i PERKEBUNAN KOPI MANGKUNEGARAN DAN PENGARUHNYA

advertisement
PERKEBUNAN KOPI MANGKUNEGARAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
WONOGIRI PADA MASA MANGKUNEGARA IV
Oleh :
DEVY MARDIATI
K4405012
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
i
PERKEBUNAN KOPI MANGKUNEGARAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
WONOGIRI PADA MASA MANGKUNEGARA IV
Oleh :
DEVY MARDIATI
K4405012
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Drs. Leo Agung S, M.Pd
NIP. 19560515 198203 1 005
Drs. A. Arif Musadad, M.Pd
NIP. 19670507 199203 1 002
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan.
Tim Penguji Skripsi
Ketua
Pada Hari
: Selasa
Tanggal
: 28 Juli 2009
Tanda Tangan
: Drs. Djono, M. Pd
Sekretaris : Drs. Herimanto, M.Pd, M.Si
Anggota I : Drs. Leo Agung S, M. Pd
Anggota II : Drs. A. Arif Musadad, M. Pd
Disahkan Oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.
NIP. 19600727 198702 1 001
iv
ABSTRAK
Devy Mardiati. PERKEBUNAN KOPI MANGKUNEGARAN DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT WONOGIRI PADA MASA MANGKUNEGARA IV.
Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Juli 2009
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) latar belakang
munculnya perkebunan kopi Mangkunegaran, (2) pengelolaan perkebunan
kopi Mangkunegaran pada masa Mangkunegara IV, (3) pengaruh perkebunan
kopi Mangkunegaran terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
Wonogiri pada masa Mangkunegara IV.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang
ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan
historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah
sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi
pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu
analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta
sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1)
Pembangunan industri perkebunan, terutama perkebunan kopi oleh
Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional karena sejumlah alasan:
(a) kopi merupakan produk eksport yang pada waktu itu berkembang pesat di
pasaran dalam negeri maupun internasional, (b) tanaman kopi sudah pernah
dibudidayakan pada masa Mangkunegara II dengan bibit kopi yang diperoleh
dari Kebun Kopi Tua Gondosini, Bulukerto yang diusahakan oleh para
penyewa tanah Eropa dan (c) sumber–sumber pendapatan praja secara
tradisional melalui pajak dan persewaan tanah tidak mencukupi. Faktor lain
yang
menyebabkan
atau
mendorong
pembangunan
perkebunan
Mangkunegaran adalah kepentingan pihak trah Mangkunegaran untuk
menunjukkan posisinya yang lebih menonjol dalam bidang ekonomi
dibanding dengan ketiga praja kejawen lainnya, yakni Kasunanan, Kasultanan
dan Pakualaman. (2) Sistem pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran
diawali dengan usaha Mangkunegara IV untuk menarik tanah-tanah apanage
dari para keluarga kerajaan maupun dari para penyewa tanah Eropa.
Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran ini dimulai pada tahun 1814
dengan bibit kopi yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini di daerah
Bulukerto, Wonogiri. Penanaman kopi di 24 wilayah di Mangkunegaran ini
ditangani secara serius, dengan mendatangkan administratur kopi dari
Eropa,yaitu Rudolf Kampff. (3) Pengaruh perkebunan kopi Mangkunegaran
terhadap kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan sangat besar, baik di
bidang sosial maupun ekonomi. Secara sosiologis sistem perkebunan telah
merubah hubungan sosial yang sudah ada, yaitu ikatan adat dan ikatan desa
yang telah mempererat hubungan individu dalam masyarakat. Bagi
masyarakat petani di pedesaan, khususnya di wilayah perkebunan kopi,
v
peralihan dari sistem apanage dan perkebunan Eropa ke sistem kerajaan ini
membawa konsekuensi yang dilematis. Pada satu sisi beban pajak berkurang
dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam kerja upah untuk
memperoleh tambahan penghasilan telah diberikan, namun di sisi lain semua
itu belum sebanding dengan jumlah beban kerja wajib yang lebih tinggi.
vi
ABSTRACT
Devy Mardiati. MANGKUNEGARAN COFFEE PLANTATION AND
ITS INFLUENCE AGAINST SOCIAL ECONOMIC LIVE OF
WONOGIRI SOCIETY AT MANGKUNEGARA IV PERIOD. Skripsi,
Surakarta: Faculty of Education and Teacher Training, Sebelas Maret
University Surakarta, July 2009
The aim of this research is determining: (1) the background of the
emergence of Mangkunegaran coffee plantation, (2) the management of
Mangkunegaran coffee plantation at the Mangkunegara IV period, (3) the
influence of Mangkunegaran coffee plantation against social economic live of
Wonogiri society at Mangkunegara IV period.
The research uses historical methods. The steps adopted in historical
method include heuristic, criticism, interpretation, and historiography. The
data resource used is secondary sources. The technique of collecting data uses
literature study. The technique of analysis used is historical analysis technique
that is analysis majoring incisive style in interpreting facts of history.
Based on the results of research, it can be concluded that: (1)
development of industrial estates, especially coffee plantation by
Mangkunegara IV is a rational choice for several reasons: (a) coffee is an
export product that was rapidly growing in the market at that time, whether
national and international area, (b) the coffee plants have been cultivated at
Mangkunegara II period with coffee seedlings obtained from the Old Coffee
Garden Gondosini, Bulukerto arranged by the land tenant of Europe and (c)
resources of Praja (territory of jurisdiction) revenue traditionally through tax
and land lease are not sufficient. Another factor that causes or encourages the
development of the Mangkunegaran plantation is self-interest of Trah
Mangkunegaran to show a more prominent position in the economic,
compared with three other Praja (territory of jurisdiction) kejawen, namely
Kasunanan, Kasultanan and Pakualaman. (2) Mangkunegaran Coffee
plantation management system begins with Mangkunegara IV business to
draw out the apanage lands of the kingdoms and families of the Europe
tenant. The coffee cultivation in Mangkunegaran region was starten in 1814
with coffee seeds obtained from the Old Coffee Garden Gondosini area in
Bulukerto, Wonogiri. Coffee cultivation in 24 districts in Mangkunegaran was
handled seriously by bringing coffee administrator from Europe, Rudolf
Kampff. (3) The influence of Mangkunegaran coffee plantation against people
living around the plantation is very great, both in the field of social and
economic development. Sociologically, the plantation system has been
changed the existing social relationships, traditional ties and the bonds of the
village that has been strengthen individual relationships within the
community. For the farmers in rural communities, particularly in the area of
coffee plantations, the transition changed from the apanage system and
European plantation system to the kingdom system brings dilemma
vii
consequences. On the one hand, tax burden is reduced and opportunities to
engage in wage labour to obtain additional revenue has been given, but on the
order hand, all of them have not been proportionate to the number of high
compulsory workload.
viii
MOTTO
Tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah;
dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.
Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orangorang yang bersyukur.
(Q.S. Al A’ raf: 58)
Keberhasilan seseorang tidak akan diperoleh gratis dari langit, melainkan
karena adanya kristalisasi keringat.
(Bung Karno)
Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia dan hidup berawal dari
mimpi yang harus selalu diperjuangkan.
(Penulis)
ix
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini ku persembahkan untuk :
v
Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan
doa restunya kepadaku
v
Adikku Abdia tersayang
v
Putra tersayang yang selalu setia membimbing,
memberikan dukungan dan semangat padaku
v
Teman-teman Sejarah angkatan 2005
v
Rekan-rekan pengurus perpustakaan Program Studi
Pendidikan Sejarah
v
Almamater
x
KATA PENGANTAR
Alhamdullah segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat penulis
selesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan.
Banyak hambatan yang penulis temui dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitankesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk segala bentuk bantuannya, penulis
sampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang telah menyetujui
permohonan penyusunan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang
telah memberikan pengarahan dan rekomendasi atas penyusunan skripsi ini.
4. Drs. Leo Agung S, M. Pd, selaku pembimbing I yang telah memberikan
masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
5. Drs. A. Arif Musadad, M. Pd selaku pembimbing II yang telah pula
memberikan masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat
terselesaikan.
6. Para Pengageng Reksopustaka Mangkunegaran Surakarta yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian.
7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada penulis
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan
pembaca.
Surakarta,
Penulis
xi
Juli 2009
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN..................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................
iv
ABSTRAK
v
….....................................................................................
ABSTRACT ............................................................................................
vii
HALAMAN MOTTO ..........................................................................
ix
HALAMAN PERSEMBAHAN ..........................................................
x
KATA PENGANTAR ..........................................................................
xi
DAFTAR ISI .........................................................................................
xii
DAFTAR BAGAN.................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ..................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
6
C. Tujuan Penelitian ................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ..............................................................
7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka .................................................................
8
1. Kebijakan Kolonial .........................................................
8
2. Perkebunan ...................................................................
13
3. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat..........................
16
B. Kerangka Berfikir ................................................................
24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................
27
B. Metode Penelitian .................................................................
27
C. Sumber Data .........................................................................
29
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................
31
E. Teknik Analisis Data ............................................................
31
xii
F. Prosedur Penelitian ................................................................
32
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskriptif wilayah Wonogiri ................................................
37
1. Kondisi Geografis dan Administratif Wonogiri.............
37
2. Kondisi Demografi Wonnogiri ......................................
41
B. Perkebunan Kopi Mangkunegaran........................................
43
1. Latar Belakang Munculnya Perkebunan
Kopi Mangkunegaran.....................................................
45
2. Pengelolaan Perkebunan Kopi Mangkunegaran
pada masa Mangkunegara IV………………….............
50
C. Pengaruh Perkebunan Kopi Mangkunegaran.......................
73
1. Bidang Sosial ................................................................
74
2. Bidang Ekonomi ........................................................
76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................
80
B. Implikasi................................................................................
81
C. Saran......................................................................................
83
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
85
LAMPIRAN
xiii
Daftar Gambar
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir...........................................................
24
Gambar 2. Bagan Metode Penelitian Historis..............................................
33
Gambar 3. Struktur Kelembagaan Desa di Bumi Pakopen
pada masa Pemerintahan Mangkunegara IV..............................
59
xiv
Daftar Tabel
Tabel 1. Jadwal Waktu Penelitian................................................................. 28
Tabel 2. Perbandingan Luas Kerajaan
di Wilayah Vorstenlanden tahun 1873 ............................................ 39
Tabel 3. Harga Pembelian Kopi yang Ditetapkan
Gubernemen Tiap Pikul dengan Berat 10 Kati .............................. 56
Tabel 4. Hasil Kopi Mangkunegaran (dalam Kuintal) ................................... 57
Tabel 5. Hasil Kopi di Surakarta (dalam Kuintal) ......................................... 58
Tabel 6. Jumlah Tanaman Kopi di Daerah dalam
Lingkungan Mangkunegaran tahun 1863......................................... 65
Tabel 7. Luas Kebun Kopi di Afdeeling Purwantoro tahun 1880................... 66
Tabel 8. Jumlah Pohon Kopi pada tahun 1880 ....................................... ...... 66
Tabel 9. Hasil Produksi Kopi Mangkunegaran Sebelum dan
Sesudah Penarikan Tanah Apanage (1852-1880)............................. 67
xv
Daftar Lampiran
Lampiran 1. Peta Pembagian Praja Kasunanan menjadi Kasunanan
dan Mangkunegaran.........................................................
89
Lampiran 2. Peta Kabupaten Wonogiri.................................................
90
Lampiran 3. Foto Sri Mangkunegaran IV
(1853-1881)......................................................................
91
Lampiran 4. Bangsal Tusan dan Lampu Robyong................................
92
Lampiran 5. Gambar Pohon Kopi.........................................................
93
Lampiran 6. Transkrip tentang peraturan bagi orang yang tinggal di
Kawedanan Wonogiri dan Karanganyar boleh mengolah
tanah lahan desa dengan ketentuan yang berlaku
tahun 1879.......................................................................
94
Lampiran 7. Naskah No. 30 berupa peraturan dari Mangkunegara IV
tentang tugas dan kewajiban para pengelola perkebunan
kopi dari Administratur hingga rakyat kecil di desa di
wilayah perkebunan kopi Mangkunegaran.......................
96
Lampiran 8. Naskah No. 31 berupa peraturan tentang kewajiban para
Kepala Afdeling di wilayah perkebunan kopi
Mangkunegaran................................................................
103
Lampiran 9. Transkrip Rijksblaad No. 17 tahun 1917 tentang
pengerahan tenaga kerja perkebunan..............................
104
Lampiran 10. Indonesian Agricultural Research and
Development Journal…………………………………
108
Lampiran 11. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi……….........
114
Lampiran 12. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan.....................................................
115
Lampiran 13. Surat Keterangan Pengumpulan Data
di Reksopustaka Mangkunegaran...................................
116
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan perkebunan di negara-negara berkembang
seperti halnya Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Di negara-negara berkembang
pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan
kapitalisme agraris Barat, yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian
kolonial.
Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme
agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi
negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di
tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian
yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hal ini
dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem
perkebunan dimulai melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi dari
luar, dan memanfaatkan tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan
(Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 7).
Perkebunan yang telah diperkenalkan lewat sistem tanam paksa oleh
kolonial Belanda merupakan salah satu sisi sejarah yang mempunyai pengaruh
cukup luas bagi bangsa Indonesia dalam jangka waktu yang sangat panjang,
dan merupakan peletak dasar bagi berkembangnya perusahaan perkebunan di
Indonesia (Mubyarto, 1992: 15).
Munculnya perkebunan di Indonesia dimulai dengan adanya proses
komersialisasi rempah – rempah dalam perdagangan internasional pada abad
ke-16 yang telah membawa dua akibat penting bagi masyarakat Indonesia,
sehingga berdampak pada munculnya perluasan kebun
menguntungkan
yang hanya
dan mengundang kehadiran kekuasaan pihak asing di
Indonesia. Seperti halnya di negara berkembang bahwa sistem perkebunan di
Indonesia juga diperkenalkan lewat kolonialisme Barat yaitu kolonialisme
xvii
Belanda. Sistem kebun merupakan sistem usaha pertanian yang lebih dulu
dikenal sebelum masuknya sistem perkebunan di Indonesia. Sejak masa
tradisional sampai masa penjajahan Vereeniging Oost Indische Compagnie
(VOC) yaitu pada abad ke-17 dan ke-18, sistem usaha kebun menjadi sumber
produksi komoditi perdagangan untuk pasaran Eropa. Bahkan pada masa VOC
sistem usaha kebun rakyat menjadi sumber eksploitasi komoditi Eropa.
Eksploitasi produksi pertanian yang dilakukan oleh rezim pemerintah
kolonial ini diwujudkan dalam bentuk usaha perkebunan negara. Sistem tanam
paksa adalah salah satu bentuk perwujudannya, perbedaannya adalah apabila
politik eksploitasi VOC dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui kepalakepala pemerintahan feodal setempat, maka pada eksploitasi pemerintah
dilakukan secara langsung, dengan menggunakan sistem perkebunan negara.
Pelaksanaan sistem eksploitasi baru ini dilancarkan melalui alat birokrasi
pemerintah, yang berfungsi sebagai pelaksana langsung dalam proses
mobilisasi sumber daya perekonomian agraris tanah jajahan yang berupa tanah
dan tenaga kerja (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 10-11).
Perkembangan sistem perkebunan yang terjadi pada abad ke XIX
diikuti dengan proses peningkatan birokrasi pemerintah kolonial Belanda.
Perangkat pemerintahan desa menjadi ujung tombak birokrasi kolonial dan
menjadi alat pelaksana semua kebijaksanaan pemerintah pusat, termasuk
kebijaksanaan pelaksanaan sistem perkebunan (Sartono Kartodirjo dan Djoko
Suryo, 1991:11).
Proses perkembangan sistem perkebunan berlangsung sejajar dengan
fase-fase perkembangan politik kolonial dan sistem kapitalisme kolonial yang
melatarbelakanginya. Secara pokok pertumbuhan sistem perkebunan pada
masa kolonial mengalami dua fase perkembangan, yaitu dari fase industri
perkebunan negara ke fase industri perkebunan swasta. Perkembangan ini
berlangsung sejajar dengan terjadinya perubahan orientasi politik kolonial
yang mendasarinya, yaitu dari orientasi politik konservatif ke politik liberal.
Perubahan orientasi politik itu sendiri terjadi karena adanya perubahan sistem
kapitalisme di negeri Belanda yaitu dari sistem kapitalisme merkantilis ke
xviii
sisitem kapitalisme industri, atau kapitalisme agro-industri. Fase awal dari
perkembangan
perkebunan
ditandai
dengan
kecenderungan
politik
pemerintahan kolonial Belanda untuk meneruskan kebijaksanaan politik
eksploitasi (drainage politiek) yang dijalankan oleh VOC.
Dalam sektor perkebunan khususnya, semasa kolonialisme Belanda di
Indonesia, sejak masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sampai
politik etis di awal abad XX telah menunjukkan betapa pentingnya sektor ini
sebagai tulang punggung kekuatan ekonomi Belanda. Pada abad XIX
perkebunan itu diusahakan secara besar-besaran oleh Belanda. Selama masa
tanam paksa (1830-1870) pengelolaan perkebunan dilakukan menurut model
VOC secara konservatif, hanya ada sedikit perbedaan. Di masa VOC
pengelolaan perkebunan melalui aparat atas birokrasi tradisional pribumi.
Selanjutnya setelah masa liberal (1870-1900) pengelolaan perkebunan
dilakukan oleh pihak swasta yang mempunyai modal besar dari Eropa. Sejak
1870 mulailah babak baru dalam pengusahaan perkebunan, pihak swasta
dengan kekuatan modalnya mulai berkembang. Sejak saat itu perkembangan
perusahaan perkebunan meningkat pesat. Berbagai komoditas perkebunan
yang sangat laku di pasaran dunia berkembang pesat, misalnya gula, kopi,
tembakau, nila dan sebagainya (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991:
80).
Sistem tanam paksa yang diterapkan sejak tahun 1830 pada dasarnya
adalah usaha penghidupan kembali sistem eksploitasi dari masa VOC yang
berupa penyerahan wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa pada
dasarnya penyatuan antara sistem penyerahan wajib dengan sistem pajak
tanah. Maka dari itu, ciri pokok dari sistem tanam paksa adalah terletak pada
keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang yaitu berupa
hasil tanaman pertanian mereka yang biasanya berupa tanaman eksport seperti
halnya kopi yang ada di Priyangan yang kemudian berlaku di seluruh Jawa.
Tanam paksa merupakan usaha untuk menanam tanaman eksport secara paksa
kepada penduduk Indonesia. Adapun jenis tanaman yang wajib untuk ditanam
rakyat utamanya adalah kopi, tebu, dan indigo. Tanaman lain yang ikut
xix
ditanam dalam skala kecil antara lain tembakau, lada, teh, dan kayu manis
(Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1987 : 57 ).
Berakhirnya politik tanam paksa pada tahun 1870 membawa babak
baru dalam sejarah perkebunan asing di Indonesia, khususnya di Jawa dengan
diundangkannya Hukum agraria oleh pemerintah kolonial Belanda yang
memungkinkan pemilik modal besar di negara Belanda dan negara – negara
Eropa Barat lainnya menanamkan modalnya di Indonesia. Hak – hak usaha
yang diperoleh para penanam modal tersebut terkenal dengan “Hak Erfpacht”
(Mubyarto, 1987: 21).
Sistem tanam paksa merupakan revolusi industri yang pertama di
bidang pertanian Indonesia. Kebijakan baru ini secara langsung tidak
diberlakukan di beberapa wilayah termasuk wilayah kerajaan (Vorstenlanden),
akan tetapi dampak yang ditimbulkan dari sistem ini sangat besar bagi
kelangsungan kerajaan. Dengan sistem ini diharapkan tanah-tanah di Jawa
mampu menjadi pilar penyangga ekonomi Belanda.
Di wilayah kerajaan Surakarta tidak secara langsung terbebani dengan
pelaksanaan sistem tanam paksa, akan tetapi juga menerima dampak dari
sistem ini. Hal ini jelas karena wilayah kerajaan Surakarta telah dikuasai oleh
pemerintah Kolonial Belanda dan harus tunduk terhadap kebijakannya.
Praja Mangkunegaran termasuk dalam wilayah kerajaan Kasunanan
Surakarta yang kekuasaannya berada di bawah Sunan. Praja Mangkunegaran
khususnya pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, merupakan suatu
bagian dari wilayah Governement yaitu wilayah yang diperintah oleh seorang
Gubernur Surakarta yang dulunya disebut Residen. Daerah Mangkunegaran
terletak di tanah swapraja atau Vorstenlanden, di bagian sebelah timur
wilayah Jawa Tengah. Daerah ini jika dilihat dari wilayah Kasunanan
Surakarta terletak di bagian tenggara, meliputi lereng selatan dari gunung
Lawu, meluas sampai daerah hulu sungai Bengawan Solo terus menuju daerah
Gunung Kidul (Rauffaer: 1905: 2)
Praja Mangkunegaran mengalami perubahan dalam bidang politik dan
ekonomi. Hal ini ditandai dengan Mangkunegara I yang mempunyai
xx
kesempatan untuk merebut tahta kerajaan, sedangkan Mangkunegara II
mempunyai
kesempatan
untuk
menambah
luas
tanah-tanah
praja
Mangkunegaran. Pada masa Mangkunegara III kurang berhasil dalam
ekonomi, terbukti sewaktu beliau meninggal dunia mempunyai hutang-hutang
yang banyak. Dalam Geheime Besluit van den 8 en Maart 1853 Na. La. L
disebutkan bahwa Mangkunegara III waktu meninggal mempunyai hutang
sebesar f 46.200. Setelah itu Raden Mas Aria Gondokusuma menggantikan
Mangkunegara III, dengan sebutan Mangkunegara IV.
Pada masa
pemerintahan
Mangkunegara
IV dapat
dikatakan
merupakan zaman keemasan praja Mangkunegaran. Mangkunegara IV
membawa praja Mangkunegaran menuju arah kemakmuran rakyat dengan
mengusahakan peningkatan pertanian dan perkebunan. Beliau memajukan
perekonomian kadipatennya melalui pembukaan hutan jati, membuka
perkebunan kopi, tebu, teh, nila, dan mendirikan pabrik-pabrik gula dan teh
serta pembangunan hotel-hotel dan rumah penginapan.
Perkebunan yang diselenggarakan oleh Mangkunegara IV salah
satunya adalah perkebunan kopi. Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran
ini telah lama berlangsung sejak zaman dahulu. Kira-kira dalam tahun 1814
dimulai penanaman dalam skala besar, bibit yang digunakan dari kebun kopi
kuno yaitu Gondosini, Bulukerto, Wonogiri (H. R. Soetono, 2000: 15)
Tahun 1833 produk itu diteruskan ke kebun-kebun yang teratur, yang
ditanam dengan kerja rodi, dirawat dan dipetik, pengirimannya pun dilakukan
dengan tanpa upah. Semasa memegang tampuk pimpinan di praja
Mangkunegaran, beliau mengadakan tindakan memperluas secara besarbesaran penanaman kopi dalam tahun 1853. Perluasan daerah penanaman kopi
tersebut dengan cara mengolah tanah liar, menebangi hutan-hutan dan
meneruskan eksploitasi dari tanah-tanah perkopian yang sudah dikembalikan
oleh pengusaha Eropa.
Mangkunegaran mempunyai 24 tanah perkopian yang dibawahi oleh 2
orang
inspektur.
Tawangmangu,
Pertanahan
Jumapolo,
kopi
Jumopuro,
xxi
tersebut
meliputi
Jatipuro,
Karangpandan,
Ngadirojo,
Sidoharjo,
Girimarto, Jatisrono, Slogohimo, Bulukerto, Purwantoro, Nguntoronadi,
Wuryantoro, Ngeromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno,
Selogiri, Singosari, Gubug dan Ngawen.
Mangkunegara IV berusaha mengelola perkebunan tersebut secara
modern, beliau mengangkat Rudolf Kampf untuk mengorganisasi dan
memperluas budidaya kopi di Mangkunegaran. Dengan demikian hasil kopi
Mangkunegaran menunjukkan tendensi meningkat. Hal ini nantinya
berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar perkebunan kopi,
yaitu dengan adanya perubahan sosial ekonomi pada masyarakat tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk menulis tentang
”Perkebunan
Kehidupan
Kopi
Sosial
Mangkunegaran
Ekonomi
dan
Masyarakat
Pengaruhnya
Wonogiri
terhadap
pada
Masa
Mangkunegara IV ”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah latar belakang munculnya perkebunan kopi Mangkunegaran ?
2. Bagaimanakah pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran pada masa
Mangkunegara IV ?
3. Bagaimanakah
kehidupan
pengaruh
sosial
dan
perkebunan
ekonomi
Mangkunegara IV ?
xxii
kopi
masyarakat
Mangkunegaran
Wonogiri
terhadap
pada
masa
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk
mengetahui
latar
belakang
munculnya
perkebunan
kopi
Mangkunegaran.
2. Untuk mengetahui pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran pada masa
Mangkunegara IV.
3. Untuk mengetahui pengaruh perkebunan kopi Mangkunegaran terhadap
kehidupan
sosial
dan
ekonomi
masyarakat
Wonogiri
pada
masa
Mangkunegara IV.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk:
a. Menambah ilmu pengetahuan yang berguna dalam rangka pengembangan
ilmu sejarah yang berkaitan dengan tema pembahasan.
b. Menambah pemahaman tentang sejarah agraria, terutama tentang sejarah
perkebunan kopi Mangkunegaran di Wonogiri.
c. Memberikan sumbangan terhadap penelitian dan penulisan sejarah perkebunan
khususnya di praja Mangkunegaran.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a. Memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan pada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Memberikan sumbangan terhadap penelitian selanjutnya, khususnya dalam
sejarah perkebunan yang ada di Indonesia.
c. Digunakan sebagai masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan langsung
dengan penelitian ini.
xxiii
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kebijakan Kolonial
a. Pengertian Kebijakan Kolonial
Kebijakan pada umumnya merupakan suatu tindakan dari kelompok
tertentu maupun sebuah organisasi untuk mengatasi suatu masalah yang
berkembang dalam masyarakat. Menurut Miriam Budiardjo (1982: 12),
kebijakan merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang
pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk
mencapai tujuan tersebut. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan itu
yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan kebijakannya. Kleijn yang
dikutip oleh Bambang Sunggono (1994: 11), menerangkan kebijakan sebagai
tindakan sadar dan sistematis, dengan memakai sarana-sarana yang cocok,
dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran yang dilakukan secara
bertahap. James E. Anderson dalam Bambang Sunggono (1994: 11)
menerangkan bahwa kebijakan sebagai rentetan tindakan yang memiliki
tujuan tertentu dan diikuti serta dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau
sekelompok pelaku untuk memecahkan persoalan tertentu.
Kolonialisme dipandang sebagai nafsu, suatu sistem yang merajai atau
mengendalikan ekonomi atas negeri bangsa lain. Nafsu itulah yang kemudian
menjiwai bangsa Eropa untuk keluar dari negerinya, berkelana mengarungi
samudera yang luas untuk mencari daerah-daerah yang akan dijadikan sasaran.
Dalam hal ini Asia menjadi ladang yang sangat subur untuk berbagai
kepentingan mereka dan berkembangnya kolonialisme Eropa (Cahyo Budi
Utomo, 1995: 2).
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Kebijakan kolonial adalah keputusan umum yang dilakukan oleh pejabat
otoritas pemerintahan kolonial untuk mengembangkan kekuasaan negaranya,
xxiv
dengan cara menaklukkan bangsa lain untuk mencari dominasi ekonomi dari
sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah daerah koloni, yang dituangkan
dalam bentuk peraturan perundangan atau bentuk keputusan formal tertentu.
Kebijakan merupakan suatu upaya dari seseorang atau sekelompok
orang untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan.
Kebijakan
yang
dijalankan
menimbulkan
akibat
yang
menguntungkan maupun merugikan. Seperti adanya kebijakan pemerintah
kolonial di negara jajahan khususnya Indonesia yang sangat merugikan rakyat.
Kebijakan yang dijalankan hanya menguntungkan pemerintah kolonial saja
seperti halnya, kolonial Belanda. Kebijakan politik kolonial Belanda yang
dijalankan di Indonesia merupakan serangkaian upaya pemerintah kolonial
dalam menaklukkan bangsa Indonesia untuk dapat mencapai tujuan
penjajahan secara maksimal dengan mendapat untung yang berlipat. Usaha
dalam melaksanakan kebijakan tersebut dilakukan dengan mengeluarkan
kebijakan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang politik
penjajah melakukan dominasi politik, di mana negara jajahan tunduk pada
negara penjajah. Di bidang ekonomi, terjadi eksploitasi
ekonomi secara
besar–besaran (drainage ekonomi) untuk kemakmuran pemerintah kolonial.
Di bidang sosial, adanya diskriminasi antara penjajah yang berkedudukan
tinggi sedang rakyat pribumi sebagai golongan rendah. Dalam bidang budaya,
adanya penetrasi budaya Barat (Cahyo Budi Utomo, 1995: 3).
Kebijakan kolonial muncul sebagai akibat adanya sistem kolonialisme
yaitu usaha menguasai bangsa lain dalam segala hal untuk mencapai
kemakmuran. Untuk itu kolonialisme hakikatnya dominasi politik, eksploitasi
ekonomi dan penetrasi kebudayaan serta segresi sosial.
Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme
agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi
negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di
tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian
yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hubungan
ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem
xxv
perkebunan dimulai melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi
dari luar, dan memanfaatkan tanah serta tenaga kerja yang tersedia di daerah
jajahan (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991: 7).
Penetrasi kolonial Belanda dapat dikatakan mulai nampak suatu gejala
yang lebih maju meskipun dalam batas tertentu, seperti didirikannya
perusahaan perkebunan. Kehadirannya mengandung pengaruh bagi penduduk
yang semula mengolah tanah sawah untuk bercocok tanam secara tradisional
mulai bergeser fungsi, tanah dijadikan lahan tanaman eksport sehingga
penduduk menjadi pekerja perkebunan dan mulai mengenal sistem ekonomi
uang sebagai pengganti sistem ekonomi barter.
Kebijakan pemerintah kolonial dalam bidang ekonomi, lahir sebagai
dampak adanya kebutuhan sumber dan kekayaan alam yang mampu
memberikan kemakmuran bagi pemerintah kolonial. Kebijakan pemerintah
kolonial menyebabkan arus modernisasi semakin berkembang. Terutama
dalam prinsip kebijakan ekonomi yang memberi peluang tumbuh dan
berkembangnya perusahaan perkebunan swasta. Akibatnya banyak muncul
perusahaan asing dan perkebunan asing di negara jajahan. Perkebunan –
perkebunan asing dengan tanaman andalan seperti tebu, kopi dan teh dikelola
dengan maksimal karena tanaman tersebut akan diperdagangkan di pasaran
internasional.
Kebijakan kolonial Belanda di Indonesia dalam bidang ekonomi
ditandai dengan adanya pelaksanaan politik kolonial konservatif (1800-1848),
sistem tanam paksa (1830-1870), politik kolonial liberal (1850-1870), politik
etis tahun 1900-an. Serangkaian kebijakan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah kolonial membawa pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat,
khususnya dalam hal kesejahteraan umum; sedangkan dampak penting dari
adanya gerakan kolonialisme adalah timbulnya sistem kolonial dan situasi
kolonial di negara jajahan. Sistem kolonial dan situasi kolonial telah
menciptakan sistem hubungan kolonial antara pihak penguasa kolonial dan
penduduk pribumi yang dikuasai dan antara pihak negara jajahan dengan
negara induknya. Sistem kolonial ditandai dengan empat pokok yaitu:
xxvi
dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi. Prinsip dominasi timbul
dari proses ekspansi kekuasaan imperialisme dan kolonialisme suatu bangsa
ke bangsa lain.
b. Ekonomi Liberal
Liberalisme berasal dari kata Latin liberalis, kata yang diturunkan dari
kata ”liber” yang berarti bebas, merdeka, tak terikat, tak tergantung. Dalam
bidang ekonomi, kaum liberalis menuntut kebebasan dan dihilangkannya
segala hambatan, halangan, dan pembatasan yang menghadang kehidupan
ekonomi, dalam bentuk undang-undang atau aturan-aturan. Setiap orang harus
diberi kesempatan untuk berusaha dan maju sesuai dengan kemampuan dan
aspirasinya. Dari usaha masing-masing orang itu akan tercipta pasar yang akan
teratur karena dikendalikan hukum emas ”lakukanlah sesuatu bagi orang lain,
sebagaimana kalian berharap orang lain berbuat bagi kalian”. Dengan cara itu
kemakmuran orang perorangan dan masyarakat serta negara bahkan dunia
akan tercipta (Mangunhardjana, 2001: 149)
.
Pelaksanaan cultuurstelsel mendapat kritik yang sangat pedas dari
kaum liberal, namun pada hakikatnya kritik itu didasari oleh pertimbangan
taktis saja. Tanaman wajib adalah pemerasan resmi pemerintah terhadap
rakyat jajahan, yang dikritik bukan pemerasannya melainkan keresmiannya.
Pihak swasta ingin mendapat giliran mengadakan eksploitasi. Hal ini
mengakibatkan adanya pertentangan antara golongan konservatif dan
golongan liberal dalam menentukan kebijakan terhadap daerah koloni.
Soal yang dihadapi golongan liberal adalah bukan bagaimana
mengatur daerah koloni, tetapi bagaimana mengatur daerah koloni untuk
mendapatkan uang. Dengan demikian penghapusan cultuurstelsel tidak
berakhirnya penderitaan rakyat karena penarikan modal swasta. Bahkan
pemasukan modal swasta tidak hanya terbatas pada perkebunan-perkebunan
saja
tetapi
juga
dalam
berbagai
perusahaan
seperti
pertambangan, dan perkapalan (Cahyo Budi Utomo, 1995: 11).
xxvii
pengangkutan,
Politik ekonomi kaum liberal adalah menganut prinsip “tidak campur
tangan”, berhubung dengan itu negara harus menarik diri dari segala campur
tangan, segala rintangan terhadap inisiatif individu dan kebebasan harus
dihapuskan, dan segala bantuan pemerintah kepada usaha swasta harus lenyap.
Sistem ekonomi liberal mempermudah baik eksport maupun import modal.
Penanaman modal terutama terjadi di Indonesia sebagai daerah tempat mulai
berkembangnya industri gula, timah dan tembakau sejak tahun 1850. Dengan
dihapusnya cultuurstelsel secara berangsur-angsur, maka digantilah tanaman
paksa pemerintah dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh
pengusaha-pengusaha swasta (Sartono Kartodorjo, 1967: XVI)
Kondisi yang menguntungkan bagi penanam modal asing dijamin oleh
pemerintah kolonial, seperti tenaga kerja dan sewa tanah yang murah. Hal itu
dapat dilihat dari isi Undang-undang Agraria tahun 1870, suatu peraturan yang
umumnya dianggap sebagai dimulainya politik kolonial liberal di Hindia
Belanda.
Peraturan
tersebut
pada
pokoknya
berisi
dua
hal,
yaitu
pengambilalihan tanah milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang Asing
boleh menyewa tanah untuk perkebunan (Cahyo Budi Utomo, 1995: 11).
Kurang lebih tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme
modern. Hasil daripada revolusi industri selama dwi dasawarsa sebelumnya
dibuktikan dengan perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan
komunikasi yang modern. Volume perdagangan berkembang dengan pesatnya,
sedangkan perkembangan modal menunjukkan perbandingan jumlah yang
besar. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan ekonomi Belanda
dengan negara-negara tetangga. Politik “pintu terbuka” di Hindia Belanda dan
perkembangan perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil
daerah koloni lebih banyak mencari pelemparan di negara asing daripada di
Nederland sendiri. Sejumlah besar perkebunan-perkebunan yang didirikan
sesudah tahun 1870 merupakan objek penanaman modal (Sartono Kartodirjo,
1967: XIX)
Tahun 1870 sistem tanam paksa dihapuskan. Hal ini disebabkan di
negeri Belanda telah terjadi pergeseran-pergeseran kekuasaan politik dari
xxviii
tangan kaum konservatif ke tangan kaum liberal. Kaum liberal menentang
sistem eksploitasi oleh negara atau pemerintah. Mereka mengganti sistem
tanam paksa dengan sistem perusahaan swasta dan sistem kerja paksa dengan
sistem kerja upah bebas. Jadi, dengan demikian terjadi pembukaan tanah
jajahan bagi penanaman modal swasta Belanda dan terjadi pembukaan tanahtanah perkebunan swasta di Indonesia (Noer Fauzi, 1999: 32)
Liberalisme memberi dorongan baru terhadap kemajuan ekonomi. Di
dalam sistem baru ini pengusaha-pengusaha swasta mengambilalih prkebunanperkebunan yang sebelumnya diurus oleh pemerintah kolonial dan urusannya
berjalan seperti sedia kala, hanya dengan perbedaan bahwa kalau dahulu
hanya ada pemegang saham tunggal tetapi sekarang jumlah pemegang
sahamnya banyak. Perusahaan-perusahaan swasta berusaha lebih menekan
daripada perusahaan pemerintah. Pengusaha-pengusaha dan kaum humaniter
mengumpulkan kekuatan untuk mematahkan cultuurstelsel, yang pertama
didorong oleh kepentingan ekonomi, sedangkan yang akhir oleh kepercayaan
bahwa kebebasan berusaha dan kebebasan bekerja merupakan jaminan yang
paling utama bagi kemajuan dan kesejahteraan. Kaum humaniter percaya
bahwa perusahaan swasta dan modal bebas akan membebaskan daerah-daerah
koloni dari eksploitasi, tetapi kenyataannya hal itu hanya merupakan
pergantian mengenai eksploitornya (Sartono Kartodirjo, 1967: XX).
2. Perkebunan
a.
Pengertian Perkebunan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 458), “perkebunan
berhubungan dengan hal berkebun, perusahaan yang mengusahakan kebunkebun, dan tanah-tanah yang dijadikan kebun“. Pendapat William J. O’ Malley
seperti dikutip Anne Both (1988: 198) mengenai konsep “perkebunan yang
meliputi komponen seperti tanah, pekerja, modal, teknologi, skala, organisasi,
dan tujuan”.
Pengertian dari perkebunan menurut Sartono Kartodirjo dan Djoko
Suryo (1991: 4), adalah:
xxix
Perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian
komersial dan kapitalistik, diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian skala
besar dan kompleks, bersifat padat modal (capital intensive), penggunaan
areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja secara
rinci, penggunaan tenaga kerja upahan (wage labour), struktur hubungan kerja
yang rapi dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi
dan birokrasi, serta penanaman tanaman komersial (commercial corps) yang
ditujukan untuk komoditi eksport di pasaran dunia.
b. Sejarah Perkebunan
Sejarah perkebunan tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan
kolonialisme dan kapitalisme. Perkebunan pada awal perkembangannya hadir
sebagai sistem perkembangan baru yang semula belum dikenal, yaitu sistem
perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Sistem perkebunan
yang dibawa oleh pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh korporasi
kapitalis asing pada dasarnya adalah sistem perkebunan Eropa. Perkebunan
sebagai sistem perekonomian pertanian baru telah memperkenalkan berbagai
pembaharuan dalam sistem perekonomian pertanian yang membawa dampak
perubahan penting terhadap kehidupan masyarakat tanah jajahan.
Sistem perkebunan di Indonesia diperkenalkan lewat kolonialisme
Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda. Sejarah perkembangan perkebunan
sebagai ekonomi yang menonjol sangat ditentukan oleh politik kolonial yang
dijalankan pemerintah Belanda selaku negeri induk.
Tanaman – tanaman perkebunan yang awalnya di budidayakan di
Indonesia dan menjadi tanaman eksport dunia adalah kopi, yang diusahakan
menjadi tanaman perkebunan di Indonesia sekitar tahun 1700-an, di mana
jenis kopi yang ditanam adalah kopi Arabika. Perkebunan kopi adalah
perkebunan yang tertua pertama di Indonesia, setelah kopi kemudian
muncullah teh pada tahun 1826. Pada awalnya yang dibudidayakan adalah teh
Cina, namun karena hasilnya tidak memuaskan di perdagangan dunia, maka
sekitar tahun 1880-an teh Cina digantikan dengan teh Assam (Haryono
Semangun, 1989 : 1).
Perkembangan sistem ekonomi perkebunan pada mulanya tidak
berlaku di wilayah vorstenlanden. Wilayah vorstenlanden pada mulanya
xxx
berlaku hukum yang menyatakan bahwa semua tanah adalah milik raja. Oleh
karena tanah-tanah di kawasan ini subur, mengundang pengusaha swasta
menanamkan modal di bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini diperkuat
sejak dikeluarkannya UU Agraria 1870 dengan diizinkannya pengusaha
swasta menyewa tanah dari rakyat, maka segala kekuasaan atas tanah beralih
pada tangan penyewa (Mubyarto, 1992: 41).
Kehadiran sistem perkebunan di lingkungan masyarakat agraris
tradisional di tanah jajahan atau negara-negara berkembang, dianggap telah
menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat
“dualistis”. Kehadiran perkebunan digambarkan telah menciptakan komunitas
sektor perekonomian “modern”, yang berorientasi eksport pasaran dunia, di
tengah-tengah lingkungan komunitas sektor perekonomian “tradisional” atau
“subsisten” (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 7).
Sistem perkebunan mempunyai dua sisi, di satu pihak, bagaimana
perkebunan itu mengelola manajemen perkebunan agar memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Di sisi lain, dominasi perkebunan itu mendesak
perekonomian tradisional yang merupakan soko guru kehidupan petani.
Efisiensi manajemen merupakan kunci keberhasilan perkebunan, oleh karena
itu sistem perkebunan menyangkut perluasan areal, produksi dan eksport
(Suhartono, 1995: 61).
c. Jenis Perkebunan
Haryono Semangun (1989: 2) mengklasifikasikan jenis perkebunan
berdasarkan pengelolaannya, terdiri atas tiga bagian yaitu: (1) Perkebunan
negara, (2) Perkebunan Swasta, dan (3) Perkebunan Rakyat.
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991: 135) menggolongkan jenis
perkebunan berdasarkan tanaman yang diusahakan (ditanam) yaitu: (1)
Perkebunan Tebu, (2) Perkebunan Kopi, (3) Perkebunan Teh, (4) Perkebunan
Coklat, Perkebunan rempah-rempah, seperti: perkebunan pala, perkebunan
lada, dan lain-lain, (5) Perkebunan Karet, (6) Perkebunan Kelapa Sawit, (7)
Perkebunan Kina, (8) Perkebunan Tembakau, dan (10) Perkebunan Kapas.
xxxi
3. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat
a. Pengertian Masyarakat
Kelompok manusia yang hidup bersama disebut masyarakat. Dalam
kehidupan ini menunjukkan adanya keterikatan dan perasaan saling
membutuhkan satu sama lain. J. L. Gillin dan J. P. Gillin dalam Abu Ahmadi
(1990: 220) menyatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang
terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang
sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih
kecil.
Menurut Ralp Linton dalam Abu Ahmadi (1990: 220), masyarakat
adalah kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka
sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Berdasarkan definisi
Ralp Linton tersebut, maka masyarakat timbul dari setiap kumpulan individu,
yang telah lama hidup dan bekerja sama dalam waktu yang cukup lama.
Kelompok manusia yang dimaksud di atas yang belum terorganisasikan
mengalami proses yang fundamental yaitu:
1) Adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggota
2) Timbul perasaan berkelompok secara lambat laun
Adanya sarana untuk berinteraksi menyebabkan suatu kolektif manusia
itu akan berinteraksi. Tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau
berinteraksi
merupakan
masyarakat,
karena
suatu
masyarakat
harus
mempunyai suatu ikatan lain yang khusus, yaitu tingkah laku yang khas.
Ikatan khusus yang membuat satu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat
yaitu:
1) Pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam
batas kesatuan itu
2) Pola itu harus bersifat mantap dan kontinyu, atau dengan kata lain pola
khas itu sudah menjadi adat istiadat yang khas
xxxii
3) Adanya satu rasa identitas di antara para warga atau anggotanya bahwa
mereka memang merupakan satu kesatuan khusus yang berbeda dari
kesatuan-kesatuan yang lain (Koentjaraningrat, 1983: 147).
Pengertian masyarakat menurut KBBI adalah sejumlah manusia dalam
arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama, sedangkan dalam bahasa Inggris masyarakat disebut dengan
community, Soerjono Soekanto (2006: 27) mengatakan bahwa community
adalah masyarakat yang tinggal di suatu wilayah (geografis) dengan batasbatas tertentu, di mana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi
yang lebih besar di antara anggota dibandingkan dengan interaksi dengan
penduduk di luar batas wilayahnya.
Roucek dan Warren dalam Jefta Leibo (1995: 7), menyatakan bahwa
secara umum dalam kehidupan masyarakat di pedesaan mempunyai beberapa
karakteristik, antara lain:
1) Mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal (mata pencaharian, nilainilai dalam kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku)
2) Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit
ekonomi. Artinya semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat
dalam kegiatan pertanian ataupun mencari nafkah guna memenuhi
kebutuhan ekonomi rumah tangga. Selain itu juga sangat ditentukan oleh
kelompok primer, yakni dalam memecahkan suatu masalah, keluarga
cukup memainkan peranan dalam pengambilan keputusan final
3) Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada (misalnya
keterikatan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya)
4) Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet daripada di
kota, serta jumlah anak yang ada dalam keluarga inti lebih besar atau
banyak.
Karakteristik yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren ini, tidak
semuanya berlaku di setiap desa, karena setiap desa itu memiliki karakteristik
yang berbeda-beda, tergantung pada seberapa jauh tingkat perubahan
(kemajuan) yang telah dicapai oleh masyarakat desa tertentu.
xxxiii
Masyarakat merupakan obyek studi dari disiplin ilmu sosiologi, oleh
karena itu masyarakat tidak hanya dipandang sebagai suatu kumpulan individu
semata-mata, melainkan suatu pergaulan hidup karena mereka cenderung
hidup bersama-sama dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa ahli
sependapat dengan argumen di atas, yang kemudian lebih ditegaskan lagi oleh
Soleman B. Tanako (1993: 11) yaitu sebagai berikut:
Dalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak dipandang sebagai suatu
kumpulan individu atau penjumlahan dari individu-individu sematamata. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena
manusia itu hidup bersama. Masyarakat merupakan suatu sistem yang
terbentuk karena hubungan dari anggotanya. Dengan perkataan lain,
masyarakat adalah suatu sistem yang terwujud dari kehidupan bersama
manusia, yang lazim disebut dengan sistem kemasyarakatan. Emile
Durkheim menyatakan bahwa masyarakat merupakan satu kenyataan
yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang
merupakan anggota-anggotanya.
Soleman B. Tanako (1993: 12) menjelaskan bahwa sebagai suatu
pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia maka tentunya
masyarakat itu mempunyai ciri-ciri pokok yang lebih menegaskan definisi
masyarakat itu sendiri, yaitu:
1) Manusia yang hidup bersama
2) Bergaul selama jangka waktu cukup lama
3) Adanya kesadaran, bahwa setiap manusia merupakan bagian dari
satu
kesatuan
Dari beberapa pendapat para tokoh di atas maka masyarakat dapat
didefinisikan sebagai sekelompok manusia yang hidup bersama dan saling
berinteraksi karena mereka memiliki kesamaan karakteristik dan kepentingan
ataupun tujuan hidup yang minimal sama.
b. Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan sosial terdiri dari kata perubahan dan sosial. Perubahan
berasal dari kata ubah yang berarti menjadi lain (berbeda) dari semula,
sedangkan perubahan menurut KBBI adalah hal (keadaan) berubah; peralihan;
pertukaran.
xxxiv
Soerjono Soekanto menjelaskannya sebagai berikut:
Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan.
Perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar
yang menelaahnya dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak
menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan
yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula
perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan
cepat. Perubahan bisa berkaitan dengan: 1) Nilai-nilai sosial; 2) Pola
perilaku; 3) Organisasi; 4) Lembaga kemasyarakatan; 5) Lapisan
masyarakat; 6) Kekuasaan, wewenang dll (Soerjono Soekanto, 2006:
261).
Perubahan berkaitan dengan banyak hal, salah satunya adalah dalam
kehidupan sosial masyarakat. Istilah sosial dapat diartikan sebagai hal yang
berkenaan dengan masyarakat dan suka memperhatikan kepentingan umum.
Soerjono Soekanto (2006: 13), menjelaskan pengertian sosial sebagai
berikut:
Istilah sosial pada ilmu-ilmu sosial memiliki arti yang berbeda dengan
misalnya istilah sosialisme atau istilah sosial pada departemen sosial.
Apabila istilah sosial pada ilmu sosial merujuk pada obyeknya, yaitu
masyarakat, sosialisme merupakan suatu ideologi yang berpokok pada
prinsip pemilikan umum ( atas alat-alat produksi dan jasa dalam
bidang ekonomi). Sementara itu, istilah sosial pada departemen sosial
menunjuk pada kegiatan–kegiatan di lapangan sosial. Artinya kegiatan
yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan, seperti misalnya tuna
karya, tuna susila, orang jompo, yatim piatu dan lain sebagainya, yang
ruang lingkupnya adalah pekerjaan ataupun kesejahteraan sosial.
Dari beberapa pengertian di atas, maka perubahan yang dimaksud di
sini adalah perubahan yang berkenaan dengan tata kehidupan sosial
masyarakat. Perubahan tersebut adalah perubahan sosial, perubahan sosial
juga memiliki beberapa definisi, di antaranya sebagai berikut:
Menurut Selo Soemardjan (1991: 304), perubahan sosial dapat dibagi
dalam dua kategori, perubahan yang disengaja dan yang tidak disengaja
(intended dan unintended change). Yang dimaksud dengan perubahan sosial
yang disengaja adalah perubahan yang telah diketahui dan direncanakan
sebelumnya oleh para anggota masyarakat yang berperan sebagai pelopor
xxxv
perubahan. Sedangkan perubahan sosial yang tidak direncanakan ialah
perubahan yang terjadi tanpa diketahui atau direncanakan sebelumnya oleh
anggota masyarakat.
Perubahan sosial tidak hanya diartikan sebagai suatu kemajuan atau
progress tetapi dapat pula berupa suatu kemunduran (regress). Kemudian
Selo Soemarjan mengartikan bahwa perubahan sosial sebagai perubahan yang
terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap,
pola perilakunya di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan
definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai
himpunan pokok manusia, yang kemudian mempengaruhi segi-segi struktur
masyarakat lainnya (Soemardjan dalam Soekanto, 2006: 263).
Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi
dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara
keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Jadi perubahan sosial
dapat terjadi karena perbedaan keadaan di antara sistem-sistem sosial dalam
sebuah masyarakat. Kemudian menurutnya konsep dasar perubahan sosial
mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan; (2) pada waktu berbeda; (3) di antara
keadaan sistem sosial yang sama (Piotr Sztompka, 2007: 3).
Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2006: 263) mengatakan perubahan
sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik
karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan, materiil,
komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Mac Iver dalam Soekanto (2006: 263) mengatakan bahwa perubahanperubahan sosial sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social
relantionships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium)
hubungan sosial.
Dari beberapa pengertian mengenai perubahan sosial di atas maka
dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang
xxxvi
terjadi dalam lembaga masyarakat atau masyarakat itu sendiri baik bersifat
progress ataupun regress yang disebabkan karena adanya tekanan dari luar.
Penyebab Perubahan Sosial
Untuk mempelajari perubahan masyarakat, perlu diketahui sebabsebab yang melatarbelakangi terjadinya perubahan itu. Soerjono Soekanto
(2005: 318) menyatakan bahwa penyebab perubahan sosial sumbernya terletak
di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya di luar.
1. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri, antara lain:
a. Bertambah atau berkurangnya penduduk
Pertambahan penduduk yang sangat cepat menyebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur masyarakat, terutama lembaga-lembaga
kemasyarakatannya,
disebabkan
transmigrasi.
sedangkan
berkurangnya
penduduk
mungkin
urbanisasi
maupun
berpindahnya
penduduk
akibat
Perpindahan
penduduk
mengakibatkan
kekosongan,
misalnya dalam bidang pembagian kerja dan stratifikasi sosial, yang
mempengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan.
b. Penemuan-penemuan baru
Penemuan-penemuan baru yang menyebabkan terjadinya perubahanperubahan terdiri dari penemuan baru dalam kebudayaan jasmaniah
maupun rohaniah. Misalnya, dalam kebudayaan jasmaniah yaitu dengan
ditemukannya radio menyebabkan perubahan-perubahan dalam lembaga
kemasyarakatan seperti pendidikan agama, pemerintahan, rekreasi dan
lain-lain. Penemuan dalam kebudayaan rohaniah misalnya, adanya
ideologi baru, aliran kepercayaan baru, sistem hukum yang baru dan lainlain.
c. Pertentangan (conflict) masyarakat
Pertentangan-pertentangan
antara
individu
dengan
kelompok
atau
perantara kelompok dengan kelompok menyebabkan terjadinya perubahan
sosial dan kebudayaan.
xxxvii
d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Revolusi yang meletus di sebuah negara mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan besar dalam negara tersebut, yang dapat merubah
segenap lembaga kemasyarakatan.
2. Sebab-sebab yang bersumber dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain:
a. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar
manusia seperti terjadinya bencana alam yang menyebabkan masyarakat
yang mendiami suatu daerah tertentu terpaksa harus menyesuaikan diri
dengan keadaan alam yang baru.
b. Peperangan
Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan karena biasanya negara yang menang akan
memaksakan kebudayaannya pada negara yang kalah.
c. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Penyebab perubahan sosial juga bisa datang dari faktor pribadi
masyarakat, misalnya keinginan dari setiap individu yang ada dalam
masyarakat untuk merubah kehidupannya, sehingga mau tidak mau struktur
masyarakat tersebut berubah pula. Pendapat ini diperkuat oleh Morris
Ginsberg sebagaimana dikutip dalam Tilaar sebagai berikut;
Moris Ginsberg dalam Tilaar (2002: 7) menelaah mengenai faktorfaktor penyebab perubahan. Dari beberapa faktor yang
dikemukakannya dapat kita catat tiga faktor yang bertumpu pada
pribadi seseorang. Sebab-sebab tersebut ialah: 1) Keinginan-keinginan
dan keputusan yang sadar dari pribadi-pribadi untuk mengadakan
perubahan, 2) sikap pribadi tertentu karena kondisi sosial yang telah
berubah, dan 3) pribadi atau kelompok yang menonjol di dalam suatu
masyarakat yang menginginkan perubahan”.
c. Perubahan Ekonomi
Perubahan-perubahan dan pergerakan-pergerakan yang relatif dari
penduduk menjadi indikator yang penting mengenai tekanan-tekanan sosial
ekonomi yang lebih besar di karesidenan Semarang, itulah sebabnya maka
pergerakan yang penting dari penduduk pedesaan akan dapat diduga hanya
xxxviii
akan terjadi sebagai tanggapan terhadap rangsangan yang berarti (Djoko
Suryo, 1989: 10).
Perubahan penduduk dipergunakan sebagai indikator bagi perbedaan
sosial dan perubahan ekonomi. Pertumbuhan atau pergerakan penduduk
pedesaan biasanya disebabkan oleh 3 faktor penting, yaitu kelahiran, kematian
dan perpindahan penduduk (Djoko Suryo, 1989: 11).
Semakin meluasnya usaha perkebunan dengan modal asing telah
membawa dampak pada perubahan sistem perekonomian yang tadinya sistem
ekonomi tradisional berubah menjadi sistem perekonomian pertanian
komersial. Pada sistem perekonomian komersial yang mengutamakan sistem
perkebunan dengan bersifat padat modal, lahan luas, tenaga kerja banyak,
pembagian kerja jelas, struktur tenaga kerja yang rapi, menggunakan teknologi
modern, sistem administrasi yang rapi serta tanaman yang ditujukan untuk
kepentingan ekspor di pasar dunia, sangat bertolak belakang dengan sistem
perekonomian tradisional (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 4).
Dalam struktur ekonomi pertanian tradisional, usaha perkebunan
merupakan usaha tambahan atau pelengkap dari kegiatan kehidupan pertanian
pokok, terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Sistem kebun biasanya
diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan
terbatas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, kurang
berorientasi pada kebutuhan sendiri.
Pada masa berkembangnya sistem ekonomi liberal, memberikan
kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya dan sekaligus
menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan perusahaan perkebunan. Tanah
dan tenaga kerja tersebut dimanfaatkan secara bebas dalam proses produksi
pertanian.
Dalam masyarakat selain terjadi perubahan dalam sistem pertanian
juga munculnya sistem ekonomi uang. Masuknya sistem ekonomi uang dalam
kehidupan masyarakat menambah beban bagi masyarakat. Sistem ekonomi
uang akan memudahkan pelaksanaan pemungutan pajak, lahirnya buruh
upahan, dan sistem penyewaan tanah.
xxxix
d. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat
Perubahan masyarakat pada umumnya merupakan suatu proses yang
terus menerus, artinya bahwa setiap masyarakat akan mengalami perubahan.
Perubahan antara masyarakat satu dengan yang lain berbeda, ada yang cepat
dan ada yang lambat.
Perubahan tidak selalu membawa dampak kemajuan, bahkan yang
terjadi sebaliknya, yaitu kekacauan. Apalagi perubahan tersebut kurang
memperhatikan terhadap sistem nilai yang berlaku sebelumnya, maka yang
terjadi adalah keresahan.
Perubahan sosial ekonomi masyarakat dapat diartikan sebagai bentuk
perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang membawa pengaruh terhadap
kehidupan sosial ekonomi pada masyarakat tersebut.
4. Kerangka Berpikir
Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu Perkebunan Kopi
Mangkunegaran dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi
Masyarakat Wonogiri pada Masa Mangkunegara IV, maka dapat
digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
xl
Kebijakan
Kolonial
Ekonomi
Liberal
Mangkunegaran
Perkebunan Kopi
Perubahan
Masyarakat
Bidang
Sosial
Bidang
Ekonomi
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
Keterangan :
Kolonialisme Belanda di Indonesia dimulai sejak berlangsungnya
ekspansi kekuasaan bangsa Eropa yaitu abad XVI. Kebijakan kolonial muncul
sebagai akibat adanya sistem kolonialisme yaitu usaha menguasai bangsa lain
dalam segala hal untuk mencapai kemakmuran. Ekspansi kekuasaan kolonial
Belanda meningkat pada abad ke XIX telah membawa pengaruh atas
terjadinya perubahan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan di Indonesia.
Dalam mengolah daerah jajahan, perkebunan menjadi salah satu sumber
komersial yang potensial bahkan menjadi basis perekonomian Belanda.
Sistem ekonomi liberal mempermudah baik eksport maupun import
modal. Penanaman modal terutama terjadi di Indonesia sebagai daerah tempat
mulai berkembangnya industri gula, timah dan tembakau sejak tahun 1950.
Dengan dihapusnya cultuurstelsel secara berangsur-angsur, maka digantilah
tanaman paksa pemerintah dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan
oleh pengusaha-pengusaha swasta.
xli
Keberhasilan golongan liberal mendapat kursi mayoritas dalam
parlemen Belanda tahun 1870 menyebabkan semakin luasnya kekuasaan
liberal tanah jajahan. Oleh karena itu dalam penguasaan tanah jajahan,
golongan liberal memberlakukan sistem politik kolonial baru yang dikenal
dengan sistem politik pintu terbuka. Politik ”pintu terbuka” sebenarnya
dilakukan atas desakan golongan menengah yang menghendaki tempat dalam
proses eksploitasi tanah jajahan. Kebanyakan dari mereka adalah golongan
pengusaha atau kaum pemilik modal, yang menjadi golongan borjuis dan
pendukung aliran politik liberal. Golongan kapitalis industri ini pada dasarnya
menghendaki perubahan politik kolonial yang dapat mengikutsertakan mereka
dalam proses eksploitasi tanah jajahan. Mereka mendesak pemerintah untuk
membuka pintu tanah jajahan bagi penanaman modal mereka, terutama dalam
perusahaan agribisnis, terutama bagi modal para pengusaha swasta.
Kebijakan kolonial Belanda dengan politik
ekonomi liberal ini
memberikan pengaruh terhadap daerah – daerah di tanah jajahan. Dengan
adanya
kebijakan
kolonial
tersebut,
mendorong
pemerintah
Praja
Mangkunegaran untuk menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi guna
meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu Mangkunegara IV (1853–1881)
membuka perkebunan kopi di Wonogiri dengan harapan agar mampu
mengatasi masalah keuangan dan ekonomi di praja Mangkunegaran.
Dengan adanya perkebunan kopi Mangkunegaran di Wonogiri ini
membawa dampak perubahan sosial ekonomi pada masyarakat. Perubahan
tersebut di antaranya adalah terjadinya perubahan cara hidup dari pertanian
menjadi pekerja buruh upahan. Selain itu status sosial para bekel menjadi
semakin meningkat yang semula hanya sebagai pemungut pajak kemudian
menjadi semacam ”mandor” dan juga sekaligus sebagai pengerah tenaga kerja
dan organisator penanaman. Secara umum memang beban kerja masyarakat
desa menjadi meningkat, tetapi juga terbuka kesempatan kerja bebas untuk
meningkatkan penghasilan.
xlii
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penulis dalam melakukan penelitian yang berjudul “Perkebunan Kopi
Mangkunegaran dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi
Masyarakat Wonogiri pada masa Mangkunegara IV” memanfaatkan fasilitas
perpustakaan sebagai sarana untuk memperoleh data dalam penelitian. Untuk
memperoleh data penelitian ini, penulis mencari sumber tertulis di
perpustakaan. Adapun perpustakaan yang dipergunakan sebagai tempat
penelitian adalah:
a. Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran
b. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
c. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta
e. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta
f. Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Wonogiri
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah sejak pengajuan judul
skripsi yaitu bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Juli 2009. Adapun kegiatan
yang dilakukan dalam jangka waktu penelitian tersebut adalah mengumpulkan
sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan
makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir
menyusun laporan hasil penelitian. Secara rinci jadwal kegiatan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
xliii
Tabel 1. Jadwal Penelitian
No
Jenis
Bulan
Kegiatan
1.
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Pengajuan
judul
2.
Proposal
3.
Perijinan
4.
Pengumpulan
data
5.
Analisis data
6.
Penulisan
laporan
B. Metode penelitian
Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena
keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode
yang tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti
cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut
masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 7). Penelitian ini
merupakan
penelitian
yang
berusaha
merekonstruksikan
mengenai
”Perkebunan Kopi Mangkunegaran dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan
Sosial Ekonomi Masyarakat Wonogiri pada Masa Mangkunegara IV”.
Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa
lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah atau metode
historis.
Hadari Nawawi (1995: 78-79) mengemukakan bahwa metode
penelitian sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan
data masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian
atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan
xliv
masa sekarang. Gilbert J. Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman
(1999: 43) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah
seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumbersumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan
sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44)
menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis
kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya,
serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat
dipercaya. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang
dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran
rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis
secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian
dan cerita sejarah yang dapat dipercaya.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan
yang akan dikaji untuk memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji
dan menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai
dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut untuk dijadikan suatu cerita
sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.
C. Sumber Data
Sumber data sering disebut juga “data sejarah”. Menurut Kuntowijoyo
yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 30) perkataan ”data” merupakan
bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti
“pemberitaan”. Menurut Dudung Abdurrachman (1999: 30) data sejarah
merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan
pengkategorian. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber
sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan
informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
xlv
Helius Syamsuddin (1996: 73) mengemukakan tentang pengertian
sumber sejarah, yaitu: segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung
menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia
pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan
mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti)
yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas
mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang
diucapkan (lisan).
Sumber sejarah dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang
disampaikan langsung oleh saksi mata. Dikatakan sebagai sumber sekunder
karena tidak disampaikan langsung oleh saksi mata dan bentuknya dapat
berupa buku-buku, artikel, koran, majalah (Dudung Abdurrahman, 1999: 56).
Sumadi Suryabrata (1994: 17) berpendapat bahwa penelitian historis
tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung
melakukan observasi atau penyaksian kejadian-kejadian yang dituliskan. Data
sekunder diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil
observasi orang lain yang satu kali atau lebih telah lepas dari kejadian aslinya.
Di antara kedua sumber tersebut, sumber primer dipandang memiliki otoritas
sebagai bukti tangan pertama, dan diberi prioritas dalam pengumpulan data.
Menurut Nugroho Notosusanto (1971: 35), sumber primer adalah
kesaksian dengan mata kepala sendiri atau panca indera lainnya atau dengan
alat mekanis yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Sedangkan menurut John
W. Best dalam Louis Gottschalk (1986: 35) sumber primer sebagai cerita atau
catatan para saksi mata, pengamat atau partisipan dan juga berisi catatancatatan para saksi mata yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang
tidak langsung mengamati atau orang yang tidak terlibat langsung dalam suatu
kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu.
Sumber sekunder biasanya dicatat dan ditulis setelah peristiwanya terjadi,
xlvi
tetapi sumber sekunder dapat dijadikan sebagai sumber utama apabila sumber
utama sulit didapat (Nugroho Notosusanto,1971: 35).
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut di antaranya
Monographie van Onderafdeling Wonogiri karangan Muhlenfeld.
Selain itu juga diperlukan sumber sekunder yang dinilai relevan dan
mendukung penelitian ini antara lain Timbulnya Kepentingan Tanam
Perkebunan di Mangkunegaran Terjemahan Hoofdstuk II Opkmmst der
Mangkoenegorosche Cultuurbelangen karangan H. R. Soetono, Sejarah Milik
Praja
Mangkunegaran
Terjemahan
R.
T.
Moehammad
Hoesodo
Pringgokoesoemo karangan S. Mansfeld, Kapitalisme Pribumi dan Sistem
Agraria Tradisional: Perkebunan Kopi di Mangkunegaran 1853-1881
karangan S. Margana dan Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan
Pujangga karangan W. E. Soetomo Siswokartono.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah penting dalam penelitian,
karena merupakan langkah untuk memudahkan dalam menyusun kisah sejarah
yang benar-benar sistematis. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data
ditempuh dengan studi kepustakaan. Studi pustaka berperan penting sebagai
proses bahan penelitian, tujuannya sebagai pemahaman secara menyeluruh
tentang topik permasalahan yang sedang dikaji. Studi pustaka adalah suatu
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
data atau fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah,
dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan di dalam
perpustakaan (Koentjaraningrat, 1983: 3).
Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan studi pustaka menurut
Koentjaraningrat (1986: 18) ada 4 yaitu:
(1) Memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan teori
pemikiran
xlvii
(2) Memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti
(3) Mempertajam konsep yang digunakan, sehingga mempermudah dalam
perumusannya
(4) Menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai
berikut:
(1) Pencarian dan pengumpulan sumber-sumber data yang dibutuhkan baik itu
sumber primer maupun sumber sekunder
(2) Membaca dan mencatat sumber primer maupun sekunder
(3) Penggalian terhadap bahan-bahan pustaka lainnya seperti buku, majalah,
artikel, yang dilakukan di perpustakaan yang dianggap penting dan relevan
dengan masalah yang diteliti
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah
teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung
Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali
disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan
secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis
dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi.
Menurut Helius Syamsuddin (1994: 89) teknik analisis data historis adalah
analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk
menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.
Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999:
64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang
diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori
disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh.
Analisis data merupakan langkah yang penting dimulai dari melakukan
kegiatan mengumpulkan data kemudian melakukan kritik ekstern dan intern
untuk mencari otentisitas dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Dari
langkah ini dapat diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan
xlviii
dengan materi penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah
tersebut dengan bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian
sejarah, kemudian menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan
dapat dipahami, fakta tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta
menjadi karya yang menyeluruh dan masuk akal.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu
persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Adapun
prosedur penelitian ini adalah melalui empat tahap yang merupakan proses
metode sejarah. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi,
dan historiografi. Langkah-langkah prosedur penelitian tersebut dapat
digambarkan dengan bagan sebagai berikut:
Heuristik
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Gambar 2. Bagan Metode Penelitian Historis
1. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan mengumpulkan jejak-jejak peristiwa sejarah
atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber sejarah. Heuristik berasal dari
kata Yunani ”heurischein” artinya memperoleh (Dudung Abdurrahman, 1999:
55). Menurut Sidi Gazalba (1981: 115) heuristik adalah mencari bahan atau
menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan bahan penelitian. Nugroho
Notosusanto (1971: 17) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan
menghimpun jejak-jejak masa lalu. Heuristik berarti mencari data dengan
xlix
mengumpulkan sumber-sumber. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan
mengadakan riset di perpustakaan atau lembaga kearsipan.
Pada tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan sumber atau data-data
yang relevan dengan penelitian melalui teknik studi pustaka. Dalam hal ini
penulis melakukan pengumpulan data dan sumber di beberapa perpustakaan
seperti Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran, Perpustakaan Program
Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra
dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pusat
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Perpustakaan Umum Daerah
Kabupaten Wonogiri. Sumber tertulis yang digunakan berupa arsip, majalah,
jurnal dan buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang sedang dikaji.
2. Kritik
Setelah
data-data
yang
berkaitan
dengan
penelitian
berhasil
dikumpulkan, maka tahap berikutnya ialah verifikasi atau lazim disebut juga
dengan kritik untuk memperoleh keabsahan sumber.
Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah
itu sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik
sumber dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik
ekstern menguji suatu keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas)
sedangkan kritik intern menguji keabsahan tentang kesahihan sumber
(kredibilitas).
Kritik ekstern dilakukan pada sumber tertulis dengan menyeleksi segisegi fisik dari sumber yang ditemukan dengan meneliti dari kertasnya,
tintanya, gaya penulisannya, bahasanya, kalimatnya, dan lain sebagainya.
Kritik ekstern dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan pengujian fisik
misalnya pada Monographie van Onderafdeling Wonogiri karangan
Muhlenfeld pada tahun 1914, yang kemudian diterjemahkan oleh R. Tg.
l
Muhammad Husodo Pringgokusumo dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang telah disempurnakan ejaannya.
Kritik intern digunakan untuk memastikan kebenaran isi sumber
dengan cara membandingkan isi antara sumber yang satu dengan isi sumber
yang lain, yaitu apakah sumber-sumber tersebut sesuai dengan fakta yang ada,
banyak dipengaruhi oleh subyektifitas pengarangnya atau tidak, dan sumber
tersebut sesuai dengan tema penelitian atau tidak. Sumber yang dibandingkan
di antaranya adalah karangan S. Margana yang secara umum mengkaji tentang
perkembangan dan perubahan sosial ekonomi di wilayah kerajaan, dan secara
khusus memfokuskan pada implikasi-implikasi sosial ekonomi dari kebijakan
ekonomi Mangkunegaran selama masa pemerintahan Mangkunegara IV dan
kemudian dibandingkan dengan buku karangan Soetomo Siswokartono yang
mengkaji tentang lahirnya kadipaten Mangkunegaran, biografi Mangkunegara
IV dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan Mangkunegara IV sebagai
penguasa dan pujangga. Berdasarkan dua informasi di atas, maka dapat
diperoleh suatu kesimpulan bahwa selama masa pemerintahan Mangkunegara
IV, Mangkunegaran mengalami masa kejayaan. Di masa pemerintahannya,
beliau telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru misalnya dalam
restrukturisasi birokrasi, pembangunan ekonomi, hukum serta kebudayaan.
3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah juga disebut dengan analisis
sejarah. Sumber-sumber yang telah melalui proses kritik intern dan kritik
ekstern akan menghasilkan fakta sejarah yang berdiri sendiri-sendiri. Oleh
karena itu perlu dilakukan analisis terhadap fakta-fakta tersebut yang
bertujuan untuk menyatukan fakta-fakta itu menjadi satu kesatuan yang
harmonis dan menyeluruh. Interpretasi dapat dilakukan dengan cara
memperbandingkan data guna menyingkap peristiwa-peristiwa mana yang
terjadi dalam waktu yang sama. Penafsiran fakta harus bersifat logis terhadap
keseluruhan konteks peristiwa, sehingga berbagai fakta yang lepas satu sama
li
lainnya dapat disusun dan dihubungkan menjadi satu kesatuan yang masuk
akal (Kuntowijoyo, 1995: 100).
Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan menyeleksi dan menafsirkan
tulisan buku dengan penentuan periodisasi, merangkaikan data secara
berkesinambungan, misalnya dengan merangkaikan periode sejarah dan
menghubungkan sumber data sejarah yang ada hingga menjadi kesatuan yang
harmonis dan masuk akal melalui interpretasi. Dalam kegiatan interpretasi ini
penelitian yang dilakukan berusaha bersikap obyektif yang disebabkan
keanekaragaman data yang diperoleh.
4. Historiografi
Tahap historiografi ialah langkah terakhir dalam metodologi atau
prosedur penelitian historis. Historiografi merupakan cara penulisan,
pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan
(Dudung Abdurrahman, 1999: 67). Dalam tahap ini seorang penulis harus
dapat mengungkapkan hasil penelitiannya dengan bahasa yang baik dan benar,
menyajikan data-data yang akurat dan membuat garis-garis umum yang akan
diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca. Selain itu penulis harus
mengungkapkan hasil penelitiannya secara kronologis dan sistematis. Dalam
proses historiografi ini diperlukan imajinasi dari penulis agar fakta-fakta yang
diperoleh dapat dirangkaikan menjadi sebuah kisah yang menarik untuk
dibaca. Dalam penelitian yang berjudul “Perkebunan Kopi Mangkunegaran
dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Wonogiri
pada Masa Mangkunegara IV”, penulis berusaha menghasilkan suatu cerita
sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya sekaligus menarik untuk dibaca.
lii
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskriptif Wilayah Wonogiri
1. Kondisi Geografis dan Administratif Wonogiri
Sebutan Mangkunegaran menunjuk pada sebuah ”pura” atau kerajaan
kecil yang terletak di Karesidenan Surakarta. Pura atau kerajaan ini dahulu
merupakan pecahan dari kerajaan Mataram. Mangkunegaran merupakan
bagian dari vorstenlanden. Istilah vorstenlanden digunakan untuk menyebut
kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Yogyakarta dan Surakarta.
Vorstenlanden ini berasal dari kata vorsten: raja dan landen: tanah, yang
kemudian diartikan sebagai tanah milik raja. Sebenarnya istilah ini telah
muncul sejak perjanjian Giyanti (1755), tetapi baru digunakan secara resmi
tahun 1800. Sebelumnya orang Belanda menyebut bovenlanden, yang artinya
tanah pedalaman (Rouffaer, 1983: 2).
Menurut Rouffaer yang dikutip kembali oleh Suhartono (1991: 37),
apanage Mangkunegara I (Raden Mas Said) meliputi desa seluas 979,5 jung
yang terbagi dalam beberapa distrik: Keduwang 141 jung, Laroh 115,25 jung,
Matesih 218 jung, Wiroko 60,5 jung, Hariboyo 82,5 jung, Honggobayan 25
jung, Sembuyan 133 jung, Gunung Kidul 71,5 jung, Pajang sebelah selatan
jalan pos Kartosuro- Surakarta 58,5 jung dan Pajang sebelah utara jalan pos
Kartosuro- Surakarta 64,75 jung, Mataram (Yogyakarta- pusat) 1 jung dan
Kedu 8,5 jung.
Pada waktu perjanjian Giyanti (1755), yaitu pembagian kerajaan
Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, daerah
yang kemudian disebut Wonogiri menjadi bagian (masuk) wilayah Kasunanan
Surakarta. Akan tetapi, dalam perjanjian Salatiga (1757) daerah itu diberikan
oleh Susuhunan kepada Raden Mas Said sebagai lungguhnya seluas 474,75
jung, yang meliputi: Keduwang 141,00 jung, Nglaroh 115,25 jung, Wiroko
60,50 jung, Sembuyan 133,00 jung, dan Honggobayan 25,00 jung (Pemda
Wonogiri: 1991: 9).
liii
Berdasarkan data dari Pemda Wonogiri (1991: 19), pada tahun 1847,
Residen Surakarta Baron de Geer mengusulkan kepada Mangkunegara III
supaya wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi 3 daerah Onderregent
(Kawedanan), supaya ”tatanan kados adeging Praja Sejati” (agar menjadi
aturan negara yang sesungguhnya). Daerah Onderregent (Kawedanan)
tersebut meliputi:
1. Onderregent Wonogiri, meliputi bagian tengah wilayah Mangkunegaran,
Nglaroh, Sembuyan, Keduwang, Honggobayan, dan Wiroko
2. Onderregent Karanganyar, meliputi daerah timur laut yaitu sebagian dari
Sukowati, Matesih, dan Haribaya
3. Onderregent Malangjiwan, meliputi bagian barat yaitu bagian dari daerah
Pajang Lama. Tahun 1875 Onderregent Malangjiwan diganti Baturetno,
daerahnya meliputi Wiroko, Sembuyan dan Ngawen.
Daerah Mangkunegaran terletak di tanah swapraja (vorstenlanden)
yang terletak di wilayah Jawa Tengah bagian timur. Wilayah Mangkunegaran
meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai daerah
hulu Sungai Bengawan Solo, yang terus menuju daerah Gunung Kidul (Metz,
1986: 14). Di tanah-tanah kerajaan ini para raja memiliki otonomi (zelfbestuur
atau pemerintahan sendiri) di bawah kedaulatan pemerintahan Hindia Belanda,
sedangkan di luar daerah vorstenlanden rakyat langsung diperintah oleh
pemerintah Hindia Belanda (Rouffaer, 1983: 2).
Luas wilayah Mangkunegaran hampir sama dengan luas wilayah
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Wilayah Mangkunegaran
seluruhnya 2.815,14 km2, sudah termasuk di dalamnya tanah enclave di
Ngawen yang terletak di wilayah Kasultanan Yogyakarta. Luas wilayah
Mangkunegaran lebih kecil jika dibandingkan dengan luas wilayah Kasultanan
dan Kasunanan, tetapi jauh lebih luas dibanding Pakualaman. Perbandingan
luas wilayah dari keempat kerajaan yang ada di vorstenlanden ini adalah
sebagai berikut:
liv
Tabel 2. Perbandingan Luas Kerajaan di Wilayah Vorstenlanden tahun
1873
Daerah
Luas Wilayah (km2)
Pulau Jawa
126.803,00
Kasunanan
3.237,50
Kasultanan
3.049,81
Mangkunegaran
2.815,14
Pakualaman
122,50
Sumber: Metz. 1986. Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa.
Surakarta: Reksopustaka Mangkunegaran, hal: 15
Dari luas wilayah itu, kurang lebih 1.922,65 km2 atau hampir dua
pertiga dari wilayah Mangkunegaran terletak di suatu wilayah yang sering
dikenal dengan Wonogiri. Wilayah ini meliputi lereng barat Gunung Sewu, di
mana tanahnya berbukit-bukit dan relatif kurang subur. Di sebelah timur
tanahnya lebih tinggi karena adanya jalur-jalur Gunung Lawu yang mengarah
ke segala penjuru. Di sebelah selatan, tanahnya ditebari dengan ribuan bukit
yang membentuk setengah lingkaran, yang tingginya mencapai 60 m, oleh
karena itu disebut dengan Gunung Sewu.
a. Letak dan Batas
Menurut Muhlenfeld (1914: 4), Onder-afdeling Wonogiri letaknya di
bagian selatan dari residentie Surakarta, dan meliputi bagian selatan dari
afdeling yang sama namanya.
Batas-batasnya adalah:
Utara
: onder-regentschap Sukoharjo dari afdeling Surakarta dan
afdeling Sragen dari residentie yang sama
Timur
: afdeling Magetan, Ponorogo dan Pacitan dari residentie Madiun
Selatan
: afdeling Pacitan dan Samudra Hindia
Barat
: afdeling Gunung Kidul dari residentie Yogyakarta
b. Luas
Luas Wonogiri secara global adalah 210.000 ha (kira-kira sama dengan
luas provinsi Limburg di Belanda) dan kira-kira 1/3 dari seluruh residentie
Surakarta.
lv
c. Kondisi Alam
Wilayah Wonogiri terbagi oleh lembah-lembah sungai yang cukup
subur. Sungai Semangir setelah melewati sela-sela gunung di perbatasan
Madiun memasuki lembah sawah yang luas, yang kemudian namanya berubah
menjadi Sungai Wayang. Sungai ini kemudian bersatu dengan Sungai Pidekso
yang mengalir melalui tanah pegunungan yang berpenduduk jarang sebelum
masuk ke desa Pidekso, dan setelah bertemu dengan Sungai Pidekso kemudian
berganti nama menjadi Sungai Sembuyan. Di dekat Desa Kakap, sungai
tersebut kemudian mengalir di lembah Baturetno yang cukup luas. Di sebelah
barat daya Wonogiri mengalir Sungai Rawan dengan cabangnya, yaitu Sungai
Kebonagung. Di sebelah utaranya dari sebelah timur mengalir cabang sungai
pertama yang penting di dekat desa Baturetno dari Bengawan Solo, yakni
Sungai Janglot. Di sebelah utaranya Sungai Janglot mengalir Sungai Kulur
atau Sungai Wiroko yang berasal dari perbatasan Madiun ke dalam Bengawan
Solo. Sungai Kulur, mengalir sejajar dengan Sungai Keduwang, yang hampir
terus menerus melewati lembah-lembah yang sempit yang sering kali meluap
airnya, sehingga Bengawan Solo mulai desa Somoulun (tempat Sungai
Keduwang bermuara di Bengawan Solo) dapat dilayari oleh perahu-perahu,
terutama pada musim hujan (Muhlenfeld, 1914: 5-6).
Wilayah Wonogiri curah hujannya cukup tinggi yaitu mencapai ratarata antara 56 – 135 mm dalam 24 jam. Di wilayah ini juga terdapat 5 pos
pengamat curah hujan. Di sebelah barat laut, letaknya di Wonogiri yaitu di
halaman kontrolir, sebelah barat daya terletak di halaman rumah mantri
penjual candu Baturetno, sebelah timur laut terletak di halaman rumah penjual
candu Purwantoro, dan sebelah timur di halaman rumah mantri gunung
Jatisrono (Muhlenfeld, 1914).
Secara umum, keadaan tanah di wilayah Wonogiri memang relatif
kurang subur, tanah-tanah itu terdiri dari tanah-tanah ladang sehingga sangat
cocok
ditanami
dengan
tanaman
keras.
Pada
masa
pemerintahan
Mangkunegara IV di wilayah ini dimanfaatkan untuk penanaman kopi dan
untuk percobaan penanaman tanaman keras, seperti nila. Sebagian kecil
lvi
daerah ini adalah daerah yang berada di sebelah timur antara lain: Keduwang
(yaitu daerah Jatisrono, daerah Ngadirojo, daerah Girimarta), dan daerah
Honggobayan (yaitu daerah Jatipurna dan Jumapala). Tanah-tanah di daerah
ini bersifat aluvial dan lotosal yang cocok untuk daerah pertanian
(Muhlenfeld, 1914: 8).
Berbeda halnya dengan Wonogiri, kondisi tanah di wilayah
Kawedanan kota Mangkunegaran yang meliputi wilayah Pajang, Haribaya dan
sebagian wilayah Sukowati Barat dan Timur, yang tanahnya relatif subur.
Daerah-daerah ini merupakan dataran rendah dengan lembah yang sangat
subur karena adanya pertemuan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Di
daerah-daerah ini banyak ditemukan sumber mata air, sehingga cocok untuk
tanaman pangan seperti padi dan palawija. Pada masa pemerintahan
Mangkunegara IV di wilayah ini juga dimanfaatkan untuk penanaman tebu,
sehingga di daerah ini dapat ditemukan 2 pabrik gula Colomadu dan
Tasikmadu, yang keduanya adalah milik praja Mangkunegaran.
2. Kondisi Demografi Wonogiri
Sistem pelapisan sosial di pedesaan menurut Jaarlijksch Verslag tahun
1852 yang dikutip oleh Dwi Ratna Nurhajarini (2006: 60), pada umumnya
dibedakan atas 4 golongan. Keempat golongan itu adalah:
1. Kuli kenceng atau kuli kuwat, yaitu warga masyarakat desa yang memiliki
rumah, tanah pekarangan dan sawah. Golongan ini memiliki hak dan
kewajiban penuh atas segala kegiatan desa dan pemerintahan yang ada di
atasnya dan memiliki kedudukan sosial paling tinggi di masyarakat. Bekel dan
kepala-kepala rendahan lainnya berasal dari lapisan sosial ini. Untuk
memperkuat kedudukan, mereka menjalin hubungan perkawinan agar tetap
mengontrol perkembangan politik di pedesaan
2. Kuli setengah kenceng atau kuli kendho, yakni mereka yang memiliki
pekarangan dan rumah tetapi tidak memiliki sawah. Golongan ini sering
menjadi petani penggarap, penyewa atau
lvii
penyakap. Kelompok ini
kedudukannya lebih rendah dari kuli kenceng. Oleh karena itu, hak dan
kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya juga lebih sedikit
3. Golongan tumpang atau indhung adalah mereka yang hanya memiliki rumah
yang didirikan di atas pekarangan orang lain. Kebanyakan mereka hidup
sebagai pekerja atau buruh tani pada petani yang lebih kaya
4. Golongan tumpang tlosor, mereka tidak memiliki rumah, pekarangan atau
sawah dan tinggal bersama dengan keluarga lain. Kedua golongan terakhir
merupakan lapisan masyarakat yang paling rendah kedudukannya. Di samping
itu, hak dan kewajiban di lingkungan masyarakat juga paling sedikit, mereka
tidak dipungut pajak, tetapi tenaga kerjanya dimanfaatkan oleh yang
menanggung makan dan tempat tinggal mereka.
Pelapisan sosial juga terjadi pada tataran kehidupan yang lebih sempit.
Pada organisasi perkebunan misalnya, juga telah terjadi pelapisan sosial di
dalamnya yang terdiri atas:
1. Lapisan paling atas adalah mereka yang termasuk pengambil prakarsa
produksi, pemilik modal, dan para pengusaha; golongan ini ditempati oleh
orang-orang kulit putih (Belanda)
2. Lapisan kedua merupakan lapisan menengah, tugasnya sebagai perantara
pengelola dengan tenaga kerja perkebunan. Pada lapisan kedua ini, terpilahkan
menjadi tiga, yaitu:
a.
Lapisan menengah atas terdiri atas para administratur
b.
Lapisan menengah tengah terdiri atas para pengawas
c.
Lapisan menengah bawah terdiri atas para pembantu dan mandor
3. Lapisan paling bawah adalah para tenaga buruh sebagai pekerja perkebunan
Mangkunegara I membagi wilayah Wonogiri menjadi 5 daerah yang
masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai
metode dalam menyusun strategi kepemimpinan. Kelima daerah tersebut
adalah:
1. Nglaroh yaitu wilayah Wonogiri bagian utara (sekarang merupakan daerah
Selogiri). Sifat rakyatnya bandol ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani
dan jasmani, memiliki sifat bergerombol, pemberani, suka berkelahi, segi
lviii
positifnya hal ini dapat digunakan sebagai landasan untuk menggalang
persatuan dan kesatuan.
2. Sembuyan
yaitu
wilayah
Wonogiri
bagian
selatan
(Baturetno
dan
Wuryantoro). Sifat rakyatnya kutuk kalung kendho yang berarti penurut,
mudah diperintah pimpinan atau paternalistik.
3. Wiroko yaitu wilayah sepanjang kali Wiroko atau bagian tenggara wilayah
Wonogiri (Tirtomoyo). Sifat rakyatnya kethek saranggon yang berarti suka
hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung, kurang sopan santun.
4. Keduwang yaitu wilayah Wonogiri bagian timur. Sifat rakyatnya lemah bang
gineblegan bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuktepuk, yang berarti suka foya-foya, boros, sulit melaksanakan perintah, namun
jika pemimpin tersebut bisa memahami mereka maka mereka akan mudah
diarahkan.
5. Honggobayan yaitu daerah timur laut Wonogiri yang berbatasan daerah
Jatipurno dan Jumapolo. Sifat rakyatnya asu galak ora nyathek yang berarti
terkesan kasar dan menakutkan tapi sebenarnya baik hati dan tanggungjawab.
(Pemda Wonogiri: 1991: 9).
B.
Perkebunan Kopi Mangkunegaran
Dalam paruh kedua abad XIX pertumbuhan ekonomi Belanda
menginjak proses industrialisasi bersamaan dengan munculnya modal di satu
pihak dan kelas menengah di pihak lain. Proses itu kesemuanya
melatarbelakangi munculnya liberalisme sebagai ideologi yang dominan di
negeri Belanda, maka dampaknya dalam politik kolonial mengarah ke proses
liberalisasi sehingga sistem monopoli pemerintah secara bertahap mengalami
likuidasi.
Pada hakekatnya ekonomi politik pemerintah kolonial masih
melaksanakan prinsip eksploitasi, namun tidak lagi berdasarkan sistem
tradisional atau feodal, tetapi selaras dengan prinsip liberal. Prinsip liberal
pada dasarnya memberi kekuasaan kepada golongan swasta untuk melakukan
kegiatan kewiraswastaan. Oleh karena struktur agraris di Jawa masih terikat
lix
pada struktur tradisional, maka diciptakanlah seperangkat aturan yang
memungkinkan pihak swasta bisa berusaha secara bebas dan maksimal.
Dalam prinsip-prinsip ekonomi liberal secara formal memberi
kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya di satu pihak dan di
pihak lain menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan perkebunan. Tanah
dan tenaga kerja, dua faktor produksi tersebut dipakai secara maksimal oleh
pemerintah (Dwi Ratna N, 2006: 80).
Para pengusaha swasta menyewa tanah dari para abdi dalem, sentana
dalem, dan raja sendiri untuk ditanami berbagai tanaman komersial yang sama
dengan yang diperintahkan oleh Pemerintah Kolonial kepada penduduk
bumiputera dalam sistem tanam paksa. Hasilnya: kopi, nila, dan gula mulai
menjadi komoditas penting yang dihasilkan tanah-tanah apanage yang
sebelumnya lebih banyak ditanami tanaman pangan, khususnya padi. Kondisi
ini tentu saja telah “mengubah cara pemanfaatan faktor-faktor produksi tanah
dan tenaga kerja” serta stratifikasi sosial di praja Kejawen (Houben, 2002:
xi).
Kurang lebih tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme
modern. Hasil daripada revolusi industri selama dwi dasawarsa sebelumnya
dibuktikan dengan perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan
komunikasi yang modern. Volume perdagangan berkembang dengan pesatnya,
sedangkan perkembangan modal menunjukkan perbandingan jumlah yang
besar. Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan ekonomi Belanda
dengan negara-negara tetangga. Politik “pintu terbuka” di Hindia Belanda dan
perkembangan perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil
daerah koloni lebih banyak mencari pelemparan di negara asing daripada di
Netherland sendiri. Sejumlah besar perkebunan-perkebunan yang didirikan
sesudah tahun 1870 merupakan objek penanaman modal (Sartono Kartodirjo,
1967: 19).
Tahun 1870 pada umumnya dianggap sebagai titik balik di dalam
sejarah politik kolonial Belanda dengan satu-satunya alasan karena pada tahun
tersebut Undang-undang Agraria disahkan dan dijalankan. Pengambilan alih
lx
tanah penduduk pribumi dilarang. Orang-orang asing diperbolehkan menyewa
tanah perkebunan dalam jangka waktu 5 tahun.
Peraturan yang pertama dimaksudkan sebagai cara untuk mencegah
segala kejahatan-kejahatan dari kekuasaan yang tidak terkendali untuk
mengambil alih hak milik atas tanah. Di sini ide humaniter tampak jelas
sekali. Tetapi peraturan yang kedua dihubungkan dengan kepentingan
perusahaan yang akan memberi jalan kepada pengusaha-pengusaha swasta
untuk memakai tanah penduduk. Akan tetapi tanah dan tenaga kerja
merupakan satu kesatuan dan kedua-duanya begitu terikat di dalam organisasi
politik penduduk pribumi sehingga orang yang mengambil tanah itu dapat
menyelewengkan hasil-hasilnya sebanyak yang dikehendakinya. Meskipun
tenaga kerja harus diperoleh berdasarkan kontrak, namun permintaan yang
melampaui batas tidak dapat dicegah, karena rakyat kecil tidak berdaya
menghadapi kepala-kepala mereka atau pengusaha-pengusaha perkebunan
Belanda. Sistem yang baru itu mempunyai akibat yang menguntungkan, akan
tetapi hampir tidak dapat menduga konsekwensi-konsekwensi lainnya, di
mana akhirnya “kebebasan berusaha” sebagai cita-cita sosial dan ekonomi
hampir menjadi kata-kata lain dari eksploitasi kapitalis. Kenyataannya,
undang-undang agraria memberi jaminan modal Eropa yang ditanam di
berbagai perkebunan. Lagipula undang-undang ini menciptakan kondisikondisi yang menguntungkan, seperti tenaga kerja yang murah dan jaminan
atas hak-hak (Sartono Kartodirjo, 1967: 21-22).
1. Latar Belakang Munculnya Perkebunan Kopi Mangkunegaran
Kedua kerajaan (Kasunanan dan Kasultanan) secara nominal masih
tetap independent setelah tahun 1830, keduanya tidak bisa lolos dari
pemberlakuan sebuah peraturan yang mempunyai sejumlah kemiripan dengan
aturan-aturan Belanda di dalam kerangka sistem tanam paksa. Peraturan
tersebut, yaitu kesepakatan bahwa oleh raja-raja Jawa, pemerintah akan
dipasoki kopi yang dipanen oleh penduduk Jawa dengan imbalan sejumlah
remunerasi untuk pemasoknya sendiri dan sejumlah tertentu lainnya untuk
lxi
raja Jawa yang bersangkutan. Hal ini memang benar-benar menyerupai aturanaturan yang ada dalam struktur sistem tanam paksa, kendati dengan perbedaan
mendasar, yaitu dalam hal ini, tidak adanya tekanan atau paksaan untuk
berproduksi (Houben, 2002: 551-552).
Menurut Suhartono (1991: 16-18), di Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta tidak diberlakukan tanam paksa, justru yang berkembang di
daerah ini adalah sewa lahan oleh pihak swasta. Persewaan tanah ini
berhubungan erat dengan kebijakan yang digariskan oleh Keraton. Sebagai
kerajaan agraris, Mataram mempunyai sistem pemerintahan yang relatif
teratur berdasarkan pada mekanisme tanah kerajaan. Dalam konsep ini, pada
dasarnya seluruh tanah kerajaan adalah milik raja. Karena status dan perannya,
maka famili dan birokrat kerajaan mendapatkan lungguh atau sebidang tanah
untuk dikelola yang dimaksudkan sebagai balas jasa karena telah mengabdi
kepada Kerajaan. Abdi Kerajaan yang mendapatkan lungguh itu disebut
sebagai patuh. Lungguh ini dapat diasosiasikan sebagai upah seorang abdi
kepada Kerajaan.
Mangkunegara IV sebagai seorang penguasa di Mangkunegaran
berusaha untuk merubah struktur perekonomian dalam wilayahnya. Beliau
tertarik dengan sistem pertanian komersial atau perusahaan perkebunan yang
dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Terlebih lagi dengan sistem
cultuurstelsel yang banyak mendatangkan keuntungan. Dari situ muncullah
gagasan Mangkunegara IV untuk menerapkan metode dan teknologi
pengelolaan pertanian dan perkebunan komersial dengan mendirikan dan
menanamkan modal pada usaha-usaha kopi dan tebu. Adapun faktor-faktor
yang mendorong Mangkunegara IV untuk mengembangkan perkebunan kopi
di wilayah Mangkunegaran yaitu antara lain:
a. Kondisi Geografis
Dilihat dari kondisi alamnya, wilayah swapraja Mangkunegaran
sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan, misalnya di daerah Wonogiri
dan sebagian Karanganyar, dan Karangpandan. Bagian selatan dari daerah
Mangkunegaran mencapai bagian timur dari Gunung Sewu dan sampai pada
lxii
Samudera Hindia. Pengaruh pegunungan Sewu di bagian selatan dan Lawu di
sebelah timur besar sekali. Dataran rendah yang membentang di bagian
tengah, berupa tanah persawahan dapat dialiri sungai – sungai yang bersumber
dari pegunungan tersebut. Wilayah barat merupakan daerah tersubur di antara
seluruh daerah Mangkunegaran, yaitu Malangjiwan dan Kartosuro. Di daerah
barat merupakan daerah subur, karena termasuk dataran rendah yang
terpengaruh zat – zat vulkanis (Metz, 1986: 14).
Sebagian besar perkebunan kopi yang ada terletak di wilayah Surakarta
dan kemudian di dataran tinggi lereng-lereng timur Gunung Merapi dan
lereng-lereng barat Gunung Lawu. Umumnya daerah-daerah ini (khususnya
setelah Perang Jawa) merupakan areal yang sangat jarang penduduknya
(Houben, 2002: 559).
Penanaman kopi dilakukan di wilayah-wilayah dataran tinggi, terutama
di Wonogiri dan Tawangmangu, sedangkan di wilayah dataran rendah
dimanfaatkan
untuk
membudidayakan
tanaman
tebu.
Pada
awalnya
Mangkunegara IV hanya tertarik untuk membudidayakan kopi karena telah
mempunyai pengalaman sendiri dalam pembudidayaan tanaman kopi di tanah
lungguhnya di Baturetno yaitu saat masih menjabat sebagai patih pada masa
pemerintahan Mangkunegara III (S. Margana, 1997: 73).
b. Ekonomi
Houben dalam S. Margana (1997: 76), menyebutkan bahwa total
hutang yang menjadi tanggungan dari kedua kalangan istana Surakarta,
Kasunanan dan Mangkunegaran sampai tahun 1830 mencapai 1,6 juta gulden.
Jumlah ini sedikit lebih besar dari yang dinyatakan oleh Gubernur Jenderal
pada tanggal 13 November 1830, di mana dalam keputusan itu jumlah hutang
kalangan istana Surakarta hanya 1,2 juta gulden. Sebagian besar dari hutanghutang itu merupakan kompensasi
yang harus dibayarkan oleh para
bangsawan sebagai akibat pelarangan persewaan tanah apanage pada tahun
1823. Sebagian besar dari hutang-hutang itu (diperkirakan oleh Nahuys 1,1
juta gulden) merupakan hutang-hutang perseorangan dan hutang atas nama
lxiii
pemerintah. Dari jumlah itu yang telah dibayarkan kembali baru f 650.000,
yaitu dari Susuhunan Pakubuwono IV dan Mangkunegara II.
Untuk mengatasi masalah hutang dari pejabat Mangkunegaran ini
pemerintah berjanji akan membantu untuk meringankan beban hutang di
kalangan para bangsawan Surakarta. Pada tanggal 13 November 1830,
pemerintah mengeluarkan sebuah dekrit yang berisi pemberian keringanan
pengembalian hutang-hutang kalangan istana dengan bunga 6 % per tahun,
dan boleh dibayar dalam jangka waktu 15 tahun. Hingga tahun 1843, hanya
Sunan dan Mangkunegara yang dapat mengangsur hutang-hutangnya. Setiap
tahun Mangkunegara III mengangsur hutangnya sejumlah f 12.500. Angsuran
ini dapat dibayarkan dari hasil penjualan kopi yang dibudidayakan di
wilayahnya. Hingga meninggalnya, Mangkunegara III masih mewariskan
hutang kepada penerusnya sejumlah f 46.000.00. Jika hutang itu dijumlahkan
dengan hutang-hutang yang masih menjadi tanggungan para bangsawan
Mangkunegaran yang lain, maka jumlah hutang keseluruhan dari kalangan
istana Mangkunegaran sendiri mencapai f 100.000,00 (S. Margana, 1997: 76).
Pembangunan industri perkebunan, terutama perkebunan kopi oleh
Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional karena sejumlah alasan.
Pertama, kopi merupakan produk eksport yang pada waktu itu berkembang
pesat di pasaran dalam negeri maupun internasional. Kedua, tanaman kopi
sudah pernah dibudidayakan pada masa Mangkunegara II dengan bibit kopi
yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini, Bulukerto yang diusahakan
oleh para penyewa tanah Eropa. Ketiga, sumber – sumber pendapatan praja
secara tradisional melalui pajak dan persewaan tanah tidak mencukupi.
c. Politik
Menurut W. E. Soetomo Siswokartono (2006: 111), dasar pemahaman
bahwa Mangkunegaran menamakan diri ”nagari”, karena secara historis sejak
kelahiran Kadipaten Mangkunegaran itu, berbeda dari kadipaten-kadipaten
yang lain. Kadipaten-kadipaten yang lain adalah bagian dan bawahan Sri
Susuhunan, sedangkan Kadipaten Mangkunegaran adalah vasal Kompeni
seperti halnya nagari Kasunanan Surakarta. Dengan demikian kedudukan Sri
lxiv
Mangkunegara bukan bawahan Sri Susuhunan, melainkan sejajar dengan Sri
Susuhunan. Dengan pemahaman ini, maka hubungan Mangkunegaran dengan
Kasunanan Surakarta seperti koalisi (coalition government).
Secara politik kekuasaan Mangkunegaran hanya sebagai Adipati, jauh
lebih lemah dibandingkan dengan Kasunanan. Di sinilah sikap akomodatif
Mangkunegaran dapat dipahami. Bahkan pada tahun 1808 atas perintah
Gubernur Jenderal Daendels, Mangkunegara II membentuk ”Legiun
Mangkunegaran” yakni 1150 orang prajurit yang terdiri atas pasukan infanteri,
kavaleri dan artileri yang dibiayai oleh Pemerintah Belanda. Legiun ini
nantinya melaksanakan tugas untuk membantu Belanda, antara lain dalam
penyerangan Yogyakarta (1812), Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang
Aceh (1873-1874). Keterlibatan Mangkunegaran membantu Pemerintah
Belanda dalam perang-perang tersebut, menyebabkan posisi tawar politik
Mangkunegaran
menjadi
semakin
tinggi.
Hal
ini
mengakibatkan
Mangkunegaran merasa tidak lebih rendah daripada Kasunanan, kecuali dalam
hal gelar (http://www.duto.wordpress.com).
Menurut Wasino (2008: 40), secara politik posisi Kasunanan lebih
diakui oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pewaris Kerajaan Mataram
yang paling senior, namun dari sudut lain yaitu dalam pengembangan bisnis,
Mangkunegaran
jauh
lebih
maju.
Dengan
berkembangnya
bisnis
Mangkunegaran, maka Mangkunegaran mempunyai kontribusi besar bagi
perkembangan
ekonomi
kota
Surakarta
dan
sekitarnya.
Perkebunan
Mangkunegaran ini membentang di wilayah seperti Karanganyar, Sukowati
(Sragen) dan Wonogiri.
Berkat pergaulan Mangkunegara IV dengan bangsa Barat, khususnya
dengan orang-orang Belanda, serta kejelian pengamatannya baik selama masih
di medan perang sebagai prajurit maupun setelah menjadi pepatih Dalem,
menyadarkannya bahwa pemerintah Hindia Belanda memperoleh keuntungan
akibat monopoli. Pemahamannya itu telah membuka mata dan pikirannya
untuk meniru pemerintah Hindia Belanda, walau dalam skala kecil. Hal itu
dilakukan karena ia adalah seorang intrepeneur yang mampu menerjemahkan
lxv
kondisi yang dihadapi dan kondisi yang dimiliki, untuk mengambil langkahlangkah inovatif, yang pada waktu itu belum dilakukan baik oleh para
pendahulunya. Jiwa intrepreneurship Mangkunegara IV itulah yang telah
mendorong lahirnya kebijakan menarik tanah-tanah yang disewakan, dan
menggarap
tanah-tanahnya
sendiri.
Dukungan
residen
Surakarta
Neuwenhuyzen membuktikan betapa baiknya hubungan antara dirinya dengan
pemerintah Hindia Belanda yang diwakili residen Surakarta (W. E. Soetomo
Siswokartono, 2006: 127).
Faktor lain yang menyebabkan atau mendorong pembangunan
perkebunan Mangkunegaran adalah kepentingan pihak trah Mangkunegaran
untuk menunjukkan posisinya yang lebih menonjol dalam bidang ekonomi
dibanding dengan ketiga praja kejawen lainnya, yakni Kasunanan, Kasultanan
dan Pakualaman. Strategi ini sebagai kelanjutan dari strategi lain seperti
pembangunan korp militer dengan nama Legiun Mangkunegaran, dan politik
perkawinan dengan keluarga Kasunanan.
2. Pengelolaan Perkebunan Kopi Mangkunegaran pada masa
Mangkunegara IV
Kopi memiliki istilah yang berbeda-beda, masyarakat Indonesia
menyebutnya dengan istilah kopi, sedangkan di negara lain dilafalkan menjadi
coffee (Inggris), cafe (Prancis), kaffee (Jerman) dan quahwa (Arab). Sejarah
kopi dapat ditelusuri jejaknya dari sekitar abad 9, di dataran tinggi Ethiopia.
Dari sana lalu menyebar ke Mesir dan Yaman, dan kemudian pada abad 15
menjangkau lebih luas ke Persia , Mesir, Turki dan Afrika Utara. Dari dunia
Muslim, kopi menyebar ke Eropa, di mana minuman ini menjadi populer
selama abad ke-17. Orang Belanda adalah yang pertama kali mengimpor kopi
dalam skala besar ke Eropa, sedangkan penyebaran tumbuhan kopi ke
Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 (sekitar
tahun 1646) yang mendapatkan biji Arabika Mocca dari Arabia ke Jakarta.
Kopi Arabika pertama kali ditanam dan dikembangkan di timur Jatinegara,
dengan menggunakan tanah partikelir Kesawung, kemudian kopi Arabika
lxvi
menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten,
dan Priangan melalui sistem tanam paksa (www.google.co.id).
Mangkunegara
IV
mulai
merintis
jalan
untuk
membangun
perekonomian kerajaan berdasarkan sistem ekonomi perkebunan, yaitu dengan
menarik tanah-tanah apanage dari para keluarga kerajaan maupun dari para
penyewa tanah Eropa. Setelah tanah-tanah apanage itu ditarik kembali, maka
selanjutnya akan dimanfaatkan sendiri untuk pembudidayaan tanaman
perkebunan. Tanaman perkebunan yang diujicobakan di tanah-tanah bekas
apanage itu seperti: kopi, tembakau, tebu, indigo dan kina. Dari beberapa
ujicoba tanaman itu, kopi dan tebu merupakan tanaman yang paling luas
dibudidayakan (S. Margana, 1997: 87). Tanaman seperti tebu, indigo, dan
tembakau ditanam di sawah secara bergantian dengan padi, sedangkan
tanaman lainnya seperti kopi, teh, lada, kina dan kayu manis tidak dapat
ditanam di sawah, melainkan banyak ditanam di tanah yang tanpa irigasi atau
disebut waste land (tanah yang tidak ditanami). Kopi dapat ditanam pada
tanah yang lebih tinggi (Djoko Suryo, 1989: 18).
Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran telah cukup lama
berlangsung. Pada tahun 1814, telah dimulai penanaman kopi secara besarbesaran. Bibit kopi yang diperlukan pada waktu itu diperoleh dari Kebun Kopi
Tua Gondosini di daerah Bulukerto, Wonogiri. Pangeran Ario Gondokusumo
(Mangkunegara
IV)
sangat
memperhatikan
komoditi
kopi.
Karena
perhatiannya yang besar terhadap usaha perkebunan itu, ia turut serta dalam
pengelolaannya. Pada waktu itu, penanaman kopi selain diusahakan oleh pihak
Mangkunegaran, juga diusahakan oleh para pemegang apanage di tanahtanahnya sendiri (W. E. Soetomo Siswokartono, 2006: 169).
Pada tahun 1833 dapat diberitahukan, bahwa produk itu diteruskan ke
kebun-kebun yang teratur, yang ditanam dengan kerja rodi, dirawat dan
dipetik serta pengirimannya dilakukan dengan kerja tanpa upah. Dengan
adanya Perang Jawa (1825-1830) maka tanaman itu terabaikan, dan hasilnya
berkurang sampai kira-kira 750-950 kuintal per tahun (H. R. Soetono, 2000:
15).
lxvii
Tidak lama setelah dinobatkan, Mangkunegara IV mulai memperluas
tanaman kopi ke wilayah Honggobayan, Keduwang dan Karangpandan. Hal
ini dikarenakan beberapa tempat yang cocok untuk penanaman kopi ini masih
berada di tangan para penyewa, seperti wilayah Manggis dan Asinan, maka
untuk memperluas pembudidayaan kopi, Mangkunegara IV melakukan
pembabatan hutan di wilayah Wonogiri (S. Margana, 1997: 87).
Semula perkebunan kopi ditanam di pekarangan yang dikenal dengan
nama pagerkoffic atau pakopen atau di kebun-kebun lingkungan desa
(kampongkoffic). Desa di wilayah Mangkunegaran bukanlah suatu lembaga
otonom yang merupakan lembaga terpisah dari pemerintah pusat melainkan
sebuah komunitas yang memiliki hubungan dengan kekuasaan supradesa
yakni praja Mangkunegaran (Wasino, 2008: 39). Dilaksanakannya tanam
paksa di daerah Mangkunegaran, maka berkembang pulalah perusahaan
perkebunan atau pengusaha swasta Barat. Konsekuensi dari mekanisme ini
menjadikan semakin terbukanya kesempatan bagi perusahaan perkebunan
swasta untuk menyewa tanah-tanah apanage (lungguh) di Mangkunegaran.
Di mata orang-orang Jawa, orang-orang Eropa penyewa tanah tidak
lebih dari seorang bekel biasa. Pertama-tama penyewa tanah orang Eropa
menciptakan hubungan dengan para pemegang apanage (lungguh), sehingga
mendapatkan tanah yang cukup berdekatan. Lalu mereka melakukan negoisasi
mengenai besarnya sewa dengan masing-masing pemegang tanah apanage
(lungguh) itu, sebelum akhirnya sampai pada kesepakatan untuk mengikatkan
diri dengan membayar sejumlah tertentu setiap tahunnya dalam bentuk uang
kepada pemegang tanah apanage (lungguh) yang bersangkutan. Mereka juga
harus membayar pajak sewa yang disebut bekti kepada pemegang tanah
apanage (lungguh). Bekti bisa berupa uang atau semacam hadiah (biasanya
berupa barang-barang mewah dari Eropa).
Selanjutnya berkembang dua macam hubungan antara orang Eropa
dengan orang Jawa. Bentuk pertama yang disebut sistem bengkok. Sistem ini
memberi kebebasan kepada petani untuk menanami separo tanah yang
menjadi haknya. Untuk separo tanah yang lain, petani harus menyediakan
lxviii
tenaganya bagi tuan tanah bangsa Eropa, dalam arti bahwa mereka harus
mengerjakan tanah sebagai ganti pembayaran uang sewa serta dalam
mengerjakan tanahnya mereka harus bekerja sesuai petunjuk-petunjuk
penyewa tanah tersebut. Sistem ini digunakan untuk perkebunan kopi dan
coklat. Bentuk yang kedua adalah sistem glebagan, sistem ini lebih sering
dipilih karena pada sistem glebagan tanah digarap berganti-ganti. Untuk
daerah swapraja, hal ini sering tampak pada lahan tebu dan tembakau. Sistem
penanaman secara bergantian lebih banyak menguntungkan perusahaanperusahaan perkebunan bangsa Eropa sehingga sistem ini sering dipraktekkan
oleh perusahaan perkebunan swasta (Rouffaer: 1983: 49).
Sejak dekade pertama perluasan penanaman kopi telah memperoleh
peningkatan hasil yang cukup baik. Dari 1.208 kwintal pada tahun 1842 telah
meningkat menjadi 11.145 kwintal pada tahun 1857. Namun demikian, hasil
ini baru 5 % dari jumlah keseluruhan produksi kopi di wilayah Surakarta pada
tahun yang sama. Oleh karena itu, pada tahun 1857 Mangkunegara IV
bersikeras untuk mencoba mengakhiri persewaan tanah apanage di
wilayahnya
agar
ia
dapat
mengambilalih
pembudidayaan
kopi
di
Mangkunegaran dari para pengusaha Eropa (S. Margana, 1997: 87).
Dalam praja Mangkunegaran sendiri terdapat pergeseran sebagai
akibat pengembalian tanah-tanah sewa, yaitu selain kopi yang awalnya
dikelola oleh pihak perkebunan swasta (kopi onderneming) menjadi ”kopi
desa”, ada juga perubahan lain menyusul penarikan apanage oleh
Mangkunegara IV, dari kopi apanage menjadi kopi negara. Pendapatan yang
diterima praja dari kopi tergantung pada jumlah dan harga, jadi tidak dapat
dipastikan seluruhnya (H. R. Soetono, 2000: 17).
Pada tahun 1850-an baru ada empat wilayah penting bagi penanaman
kopi di Mangkunegaran, tetapi sejak pembebasan tanah-tanah apanage telah
berkembang menjadi 24 wilayah penting. Penanaman kopi di 24 wilayah di
Mangkunegaran
ini
ditangani
secara
serius,
dengan
mendatangkan
administratur kopi dari Eropa, Rudolf Kampff untuk mengorganisir
pananaman kopi. Dari 24 wilayah itu, masing-masing dikepalai oleh seorang
lxix
administratur, yang bergelar panewu kopi dan mantri kopi. Di setiap daerah
didirikan
sebuah
gudang
untuk
penampungan
kopi
dan
sebuah
”pesanggrahan” atau pos sebagai tempat tinggal para administratur itu. Ke-24
administratur kopi itu berada di bawah kendali dua orang penilik atau
inspektur Eropa, yaitu L. J. Jeanty dan J. B. Vogel yang masing-masing
berkedudukan di Tawangmangu dan Nguntoronadi. Masing-masing penilik itu
membawahi 12 wilayah. J. B. Vogel membawahi wilayah-wilayah:
Karangpandan, Tawangmangu, Jumapolo, Jumapuro, Jatipuro, Ngadirojo,
Sidoarjo, Girimarto, Jatisrono, Slogohimo, Bulukerto dan Purwantoro.
Sedangkan L. J. Jeanty membawahi wilayah-wilayah: Nguntoronadi,
Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno,
Selogiri, Singosari dan Ngawen. Kedua inspekstur itu bertanggungjawab
terhadap seorang superindentent dari Kawedanan Kartoprojo. Vogel
membawahi 9 administratur Eropa dan 3 orang panewu kopi Jawa, sedangkan
Jeanty membawahi 7 orang administratur Eropa dan 3 mantri kopi Jawa.
Pejabat superindentent pada saat itu adalah Raden Mas Wirohasmoro (W. E.
Soetomo Siswokartono, 2006: 175).
Sejak diadakan reorganisasi dalam penanaman kopi pada tahun 1863,
maka jumlah keseluruhan tanaman kopi di Mangkunegaran menjadi 6.056.203
pohon. Dari jumlah itu, 5.037.356 pohon di antaranya telah berbuah. Untuk
pemasarannya pemerintah Mangkunegaran tidak dapat menjual hasil produksi
ke pasaran bebas. Berdasarkan resolusi tanggal 31 Maret 1833 No. 18 yang
merupakan kesepakatan pemerintah Belanda dengan Mangkunegara II, bahwa
semua hasil produksi kopi Mangkunegaran harus dijual kepada pemerintah
kolonial. Berdasarkan resolusi itu, hasil produksi kopi Mangkunegaran harus
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga f 25,- per pikul, dipotong f 3,per pikul untuk biaya angkutan (S. Margana, 1997: 88).
Menurut Muhlenfeld (1914: 54), Gubernemen memborong kopi
Mangkunegaran, walaupun Mangkunegaran tidak diwajibkan menyerahkan
kopi, mula-mula dengan harga f 25,- per pikul, kemudian naik menjadi f 26,
lxx
66,- per pikul. Segala sesuatu didasarkan pada keputusan tanggal 31 Maret
1833 No.18. Alenia ketiga dari keputusan tersebut berbunyi:
“Sri Mangkunegara diizinkan untuk menyerahkan kopi di gudang-gudang
Gubernemen dengan harga f 25,- tiap pikul, asalkan kopi itu keadaannya
seperti yang diuraikan di dalam Reglement/peraturan, uang tersebut dikurangi
f 3 per pikul untuk biaya pengangkutan”.
Pada tahun 1835, ada perundingan tentang pengaturan hutang-hutang
Mangkunegaran kepada Gubernemen. Atas usul Residen Surakarta, disepakati
untuk tidak menahan semua uang tiap-tiap kali penerimaan Mangkunegaran
dari Gubernemen. Dengan peraturan yang disusulkan dalam resolusi atau
ketetapan tanggal 26 Januari 1836 No 14, atau pada awal pemerintahan
Mangkunegara III, disetujui usul tersebut. Dalam peraturan tersebut ditetapkan
bahwa apabila Mangkunegaran menyerahkan hasil panen kopi kurang dari
1.000 pikul, atau sekitar 617,16 kuintal, maka Gubernemen akan memotong
uangnya 50 %. Sebaliknya, jika Mangkunegaran mampu menyerahkan hasil
panen kopi lebih dari 1.000 pikul, yang dipotong Gubernemen sebagai
angsuran hutang-hutangnya hanya 1/3 nya saja (W. E. Soetomo Siswokartono,
2006: 171).
Dari pandangan di atas, dapat diketahui bahwa pada mulanya tidak ada
keharusan bagi Mangkunegaran untuk menjual hasil panen kopinya kepada
Gubernemen, akan tetapi hanya diberi kesempatan untuk menjualnya kepada
gudang-gudang milik Gubernemen. Pada tahun 1833, dan seterusnya mulai
ada penjualan hasil kopi dengan harga yang sama, yang juga berlaku di luar
Jawa. Bagi Mangkunegaran, penjualan hasil panen kopi dijadikan salah satu
angsuran hutang-hutangnya.
Di bawah ini disajikan daftar harga kopi yang biasanya selalu di bawah
harga pasaran bebas. Bagi Mangkunegaran, meskipun menjual dengan harga
yang sama, namun menerima lebih banyak, karena tidak dipotong untuk
membayar pajak tanah (landrent) kerajaan.
lxxi
Tabel 3. Harga Pembelian Kopi yang Ditetapkan Gubernemen
Tiap Pikul dengan Berat 10 Kati *)
Perincian
Masa
Bruto
Pajak
Tanah
f. 10,(f. 16,19)
Angkutan
Netto
Stbl. 1883 1833-1857
f. 25
f. 3,f. 12,No. 7 jo
(f. 40,47)
(f.4,86)
(f. 19,42)
Stbl. 1834
Stbl. 1858
1858
f. 19,53
f. 7,93
f. 2,60
f. 9,20
No. 20
(f. 31,40)
(f. 4,05)
(f. 4,05)
(f. 14,84)
Stbl. 1858
1859
f. 18,34
f. 8,34
_
f. 10,No. 129
(f. 29,60)
(f. 13,41)
(f. 16,19)
Stbl. 1860
1860
f. 19,16
f. 8,66
_
f. 10,50
No. 13
(f. 30,90)
(f. 13,84)
(f. 16,87)
Stbl. 1860
1861
f. 20,f. 9,_
f. 11,No. 109 a
(f. 32,30)
(f. 14,57)
(f. 17,81)
Stbl. 1861 1861-1873
f. 20,84
f. 9,34
_
f. 11,50
No. 122
(f. 33,52)
(f.15,03)
(f. 18,49)
Stbl. 1861 1861-1873
f. 20,84
f. 9,34
_
f. 11,50
No. 122
(f. 33,52)
(f.15,03)
(f. 18,49)
Stbl. 1873
No. 273 1874-1888
f. 25,f. 11,_
f. 14,jo
(f. 40,47)
(f. 17,81)
(f. 22,67)
Sbl. 1877
No. 257
Stbl. 1889
No. 22 jo 1889-1895
f. 26,66
f. 11,66
_
f. 15,Stbl. 1889
(f. 42,99)
(f. 18,70)
(f. 24,29)
No. 57
*) Angka-angka yang dikurung ( ), menunjukkan harga dalam kuintal.
Sumber: Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai
Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu, hal: 172
Sebenarnya harga kopi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk hasil
kopi Mangkunegaran ini sudah sama dengan harga pasaran bebas, tetapi
Mangkunegara IV masih berusaha untuk meminta kepada pemerintah kolonial
menaikkan harga kopinya. Usaha ini tidak sia-sia karena Residen Jeekel
memutuskan untuk menaikkan harga kopi Mangkunegaran menjadi f 26,66
per pikul.
Sesaat setelah Mangkunegara IV dinobatkan, maka dia segera
mengadakan perluasan penanaman kopi secara besar-besaran. Langkah awal
lxxii
yang ditempuh, adalah: memanfaatkan tanah-tanah yang belum dikerjakan,
menebang hutan-hutan milik Mangkunegaran dan meneruskan usaha para
pengusaha Eropa, yang karena habis masa kontraknya telah dikembalikan.
Akibat langkah inilah maka hasil panen kopi Mangkunegaran mengalami
kenaikan seperti di bawah ini:
Tabel 4. Hasil Kopi Mangkunegaran (dalam Kuintal)
Tahun
Hasil
Tahun
Hasil
Tahun
Hasil
1842
2,208
1856
2,787
1871
24,210
1843
2,775
1857
11,145
1872
29,236
1844
2,622
1858
6,352
1873
33,543
1845
2,033
1859
13,457
1874
43,959
1846
2,375
1860
8,361
1875
34,203
1847
2,075
1861
15,375
1876
32,491
1848
2,519
1862
10,009
1877
43,442
1849
1,747
1863
10,957
1878
9,441
1879
34,988
1880
36,112
1881
40,575
Rata-rata
1842-1849
2,169
9,811
1856-1863
32,925
1871-1881
Sumber: Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai
Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu, hal: 173
Dari angka di atas jelas bahwa perkebunan kopi di era Mangkunegara
III, produknya jauh lebih kecil dibandingkan di era Mangkunegara IV. Dengan
demikian Mangkunegara IV telah membuktikan bahwa strategi ekonominya
dalam usaha membangun Mangkunegaran melalui kebun kopi cukup berhasil.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai perbandingan produk kopi non
Mangkunegaran dengan produk kopi Mangkunegaran.
lxxiii
Tabel 5. Hasil Kopi di Surakarta (dalam Kuintal)
Masa
rata-rata
(tiap
tahun)
Mangkunegaran
(tidak termasuk
tanah yang
disewakan)
Sisa dari
seluruh
Surakarta
non M. N.
Persentase hasil
kopi
Mangkunegaran
Jumlah
1842-1849
2,169
39,262
41,431
5,23
1861-1863
12,127
38,020
50,203
24,12
Sumber: Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai
Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu, hal: 174
Dari angka di atas terlihat betapa besar hasil tanaman kopi di era
Mangkunegara IV. Walaupun tidak termasuk tanah-tanah yang disewakan,
jumlahnya sudah 24,12 % hasil kopi seluruh Surakarta.
Setelah ditariknya kembali tanah-tanah apanage kemudian dikelola
menjadi lahan perkebunan kerajaan. Sejak tahun 1867, mulai dilakukan
restrukturisasi dan reformasi fungsi kelembagaan desa di wilayah perkebunan
kerajaan ini. Reformasi ini dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu
restrukturisasi di bumi pakopen dan bumi patebon. Jika dalam sistem apanage
kelembagaan desa berfungsi untuk mengorganisir penyaluran sumber-sumber
ekonomi desa secara vertikal, dari rakyat desa kepada para patuh, maka dalam
kelembagaan desa yang baru di wilayah perkebunan kerajaan, kelembagaan
desa berfungsi sebagai alat kerajaan untuk mengorganisir eksploitasi atas
sumber-sumber ekonomi desa. Secara fungsional kelembagaan desa yang baru
di bumi perkebunan kerajaan ini mirip dengan fungsi kelembagaan desa di
wilayah gouvernement pada periode Tanam Paksa di Jawa.
Setelah selesai melaksanakan pembangunan pabrik gula yang pertama
di Malangjiwan. Atas saran Residen Nieuwehuijzen, Mangkunegara IV
kembali
meminta
Rudolf
Kampff
untuk
mengorganisir
perluasan
pembudidayaan kopi. Pada tahun 1867 ia mulai melakukan reorganisasi
penanaman kopi di Mangkunegaran (S. Margana, 1997: 93).
Sejak
dimulainya
reorganisasi
ini
jumlah
tanaman
kopi
di
Mangkunegaran telah mencapai 6.056.203 pohon yang dibudidayakan di tiga
wilayah penting yaitu Malangjiwan, Wonogiri, dan Tawangmangu. Dari tiga
lxxiv
wilayah itu pengelolaannya dibagi dalam 24 distrik yang masing-masing
dikepalai oleh seorang administratur atau opsiner. Setiap opsiner membawahi
beberapa kademangan, setiap kademangan dibagi dalam beberapa kabekelan
dan setiap kabekelan sedikitnya membawahi lima pedukuhan. Di atas
administratur duduk dua orang superintendent atau inspektur yang masingmasing mengawasi 12 distrik yang bertanggungjawab langsung terhadap raja.
Secara hierarkis struktur kelembagaan di bumi pakopen itu dapat dilihat dalam
skema di bawah ini:
Gambar 3. Struktur Kelembagaan Desa di Bumi Pakopen pada masa
Pemerintahan Mangkunegara IV
Raja
Ngabehi
Pulisi
Superintendent
Inspektur/Pengawas
Boekhourder/Sekretaris
Administratur/Opsiner
Kebayan Kajinemen Pakhuis Meester Ronggo-Demang Mandor Kopi/Memean
Mandor
Bekel
Narakarya
Sumber: S. Margana. 1997. Lembaran Sejarah volume 1 no 2: Kapitalisme
Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional: Perkebunan Kopi di
Mangkunegaran, 1853-1881. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan
Budaya UGM, hal: 94
lxxv
Dari ke-24 administratur, 16 orang di antaranya adalah orang Eropa,
yang kesemuanya dipilih sendiri oleh R. Kampff. Mengenai sepak terjang
Kampff, Muhlenfeld (1914: 51) mengutip laporan A. J Spaan sebagai berikut:
”Semenjak itu (tahun 1867) dapat dikatakan bahwa suatu sistem
budidaya telah dijalankan. Dengan cara bagaimana? Kecuali bahwa
tuan Kampff pergi ke sana ke mari dengan kemegahan seorang raja,
maka semua kepala dari mulai yang tertinggi sampai yang terendahjika tidak dengan cepat atau tidak cukup baik melaksanakan
perintahnya- dipecat atas anjurannya, dan dengan diganti orang lain
pilihannya sendiri. Semenjak itu, kedudukan pegawai budidaya
perkebunan perusahaan lebih tinggi dari pada pegawai kepulisian....
takutnya para kepala itu terhadapnya dilanjutkan sampai kepada
pengganti-penggantinya. Betapa besar energinya dan pengaruhnya
terhadap raja, namun bukan apa-apa jika dibandingkan dengan tuan
Kampff”.
a. Ngabehi Polisi
Tugasnya adalah mengatur keamanan desa, memproses perkara yang
terjadi di wilayah desa tersebut maupun membuat peraturan-peraturan agar
tidak terjadi kekacauan di desa (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah
No. 30, pasal 5).
b. Inspektur
Tugasnya adalah melakukan peninjauan di kebun-kebun kopi di
wilayah masing-masing, memeriksa dan melaporkan tugas-tugas yang
dilakukan oleh para administratur, yang dilakukan sebulan sekali. Jabatan ini
tidak terlalu dominan peranannya karena sebenarnya para administratur
berhak berhubungan langsung dengan raja (lebih jelasnya dapat dilihat di
lampiran naskah No. 30, pasal 4).
c. Sekretaris
Tugasnya adalah mengerjakan semua pekerjaan yang berhubungan
dengan tulis menulis dan berhubungna dengan perkopian, membantu di kantor
Kaprangwadanan dan memegang biaya perkopian (lebih jelasnya dapat dilihat
di lampiran naskah No.30, pasal 7).
lxxvi
d. Administratur dan Opsiner
Dalam struktur kelembagaan ini, administratur atau opsiner memegang
peranan paling dominan. Tugasnya adalah melakukan pepriksan atau tinjauan
di wilayah administrasinya masing-masing, yang dilakukan dua kali dalam
sebulan. Hasil peninjauannya itu dilaporkan langsung kepada raja sebulan
sekali. Seorang administratur bertugas pula mengatur tugas-tugas budidaya,
dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan hingga pengangkutan. Di samping
itu seorang administratur juga berhak mengatur penempatan rodi, pemberian
pekarangan bagi para penghuni baru, bahkan ia berhak dimintai pertimbangan
urusan keamanan atau kepolisian di wilayah administrasinya. Dengan seizin
raja seorang administratur dapat mengangkat dan memberhentikan seorang
bekel, dan jika dianggap penting seorang administratur juga boleh membuat
peraturan-peraturan bagi bawahannya. Mengenai peran dominan para
administratur ini dapat dilihat dari laporan Spaan dalam Muhlenfeld (1914:
53), yaitu sebagai berikut:
”Mereka itu semuanya orang Belanda kecuali 3 orang. Tiga orang itu
adalah orang Jawa. Masing-masing mengepalai suatu bagian atau
afdeling, dengan demikian mereka lebih penting dan lebih berpengaruh
daripada Bupati-Anom, padahal mereka menerima perintah lewat
Bupati-Anom, tetapi Bupati-Anom tidak langsung berpengaruh kepada
rakyat, sebab setelah mereka meneruskan perintah, mereka tidak ada
urusan lagi dengan pekerjaan administratur”.
Seorang administratur berhak mengangkat seorang kebayan, seorang
mandor memean, seorang mandor pakopen dan juga beberapa orang
kajineman, untuk membantu tugas-tugasnya. Seorang kebayan ditugaskan
untuk membantu administrasi, mandor memean untuk mengawasi penjemuran
kopi dan mandor pakopen mengawasi penanaman dan pemeliharaan kopi,
sedangkan fungsi kajineman adalah untuk menjaga keamanan. Untuk
pekerjaannya membantu administratur ini, seorang kebayan mendapat lungguh
sawah atau tegalan yang luasnya 2 bahu, mandor 1 bahu dan seorang
kajineman 2 lupit (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30,
pasal 3 bab 5).
lxxvii
e. Kepala Gudang (Pakhuis Mester)
Di setiap distrik terdapat sebuah gudang penampungan kopi yang
dikepalai oleh seorang Pakhuis Mester, yang dibantu beberapa mandor
pengawas, yang masing-masing mendapat gaji f 2, 50,- setiap bulannya. Tugas
seorang Pakhuis Mester adalah menerima dan memasok kopi ke gudanggudang kopi gouvenerment. Selama memasukkan ke gudang-gudang
gouvenerment, Pakhuis Mester harus menunggui sampai selesai penimbangan.
Setelah itu ia akan membuat layang kitir, yang memuat tentang keterangan
besar kecilnya jumlah kopi yang telah masuk ke gudang pemerintah. Layang
kitir itu kemudian diserahkan kepada orang desa yang menyerahkan kopi itu
yang kemudian diserahkan kepada administratur masing-masing, melalui
bekel atau demang (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30,
pasal 6 bab 1).
f. Rangga dan Demang
Fungsi Rangga dan Demang yakni sebagai kontrol terhadap wilayahwilayah yang berada di bawahnya, utamanya terhadap jalannya aktifitas
produksi di masing-masing kabekelan di wilayah kademangan-nya. Setiap
bulan rangga dan demang melakukan 4 kali peninjauan di kebun-kebun kopi
di wilayah masing-masing. Seminggu sekali mereka berkumpul di wilayah
administratur atau opsiner untuk melaporkan hasil peninjauannya. Selain itu
rangga dan demang juga diberi tanggungjawab terhadap tugas-tugas
keamanan di tingkat kademangan-nya. Mereka harus mengatur tugas-tugas
kemit (jaga malam) di rumah-rumah para administratur dan opsiner (lebih
jelasnya dapat dilihat di lampiran naskah No. 30, Pasal 2 bab 1).
g. Bekel
Fungsi bekel sebagai seorang mandor, karena tugas-tugas utama bekel
adalah mengawasi dan menjaga pemeliharaan tanaman kopi di wilayah
kabekelannya. Pada setiap akhir bulan, di mana saatnya para administratur
melakukan peninjauan, kebun-kebun kopi di wilayah kabekelannya harus
sudah bersih. Seorang bekel juga diberi tugas mengurusi urusan sipil, seperti
misalnya masalah penduduk yang melakukan eksodus yang sering terjadi pada
lxxviii
saat itu. Di bumi pakopen beban kerja wajib bagi rakyat kecil memang amat
berat. Oleh sebab itu, tidak jarang penduduk melakukan eksodus ke luar
wilayah
perkebunan.
Seorang
bekel
sedapat
mungkin
harus
tetap
mempertahankan rakyat di wilayahnya agar tidak melakukan eksodus ke
daerah lain. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kelancaran proses
produksi di wilayahnya (S. Margana, 1997: 96).
Untuk tanah para patuh yang disewa oleh perusahaan perkebunan
swasta, para pengusaha asing juga memperkuat peranan bekel untuk
mengawasi proses produksi di kabekelan-nya termasuk mengawasi keamanan
terhadap desa-desa, sehingga jelas bahwa perusahaan perkebunan swasta
memanfaatkan kekuasaan bekel sebagai pemimpin desa untuk mengerahkan
tenaga petani dan melaksanakan segala peraturan, pungutan ataupun
pengerahan tenaga kerja. Para bekel tersebut juga mempunyai kewajiban
untuk memberikan laporan mengenai kelakuan buruh dan bertanggungjawab
atas tindak tanduknya selama bekerja (Suhartono, 1991: 2).
h. Sikep
Di bawah sistem apanage, rakyat masih memiliki kebebasan untuk
memanfaatkan lahan sawahnya dengan ditanami berbagai macam tanaman
atau budidaya yang mereka sukai. Setelah tanah-tanah apanage ini dikuasai
oleh kerajaan, maka kini rakyat wajib membudidayakan tanaman yang telah
ditentukan oleh para sikep ini, hanya di wilayah pakopen yang dapat diketahui.
Di bumi pakopen, setiap petani yang memiliki tanah sanggan, baik
sawah maupun tegalan, diwajibkan untuk menanam kopi, yang jumlahnya
tidak sama di setiap wilayah. Di wilayah Gemawang, Keduwang dan
Honggobayan, setiap sikep masing-masing diwajibkan untuk menanam 500
pohon kopi dan 500 pohon dhadhap di sawahnya. Di wilayah Tawangmangu,
setiap sikep masing-masing diwajibkan menanam 800 pohon kopi dan 800
pohon dhadhap. Sementara itu di wilayah Gunung Kulon, setiap sikep wajib
menanam 1200 pohon kopi dan 1200 pohon dhadhap. Untuk rakyat desa yang
tidak memperoleh sanggan sawah ataupun tegalan, mereka juga tetap
diwajibkan menanam kopi dan dhadhap, yang jumlahnya separo dari jumlah
lxxix
pohon yang ditanam oleh para sikep (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran
naskah No. 30, Pasal 1 bab 3).
Dua jenis kopi yang dibudidayakan pada saat itu, yakni jenis Liberia
coffee dan Java coffee. Untuk tanah-tanah yang digunakan menanam kopi,
tidak dikenakan pajak. Untuk tugas-tugas penanaman dan pemeliharaan
dilakukan dengan kerja wajib, sedangkan untuk tugas-tugas pemetikan dan
pengangkutan dilakukan dengan kerja bebas. Untuk tugas-tugas penanaman
dan pemeliharaan, setiap sikep diperbolehkan untuk menggunakan 10 bahu.
Untuk tanaman yang masih muda, pembersihan tanaman kopi dilakukan setiap
sebulan sekali, sedangkan untuk kebun-kebun kopi yang telah berbuah hanya
dilakukan tiga kali setahun (S. Margana, 1997: 98).
Pada pokoknya kerja membangun kebun kopi baru terdiri dari
persiapan lahan untuk kebun kopi dan persemaian bibit, proses penanaman,
pemeliharaan,
dan
pemetikan
buah.
Pekerjaan
paling
berat
adalah
mempersiapkan lahan baru untuk lahan kopi dan lahan persemaian. Oleh
sebab itu pekerjaan ini biasanya dikerjakan oleh seluruh petani di desa-desa
secara bersama-sama. Selanjutnya proses penanaman, pemeliharaan, dan
panen kopi diserahkan pemerintah kepada keluarga petani secara individual
dengan tugas memelihara sejumlah pohon kopi (Djuliati Suroyo, 2000: 165).
Usaha-usaha untuk membudidayakan tanamam kopi dapat dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Peremajaan
Peremajaan adalah usaha menggantikan tanaman yang secara
ekonomis tidak menguntungkan lagi karena produktivitasnya rendah sehingga
perlu diganti dengan yang baru dan dapat menghasilkan produktivitas yang
tinggi.
2. Perluasan
Kegiatan perluasan adalah menanam tanaman kopi di areal baru yang
lingkungannya
sesuai
dengan
persyaratan
perkembangan tanaman kopi.
lxxx
untuk
pertumbuhan
dan
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi kebun adalah kegiatan untuk memulihkan kondisi kebun
ke keadaan yang lebih baik, sehingga produktivitasnya meningkat.
Rehabilitasi tanaman ditujukan pada populasi tanaman yang telah berkurang
karena kesalahan kultur teknis, serangan hama dan penyakit serta kekeringan
yang akan mengakibatkan produktivitas tanaman per hektar rendah atau tidak
menguntungkan untuk diusahakan (http://asmacs.wordpress.com).
Kebijakan pemerintah menghargai perkembangan hasil tanaman
komoditi perdagangan pada umumnya dan tanamam kopi pada khususnya,
dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan eksport yang lebih tinggi
melalui peningkatan hasil produksi dan dapat mengubah kehidupan sosial
ekonomi petani kecil menjadi lebih baik. Untuk mencapai proyek produksi
kopi yang baik tersebut, dilakukan sebuah program intensifikasi, peremajaan,
penanaman baru, perbaikan cara pemanenan dan proses pembukaan lahan.
Program ini termasuk penanaman hasil cangkokan, pencangkokan, membuat
jarak tanaman, perawatan intensif, drainase, fertilisasi, pemberantasan hama
dan penyakit, pemanenan yang selektif dan peningkatan pengolahan (lebih
jelasnya dapat dilihat dalam jurnal pada lampiran 5).
Dengan
melihat
bahwa
struktur
organisasi
penanaman
kopi
Mangkunegara IV melibatkan bangsa Eropa sebagai pegawai, maka jelas
betapa jauhnya pemikiran raja ini dalam menata ekonomi Mangkunegaran
untuk menatap masa depannya. Sampai tahun 1863, jumlah tanaman kopi di
tanah-tanah Mangkunegaran yang tidak disewakan, adalah sebagai berikut:
Tabel 6. Jumlah Tanaman Kopi di Daerah dalam
Lingkungan Mangkunegaran tahun 1863
Daerah
Tanaman Muda
Tanaman
Jumlah
Berbuah
Malangjiwan
342, 487
759,798
1,082,285
Karangpandan
345,460
1,877,500
2,222,960
Wonogiri
330,900
2,420,058
2,750,950
Jumlah
1,018,847
5,057,356
6,056,195
Sumber: Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai
Penguasa dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu, hal: 176
lxxxi
Dari ketiga kabupaten tersebut, kabupaten Wonogiri mempunyai
tanaman pohon kopi yang paling banyak. Di samping kopi, kebun-kebun
tersebut juga menghasilkan cokelat, lada atau merica, pala, panili dan karet.
Berdasarkan
Laporan
Inspekstur
3
Juni
1880,
hasil
kopi
Mangkunegaran di wilayah Afdeeling Purwantoro adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Luas Kebun Kopi di Afdeeling Purwantoro tahun 1880
No
1.
2.
3.
4.
Gudang
Luas Kebun (bau)
Purwantoro
235
Balemasan
270
Nglulin
240
Ngropoh
134
Total
879
Sumber: Laporan Inspekstur 3 Juni 1880, Surakarta: Reksopustoko
Mangkunegaran
Dilihat dari tabel di atas, Mangkunegara IV membuka 4 lahan
perkebunan kopi yang masing-masing diberi gudang dan berada di bawah
pengawasan inspektur Voegel. Kebun kopi yang paling luas berada di
Balemasan dengan ukuran 270 bau. Jumlah yang paling sedikit adalah
Ngropoh dengan ukuran 134 bau. Total perkebunan kopi di wilayah Afdeeling
Purwantoro yaitu 879 bau. Ini amat luas mengingat daerah Afdeeling
Purwantoro merupakan dataran tinggi yang sebelumnya berupa hutan jati,
kemudian dibabat oleh Mangkunegara IV untuk usaha pelebaran perkebunan
kopi.
Tabel 8. Jumlah Pohon Kopi pada tahun 1880
No
Gudang
1.
Purwantoro
2.
Balemasan
3.
Nglulin
4.
Ngropoh
5.
Gunggung
Sumber: Laporan Inspekstur
Mangkunegaran
Dalam 2 tahun
Dalam 1 tahun
23.350
11.140
18.500
6.450
16.500
6.000
12.350
9.000
70.700
32.590
3 Juni 1880, Surakarta: Reksopustoko
Menurut tabel di atas, gudang kopi yang menyumbang hasil produksi
kopi terbanyak ke kas praja Mangkunegaran berdasarkan dari jumlah
lxxxii
pohonnya adalah gudang Gunggung, sedangkan jumlah pohon yang paling
sedikit adalah Ngropoh.
Selama periode antara 1871-1881, Mangkunegara IV berhasil
menambah kas kerajaan sebesar f. 13.873.149,97 atau rata-rata f 1.261.195,45
per tahu dari hasil produksi kopinya. Jika dilihat dari hasil produksinya,
memang terjadi peningkatan yang sangat tajam dari sebelum dan sesudah
penarikan tanah apanage. Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan hasil
produksi kopi Mangkunegaran sebelum dan sesudah penarikan tanah apanage
(S. Margana, 1997: 88).
Tabel 9. Hasil Produksi Kopi Mangkunegaran Sebelum dan Sesudah
Penarikan Tanah Apanage (1852-1880)
Sebelum penarikan apanage
Sesudah penarikan apanage
Tahun
Hasil (pikul)
Tahun
Hasil (pikul)
1852
10.394.00
1863
16.338.50
1853
5.287.00
1871
36.693.93
1854
9.288.00
1872
44.433.33
1855
12.442.00
1873
50.822.72
1856
4.513.00
1874
66.604.54
1857
18.045.00
1875
51.822.72
1858
10.285.00
1876
49.228.78
1859
21.759.00
1877
65.821.21
1860
13.538.00
1878
14.259.09
1861
24.426.00
1879
53.012.12
1862
19.745.25
1880
54.715.15
Sumber: S. Margana. 1997. Lembaran Sejarah volume 1 no 2: Kapitalisme
Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional: Perkebunan Kopi di
Mangkunegaran, 1853-1881. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan
Budaya UGM, hal: 89
Dari tabel di atas terlihat hasil produksi kopi tahun 1878 mengalami
penurunan. Hal ini disebabkan sekitar tahun itu hama Hemilia vestatrix mulai
berjangkit di pulau Jawa, akan tetapi karena sebelum itu sudah pernah muncul,
pemerintah kolonial mulanya tidak menganggap serius. Dalam jangka waktu 2
tahun, hasil dari produksi kopi mengalami penurunan di seluruh wilayah
pembudidayaan kopi dan Cirebon termasuk wilayah yang mendapat kerugian
yang paling besar. Para pejabat pribumi berusaha mencegah perluasan
penyakit ini serta membatasi akibatnya dengan jalan mendorong para petani
lxxxiii
untuk menggarap tanah dengan seksama, menggunakan pupuk buatan yang
tepat serta memperbaiki sistem drainase perkebunan (Anne Booth, 1988: 255).
Pada tahun 1880 terjadi krisis besar yang mempengaruhi rakyat
pribumi Jawa maupun orang-orang yang berhasil mengeksploitasi mereka.
Dari tahun 1870, penyakit daun kopi mulai menyebar dan produksi kopi jatuh
sehingga boleh dikatakan penyakit ini menghentikan perkembangan
perkebunan kopi di Hindia Belanda sampai antara tahun 1896 dan 1900
produksi kopi di Indonesia merosot menjadi 25 % dari semula. Hemilia
menyerang jenis kopi yang dibudidayakan pada waktu itu yaitu kopi Arabika,
yang di luar negeri terkenal dengan sebutan kopi Jawa (Haryono Semangun,
1989: 237). Di abad-19, jenis kopi Liberika didatangkan ke Indonesia untuk
menggantikan kopi Arabika yang terserang oleh hama penyakit. Jenis kopi ini
berasal dari Liberia, Afrika Barat. Kopi ini dapat tumbuh setinggi 9 meter dari
tanah (http://ipoenkz.files.wordpress.com).
Di wilayah Mangkunegaran perkebunan kopi terkena imbasnya baik
yang berada di daerah Karanganyar maupun daerah Wonogiri yang membuat
penderitaan bagi petani kopi karena gagalnya panen dari tahun 1879 sampai
tahun 1900. Hal ini yang menentukan hancurnya keuangan praja
Mangkunegaran akibat situasi keuangan tersebut, pengelolaan keuangan praja
kemudian diambilalih oleh Residen Surakarta. Harga barang-barang
perkebunan menjadi menurun drastis padahal praja Mangkunegaran selama 2
dasawarsa hingga saat itu keuangannya erat sekali dengan industri
perkebunan. Dampak dari depresi dan resesi yang berkepanjangan sangat
berpengaruh buruk terhadap keuangan praja Mangkunegaran.
Tenaga Kerja dan Tenaga Upah Perkebunan
Masuk dan berkembangnya perkebunan membawa pengaruh terhadap
kehidupan petani. Pengaruh tersebut antara lain masuknya sistem glebagan,
adanya kerja wajib di perkebunan, sistem upah, dan kasepan. Implikasi lain
dari berkembangnya perkebunan adalah munculnya kebutuhan dari pihak
perkebunan tentang tenaga kerja. Perekrutan tenaga kerja dilakukan oleh
lxxxiv
perkebunan dengan bantuan para petinggi desa. Sebagian besar kebutuhan
tenaga kerja itu dipenuhi melalui kerja wajib seperti kerigan, gugur gunung
dan tugas jaga.
Kerigan adalah perintah untuk bekerja bersama-sama. Kerigan di tanah
kerajaan lain dengan daerah yang dikuasai oleh orang Eropa, karena di
wilayah kerajaan petani masih dikenakan pundhutan. Kerigan di daerah
perkebunan tidak ada pundhutan, tetapi kerjanya lebih berat. Gugur gunung
tidak dapat dipastikan kapan dilakukannya, tetapi sekurang-kurangnya
dilakukan sebulan sekali. Gugur gunung merupakan kerja wajib yang
melibatkan penduduk dalam jumlah yang banyak. Biasanya kerja wajib ini
dikerahkan apabila ada bencana alam. Setelah muncul persewaan tanah, jenis
kerja ini juga diberlakukan oleh perkebunan.
Cara-cara penggunaan kerja wajib dikenal dua macam yakni kroyokan
dan blabag. Sistem kroyokan pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama
dalam satu kompleks, semua mengerjakan pekerjaan yang ada dan diawasi
oleh seorang mandor, sedangkan pada blabag terdapat pembagian baik tempat,
jenis pekerjaan maupun waktu pelaksanaan, semua disesuaikan dengan
kepentingan pihak perkebunan dan kesempatan yang dimiliki oleh penduduk
(Dwi Ratna N, 2006: 83).
Penggunaan tenaga kerja “bebas” atau kerja upahan merupakan isu
penting pada tahun-tahun 1850-an dan 1860-an. Para pengusaha Eropa yang
bekerja di bidang penanaman ekspor di Jawa mulai memuji efisiensi biaya
tenaga kerja bebas dibanding tenaga kerja paksa yang disediakan oleh
pemerintah (yang juga harus mereka bayar). Creutzberg belum lama ini
mengajukan beberapa pertimbangan menarik mengenai gejala itu didasarkan
pada data yang meski bersifat sementara, tampaknya menunjukkan hakikat
tenaga kerja dalam praktik. Pertama, diperkenalkannya mata uang secara
besar-besaran sampai lapisan terbawah masyarakat Jawa dan diperluasnya
pembangunan jaringan jalan telah menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi
baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke
dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang. Kedua, jumlah
lxxxv
penduduk yang bertambah pesat pada abad ke 19 mendorong pembukaan
lahan-lahan baru dan membentuk desa-desa baru yang menjadi tempat
pemukiman penduduk. Pertumbuhan perkebunan swasta setelah tahun 1850,
khususnya yang terletak di daerah dataran tinggi, memberi kemungkinan bagi
pemukiman kembali penduduk desa sekaligus penghasilan uang bagi orang
Jawa yang semakin banyak jumlahnya (Niel, 2003: 189).
Pengerahan tenaga kerja di areal perkebunan swasta di wilayah
Mangkunegaran
tercantum dalam Rijkblad Mangkunegaran No 11 tahun
1917, dijelaskan bahwa pengadaan tenaga kerja untuk perusahaan perkebunan
swasta di bawah koordinasi para bekel, pengerahan tenaga kerja tersebut
diambilkan dari penduduk desa sekitarnya yang disebut mancapat atau
mancalima. Para bekel tersebut dipercaya oleh pengusaha asing untuk
menyalurkan ketentuan-ketentuannya kepada buruh upahan yang bekerja di
perkebunan swasta, antara lain bekel harus mengetahui berbagai macam jenis
pekerjaan yang wajib diselesaikan oleh para buruh upahan tersebut. Dalam hal
inipun, bekel juga bertugas memberikan upah atau bayaran kepada buruh
upahan tersebut. Tindakan mengenai pembayaran upah buruh harus diketahui
oleh tuan yang menguasai perkebunan karena pada dasarnya bekel mempunyai
kewajiban untuk membayar terlebih dahulu upah buruh dengan ”dana” nya
sendiri, baru kemudian meminta ganti pada tuan yang menguasai perusahaan
perkebunan swasta tersebut.
Upah Rakyat
Sejak perluasan perkebunan pada pertengahan abad XIX, banyak
diperlukan tenaga kerja baik laki-laki, wanita maupun anak-anak. Wanita dan
anak-anak dipekerjakan di gudang-gudang, kebun kopi dan tembakau,
sedangkan laki-laki di pabrik dan kebun tebu. Upah yang mereka terima
tergantung dari berat ringannya pekerjaan. Upah harian mengalami kenaikan
beberapa sen, yaitu 10 sen pada thun 1832 menjadi 12,5 sen pada tahun 1864
ditambah makan sekali. Pada tahun 1865 upah itu naik menjadi antara 20-50
sen (Suhartono, 1991: 47).
lxxxvi
Pada tahun 1874 rakyat menerima untuk tiap pikul f 3,- buat upah
memetik, f 0, 50,- buat upah membawa atau menggendong, dan f 0, 50,- buat
upah menumbuk dan memilih, jadi seluruhnya f 4,- akan tetapi sebagai
ganjaran buat pemberian jasa kepada budidaya kopi dibebaskan dari sewa
tanah, pajak tanah (landrent) dan pajak tanah lainnya. Tugas-tugas yang harus
dilakukan oleh para narakarya untuk budidaya kopi di zaman itu adalah
menanam 250 pohon kopi sampai satu bau ditanami 1200 pohon, yang untuk
selanjutnya dia yang bertugas memeliharanya. Untuk pekerjaan-pekerjaan itu
sang narakarya menerima tanah dengan hak gaduh kecuali halaman rumahnya
juga kurang lebih ½ bau sawah dan ¾ bau tegal, yang setahunnya bisa
menghasilkan f 40,- (Muhlenfeld, 1914: 52).
Pada tahun 1883, untuk pemetikan upahnya telah dinaikkan menjadi f 8,dalam setiap pikulnya. Secara kuantitas, jumlah pendapatan petani untuk kerja
bebas di wilayah perkebunan kopi ini lebih besar jika dibandingkan dengan
pendapatan yang diperoleh oleh petani di wilayah persewaan tanah. Sebagai
contoh di wilayah Manggis, Wonogiri, yang masih berada di tangan penyewa
tanah, semua pembudidayaan kopi di wilayah ini dilakukan dengan kerja
bebas. Untuk penanaman buruh laki-laki memperoleh bayaran f 0,25,- dan
untuk buruh perempuan f 0,12,-; sedangkan untuk pemetikan rata-rata
memperoleh f 0,04,- setiap pikulnya dan untuk pengangkutan rata-rata
memperoleh f 0,07,- setiap pikulnya. Untuk jumlah jam kerja yang dituntut, di
wilayah persewaan ternyata lebih kecil jika dibandingkan dengan di bumi
pakopen. Di wilayah ini jumlah jam kerja yang dituntut dari para petani ratarata hanya 4.914 hingga 407.087 jam kerja (S. Margana, 1997: 98).
Dari gambaran di atas nampak bahwa di wilayah perkebunan kopi
Mangkunegaran, secara kuantitas rakyat memiliki pendapatan yang lebih besar
jika dibandingkan dengan di wilayah persewaan. Akan tetapi dilihat dari
beban kerja wajib yang harus mereka lakukan ternyata lebih besar jika
dibandingkan dengan di wilayah lain.
Data tertulis tentang upah buruh perkebunan kopi Mangkunegaran di
Wonogiri pada masa Mangkunegara IV tidak ditemukan, yang masih
lxxxvii
tersimpan adalah Surat Patih Mangkunegaran tanggal 25 Februari 1901 No.
274/C yang termuat dalam Koleksi Arsip MN VI No. 354, sebagaimana telah
dikutip oleh Muhlenfeld (1914: 55) yaitu sebagai berikut:
Surat Patih Mangkunegaran tanggal 25 Februari 1901 No. 274/C
menguraikan lebih lanjut mengenai pemeliharaan kebun dan tentang upah
memetik, yaitu:
1. rakyat sebulan sekali harus bertugas memelihara: 10 orang tiap bau
2. tiap kebun hanya 3 kali dalam setahun dibersihkan, sehingga tiap regu harus
memelihara 4 kebun
3. para pegawai kopi dipecat atau dilepas. Para panewu dan mantri
Martonimpuno diberi tugas mengawasi pemeliharaan. Jika ada yang
mengabaikan tugasnya harus dilaporkan kepada Panewu dan Mantri Gunung.
4. kedua golongan pegawai tersebut akan menerima tunjangan yang banyaknya
masih akan ditetapkan
5. pasanggrahan-pasanggrahan (semula rumah dinas para administratur)
dijadikan rumah para Panewu dan Mantri Gunung dengan kewajiban
membayar pajak bumi dan sejumlah uang sewa, atau dijual kepada mereka,
akan tetapi sebagian masih dijadikan cadangan pasanggrahan
6. gudang-gudang yang berlebih akan ditutup atau dipindah
7. upah memetik menjadi:
JAVA KOFFIE
LIBERIA KOFFIE
Tiap pikul f 6,f 6,20,Memasok f 1, 20,f 1, 20,COKLAT
LADA
Tiap 3000 buah f 6,tiap pikul
f 6,20,Memasok f 0, 50,memasok
f 1,8. upah transport produk-produk tersebut di atas f 0,40 tiap paal (1 paal = 1 ½
km)
9. para mantri Martonimpuno bertugas mengawasi caranya memasak produkproduk tersebut, penimbangannya dan transportnya
10. pembayaran dari semua biaya tersebut dilakukan oleh para pengumpul pajak
dengan menunjukkan bukti pelunasan landrent atau dengan uang yang diminta
dari kas di Surakarta
11. dari semua pengeluaran itu harus dilakukan pembukuan yang teliti, dan
kepada Wedana Gunung diberikan rekapitulasi, demikian pula dari hasil
panenan
12. tiap bulan buku kas harus ditutup, dan salinannya disampaikan kepada Kantor
Pusat, denga diberi tandatangan atau pengesahan
13. transport dilakukan dengan Pos yang ditandatangani oleh pengumpul pajak
dan Pemerintah District
Peraturan-peraturan tersebut walaupun masih berlaku, tetapi secara
praktis sudah jarang dilakukan di daerah Wonogiri, sebab hanya dijalankan di
lxxxviii
onderdistrict Bulukerto di mana masih terdapat kebun-kebun yang kurus, yang
hasilnya hanya beberapa pikul tiap tahun.
Budidaya kopi di Wonogiri hampir hilang sama sekali, akan tetapi di
bagian lain dari wilayah Mangkunegaran, yaitu di Karanganyar tepatnya di
Mojogedang, tanaman kopi mengalami perkembangan baik setelah ditanam
jenis Robusta. Perkebunan ini diurus oleh seorang mantri ”panggaotan”
dengan gaji f 75,- tiap bulan (Muhlenfeld, 1914: 56).
Luasnya tanaman pada tahun 1909 masih 2.145 bau dengan 852.370
pohon yang sedang berbuah. Pada tahun 1910 berkurang menjadi 628 bau
dengan 126.710 pohon berbuah, dan tahun 1914 tinggal 4 bau dengan 1000
pohon berbuah, dan hanya di onderdistrict Bulukerto. Gedung-gedung di
Wuryorejo,
Ngadirojo,
Tirtomoyo,
Jatisrono,
Sidoharjo,
Slogohimo,
Purwantoro, Bulukerto, Girimarto, Jatipuro, dan Jumapolo dihapuskan pada
tahun 1911. Semenjak itu sebagian dibongkar, dan sebagian dijadikan
perumahan sementara bagi para Mantri Martonimpuno (Muhlenfeld, 1914:
56).
C. Pengaruh Perkebunan Kopi Mangkunegaran
Dengan diterapkannya liberalisasi ekonomi, produksi tanaman eksport
perlahan-lahan
mengalami
perkembangan
yang
progresif.
Terjadinya
perluasan dalam produksi tanaman eksport tersebut merupakan suatu proses
penting awal mula timbulnya perubahan dalam kehidupan sosial ekonomi
petani dan masyarakat di pedesaan, karena semakin intensifnya pengaruh
Barat ke pedesaan. Seperti perkembangan sewa menyewa tanah, sistem upah,
monetisasi, industrialisasi dan transportasi di pedesaan semakin membawa
petani lebih jauh masuk ke dalam arus komersialisasi.
Seperti halnya sistem tanam paksa, pembaharuan khususnya di bidang
perekonomian
yang
dilakukan
oleh
Mangkunegara
IV
di
praja
Mangkunegaran juga menimbulkan dampak di bidang sosial, ekonomi, dan
budaya. Sebagai masyarakat agraris yang mempunyai sifat yang sulit untuk
menerima sebuah perubahan, apa yang dilakukan oleh Mangkunegara IV
tidak begitu saja berjalan sesuai dengan keinginannya. Sistem perkebunan
lxxxix
yang dilakukan oleh Mangkunegara IV, telah mengubah tradisi yang telah
berlangsung sejak zaman nenek moyang. Hal ini berimplikasi pada seluruh
bidang kehidupan rakyat di praja Mangkunegaran.
Secara sosiologis sistem perkebunan telah merubah hubungan sosial
yang sudah ada, yaitu ikatan adat dan ikatan desa yang telah mempererat
hubungan individu dalam masyarakat. Masuknya sistem pembayaran dengan
uang telah menggeser sistem barter (tukar-menukar) barang, di samping juga
merubah pemberian tanah sebagai gaji bagi para narapraja dan sentana
dalem. Hal ini jelas sebagai dampak dari penarikan tanah apanage dari
mereka. Dampak yang ditimbulkan dari adanya pabrik dan perkebunan
sebagai
usaha
untuk
meningkatkan
taraf
perekonomian
di
praja
Mangkunegaran.
Dengan adanya perkebunan kopi Mangkunegaran di wilayah Wonogiri
ini membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di sekitar perkebunan,
baik di bidang sosial maupun bidang ekonomi, yaitu sebagai berikut:
1. Bidang Sosial
Perkembangan ekonomi liberal berdampak pada perubahan sistem
ekonomi dan munculnya kelas-kelas baru dalam lapisan masyarakat. Selain itu
masuknya paham Barat serta budaya Barat yang belum tentu sesuai dengan
budaya Jawa merupakan akibat dari paham liberal. Para penyewa tanah, yang
pada umumnya orang Eropa tersebut membawa budaya dari Eropa yang tidak
sesuai dengan budaya Jawa, misalnya perjudian, manipulasi dan peredaran
candu.
G. Gonggrijp dan J. H. Boeke dalam (Djoko Suryo, 1989: 1),
menjelaskan bahwa proses mundurnya kemakmuran penduduk Jawa
berhubungan erat dengan pengaruh kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
sosial ekonomi pada abad ke-19. Burger dalam (Djoko Suryo, 1989: 1),
menjelaskan adanya perubahan yang cepat pada abad ke-19 di pedesaan Jawa
adalah merupakan akibat dari semakin dalamnya penetrasi Barat. Perubahan
yang cepat ini diikuti oleh hilangnya ikatan-ikatan tradisional desa dan
terbukanya masyarakat desa dari pengaruh luar.
xc
Houben (1994: 667), menjelaskan masuknya metode-metode produksi
kapitalis ke dalam masyarakat yang relatif tradisional di Jawa Tengah
menyebabkan proses perubahan sosial secara radikal. Masyarakat Jawa tidak
mempunyai karakteristik ekonomi produksi yang bisa mencukupi dirinya
sendiri, tetapi masyarakat Jawa memiliki produksi yang berorientasi pada
pasar dan sebuah perdagangan yang menggunakan uang.
Margana
(2004:
xxiii),
menyatakan
bahwa
di
tingkat
desa
pengembangan perkebunan kerajaan membawa dampak sosial ekonomi yang
luas. Peranan para bekel yang semula sebagai pemungut pajak menjadi
semacam “mandor” dan juga sekaligus pengerah tenaga kerja dan organisator
penanaman di level paling bawah. Para pejabat afdeeling dan desa yang lain
juga terutama di wilayah perkebunan juga memperoleh fungsi-fungsi ekstra
sebagai pengaman dan penjamin jalannya pengelolaan perkebunan. Secara
umum beban kerja masyarakat desa menjadi meningkat tetapi juga terbuka
kesempatan kerja bebas untuk meningkatkan penghasilan.
Adanya paksaan budidaya kopi dari Mangkunegaran dalam tahun
1870-an dari Wonogiri dapat menyumbang uang sekitar f. 1.000.000 ke dalam
kas Praja (70.000 pikul setahun), akan tetapi budidaya kopi itu menghabiskan
tenaga dan waktu dari penduduk, sehingga penggarapan tanahnya di musim
kemarau menjadi terlantar (Muhlenfeld, 1914: 39).
Menurut R. Z. Leirrisa (1985: 35), akibat timbulnya sistem perkebunan
swasta bagi masyarakat pedesaan pada umumnya ada tiga hal penting, yaitu:
1. Masyarakat pedesaan yang tadinya tertutup (self suficient), makin dipengaruhi
oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang menembus ke dalam kehidupan
pedesaan, barang-barang baru masuk ke dalam rumah tangga-rumah tangga
desa (pakaian, minyak tanah, sepeda, sabun, dan lain-lain)
2. Politik kolonial mempengaruhi perubahan-perubahan desa, misalnya dengan
dikeluarkannya Undang-undang Agraria yang menjamin hak atas tanah pada
petani dan melarang kaum pengusaha membeli tanah pedesaan
3. Pertambahan penduduk yang sangat pesat, ini disebabkan menurunnya angka
kematian oleh karena perluasan pemeliharaan kesehatan.
xci
2. Bidang Ekonomi
Dilihat dari aspek ekonomi, perkebunan merupakan suatu bentuk usaha
jangka panjang yang mampu membawa tanaman Indonesia memasuki dunia
modern, sedangkan masyarakatnya tetap sebagai masyarakat yang bersifat
tradisional. Dalam hal ini pemerintah kolonial berusaha agar masyarakat
pedesaan dapat menghasilkan produk untuk pasaran dunia (Eropa). Tingkat
ekonomi masyarakat tradisional ynag masih sulit berkembang, karena
ekonominya didasarkan untuk mencukupi kebutuhan sendiri, mengakibatkan
tingkat hidup yang masih sangat rendah.
Kesejahteraan pada intinya adalah suatu keadaan di mana seseorang
memiliki taraf hidup yang baik di mana semua hal yang menjadi kebutuhan
hidupnya dapat tercukupi tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Kesejahteraan dapat dikaitkan dengan keadaan ekonomi setiap individu, atau
dengan kata lain kesejahteraan dapat berarti welfare economics. Sen (2002: 8)
mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu proses rasional ke
arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan.
Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat
kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs
fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human
development).
Ekonomi pedesaan di wilayah perkebunan Mangkunegaran ini terkait
erat dengan ekonomi perkebunan kopi dan tebu. Pembangunan infrastruktur di
perkebunan, seperti sarana transportasi (jalan raya dan rel kereta api),
mempengaruhi dinamika ekonomi pedesaan. Sebaliknya, industri perkebunan
juga terkait dengan ekonomi pedesaan, terutama yang terkait dengan
pemenuhan tenaga kerja, tanah, jasa dan kebutuhan bahan pangan. Sektorsektor ekonomi pedesaan yang hidup di wilayah Mangkunegaran meliputi
sektor pertanian pangan, perdagangan dan tranportasi, serta keuangan dan
perbankan.
Jaringan transportasi dan perdagangan di wilayah perkotaan dan
pedesaan berupa kereta api untuk keperluan mengangkut hasil gula dan kopi
xcii
ternyata membuka isolasi desa-desa di sekitar perkebunan. Demikian pula
perkembangan
jalan
Surakarta-Sragen,
raya
Surakarta-Semarang,
Surakarta-Tawangmangu,
serta
Surakarta-Yogyakarta,
Surakarta-Wonogiri
membuka peluang kerja di sektor jasa transportasi, mulai dari gerobak, pedati,
andong dan bus. Sejak dilakukannya perluasan perkebunan pada awal abad
XIX, karesidenan Surakarta sudah mengkoordinasikan seluruh kegiatannya
yang meliputi daerah Klaten, Boyolali, Kartosuro, Sragen, Karanganyar dan
Wonogiri. Letak karesidenan Surakarta sangat strategis dan mudah dijangkau
dari berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta
banyak didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan
komunikasi. Demikian pula jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden yang
dipasang sejak tahun 1864 dan jalan trem yang menghubungkan pusat-pusat
perkebunan di pedalaman sudah membentuk jaringan transportasi yang efektif
dengan kota-kota pada akhir abad XIX (Suhartono, 1991: 24).
Selama tiga dasawarsa budidaya kopi memberi keuntungan rata-rata f
1 juta tiap tahun kepada kas Mangkunegaran, dan hampir 90.000 pikul kopi
yang dihasilkan (pada tahun 1893 sebanyak
89.481 pikul), tanpa ada
manfaatnya bagi rakyat. Berjuta-juta gulden telah diperoleh pada zaman
pemerintahan Mangkunegara IV, akan tetapi hilang semuanya pada zaman
Mangkunegara V (Muhlenfeld, 1914: 51).
Keuntungan yang besar dari hasil penjualan gula dan kopi mula-mula
dimanfaatkan untuk memperindah dan memperbesar Pendapa Ageng, dengan
memasang lampu robyong (1862), dan membangun Bangsal Tosan (1875).
Bangsal Tosan ini terasnya berasal dari besi, yang seluruh materialnya dipesan
dari Jerman. Pada saat itulah orang Jawa pertama kali melihat tiang-tiang dari
besi. Di belakang pura Mangkunegaran dibangun taman yang indah dengan
patung-patung yang dipesan dari Eropa. Di lingkungan pura Mangkunegaran
didirikan bangunan-bangunan baru seperti Gedung Puwasana (1858),
Dirgasana (1864) dan Kavaleri (1874). Dengan banyaknya pembangunan yang
dilaksanakan, maka pada masa pemerintahan Mangkunegara IV adalah zaman
pembangunan (Koleksi Arsip MN. IV, 2002: xviii).
xciii
Daerah kopi memiliki ekosistem yang berbeda dengan tebu. Kopi tidak
ditanam di tanah sawah, melainkan di tanah yang belum dibudayakan (woeste
gronden) atau tanah tegal di pegunungan pada ketinggian tertentu. Dengan
demikian pada prinsipnya tanaman kopi tidak mengancam subsistensi petani.
Meskipun demikian, pemakaian tanah yang belum dibudidayakan untuk kopi
akan mengurangi ekspansi tanah tegal guna menampung pertumbuhan
penduduk pedesaan. Demikian pula faktor ekstraksi tenaga kerja akan berbeda
antara tebu dan kopi. Budidaya kopi dan pengolahannya relatif lebih ringan
daripada tebu. Involusi pertanian tidak terjadi di daerah penanaman kopi.
Selain penyerapan tenaga kerja yang relatif lebih kecil dan lebih ringan, petani
masih dapat memanfaatkan tenaga secara produktif untuk menanam berbagai
jenis tanaman perdagangan, baik di sawah, tegal maupun di pekarangan
(Djuliati Suroyo, 2000: 20).
Faktor-faktor yang meringankan pembudidayaan tanaman kopi ini
antara lain: pertama, faktor ekologis yaitu keadaan ekologis kopi yang
menyebabkan penanaman dan pengolahan kopi lebih ringan daripada tebu,
apabila kebun kopi tidak jauh dari rumah petani; kedua, kepadatan penduduk.
Penduduk yang padat dengan wilayah yang kecil menyebabkan beban kerja
wajib dapat dipikul oleh lebih banyak orang dan dengan jarak tempat kerja
yang relatif lebih dekat. Faktor yang memberatkan adalah apabila kerja wajib
dilakukan di tempat yang jauh, apabila pekerjaan dilaksanakan secara
stimulan, atau apabila manfaat yang diperoleh petani tidak sesuai dengan
pengorbanan yang diberikannya (Djuliati Suroyo, 2000: 309).
Bagi para elit desa perubahan ini memang tidak begitu menguntungkan
secara ekonomis. Dalam sistem ekonomi perkebunan kerajaan ini, fungsifungsi administratif dan keamanan dari para elit desa lebih menonjol
dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Keleluasaan elit desa untuk
menuntut pelayanan yang berlebihan dari rakyat kecil semakin dibatasi.
Struktur kelembagaan desa khususnya di wilayah perkebunan kopi, lebih
merepresentasikan suatu sistem yang dibangun untuk kelancaran dan
keamanan produksi.
xciv
Bagi masyarakat petani di pedesaan, khususnya di wilayah perkebunan
kopi, peralihan dari sistem apanage dan perkebunan Eropa ke sistem kerajaan
ini juga membawa konsekuensi yang dilematis. Pada satu sisi beban pajak
berkurang dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam kerja upah untuk
memperoleh tambahan penghasilan memang telah diberikan, walaupun masih
sangat kecil, seperti dalam pemetikan dan pengangkutan. Penerimaan upah
yang lebih besar dalam pemetikan dan pengangkutan di wilayah perkebunan
milik kerajaan memang cukup berarti jika dibandingkan dengan yang mereka
dapat dari perkebunan milik pengusaha Eropa, sehingga penghasilan petani
secara kuantitas lebih tinggi pula. Namun di sisi lain, semua itu belum
sebanding dengan jumlah beban kerja wajib yang lebih tinggi (S. Margana,
1997: 101).
xcv
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Latar belakang munculnya perkebunan kopi Mangkunegaran disebabkan oleh
keadaan geografis wilayah Mangkunegaran yang sebagian besar terdiri dari
tanah pegunungan, misalnya di daerah Wonogiri, sebagian Karanganyar, dan
Karangpandan. Sebagian besar perkebunan kopi yang ada terletak di wilayah
Surakarta dan kemudian di dataran tinggi lereng-lereng timur Gunung Merapi
dan lereng-lereng barat Gunung Lawu. Perkebunan kopi yang dibudidayakan
pada masa Mangkunegara IV khususnya berada di wilayah Wonogiri dan
Tawangmangu. Pembangunan industri perkebunan, terutama perkebunan kopi
oleh Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional karena sejumlah
alasan. Pertama, kopi merupakan produk eksport yang pada waktu itu
berkembang pesat di pasaran dalam negeri maupun internasional. Kedua,
tanaman kopi sudah pernah dibudidayakan pada masa Mangkunegara II
dengan bibit kopi yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini, Bulukerto
yang diusahakan oleh para penyewa tanah Eropa. Ketiga, sumber-sumber
pendapatan praja secara tradisional melalui pajak dan persewaan tanah tidak
mencukupi.
Faktor lain
yang mendorong
pembangunan
perkebunan
Mangkunegaran adalah kepentingan pihak trah Mangkunegaran untuk
menunjukkan posisinya yang lebih menonjol dalam bidang ekonomi
dibanding dengan ketiga praja kejawen lainnya, yakni Kasunanan, Kasultanan
dan Pakualaman.
2. Sistem pengelolaan perkebunan kopi Mangkunegaran diawali dengan usaha
Mangkunegara IV untuk menarik tanah-tanah apanage dari para keluarga
kerajaan maupun dari para penyewa tanah Eropa, setelah tanah-tanah apanage
itu ditarik kembali, maka selanjutnya akan dimanfaatkan sendiri untuk
pembudidayaan tanaman perkebunan seperti: kopi, tembakau, tebu, indigo dan
kina. Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran ini dimulai pada tahun 1814
xcvi
dengan bibit kopi yang diperoleh dari Kebun Kopi Tua Gondosini di daerah
Bulukerto, Wonogiri. Penanaman kopi di 24 wilayah di Mangkunegaran ini
ditangani secara serius, dengan mendatangkan administratur kopi dari Eropa.
Pertanahan kopi tersebut meliputi Karangpandan, Tawangmangu, Jumapolo,
Jumopuro, Jatipuro, Ngadirojo, Sidoharjo, Girimarto, Jatisrono, Slogohimo,
Bulukerto, Purwantoro, Nguntoronadi, Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro,
Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, Singosari, Gubug dan Ngawen.
3. Pengaruh perkebunan kopi Mangkunegaran terhadap kehidupan masyarakat di
sekitar perkebunan sangat besar, baik di bidang sosial maupun ekonomi.
Secara sosiologis sistem perkebunan telah merubah hubungan sosial yang
sudah ada, yaitu ikatan adat dan ikatan desa yang telah mempererat hubungan
individu dalam masyarakat. Masuknya sistem pembayaran dengan uang telah
menggeser sistem barter (tukar-menukar) barang, di samping itu juga
merubah pemberian tanah sebagai gaji bagi para narapraja dan sentana
dalem. Bagi masyarakat petani di pedesaan, khususnya di wilayah perkebunan
kopi, peralihan dari sistem apanage dan perkebunan Eropa ke sistem kerajaan
ini juga membawa konsekuensi yang dilematis. Pada satu sisi beban pajak
berkurang dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam kerja upah untuk
memperoleh tambahan penghasilan telah diberikan, namun di sisi lain semua
itu belum sebanding dengan jumlah beban kerja wajib yang lebih tinggi.
B. Implikasi
1. Teoritis
Kebijakan kolonial muncul sebagai akibat adanya sistem kolonialisme
yaitu usaha menguasai bangsa lain dalam segala hal untuk mencapai
kemakmuran. Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan
kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber
kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang
melimpah di tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi
produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem
xcvii
perkebunan dalam hubungan ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk
diterapkan.
Kebijakan kolonial Belanda dengan politik ekonomi liberal ini
memberikan pengaruh terhadap daerah-daerah di tanah jajahan. Dengan
adanya
kebijakan
kolonial
tersebut,
mendorong
pemerintah
Praja
Mangkunegaran untuk menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi guna
meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu Mangkunegara IV membuka
perkebunan kopi di Wonogiri dengan harapan agar mampu mengatasi masalah
keuangan dan ekonomi di praja Mangkunegaran.
Secara teoritis, implikasi pada penelitian ini adalah pada masalah
sosial-ekonomi. Perkebunan ini dapat merugikan kelompok tertentu, dan juga
sebaliknya bisa menguntungkan kelompok yang lain. Secara sosial ekonomi,
perkebunan kopi Mangkunegaran ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan
penduduk di sekitar perkebunan, meskipun berdasarkan data-data yang
diperoleh tidak sampai menimbulkan gerakan sosial.
2. Praktis
Penelitian ini berupaya menggali suatu wacana baru dalam penulisan
sejarah. Wacana baru yang dimaksud adalah sisi lain dari pelaksanaan politik
kolonial di Jawa khususnya daerah Swapraja Mangkunegaran dalam bidang
perekonomian. Pendirian perkebunan kopi di wilayah Mangkunegaran pada
awalnya terbentuk karena kebijakan dari pemerintah kolonial yang kemudian
dikembangkan oleh praja Mangkunegaran. Adanya perkebunan kopi
Mangkunegaran
tersebut
mendatangkan
keuntungan
bagi
praja
Mangkunegaran maupun terhadap perekonomian pedesaan di sekitar
perkebunan.
Kontribusi penelitian ini dalam dunia pendidikan adalah pengayaan
terhadap materi pelajaran bagi para siswa di sekolah tingkat menengah.
Penelitian seperti ini untuk memperluas pengetahuan siswa tentang sejarah
perkebunan yang ada di daerah vorstenlanden dan mampu mendukung
pemahaman dalam mata kuliah Sejarah Agraria maupun Sejarah Sosial.
xcviii
3. Metodologis
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis.
Pemilihan metode ini didasarkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan
yang akan dikaji untuk memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji
dan menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai
dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut untuk dijadikan suatu cerita
sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya. Pengumpulan data
dilakukan melalui teknik studi pustaka dengan mengadakan riset di
perpustakaan terhadap sumber-sumber seperti arsip atau dokumen, buku,
jurnal dan majalah.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah dalam pencarian sumber arsip
atau dokumen tertulis tidak secara lengkap. Hal ini dikarenakan sumber arsip
dan dokumen yang memuat tentang perkebunan kopi Mangkunegaran
sebagian ada yang hilang. Oleh karena itu penulis tidak mampu menemukan
sumber primer secara lengkap dan menyeluruh.
C. Saran
1. Bagi Mangkunegaran
Mangkunegaran sebagai penyelenggara perkebunan kopi seharusnya
membuat kebijakan – kebijakan yang mampu menjamin kesejahteraan para
penduduk di sekitar perkebunan. Secara sosiologis, harus mampu membawa
perbaikan mengenai hubungan sosial masyarakat, dalam artian rakyat tidak
seharusnya hanya dijadikan sebagai pekerja dalam perkebunan, namun hakhak sebagai rakyat harus dijamin, baik dalam hal kesejahteraan maupun
jaminan keamanan.
2. Bagi Masyarakat
Dalam struktur ekonomi pertanian tradisional, usaha perkebunan
merupakan usaha tambahan atau pelengkap dari kegiatan kehidupan pertanian
pokok, terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Dengan masuknya
sistem perkebunan telah mengenalkan sistem ekonomi uang dalam masyarakat
xcix
desa. Oleh karena itu, dengan adanya sistem perkebunan di lingkungan desa
jangan sampai menghapus nilai-nilai budaya maupun tradisi yang telah ada
dalam masyarakat.
3. Bagi Mahasiswa
Bagi para mahasiswa, hendaknya penelitian ini dapat dijadikan
referensi untuk menambah pemahaman tentang Sejarah Agraria, terutama
tentang sejarah perkebunan kopi Mangkunegaran yang ada di daerah Wonogiri
pada masa pemerintahan Mangkunegara IV.
c
DAFTAR PUSTAKA
ARSIP MANGKUNEGARAN
Laporan Inspekstur tentang tanaman kopi dan padi pada 3 Juni 1880.
Koleksi Arsip Reksopustoko Mangkunegaran kode MN IV No. 92
Transkrip Rijkblad Mangkunegaran No. 11 tahun 1917. Koleksi Arsip
Reksopustoko Mangkunegaran kode 1194
BUKU
Abu Ahmadi. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta
Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Politik. Bandung:
Sinar Grafika
Booth, Anne & William J. O’ Malley. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia.
Jakarta: LP3ES
Cahyo Budi Utomo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari
Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Semarang Press
Djoko Suryo. 1989. Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 18301900. Yogyakarta: UGM Press
Djuliati Suroyo. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di
Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos
Wacana
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia
Hadari Nawawi. 1995. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
UGM Press
Haryono Semangun. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di
Indonesia. Yogyakarta: UGM Press
Helius Syamsuddin dan Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:
Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pendidikan Tenaga Akademik
Houben J. H. Vincent. 1994. Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta
1830-1870. Yogyakarta: Bentang Budaya
ci
Koentjaraningrat. 1986. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia
______________. 1983. Pengantar Ilmu Antropolgi. Jakarta: Aksara Baru
Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
Leibo, Jefta. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Offset
Leirrisa R. Z. 1985. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat
Indonesia 1900- 1950. Jakarta: Akademika Pressindo
Mangunhardjana. 2001. Isme-isme: dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius
Margana. S. 2004. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Mansfeld, S. 1986. Sejarah Milik Praja Mangkunegaran. Terjemahan R. T.
Moehammad Hoesodo Pringgokoesoemo. Surakarta: Rekso Pustaka
Miriam Budiardjo. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Mubyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial
Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media
Muhlenfeld. 1914. Monographie van Onderafdeling Wonogiri. Terjemahan R.
Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo. Surakarta: Rekso Pustoko
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik
Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nugroho Notosusanto. 1971. Norma-norma Penelitian dan Penulisan Sejarah.
Jakarta: Dephankam
Pringgodigdo. A. K. 1950. Geschiedenis des Ondernemingen van het
Mangkoenegorosche Rijk (’s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1950)
Terjemahan Marjono Taroeno, Lahir serta Timbulnya Kerajaan
Mangkunegaran. Surakarta: Reksopustoko
_____________. 1950. Sejarah Perusahaan-perusahaan
Mangkunegaran. Surakarta: Reksopustoko
Kerajaan
Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta
Rouffaer, G. P. 1905. Swapraja. Terjemahan R. Tg. Muhammad Husodo
Pringgokusumo. Surakarta: Rekso Pustoko
cii
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia.
Yogyakarta: Aditya Media
Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Tama
Selo Soemardjan. 1991. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: UGM
Press
Sen, Amartya. 2002. Rationality and Freedom. Cambridge: Belknap of
Havard University Press
Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah sebagai Ilmu. Jakarta: Bharata Karya
Aksara
Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Soetomo Siswokartono, W. E. 2006. Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa
dan Pujangga. Surakarta: Aneka Ilmu
Soetono. H. R. 2000. Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan Di
Mangkunegaran. Terjemahan Hoofdstuk II Opkmmst der
Mangkoenegorosche Cultuurbelangen Surakarta: Reksopustoko
Soleman B. Taneko. 1993. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar
Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Sumadi Suryabrata. 1994. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali
Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Tilaar. H. A. R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar
Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo
Van Niel, Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia
Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan
Mangkunegaran. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara
ciii
Masyarakat
JURNAL DAN MAJALAH
Dwi Ratna Nurhajarini. 2006. “Petani versus Perkebunan pada masa
Reorganisai Agraria: Studi Kasus di Klaten”. Patra–Widya volume 7
No. 1 Maret: 49-68
Margana. S. 1997. “Kapitalisme Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional:
Perkebunan Kopi di Mangkunegaran 1853-1881”. Lembaran Sejarah
volume 1 No. 2: 72-103
Sartono Kartodirjo. 1967. ”Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia abad
XIX-XX: Politik Kolonial Belanda abad XIX” Lembaran Sejarah No.1
Desember: v-xxxii
Sidarto Wardojo. 1980. “Research to Support the Development Small-Scale
Crop Farming, with Special Reference to Coffee”. Indonesian
Agricultural Research and Development Journal volume 2 No. 4 June:
95-99
INTERNET
http://asmacs.wordpress.com, 26 Februari 2009// Budidaya Tanaman Kopi.
http://perkebunan.kaltimprov.go.id, 26 Februari 2009//Komoditi Kopi
http://rudi.site50.net, 1 Agustus 2009//Peta Wonogiri
http://sekararum.com, 1 Agustus 2009//Kopi Arabika
civ
cv
Download