75 Konflik yang terjadi perlu dikelola, sehingga tidak mengarah ke konflik yang lebih tajam tetapi dapat dikurangi dengan melakukan mediasi dan koordinasi diantara pihak-pihak yang berkonflik. Ego antara kepentingan pelestarian lingkungan dan ekonomi dapat diselaraskan jika pihak-pihak yang berkonflik mau berkoordinasi dan berkomunikasi, sehingga kepentingan konservasi dan ekonomi dapat saling mendukung bukan untuk dipertentangkan. Sementara hubungan saling mengisi dan kerjasama yang sudah dilakukan harus terus dipelihara dan ditingkatkan sehingga pengelolaan kawasan yang lestari dan memberikan manfaat bagi masyarakat dapat dicapai. Untuk mencapai hal ini diperlukan waktu, dedikasi dan upaya serius dalam keterlibatan sosial, dan juga niat baik dan tulus dari semua pihak untuk dapat berkolaborasi dalam mengelola kawasan TNDS dan sekitarnya. 7 MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN KAPABILITAS PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN TNDS Pengelolaan TNDS secara tunggal oleh pemerintah yang mementingkan kepentingan konservasi lebih banyak menimbulkan konflik diantara pemangku kepentingan, walaupun Balai TNDS sebagai key players ternyata tidak mampu memainkan perannya dengan baik. Hal ini diduga kedudukan key players yang dimiliki oleh Balai TNDS bersifat semu belaka, yang disebabkan oleh legalitas yang dimiliki, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk memaksa masyarakat mematuhinya. Berarti ada kekuatan lain di dalam masyarakat yang lebih berperan dalam mengelola sumberdaya alam yang ada. Untuk itu perlu dilakukan kajian mengenai modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS. Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat Unsur-unsur pembentuk modal sosial yang diidentifikasi pada masyarakat di dalam kawasan TNDS berdasarkan konsep Putnam 1993, meliputi: kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial. Penilaian terhadap unsur-unsur pembentuk modal sosial masyarakat menggunakan 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kepercayaan Penilaian terhadap tingkat kepercayaan masyarakat TNDS meliputi tingkat kepercayaan terhadap orang di sekitar komunitas dengan etnis yang sama, orang di sekitar komunitas dengan etnis yang berbeda, aparat pemerintah (BTNDS, Pemda Kabupaten, Pihak Kecamatan), tokoh masyarakat/agama, pihak luar (LSM), tingkat kepercayaan terhadap manfaat SDA, tingkat kepercayaaan masyarakat dalam menjaga kelestarian SDA, tingkat kepercayaan untuk bekerjasama serta tingkat kepercayaan untuk menjaga keeratan hubungan. Tingkat kepercayaan responden di TNDS dapat dilihat pada Tabel 17. Selang nilai tingkat kepercayaan dengan Xmax = 27, Xmin = 9 dan N = 3 adalah 6, sehingga tingkat kepercayaan dapat dibagi menjadi: 76 a. Tingkat kepercayaan rendah jika skor < 15 b. Tingkat kepercayaan sedang jika skor 15 – 21 c. Tingkat kepercayaan tinggi jika skor 22 – 27 Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa rata-rata masyarakat memiliki tingkat kepercayaan dalam kategori tinggi (skor 22). Masyarakat (94,44 persen) menilai orang-orang di sekitarnya dari etnis yang sama dapat dipercaya, ini berarti masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap anggota komunitas yang sama etnisnya. Tingkat kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari masih menunjukkan tingkat yang positif diantara sesama etnis, namun sebaliknya jika berkaitan dengan etnis yang berbeda, masyarakat sangat berhati-hati dalam berinteraksi sehingga tingkat kepercayaan masyarakat untuk orang-orang di sekitarnya dari etnis yang berbeda masuk dalam kategori rendah (87,22 persen). Ini selaras dengan pernyataan Putnam et al. 1993), bahwa kepercayaan dibentuk atas dasar ikatan genealogis dan identitas yang sama dan kepercayaan sosial timbul dari kepercayaan yang timbul dan berkembang diantara individu-individu. Tabel 17 Tingkat kepercayaan responden di TNDS No 1 2 3 4 Sub unsur kepercayaan Tingkat Kepercayaan terhadap orang di sekitar dengan etnis yang sama 1 2 3 Jumlah Kepercayaan terhadap orang di sekitar dengan etnis yang berbeda Jumlah Kepercayaan terhadap aparat pemerintah (Balai TNDS, Pemda Kabupaten, Pihak Kecamatan) Jumlah Kepercayaan terhadap tokoh masyarakat/agama 5 Jumlah Kepercayaan terhadap pihak luar (LSM) 6 Jumlah Kepercayaan terhadap manfaat SDA 7 8 9 Jumlah Kepercayaan dalam kelestarian SDA hal menjaga Jumlah Kepercayaan untuk bekerjasama Jumlah Kepercayaan untuk menjaga keeratan hubungan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Jumlah (orang) 0 10 170 180 157 23 0 180 67 83 30 180 0 0 180 180 44 84 52 180 0 5 175 180 17 31 132 180 7 18 155 180 2 12 166 180 Persentase (%) 0 5,56 94,44 100,00 87,22 12,78 0 100,00 37,22 46,11 16,67 100,00 0 0 100,00 100,00 24,44 46,67 28,89 100,00 0 2.78 97,22 9,44 17,22 73,34 100,00 3,89 10,00 86,11 Skor Rata-rata 530 2,94 ≈ 3 203 1,13 ≈ 1 323 1,79 ≈ 2 540 3 368 2,04 ≈ 2 535 2,97 ≈ 3 475 2,64 ≈ 3 508 2,82 ≈ 3 524 2.91 ≈ 3 1,11 6,67 92,22 Jumlah skor: 4006 dan rata-rata skor 22,26 ≈ 22 Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 27, Xminimum: 9 dan jumlah kelas:3 Kondisi tersebut dibuktikan dari tingkat kepercayaan masyarakat secara umum (73,33 persen) akan kepatuhan dan kemampuan warga dalam menjaga 77 kelestarian SDA dan hutan. Hanya 9,44 persen yang tidak percaya akan kepatuhan dan kemampuan menjaga kelestarian SDA dan hutan, lebih dikarenakan perbedaan etnis dan budaya di dalam pemanfaatan SDA. Hal ini tampak jelas ditemui di SPTN Lanjak karena terdapat 2 suku yang hidup di SPTN ini, yaitu etnis Melayu dan etnis Dayak. Dimana terdapat kecurigaan antara dua suku ini dan berpotensi konflik, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada. Hal ini mendukung hasil penelitian Yasmi et al. 2010 yang mengemukakan bahwa terdapat konflik dalam pengelolaan sumber perikanan di TNDS. Kemampuan bekerjasama dan menjaga keeratan hubungan masih menunjukkan tingkat yang positif di setiap SPTN. Hal ini dikarenakan anggota masyarakat yang tinggal dalam satu kampung adalah orang-orang yang telah dikenal lama baik karena hubungan kekerabatan ataupun karena kesamaan asalusul. Kenyataan tersebut ditunjukkan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi untuk orang-orang dalam satu kampung yang memiliki latar belakang/etnis yang sama, tetapi bila berkaitan dengan orang luar yang berbeda etnis tingkat kepercayaan cenderung menjadi rendah. Berdasarkan Tabel 17 diketahui responden lebih percaya kepada tokoh masyarakat/adat dan tokoh agama daripada kepada aparat pemerintah. Aparat pemerintah baik kecamatan maupun kabupaten apalagi propinsi dinyatakan tidak pernah sampai ke kampung mereka, aparat hanya datang ketika akan dilaksanakan pemilahan umum untuk menggalang suara. Begitu pula dengan pihak Dinas terkait, seperti Dinas Perikanan, Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya berkunjung saat mereka memiliki kegiatan di wilayah TNDS, jadi tidak bisa dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat. Sementara dengan pihak Balai TNDS masyarakat juga tidak begitu percaya, masyarakat hanya percaya kepada orang-orang tertentu dari pihak Balai, tapi tidak dengan Balai TNDS nya. Hal ini diungkapkan oleh responden bahwa pihak Balai sebagai aparat pemerintah seringkali membatasi gerak mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di TNDS. Selain itu terungkap pula bahwa yang datang ke kampung mereka hanya staf biasa, tapi tidak kepala kantornya. Menurut masyarakat, mereka tidak dianggap penting oleh pihak pemerintah. Berdasarkan kondisi ini, maka sebenarnya usaha pemerintah yang menempatkan perwakilannya untuk mengelola suatu kawasan akan sia-sia, karena terbukti tidak dipercaya oleh masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengelolaan yang government oriented tidak akan berjalan efektif. Penelitian ini memperkuat pernyataan Kusdamayanti (2008) yang menyatakan selama masih ada dominasi negara dalam pengelolaan kawasan mengakibatkan tidak seimbangnya peran dan kekuatan yang ada antara negara dan masyarakat. Pemberian kesempatan kepada tokoh masyarakat dengan memperkuat kapasitasnya dan kapabilitasnya akan mampu untuk bekerja mengelola kawasan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga baik negara dan masyarakat dapat memperoleh manfaat dari yang dikelolanya. Sementara itu kepercayaan masyarakat terhadap pihak luar terutama LSM yang bekerja di TNDS pada kategori sedang (46,67 persen) karena berbeda selangnya di setiap SPTN. 50 persen responden di Lanjak memiliki tingkat kepercayaan yang rendah dengan LSM dikarenakan LSM dianggap hanya mengobral janji dan menjadikan masyarakat sebagai alat kepentingan program 78 kerja mereka. Sementara di Semitau 75 persen responden tingkat kepercayaaannya pada kategori sedang karena LSM belum begitu tampak perannya bagi kemajuan masyarakat. Berbeda dengan di SPTN Selimbau, 63 persen responden memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi akan keberadaan LSM karena masyarakat Selimbau telah merasakan manfaat pendampingan yang dilakukan oleh LSM mengenai pengelolaan madu yang telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan timbul, jika hasil nyata sudah diperoleh, tidak hanya sekedar janji belaka, disini masyarakat perlu bukti tidak hanya janji-janji semata. Kepercayaan yang terjalin dalam hubungan bermasyarakat membuat masyarakat dapat menjalin keharmonisan hubungan dan integrasi sosial di antara mereka. Pada konteks pengelolaan dan kelestarian sumberdaya alam dan hutan, kepercayaan yang dimiliki masyarakat dapat membantu mengurangi terjadinya kompetisi yang serius dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan hutan yang ada. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor perikanan dan hutan masih berada dalam koridor aturan-aturan pengelolaan sumberdaya perikanan dan hutan yang mereka percayai dan dijalankan sejak jaman leluhur mereka. Kondisi perairaan yang dimanfaatkan dan yang dikelola di lokasi penelitian relatif dalam keadaan yang lestari. Hal ini dibuktikan dengan hasil tangkapan ikan yang masih tetap melimpah yang diperoleh masayarakat. Berkurangnya hasil tangkapan yang terjadi saat ini, sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh degradasi lingkungan tapi juga karena adanya tekanan jumlah penduduk, dimana semakin banyaknya manusia/orang yang ikut mencari ikan di TNDS. Ini dapat dilihat dari pertambahan jumlah kampung nelayan dan jumlah penduduk yang semakin bertambah di TNDS. Begitu juga kondisi hutan yang dikelola oleh masyarakat Iban di Kedungkang relatif masih dalam keadaan baik. Hutan adat, hutan simpanan dan hutan keramat masih dijaga dengan baik, menunjukkan kelestarian hutan tetap dijaga. Memang telah ada hutan produksi mereka yang telah ditebangi dan terbuka, akan tetapi hutan tersebut ditebang karena adanya kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh pihak luar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tingkat kepercayaan yang tinggi (nilai skor 22) di dalam masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki kapabilitas kepercayaan yang tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat. Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas kepercayaaan yang rendah (low trust), atau memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), maka akan memiliki potensi modal sosial yang lemah. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa kepercayaan dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat. Ini dapat dilihat dari kasus yang terjadi di TNDS, karena tingkat kepercayaan yang tinggi diantara masyarakat nelayan dan masyarakat peladang di TNDS, maka mereka dapat memfasilitasi kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (perikanan dan perladangan) secara bersama. Dan bila dicermati semua aktifitas tersebut mengarah pada kegiatan perekonomian. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Putnam (1993), bahwa kepercayaan memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas 79 atau bangsa. Oleh karena itu, kepercayaan sebagai sesuatu yang amat besar dan sangat bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi diantara masyarakat. Norma Sosial Norma sosial adalah aturan yang mengatur masyarakat baik formal maupun non formal. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat yang resmi dan tertulis, sedangkan norma informal umumnya tidak tertulis yang berisikan aturanaturan dalam bermasyarakat. Tingkat norma sosial dapat dilihat pada Tabel 18. Selang nilai tingkat norma sosial dengan Xmax = 18, Xmin = 6 dan N = 3 adalah 4, sehingga tingkat norma sosial dapat dibagi menjadi: a. Tingkat norma sosial rendah jika skor < 10 b. Tingkat norma sosial sedang jika skor 10 – 14 c. Tingkat norma sosial tinggi jika skor 15 – 18. Tabel 18 Tingkat norma sosial responden di TNDS No Sub unsur norma sosial Tingkat 1 Pemahaman terhadap aturan tidak tertulis (norma/adat istiadat) 1 2 3 2 3 4 Jumlah Pemahaman terhadap aturan tertulis Jumlah Pemahaman terhadap kebiasaan di masyarakat (kejujuran, kesopanan, kerukunan dalam pergaulan seharihari) Jumlah Pelanggaran oleh pribadi responden 5 Jumlah Pelanggaran oleh anggota masyarakat lain dalam suku yang sama 6 Jumlah Pelanggaran oleh anggota masyarakat lain oleh suku yang berbeda Jumlah Jumlah skor: 2678 dan rata-rata skor: 14,87 ≈ 15 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Jumlah (orang) 18 111 51 180 25 89 66 180 0 106 74 Persentase (%) 10,00 61,67 28,33 100,00 13,89 49,44 36,67 100,00 0,00 58,89 41,11 180 0 27 153 180 0 18 162 180 41 43 96 180 100,00 0,00 15,00 85,00 100,00 0,00 10,00 90,00 100,00 22,78 23,89 53,33 100,00 Skor Rata-rata 393 2,18 ≈ 2 401 2,23 ≈ 2 434 2,41 ≈ 2 513 2,85 ≈ 3 522 2,90 ≈ 3 415 2,31≈ 2 Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 18, Xminimum: 6 dan jumlah kelas:3 Berdasarkan pada Tabel 18 di atas terlihat bahwa tingkat norma sosial pada masyarakat di dalam kawasan TNDS pada tingkat yang tinggi (skor 15). Terhadap aturan tertulis tidak semua warga masyarakat memahami aturan-aturan yang berlaku. Hanya 36,677 persen responden memahami sepenuhnya aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan 49,44 persen responden kurang memahami, sementara 13,89 persen responden tidak memahami aturan-aturan yang berlaku. Terhadap aturan yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam baik perikanan maupun hutan, seluruh responden mengaku tidak melanggarnya karena sudah disepakati bersama. Sebagian besar (85 persen) responden menganggap anggota masyarakat lain masih benar-benar taat terhadap aturan, tidak pernah terjadi pelanggaran, sedangkan 15 persen lainnya mengatakan bahwa pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang di dalam 80 masyarakat mereka masing-masing. Dinyatakan oleh masyarakat (53,33 persen) bahwa pelanggaran terjadi dikarenakan oleh suku lain, masyarakat melayu menyatakan yang melanggar adalah masyarakat Iban, dan masyarakat iban menyatakan bahwa mereka tidak melanggar aturan yang ada. Disinilah tampak ada potensi konflik diantara masyarakat berbeda suku. Hal ini kemungkinan besar dipicu belum adanya komunikasi yang jelas diantara suku, jadi peraturan yang ada di masing-masing wilayah hanya dihormati oleh kalangan sendiri jadi masih kuat dalam aturan internal saja tapi belum untuk eksternal. Norma sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan kepercayaan, karena norma adalah alat yang digunakan untuk menjaga konsinstensi antara status dan peran yang dalam fungsi secara keseluruhan memelihara struktur sosial dalam masyarakat (Putnam, 1993). Pada masyarakat nelayan di 3 SPTN terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan tata kelakuan lainnya yang menjadi pedoman bertindak warga masyarakatnya. Tata kelakuan yang diuraikan di sini terbatas pada aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam. Sementara bagi masyarakat peladang terdapat nilai-nilai, norma-norma dan aturan pengelolaan sumberdaya hutan. Masing-masing kampung nelayan memiliki aturan yang merupakan hasil kesepakatan bersama yang mengatur tentang penggunaan alat tangkap, tentang jenis-jenis ikan tertentu, tentang hal yang berkaitan dengan manusia dan lain-lain. Sebagai contoh adalah aturan yang ada di masyarakat nelayan Pulau Majang berdasarkan hasil keputusan rapat nelayan pada 1 Januari 2007 dan wawancara dengan bapak Hassanuddin Ketua Nelayan Desa Pulau Majang (26/12/2011) selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Selain aturan tertulis, masih ada tradisi-tradisi lainnya mengenai pengelolaan danau dan sungai yang tidak tertulis yang biasa dilakukan oleh seluruh masayarakat nelayan di TNDS, yaitu berupa: Aturan jala (labuh) zakat Kegiatan jala zakat adalah kegiatan menangkap ikan yang dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok nelayan. Penentuan sungai untuk dilakukan jala zakat ditentukan oleh masing-masing ketua nelayan. Setelah keluar dari sungai. Waktu pemasangan empang ditentukan dalam rapat nelayan. Jala zakat dilakukan pada musim kemarau, berapa kali jala zakat dilakukan dalam satu musim kemarau tergantung dari keperluan dan banyaknya ikan yang ada. Dalam melakukan jala zakat, setiap keluarga hanya boleh membawa 1 buah sampan (luan). Sebelum jala zakat dilakukan, ada ritual nelayan berupa mantera-mantera yang dibacakan oleh ketua nelayan, setelah itu baru kegiatan jala zakat dilakukan bersama-sama oleh peserta dengan menebar jala secara bersama-sama di sungai yang telah ditetapkan. Kegiatan jala zakat ini dilakukan selama 4-5 jam tergantung dari hasil yang diperoleh. Hasil yang diperoleh dari jala zakat ini untuk masing-masing keluarga. Setelah setiap keluarga mendapatkan hasil yang cukup, baru memberikan iuran kepada kelompok nelayan, yang besarnya beragam untuk setiap kelompok nelayan, namun rata-rata adalah sebesar Rp 20.000 untuk satu sungai. Aturan kerinan Kerinan merupakan tanah lokasi baik berupa genangan air menyerupai kolam alam tempat berkumpulnya ikan di saat musim kemarau, hal ini dikarenakan debit air yang cukup stabil disaat musim kemarau. Kegiatan kerinan juga merupakan kegiatan menangkap ikan secara bersama-sama oleh masyarakat 81 dalam satu rukun nelayan. Berbeda dengan jala zakat hasil dari kerinan ini ditujukan untuk dinikmati bersama-sama dan sebagian dijual untuk mengisi kas kampung (senampun). Kas kampung ini digunakan untuk dana keagamaan, olahraga, kegiatan pemuda dan kepentingan kampung lainnya. Tempat melakukan kerinan adalah sungai/lubuk yang sudah ditutup sebelumnya, jadi menangkap ikannya tidak langsung di atas sampan tetapi di darat. Sungai yang ditutup tersebut lalu dipasangi banyak kerinan (bambu untuk merangkap ikan) sesuai dengan jumlah warga yang ikut ngerinan. Masyarakat secara bersama-sama menangkap ikan dengan menyebar jala pada kerinan yang sudah dipasangi kerinan. Biasanya dalam satu kerinan dikerjakan oleh 3 KK.Penangkapan ikan harus dimulai secara bersama-sama, siapa yang mendahului akan dikenakan sanksi berupa denda uang karena dianggap sama dengan pencurian. Lama kegiatan kerinan ini 4-5 jam, tergantung pada hasil yang ingin diperoleh. Sekali kerinan bisa mencapai 800 kilogram ikan, atau kalau dalam rupiah bisa sampai 3 juta rupiah. Setelah ditangkap ikan yang ada lalu dibersihkan untuk selanjutnya ada yang dibuat ikan asin, kerupuk basah, dan lain-lain. Ikan yang sudah dibersihkan lalu ditimbang hasilnya, dan semua hasilnya ditujukan untuk kas kampung masing-masing. Ikan dalam kerinan tidak boleh diambil/dikuras semuanya, harus ada bagian yang disisakan agar ikan tidak habis (wawancara dengan ketua nelayan Semangit : Abang Astiar tanggal 8/10/2011). Dinyatakan bahwa kegiatan kerinan merupakan tradisi sejak lama sejak zaman kerajaan Selimbau. Di masa lalu, kerinan biasanya didahului dengan ritual bebantar, yaitu memberi ―makan‖ atau sesaji kepada danau. Sajian berupa buah-buahan, gandum, dan tiruan bentuk ikan. Namun tradisi itu sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Danau Sentarum yang sebagian besar adalah masyarakat melayu yang memeluk agama Islam, yang tidak memperbolehkan ritual sesajian seperti itu. Peraturan mengenai sungai ini bila dikaji merupakan kejelasan property right tesntang penguasaan areal kerja, sehingga tidak terjadi konflik antara masyarakat dalam wilayah kerja masing-masing. Aturan seperti ini dalam konteks kebijakan lingkungan, dapat mempengaruhi sikap terhadap lingkungan sampai batas tertentu bahkan menyebabkan perilaku terhadap lingkungan (Miller & Buys 2008). Sementara kegiatan seperti jala zakat dan ngerinan merupakan gambaran kegiatan bersama masyarakat dalam menjalin kekompakan bersama dan juga merupakan ajang silaturahmi. Masyarakat peladang juga memiliki aturan dan norma dalam mengelola SDA dan hutan yang mereka miliki. Sebagai contoh adalaah pada masyarakat dayak Iban yang tinggal di Kedungkang. Untuk aturan pengelolan sumberdaya alam dan hutan yang berlaku pada masyarakat Dayak Iban di Kedungkang berdasarkan hasil wawancara dengan pak Lom Kadus Kedungkang (25/11/2011) dan buku Tusun Tunggu Adat Iban Perbatasan Kalimantan Barat (22 /1/2007) berisikan hal-hal yang mengatur pengelolaan ladang dan pengaturan penangkapan ikan, yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Selain aturan mengenai kerja nelayan dan aturan pengelolaan SDA dan hutan, di TNDS juga diperoleh informasi mengenai aturan pengelolaan sumberdaya madu hutan dari periau. Karena sudah memiliki asosiasi yang resmi dan tercatat maka sudah ada kesepakatan standar internal APDS (Lampiran 12). Sebelumnya aturan pengelolaan sumberdaya madu hutan masyarakat periau 82 secara tradisional yaitu menyangkut aturan-aturan dan wilayah pengelolaan sebagai berikut : – Wilayah kelola periau tertentu (bisa dilihat dalam Gambar 17) – Jenis kayu yang digunakan untuk tikung ( tikung tidak boleh terbuat dari kayu Medang (Litsea sp) – Aturan pemasangan dan design tikung (Jarak antar tikung tidak boleh terlalu dekat; Tidak boleh memasang tikung di jalur tikung dan di luar periau; Pemasangan tikung di antara dua dahan pohon yang cukup kokoh dengan kemiringan tikung 30 – 40 derajat) – Kewajiban anggota periau menjaga lingkungan (habitat hutan rawa sebagai sumber pakan lebah) – Rekrutmen/pendaftaran anggota dan kode anggota pada tikung masing-masing – Jumlah minimal tikung yang harus dimiliki oleh satu orang anggota (Warga kampung dapat menjadi anggota periau dengan syarat mampu memasang lebih dari 25 tikung) – Panen harus dilakukan bersama-sama dengan waktu yang ditentukan oleh ketua periau dan tidak boleh mengambil madu di tikung orang lain. Gambar 17 Peta kerja periau yang ada di TNDS (WWF, 2010). Selain dalam bentuk tikung, masyarakat di TNDS juga dapat memanen madu dari hasil repak dan lalau. Ada aturan yang berlaku pula untuk memanen hasil madunya. Sampai saat ini orang yang panen madu dari kayu lalau, diharuskan untuk melantunkan timang yang dikenal dengan Timang Badul. Walaupun saat ini tidak lagi orang mensyairkan selengkap timang badul seperti aslinya. Umumnya mulai melantunkan timang mulai dari tiba di pohon lalau dan proses-proses mulai memanjat hingga kembali membawa hasil madu.Ada beberapa timang yang umum dinyanyikan yaitu Tuntung jatak, Minta tutup cahaya di langit, Nepas, Minta madu selusur dahan, Minta angin, Minta tidak disengat, Minta madu, Ngulur madu, dan Pulang. 83 Berikut salah satu contoh syair timang Minta madu selusur dahan: Minta belacan barang sedikit Pakai nyulit taruk mawang Oh..oh..ini dawang aku minta madu Madu mempai selusur dahan O…o…o… Timang adalah lagu tradisional yang syairnya berisikan pujaan dan permohonan akan sesuatu dimana terkandung nilai magis di dalamnya. Hikayat cerita dari ritual menyanyikan timang ini adalah pada suatu waktu lalu di kala musim lebah menghasilkan banyak madu, ada seseorang yang bernama Badul yang istrinya sedang hamil dan mengidam ingin makan anak lebah, tetapi si Badul tidak pandai memanjat pohon ―lalau‖ yang relatif tinggi. Namun si Badul tetap berusaha dan berfikir bagaimana caranya agar ia dapat mengambil anak lebah untuk istrinya. Akhirnya dia mulai melantunkan timang. Syair-syairnya sangat rinci dan beraturan mulai dari awal tumbuhnya sebatang kayu lalau, yaitu dari bunga, buah, kecambah, daun, batang, dahan, seterusnya hingga pertumbuhannya tinggi dan sudah layak untuk dihinggapi lebah serta cukup kuat untuk membuat sarang lebah. Kemudian tahap berikutnya ia mulai melantunkan permohonan agar lebah di pohon lalau tersebut bersedia memberikan madu dan sarangnya kepada Badul. Sembari ia melantunkan timang lalau, pohon tersebut makin lama semakin merunduk (melengkung kebawah) hingga sampai di teras depan pondoknya. Dengan demikian ia dapat dengan mudah memanen madu dan mengambil anak lebah tersebut tanpa harus memanjatnya. Karena untuk memenuhi hasrat isterinya yang sedang mengidam, ia hanya mengambil satu sarang saja. Setelah memanen madu dan mengambil anak lebah tersebut, ia melantunkan kembali timang tersebut sehingga pohon itu berdiri atau tegak kembali. Syair timang ini disebut dengan Timang Badul (disarikan dari Suara Bekakak edisi 4 2001). Dari fakta ini, disimpulkan bahwa setiap kelompok/suku memiliki hubungan yang erat dan ikatan (bonding) yang kuat sehingga masing-masing kelompok bisa mengatasi masalah dalam lingkungannya. Kondisi ini semakin memperkuat pernyataan bahwa masyarakat adat/ tradisional memiliki modal sosial yang erat diantara sesama mereka seperti hasil penelitian Rinawati 2012; Suharjito dan Saputro 2006; Pranadji 2006. Tapi mereka belum bisa menyelesaikan masalah karena belum adanya hubungan yang baik yang dibangun dengan kelompok di luar lingkungan. Hubungan inilah yang dinamakan bridging (hubungan yang menjembatani). Dari beberapa literatur diperlukan pihak luar yang bisa berperan untuk menjembatani hubungan seperti ini, yaitu peran fasilitator seperti LSM. Di TNDS sendiri terdapat beberapa LSM yang aktif berperan dalam pemberdayaan masyarakat dan berusaha untuk menjadi fasilitator seperti Riak Bumi, WWF, dan lain-lain. Norma sosial dengan berbagai aturan yang ada didalamnya telah secara nyata mengikat warga di setiap rukun nelayan dan warga untuk tetap memelihara dan menjaga kelestarian sumberdaya perairan dan hutannya. Aturan nelayan berupa pembagian wilayah kerja, pengaturan alat tangkap, pengaturan orang luar untuk bekerja, pengaturan jenis umpan, dan seterusnya secara langsung telah memberikan kontribusi dalam pelestarian sumberdaya perairan. Aturan periau berupa wilayah kelola periau, jenis kayu yang digunakan untuk tikung, aturan pemasangan, jumlah dan design tikung, kewajiban anggota periau untuk menjaga 84 lingkungan, rekrutmen/pendaftaran anggota dan kode anggota pada tikung masing-masing, serta aturan panen juga telah memberikan kontribusi dalam pelestarian sumberdaya madu hutan. Aturan di masyarakat Iban dalam pembagian zonasi hutan, pelarangan penebangan, aturan adanya hutan adat, hutan simpanan, aturan-aturan dalam pengelolaan ladang secara langsung telah memberikan kontribusi dalam pelestarian hutan. Hasil penelitian yang menunjukkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan tersebut cukup tinggi, terutama pada aturan-aturan tidak tertulis sehingga berimplikasi positif terhadap semua sumberdaya alam yang ada di wilayah pemanfaatan dan kelola masyarakat. Dan ini merupakan kekuatan untuk membantu dalam pelestarian SDA mereka sampai saat ini. Jaringan sosial Jaringan sosial yang ada di masyarakat di TNDS secara umum dapat dilihat pada Tabel 19. Jaringan sosial yang terbangun dalam masyarakat di TNDS berupa kepadatan organisasi, keanekaragaman keanggotaan, partisipasi, kerelaaan, kerjasama kelompok baik di dalam maupun di luar komunitas serta kebersamaan. Kepadatan organisasi terdiri dari jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam suatu organisasi dan jumlah organisasi yang diikuti. Sebanyak 98,33 persen responden menyatakan hanya kepala keluarga (1 orang) saja yang terlibat dalam organisasi, hanya 2 keluarga (1,11 persen) yang tidak ikut organisasi yang ada dan 1 keluarga menyatakan ada 2 anggota keluarga yang terlibat yaitu KK dan anak yang sudah dewasa tetapi belum menikah. Kepadatan organisasi berdasarkan jumlah organisasi yang diikuti responden berkisar antara 0 – 5 buah organisasi dalam satu keluarga. Rata-rata responden dalam mengikuti organisasi termasuk kategori sedang (52,22 persen) yaitu 2 organisasi yang diikuti dalam satu keluarga. Tipe organisasi yang diikuti antara lain berupa kelompok nelayan, asosiasi periau, kepemudaan, pamswakarsa, dan pasukan peduli api. Selain itu ada juga Kelompok Kerja Masyarakat TNDS dan Pertemuan tahunan masyarakat TNDS Organisasi yang dianggap paling penting adalah kelompok/rukun nelayan dan asosiasi periau danau sentarum, karena merupakan kelompok usaha bagi masyarakat yang dapat menopang perekonomian masyarakat. Sementara yang lainnya merupakan organisasi yang dibentuk bukan oleh inisiatif masyarakat sendiri tapi dari pihak luar, oleh karenanya tidak akan bergerak jika tidak difasilitasi dalam hal ini pemerintah/Balai TNDS ataupun LSM yang ada. Selang nilai tingkat jaringan sosial dengan Xmax = 27, Xmin = 9 dan N = 3 adalah 6, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi: a. Tingkat jaringan sosial rendah jika skor < 15 b. Tingkat jaringan sosial sedang jika skor 15 – 21 c. Tingkat jaringan sosial tinggi jika skor 22 – 27. Berdasarkan persamaan selang nilai untuk tingkat jaringan sosial pada masyarakat di dalam kawasan TNDS berada pada taraf sedang (skor 16), hal ini disumbang oleh berbagai sub unsur jaringan sosial terutama oleh tingkat kerjasama kelompok, tingkat partisipasi dan kebersamaan dalam organisasi dalam menghadapi masalah secara bersama-sama. 85 Tabel 19 Tingkat jaringan sosial responden di TNDS No 1 Sub unsur jaringan sosial Kepadatan organisasi (jumlah anggota keluarga yg terlibat) Tingkat 2 1,11 2 177 98,33 3 Kepadatan organisasi (jumlah organisasi yang diikuti) 1 0,56 180 100,00 1 82 45,55 2 94 52,22 3 4 2,22 180 100,00 Jumlah 3 Keragaman anggota organisasi 1 0 0,00 2 180 100,00 3 0 0,00 180 100,00 1 55 30,56 2 78 43,33 3 47 26,11 180 100,00 1 48 26,67 2 96 53,33 3 36 20,00 180 100,00 1 28 15,56 2 115 63,89 3 37 20,56 180 100,00 1 78 43,33 2 89 49,44 3 13 7,22 180 100,00 1 105 58,33 2 65 36,11 3 10 5,56 180 100,00 1 78 43,33 2 81 45,00 3 21 11,67 180 100,00 Jumlah 4 Partisipasi dalam kelompok Jumlah 5 Kerelaan membangun jaringan Jumlah 6 Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di dalam komunitas Jumlah 7 Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di luar komunitas Jumlah 8 Kebersamaan dalam organisasi (inisiatif anggota menjadi ketua sementara) Jumlah 9 Kebersamaan dalam organisasi (kerjasama anggota masyarakat jika ada masalah bersama) Persentase (%) 1 Jumlah 2 Jumlah (orang) Jumlah Skor Rata-rata 359 1,99 ≈ 2 282 1,56 ≈ 2 360 2,00 ≈ 2 352 1,96 ≈ 2 348 1,93 ≈ 2 369 2,05 ≈ 2 295 1,64 ≈ 2 265 1,47 ≈ 1 303 1,68 ≈ 2 Jumlah skor: 2933 dan rata-rata skor: 16,29 ≈ 16 Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 27, Xminimum: 9 dan jumlah kelas: 3 Karakteristik organisasi yang dianggap penting adalah sebagai berikut: a Kelompok/Rukun Nelayan Kelompok/rukun nelayan yang ada di TNDS terdiri dari rukun nelayan di setiap kampung nelayan permanen yang ada di TNDS. Awalnya terbentuk secara inisiatif warga masyarakat. Kedudukan sebagian besar responden dalam organisasi adalah anggota, hanya sedikit responden yang menjadi pengurus organisasi. Latar belakang seluruh responden ikut dalam rukun nelayan adalah sukarela tanpa adanya unsur paksaan. Sumber dana utama organisasi adalah iuran dari kegiatan penentuan sungai undi/sungai pinta dan 86 dari kegiatan ngerinan yang dikerjakan bersama-sama. Kelompok nelayan ini dirasakan sangat bermanfaat dalam usaha ekonomi mereka sebagai nelayan, sehingga tidak terjadi perselisihan antara warga dalam menentukan wilayah kerja, berarti memberikan ketenangan dalam bekerja dan dapat mempererat kerukunan dalam komunitas yang sama. b Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) APDS berdiri pada tanggal 21 Juli 2006. Isu yang mengikat terbentuknya APDS adalah kearifan lokal tentang periau (pembudidaya lebah madu hutan) yang mengelola tikung dan lingkungannya. Organisasi periau ini berperan dalam mengelola kawasan dan mengatur hubungan internal antar anggota periau. Sebelum terbentuknya APDS, posisi periau seringkali lemah bila berhadapan dengan pihak lain, pihak periau belum mengatur kesepakatan tentang pasca panen yaitu tentang harga dan hubungan eksternal. Dengan membentuk asosiasi ini diharapkan kearifan lokal akan tetap terpelihara bahkan bisa dikembangkan untuk mendapatkan hasil madu yang lebih baik dan berkelanjutan dan harga yang relatif stabil. Dengan bantuan dan fasilitasi dari berbagai pihak (Aliansi Organis Indonesia (AOI), Riak Bumi (RB), Yayasan Dian Tama (YDT), People Resources And Conservation Foundation (PRCF) dan World Wild Fund (WWF) KalBar) maka APDS dapat terbentuk, dan sudah dirasakan manfaat positifnya bagi masyarakat yang tergabung di dalamnya, terutama manfaat ekonomi. Asosiasi yang dibentuk ini menetapkan standar produksi madu dan pemrosesan serta harga, sedangkan aturan-aturan Periau tidak diubah hanya dilengkapi dengan ketentuan untuk berhadapan dengan pihak luar. Pada tahap awal pendirian APDS terdiri dari 5 periau (Suda, Danau Luar, Meresak, Semangit dan Semalah) dan beranggotakan 89 orang dengan wilayah periau yang dikelola meliputi daerah lahan basah seluas 7300 ha dan tikung berjumlah sekitar 7600 buah. Saat penelitian, hasil wawancara dengan Presiden APDS AM Irwanto (8 Oktober 20122) ada 11 (sebelas) Periau yang bergabung dengan jumlah anggota 210 orang yang mengelola area periau seluas 15.606,9 ha dan 16.863 buah tikung. Dari 11 periau tersebut, periau yang aktif adalah periau Tempurau, Semalah, Telatap, semangit, Majang, dan Sumpak. Sementara periau lainnya adalah Meresak, Suda, Danau Luar, Pengembung dan Lupak Mawang. Keragaman keanggotaan dalam organisasi dari 180 responden yang diwawancarai berada dalam kategori sedang. Kelompok/rukun nelayan, APDS, kelompok kepemudaan umumnya memiliki keragaman keanggotaan untuk ikatan kekerabatan, usia, pekerjaaan, pendidikan, pendapatan, politik dan satatus sosial. Sedangkan kesamaan yang dimiliki anggota dalam organisasi adalah tinggal dalam lingkungan, pekerjaan, etnisitas/suku/ras, bahasa dan agama yang sama. Partisipasi masyarakat dalam kelompok yang ada berada dalam kategori sedang (43,33 persen). Partisipasi ditunjukkan dari mengikuti kegiatan rapat-rapat yang dilakukan oleh organisasi yang ada. Sebanyak 53,33 persen responden rela dalam membangun jaringan sosial yang ada di TNDS. Ini terjadi karena latar belakang masyarakat ikut serta menjadi anggota organisasi adalah sukarela tanpa adanya paksaan atau sanksi. Kerjasama kelompok untuk mencapai tujuan terdiri dari kerjasama dengan kelompok lain dalam satu komunitas dan kerjasama dengan kelompok lain di luar komunitas. Untuk kedua kerjasama ini responden umumnya berada dalam 87 kategori sedang, yaitu 63,89 persen untuk dalam komunitas dan 49.44 persen di luar komunitas. Kebersamaan dalam organisasi dicerminkan dari keinginan anggota mengganti sementara jika ketua berhalangan dalam waktu yang cukup lama dan kebersamaan anggota terutama dalam menghadapi masalah bersama. Keinginan anggota menjadi ketua sementara berada pada kategori rendah (58,33 persen). Masyarakat lebih senang menjadi anggota saja dan sangat sulit mencari sosok pemimpin yang mau menggantikan ketua jika berhalangan tidak ada di kampung mereka, dan memimpin organisasi. Tingkat kebersamaan dalam menghadapi masalah bersama berada pada kategori sedang (45,00 persen). Masyarakat paham betul akan pentingnya kebersamaan, tapi dalam praktek kehidupan sehari-hari lebih sering melakukan secara sendiri-sendiri. Dari hasil penilaian terhadap jaringan sosial yang ada di masyarakat TNDS umumnya berada pada kategori sedang. Pengelolaan TNDS memerlukan jaringan sosial yang kuat di antara anggota masyarakat, karena jaringan yang kuat akan berfungsi sebagai pengikat dan jembatan dalam membentuk struktur sosial masyarakat. Selain itu diperlukan juga jaringan yang dapat menjadi link diantaranya. Interaksi sosial baik di dalam maupun di luar komunitas sangat memegang peranan penting untuk dapat menopang kegiatan pengelolaan TNDS yang berkelanjutan. Interaksi sosial di dalam masyarakat dilihat dari adanya tindakan kolektif untuk mencapai tujuan bersama yang dibatasi oleh institusi tertentu yang memiliki nilai, norma dan hubungan yang jelas (Lawang 2005). Usaha perikanan merupakan mata pencaharian utama penduduk di TNDS. Salah satu karakteristik dari usaha tersebut adalah terciptanya hubunganhubungan sosial yang bertujuan untuk melancarkan usaha perikanan yang dijalankan. Hubungan sosial ini menjadi penting karena secara geografis dan aksesibilitas kampung-kampung nelayan di TNDS berjarak cukup jauh dari pasar dan usaha perikanan yang mereka jalankan memiliki resiko yang tinggi. Pekerjaan sebagai nelayan dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu: nelayan tangkap dan nelayan budidaya. Nelayan tangkap melakukan aktivitasnya dengan cara mencari ikan secara langsung di sungai/danau, baik dengan menggunakan jarring, pancing, bubu, dan lain-lain. Sedangkan usaha perikanan budidaya merupakan usaha perikanan yang dilakukan nelayan dengan cara pembiakan ikan jenis tertentu di dalam keramba. Menurunnya hasil tangkapan ikan di sungai/danau, tingginya resiko perikanan tangkap, dan faktor alam yang unik di kawasan TNDS (musim basah dan kering yang ada) membuat sebagian besar nelayan menjadikan perikanan budidaya sebagai alternatif bagi upaya pemenuhan ekonomi mereka. Dalam usaha perikanan yang dijalankan oleh masyarakat di TNDS, terbentuk jaringan sosial yang secara umum dapat ditemui di kampung nelayan. Jaringan sosial tersebut tercipta dari hubungan antara pedagang antara (tengkulak) dengan nelayan. Terbentuknya hubungan ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat setempat (Gambar 18). Hubungan pedagang antara (tengkulak) dengan nelayan yang terbentuk didasari oleh hubungan saling menguntungkan. Dalam hubungan tersebut, tengkulak memanfaatkan kemampuan nelayan dalam menyediakan hasil perikanan yang dibutuhkan oleh pasar. Sedangkan nelayan membutuhkan tengkulak untuk memasarkan hasil perikanan yang mereka dapatkan. Dalam hal 88 ini, tengkulak memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kondisi pasar ikan dibandingkan nelayan. PASAR Hasil Perikanan TENGKULAK Hasil Penjualan Ikan NELAYAN Gambar 18 Jaringan sosial antara tengkulak dan nelayan di TNDS Berdasarkan jaringan sosial, modal sosial terbagi atas modal sosial yang mengikat, menjembatani dan menghubungkan (Iosifides et al. 2007; Putnam 2000. Woolcock 1998; Woolcock & Narayan, 2000). Di TNDS, jaringan sosial yang mengikat (bonding) bisa dikatakan sudah cukup kuat, seperti rukun nelayan yang ada di setiap kampung nelayan dan lembaga adat di kampong Iban. Modal sosial yang mengikat mengacu ke internal dalam komunitas contoh yang paling menjadi indikasi adalah jaringan dengan keluarga atau jaringan lingkungan dalam komunitasnya. Jaringan sosial yang menjembatani di TNDS masih dalam kategori rendah ke sedang. Seperti kegiatan pertemuan tahunan masyarakat TNDS yang sudah mulai dilaksanakan sejak tahun 2003. Modal sosial yang menjembatani (bridging) mengeksplorasi hubungan antara kelompok sosial yang berbeda dan masyarakat. Sementara itu jaringan sosial yang menghubungkan masih sangat lemah. Modal sosial yang menghubungkan (linking) mengacu pada jaringan antara entitas yang berbeda dengan berwenang. Jenis terakhir adalah sangat penting dalam isu lingkungan seperti mengeksplorasi koneksi antara masyarakat dan negara. Melalui fungsi mereka sebagai obligasi dan jembatan di komunitas, jaringan mungkin mengirimkan informasi mengenai masalah lingkungan dan menjinakkannya antara warga negara sehingga secara signifikan mempengaruhi tingkat partisipasi. Selain itu, permintaan masyarakat (yang berpartisipasi dalam jaringan formal dan informal) bagi penyelesaian suatu masalah lingkungan yang ditularkan melalui menghubungkan jaringan sosial. Konsekuensinya, jaringan ini membawa informasi, melalui proses dari bawah (bottom-up), dengan aktor yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan isu publik dalam agenda kebijakan. Selain kepadatan mereka, jenis jaringan sosial adalah sama pentingnya. Adanya hubungan vertikal dan klientelistik mungkin memiliki pengaruh negatif terhadap kegiatan lingkungan dari suatu komunitas. Bahkan dalam penelitian awal, tentang masalah agenda kebijakan (Cobb & Elder, 1976; Kingdon, 1976), peran jaringan ini perlu digarisbawahi karena mereka mempromosikan kepentingan kelompok sosial tertentu dalam agenda kebijakan sekaligus menciptakan ikatan ketergantungan antara warga negara. Jaringan sosial yang terbentuk dan terbangun baik antar masyarakat yang terbentuk dari hubungan antar personal maupun jejaring yang dilakukan dengan pihak luar. Jaringan sosial yang terbentuk kuat di TNDS lebih pada tipe jaringan 89 sosial terikat (bonding) dibandingkan tipe modal sosial menjembatani (bridging). Tipe bonding cenderung menjadi perekat sosial (social glue), berorientasi ke dalam, lebih banyak bekerja secara internal, solidaritas lebih bersifat mikro dan komunal serta hubungan yang terjadi lebih eksklusif berdasarkan nilai, kultur, persepsi, tradisi dan adat istiadat (Ramli 2007). Kelemahannya adalah perbedaan yang kuat antara ‗orang dalam‘ dengan ‗orang luar‘, sulit menerima arus perubahan, kurang akomodatif terhadap pihak luar, mengutamakan kepentingan dan solidaritas kelompok yang dinyatakan Hasbullah 2006, terbukti terjadi di TNDS, dimana masyarakat kuat di lokasi mereka sendiri, tapi tidak solid ketika keluar. Biarpun demikian kondisi ini telah memberikan kontribusi positif dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada di lokasi mereka sendiri. Anggota masyarakat dengan saling mengetahui kondisi rumah tangga anggota masyarakat yang lain secara tidak langsung merupakan bentuk pengawasan diantara mereka. Hubungan yang terjalin memungkinkan antara mereka untuk dapat saling mengingatkan. Tingkat Modal Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan TNDS Berdasarkan unsur-unsur pembentuk modal sosial yang dinilai maka diperoleh tingkat modal sosial masyarakat seperti yang terangkum pada Tabel 20. Tabel 20 Tingkat modal sosial masyarakat dalam kawasan TNDS No. 1 2 3 Unsur modal sosial Skor Nilai Maksimum- Minimum 27 - 9 18 - 6 27 - 9 72 - 24 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Rata-rata Kepercayaan 4.006 22 Norma sosial 2.678 15 Jaringan sosial 2.933 16 Jumlah 9.617 53 Keterangan : Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), Xmaksimum: 72, Xminimum: 38 dan jumlah kelas 3 Berdasarkan persamaan selang nilai modal sosial dengan Xmax = 72, Xmin = 24 dan N = 3 adalah 11,3, sehingga tingkat modal sosial masyarakat dalam kawasan TNDS dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Modal sosial masyarakat termasuk kategori rendah bila jumlah skor < 35, dalam hal pengelolaan kawasan TNDS maka akan sulit untuk dilibatkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki. b. Modal sosial masyarakat termasuk kategori sedang bila jumlah skor antara 35 – 46, dalam hal pengelolaan kawasan TNDS maka dapat untuk dilibatkan dengan catatan perlu untuk dilakukan pendampingan untuk penguatan moda sosial yang sudah dimiliki. c. Modal sosial masyarakat termasuk kategori tinggi bila jumlah skor > 47, dalam hal pengelolaan kawasan maka akan sangat membantu bila dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan kawasan TNDS jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki. Berdasarkan Tabel 20, masyarakat dalam kawasan TNDS memiliki tingkat modal sosial yang tinggi (dengan rata-rata skor 53). Dilihat dari bentuk-bentuk interelasi yang terjadi, masyarakat dalam kawasan TNDS memiliki kecenderungan tipe modal sosial yang terikat (bonding). Ini dapat dilihat dari hubungan yang dimiliki lebih berorientasi ke dalam, yaitu bekerja lebih banyak 90 secara internal (sesama etnis), kepercayaan lebih diberikan dalam komunitas yang sama, dan model hubungan yang terjadi dilakukan berdasarkan nilai, kultur, persepsi dan adat istiadat masing-masing. Hal ini tampak jelas dari hubungan yang terjadi antara masyarakat Melayu dan masyarakat Iban yang ada di dalam kawasan. Modal sosial yang terikat ini akan kuat di dalam komunitasnya, namun akan lemah bila berhadapan dengan masyarakat di luar komunitasnya. Selain itu tipe modal sosial ini sulit menerima perubahan, namun demikian tingginya modal sosial yang dimiliki masyarakat TNDS merupakan salah satu modal yang harus digunakan untuk menjaga kelestarian SDA di kawasan TNDS. Untuk pemanfaatan secara optimal, maka diperlukan juga penguatan SDM yang ada pada masyarakat TNDS, sehingga lebih memperkuat kemampuan modal sosial yang ada untuk terlibat dalam pengelolaan TNDS yang berkelanjutan. Kapabilitas Pemerintah dalam Pengelolaan TNDS Kapabilitas pemerintah dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengelola negara baik yang sudah dimiliki maupun perubahannya. Kapabilitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan kapasitas. Dalam pengelolaan TNDS kapabilitas negara dinilai dari indikator yang ada di Balai TNDS yang mendapat mandat dan wewenang untuk mengelola TNDS. Hasil penilaian kapabilitas negara yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS (18 pemangku kepentingan) berdasarkan indikator negara dan indikator hubungan antara negara dan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 21 berikut: Tabel 21 Tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS No 1 Sub unsur indikator negara (karakteristik intrinsik) Human capital Tingkat 1 2 3 Jumlah (pemangku kepentingan) 13 5 0 18 12 6 0 18 14 3 1 18 17 1 0 18 Persentase (%) Skor Rata-rata 72,22 27,78 0,00 100,00 66,67 33,33 0,00 100,00 77,77 16,67 5,56 100,00 94,44 5,56 0,00 100,00 13 10 0 Jumlah 23 1,28 ≈ 1 2 Rasionalitas instrumental 1 12 2 12 3 0 Jumlah 24 1,33 ≈ 1 3 Koherensi 1 14 2 6 3 3 Jumlah 23 1,28 ≈ 1 4 Ketahanan 1 17 2 2 3 0 19 1,06 ≈ 1 Jumlah skor dan rata-rata 89 4,95 ≈ 5 Keterangan: Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 12, Xminimum: 4 dan jumlah kelas: 3 Selang nilai tingkat karakteristik intrinsik dengan Xmaksimum = 12, Xminimum = 4 dan N = 3 adalah 2,67, sehingga tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS dapat dikategorikan menjadi: a tingkat karakteristik intrinsik pemerintah rendah jika skor < 6 b tingkat karakteristik intrinsik pemerintah sedang jika skor 6 – 9 c tingkat karakteristik intrinsik pemerintah tinggi jika skor 10 – 12 91 Berdasarkan Tabel 21 ternyata karakteristik intrinsik pemerintah berada pada tingkatan rendah (skor 5), hal ini ditunjukkan dengan rendahnya human capital yang melaksanakan pengelolaan TNDS, begitu juga dengan tingkat rasionalitas instrumental, koherensi dan ketahanan yang dimiliki oleh Balai TNDS sebagai wakil pemerintah. Dalam karakteristik intrinsik, yaitu internal Balai TNDS seperti modal manusia, rasionalitas instrumental, koherensi dan ketahanan, semua cenderung menilai Balai TNDS pada kategori rendah. Modal manusia misalnya, tidak hanya penilaian dari luar yang menyatakan bahwa Balai TNDS masih lemah/rendah, tapi pihak Balai sendiri mengakui hal ini (hasil wawancara dengan beberapa pegawai Balai TNDS dan statistik Balai TNDS 2011). Sumberdaya manusia dirasakan masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya. Jika dibandingkan antara luas kawasan Taman Nasional Danau Sentarum dengan jumlah sumber daya manusia yang tersedia memang dirasakan masih sangat kurang. Pada saat ini Balai TNDS baru memiliki pegawai sebanyak 36 orang yang terdiri dari 1 orang eselon III, 3 Orang Eselon IV, 17 orang Polhut, 5 orang Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), 4 orang Penyuluh Kehutanan dan 6 orang Nonstruktural dan petugas lapangan, dan ada 42 pegawai kontrak. Berikut rekapitulasi jumlah pegawai Balai TNDS berdasarkan beberapa klasifikasi. Tabel 22 Rekapitulasi sebaran pegawai Balai TNDS tahun 2010 Unit Pelaksana Status Pegawai PNS Kontrak 14 6 7 1 9 1 6 1 Kantor Balai SPTN I Lanjak SPTN Semitau SPTN Selimbau DAOPS Putussibau 0 BRIGDALKAR TNDS Jumlah 36 Sumber: Data Statistik Balai TNDS 2011 Jumlah 20 8 10 7 33 33 42 80 Sementara itu berdasarkan tingkatan pendidikan dari sumberdaya manusia yang ada saat ini adalah sebagai berikut: 92 Tingkat Pendidikan Pegawai Balai TNDS tahun 2010 Jumlah 7 6 5 4 3 2 1 0 Balai TNDS SPTN I Lanjak 2 SPTN II Semitau 2 SPTN II Selimbau 2 S1 6 D3 3 1 0 2 SLTA/SKMA 5 4 7 2 Gambar 19 Diagram sebaran pegawai Balai TNDS berdasar pendidikan Sumber: Data Statistik Balai TNDS 2011 Dari indikator rasionalitas instrumental, yaitu kemampuan komponen negara untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang relevan dengan kepentingan dan untuk membuat keputusan yang memaksimalkan utilitas mereka, 66,67 persen responden menyatakan Balai TNDS tidak mampu, sementara selebihnya 33,33 persen menyatakan cukup mampu. Hal ini dikonfirmasikan dengan pihak Balai, mereka menyatakan hal tersebut memang merupakan kenyataan, dan hal ini berkaitan dengan jumlah pegawai dalam mengumpulkan informasi tersebut sangat terbatas. Koherensi merupakan tingkat dimana komponen-komponen negara setuju dan bertindak atas dasar ideologis bersama, tujuan, dan metode, juga kemampuan komponen untuk berkomunikasi dan debat pendapat yang konstruktif, informasi dan kebijakan di antara mereka sendiri. Pihak Balai menganggap untuk koherensi mereka berada dalam tingkat yang tinggi, ini kemungkinan besar dikarenakan mereka semua bertindak atas pandangan yang sama dalam mengelola TNDS yaitu ke arah konservasi. Walaupun mungkin ada orang-orang tertentu yang tidak sama pandangannya, tapi karena berada dalam satu struktur kerja, jadi tidak begitu timbul ke permukaan. Sementara responden lain mengganggap koherensi di dalam Balai TNDS 16,67 persen dalam tingkat sedang dan 77,77 persen dalam tingkat rendah. Indikator karakteristik intrinsik terakhir yang dinilai adalah mengenai ketahanan, yaitu kemampuan untuk menghadapi guncangan tiba-tiba, beradaptasi dalam jangka panjang menghadapi perubahan sosial ekonomi, dan menyelesaikan sengketa masyarakat. Seluruh responden diluar pihak Balai TNDS, menyatakan pihak Balai tidak mampu. Beberapa contoh yang dapat disajikan responden antara lain adalah, ketika terjadi kebakaran hutan, pihak Balai tidak akan mampu untuk memadamkan kebakaran, sangat diperlukan bantuan dari pihak lain untuk dapat meredam kebakaran. Untuk kasus kebakaran ini telah dibentuk Masyarakat Peduli Api yaitu kumpulan masyarakat yang secara sukarela bersedia membantu upaya 93 pengendalian kebakaran hutan dan lahan (mulai dari pencegahan, pemadaman dan penanggulangan dampak). Contoh lain lagi, yaitu ketika terjadi sengketa antara nelayan mengenai wilayah kerja, pihak Balai tidak mempunyai hak untuk berbicara, karena masyarakat lebih mendengar pimpinan adat mereka masingmasing. Dan beberapa kasus lain yang menunjukkan ketahanan dalam Balai TNDS masih rendah. Selain karakteristik intrinsik dalam pemerintah, indikator lain yang digunakan untuk mengukur kapabilitas negara dalam pengelolaan TNDS adalah dengan melihat hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Adapun hasil penilaian tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 23. Selang nilai tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat dengan Xmaksimum = 12, Xminimum = 4 dan N = 3 adalah 2,67, sehingga tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS dapat dikategorikan menjadi: a tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat rendah jika skor < 6 b tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat sedang jika skor 6 – 9 c tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat tinggi jika skor 10 – 12 Tabel 23 Tingkat hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan TNDS No 1 Sub unsur indikator hubungan antara pemerintah dan masyarakat Otonomi Tingkat 1 2 3 Jumlah (pemangku kepentingan) 17 1 0 18 18 0 0 18 17 1 0 18 16 2 0 18 Persentase (%) Skor Rata-rata 94,44 5,56 0,00 100,00 100,00 0,00 0,00 100,00 94,44 5,56 0,00 100,00 88,89 11,11 0,00 100,00 17 2 0 Jumlah 19 1,06 ≈ 1 2 Sumberdaya fiskal 1 18 2 0 3 0 Jumlah 18 1,00 ≈ 1 3 Jangkauan dan responsif 1 17 2 2 3 0 Jumlah 19 1,06 ≈ 1 4 Legitimasi 1 16 2 4 3 0 20 1,11 ≈ 1 Jumlah skor dan rata-rata 76 4,22 ≈ 4 Keterangan: Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 12, Xminimum: 4 dan jumlah kelas: 3 Berdasarkan Tabel 23 ternyata hubungan antara pemerintah dan masyarakat berada pada tingkatan rendah (skor 4), hal ini ditunjukkan dengan rendahnya otonomi yang dimiliki, sumberdya fiskal yang dikelola, jangkauan dan responsif serta legitimasi Balai TNDS. Otonomi negara yang dimaksud disini adah sejauh mana negara dapat bertindak secara independen dari kekuatan eksternal, baik domestik dan internasional, dan kooptasi yang akan mengubah atau membatasi tindakan-tindakannya. Sebanyak 94,44 persen responden menyatakan bahwa negara dalam hal ini Balai TNDS masih rendah secaara otonomi dalam bertindak secara independen. Hal ini sangat dimungkinkan karena balai TNDS merupakan UPT yang ditunjuk dan diberikan oleh Dirjen PHKA dalam mengelola TNDS. Jadi setiap tindakan yang diambil selalu mengacu pada aturan yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA. Sayangnya acuan yang dikeluarkan biasanya hanya satu 94 macam dan seragam untuk semua kawasan. Sehingga dapat menjadi titik lemah jika tidak bisa diterapkan di kawasan yang mempunyai karakteristik yang unik. Sementara dilihat dari kekuatan eksternal internasional, adalah kuatnya pengaruh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam kegiatan pengelolaan TN di Indonesia termasuk TNDS. Kategori apapun yang ada di kawasan konservasi mengacu pada kategori yang dikeluarkan oleh IUCN. Padahal tidak semua yang dikeluarkan oleh IUCN ini dapat diadaptasi di Indonesia. Lagilagi hal ini menyebabkan negara tidak dapat bertindak secara independen. Indikator sumberdaya fiskal adalah menilai kemampuan keuangan negara atau komponen yang dibelikan negara. Kapasitas ini adalah fungsi dari kedua aliran pendapatan saat ini dan cukup layak serta tuntutan pada pendapatan itu. 100 persen responden menyatakan bahwa negara tidak mampu dalam sumberdaya fiskal ini, termasuk dari pihak Balai TNDS menyatakan hal ini. Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tahun 2010 (tahun keempat pelaksanaan rencana strategik periode tahun 2007-2011), Balai TNDS memiliki anggaran belanja yang berasal dari sumber dana DIPA dengan total anggaran sebesar Rp 6.768.844.000. Jadi semua sumberdaya fiskal semuanya berasal dari pusat, tidak ada pendapatan yang digunakan untuk membiayai kegiatan Balai. Sementara pendapatan yang diperoleh dari tiket masuk ke TNDS bagi peneliti dan pariwisata untuk tahun 2011 sebesar Rp 14.426.000 langsung masuk ke pusat karena termasuk dalam PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Padahal sebagai suatu organisasi untuk dapat capable salah satunya harus memiliki sumberdaya keuangan(fiskal) yang mantap disamping sumberdaya fisik, sumberdaya manusia, sumberdaya teknologi dan reputasi organisasi karena a capability is the capacity for a set of resources (Hitt et al. 2005). Sejauh mana negara berhasil dalam memperluas ideology, struktur sosial politik, dan aparat administrasi seluruh masyarakat (baik secara geografis, dan masuk ke struktur sosio-ekonomi masyarakat sipil); respon dari struktur dan aparat untuk kebutuhan lokal masyarakat juga dinilai rendah oleh responden dari berbagai pemangku kepentingan yang ada di TNDS. Ideology konservasi yang dimiliki oleh negara dalam mengelola TNDS belum berhasil disebarluaskan. Hal ini tampak dari respon masyarakat yang memandang TNDS adalah sumber pendapatan bagi mereka sehingga mereka seharusnya dapat dengan bebas untuk memanfaatkan dan menggunakan TNDS sebagai asset ekonomi. Begitu juga dengan pemerintah daerah, yang lebih berat kepada pertimbangan ekonomi dibanding konservasi dalam memandang areal di sekitar TNDS, walaupun pemda Kapuas Hulu sudah mencadangkan diri sebagai kabupaten konservasi. Sementara dari sisi LSM, ada beberapa yang condong pada pandangan kesejahteraan masyarakat dibanding konservasi, walaupun mereka melabel diri mereka sebagai LSM yang pro konservasi, tapi bila dihadapkan dengan kepentingan manusia, mereka lebih cenderung ke masyarakat untuk disejahterakan. Apa yang terjadi di TNDS seperti juga yang terjadi pada pengelolaan TN di berbagai tempat, yaitu adanya perbedaan diskursus dalam mengelola TN (Wittmer and Birner 2005). Sementara itu, indikator legitimasi yang merupakan indikator kekuatan otoritas moral negara yaitu sejauh mana rakyat mematuhi perintah yang keluar dari rasa kesetiaan dan kewajiban, bukan sebagai akibat dari paksaan atau inisiatif ekonomi. 88,89 persen menyatakan tidak kuatnya legitimasi negara, hal ini dikarenakan masih banyaknya tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman yang 95 dihadapi oleh pihak Balai TNDS dalam mengelola TNDS. Balai TNDS adalah suatu organisasi kekuasaan yang bersifat formal. Formalnya sebuah kekuasaan membuat kekuasaan memiliki wewenang dan hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan serta memiliki otoritas untuk memberikan sanksi bila aturan atau perintah tersebut dilanggar dan tidak dilaksanakan. Namun, walau telah ada kekuasaan dan telah dilembagakan atau sah, masih ada faktor lain untuk dapat dengan efektif dan mengurangi pemaksaan dan kekerasan dalam pelaksanaannya. Sebuah kekuasaan tentunya harus memiliki pengakuan atau keabsahan. Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati (Budiarjo 2008). Adanya pelanggaran yang terus terjadi menunjukkan tidak kuatnya legitimasi pemerintah dalam pengelolaan TNDS. Berdasarkan indikator-indikator yang digunakan untuk menilai kapabilitas pemerintah maka diperoleh tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS (Tabel 24). Tabel 24 Tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS No. 1 2 Indikator kapabilitas pemerintah Skor Rata-rata Nilai Maksimum- Minimum 12 – 4 Karakter intrinsik 89 5 Hubungan antara pemerintah 76 4 12 – 4 dan masyarakat Jumlah 165 9 24 – 8 Keterangan : Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 24, Xminimum: 8, dan jumlah kelas 3 Berdasarkan persamaan selang nilai dimana Xmaksimum = 24, Xminimum = 8, dan jumlah kelas 3 adalah 5,33. Skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan kapabilitas pemerintah pada pengelolaan TNDS adalah sebagai berikut: a. Tingkat kapabilitas pemerintah rendah apabila jumlah skor < 13, dalam hal pengelolaan TNDS maka sulit untuk dapat berperan secara optimal jika dilihat dari kapabilitas yang dimiliki. b. Tingkat kapabilitas pemerintah sedang apabila jumlah skor antara 13 – 18, dalam hal pengelolaan TNDS maka dapat berperan secara optimal jika dilihat dari kapabilitas yang dimiliki. c. Tingkat kapabilitas pemerintah tinggi apabila jumlah skor antara 19 – 24, dalam hal pengelolaan TNDS maka dapat sangat berperan secara optimal jika dilihat dari kapabilitas yang dimiliki. Berdasarkan hasil penilaian yang sudah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa kapabilitas pemerintah ternyata masih rendah (skor 9) dalam pengelolaan TNDS, kondisi serupa juga terjadi di berbagai TN di dalam maupun luar negeri (Holmes-Watts dan Watts 2008). Untuk dapat mengelola TNDS maka kapabilitas dari Balai TNDS harus dikembangkan, karena kapabilitas bersifat dinamis, jadi dapat berubah dan diharapkan menjadi lebih baik. Peningkatan kapabilitas ini tentunya memerlukan pengorbanan berupa keinginan untuk menjadi lebih baik dalam mengelola melalui berbagai pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan. Walaupun kondisi ini telah terjadi sejak lama tetapi proses pembelajaran sangat lambat terjadi.