7 modal sosial masyarakat dan kapabilitas

advertisement
75
Konflik yang terjadi perlu dikelola, sehingga tidak mengarah ke konflik yang
lebih tajam tetapi dapat dikurangi dengan melakukan mediasi dan koordinasi
diantara pihak-pihak yang berkonflik. Ego antara kepentingan pelestarian
lingkungan dan ekonomi dapat diselaraskan jika pihak-pihak yang berkonflik mau
berkoordinasi dan berkomunikasi, sehingga kepentingan konservasi dan ekonomi
dapat saling mendukung bukan untuk dipertentangkan. Sementara hubungan
saling mengisi dan kerjasama yang sudah dilakukan harus terus dipelihara dan
ditingkatkan sehingga pengelolaan kawasan yang lestari dan memberikan manfaat
bagi masyarakat dapat dicapai. Untuk mencapai hal ini diperlukan waktu, dedikasi
dan upaya serius dalam keterlibatan sosial, dan juga niat baik dan tulus dari semua
pihak untuk dapat berkolaborasi dalam mengelola kawasan TNDS dan sekitarnya.
7 MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN KAPABILITAS
PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN TNDS
Pengelolaan TNDS secara tunggal oleh pemerintah yang mementingkan
kepentingan konservasi lebih banyak menimbulkan konflik diantara pemangku
kepentingan, walaupun Balai TNDS sebagai key players ternyata tidak mampu
memainkan perannya dengan baik. Hal ini diduga kedudukan key players yang
dimiliki oleh Balai TNDS bersifat semu belaka, yang disebabkan oleh legalitas
yang dimiliki, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk memaksa masyarakat
mematuhinya. Berarti ada kekuatan lain di dalam masyarakat yang lebih berperan
dalam mengelola sumberdaya alam yang ada. Untuk itu perlu dilakukan kajian
mengenai modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS.
Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat
Unsur-unsur pembentuk modal sosial yang diidentifikasi pada masyarakat di
dalam kawasan TNDS berdasarkan konsep Putnam 1993, meliputi: kepercayaan,
norma sosial, dan jaringan sosial. Penilaian terhadap unsur-unsur pembentuk
modal sosial masyarakat menggunakan 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi.
Kepercayaan
Penilaian terhadap tingkat kepercayaan masyarakat TNDS meliputi tingkat
kepercayaan terhadap orang di sekitar komunitas dengan etnis yang sama, orang
di sekitar komunitas dengan etnis yang berbeda, aparat pemerintah (BTNDS,
Pemda Kabupaten, Pihak Kecamatan), tokoh masyarakat/agama, pihak luar
(LSM), tingkat kepercayaan terhadap manfaat SDA, tingkat kepercayaaan
masyarakat dalam menjaga kelestarian SDA, tingkat kepercayaan untuk
bekerjasama serta tingkat kepercayaan untuk menjaga keeratan hubungan. Tingkat
kepercayaan responden di TNDS dapat dilihat pada Tabel 17.
Selang nilai tingkat kepercayaan dengan Xmax = 27, Xmin = 9 dan N = 3
adalah 6, sehingga tingkat kepercayaan dapat dibagi menjadi:
76
a. Tingkat kepercayaan rendah jika skor < 15
b. Tingkat kepercayaan sedang jika skor 15 – 21
c. Tingkat kepercayaan tinggi jika skor 22 – 27
Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa rata-rata masyarakat memiliki tingkat
kepercayaan dalam kategori tinggi (skor 22). Masyarakat (94,44 persen) menilai
orang-orang di sekitarnya dari etnis yang sama dapat dipercaya, ini berarti
masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap anggota komunitas
yang sama etnisnya. Tingkat kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari masih
menunjukkan tingkat yang positif diantara sesama etnis, namun sebaliknya jika
berkaitan dengan etnis yang berbeda, masyarakat sangat berhati-hati dalam
berinteraksi sehingga tingkat kepercayaan masyarakat untuk orang-orang di
sekitarnya dari etnis yang berbeda masuk dalam kategori rendah (87,22 persen).
Ini selaras dengan pernyataan Putnam et al. 1993), bahwa kepercayaan dibentuk
atas dasar ikatan genealogis dan identitas yang sama dan kepercayaan sosial
timbul dari kepercayaan yang timbul dan berkembang diantara individu-individu.
Tabel 17 Tingkat kepercayaan responden di TNDS
No
1
2
3
4
Sub unsur kepercayaan
Tingkat
Kepercayaan terhadap orang di sekitar
dengan etnis yang sama
1
2
3
Jumlah
Kepercayaan terhadap orang di sekitar
dengan etnis yang berbeda
Jumlah
Kepercayaan terhadap aparat pemerintah
(Balai TNDS, Pemda Kabupaten, Pihak
Kecamatan)
Jumlah
Kepercayaan terhadap tokoh
masyarakat/agama
5
Jumlah
Kepercayaan terhadap pihak luar (LSM)
6
Jumlah
Kepercayaan terhadap manfaat SDA
7
8
9
Jumlah
Kepercayaan dalam
kelestarian SDA
hal
menjaga
Jumlah
Kepercayaan untuk bekerjasama
Jumlah
Kepercayaan untuk menjaga keeratan
hubungan
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Jumlah
(orang)
0
10
170
180
157
23
0
180
67
83
30
180
0
0
180
180
44
84
52
180
0
5
175
180
17
31
132
180
7
18
155
180
2
12
166
180
Persentase
(%)
0
5,56
94,44
100,00
87,22
12,78
0
100,00
37,22
46,11
16,67
100,00
0
0
100,00
100,00
24,44
46,67
28,89
100,00
0
2.78
97,22
9,44
17,22
73,34
100,00
3,89
10,00
86,11
Skor
Rata-rata
530
2,94 ≈ 3
203
1,13 ≈ 1
323
1,79 ≈ 2
540
3
368
2,04 ≈ 2
535
2,97 ≈ 3
475
2,64 ≈ 3
508
2,82 ≈ 3
524
2.91 ≈ 3
1,11
6,67
92,22
Jumlah skor: 4006 dan rata-rata skor 22,26 ≈ 22
Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 27,
Xminimum: 9 dan jumlah kelas:3
Kondisi tersebut dibuktikan dari tingkat kepercayaan masyarakat secara
umum (73,33 persen) akan kepatuhan dan kemampuan warga dalam menjaga
77
kelestarian SDA dan hutan. Hanya 9,44 persen yang tidak percaya akan kepatuhan
dan kemampuan menjaga kelestarian SDA dan hutan, lebih dikarenakan
perbedaan etnis dan budaya di dalam pemanfaatan SDA. Hal ini tampak jelas
ditemui di SPTN Lanjak karena terdapat 2 suku yang hidup di SPTN ini, yaitu
etnis Melayu dan etnis Dayak. Dimana terdapat kecurigaan antara dua suku ini
dan berpotensi konflik, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya
perikanan yang ada. Hal ini mendukung hasil penelitian Yasmi et al. 2010 yang
mengemukakan bahwa terdapat konflik dalam pengelolaan sumber perikanan di
TNDS.
Kemampuan bekerjasama dan menjaga keeratan hubungan masih
menunjukkan tingkat yang positif di setiap SPTN. Hal ini dikarenakan anggota
masyarakat yang tinggal dalam satu kampung adalah orang-orang yang telah
dikenal lama baik karena hubungan kekerabatan ataupun karena kesamaan asalusul. Kenyataan tersebut ditunjukkan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi
untuk orang-orang dalam satu kampung yang memiliki latar belakang/etnis yang
sama, tetapi bila berkaitan dengan orang luar yang berbeda etnis tingkat
kepercayaan cenderung menjadi rendah.
Berdasarkan Tabel 17 diketahui responden lebih percaya kepada tokoh
masyarakat/adat dan tokoh agama daripada kepada aparat pemerintah. Aparat
pemerintah baik kecamatan maupun kabupaten apalagi propinsi dinyatakan tidak
pernah sampai ke kampung mereka, aparat hanya datang ketika akan dilaksanakan
pemilahan umum untuk menggalang suara. Begitu pula dengan pihak Dinas
terkait, seperti Dinas Perikanan, Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata hanya berkunjung saat mereka memiliki kegiatan di
wilayah TNDS, jadi tidak bisa dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat. Sementara
dengan pihak Balai TNDS masyarakat juga tidak begitu percaya, masyarakat
hanya percaya kepada orang-orang tertentu dari pihak Balai, tapi tidak dengan
Balai TNDS nya. Hal ini diungkapkan oleh responden bahwa pihak Balai sebagai
aparat pemerintah seringkali membatasi gerak mereka dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada di TNDS. Selain itu terungkap pula bahwa yang
datang ke kampung mereka hanya staf biasa, tapi tidak kepala kantornya. Menurut
masyarakat, mereka tidak dianggap penting oleh pihak pemerintah.
Berdasarkan kondisi ini, maka sebenarnya usaha pemerintah yang
menempatkan perwakilannya untuk mengelola suatu kawasan akan sia-sia, karena
terbukti tidak dipercaya oleh masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa
pengelolaan yang government oriented tidak akan berjalan efektif. Penelitian ini
memperkuat pernyataan Kusdamayanti (2008) yang menyatakan selama masih
ada dominasi negara dalam pengelolaan kawasan mengakibatkan tidak
seimbangnya peran dan kekuatan yang ada antara negara dan masyarakat.
Pemberian kesempatan kepada tokoh masyarakat dengan memperkuat
kapasitasnya dan kapabilitasnya akan mampu untuk bekerja mengelola kawasan
sesuai dengan yang diharapkan, sehingga baik negara dan masyarakat dapat
memperoleh manfaat dari yang dikelolanya.
Sementara itu kepercayaan masyarakat terhadap pihak luar terutama LSM
yang bekerja di TNDS pada kategori sedang (46,67 persen) karena berbeda
selangnya di setiap SPTN. 50 persen responden di Lanjak memiliki tingkat
kepercayaan yang rendah dengan LSM dikarenakan LSM dianggap hanya
mengobral janji dan menjadikan masyarakat sebagai alat kepentingan program
78
kerja mereka. Sementara di Semitau 75 persen responden tingkat
kepercayaaannya pada kategori sedang karena LSM belum begitu tampak
perannya bagi kemajuan masyarakat. Berbeda dengan di SPTN Selimbau, 63
persen responden memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi akan keberadaan
LSM karena masyarakat Selimbau telah merasakan manfaat pendampingan yang
dilakukan oleh LSM mengenai pengelolaan madu yang telah berhasil
meningkatkan pendapatan masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan timbul, jika
hasil nyata sudah diperoleh, tidak hanya sekedar janji belaka, disini masyarakat
perlu bukti tidak hanya janji-janji semata.
Kepercayaan yang terjalin dalam hubungan bermasyarakat membuat
masyarakat dapat menjalin keharmonisan hubungan dan integrasi sosial di antara
mereka. Pada konteks pengelolaan dan kelestarian sumberdaya alam dan hutan,
kepercayaan yang dimiliki masyarakat dapat membantu mengurangi terjadinya
kompetisi yang serius dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan hutan yang
ada. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor perikanan
dan hutan masih berada dalam koridor aturan-aturan pengelolaan sumberdaya
perikanan dan hutan yang mereka percayai dan dijalankan sejak jaman leluhur
mereka.
Kondisi perairaan yang dimanfaatkan dan yang dikelola di lokasi penelitian
relatif dalam keadaan yang lestari. Hal ini dibuktikan dengan hasil tangkapan ikan
yang masih tetap melimpah yang diperoleh masayarakat. Berkurangnya hasil
tangkapan yang terjadi saat ini, sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh degradasi
lingkungan tapi juga karena adanya tekanan jumlah penduduk, dimana semakin
banyaknya manusia/orang yang ikut mencari ikan di TNDS. Ini dapat dilihat dari
pertambahan jumlah kampung nelayan dan jumlah penduduk yang semakin
bertambah di TNDS. Begitu juga kondisi hutan yang dikelola oleh masyarakat
Iban di Kedungkang relatif masih dalam keadaan baik. Hutan adat, hutan
simpanan dan hutan keramat masih dijaga dengan baik, menunjukkan kelestarian
hutan tetap dijaga. Memang telah ada hutan produksi mereka yang telah ditebangi
dan terbuka, akan tetapi hutan tersebut ditebang karena adanya kegiatan
penebangan liar yang dilakukan oleh pihak luar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tingkat kepercayaan yang
tinggi (nilai skor 22) di dalam masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki
kapabilitas kepercayaan yang tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust
yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat.
Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas kepercayaaan yang rendah
(low trust), atau memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), maka akan
memiliki potensi modal sosial yang lemah. Oleh karenanya dapat dikatakan
bahwa kepercayaan dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary
condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah)
dari suatu masyarakat. Ini dapat dilihat dari kasus yang terjadi di TNDS, karena
tingkat kepercayaan yang tinggi diantara masyarakat nelayan dan masyarakat
peladang di TNDS, maka mereka dapat memfasilitasi
kegiatan-kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam (perikanan dan perladangan) secara bersama. Dan
bila dicermati semua aktifitas tersebut mengarah pada kegiatan perekonomian.
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Putnam (1993), bahwa
kepercayaan memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi
kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas
79
atau bangsa. Oleh karena itu, kepercayaan sebagai sesuatu yang amat besar dan
sangat bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi diantara masyarakat.
Norma Sosial
Norma sosial adalah aturan yang mengatur masyarakat baik formal maupun
non formal. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat yang resmi dan
tertulis, sedangkan norma informal umumnya tidak tertulis yang berisikan aturanaturan dalam bermasyarakat. Tingkat norma sosial dapat dilihat pada Tabel 18.
Selang nilai tingkat norma sosial dengan Xmax = 18, Xmin = 6 dan N = 3
adalah 4, sehingga tingkat norma sosial dapat dibagi menjadi:
a. Tingkat norma sosial rendah jika skor < 10
b. Tingkat norma sosial sedang jika skor 10 – 14
c. Tingkat norma sosial tinggi jika skor 15 – 18.
Tabel 18 Tingkat norma sosial responden di TNDS
No
Sub unsur norma sosial
Tingkat
1
Pemahaman terhadap aturan tidak
tertulis (norma/adat istiadat)
1
2
3
2
3
4
Jumlah
Pemahaman terhadap aturan tertulis
Jumlah
Pemahaman terhadap kebiasaan di
masyarakat (kejujuran, kesopanan,
kerukunan dalam pergaulan seharihari)
Jumlah
Pelanggaran oleh pribadi responden
5
Jumlah
Pelanggaran oleh anggota masyarakat
lain dalam suku yang sama
6
Jumlah
Pelanggaran oleh anggota masyarakat
lain oleh suku yang berbeda
Jumlah
Jumlah skor: 2678 dan rata-rata skor: 14,87 ≈ 15
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Jumlah
(orang)
18
111
51
180
25
89
66
180
0
106
74
Persentase
(%)
10,00
61,67
28,33
100,00
13,89
49,44
36,67
100,00
0,00
58,89
41,11
180
0
27
153
180
0
18
162
180
41
43
96
180
100,00
0,00
15,00
85,00
100,00
0,00
10,00
90,00
100,00
22,78
23,89
53,33
100,00
Skor
Rata-rata
393
2,18 ≈ 2
401
2,23 ≈ 2
434
2,41 ≈ 2
513
2,85 ≈ 3
522
2,90 ≈ 3
415
2,31≈ 2
Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 18,
Xminimum: 6 dan jumlah kelas:3
Berdasarkan pada Tabel 18 di atas terlihat bahwa tingkat norma sosial pada
masyarakat di dalam kawasan TNDS pada tingkat yang tinggi (skor 15). Terhadap
aturan tertulis tidak semua warga masyarakat memahami aturan-aturan yang
berlaku. Hanya 36,677 persen responden memahami sepenuhnya aturan-aturan
pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan 49,44 persen responden kurang
memahami, sementara 13,89 persen responden tidak memahami aturan-aturan
yang berlaku. Terhadap aturan yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam
baik perikanan maupun hutan, seluruh responden mengaku tidak melanggarnya
karena sudah disepakati bersama. Sebagian besar (85 persen) responden
menganggap anggota masyarakat lain masih benar-benar taat terhadap aturan,
tidak pernah terjadi pelanggaran, sedangkan 15 persen lainnya mengatakan bahwa
pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang di dalam
80
masyarakat mereka masing-masing. Dinyatakan oleh masyarakat (53,33 persen)
bahwa pelanggaran terjadi dikarenakan oleh suku lain, masyarakat melayu
menyatakan yang melanggar adalah masyarakat Iban, dan masyarakat iban
menyatakan bahwa mereka tidak melanggar aturan yang ada. Disinilah tampak
ada potensi konflik diantara masyarakat berbeda suku. Hal ini kemungkinan besar
dipicu belum adanya komunikasi yang jelas diantara suku, jadi peraturan yang ada
di masing-masing wilayah hanya dihormati oleh kalangan sendiri jadi masih kuat
dalam aturan internal saja tapi belum untuk eksternal. Norma sejatinya tidak dapat
dipisahkan dengan kepercayaan, karena norma adalah alat yang digunakan untuk
menjaga konsinstensi antara status dan peran yang dalam fungsi secara
keseluruhan memelihara struktur sosial dalam masyarakat (Putnam, 1993).
Pada masyarakat nelayan di 3 SPTN terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan
tata kelakuan lainnya yang menjadi pedoman bertindak warga masyarakatnya.
Tata kelakuan yang diuraikan di sini terbatas pada aturan-aturan pengelolaan
sumberdaya alam. Sementara bagi masyarakat peladang terdapat nilai-nilai,
norma-norma dan aturan pengelolaan sumberdaya hutan. Masing-masing
kampung nelayan memiliki aturan yang merupakan hasil kesepakatan bersama
yang mengatur tentang penggunaan alat tangkap, tentang jenis-jenis ikan tertentu,
tentang hal yang berkaitan dengan manusia dan lain-lain. Sebagai contoh adalah
aturan yang ada di masyarakat nelayan Pulau Majang berdasarkan hasil keputusan
rapat nelayan pada 1 Januari 2007 dan wawancara dengan bapak Hassanuddin
Ketua Nelayan Desa Pulau Majang (26/12/2011) selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 10.
Selain aturan tertulis, masih ada tradisi-tradisi lainnya mengenai
pengelolaan danau dan sungai yang tidak tertulis yang biasa dilakukan oleh
seluruh masayarakat nelayan di TNDS, yaitu berupa:
Aturan jala (labuh) zakat
Kegiatan jala zakat adalah kegiatan menangkap ikan yang dilakukan
bersama-sama oleh anggota kelompok nelayan. Penentuan sungai untuk dilakukan
jala zakat ditentukan oleh masing-masing ketua nelayan. Setelah keluar dari
sungai. Waktu pemasangan empang ditentukan dalam rapat nelayan. Jala zakat
dilakukan pada musim kemarau, berapa kali jala zakat dilakukan dalam satu
musim kemarau tergantung dari keperluan dan banyaknya ikan yang ada. Dalam
melakukan jala zakat, setiap keluarga hanya boleh membawa 1 buah sampan
(luan). Sebelum jala zakat dilakukan, ada ritual nelayan berupa mantera-mantera
yang dibacakan oleh ketua nelayan, setelah itu baru kegiatan jala zakat dilakukan
bersama-sama oleh peserta dengan menebar jala secara bersama-sama di sungai
yang telah ditetapkan. Kegiatan jala zakat ini dilakukan selama 4-5 jam
tergantung dari hasil yang diperoleh. Hasil yang diperoleh dari jala zakat ini
untuk masing-masing keluarga. Setelah setiap keluarga mendapatkan hasil yang
cukup, baru memberikan iuran kepada kelompok nelayan, yang besarnya beragam
untuk setiap kelompok nelayan, namun rata-rata adalah sebesar Rp 20.000 untuk
satu sungai.
Aturan kerinan
Kerinan merupakan tanah lokasi baik berupa genangan air menyerupai
kolam alam tempat berkumpulnya ikan di saat musim kemarau, hal ini
dikarenakan debit air yang cukup stabil disaat musim kemarau. Kegiatan kerinan
juga merupakan kegiatan menangkap ikan secara bersama-sama oleh masyarakat
81
dalam satu rukun nelayan. Berbeda dengan jala zakat hasil dari kerinan ini
ditujukan untuk dinikmati bersama-sama dan sebagian dijual untuk mengisi kas
kampung (senampun). Kas kampung ini digunakan untuk dana keagamaan,
olahraga, kegiatan pemuda dan kepentingan kampung lainnya. Tempat melakukan
kerinan adalah sungai/lubuk yang sudah ditutup sebelumnya, jadi menangkap
ikannya tidak langsung di atas sampan tetapi di darat. Sungai yang ditutup
tersebut lalu dipasangi banyak kerinan (bambu untuk merangkap ikan) sesuai
dengan jumlah warga yang ikut ngerinan. Masyarakat secara bersama-sama
menangkap ikan dengan menyebar jala pada kerinan yang sudah dipasangi
kerinan. Biasanya dalam satu kerinan dikerjakan oleh 3 KK.Penangkapan ikan
harus dimulai secara bersama-sama, siapa yang mendahului akan dikenakan
sanksi berupa denda uang karena dianggap sama dengan pencurian. Lama
kegiatan kerinan ini 4-5 jam, tergantung pada hasil yang ingin diperoleh. Sekali
kerinan bisa mencapai 800 kilogram ikan, atau kalau dalam rupiah bisa sampai 3
juta rupiah. Setelah ditangkap ikan yang ada lalu dibersihkan untuk selanjutnya
ada yang dibuat ikan asin, kerupuk basah, dan lain-lain. Ikan yang sudah
dibersihkan lalu ditimbang hasilnya, dan semua hasilnya ditujukan untuk kas
kampung masing-masing. Ikan dalam kerinan tidak boleh diambil/dikuras
semuanya, harus ada bagian yang disisakan agar ikan tidak habis (wawancara
dengan ketua nelayan Semangit : Abang Astiar tanggal 8/10/2011). Dinyatakan
bahwa kegiatan kerinan merupakan tradisi sejak lama sejak zaman kerajaan
Selimbau. Di masa lalu, kerinan biasanya didahului dengan ritual bebantar, yaitu
memberi ―makan‖ atau sesaji kepada danau. Sajian berupa buah-buahan, gandum,
dan tiruan bentuk ikan. Namun tradisi itu sudah tidak dilakukan lagi oleh
masyarakat Danau Sentarum yang sebagian besar adalah masyarakat melayu yang
memeluk agama Islam, yang tidak memperbolehkan ritual sesajian seperti itu.
Peraturan mengenai sungai ini bila dikaji merupakan kejelasan property
right tesntang penguasaan areal kerja, sehingga tidak terjadi konflik antara
masyarakat dalam wilayah kerja masing-masing. Aturan seperti ini dalam konteks
kebijakan lingkungan, dapat mempengaruhi sikap terhadap lingkungan sampai
batas tertentu bahkan menyebabkan perilaku terhadap lingkungan (Miller & Buys
2008). Sementara kegiatan seperti jala zakat dan ngerinan merupakan gambaran
kegiatan bersama masyarakat dalam menjalin kekompakan bersama dan juga
merupakan ajang silaturahmi.
Masyarakat peladang juga memiliki aturan dan norma dalam mengelola
SDA dan hutan yang mereka miliki. Sebagai contoh adalaah pada masyarakat
dayak Iban yang tinggal di Kedungkang. Untuk aturan pengelolan sumberdaya
alam dan hutan yang berlaku pada masyarakat Dayak Iban di Kedungkang
berdasarkan hasil wawancara dengan pak Lom Kadus Kedungkang (25/11/2011)
dan buku Tusun Tunggu Adat Iban Perbatasan Kalimantan Barat (22 /1/2007)
berisikan hal-hal yang mengatur pengelolaan ladang dan pengaturan penangkapan
ikan, yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.
Selain aturan mengenai kerja nelayan dan aturan pengelolaan SDA dan
hutan, di TNDS juga diperoleh informasi mengenai aturan pengelolaan
sumberdaya madu hutan dari periau. Karena sudah memiliki asosiasi yang resmi
dan tercatat maka sudah ada kesepakatan standar internal APDS (Lampiran 12).
Sebelumnya aturan pengelolaan sumberdaya madu hutan masyarakat periau
82
secara tradisional yaitu menyangkut aturan-aturan dan wilayah pengelolaan
sebagai berikut :
– Wilayah kelola periau tertentu (bisa dilihat dalam Gambar 17)
– Jenis kayu yang digunakan untuk tikung ( tikung tidak boleh terbuat dari kayu
Medang (Litsea sp)
– Aturan pemasangan dan design tikung (Jarak antar tikung tidak boleh terlalu
dekat; Tidak boleh memasang tikung di jalur tikung dan di luar periau;
Pemasangan tikung di antara dua dahan pohon yang cukup kokoh dengan
kemiringan tikung 30 – 40 derajat)
– Kewajiban anggota periau menjaga lingkungan (habitat hutan rawa sebagai
sumber pakan lebah)
– Rekrutmen/pendaftaran anggota dan kode anggota pada tikung masing-masing
– Jumlah minimal tikung yang harus dimiliki oleh satu orang anggota (Warga
kampung dapat menjadi anggota periau dengan syarat mampu memasang
lebih dari 25 tikung)
– Panen harus dilakukan bersama-sama dengan waktu yang ditentukan oleh
ketua periau dan tidak boleh mengambil madu di tikung orang lain.
Gambar 17 Peta kerja periau yang ada di TNDS (WWF, 2010).
Selain dalam bentuk tikung, masyarakat di TNDS juga dapat memanen
madu dari hasil repak dan lalau. Ada aturan yang berlaku pula untuk memanen
hasil madunya. Sampai saat ini orang yang panen madu dari kayu lalau,
diharuskan untuk melantunkan timang yang dikenal dengan Timang Badul.
Walaupun saat ini tidak lagi orang mensyairkan selengkap timang badul seperti
aslinya. Umumnya mulai melantunkan timang mulai dari tiba di pohon lalau dan
proses-proses mulai memanjat hingga kembali membawa hasil madu.Ada
beberapa timang yang umum dinyanyikan yaitu Tuntung jatak, Minta tutup
cahaya di langit, Nepas, Minta madu selusur dahan, Minta angin, Minta tidak
disengat, Minta madu, Ngulur madu, dan Pulang.
83
Berikut salah satu contoh syair timang Minta madu selusur dahan:
Minta belacan barang sedikit
Pakai nyulit taruk mawang
Oh..oh..ini dawang aku minta madu
Madu mempai selusur dahan
O…o…o…
Timang adalah lagu tradisional yang syairnya berisikan pujaan dan
permohonan akan sesuatu dimana terkandung nilai magis di dalamnya. Hikayat
cerita dari ritual menyanyikan timang ini adalah pada suatu waktu lalu di kala
musim lebah menghasilkan banyak madu, ada seseorang yang bernama Badul
yang istrinya sedang hamil dan mengidam ingin makan anak lebah, tetapi si Badul
tidak pandai memanjat pohon ―lalau‖ yang relatif tinggi. Namun si Badul tetap
berusaha dan berfikir bagaimana caranya agar ia dapat mengambil anak lebah
untuk istrinya. Akhirnya dia mulai melantunkan timang. Syair-syairnya sangat
rinci dan beraturan mulai dari awal tumbuhnya sebatang kayu lalau, yaitu dari
bunga, buah, kecambah, daun, batang, dahan, seterusnya hingga pertumbuhannya
tinggi dan sudah layak untuk dihinggapi lebah serta cukup kuat untuk membuat
sarang lebah. Kemudian tahap berikutnya ia mulai melantunkan permohonan agar
lebah di pohon lalau tersebut bersedia memberikan madu dan sarangnya kepada
Badul. Sembari ia melantunkan timang lalau, pohon tersebut makin lama semakin
merunduk (melengkung kebawah) hingga sampai di teras depan pondoknya.
Dengan demikian ia dapat dengan mudah memanen madu dan mengambil anak
lebah tersebut tanpa harus memanjatnya. Karena untuk memenuhi hasrat isterinya
yang sedang mengidam, ia hanya mengambil satu sarang saja. Setelah memanen
madu dan mengambil anak lebah tersebut, ia melantunkan kembali timang
tersebut sehingga pohon itu berdiri atau tegak kembali. Syair timang ini disebut
dengan Timang Badul (disarikan dari Suara Bekakak edisi 4 2001).
Dari fakta ini, disimpulkan bahwa setiap kelompok/suku memiliki hubungan
yang erat dan ikatan (bonding) yang kuat sehingga masing-masing kelompok bisa
mengatasi masalah dalam lingkungannya. Kondisi ini semakin memperkuat
pernyataan bahwa masyarakat adat/ tradisional memiliki modal sosial yang erat
diantara sesama mereka seperti hasil penelitian Rinawati 2012; Suharjito dan
Saputro 2006; Pranadji 2006. Tapi mereka belum bisa menyelesaikan masalah
karena belum adanya hubungan yang baik yang dibangun dengan kelompok di
luar lingkungan. Hubungan inilah yang dinamakan bridging (hubungan yang
menjembatani). Dari beberapa literatur diperlukan pihak luar yang bisa berperan
untuk menjembatani hubungan seperti ini, yaitu peran fasilitator seperti LSM. Di
TNDS sendiri terdapat beberapa LSM yang aktif berperan dalam pemberdayaan
masyarakat dan berusaha untuk menjadi fasilitator seperti Riak Bumi, WWF, dan
lain-lain.
Norma sosial dengan berbagai aturan yang ada didalamnya telah secara
nyata mengikat warga di setiap rukun nelayan dan warga untuk tetap memelihara
dan menjaga kelestarian sumberdaya perairan dan hutannya. Aturan nelayan
berupa pembagian wilayah kerja, pengaturan alat tangkap, pengaturan orang luar
untuk bekerja, pengaturan jenis umpan, dan seterusnya secara langsung telah
memberikan kontribusi dalam pelestarian sumberdaya perairan. Aturan periau
berupa wilayah kelola periau, jenis kayu yang digunakan untuk tikung, aturan
pemasangan, jumlah dan design tikung, kewajiban anggota periau untuk menjaga
84
lingkungan, rekrutmen/pendaftaran anggota dan kode anggota pada tikung
masing-masing, serta aturan panen juga telah memberikan kontribusi dalam
pelestarian sumberdaya madu hutan. Aturan di masyarakat Iban dalam pembagian
zonasi hutan, pelarangan penebangan, aturan adanya hutan adat, hutan simpanan,
aturan-aturan dalam pengelolaan ladang secara langsung telah memberikan
kontribusi dalam pelestarian hutan. Hasil penelitian yang menunjukkan tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap aturan tersebut cukup tinggi, terutama pada
aturan-aturan tidak tertulis sehingga berimplikasi positif terhadap semua
sumberdaya alam yang ada di wilayah pemanfaatan dan kelola masyarakat. Dan
ini merupakan kekuatan untuk membantu dalam pelestarian SDA mereka sampai
saat ini.
Jaringan sosial
Jaringan sosial yang ada di masyarakat di TNDS secara umum dapat dilihat
pada Tabel 19. Jaringan sosial yang terbangun dalam masyarakat di TNDS berupa
kepadatan organisasi, keanekaragaman keanggotaan, partisipasi, kerelaaan,
kerjasama kelompok baik di dalam maupun di luar komunitas serta kebersamaan.
Kepadatan organisasi terdiri dari jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam
suatu organisasi dan jumlah organisasi yang diikuti. Sebanyak 98,33 persen
responden menyatakan hanya kepala keluarga (1 orang) saja yang terlibat dalam
organisasi, hanya 2 keluarga (1,11 persen) yang tidak ikut organisasi yang ada dan
1 keluarga menyatakan ada 2 anggota keluarga yang terlibat yaitu KK dan anak
yang sudah dewasa tetapi belum menikah. Kepadatan organisasi berdasarkan
jumlah organisasi yang diikuti responden berkisar antara 0 – 5 buah organisasi
dalam satu keluarga. Rata-rata responden dalam mengikuti organisasi termasuk
kategori sedang (52,22 persen) yaitu 2 organisasi yang diikuti dalam satu
keluarga. Tipe organisasi yang diikuti antara lain berupa kelompok nelayan,
asosiasi periau, kepemudaan, pamswakarsa, dan pasukan peduli api. Selain itu ada
juga Kelompok Kerja Masyarakat TNDS dan Pertemuan tahunan masyarakat
TNDS Organisasi yang dianggap paling penting adalah kelompok/rukun nelayan
dan asosiasi periau danau sentarum, karena merupakan kelompok usaha bagi
masyarakat yang dapat menopang perekonomian masyarakat. Sementara yang
lainnya merupakan organisasi yang dibentuk bukan oleh inisiatif masyarakat
sendiri tapi dari pihak luar, oleh karenanya tidak akan bergerak jika tidak
difasilitasi dalam hal ini pemerintah/Balai TNDS ataupun LSM yang ada.
Selang nilai tingkat jaringan sosial dengan Xmax = 27, Xmin = 9 dan N = 3
adalah 6, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi:
a. Tingkat jaringan sosial rendah jika skor < 15
b. Tingkat jaringan sosial sedang jika skor 15 – 21
c. Tingkat jaringan sosial tinggi jika skor 22 – 27.
Berdasarkan persamaan selang nilai untuk tingkat jaringan sosial pada
masyarakat di dalam kawasan TNDS berada pada taraf sedang (skor 16), hal ini
disumbang oleh berbagai sub unsur jaringan sosial terutama oleh tingkat
kerjasama kelompok, tingkat partisipasi dan kebersamaan dalam organisasi dalam
menghadapi masalah secara bersama-sama.
85
Tabel 19 Tingkat jaringan sosial responden di TNDS
No
1
Sub unsur jaringan sosial
Kepadatan organisasi (jumlah
anggota keluarga yg terlibat)
Tingkat
2
1,11
2
177
98,33
3
Kepadatan organisasi (jumlah
organisasi yang diikuti)
1
0,56
180
100,00
1
82
45,55
2
94
52,22
3
4
2,22
180
100,00
Jumlah
3
Keragaman anggota organisasi
1
0
0,00
2
180
100,00
3
0
0,00
180
100,00
1
55
30,56
2
78
43,33
3
47
26,11
180
100,00
1
48
26,67
2
96
53,33
3
36
20,00
180
100,00
1
28
15,56
2
115
63,89
3
37
20,56
180
100,00
1
78
43,33
2
89
49,44
3
13
7,22
180
100,00
1
105
58,33
2
65
36,11
3
10
5,56
180
100,00
1
78
43,33
2
81
45,00
3
21
11,67
180
100,00
Jumlah
4
Partisipasi dalam kelompok
Jumlah
5
Kerelaan membangun jaringan
Jumlah
6
Kerjasama kelompok dengan
kelompok lain di dalam
komunitas
Jumlah
7
Kerjasama kelompok dengan
kelompok lain di luar komunitas
Jumlah
8
Kebersamaan dalam organisasi
(inisiatif anggota menjadi ketua
sementara)
Jumlah
9
Kebersamaan dalam organisasi
(kerjasama anggota masyarakat
jika ada masalah bersama)
Persentase (%)
1
Jumlah
2
Jumlah
(orang)
Jumlah
Skor
Rata-rata
359
1,99 ≈ 2
282
1,56 ≈ 2
360
2,00 ≈ 2
352
1,96 ≈ 2
348
1,93 ≈ 2
369
2,05 ≈ 2
295
1,64 ≈ 2
265
1,47 ≈ 1
303
1,68 ≈ 2
Jumlah skor: 2933 dan rata-rata skor: 16,29 ≈ 16
Keterangan:
Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum:
27, Xminimum: 9 dan jumlah kelas: 3
Karakteristik organisasi yang dianggap penting adalah sebagai berikut:
a Kelompok/Rukun Nelayan
Kelompok/rukun nelayan yang ada di TNDS terdiri dari rukun nelayan di
setiap kampung nelayan permanen yang ada di TNDS. Awalnya terbentuk
secara inisiatif warga masyarakat. Kedudukan sebagian besar responden
dalam organisasi adalah anggota, hanya sedikit responden yang menjadi
pengurus organisasi. Latar belakang seluruh responden ikut dalam rukun
nelayan adalah sukarela tanpa adanya unsur paksaan. Sumber dana utama
organisasi adalah iuran dari kegiatan penentuan sungai undi/sungai pinta dan
86
dari kegiatan ngerinan yang dikerjakan bersama-sama. Kelompok nelayan ini
dirasakan sangat bermanfaat dalam usaha ekonomi mereka sebagai nelayan,
sehingga tidak terjadi perselisihan antara warga dalam menentukan wilayah
kerja, berarti memberikan ketenangan dalam bekerja dan dapat mempererat
kerukunan dalam komunitas yang sama.
b Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS)
APDS berdiri pada tanggal 21 Juli 2006. Isu yang mengikat terbentuknya
APDS adalah kearifan lokal tentang periau (pembudidaya lebah madu hutan)
yang mengelola tikung dan lingkungannya. Organisasi periau ini berperan
dalam mengelola kawasan dan mengatur hubungan internal antar anggota
periau. Sebelum terbentuknya APDS, posisi periau seringkali lemah bila
berhadapan dengan pihak lain, pihak periau belum mengatur kesepakatan
tentang pasca panen yaitu tentang harga dan hubungan eksternal. Dengan
membentuk asosiasi ini diharapkan kearifan lokal akan tetap terpelihara bahkan
bisa dikembangkan untuk mendapatkan hasil madu yang lebih baik dan
berkelanjutan dan harga yang relatif stabil. Dengan bantuan dan fasilitasi dari
berbagai pihak (Aliansi Organis Indonesia (AOI), Riak Bumi (RB), Yayasan
Dian Tama (YDT), People Resources And Conservation Foundation (PRCF)
dan World Wild Fund (WWF) KalBar) maka APDS dapat terbentuk, dan sudah
dirasakan manfaat positifnya bagi masyarakat yang tergabung di dalamnya,
terutama manfaat ekonomi. Asosiasi yang dibentuk ini menetapkan standar
produksi madu dan pemrosesan serta harga, sedangkan aturan-aturan Periau
tidak diubah hanya dilengkapi dengan ketentuan untuk berhadapan dengan
pihak luar. Pada tahap awal pendirian APDS terdiri dari 5 periau (Suda, Danau
Luar, Meresak, Semangit dan Semalah) dan beranggotakan 89 orang dengan
wilayah periau yang dikelola meliputi daerah lahan basah seluas 7300 ha dan
tikung berjumlah sekitar 7600 buah. Saat penelitian, hasil wawancara dengan
Presiden APDS AM Irwanto (8 Oktober 20122) ada 11 (sebelas) Periau yang
bergabung dengan jumlah anggota 210 orang yang mengelola area periau
seluas 15.606,9 ha dan 16.863 buah tikung. Dari 11 periau tersebut, periau
yang aktif adalah periau Tempurau, Semalah, Telatap, semangit, Majang, dan
Sumpak. Sementara periau lainnya adalah Meresak, Suda, Danau Luar,
Pengembung dan Lupak Mawang.
Keragaman keanggotaan dalam organisasi dari 180 responden yang
diwawancarai berada dalam kategori sedang. Kelompok/rukun nelayan, APDS,
kelompok kepemudaan umumnya memiliki keragaman keanggotaan untuk ikatan
kekerabatan, usia, pekerjaaan, pendidikan, pendapatan, politik dan satatus sosial.
Sedangkan kesamaan yang dimiliki anggota dalam organisasi adalah tinggal
dalam lingkungan, pekerjaan, etnisitas/suku/ras, bahasa dan agama yang sama.
Partisipasi masyarakat dalam kelompok yang ada berada dalam kategori
sedang (43,33 persen). Partisipasi ditunjukkan dari mengikuti kegiatan rapat-rapat
yang dilakukan oleh organisasi yang ada. Sebanyak 53,33 persen responden rela
dalam membangun jaringan sosial yang ada di TNDS. Ini terjadi karena latar
belakang masyarakat ikut serta menjadi anggota organisasi adalah sukarela tanpa
adanya paksaan atau sanksi.
Kerjasama kelompok untuk mencapai tujuan terdiri dari kerjasama dengan
kelompok lain dalam satu komunitas dan kerjasama dengan kelompok lain di luar
komunitas. Untuk kedua kerjasama ini responden umumnya berada dalam
87
kategori sedang, yaitu 63,89 persen untuk dalam komunitas dan 49.44 persen di
luar komunitas.
Kebersamaan dalam organisasi dicerminkan dari keinginan anggota
mengganti sementara jika ketua berhalangan dalam waktu yang cukup lama dan
kebersamaan anggota terutama dalam menghadapi masalah bersama. Keinginan
anggota menjadi ketua sementara berada pada kategori rendah (58,33 persen).
Masyarakat lebih senang menjadi anggota saja dan sangat sulit mencari sosok
pemimpin yang mau menggantikan ketua jika berhalangan tidak ada di kampung
mereka, dan memimpin organisasi. Tingkat kebersamaan dalam menghadapi
masalah bersama berada pada kategori sedang (45,00 persen). Masyarakat paham
betul akan pentingnya kebersamaan, tapi dalam praktek kehidupan sehari-hari
lebih sering melakukan secara sendiri-sendiri.
Dari hasil penilaian terhadap jaringan sosial yang ada di masyarakat TNDS
umumnya berada pada kategori sedang. Pengelolaan TNDS memerlukan jaringan
sosial yang kuat di antara anggota masyarakat, karena jaringan yang kuat akan
berfungsi sebagai pengikat dan jembatan dalam membentuk struktur sosial
masyarakat. Selain itu diperlukan juga jaringan yang dapat menjadi link
diantaranya. Interaksi sosial baik di dalam maupun di luar komunitas sangat
memegang peranan penting untuk dapat menopang kegiatan pengelolaan TNDS
yang berkelanjutan. Interaksi sosial di dalam masyarakat dilihat dari adanya
tindakan kolektif untuk mencapai tujuan bersama yang dibatasi oleh institusi
tertentu yang memiliki nilai, norma dan hubungan yang jelas (Lawang 2005).
Usaha perikanan merupakan mata pencaharian utama penduduk di TNDS.
Salah satu karakteristik dari usaha tersebut adalah terciptanya hubunganhubungan sosial yang bertujuan untuk melancarkan usaha perikanan yang
dijalankan. Hubungan sosial ini menjadi penting karena secara geografis dan
aksesibilitas kampung-kampung nelayan di TNDS berjarak cukup jauh dari pasar
dan usaha perikanan yang mereka jalankan memiliki resiko yang tinggi.
Pekerjaan sebagai nelayan dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu:
nelayan tangkap dan nelayan budidaya. Nelayan tangkap melakukan aktivitasnya
dengan cara mencari ikan secara langsung di sungai/danau, baik dengan
menggunakan jarring, pancing, bubu, dan lain-lain. Sedangkan usaha perikanan
budidaya merupakan usaha perikanan yang dilakukan nelayan dengan cara
pembiakan ikan jenis tertentu di dalam keramba. Menurunnya hasil tangkapan
ikan di sungai/danau, tingginya resiko perikanan tangkap, dan faktor alam yang
unik di kawasan TNDS (musim basah dan kering yang ada) membuat sebagian
besar nelayan menjadikan perikanan budidaya sebagai alternatif bagi upaya
pemenuhan ekonomi mereka.
Dalam usaha perikanan yang dijalankan oleh masyarakat di TNDS,
terbentuk jaringan sosial yang secara umum dapat ditemui di kampung nelayan.
Jaringan sosial tersebut tercipta dari hubungan antara pedagang antara (tengkulak)
dengan nelayan. Terbentuknya hubungan ini merupakan upaya pemenuhan
kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat setempat (Gambar 18).
Hubungan pedagang antara (tengkulak) dengan nelayan yang terbentuk
didasari oleh hubungan saling menguntungkan. Dalam hubungan tersebut,
tengkulak memanfaatkan kemampuan nelayan dalam menyediakan hasil
perikanan yang dibutuhkan oleh pasar. Sedangkan nelayan membutuhkan
tengkulak untuk memasarkan hasil perikanan yang mereka dapatkan. Dalam hal
88
ini, tengkulak memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kondisi pasar ikan
dibandingkan nelayan.
PASAR
Hasil
Perikanan
TENGKULAK
Hasil
Penjualan Ikan
NELAYAN
Gambar 18 Jaringan sosial antara tengkulak dan nelayan di TNDS
Berdasarkan jaringan sosial, modal sosial terbagi atas modal sosial yang
mengikat, menjembatani dan menghubungkan (Iosifides et al. 2007; Putnam
2000. Woolcock 1998; Woolcock & Narayan, 2000). Di TNDS, jaringan sosial
yang mengikat (bonding) bisa dikatakan sudah cukup kuat, seperti rukun nelayan
yang ada di setiap kampung nelayan dan lembaga adat di kampong Iban. Modal
sosial yang mengikat mengacu ke internal dalam komunitas contoh yang paling
menjadi indikasi adalah jaringan dengan keluarga atau jaringan lingkungan
dalam komunitasnya.
Jaringan sosial yang menjembatani di TNDS masih dalam kategori rendah
ke sedang. Seperti kegiatan pertemuan tahunan masyarakat TNDS yang sudah
mulai dilaksanakan sejak tahun 2003. Modal sosial yang menjembatani (bridging)
mengeksplorasi hubungan antara kelompok sosial yang berbeda dan masyarakat.
Sementara itu jaringan sosial yang menghubungkan masih sangat lemah.
Modal sosial yang menghubungkan (linking) mengacu pada jaringan antara entitas
yang berbeda dengan berwenang. Jenis terakhir adalah sangat penting dalam isu
lingkungan seperti mengeksplorasi koneksi antara masyarakat dan negara. Melalui
fungsi mereka sebagai obligasi dan jembatan di komunitas, jaringan mungkin
mengirimkan informasi mengenai masalah lingkungan dan menjinakkannya
antara warga negara sehingga secara signifikan mempengaruhi tingkat partisipasi.
Selain itu, permintaan masyarakat (yang berpartisipasi dalam jaringan formal dan
informal) bagi penyelesaian suatu masalah lingkungan yang ditularkan melalui
menghubungkan jaringan sosial. Konsekuensinya, jaringan ini membawa
informasi, melalui proses dari bawah (bottom-up), dengan aktor yang bertanggung
jawab untuk memperkenalkan isu publik dalam agenda kebijakan. Selain
kepadatan mereka, jenis jaringan sosial adalah sama pentingnya. Adanya
hubungan vertikal dan klientelistik mungkin memiliki pengaruh negatif terhadap
kegiatan lingkungan dari suatu komunitas. Bahkan dalam penelitian awal, tentang
masalah agenda kebijakan (Cobb & Elder, 1976; Kingdon, 1976), peran jaringan
ini perlu digarisbawahi karena mereka mempromosikan kepentingan kelompok
sosial tertentu
dalam agenda kebijakan sekaligus menciptakan ikatan
ketergantungan antara warga negara.
Jaringan sosial yang terbentuk dan terbangun baik antar masyarakat yang
terbentuk dari hubungan antar personal maupun jejaring yang dilakukan dengan
pihak luar. Jaringan sosial yang terbentuk kuat di TNDS lebih pada tipe jaringan
89
sosial terikat (bonding) dibandingkan tipe modal sosial menjembatani (bridging).
Tipe bonding cenderung menjadi perekat sosial (social glue), berorientasi ke
dalam, lebih banyak bekerja secara internal, solidaritas lebih bersifat mikro dan
komunal serta hubungan yang terjadi lebih eksklusif berdasarkan nilai, kultur,
persepsi, tradisi dan adat istiadat (Ramli 2007). Kelemahannya adalah perbedaan
yang kuat antara ‗orang dalam‘ dengan ‗orang luar‘, sulit menerima arus
perubahan, kurang akomodatif terhadap pihak luar, mengutamakan kepentingan
dan solidaritas kelompok yang dinyatakan Hasbullah 2006, terbukti terjadi di
TNDS, dimana masyarakat kuat di lokasi mereka sendiri, tapi tidak solid ketika
keluar. Biarpun demikian kondisi ini telah memberikan kontribusi positif dalam
menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada di lokasi mereka sendiri. Anggota
masyarakat dengan saling mengetahui kondisi rumah tangga anggota masyarakat
yang lain secara tidak langsung merupakan bentuk pengawasan diantara mereka.
Hubungan yang terjalin memungkinkan antara mereka untuk dapat saling
mengingatkan.
Tingkat Modal Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan TNDS
Berdasarkan unsur-unsur pembentuk modal sosial yang dinilai maka
diperoleh tingkat modal sosial masyarakat seperti yang terangkum pada Tabel 20.
Tabel 20 Tingkat modal sosial masyarakat dalam kawasan TNDS
No.
1
2
3
Unsur modal sosial
Skor
Nilai
Maksimum- Minimum
27 - 9
18 - 6
27 - 9
72 - 24
2 (sedang), 3 (tinggi) dengan
Rata-rata
Kepercayaan
4.006
22
Norma sosial
2.678
15
Jaringan sosial
2.933
16
Jumlah
9.617
53
Keterangan : Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah),
Xmaksimum: 72, Xminimum: 38 dan jumlah kelas 3
Berdasarkan persamaan selang nilai modal sosial dengan Xmax = 72, Xmin
= 24 dan N = 3 adalah 11,3, sehingga tingkat modal sosial masyarakat dalam
kawasan TNDS dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Modal sosial masyarakat termasuk kategori rendah bila jumlah skor < 35,
dalam hal pengelolaan kawasan TNDS maka akan sulit untuk dilibatkan jika
dilihat dari modal sosial yang dimiliki.
b. Modal sosial masyarakat termasuk kategori sedang bila jumlah skor antara 35 –
46, dalam hal pengelolaan kawasan TNDS maka dapat untuk dilibatkan dengan
catatan perlu untuk dilakukan pendampingan untuk penguatan moda sosial
yang sudah dimiliki.
c. Modal sosial masyarakat termasuk kategori tinggi bila jumlah skor > 47, dalam
hal pengelolaan kawasan maka akan sangat membantu bila dilibatkan dalam
kegiatan pengelolaan kawasan TNDS jika dilihat dari modal sosial yang
dimiliki.
Berdasarkan Tabel 20, masyarakat dalam kawasan TNDS memiliki tingkat
modal sosial yang tinggi (dengan rata-rata skor 53). Dilihat dari bentuk-bentuk
interelasi yang terjadi, masyarakat dalam kawasan TNDS memiliki
kecenderungan tipe modal sosial yang terikat (bonding). Ini dapat dilihat dari
hubungan yang dimiliki lebih berorientasi ke dalam, yaitu bekerja lebih banyak
90
secara internal (sesama etnis), kepercayaan lebih diberikan dalam komunitas yang
sama, dan model hubungan yang terjadi dilakukan berdasarkan nilai, kultur,
persepsi dan adat istiadat masing-masing. Hal ini tampak jelas dari hubungan
yang terjadi antara masyarakat Melayu dan masyarakat Iban yang ada di dalam
kawasan. Modal sosial yang terikat ini akan kuat di dalam komunitasnya, namun
akan lemah bila berhadapan dengan masyarakat di luar komunitasnya. Selain itu
tipe modal sosial ini sulit menerima perubahan, namun demikian tingginya modal
sosial yang dimiliki masyarakat TNDS merupakan salah satu modal yang harus
digunakan untuk menjaga kelestarian SDA di kawasan TNDS. Untuk
pemanfaatan secara optimal, maka diperlukan juga penguatan SDM yang ada
pada masyarakat TNDS, sehingga lebih memperkuat kemampuan modal sosial
yang ada untuk terlibat dalam pengelolaan TNDS yang berkelanjutan.
Kapabilitas Pemerintah dalam Pengelolaan TNDS
Kapabilitas pemerintah dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengelola negara baik yang sudah dimiliki maupun perubahannya. Kapabilitas
merupakan kemampuan untuk melaksanakan kapasitas.
Dalam pengelolaan TNDS kapabilitas negara dinilai dari indikator yang ada
di Balai TNDS yang mendapat mandat dan wewenang untuk mengelola TNDS.
Hasil penilaian kapabilitas negara yang dilakukan oleh para pemangku
kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS (18 pemangku kepentingan)
berdasarkan indikator negara dan indikator hubungan antara negara dan
masyarakat dapat dilihat pada Tabel 21 berikut:
Tabel 21 Tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS
No
1
Sub unsur indikator negara
(karakteristik intrinsik)
Human capital
Tingkat
1
2
3
Jumlah
(pemangku
kepentingan)
13
5
0
18
12
6
0
18
14
3
1
18
17
1
0
18
Persentase
(%)
Skor
Rata-rata
72,22
27,78
0,00
100,00
66,67
33,33
0,00
100,00
77,77
16,67
5,56
100,00
94,44
5,56
0,00
100,00
13
10
0
Jumlah
23
1,28 ≈ 1
2
Rasionalitas instrumental
1
12
2
12
3
0
Jumlah
24
1,33 ≈ 1
3
Koherensi
1
14
2
6
3
3
Jumlah
23
1,28 ≈ 1
4
Ketahanan
1
17
2
2
3
0
19
1,06 ≈ 1
Jumlah skor dan rata-rata
89
4,95 ≈ 5
Keterangan: Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 12,
Xminimum: 4 dan jumlah kelas: 3
Selang nilai tingkat karakteristik intrinsik dengan Xmaksimum = 12,
Xminimum = 4 dan N = 3 adalah 2,67, sehingga tingkat karakteristik intrinsik
pemerintah dalam pengelolaan TNDS dapat dikategorikan menjadi:
a tingkat karakteristik intrinsik pemerintah rendah jika skor < 6
b tingkat karakteristik intrinsik pemerintah sedang jika skor 6 – 9
c tingkat karakteristik intrinsik pemerintah tinggi jika skor 10 – 12
91
Berdasarkan Tabel 21 ternyata karakteristik intrinsik pemerintah berada
pada tingkatan rendah (skor 5), hal ini ditunjukkan dengan rendahnya human
capital yang melaksanakan pengelolaan TNDS, begitu juga dengan tingkat
rasionalitas instrumental, koherensi dan ketahanan yang dimiliki oleh Balai TNDS
sebagai wakil pemerintah. Dalam karakteristik intrinsik, yaitu internal Balai
TNDS seperti modal manusia, rasionalitas instrumental, koherensi dan ketahanan,
semua cenderung menilai Balai TNDS pada kategori rendah. Modal manusia
misalnya, tidak hanya penilaian dari luar yang menyatakan bahwa Balai TNDS
masih lemah/rendah, tapi pihak Balai sendiri mengakui hal ini (hasil wawancara
dengan beberapa pegawai Balai TNDS dan statistik Balai TNDS 2011).
Sumberdaya manusia dirasakan masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya.
Jika dibandingkan antara luas kawasan Taman Nasional Danau Sentarum dengan
jumlah sumber daya manusia yang tersedia memang dirasakan masih sangat
kurang. Pada saat ini Balai TNDS baru memiliki pegawai sebanyak 36 orang yang
terdiri dari 1 orang eselon III, 3 Orang Eselon IV, 17 orang Polhut, 5 orang
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), 4 orang Penyuluh Kehutanan dan 6 orang
Nonstruktural dan petugas lapangan, dan ada 42 pegawai kontrak. Berikut
rekapitulasi jumlah pegawai Balai TNDS berdasarkan beberapa klasifikasi.
Tabel 22 Rekapitulasi sebaran pegawai Balai TNDS tahun 2010
Unit Pelaksana
Status Pegawai
PNS
Kontrak
14
6
7
1
9
1
6
1
Kantor Balai
SPTN I Lanjak
SPTN Semitau
SPTN Selimbau
DAOPS Putussibau
0
BRIGDALKAR TNDS
Jumlah
36
Sumber: Data Statistik Balai TNDS 2011
Jumlah
20
8
10
7
33
33
42
80
Sementara itu berdasarkan tingkatan pendidikan dari sumberdaya manusia
yang ada saat ini adalah sebagai berikut:
92
Tingkat Pendidikan Pegawai Balai TNDS tahun 2010
Jumlah
7
6
5
4
3
2
1
0
Balai TNDS
SPTN I Lanjak
2
SPTN II
Semitau
2
SPTN II
Selimbau
2
S1
6
D3
3
1
0
2
SLTA/SKMA
5
4
7
2
Gambar 19 Diagram sebaran pegawai Balai TNDS berdasar pendidikan
Sumber: Data Statistik Balai TNDS 2011
Dari indikator rasionalitas instrumental, yaitu kemampuan komponen negara
untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang relevan dengan
kepentingan dan untuk membuat keputusan yang memaksimalkan utilitas mereka,
66,67 persen responden menyatakan Balai TNDS tidak mampu, sementara
selebihnya 33,33 persen menyatakan cukup mampu. Hal ini dikonfirmasikan
dengan pihak Balai, mereka menyatakan hal tersebut memang merupakan
kenyataan, dan hal ini berkaitan dengan jumlah pegawai dalam mengumpulkan
informasi tersebut sangat terbatas.
Koherensi merupakan tingkat dimana komponen-komponen negara setuju
dan bertindak atas dasar ideologis bersama, tujuan, dan metode, juga kemampuan
komponen untuk berkomunikasi dan debat pendapat yang konstruktif, informasi
dan kebijakan di antara mereka sendiri. Pihak Balai menganggap untuk koherensi
mereka berada dalam tingkat yang tinggi, ini kemungkinan besar dikarenakan
mereka semua bertindak atas pandangan yang sama dalam mengelola TNDS yaitu
ke arah konservasi. Walaupun mungkin ada orang-orang tertentu yang tidak sama
pandangannya, tapi karena berada dalam satu struktur kerja, jadi tidak begitu
timbul ke permukaan. Sementara responden lain mengganggap koherensi di dalam
Balai TNDS 16,67 persen dalam tingkat sedang dan 77,77 persen dalam tingkat
rendah.
Indikator karakteristik intrinsik terakhir yang dinilai adalah mengenai
ketahanan, yaitu kemampuan untuk menghadapi guncangan tiba-tiba, beradaptasi
dalam jangka panjang menghadapi perubahan sosial ekonomi, dan menyelesaikan
sengketa masyarakat. Seluruh responden diluar pihak Balai TNDS, menyatakan
pihak Balai tidak mampu. Beberapa contoh yang dapat disajikan responden antara
lain adalah, ketika terjadi kebakaran hutan, pihak Balai tidak akan mampu untuk
memadamkan kebakaran, sangat diperlukan bantuan dari pihak lain untuk dapat
meredam kebakaran. Untuk kasus kebakaran ini telah dibentuk Masyarakat Peduli
Api yaitu kumpulan masyarakat yang secara sukarela bersedia membantu upaya
93
pengendalian kebakaran hutan dan lahan (mulai dari pencegahan, pemadaman dan
penanggulangan dampak). Contoh lain lagi, yaitu ketika terjadi sengketa antara
nelayan mengenai wilayah kerja, pihak Balai tidak mempunyai hak untuk
berbicara, karena masyarakat lebih mendengar pimpinan adat mereka masingmasing. Dan beberapa kasus lain yang menunjukkan ketahanan dalam Balai
TNDS masih rendah.
Selain karakteristik intrinsik dalam pemerintah, indikator lain yang
digunakan untuk mengukur kapabilitas negara dalam pengelolaan TNDS adalah
dengan melihat hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Adapun hasil
penilaian tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat dapat dilihat pada
Tabel 23.
Selang nilai tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat dengan
Xmaksimum = 12, Xminimum = 4 dan N = 3 adalah 2,67, sehingga tingkat
karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS dapat dikategorikan
menjadi:
a tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat rendah jika skor < 6
b tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat sedang jika skor 6 – 9
c tingkat hubungan antara pemerintah dan masyarakat tinggi jika skor 10 – 12
Tabel 23 Tingkat hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan TNDS
No
1
Sub unsur indikator hubungan
antara pemerintah dan
masyarakat
Otonomi
Tingkat
1
2
3
Jumlah
(pemangku
kepentingan)
17
1
0
18
18
0
0
18
17
1
0
18
16
2
0
18
Persentase
(%)
Skor
Rata-rata
94,44
5,56
0,00
100,00
100,00
0,00
0,00
100,00
94,44
5,56
0,00
100,00
88,89
11,11
0,00
100,00
17
2
0
Jumlah
19
1,06 ≈ 1
2
Sumberdaya fiskal
1
18
2
0
3
0
Jumlah
18
1,00 ≈ 1
3
Jangkauan dan responsif
1
17
2
2
3
0
Jumlah
19
1,06 ≈ 1
4
Legitimasi
1
16
2
4
3
0
20
1,11 ≈ 1
Jumlah skor dan rata-rata
76
4,22 ≈ 4
Keterangan: Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 12,
Xminimum: 4 dan jumlah kelas: 3
Berdasarkan Tabel 23 ternyata hubungan antara pemerintah dan masyarakat
berada pada tingkatan rendah (skor 4), hal ini ditunjukkan dengan rendahnya
otonomi yang dimiliki, sumberdya fiskal yang dikelola, jangkauan dan responsif
serta legitimasi Balai TNDS. Otonomi negara yang dimaksud disini adah sejauh
mana negara dapat bertindak secara independen dari kekuatan eksternal, baik
domestik dan internasional, dan kooptasi yang akan mengubah atau membatasi
tindakan-tindakannya. Sebanyak 94,44 persen responden menyatakan bahwa
negara dalam hal ini Balai TNDS masih rendah secaara otonomi dalam bertindak
secara independen. Hal ini sangat dimungkinkan karena balai TNDS merupakan
UPT yang ditunjuk dan diberikan oleh Dirjen PHKA dalam mengelola TNDS.
Jadi setiap tindakan yang diambil selalu mengacu pada aturan yang dikeluarkan
oleh Dirjen PHKA. Sayangnya acuan yang dikeluarkan biasanya hanya satu
94
macam dan seragam untuk semua kawasan. Sehingga dapat menjadi titik lemah
jika tidak bisa diterapkan di kawasan yang mempunyai karakteristik yang unik.
Sementara dilihat dari kekuatan eksternal internasional, adalah kuatnya pengaruh
International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam kegiatan
pengelolaan TN di Indonesia termasuk TNDS. Kategori apapun yang ada di
kawasan konservasi mengacu pada kategori yang dikeluarkan oleh IUCN. Padahal
tidak semua yang dikeluarkan oleh IUCN ini dapat diadaptasi di Indonesia. Lagilagi hal ini menyebabkan negara tidak dapat bertindak secara independen.
Indikator sumberdaya fiskal adalah menilai kemampuan keuangan negara
atau komponen yang dibelikan negara. Kapasitas ini adalah fungsi dari kedua
aliran pendapatan saat ini dan cukup layak serta tuntutan pada pendapatan itu. 100
persen responden menyatakan bahwa negara tidak mampu dalam sumberdaya
fiskal ini, termasuk dari pihak Balai TNDS menyatakan hal ini. Dalam rangka
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tahun 2010 (tahun keempat pelaksanaan
rencana strategik periode tahun 2007-2011), Balai TNDS memiliki anggaran
belanja yang berasal dari sumber dana DIPA dengan total anggaran sebesar Rp
6.768.844.000. Jadi semua sumberdaya fiskal semuanya berasal dari pusat, tidak
ada pendapatan yang digunakan untuk membiayai kegiatan Balai. Sementara
pendapatan yang diperoleh dari tiket masuk ke TNDS bagi peneliti dan pariwisata
untuk tahun 2011 sebesar Rp 14.426.000 langsung masuk ke pusat karena
termasuk dalam PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Padahal sebagai suatu
organisasi untuk dapat capable salah satunya harus memiliki sumberdaya
keuangan(fiskal) yang mantap disamping sumberdaya fisik, sumberdaya manusia,
sumberdaya teknologi dan reputasi organisasi karena a capability is the capacity
for a set of resources (Hitt et al. 2005).
Sejauh mana negara berhasil dalam memperluas ideology, struktur sosial
politik, dan aparat administrasi seluruh masyarakat (baik secara geografis, dan
masuk ke struktur sosio-ekonomi masyarakat sipil); respon dari struktur dan
aparat untuk kebutuhan lokal masyarakat juga dinilai rendah oleh responden dari
berbagai pemangku kepentingan yang ada di TNDS. Ideology konservasi yang
dimiliki oleh negara dalam mengelola TNDS belum berhasil disebarluaskan. Hal
ini tampak dari respon masyarakat yang memandang TNDS adalah sumber
pendapatan bagi mereka sehingga mereka seharusnya dapat dengan bebas untuk
memanfaatkan dan menggunakan TNDS sebagai asset ekonomi. Begitu juga
dengan pemerintah daerah, yang lebih berat kepada pertimbangan ekonomi
dibanding konservasi dalam memandang areal di sekitar TNDS, walaupun pemda
Kapuas Hulu sudah mencadangkan diri sebagai kabupaten konservasi. Sementara
dari sisi LSM, ada beberapa yang condong pada pandangan kesejahteraan
masyarakat dibanding konservasi, walaupun mereka melabel diri mereka sebagai
LSM yang pro konservasi, tapi bila dihadapkan dengan kepentingan manusia,
mereka lebih cenderung ke masyarakat untuk disejahterakan. Apa yang terjadi di
TNDS seperti juga yang terjadi pada pengelolaan TN di berbagai tempat, yaitu
adanya perbedaan diskursus dalam mengelola TN (Wittmer and Birner 2005).
Sementara itu, indikator legitimasi yang merupakan indikator kekuatan
otoritas moral negara yaitu sejauh mana rakyat mematuhi perintah yang keluar
dari rasa kesetiaan dan kewajiban, bukan sebagai akibat dari paksaan atau inisiatif
ekonomi. 88,89 persen menyatakan tidak kuatnya legitimasi negara, hal ini
dikarenakan masih banyaknya tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman yang
95
dihadapi oleh pihak Balai TNDS dalam mengelola TNDS. Balai TNDS adalah
suatu organisasi kekuasaan yang bersifat formal. Formalnya sebuah kekuasaan
membuat kekuasaan memiliki wewenang dan hak untuk mengeluarkan perintah
dan membuat peraturan serta memiliki otoritas untuk memberikan sanksi bila
aturan atau perintah tersebut dilanggar dan tidak dilaksanakan. Namun, walau
telah ada kekuasaan dan telah dilembagakan atau sah, masih ada faktor lain untuk
dapat dengan efektif dan mengurangi pemaksaan dan kekerasan dalam
pelaksanaannya. Sebuah kekuasaan tentunya harus memiliki pengakuan atau
keabsahan. Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa
wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan
patut dihormati (Budiarjo 2008). Adanya pelanggaran yang terus terjadi
menunjukkan tidak kuatnya legitimasi pemerintah dalam pengelolaan TNDS.
Berdasarkan indikator-indikator yang digunakan untuk menilai kapabilitas
pemerintah maka diperoleh tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan
TNDS (Tabel 24).
Tabel 24 Tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS
No.
1
2
Indikator kapabilitas pemerintah
Skor
Rata-rata
Nilai
Maksimum- Minimum
12 – 4
Karakter intrinsik
89
5
Hubungan antara pemerintah
76
4
12 – 4
dan masyarakat
Jumlah
165
9
24 – 8
Keterangan : Jumlah responden 18 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dengan
Xmaksimum: 24, Xminimum: 8, dan jumlah kelas 3
Berdasarkan persamaan selang nilai dimana Xmaksimum = 24, Xminimum
= 8, dan jumlah kelas 3 adalah 5,33. Skala penilaian yang diperoleh untuk
tingkatan kapabilitas pemerintah pada pengelolaan TNDS adalah sebagai berikut:
a. Tingkat kapabilitas pemerintah rendah apabila jumlah skor < 13, dalam hal
pengelolaan TNDS maka sulit untuk dapat berperan secara optimal jika dilihat
dari kapabilitas yang dimiliki.
b. Tingkat kapabilitas pemerintah sedang apabila jumlah skor antara 13 – 18,
dalam hal pengelolaan TNDS maka dapat berperan secara optimal jika dilihat
dari kapabilitas yang dimiliki.
c. Tingkat kapabilitas pemerintah tinggi apabila jumlah skor antara 19 – 24,
dalam hal pengelolaan TNDS maka dapat sangat berperan secara optimal jika
dilihat dari kapabilitas yang dimiliki.
Berdasarkan hasil penilaian yang sudah dilakukan, maka dapat diketahui
bahwa kapabilitas pemerintah ternyata masih rendah (skor 9) dalam pengelolaan
TNDS, kondisi serupa juga terjadi di berbagai TN di dalam maupun luar negeri
(Holmes-Watts dan Watts 2008). Untuk dapat mengelola TNDS maka kapabilitas
dari Balai TNDS harus dikembangkan, karena kapabilitas bersifat dinamis, jadi
dapat berubah dan diharapkan menjadi lebih baik. Peningkatan kapabilitas ini
tentunya memerlukan pengorbanan berupa keinginan untuk menjadi lebih baik
dalam mengelola melalui berbagai pembelajaran untuk mendapatkan
pengetahuan. Walaupun kondisi ini telah terjadi sejak lama tetapi proses
pembelajaran sangat lambat terjadi.
Download