PERKEBUNAN KOPI MANGKUNEGARAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT WONOGIRI PADA MASA MANGKUNEGARA IV Oleh : DEVY MARDIATI K4405012 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 i PERKEBUNAN KOPI MANGKUNEGARAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT WONOGIRI PADA MASA MANGKUNEGARA IV Oleh : DEVY MARDIATI K4405012 Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 ii HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Persetujuan Pembimbing Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Drs. Leo Agung S, M.Pd NIP. 19560515 198203 1 005 Drs. A. Arif Musadad, M.Pd NIP. 19670507 199203 1 002 iii HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Tim Penguji Skripsi Ketua Pada Hari : Selasa Tanggal : 28 Juli 2009 Tanda Tangan : Drs. Djono, M. Pd Sekretaris : Drs. Herimanto, M.Pd, M.Si Anggota I : Drs. Leo Agung S, M. Pd Anggota II : Drs. A. Arif Musadad, M. Pd Disahkan Oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1 001 iv ABSTRAK Devy Mardiati. PERKEBUNAN KOPI MANGKUNEGARAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT WONOGIRI PADA MASA MANGKUNEGARA IV. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2009 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) latar belakang munculnya perkebunan kopi Mangkunegaran, (2) pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran pada masa Mangkunegara IV, (3) pengaruh perkebunan kopi Mangkunegaran terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Wonogiri pada masa Mangkunegara IV. Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Pembangunan industri perkebunan, terutama perkebunan kopi oleh Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional karena sejumlah alasan: (a) kopi merupakan produk eksport yang pada waktu itu berkembang pesat di pasaran dalam negeri maupun internasional, (b) tanaman kopi sudah pernah dibudidayakan pada masa Mangkunegara II dengan bibit kopi yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini, Bulukerto yang diusahakan oleh para penyewa tanah Eropa dan (c) sumber–sumber pendapatan praja secara tradisional melalui pajak dan persewaan tanah tidak mencukupi. Faktor lain yang menyebabkan atau mendorong pembangunan perkebunan Mangkunegaran adalah kepentingan pihak trah Mangkunegaran untuk menunjukkan posisinya yang lebih menonjol dalam bidang ekonomi dibanding dengan ketiga praja kejawen lainnya, yakni Kasunanan, Kasultanan dan Pakualaman. (2) Sistem pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran diawali dengan usaha Mangkunegara IV untuk menarik tanah-tanah apanage dari para keluarga kerajaan maupun dari para penyewa tanah Eropa. Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran ini dimulai pada tahun 1814 dengan bibit kopi yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini di daerah Bulukerto, Wonogiri. Penanaman kopi di 24 wilayah di Mangkunegaran ini ditangani secara serius, dengan mendatangkan administratur kopi dari Eropa,yaitu Rudolf Kampff. (3) Pengaruh perkebunan kopi Mangkunegaran terhadap kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan sangat besar, baik di bidang sosial maupun ekonomi. Secara sosiologis sistem perkebunan telah merubah hubungan sosial yang sudah ada, yaitu ikatan adat dan ikatan desa yang telah mempererat hubungan individu dalam masyarakat. Bagi masyarakat petani di pedesaan, khususnya di wilayah perkebunan kopi, v peralihan dari sistem apanage dan perkebunan Eropa ke sistem kerajaan ini membawa konsekuensi yang dilematis. Pada satu sisi beban pajak berkurang dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam kerja upah untuk memperoleh tambahan penghasilan telah diberikan, namun di sisi lain semua itu belum sebanding dengan jumlah beban kerja wajib yang lebih tinggi. vi ABSTRACT Devy Mardiati. MANGKUNEGARAN COFFEE PLANTATION AND ITS INFLUENCE AGAINST SOCIAL ECONOMIC LIVE OF WONOGIRI SOCIETY AT MANGKUNEGARA IV PERIOD. Skripsi, Surakarta: Faculty of Education and Teacher Training, Sebelas Maret University Surakarta, July 2009 The aim of this research is determining: (1) the background of the emergence of Mangkunegaran coffee plantation, (2) the management of Mangkunegaran coffee plantation at the Mangkunegara IV period, (3) the influence of Mangkunegaran coffee plantation against social economic live of Wonogiri society at Mangkunegara IV period. The research uses historical methods. The steps adopted in historical method include heuristic, criticism, interpretation, and historiography. The data resource used is secondary sources. The technique of collecting data uses literature study. The technique of analysis used is historical analysis technique that is analysis majoring incisive style in interpreting facts of history. Based on the results of research, it can be concluded that: (1) development of industrial estates, especially coffee plantation by Mangkunegara IV is a rational choice for several reasons: (a) coffee is an export product that was rapidly growing in the market at that time, whether national and international area, (b) the coffee plants have been cultivated at Mangkunegara II period with coffee seedlings obtained from the Old Coffee Garden Gondosini, Bulukerto arranged by the land tenant of Europe and (c) resources of Praja (territory of jurisdiction) revenue traditionally through tax and land lease are not sufficient. Another factor that causes or encourages the development of the Mangkunegaran plantation is self-interest of Trah Mangkunegaran to show a more prominent position in the economic, compared with three other Praja (territory of jurisdiction) kejawen, namely Kasunanan, Kasultanan and Pakualaman. (2) Mangkunegaran Coffee plantation management system begins with Mangkunegara IV business to draw out the apanage lands of the kingdoms and families of the Europe tenant. The coffee cultivation in Mangkunegaran region was starten in 1814 with coffee seeds obtained from the Old Coffee Garden Gondosini area in Bulukerto, Wonogiri. Coffee cultivation in 24 districts in Mangkunegaran was handled seriously by bringing coffee administrator from Europe, Rudolf Kampff. (3) The influence of Mangkunegaran coffee plantation against people living around the plantation is very great, both in the field of social and economic development. Sociologically, the plantation system has been changed the existing social relationships, traditional ties and the bonds of the village that has been strengthen individual relationships within the community. For the farmers in rural communities, particularly in the area of coffee plantations, the transition changed from the apanage system and European plantation system to the kingdom system brings dilemma vii consequences. On the one hand, tax burden is reduced and opportunities to engage in wage labour to obtain additional revenue has been given, but on the order hand, all of them have not been proportionate to the number of high compulsory workload. viii MOTTO Tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orangorang yang bersyukur. (Q.S. Al A’ raf: 58) Keberhasilan seseorang tidak akan diperoleh gratis dari langit, melainkan karena adanya kristalisasi keringat. (Bung Karno) Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia dan hidup berawal dari mimpi yang harus selalu diperjuangkan. (Penulis) ix PERSEMBAHAN Karya kecil ini ku persembahkan untuk : v Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan doa restunya kepadaku v Adikku Abdia tersayang v Putra tersayang yang selalu setia membimbing, memberikan dukungan dan semangat padaku v Teman-teman Sejarah angkatan 2005 v Rekan-rekan pengurus perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah v Almamater x KATA PENGANTAR Alhamdullah segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Banyak hambatan yang penulis temui dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitankesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk segala bentuk bantuannya, penulis sampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan rekomendasi atas penyusunan skripsi ini. 4. Drs. Leo Agung S, M. Pd, selaku pembimbing I yang telah memberikan masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 5. Drs. A. Arif Musadad, M. Pd selaku pembimbing II yang telah pula memberikan masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 6. Para Pengageng Reksopustaka Mangkunegaran Surakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian. 7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca. Surakarta, Penulis xi Juli 2009 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................ i HALAMAN PENGAJUAN.................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN............................................................... iv ABSTRAK v …..................................................................................... ABSTRACT ............................................................................................ vii HALAMAN MOTTO .......................................................................... ix HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................... x KATA PENGANTAR .......................................................................... xi DAFTAR ISI ......................................................................................... xii DAFTAR BAGAN................................................................................. xiv DAFTAR TABEL .................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................ 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................ 7 D. Manfaat Penelitian .............................................................. 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ................................................................. 8 1. Kebijakan Kolonial ......................................................... 8 2. Perkebunan ................................................................... 13 3. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat.......................... 16 B. Kerangka Berfikir ................................................................ 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 27 B. Metode Penelitian ................................................................. 27 C. Sumber Data ......................................................................... 29 D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 31 E. Teknik Analisis Data ............................................................ 31 xii F. Prosedur Penelitian ................................................................ 32 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskriptif wilayah Wonogiri ................................................ 37 1. Kondisi Geografis dan Administratif Wonogiri............. 37 2. Kondisi Demografi Wonnogiri ...................................... 41 B. Perkebunan Kopi Mangkunegaran........................................ 43 1. Latar Belakang Munculnya Perkebunan Kopi Mangkunegaran..................................................... 45 2. Pengelolaan Perkebunan Kopi Mangkunegaran pada masa Mangkunegara IV…………………............. 50 C. Pengaruh Perkebunan Kopi Mangkunegaran....................... 73 1. Bidang Sosial ................................................................ 74 2. Bidang Ekonomi ........................................................ 76 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 80 B. Implikasi................................................................................ 81 C. Saran...................................................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 85 LAMPIRAN xiii Daftar Gambar Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir........................................................... 24 Gambar 2. Bagan Metode Penelitian Historis.............................................. 33 Gambar 3. Struktur Kelembagaan Desa di Bumi Pakopen pada masa Pemerintahan Mangkunegara IV.............................. 59 xiv Daftar Tabel Tabel 1. Jadwal Waktu Penelitian................................................................. 28 Tabel 2. Perbandingan Luas Kerajaan di Wilayah Vorstenlanden tahun 1873 ............................................ 39 Tabel 3. Harga Pembelian Kopi yang Ditetapkan Gubernemen Tiap Pikul dengan Berat 10 Kati .............................. 56 Tabel 4. Hasil Kopi Mangkunegaran (dalam Kuintal) ................................... 57 Tabel 5. Hasil Kopi di Surakarta (dalam Kuintal) ......................................... 58 Tabel 6. Jumlah Tanaman Kopi di Daerah dalam Lingkungan Mangkunegaran tahun 1863......................................... 65 Tabel 7. Luas Kebun Kopi di Afdeeling Purwantoro tahun 1880................... 66 Tabel 8. Jumlah Pohon Kopi pada tahun 1880 ....................................... ...... 66 Tabel 9. Hasil Produksi Kopi Mangkunegaran Sebelum dan Sesudah Penarikan Tanah Apanage (1852-1880)............................. 67 xv Daftar Lampiran Lampiran 1. Peta Pembagian Praja Kasunanan menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran......................................................... 89 Lampiran 2. Peta Kabupaten Wonogiri................................................. 90 Lampiran 3. Foto Sri Mangkunegaran IV (1853-1881)...................................................................... 91 Lampiran 4. Bangsal Tusan dan Lampu Robyong................................ 92 Lampiran 5. Gambar Pohon Kopi......................................................... 93 Lampiran 6. Transkrip tentang peraturan bagi orang yang tinggal di Kawedanan Wonogiri dan Karanganyar boleh mengolah tanah lahan desa dengan ketentuan yang berlaku tahun 1879....................................................................... 94 Lampiran 7. Naskah No. 30 berupa peraturan dari Mangkunegara IV tentang tugas dan kewajiban para pengelola perkebunan kopi dari Administratur hingga rakyat kecil di desa di wilayah perkebunan kopi Mangkunegaran....................... 96 Lampiran 8. Naskah No. 31 berupa peraturan tentang kewajiban para Kepala Afdeling di wilayah perkebunan kopi Mangkunegaran................................................................ 103 Lampiran 9. Transkrip Rijksblaad No. 17 tahun 1917 tentang pengerahan tenaga kerja perkebunan.............................. 104 Lampiran 10. Indonesian Agricultural Research and Development Journal………………………………… 108 Lampiran 11. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi………......... 114 Lampiran 12. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan..................................................... 115 Lampiran 13. Surat Keterangan Pengumpulan Data di Reksopustaka Mangkunegaran................................... 116 xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah perkembangan perkebunan di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Di negara-negara berkembang pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris Barat, yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hal ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem perkebunan dimulai melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi dari luar, dan memanfaatkan tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 7). Perkebunan yang telah diperkenalkan lewat sistem tanam paksa oleh kolonial Belanda merupakan salah satu sisi sejarah yang mempunyai pengaruh cukup luas bagi bangsa Indonesia dalam jangka waktu yang sangat panjang, dan merupakan peletak dasar bagi berkembangnya perusahaan perkebunan di Indonesia (Mubyarto, 1992: 15). Munculnya perkebunan di Indonesia dimulai dengan adanya proses komersialisasi rempah – rempah dalam perdagangan internasional pada abad ke-16 yang telah membawa dua akibat penting bagi masyarakat Indonesia, sehingga berdampak pada munculnya perluasan kebun menguntungkan yang hanya dan mengundang kehadiran kekuasaan pihak asing di Indonesia. Seperti halnya di negara berkembang bahwa sistem perkebunan di Indonesia juga diperkenalkan lewat kolonialisme Barat yaitu kolonialisme xvii Belanda. Sistem kebun merupakan sistem usaha pertanian yang lebih dulu dikenal sebelum masuknya sistem perkebunan di Indonesia. Sejak masa tradisional sampai masa penjajahan Vereeniging Oost Indische Compagnie (VOC) yaitu pada abad ke-17 dan ke-18, sistem usaha kebun menjadi sumber produksi komoditi perdagangan untuk pasaran Eropa. Bahkan pada masa VOC sistem usaha kebun rakyat menjadi sumber eksploitasi komoditi Eropa. Eksploitasi produksi pertanian yang dilakukan oleh rezim pemerintah kolonial ini diwujudkan dalam bentuk usaha perkebunan negara. Sistem tanam paksa adalah salah satu bentuk perwujudannya, perbedaannya adalah apabila politik eksploitasi VOC dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui kepalakepala pemerintahan feodal setempat, maka pada eksploitasi pemerintah dilakukan secara langsung, dengan menggunakan sistem perkebunan negara. Pelaksanaan sistem eksploitasi baru ini dilancarkan melalui alat birokrasi pemerintah, yang berfungsi sebagai pelaksana langsung dalam proses mobilisasi sumber daya perekonomian agraris tanah jajahan yang berupa tanah dan tenaga kerja (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 10-11). Perkembangan sistem perkebunan yang terjadi pada abad ke XIX diikuti dengan proses peningkatan birokrasi pemerintah kolonial Belanda. Perangkat pemerintahan desa menjadi ujung tombak birokrasi kolonial dan menjadi alat pelaksana semua kebijaksanaan pemerintah pusat, termasuk kebijaksanaan pelaksanaan sistem perkebunan (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991:11). Proses perkembangan sistem perkebunan berlangsung sejajar dengan fase-fase perkembangan politik kolonial dan sistem kapitalisme kolonial yang melatarbelakanginya. Secara pokok pertumbuhan sistem perkebunan pada masa kolonial mengalami dua fase perkembangan, yaitu dari fase industri perkebunan negara ke fase industri perkebunan swasta. Perkembangan ini berlangsung sejajar dengan terjadinya perubahan orientasi politik kolonial yang mendasarinya, yaitu dari orientasi politik konservatif ke politik liberal. Perubahan orientasi politik itu sendiri terjadi karena adanya perubahan sistem kapitalisme di negeri Belanda yaitu dari sistem kapitalisme merkantilis ke xviii sisitem kapitalisme industri, atau kapitalisme agro-industri. Fase awal dari perkembangan perkebunan ditandai dengan kecenderungan politik pemerintahan kolonial Belanda untuk meneruskan kebijaksanaan politik eksploitasi (drainage politiek) yang dijalankan oleh VOC. Dalam sektor perkebunan khususnya, semasa kolonialisme Belanda di Indonesia, sejak masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sampai politik etis di awal abad XX telah menunjukkan betapa pentingnya sektor ini sebagai tulang punggung kekuatan ekonomi Belanda. Pada abad XIX perkebunan itu diusahakan secara besar-besaran oleh Belanda. Selama masa tanam paksa (1830-1870) pengelolaan perkebunan dilakukan menurut model VOC secara konservatif, hanya ada sedikit perbedaan. Di masa VOC pengelolaan perkebunan melalui aparat atas birokrasi tradisional pribumi. Selanjutnya setelah masa liberal (1870-1900) pengelolaan perkebunan dilakukan oleh pihak swasta yang mempunyai modal besar dari Eropa. Sejak 1870 mulailah babak baru dalam pengusahaan perkebunan, pihak swasta dengan kekuatan modalnya mulai berkembang. Sejak saat itu perkembangan perusahaan perkebunan meningkat pesat. Berbagai komoditas perkebunan yang sangat laku di pasaran dunia berkembang pesat, misalnya gula, kopi, tembakau, nila dan sebagainya (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 80). Sistem tanam paksa yang diterapkan sejak tahun 1830 pada dasarnya adalah usaha penghidupan kembali sistem eksploitasi dari masa VOC yang berupa penyerahan wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa pada dasarnya penyatuan antara sistem penyerahan wajib dengan sistem pajak tanah. Maka dari itu, ciri pokok dari sistem tanam paksa adalah terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang yaitu berupa hasil tanaman pertanian mereka yang biasanya berupa tanaman eksport seperti halnya kopi yang ada di Priyangan yang kemudian berlaku di seluruh Jawa. Tanam paksa merupakan usaha untuk menanam tanaman eksport secara paksa kepada penduduk Indonesia. Adapun jenis tanaman yang wajib untuk ditanam rakyat utamanya adalah kopi, tebu, dan indigo. Tanaman lain yang ikut xix ditanam dalam skala kecil antara lain tembakau, lada, teh, dan kayu manis (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1987 : 57 ). Berakhirnya politik tanam paksa pada tahun 1870 membawa babak baru dalam sejarah perkebunan asing di Indonesia, khususnya di Jawa dengan diundangkannya Hukum agraria oleh pemerintah kolonial Belanda yang memungkinkan pemilik modal besar di negara Belanda dan negara – negara Eropa Barat lainnya menanamkan modalnya di Indonesia. Hak – hak usaha yang diperoleh para penanam modal tersebut terkenal dengan “Hak Erfpacht” (Mubyarto, 1987: 21). Sistem tanam paksa merupakan revolusi industri yang pertama di bidang pertanian Indonesia. Kebijakan baru ini secara langsung tidak diberlakukan di beberapa wilayah termasuk wilayah kerajaan (Vorstenlanden), akan tetapi dampak yang ditimbulkan dari sistem ini sangat besar bagi kelangsungan kerajaan. Dengan sistem ini diharapkan tanah-tanah di Jawa mampu menjadi pilar penyangga ekonomi Belanda. Di wilayah kerajaan Surakarta tidak secara langsung terbebani dengan pelaksanaan sistem tanam paksa, akan tetapi juga menerima dampak dari sistem ini. Hal ini jelas karena wilayah kerajaan Surakarta telah dikuasai oleh pemerintah Kolonial Belanda dan harus tunduk terhadap kebijakannya. Praja Mangkunegaran termasuk dalam wilayah kerajaan Kasunanan Surakarta yang kekuasaannya berada di bawah Sunan. Praja Mangkunegaran khususnya pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, merupakan suatu bagian dari wilayah Governement yaitu wilayah yang diperintah oleh seorang Gubernur Surakarta yang dulunya disebut Residen. Daerah Mangkunegaran terletak di tanah swapraja atau Vorstenlanden, di bagian sebelah timur wilayah Jawa Tengah. Daerah ini jika dilihat dari wilayah Kasunanan Surakarta terletak di bagian tenggara, meliputi lereng selatan dari gunung Lawu, meluas sampai daerah hulu sungai Bengawan Solo terus menuju daerah Gunung Kidul (Rauffaer: 1905: 2) Praja Mangkunegaran mengalami perubahan dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan Mangkunegara I yang mempunyai xx kesempatan untuk merebut tahta kerajaan, sedangkan Mangkunegara II mempunyai kesempatan untuk menambah luas tanah-tanah praja Mangkunegaran. Pada masa Mangkunegara III kurang berhasil dalam ekonomi, terbukti sewaktu beliau meninggal dunia mempunyai hutang-hutang yang banyak. Dalam Geheime Besluit van den 8 en Maart 1853 Na. La. L disebutkan bahwa Mangkunegara III waktu meninggal mempunyai hutang sebesar f 46.200. Setelah itu Raden Mas Aria Gondokusuma menggantikan Mangkunegara III, dengan sebutan Mangkunegara IV. Pada masa pemerintahan Mangkunegara IV dapat dikatakan merupakan zaman keemasan praja Mangkunegaran. Mangkunegara IV membawa praja Mangkunegaran menuju arah kemakmuran rakyat dengan mengusahakan peningkatan pertanian dan perkebunan. Beliau memajukan perekonomian kadipatennya melalui pembukaan hutan jati, membuka perkebunan kopi, tebu, teh, nila, dan mendirikan pabrik-pabrik gula dan teh serta pembangunan hotel-hotel dan rumah penginapan. Perkebunan yang diselenggarakan oleh Mangkunegara IV salah satunya adalah perkebunan kopi. Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran ini telah lama berlangsung sejak zaman dahulu. Kira-kira dalam tahun 1814 dimulai penanaman dalam skala besar, bibit yang digunakan dari kebun kopi kuno yaitu Gondosini, Bulukerto, Wonogiri (H. R. Soetono, 2000: 15) Tahun 1833 produk itu diteruskan ke kebun-kebun yang teratur, yang ditanam dengan kerja rodi, dirawat dan dipetik, pengirimannya pun dilakukan dengan tanpa upah. Semasa memegang tampuk pimpinan di praja Mangkunegaran, beliau mengadakan tindakan memperluas secara besarbesaran penanaman kopi dalam tahun 1853. Perluasan daerah penanaman kopi tersebut dengan cara mengolah tanah liar, menebangi hutan-hutan dan meneruskan eksploitasi dari tanah-tanah perkopian yang sudah dikembalikan oleh pengusaha Eropa. Mangkunegaran mempunyai 24 tanah perkopian yang dibawahi oleh 2 orang inspektur. Tawangmangu, Pertanahan Jumapolo, kopi Jumopuro, xxi tersebut meliputi Jatipuro, Karangpandan, Ngadirojo, Sidoharjo, Girimarto, Jatisrono, Slogohimo, Bulukerto, Purwantoro, Nguntoronadi, Wuryantoro, Ngeromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, Singosari, Gubug dan Ngawen. Mangkunegara IV berusaha mengelola perkebunan tersebut secara modern, beliau mengangkat Rudolf Kampf untuk mengorganisasi dan memperluas budidaya kopi di Mangkunegaran. Dengan demikian hasil kopi Mangkunegaran menunjukkan tendensi meningkat. Hal ini nantinya berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar perkebunan kopi, yaitu dengan adanya perubahan sosial ekonomi pada masyarakat tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk menulis tentang ”Perkebunan Kehidupan Kopi Sosial Mangkunegaran Ekonomi dan Masyarakat Pengaruhnya Wonogiri terhadap pada Masa Mangkunegara IV ” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah latar belakang munculnya perkebunan kopi Mangkunegaran ? 2. Bagaimanakah pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran pada masa Mangkunegara IV ? 3. Bagaimanakah kehidupan pengaruh sosial dan perkebunan ekonomi Mangkunegara IV ? xxii kopi masyarakat Mangkunegaran Wonogiri terhadap pada masa C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya perkebunan kopi Mangkunegaran. 2. Untuk mengetahui pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran pada masa Mangkunegara IV. 3. Untuk mengetahui pengaruh perkebunan kopi Mangkunegaran terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Wonogiri pada masa Mangkunegara IV. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. Menambah ilmu pengetahuan yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah yang berkaitan dengan tema pembahasan. b. Menambah pemahaman tentang sejarah agraria, terutama tentang sejarah perkebunan kopi Mangkunegaran di Wonogiri. c. Memberikan sumbangan terhadap penelitian dan penulisan sejarah perkebunan khususnya di praja Mangkunegaran. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. Memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Memberikan sumbangan terhadap penelitian selanjutnya, khususnya dalam sejarah perkebunan yang ada di Indonesia. c. Digunakan sebagai masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan penelitian ini. xxiii BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kebijakan Kolonial a. Pengertian Kebijakan Kolonial Kebijakan pada umumnya merupakan suatu tindakan dari kelompok tertentu maupun sebuah organisasi untuk mengatasi suatu masalah yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Miriam Budiardjo (1982: 12), kebijakan merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan itu yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan kebijakannya. Kleijn yang dikutip oleh Bambang Sunggono (1994: 11), menerangkan kebijakan sebagai tindakan sadar dan sistematis, dengan memakai sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran yang dilakukan secara bertahap. James E. Anderson dalam Bambang Sunggono (1994: 11) menerangkan bahwa kebijakan sebagai rentetan tindakan yang memiliki tujuan tertentu dan diikuti serta dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku untuk memecahkan persoalan tertentu. Kolonialisme dipandang sebagai nafsu, suatu sistem yang merajai atau mengendalikan ekonomi atas negeri bangsa lain. Nafsu itulah yang kemudian menjiwai bangsa Eropa untuk keluar dari negerinya, berkelana mengarungi samudera yang luas untuk mencari daerah-daerah yang akan dijadikan sasaran. Dalam hal ini Asia menjadi ladang yang sangat subur untuk berbagai kepentingan mereka dan berkembangnya kolonialisme Eropa (Cahyo Budi Utomo, 1995: 2). Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Kebijakan kolonial adalah keputusan umum yang dilakukan oleh pejabat otoritas pemerintahan kolonial untuk mengembangkan kekuasaan negaranya, xxiv dengan cara menaklukkan bangsa lain untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah daerah koloni, yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan atau bentuk keputusan formal tertentu. Kebijakan merupakan suatu upaya dari seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Kebijakan yang dijalankan menimbulkan akibat yang menguntungkan maupun merugikan. Seperti adanya kebijakan pemerintah kolonial di negara jajahan khususnya Indonesia yang sangat merugikan rakyat. Kebijakan yang dijalankan hanya menguntungkan pemerintah kolonial saja seperti halnya, kolonial Belanda. Kebijakan politik kolonial Belanda yang dijalankan di Indonesia merupakan serangkaian upaya pemerintah kolonial dalam menaklukkan bangsa Indonesia untuk dapat mencapai tujuan penjajahan secara maksimal dengan mendapat untung yang berlipat. Usaha dalam melaksanakan kebijakan tersebut dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang politik penjajah melakukan dominasi politik, di mana negara jajahan tunduk pada negara penjajah. Di bidang ekonomi, terjadi eksploitasi ekonomi secara besar–besaran (drainage ekonomi) untuk kemakmuran pemerintah kolonial. Di bidang sosial, adanya diskriminasi antara penjajah yang berkedudukan tinggi sedang rakyat pribumi sebagai golongan rendah. Dalam bidang budaya, adanya penetrasi budaya Barat (Cahyo Budi Utomo, 1995: 3). Kebijakan kolonial muncul sebagai akibat adanya sistem kolonialisme yaitu usaha menguasai bangsa lain dalam segala hal untuk mencapai kemakmuran. Untuk itu kolonialisme hakikatnya dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan serta segresi sosial. Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hubungan ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem xxv perkebunan dimulai melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi dari luar, dan memanfaatkan tanah serta tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 7). Penetrasi kolonial Belanda dapat dikatakan mulai nampak suatu gejala yang lebih maju meskipun dalam batas tertentu, seperti didirikannya perusahaan perkebunan. Kehadirannya mengandung pengaruh bagi penduduk yang semula mengolah tanah sawah untuk bercocok tanam secara tradisional mulai bergeser fungsi, tanah dijadikan lahan tanaman eksport sehingga penduduk menjadi pekerja perkebunan dan mulai mengenal sistem ekonomi uang sebagai pengganti sistem ekonomi barter. Kebijakan pemerintah kolonial dalam bidang ekonomi, lahir sebagai dampak adanya kebutuhan sumber dan kekayaan alam yang mampu memberikan kemakmuran bagi pemerintah kolonial. Kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan arus modernisasi semakin berkembang. Terutama dalam prinsip kebijakan ekonomi yang memberi peluang tumbuh dan berkembangnya perusahaan perkebunan swasta. Akibatnya banyak muncul perusahaan asing dan perkebunan asing di negara jajahan. Perkebunan – perkebunan asing dengan tanaman andalan seperti tebu, kopi dan teh dikelola dengan maksimal karena tanaman tersebut akan diperdagangkan di pasaran internasional. Kebijakan kolonial Belanda di Indonesia dalam bidang ekonomi ditandai dengan adanya pelaksanaan politik kolonial konservatif (1800-1848), sistem tanam paksa (1830-1870), politik kolonial liberal (1850-1870), politik etis tahun 1900-an. Serangkaian kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kolonial membawa pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat, khususnya dalam hal kesejahteraan umum; sedangkan dampak penting dari adanya gerakan kolonialisme adalah timbulnya sistem kolonial dan situasi kolonial di negara jajahan. Sistem kolonial dan situasi kolonial telah menciptakan sistem hubungan kolonial antara pihak penguasa kolonial dan penduduk pribumi yang dikuasai dan antara pihak negara jajahan dengan negara induknya. Sistem kolonial ditandai dengan empat pokok yaitu: xxvi dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi. Prinsip dominasi timbul dari proses ekspansi kekuasaan imperialisme dan kolonialisme suatu bangsa ke bangsa lain. b. Ekonomi Liberal Liberalisme berasal dari kata Latin liberalis, kata yang diturunkan dari kata ”liber” yang berarti bebas, merdeka, tak terikat, tak tergantung. Dalam bidang ekonomi, kaum liberalis menuntut kebebasan dan dihilangkannya segala hambatan, halangan, dan pembatasan yang menghadang kehidupan ekonomi, dalam bentuk undang-undang atau aturan-aturan. Setiap orang harus diberi kesempatan untuk berusaha dan maju sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Dari usaha masing-masing orang itu akan tercipta pasar yang akan teratur karena dikendalikan hukum emas ”lakukanlah sesuatu bagi orang lain, sebagaimana kalian berharap orang lain berbuat bagi kalian”. Dengan cara itu kemakmuran orang perorangan dan masyarakat serta negara bahkan dunia akan tercipta (Mangunhardjana, 2001: 149) . Pelaksanaan cultuurstelsel mendapat kritik yang sangat pedas dari kaum liberal, namun pada hakikatnya kritik itu didasari oleh pertimbangan taktis saja. Tanaman wajib adalah pemerasan resmi pemerintah terhadap rakyat jajahan, yang dikritik bukan pemerasannya melainkan keresmiannya. Pihak swasta ingin mendapat giliran mengadakan eksploitasi. Hal ini mengakibatkan adanya pertentangan antara golongan konservatif dan golongan liberal dalam menentukan kebijakan terhadap daerah koloni. Soal yang dihadapi golongan liberal adalah bukan bagaimana mengatur daerah koloni, tetapi bagaimana mengatur daerah koloni untuk mendapatkan uang. Dengan demikian penghapusan cultuurstelsel tidak berakhirnya penderitaan rakyat karena penarikan modal swasta. Bahkan pemasukan modal swasta tidak hanya terbatas pada perkebunan-perkebunan saja tetapi juga dalam berbagai perusahaan seperti pertambangan, dan perkapalan (Cahyo Budi Utomo, 1995: 11). xxvii pengangkutan, Politik ekonomi kaum liberal adalah menganut prinsip “tidak campur tangan”, berhubung dengan itu negara harus menarik diri dari segala campur tangan, segala rintangan terhadap inisiatif individu dan kebebasan harus dihapuskan, dan segala bantuan pemerintah kepada usaha swasta harus lenyap. Sistem ekonomi liberal mempermudah baik eksport maupun import modal. Penanaman modal terutama terjadi di Indonesia sebagai daerah tempat mulai berkembangnya industri gula, timah dan tembakau sejak tahun 1850. Dengan dihapusnya cultuurstelsel secara berangsur-angsur, maka digantilah tanaman paksa pemerintah dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta (Sartono Kartodorjo, 1967: XVI) Kondisi yang menguntungkan bagi penanam modal asing dijamin oleh pemerintah kolonial, seperti tenaga kerja dan sewa tanah yang murah. Hal itu dapat dilihat dari isi Undang-undang Agraria tahun 1870, suatu peraturan yang umumnya dianggap sebagai dimulainya politik kolonial liberal di Hindia Belanda. Peraturan tersebut pada pokoknya berisi dua hal, yaitu pengambilalihan tanah milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang Asing boleh menyewa tanah untuk perkebunan (Cahyo Budi Utomo, 1995: 11). Kurang lebih tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil daripada revolusi industri selama dwi dasawarsa sebelumnya dibuktikan dengan perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan komunikasi yang modern. Volume perdagangan berkembang dengan pesatnya, sedangkan perkembangan modal menunjukkan perbandingan jumlah yang besar. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Politik “pintu terbuka” di Hindia Belanda dan perkembangan perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil daerah koloni lebih banyak mencari pelemparan di negara asing daripada di Nederland sendiri. Sejumlah besar perkebunan-perkebunan yang didirikan sesudah tahun 1870 merupakan objek penanaman modal (Sartono Kartodirjo, 1967: XIX) Tahun 1870 sistem tanam paksa dihapuskan. Hal ini disebabkan di negeri Belanda telah terjadi pergeseran-pergeseran kekuasaan politik dari xxviii tangan kaum konservatif ke tangan kaum liberal. Kaum liberal menentang sistem eksploitasi oleh negara atau pemerintah. Mereka mengganti sistem tanam paksa dengan sistem perusahaan swasta dan sistem kerja paksa dengan sistem kerja upah bebas. Jadi, dengan demikian terjadi pembukaan tanah jajahan bagi penanaman modal swasta Belanda dan terjadi pembukaan tanahtanah perkebunan swasta di Indonesia (Noer Fauzi, 1999: 32) Liberalisme memberi dorongan baru terhadap kemajuan ekonomi. Di dalam sistem baru ini pengusaha-pengusaha swasta mengambilalih prkebunanperkebunan yang sebelumnya diurus oleh pemerintah kolonial dan urusannya berjalan seperti sedia kala, hanya dengan perbedaan bahwa kalau dahulu hanya ada pemegang saham tunggal tetapi sekarang jumlah pemegang sahamnya banyak. Perusahaan-perusahaan swasta berusaha lebih menekan daripada perusahaan pemerintah. Pengusaha-pengusaha dan kaum humaniter mengumpulkan kekuatan untuk mematahkan cultuurstelsel, yang pertama didorong oleh kepentingan ekonomi, sedangkan yang akhir oleh kepercayaan bahwa kebebasan berusaha dan kebebasan bekerja merupakan jaminan yang paling utama bagi kemajuan dan kesejahteraan. Kaum humaniter percaya bahwa perusahaan swasta dan modal bebas akan membebaskan daerah-daerah koloni dari eksploitasi, tetapi kenyataannya hal itu hanya merupakan pergantian mengenai eksploitornya (Sartono Kartodirjo, 1967: XX). 2. Perkebunan a. Pengertian Perkebunan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 458), “perkebunan berhubungan dengan hal berkebun, perusahaan yang mengusahakan kebunkebun, dan tanah-tanah yang dijadikan kebun“. Pendapat William J. O’ Malley seperti dikutip Anne Both (1988: 198) mengenai konsep “perkebunan yang meliputi komponen seperti tanah, pekerja, modal, teknologi, skala, organisasi, dan tujuan”. Pengertian dari perkebunan menurut Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991: 4), adalah: xxix Perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian komersial dan kapitalistik, diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian skala besar dan kompleks, bersifat padat modal (capital intensive), penggunaan areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja secara rinci, penggunaan tenaga kerja upahan (wage labour), struktur hubungan kerja yang rapi dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta penanaman tanaman komersial (commercial corps) yang ditujukan untuk komoditi eksport di pasaran dunia. b. Sejarah Perkebunan Sejarah perkebunan tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme dan kapitalisme. Perkebunan pada awal perkembangannya hadir sebagai sistem perkembangan baru yang semula belum dikenal, yaitu sistem perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Sistem perkebunan yang dibawa oleh pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh korporasi kapitalis asing pada dasarnya adalah sistem perkebunan Eropa. Perkebunan sebagai sistem perekonomian pertanian baru telah memperkenalkan berbagai pembaharuan dalam sistem perekonomian pertanian yang membawa dampak perubahan penting terhadap kehidupan masyarakat tanah jajahan. Sistem perkebunan di Indonesia diperkenalkan lewat kolonialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda. Sejarah perkembangan perkebunan sebagai ekonomi yang menonjol sangat ditentukan oleh politik kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda selaku negeri induk. Tanaman – tanaman perkebunan yang awalnya di budidayakan di Indonesia dan menjadi tanaman eksport dunia adalah kopi, yang diusahakan menjadi tanaman perkebunan di Indonesia sekitar tahun 1700-an, di mana jenis kopi yang ditanam adalah kopi Arabika. Perkebunan kopi adalah perkebunan yang tertua pertama di Indonesia, setelah kopi kemudian muncullah teh pada tahun 1826. Pada awalnya yang dibudidayakan adalah teh Cina, namun karena hasilnya tidak memuaskan di perdagangan dunia, maka sekitar tahun 1880-an teh Cina digantikan dengan teh Assam (Haryono Semangun, 1989 : 1). Perkembangan sistem ekonomi perkebunan pada mulanya tidak berlaku di wilayah vorstenlanden. Wilayah vorstenlanden pada mulanya xxx berlaku hukum yang menyatakan bahwa semua tanah adalah milik raja. Oleh karena tanah-tanah di kawasan ini subur, mengundang pengusaha swasta menanamkan modal di bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini diperkuat sejak dikeluarkannya UU Agraria 1870 dengan diizinkannya pengusaha swasta menyewa tanah dari rakyat, maka segala kekuasaan atas tanah beralih pada tangan penyewa (Mubyarto, 1992: 41). Kehadiran sistem perkebunan di lingkungan masyarakat agraris tradisional di tanah jajahan atau negara-negara berkembang, dianggap telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat “dualistis”. Kehadiran perkebunan digambarkan telah menciptakan komunitas sektor perekonomian “modern”, yang berorientasi eksport pasaran dunia, di tengah-tengah lingkungan komunitas sektor perekonomian “tradisional” atau “subsisten” (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 7). Sistem perkebunan mempunyai dua sisi, di satu pihak, bagaimana perkebunan itu mengelola manajemen perkebunan agar memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Di sisi lain, dominasi perkebunan itu mendesak perekonomian tradisional yang merupakan soko guru kehidupan petani. Efisiensi manajemen merupakan kunci keberhasilan perkebunan, oleh karena itu sistem perkebunan menyangkut perluasan areal, produksi dan eksport (Suhartono, 1995: 61). c. Jenis Perkebunan Haryono Semangun (1989: 2) mengklasifikasikan jenis perkebunan berdasarkan pengelolaannya, terdiri atas tiga bagian yaitu: (1) Perkebunan negara, (2) Perkebunan Swasta, dan (3) Perkebunan Rakyat. Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991: 135) menggolongkan jenis perkebunan berdasarkan tanaman yang diusahakan (ditanam) yaitu: (1) Perkebunan Tebu, (2) Perkebunan Kopi, (3) Perkebunan Teh, (4) Perkebunan Coklat, Perkebunan rempah-rempah, seperti: perkebunan pala, perkebunan lada, dan lain-lain, (5) Perkebunan Karet, (6) Perkebunan Kelapa Sawit, (7) Perkebunan Kina, (8) Perkebunan Tembakau, dan (10) Perkebunan Kapas. xxxi 3. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat a. Pengertian Masyarakat Kelompok manusia yang hidup bersama disebut masyarakat. Dalam kehidupan ini menunjukkan adanya keterikatan dan perasaan saling membutuhkan satu sama lain. J. L. Gillin dan J. P. Gillin dalam Abu Ahmadi (1990: 220) menyatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil. Menurut Ralp Linton dalam Abu Ahmadi (1990: 220), masyarakat adalah kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Berdasarkan definisi Ralp Linton tersebut, maka masyarakat timbul dari setiap kumpulan individu, yang telah lama hidup dan bekerja sama dalam waktu yang cukup lama. Kelompok manusia yang dimaksud di atas yang belum terorganisasikan mengalami proses yang fundamental yaitu: 1) Adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggota 2) Timbul perasaan berkelompok secara lambat laun Adanya sarana untuk berinteraksi menyebabkan suatu kolektif manusia itu akan berinteraksi. Tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus, yaitu tingkah laku yang khas. Ikatan khusus yang membuat satu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat yaitu: 1) Pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu 2) Pola itu harus bersifat mantap dan kontinyu, atau dengan kata lain pola khas itu sudah menjadi adat istiadat yang khas xxxii 3) Adanya satu rasa identitas di antara para warga atau anggotanya bahwa mereka memang merupakan satu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan yang lain (Koentjaraningrat, 1983: 147). Pengertian masyarakat menurut KBBI adalah sejumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama, sedangkan dalam bahasa Inggris masyarakat disebut dengan community, Soerjono Soekanto (2006: 27) mengatakan bahwa community adalah masyarakat yang tinggal di suatu wilayah (geografis) dengan batasbatas tertentu, di mana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar di antara anggota dibandingkan dengan interaksi dengan penduduk di luar batas wilayahnya. Roucek dan Warren dalam Jefta Leibo (1995: 7), menyatakan bahwa secara umum dalam kehidupan masyarakat di pedesaan mempunyai beberapa karakteristik, antara lain: 1) Mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal (mata pencaharian, nilainilai dalam kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku) 2) Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan pertanian ataupun mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Selain itu juga sangat ditentukan oleh kelompok primer, yakni dalam memecahkan suatu masalah, keluarga cukup memainkan peranan dalam pengambilan keputusan final 3) Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada (misalnya keterikatan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya) 4) Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet daripada di kota, serta jumlah anak yang ada dalam keluarga inti lebih besar atau banyak. Karakteristik yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren ini, tidak semuanya berlaku di setiap desa, karena setiap desa itu memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tergantung pada seberapa jauh tingkat perubahan (kemajuan) yang telah dicapai oleh masyarakat desa tertentu. xxxiii Masyarakat merupakan obyek studi dari disiplin ilmu sosiologi, oleh karena itu masyarakat tidak hanya dipandang sebagai suatu kumpulan individu semata-mata, melainkan suatu pergaulan hidup karena mereka cenderung hidup bersama-sama dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa ahli sependapat dengan argumen di atas, yang kemudian lebih ditegaskan lagi oleh Soleman B. Tanako (1993: 11) yaitu sebagai berikut: Dalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak dipandang sebagai suatu kumpulan individu atau penjumlahan dari individu-individu sematamata. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup bersama. Masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk karena hubungan dari anggotanya. Dengan perkataan lain, masyarakat adalah suatu sistem yang terwujud dari kehidupan bersama manusia, yang lazim disebut dengan sistem kemasyarakatan. Emile Durkheim menyatakan bahwa masyarakat merupakan satu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Soleman B. Tanako (1993: 12) menjelaskan bahwa sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia maka tentunya masyarakat itu mempunyai ciri-ciri pokok yang lebih menegaskan definisi masyarakat itu sendiri, yaitu: 1) Manusia yang hidup bersama 2) Bergaul selama jangka waktu cukup lama 3) Adanya kesadaran, bahwa setiap manusia merupakan bagian dari satu kesatuan Dari beberapa pendapat para tokoh di atas maka masyarakat dapat didefinisikan sebagai sekelompok manusia yang hidup bersama dan saling berinteraksi karena mereka memiliki kesamaan karakteristik dan kepentingan ataupun tujuan hidup yang minimal sama. b. Pengertian Perubahan Sosial Perubahan sosial terdiri dari kata perubahan dan sosial. Perubahan berasal dari kata ubah yang berarti menjadi lain (berbeda) dari semula, sedangkan perubahan menurut KBBI adalah hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran. xxxiv Soerjono Soekanto menjelaskannya sebagai berikut: Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan cepat. Perubahan bisa berkaitan dengan: 1) Nilai-nilai sosial; 2) Pola perilaku; 3) Organisasi; 4) Lembaga kemasyarakatan; 5) Lapisan masyarakat; 6) Kekuasaan, wewenang dll (Soerjono Soekanto, 2006: 261). Perubahan berkaitan dengan banyak hal, salah satunya adalah dalam kehidupan sosial masyarakat. Istilah sosial dapat diartikan sebagai hal yang berkenaan dengan masyarakat dan suka memperhatikan kepentingan umum. Soerjono Soekanto (2006: 13), menjelaskan pengertian sosial sebagai berikut: Istilah sosial pada ilmu-ilmu sosial memiliki arti yang berbeda dengan misalnya istilah sosialisme atau istilah sosial pada departemen sosial. Apabila istilah sosial pada ilmu sosial merujuk pada obyeknya, yaitu masyarakat, sosialisme merupakan suatu ideologi yang berpokok pada prinsip pemilikan umum ( atas alat-alat produksi dan jasa dalam bidang ekonomi). Sementara itu, istilah sosial pada departemen sosial menunjuk pada kegiatan–kegiatan di lapangan sosial. Artinya kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan, seperti misalnya tuna karya, tuna susila, orang jompo, yatim piatu dan lain sebagainya, yang ruang lingkupnya adalah pekerjaan ataupun kesejahteraan sosial. Dari beberapa pengertian di atas, maka perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan yang berkenaan dengan tata kehidupan sosial masyarakat. Perubahan tersebut adalah perubahan sosial, perubahan sosial juga memiliki beberapa definisi, di antaranya sebagai berikut: Menurut Selo Soemardjan (1991: 304), perubahan sosial dapat dibagi dalam dua kategori, perubahan yang disengaja dan yang tidak disengaja (intended dan unintended change). Yang dimaksud dengan perubahan sosial yang disengaja adalah perubahan yang telah diketahui dan direncanakan sebelumnya oleh para anggota masyarakat yang berperan sebagai pelopor xxxv perubahan. Sedangkan perubahan sosial yang tidak direncanakan ialah perubahan yang terjadi tanpa diketahui atau direncanakan sebelumnya oleh anggota masyarakat. Perubahan sosial tidak hanya diartikan sebagai suatu kemajuan atau progress tetapi dapat pula berupa suatu kemunduran (regress). Kemudian Selo Soemarjan mengartikan bahwa perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, pola perilakunya di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, yang kemudian mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya (Soemardjan dalam Soekanto, 2006: 263). Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Jadi perubahan sosial dapat terjadi karena perbedaan keadaan di antara sistem-sistem sosial dalam sebuah masyarakat. Kemudian menurutnya konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan; (2) pada waktu berbeda; (3) di antara keadaan sistem sosial yang sama (Piotr Sztompka, 2007: 3). Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2006: 263) mengatakan perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan, materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Mac Iver dalam Soekanto (2006: 263) mengatakan bahwa perubahanperubahan sosial sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social relantionships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Dari beberapa pengertian mengenai perubahan sosial di atas maka dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang xxxvi terjadi dalam lembaga masyarakat atau masyarakat itu sendiri baik bersifat progress ataupun regress yang disebabkan karena adanya tekanan dari luar. Penyebab Perubahan Sosial Untuk mempelajari perubahan masyarakat, perlu diketahui sebabsebab yang melatarbelakangi terjadinya perubahan itu. Soerjono Soekanto (2005: 318) menyatakan bahwa penyebab perubahan sosial sumbernya terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya di luar. 1. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri, antara lain: a. Bertambah atau berkurangnya penduduk Pertambahan penduduk yang sangat cepat menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat, terutama lembaga-lembaga kemasyarakatannya, disebabkan transmigrasi. sedangkan berkurangnya penduduk mungkin urbanisasi maupun berpindahnya penduduk akibat Perpindahan penduduk mengakibatkan kekosongan, misalnya dalam bidang pembagian kerja dan stratifikasi sosial, yang mempengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan. b. Penemuan-penemuan baru Penemuan-penemuan baru yang menyebabkan terjadinya perubahanperubahan terdiri dari penemuan baru dalam kebudayaan jasmaniah maupun rohaniah. Misalnya, dalam kebudayaan jasmaniah yaitu dengan ditemukannya radio menyebabkan perubahan-perubahan dalam lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan agama, pemerintahan, rekreasi dan lain-lain. Penemuan dalam kebudayaan rohaniah misalnya, adanya ideologi baru, aliran kepercayaan baru, sistem hukum yang baru dan lainlain. c. Pertentangan (conflict) masyarakat Pertentangan-pertentangan antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. xxxvii d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi Revolusi yang meletus di sebuah negara mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan besar dalam negara tersebut, yang dapat merubah segenap lembaga kemasyarakatan. 2. Sebab-sebab yang bersumber dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain: a. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia seperti terjadinya bencana alam yang menyebabkan masyarakat yang mendiami suatu daerah tertentu terpaksa harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru. b. Peperangan Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan karena biasanya negara yang menang akan memaksakan kebudayaannya pada negara yang kalah. c. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain Penyebab perubahan sosial juga bisa datang dari faktor pribadi masyarakat, misalnya keinginan dari setiap individu yang ada dalam masyarakat untuk merubah kehidupannya, sehingga mau tidak mau struktur masyarakat tersebut berubah pula. Pendapat ini diperkuat oleh Morris Ginsberg sebagaimana dikutip dalam Tilaar sebagai berikut; Moris Ginsberg dalam Tilaar (2002: 7) menelaah mengenai faktorfaktor penyebab perubahan. Dari beberapa faktor yang dikemukakannya dapat kita catat tiga faktor yang bertumpu pada pribadi seseorang. Sebab-sebab tersebut ialah: 1) Keinginan-keinginan dan keputusan yang sadar dari pribadi-pribadi untuk mengadakan perubahan, 2) sikap pribadi tertentu karena kondisi sosial yang telah berubah, dan 3) pribadi atau kelompok yang menonjol di dalam suatu masyarakat yang menginginkan perubahan”. c. Perubahan Ekonomi Perubahan-perubahan dan pergerakan-pergerakan yang relatif dari penduduk menjadi indikator yang penting mengenai tekanan-tekanan sosial ekonomi yang lebih besar di karesidenan Semarang, itulah sebabnya maka pergerakan yang penting dari penduduk pedesaan akan dapat diduga hanya xxxviii akan terjadi sebagai tanggapan terhadap rangsangan yang berarti (Djoko Suryo, 1989: 10). Perubahan penduduk dipergunakan sebagai indikator bagi perbedaan sosial dan perubahan ekonomi. Pertumbuhan atau pergerakan penduduk pedesaan biasanya disebabkan oleh 3 faktor penting, yaitu kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk (Djoko Suryo, 1989: 11). Semakin meluasnya usaha perkebunan dengan modal asing telah membawa dampak pada perubahan sistem perekonomian yang tadinya sistem ekonomi tradisional berubah menjadi sistem perekonomian pertanian komersial. Pada sistem perekonomian komersial yang mengutamakan sistem perkebunan dengan bersifat padat modal, lahan luas, tenaga kerja banyak, pembagian kerja jelas, struktur tenaga kerja yang rapi, menggunakan teknologi modern, sistem administrasi yang rapi serta tanaman yang ditujukan untuk kepentingan ekspor di pasar dunia, sangat bertolak belakang dengan sistem perekonomian tradisional (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 4). Dalam struktur ekonomi pertanian tradisional, usaha perkebunan merupakan usaha tambahan atau pelengkap dari kegiatan kehidupan pertanian pokok, terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Sistem kebun biasanya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi pada kebutuhan sendiri. Pada masa berkembangnya sistem ekonomi liberal, memberikan kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya dan sekaligus menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan perusahaan perkebunan. Tanah dan tenaga kerja tersebut dimanfaatkan secara bebas dalam proses produksi pertanian. Dalam masyarakat selain terjadi perubahan dalam sistem pertanian juga munculnya sistem ekonomi uang. Masuknya sistem ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat menambah beban bagi masyarakat. Sistem ekonomi uang akan memudahkan pelaksanaan pemungutan pajak, lahirnya buruh upahan, dan sistem penyewaan tanah. xxxix d. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Perubahan masyarakat pada umumnya merupakan suatu proses yang terus menerus, artinya bahwa setiap masyarakat akan mengalami perubahan. Perubahan antara masyarakat satu dengan yang lain berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat. Perubahan tidak selalu membawa dampak kemajuan, bahkan yang terjadi sebaliknya, yaitu kekacauan. Apalagi perubahan tersebut kurang memperhatikan terhadap sistem nilai yang berlaku sebelumnya, maka yang terjadi adalah keresahan. Perubahan sosial ekonomi masyarakat dapat diartikan sebagai bentuk perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi pada masyarakat tersebut. 4. Kerangka Berpikir Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu Perkebunan Kopi Mangkunegaran dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Wonogiri pada Masa Mangkunegara IV, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut: xl Kebijakan Kolonial Ekonomi Liberal Mangkunegaran Perkebunan Kopi Perubahan Masyarakat Bidang Sosial Bidang Ekonomi Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir Keterangan : Kolonialisme Belanda di Indonesia dimulai sejak berlangsungnya ekspansi kekuasaan bangsa Eropa yaitu abad XVI. Kebijakan kolonial muncul sebagai akibat adanya sistem kolonialisme yaitu usaha menguasai bangsa lain dalam segala hal untuk mencapai kemakmuran. Ekspansi kekuasaan kolonial Belanda meningkat pada abad ke XIX telah membawa pengaruh atas terjadinya perubahan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dalam mengolah daerah jajahan, perkebunan menjadi salah satu sumber komersial yang potensial bahkan menjadi basis perekonomian Belanda. Sistem ekonomi liberal mempermudah baik eksport maupun import modal. Penanaman modal terutama terjadi di Indonesia sebagai daerah tempat mulai berkembangnya industri gula, timah dan tembakau sejak tahun 1950. Dengan dihapusnya cultuurstelsel secara berangsur-angsur, maka digantilah tanaman paksa pemerintah dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. xli Keberhasilan golongan liberal mendapat kursi mayoritas dalam parlemen Belanda tahun 1870 menyebabkan semakin luasnya kekuasaan liberal tanah jajahan. Oleh karena itu dalam penguasaan tanah jajahan, golongan liberal memberlakukan sistem politik kolonial baru yang dikenal dengan sistem politik pintu terbuka. Politik ”pintu terbuka” sebenarnya dilakukan atas desakan golongan menengah yang menghendaki tempat dalam proses eksploitasi tanah jajahan. Kebanyakan dari mereka adalah golongan pengusaha atau kaum pemilik modal, yang menjadi golongan borjuis dan pendukung aliran politik liberal. Golongan kapitalis industri ini pada dasarnya menghendaki perubahan politik kolonial yang dapat mengikutsertakan mereka dalam proses eksploitasi tanah jajahan. Mereka mendesak pemerintah untuk membuka pintu tanah jajahan bagi penanaman modal mereka, terutama dalam perusahaan agribisnis, terutama bagi modal para pengusaha swasta. Kebijakan kolonial Belanda dengan politik ekonomi liberal ini memberikan pengaruh terhadap daerah – daerah di tanah jajahan. Dengan adanya kebijakan kolonial tersebut, mendorong pemerintah Praja Mangkunegaran untuk menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi guna meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu Mangkunegara IV (1853–1881) membuka perkebunan kopi di Wonogiri dengan harapan agar mampu mengatasi masalah keuangan dan ekonomi di praja Mangkunegaran. Dengan adanya perkebunan kopi Mangkunegaran di Wonogiri ini membawa dampak perubahan sosial ekonomi pada masyarakat. Perubahan tersebut di antaranya adalah terjadinya perubahan cara hidup dari pertanian menjadi pekerja buruh upahan. Selain itu status sosial para bekel menjadi semakin meningkat yang semula hanya sebagai pemungut pajak kemudian menjadi semacam ”mandor” dan juga sekaligus sebagai pengerah tenaga kerja dan organisator penanaman. Secara umum memang beban kerja masyarakat desa menjadi meningkat, tetapi juga terbuka kesempatan kerja bebas untuk meningkatkan penghasilan. xlii BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penulis dalam melakukan penelitian yang berjudul “Perkebunan Kopi Mangkunegaran dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Wonogiri pada masa Mangkunegara IV” memanfaatkan fasilitas perpustakaan sebagai sarana untuk memperoleh data dalam penelitian. Untuk memperoleh data penelitian ini, penulis mencari sumber tertulis di perpustakaan. Adapun perpustakaan yang dipergunakan sebagai tempat penelitian adalah: a. Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran b. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta c. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta e. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta f. Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Wonogiri 2. Waktu Penelitian Waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah sejak pengajuan judul skripsi yaitu bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Juli 2009. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu penelitian tersebut adalah mengumpulkan sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil penelitian. Secara rinci jadwal kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: xliii Tabel 1. Jadwal Penelitian No Jenis Bulan Kegiatan 1. Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Pengajuan judul 2. Proposal 3. Perijinan 4. Pengumpulan data 5. Analisis data 6. Penulisan laporan B. Metode penelitian Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 7). Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan mengenai ”Perkebunan Kopi Mangkunegaran dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Wonogiri pada Masa Mangkunegara IV”. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah atau metode historis. Hadari Nawawi (1995: 78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan xliv masa sekarang. Gilbert J. Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 43) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumbersumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44) menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji untuk memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut untuk dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya. C. Sumber Data Sumber data sering disebut juga “data sejarah”. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 30) perkataan ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti “pemberitaan”. Menurut Dudung Abdurrachman (1999: 30) data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. xlv Helius Syamsuddin (1996: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber sejarah, yaitu: segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan). Sumber sejarah dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang disampaikan langsung oleh saksi mata. Dikatakan sebagai sumber sekunder karena tidak disampaikan langsung oleh saksi mata dan bentuknya dapat berupa buku-buku, artikel, koran, majalah (Dudung Abdurrahman, 1999: 56). Sumadi Suryabrata (1994: 17) berpendapat bahwa penelitian historis tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi atau penyaksian kejadian-kejadian yang dituliskan. Data sekunder diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang lain yang satu kali atau lebih telah lepas dari kejadian aslinya. Di antara kedua sumber tersebut, sumber primer dipandang memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama, dan diberi prioritas dalam pengumpulan data. Menurut Nugroho Notosusanto (1971: 35), sumber primer adalah kesaksian dengan mata kepala sendiri atau panca indera lainnya atau dengan alat mekanis yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Sedangkan menurut John W. Best dalam Louis Gottschalk (1986: 35) sumber primer sebagai cerita atau catatan para saksi mata, pengamat atau partisipan dan juga berisi catatancatatan para saksi mata yang menyaksikan peristiwa tersebut. Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak langsung mengamati atau orang yang tidak terlibat langsung dalam suatu kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber sekunder biasanya dicatat dan ditulis setelah peristiwanya terjadi, xlvi tetapi sumber sekunder dapat dijadikan sebagai sumber utama apabila sumber utama sulit didapat (Nugroho Notosusanto,1971: 35). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut di antaranya Monographie van Onderafdeling Wonogiri karangan Muhlenfeld. Selain itu juga diperlukan sumber sekunder yang dinilai relevan dan mendukung penelitian ini antara lain Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan di Mangkunegaran Terjemahan Hoofdstuk II Opkmmst der Mangkoenegorosche Cultuurbelangen karangan H. R. Soetono, Sejarah Milik Praja Mangkunegaran Terjemahan R. T. Moehammad Hoesodo Pringgokoesoemo karangan S. Mansfeld, Kapitalisme Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional: Perkebunan Kopi di Mangkunegaran 1853-1881 karangan S. Margana dan Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan Pujangga karangan W. E. Soetomo Siswokartono. D. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan langkah penting dalam penelitian, karena merupakan langkah untuk memudahkan dalam menyusun kisah sejarah yang benar-benar sistematis. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data ditempuh dengan studi kepustakaan. Studi pustaka berperan penting sebagai proses bahan penelitian, tujuannya sebagai pemahaman secara menyeluruh tentang topik permasalahan yang sedang dikaji. Studi pustaka adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan (Koentjaraningrat, 1983: 3). Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan studi pustaka menurut Koentjaraningrat (1986: 18) ada 4 yaitu: (1) Memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan teori pemikiran xlvii (2) Memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti (3) Mempertajam konsep yang digunakan, sehingga mempermudah dalam perumusannya (4) Menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut: (1) Pencarian dan pengumpulan sumber-sumber data yang dibutuhkan baik itu sumber primer maupun sumber sekunder (2) Membaca dan mencatat sumber primer maupun sekunder (3) Penggalian terhadap bahan-bahan pustaka lainnya seperti buku, majalah, artikel, yang dilakukan di perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang diteliti E. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Syamsuddin (1994: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah. Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Analisis data merupakan langkah yang penting dimulai dari melakukan kegiatan mengumpulkan data kemudian melakukan kritik ekstern dan intern untuk mencari otentisitas dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Dari langkah ini dapat diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan xlviii dengan materi penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah tersebut dengan bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian sejarah, kemudian menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami, fakta tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta menjadi karya yang menyeluruh dan masuk akal. F. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Adapun prosedur penelitian ini adalah melalui empat tahap yang merupakan proses metode sejarah. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Langkah-langkah prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut: Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi Fakta Sejarah Gambar 2. Bagan Metode Penelitian Historis 1. Heuristik Heuristik adalah kegiatan mengumpulkan jejak-jejak peristiwa sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber sejarah. Heuristik berasal dari kata Yunani ”heurischein” artinya memperoleh (Dudung Abdurrahman, 1999: 55). Menurut Sidi Gazalba (1981: 115) heuristik adalah mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan bahan penelitian. Nugroho Notosusanto (1971: 17) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lalu. Heuristik berarti mencari data dengan xlix mengumpulkan sumber-sumber. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengadakan riset di perpustakaan atau lembaga kearsipan. Pada tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan sumber atau data-data yang relevan dengan penelitian melalui teknik studi pustaka. Dalam hal ini penulis melakukan pengumpulan data dan sumber di beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Wonogiri. Sumber tertulis yang digunakan berupa arsip, majalah, jurnal dan buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang sedang dikaji. 2. Kritik Setelah data-data yang berkaitan dengan penelitian berhasil dikumpulkan, maka tahap berikutnya ialah verifikasi atau lazim disebut juga dengan kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah itu sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik sumber dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern menguji suatu keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) sedangkan kritik intern menguji keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas). Kritik ekstern dilakukan pada sumber tertulis dengan menyeleksi segisegi fisik dari sumber yang ditemukan dengan meneliti dari kertasnya, tintanya, gaya penulisannya, bahasanya, kalimatnya, dan lain sebagainya. Kritik ekstern dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan pengujian fisik misalnya pada Monographie van Onderafdeling Wonogiri karangan Muhlenfeld pada tahun 1914, yang kemudian diterjemahkan oleh R. Tg. l Muhammad Husodo Pringgokusumo dengan menggunakan bahasa Indonesia yang telah disempurnakan ejaannya. Kritik intern digunakan untuk memastikan kebenaran isi sumber dengan cara membandingkan isi antara sumber yang satu dengan isi sumber yang lain, yaitu apakah sumber-sumber tersebut sesuai dengan fakta yang ada, banyak dipengaruhi oleh subyektifitas pengarangnya atau tidak, dan sumber tersebut sesuai dengan tema penelitian atau tidak. Sumber yang dibandingkan di antaranya adalah karangan S. Margana yang secara umum mengkaji tentang perkembangan dan perubahan sosial ekonomi di wilayah kerajaan, dan secara khusus memfokuskan pada implikasi-implikasi sosial ekonomi dari kebijakan ekonomi Mangkunegaran selama masa pemerintahan Mangkunegara IV dan kemudian dibandingkan dengan buku karangan Soetomo Siswokartono yang mengkaji tentang lahirnya kadipaten Mangkunegaran, biografi Mangkunegara IV dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan Mangkunegara IV sebagai penguasa dan pujangga. Berdasarkan dua informasi di atas, maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa selama masa pemerintahan Mangkunegara IV, Mangkunegaran mengalami masa kejayaan. Di masa pemerintahannya, beliau telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru misalnya dalam restrukturisasi birokrasi, pembangunan ekonomi, hukum serta kebudayaan. 3. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran sejarah juga disebut dengan analisis sejarah. Sumber-sumber yang telah melalui proses kritik intern dan kritik ekstern akan menghasilkan fakta sejarah yang berdiri sendiri-sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap fakta-fakta tersebut yang bertujuan untuk menyatukan fakta-fakta itu menjadi satu kesatuan yang harmonis dan menyeluruh. Interpretasi dapat dilakukan dengan cara memperbandingkan data guna menyingkap peristiwa-peristiwa mana yang terjadi dalam waktu yang sama. Penafsiran fakta harus bersifat logis terhadap keseluruhan konteks peristiwa, sehingga berbagai fakta yang lepas satu sama li lainnya dapat disusun dan dihubungkan menjadi satu kesatuan yang masuk akal (Kuntowijoyo, 1995: 100). Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan menyeleksi dan menafsirkan tulisan buku dengan penentuan periodisasi, merangkaikan data secara berkesinambungan, misalnya dengan merangkaikan periode sejarah dan menghubungkan sumber data sejarah yang ada hingga menjadi kesatuan yang harmonis dan masuk akal melalui interpretasi. Dalam kegiatan interpretasi ini penelitian yang dilakukan berusaha bersikap obyektif yang disebabkan keanekaragaman data yang diperoleh. 4. Historiografi Tahap historiografi ialah langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian historis. Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Dudung Abdurrahman, 1999: 67). Dalam tahap ini seorang penulis harus dapat mengungkapkan hasil penelitiannya dengan bahasa yang baik dan benar, menyajikan data-data yang akurat dan membuat garis-garis umum yang akan diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca. Selain itu penulis harus mengungkapkan hasil penelitiannya secara kronologis dan sistematis. Dalam proses historiografi ini diperlukan imajinasi dari penulis agar fakta-fakta yang diperoleh dapat dirangkaikan menjadi sebuah kisah yang menarik untuk dibaca. Dalam penelitian yang berjudul “Perkebunan Kopi Mangkunegaran dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Wonogiri pada Masa Mangkunegara IV”, penulis berusaha menghasilkan suatu cerita sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya sekaligus menarik untuk dibaca. lii BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskriptif Wilayah Wonogiri 1. Kondisi Geografis dan Administratif Wonogiri Sebutan Mangkunegaran menunjuk pada sebuah ”pura” atau kerajaan kecil yang terletak di Karesidenan Surakarta. Pura atau kerajaan ini dahulu merupakan pecahan dari kerajaan Mataram. Mangkunegaran merupakan bagian dari vorstenlanden. Istilah vorstenlanden digunakan untuk menyebut kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Vorstenlanden ini berasal dari kata vorsten: raja dan landen: tanah, yang kemudian diartikan sebagai tanah milik raja. Sebenarnya istilah ini telah muncul sejak perjanjian Giyanti (1755), tetapi baru digunakan secara resmi tahun 1800. Sebelumnya orang Belanda menyebut bovenlanden, yang artinya tanah pedalaman (Rouffaer, 1983: 2). Menurut Rouffaer yang dikutip kembali oleh Suhartono (1991: 37), apanage Mangkunegara I (Raden Mas Said) meliputi desa seluas 979,5 jung yang terbagi dalam beberapa distrik: Keduwang 141 jung, Laroh 115,25 jung, Matesih 218 jung, Wiroko 60,5 jung, Hariboyo 82,5 jung, Honggobayan 25 jung, Sembuyan 133 jung, Gunung Kidul 71,5 jung, Pajang sebelah selatan jalan pos Kartosuro- Surakarta 58,5 jung dan Pajang sebelah utara jalan pos Kartosuro- Surakarta 64,75 jung, Mataram (Yogyakarta- pusat) 1 jung dan Kedu 8,5 jung. Pada waktu perjanjian Giyanti (1755), yaitu pembagian kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, daerah yang kemudian disebut Wonogiri menjadi bagian (masuk) wilayah Kasunanan Surakarta. Akan tetapi, dalam perjanjian Salatiga (1757) daerah itu diberikan oleh Susuhunan kepada Raden Mas Said sebagai lungguhnya seluas 474,75 jung, yang meliputi: Keduwang 141,00 jung, Nglaroh 115,25 jung, Wiroko 60,50 jung, Sembuyan 133,00 jung, dan Honggobayan 25,00 jung (Pemda Wonogiri: 1991: 9). liii Berdasarkan data dari Pemda Wonogiri (1991: 19), pada tahun 1847, Residen Surakarta Baron de Geer mengusulkan kepada Mangkunegara III supaya wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi 3 daerah Onderregent (Kawedanan), supaya ”tatanan kados adeging Praja Sejati” (agar menjadi aturan negara yang sesungguhnya). Daerah Onderregent (Kawedanan) tersebut meliputi: 1. Onderregent Wonogiri, meliputi bagian tengah wilayah Mangkunegaran, Nglaroh, Sembuyan, Keduwang, Honggobayan, dan Wiroko 2. Onderregent Karanganyar, meliputi daerah timur laut yaitu sebagian dari Sukowati, Matesih, dan Haribaya 3. Onderregent Malangjiwan, meliputi bagian barat yaitu bagian dari daerah Pajang Lama. Tahun 1875 Onderregent Malangjiwan diganti Baturetno, daerahnya meliputi Wiroko, Sembuyan dan Ngawen. Daerah Mangkunegaran terletak di tanah swapraja (vorstenlanden) yang terletak di wilayah Jawa Tengah bagian timur. Wilayah Mangkunegaran meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai daerah hulu Sungai Bengawan Solo, yang terus menuju daerah Gunung Kidul (Metz, 1986: 14). Di tanah-tanah kerajaan ini para raja memiliki otonomi (zelfbestuur atau pemerintahan sendiri) di bawah kedaulatan pemerintahan Hindia Belanda, sedangkan di luar daerah vorstenlanden rakyat langsung diperintah oleh pemerintah Hindia Belanda (Rouffaer, 1983: 2). Luas wilayah Mangkunegaran hampir sama dengan luas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Wilayah Mangkunegaran seluruhnya 2.815,14 km2, sudah termasuk di dalamnya tanah enclave di Ngawen yang terletak di wilayah Kasultanan Yogyakarta. Luas wilayah Mangkunegaran lebih kecil jika dibandingkan dengan luas wilayah Kasultanan dan Kasunanan, tetapi jauh lebih luas dibanding Pakualaman. Perbandingan luas wilayah dari keempat kerajaan yang ada di vorstenlanden ini adalah sebagai berikut: liv Tabel 2. Perbandingan Luas Kerajaan di Wilayah Vorstenlanden tahun 1873 Daerah Luas Wilayah (km2) Pulau Jawa 126.803,00 Kasunanan 3.237,50 Kasultanan 3.049,81 Mangkunegaran 2.815,14 Pakualaman 122,50 Sumber: Metz. 1986. Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksopustaka Mangkunegaran, hal: 15 Dari luas wilayah itu, kurang lebih 1.922,65 km2 atau hampir dua pertiga dari wilayah Mangkunegaran terletak di suatu wilayah yang sering dikenal dengan Wonogiri. Wilayah ini meliputi lereng barat Gunung Sewu, di mana tanahnya berbukit-bukit dan relatif kurang subur. Di sebelah timur tanahnya lebih tinggi karena adanya jalur-jalur Gunung Lawu yang mengarah ke segala penjuru. Di sebelah selatan, tanahnya ditebari dengan ribuan bukit yang membentuk setengah lingkaran, yang tingginya mencapai 60 m, oleh karena itu disebut dengan Gunung Sewu. a. Letak dan Batas Menurut Muhlenfeld (1914: 4), Onder-afdeling Wonogiri letaknya di bagian selatan dari residentie Surakarta, dan meliputi bagian selatan dari afdeling yang sama namanya. Batas-batasnya adalah: Utara : onder-regentschap Sukoharjo dari afdeling Surakarta dan afdeling Sragen dari residentie yang sama Timur : afdeling Magetan, Ponorogo dan Pacitan dari residentie Madiun Selatan : afdeling Pacitan dan Samudra Hindia Barat : afdeling Gunung Kidul dari residentie Yogyakarta b. Luas Luas Wonogiri secara global adalah 210.000 ha (kira-kira sama dengan luas provinsi Limburg di Belanda) dan kira-kira 1/3 dari seluruh residentie Surakarta. lv c. Kondisi Alam Wilayah Wonogiri terbagi oleh lembah-lembah sungai yang cukup subur. Sungai Semangir setelah melewati sela-sela gunung di perbatasan Madiun memasuki lembah sawah yang luas, yang kemudian namanya berubah menjadi Sungai Wayang. Sungai ini kemudian bersatu dengan Sungai Pidekso yang mengalir melalui tanah pegunungan yang berpenduduk jarang sebelum masuk ke desa Pidekso, dan setelah bertemu dengan Sungai Pidekso kemudian berganti nama menjadi Sungai Sembuyan. Di dekat Desa Kakap, sungai tersebut kemudian mengalir di lembah Baturetno yang cukup luas. Di sebelah barat daya Wonogiri mengalir Sungai Rawan dengan cabangnya, yaitu Sungai Kebonagung. Di sebelah utaranya dari sebelah timur mengalir cabang sungai pertama yang penting di dekat desa Baturetno dari Bengawan Solo, yakni Sungai Janglot. Di sebelah utaranya Sungai Janglot mengalir Sungai Kulur atau Sungai Wiroko yang berasal dari perbatasan Madiun ke dalam Bengawan Solo. Sungai Kulur, mengalir sejajar dengan Sungai Keduwang, yang hampir terus menerus melewati lembah-lembah yang sempit yang sering kali meluap airnya, sehingga Bengawan Solo mulai desa Somoulun (tempat Sungai Keduwang bermuara di Bengawan Solo) dapat dilayari oleh perahu-perahu, terutama pada musim hujan (Muhlenfeld, 1914: 5-6). Wilayah Wonogiri curah hujannya cukup tinggi yaitu mencapai ratarata antara 56 – 135 mm dalam 24 jam. Di wilayah ini juga terdapat 5 pos pengamat curah hujan. Di sebelah barat laut, letaknya di Wonogiri yaitu di halaman kontrolir, sebelah barat daya terletak di halaman rumah mantri penjual candu Baturetno, sebelah timur laut terletak di halaman rumah penjual candu Purwantoro, dan sebelah timur di halaman rumah mantri gunung Jatisrono (Muhlenfeld, 1914). Secara umum, keadaan tanah di wilayah Wonogiri memang relatif kurang subur, tanah-tanah itu terdiri dari tanah-tanah ladang sehingga sangat cocok ditanami dengan tanaman keras. Pada masa pemerintahan Mangkunegara IV di wilayah ini dimanfaatkan untuk penanaman kopi dan untuk percobaan penanaman tanaman keras, seperti nila. Sebagian kecil lvi daerah ini adalah daerah yang berada di sebelah timur antara lain: Keduwang (yaitu daerah Jatisrono, daerah Ngadirojo, daerah Girimarta), dan daerah Honggobayan (yaitu daerah Jatipurna dan Jumapala). Tanah-tanah di daerah ini bersifat aluvial dan lotosal yang cocok untuk daerah pertanian (Muhlenfeld, 1914: 8). Berbeda halnya dengan Wonogiri, kondisi tanah di wilayah Kawedanan kota Mangkunegaran yang meliputi wilayah Pajang, Haribaya dan sebagian wilayah Sukowati Barat dan Timur, yang tanahnya relatif subur. Daerah-daerah ini merupakan dataran rendah dengan lembah yang sangat subur karena adanya pertemuan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Di daerah-daerah ini banyak ditemukan sumber mata air, sehingga cocok untuk tanaman pangan seperti padi dan palawija. Pada masa pemerintahan Mangkunegara IV di wilayah ini juga dimanfaatkan untuk penanaman tebu, sehingga di daerah ini dapat ditemukan 2 pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu, yang keduanya adalah milik praja Mangkunegaran. 2. Kondisi Demografi Wonogiri Sistem pelapisan sosial di pedesaan menurut Jaarlijksch Verslag tahun 1852 yang dikutip oleh Dwi Ratna Nurhajarini (2006: 60), pada umumnya dibedakan atas 4 golongan. Keempat golongan itu adalah: 1. Kuli kenceng atau kuli kuwat, yaitu warga masyarakat desa yang memiliki rumah, tanah pekarangan dan sawah. Golongan ini memiliki hak dan kewajiban penuh atas segala kegiatan desa dan pemerintahan yang ada di atasnya dan memiliki kedudukan sosial paling tinggi di masyarakat. Bekel dan kepala-kepala rendahan lainnya berasal dari lapisan sosial ini. Untuk memperkuat kedudukan, mereka menjalin hubungan perkawinan agar tetap mengontrol perkembangan politik di pedesaan 2. Kuli setengah kenceng atau kuli kendho, yakni mereka yang memiliki pekarangan dan rumah tetapi tidak memiliki sawah. Golongan ini sering menjadi petani penggarap, penyewa atau lvii penyakap. Kelompok ini kedudukannya lebih rendah dari kuli kenceng. Oleh karena itu, hak dan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya juga lebih sedikit 3. Golongan tumpang atau indhung adalah mereka yang hanya memiliki rumah yang didirikan di atas pekarangan orang lain. Kebanyakan mereka hidup sebagai pekerja atau buruh tani pada petani yang lebih kaya 4. Golongan tumpang tlosor, mereka tidak memiliki rumah, pekarangan atau sawah dan tinggal bersama dengan keluarga lain. Kedua golongan terakhir merupakan lapisan masyarakat yang paling rendah kedudukannya. Di samping itu, hak dan kewajiban di lingkungan masyarakat juga paling sedikit, mereka tidak dipungut pajak, tetapi tenaga kerjanya dimanfaatkan oleh yang menanggung makan dan tempat tinggal mereka. Pelapisan sosial juga terjadi pada tataran kehidupan yang lebih sempit. Pada organisasi perkebunan misalnya, juga telah terjadi pelapisan sosial di dalamnya yang terdiri atas: 1. Lapisan paling atas adalah mereka yang termasuk pengambil prakarsa produksi, pemilik modal, dan para pengusaha; golongan ini ditempati oleh orang-orang kulit putih (Belanda) 2. Lapisan kedua merupakan lapisan menengah, tugasnya sebagai perantara pengelola dengan tenaga kerja perkebunan. Pada lapisan kedua ini, terpilahkan menjadi tiga, yaitu: a. Lapisan menengah atas terdiri atas para administratur b. Lapisan menengah tengah terdiri atas para pengawas c. Lapisan menengah bawah terdiri atas para pembantu dan mandor 3. Lapisan paling bawah adalah para tenaga buruh sebagai pekerja perkebunan Mangkunegara I membagi wilayah Wonogiri menjadi 5 daerah yang masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan. Kelima daerah tersebut adalah: 1. Nglaroh yaitu wilayah Wonogiri bagian utara (sekarang merupakan daerah Selogiri). Sifat rakyatnya bandol ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol, pemberani, suka berkelahi, segi lviii positifnya hal ini dapat digunakan sebagai landasan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. 2. Sembuyan yaitu wilayah Wonogiri bagian selatan (Baturetno dan Wuryantoro). Sifat rakyatnya kutuk kalung kendho yang berarti penurut, mudah diperintah pimpinan atau paternalistik. 3. Wiroko yaitu wilayah sepanjang kali Wiroko atau bagian tenggara wilayah Wonogiri (Tirtomoyo). Sifat rakyatnya kethek saranggon yang berarti suka hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung, kurang sopan santun. 4. Keduwang yaitu wilayah Wonogiri bagian timur. Sifat rakyatnya lemah bang gineblegan bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuktepuk, yang berarti suka foya-foya, boros, sulit melaksanakan perintah, namun jika pemimpin tersebut bisa memahami mereka maka mereka akan mudah diarahkan. 5. Honggobayan yaitu daerah timur laut Wonogiri yang berbatasan daerah Jatipurno dan Jumapolo. Sifat rakyatnya asu galak ora nyathek yang berarti terkesan kasar dan menakutkan tapi sebenarnya baik hati dan tanggungjawab. (Pemda Wonogiri: 1991: 9). B. Perkebunan Kopi Mangkunegaran Dalam paruh kedua abad XIX pertumbuhan ekonomi Belanda menginjak proses industrialisasi bersamaan dengan munculnya modal di satu pihak dan kelas menengah di pihak lain. Proses itu kesemuanya melatarbelakangi munculnya liberalisme sebagai ideologi yang dominan di negeri Belanda, maka dampaknya dalam politik kolonial mengarah ke proses liberalisasi sehingga sistem monopoli pemerintah secara bertahap mengalami likuidasi. Pada hakekatnya ekonomi politik pemerintah kolonial masih melaksanakan prinsip eksploitasi, namun tidak lagi berdasarkan sistem tradisional atau feodal, tetapi selaras dengan prinsip liberal. Prinsip liberal pada dasarnya memberi kekuasaan kepada golongan swasta untuk melakukan kegiatan kewiraswastaan. Oleh karena struktur agraris di Jawa masih terikat lix pada struktur tradisional, maka diciptakanlah seperangkat aturan yang memungkinkan pihak swasta bisa berusaha secara bebas dan maksimal. Dalam prinsip-prinsip ekonomi liberal secara formal memberi kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya di satu pihak dan di pihak lain menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan perkebunan. Tanah dan tenaga kerja, dua faktor produksi tersebut dipakai secara maksimal oleh pemerintah (Dwi Ratna N, 2006: 80). Para pengusaha swasta menyewa tanah dari para abdi dalem, sentana dalem, dan raja sendiri untuk ditanami berbagai tanaman komersial yang sama dengan yang diperintahkan oleh Pemerintah Kolonial kepada penduduk bumiputera dalam sistem tanam paksa. Hasilnya: kopi, nila, dan gula mulai menjadi komoditas penting yang dihasilkan tanah-tanah apanage yang sebelumnya lebih banyak ditanami tanaman pangan, khususnya padi. Kondisi ini tentu saja telah “mengubah cara pemanfaatan faktor-faktor produksi tanah dan tenaga kerja” serta stratifikasi sosial di praja Kejawen (Houben, 2002: xi). Kurang lebih tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil daripada revolusi industri selama dwi dasawarsa sebelumnya dibuktikan dengan perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan komunikasi yang modern. Volume perdagangan berkembang dengan pesatnya, sedangkan perkembangan modal menunjukkan perbandingan jumlah yang besar. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Politik “pintu terbuka” di Hindia Belanda dan perkembangan perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil daerah koloni lebih banyak mencari pelemparan di negara asing daripada di Netherland sendiri. Sejumlah besar perkebunan-perkebunan yang didirikan sesudah tahun 1870 merupakan objek penanaman modal (Sartono Kartodirjo, 1967: 19). Tahun 1870 pada umumnya dianggap sebagai titik balik di dalam sejarah politik kolonial Belanda dengan satu-satunya alasan karena pada tahun tersebut Undang-undang Agraria disahkan dan dijalankan. Pengambilan alih lx tanah penduduk pribumi dilarang. Orang-orang asing diperbolehkan menyewa tanah perkebunan dalam jangka waktu 5 tahun. Peraturan yang pertama dimaksudkan sebagai cara untuk mencegah segala kejahatan-kejahatan dari kekuasaan yang tidak terkendali untuk mengambil alih hak milik atas tanah. Di sini ide humaniter tampak jelas sekali. Tetapi peraturan yang kedua dihubungkan dengan kepentingan perusahaan yang akan memberi jalan kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk memakai tanah penduduk. Akan tetapi tanah dan tenaga kerja merupakan satu kesatuan dan kedua-duanya begitu terikat di dalam organisasi politik penduduk pribumi sehingga orang yang mengambil tanah itu dapat menyelewengkan hasil-hasilnya sebanyak yang dikehendakinya. Meskipun tenaga kerja harus diperoleh berdasarkan kontrak, namun permintaan yang melampaui batas tidak dapat dicegah, karena rakyat kecil tidak berdaya menghadapi kepala-kepala mereka atau pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda. Sistem yang baru itu mempunyai akibat yang menguntungkan, akan tetapi hampir tidak dapat menduga konsekwensi-konsekwensi lainnya, di mana akhirnya “kebebasan berusaha” sebagai cita-cita sosial dan ekonomi hampir menjadi kata-kata lain dari eksploitasi kapitalis. Kenyataannya, undang-undang agraria memberi jaminan modal Eropa yang ditanam di berbagai perkebunan. Lagipula undang-undang ini menciptakan kondisikondisi yang menguntungkan, seperti tenaga kerja yang murah dan jaminan atas hak-hak (Sartono Kartodirjo, 1967: 21-22). 1. Latar Belakang Munculnya Perkebunan Kopi Mangkunegaran Kedua kerajaan (Kasunanan dan Kasultanan) secara nominal masih tetap independent setelah tahun 1830, keduanya tidak bisa lolos dari pemberlakuan sebuah peraturan yang mempunyai sejumlah kemiripan dengan aturan-aturan Belanda di dalam kerangka sistem tanam paksa. Peraturan tersebut, yaitu kesepakatan bahwa oleh raja-raja Jawa, pemerintah akan dipasoki kopi yang dipanen oleh penduduk Jawa dengan imbalan sejumlah remunerasi untuk pemasoknya sendiri dan sejumlah tertentu lainnya untuk lxi raja Jawa yang bersangkutan. Hal ini memang benar-benar menyerupai aturanaturan yang ada dalam struktur sistem tanam paksa, kendati dengan perbedaan mendasar, yaitu dalam hal ini, tidak adanya tekanan atau paksaan untuk berproduksi (Houben, 2002: 551-552). Menurut Suhartono (1991: 16-18), di Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta tidak diberlakukan tanam paksa, justru yang berkembang di daerah ini adalah sewa lahan oleh pihak swasta. Persewaan tanah ini berhubungan erat dengan kebijakan yang digariskan oleh Keraton. Sebagai kerajaan agraris, Mataram mempunyai sistem pemerintahan yang relatif teratur berdasarkan pada mekanisme tanah kerajaan. Dalam konsep ini, pada dasarnya seluruh tanah kerajaan adalah milik raja. Karena status dan perannya, maka famili dan birokrat kerajaan mendapatkan lungguh atau sebidang tanah untuk dikelola yang dimaksudkan sebagai balas jasa karena telah mengabdi kepada Kerajaan. Abdi Kerajaan yang mendapatkan lungguh itu disebut sebagai patuh. Lungguh ini dapat diasosiasikan sebagai upah seorang abdi kepada Kerajaan. Mangkunegara IV sebagai seorang penguasa di Mangkunegaran berusaha untuk merubah struktur perekonomian dalam wilayahnya. Beliau tertarik dengan sistem pertanian komersial atau perusahaan perkebunan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Terlebih lagi dengan sistem cultuurstelsel yang banyak mendatangkan keuntungan. Dari situ muncullah gagasan Mangkunegara IV untuk menerapkan metode dan teknologi pengelolaan pertanian dan perkebunan komersial dengan mendirikan dan menanamkan modal pada usaha-usaha kopi dan tebu. Adapun faktor-faktor yang mendorong Mangkunegara IV untuk mengembangkan perkebunan kopi di wilayah Mangkunegaran yaitu antara lain: a. Kondisi Geografis Dilihat dari kondisi alamnya, wilayah swapraja Mangkunegaran sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan, misalnya di daerah Wonogiri dan sebagian Karanganyar, dan Karangpandan. Bagian selatan dari daerah Mangkunegaran mencapai bagian timur dari Gunung Sewu dan sampai pada lxii Samudera Hindia. Pengaruh pegunungan Sewu di bagian selatan dan Lawu di sebelah timur besar sekali. Dataran rendah yang membentang di bagian tengah, berupa tanah persawahan dapat dialiri sungai – sungai yang bersumber dari pegunungan tersebut. Wilayah barat merupakan daerah tersubur di antara seluruh daerah Mangkunegaran, yaitu Malangjiwan dan Kartosuro. Di daerah barat merupakan daerah subur, karena termasuk dataran rendah yang terpengaruh zat – zat vulkanis (Metz, 1986: 14). Sebagian besar perkebunan kopi yang ada terletak di wilayah Surakarta dan kemudian di dataran tinggi lereng-lereng timur Gunung Merapi dan lereng-lereng barat Gunung Lawu. Umumnya daerah-daerah ini (khususnya setelah Perang Jawa) merupakan areal yang sangat jarang penduduknya (Houben, 2002: 559). Penanaman kopi dilakukan di wilayah-wilayah dataran tinggi, terutama di Wonogiri dan Tawangmangu, sedangkan di wilayah dataran rendah dimanfaatkan untuk membudidayakan tanaman tebu. Pada awalnya Mangkunegara IV hanya tertarik untuk membudidayakan kopi karena telah mempunyai pengalaman sendiri dalam pembudidayaan tanaman kopi di tanah lungguhnya di Baturetno yaitu saat masih menjabat sebagai patih pada masa pemerintahan Mangkunegara III (S. Margana, 1997: 73). b. Ekonomi Houben dalam S. Margana (1997: 76), menyebutkan bahwa total hutang yang menjadi tanggungan dari kedua kalangan istana Surakarta, Kasunanan dan Mangkunegaran sampai tahun 1830 mencapai 1,6 juta gulden. Jumlah ini sedikit lebih besar dari yang dinyatakan oleh Gubernur Jenderal pada tanggal 13 November 1830, di mana dalam keputusan itu jumlah hutang kalangan istana Surakarta hanya 1,2 juta gulden. Sebagian besar dari hutanghutang itu merupakan kompensasi yang harus dibayarkan oleh para bangsawan sebagai akibat pelarangan persewaan tanah apanage pada tahun 1823. Sebagian besar dari hutang-hutang itu (diperkirakan oleh Nahuys 1,1 juta gulden) merupakan hutang-hutang perseorangan dan hutang atas nama lxiii pemerintah. Dari jumlah itu yang telah dibayarkan kembali baru f 650.000, yaitu dari Susuhunan Pakubuwono IV dan Mangkunegara II. Untuk mengatasi masalah hutang dari pejabat Mangkunegaran ini pemerintah berjanji akan membantu untuk meringankan beban hutang di kalangan para bangsawan Surakarta. Pada tanggal 13 November 1830, pemerintah mengeluarkan sebuah dekrit yang berisi pemberian keringanan pengembalian hutang-hutang kalangan istana dengan bunga 6 % per tahun, dan boleh dibayar dalam jangka waktu 15 tahun. Hingga tahun 1843, hanya Sunan dan Mangkunegara yang dapat mengangsur hutang-hutangnya. Setiap tahun Mangkunegara III mengangsur hutangnya sejumlah f 12.500. Angsuran ini dapat dibayarkan dari hasil penjualan kopi yang dibudidayakan di wilayahnya. Hingga meninggalnya, Mangkunegara III masih mewariskan hutang kepada penerusnya sejumlah f 46.000.00. Jika hutang itu dijumlahkan dengan hutang-hutang yang masih menjadi tanggungan para bangsawan Mangkunegaran yang lain, maka jumlah hutang keseluruhan dari kalangan istana Mangkunegaran sendiri mencapai f 100.000,00 (S. Margana, 1997: 76). Pembangunan industri perkebunan, terutama perkebunan kopi oleh Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional karena sejumlah alasan. Pertama, kopi merupakan produk eksport yang pada waktu itu berkembang pesat di pasaran dalam negeri maupun internasional. Kedua, tanaman kopi sudah pernah dibudidayakan pada masa Mangkunegara II dengan bibit kopi yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini, Bulukerto yang diusahakan oleh para penyewa tanah Eropa. Ketiga, sumber – sumber pendapatan praja secara tradisional melalui pajak dan persewaan tanah tidak mencukupi. c. Politik Menurut W. E. Soetomo Siswokartono (2006: 111), dasar pemahaman bahwa Mangkunegaran menamakan diri ”nagari”, karena secara historis sejak kelahiran Kadipaten Mangkunegaran itu, berbeda dari kadipaten-kadipaten yang lain. Kadipaten-kadipaten yang lain adalah bagian dan bawahan Sri Susuhunan, sedangkan Kadipaten Mangkunegaran adalah vasal Kompeni seperti halnya nagari Kasunanan Surakarta. Dengan demikian kedudukan Sri lxiv Mangkunegara bukan bawahan Sri Susuhunan, melainkan sejajar dengan Sri Susuhunan. Dengan pemahaman ini, maka hubungan Mangkunegaran dengan Kasunanan Surakarta seperti koalisi (coalition government). Secara politik kekuasaan Mangkunegaran hanya sebagai Adipati, jauh lebih lemah dibandingkan dengan Kasunanan. Di sinilah sikap akomodatif Mangkunegaran dapat dipahami. Bahkan pada tahun 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Daendels, Mangkunegara II membentuk ”Legiun Mangkunegaran” yakni 1150 orang prajurit yang terdiri atas pasukan infanteri, kavaleri dan artileri yang dibiayai oleh Pemerintah Belanda. Legiun ini nantinya melaksanakan tugas untuk membantu Belanda, antara lain dalam penyerangan Yogyakarta (1812), Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Aceh (1873-1874). Keterlibatan Mangkunegaran membantu Pemerintah Belanda dalam perang-perang tersebut, menyebabkan posisi tawar politik Mangkunegaran menjadi semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan Mangkunegaran merasa tidak lebih rendah daripada Kasunanan, kecuali dalam hal gelar (http://www.duto.wordpress.com). Menurut Wasino (2008: 40), secara politik posisi Kasunanan lebih diakui oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pewaris Kerajaan Mataram yang paling senior, namun dari sudut lain yaitu dalam pengembangan bisnis, Mangkunegaran jauh lebih maju. Dengan berkembangnya bisnis Mangkunegaran, maka Mangkunegaran mempunyai kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi kota Surakarta dan sekitarnya. Perkebunan Mangkunegaran ini membentang di wilayah seperti Karanganyar, Sukowati (Sragen) dan Wonogiri. Berkat pergaulan Mangkunegara IV dengan bangsa Barat, khususnya dengan orang-orang Belanda, serta kejelian pengamatannya baik selama masih di medan perang sebagai prajurit maupun setelah menjadi pepatih Dalem, menyadarkannya bahwa pemerintah Hindia Belanda memperoleh keuntungan akibat monopoli. Pemahamannya itu telah membuka mata dan pikirannya untuk meniru pemerintah Hindia Belanda, walau dalam skala kecil. Hal itu dilakukan karena ia adalah seorang intrepeneur yang mampu menerjemahkan lxv kondisi yang dihadapi dan kondisi yang dimiliki, untuk mengambil langkahlangkah inovatif, yang pada waktu itu belum dilakukan baik oleh para pendahulunya. Jiwa intrepreneurship Mangkunegara IV itulah yang telah mendorong lahirnya kebijakan menarik tanah-tanah yang disewakan, dan menggarap tanah-tanahnya sendiri. Dukungan residen Surakarta Neuwenhuyzen membuktikan betapa baiknya hubungan antara dirinya dengan pemerintah Hindia Belanda yang diwakili residen Surakarta (W. E. Soetomo Siswokartono, 2006: 127). Faktor lain yang menyebabkan atau mendorong pembangunan perkebunan Mangkunegaran adalah kepentingan pihak trah Mangkunegaran untuk menunjukkan posisinya yang lebih menonjol dalam bidang ekonomi dibanding dengan ketiga praja kejawen lainnya, yakni Kasunanan, Kasultanan dan Pakualaman. Strategi ini sebagai kelanjutan dari strategi lain seperti pembangunan korp militer dengan nama Legiun Mangkunegaran, dan politik perkawinan dengan keluarga Kasunanan. 2. Pengelolaan Perkebunan Kopi Mangkunegaran pada masa Mangkunegara IV Kopi memiliki istilah yang berbeda-beda, masyarakat Indonesia menyebutnya dengan istilah kopi, sedangkan di negara lain dilafalkan menjadi coffee (Inggris), cafe (Prancis), kaffee (Jerman) dan quahwa (Arab). Sejarah kopi dapat ditelusuri jejaknya dari sekitar abad 9, di dataran tinggi Ethiopia. Dari sana lalu menyebar ke Mesir dan Yaman, dan kemudian pada abad 15 menjangkau lebih luas ke Persia , Mesir, Turki dan Afrika Utara. Dari dunia Muslim, kopi menyebar ke Eropa, di mana minuman ini menjadi populer selama abad ke-17. Orang Belanda adalah yang pertama kali mengimpor kopi dalam skala besar ke Eropa, sedangkan penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 (sekitar tahun 1646) yang mendapatkan biji Arabika Mocca dari Arabia ke Jakarta. Kopi Arabika pertama kali ditanam dan dikembangkan di timur Jatinegara, dengan menggunakan tanah partikelir Kesawung, kemudian kopi Arabika lxvi menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan melalui sistem tanam paksa (www.google.co.id). Mangkunegara IV mulai merintis jalan untuk membangun perekonomian kerajaan berdasarkan sistem ekonomi perkebunan, yaitu dengan menarik tanah-tanah apanage dari para keluarga kerajaan maupun dari para penyewa tanah Eropa. Setelah tanah-tanah apanage itu ditarik kembali, maka selanjutnya akan dimanfaatkan sendiri untuk pembudidayaan tanaman perkebunan. Tanaman perkebunan yang diujicobakan di tanah-tanah bekas apanage itu seperti: kopi, tembakau, tebu, indigo dan kina. Dari beberapa ujicoba tanaman itu, kopi dan tebu merupakan tanaman yang paling luas dibudidayakan (S. Margana, 1997: 87). Tanaman seperti tebu, indigo, dan tembakau ditanam di sawah secara bergantian dengan padi, sedangkan tanaman lainnya seperti kopi, teh, lada, kina dan kayu manis tidak dapat ditanam di sawah, melainkan banyak ditanam di tanah yang tanpa irigasi atau disebut waste land (tanah yang tidak ditanami). Kopi dapat ditanam pada tanah yang lebih tinggi (Djoko Suryo, 1989: 18). Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran telah cukup lama berlangsung. Pada tahun 1814, telah dimulai penanaman kopi secara besarbesaran. Bibit kopi yang diperlukan pada waktu itu diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini di daerah Bulukerto, Wonogiri. Pangeran Ario Gondokusumo (Mangkunegara IV) sangat memperhatikan komoditi kopi. Karena perhatiannya yang besar terhadap usaha perkebunan itu, ia turut serta dalam pengelolaannya. Pada waktu itu, penanaman kopi selain diusahakan oleh pihak Mangkunegaran, juga diusahakan oleh para pemegang apanage di tanahtanahnya sendiri (W. E. Soetomo Siswokartono, 2006: 169). Pada tahun 1833 dapat diberitahukan, bahwa produk itu diteruskan ke kebun-kebun yang teratur, yang ditanam dengan kerja rodi, dirawat dan dipetik serta pengirimannya dilakukan dengan kerja tanpa upah. Dengan adanya Perang Jawa (1825-1830) maka tanaman itu terabaikan, dan hasilnya berkurang sampai kira-kira 750-950 kuintal per tahun (H. R. Soetono, 2000: 15). lxvii Tidak lama setelah dinobatkan, Mangkunegara IV mulai memperluas tanaman kopi ke wilayah Honggobayan, Keduwang dan Karangpandan. Hal ini dikarenakan beberapa tempat yang cocok untuk penanaman kopi ini masih berada di tangan para penyewa, seperti wilayah Manggis dan Asinan, maka untuk memperluas pembudidayaan kopi, Mangkunegara IV melakukan pembabatan hutan di wilayah Wonogiri (S. Margana, 1997: 87). Semula perkebunan kopi ditanam di pekarangan yang dikenal dengan nama pagerkoffic atau pakopen atau di kebun-kebun lingkungan desa (kampongkoffic). Desa di wilayah Mangkunegaran bukanlah suatu lembaga otonom yang merupakan lembaga terpisah dari pemerintah pusat melainkan sebuah komunitas yang memiliki hubungan dengan kekuasaan supradesa yakni praja Mangkunegaran (Wasino, 2008: 39). Dilaksanakannya tanam paksa di daerah Mangkunegaran, maka berkembang pulalah perusahaan perkebunan atau pengusaha swasta Barat. Konsekuensi dari mekanisme ini menjadikan semakin terbukanya kesempatan bagi perusahaan perkebunan swasta untuk menyewa tanah-tanah apanage (lungguh) di Mangkunegaran. Di mata orang-orang Jawa, orang-orang Eropa penyewa tanah tidak lebih dari seorang bekel biasa. Pertama-tama penyewa tanah orang Eropa menciptakan hubungan dengan para pemegang apanage (lungguh), sehingga mendapatkan tanah yang cukup berdekatan. Lalu mereka melakukan negoisasi mengenai besarnya sewa dengan masing-masing pemegang tanah apanage (lungguh) itu, sebelum akhirnya sampai pada kesepakatan untuk mengikatkan diri dengan membayar sejumlah tertentu setiap tahunnya dalam bentuk uang kepada pemegang tanah apanage (lungguh) yang bersangkutan. Mereka juga harus membayar pajak sewa yang disebut bekti kepada pemegang tanah apanage (lungguh). Bekti bisa berupa uang atau semacam hadiah (biasanya berupa barang-barang mewah dari Eropa). Selanjutnya berkembang dua macam hubungan antara orang Eropa dengan orang Jawa. Bentuk pertama yang disebut sistem bengkok. Sistem ini memberi kebebasan kepada petani untuk menanami separo tanah yang menjadi haknya. Untuk separo tanah yang lain, petani harus menyediakan lxviii tenaganya bagi tuan tanah bangsa Eropa, dalam arti bahwa mereka harus mengerjakan tanah sebagai ganti pembayaran uang sewa serta dalam mengerjakan tanahnya mereka harus bekerja sesuai petunjuk-petunjuk penyewa tanah tersebut. Sistem ini digunakan untuk perkebunan kopi dan coklat. Bentuk yang kedua adalah sistem glebagan, sistem ini lebih sering dipilih karena pada sistem glebagan tanah digarap berganti-ganti. Untuk daerah swapraja, hal ini sering tampak pada lahan tebu dan tembakau. Sistem penanaman secara bergantian lebih banyak menguntungkan perusahaanperusahaan perkebunan bangsa Eropa sehingga sistem ini sering dipraktekkan oleh perusahaan perkebunan swasta (Rouffaer: 1983: 49). Sejak dekade pertama perluasan penanaman kopi telah memperoleh peningkatan hasil yang cukup baik. Dari 1.208 kwintal pada tahun 1842 telah meningkat menjadi 11.145 kwintal pada tahun 1857. Namun demikian, hasil ini baru 5 % dari jumlah keseluruhan produksi kopi di wilayah Surakarta pada tahun yang sama. Oleh karena itu, pada tahun 1857 Mangkunegara IV bersikeras untuk mencoba mengakhiri persewaan tanah apanage di wilayahnya agar ia dapat mengambilalih pembudidayaan kopi di Mangkunegaran dari para pengusaha Eropa (S. Margana, 1997: 87). Dalam praja Mangkunegaran sendiri terdapat pergeseran sebagai akibat pengembalian tanah-tanah sewa, yaitu selain kopi yang awalnya dikelola oleh pihak perkebunan swasta (kopi onderneming) menjadi ”kopi desa”, ada juga perubahan lain menyusul penarikan apanage oleh Mangkunegara IV, dari kopi apanage menjadi kopi negara. Pendapatan yang diterima praja dari kopi tergantung pada jumlah dan harga, jadi tidak dapat dipastikan seluruhnya (H. R. Soetono, 2000: 17). Pada tahun 1850-an baru ada empat wilayah penting bagi penanaman kopi di Mangkunegaran, tetapi sejak pembebasan tanah-tanah apanage telah berkembang menjadi 24 wilayah penting. Penanaman kopi di 24 wilayah di Mangkunegaran ini ditangani secara serius, dengan mendatangkan administratur kopi dari Eropa, Rudolf Kampff untuk mengorganisir pananaman kopi. Dari 24 wilayah itu, masing-masing dikepalai oleh seorang lxix administratur, yang bergelar panewu kopi dan mantri kopi. Di setiap daerah didirikan sebuah gudang untuk penampungan kopi dan sebuah ”pesanggrahan” atau pos sebagai tempat tinggal para administratur itu. Ke-24 administratur kopi itu berada di bawah kendali dua orang penilik atau inspektur Eropa, yaitu L. J. Jeanty dan J. B. Vogel yang masing-masing berkedudukan di Tawangmangu dan Nguntoronadi. Masing-masing penilik itu membawahi 12 wilayah. J. B. Vogel membawahi wilayah-wilayah: Karangpandan, Tawangmangu, Jumapolo, Jumapuro, Jatipuro, Ngadirojo, Sidoarjo, Girimarto, Jatisrono, Slogohimo, Bulukerto dan Purwantoro. Sedangkan L. J. Jeanty membawahi wilayah-wilayah: Nguntoronadi, Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, Singosari dan Ngawen. Kedua inspekstur itu bertanggungjawab terhadap seorang superindentent dari Kawedanan Kartoprojo. Vogel membawahi 9 administratur Eropa dan 3 orang panewu kopi Jawa, sedangkan Jeanty membawahi 7 orang administratur Eropa dan 3 mantri kopi Jawa. Pejabat superindentent pada saat itu adalah Raden Mas Wirohasmoro (W. E. Soetomo Siswokartono, 2006: 175). Sejak diadakan reorganisasi dalam penanaman kopi pada tahun 1863, maka jumlah keseluruhan tanaman kopi di Mangkunegaran menjadi 6.056.203 pohon. Dari jumlah itu, 5.037.356 pohon di antaranya telah berbuah. Untuk pemasarannya pemerintah Mangkunegaran tidak dapat menjual hasil produksi ke pasaran bebas. Berdasarkan resolusi tanggal 31 Maret 1833 No. 18 yang merupakan kesepakatan pemerintah Belanda dengan Mangkunegara II, bahwa semua hasil produksi kopi Mangkunegaran harus dijual kepada pemerintah kolonial. Berdasarkan resolusi itu, hasil produksi kopi Mangkunegaran harus dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga f 25,- per pikul, dipotong f 3,per pikul untuk biaya angkutan (S. Margana, 1997: 88). Menurut Muhlenfeld (1914: 54), Gubernemen memborong kopi Mangkunegaran, walaupun Mangkunegaran tidak diwajibkan menyerahkan kopi, mula-mula dengan harga f 25,- per pikul, kemudian naik menjadi f 26, lxx 66,- per pikul. Segala sesuatu didasarkan pada keputusan tanggal 31 Maret 1833 No.18. Alenia ketiga dari keputusan tersebut berbunyi: “Sri Mangkunegara diizinkan untuk menyerahkan kopi di gudang-gudang Gubernemen dengan harga f 25,- tiap pikul, asalkan kopi itu keadaannya seperti yang diuraikan di dalam Reglement/peraturan, uang tersebut dikurangi f 3 per pikul untuk biaya pengangkutan”. Pada tahun 1835, ada perundingan tentang pengaturan hutang-hutang Mangkunegaran kepada Gubernemen. Atas usul Residen Surakarta, disepakati untuk tidak menahan semua uang tiap-tiap kali penerimaan Mangkunegaran dari Gubernemen. Dengan peraturan yang disusulkan dalam resolusi atau ketetapan tanggal 26 Januari 1836 No 14, atau pada awal pemerintahan Mangkunegara III, disetujui usul tersebut. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa apabila Mangkunegaran menyerahkan hasil panen kopi kurang dari 1.000 pikul, atau sekitar 617,16 kuintal, maka Gubernemen akan memotong uangnya 50 %. Sebaliknya, jika Mangkunegaran mampu menyerahkan hasil panen kopi lebih dari 1.000 pikul, yang dipotong Gubernemen sebagai angsuran hutang-hutangnya hanya 1/3 nya saja (W. E. Soetomo Siswokartono, 2006: 171). Dari pandangan di atas, dapat diketahui bahwa pada mulanya tidak ada keharusan bagi Mangkunegaran untuk menjual hasil panen kopinya kepada Gubernemen, akan tetapi hanya diberi kesempatan untuk menjualnya kepada gudang-gudang milik Gubernemen. Pada tahun 1833, dan seterusnya mulai ada penjualan hasil kopi dengan harga yang sama, yang juga berlaku di luar Jawa. Bagi Mangkunegaran, penjualan hasil panen kopi dijadikan salah satu angsuran hutang-hutangnya. Di bawah ini disajikan daftar harga kopi yang biasanya selalu di bawah harga pasaran bebas. Bagi Mangkunegaran, meskipun menjual dengan harga yang sama, namun menerima lebih banyak, karena tidak dipotong untuk membayar pajak tanah (landrent) kerajaan. lxxi Tabel 3. Harga Pembelian Kopi yang Ditetapkan Gubernemen Tiap Pikul dengan Berat 10 Kati *) Perincian Masa Bruto Pajak Tanah f. 10,(f. 16,19) Angkutan Netto Stbl. 1883 1833-1857 f. 25 f. 3,f. 12,No. 7 jo (f. 40,47) (f.4,86) (f. 19,42) Stbl. 1834 Stbl. 1858 1858 f. 19,53 f. 7,93 f. 2,60 f. 9,20 No. 20 (f. 31,40) (f. 4,05) (f. 4,05) (f. 14,84) Stbl. 1858 1859 f. 18,34 f. 8,34 _ f. 10,No. 129 (f. 29,60) (f. 13,41) (f. 16,19) Stbl. 1860 1860 f. 19,16 f. 8,66 _ f. 10,50 No. 13 (f. 30,90) (f. 13,84) (f. 16,87) Stbl. 1860 1861 f. 20,f. 9,_ f. 11,No. 109 a (f. 32,30) (f. 14,57) (f. 17,81) Stbl. 1861 1861-1873 f. 20,84 f. 9,34 _ f. 11,50 No. 122 (f. 33,52) (f.15,03) (f. 18,49) Stbl. 1861 1861-1873 f. 20,84 f. 9,34 _ f. 11,50 No. 122 (f. 33,52) (f.15,03) (f. 18,49) Stbl. 1873 No. 273 1874-1888 f. 25,f. 11,_ f. 14,jo (f. 40,47) (f. 17,81) (f. 22,67) Sbl. 1877 No. 257 Stbl. 1889 No. 22 jo 1889-1895 f. 26,66 f. 11,66 _ f. 15,Stbl. 1889 (f. 42,99) (f. 18,70) (f. 24,29) No. 57 *) Angka-angka yang dikurung ( ), menunjukkan harga dalam kuintal. Sumber: Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu, hal: 172 Sebenarnya harga kopi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk hasil kopi Mangkunegaran ini sudah sama dengan harga pasaran bebas, tetapi Mangkunegara IV masih berusaha untuk meminta kepada pemerintah kolonial menaikkan harga kopinya. Usaha ini tidak sia-sia karena Residen Jeekel memutuskan untuk menaikkan harga kopi Mangkunegaran menjadi f 26,66 per pikul. Sesaat setelah Mangkunegara IV dinobatkan, maka dia segera mengadakan perluasan penanaman kopi secara besar-besaran. Langkah awal lxxii yang ditempuh, adalah: memanfaatkan tanah-tanah yang belum dikerjakan, menebang hutan-hutan milik Mangkunegaran dan meneruskan usaha para pengusaha Eropa, yang karena habis masa kontraknya telah dikembalikan. Akibat langkah inilah maka hasil panen kopi Mangkunegaran mengalami kenaikan seperti di bawah ini: Tabel 4. Hasil Kopi Mangkunegaran (dalam Kuintal) Tahun Hasil Tahun Hasil Tahun Hasil 1842 2,208 1856 2,787 1871 24,210 1843 2,775 1857 11,145 1872 29,236 1844 2,622 1858 6,352 1873 33,543 1845 2,033 1859 13,457 1874 43,959 1846 2,375 1860 8,361 1875 34,203 1847 2,075 1861 15,375 1876 32,491 1848 2,519 1862 10,009 1877 43,442 1849 1,747 1863 10,957 1878 9,441 1879 34,988 1880 36,112 1881 40,575 Rata-rata 1842-1849 2,169 9,811 1856-1863 32,925 1871-1881 Sumber: Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu, hal: 173 Dari angka di atas jelas bahwa perkebunan kopi di era Mangkunegara III, produknya jauh lebih kecil dibandingkan di era Mangkunegara IV. Dengan demikian Mangkunegara IV telah membuktikan bahwa strategi ekonominya dalam usaha membangun Mangkunegaran melalui kebun kopi cukup berhasil. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai perbandingan produk kopi non Mangkunegaran dengan produk kopi Mangkunegaran. lxxiii Tabel 5. Hasil Kopi di Surakarta (dalam Kuintal) Masa rata-rata (tiap tahun) Mangkunegaran (tidak termasuk tanah yang disewakan) Sisa dari seluruh Surakarta non M. N. Persentase hasil kopi Mangkunegaran Jumlah 1842-1849 2,169 39,262 41,431 5,23 1861-1863 12,127 38,020 50,203 24,12 Sumber: Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu, hal: 174 Dari angka di atas terlihat betapa besar hasil tanaman kopi di era Mangkunegara IV. Walaupun tidak termasuk tanah-tanah yang disewakan, jumlahnya sudah 24,12 % hasil kopi seluruh Surakarta. Setelah ditariknya kembali tanah-tanah apanage kemudian dikelola menjadi lahan perkebunan kerajaan. Sejak tahun 1867, mulai dilakukan restrukturisasi dan reformasi fungsi kelembagaan desa di wilayah perkebunan kerajaan ini. Reformasi ini dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu restrukturisasi di bumi pakopen dan bumi patebon. Jika dalam sistem apanage kelembagaan desa berfungsi untuk mengorganisir penyaluran sumber-sumber ekonomi desa secara vertikal, dari rakyat desa kepada para patuh, maka dalam kelembagaan desa yang baru di wilayah perkebunan kerajaan, kelembagaan desa berfungsi sebagai alat kerajaan untuk mengorganisir eksploitasi atas sumber-sumber ekonomi desa. Secara fungsional kelembagaan desa yang baru di bumi perkebunan kerajaan ini mirip dengan fungsi kelembagaan desa di wilayah gouvernement pada periode Tanam Paksa di Jawa. Setelah selesai melaksanakan pembangunan pabrik gula yang pertama di Malangjiwan. Atas saran Residen Nieuwehuijzen, Mangkunegara IV kembali meminta Rudolf Kampff untuk mengorganisir perluasan pembudidayaan kopi. Pada tahun 1867 ia mulai melakukan reorganisasi penanaman kopi di Mangkunegaran (S. Margana, 1997: 93). Sejak dimulainya reorganisasi ini jumlah tanaman kopi di Mangkunegaran telah mencapai 6.056.203 pohon yang dibudidayakan di tiga wilayah penting yaitu Malangjiwan, Wonogiri, dan Tawangmangu. Dari tiga lxxiv wilayah itu pengelolaannya dibagi dalam 24 distrik yang masing-masing dikepalai oleh seorang administratur atau opsiner. Setiap opsiner membawahi beberapa kademangan, setiap kademangan dibagi dalam beberapa kabekelan dan setiap kabekelan sedikitnya membawahi lima pedukuhan. Di atas administratur duduk dua orang superintendent atau inspektur yang masingmasing mengawasi 12 distrik yang bertanggungjawab langsung terhadap raja. Secara hierarkis struktur kelembagaan di bumi pakopen itu dapat dilihat dalam skema di bawah ini: Gambar 3. Struktur Kelembagaan Desa di Bumi Pakopen pada masa Pemerintahan Mangkunegara IV Raja Ngabehi Pulisi Superintendent Inspektur/Pengawas Boekhourder/Sekretaris Administratur/Opsiner Kebayan Kajinemen Pakhuis Meester Ronggo-Demang Mandor Kopi/Memean Mandor Bekel Narakarya Sumber: S. Margana. 1997. Lembaran Sejarah volume 1 no 2: Kapitalisme Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional: Perkebunan Kopi di Mangkunegaran, 1853-1881. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Budaya UGM, hal: 94 lxxv Dari ke-24 administratur, 16 orang di antaranya adalah orang Eropa, yang kesemuanya dipilih sendiri oleh R. Kampff. Mengenai sepak terjang Kampff, Muhlenfeld (1914: 51) mengutip laporan A. J Spaan sebagai berikut: ”Semenjak itu (tahun 1867) dapat dikatakan bahwa suatu sistem budidaya telah dijalankan. Dengan cara bagaimana? Kecuali bahwa tuan Kampff pergi ke sana ke mari dengan kemegahan seorang raja, maka semua kepala dari mulai yang tertinggi sampai yang terendahjika tidak dengan cepat atau tidak cukup baik melaksanakan perintahnya- dipecat atas anjurannya, dan dengan diganti orang lain pilihannya sendiri. Semenjak itu, kedudukan pegawai budidaya perkebunan perusahaan lebih tinggi dari pada pegawai kepulisian.... takutnya para kepala itu terhadapnya dilanjutkan sampai kepada pengganti-penggantinya. Betapa besar energinya dan pengaruhnya terhadap raja, namun bukan apa-apa jika dibandingkan dengan tuan Kampff”. a. Ngabehi Polisi Tugasnya adalah mengatur keamanan desa, memproses perkara yang terjadi di wilayah desa tersebut maupun membuat peraturan-peraturan agar tidak terjadi kekacauan di desa (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30, pasal 5). b. Inspektur Tugasnya adalah melakukan peninjauan di kebun-kebun kopi di wilayah masing-masing, memeriksa dan melaporkan tugas-tugas yang dilakukan oleh para administratur, yang dilakukan sebulan sekali. Jabatan ini tidak terlalu dominan peranannya karena sebenarnya para administratur berhak berhubungan langsung dengan raja (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30, pasal 4). c. Sekretaris Tugasnya adalah mengerjakan semua pekerjaan yang berhubungan dengan tulis menulis dan berhubungna dengan perkopian, membantu di kantor Kaprangwadanan dan memegang biaya perkopian (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No.30, pasal 7). lxxvi d. Administratur dan Opsiner Dalam struktur kelembagaan ini, administratur atau opsiner memegang peranan paling dominan. Tugasnya adalah melakukan pepriksan atau tinjauan di wilayah administrasinya masing-masing, yang dilakukan dua kali dalam sebulan. Hasil peninjauannya itu dilaporkan langsung kepada raja sebulan sekali. Seorang administratur bertugas pula mengatur tugas-tugas budidaya, dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan hingga pengangkutan. Di samping itu seorang administratur juga berhak mengatur penempatan rodi, pemberian pekarangan bagi para penghuni baru, bahkan ia berhak dimintai pertimbangan urusan keamanan atau kepolisian di wilayah administrasinya. Dengan seizin raja seorang administratur dapat mengangkat dan memberhentikan seorang bekel, dan jika dianggap penting seorang administratur juga boleh membuat peraturan-peraturan bagi bawahannya. Mengenai peran dominan para administratur ini dapat dilihat dari laporan Spaan dalam Muhlenfeld (1914: 53), yaitu sebagai berikut: ”Mereka itu semuanya orang Belanda kecuali 3 orang. Tiga orang itu adalah orang Jawa. Masing-masing mengepalai suatu bagian atau afdeling, dengan demikian mereka lebih penting dan lebih berpengaruh daripada Bupati-Anom, padahal mereka menerima perintah lewat Bupati-Anom, tetapi Bupati-Anom tidak langsung berpengaruh kepada rakyat, sebab setelah mereka meneruskan perintah, mereka tidak ada urusan lagi dengan pekerjaan administratur”. Seorang administratur berhak mengangkat seorang kebayan, seorang mandor memean, seorang mandor pakopen dan juga beberapa orang kajineman, untuk membantu tugas-tugasnya. Seorang kebayan ditugaskan untuk membantu administrasi, mandor memean untuk mengawasi penjemuran kopi dan mandor pakopen mengawasi penanaman dan pemeliharaan kopi, sedangkan fungsi kajineman adalah untuk menjaga keamanan. Untuk pekerjaannya membantu administratur ini, seorang kebayan mendapat lungguh sawah atau tegalan yang luasnya 2 bahu, mandor 1 bahu dan seorang kajineman 2 lupit (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30, pasal 3 bab 5). lxxvii e. Kepala Gudang (Pakhuis Mester) Di setiap distrik terdapat sebuah gudang penampungan kopi yang dikepalai oleh seorang Pakhuis Mester, yang dibantu beberapa mandor pengawas, yang masing-masing mendapat gaji f 2, 50,- setiap bulannya. Tugas seorang Pakhuis Mester adalah menerima dan memasok kopi ke gudanggudang kopi gouvenerment. Selama memasukkan ke gudang-gudang gouvenerment, Pakhuis Mester harus menunggui sampai selesai penimbangan. Setelah itu ia akan membuat layang kitir, yang memuat tentang keterangan besar kecilnya jumlah kopi yang telah masuk ke gudang pemerintah. Layang kitir itu kemudian diserahkan kepada orang desa yang menyerahkan kopi itu yang kemudian diserahkan kepada administratur masing-masing, melalui bekel atau demang (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30, pasal 6 bab 1). f. Rangga dan Demang Fungsi Rangga dan Demang yakni sebagai kontrol terhadap wilayahwilayah yang berada di bawahnya, utamanya terhadap jalannya aktifitas produksi di masing-masing kabekelan di wilayah kademangan-nya. Setiap bulan rangga dan demang melakukan 4 kali peninjauan di kebun-kebun kopi di wilayah masing-masing. Seminggu sekali mereka berkumpul di wilayah administratur atau opsiner untuk melaporkan hasil peninjauannya. Selain itu rangga dan demang juga diberi tanggungjawab terhadap tugas-tugas keamanan di tingkat kademangan-nya. Mereka harus mengatur tugas-tugas kemit (jaga malam) di rumah-rumah para administratur dan opsiner (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30, Pasal 2 bab 1). g. Bekel Fungsi bekel sebagai seorang mandor, karena tugas-tugas utama bekel adalah mengawasi dan menjaga pemeliharaan tanaman kopi di wilayah kabekelannya. Pada setiap akhir bulan, di mana saatnya para administratur melakukan peninjauan, kebun-kebun kopi di wilayah kabekelannya harus sudah bersih. Seorang bekel juga diberi tugas mengurusi urusan sipil, seperti misalnya masalah penduduk yang melakukan eksodus yang sering terjadi pada lxxviii saat itu. Di bumi pakopen beban kerja wajib bagi rakyat kecil memang amat berat. Oleh sebab itu, tidak jarang penduduk melakukan eksodus ke luar wilayah perkebunan. Seorang bekel sedapat mungkin harus tetap mempertahankan rakyat di wilayahnya agar tidak melakukan eksodus ke daerah lain. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kelancaran proses produksi di wilayahnya (S. Margana, 1997: 96). Untuk tanah para patuh yang disewa oleh perusahaan perkebunan swasta, para pengusaha asing juga memperkuat peranan bekel untuk mengawasi proses produksi di kabekelan-nya termasuk mengawasi keamanan terhadap desa-desa, sehingga jelas bahwa perusahaan perkebunan swasta memanfaatkan kekuasaan bekel sebagai pemimpin desa untuk mengerahkan tenaga petani dan melaksanakan segala peraturan, pungutan ataupun pengerahan tenaga kerja. Para bekel tersebut juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan mengenai kelakuan buruh dan bertanggungjawab atas tindak tanduknya selama bekerja (Suhartono, 1991: 2). h. Sikep Di bawah sistem apanage, rakyat masih memiliki kebebasan untuk memanfaatkan lahan sawahnya dengan ditanami berbagai macam tanaman atau budidaya yang mereka sukai. Setelah tanah-tanah apanage ini dikuasai oleh kerajaan, maka kini rakyat wajib membudidayakan tanaman yang telah ditentukan oleh para sikep ini, hanya di wilayah pakopen yang dapat diketahui. Di bumi pakopen, setiap petani yang memiliki tanah sanggan, baik sawah maupun tegalan, diwajibkan untuk menanam kopi, yang jumlahnya tidak sama di setiap wilayah. Di wilayah Gemawang, Keduwang dan Honggobayan, setiap sikep masing-masing diwajibkan untuk menanam 500 pohon kopi dan 500 pohon dhadhap di sawahnya. Di wilayah Tawangmangu, setiap sikep masing-masing diwajibkan menanam 800 pohon kopi dan 800 pohon dhadhap. Sementara itu di wilayah Gunung Kulon, setiap sikep wajib menanam 1200 pohon kopi dan 1200 pohon dhadhap. Untuk rakyat desa yang tidak memperoleh sanggan sawah ataupun tegalan, mereka juga tetap diwajibkan menanam kopi dan dhadhap, yang jumlahnya separo dari jumlah lxxix pohon yang ditanam oleh para sikep (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30, Pasal 1 bab 3). Dua jenis kopi yang dibudidayakan pada saat itu, yakni jenis Liberia coffee dan Java coffee. Untuk tanah-tanah yang digunakan menanam kopi, tidak dikenakan pajak. Untuk tugas-tugas penanaman dan pemeliharaan dilakukan dengan kerja wajib, sedangkan untuk tugas-tugas pemetikan dan pengangkutan dilakukan dengan kerja bebas. Untuk tugas-tugas penanaman dan pemeliharaan, setiap sikep diperbolehkan untuk menggunakan 10 bahu. Untuk tanaman yang masih muda, pembersihan tanaman kopi dilakukan setiap sebulan sekali, sedangkan untuk kebun-kebun kopi yang telah berbuah hanya dilakukan tiga kali setahun (S. Margana, 1997: 98). Pada pokoknya kerja membangun kebun kopi baru terdiri dari persiapan lahan untuk kebun kopi dan persemaian bibit, proses penanaman, pemeliharaan, dan pemetikan buah. Pekerjaan paling berat adalah mempersiapkan lahan baru untuk lahan kopi dan lahan persemaian. Oleh sebab itu pekerjaan ini biasanya dikerjakan oleh seluruh petani di desa-desa secara bersama-sama. Selanjutnya proses penanaman, pemeliharaan, dan panen kopi diserahkan pemerintah kepada keluarga petani secara individual dengan tugas memelihara sejumlah pohon kopi (Djuliati Suroyo, 2000: 165). Usaha-usaha untuk membudidayakan tanamam kopi dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Peremajaan Peremajaan adalah usaha menggantikan tanaman yang secara ekonomis tidak menguntungkan lagi karena produktivitasnya rendah sehingga perlu diganti dengan yang baru dan dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi. 2. Perluasan Kegiatan perluasan adalah menanam tanaman kopi di areal baru yang lingkungannya sesuai dengan persyaratan perkembangan tanaman kopi. lxxx untuk pertumbuhan dan 3. Rehabilitasi Rehabilitasi kebun adalah kegiatan untuk memulihkan kondisi kebun ke keadaan yang lebih baik, sehingga produktivitasnya meningkat. Rehabilitasi tanaman ditujukan pada populasi tanaman yang telah berkurang karena kesalahan kultur teknis, serangan hama dan penyakit serta kekeringan yang akan mengakibatkan produktivitas tanaman per hektar rendah atau tidak menguntungkan untuk diusahakan (http://asmacs.wordpress.com). Kebijakan pemerintah menghargai perkembangan hasil tanaman komoditi perdagangan pada umumnya dan tanamam kopi pada khususnya, dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan eksport yang lebih tinggi melalui peningkatan hasil produksi dan dapat mengubah kehidupan sosial ekonomi petani kecil menjadi lebih baik. Untuk mencapai proyek produksi kopi yang baik tersebut, dilakukan sebuah program intensifikasi, peremajaan, penanaman baru, perbaikan cara pemanenan dan proses pembukaan lahan. Program ini termasuk penanaman hasil cangkokan, pencangkokan, membuat jarak tanaman, perawatan intensif, drainase, fertilisasi, pemberantasan hama dan penyakit, pemanenan yang selektif dan peningkatan pengolahan (lebih jelasnya dapat dilihat dalam jurnal pada lampiran 5). Dengan melihat bahwa struktur organisasi penanaman kopi Mangkunegara IV melibatkan bangsa Eropa sebagai pegawai, maka jelas betapa jauhnya pemikiran raja ini dalam menata ekonomi Mangkunegaran untuk menatap masa depannya. Sampai tahun 1863, jumlah tanaman kopi di tanah-tanah Mangkunegaran yang tidak disewakan, adalah sebagai berikut: Tabel 6. Jumlah Tanaman Kopi di Daerah dalam Lingkungan Mangkunegaran tahun 1863 Daerah Tanaman Muda Tanaman Jumlah Berbuah Malangjiwan 342, 487 759,798 1,082,285 Karangpandan 345,460 1,877,500 2,222,960 Wonogiri 330,900 2,420,058 2,750,950 Jumlah 1,018,847 5,057,356 6,056,195 Sumber: Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu, hal: 176 lxxxi Dari ketiga kabupaten tersebut, kabupaten Wonogiri mempunyai tanaman pohon kopi yang paling banyak. Di samping kopi, kebun-kebun tersebut juga menghasilkan cokelat, lada atau merica, pala, panili dan karet. Berdasarkan Laporan Inspekstur 3 Juni 1880, hasil kopi Mangkunegaran di wilayah Afdeeling Purwantoro adalah sebagai berikut: Tabel 7. Luas Kebun Kopi di Afdeeling Purwantoro tahun 1880 No 1. 2. 3. 4. Gudang Luas Kebun (bau) Purwantoro 235 Balemasan 270 Nglulin 240 Ngropoh 134 Total 879 Sumber: Laporan Inspekstur 3 Juni 1880, Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran Dilihat dari tabel di atas, Mangkunegara IV membuka 4 lahan perkebunan kopi yang masing-masing diberi gudang dan berada di bawah pengawasan inspektur Voegel. Kebun kopi yang paling luas berada di Balemasan dengan ukuran 270 bau. Jumlah yang paling sedikit adalah Ngropoh dengan ukuran 134 bau. Total perkebunan kopi di wilayah Afdeeling Purwantoro yaitu 879 bau. Ini amat luas mengingat daerah Afdeeling Purwantoro merupakan dataran tinggi yang sebelumnya berupa hutan jati, kemudian dibabat oleh Mangkunegara IV untuk usaha pelebaran perkebunan kopi. Tabel 8. Jumlah Pohon Kopi pada tahun 1880 No Gudang 1. Purwantoro 2. Balemasan 3. Nglulin 4. Ngropoh 5. Gunggung Sumber: Laporan Inspekstur Mangkunegaran Dalam 2 tahun Dalam 1 tahun 23.350 11.140 18.500 6.450 16.500 6.000 12.350 9.000 70.700 32.590 3 Juni 1880, Surakarta: Reksopustoko Menurut tabel di atas, gudang kopi yang menyumbang hasil produksi kopi terbanyak ke kas praja Mangkunegaran berdasarkan dari jumlah lxxxii pohonnya adalah gudang Gunggung, sedangkan jumlah pohon yang paling sedikit adalah Ngropoh. Selama periode antara 1871-1881, Mangkunegara IV berhasil menambah kas kerajaan sebesar f. 13.873.149,97 atau rata-rata f 1.261.195,45 per tahu dari hasil produksi kopinya. Jika dilihat dari hasil produksinya, memang terjadi peningkatan yang sangat tajam dari sebelum dan sesudah penarikan tanah apanage. Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan hasil produksi kopi Mangkunegaran sebelum dan sesudah penarikan tanah apanage (S. Margana, 1997: 88). Tabel 9. Hasil Produksi Kopi Mangkunegaran Sebelum dan Sesudah Penarikan Tanah Apanage (1852-1880) Sebelum penarikan apanage Sesudah penarikan apanage Tahun Hasil (pikul) Tahun Hasil (pikul) 1852 10.394.00 1863 16.338.50 1853 5.287.00 1871 36.693.93 1854 9.288.00 1872 44.433.33 1855 12.442.00 1873 50.822.72 1856 4.513.00 1874 66.604.54 1857 18.045.00 1875 51.822.72 1858 10.285.00 1876 49.228.78 1859 21.759.00 1877 65.821.21 1860 13.538.00 1878 14.259.09 1861 24.426.00 1879 53.012.12 1862 19.745.25 1880 54.715.15 Sumber: S. Margana. 1997. Lembaran Sejarah volume 1 no 2: Kapitalisme Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional: Perkebunan Kopi di Mangkunegaran, 1853-1881. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Budaya UGM, hal: 89 Dari tabel di atas terlihat hasil produksi kopi tahun 1878 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan sekitar tahun itu hama Hemilia vestatrix mulai berjangkit di pulau Jawa, akan tetapi karena sebelum itu sudah pernah muncul, pemerintah kolonial mulanya tidak menganggap serius. Dalam jangka waktu 2 tahun, hasil dari produksi kopi mengalami penurunan di seluruh wilayah pembudidayaan kopi dan Cirebon termasuk wilayah yang mendapat kerugian yang paling besar. Para pejabat pribumi berusaha mencegah perluasan penyakit ini serta membatasi akibatnya dengan jalan mendorong para petani lxxxiii untuk menggarap tanah dengan seksama, menggunakan pupuk buatan yang tepat serta memperbaiki sistem drainase perkebunan (Anne Booth, 1988: 255). Pada tahun 1880 terjadi krisis besar yang mempengaruhi rakyat pribumi Jawa maupun orang-orang yang berhasil mengeksploitasi mereka. Dari tahun 1870, penyakit daun kopi mulai menyebar dan produksi kopi jatuh sehingga boleh dikatakan penyakit ini menghentikan perkembangan perkebunan kopi di Hindia Belanda sampai antara tahun 1896 dan 1900 produksi kopi di Indonesia merosot menjadi 25 % dari semula. Hemilia menyerang jenis kopi yang dibudidayakan pada waktu itu yaitu kopi Arabika, yang di luar negeri terkenal dengan sebutan kopi Jawa (Haryono Semangun, 1989: 237). Di abad-19, jenis kopi Liberika didatangkan ke Indonesia untuk menggantikan kopi Arabika yang terserang oleh hama penyakit. Jenis kopi ini berasal dari Liberia, Afrika Barat. Kopi ini dapat tumbuh setinggi 9 meter dari tanah (http://ipoenkz.files.wordpress.com). Di wilayah Mangkunegaran perkebunan kopi terkena imbasnya baik yang berada di daerah Karanganyar maupun daerah Wonogiri yang membuat penderitaan bagi petani kopi karena gagalnya panen dari tahun 1879 sampai tahun 1900. Hal ini yang menentukan hancurnya keuangan praja Mangkunegaran akibat situasi keuangan tersebut, pengelolaan keuangan praja kemudian diambilalih oleh Residen Surakarta. Harga barang-barang perkebunan menjadi menurun drastis padahal praja Mangkunegaran selama 2 dasawarsa hingga saat itu keuangannya erat sekali dengan industri perkebunan. Dampak dari depresi dan resesi yang berkepanjangan sangat berpengaruh buruk terhadap keuangan praja Mangkunegaran. Tenaga Kerja dan Tenaga Upah Perkebunan Masuk dan berkembangnya perkebunan membawa pengaruh terhadap kehidupan petani. Pengaruh tersebut antara lain masuknya sistem glebagan, adanya kerja wajib di perkebunan, sistem upah, dan kasepan. Implikasi lain dari berkembangnya perkebunan adalah munculnya kebutuhan dari pihak perkebunan tentang tenaga kerja. Perekrutan tenaga kerja dilakukan oleh lxxxiv perkebunan dengan bantuan para petinggi desa. Sebagian besar kebutuhan tenaga kerja itu dipenuhi melalui kerja wajib seperti kerigan, gugur gunung dan tugas jaga. Kerigan adalah perintah untuk bekerja bersama-sama. Kerigan di tanah kerajaan lain dengan daerah yang dikuasai oleh orang Eropa, karena di wilayah kerajaan petani masih dikenakan pundhutan. Kerigan di daerah perkebunan tidak ada pundhutan, tetapi kerjanya lebih berat. Gugur gunung tidak dapat dipastikan kapan dilakukannya, tetapi sekurang-kurangnya dilakukan sebulan sekali. Gugur gunung merupakan kerja wajib yang melibatkan penduduk dalam jumlah yang banyak. Biasanya kerja wajib ini dikerahkan apabila ada bencana alam. Setelah muncul persewaan tanah, jenis kerja ini juga diberlakukan oleh perkebunan. Cara-cara penggunaan kerja wajib dikenal dua macam yakni kroyokan dan blabag. Sistem kroyokan pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama dalam satu kompleks, semua mengerjakan pekerjaan yang ada dan diawasi oleh seorang mandor, sedangkan pada blabag terdapat pembagian baik tempat, jenis pekerjaan maupun waktu pelaksanaan, semua disesuaikan dengan kepentingan pihak perkebunan dan kesempatan yang dimiliki oleh penduduk (Dwi Ratna N, 2006: 83). Penggunaan tenaga kerja “bebas” atau kerja upahan merupakan isu penting pada tahun-tahun 1850-an dan 1860-an. Para pengusaha Eropa yang bekerja di bidang penanaman ekspor di Jawa mulai memuji efisiensi biaya tenaga kerja bebas dibanding tenaga kerja paksa yang disediakan oleh pemerintah (yang juga harus mereka bayar). Creutzberg belum lama ini mengajukan beberapa pertimbangan menarik mengenai gejala itu didasarkan pada data yang meski bersifat sementara, tampaknya menunjukkan hakikat tenaga kerja dalam praktik. Pertama, diperkenalkannya mata uang secara besar-besaran sampai lapisan terbawah masyarakat Jawa dan diperluasnya pembangunan jaringan jalan telah menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang. Kedua, jumlah lxxxv penduduk yang bertambah pesat pada abad ke 19 mendorong pembukaan lahan-lahan baru dan membentuk desa-desa baru yang menjadi tempat pemukiman penduduk. Pertumbuhan perkebunan swasta setelah tahun 1850, khususnya yang terletak di daerah dataran tinggi, memberi kemungkinan bagi pemukiman kembali penduduk desa sekaligus penghasilan uang bagi orang Jawa yang semakin banyak jumlahnya (Niel, 2003: 189). Pengerahan tenaga kerja di areal perkebunan swasta di wilayah Mangkunegaran tercantum dalam Rijkblad Mangkunegaran No 11 tahun 1917, dijelaskan bahwa pengadaan tenaga kerja untuk perusahaan perkebunan swasta di bawah koordinasi para bekel, pengerahan tenaga kerja tersebut diambilkan dari penduduk desa sekitarnya yang disebut mancapat atau mancalima. Para bekel tersebut dipercaya oleh pengusaha asing untuk menyalurkan ketentuan-ketentuannya kepada buruh upahan yang bekerja di perkebunan swasta, antara lain bekel harus mengetahui berbagai macam jenis pekerjaan yang wajib diselesaikan oleh para buruh upahan tersebut. Dalam hal inipun, bekel juga bertugas memberikan upah atau bayaran kepada buruh upahan tersebut. Tindakan mengenai pembayaran upah buruh harus diketahui oleh tuan yang menguasai perkebunan karena pada dasarnya bekel mempunyai kewajiban untuk membayar terlebih dahulu upah buruh dengan ”dana” nya sendiri, baru kemudian meminta ganti pada tuan yang menguasai perusahaan perkebunan swasta tersebut. Upah Rakyat Sejak perluasan perkebunan pada pertengahan abad XIX, banyak diperlukan tenaga kerja baik laki-laki, wanita maupun anak-anak. Wanita dan anak-anak dipekerjakan di gudang-gudang, kebun kopi dan tembakau, sedangkan laki-laki di pabrik dan kebun tebu. Upah yang mereka terima tergantung dari berat ringannya pekerjaan. Upah harian mengalami kenaikan beberapa sen, yaitu 10 sen pada thun 1832 menjadi 12,5 sen pada tahun 1864 ditambah makan sekali. Pada tahun 1865 upah itu naik menjadi antara 20-50 sen (Suhartono, 1991: 47). lxxxvi Pada tahun 1874 rakyat menerima untuk tiap pikul f 3,- buat upah memetik, f 0, 50,- buat upah membawa atau menggendong, dan f 0, 50,- buat upah menumbuk dan memilih, jadi seluruhnya f 4,- akan tetapi sebagai ganjaran buat pemberian jasa kepada budidaya kopi dibebaskan dari sewa tanah, pajak tanah (landrent) dan pajak tanah lainnya. Tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para narakarya untuk budidaya kopi di zaman itu adalah menanam 250 pohon kopi sampai satu bau ditanami 1200 pohon, yang untuk selanjutnya dia yang bertugas memeliharanya. Untuk pekerjaan-pekerjaan itu sang narakarya menerima tanah dengan hak gaduh kecuali halaman rumahnya juga kurang lebih ½ bau sawah dan ¾ bau tegal, yang setahunnya bisa menghasilkan f 40,- (Muhlenfeld, 1914: 52). Pada tahun 1883, untuk pemetikan upahnya telah dinaikkan menjadi f 8,dalam setiap pikulnya. Secara kuantitas, jumlah pendapatan petani untuk kerja bebas di wilayah perkebunan kopi ini lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh petani di wilayah persewaan tanah. Sebagai contoh di wilayah Manggis, Wonogiri, yang masih berada di tangan penyewa tanah, semua pembudidayaan kopi di wilayah ini dilakukan dengan kerja bebas. Untuk penanaman buruh laki-laki memperoleh bayaran f 0,25,- dan untuk buruh perempuan f 0,12,-; sedangkan untuk pemetikan rata-rata memperoleh f 0,04,- setiap pikulnya dan untuk pengangkutan rata-rata memperoleh f 0,07,- setiap pikulnya. Untuk jumlah jam kerja yang dituntut, di wilayah persewaan ternyata lebih kecil jika dibandingkan dengan di bumi pakopen. Di wilayah ini jumlah jam kerja yang dituntut dari para petani ratarata hanya 4.914 hingga 407.087 jam kerja (S. Margana, 1997: 98). Dari gambaran di atas nampak bahwa di wilayah perkebunan kopi Mangkunegaran, secara kuantitas rakyat memiliki pendapatan yang lebih besar jika dibandingkan dengan di wilayah persewaan. Akan tetapi dilihat dari beban kerja wajib yang harus mereka lakukan ternyata lebih besar jika dibandingkan dengan di wilayah lain. Data tertulis tentang upah buruh perkebunan kopi Mangkunegaran di Wonogiri pada masa Mangkunegara IV tidak ditemukan, yang masih lxxxvii tersimpan adalah Surat Patih Mangkunegaran tanggal 25 Februari 1901 No. 274/C yang termuat dalam Koleksi Arsip MN VI No. 354, sebagaimana telah dikutip oleh Muhlenfeld (1914: 55) yaitu sebagai berikut: Surat Patih Mangkunegaran tanggal 25 Februari 1901 No. 274/C menguraikan lebih lanjut mengenai pemeliharaan kebun dan tentang upah memetik, yaitu: 1. rakyat sebulan sekali harus bertugas memelihara: 10 orang tiap bau 2. tiap kebun hanya 3 kali dalam setahun dibersihkan, sehingga tiap regu harus memelihara 4 kebun 3. para pegawai kopi dipecat atau dilepas. Para panewu dan mantri Martonimpuno diberi tugas mengawasi pemeliharaan. Jika ada yang mengabaikan tugasnya harus dilaporkan kepada Panewu dan Mantri Gunung. 4. kedua golongan pegawai tersebut akan menerima tunjangan yang banyaknya masih akan ditetapkan 5. pasanggrahan-pasanggrahan (semula rumah dinas para administratur) dijadikan rumah para Panewu dan Mantri Gunung dengan kewajiban membayar pajak bumi dan sejumlah uang sewa, atau dijual kepada mereka, akan tetapi sebagian masih dijadikan cadangan pasanggrahan 6. gudang-gudang yang berlebih akan ditutup atau dipindah 7. upah memetik menjadi: JAVA KOFFIE LIBERIA KOFFIE Tiap pikul f 6,f 6,20,Memasok f 1, 20,f 1, 20,COKLAT LADA Tiap 3000 buah f 6,tiap pikul f 6,20,Memasok f 0, 50,memasok f 1,8. upah transport produk-produk tersebut di atas f 0,40 tiap paal (1 paal = 1 ½ km) 9. para mantri Martonimpuno bertugas mengawasi caranya memasak produkproduk tersebut, penimbangannya dan transportnya 10. pembayaran dari semua biaya tersebut dilakukan oleh para pengumpul pajak dengan menunjukkan bukti pelunasan landrent atau dengan uang yang diminta dari kas di Surakarta 11. dari semua pengeluaran itu harus dilakukan pembukuan yang teliti, dan kepada Wedana Gunung diberikan rekapitulasi, demikian pula dari hasil panenan 12. tiap bulan buku kas harus ditutup, dan salinannya disampaikan kepada Kantor Pusat, denga diberi tandatangan atau pengesahan 13. transport dilakukan dengan Pos yang ditandatangani oleh pengumpul pajak dan Pemerintah District Peraturan-peraturan tersebut walaupun masih berlaku, tetapi secara praktis sudah jarang dilakukan di daerah Wonogiri, sebab hanya dijalankan di lxxxviii onderdistrict Bulukerto di mana masih terdapat kebun-kebun yang kurus, yang hasilnya hanya beberapa pikul tiap tahun. Budidaya kopi di Wonogiri hampir hilang sama sekali, akan tetapi di bagian lain dari wilayah Mangkunegaran, yaitu di Karanganyar tepatnya di Mojogedang, tanaman kopi mengalami perkembangan baik setelah ditanam jenis Robusta. Perkebunan ini diurus oleh seorang mantri ”panggaotan” dengan gaji f 75,- tiap bulan (Muhlenfeld, 1914: 56). Luasnya tanaman pada tahun 1909 masih 2.145 bau dengan 852.370 pohon yang sedang berbuah. Pada tahun 1910 berkurang menjadi 628 bau dengan 126.710 pohon berbuah, dan tahun 1914 tinggal 4 bau dengan 1000 pohon berbuah, dan hanya di onderdistrict Bulukerto. Gedung-gedung di Wuryorejo, Ngadirojo, Tirtomoyo, Jatisrono, Sidoharjo, Slogohimo, Purwantoro, Bulukerto, Girimarto, Jatipuro, dan Jumapolo dihapuskan pada tahun 1911. Semenjak itu sebagian dibongkar, dan sebagian dijadikan perumahan sementara bagi para Mantri Martonimpuno (Muhlenfeld, 1914: 56). C. Pengaruh Perkebunan Kopi Mangkunegaran Dengan diterapkannya liberalisasi ekonomi, produksi tanaman eksport perlahan-lahan mengalami perkembangan yang progresif. Terjadinya perluasan dalam produksi tanaman eksport tersebut merupakan suatu proses penting awal mula timbulnya perubahan dalam kehidupan sosial ekonomi petani dan masyarakat di pedesaan, karena semakin intensifnya pengaruh Barat ke pedesaan. Seperti perkembangan sewa menyewa tanah, sistem upah, monetisasi, industrialisasi dan transportasi di pedesaan semakin membawa petani lebih jauh masuk ke dalam arus komersialisasi. Seperti halnya sistem tanam paksa, pembaharuan khususnya di bidang perekonomian yang dilakukan oleh Mangkunegara IV di praja Mangkunegaran juga menimbulkan dampak di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Sebagai masyarakat agraris yang mempunyai sifat yang sulit untuk menerima sebuah perubahan, apa yang dilakukan oleh Mangkunegara IV tidak begitu saja berjalan sesuai dengan keinginannya. Sistem perkebunan lxxxix yang dilakukan oleh Mangkunegara IV, telah mengubah tradisi yang telah berlangsung sejak zaman nenek moyang. Hal ini berimplikasi pada seluruh bidang kehidupan rakyat di praja Mangkunegaran. Secara sosiologis sistem perkebunan telah merubah hubungan sosial yang sudah ada, yaitu ikatan adat dan ikatan desa yang telah mempererat hubungan individu dalam masyarakat. Masuknya sistem pembayaran dengan uang telah menggeser sistem barter (tukar-menukar) barang, di samping juga merubah pemberian tanah sebagai gaji bagi para narapraja dan sentana dalem. Hal ini jelas sebagai dampak dari penarikan tanah apanage dari mereka. Dampak yang ditimbulkan dari adanya pabrik dan perkebunan sebagai usaha untuk meningkatkan taraf perekonomian di praja Mangkunegaran. Dengan adanya perkebunan kopi Mangkunegaran di wilayah Wonogiri ini membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan, baik di bidang sosial maupun bidang ekonomi, yaitu sebagai berikut: 1. Bidang Sosial Perkembangan ekonomi liberal berdampak pada perubahan sistem ekonomi dan munculnya kelas-kelas baru dalam lapisan masyarakat. Selain itu masuknya paham Barat serta budaya Barat yang belum tentu sesuai dengan budaya Jawa merupakan akibat dari paham liberal. Para penyewa tanah, yang pada umumnya orang Eropa tersebut membawa budaya dari Eropa yang tidak sesuai dengan budaya Jawa, misalnya perjudian, manipulasi dan peredaran candu. G. Gonggrijp dan J. H. Boeke dalam (Djoko Suryo, 1989: 1), menjelaskan bahwa proses mundurnya kemakmuran penduduk Jawa berhubungan erat dengan pengaruh kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi pada abad ke-19. Burger dalam (Djoko Suryo, 1989: 1), menjelaskan adanya perubahan yang cepat pada abad ke-19 di pedesaan Jawa adalah merupakan akibat dari semakin dalamnya penetrasi Barat. Perubahan yang cepat ini diikuti oleh hilangnya ikatan-ikatan tradisional desa dan terbukanya masyarakat desa dari pengaruh luar. xc Houben (1994: 667), menjelaskan masuknya metode-metode produksi kapitalis ke dalam masyarakat yang relatif tradisional di Jawa Tengah menyebabkan proses perubahan sosial secara radikal. Masyarakat Jawa tidak mempunyai karakteristik ekonomi produksi yang bisa mencukupi dirinya sendiri, tetapi masyarakat Jawa memiliki produksi yang berorientasi pada pasar dan sebuah perdagangan yang menggunakan uang. Margana (2004: xxiii), menyatakan bahwa di tingkat desa pengembangan perkebunan kerajaan membawa dampak sosial ekonomi yang luas. Peranan para bekel yang semula sebagai pemungut pajak menjadi semacam “mandor” dan juga sekaligus pengerah tenaga kerja dan organisator penanaman di level paling bawah. Para pejabat afdeeling dan desa yang lain juga terutama di wilayah perkebunan juga memperoleh fungsi-fungsi ekstra sebagai pengaman dan penjamin jalannya pengelolaan perkebunan. Secara umum beban kerja masyarakat desa menjadi meningkat tetapi juga terbuka kesempatan kerja bebas untuk meningkatkan penghasilan. Adanya paksaan budidaya kopi dari Mangkunegaran dalam tahun 1870-an dari Wonogiri dapat menyumbang uang sekitar f. 1.000.000 ke dalam kas Praja (70.000 pikul setahun), akan tetapi budidaya kopi itu menghabiskan tenaga dan waktu dari penduduk, sehingga penggarapan tanahnya di musim kemarau menjadi terlantar (Muhlenfeld, 1914: 39). Menurut R. Z. Leirrisa (1985: 35), akibat timbulnya sistem perkebunan swasta bagi masyarakat pedesaan pada umumnya ada tiga hal penting, yaitu: 1. Masyarakat pedesaan yang tadinya tertutup (self suficient), makin dipengaruhi oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang menembus ke dalam kehidupan pedesaan, barang-barang baru masuk ke dalam rumah tangga-rumah tangga desa (pakaian, minyak tanah, sepeda, sabun, dan lain-lain) 2. Politik kolonial mempengaruhi perubahan-perubahan desa, misalnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria yang menjamin hak atas tanah pada petani dan melarang kaum pengusaha membeli tanah pedesaan 3. Pertambahan penduduk yang sangat pesat, ini disebabkan menurunnya angka kematian oleh karena perluasan pemeliharaan kesehatan. xci 2. Bidang Ekonomi Dilihat dari aspek ekonomi, perkebunan merupakan suatu bentuk usaha jangka panjang yang mampu membawa tanaman Indonesia memasuki dunia modern, sedangkan masyarakatnya tetap sebagai masyarakat yang bersifat tradisional. Dalam hal ini pemerintah kolonial berusaha agar masyarakat pedesaan dapat menghasilkan produk untuk pasaran dunia (Eropa). Tingkat ekonomi masyarakat tradisional ynag masih sulit berkembang, karena ekonominya didasarkan untuk mencukupi kebutuhan sendiri, mengakibatkan tingkat hidup yang masih sangat rendah. Kesejahteraan pada intinya adalah suatu keadaan di mana seseorang memiliki taraf hidup yang baik di mana semua hal yang menjadi kebutuhan hidupnya dapat tercukupi tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Kesejahteraan dapat dikaitkan dengan keadaan ekonomi setiap individu, atau dengan kata lain kesejahteraan dapat berarti welfare economics. Sen (2002: 8) mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human development). Ekonomi pedesaan di wilayah perkebunan Mangkunegaran ini terkait erat dengan ekonomi perkebunan kopi dan tebu. Pembangunan infrastruktur di perkebunan, seperti sarana transportasi (jalan raya dan rel kereta api), mempengaruhi dinamika ekonomi pedesaan. Sebaliknya, industri perkebunan juga terkait dengan ekonomi pedesaan, terutama yang terkait dengan pemenuhan tenaga kerja, tanah, jasa dan kebutuhan bahan pangan. Sektorsektor ekonomi pedesaan yang hidup di wilayah Mangkunegaran meliputi sektor pertanian pangan, perdagangan dan tranportasi, serta keuangan dan perbankan. Jaringan transportasi dan perdagangan di wilayah perkotaan dan pedesaan berupa kereta api untuk keperluan mengangkut hasil gula dan kopi xcii ternyata membuka isolasi desa-desa di sekitar perkebunan. Demikian pula perkembangan jalan Surakarta-Sragen, raya Surakarta-Semarang, Surakarta-Tawangmangu, serta Surakarta-Yogyakarta, Surakarta-Wonogiri membuka peluang kerja di sektor jasa transportasi, mulai dari gerobak, pedati, andong dan bus. Sejak dilakukannya perluasan perkebunan pada awal abad XIX, karesidenan Surakarta sudah mengkoordinasikan seluruh kegiatannya yang meliputi daerah Klaten, Boyolali, Kartosuro, Sragen, Karanganyar dan Wonogiri. Letak karesidenan Surakarta sangat strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi. Demikian pula jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak tahun 1864 dan jalan trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di pedalaman sudah membentuk jaringan transportasi yang efektif dengan kota-kota pada akhir abad XIX (Suhartono, 1991: 24). Selama tiga dasawarsa budidaya kopi memberi keuntungan rata-rata f 1 juta tiap tahun kepada kas Mangkunegaran, dan hampir 90.000 pikul kopi yang dihasilkan (pada tahun 1893 sebanyak 89.481 pikul), tanpa ada manfaatnya bagi rakyat. Berjuta-juta gulden telah diperoleh pada zaman pemerintahan Mangkunegara IV, akan tetapi hilang semuanya pada zaman Mangkunegara V (Muhlenfeld, 1914: 51). Keuntungan yang besar dari hasil penjualan gula dan kopi mula-mula dimanfaatkan untuk memperindah dan memperbesar Pendapa Ageng, dengan memasang lampu robyong (1862), dan membangun Bangsal Tosan (1875). Bangsal Tosan ini terasnya berasal dari besi, yang seluruh materialnya dipesan dari Jerman. Pada saat itulah orang Jawa pertama kali melihat tiang-tiang dari besi. Di belakang pura Mangkunegaran dibangun taman yang indah dengan patung-patung yang dipesan dari Eropa. Di lingkungan pura Mangkunegaran didirikan bangunan-bangunan baru seperti Gedung Puwasana (1858), Dirgasana (1864) dan Kavaleri (1874). Dengan banyaknya pembangunan yang dilaksanakan, maka pada masa pemerintahan Mangkunegara IV adalah zaman pembangunan (Koleksi Arsip MN. IV, 2002: xviii). xciii Daerah kopi memiliki ekosistem yang berbeda dengan tebu. Kopi tidak ditanam di tanah sawah, melainkan di tanah yang belum dibudayakan (woeste gronden) atau tanah tegal di pegunungan pada ketinggian tertentu. Dengan demikian pada prinsipnya tanaman kopi tidak mengancam subsistensi petani. Meskipun demikian, pemakaian tanah yang belum dibudidayakan untuk kopi akan mengurangi ekspansi tanah tegal guna menampung pertumbuhan penduduk pedesaan. Demikian pula faktor ekstraksi tenaga kerja akan berbeda antara tebu dan kopi. Budidaya kopi dan pengolahannya relatif lebih ringan daripada tebu. Involusi pertanian tidak terjadi di daerah penanaman kopi. Selain penyerapan tenaga kerja yang relatif lebih kecil dan lebih ringan, petani masih dapat memanfaatkan tenaga secara produktif untuk menanam berbagai jenis tanaman perdagangan, baik di sawah, tegal maupun di pekarangan (Djuliati Suroyo, 2000: 20). Faktor-faktor yang meringankan pembudidayaan tanaman kopi ini antara lain: pertama, faktor ekologis yaitu keadaan ekologis kopi yang menyebabkan penanaman dan pengolahan kopi lebih ringan daripada tebu, apabila kebun kopi tidak jauh dari rumah petani; kedua, kepadatan penduduk. Penduduk yang padat dengan wilayah yang kecil menyebabkan beban kerja wajib dapat dipikul oleh lebih banyak orang dan dengan jarak tempat kerja yang relatif lebih dekat. Faktor yang memberatkan adalah apabila kerja wajib dilakukan di tempat yang jauh, apabila pekerjaan dilaksanakan secara stimulan, atau apabila manfaat yang diperoleh petani tidak sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya (Djuliati Suroyo, 2000: 309). Bagi para elit desa perubahan ini memang tidak begitu menguntungkan secara ekonomis. Dalam sistem ekonomi perkebunan kerajaan ini, fungsifungsi administratif dan keamanan dari para elit desa lebih menonjol dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Keleluasaan elit desa untuk menuntut pelayanan yang berlebihan dari rakyat kecil semakin dibatasi. Struktur kelembagaan desa khususnya di wilayah perkebunan kopi, lebih merepresentasikan suatu sistem yang dibangun untuk kelancaran dan keamanan produksi. xciv Bagi masyarakat petani di pedesaan, khususnya di wilayah perkebunan kopi, peralihan dari sistem apanage dan perkebunan Eropa ke sistem kerajaan ini juga membawa konsekuensi yang dilematis. Pada satu sisi beban pajak berkurang dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam kerja upah untuk memperoleh tambahan penghasilan memang telah diberikan, walaupun masih sangat kecil, seperti dalam pemetikan dan pengangkutan. Penerimaan upah yang lebih besar dalam pemetikan dan pengangkutan di wilayah perkebunan milik kerajaan memang cukup berarti jika dibandingkan dengan yang mereka dapat dari perkebunan milik pengusaha Eropa, sehingga penghasilan petani secara kuantitas lebih tinggi pula. Namun di sisi lain, semua itu belum sebanding dengan jumlah beban kerja wajib yang lebih tinggi (S. Margana, 1997: 101). xcv BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Latar belakang munculnya perkebunan kopi Mangkunegaran disebabkan oleh keadaan geografis wilayah Mangkunegaran yang sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan, misalnya di daerah Wonogiri, sebagian Karanganyar, dan Karangpandan. Sebagian besar perkebunan kopi yang ada terletak di wilayah Surakarta dan kemudian di dataran tinggi lereng-lereng timur Gunung Merapi dan lereng-lereng barat Gunung Lawu. Perkebunan kopi yang dibudidayakan pada masa Mangkunegara IV khususnya berada di wilayah Wonogiri dan Tawangmangu. Pembangunan industri perkebunan, terutama perkebunan kopi oleh Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional karena sejumlah alasan. Pertama, kopi merupakan produk eksport yang pada waktu itu berkembang pesat di pasaran dalam negeri maupun internasional. Kedua, tanaman kopi sudah pernah dibudidayakan pada masa Mangkunegara II dengan bibit kopi yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini, Bulukerto yang diusahakan oleh para penyewa tanah Eropa. Ketiga, sumber-sumber pendapatan praja secara tradisional melalui pajak dan persewaan tanah tidak mencukupi. Faktor lain yang mendorong pembangunan perkebunan Mangkunegaran adalah kepentingan pihak trah Mangkunegaran untuk menunjukkan posisinya yang lebih menonjol dalam bidang ekonomi dibanding dengan ketiga praja kejawen lainnya, yakni Kasunanan, Kasultanan dan Pakualaman. 2. Sistem pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran diawali dengan usaha Mangkunegara IV untuk menarik tanah-tanah apanage dari para keluarga kerajaan maupun dari para penyewa tanah Eropa, setelah tanah-tanah apanage itu ditarik kembali, maka selanjutnya akan dimanfaatkan sendiri untuk pembudidayaan tanaman perkebunan seperti: kopi, tembakau, tebu, indigo dan kina. Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran ini dimulai pada tahun 1814 xcvi dengan bibit kopi yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini di daerah Bulukerto, Wonogiri. Penanaman kopi di 24 wilayah di Mangkunegaran ini ditangani secara serius, dengan mendatangkan administratur kopi dari Eropa. Pertanahan kopi tersebut meliputi Karangpandan, Tawangmangu, Jumapolo, Jumopuro, Jatipuro, Ngadirojo, Sidoharjo, Girimarto, Jatisrono, Slogohimo, Bulukerto, Purwantoro, Nguntoronadi, Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, Singosari, Gubug dan Ngawen. 3. Pengaruh perkebunan kopi Mangkunegaran terhadap kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan sangat besar, baik di bidang sosial maupun ekonomi. Secara sosiologis sistem perkebunan telah merubah hubungan sosial yang sudah ada, yaitu ikatan adat dan ikatan desa yang telah mempererat hubungan individu dalam masyarakat. Masuknya sistem pembayaran dengan uang telah menggeser sistem barter (tukar-menukar) barang, di samping itu juga merubah pemberian tanah sebagai gaji bagi para narapraja dan sentana dalem. Bagi masyarakat petani di pedesaan, khususnya di wilayah perkebunan kopi, peralihan dari sistem apanage dan perkebunan Eropa ke sistem kerajaan ini juga membawa konsekuensi yang dilematis. Pada satu sisi beban pajak berkurang dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam kerja upah untuk memperoleh tambahan penghasilan telah diberikan, namun di sisi lain semua itu belum sebanding dengan jumlah beban kerja wajib yang lebih tinggi. B. Implikasi 1. Teoritis Kebijakan kolonial muncul sebagai akibat adanya sistem kolonialisme yaitu usaha menguasai bangsa lain dalam segala hal untuk mencapai kemakmuran. Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem xcvii perkebunan dalam hubungan ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Kebijakan kolonial Belanda dengan politik ekonomi liberal ini memberikan pengaruh terhadap daerah-daerah di tanah jajahan. Dengan adanya kebijakan kolonial tersebut, mendorong pemerintah Praja Mangkunegaran untuk menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi guna meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu Mangkunegara IV membuka perkebunan kopi di Wonogiri dengan harapan agar mampu mengatasi masalah keuangan dan ekonomi di praja Mangkunegaran. Secara teoritis, implikasi pada penelitian ini adalah pada masalah sosial-ekonomi. Perkebunan ini dapat merugikan kelompok tertentu, dan juga sebaliknya bisa menguntungkan kelompok yang lain. Secara sosial ekonomi, perkebunan kopi Mangkunegaran ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan penduduk di sekitar perkebunan, meskipun berdasarkan data-data yang diperoleh tidak sampai menimbulkan gerakan sosial. 2. Praktis Penelitian ini berupaya menggali suatu wacana baru dalam penulisan sejarah. Wacana baru yang dimaksud adalah sisi lain dari pelaksanaan politik kolonial di Jawa khususnya daerah Swapraja Mangkunegaran dalam bidang perekonomian. Pendirian perkebunan kopi di wilayah Mangkunegaran pada awalnya terbentuk karena kebijakan dari pemerintah kolonial yang kemudian dikembangkan oleh praja Mangkunegaran. Adanya perkebunan kopi Mangkunegaran tersebut mendatangkan keuntungan bagi praja Mangkunegaran maupun terhadap perekonomian pedesaan di sekitar perkebunan. Kontribusi penelitian ini dalam dunia pendidikan adalah pengayaan terhadap materi pelajaran bagi para siswa di sekolah tingkat menengah. Penelitian seperti ini untuk memperluas pengetahuan siswa tentang sejarah perkebunan yang ada di daerah vorstenlanden dan mampu mendukung pemahaman dalam mata kuliah Sejarah Agraria maupun Sejarah Sosial. xcviii 3. Metodologis Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode ini didasarkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji untuk memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut untuk dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik studi pustaka dengan mengadakan riset di perpustakaan terhadap sumber-sumber seperti arsip atau dokumen, buku, jurnal dan majalah. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah dalam pencarian sumber arsip atau dokumen tertulis tidak secara lengkap. Hal ini dikarenakan sumber arsip dan dokumen yang memuat tentang perkebunan kopi Mangkunegaran sebagian ada yang hilang. Oleh karena itu penulis tidak mampu menemukan sumber primer secara lengkap dan menyeluruh. C. Saran 1. Bagi Mangkunegaran Mangkunegaran sebagai penyelenggara perkebunan kopi seharusnya membuat kebijakan – kebijakan yang mampu menjamin kesejahteraan para penduduk di sekitar perkebunan. Secara sosiologis, harus mampu membawa perbaikan mengenai hubungan sosial masyarakat, dalam artian rakyat tidak seharusnya hanya dijadikan sebagai pekerja dalam perkebunan, namun hakhak sebagai rakyat harus dijamin, baik dalam hal kesejahteraan maupun jaminan keamanan. 2. Bagi Masyarakat Dalam struktur ekonomi pertanian tradisional, usaha perkebunan merupakan usaha tambahan atau pelengkap dari kegiatan kehidupan pertanian pokok, terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Dengan masuknya sistem perkebunan telah mengenalkan sistem ekonomi uang dalam masyarakat xcix desa. Oleh karena itu, dengan adanya sistem perkebunan di lingkungan desa jangan sampai menghapus nilai-nilai budaya maupun tradisi yang telah ada dalam masyarakat. 3. Bagi Mahasiswa Bagi para mahasiswa, hendaknya penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk menambah pemahaman tentang Sejarah Agraria, terutama tentang sejarah perkebunan kopi Mangkunegaran yang ada di daerah Wonogiri pada masa pemerintahan Mangkunegara IV. c DAFTAR PUSTAKA ARSIP MANGKUNEGARAN Laporan Inspekstur tentang tanaman kopi dan padi pada 3 Juni 1880. Koleksi Arsip Reksopustoko Mangkunegaran kode MN IV No. 92 Transkrip Rijkblad Mangkunegaran No. 11 tahun 1917. Koleksi Arsip Reksopustoko Mangkunegaran kode 1194 BUKU Abu Ahmadi. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Politik. Bandung: Sinar Grafika Booth, Anne & William J. O’ Malley. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES Cahyo Budi Utomo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang Press Djoko Suryo. 1989. Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 18301900. Yogyakarta: UGM Press Djuliati Suroyo. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos Wacana Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Hadari Nawawi. 1995. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press Haryono Semangun. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press Helius Syamsuddin dan Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pendidikan Tenaga Akademik Houben J. H. Vincent. 1994. Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870. Yogyakarta: Bentang Budaya ci Koentjaraningrat. 1986. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia ______________. 1983. Pengantar Ilmu Antropolgi. Jakarta: Aksara Baru Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Leibo, Jefta. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Offset Leirrisa R. Z. 1985. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900- 1950. Jakarta: Akademika Pressindo Mangunhardjana. 2001. Isme-isme: dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius Margana. S. 2004. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mansfeld, S. 1986. Sejarah Milik Praja Mangkunegaran. Terjemahan R. T. Moehammad Hoesodo Pringgokoesoemo. Surakarta: Rekso Pustaka Miriam Budiardjo. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Mubyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media Muhlenfeld. 1914. Monographie van Onderafdeling Wonogiri. Terjemahan R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo. Surakarta: Rekso Pustoko Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Nugroho Notosusanto. 1971. Norma-norma Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Dephankam Pringgodigdo. A. K. 1950. Geschiedenis des Ondernemingen van het Mangkoenegorosche Rijk (’s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1950) Terjemahan Marjono Taroeno, Lahir serta Timbulnya Kerajaan Mangkunegaran. Surakarta: Reksopustoko _____________. 1950. Sejarah Perusahaan-perusahaan Mangkunegaran. Surakarta: Reksopustoko Kerajaan Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta Rouffaer, G. P. 1905. Swapraja. Terjemahan R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo. Surakarta: Rekso Pustoko cii Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Tama Selo Soemardjan. 1991. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: UGM Press Sen, Amartya. 2002. Rationality and Freedom. Cambridge: Belknap of Havard University Press Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah sebagai Ilmu. Jakarta: Bharata Karya Aksara Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu Soetono. H. R. 2000. Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan Di Mangkunegaran. Terjemahan Hoofdstuk II Opkmmst der Mangkoenegorosche Cultuurbelangen Surakarta: Reksopustoko Soleman B. Taneko. 1993. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Sumadi Suryabrata. 1994. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Tilaar. H. A. R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo Van Niel, Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Mangkunegaran. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara ciii Masyarakat JURNAL DAN MAJALAH Dwi Ratna Nurhajarini. 2006. “Petani versus Perkebunan pada masa Reorganisai Agraria: Studi Kasus di Klaten”. Patra–Widya volume 7 No. 1 Maret: 49-68 Margana. S. 1997. “Kapitalisme Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional: Perkebunan Kopi di Mangkunegaran 1853-1881”. Lembaran Sejarah volume 1 No. 2: 72-103 Sartono Kartodirjo. 1967. ”Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia abad XIX-XX: Politik Kolonial Belanda abad XIX” Lembaran Sejarah No.1 Desember: v-xxxii Sidarto Wardojo. 1980. “Research to Support the Development Small-Scale Crop Farming, with Special Reference to Coffee”. Indonesian Agricultural Research and Development Journal volume 2 No. 4 June: 95-99 INTERNET http://asmacs.wordpress.com, 26 Februari 2009// Budidaya Tanaman Kopi. http://perkebunan.kaltimprov.go.id, 26 Februari 2009//Komoditi Kopi http://rudi.site50.net, 1 Agustus 2009//Peta Wonogiri http://sekararum.com, 1 Agustus 2009//Kopi Arabika civ cv