aspek pandangan yang berbeda dalam tata cara bermuamalah dengan non muslim. Dua aspek tersebut merujuk kepada dua konsep paradoks dimana masa manusia muslim tersebut hidup, yaitu masa harmonis dan konfrontasi. Mengenai hal tersebut, al-Qur’an secara jelas menggambarkannya dalam surat al-Mumtahanah ayat 8-9 yang redaksinya: ﺎر ُﻛ ْﻢ أَ ْن ﺗَﺒَﺮﱡ وھُ ْﻢ َوﺗُ ْﻘ ِﺴﻄُﻮا إِﻟَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ إِنﱠ ﱠ َﻻ ﯾَ ْﻨﮭَﺎ ُﻛ ُﻢ ﱠ َﷲ ِ ﷲُ ﻋ َِﻦ اﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ ﻟَ ْﻢ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺪ ِ َﱢﯾﻦ َوﻟَ ْﻢ ﯾ ُْﺨ ِﺮﺟُ ﻮ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ِدﯾ ﯾ ُِﺤﺐﱡ ْاﻟ ُﻤ ْﻘ ِﺴ ِﻄﯿﻦَ )( إِﻧﱠ َﻤﺎ ﯾَ ْﻨ َﮭﺎ ُﻛ ُﻢ ﱠ اﺟ ُﻜ ْﻢ أَ ْن ِ ﺎر ُﻛ ْﻢ َوظَﺎھَﺮُوا َﻋﻠَﻰ إِ ْﺧ َﺮ ِ ﷲُ ﻋ َِﻦ اﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ ﻗَﺎﺗَﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺪ ِ َﱢﯾﻦ َوأَ ْﺧ َﺮﺟُ ﻮ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ِدﯾ َﺗ ََﻮﻟﱠﻮْ ھُ ْﻢ َو َﻣ ْﻦ ﯾَﺘ ََﻮﻟﱠﮭُ ْﻢ ﻓَﺄُوﻟَﺌِﻚَ ھُ ُﻢ اﻟﻈﱠﺎﻟِ ُﻤﻮن. Artinya : ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” Dalam ayat 8, Allah berfirman yang intinya berisi legalitas bagi orang mukmin menjalin hubungan dengan berbuat baik dan berlaku adil terhadap golongan yang lain, dengan syarat golongan tersebut tidak memerangi mereka (kaum mukmin). Sebaliknya di ayat 9, dalam kondisi-konsisi tertentu, Allah melarang orang mukmin untuk menjalin hubungan dengan golongan yang lain apabila golongan tersebut memusuhi mereka. 2 Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Shatibi, al-Muwafaqat, Juz; 2 (al-‘Aqrabiyyah; Dar Ibn ‘Affan, 1997), hal. 20. Muamalah Muslim 5 Dalil kajian asbab nuzul, ayat ini turun terkait jawaban Rasulullah kepada Asma’ binti Abu Bakar tentang ibunya yang datang untuk menjenguk: :أﺧﺮج أﺣﻤﺪ واﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ أﺳﻤﺎء ﺑﻨﺖ أﺑﻲ ﺑﻜﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻟﺖ ﻓﺄﺗﻴﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ، إذ ﻋﺎﻫﺪوا، وﻫﻲ ﻣﺸﺮﻛﺔ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﻗﺮﻳﺶ،»ﻗﺪﻣﺖ أﻣﻲ ﺻﻠﻲ، ﻧﻌﻢ: أﻓﺄﺻﻠﻬﺎ؟ ﻗﺎل، إن أﻣﻲ ﻗﺪﻣﺖ وﻫﻲ راﻏﺒﺔ، ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ: ﻓﻘﻠﺖ،وﺳﻠﻢ ِﱠ ﱠ .َﻢ ﻳُﻘﺎﺗِﻠُﻮُﻛ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺪﱢﻳ ِﻦ ْ ﻳﻦ ﻟ َ ﻻ ﻳَـ ْﻨﻬﺎ ُﻛ ُﻢ اﻟﻠﻪُ َﻋ ِﻦ اﻟﺬ:ّأﻣﻚ« ﻓﺄﻧﺰل اﷲ ﻓﻴﻬﺎ Ayat ini menurut penulis menarik untuk dikaji, karena memberikan gambaran secara jelas tentang bagaimana hendaknya umat Islam bermuamalah dengan non muslim. Ditambah dengan beberapa permasalah seperti kedua ayat di atas tidak secara jelas menyebut kata kafir, tetapi banyak para ulama yang menafsirkan ayat ini berkaitan dengan hubungan muslim dengan orang kafir, dan beberapa ulama berpendapat bahwa ayat tersebut telah di-mansukh.3 Mengenai interpretasi ayat tersebut, mufassir kontemporer Wahbah al-Zuhayli menerangkan dalam tafsirnya al-Tafsir al-Munir bahwa dalam ayat tadi Allah membolehkan orang muslim untuk menjalin hubungan dengan orang kafir seperti menyambung tali silaturahmi, mengambil manfaat dari bertetangga, menepati janji dan lain sebagainya. Golongan non-muslim, dalam pandangan Wahbah al-Zuhayli, adalah kaum kafir yang mengadakan gencatan senjata dengan orang mukmin atau yang disebut dengan ahl al-‘ahd. Namun Wahbah al-Zuhayli tidak menerangkan secara terperinci tentang golongan masyarakat yang termasuk di dalam ahl al-‘ahd yang dimaksud dalam ayat 8 surat al-Mumtahanah, malahan penjelasannya cenderung 3 Ulama berbeda pendapat mengenai relevansi ayat tersebut, sebagian Ulama mengatakan bahwasannya ayat ke 8 dari surat al-Mumtah}anah telah dimansukh dengan ayat lain seperti pendapat Ibn Zayd dan Qata>dah. Mereka berpendapat bahwa ayat 8 dari surat al-Mumtahanah telah dimansukh dengan ayat al-Taubah ayat 5. Tetapi banyak mufassir yang mengatakan bahwa ayat ini tidak dimansukh dan hukumnya masih berlaku hingga sekarang. Lihat Ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz; 12 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hal. 61. Muamalah Muslim 6 mengarah kepada orang yang tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan konfrontasi dengan orang mukmin seperti kaum perempuan dan orang yang lemah.4 Mufassir kontemporer lain yaitu Ahmad Mustafa al-Maraghi yang hidup antara tahun 1883-1952 Masehi memiliki penafsiran yang lebih konservatif. Menurutnya, golongan non muslim adalah kaum khuzza’ah5 dan kaum kafir yang mengadakan perjanjian dengan Rasulullah. Perjanjian tersebut berisi gencatan senjata dan perjanjian untuk tidak mengeluarkan kaum Muslim dari tempat tinggal mereka. Secara lebih terperinci, al-Maraghi mengatakan bahwa maksud kata non-muslim atau kafir hanya terbatas bagi kaum yang hidup di zaman Rasulullah. Dari pemaparan ini, dapat dipahami bahwa meskipun al-Maraghi merupakan mufassir kontemporer, ternyata ia tidak menjabarkan golongan non muslim ke dalam kontek kekinian.6 Sementara itu, Ibn Jarir al-Tabari, 839-923 M, dalam tafsirnya menyebutkan berbagai pendapat ulama tentang maksud kata alladhina lam yuqatilukum yang terdiri dari beberapa pendapat sahabat dan tabi’in kemudian mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan golongan non muslim tersebut adalah ﺟﻤﯿﻊ أﺻﻨﺎف اﻟﻤﻠﻞ واﻷدﯾﺎن, yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah semua agama selain Islam.7 Dari penafsiran al- Tabari di atas apabila dibandingkan dengan beberapa mufassir semisal Wahbah al-Zuhayli dan al-Maraghi, ternyata interpretasinya cenderung lebih luas dan lebih cocok untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia 4 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir , Juz 27 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), hal. 70. Khuzza’ah adalah nama sebuah suku yang telah menduduki dan menjadi penguasa kota Makkah dalam waktu yang cukup lama sebelum nabi Muhammad lahir. Suku ini berasal dari Yaman yang berhijrah ke Makkah akibat banjir ‘Arim. Kekuasaan suku ini akhirnya digulingkan oleh suku Quraish dengan pahlawannya yang bernama Qus}ay yang merupakan nenek moyang nabi Muhammad. Suku Khuzza’ah merupakan suku yang juga terlibat dengan perjanjian Hudaibiyah. Lihat Ah}mad Shalabi, Mawsu’ah al-Tarikh al-Islami, Juz 1 (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, 1987), hal. 529. 6 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 30 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 135. 7 Al-Tabari, Jami’ al-Bayan, Juz 12, hal. 62. 5 Muamalah Muslim 7 abad modern saat ini yang cenderung terdiri dari sebuah masyarakat yang majemuk. Meskipun al-Tabari hidup di zaman yang permasalahan manusia tidak sekomplek dan serumit manusia pada zaman kontemporer interpretasinya lebih relevan dengan zaman kontemporer. Jika ditarik benang merah antara konsep al-Tabari dengan kondisi bangsa Indonesia yang majemuk, maka interpretasinya sangat relevan dengan kondisi bangsa sebagai solusi atas konflik antar agama yang kerap muncul dewasa ini. Kemajemukan tersebut bisa dilihat dari agama-agama yang diakui di Indonesia, Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu.8 Agama-agama yang diakui di Indonesia di atas merupakan agama yang banyak dianut oleh masyarakat di dunia. Meskipun terdapat beberapa agama yang sudah banyak dianut oleh masyarakat di dunia, tidak seluruhnya diakui di Indonesia seperti agama Yahudi. Di negara Indonesia, agama Yahudi yang merupakan agama samawi dan merupakan bagian dari Ahli Kitab eksistensinya cenderung tidak pernah muncul dalam dinamika keagamaan di Indonesia. Akan tetapi dari pembacaan penulis, berangkat dari kajian sejarah, ternyata terdapat fakta yang menyebutkan bahwa agama Yahudi pernah ada di Indonesia. Hal ini berdasarkan adanya penganut agama Yahudi yang menetap di Indonesia sejak tahun 1850 M. Mereka merupakan pedagang rempah-rempat berkebangsaan Belanda dan Jerman yang kemudian menetap di Indonesia. Hingga masa kemerdekaan Indonesia golongan tersebut masih ada meskipun jumlah pemeluknya berkurang. 8 Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Sedangkan Inpres 14/1967 yang mengekang agama Khonghucu pada jaman Presiden Soeharto dicabut oleh Presiden K.H.Abdurrahman Wahid dengan Keppres No. 6/2000 tertanggal 17 Januari 2000 yang intinya memberikan tempat yang layak bagi para penganut Khonghucu untuk menjalankan agamanya sesuai dengan persamaan hak dengan agama lainnya yang diakui di Indonesia. Lihat ‘Agama di Indonesia’, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. Diakses tanggal 18 Desember 2011. Muamalah Muslim 8 Pada tahun 2008-2009 terjadi perang antara Israel dengan Palestina di daerah Gaza yang menyebabkan sentimen anti Yahudi di Indonesia. Buah dari konflik ini mengakibatkan Sinagog yang ada di kota Surabaya ditutup atas desakan umat muslim yang menentang perang Gaza. Satu-satunya Sinagog yang masih ada saat ini hanya terdapat di kota Manado. Merujuk kembali kepada penafsiran al-Tabari tentang ayat 8-9 dalam surat alMumtahanah, maka tindakan ini dianggap kurang tepat. Meskipun orang Yahudi dianggap orang kafir, orang Yahudi di Indonesia tersebut merupakan orang kafir yang tidak boleh diperangi dan dibatasi gerak sosial dan agamanya. Orang-orang Yahudi tersebut tidak memerangi umat muslim yang ada di Indonesia, sehingga mereka tidak patut untuk diperangi. Tanpa adanya permasalahan konflik antar agama di atas, kemajemukan agama di Indonesia sebenarnya merupakan bentuk ideal dari sebuah kerukunan antar umat beragama. Adanya kaum minoritas merupakan bukti nyata akan adanya sikap keterbukaan, saling menghargai, dan toleransi umat muslim sebagai umat agama terbesar di Indonesia.9 Bentuk heterogensitas ini adalah bagian dari kemajemukan umat muslim zaman klasik hingga saat ini. Keterbukaan kaum muslimin zaman klasik dalam kapasitasnya selaku pemegang kekuasaan saat itu menggambarkan bahwa mereka selalu bersikap ‘ngemong’ terhadap golongan-golongan yang lain. Nabi Muhammad yang merupakan pembawa risalah Islam pernah mencontohkan tentang keharmonisan di tengah 9 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal. 190. Muamalah Muslim 9 kemajemukan dengan terciptanya ‘Piagam Madinah’, dan dengan adanya Piagam Madinah terciptalah sebuah kedamaian tanpa melalui pertumpahan darah.10 Dalam kitab hadits juga terdapat beberapa riwayat yang menguatkan tentang interaksi antara Rasulullah dengan kaum non muslim. Seperti Rasulullah yang membeli barang dari kaum yahudi dan rasulullah yang menyewa orang kafir untuk menunjukkan jalan pada peristiwa hijrah. Maka dapat dipahami dari kajian di atas, bahwa muamalah umat islam terhadap non muslim adalah bersifat kerukunan antar masyarakat. Adapun dalam masalah ideologi, maka dalam surat al-Kafirun di jelaskan bahwa islam memiliki konsep yang sangat jelas yaitu lakum dinukum wa liya al-din. Bahkan dalam surat alNisa’ ayat 100 disebutkan bahwa jika orang-orang yang beriman menataati para ahli kitab maka mereka akan mengembalikan orang beriman kepada kekafiran: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” Penutup Dari pemaparan di atas bahwa hubungan antara orang islam dan non muslim dalam al-Qur’an adalah terbagi ke dalam masa harmonis dan konfrontasi. Dalam masa 10 Dalam Piagam Madinah terdapat limat poin penting dalam bermasyarakat: pertama, prinsip persaudaraan atau ukhuwwah islamiyah yang artinya semua umat muslim dari berbagai suku adalah saudara. Kedua, prinsip saling menolong dan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai suku, agama dan bahasa harus saling membantu dalam menghadapi lawan. Ketiga, prinsip melindungi yang teraniaya. Keempat, prinsip saling kontrol. Kelima, prinsip kebebasan beragama. Lihat dalam Tesis Jauhar Azizy, Pluralisme Agama Dalam al-Qur’an (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2007), hal. 3. Muamalah Muslim 10 harmonis, umat Islam akan menjalani kehidupan dengan non-muslim dalam bentuk kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat. Namun dalam masa konfrontasi, umat Islam diperintahkan untuk mengangkat senjata untuk mempertahakan eksistensi mereka. Muamalah Muslim 11 Daftar Pustaka Al- Maraghi, Ahmad Mustafa. t.t. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr. Al- Shatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa.1997. al-Muwafaqat. al-‘Aqrabiyyah: Dar Ibn ‘Affan. Al- Tabari, Muhammad Ibn Jarir. 1992. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Al- Zuhayli, Wahbah. 1991. al-Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr. Ma’arif, Zainul. 2003. Wihdat al-Adyan; Melerai Konflik Umat Beragama. Jurnal Pemikiran “Islam International Institute of Islamic Thought Indonesia”, Vol. I, No. 02. Madjid, Nurcholis. 1992. Islam Doktrin Dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Shalabi, Ahmad. 1987. Mawsu’ah al-Tarikh al-Islami. Kairo: Maktabah al-Nahdah alMisriyyah.