10 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan metode General Linear Model (GLM) univariate untuk melihat interaksi antara faktor superovulasi dengan litter size. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah total leukosit dan persentase diferensial leukosit yang meliputi netrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit pada anak domba yang dilahirkan oleh induk domba kontrol dan yang disuperovulasi dengan litter size 1 dan litter size 2 didapatkan pada penelitian ini. Dari pengukuran diferensial sel darah putih tersebut, dihitung nilai rasio N/L (netrofil/limfosit) untuk mengetahui tingkat cekaman. Hasil penghitungan jumlah dan diferensial sel darah putih pada setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Rataan jumlah leukosit (x1000/mm3), netrofil (%), eosinofil (%), basofil (%), limfosit (%), monosit (%), dan rasio N/L KO SO SO LS SO*LS LS 1 (n=3) LS 2 (n=6) LS 1 (n=3) LS 2 (n=6) Leukosit 8.43±0.55 7.87±0.55 9.66±0.64 10.27±0.50 * Netrofil 30.67±16.26 24.00±11.09 19.00±4.00 27.83±13.41 Eosinofil 2.00±2.64 3.00±2.76 2.67±2.08 2.5±2.34 Basofil 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 Limfosit 61.66±18.23 68.67±8.91 73.67±4.16 64.67±14.08 Monosit 5.67±3.78 4.33±2.50 4.67±2.08 5.00±2.37 N/L 0.59±0.50 0.37±0.22 0.26±0.07 0.50±0.36 Ket: KO = Kontrol; SO = Superovulasi; LS = Litter size; * = berpengaruh signifikan (P<0.05) Jenis Superovulasi pada induk sebelum perkawinan dapat meningkatkan jumlah leukosit anak yang dilahirkannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0.05 (P<0.05). Sebaliknya, litter size dan interaksi antara superovulasi dan litter size tidak mempengaruhi jumlah leukosit anak domba. Kenaikan leukosit dapat diartikan dengan kenaikan limfosit yang berfungsi untuk merespons antigen dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau meningkatkan imunitas (kekebalan) selular (Ganong 2002). Hal ini membuktikan bahwa superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dapat meningkatkan kekebalan dan tidak menyebabkan stres pada anaknya. Stres dapat menurunkan respons kekebalan, khususnya pada penurunan jumlah leukosit (eosinofil, monosit, limfosit) yang berfungsi pada alat pertahanan tubuh, produksi antibodi tubuh akan turun, demikian juga daya fagositasnya terhadap bakteri, virus, dan kuman-kuman lain. Perlakuan superovulasi pada induk domba, litter size yang dihasilkan, dan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh pada netrofil, basofil, eosinofil, limfosit, monosit, dan rasio N/L anak domba. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi superovulasi, litter size, dan interaksi antara keduanya yang berada di atas 0.05 (P>0.05). Hal ini membuktikan bahwa superovulasi pada induk domba dan litter size yang dihasilkan tidak menyebabkan stres metabolik pada anaknya, 11 dikarenakan superovulasi dapat memperbaiki performa dan kekebalan anak yang dihasilkan. Superovulasi meningkatkan konsentrasi hormon‐hormon kebuntingan dan hormon metabolisme (tiroid) (Mege et al. 2007). Hormon metabolisme selama kebuntingan mengatur pertumbuhan dan perkembangan fetus, memberi signal pada proses maturasi dan nutrisional dalam uterus sehingga meningkatkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen fetus (Fowden 2003; Fowden dan Forhead 2004). Adanya pengaruh penyuntikan PMSG yang merupakan mimik dari FSH dan LH pada peningkatan konsentrasi hormon tiroid diduga karena adanya homologi reseptor LH dan hormon tiroid. Hormon tiroid terlibat dalam penyediaan aliran nutrisi, mineral, dan sangat vital dalam penyediaan ATP selama kebuntingan (Manalu et al. 1998). Berdasarkan penelitian Mege et al. (2007) peningkatan hormon metabolisme yang distimulasi perlakuan superovulasi juga disertai oleh peningkatan konsentrasi zat‐zat nutrien penting bagi induk maupun fetus selama kebuntingan, yaitu trigliserida, protein, dan glukosa. Ketersediaan nutrisi induk selama kebuntingan baik melalui suplai dari makanan maupun hasil metabolisme induk berperan penting untuk organogenesis normal fetus dan berpengaruh pada bobot lahir dan performa produksi anak setelah lahir. Fungsional kelenjar endometrium uterus, yang berfungsi menyediakan nutrisi berupa susu uterus untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan embrio dalam kandungan, di bawah kendali hormon‐hormon kebuntingan terutama progesteron dan estradiol (Ford et al. 2002; Vallet et al. 2002). Superovulasi sebelum perkawinan memperbanyak korpus luteum sehingga meningkatkan konsentrasi estradiol dan progesteron yang dapat memacu pertumbuhan prenatal anak dalam kandungan dan pertumbuhan postpartum (Adriani et al. 2007), terutama pada litter size kurang dari tiga. Korpus luteum merupakan penghasil hormon kebuntingan, yaitu progesteron, yang berfungsi untuk memelihara kebuntingan. Hormon tersebut juga berfungsi dalam merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta (Adriani et al. 2004; Manalu et al. 2000; Mege et al. 2007). Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 1 cenderung menurunkan persentase netrofil anak yang dilahirkannya. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya infeksi parasit yang biasanya disertai dengan penurunan netrofil dalam darah perifer (Khajatun et al. 1996). Netrofil ialah lini pertahanan utama terhadap invasi mikroorganisme, trauma jaringan, atau gejala peradangan lain dengan cara migrasi ke jaringan yang terinfeksi bakteri, menembus dinding kapiler dengan cara diapedesis. Apabila terjadi perlukaan pada jaringan, netrofil dimobilisasi dari posisi marginal ke daerah yang terluka itu sehingga jumlah netrofil dalam sirkulasi berkurang. Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2 cenderung meningkatkan persentase netrofil anak yang dilahirkannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugraha (2011), yaitu domba yang disuperovulasi memiliki rata-rata jumlah netrofil lebih tinggi daripada kontrol pada akhir kebuntingan. Tingginya konsentarasi estradiol dan litter size pada domba dengan perlakuan superovulasi yang menyebabkan hal tersebut. Induk domba yang disuperovulasi sebelum perkawinan mengalami cekaman yang lebih tinggi akibat tingginya litter size (Andriyanto dan Manalu 2011) dan hal ini terjadi pula pada anaknya. Pada saat dalam kandungan, jumlah fetus yang lebih banyak 12 mengakibatkan adanya persaingan dalam mendapatkan asupan makanan dan oksigen sehingga fetus mengalami cekaman. Jumlah korpus luteum sangat erat kaitannya dengan jumlah anak yang dikandung, yang juga sangat erat kaitannya dengan konsentrasi progesteron dan estradiol pada domba (Manalu et al. 1995). Superovulasi sebelum perkawinan pada induk yang melahirkan anak kembar dapat meningkatkan konsentrasi estradiol yang lebih tinggi daripada induk yang melahirkan anak tunggal (Adriani et al. 2007). Menurut Tornquist dan Rigas (2010) hormon tersebut merupakan hormon steroid yang dapat meningkatkan jumlah netrofil. Tingginya estradiol meningkatkan kadar corticotrophin releasing hormone (CRF) (Roy et al. 1999) yang disekresikan oleh hypothalamus dan akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisisis anterior. Selanjutnya, reseptor CRH akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis Adrenocorticotropin Hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya ke seluruh pembuluh. Selama stres, jumlah ACTH yang disekresikan oleh hipofisis anterior melebihi jumlah ACTH yang diperlukan untuk menimbulkan pengeluaran maksimal glukokortikoid (Ganong 2002). Korteks adrenal akan terangsang mensekresikan corticosteroid yang akan mempengaruhi membran sel-sel hati (Prabowo 2007). Menjelang kelahiran, kortisol disekresikan oleh fetus yang mengalami cekaman. Hewan yang mengalami cekaman akan membangun pertahanan diri dengan berbagai bentuk pertahanan (Permatasari 2010). Meningkatnya netrofil merupakan salah satu respons imun yang terjadi jika terjadi cekaman (Zahorec 2001; Tornquist dan Rigas 2010). Kortisol yang tinggi dapat menginduksi tingginya jumlah netrofil yang dikeluarkan dari sumsum tulang ke aliran darah dan menurunnya diapedesis ke jaringan. Sejumlah besar netrofil terdapat di sepanjang permukaan endotel pembuluh darah dan dapat dengan cepat dimobilisasi saat terjadi cekaman akut atau infeksi (Kern 2002). Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 1 cenderung meningkatkan persentase eosinofil anak yang dilahirkannya. Tingginya eosinofil dapat diakibatkan oleh infestasi parasit dan alergi (Theml et al. 2004; Tornquist dan Rigas 2010), reaksi alergi, dan penyakit kulit atopik (Kern 2002; Theml et al. 2004). Eosinofil berperan dalam toksifikasi protein asing maupun racun yang dihasilkan oleh bakteri dan parasit yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, mukosa saluran pernapasan, dan saluran kemih. Adanya kerusakan jaringan menyebabkan terjadinya proses degranulasi sel mast sehingga histamin terbebaskan dan menyebabkan efek kemotaksis yang merangsang sumsum tulang mengeluarkan eosinofil ke sirkulasi darah. Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2 eosinofil cenderung menurunkan persentase anak yang dilahirkannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugraha (2011) yang mendapatkan domba yang disuperovulasi memiliki rata-rata eosinofil yang lebih rendah dibandingkan dengan domba kontrol pada saat kebuntingan. Pada ruminansia, jumlah eosinofil menurun jika terjadi cekaman atau pemberian kortikosteroid (Tornquist dan Rigas 2010). Jain (1993) melaporkan bahwa penurunan jumlah eosinofil terlihat dalam kondisi stres, yang ditandai dengan peningkatan pelepasan glukokortikoid oleh korteks adrenal. Glukokortikoid ini akan menurunkan pelepasan eosinofil dari sumsum tulang sehingga jumlah eosinofil dalam sirkulasi menurun. 13 Basofil tidak ditemukan pada anak domba dari induk di setiap kelompok perlakuan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maheshwari et al. (2001) dengan kambing sebagai hewan cobanya dan Nugraha (2011) dengan domba sebagai hewan cobanya yang hanya menemukan basofil pada awal kebuntingan. Basofil normalnya berjumlah kurang dari 1% dari jumlah sel darah putih (Kern 2002) atau kurang dari 10 sel dari 1000 sel darah putih. Basofil bersama dengan sel mast dan eosinofil dianggap sebagai efektor penting dalam gangguan alergi (Costa et al. 1997). Tidak ditemukannya basofil pada penelitian ini menandakan anak domba tidak mengalami alergi maupun infeksi. Basofilia pada mamalia domestik biasanya dikaitkan dengan gangguan hipersensitif berperantara IgE dan biasanya disertai dengan eosinofilia (Pohlman 2010). Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 1 cenderung meningkatkan persentase limfosit anak yang dilahirkannya. Fungsi utama limfosit ialah merespons antigen dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau meningkatkan imunitas (kekebalan) selular (Ganong 2002). Hal ini membuktikan superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dapat meningkatkan kekebalan anak yang dilahirkannya. Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2 cenderung menurunkan persentase limfosit anaknya. Limfosit dapat menjadi parameter terhadap adanya cekaman. Dalam kondisi cekaman, kadar limfosit dalam darah akan menurun (Zahorec 2001; Tornquist dan Rigas 2010). Hal ini disebabkan oleh sekresi kortisol dari korteks adrenal fetus yang mengalami cekaman. Tingginya kortisol saat terjadi cekaman menekan sistem imun sehingga menyebabkan produksi limfosit berkurang (Tornquist dan Rigas 2010). Penurunan jumlah limfosit juga dapat disebabkan oleh peningkatan konsentrasi hormon estrogen. Hormon estrogen berefek sama seperti kortisol yang dapat menghambat proliferasi limfosit (Crighton 1984). Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 1 cenderung menurunkan persentase monosit anak yang dilahirkannya. Jain (1993) melaporkan jumlah monosit dalam darah dipengaruhi oleh konsentrasi kortikosteroid. Steroid menginduksi penurunan jumlah monosit yang akan menghambat pelepasan monosit dari sumsum tulang atau terjadi penurunan jumlah produksi. Penurunan monosit dapat terjadi pada stadium awal dari stress, tetapi setelah stadium akut maka diikuti oleh peningkatan jumlah monosit (Schalm dan Jain 1986). Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2 cenderung meningkatkan persentase monosit anaknya. Kenaikan jumlah monosit terjadi akibat adanya respons untuk melakukan fagositosis benda asing, seperti jaringan yang mati (sel debris), sel rusak, atau sel yang tidak berfungsi. Monosit biasanya hadir pada periode akhir peradangan akut dan kronis, khususnya pada kasus brucellosis, endocarditis lenta, listeriosis, dan tuberculosis (Theml et al. 2004). Persentase monosit pada domba berada pada kisaran normal. Persentase monosit normal berkisar antara 3-8% dari jumlah leukosit normal (Effendi 2003). Hal ini menandakan domba penelitian tidak mengalami infeksi akut maupun kronis. Ruminansia memiliki jumlah monosit kurang dari 1000 sel/mm3 dalam darah (Weiss dan Souza 2010). Monosit merupakan sistem pertahanan pertama dalam tubuh bersama netrofil. Monosit dapat berubah menjadi makrofag jika 14 masuk ke jaringan (Effendi 2003) sehingga jarang dijumpai dalam jumlah besar di dalam sirkulasi darah normal. Hal serupa dipaparkan oleh Reece (2006) bahwa monosit bersirkulasi di dalam darah kurang dari 24 jam sehingga jumlahnya dalam darah normal sangat sedikit. Monosit berada di sirkulasi darah dalam waktu yang pendek, kemudian masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag akibat adanya respons untuk melakukan fagositosis benda asing, seperti bakteri dan jaringan yang mati (sel debris), sel rusak, atau sel yang tidak berfungsi. Rasio N/L atau netrofil/limfosit dapat menggambarkan tingkat stres. Nilai N/L dapat merefleksikan kenaikan kadar kortisol plasma yang merupakan salah satu hormon stres (Widowski et al. 1989). Superovulasi dan litter size tidak memiliki pengaruh pada rasio N/L. Rasio N/L anak domba pada setiap perlakuan lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Tornquist dan Rigas (2010) yang menyatakan domba dewasa memiliki rasio N/L sekitar 1,00, sedangkan domba yang baru lahir nilainya lebih besar dari 1,00. Superovulasi sebelum perkawinan pada induk domba dengan litter size 2 cenderung meningkatkan rasio N/L anak yang dilahirkannya. Tingginya rasio N/L pada anak domba dari induk yang disuperovulasi semakin menguatkan dugaan bahwa superovulasi memberikan cekaman tersendiri terhadap anak domba dari induk yang disuperovulasi. Hal ini dikarenakan superovulasi sebelum perkawinan dapat meningkatkan konsentrasi estradiol dan progesteron (Adriani et al. 2007). Tingginya estradiol menyebabkan meningkatnya kadar corticotrophin releashing hormone (Roy et al. 1999) sehingga kadar kortisol juga tinggi. Keadaan ini menggambarkan terjadinya stres. Litter size yang lebih tinggi pada domba yang disuperovulasi juga memberikan cekaman pada fetus. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan fetus dalam mendapatkan asupan makanan dan oksigen, sedangkan jumlah makanan, oksigen, dan ruang yang tersedia terbatas. Pada keadaan stres, hormon kortisol meningkat. Kortisol dapat meningkatkan jumlah netrofil dan menghambat proliferasi limfosit sehingga nilai rasio N/L meningkat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Superovulasi berpengaruh pada peningkatan kekebalan anak domba. Sementara itu, superovulasi ataupun litter size yang dihasilkan tidak menyebabkan stres pada anak domba. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang dengan hewan coba yang lebih banyak, dengan harapan agar dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada diferensiasi leukosit. Perlu juga dilakukan pengukuran kortisol darah untuk mengetahui tingkat stres.